Tampilkan postingan dengan label Kosmologi Hindu 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kosmologi Hindu 1. Tampilkan semua postingan

Kosmologi Hindu 1

 



Berdasarkan uraian di atas maka 

dapat simpulkan bahwa teks Purwa 

Bhumi Kamulan termasuk kelompok 

lontar Tattwa. Lontar ini berisi ajaran 

tentang penciptaan dunia yang diuraikan 

secara mitologis. Seluruh ajarannya 

bersifat Siwaistik. Kosmologi Hindu 

dalam teks Purwa Bhumi Kamulan 

terdiri dari penciptaan (uttpeti) dalam 

teks Purwa Bhumi Kamulan yaitu 

diuraikan saat Bhatari Uma lahir dari 

pergelangan kaki Bhatara Guru. Dari 

kekuatan yoga Bhatara dan Bhatari, 

lahirlah para Dewata, Panca Rsi, Sapta 

Rsi sebagai isi dunia ini. Setelah itu 

barulah dunia ini diciptakan.Pemeliharaan (stithi) dalam teks Purwa 

Bhumi Kamulan ketika manusia harus 

senantiasa harus melakukan pemujaaan￾pemujaaan kepada Bhatara-Bhatari agar 

terjadinya keseimbangan dalam dunia ini

dan peleburan (pralina) dalam teks 

Purwa Bhumi Kamulan ketika Selain itu 

Bhatari Durga juga memakan manusia 

sebagai upah telah menciptakan dunia ini 

akan tetapi tidak semua manusia yang 

ada di dunia ini yang dimakan oleh 

Bhatari Durga. Adapun manusia yang 

dimakan dengan enaknya oleh Bhatari 

Durga, tidak lain yang dimakan adalah 

orang yang lahir pada Wuku Carik, yaitu 

orang yang lahir pada Wuku Wayang, 

lahir kembar siam (kadana-kadini), 

bersaudara lima, tunas tunggul (tunggak 

wareng), unting-unting.



Agama merupakan sebuah 

keyakinan dasar yang dimiliki oleh 

setiap umat manusia yang memeluknya. 

Setiap agama memiliki kitab suci yang 

dipakai sebagai dasar yang kuat dalam 

pelaksanaan agamanya, sehingga dengan 

demikian setiap orang dapat 

melaksanakan sesuatu yang dianggap 

baik oleh sebuah agama. Agama Hindu 

memiliki kitab suci yang disebut dengan 

Weda yang dapat dijadikan sebagai 

pedoman dalam kehidupan beragama. 

Sebagai kitab suci, Weda adalah 

sumber ajaran agama Hindu sebab dari 

Wedalah mengalir ajaran yang 

merupakan kebenaran agama Hindu. 

Ajaran Weda dikutip kembali dan 

memberikan vitalitas terhadap kitab￾kitab susastra Hindu pada masa 

berikutnya. Dari kitab Weda (Sruti) 

mengalirlah ajarannya dan 

dikembangkan dalam kitab-kitab Smrti, 

Ithiasa, Purana, Tantra, Darsana, dan 

Tatwa-tattwa yang kita warisi di 

Indonesia 

Selain bersumber pada kitab￾kitab di atas, ajaran agama Hindu juga 

banyak terkandung atau terdapat di 

dalam sebuah karya sastra. Di Bali, 

banyak terdapat sastra-sastra agama 

yang berupa lontar-lontar berbahasa 

Sanskerta dan Jawa Kuna yang 

diterjemahkan ke dalam bahasa Bali dan 

bahasa Indonesia. Terjemahan ini 

penting karena untuk menjembatani 

pembaca yang kurang mampu 

memahami bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuna. Aktualisasi hormatnya umat 

Hindu di Bali dapat dilihat pada tradisi 

Nyastra. Istilah anak nyastra “orang 

berilmu” dalam masyarakat Bali, 

walaupun dalam kenyataannya seorang 

belum tentu seluas itu penguasaan 

pengetahuannya. Namun, karena ia 

senang membaca dan menulis dan dapat 

berbuat kebaikan/kebajikan terhadap 

sesama, biasanya orang itu mendapat 

tempat terhormat di kalangan 

masyarakat Bali (Bagus, 1980:8). 

Sastra Jawa Kuna merupakan 

salah satu warisan budaya bangsa 

Indonesia yang mempunyai nilai sangat 

tinggi. Sejarah telah mencatat bahwa 

Sastra Jawa Kuna mencapai puncak 

perkembangannya yang sangat subur 

atara abad ke-9 hingga abad ke-16 

dipusat-pusat kerajaan Hindu, seperti 

Kerajaan Kediri, Singasari, dan 

Majapahit 

Sesuai dengan sistem kekuasaan pada 

waktu itu hasil Sastra Jawa Kuna 

umumnya dijiwai oleh agama Hindu. 

