tentang manusia 2



 babat untuk membangun perumahan mewah. Gunung 

diratakan untuk memperoleh emas. Manusia juga lalu melihat dirinya 

sebagai sesuatu yang terpisah sekaligus lebih tinggi dari alam dan 

semua mahluk hidup lainnya. Ia merasa punya hak untuk menguasai 

dan menghancurkan semuanya, guna memenuhi keinginan dan 

kerakusannya.

saat  alam rusak, maka seluruh kehidupan terancam. Hewan 

punah. Hutan dan berbagai sistem ekologi alamiah lainnya juga hancur, 

akibat ulah manusia. Di dalam keadaan semacam ini, manusia justru 

semakin dalam terjebak dalam rasa takut, kesepian dan penderitaan.

Mencari Ke Dalam

Jadi, akar dari segala kejahatan yaitu  dua delusi mendasar. Yang 

pertama yaitu  delusi, bahwa orang bisa mencapai kebahagiaan dengan 

mencari serta mengumpulkan hal-hal dari luar dirinya, seperti nama 

baik, kehormatan, uang, harta dan sebagainya. Yang kedua yaitu  

delusi, bahwa manusia yaitu  mahluk individual yang terpisah dengan 

manusia-manusia lainnya, dan juga terpisah dari alam. Dua delusi ini 

menciptakan penderitaan batin yang amat dalam bagi manusia, baik 

dalam lingkup hidup pribadinya, maupun dalam hubungan-hubungan 

sosialnya.

Jalan keluar dari dua delusi ini sebenarnya sederhana, yakni 

kita harus mulai melihat ke dalam diri kita sendiri, dan mencoba 

menemukan kepenuhan hidup disana. Kita harus berhenti mencoba 

mengisi kekosongan batin kita dengan hal-hal eksternal, seperti uang, 

nama besar, barang-barang dan lainnya. saat  kita menengok ke 

dalam, kita akan menyadari, siapa diri kita sebenarnya. Di dalam 

proses menyadari diri kita yang sejati, kita pun lalu akan sampai pada 

kesadaran, bahwa segala hal di alam semesta ini yaitu  kesatuan dari 

jaringan yang tak terpisahkan.

Kita dan orang lain yaitu  satu. Kita dan alam yaitu  satu. 

Penderitaan mereka yaitu  penderitaan kita sendiri. Kebahagiaan 

mereka yaitu  kebaha giaan kita sendiri.

Pemahaman ini tidak boleh hanya menjadi pemahaman intelektual 

semata. Ia harus sungguh menjadi bagian dari kesadaran kita sehari-

hari. saat  kita bertindak dari kesadaran mendasar, bahwa apa yang 

kita cari sudah selalu tertanam di dalam diri kita sendiri, dan bahwa 

segala hal di dunia ini yaitu  satu kesatuan dan saling terhubung 

satu sama lain, maka segala yang kita alami dan lakukan akan selalu 

bisa membantu diri kita sendiri dan orang lain. Di dalam kesenangan, 

tindakan kita akan membantu diri kita, orang lain, semua mahluk 

hidup dan alam sebagai keseluruhan. Bahkan di dalam penderitaan 

dan kesedihan berat, tindakan kita juga bisa membantu mereka semua.

Tidak ada perbedaan antara kita dan mahluk hidup lainnya. 

Tidak ada perbedaan antara kita dan alam. Semua perbedaan yang 

tampak hanya muncul dari panca indera dan pikiran kita yang rapuh. 

Perbedaan ini  lahir dari delusi, yakni dari kesalahan berpikir yang 

mendasar tentang kehidupan.

Delusi hanya menciptakan penderitaan di dalam hati kita. saat  

hati kita menderita, kita pun lalu dengan mudah menyakiti orang lain. 

Kita juga dengan mudah menghancurkan kehidupan lain dan alam ini, 

demi memuaskan delusi kita. Delusi inilah akar dari segala kejahatan. 

Mau sampai kapan kita hidup seperti ini?

46 —  

Moralitas Itu Berbahaya

Ada satu pola menarik di dalam sejarah. Para pelaku kejahatan terbesar justru yaitu  orang-orang yang hidup dalam bayang-

bayang moralitas. Para penguasa Persia di masa lalu merasa bermoral 

tinggi, dan melakukan penaklukan ke berbagai penjuru Timur Tengah. 

Para penguasa Mesir di masa lalu merasa bermoral tinggi, dan 

memperbudak penduduknya sendiri untuk membangun Piramid.

Orang-orang Yahudi mengaku bangsa bermoral dan bertuhan. 

Namun, mereka yang menyalibkan Yesus, tanpa alasan yang bisa 

dipertanggungjawabkan. Kekaisaran OÄ´ oman Turki mengaku bermoral 

dan bertuhan. Namun, mereka melakukan penaklukan berdarah ke 

berbagai penjuru negara Timur Tengah.

Eropa mengaku sebagai benua yang beradab dan bertuhan. 

Namun, mereka memperbudak dan menjajah begitu banyak bangsa 

selama kurang lebih 500 tahun. Hitler hidup dalam panduan moral 

yang tinggi. Ia menjadi otak sekaligus pelaksana pembantaian orang-

orang Yahudi di masa perang dunia kedua.

Amerika Serikat mengaku bangsa yang bermoral dan bertuhan. 

Namun, mereka menjadi otak dari begitu banyak pembantaian massal 

di berbagai pen juru dunia di abad 20. Kini, para teroris dengan 

pandangan Islam ekstrimisnya menjadi pelaku kekerasan di berbagai 

penjuru dunia. Mereka juga mengaku bermoral dan bertuhan. 

Mengapa ini terjadi? Mengapa orang-orang yang mengaku 

bermoral, bertuhan dan beragama justru menjadi pelaku kejahatan-

kejahatan terbesar di dalam sejarah? Saya berpendapat, bahwa sumber 

dari segala kejahatan ini justru lahir dari moralitas itu sendiri. Moralitas 

bukanlah solusi atas kejahatan, melainkan justru akar dari kejahatan 

itu sendiri.


Moralitas

Moralitas yaitu  pertimbangan baik dan buruk. Apakah suatu 

tindakan baik? Apakah suatu tindakan buruk? Keputusan apa yang 

baik untuk saya ambil? Inilah kiranya pertanyaan-pertanyaan terkait 

dengan moralitas.

Kita juga seringkali memakai  pertimbangan moral dalam 

membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup. Apakah 

pernikahan baik untuk saya? Pekerjaan mana yang baik untuk saya? 

Jahatkah saya, jika saya mengambil keputusan ini?

Satu hal yang pasti yaitu , bahwa moralitas yaitu  pertimbangan 

pikiran. Ia terjadi di dalam pikiran manusia. Ia tidak ada secara nyata 

dan empiris di dalam kenyataan sehari-hari. Moralitas bukanlah 

kenyataan alamiah.

Apa itu kenyataan alamiah? Sesungguhnya, kenyataan alamiah 

tidak memiliki konsep atau kata untuk menjelaskannya. Ia yaitu  

”sesuatu”. Para fi lsuf Eropa menyebutnya sebagai ”Ada” (Being, Sein, to 

on). Para mistikus India menyebutnya sebagai ”Diri” (the Self). Namun, 

sejatinya, ia tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Moralitas itu Berbahaya

Lalu, mengapa moralitas itu berbahaya? Moralitas, seperti saya 

jelaskan sebelumnya, selalu terkait dengan baik dan buruk. Jika 

sebuah pertimbangan dianggap buruk secara moral, maka orang akan 

menjauhinya. Jika sebuah pertimbangan dianggap baik secara moral, 

maka orang akan mengikutinya.

Namun, hidup tidak sesederhana itu. Apa yang buruk biasanya 

memikat. Apa yang baik biasanya membosankan. Inilah yang sekarang 

ini banyak terjadi.

saat  orang melakukan yang buruk, maka ia akan memperoleh 

kenik matan sementara. Namun, semua itu akan berakhir pada 

penyesalan dan penderitaan. Orang akan merasa bersalah, sebab  ia 

telah bertindak jahat. Tindakan ini  telah menyakiti dirinya dan 

orang lain.

Orang yang suka berbohong memang kelihatan berhasil pada 

awalnya. Namun, semakin lama, jika ia terus berbohong, ia akan 

tenggelam di dalam kebohongannya. Ia tidak bisa lagi membedakan 

kenyataan dan kebohongan yang ia bangun sendiri. Ia pun hidup 

dalam penderitaan.

Sebaliknya, saat  orang bertindak baik, maka ia akan berusaha 

untuk mempertahankan tindakannya ini . Ia lalu melekat dan 

terikat dengan tindakan ini . Ia tergantung secara emosional 

dengan tindakan itu. Dalam perjalanan waktu, tindakan baik itu 

menghasilkan banyak tegangan batin di dalam dirinya.

Tegangan batin, pada akhirnya, akan menghancurkan tindakan 

baik ini . Yang muncul kemudian yaitu  perasaan bersalah, sebab  

orang tak lagi mampu mempertahankan tindakan baik itu. Orang 

merasa munafi k atau justru menjadi orang yang munafi k. Ia justru 

malah menjadi kejam pada sesamanya dan dirinya sendiri. Tak heran, 

banyak pelaku kejahatan kejam di dalam sejarah justru yaitu  orang 

yang memiliki prinsip moral tinggi, atau bahkan amat religius.

