Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 1. Tampilkan semua postingan

Biksu Budha 1



Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

49

Empat Puluh Satu Arahanta Thera

dan Gelar Etadagga

   

Berikut ini yaitu   kisah dari beberapa Thera yang dikutip dari Ekakaïipàta, Etadagga Vagga dari Komentar Aïguttara 

Nikàya yang dimulai dari kisah Thera Koõóa¤¤a, yang diambil 

dari anggota Saÿgha para Siswa Buddha yang memiliki ciri mulia 

seperti Suppañipannatà.

(1) Thera Koõóa¤¤a

Dalam membahas kisah para Thera ini, penjelasan akan diberikan 

dalam empat tahap: (a) Cita-cita masa lampau, (b) Kehidupan 

pertapaan yang dijalankan dalam kehidupan sekarang, (c) 

Pencapaian spiritualitas istimewa, dan (d) Gelar Etadagga (tertinggi) 

yang dicapai.

(a) Cita-cita masa lampau

Balik ke masa lampau dalam bhadda kappa ini, lebih dari seratus 

kappa yang lalu, muncullah Buddha Padumuttara. sesudah   muncul di 

antara tiga kelompok makhluk, Buddha Padumuttara disertai seratus 

ribu bhikkhu mengumpulkan dàna makanan dengan mengunjungi 

sejumlah desa, kota, dan ibukota kerajaan dengan tujuan untuk 

membebaskan banyak makhluk (dari penderitaan) dan akhirnya 

tiba di Kota (asal) Haÿsàvatã. Ayah Beliau, Raja ânanda, mendengar 

berita baik mengenai kunjungan putranya, dan pergi menyambut 

Buddha bersama banyak pengikutnya. saat   Buddha memberi   

khotbah kepada kerumunan yang dipimpin oleh Raja ânanda, 

beberapa orang menjadi Sotàpanna, beberapa mencapai kesucian 

Sakadàgàmã, beberapa mencapai kesucian Anàgàmã, dan yang 

lainnya mencapai kesucian Arahatta pada akhir khotbah ini  .

Raja lalu   mengundang Buddha untuk makan pada keesokan 

harinya, dan pada keesokan harinya ia mengutus seorang kurir 

untuk menyampaikan pesan kepada Buddha tentang waktu makan. 

Ia memberi   persembahan makanan secara besar-besaran kepada 

Buddha dan seratus ribu bhikkhu di istana emasnya. Buddha 

Padumuttara membabarkan khotbah penghargaan atas persembahan 

makanan ini  , lalu   Beliau kembali ke vihàra. Demikian 

pula, para warga   juga memberi   Mahàdana pada keesokan 

harinya. Pada hari ketiga raja kembali memberi   persembahan. 

Demikianlah, Mahàdana dilakukan oleh raja dan para warga   

bergantian dalam waktu yang lama.

Pada waktu itu, seseorang yang baik, kelak menjadi Koõóa¤¤a, 

terlahir dalam sebuah keluarga kaya. Suatu hari, sewaktu Buddha 

sedang memberi   khotbah, ia melihat para warga   Haÿsàvatã 

membawa bunga, wewangian, dan lain-lain, pergi menuju kediaman 

Tiga Permata dan ia pergi bersama mereka ke tempat Buddha 

membabarkan khotbah.

saat   itu, Buddha Padumuttara sedang menceritakan pertemuan-

Nya dengan seorang bhikkhu tertentu yang merupakan bhikkhu 

pertama dari seluruh bhikkhu ratta¤¤Ã¥ (telah lama bergabung 

dalam Saÿgha) yang menembus Empat Kebenaran dan terbebas 

dari saÿsàra di dalam masa pengajaran-Nya. Saat si orang baik 

ini   mendengar hal itu, ia merenungkan, “Sungguh mulia 

orang itu! Dikatakan bahwa selain Buddha sendiri, tidak ada 

orang lain sebelumnya yang telah menembus Empat Kebenaran. 

Bagaimana jika aku juga menjadi seorang bhikkhu sepertinya dan 

dapat menembus Empat Kebenaran sebelum yang lainnya dalam 

masa pengajaran Buddha mendatang!” Pada akhir khotbah Buddha, 

2425

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

orang baik ini   mendekati Buddha dan mengundang Beliau, 

“Sudilah Buddha Yang Mulia menerima persembahan makanan 

dariku besok!” Buddha menerima undangan ini   dengan 

berdiam diri.

Mengetahui bahwa Buddha telah menerima undangannya, si orang 

baik ini   bersujud kepada Buddha dan kembali ke rumahnya. 

Semalam suntuk ia menghabiskan waktu dengan menghias tempat 

duduk dengan bunga-bunga harum dan juga mempersiapkan 

makanan-makanan lezat. Keesokan harinya ia melayani Buddha 

dan seratus ribu bhikkhu di rumahnya dengan mempersembahkan 

makanan-makanan mewah nasi sàli dan makanan-makanan lainnya. 

saat   acara makan selesai, ia meletakkan kain buatan Negeri 

Vaïga yang cukup untuk membuat tiga helai jubah di kaki Buddha. 

lalu   ia merenungkan, “Aku tidak mencari posisi religius 

yang kecil tetapi aku mencari yang besar. Satu hari memberi   

Mahàdana seperti ini tidaklah cukup untuk mencapai cita-cita 

agung. Oleh sebab   itu aku akan bercita-cita dengan melakukan 

mahàdàna selama tujuh hari berturut-turut.”

Orang baik itu memberi   Mahàdana dengan cara yang sama 

selama tujuh hari. saat   Ritual   persembahan makanan selesai, 

ia membuka gudang kainnya dan meletakkan kain-kain mewah 

dan halus di kaki Buddha dan mempersembahkan tiga helai jubah 

kepada masing-masing dari seratus ribu bhikkhu ini  . lalu   

ia mendekati Buddha dan berkata, “Buddha Yang Agung, seperti 

halnya bhikkhu yang engkau puji sebagai seorang yang bergelar 

Etadagga tujuh hari yang lalu, semoga aku juga dapat menjadi yang 

pertama menembus Empat Kebenaran sesudah   mengenakan jubah 

dalam masa pengajaran Buddha mendatang.” sesudah   mengatakan 

hal itu, ia tetap bersujud dengan cara bertiarap di kaki Buddha.

Mendengar cita-cita orang ini  , Buddha Padumuttara melihat 

ke masa depan, “Orang baik ini telah melakukan jasa yang sangat 

besar. Apakah cita-citanya akan tercapai atau tidak?” Beliau melihat 

dengan jelas bahwa hal itu pasti akan terjadi.

Sesungguhnya tidak ada halangan apa pun, bahkan sekecil atom, 

yang dapat menghalangi pandangan Beliau jika Buddha ingin 

melihat masa lampau atau masa depan atau masa sekarang. Semua 

peristiwa pada masa lampau atau pada masa depan meskipun 

dalam rentang waktu ber-crore-crore kappa, atau semua peristiwa 

pada masa sekarang meskipun dalam jarak ribuan alam semesta, 

semua dapat dilihat dalam perenungan. (Segera saat semua itu 

direnungkan, maka semua hal ini   terlihat dengan jelas.) 

demikianlah dengan kekuatan intelektual-Nya yang tidak dapat 

dihalangi, Buddha Padumuttara melihat dalam pandangan-Nya 

bahwa, “Seratus ribu kappa lalu   akan muncul seorang Buddha 

bernama Gotama, di antara tiga kelompok makhluk. Dan cita-cita 

orang ini akan tercapai!” Mengetahui hal ini, Buddha mengucapkan 

ramalan, “Sahabat, seratus ribu kappa sejak sekarang, seorang 

Buddha bernama Gotama akan muncul di dunia ini. Saat Buddha 

Gotama membabarkan khotbah pertama ‘Roda Dhamma’; pada 

akhir khotbah ini  , Dhammacakkappavattana Sutta, dengan tiga 

fungsinya, engkau akan mencapai Sotàpatti-Phala bersama dengan 

delapan belas crore brahmà.”

Kisah Dua Bersaudara: Mahàkàla dan Cåëakàla

sesudah   melakukan kebajikan seperti memberi   persembahan 

selama waktu seratus ribu tahun, si orang kaya ini  , bakal 

Koõóa¤¤a terlahir kembali di alam surga sesudah   meninggal dunia. Ia 

terlahir kembali di alam dewa dan alam manusia bergantian selama 

sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan kappa. 

(Artinya ia menikmati kehidupan di alam dewa dan manusia selama 

99.909 kappa.) sesudah   hidup dalam waktu yang sangat lama itu, 

sembilan puluh sembilan kappa sebelum kappa Buddha sekarang, 

si orang baik, bakal Koõóa¤¤a, terlahir dalam sebuah keluarga dan 

diberi nama Mahàkala di sebuah desa di dekat gerbang ibukota 

Bandhumatã. Adiknya bernama Cåëakàla.

Pada waktu itu, Bakal Buddha Vipassã meninggal dunia dari Alam 

Surga Tusita dan masuk ke dalam rahim Bandhumatã, permaisuri 

Raja Bandhuma. (Seperti yang telah dijelaskan pada bab tentang 

riwayat dua puluh empat Buddha, ia akhirnya menjadi seorang 

Buddha Mahatahu; saat Mahàbrahmà memohon Beliau untuk 

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

membabarkan Dhamma, Beliau merenungkan kepada siapakah 

Beliau akan membabarkan Dhamma pertama kali. lalu   Beliau 

melihat adik kandung-Nya sendiri Pangeran Khaõóa dan saudara 

sepupunya, pemuda Tissa. “Kedua orang ini,” Beliau memutuskan, 

“mampu menjadi yang pertama menembus Empat Kebenaran.” 

Beliau juga memutuskan, “Aku akan membabarkan kepada mereka. 

Aku juga akan menolong ayah-Ku.” lalu   Beliau melakukan 

perjalanan melalui angkasa dari Mahàbodhi dan turun di Taman 

Rusa Khemà. Beliau memanggil Pangeran Khaõóa dan Tissa, 

membabarkan khotbah kepada mereka, pada akhir khotbah, kedua 

orang itu bersama dengan delapan puluh empat ribu makhluk 

mencapai Kearahattaan.

Delapan puluh empat ribu orang yang mengikuti jejak Bakal Buddha 

Vipasã, mendengar peristiwa ini  , lalu   mendatangi 

Buddha dan mendengarkan Dhamma dan akhirnya berhasil 

mencapai Kesucian Arahatta. Buddha Vipassã menunjuk Thera 

Khaõóa dan Thera Tissa sebagai Siswa Utama dan menempatkan 

mereka di sebelah kanan dan kiri-Nya.

Mendengar berita ini  , Raja Bandhuma menjadi berkeinginan 

untuk memberi hormat kepada putranya Buddha Vipassi, ia pergi 

ke taman, mendengarkan khotbah dan menerima Tiga Perlindungan; 

ia juga mengundang Buddha untuk makan keesokan harinya dan 

pergi sesudah   bersujud kepada Buddha. Setibanya kembali di istana, 

sebuah pemikiran muncul dalam benaknya saat ia duduk di paviliun 

utama, “Putra sulungku telah melepaskan keduniawian dan menjadi 

Buddha. Putra keduaku telah menjadi Siswa Utama di sebelah 

kanan Buddha. Keponakanku, Pemuda Tissa, telah menjadi Siswa 

Utama di sebelah kiri Buddha. Delapan puluh ribu bhikkhu itu 

dulunya melayani putraku sewaktu masih menjadi seorang awam. 

sebab   itu, Saÿgha yang dipimpin oleh putraku dulunya yaitu   di 

bawah kekuasaanku dan demikian pula seharusnya sekarang. Aku 

harus bertanggung jawab untuk menyediakan empat kebutuhan 

kepada mereka. Aku tidak akan memberi   kesempatan kepada 

orang lain untuk melakukannya.” Dengan pikiran demikian, raja 

membangun tembok kayu di kedua sisi jalan yang menghubungkan 

vihàra ke istananya dan lalu   menutupinya dengan tenda; 

2428


ia menggantung karangan-karangan bunga setebal batang pohon 

kelapa dan menghiasnya dengan dekorasi bintang-bintang emas; 

ia juga memasang kanopi. Sebagai lantainya, ia menebarkan batu-

batu yang indah. Di kedua sisi jalan itu di bagian dalam tembok di 

antara tanaman-tanaman bunga, ia menempatkan kendi-kendi air, 

dan meletakkan wewangian-wewangian di antara bunga-bunga 

dan bunga-bunga di antara wewangian-wewangian. lalu   ia 

mengirim pesan kepada Buddha bahwa telah tiba waktunya untuk 

makan. Disertai oleh para bhikkhu, Buddha Vipassã datang ke istana 

melalui jalan yang tertutup dan sesudah   makan, Beliau kembali ke 

vihàra. Tidak ada orang lain yang berkesempatan bahkan sekadar 

melihat Buddha.