Hasil karya sastra ini tumbuh subur 

sehingga banyak karya sastra yang lahir, 

seperti kakawin Bharatayudda, Arjuna 

Wiwaha, Gatotkacasraya, 

Siwaratrikalpa, dan sebagainya 

Oleh karena itu, kepustakaan 

Bali sangat kaya dan beraneka ragam 

jenisnya. Keberadaan agama Hindu 

banyak tersimpan pada kepustakaan￾kepustakaan ini  , baik mengenai 

Tattwa, Susila, dan Acara. Naskah 

keagamaan yang teksnya mengandung 

ajaran ketuhanan adalah teks Tattwa.

Dari sekian banyak teks Tattwa yang 

ada, ada yang mengandung pengetahuan 

Kosmologi. Kosmologi merupakan 

pengetahuan mengenai proses 

penciptaan alam semesta, menurut 

Hindu proses penciptaan alam semesta 

bertumpu pada Tuhan. Tuhan yang 

dijadikan sebagai penyebab adanya alam 

semesta ini. 

Penelitian mengenai konsep 

Kosmologi merupakan sebuah penelitian 

yang sangat menarik untuk dilakukan, 

hal ini dikarenakan begitu banyak para 

ilmuwan barat yang membahas 

mengenai proses penciptaan alam 

semesta, proses penciptaan alam semesta 

ini di Barat di kenal dengan istilah 

Kosmologi sedangkan di timur dikenal 

dengan istilah Viratvidya. Teori barat 

dan teori timur sudah pasti memiliki 

sebuah perbedaan yang sangat mendasar 

mengenai proses penciptaan alam 

semesta dan begitu banyak teori barat 

yang telah digugurkan mengenai proses 

penciptaan alam semesta ini.

Menurut pandangan Hawking 

(2004: 34) dinyatakan bahwa di era 

modern ini banyak teori yang muncul 

mengenai proses penciptaan alam 

semesta ini, tetapi walupun dengan 

peralatan yang begitu canggih yang 

dimiliki oleh para ilmuwan masalah 

penciptaan alam semesta ini tidak ada 

habisnya dibahas, bahkan semakin 

banyak teori baru yang muncul yang 

mampu menggugurkan teori 

sebelumnya. Hal ini disebabkan karena 

para ilmuwan barat menyimpulkan 

segala yang ada di dunia ini secara 

empirisme. Empirisme yang dimaksud 

adalah berkutat pada data-data yang ada 

disebuah laboratorium sedangkan para 

agamawan menyimpulkan tentang 

proses penciptaan alam semesta ini 

menggunakan spiritual dan metafisik. 

Pengetahuan tentang penciptaan 

alam semesta atau Kosmologi banyak 

terdapat dalam karya sastra Jawa Kuna 

yang sangat penting dikaji agar umat 

Hindu mengetahui secara mendalam 

mengenai Kosmologi yang terdapat 

dalam karya sastra Jawa Kuna. Salah 

satu karya sastra Jawa Kuna yang 

mengandung pengetahuan Kosmologi 

adalah Purwa Bhumi Kamulan.

Purwa Bhumi Kamulan termasuk 

kelompok lontar Tattwa. Lontar ini 

berisi ajaran tentang penciptan dunia 

yang diuraikan secara mitologis. Seluruh 

ajarannya bersifat siwaistik. Proses 

penciptaan yang diuraikan pada Purwa 

Bhumi Kamulan dimulai dari Bhatari 

Uma lahir dari pergelangan kaki Bhatara Guru. Dari kekuatan yoga Bhatara dan 

Bhatari, lahirlah para Dewata, Panca 

Rsi, Sapta Rsi sebagai isi dunia ini. 

Setelah itu barulah dunia ini diciptakan.

II. 

2.1 Struktur Penciptaan Dalam 

Teks Dalam Teks Purwa Bhumi 

Kamulan

Donder (2007:110) mengatakan 

ajaran Hindu selalu melihat sesuatu 

dimulai dari Tuhan dan berhenti atau 

berakhir pada Tuhan, karena Tuhan dan 

ciptaannya juga berbentuk melingkar 

seperti lingkaran cincin yang tidak dapat 

diketahui ujung dan pangkalnya. Teks 

Purwa Bhumi Kawulan dengan sangat 

jelas dan tegas mengatakan bahwa 

Bhatara dan Bhatari adalah asal mula 

segala yang ada, sebagaimana sloka

berikut :

Om purwa bhumi kamulan, paduka 

Bhatari Uma; mijil saking limo-limo 

nira Bhatara guru. Mulaning hana 

Bhatari minaka somah Bhatara ; 

mayoga sira Bhatari. Mijil ta sira 

dewata, Panca Resi, Sapta Resi; 

Kosika, sang Garga, Maitri, 

Kurusya, sang Pratanjala.

(Purwa Bumi Kamulan ##)

Terjemahan:

Om, Purwa Bhumi Kamulan (awal 

mula dunia). Yang Mulia Bhatari 

Uma, lahir dari pergelangan kaki 

Bhatara Guru. Mula-mula yang ada 

adalah Bhatari, sebagai permaisuri 

Bhatara. Beryogalah Bhatara dan 

beryoga pula Bhatari. Lahirlah para 

dewata, panca resi, sapta resi; 

Kosika, Sang Garga, Maitri, 

Kurusya, Sang Pratanjala 

ingutus ikang Bhatara, kalih lan 

sira Bhatari. Kinon sira (ng) gawa 

loka, neher sira sinanmata, kang 

wikan patengranira, sina pa de 

Bhatara. Kosika mlesat mangetan, 

matemahan dadi dengen, sang 

Garga mlesat mangidul, 

matemahan dadi sang mong. Sang 

Maitri mlesat mangulon, 

matemahan dadi ula, Kurusya 

mlesat mangalor, matemahan dadi 

bwaya. Pratanjala mlesat (ring) 

madhya, matemahan hyang kurma 

raja, ingutus sang Pratanjala, 

tumurun manggawe loka. 