Orang yang memegang erat prinsip jujur akan mengalami 

ketenangan batin pada awalnya. Namun, ia hanyalah manusia. Ia 

tidak bisa jujur setiap saat dan setiap waktu. Ada waktunya, ia perlu 

berbohong, seringkali dengan alasan-alasan yang masuk akal. Orang 

yang memegang erat prinsip jujur juga pada akhirnya akan berbohong 

juga. Ini akan melahirkan perasaan bersalah dan penderitaan yang amat 

dalam pada orang ini .

Jadi, tindakan buruk menghasilkan tegangan dan penderitaan. 

Tindakan baik juga menghasilkan ketegangan dan penderitaan. 

Keduanya melahirkan tegangan dan ketakutan di dalam batin. Dari 

tegangan, penderitaan dan ketakutan batin ini , orang justru malah 

menjadi kejam pada orang lain, dan pada dirinya sendiri. Ini seperti 

lingkaran setan yang tak bisa diputuskan.

Moralitas menghasikan semacam keterpecahan kepribadian di 

dalam diri manusia. Ia terbelah antara harapan tentang dirinya sendiri, 

dan keadaan nyata di depan matanya tentang dirinya sendiri. Moralitas 

menghasilkan semacam neurosis di dalam pikiran manusia. Ia memiliki 

fungsi terbalik, yakni justru mendorong orang untuk menjadi tidak 

bermoral.

Moral dan keputusan

Sayangnya, kita seringkali memakai  pertimbangan moral 

di dalam membuat keputusan. Pertimbangan moral, dan tindakan 

yang lahir darinya, selalu melahirkan ketegangan di dalam batin. 

Ketegangan batin berujung pada penderitaan batin. Banyak orang tak 

kuat menanggung tegangan dan penderitaan batin ini . Mereka 

justru menjadi orang yang paling kejam.

Maka, menurut saya, moralitas itu berbahaya. Ia mencoba 

menyelesaikan sebuah masalah dengan menciptakan masalah-masalah 

baru. Banyak negara yang mengaku bermoral justru bertindak kejam 

terhadap warganya dan terhadap negara lain. Ini lahir dari tegangan 

dan penderitaan yang sudah selalu tertanam di dalam moralitas itu 

sendiri.

Indonesia mengaku sebagai negara bermoral dan beragama. 

Semua orang berteriak soal moral dan agama. Namun, korupsi dan 

kebohongan menyelubungi dunia politik kita. Diskriminasi dan 

kebencian mewarnai hidup berwarga  kita. Kita pun gemar 

menghukum mati orang-orang yang kita anggap tak layak hidup. Ini 

contoh yang amat pas untuk menggambarkan bahaya dari moralitas 

yang justru menghasilkan kemunafi kan dan kekejaman.

Panduan Baru: Kejernihan Berpikir

Yang jelas, kita membutuhkan panduan lain dalam hidup kita, 

selain mo ralitas. Kita membutuhkan pijakan lain untuk membuat 

keputusan. Moralitas seolah menjadi jawaban, namun ia seringkali 

justru melahirkan masalah-masalah baru yang lebih besar. Moralitas 

yaitu  sesuatu yang harus dilampaui.

Saya menawarkan panduan lain, yakni kejernihan berpikir. 

Pertanyaan yang harus diajukan bukanlah ”Apakah ini baik atau 

buruk?”, melainkan ”Apakah ini lahir dari kejernihan berpikir, atau 

tidak?” Pikiran yang jernih berarti lepas dari pertimbangan baik dan 

buruk. Pikiran yang jernih berarti lepas dari pertimbangan untuk dan 

rugi.

Pikiran yang jernih bersifat alamiah. Ia muncul dari kesadaran diri 

manusia, dan bukan dari pertimbangan akal budi, baik-buruk atau 

untung-rugi. Pikiran yang jernih melihat situasi nyata. Ia bersikap tepat 

pada setiap keadaan yang terjadi.

Pikiran yang jernih tidak sibuk dengan masa lalu. Pikiran yang 

jernih menolak untuk melompat ke masa depan. Ia berfokus pada 

situasi disini dan saat ini. Ia memecahkan masalah sesuai dengan 

konteksnya masing-masing.

Bagaimana melahirkan kejernihan berpikir? Caranya sederhana: 

stop melakukan analisis dan stop berpikir! Lakukan apa yang mesti 

dilakukan disini dan saat ini. Bertindaklah mengalir secara alamiah 

dari saat ke saat.

Berbohong bukanlah baik atau buruk. Ia amat tergantung pada 

konteks. Berbohong untuk menyelamatkan nyawa orang lain yaitu  

tindakan yang lahir dari kejernihan berpikir. Membunuh untuk 

mempertahankan diri dan keluarga dari serangan perampok yaitu  

tindakan yang juga lahir dari kejernihan berpikir. Membunuh dan 

berbohong yaitu  tindakan yang jernih, jika dilakukan secara tepat 

pada keadaan-keadaan tertentu.

Melampaui Moralitas

saat  pertimbangan akal budi masuk, maka kejernihan hilang. 

saat  orang sibuk memikirkan baik dan buruk, maka kejernihan 

hilang. saat  orang sibuk memikirkan untung dan rugi, maka 

kejernihan hilang. Orang yang sibuk memikirkan baik dan buruk akan 

terus mengalami ketegangan di dalam hatinya.

Ia seperti hidup dalam penjara yang dibangun oleh pikirannya 

sendiri. Hal yang sama terjadi dengan orang yang selalu sibuk 

melakukan pertimbangan untuk dan rugi di dalam hidupnya. Hidupnya 

tidak akan pernah lepas dari kecemasan. Dari kecemasan itu, ia bisa 

bertindak kejam pada orang lain, dan pada dirinya sendiri.

Moralitas melahirkan ketegangan. Ketegangan mendorong sikap 

agresif. Sikap agresif lahir bisa diarahkan pada orang lain, atau pada 

diri sendiri. Selama orang masih melekat pada moralitas, selamanya ia 

akan terjebak pada lingkaran setan ketegangan dan penderitaan hidup.

Jalan keluar dari masalah ini hanya satu: kejernihan berpikir. Orang 

yang hidup dengan kejernihan pikiran tidak hanya berhasil dalam karir, 

namun  juga menemukan kebahagiaan dan kedamaian sejati di dalam 

batinnya. Ia keluar dari lingkaran setan kehidupan yang dibangun oleh 

moralitas. Jadi, apakah pikiranmu sudah jernih?

Agama dan Kekerasan

Ada pepatah Cina kuno yang mengatakan, ”Alat yang baik di tangan orang jahat akan menjadi alat yang jahat.” Sebaik apapun 

ajaran suatu agama, jika dianut oleh sekumpulan orang yang menderita 

dan tersesat, maka agama itu akan menjadi jahat yang menghasilkan 

penderitaan bagi banyak orang.

Pembunuhan wartawan-wartawan Charlie Ebdo di Paris sungguh 

meng getarkan hati dunia. Lagi-lagi, agama dipakai  untuk 

membenarkan kekerasan. Sungguh menjijikan. Peristiwa ini terangkai 

erat dengan pelbagai peristiwa kekerasan atas nama agama lainnya, 

seperti ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang terus melakukan 

pembunuhan massal di Irak dan mengancam negara-negara di Timur 

Tengah lainnya.

Di Nigeria, kelompok Islam ekstrimis Boko Haram juga melakukan 

pem bunuhan massal. Beberapa waktu lalu, kelompok Islam ekstrimis 

juga melakukan pembunuhan massal terhadap anak-anak di Pakistan. 

Di Israel, agama Yahudi dijadikan dasar sekaligus pembenaran 

untuk melakukan penin dasan nyaris tanpa henti kepada Palestina. 

Di Indonesia, diskriminasi terhadap agama minoritas nyaris menjadi 

makanan sehari-hari.

Tak jauh dari ingatan kita sebagai bangsa Indonesia, Kristianitas 

dipakai  untuk pembenaran bagi proses penjajahan Eropa atas 

seluruh dunia. Jutaan manusia manusia dari berbagai belahan dunia 

mati dalam rentang waktu lebih dari 300 tahun, akibat peristiwa ini. 

Sumber daya alam dikeruk demi kekayaan bangsa-bangsa Eropa. 

Beragam budaya dan cara hidup hancur di dalam proses penjajahan 

yang juga memiliki motif Kristenisasi seluruh dunia itu.

 Di India, sebelum Natal 2014, sekitar 5000 keluarga diminta untuk 

memeluk kembali Hinduisme. Mereka yang tidak mau mengubah 

agama diminta untuk keluar dari India. Sebagai bangsa, India juga 

terus dikepung oleh konfl ik yang terkait dengan agama. Fenomena 

yang sama berulang kembali: agama dipakai  untuk membenarkan 

tindak kekerasan, guna membela kepentingan ekonomi dan politik 

yang tersembunyi.

Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa peristiwa dengan pola semacam 

ini terus berulang? Mengapa agama, yang konon mengajarkan kebaikan 

universal dalam hubungan dengan yang transenden, terus menerus 

dipelintir untuk membenarkan tindakan biadab? Mengapa hubungan 

agama dan kekerasan tidak juga bisa diputus? Mengapa kita nyaris 

tidak belajar apapun dari pelbagai peristiwa biadab ini?

Berpikir Dualistik

Akar dari segala kejahatan dan kekerasan yaitu  pikiran. Semua 

tindakan dimulai dari pikiran. Semua penilaian dan analisis mulai 

dari pikiran. Maka, kita pun harus masuk ke ranah pikiran, guna 

membongkar akar kekerasan.