Bagaimana orang lain dapat memiliki kesempatan untuk 

mempersembahkan makanan dan memberi hormat kepada Beliau? 

Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang dapat.

lalu   terjadi sebuah diskusi di antara para warga  :

“Saat ini telah tujuh tahun tujuh bulan sejak kemunculan 

Buddha di dunia ini. Tetapi sampai saat ini, kita tidak memiliki 

kesempatan bahkan hanya untuk melihat Buddha, apalagi untuk 

mempersembahkan makanan, memberi hormat dan mendengarkan 

khotbah-Nya. (Kita tidak mendapatkan kesempatan sama sekali.) 

Raja secara pribadi melayani dan memuja Buddha dengan pendapat 

‘Buddha yaitu   Buddhaku, Dhamma yaitu   Dhammaku dan 

Saÿgha yaitu   Saÿghaku.’ Munculnya Buddha yaitu   demi 

kesejahteraan dunia makhluk-makhluk hidup serta para dewa dan 

brahmà, bukan hanya demi kesejahteraan raja. Sesungguhnya, api 

neraka terasa panas bukan hanya bagi raja dan bagaikan teratai biru 

bagi orang lain. Oleh sebab   itu, baik sekali jika raja menyerahkan 

Yang Agung kepada kita (memberi   hak untuk melayani Buddha); 

jika tidak, kami akan berperang melawan raja dan mengambil 

alih Saÿgha agar dapat menanam jasa pada mereka. Marilah 

kita berperang demi hak-hak kita. Tetapi ada satu hal, kita, para 

warga   tidak mampu melakukan hal itu. Marilah kita mencari 

pemimpin yang dapat memimpin kita.”

2429

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Maka mereka menemui jenderal dan secara jujur mengungkapkan 

rencana mereka dan bertanya, “O Jenderal, apakah engkau memihak 

kami atau memihak raja?” lalu   jenderal itu berkata, “Aku 

memihak kalian, tetapi dengan satu syarat: kalian harus memberi   

hari pertama kepadaku untuk melayani Buddha.” Para warga   

menyetujuinya.

Sang jenderal menjumpai raja dan berkata, “Para warga   marah 

denganmu, Tuanku.” saat   ditanya alasannya, ia berkata, “sebab   

hanya engkau sendiri yang melayani Buddha dan mereka tidak 

mendapatkan kesempatan itu. Tuanku, masih belum terlambat. 

Jika mereka diberikan kesempatan untuk melayani Buddha, 

mereka tidak akan marah lagi. Jika tidak, mereka mengancam akan 

berperang denganmu. ”Jenderal, aku akan berperang tetapi aku 

tidak akan menyerahkan Saÿgha.” “Tuanku,” jenderal berkata, 

menempatkan raja dalam posisi yang sulit. “Hambamu mengancam 

bahwa mereka akan mengangkat senjata melawanmu. Siapakah 

yang akan memimpin pertempuran ini?” “Bukankah ada engkau, 

Jenderalku?” tanya raja dengan nada membujuk. “Aku tidak dapat 

melawan rakyat, Tuanku” jenderal berkata.

Sang raja menyadari, “Kekuatan rakyat cukup besar. Jenderal 

juga salah satu dari mereka.” Oleh sebab   itu, ia mengajukan 

permohonan, dengan berkata, “Kalau begitu, sahabat, izinkan aku 

memberi makan Saÿgha hanya selama tujuh tahun tujuh bulan lagi.” 

Tetapi para warga   tidak setuju dan menolak permohonan itu. 

Raja menurunkan permohonannya setahap demi setahap menjadi 

enam tahun, lima tahun dan seterusnya hingga akhirnya menjadi 

tujuh hari. Para warga   akhirnya sepakat, “Sekarang raja hanya 

memohon tujuh hari untuk memberi   persembahan makanan, 

tidak ada gunanya kita keras kepala menyainginya.”

Raja Bandhuma memberi   semua persembahannya selama 

tujuh hari, yang ia rencanakan untuk diberikan selama tujuh 

tahun tujuh bulan. Selama enam hari pertama, ia melakukannya 

tanpa mengizinkan para warga   untuk menyaksikannya; 

tetapi pada hari ketujuh, ia mengundang para warga   dan 

memperlihatkan kebesaran persembahan dàna yang ia lakukan, 

2430


berkata, “Teman-teman, apakah kalian mampu memberi   

dàna sebesar ini?” “Tuanku,” jawab para warga  , “Tetapi dàna 

yang engkau berikan terjadi sebab   bantuan kami, bukan?” dan 

mereka menambahkan, “Ya, kami mampu!” Mengusap air matanya 

dengan punggung tangannya, raja bersujud kepada Buddha dan 

berkata, “Putraku, Buddha Yang Agung, aku memutuskan untuk 

menyokong Engkau dan seratus enam puluh delapan ribu bhikkhu 

dengan mempersembahkan empat kebutuhan seumur hidup tanpa 

bantuan orang lain. Tetapi sekarang aku terpaksa mengizinkan 

para warga   untuk melayani Engkau. Sebenarnya, mereka 

marah kepadaku dan mengeluhkan hilangnya hak-hak mereka 

untuk memberi   persembahan. Putraku, Buddha Yang Agung, 

mulai besok dan seterusnya, sudilah Engkau menolong mereka!” 

Demikianlah ia dengan sedih mengucapkan kata-kata itu.

Hari berikutnya, jenderal memberi   dàna besar kepada Saÿgha 

yang dipimpin oleh Buddha sesuai kesepakatannya dengan para 

warga  .

(Berikut ini yaitu   kisah Saddhàsumanà secara singkat seperti yang 

terdapat dalam Komentar Aïguttara Vol. 3)

Kisah Saddhàsumanà

Pada hari yang menjadi bagiannya, sang jenderal saat mengawasi 

dàna besar yang ia lakukan, mengeluarkan perintah, “Hati-hati, 

jangan sampai ada orang lain yang mengambil kesempatan untuk 

memberi   persembahan bahkan hanya sesendok nasi,” dan ia 

menempatkan pengawal untuk menjaga kawasan itu. Pada hari itu, 

seorang janda dari seorang pedagang kaya Bandhumatã menangis 

dalam kesedihan besar (sebab   ia tidak mendapatkan kesempatan 

untuk memberi   dàna pada hari pertama); ia mengeluh dengan 

sedih, berkata kepada putrinya yang baru pulang dari bermain 

bersama lima ratus teman perempuan lainnya, “Putriku, jika 

ayahmu masih hidup, hari ini aku pasti dapat menjadi yang pertama 

memberi   persembahan makanan kepada Buddha.” Sang putri 

menghibur, “O ibu, jangan khawatir! Aku akan melakukan sesuatu 

agar Saÿgha yang dipimpin oleh Buddha akan menerima dan 

2431

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

memakan makanan dari kita.”

sesudah   itu, sang putri mengisi sebuah mangkuk emas seharga 

seratus ribu dengan nasi susu yang dicampur air. Ia menambahkan 

mentega, madu, gula, dan lain-lain. Ia menutupnya dengan sebuah 

mangkuk emas lain yang diletakkan terbalik dan mengikat kedua 

mangkuk itu dengan karangan bunga melati sehingga terlihat seperti 

sebuah gumpalan bola bunga. saat   Buddha memasuki kota, ia 

membawa makanan itu di atas kepalanya dan meninggalkan rumah 

disertai oleh banyak pelayannya.

Dalam perjalanan itu, terjadi percakapan antara si gadis kaya dengan 

para pengawal.

Pengawal, “Jangan datang ke sini, Gadis!”

Gadis, “Paman! Mengapa kalian tidak mengizinkan aku lewat?” 

(Orang-orang pada masa lampau selalu berbuat kebajikan selalu 

mengucapkan kata-kata yang sopan. Orang lain tidak mampu 

menolak permohonan mereka.)

Pengawal, “Kami harus menjaga atas perintah jenderal agar tidak 

seorang pun yang diizinkan untuk mempersembahkan makanan, 

O Gadis.”

Gadis, “Tetapi, Paman, apakah kalian melihat ada makanan di 

tanganku sehingga engkau menahanku seperti ini?”

Pengawal, “Kami hanya melihat sebuah bola bunga.”

 

Gadis, “Kalau begitu, apakah jenderal kalian berkata bahwa 

mempersembahkan bunga juga tidak boleh?”

Pengawal, “Kalau mempersembahkan bunga, itu diperbolehkan, 

O Gadis.”

Gadis itu lalu   berkata kepada para pengawal, “Kalau begitu, 

pergilah, jangan menghalangiku, Paman,” dan ia pergi mendatangi 

2432


Buddha dan menyerahkan persembahan itu dengan permohonan, 

“Sudilah, Buddha Yang Agung, menerima persembahanku dalam 

bentuk bola bunga ini.” Buddha menatap seorang pengawal, 

memberi   tanda kepadanya untuk mengambilkan bola bunga 

itu. Si gadis bersujud dan berkata,

“Buddha Yang Agung, semoga dalam hidupku di dalam saÿsàra, 

aku terbebas dari segala kekurangan dan kekhawatiran. Semoga 

aku disayangi oleh semua orang bagaikan bola bunga melati ini 

dan diberi nama Sumanà dalam semua kehidupanku pada masa 

depan.”

saat   Buddha menjawab, “Semoga engkau sejahtera dan 

bahagia,” gadis itu bersujud kepada Buddha dengan gembira dan 

meninggalkan tempat itu.

Buddha pergi ke rumah sang jenderal dan duduk di tempat 

yang telah dipersiapkan. Sang jenderal membawa nasi dan 

mempersembahkannya kepada Buddha. Buddha menutup mangkuk 

dengan tangan-Nya. Sang jenderal berpikir bahwa Buddha tidak 

menerima nasi itu sebab   belum semua bhikkhu datang. saat   

semuanya telah berkumpul, sang jenderal melaporkan bahwa 

semuanya telah datang dan telah duduk. Buddha berkata, “Kami 

telah memiliki semangkuk makanan yang kami terima dalam 

perjalanan. saat   rangkaian bunga melati ini   disingkirkan 

dari mangkuk itu, terlihatlah nasi susu yang masih mengepulkan 

asap. lalu   pengawal sang jenderal yang membawakan 

bola bunga ini   berkata, “Jenderal, kami telah ditipu oleh 

seorang gadis yang mengatakan bahwa ini hanyalah bola bunga.” 

Nasi susu itu cukup untuk semua bhikkhu dan Buddha. Hanya 

sesudah   memberi   nasi susu itu kepada Buddha, sang jenderal 

menyerahkan persembahan yang ia persiapkan sendiri. sesudah   

selesai makan, Buddha menyampaikan khotbah penghargaan dan 

lalu   meninggalkan tempat itu.

saat   Buddha telah pergi, sang jenderal bertanya kepada para 

pengawal tentang gadis itu dan diberitahu bahwa ia yaitu   

putri seorang pedagang kaya. “Betapa cerdiknya ia! Jika seorang 

2433

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

perempuan yang sebijaksana itu menjadi ibu rumah tangga, tidaklah 

sulit bagi si bapak rumah tangga untuk mencapai kenikmatan 

surgawi.” sesudah   memuji gadis itu, sang jenderal berusaha untuk 

menikahi gadis itu dan menjadikannya sebagai ibu rumah tangga.

Gadis itu bertanggung jawab atas kekayaan dari kedua rumah, milik 

ayahnya serta milik sang jenderal, ia memberi   dàna kepada 

Buddha hingga akhir hidupnya, dan saat meninggal dunia, ia 

terlahir kembali di alam surga, alam kenikmatan indria. Pada saat 

itu, terjadi hujan bunga melati yang memenuhi seluruh kota surga 

hingga setinggi lutut, “Bidadari surga ini telah memberi   nama 

bagi dirinya sendiri,” semua dewa menamainya “Sumanà Devã.”