Lumampah nda tan parowang, 

ingutus Bhatari Uma; dening 

paduka Bhatari, tumurun sang 

Pratanjala. Neher amit anganjali, 

Bhatara lawan Bhatari, angadeg 

sireng pantara, awang-awang 

uwung-uwung. Tan hananing sarwa 

katon, tan hana ning sarwa umung. 

Ahening cipta Bhatari, alekas 

anggawe loka, maka daging ing 

bhuwana, kalih lan sang Pratanjala.

(Purwa Bumi Kamulan ##)

Terjemahan:

Kemudian Bhatara dan Bhatari 

disuruh membuat dunia, kemudian 

ia dinobatkan dan namanya sangat 

terkenal, dan kemudian di kutuk 

oleh Bhatara. Kosika pergi ke timur, 

berubah menjadi dengen. Sang 

Garga pergi ke selatan , berubah 

menjadi harimau. Sang Maitri pergi 

ke barat berubah menjadi ular. 

Kurusyapergi ke utara berubah 

menjadi buaya. Pratanjala pergi ke 

tengah , berubah menjadi kura-kura 

besar. Sang Pratanjala diutus turun 

membuat dunia. Berjalan dengan 

tanpa teman, (karena) diutus oleh 

Bhatari (Uma), maka turunlah Sang 

Pratanjala. Lalu menyembah dan 

mohon diri (ke hadapan) Bhatara 

dan Bhatari. Berdirilah ia di antara 

langit yang kosong. Tidak ada 

sesuatu yang tampak, tidak ada 

sesuatu yang bersuara. Maka pikiran 

Bhatari menjadi hening, lalu 

mengeluarkan mentra-mentra untuk 

menciptakan dunia, beserta isinya dunia, bersama dengan sang 

Pratanjala.

Dari sloka di atas terlihat jelas 

bahwa Bhatari merupakan asal mula dari 

segala sesuatu yang ada di dunia ini baik 

mahluk yang bernyawa maupun tidak 

bernyawa. Hal ini dapat dilihat ketika 

yang pertama kali ada di dunia ini adalah 

Sang Hyang Bhatara Guru dan Sang 

Bhatari Uma, lalu dengan Sang Bhatara 

dan Bhatari beryoga dan lahirlah Para 

Dewa, Panca Rsi Sapta Resi, Sang 

Kosika, Sang Garga dan Sang Pratanjala. 

Lalu kemudian sang Bhatara dan Bhatari 

membuat isi dunia ini dengan 

memerintahkan Sang Pratanjala. Sang 

Pratanjala dengan kekuatannya lalu 

menyembah dan mohon diri kehadapan 

Bhatara dan Bhatari. Berdirilah Sang 

Pratanjala diantara langit yang kosong, 

tidak ada sesuatu yang tampak, tidak ada 

sesuatu yang bersuara. Maka pikiran 

Bhatari menjadi hening dan 

mengeluarkan mantra-mantra untuk 

menciptakan dunia beserta isi dunia ini. 

Setelah dunia ini tercipta lalu Bhatara 

dan Bhatari menciptakan isi dunia ini 

seperti Matahari, Bulan, Bintang seperti 

yang diuraikan dalam teks berikut:

Yoganira sanghyang Dharma mijil 

tekang maha padma, maka sesek ing 

bhuwana. Mijil ta radtya wulan, 

maka suluh ing bhuwana; mijil 

lintang taranggana, maka tulis ing 

bhuwana. Mijil panca maha Bhuta, 

maka urip ing bhuwana; mijil ta 

catur pramana apah, teja, bayu 

akasa. Urip ing anda bhuwana 

sampun apasek; mangke punang 

jagat traya apan sampun sirayoga.

(Purwa Bumi Kamulan ##)

Terjemahan:

Dari yoga Sanghyang Dharma, 

keluarlah maha-padma, sebagai 

pelengkap dunia. Kemudian 

keluarlah matahari dan bulan 

sebagai penerang dunia; keluar 

gugusan bintang-bintang, sebagai 

hiasan pada dunia. (Kemudian) 

keluar Panca MahaBhuta, sebagai 

jiwanya dunia; (kemudian) keluar 

catur pramana (antara lain) apah, 

teja, bayu dan akasa. (Sehingga) 

jiwa anda bhuwana menjadi lengkap 

dan kuat; dan sekarang ketiga dunia 

(menjadi sempurna), oleh yoga 

beliau. 