Pada hemat saya, akar dari segala kejahatan yaitu  pola pikir 

dualistik. Apa itu? Pola pikir dualistik selalu melihat dunia dalam dua 

kutub yang bertentangan, yakni benar-salah, baik-buruk, suci-tidak 

suci, beriman-kafi r, serta dosa-tidak dosa. Dengan pembedaan ini, kita 

lalu terdorong selangkah lebih jauh untuk melihat orang lain sebagai 

musuh (yang berdosa, kafi r, salah, dan buruk) yang harus dihancurkan.

Padahal, jika ditelaah lebih dalam, pola berpikir dualistik pada 

dasarnya yaitu  salah. Tidak ada dualisme. Dualisme hanya ada di 

dalam pikiran. Tidak ada perbedaan. Perbedaan hanya tampilan kulit 

yang menutupi esensi yang sama dari segala hal.

Segala bentuk kekerasan dan kejahatan bisa dilenyapkan, jika kita 

melepaskan pola berpikir dualistik. Kita lalu melihat diri kita sendiri 

satu dan sama dengan segala hal, termasuk dengan alam, hewan dan 

tumbuhan. Kita tidak lagi memiliki dorongan untuk mencap atau 

menyakiti apapun atau siapapun, sebab  kita semua, sejatinya, yaitu  

satu dan sama. Bahkan, pada situasi yang paling ekstrem, kita lebih 

memilih untuk disakiti, daripada menyakiti orang lain.

Dualistik dan Kekerasan

Namun, pola berpikir dualistik tidak otomatis langsung menciptakan 

kekerasan. Setidaknya, saya melihat dua hal yang mendorong pola 

berpikir dualistik menjadi kekerasan. Yang pertama yaitu  kesenjangan 

ekonomi yang besar antara orang kaya dan orang miskin. saat  

sekelompok orang hidup dalam kemiskinan yang besar, sementara 

mereka harus menyaksikan orang-orang kaya bergaya hidup mewah 

setiap harinya, pola berpikir dualistik akan mendorong terciptanya 

tindakan kekerasan.

Yang kedua yaitu  konfl ik masa lalu yang belum mengalami 

rekonsiliasi, dan menjadi dendam. saat  orang hidup dalam dendam, 

segala hal akan tampak jelek di matanya. Ia akan bersikap jahat, sering-

kali tanpa alasan. Maka, segala konfl ik di masa lalu harus menjalani 

proses rekonsiliasi, supaya   ia tidak berubah menjadi trauma kolektif 

dan dendam yang mendorong terciptanya kekerasan.

Sebagai manusia, kita perlu untuk memutus rantai pikiran yang 

memisahkan. Kita perlu melihat dunia apa adanya, tanpa perbedaan. 

Kita perlu sadar, bahwa segalanya yaitu  satu dan sama. Kita juga 

perlu sadar, bahwa kita semua hidup dalam kesatuan jaringan yang 

tak bisa dipisahkan. Pola berpikir dualistik haruslah dilampaui.

Di sisi lain, kita juga harus berusaha membangun warga  

tanpa kesenjangan sosial. Tidak boleh ada kesenjangan antara si kaya 

dan si miskin. Semua harus mendapat hak yang sama sebagai manusia 

yang bermartabat. Semua juga harus diberikan kesempatan untuk 

membangun hidupnya secara bermartabat.

Berbagai konfl ik di masa lalu juga harus diakui dan menjalani 

proses rekonsiliasi. Rekonsiliasi disini terkait dengan usaha  untuk 

memperbaiki hidup korban dari konfl ik di masa lalu. Ia juga terkait 

dengan mencari tahu, apa yang menjadi akar dan pola konfl ik yang 

terjadi di masa lalu itu. Rekonsiliasi akan mengurangi kemungkinan 

terjadinya konfl ik dengan pola yang sama di masa depan.

Agama dan Pengalaman Mistik

Setiap agama berawal dari pengalaman mistik manusia. Pengalam-

an mistik yaitu  pengalaman kesatuan dengan sesuatu yang lebih 

tinggi dari manusia, entah itu alam, roh, Tuhan, Allah dan sebagainya. 

Pengalaman mistik itu lalu dibagikan kepada orang lain, lalu 

berkembang menjadi agama. Agama lalu menjadi bagian dari cara 

hidup warga  tertentu.

Pengalaman mistik yaitu  inti dari semua agama. Agama tanpa 

pengalaman mistik hanya seperti organisasi biasa. Di dalam pengalaman 

mistik, orang melihat dirinya sebagai bagian dari kesatuan dengan 

segalanya. Pengalaman ini lalu coba disampaikan seturut dengan cara-

cara kultural yang ia miliki.

Sejatinya, pengalaman mistik tidak bisa dibagikan. Ia yaitu  

pengalaman kesatuan dengan segala hal, yakni pengalaman non-

dual. saat  dibagikan atau disampaikan kepada orang lain, ia lalu 

berubah menjadi pengalaman dualistik dan pola pikir dualistik. Pola 

pikir dualistik ditambah dengan berbagai masalah sosial lainnya akan 

berujung pada kekerasan. Inilah mengapa agama-agama sekarang 

begitu mudah dipelintir dan bahkan menjadi motif utama terjadinya 

kekerasan.

Dengan pola berpikir dualistik, setiap agama menulis kitab suci 

dan merumuskan teologinya masing-masing. Namun, kitab sucii dan 

teologi justru hanya menciptakan jurang yang lebih dalam, baik di 

antara penganut agama ini , maupun dengan penganut agama 

lainnya. Terciptalah kelompok-kelom pok, seperti kelompok pendosa, 

kelompok suci, kelompok kafi r, kelom pok taat, kelompok progresif, 

kelompok konservatif dan sebagainya. Mereka lalu saling berperang 

satu sama lain. Inilah hasil dari pola berpikir dualistik.

Maka dari itu, agama-agama sekarang ini haruslah melihat 

kitab suci dan teologinya masing-masing tidak sebagai kebenaran 

mutlak. Semuanya lahir dari pola berpikir dualistik yang tidak sesuai 

dengan kenyataan dan kebenaran alamiah semesta. Agama-agama 

harus kembali ke akarnya masing-masing, yakni pengalaman mistik. 

Pengalaman mistik melampaui pola berpikir dualistik, dan masuk ke 

ranah tanpa pembedaan.

Pola berpikir mistik menghasilkan kedamaian hati. Kedamaian hati 

mendorong kedamaian sosial. Para teolog dari berbagai agama berdebat 

dan bertengkar. Namun, para mistikus dari berbagai agama berjumpa 

dalam diam, sebab  mereka tahu, mereka semua satu dan sama. Jadi, 

agama-agama harus melihat tradisi, teologi dan kitab sucinya masing-

masing hanya sebagai alat, dan bukan tujuan pada dirinya sendiri.

saat  agama kembali ke akarnya masing-masing, yakni pengalaman 

mistik kesatuan dengan segalanya, maka dunia akan damai. saat  

agama tidak memutlakan ajaran-ajarannya masing, dan melihat 

segalanya sebagai satu dan sama dalam jaringan yang tak terpisahkan, 

maka akan tercipta kedamaian yang sejati. Agama tanpa kekerasan 

hanya bisa dicapai dengan menyentuh pengalaman mistik kesatuan 

batin manusia dengan semesta. Di ranah itu, kita tidak berjumpa dalam 

perbedaan, melainkan dalam kesatuan.

Artinya, kita berjumpa dalam cinta… cinta yang sejati.

Anatomi Rasa Takut

”Dibalik segala kekerasan dan kejahatan, ada rasa takut bersembunyi…”

Awal Maret 2015, Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, berpidato di depan Konggres Amerika Serikat di Washington. 

Ia berbicara soal bahaya dari negara Iran yang kemungkinan akan 

memiliki senjata nuklir dalam waktu dekat. Netanyahu ingin menebar 

rasa takut di kalangan Konggres Amerika Serikat, supaya   AS turun 

tangan langsung untuk berperang melawan Iran. Ia ingin menyuntikkan 

rasa takut ke dalam politik luar negeri AS.

Sebagai sebuah negara, AS memang didirikan dari rasa takut terha-

dap tirani Kerajaan Inggris. Hampir sepanjang sejarahnya, AS hidup 

sebagai sebuah negara yang dipenuhi kegelisahan dan rasa takut atas 

musuh dari luar. Pada masa perang dunia kedua, Hitler dan Jerman 

menjadi musuh. Pada masa perang dingin dan di awal abad 21, Uni 

Soviet dan kelompok teroris Islam ekstrimis menjadi musuh. sebab  

rasa takut ini, AS sering terlibat di dalam berbagai perang yang sia-sia.

Politik yang didorong oleh rasa takut juga bukan hal baru di 

Indonesia. Sejak awal, Indonesia takut akan kembalinya pasukan kolo-

nial Belanda dan Inggris. Seluruh politik Sukarno juga diarahkan untuk 

menumpas segala bentuk neokolonialisme yang dibawah oleh negara-

negara Barat. Pada masa Orde Baru, politik Indonesia didorong oleh 

rasa takut terhadap komunisme. Jejak-jejaknya masih terasa sampai 

saat ini.

Kita pun seringkali diselimuti rasa takut. Kita takut akan 

ketidakpastian masa depan dan keluarga kita. Apakah kita akan sukses 

di kemudian hari? Apakah kita akan hidup sehat sampai usia tua? 

Pertanyaan-pertanyaan ini menciptakan harapan sekaligus rasa takut 

di dalam hidup kita. 

Di sisi lain, banyak orang juga takut akan masa lalunya. Mereka 

menyesal telah berbuat kesalahan di masa lalu. Di masa kini, mereka 

menanggung akibat dari kesalahan masa lalu mereka. Hari-hari mereka 

dipenuhi dengan campuran antara rasa takut, cemas dan menyesal.