Sumanà Devã terhindar dari alam sengsara selama sembilan puluh 

satu kappa, selalu terlahir bergantian di alam dewa dan di alam 

manusia; di alam mana pun ia dilahirkan, terjadi hujan bunga melati 

terus-menerus dan ia tetap bernama Sumanà Devã atau Sumanà 

Kumàrã, dalam masa Buddha kita ini, ia dilahirkan oleh Permaisuri 

Raja Kosala; bersama dengannya, di rumah para menteri raja, 

semua pelayannya terlahir pada hari yang sama dengan kelahiran 

Sumanà. Pada saat itu terjadi hujan bunga melati yang lebat hingga 

setinggi lutut.

Melihat fenomena itu, raja berpikir, “Putriku pasti telah melakukan 

kebajikan istimewa pada masa lampau,” dan ia menjadi sangat 

bergembira. “Putriku telah memberi nama untuk dirinya sendiri.” 

Dan memberinya nama Sumanà. Merenungkan, “Putriku pasti tidak 

lahir sendirian,” sang raja mencari pendamping kelahiran putrinya 

di seluruh kota dan mendengar bahwa lima ratus bayi perempuan 

telah terlahir, sang raja mengambil alih tanggung jawab mengasuh 

dan membesarkan lima ratus bayi ini  . Ia juga memerintahkan 

bahwa setiap bulannya lima ratus anak perempuan ini   harus 

dihadapkan kepada putrinya.

saat   Putri Sumanà berusia tujuh tahun, Buddha disertai oleh 

para bhikkhu datang ke Sàvatthã atas undangan si orang kaya 

Anàthapiõóika, sebab   ia telah menyelesaikan pembangunan Vihàra 

Jetavana. Anàthapiõóika menghadap Raja Kosala dan berkata, 

2434


“Tuanku, kunjungan Yang Agung ke kota kita bermakna besar 

bagimu dan kami. Oleh sebab   itu, mohon izinkan Putri Sumanà dan 

lima ratus pelayannya membawa kendi-kendi air, wewangian, bunga, 

dan lain-lain untuk menyambut Yang Agung.” Sang raja menjawab, 

“Baiklah,” dan melakukan sesuai permintaan si pedagang. Atas 

perintah raja, Sumanà mendekati Buddha dan mempersembahkan 

wewangian, bunga, dan lain-lain lalu   berdiri di tempat yang 

semestinya. saat   Buddha membabarkan khotbah kepada Sumanà 

dalam perjalanan itu, ia dan semua pengikutnya bersama-sama 

mencapai Sotàpatti-Phala; bersamaan dengan mereka, lima ratus 

gadis, lima ratus umat awam perempuan dan lima ratus umat awam 

laki-laki juga mencapai Buah yang sama saat mendengarkan khotbah 

ini  . Demikianlah, dalam perjalanan pada hari kunjungan 

Buddha ke vihàra, sebelum tiba di tempat tujuan, masih dalam 

perjalanan, dua ribu orang menjadi Sotàpatti Ariya.

saat   sang putri beranjak dewasa, Raja Kosala memberi   lima ratus 

kereta dan lambang kerajaan sehingga ia dapat memakai  nya 

untuk melakukan perjalanan, jika ia menginginkan, bersama lima 

ratus pendampingnya. Pada masa itu, ada tiga perempuan yang 

menerima lima ratus kereta dan lambang kerajaan dari orangtua 

mereka. Mereka yaitu   (1) Putri Cundã, putri Raja Bimbisàra, 

(2) Visàkhà, putri si orang kaya Dhana¤caya, dan (3) Sumanà, 

putri Raja Kosala yang kisahnya baru dibahas. Demikianlah kisah 

Saddhàsumanà.

Seperti telah dijelaskan, sehari sesudah   sang jenderal mendapat izin 

dari raja untuk mempersembahkan dàna kepada Buddha secara 

besar-besaran, para warga   mempersiapkan persembahan yang 

lebih besar dari yang diberikan oleh raja dan melakukan mahàdàna 

kepada Saÿgha yang dipimpin oleh Buddha. saat   persembahan 

makanan oleh seluruh kota selesai, para warga   desa di gerbang 

kota mendapat giliran untuk memberi   penghormatan.

lalu   si perumah tangga Mahàkàla berdiskusi dengan adiknya 

Cåëakàla, “Besok yaitu   giliran kita untuk memberi hormat kepada 

Yang Agung. Penghormatan seperti apakah yang akan kita lakukan?” 

“Kakak,” jawab Cåëakàla, “Pikirkanlah apa yang menurutmu baik.” 

2435

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

lalu   Mahàkàla berkata, “Adikku, jika engkau menyetujui 

rencanaku, tanah kita yang luasnya enam belas pai penuh dengan 

padi sàli yang telah berbuah. Bagaimana jika kita akan memetik 

padi muda dari tangkainya itu dan memasak nasi susu untuk Yang 

Agung?” Cåëakàla mengajukan pandangannya, “Kakak, jika kita 

melakukan hal itu, tidak seorang pun yang akan mendapatkan 

manfaat. sebab   itu aku tidak menyetujuinya.”

lalu   Mahàkàla berkata, “Jika engkau tidak setuju, aku akan 

mengambil bagianku,” maka enam belas pai tanah itu dibagi menjadi 

dua, masing-masing seluas delapan pai yang dipisahkan oleh pagar. 

lalu   Mahàkàla memetik padi muda dari tangkainya, dan 

mencampurnya dengan susu murni dan air; ia memasaknya dan 

menambahkan catumadhu ke dalamnya, dan mempersembahkan 

(1) makanan (pertama) kepada Saÿgha yang dipimpin oleh Buddha. 

Anehnya yaitu   dari tangkai yang padinya telah dipetik, penuh lagi 

dengan padi seperti semula. (Ini yaitu   dàna dari padi pertama 

yang terbentuk dari tahap awal pertanian.)

Demikianlah Mahàkàla memberi   dalam Ritual   persembahan 

itu sebagai berikut: (2) porsi pertama dari padi yang setengah tua 

untuk dipanen; (3) porsi pertama dari padi yang cukup tua untuk 

dipanen; (4) porsi pertama dari padi yang telah dipanen; (5) porsi 

pertama dari padi telah diikat; (6) porsi pertama dari padi telah 

diikat dan ditumpuk; (7) porsi pertama dari padi yang telah digiling; 

(8) porsi pertama dari padi yang telah ditampi; (9) porsi pertama 

dari padi yang telah disimpan di dalam lumbung.

Demikianlah, setiap kali ia menanam padi, ia melakukan dàna 

porsi pertama (aggadàna) sembilan kali. Dan jumlah padi yang 

ia hasilkan tidak pernah berkurang sebab   dàna yang ia lakukan; 

malah sebaliknya, jumlah padi meningkat dan bertambah banyak 

daripada sebelumnya. Inilah perbuatan baik Thera Koõóa¤¤a 

sehubungan dengan cita-citanya pada masa lampau.

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Sang perumah tangga baik Mahàkàla, si bakal Thera Koõóa¤¤a, 

2436


melakukan kebajikan demikian sepanjang kehidupan Buddha dan 

sepanjang kehidupannya, dan ia mengembara dari alam manusia 

ke alam dewa dan sebaliknya, menikmati kemewahan dewa dan 

manusia; menjelang kemunculan Buddha kita, ia terlahir dalam 

sebuah keluarga brahmana kaya di perkampungan Brahmana 

Doõavatthu di dekat Kota Kapilavatthu. Pada hari pemberian nama, 

brahmana cilik itu diberi nama Koõóa¤¤a. Ia diberi pelajaran tiga 

Veda dan berhasil menguasai ilmu mengenali tanda-tanda manusia 

luar biasa.

Pada saat Bakal Buddha kita meninggal dunia dari Alam Tusita 

dan memasuki rahim Mahàmàyà, Permaisuri Raja Suddhodana 

dari Kapilavatthu, dan lalu   lahir. Pada hari pemberian nama, 

raja mempersembahkan jubah-jubah baru dan nasi susu manis 

dan murni kepada seratus delapan brahmana. Ia memilih delapan 

brahmana bijaksana di antara seratus delapan brahmana itu dan 

meminta mereka duduk berbaris di halaman istana. lalu   ia 

membawa si pangeran cilik, Bodhisatta, meletakkan Beliau di atas 

sehelai kain katun putih di hadapan para brahmana yang akan 

memeriksa tanda-tanda jasmani Beliau.

Seorang brahmana, yang menempati urutan pertama dalam barisan 

itu, mengacungkan dua jarinya dan meramalkan, “Jika anak ini tetap 

menjadi orang awam, ia akan menjadi seorang raja dunia. Jika Beliau 

menjalani kehidupan pertapaan Beliau pasti akan menjadi seorang 

Buddha di tiga alam!” demikianlah dinyatakan oleh tujuh brahmana 

pertama yang masing-masing mengacungkan dua jari. Dari delapan 

brahmana itu, pemuda Koõóa¤¤a yaitu   yang termuda. saat   

gilirannya tiba untuk meramalkan, ia memelajari tanda-tanda tubuh 

bayi itu dengan saksama dan (sesudah   merenungkan bahwa seorang 

yang akan menjadi seorang Buddha tidak mungkin memiliki tanda-

tanda seorang raja dunia di telapak kaki-Nya dan bayi ini   tidak 

menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan menjadi seorang raja 

dunia.) ia mengacungkan hanya satu jari, dengan tegas meramalkan, 

“Sama sekali tidak mungkin Pangeran ini tetap menjalani kehidupan 

rumah tangga. Pangeran ini pasti menjadi seorang Buddha!”

sesudah   itu, para brahmana bijaksana itu pulang ke rumah mereka 

2437

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

masing-masing dan memanggil putra-putra mereka dan berkata, 

“Putraku, kami sudah tua. Kami mungkin masih hidup atau 

sudah meninggal dunia saat Pangeran Siddhattha, Putra Raja 

Suddhodana, mencapai Kebuddhaan. saat   Pangeran mencapai 

Kebuddhaan, kalian putra-putra kami harus menjadi bhikkhu di 

dalam pengajaran-Nya.”

Raja Suddhodana membesarkan putranya dalam kesenangan yang ia 

berikan dengan perlindungan besar, menyediakan berbagai fasilitas 

dan kenyamanan yang dimulai dari penunjukan para pelayannya. 

saat   Beliau berusia enam belas tahun, Pangeran menikmati 

kemewahan bagaikan dewa dan pada usia dua puluh sembilan saat 

Beliau telah mencapai kematangan dalam hal intelektual, Beliau 

melihat cacat dalam kenikmatan indria dan manfaat dari melepaskan 

keduniawian. Maka pada hari kelahiran putra-Nya, Ràhula, Ia 

melepaskan keduniawian dengan menunggangi kuda kerajaan 

Kaõtaka disertai oleh pendamping kelahiran dan pelayan pribadi-

Nya Channa, Beliau melewati gerbang kota yang dibuka oleh para 

dewa. Dalam satu malam, Beliau melewati tiga kota, Kapilavatthu, 

Koliya, dan Devadaha, dan di tepi Sungai Anomà, Beliau 

mengenakan jubah dan perlengkapan lainnya yang dipersembahkan 

oleh Brahmà Ghañãkàra. Demikianlah Ia tiba di Kota Ràjagaha dalam 

penampilan seperti seorang Thera yang telah bergabung dalam 

Saÿgha selama enam puluh tahun dan berusia delapan puluh tahun. 

sesudah   mengumpulkan dàna makanan. Beliau memakan makanan-

Nya di bawah keteduhan bayangan Bukit Paõóava. Walaupun Raja 

Bimbisàra mengundang-Nya dan menjanjikan akan menyerahkan 

kerajaannya kepada Beliau, Beliau menolak tawaran itu dan saat 

melanjutkan perjalanan, Beliau tiba di Hutan Uruvela. “Oh!” Beliau 

berseru dan berkata, “Tanah yang datar ini sungguh menyenangkan! 

Bagi mereka yang ingin berlatih meditasi, ini yaitu   tempat yang 

ideal.” Dengan perenungan ini, Beliau menetap di hutan itu dan 

memulai latihan meditasi dukkaracariya.