Berdasarkan uraian teks ini  , 

setelah Bhatara dan Bhatari menciptakan 

dunia ini, lalu Bhatara dan Bhatari mulai 

menghiasi dunia ini dengan melakukan 

Yoga Semadi. Dan Lahirlah Sang Hyang 

Darma, dengan kekuatan Sakti Sang 

Hyang Darma maka terciptanya lah 

Bintang-bintang, matahari, bulan 

sebagai penerang di dunia ini, keluarlah 

Panca Maha Bhuta sebagai jiwa dunia 

ini, dan yang terahir keluarlah catur 

pramana sebagai pelengkap dan tenaga 

yang ada di dunia ini sehingga 

lengkaplah isi dunia ini.

Berdasarkan pencitaaan (uttpeti) 

dalam teks Purwa Bhumi Kamulan 

dijelaskan yang pertama ada didunia ini 

adalah Bhatara dan Bhatari, lalu Bhatara 

dan Bhatari menciptakan Para Dewa -

Dewi, Sapta Rsi, setelah itu Bhatara dan 

Bhatari dengan kekuatan saktinya 

menciptakan Alam Semesta ini berserta 

isinya dimana yang pertama kali 

diciptakan didunia ini adalah, matahari, 

bulan, bintang kemudian barulah 

Bhatara dan Bhatari menciptakan 

tumbuh-tumbuhan ke dunia ini 

dilanjutkan menciptakan binatang dan 

manusia di dunia ini.

2.2 Struktur Pemeliharaan Dalam 

Teks Dalam Teks Purwa Bhumi 

Kamulan

Mahluk-mahluk hidup yang ada di 

alam semesta ini terutama manusia 

selalu menginginkan suatu keadaan 

hidup yang sejahtera (makmur, sehat dan 

damai). Dimana kesejahteraan hidup 

merupakan dambaan bagi semua orang. 

Dalam hal ini Tuhan menciptakan 

manusia juga untuk memelihara isi dari 

alam semesta ini. Karena dengan 

manusia memelihara alam semesta ini maka kesejahteraan hidup manusia akan 

bisa tercapai.

Selain untuk memelihara dunia ini, 

Tuhan juga menciptakan manusia 

dengan tugas masing-masing agar 

kesejahteraan bisa tercapai. Menurut 

Untara (2019:54), seorang dari 

Brahmana warna mengembangkan 

spritualitas, membangun moral dan 

mental semua orang. Demikian pula 

ksatria warna mengusahakan keamanan, 

ketertiban, keadilan dan kebenaran untuk 

semua orang. Waisya warna

mengusahakan keuntungan financial, 

baik untuk dirinya maupun untuk orang 

lain, dan sudra warna pun menyediakan 

tenaganya untuk menyukseskan

swadarma semua pihak. Tentang 

kesejahteraan itu, di dalam kitab 

Yajuveda XV.59 disebutkan, “berbuatlah 

untuk kesejahteraan bersama dan 

singkirkan kesusahan mereka” Berkaitan 

dengan kesejahteraan, Bhagavadgȋtā 

menyatakan sebagai berikut:

annād bhavanti bhuūtāni 

parjayād anna sambhavah,

yajnad bhavati parjanyo yadnah 

karma samudbhavah.

 (Bhagavadgȋtā III.14)

Terjemahan:

“Adanya mahluk hidup karena 

makanan, adanya makanan karena 

hujan, adanya hujan karena yadnya, 

adanya yadnya karena karma 

Bunyi sloka ini   juga dapat di 

tafsirkan bahwa manusia dapat hidup di 

alam semesta ini karena dengan adanya 

makanan. Adanya makanan karena alam 

semesta telah menyediakannya berupa 

tumbuh-tumbuhan dan binatang yang 

hidup dengan meminum air yang berasal 

dari hujan. Dengan adanya alam semesta 

ini, manusia, binatang dan tumbuh￾tumbuhan sangat saling membutuhkan 

dan wajib harus melaksanakan 

pengorbanan (yajǹa) antar sesama 

mahluk hidup. Karena dengan mahluk 

hidup melaksanakan yajǹa di alam 

semesta ini maka kesejahteraan di alam 

semesta ini akan terjadi. Kesejahteraan 

itu dapat di capai juga dengan mahluk 

hidup yang ada di alam semesta ini selalu 

berbuat kebaikan dan mengupayakan 

kedamaian antar sesamanya dan tidak 

melakukan perbuatan-perbuatan yang 

menyimpang dari ajaran dharma.

Selain itu kesejahteraan itu dapat 

terlaksana dengan adanya pelestarian 

lingkungan hidup. Dalam usaha 

melestarikan lingkungan adanya konsep 

Palemahan yaitu hubungan manusia 

dengan lingkungan (macrocosmos),

dimana manusia dengan konsep ini   

menjaga, merawat binatang, tumbuh￾tumbuhan yang ada di alam semesta ini 

agar keberadaannya tidak punah. Selain 

itu, dengan tidak membuang sampah 

sembarangan, tidak menebang pohon 

sembarang, tidak melakukan reklamasi 

pantai juga termasuk salah salu konsep 

palemahan yang bertujuan untuk 

pelestarian lingkungan. 