Namun, kita semua tahu, ketakutan terbesar kita yaitu  kematian. 

Kita takut berpisah dengan keluarga dan orang-orang yang kita cintai, 

saat  kita meninggal. Kita juga takut apa yang ada di kehidupan 

berikutnya, setelah kita mati. Kita juga takut, saat  orang yang kita 

cintai meninggalkan kita terlebih dahulu.

Ada masalah besar disini. saat  kita takut, pikiran kita kacau. 

Kita jadi melihat hal-hal yang tak ada. Sebaliknya, kita justru jadi 

tidak menghargai hal-hal baik yang sudah ada. Rasa takut membuat 

kita buta.

Pikiran yang kacau memicu penderitaan di dalam hati kita. 

saat  kita menderita, maka tindakan kita juga kacau. Kita pun bisa 

memicu penderitaan bagi orang lain. Kebutaan akibat rasa takut 

dan penderitaan yang menggerogoti hati kita mendorong kita untuk 

berbuat jahat.

Pertimbangan-pertimbangan kita pun juga kacau, sebab  pikiran 

yang kacau. Keputusan yang kita ambil banyak merugikan diri kita 

sendiri. Orang lain pun juga terkena dampaknya. Orang-orang yang 

hidup dengan kebutaan dan penderitaan akibat rasa takut, namun 

memiliki kekuasaan politik yang besar, seperti George W. Bush dan 

Benyamin Netanyahu, juga akan membawa penderitaan besar bagi 

banyak orang.

Pada tingkat pribadi, rasa takut bisa memberi  penderitaan 

batin yang besar. Banyak orang mengalami depresi, sebab  rasa takut 

yang begitu besar di dalam dirinya. Mereka tidak bisa menemukan 

kebahagiaan dan kedamaian di dalam hidupnya. Pada keadaan yang 

sangat parah, orang memilih untuk bunuh diri, sebab  tak kuat lagi 

menahan rasa takutnya.

Mengapa kita merasa takut? Apa itu ketakutan? Mengapa ia bisa 

menjadi daya dorong yang besar, bahkan bisa mendorong terciptanya 

perang besar antara berbagai negara? Bisakah kita melampaui rasa 

takut yang bercokol di dalam diri kita?

Ketakutan dan Akarnya

Ketakutan yaitu  antisipasi berlebihan terhadap apa yang akan 

terjadi. Fokus dari ketakutan yaitu  masa depan. Ia belum terjadi, 

namun kemungkinan akan terjadi. Kemungkinan ini didasarkan pada 

pengalaman pahit diri sendiri maupun orang lain di masa lalunya.

Sumber dari rasa takut yaitu  pikiran kita. Kita membangun 

bayangan atas apa yang akan terjadi pada diri kita. Bayangan ini  

menghantui kita, dan membuat pikiran kita menjadi kacau. Pikiran 

kacau juga akan menciptakan hidup yang kacau.

Jadi, rasa takut yaitu  bayangan. Ia belum terjadi. Kemungkinan 

juga, ia tidak akan pernah terjadi. Rasa takut tidak ada pada dirinya 

sendiri, melainkan sangat tergantung dari cara berpikir dan keadaan 

pikiran kita.

Darimana bayangan yang menciptakan rasa takut ini muncul? 

Hubungan kita dengan orang lain dan dengan kenyataan itu sendiri 

melahirkan rasa takut dalam diri kita. Kita mendengar cerita dari orang 

lain yang mengalami pengalaman jelek, lalu kita menjadikan cerita jelek 

itu sebagai bagian dari bayangan kita. Rasa takut pun kemudian lahir.

Pengalaman pribadi kita sendiri di masa lalu juga menciptakan rasa 

takut. Kita mengalami pengalaman pahit di masa lalu. Lalu, kita takut, 

andaikan pengalaman itu terulang kembali. Kita pun melakukan segala 

hal untuk mencegahnya. usaha  pencegahan ini seringkali melahirkan 

rasa tegang dan rasa takut di dalam batin kita.

saat  kita mendengar cerita pahit tentang hidup orang lain, kita 

seringkali menerimanya begitu saja sebagai kebenaran. Kita tidak 

memakai  pikiran kritis untuk bertanya, apakah cerita itu benar, 

atau tidak. Jadi, ketakutan juga bisa lahir dari pikiran yang tidak kritis, 

yakni pikiran yang gampang percaya. Orang semacam ini gampang 

sekali menjadi korban adu domba dan provokasi orang lain.

Pikiran yang tidak kritis menciptakan delusi di dalam pikiran kita. 

Delusi, dalam arti ini, berarti kesalahan berpikir tentang kehidupan dan 

kenyataan itu sendiri. Delusi membuat kita memiliki rasa takut yang 

akhirnya membuat kita hidup menderita. Kita tidak bisa menemukan 

kedamaian dan kebahagiaan di dalam hati kita.

Melampaui Rasa Takut

Di dalam tradisi Zen Buddhisme, tugas utama setiap manusia 

yaitu  memahami pikirannya. Memahami pikiran berarti memahami 

jati diri asali setiap orang, sebelum ia masuk ke dalam dunia sosial. 

Memahami pikiran juga berarti menyadari, bahwa pikiran itu tidak 

ada. Memahami jati diri asali manusia berarti juga menyadari, bahwa 

”jati diri” itu tidak ada.

saat  diri dan pikiran disadari sebagai tidak ada, maka orang 

tidak akan pernah merasa takut lagi dalam hidupnya. Semua peristiwa 

yang menimpanya dianggap sebagai peristiwa biasa, yakni bagian kecil 

dari jagad semesta ini. Orang lalu tidak lagi hidup dengan pikirannya, 

melainkan dengan kesadarannya. Ia menjadi pribadi yang peka, peduli 

dan terlibat untuk membantu orang-orang di sekitarnya yang kesulitan.

Eckhart Tolle di dalam bukunya yang berjudul Jeĵ t! Die Kraft der 

Gegenwart juga menegaskan, bahwa masa lalu itu tidak ada. Masa lalu 

itu hanyalah bayangan semata yang tidak punya objek yang konkret. 

Rasa takut akibat dari kesalahan masa lalu juga hanyalah bayangan 

semata yang rapuh dan fana. Yang sesungguhnya ada hanyalah masa 

kini.

Jika masa lalu itu hanya bayangan, bagaimana dengan masa depan? 

Masa depan pun juga merupakan bayangan. Rasa takut akan masa 

depan, menurut Hinnerk Polenski dalam bukunya Hör auf zu denken, 

sein einfach glücklich, yaitu  ilusi atau bayangan yang mengacaukan 

pikiran manusia. Ia tidak ada pada dirinya sendiri, melainkan hanya 

muncul dari pikiran manusia.

Kematian pun juga sejatinya tidak ada. Ia hanya bagian dari 

proses perubahan semesta. Mistikus Islam, Rumi, menegaskan, bahwa 

kematian hanya merupakan tipuan dari mata. Seluruh panca indera kita 

menipu kita dengan memberi  kesan perpisahan yang sesungguhnya 

tak ada.

Jika kematian tak ada, maka kehidupan pun juga tak pernah ada. 

Kita semua hanya numpang lewat minum teh di dunia ini, begitu kata 

kebijaksanaan kuno Jawa. Kita hanya perlu hidup sesederhana dan 

sebaik mungkin, supaya   kita bisa memberi  kebahagiaan pada diri 

kita sendiri, dan pada orang lain. Sisanya hanya sementara dan fana, 

maka kita tidak perlu terlalu serius dan ambisius dalam hidup ini.

Segala hal yaitu  lahir dari pikiran manusia. Rasa takut juga lahir 

dari pikiran kita. Kematian dan kehidupan juga yaitu  konsep hasil 

ciptaan pikiran kita. Namun, pikiran kita bersandar pada panca indera 

kita yang sesungguhnya rapuh. Maka, pikiran kita pun rapuh. Jangan 

percaya dengan pikiran yang muncul di kepalamu, begitu kata Seung 

Sahn, Zen Master dari Korea dalam bukunya The Compass of Zen.

saat  pikiran dilepas, kita akan menemukan kedamaian. saat  

pikiran dilepas, maka kematian, kehidupan, masa lalu, masa depan 

dan segala bentuk ketakutan akan lenyap dalam sekejap mata. Kita 

pun bisa hidup dengan kesadaran penuh yang melahirkan kedamaian 

dan kebahagiaan di dalam hati. Kita pun lalu bisa menolong orang lain 

yang membutuhkan kita.

Hidup ini tidak sulit. Hidup ini juga tidak mudah. Hidup ini hanya 

perlu dijalani apa adanya. Para fi lsuf Stoa mengajarkan kita untuk tidak 

membuat penilaian dalam hidup ini. Kita hanya perlu hidup dari saat 

ke saat.

Hidup dari saat ke saat yaitu  hidup yang sempurna. Rasa takut 

tidak ada. Masa lalu dan masa depan tidak ada. Kehidupan dan 

kematian juga tidak ada. Yang ada hanya satu: kedamaian sejati.

Para politikus kita perlu sampai pada kesadaran ini. Hanya dengan 

cara ini, politik kita di Indonesia bisa berkembang untuk memajukan 

keadilan dan kesejahteraan bersama. Sistem raksasa dengan aturan 

hukum yang banyak akan percuma, jika manusia-manusia pelaksananya 

diselubungi rasa takut dan penderitaan. Itu hanya menciptakan sistem 

politik yang mahal, namun tanpa hasil nyata.