Saat Bakal Buddha kita melepaskan keduniawian, semua brahmana 

bijaksana kecuali Koõóa¤¤a telah meninggal dunia. Koõóa¤¤a 

yang termuda masih dalam kondisi sehat. Mendengar berita bahwa 

Bodhisatta telah melepaskan keduniawian, ia berkunjung ke rumah 

2438


tujuh brahmana yang telah meninggal dunia ini   dan berkata, 

“Dikatakan bahwa Pangeran Siddhattha telah menjadi seorang 

petapa. Tidak diragukan Beliau pasti akan mencapai Kebuddhaan 

yang sesungguhnya. Jika ayah kalian masih hidup, mereka pasti akan 

meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi petapa. Marilah, jika 

kalian juga ingin menjadi petapa. Marilah kita mengikuti teladan 

orang mulia itu dan bersama denganku menjadi petapa. Tujuh orang 

itu tidak sepakat dalam cita-cita mereka. Ada yang tidak menyetujui 

gagasan ini  . Hanya empat orang yang mengenakan jubah di 

bawah pimpinan Koõóa¤¤a.

sesudah   menjadi petapa, Kelompok Lima (Pa¤cavaggãya) 

mengumpulkan dàna makanan di desa-desa dan kota-kota dan 

akhirnya tiba di tempat Bodhisatta. Sewaktu Bodhisatta sedang 

berlatih meditasi menyiksa diri selama enam tahun, mereka 

berharap, “Beliau akan segera mencapai Kebuddhaan! Beliau akan 

segera mencapai Kebuddhaan!” Dengan pikiran demikian, mereka 

melayani Bakal Buddha, tinggal dan pergi bersama Beliau.

Dalam tahun keenam, Beliau menyadari bahwa praktik dukkaracariya 

tidak akan membawa-Nya ke Jalan Mulia dan Buahnya (Ariya 

Magga-Phala) dan melewatkan waktu-Nya dengan hanya memakan 

nasi putih, hanya sebutir biji wijen, dan lain-lain dan Beliau menjadi 

sangat kurus dan lemah, sebab   itu Beliau mengumpulkan makanan 

dari Desa Senànã dan memakan apa pun yang tersedia seperti 

nasi dan kue keras. lalu   Kelompok Lima itu melihat bahwa 

kehidupan semua Bodhisatta telah dinodai oleh Bodhisatta, mereka 

meninggalkan Beliau dan pergi ke Taman Rusa Isipatana.

sesudah   Kelompok Lima meninggalkan Beliau, dengan memakan 

apa pun yang tersedia seperti nasi dan kue keras, kulit, daging, dan 

darah di tubuh Bodhisatta menjadi normal kembali dalam dua atau 

tiga hari. Pada hari purnama, (hari Beliau mencapai Pencerahan 

Sempurna) Beliau memakan nasi susu lezat yang dipersembahkan 

oleh Sujàtà, istri seorang pedagang kaya. lalu   Beliau 

mengapungkan mangkuk-Nya di atas permukaan Sungai Nera¤jarà 

dan memutuskan bahwa Ia pasti akan menjadi Buddha pada hari 

itu juga. Malam harinya, sesudah   dipuji dalam segala cara oleh Raja 

2439

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Nàga Kàla, Beliau pergi ke Mahàbodhi, tempat di mana sebatang 

pohon Bodhi berdiri dan duduk bersila di atas Singgasana Aparàjita, 

tempat duduk yang tidak tergoyahkan, menghadap ke sebelah 

timur alam semesta. sesudah   mengembangkan empat usaha, Beliau 

menaklukkan Màra persis sebelum matahari terbenam, mencapai 

Pubbenivàsa ¥Ã Ãµa pada jaga pertama malam itu, Dibbacakkhu ¥Ã Ãµa 

pada jaga kedua dan, pada jaga ketiga Beliau tercerap dalam ajaran 

Kebijaksanaan Pañiccasamuppàda, merenungkan dengan Vipassanà 

¥Ã Ãµa yang bagaikan intan (Mahàvajirà Vipassanà ¥Ã Ãµa) yang terdiri 

dari dua belas faktor dalam urutan maju dan urutan mundur, dan 

akhirnya mencapai Kebuddhaan, sesudah   mencapai Kemahatahuan 

istimewa (Asàdhàraõa Sabba¤¤uta ¥Ã Ãµa) yang menjadi miliki 

semua Buddha. Di atas singgasana itu, di bawah pohon Mahàbodhi, 

Buddha melewatkan tujuh hari di dalam pencerapan Arahatta-Phala 

Samàpatti.

Demikianlah Buddha berdiam di tujuh tempat dan sebab   

permohonan Brahmà Sahampati, Beliau mempertimbangkan, 

“Kepada siapakah Aku akan membabarkan Dhamma ini untuk 

pertama kali?” lalu   Beliau mengetahui bahwa para guru-

guru-Nya âëàra dan Udaka telah meninggal dunia dan saat   

Beliau memikirkan lebih jauh, Beliau mendapat gagasan, “Kepada 

Kelompok Lima yang telah banyak membantu-Ku. Mereka 

melayani-Ku sewaktu Aku sedang menjalani praktik penyiksaan 

diri. Bagaimana jika Aku membabarkan kepada mereka pertama 

kali.” Gagasan seperti ini dimiliki oleh semua Buddha seperti suatu 

peraturan. Sebenarnya, dengan perkecualian Koõóa¤¤a, tidak 

ada seorang pun yang dapat memahami Empat Kebenaran dalam 

pengajaran Buddha. Sedangkan Koõóa¤¤a, demi kemampuannya 

untuk menjadi yang pertama dalam memahami Empat Kebenaran, 

ia telah melakukan kebajikan yang diperlukan selama seratus 

ribu kappa dan telah memberi   dàna istimewa dalam bentuk 

hasil pertanian yang pertama sembilan kali kepada Saÿgha yang 

dipimpin oleh Buddha seperti telah dijelaskan di atas.

(c) Pencapaian spiritualitas istimewa

Membawa mangkuk dan jubah-Nya, Buddha berjalan menuju 

2440


Taman Rusa Isipatana dan akhirnya tiba di tempat Kelompok Lima 

Bhikkhu. Para bhikkhu melihat kedatangan Buddha dan mereka 

sepakat untuk tidak melakukan kewajiban mereka, tetapi saat 

Buddha semakin dekat, mereka tidak mampu mempertahankan 

kesepakatan mereka: seorang mengambilkan mangkuk dan jubah 

dari Buddha, seorang mempersiapkan tempat duduk; seorang lagi 

mengambilkan air untuk mencuci kaki; yang keempat mencuci kaki 

Buddha; dan yang kelima mengambail kipas daun palem untuk 

mengipasi Beliau; demikianlah mereka memberi   pelayanan 

mereka masing-masing.

saat   Lima Bhikkhu telah duduk di dekat Buddha sesudah   melakukan 

kewajiban mereka, Buddha menyampaikan Dhammacakkappavattana 

Sutta dengan tiga fungsinya kepada Lima Bhikkhu ini   dengan 

Thera Koõóa¤¤a sebagai pendengar utama di hadapan Beliau.

Nama Baru untuk Thera: A¤¤Ã si Koõóa¤¤a

Pada waktu itu Buddha berpikir, “sebab   Petapa Koõóa¤¤a berhasil 

menjadi yang pertama dalam menembus Empat Kebenaran yang 

Kutemukan dengan ribuan kesulitan, ia layak diberi nama A¤¤Ã si 

Koõóa¤¤a,” dan sebab   itu Beliau mengucapkan, “A¤¤Ã si rata bho 

Koõóa¤¤o; a¤¤Ã si vata bho Koõóa¤¤o!” (“Oh, Koõóa¤¤a telah 

memahami Empat Kebenaran! Oh, Koõóa¤¤a telah memahami 

Empat Kebenaran!”) sebab   ucapan Beliau ini, Yang Mulia 

Koõóa¤¤a dikenal sebagai A¤¤Ã si Koõóa¤¤a, “Koõóa¤¤a yang 

menembus”, sejak saat itu.

(d) Gelar Etadagga

Demikianlah Yang Mulia Koõóa¤¤a menjadi seorang Sotàpanna 

pada hari purnama di bulan âsàëha (Juni-Juli) tahun 103 Mahà 

Era (tahun yang sama saat Buddha mencapai Kebuddhaan). Sehari 

sesudah   purnama, Thera Bhaddiya menjadi Sotàpanna; dua hari 

sesudah   purnama Thera Vappa, tiga hari sesudah   purnama Thera 

Mahànàma, empat hari sesudah   purnama Thera Assaji mencapai 

Buah yang sama. Lima hari sesudah   purnama, pada akhir pembabaran 

Anattalakkhaõa Sutta, seluruh anggota dari Kelompok Lima ini   

2441

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

mencapai Arahatta-Phala. Pada waktu itu, terdapat enam orang 

Arahanta di dunia ini, Buddha dan Kelompok Lima Thera.

Mulai saat itu, Buddha membantu banyak orang untuk mencapai 

Ariya Magga dan Phala, lima puluh lima sahabat yang dipimpin oleh 

Yasa, putra seorang pedagang kaya, tiga puluh tiga Pangeran Bhadda 

di Hutan Kappàsika, seribu orang mantan petapa di Gayàsãsa dan 

lain-lainnya. sesudah   membantu banyak orang mencapai Jalan Mulia 

dan Buahnya, pada hari purnama di bulan Phussa (Desember-

Januari) pada tahun yang sama, Buddha tiba di Ràjagaha dan 

membantu seratus sepuluh ribu brahmana perumah tangga yang 

dipimpin oleh Raja Bimbisàra mencapai Sotàpatti-Phala dan sepuluh 

ribu perumah tangga berlindung di dalam Tiga Perlindungan. 

sesudah   mengajarkan ajaran-Nya hingga mekar berlimpah dan 

berbuah, dengan delapan keindahan dan Tiga Latihan, di seluruh 

JambÃ¥dãpa, seluruh permukaan daratan Beliau sinari dengan warna 

jubah dan seluruh wilayah tertiup oleh angin kencang yang berasal 

dari para bhikkhu dan para mulia lainnya. Selanjutnya, saat Beliau 

tiba di Vihàra Jetavana di Kota Sàvatthã dan sewaktu berdiam di sana 

dan duduk di atas Mimbar Dhamma, tempat duduk seorang Buddha, 

saat Beliau menyampaikan khotbah tentang jalan Pembebasan, 

Beliau berkeinginan untuk mengungkapkan bahwa putra tertua-Nya 

Koõóa¤¤a yaitu   yang terbaik dari semuanya yang pertama kali 

menembus Empat Kebenaran, dan Beliau mengucapkan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ ratta¤¤Ã¥naÿ 

yadidaÿ a¤¤Ã si koõóa¤¤o,” “O para bhikkhu, dari seluruh para 

bhikkhu siswa-Ku yang telah lama di dalam Saÿgha (ratta¤¤Ã¥) 

A¤¤Ã si Koõóa¤a yaitu   yang terbaik.” Demikianlah kata-kata 

pujian terhadap Thera, Buddha menganugerahkan gelar Ratta¤¤Ã¥ 

Etadagga kepadanya.

(Di sini, ‘ratta¤¤Ã¥’, arti sebenarnya yaitu   ‘seorang yang mengetahui 

waktu malam’, yaitu, ‘seseorang yang telah melewati banyak malam 

sejak ia melepaskan keduniawian’. Dalam masa pengajaran Buddha 

tidak ada orang lain yang menembus Empat Kebenaran lebih dulu 

daripada Koõóa¤¤a. sebab   itu Koõóa¤¤a yaitu   seorang yang 

mengetahui banyak malam (yaitu, yang telah hidup selama banyak 

2442


tahun) sejak ia menjadi seorang bhikkhu. (Berdasarkan penjelasan 

ini, seorang individu ratta¤¤Ã¥ artinya yaitu   ‘yang paling senior 

dalam hal kebhikkhuan’.

Atau, sebab   Thera Koõóa¤¤a menembus Empat Kebenaran 

sebelum semua orang lainnya, sejak penembusannya, ia telah 

melewati banyak malam. Berdasarkan kata-kata ini, arti ratta¤¤Ã¥ 

yaitu   ‘yang paling dahulu mengetahui Empat Kebenaran’.

Atau, sebab   semua Arahanta selalu sadar siang dan malam, ia 

mendapat gelar rata¤¤Ã¥, ‘seorang yang sadar akan siang dan malam’. 

sebab   Thera Koõóa¤¤a yaitu   yang paling dahulu menjadi 

Arahanta, ia mengetahui lebih jelas dari Arahanta ratta¤¤Ã¥ lainnya 

dalam hal pembagian waktu).