Teks Purwa Bumi Kamulan 

yang merupakan salah satu lontar yang 

membahas penciptaaan alam semesta ini 

juga membahas pemeliharaan yang ada 

di alam semesta ini, sebagaimana yang 

dijelaskan dalam sloka berikut:

Mangkin krodha Sanghyang Kala, 

tumurun sira sakareng, angadeg ring 

sunyantara, anggawe sanggah pamujan. 

Neher ta ginawe nira, Brahma, Wisnu, 

Maheswara, tumurun ring madhyapada, 

arddha moho’nggawe manusa. Hyang 

Iswara dadi Resi, Hyang Brahma dadi 

Brahmana, Hyang Wisnu dadi 

Bhujangga, ya tha sira mangkengutus, 

dening pada nira Sanghyang, 

ngaturaken tadah saji, sari genep saji 

nira, sampun ta mangke winastwan. 

Dening pada nira Sanghyang, 

Brahmana, Bhujangga, Resi, Saiwa 

Kalawan Saugata, anglukata dasa mala. 

`Anadah Bhatara Kala, kalih lan Bhatari 

Durga, tok sekul Kalawan ulan, sarwa 

genep kang tadahan. Tan ilang 

takonakena.Terjemahan:

Sekarang Sanghyang Kala marah, 

seketika ia turun, berdiri diantara dunia 

yang sepi, membuat sanggar pemujaan. 

Lalu diciptakan Brahma, Wisnu dan 

Maheswara, kemudian turun kedunia, 

berkehendak menciptakan manusia. 

Hyang Iswara menjadi Resi. Hyang 

Brahma menjadi Brahmana. Hyang 

Wisnu menjadi Bhujangga. MereKalah 

kemudian yang diutus oleh Tuhan 

(Sanghyang), (agar) menghaturkan 

sajen, segala jenis sajen yang

lengkap. Sekarang sudah ditegaskan; 

oleh Sanghyang, (bahwa) Brahmana,

Bhujangga, Resi, Siwa dan Sogata, 

(boleh) meruwat sepuluh jenis 

kekotoran.

Berdasarkan uraian dari teks ini   

dijelaskan Sang Hyang Kala marah dan 

turun ke dunia menciptakan Brahma, 

Wisnu dan Maheswara kemudian Sang 

Hyang Kala meminta agar manusia yang 

ada di dunia ini melakukan pemujaan 

dan menghaturkan sesajen, sebagaimana 

yang dijelaskan dalam teks berikut:

Datenge Bhatara Kala, kalih lan 

Bhatari Durga, angadeg ing puspa-kaki, 

ingayap ing wado Kala, garjita tumon 

ing (ta) tadah (an), tan ilang takonakena. 

Ingundang ing japa mantra, tinabuhan 

genta-genti, unung kang genta oragan, 

sangka umung tan pantara. Tutug teka 

ring akasa, siniratan sekar ura, candana 

la (wa)n wija kuning, damar murup 

lawan dhupa. Kukus sakeng dhupa 

panggi, tutug teka ring akasa, mrebuk 

arum kang bhuwana, kongas tekeng 

windu-pada.

 (Purwa Bumi Kamulan ##)

Terjemahan:

Bersantaplah Bhatara Kala bersama 

dengan Bhatari Durga, tuak, nasi, 

dan ikan, berjenis-jenis hidangan 

lengkap. Dan banyak lagi namanya 

yang lain. Kemudian Bhatara Kala 

datang, bersama dengan Bhatari 

Durga, berdiri diatas tangkai bunga, 

dipuja oleh para Kala yang 

merupakan hamba sahayanya, 

sangat senang hatinya, melihat 

hidangan. Diundang dengan 

japamantra, diiringi suara genta 

yang tiada putus-putusnya, suara 

genta oragan riuh, suara sangka riuh 

tidak henti-hentinya. Tembus 

sampai ke angkasa, ditaburi dengan 

bunga-bungaan, cendana dan bija 

berwarna kuning, pedupaan dan 

dupa menyala. Asap dupa panggil 

tembus sampai ke angkasa, bumi 

jadi harum semerbak bahkan sampai 

ke Windu Pada. 

Mulaning hana amuja, kang 

manuseng madhya-pada, tadahan 

Bhatara Kala, kalih lan Bhatari Durga. 

Neher sira siramanya : manusa ring 

madhya-pada, Purnama Kalawan Tilem, 

tan kasapa de Hyang Kala, tan kasapa 

de Hyang Durga, Tan katadah de Hyang 

Kala, lan katadah de Hyang Durga, pan 

sampun sinuddha-mala, deni wastu nira 

Sanghyang. 

 (Purwa Bumi Kamulan ##)

Terjemahan:

(Itulah) awal mulanya adanya 

manusia dibumi memuja,

mempersembahkan sesajen kepada 

Bhatara Kala, dan kepada Bhatari 

Durga.Lalu ia berjanji, bahwa setiap 

Purnama dan Tilem manusia di bumi 

tidak dikutuk olehBhatara Kala dan tidak 

pula dikutuk oleh Bhatari Durga. Tidak 

disantap oleh HyangKala, dan tidak pula 

dimakan oleh Hyang Durga, sebab sudah 

disucikan kekotorannya oleh berkat 

Sanghyang (Tuhan).