Benyamin Netanyahu juga perlu untuk keluar dari rasa takutnya, 

supaya   ia bisa melihat keadaan dengan lebih jernih, dan membuat 

keputusan dengan lebih bijak. Sudah waktunya pula Indonesia 

melepaskan ketakutannya pada komunisme. Kita harus meninggalkan 

politik rasa takut dengan terlebih dahulu melampaui rasa takut yang 

bercokol di dalam hati kita. Suatu saat, kita akan bisa berkata, ”Masih 

takut? Harigeneee?”

Rasa Takut

Semua orang pasti pernah merasa takut. Saya pernah merasa takut. Anda juga pasti pernah merasa takut. Takut menjadi bagian hidup 

manusia dari seluruh jaman.

Padahal, rasa takut yaitu  benda paling jahat di dunia. Ia membuat 

orang khawatir berlebihan akan hidupnya. Pikirannya kacau. Badannya 

pun juga ikut sakit.

Orang menderita, sebab  diterkam rasa takut. Hidupnya bagai di 

neraka. Orang yang merasa takut juga cenderung jahat pada orang 

lain. Ia gampang marah, dan gampang berbuat kasar.

Pada tingkat yang lebih tinggi, rasa takut juga menciptakan 

perang. Kelompok yang satu khawatir, bahwa kelompok lainnya akan 

menyerang dia. Maka, ia menyerang duluan. Perang pun meletus.

Pada tingkat pribadi, rasa takut menciptakan penyakit jiwa. 

Deretan penyakit jiwa muncul, sebab  orang merasa takut. Rasa takut 

juga mendorong orang berbuat yang aneh-aneh. Pada masalah  yang parah, 

rasa takut mendorong orang untuk melakukan bunuh diri.

Apa it u rasa takut? Mengapa orang merasa takut? Bagaimana cara 

melampaui rasa takut? Inilah pertanyaan-pertanyaan penting untuk 

hidup setiap orang.

Rasa Takut

Rasa takut yaitu  perasaan tegang di dalam pikiran, sebab  

kemungkinan akan kehilangan sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa harta, 

reputasi atau hidup. Rasa takut biasanya timbul, sebab  perasaan 

terancam. Ada yang mengancam harta kita, reputasi kita atau hidup 

kita, sehingga kita lalu merasa takut.

Akar rasa takut, sejatinya, yaitu  kesalahan berpikir. Kita mengira, 

sesuatu itu abadi. Maka, kita lalu menggantungkan hidup kita pada 

sesuatu itu, entah uang, reputasi atau pekerjaan kita. Kita mengira, 

semua itu yaitu  kebenaran sejati yang akan ada selamanya.

Kita mengira, dunia itu ada. Kita mengira, uang itu ada. Kita 

mengira, reputasi itu ada. Padahal, jika dipikirkan lebih dalam, segala 

sesuatu itu kosong. Ia ada, sebab  pikiran kita semata.

Kita juga mengira, kita ini ada. Kita mengira, reputasi kita yaitu  

segalanya. Kita mengira, karir kita yaitu  segalanya. Padahal, jika 

dicari lebih dalam, kita tidak akan menemukan sesuatu yang utuh dan 

abadi di dalam diri, reputasi ataupun karir kita. Semuanya fana dan 

sementara, bagaikan bayangan.

Kita ditipu oleh pikiran kita sendiri. Pikiran kita menciptakan 

segalanya, dan kita mengira, itu semua sebagai benar, utuh dan abadi. 

Padahal, pikiran kita itu rapuh. Ia bisa berubah, dan bahkan lenyap.

Melampaui Rasa Takut

Obat paling manjur untuk rasa takut yaitu  dengan menyadari, 

bahwa segala sesuatu itu kosong, bagaikan bayangan. Dunia itu kosong. 

Diri kita itu kosong. Yang ada hanyalah ruang hampa yang besar dan 

mencakup semuanya.

Tidak ada yang perlu ditakutkan. Tidak ada yang perlu dicemaskan. 

Semuanya yaitu  ”apa adanya”. Tidak baik, tidak buruk, tidak benar, 

tidak salah, semuanya hanya ”apa adanya”.

Jika obat ”kekosongan” ini diminum, kita akan bebas dari rasa 

takut. Kita tidak akan menderita secara batin ataupun badan. Kita juga 

tidak akan membuat orang lain susah. Kita hanya hidup saat demi saat 

dengan kejernihan dan kedamaian hati.

Jika lapar, maka kita makan. Jika haus, maka minum. Jika lelah, 

maka tidur. Semuanya dilakukan dengan kesederhanaan, tanpa rasa 

takut.

Kesadaran akan kekosongan dari segala sesuatu yaitu  

kebijaksanaan tertinggi. Orang yang menyadarinya akan bebas dari rasa 

takut. Bebas dari rasa takut berarti bebas dari penderitaan. Bebas dari 

penderitaan berarti hidup yang penuh dengan kedamaian, kejernihan 

dan cinta untuk semua.

Jadi, tunggu apa lagi?

Identitas Itu Ilusi

Begitu banyak konfl ik terjadi dengan latar belakang perbedaan identitas. Perbedaan ras, suku, agama dan pemikiran dijadikan 

pembenaran untuk menyerang dan menaklukan kelompok lain. 

Darah bertumpahan, akibat konfl ik identitas semacam ini. Lingkaran 

kekerasan yang semakin memperbesar kebencian dan dendam pun 

terus berputar, tanpa henti.

Namun, kita sebagai manusia nyaris tak pernah belajar dari beragam 

konfl ik berdarah ini. Sampai sekarang, kita masih menyaksikan perang 

di berbagai tempat, akibat perbedaan identitas. Ketegangan antara ISIS 

(Negara Islam Irak dan Suriah) dengan negara-negara di sekitarnya 

memuncak pada jatuhnya banyak korban tak bersalah. Amerika Serikat 

masih merasa sebagai satu-satunya negara yang memiliki identitas 

khusus, sehingga berhak melakukan apapun di dunia, tanpa ada yang 

bisa melarang.

Indonesia juga memiliki sejarah panjang terkait dengan konfl ik 

sebab  perbedaan identitas. Konfl ik Sampit sampai dengan tawuran 

pelajar terjadi, akibat perbedaan identitas. Pasangan yang saling men-

cintai terpisah, sebab  perbedaan identitas. Orang tak boleh bekerja di 

pemerintahan, sebab  identitasnya berbeda dengan identitas mayoritas.

Diskriminasi pun juga lahir, sebab  pemahaman yang salah tentang 

identitas. Kebijakan Apartheid di Afrika Selatan yang memisahkan 

orang berkulit hitam dan putih masih segar di ingatan kita. Jejak-

jejak dari kebijakan ini  masih bisa dirasakan di banyak negara. 

Perlakuan istimewa masih diberikan kepada orang-orang berkulit putih 

di berbagai negara, tanpa dasar yang masuk akal.

Mengapa perbedaan identitas begitu mudah dipelintir untuk 

membenarkan tindak kejahatan tertentu? Apa itu sebenarnya identitas? 

Adakah sesungguhnya yang disebut dengan identitas? Ataukah kita 

hanya saling konfl ik satu sama lain, tanpa alasan yang jelas?

Identitas dan Kemelekatan

Identitas yaitu  label sosial yang ditempelkan kepada kita, sebab  

kita menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu. Ada beragam bentuk 

identitas yang berpijak pada kelompok tertentu, mulai dari ras, agama, 

suku, negara, aliran pemikiran sampai dengan gender. Kita menerima 

identitas kita dari tempat dan kelompok, dimana kita lahir. Identitas itu 

berubah, sejalan dengan meluasnya hubungan kita dengan kelompok-

kelompok lainnya.

Ketegangan biasanya terjadi, sebab  orang merasa identitasnya 

dihina oleh orang lain. Orang menyamakan dirinya dengan identitas 

kelompoknya. saat  kelompoknya dihina, maka ia akan juga merasa 

terhina. Inilah yang disebut sebagai kemelekatan pada identitas, yang 

menjadi akar dari banyak konfl ik di dunia ini.

Namun, identitas tidak hanya terkait dengan kelompok, namun  

dengan setiap label yang kita lekatkan pada diri kita masing-masing. 

Sejak kita lahir, kita sudah diberi nama. Kita pun menyamakan diri 

kita dengan nama ini . Kita melekatkan diri kita pada nama yang 

diberikan oleh orang tua kita. saat  nama itu dihina, kita pun akan 

merasa terhina.

saat  kita lahir, kita sudah langsung masuk ke dalam kelompok 

suku tertentu. Kita tidak bisa memilih. Kemudian, kita menyamakan 

diri kita dengan kelompok suku kita. saat  kelompok suku itu dihina, 

kita pun merasa terhina.

Kelompok suku tertentu biasanya sudah selalu terkait dengan ras 

tertentu. Ras tentunya memiliki lingkup lebih luas, daripada suku. 

Namun, sifatnya sama, kita seringkali menyamakan diri kita dengan 

ras kita. Kita melekat padanya, seringkali tanpa bisa memilih.

Hal yang terjadi terkait dengan soal agama. Kita menyamakan diri 

kita dengan agama kita. Kita melekat pada agama yang seringkali telah 

dipilihkan oleh orang tua untuk kita. Kita bahkan seringkali tidak bisa 

memilih agama kita sendiri.

Nasionalisme yaitu  kesetiaan pada identitas nasional, yakni 

negara dan bangsa. Kita menyamakan diri kita dengan bangsa dan 

negara, tempat kita dilahirkan. Dalam arti ini, kita juga melekatkan diri 

kita pada tata politik, tempat kita dilahirkan. saat  negara dan bangsa 

kita dihina, maka kita pun, sebagai pribadi, juga ikut merasa terhina.