Thera A¤¤Ã si Koõóa¤¤a sesudah   Pencapaian Kearahattaan

Thera A¤¤Ã si Koõóa¤¤a mencapai kesucian Arahatta pada hari 

kelima sesudah   purnama pada bulan âsaëha. Pada hari purnama 

bulan Phussa di tahun yang sama, Buddha tiba di Ràjagaha dan 

pada hari pertama di bulan Màgha (Januari-Februari), bakal Siswa 

Utama (Sàriputta dan Moggallàna) mengenakan jubah. Pada hari 

ketujuh Yang Mulia Moggallàna menjadi Arahanta dan Yang 

Mulia Sàriputta juga menjadi Arahanta pada hari purnama bulan 

itu. Dengan demikian lengkaplah kelompok para Arahanta, yaitu 

Siswa Utama, Siswa Besar, dan Siswa Biasa, dalam masa pengajaran 

Buddha, semuanya pergi mengumpulkan dàna makanan (berbaris 

sesuai urutan senioritas). saat   Buddha membabarkan khotbah, 

Beliau duduk di atas Mimbar Dhamma, tempat duduk Buddha yang 

dihias di tengah-tengah Dhammasala. Jenderal Dhamma, Thera 

Sàriputta, duduk di sebelah kanan Buddha dan Thera Moggallàna 

di sebelah kiri Buddha.

Di belakang kedua Siswa Utama, sebuah tempat duduk disediakan 

untuk Yang Mulia Koõóa¤¤a. Para bhikkhu lainnya mengambil 

tempat duduk di sekeliling Thera. sebab   Koõóa¤¤a yaitu   yang 

pertama memahami Empat Kebenaran di dalam masa pengajaran 

Buddha dan sebab   ia juga senior dalam hal usia, kedua Siswa 

2443

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Utama juga menghormatinya, mereka menganggapnya sebagai 

Mahàbrahmà, seperti api yang berkobar besar, atau bagaikan 

ular nàga yang berbisa; mereka merasa segan meskipun mereka 

menempati tempat duduk di depan. Mereka juga merasa malu. 

Thera Koõóa¤¤a lalu   merenungkan, “Demi tempat duduk 

bagian depan ini, kedua Siswa Utama telah memenuhi Pàramã 

selama satu asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa. Meskipun mereka 

menduduki tempat itu, mereka kurang percaya diri, dan merasa 

malu. Aku akan membuat mereka merasa nyaman.” Itulah alasannya 

(mengapa tempat duduknya tidak digunakan.)

Selain itu, Koõóa¤¤a yaitu   seorang Thera yang sangat dihormati. 

Seperti halnya kemuliaan Buddha. Kemuliaan Thera juga menyebar 

ke seluruh penjuru dunia ini serta para dewa dan brahmà dari 

sepuluh ribu alam semesta. Oleh sebab   itu, para dewa dan manusia 

yang mengunjungi dan memberi hormat kepada Buddha dengan 

wewangian, bunga dan lain-lain, mereka akan segera (sesudah   itu) 

mendekati Thera Koõóa¤¤a dan memberi hormat kepadanya, 

mengingat, “Yang Mulia ini yaitu   yang pertama memahami ajaran 

istimewa Empat Kebenaran.” Juga ada kebiasaan religius, yang mana 

jika ada bhikkhu tamu, mereka akan berdiskusi Dhamma atau saling 

bertukar sapa. Sedangkan bagi Thera, ia lebih menyukai berdiam 

di dalam pencerapan Phala Samàpatti (Ariya vihàra). Oleh sebab   

itu, baginya diskusi Dhamma dan berbincang-bincang yaitu   hal 

yang tidak berguna. Ini yaitu   alasan lainnya.

sebab   dua alasan ini, Thera lebih menyukai berada jauh dari 

Guru. Ia meramalkan bahwa keponakannya, pemuda Puõõa, putra 

seorang brahmana perempuan Mantàõã, akan menjadi seorang 

penceramah Dhamma (Dhamma-kathika) yang terkenal, ia pergi 

ke perkampungan Brahmana Doõavatthu dan menahbiskan 

keponakannya menjadi seorang bhikkhu dan membantunya menjadi 

seorang siswa yang menetap bersama guru (antevàsika) dengan 

pikiran agar ia dapat berada dekat dengan Yang Agung. lalu   

ia mendekati Buddha dan mengajukan permohonan, “Buddha 

Yang Agung, bagiku pemukiman ramai tidak cocok untukku. Aku 

tidak dapat menetap bersama kaum awam. Oleh sebab   itu sudilah 

mengizinkan aku untuk menetap di Hutan Chaddanta.” Dan izin 

2444


ini   diberikan oleh Buddha.

sesudah   mendapat izin dari Buddha, Thera Koõóa¤¤a melipat alas 

tidurnya, dan membawa mangkuk serta jubahnya, ia pergi ke Danau 

Maõóàkinã di Hutan Chaddanta. Di kawasan Chaddanta, delapan 

ribu ekor gajah, yang telah berpengalaman dalam melayani para 

Pacceka Buddha dan yang berumur panjang seperti hantu, merasa 

bahagia dengan pikiran, “Lahan subur yang luas telah mendatangi 

kami sehingga kami dapat menanam benih kebajikan.” Maka mereka 

meratakan tanah dengan kaki-kaki mereka dan membersihkan 

rumput-rumput untuk membuat jalan bagi Thera; mereka juga 

membersihkan ranting dan dahan-dahan yang berada di sepanjang 

jalan Thera dan sesudah   membersihkan tempat tinggal Thera, 

delapan ribu ekor gajah itu berdiskusi:

“Teman-teman, jika kita mengharapkan, ‘Gajah ini akan melakukan 

apa yang diperlukan untuk Thera’ atau ‘Gajah itu akan melakukan 

hal ini untuknya.’ Thera akan kembali ke tempat tinggalnya dari 

kegiatan mengumpulkan dàna makanan dengan mangkuknya 

yang telah dicuci seperti sebelumnya seolah-olah ia pergi 

mengunjungi desa sanak saudaranya. Oleh sebab   itu, marilah 

kita melayaninya bergiliran tanpa lalai. Kita harus melakukannya 

dengan saksama khususnya saat tiba giliran dari gajah tertentu 

(tanpa mengabaikannya dengan pikiran itu bukan tugasku).”

Dan demikianlah mereka bergiliran melayani Thera. Gajah yang 

bertugas akan menyiapkan air untuk mencuci muka, dan ranting 

untuk menyikat gigi. Pengaturannya berjalan sebagai berikut. Gajah 

yang sedang bertugas, membuat api dengan menggosokkan kayu 

kering yang dapat terbakar dengan mudah seperti kayu pinus. 

Dengan api ini, ia akan memanaskan batu dan menggelindingkannya 

dengan memakai   tongkat kayu ke dalam baskom batu yang 

berisi air.

sesudah   air ini   terasa cukup panas, ia akan meletakkan sikat 

gigi yang terbuat dari tongkat kayu api. lalu   gajah yang sama 

akan menyapu gubuk meditasi yang merupakan tempat tinggal 

Thera di bagian dalam dan bagian luar dengan sapu yang terbuat 

2445

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

dari ranting pohon. Ia juga akan melakukan tugas-tugas (lainnya) 

termasuk menyiapkan makanan untuk Thera.

Danau Maõóàkinã tempat Thera menetap luasnya lima puluh yojanà. 

Di bagian tengah yang luasnya dua puluh lima yojanà, bebas dari 

tanaman ganggang dan tanaman air lainnya. Airnya jernih, dan di 

bagian tepi danau itu yang kedalaman airnya setinggi pinggang, 

terdapat banyak tanaman teratai putih dengan lebar setengah yojanà 

mengelilingi danau itu yang luasnya lima puluh yojanà; di sebelah 

lapisan teratai putih ini   terdapat bunga teratai paduma merah, 

yang lebarnya juga setengah yojanà; lalu   terdapat lapisan 

teratai kumudra putih yang lebarnya juga setengah yojanà; … 

teratai biru …; teratai merah…; …ladang padi merah…; …tanaman 

merambat yang dipenuhi dengan sayur-mayur yang lezat seperti 

ketimun, kundur, labu, dan lain-lain yang lebarnya setengah yojanà; 

di sebelah lapisan itu terdapat tanaman tebu yang juga setengah 

yojanà lebarnya mengelilingi danau. Batang tebu yang tumbuh di 

sana besarnya seperti pohon pinang.

Di sebelah kumpulan tanaman tebu terdapat hutan pohon-pohon 

pisang yang lebarnya juga setengah yojanà mengelilingi danau. 

Mereka yang kebetulan memakan dua buah pisang atau lebih akan 

menderita, merasa kaku dan tidak nyaman sebab   kekenyangan; di 

sebelah barisan pohon pisang ini   terdapat hutan pohon nangka 

yang buahnya sebesar kendi besar; di sebelahnya lagi terdapat hutan 

pohon jambu; di sebelahnya lagi terdapat hutan pohon mangga; 

demikianlah seterusnya di danau itu terdapat banyak hutan pohon 

buah-buahan. Singkatnya, tidak dapat dikatakan bahwa tidak 

terdapat buah-buahan yang dapat dimakan di sekeliling Danau 

Maõóakinã. Sebalikya terdapat segala jenis buah-buahan di sana.

Selama musim berbunga, angin bertiup, membawa serbuk sari 

dari bunga-bunga yang mekar dan meletakkannya di atas daun-

daun teratai. Tetesan air jatuh di atas daun-daun itu. sebab   panas 

matahari, serbuk sari ini   menjadi matang dan menjadi susu 

keras yang disebut madu teratai yang lalu   diambil oleh gajah 

secara bergiliran dan diberikan kepada Thera.

2446


Tangkai-tangkai teratai besarnya seperti batang pohon kayu atau 

genderang besar. Tangkai-tangkai itu juga diambil oleh gajah dan 

diberikan kepada Thera. Tiap-tiap tangkai itu mengandung sekitar 

satu pattha susu teratai. Susu teratai itu juga dibawa oleh gajah dan 

diberikan kepada Thera.

Gajah-gajah itu mencampur susu teratai ini   dengan madu 

lalu   mempersembahkannya kepada Thera. Hewan-hewan itu 

meletakkan batang-batang tebu yang sebesar pohon pinang, di atas 

batu datar dan menghancurkannya dengan menginjak-injak tebu 

ini  . Sari tebu ini   lalu   mengalir ke dalam cangkir 

batu dan sebab   panas matahari sari tebu ini   menjadi gula 

tebu yang mengeras seperti susu keras. Gajah ini   lalu   

membawa kue-kue gula ini   dan mempersembahkannya kepada 

guru mereka.

Di Bukit Kelàsa di Himavanta tinggal satu dewa bernama Nàgadatta. 

Yang Mulia Thera kadang-kadang berjalan hingga di depan pintu 

istananya. Dewa itu akan mengisi mangkuk Thera dengan nasi susu 

murni yang terbuat dari mentega yang baru dibuat dan bubuk madu 

teratai, dewa itu memberi   Dàna mentega harum dan manis serta 

susu selama dua puluh ribu tahun dalam masa kehidupan Buddha 

Kassapa. sebab   itu, nasi susu murni itu yang terbuat dari mentega 

dan bubuk madu teratai selalu tersedia baginya sebagai makanan. 

Demikianlah, Thera Koõóa¤¤a menetap di dekat Danau Maõóakinã 

di Hutan Chaddanta. saat   ia merenungkan proses-kehidupannya 

(àyusaïkhàra), ia mengetahui bahwa hidupnya akan segera berakhir. 

saat   ia merenungkan lebih jauh lagi tentang di manakah ia harus 

meninggal dunia, ia berpikir, “Delapan ribu gajah ini yang telah 

melayaniku dengan baik, selama dua belas tahun mereka telah 

melakukan apa yang sulit dilakukan. Aku sangat berterima kasih 

kepada mereka. Pertama-tama aku akan menghadap Buddha, 

memohon izin untuk meninggal dunia dan mencapai Parinibbàna 

dan aku akan meninggal dunia di dalam gubuk meditasi di dekat 

kawanan gajah ini.” sesudah   memutuskan demikian, ia melakukan 

perjalanan melalui angkasa menuju Vihàra Veëuvana di Ràjagaha dan 

menghadap Buddha. Ia bersujud dengan kepalanya menyentuh kaki 

Buddha dan menghisap jari kaki Buddha dengan mulutnya; ia juga 

2447

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

merangkulkan tangannya ke kaki Buddha dengan penuh semangat. 

lalu   ia menyebutkan namanya dalam permohonannya kepada 

Buddha, “Buddha Yang Agung! Aku Koõóa¤¤a. Yang Selalu Berkata 

Benar, aku Koõóa¤¤a.”