Setelah manusia membuat pemujaan 

dan menghaturkan sesajen berupa tuak, 

nasi, ikan dan berjenis-jenis hidangan 

lengkap. Lalu Bhatari Kala dengan 

Bhatari Durga berdiri diatas tangkai 

bunga dan dipuja oleh para bhaktanya. 

Bhatara Kala sangat senang dan 

menyuruh manusia agar setiap purnama 

tilem untuk menghaturkan sesajen 

kepada Bhatara Kala. Jika manusia tidak 

menghaturkan sesajen makan manusia 

akan dimakan oleh Sang Hyang Durga.

Berdasarkan konsep pemeliharaan 

dalam teks Puwa Bumi Kamulan, dalam pemeliharaan didunia ini manusia harus 

senantiasa harus melakukan pemujaaan￾pemujaaan kepada Bhatara-Bhatari agar 

terjadinya keseimbangan dalam dunia 

ini.

Dalam ajaran agama Hindu, tentang 

keseimbangan itu dapat ditemukan 

dalam ajaran Tri Hita Karana. Jaman 

dalam (Nardayana, 2009:188) 

mengemukakan, istilah Tri Hita Karana 

berasal dari bahasa sanskerta, yaitu dari 

kata Tri, Hita dan Karana. Tri berarti 

tiga; Hita berarti baik, senang, gembira, 

lestari; Karana berarti penyebab atau 

sumbernya sebab. Dengan demikian, Tri 

Hita Karana berarti tiga buah unsur yang 

merupakan sumbernya sebab yang 

memungkinkan timbulnya kebaikan. 

Ajaran Tri Hita Karana ini, juga tertuang 

dalam kekawin Ramayana yaitu 

bagaimana Sang Dasaratha berbuat kasih 

kepada sesama mahluk ciptaan Tuhan, 

membuat pemujaan terhadap leluhur, 

dan pemujaan terhadap dewa-dewa. 

Prilaku hubungan yang selaras, serasi 

dan seimbang manusia terhadap 

sesamanya terhadap Tuhannya, terhadap 

alam semesta beserta isinya akan 

menjadikan manusia utama. Dengan 

demikian Tri Hita Karana sebagai 

perwujudan kesejahteraan dan 

Kebahagiaan, dimana ketiga unsur yaitu 

Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan 

(super natural power), manusia 

(microcosmos), dan alam 

semesta/bhuana (macrocosmos) harus 

saling menjaga.

Hal ini   telah menjadi pola 

dasar tatanan kehidupan umat Hindu 

terutama di Bali, yang dijadikan budaya 

perilaku sehari-hari, sehingga muncul 

konsep Tri Hita Karana yang 

mengajarkan pola hubungan yang 

harmoni (selaras, serasi dan seimbang) 

diantara ketiga sumber kesejahteraan 

dan kebahagiaan ini  , yang terdiri 

dari unsur: (1) Parahyangan, harmonis 

antara manusia dengan Sang Pencipta 

(Brahman); (2) Pawongan, harmonis 

antara manusia dengan sesama manusia 

(microcosmos); (3) Palemahan, 

harmonis antara manusia dengan bhuana 

agung (macrocosmos). Berkaitan dengan 

keseimbangan, Bhagavadgȋtā 

menyatakan sebagai berikut:

saha yajnāh prajāh srstvā purovāca 

prajāpatih,

anema prasavisyadhvam esa vo stv 

ista kāma dhuk.

(Bhagavadgȋtā III.10)

Terjemahan:

“Sesungguhnya sejak dahulu 

dikatakan, Tuhan setelah menciptakan 

manusia melalui yajǹa., berkata: dengan 

(cara) ini engkau akan berkembang, 

sebagaimana sapi perah yang memenuhi 

keinginanmu (sendiri)” (Pudja, 

1999:84).

Sapi perahan yang dimaksud di sini 

adalah yang bisa memenuhi segala 

keinginan yaitu tidak lain adalah bumi, 

ibu pertiwi ini. Bunyi sloka ini   

memberikan penegasan bahwa cinta 

kasih seorang ibu terhadap anak￾anaknya yang tiada terputus ibarat cinta 

kasih Ibu Pertivi (alam semesta) yang 

memberikan makanan yang tiada henti￾hentinya kepada semua mahluk hidup

sebagai anak-anaknya sehingga terjadi 

keseimbangan hidup di antara semua 

mahluk.

Manusia hidup di alam semesta ini, 

manusia harus melaksanakan yajǹa. 

Karena manusia diciptakan oleh Tuhan 

Yang Maha Esa melalui yajǹa. Sebagai 

timbal baliknya, manusia harus 

melaksanakan yajǹa. Karena dengan 

adanya yajǹa di alam semesta ini maka 

keseimbangan hidup di dunia ini akan 

terjadi. 