Banyak orang juga melekatkan diri pada aliran pemikiran tertentu. 

Mereka menyamakan diri mereka dengan aliran berpikir tertentu, 

misalnya aliran progresif, nasionalis, dan sebagainya. saat  aliran 

itu dikritik, maka mereka merasa, bahwa pribadi mereka pun dikritik. 

Kelekatan pada aliran pemikiran ini juga menciptakan konfl ik antar 

manusia.

Di era sekarang ini, banyak orang menyamakan diri mereka dengan 

pekerjaan mereka. Mereka biasanya yaitu  para profesional yang telah 

mendapat pendidikan di satu bidang tertentu, dan kemudian bekerja di 

bidang itu. Mereka begitu melekat pada profesi mereka. saat  mereka 

mengalami masalah dengan pekerjaan mereka, stress dan depresi berat 

pun seringkali datang melanda.

Ada begitu banyak label identitas yang kita lekatkan pada diri kita. 

saat  salah satu label itu bermasalah, kita menderita. saat  salah satu 

label itu dihina, kita pun merasa terhina. Konfl ik antar manusia banyak 

terjadi, sebab  orang menyamakan dirinya begitu saja pada label 

identitasnya. Dengan kata lain, orang melekat pada label identitasnya.

Hakekat Identitas

Namun, apakah label identitas itu sungguh nyata? Ataukah, 

ia hanya label sementara yang ditempelkan kepada kita sejak kita 

kecil, tanpa kita punya pilihan untuk mengubahnya? Saya melihat 

dua karakter dasar dari label identitas, yakni kesementaraan dan 

kerapuhan. Orang yang melekatkan dirinya pada identitasnya artinya 

ia melekatkan dirinya pada sesuatu yang sementara dan rapuh.

Identitas itu sementara, sebab  ia akan berubah. Konsep-konsep 

identitas, seperti ras, suku, agama, profesi dan aliran pemikiran, yaitu  

ciptaan dari pikiran manusia. Orang bisa menjadi bagian dari suatu ras, 

suku atau agama, namun  ia juga bisa melepaskan diri dari semua label 

ini , jika ia mau. Bahkan, sebab  luasnya pergaulan seseorang, ia 

bisa begitu saja mengubah seluruh identitasnya.

Identitas juga rapuh. Ia begitu mudah berubah. Ia amat sementara. 

Berbagai hal bisa mendorong orang mengubah identitasnya, atau 

bahkan melepasnya sama sekali.

Kemelakatan pada identitas membuat orang jadi gampang merasa 

terhina. Mereka gampang terprovokasi. Mereka juga gampang dipecah 

belah, sehingga saling berkonfl ik satu sama lain. Identitas juga 

menciptakan perbedaan-perbedaan palsu antar manusia.

Perbedaan ini begitu mudah dijadikan sebagai alasan untuk 

diskriminasi, konfl ik maupun kejahatan-kejahatan lainnya. Perbedaan 

ini menciptakan penderitaan batin, misalnya dalam bentuk kesepian. 

Padahal, sejatinya, identitas itu ilusi, sebab  ia amat sementara dan 

begitu rapuh. Dunia akan jauh lebih baik, jika orang tidak melekatkan 

diri pada label-label identitas yang diciptakan warga .

Beberapa ahli berpendapat, bahwa akar dari konfl ik bukanlah 

perbedaan identitas, namun  kesalahan di dalam memahami perbedaan 

identitas. Namun, saya berpendapat, bahwa kesalahpahaman ini tidak 

perlu terjadi, jika orang sudah sejak awal tidak melekatkan dirinya 

pada label identitas tertentu. Sejauh manusia masih melihat dirinya 

di dalam kotak-kotak label identitas, selama itu pula bayang-bayang 

konfl ik akan terus menghantui.

Melampaui Identitas

Jika identitas yaitu  sementara dan rapuh, maka sebaiknya, kita 

tidak menyamakan diri kita dengan identitas kita. Kita tidak boleh 

melekat padanya. Kita boleh memakai nya, guna membantu orang 

lain. Namun, kita tidak pernah boleh terjebak di dalamnya.

Banyak orang takut untuk melepas identitasnya. Mereka berpegang 

begitu erat padanya, misalnya pada tradisinya, pada agamanya dan 

pada aliran pemikirannya. Mereka mengira, jika identitas dilepas, 

maka mereka akan mengalami kehampaan hidup. Inilah salah satu 

cara berpikir yang salah yang tersebar di warga  kita.

Padahal, jika kita tidak melekat pada identitas kita, kita lalu 

menjadi manusia merdeka. Kita tidak gampang diprovokasi. Kita pun 

tidak punya alasan untuk merasa terhina, saat  orang lain menghina 

salah satu label identitas kita. Kita tidak mudah terdorong untuk 

berkonfl ik dengan orang lain, sebab  alasan yang tidak masuk akal, 

misalnya penghinaan pada salah satu label identitas kita.

saat  sadar, bahwa identitas kita yaitu  ilusi, kita pun otomatis 

menjaga jarak darinya. Pada titik ini, kita tidak lagi stress atau depresi, 

jika pekerjaan kita gagal, atau saat  agama, ras, suku, negara dan 

profesi kita dihina orang lain. Kita akan lebih tenang menyingkapi 

segala tantangan yang ada. Segala tantangan hidup pun lalu bisa 

dilampaui dengan ketenangan batin.

Mau sampai kapan kita jadi manusia sensitif, yang begitu cepat 

marah, saat  salah satu label identitas ilusif kita dihina orang lain? 

Mau sampai kapan kita stress, depresi dan menderita, saat  salah 

satu label identitas kita mengalami kegagalan, misalnya gagal dalam 

pekerjaan dan gagal dalam ujian? Mau sampai kapan kita diombang 

ambingkan oleh kesementaraan dan kerapuhan label identitas kita? 

Mau sampai kapan…?

Tidak Tahu

Sokrates dikenal sebagai bapak dari fi lsafat barat. Ia hidup sekitar 470 tahun sebelum Masehi. Ia memiliki cara berfi lsafat yang unik. Ia 

tidak berfi lsafat di kelas atau ruang-ruang tertutup lainnya, melainkan 

di pasar di kota Athena.

Ia berjalan berkeliling di pasar. Ia pun berteriak kepada banyak 

orang, ”Kamu harus mengenal dirimu sendiri! Kamu sungguh harus 

mengenal dirimu sendiri!” saat  ada orang bertanya kepadanya, ”Hai 

Sokrates, apakah kamu mengenal dirimu sendiri?” Sokrates hanya 

menjawab, ”Saya tidak tahu, namun saya tahu, bahwa saya tidak tahu!”

Bodhidharma dikenal sebagai orang yang membawa Zen Buddhisme 

dari India ke Cina. Di India sendiri, Buddhisme sudah berkembang dari 

sekitar tahun 680 sebelum Masehi. Di Cina, Buddhisme sudah ada 

mulai dari sekitar tahun 200 setelah Masehi. Kehadiran Bodhidharma 

mengundang takut sekaligus kagum dari para biksu Buddhis yang 

sudah ada Cina pada masa itu.

Suatu hari, Bodhidharma diundang oleh penguasa setempat untuk 

makan bersama. Sang penguasa bertanya, ”Saya sudah membangun 

banyak biara Buddhis. Apa yang akan saya dapatkan?” Bodhidharma 

menjawab, ”Tidak ada.” Sang penguasa pun marah mendengar jawaban 

itu. Ia berkata, ”Kurang ajar! Siapa kamu?” Jawab Bodhidharma, ”Saya 

tidak tahu.”

Tidak Tahu

Apa yang sama dari jawaban Sokrates dan Bodhidharma? Keduanya 

sama-sama mengatakan, bahwa mereka tidak tahu. Apa maksud dari 

jawaban ini? Apakah ini sungguh ketidaktahuan, ataukah ada maksud 

lain yang ingin mereka sampaikan? 

Kita hidup di era, dimana semua orang merasa tahu. Ilmu 

pengetahuan dan fi lsafat merasa bisa menjelaskan tentang hakekat dari 

kenyataan dan kehidupan. Berbagai agama merasa bisa menjelaskan 

tentang hakekat Tuhan dan apa yang terjadi setelah mati. Namun, 

sesungguhnya, apakah mereka sungguh tahu, atau hanya mengira-

ngira saja?

Ilmu pengetahuan, fi lsafat dan agama mengandalkan satu 

hal, yakni bahasa. Mereka menjelaskan segala hal dengan bahasa. 

Pengetahuan dan pikiran mereka dirumuskan dan disebarkan dengan 

memakai  bahasa sebagai alat utamanya. Namun, mampukah 

bahasa menggambarkan kerumitan dari segala kenyataan yang ada? 

Mampukah bahasa menggambarkan pikiran manusia?

Coba kita lakukan sedikit eksperimen. Bisakah anda melukiskan 

dengan jelas tindakan membuka kepalan tangan? Sulit bukan? Jika 

untuk kegiatan sesederhana ini, bahasa sudah mengalami kesulitan, 

bagaimana mungkin bahasa mampu menggambarkan segala kenyataan 

yang ada? Bagaimana mungkin, bahasa mampu menggambarkan secara 

tepat isi dari pikiran manusia?

Dengan demikian, bisa dikatakan, setiap teori ilmu pengetahuan 

dan fi lsafat selalu bersifat terbatas. Keduanya tak mampu menjelaskan 

secara utuh apa yang ingin mereka jelaskan. Agama-agama juga 

tidak mampu menggambarkan secara utuh apa yang ingin mereka 

gambarkan. Semua penjelasan selalu bersifat terbatas, dan, pada 

akhirnya, salah.