(Di sini alasan Konóa¤¤a Thera menyebutkan namanya yaitu  : 

Pada waktu itu, di antara para bhikkhu yang mengelilingi Buddha, 

beberapa Thera senior mengenalnya sedangkan para bhikkhu muda 

tidak mengenalnya. Oleh sebab   itu, Thera berpikir, “Para bhikkhu 

yang masih baru yang tidak mengenalku mungkin akan mencelaku 

dengan pikiran siapakah yang berambut putih, bongkok, ompong, 

dan renta ini? Siapakah dia yang sedang berbicara dengan Buddha? 

Para bhikkhu muda ini, yang salah paham terhadapku, akan terlahir 

di alam sengsara. Jika aku menyebutkan namaku, mereka yang tidak 

mengenalku akan segera mengetahui siapa aku. Demikianlah, dua 

kelompok bhikkhu—bhikkhu tua yang mengenalku dan bhikkhu 

muda yang akan mengetahui namaku—akan gembira dan yakin 

dengan pikiran, “Ah, inilah seorang Siswa Besar (Mahàsàvaka) 

yang telah melepaskan keduniawian seperti Buddha Yang Agung 

di seluruh sepuluh ribu alam semesta, hal ini akan mengantarkan 

mereka ke alam dewa.” Untuk menutup jalan menuju alam sengsara 

dan membuka jalan menuju alam dewa bagi banyak makhluk, Thera 

mengungkapkan namanya saat menghadap Buddha.)

Pada waktu itu, muncullah dalam pikiran Thera Vaïgãsa, “Yang Mulia 

A¤¤Ã si Koõóa¤¤a mengunjungi Buddha sesudah   dua belas tahun; 

ia menyentuh kaki Bhagavà dengan kepalanya dan menghisap kaki 

Bhagavà dengan mulutnya. Dan ia juga merangkulkan tangannya 

ke kaki Bhagavà. Menyebutkan namanya, berkata, “Buddha Yang 

Agung! Aku Koõóa¤¤a. Yang Selalu Berkata Benar, aku Koõóa¤¤a.” 

Bagaimana jika aku menyanyikan syair pujian terhadap Thera di 

hadapan Buddha.” Maka ia bangkit dari duduknya, membetulkan 

jubahnya sehingga menutupi satu bahunya, merangkapkan kedua 

tangan ke arah Buddha dan berkata, “Buddha Yang Agung! Syair 

ini (pañibhànagàthà) muncul di kepalaku! Yang Selalu Berkata Baik, 

syair ini mendadak muncul dalam kepalaku!”

Selanjutnya Buddha mengabulkannya dengan berkata, “Putra-Ku, 

2448


Vaïgãsa, engkau boleh memiliki syair yang baik di kepalamu jika 

engkau menginginkannya.” Maka, Thera Vaïgãsa menyanyikan 

syair yang sesuai sebagai pujian terhadap Yang Mulia Thera 

Koõóa¤¤a di hadapan Buddha sebagai berikut:

1. Buddha’nu buddho so thero 

 Koõóa¤¤o tibbanikkamo 

 Làbhi sukha-vihàrànaÿ 

 vivekànaÿ abhiõhaso.

“Sang Thera yang dikenal dengan nama suku Koõóa¤¤a dan yang 

mengunjungi Buddha Yang Teragung dan Termulia juga dikenal 

sebagai Nubuddha, sebab   ia yaitu   yang pertama memahami 

Empat Kebenaran yang mendalam, yang direnungkan melalui 

kecerdasan Buddha. Ia memiliki usaha benar yang istimewa 

dan kuat. Ia mencapai tiga bentuk kesunyian tanpa terputus, 

perlengkapan bagi makhluk yang berbahagia.”

2. Yaÿ sàvakena pattabba 

 satthu Sàsana kàrinà 

 Sabbassa taÿ anuppattaÿ 

 appamattassa sikkhato.

“Saÿgha yang terdiri dari para siswa mulia yang mengikuti usaha 

Buddha pasti mencapai Empat Jalan, Empat Buah, Pengetahuan 

Analitis, dan lain-lain, melalui kebijaksanaan mereka. Pribadi 

yang tertinggi dan mulia, Yang Mulia Thera Koõóa¤¤a, mencapai 

seluruhnya—semua Jalan, Buah, Pengetahuan Analitis, dan lain-lain, 

mendahului semua siswa lainnya dengan mulus didukung oleh 

berbagai fasilitas yang diperlukan, sebab   ia memiliki perhatian 

dan praktik yang tekun di dalam Tiga Latihan.”

3. Mahànubhàvo tevijjo 

 ceto pariyàya kovido 

 Koõóa¤¤o buddhadàyàdo 

 pàde vandati satthuno,

“Sang Thera yang dikenal dengan nama suku Koõóa¤¤a, yang 

2449

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

sangat berkuasa, yang jelas memiliki Tiga Pengetahuan, Pu, Di, 

dan â, yang memiliki Cetopariya Abhi¤¤Ã , ia mengetahui semua 

aktivitas batin, yang menjadi yang pertama dan terunggul dalam 

mewarisi sembilan harta Lokuttara Buddha, dengan penuh hormat 

bersujud di kaki teratai Buddha dengan menyentuh kaki Buddha 

dengan kepalanya, menghisapnya (dengan mulutnya), dan 

merangkulnya dengan tangannya.”

saat   syair ini dinyanyikan, kesunyian menguasai kerumunan itu. 

Menyadari kesenyapan itu, Thera Koõóa¤¤a berbincang-bincang 

dengan Buddha dan memohon izin, “Buddha Yang Agung, proses 

kehidupanku segera akan berakhir. Aku akan segera meninggal 

dunia dan mencapai Parinibbàna.” “Di manakah engkau akan 

meninggal dunia dan mencapai Parinibbàna, putra-Ku Koõóa¤¤a?” 

Buddha bertanya. Thera menjawab, “Buddha Yang Agung, gajah-

gajah yang melayaniku selama dua belas tahun telah melakukan 

hal-hal yang sulit dilakukan. Oleh sebab   itu aku ingin meninggal 

dunia dan mencapai Parinibbàna di dekat gajah-gajah itu di danau 

di dalam Hutan Chaddanta.”

(Di sini, saat Thera Koõóa¤¤a mengajukan permohonan untuk 

mencapai Parinibbàna, jika permohonannya tidak dikabulkan, akan 

muncul anggapan bahwa Thera bergembira di dalam lingkaran 

penderitaan di tiga alam yang Beliau sendiri mengajarkan merupakan 

suatu hal yang menyakitkan. Sebaliknya, jika Beliau mengabulkan, 

akan muncul anggapan bahwa Buddha mendukungnya untuk 

meninggal dunia. Untuk menghindari kedua anggapan ini, Buddha, 

mengambil jalan tengah, bertanya, “Di manakah engkau akan 

meninggal dunia dan mencapai Parinibbàna?”)

Selanjutnya Yang Mulia Thera bersujud kepada Buddha dan 

berkata, “Buddha Yang Agung, dulu sewaktu Engkau berlatih 

dukkaracariya kami mengunjungi Engkau untuk pertama kali untuk 

melayani Engkau, sujudku pertama kali kulakukan di Taman Rusa. 

Sekarang yaitu   yang terakhir!” Sewaktu banyak orang sedang 

bersedih, Thera bersujud kepada Buddha, mundur dari hadapan 

Beliau dan berdiri di depan pintu, menasihati orang-orang, “Jangan 

bersedih! Jangan berduka! Tidak ada satu pun di antara semua 

2450


yang berkondisi, entah para Buddha atau para siswa, yang tidak 

akan hancur.” Sewaktu orang-orang menatapnya, Thera melayang 

ke angkasa dan turun kembali di dekat danau di dalam Hutan 

Chaddanta, di sana ia mandi. Selanjutnya ia mengenakan jubahnya 

dengan benar, menyingkirkan alas tidurnya dan melewatkan tiga 

jaga pertama malam itu dengan berdiam di dalam meditasi Phala 

Samàpatti. (Ia tercerap dalam Phala Samàpatti sepanjang malam 

itu.) Menjelang pagi, sebelum terang, Thera memasuki Anupàdisesa 

Parinibbàna.

Segera sesudah   Thera memasuki Parinibbàna, semua pohon-pohon 

di Himavanta memekarkan bunga-bunga dan buah-buah di atas 

hingga di bawah pohon, mereka juga merunduk. Gajah yang hari itu 

mendapat giliran untuk melayani Thera, melakukan tugas-tugasnya 

seperti biasa, menyediakan air untuk mencuci muka dan sikat gigi 

dari ranting dan berdiri di ujung tembok tidak mengetahui bahwa 

Thera telah Parinibbàna. Tidak melihat Thera keluar walaupun ia 

telah menunggu hingga matahari terbit, gajah itu mulai bertanya-

tanya, “Sang Thera mulia biasanya melakukan jalan-jalan pagi dan 

biasanya mencuci muka. Tetapi sekarang ia tidak keluar dari tempat 

tinggalnya bahkan sesudah   matahari terbit. Ada apakah gerangan?” 

maka ia membuka pintu tempat tinggal Thera lebar-lebar untuk 

melihat ke dalam, ia melihat Thera sedang duduk. Ia menjulurkan 

belalainya untuk merasakan apakah masih ada napas masuk 

dan keluar dan mengetahui bahwa tidak ada napas sama sekali. 

lalu   ia menyadari bahwa Thera telah memasuki Parinibbàna, 

ia memasukkan belalainya ke dalam mulutnya dan memekik keras. 

Suara pekikannya bergema di seluruh Himavanta.

Para gajah berdiskusi dan sepakat. Jenazah Thera diletakkan di atas 

tubuh gajah yang paling besar. Gajah-gajah lainnya mengelilinginya, 

masing-masing memegang ranting yang penuh dengan bunga. 

sesudah   berulang-ulang mengelilingi Himavanta dan memberi 

hormat, mereka membawa jenazah itu ke danau di dalam Hutan 

Chaddanta.

lalu   Sakka memanggil Dewa Visukamma dan memberi   

perintah, “Visukamma! Saudara tua kita, Yang Mulia Koõóa¤¤a, 

2451

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

telah meninggal dunia dan memasuki Parinibbàna. Marilah 

kita memberi hormat kepadanya. Ciptakanlah sebuah peti mati 

berukuran sembilan yojanà dan hiaslah dengan kubah!” Visukamma 

menjalani perintah itu, jenazah Thera diletakkan di dalam peti mati 

dan dikembalikan kepada para gajah.

Membawa peti mati itu bersama-sama dan berulang-ulang 

mengelilingi seluruh kawasan Himavanta yang luasnya tiga ribu 

yojanà. Demikianlah gajah-gajah itu memberi   penghormatan. 

Dari kawanan gajah, peti mati itu diambil alih oleh para dewa di 

angkasa yang melakukan Ritual   pemakaman. Selanjutnya diambil 

alih lagi oleh para dewa hujan, para dewa di awan dingin, dan 

para dewa di awan panas, para Dewa Catumahàràjika, para Dewa 

Tàvatiÿsa dan seterusnya. Demikianlah peti mati berkubah itu yang 

berisikan jenazah Thera naik hingga ke alam bràhma. lalu   

para bràhma mengembalikannya kepada para dewa dan akhirnya 

kepada kawanan gajah.

Tiap-tiap dewa atau brahmà membawa dua potong kayu cendana, 

yang berukuran sebesar dua jari. Tumpukan kayu cendana itu 

tingginya mencapai sembilan yojanà. Di puncak tumpukan kayu 

cendana itu diletakkan peti mati yang berisikan jenazah Thera. Lima 

ratus bhikkhu datang melalui angkasa dan membicarakan Dhamma 

sepanjang malam. Thera Anuruddhà membabarkan khotbah pada 

kerumunan itu. Banyak dewa yang berhasil menembus Empat 

Kebenaran dan terbebas (dari saÿsàra).

Kegelapan malam menyaksikan pembakaran jenazah itu. Keesokan 

paginya, tumpukan kayu harum yang terbakar itu telah padam dan 

para bhikkhu mengumpulkan relik-relik yang seputih kuntum melati 

dan membawa serta menyerahkannya kepada Buddha yang telah 

menunggu dan menyambut mereka di pintu Vihàra Veëuvana.

Munculnya Sebuah Cetãya dari Dalam Tanah

Memegang relik-relik ini  , Buddha membabarkan khotbah 

yang sesuai untuk situasi ini   dan membangkitkan perasaan 

religius (dalam batin mereka yang hadir), sesudah   itu Beliau 

2452


merentangkannya tangan-Nya ke arah tanah. Dan sesaat  , sebuah 

cetãya yang berbentuk gelembung perak besar muncul menembus 

tanah. Dengan kedua tangan-Nya Buddha menyemayamkan relik-

relik Thera Koõóa¤¤a di dalam cetãya. Disebutkan bahwa cetãya 

ini   masih ada hingga saat ini.