2.3 Struktur Peleburan Dalam Teks 

Dalam Teks Purwa Bhumi 

Kamulan

Mahluk hidup yaitu manusia 

menjadikan dirinya layak untuk 

mendapatkan keabadian dengan 

melewati serangkaian kelahiran dan kematian berulang kali. Perubahan 

badan jasmani bukan berarti terjadinya 

perubahan pada sang roh. Tak satu pun 

penjelmaan yang tetap tinggal abadi, 

sebagaimana yang dikatakan sloka 

berikut:

dehino smim yathā dehe 

kaumāram yauvanam jara

tathā dehāntara praptir dhȋras 

tatra na muhyati

 (Bhagavadgȋtā II.13)

Terjemahan:

“Sebagaimana halnya dengan sang 

roh ada pada masa kecil, masa muda dan 

masa tua demikian juga dengan 

diperolehnya badan baru, orang 

bijaksana tak tergoyahkan” (Pudja, 

1999:39).

Dari sloka ini   dijelaskan 

bahwa setiap mahluk hidup memiliki roh 

individual, mahluk hidup mengganti 

badannya setiap saat. Kadang-kadang ia 

berwujud sebagai anak-anak, kadang￾kadang sebagai anak remaja, dan kadang 

sebagai orang yang tua. Namun roh yang 

sama masih ada dan tidak mengalami 

perubahan apapun. Akhirnya roh 

individual ini   meninggalkan 

badannya pada waktu meninggal dan 

berpindah ke badan lain. Oleh karena 

sang roh pasti akan mendapatkan badan 

lain dalam penjelmaannya yang akan 

datang. 

Dalam kematian mahluk hidup, 

tidak ada yang benar-benar musnah. 

Semuanya adalah perubahan, seperti 

aliran air yang berganti secara terus￾menerus. Atman sebagai Roh Abadi 

yang berdiam di dalam diri setiap 

mahluk, tidak mengalami perubahan. 

Evolusi roh hanyalah sebuah proses 

lanjutan sebagai jalan pembebasan roh 

dari belenggu ketidaksadarannya (māyā 

dan avidyā). Dengan perjalanan secara 

terus-menerus (reinkarnasi), diharapkan 

roh akan semakin sadar akan hakikat 

dirinya yang sejati sehingga bersatu 

kembali kepada Tuhan (Brahman Ătman 

Aikyam).

Teks Purwa Bumi Kamulan yang 

merupakan salah satu lontar yang 

membahas penciptaaan alam semesta ini 

juga membahas pemeliharaan dan 

peleburan yang ada di alam semesta ini, 

sebagaimana yang dijelaskan dalam 

sloka berikut mengenai halnya 

peleburan:

Dinelo Bhatari Uma, satampakira 

Bhatari: hana putih, hana abang, hana 

kuning, hana ireng. Kaget Bhatari Sri 

Uma, agila tuwon ing awak, neher masih 

nadah janma, mangerak masingha￾nada; waja masalit masiyung, tutukilwir 

jurang parah ro; netra kadi Surya 

kembar, irung kadi sumur bandung; 

kuping Iwir leser ing pa 

(ha;roma…agimbal;awak awegah 

aluhur, luhur ira tan pantara; tutug ing 

anda bhuwana, tutug madhya ning 

akasa; sira ta Bhatari Durga, aranira 

duk samana.

 (Purwa Bumi Kamulan ##)

Terjemahan:

Dipandanglah Bhatari Uma, setiap 

yang disentuh oleh Bhatari, ada putih, 

ada merah, ada kuning dan ada yang 

hitam. Tiba-tiba Bhatari Sri Uma 

menjadi murka melihat wujud dirinya, 

lalu tumbuh dorongan untuk memakan 

manusia, lalu berteriak bagaikan singa 

meraung. Gigi dan taringnya panjang. 

Mulutnya bagaikan jurang terbelah dua. 

Mata bagaikan matahari kembar. Hidung 

bagaikan sumur kembar. Telinga 

bagaikan paha berdiri tegak. Rambut 

digulung, badannya tinggi besar, 

tingginya tidak terkira, dari anda 

bhuwana (Bulatan bumi) sampai ke 

pertengahan langit, beliaulah Bhatari 

Durga, namanya saat itu.

Dineleng Bhatari Durga, mentas ta 

saking samudra, sareng lan Bhatara 

Kala, apa ta jalukanira? Abhasma sira 

rudhira, kapala ganitri nira, usus ta 

sandangan-ira, asampet sira bang ireng. 

Ingemban ingiring-iring, dening wado 

Kala nira, tan sah ring pasanak ira, 

angher po sira ring setra. Setra wates 

pabajangan, kepuh randu kurambiyan, 

ingayap ing wado Kala, dremba moha 

nadah janma. Ulih ing anggawe loka, tinadah rahina wengi, binuru inguyang 

uyang, dening wado Kala nira.

 (Purwa Bumi Kamulan ##)

Terjemahan:

Dipandangnya Bhatari Durga, lewat 

samudra, bersama dengan Bhatara Kala. 

Ia menggunakan darah sebagai basma. 

Ganitrinya tengkorak manusia. Usus 

selempangnya. Berselendang berwarna 

merah dan hitam. Diasuh dan diantar 

oleh para hambanya (yang terdiri dari) 

para Kala, tidak jauh dari sanak 

saudaranya, lalu ia menuju kuburan.Di 

perbatasan kuburan anak-anak, (pada) 

pohon kepuh dan randu yang rindang. 