Kita semua harus jujur, bahwa kita tidak tahu. Sama seperti 

Sokrates dan Bodhidharma, kita harus belajar untuk sadar, bahwa 

kita tidak tahu. Pengetahuan yang tertinggi, dalam arti ini, yaitu  

ketidaktahuan. Jika sama-sama tidak tahu, kenapa kita bertengkar 

satu sama lain, dan merasa lebih benar dari orang lain? Arogansi? 

Kebodohan?

Ketidaktahuan yaitu  kondisi asali manusia. Artinya, manusia 

sejatinya yaitu  mahluk yang tidak tahu. saat  lahir ke dunia, ia tidak 

tahu. Maka, ia lalu mencoba untuk melakukan segalanya. Kita sering 

lihat, bagaimana anak kecil dengan ringannya mengambil kotoran di 

tanah, dan kemudian menjilatnya bukan?

Pikiran-Tidak-Tahu

saat  kita hidup dengan pikiran-tidak-tahu semacam ini, kita 

akan menjadi terbuka pada segala kenyataan yang ada. Kita akan juga 

terbuka pada segala kemungkinan yang ada. Kita tidak terjebak pada 

kepastian-kepastian palsu. Kita juga tidak terjebak pada segala bentuk 

ilusi yang diajarkan oleh tradisi yang ada sebelum kita.

saat  kita hidup dengan pikiran-tidak-tahu, kita akan menghadapi 

setiap keadaan apa adanya. Kita tidak dibebani dengan masa lalu yang 

kerap kali memberi  pengetahuan palsu. Kita juga tidak dibebani 

oleh harapan akan masa depan yang kerap kali hanya berupa impian 

semu belaka. Setiap detik yaitu  suatu keadaan baru dalam hidup kita.

Bagaimana supaya   kita bisa mewujudkan pikiran-tidak-tahu 

semacam ini dalam hidup kita? Hanya ada satu cara yang mungkin, 

yakni berhenti berpikir. saat  orang berpikir, ia mulai membuat 

pembedaan. Ia membuat kategori antara aku dan kamu, kami dan 

mereka. Dari pikiran, lahirlah pembedaan, dan dari pembedaan lahirlah 

segala bentuk kejahatan dan ketidakadilan.

Perhatikan corak warga  modern sekarang. Orang hidup 

dalam kotaknya masing-masing. Mereka merasa dirinya berbeda 

dengan komunitas mereka. Mereka hidup dalam kesendirian, kesepian, 

keterasingan dan akhirnya penderitaan.

Hasilnya yaitu  individualisme dan egoisme ekstrem. Orang hanya 

hidup untuk dirinya sendiri. Mereka hanya sibuk untuk memenuhi 

kepentingan dan kenikmatan mereka. Solidaritas dan komunitas hanya 

menjadi slogan papan iklan yang hampir tak memiliki makna.

Ini semua yaitu  hasil dari pikiran yang memisahkan manusia 

yang satu dengan manusia yang lain, dan memisahkan manusia dari 

alam sekitarnya. saat  pikiran yang memisahkan ini hilang, maka 

perbedaan akan hilang. Jarak akan hilang. Kita pun akan merasa satu 

tidak hanya dengan orang lain, namun  juga dengan seluruh alam.

Kita tidak akan menyakiti orang lain, jika kita sadar, bahwa mereka 

dan kita yaitu  satu dan sama. Perasaan kesatuan ini yaitu  inti utama 

dari cinta. Dalam arti ini, cinta bukanlah emosi atau tindakan belaka, 

melainkan inti dari diri seseorang. saat  orang sudah menjadi cinta itu 

sendiri, semua tindakannya akan mencerminkan cinta secara otomatis.

Bagaimana mungkin kita hidup, jika tidak berpikir? Pikiran yaitu  

alat. Ia harus diatur dan ditata oleh manusia, dan bukan sebaliknya. 

Pikiran yang sebaiknya dipakai  yaitu  pikiran ala Sokrates dan 

Bodhidharma, yakni pikiran-tidak-tahu.

Pikiran-tidak-tahu memecahkan masalah dengan berpijak pada 

masalah itu sendiri, bukan dengan ketakutan ataupun harapan palsu. 

Pikiran-tidak-tahu bergerak dari saat ke saat, dan tidak dibebani 

dengan pengetahuan palsu yang berasal dari masa lampau. Ia bersifat 

spontan dan alamiah. Ia melampaui bahasa dan rumusan.

Namun, pikiran-tidak-tahu tidak boleh menjadi ajaran mutlak 

yang baru. Ketidaktahuan bukanlah suatu keadaan mutlak, melainkan 

cair. Ia tidak boleh jatuh hanya pada pengetahuan intelektual belaka, 

melainkan harus menjadi cara hidup yang menetap menjadi kebiasaan. 

Yuk, mari belajar untuk menjadi tidak tahu!

Lupa

Ada satu band yang cukup menarik dari Indonesia. Nama bandnya yaitu  Kuburan. Mereka punya satu lagu yang cukup terkenal 

di Indonesia. Judulnya ”Lupa”.

Syairnya menarik perhatian saya. Begini bunyinya: ”lupa..lupa..

lupa… lupa lagi syairnya. Ingat… ingat.. ingat cuma kuncinya.” 

Bagaimana mungkin seorang musisi menyanyi lagu ciptaannya sendiri, 

namun  lupa syairnya? Mungkin, ini mirip seperti keadaan kita sekarang 

ini. Kita manusia, namun  lupa, apa artinya menjadi manusia.

Kita bekerja. Kita belajar. Kita bercinta. Kita berkeluarga. Namun, 

semuanya itu terjadi secara begitu saja, seringkali tanpa kesadaran, 

sebab  kita hanya mengikuti apa yang diinginkan oleh warga  

dan keluarga kita. Kita lebih mirip robot, dan kehilangan kesadaran 

kita sebagai manusia.

Kelupaan Kita

Martin Heidegger, fi lsuf Jerman di awal abad 20, menyebut 

keadaan ini sebagai ”kelupaan akan ada” (Seinsvergessenheit). Orang 

sibuk mencari dan melakukan apa yang tidak penting, dan pada waktu 

yang sama, mereka lupa akan inti yang terpenting dari segala sesuatu. 

Di dalam tradisi Buddhisme, ini juga disebut sebagai keadaan ”tidak 

melihat” (avidya). Orang hidup dengan segala kesibukannya, namun  

tidak melihat apa yang sungguh penting, dan juga melupakan inti dari 

segala sesuatu.

Di dalam tradisi fi lsafat Yunani Kuno, Plato juga melihat keadaan 

yang sama. saat  manusia lahir, ia melupakan segala pengetahuan 

yang ia punya, lalu harus mulai belajar segalanya dari awal lagi. 

Pendidikan, bagi Plato, yaitu  proses mengingat kembali (anamnesis) 

apa yang sudah diketahui sebelumnya, namun terlupakan. Sumber 

dari pengetahuan itu yaitu  Dunia Ide, tempat model dan eseni dari 

segala sesuatu berada.

 Saya juga melihat gejala yang sama. Jade Small menyebut kelupaan 

sebagai ciri utama dari manusia modern. Ia terjadi di semua tindakan 

manusia, baik secara pribadi, kolektif, kultural dan politis. MoÄ´ o 

berikut ini mungkin bisa memberi  penjelasan: aku lupa, maka aku 

ada (oblivisco ergo sum).

Kelupaan Multidimensional

Small juga menjelaskan, bahwa kelupaan ini terjadi di dua tingkat. 

Yang pertama yaitu , kita lupa akan tempat kita dalam hubungan 

dengan alam di dunia ini. Kita lebih nyaman hidup dalam kurungan 

beton dan semen, daripada berhubungan langsung dengan hewan dan 

tumbuhan yang justru menjadi sumber kehidupan kita. sebab  merasa 

terasing dari alam, kita pun mulai melihat alam sebagai obyek untuk 

kepentingan kita semata, dan akhirnya justru menghancurkannya 

dengan kerakusan dan kebodohan kita.

saat  alam hancur, anak cucu kita di masa depan juga akan hidup 

dengan alam yang sudah rusak, akibat perbuatan kita. Artinya, kita 

juga melupakan tanggung jawab kita pada masa depan, yakni pada 

kehidupan anak cucu kita. Dengan hidup dalam keadaan lupa semacam 

ini, kita lupa akan keterhubungan diri kita dengan segala yang ada, 

dan akhirnya menderita di dalam kesepian hati.

Kita pun menolak untuk menyadari kelupaan kita. Sebaliknya, kita 

justru terjebak dalam hidup yang hanya berfokus pada kenikmatan 

sesaat semata. Kita sibuk menimbun barang, guna menutupi kekosongan 

hati kita, akibat kesepian dan keterputusan hubungan dengan alam. 

Hidup kita pun hanya berfokus pada pencarian uang semata, guna 

memenuhi keinginan kita akan kenikmatan sesaat semata.

Yang pertama dan terutama yaitu , kita lupa akan tempat kita 

di alam ini. Kita tidak lagi mengerti, bagaimana hidup sejalan dan 

seimbang dengan alam. Kita justru melihat alam sebagai benda 

semata yang bisa dipakai , lalu dibuang, setelah habis terpakai. 

Kita lupa, bagaimana cara melihat dan memahami tanda-tanda alam, 

dan kehilangan hubungan dekat dengan tumbuhan dan hewan yang 

menjadi sumber bagi kehidupan kita.