Demikianlah kisah Thera Koõóa¤¤a.

(2-3) Dua Siswa Utama: Thera Sàriputta dan Thera Moggallàna

Dalam masa pengajaran Buddha kita ini, Thera Sàriputta dan Thera 

Moggallàna dikenal sebagai dua orang Siswa Utama Buddha. Kedua 

Thera ini hampir selalu bekerja sama dalam rangka memenuhi 

Kesempurnaan mereka selama masa melakukan kebajikan untuk 

mencapai tujuan ini. Dalam kehidupan mereka yang terakhir mereka 

juga melepaskan keduniawian bersama-sama dan menjadi bhikkhu 

pada waktu yang sama. Demikianlah kisah mereka diceritakan 

dalam Aññhakathà dan òãkà. Mengutip naskah-naskah itu, di buku 

ini juga kisah mereka disajikan secara bersama.

(a) Cita-cita masa lampau

Berawal dari satu asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa yang lalu, 

bakal Sàriputta, seorang mulia, terlahir dalam sebuah keluarga 

brahmana yang dikenal dengan nama Sarada. Bakal Moggàllana, 

seorang mulia lainnya juga terlahir di keluarga lain dan bernama 

Sirivaóóhana. Mereka yaitu   dua sahabat, yang sering bermain 

bersama di sawah pada masa kanak-kanak.

Suatu hari sewaktu Sarada sedang memeriksa dan mengatur 

kekayaan rumah tangganya (yang diwarisi dari leluhurnya) sebab   

ayahnya meninggal dunia, muncullah sebuah pemikiran, “Aku hanya 

mengetahui kehidupan sekarang. Aku tidak mengetahui kehidupan 

mendatang. Sudah pasti bahwa semua makhluk yang dilahirkan 

akan mengalami kematian. Oleh sebab   itu, sebaiknya aku menjadi 

petapa dan mencari ajaran agar terbebas dari saÿsàra.”

Sarada mendatangi temannya Sirivaóóhana dan berkata, “Teman 

2453

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Sirivaóóhana, aku akan menjadi petapa dan mencari ajaran yang 

dapat membebaskan dari saÿsàra. Apakah engkau mau turut 

bersamaku?” “Tidak, teman” jawab Sirivaóóhana. “Engkau, 

temanku, pergilah.” lalu   Sarada berpikir, “Semua yang 

meninggal dunia dan terlahir kembali, tidak ada satu pun yang 

mampu mengajak teman dan sanak saudaranya bersamanya. 

Sesungguhnya yaitu   benar bahwa hanya kebaikan dan kejahatan 

yang merupakan hartanya (yang selalu mengikutinya).”

Selanjutnya, ia membuka gudang hartanya dan melakukan dàna 

besar-besaran kepada orang-orang miskin, para pengembara dan 

pengemis. Ia melakukan perjalanan menuju kaki gunung dan 

menjadi petapa. Mereka yang menjadi petapa mengikuti jejak Sarada 

berjumlah tujuh puluh empat ribu orang. Petapa Sarada sendiri 

berhasil mencapai lima kekuatan batin dan delapan pencapaian 

Jhàna. Ia juga mengajarkan kepada pengikutnya bagaimana 

melakukan persiapan untuk berlatih meditasi kasiõa dan dalam 

latihan meditasi sehingga mereka juga berhasil mencapai kesaktian 

dan pencapaian yang sama.

Pada waktu itu, muncullah Buddha Anomadassã di dunia ini. Suatu 

hari saat   Buddha Anomadassã sedang mengamati dunia makhluk-

makhluk hidup sesudah   keluar dari Jhàna Karuõàsamàpatti saat 

dini hari, Ia melihat Petapa Sarada dan memutuskan, “Saat Aku 

mengunjungi Sarada, pembabaran Dhamma akan terjadi. Petapa 

ini akan mengungkapkan cita-citanya untuk menjadi Siswa Utama 

dengan posisi di sebelah kanan Buddha pada masa depan. Temannya 

Sirivaóóhana akan melakukan hal yang sama di posisi sebelah kiri. 

Pada akhir pembabaran Dhamma ini  , tujuh puluh empat 

ribu petapa pengikut Sarada akan mencapai kesucian Arahatta. 

sebab   itu Aku akan mengunjungi tempat Sarada di kaki gunung.” 

Maka Beliau membawa mangkuk dan jubah-Nya dan melakukan 

perjalanan sendirian tanpa memberitahu siapa pun, bagaikan raja 

singa.

saat   murid-murid Sarada sedang pergi mengumpulkan buah-

buahan, Buddha Anomadassã berkehendak agar Sarada akan 

mengenali-Nya sebagai seorang Buddha Mahatahu, dan dengan 

2454


dilihat oleh Sarada, Buddha turun dari angkasa dan berdiri di atas 

tanah.

Melihat kebesaran dan keagungan fisik Buddha Anomadassã, 

Sarada memelajari tanda-tanda sesuai dengan pengetahuannya 

akan tanda-tanda manusia luar biasa dan yakin bahwa, “Seseorang 

yang memiliki tanda-tanda ini akan menjadi seorang raja dunia jika 

menjalani kehidupan rumah tangga, tetapi jika ia mengenakan jubah 

kuning, ia akan menjadi seorang Buddha Mahatahu.” Oleh sebab   

itu ia menyambut Buddha, bersujud dengan lima titik tubuhnya 

menyentuh tanah dan menyediakan tempat duduk kepada Beliau. 

Buddha duduk di tempat duduk ini   dan petapa itu juga duduk 

di tempat yang semestinya.

Saat itu tujuh puluh empat ribu murid petapa mendatangi guru 

mereka sambil membawa buah-buahan dalam berbagai ukuran yang 

kaya akan rasa dan nutrisi. Melihat posisi tempat duduk Buddha 

dan guru mereka, mereka berkata kepada guru mereka, “Guru, 

kami heran, kami yakin bahwa tidak ada orang lain yang lebih mulia 

daripada engkau di dunia ini. Tetapi, sekarang sepertinya orang 

mulia ini jauh lebih mulia daripada engkau.” Si guru memarahi 

mereka dengan berkata, “Betapa beraninya kalian, murid-murid! 

Kalian membandingkan sebutir biji wijen dengan Gunung Meru 

yang tingginya seratus enam puluh delapan ribu yojanà. Jangan 

membandingkan aku dengan Buddha.” lalu   para murid 

saling berbisik, “Jika orang ini tidak berharga, guru kita tidak akan 

mengatakan perumpamaan demikian. Ia pasti seorang yang mulia!” 

sesudah   itu mereka semua bertiarap di kaki Buddha dan memberi 

hormat dengan kepala tertunduk.

Selanjutnya sang petapa memberitahu murid-muridnya, “Anak-

anakku, kita tidak mempunyai persembahan yang layak untuk 

Buddha. Saat Beliau mengumpulkan dàna makanan, telah 

digunakan untuk mengunjungi kita di kaki gunung. Marilah kita 

memberi   persembahan sesuai kemampuan kita. Bawalah, murid-

muridku, buah-buahan yang besar dan kecil yang baik dan lezat.” 

Demikianlah ia mempersiapkan buah-buahan dan, sesudah   mencuci 

tangannya, ia sendiri yang mempersembahkan buah-buahan itu 

2455

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

dengan meletakkannya di dalam mangkuk. Segera sesudah   Buddha 

menerima buah-buahan ini  , para dewa menambahkan 

makanan dewa ke dalam mangkuk. Sarada mempersembahkan air 

yang ia saring sendiri. sesudah   memakan buah-buahan itu, Buddha 

mencuci tangan-Nya dan duduk dengan tenang. Selagi Buddha 

duduk, Sarada memanggil semua murid-muridnya dan berbicara 

kepada Buddha dengan kata-kata yang akan selalu diingat dalam 

waktu yang lama. lalu   Buddha berkehendak agar kedua 

Siswa Utama-Nya datang mengunjungi-Nya disertai dengan banyak 

bhikkhu ke kaki gunung itu. Kedua Siswa Utama (Thera Nisabha 

dan Thera Anoma), mengetahui keinginan Buddha, segera datang 

disertai seratus ribu Arahanta, dan sesudah   memberi hormat kepada 

Buddha, mereka berdiri di tempat yang semestinya.

Selanjutnya, Petapa Sarada memanggil murid-muridnya dan 

memerintahkan, “Anak-anakku, tempat duduk Buddha masih terlalu 

rendah. Ratusan ribu bhikkhu juga masih belum mendapat tempat 

duduk. Kalian anak-anakku, harus memberi   penghormatan 

yang tinggi kepada Buddha, bawalah bunga-bunga yang indah 

dan harum dari kaki gunung.” Waktu untuk memberi   perintah 

itu bahkan terlihat lebih lama. Kesaktian para mulia sungguh 

menakjubkan dan tidak terbayangkan. Sesaat  , para murid petapa 

itu secara gaib membawa bunga-bunga indah dan harum dan 

memakai  nya sebagai bahan untuk membuat tempat duduk 

Buddha yang berukuran satu yojanà. Tempat duduk bunga yang 

dibuat untuk kedua Siswa Utama masing-masing berukuran tiga 

gàvuta dan untuk bhikkhu lainnya masing-masing berukuran 

setengah yojanà atau dua gàvuta. Bahkan untuk bhikkhu termuda 

pun tempat duduknya masing-masing berukuran satu usabhà.

sesudah   membuat tempat duduk dengan cara demikian, Sarada 

berdiri di hadapan Buddha dan berkata dengan kedua tangan 

dirangkapkan, “Buddha Yang Agung, silakan duduk di atas tempat 

duduk bunga ini demi kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk 

jangka waktu yang panjang.” Buddha Anomadassã naik ke atas 

tempat duduk dan duduk di sana, berdiam dalam Nirodhasamàpatti 

selama tujuh hari. Mengetahui apa yang dilakukan oleh Buddha, 

kedua Siswa Utama dan para bhikkhu lainnya, sambil duduk di 

2456


tempat duduk masing-masing, juga berdiam di dalam Jhàna.

Petapa Sarada berdiri, memegang sebuah payung bunga menaungi 

Buddha. Sewaktu Buddha sedang berdiam di dalam pencerapan 

Nirodhasamàpatti, para murid petapa mencari berbagai akar-

akaran dan buah-buahan saat tiba waktunya untuk mengumpulkan 

makanan dan memakannya; sedangkan pada waktu lainnya mereka 

berdiri merangkapkan tangan ke arah Buddha. Akan tetapi, Sarada, 

bahkan tidak bergerak untuk mencari buah-buahan, melainkan 

terus memegang payung untuk menaungi Buddha dan melewatkan 

waktunya dengan makanan kegembiraan (pãti).

Bangun dari Nirodhasamàpatti, Buddha berkata kepada Siswa 

Utama, Thera Nisabha yang duduk di sebelah kanan Beliau, 

“Berkhotbahlah, Anak-Ku, sebuah khotbah penghargaan atas 

persembahan bunga-bunga ini untuk menghormati para petapa 

ini.” Dengan penuh kegembiraan bagaikan seorang pahlawan 

perang yang menerima anugerah dari raja dunia, dengan kemuliaan 

kecerdasannya yang sempurna, Thera Nisabha membabarkan 

khotbah. Pada akhir khotbah yang dibabarkan oleh Thera Nisabha, 

Buddha meminta Siswa Utama lainnya, Thera Anoma yang duduk di 

sebelah kiri Beliau, “Engkau juga, berkhotbahlah, anak-Ku,” dengan 

merenungkan kata-kata Buddha seperti yang terdapat dalam Tiga 

Piñaka, Yang Mulia Anoma membabarkan khotbah.

Akan tetapi, tidak seorang pun dari para petapa itu yang berhasil 

memahami Empat Kebenaran dan mencapai Pembebasan sesudah   

mendengarkan khotbah kedua Siswa Utama ini  . sebab   

itu, selanjutnya Buddha Anomadassã, yang tanpa tandingan, 

membabarkan khotbah. Pada akhir khotbah itu, seluruh tujuh puluh 

empat ribu petapa mencapai kesucian Arahatta-Phala. Tinggal 

Sarada sendiri yang belum mencapai apa pun. lalu   Buddha 

merentangkan tangan kanan-Nya dan mengucapkan, “Datanglah, 

Bhikkhu!” Pada saat itu juga, rambut dan janggut seluruh petapa 

ini   lenyap dan mereka menjadi bhikkhu yang lengkap dengan 

delapan perlengkapan bhikkhu.