Dipuja oleh para Kala yang menjadi 

hambanya, dengan seperti orang mabuk 

memakan manusia. Upah menciptakan 

dunia, dimakan., siang dan malam,

dikejar dan diperangkap, oleh para Kala 

yang merupakan para hambanya. 

Tinutut sa-paranira, tinadah rahina 

wengi, kuneng kang tinadah ira, enaknya 

anadah jalma. Tan salah tinadah-ira, 

janna wetu wuku carik, wuku wayang 

wuku nira, kadana (n) lawan kadini. 

Pandawa lawan metuwang, tunggak 

wareng, unting-unting, uduh-uduh rare 

bajang, tinadah rahina wengi.

 (Purwa Bumi Kamulan ##)

Terjemahan:

Kemana pergi dikejar, dimakan siang 

dan malam. Adapun manusia yang 

dimakan dengan enaknya. Tidak lain 

yang dimakan adalah orang yang

lahir pada Wuku Carik, yaitu orang yang 

lahir pada Wuku Wayang, lahir kembar 

siam (kadana-kadini), bersaudara lima, 

tunas tunggul (tunggak wareng), unting￾unting (?), (itulah yang) dimakan siang 

dan malam. 

Berdasarkan uraian dari teks ini   

dijelaskan bahwa ketika apapun yang 

disentuh oleh Bhatari Uma akan berubah 

warna manjadi merah, putih, dan hitam. 

Tiba-tiba Bhatari Uma menjadi marah 

dan murka melihat wujud dirinya, lalu 

berteriak bagaikan singa meraung, gigi 

dan taringnya panjang, mulutnya 

bagaikan jurang terbelah dua. Matanya 

bagaikan matahari kembar, Hidungnya 

bagaikan sumur kembar, Beliaulah 

Bhatari Durga, namanya saat itu.

Semua abdi Bhatara Durga dan abdi 

Bhatara kala melakukan yoga, bulu￾bulunya dijadikan sumber kejahatan,

berwujud laki maupun perempuan. 

Dipandangnya Bhatari Durga, lewat 

samudra, bersama dengan Bhatara Kala. 

Lalu Bhatari Durga menggunakan darah 

sebagai basma. Ganitrinya tengkorak 

manusia. Usus selempangnya. 

Berselendang berwarna merah dan 

hitam. Wujud Bhatari Durga pada saat 

itu sangat menyeramkan karena Bhatari 

Durga Dipuja oleh para Kala yang 

menjadi hambanya. Selain itu Bhatari 

Durga juga memakan manusia sebagai 

upah telah menciptakan dunia ini akan 

tetapi tidak semua manusia yang ada di 

dunia ini yang dimakan oleh Bhatari 

Durga. Adapun manusia yang dimakan 

dengan enaknya oleh Bhatari Durga, 

tidak lain yang dimakan adalah orang 

yang lahir pada Wuku Carik, yaitu orang 

yang lahir pada Wuku Wayang, lahir 

kembar siam (kadana-kadini), 

bersaudara lima, tunas tunggul (tunggak 

wareng), unting-unting.








Pengetahuan tentang penciptaan alam semesta atau Kosmologi banyak terdapat 

dalam karya sastra Jawa Kuna yang sangat penting dikaji agar umat Hindu mengetahui 

secara mendalam mengenai Kosmologi yang terdapat dalam karya sastra Jawa Kuna. 

Salah satu karya sastra Jawa Kuna yang mengandung pengetahuan Kosmologi adalah 

Purwa Bhumi Kamulan. Purwa Bhumi Kamulan termasuk kelompok lontar Tattwa. 

Lontar ini berisi ajaran tentang penciptan dunia yang diuraikan secara mitologis. Seluruh 

ajarannya bersifat siwaistik. Proses penciptaan yang diuraikan pada Purwa Bhumi

Kamulan dimulai dari Bhatari Uma lahir dari pergelangan kaki Bhatara Guru. Dari 

kekuatan yoga Bhatara dan Bhatari, lahirlah para Dewata, Panca Rsi, Sapta Rsi sebagai 

isi dunia ini. Setelah itu barulah dunia ini diciptakan. Pemeliharaan (stithi) dalam teks 

Purwa Bhumi Kamulan ketika manusia harus senantiasa harus melakukan pemujaaan￾pemujaaan kepada Bhatara-Bhatari agar terjadinya keseimbangan dalam dunia ini dan 

peleburan (pralina) dalam teks Purwa Bhumi Kamulan ketika Selain itu Bhatari Durga 

juga memakan manusia sebagai upah telah menciptakan dunia ini akan tetapi tidak semua 

manusia yang ada di dunia ini yang dimakan oleh Bhatari Durga. Adapun manusia yang 

dimakan dengan enaknya oleh Bhatari Durga, tidak lain yang dimakan adalah orang yang 

lahir pada Wuku Carik, yaitu orang yang lahir pada Wuku Wayang, lahir kembar siam 

(kadana-kadini), bersaudara lima, tunas tunggul (tunggak wareng), unting-unting.