2457

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Cita-cita Sarada untuk Menjadi Siswa Utama

Akan muncul pertanyaan: mengapa ia gagal mencapai Kearahattaan 

padahal ia yaitu   seorang guru besar? Jawabannya yaitu  : sebab   

pikirannya terkacaukan. Penjelasan: sejak Thera Nisabha, Siswa 

Utama di sebelah kanan Buddha, mulai membabarkan khotbah, 

Sarada terus-menerus melamunkan, ”Alangkah baiknya jika aku 

dapat mencapai posisi yang sama seperti Siswa Utama ini dalam 

masa pengajaran Buddha mendatang.” sebab   lamunan ini Sarada 

gagal menembus dan mencapai Jalan dan Buah. (Ia tertinggal di 

belakang tanpa mencapai Magga dan Phala.)

sesudah   murid-muridnya menjadi ehi-bhikkhu, Petapa Sarada 

memberi hormat kepada Buddha dan bertanya sambil berdiri 

di depan-Nya, “Siapakah nama bhikkhu yang duduk di sebelah 

Engkau?” saat   Buddha menjawab, “Namanya yaitu   Nisabha, 

Siswa Utama sebelah kanan yang dalam masa pengajaran-Ku 

dapat memutar Pusaka Roda Dhamma sesudah   Aku, yang telah 

mencapai puncak kebijaksanaan sempurna seorang siswa dan yang 

telah menembus lima belas bentuk pa¤¤Ã .” Petapa Sarada berkata, 

“Sebagai akibat dari kebajikan yang kulakukan dengan memberi 

hormat kepada-Mu dengan payung bunga menaungi-Mu selama 

tujuh hari, aku tidak menginginkan untuk menjadi Sakka atau 

brahmà. Aku ingin menjadi Siswa Utama sejati yang bertempat 

di sebelah kanan, seperti Thera Nisabha mulia ini dalam masa 

pengajaran Buddha pada masa depan.”

saat   Buddha Anomadassã mencoba untuk melihat ke masa depan 

melalui Anàgataÿsa ¥Ã Ãµa apakah cita-cita Sarada dapat tercapai 

atau tidak, ia melihat bahwa cita-citanya akan tercapai sesudah   

satu asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa. Maka Beliau berkata 

kepada Petapa Sarada, “Cita-citamu tidak akan tidak tercapai. 

Sesungguhnya, sesudah   satu asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa 

berlalu, Buddha Gotama akan muncul di tiga alam. Ibu-Nya yaitu   

Ratu Mahàmàyà, ayah-Nya yaitu   Suddhodana, putra-Nya yaitu   

Ràhula, Siswa Utama di sebelah kiri yaitu   Moggallàna. Tetapi 

engkau akan menjadi Siswa Utama di sebelah kanan Buddha 

Gotama bernama Sàriputta. sesudah   meramalkan demikian, Beliau 

2458


membabarkan Dhamma lagi dan melayang ke angkasa disertai oleh 

para bhikkhu.

Petapa Sàrada lalu   mendatangi para Thera yang yaitu   mantan 

murid-muridnya dan berkata, “Yang Mulia, mohon sampaikan 

kepada temanku Sirivaóóhana, ‘temanmu Petapa Sarada telah 

bertekad di kaki Buddha Anomadassã untuk mencapai posisi Siswa 

Utama di sebelah kanan. Untuk Siswa Utama di sebelah kiri Gotama, 

Buddha masa depan, engkau boleh bertekad.’” sesudah   memberi   

pesan demikian, Sarada segera bergegas mendahului mereka melalui 

jalan lain dan berdiri di pintu rumah Sirivaóóhana.

Berpikir “Oh, guruku telah pulang sesudah   sekian lama. Ia telah 

lama pergi.” Sirivaóóhana menyediakan tempat duduk kepada 

petapa itu lalu   ia sendiri duduk di tempat yang lebih rendah 

dan berkata, “Yang Mulia, tetapi aku tidak melihat murid-murid 

pengikutmu.” “Ya, mereka tidak datang, Teman. Buddha Anomadassã 

mengunjungi pertapaan kami; kami memberi hormat kepada 

Saÿgha yang dipimpin oleh Buddha sebatas kemampuan kami. 

Buddha membabarkan Dhamma kepada kami. Pada akhir khotbah 

itu, kecuali aku, seluruh tujuh puluh empat ribu petapa berhasil 

mencapai kesucian Arahatta dan menjadi bhikkhu.” “Mengapa 

Engkau tidak?” tanya Sirivaóóhana. “sesudah   melihat Thera Nisabha, 

Siswa Utama di sebelah kanan Buddha,” jawab Sarada, “aku bercita-

cita untuk mencapai posisi yang sama pada masa pengajaran Buddha 

mendatang Gotama. Engkau juga sebaiknya bertekad untuk menjadi 

Siswa Utama (kedua) yang duduk di sebelah kiri Buddha.” saat   

petapa itu mendesaknya demikian, temannya menjawab, “Aku 

belum berpengalaman berbicara kepada Buddha.” lalu   Sarada 

mendorongnya dengan berkata, “Biarlah urusan berbicara kepada 

Buddha menjadi tanggung jawabku. Tugasmu yaitu   melakukan 

kebajikan (adhikàra).”

sesudah   mendengarkan nasihat Sarada, Sirivaóóhana meratakan 

tanah seluas delapan pai di depan pintu rumahnya dan menutupinya 

dengan pasir putih, lalu   menebarkan bunga-bunga berwarna-

warni dalam berbagai jenis dengan beras panggang sebagai jenis 

kelima. Ia juga membangun sebuah pondok beratapkan bunga 

2459

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

teratai biru, mempersiapkan tempat duduk untuk Buddha dan 

mempersiapkan segala sesuatunya untuk menghormati Buddha. 

lalu   ia menyampaikan pesan kepada Sarada untuk 

mengundang Saÿgha yang dipimpin oleh Buddha. Menerima pesan 

dari Sirivaóóhana, Sarada mengundang Saÿgha yang dipimpin oleh 

Buddha ke rumah Sirivaóóhana.

Sirivaóóhana menyambut Buddha dan mengambilkan mangkuk 

dan jubah dari tangan Buddha dan dengan penuh hormat 

menuntun Buddha menuju pondok dan mempersembahkan air 

kepada Buddha dan para bhikkhu, memberi   persembahan 

makanan-makanan lezat kepada mereka. sesudah   selesai makan, ia 

mempersembahkan jubah-jubah bernilai tinggi kepada Buddha dan 

Saÿgha. Selanjutnya ia berkata, “Buddha Yang Agung, kebajikan 

yang kulakukan ini bukan untuk mendapatkan imbalan yang 

kecil. sebab   itu, izinkanlah aku melakukan hal ini selama tujuh 

hari.” Buddha mengabulkan dengan berdiam diri. Sirivaóóhana 

lalu   melakukan persembahan besar (mahàdàna) dengan 

cara yang sama selama seminggu. Sewaktu berdiri dengan tangan 

dirangkapkan ke arah Buddha, ia berkata, “Buddha Yang Agung, 

temanku Sarada telah bercita-cita untuk mencapai posisi sebagai 

seorang Siswa Utama di sebelah kanan Buddha Gotama. Aku juga 

bercita-cita untuk mencapai posisi Siswa Utama di sebelah kiri 

Buddha Gotama itu.”

saat   Buddha melihat ke masa depan, ia melihat bahwa cita-

cita Sirivaóóhana akan tercapai. Maka Beliau meramalkan, “Satu 

asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa dari sekarang, engkau akan 

menjadi Siswa Utama kedua, di sebelah kiri.” Mendengar ramalan 

Buddha ini  , Sirivaóóhana gembira. sesudah   membabarkan 

khotbah penghargaan atas dàna ini  , Buddha kembali ke vihàra 

disertai oleh para bhikkhu. Sejak saat itu hingga meninggal dunia, 

Sirivaóóhana berusaha untuk terus melakukan kebajikan dan saat 

meninggal dunia, ia terlahir kembali di Alam Dewa Kàmàvacara. 

Petapa Sarada mengembangkan empat praktik luhur (Brahmàvihàra) 

dan terlahir kembali di alam brahmà.

2460


(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Komentar tidak menjelaskan tentang mereka dalam kehidupan-

kehidupan berikut sesudah   kehidupan mereka sebagai Petapa Sarada 

dan Perumah tangga Sirivaóóhana, tetapi menjelaskan tentang 

kehidupan terakhir mereka.

Sebelum munculnya Buddha Gotama kita, seorang baik, bakal Thera 

Sàriputta yang dulunya terlahir sebagai Petapa Sarada dikandung 

dalam rahim seorang perempuan brahmana, istri seorang pedagang 

bersama RÃ¥pasàrã, di Desa Upatissa dekat Kota Ràjagaha. Pada hari 

yang sama, seorang baik lainnya, yang dulunya terlahir sebagai 

Sirivaóóhana, sahabat Sarada, bakal Moggallàna, dikandung dalam 

rahim Moggalã (istri pedagang lain) di Desa Kolita juga di dekat 

Ràjagaha. Kedua keluarga ini   telah bersahabat sejak tujuh 

generasi sebelumnya.

Untuk kedua anak yang sedang dikandung itu, bakal Siswa Utama, 

perlindungan diberikan pada hari yang sama. Juga saat mereka 

dilahirkan sepuluh bulan lalu  , masing-masing bayi diasuh 

oleh enam puluh enam pengasuh. Pada hari pemberian nama, putra 

yang dilahirkan oleh RÃ¥pasàrã diberi nama Upatissa sebab   ia yaitu   

keturunan dari kepala desa Upatissa. Putra yang dilahirkan oleh 

Moggalã diberi nama Kolita sebab   keluarganya yaitu   pemimpin 

Desa Kolita. Saat kedua anak itu tumbuh dewasa, mereka menguasai 

berbagai macam keahlian.

Perlengkapan Ritual   untuk pemuda Upatissa terdiri dari lima ratus 

tandu emas yang selalu menyertainya ke mana pun ia pergi, ke sungai, 

ke taman atau ke bukit untuk berolah-raga atau bersenang-senang. 

Sedangkan pemuda Kolita mendapat lima ratus kereta yang ditarik 

oleh kuda-kuda terbaik yang selalu menyertainya. Di Ràjagaha, saat 

itu sedang berlangsung festival tahunan yang diadakan di puncak 

bukit. Dipan untuk kedua sahabat itu dipersiapkan di tempat yang 

sama. Mereka berdua duduk bersama, dan sewaktu menonton 

pertunjukan, mereka tertawa saat pertunjukan humor dan ketakutan 

saat pertunjukan horor; mereka juga memberi   uang saat mereka 

diharapkan untuk memberi   uang.

2461

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

sesudah   menikmati pertunjukan itu berkali-kali, suatu hari mereka 

menjadi lebih tenang dalam menonton pertunjukan; mereka 

tidak lagi tertawa pada adegan lucu, tidak lagi ketakutan pada 

adegan yang menyeramkan. Dan juga tidak memberi   uang 

saat diharapkan. Keduanya berpikir, “Manakah hal-hal menarik 

bagi mata dalam festival ini? Mereka yang ambil bagian dalam 

pertunjukan ini dan mereka yang datang untuk menonton, semuanya 

akan lenyap sebelum seratus tahun berlalu. sebab   itu, kami harus 

mencari bentuk-bentuk spiritualitas untuk menghindarkan diri 

dari saÿsàra.” Mereka terus-menerus merenungkan kesusahan 

dalam hidup.

Selanjutnya Kolita berkata kepada sahabatnya Upatissa, “Teman 

Upatissa, engkau terlihat tidak gembira seperti hari-hari sebelumnya. 

Apakah yang engkau pikirkan, Sahabatku?” Upatissa menjawab, 

“Sahabat Kolita, aku tidak melihat adanya sesuatu yang berharga 

dalam menonton pertunjukan ini. Menikmati festival ini sungguh 

tidak berguna, kosong. sebab   itu aku duduk di sini dengan 

pikiran bahwa aku harus mencari sesuatu untuk diriku yang dapat 

mengantarkan aku menuju kebebasan dari saÿsàra.” sesudah   berkata 

demikian, ia bertanya, “Sahabat Kolita, mengapa engkau juga terlihat 

bersedih dan tidak gembira?” Jawaban Kolita sama dengan jawaban 

Upatissa. Mengetahui bahwa sahabatnya merenungkan hal