Kita juga menyepelekan ajaran nenek moyang kita. Kita lupa 

akan kebijaksanaan para leluhur kita. Mereka memang tidak punya 

teknologi tinggi. Namun, selama ribuan tahun, mereka hidup dalam 

hubungan yang dekat dan seimbang dengan alam. Dan itu, menurut 

saya, jauh lebih berharga, daripada teknologi tinggi, seperti yang kita 

punya sekarang ini.

Di sisi lain, kita juga lupa akan tujuan hidup kita yang sejati. Kita 

hidup dalam suasana banjir informasi yang mengaburkan kejernihan 

pikiran kita. Kita sibuk mencari uang dan nama baik, sehingga lupa, 

mengapa dua hal itu penting bagi kita. Kita bahkan lupa dengan jati 

diri sejati kita, dan hidup justru hanya untuk mengikuti apa kata orang.

Dengan kelupaan ini, kita pun lalu hidup dalam penderitaan batin. 

Uang boleh banyak. Orang juga bisa memiliki nama besar. Namun, 

banyak diantara mereka justru amat menderita secara batiniah.

Mereka hidup dalam penjajahan warga . Mereka juga 

diperbudak oleh ambisi mereka sendiri. Mereka lupa, bahwa manusia 

itu sejatinya bebas. Keterjajahan oleh aturan-aturan warga  dan 

oleh ambisi pribadilah yang membuat manusia menderita, dan akhirnya 

bertindak jahat pada orang lain.

Kita juga melupakan pelajaran dari sejarah kita sendiri. Kita 

mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali. Konfl ik dan perang 

berulang dengan pola yang sama. Hanya pelakunya yang berbeda.

Dan yang terlebih menyedihkan, kita lupa, bagaimana caranya 

untuk hidup sederhana dan bermakna. Kita mempersulit segala 

sesuatu dengan ambisi pribadi kita. Kita menimbun harta untuk 

mencari kebahagiaan, walaupun tetap kecewa di akhir perjalanan. 

Hidup sederhana berarti menyingkirkan segala hal yang tidak sungguh 

diperlukan, dan mencoba untuk fokus pada apa yang sungguh penting 

di dalam hidup ini.

Banyak orang lupa, sebab  mereka tidak tahu. Akar dari lupa yaitu  

ketidaktahuan. Ini dengan mudah dilampaui, jika kita mau sedikit 

melihat dengan jeli segala hal yang ada di dalam hidup ini. Melihat 

sebenarnya tindakan yang amat sederhana dan membahagiakan. 

Namun, banyak orang lupa dengan hal ini, sebab  matanya tertutup 

oleh ambisi pribadi dan ketakutan yang dibuatnya sendiri.

Mau sampai kapan?

Menuju Saat ini

Eckhart Tolle menulis buku berjudul Jeĵ t, die Kraft der Gegenwart pada 2010 lalu. Tolle mengajak kita untuk kembali ke ”saat ini”, yakni 

sepenuhnya berada pada momen, dimana kita ada sekarang. Di dalam 

”saat ini”, kita akan menemukan kebahagiaan, kebenaran, cinta, 

kedamaian, Tuhan, kebebasan. Di ”saat ini”, kita akan menemukan 

semua tujuan hidup kita. saat  orang meninggalkan ”saat ini”, maka 

ia masuk kembali ke dalam lingkaran penderitaan, kecemasan dan 

ketakutan dalam hidupnya.

Jika kita berpikir secara jernih, kita akan sadar, bahwa yang ada 

hanyalah saat ini. Tidak ada masa lalu dan tidak ada masa depan. 

Masa lalu hanya merupakan kenangan. Masa depan hanya merupakan 

harapan. Keduanya tidak nyata.

Masa lalu memberi  identitas pada diri kita. Masa depan 

memberi  janji tentang hidup yang lebih baik. Namun, jika 

dipikirkan secara jernih dan mendalam, keduanya tidak ada. Keduanya 

yaitu  ilusi.

Banyak orang mengira, bahwa waktu yaitu  uang. Mereka juga 

mengira, bahwa waktu yaitu  hal yang amat berharga. Namun, 

sejatinya, waktu yaitu  ilusi. Ia tidak memiliki nilai pada dirinya 

sendiri.

Ya ng justru amat berharga, menurut Tolle, adaah ”saat ini”. 

”Saat ini” yaitu  suatu keadaan yang lepas dari waktu. saat  kita 

memikirkan waktu, berarti juga memikirkan masa lalu dan masa 

depan, kita akan kehilangan ”saat ini”. Kita akan kehilangan sesuatu 

yang amat berharga.

Banyak orang juga mengira, bahwa sukses itu ada di masa depan. 

Jika kita belajar dan bekerja keras saat ini, maka kita akan sukses di 

masa depan. Kita akan bahagia di masa depan. Ini yaitu  pikiran yang 

salah. Ini hanya menciptakan kecemasan dan penderitaan hidup.

Sukses hidup yang sejati yaitu  dengan menyadari ”saat ini”. 

Kebahagiaan hidup yang tak akan goyah yaitu  dengan menyadari 

”saat ini”. Orang yang kehilangan ”saat ini” akan kembali masuk ke 

dalam kecemasan dan penderitaan hidup. Padahal, yang ada sejatinya 

hanyalah ”saat ini”. Yang lain hanya ilusi.

Orang yang pikirannya dilempar antara masa lalu dan masa depan 

tidak akan pernah menemukan kebahagiaan yang sejati. Sayangnya, 

banyak orang hidup dengan pola semacam ini. Hampir setiap detik, 

pikiran mereka dibuat cemas oleh apa yang telah terjadi. Mereka juga 

terus memutar otak untuk merencanakan masa depan.

Mereka hidup dalam tegangan. Stress dan depresi pun akhirnya 

menimpa mereka. Namun, saat  mereka melepaskan keterikatan pada 

masa lalu dan masa depan, mereka lalu bisa kembali ke ”saat ini”. Lalu, 

mereka akan menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang sejati. 

Dengan hati yang damai dan bahagia, mereka bisa memberi  cinta 

dan perhatian kepada orang lain melalui tindakannya.

Berada ”disini” juga amatlah penting. saat  kita berada di satu 

tempat, kita harus berusaha untuk berada di tempat itu sepenuhnya. 

Namun, seringkali, sebab  berbagai alasan, kita tidak suka pada tempat 

kita berada. Ada tiga pilihan: pindah tempat, ubah situasi yang ada 

semampunya, atau tinggalkan tempat itu. Mudah bukan?

Berada ”disini” berarti juga berada di ”saat ini”. Ini membutuhkan 

pene rimaan atas apa yang ada sekarang ini. Apakah menerima berari 

pasrah dan menyerah pada keadaan? Apakah berarti kita menjadi 

pengecut?

saat  kita menerima keadaan sepenuhnya, segala pikiran cemas 

dan takut lenyap. Kita lalu bisa tenang dan damai mengalami apa 

yang terjadi. Pada titik ini,

tentang manusia 6



 dari kebijakan perusahaan-perusahaan besar ini, baik secara 

langsung maupun tidak.

Revolusi Institusi Bisnis

Jelas, bahwa perubahan mendasar diperlukan. Perusahaan-

perusahaan besar perlu mengalami revolusi dari struktur dasarnya, 

supaya   ia tidak lagi mengorbankan kepentingan warga  luas, demi 

keuntungan ekonomi semata. Sepak terjangnya perlu berada di bawah 

kontrol warga  luas. Namun, bagaimana ini dilakukan?

Pandangan lama mengatakan, bahwa perusahaan dimiliki oleh para 

pemegang saham. Ini terjadi di mayoritas perusahaan-perusahaan besar 

di dunia. Maka dari itu, perusahaan harus dijalankan dengan mengabdi 

pada kepentingan pemegang saham ini . Pendapatan para 

pemegang saham amat tergantung dari keberhasilan perusahaannya 

menjalankan bisnis.

Di dalam berbagai kebijakannya, para pemegang saham ini hanya 

memperhatikan satu hal, yakni bagaimana supaya   perusahaan meraih 

keuntungan lebih besar lagi. Jika perusahaan bangkrut, maka mereka 

kehilangan segalanya. Oleh sebab  itu, seperti dijelaskan Ha-Joon 

Chang, ekonom dari Universitas Cambridge, para pemegang saham 

hanya sibuk dengan keuntungan jangan pendek semata. Ini dilakukan 

dengan mengorbankan investasi jangka panjang, dan juga seringkali 

mengorbankan kepentingan kelompok-kelompok lainnya.

saat  krisis melanda, para pemegang saham juga bersikap 

reaksioner dengan menjual saham mereka. Ini membuat keadaan 

perusahaan menjadi semakin sulit. Korban terbesar tentu di kalangan 

pekerja perusahaan ini . saat  pemecatan besar-besaran terjadi, 

warga  luas dan negara pun mengalami kerugian. Ini yang kerap 

tidak diperhatikan oleh para pemegang saham.

Akuntabilitas Bisnis

Jalan keluar dari masalah ini yaitu  dengan mengubah struktur 

kepe milikan perusahaan. Di beberapa negara, pemiliki perusahaan-

perusahaan besar bukan hanya para pemegang saham, namun  juga 

pemerintah dan beberapa elemen warga  sipil, seperti perwakilan 

pekerja dan tokoh warga  yang dianggap mumpuni. Kebijakan 

nasional dibuat, supaya   susunan ini tidak dengan mudah dirubah, 

terutama jika krisis melanda.

Perusahaan Renault di Prancis sudah menjalankan ini. Beberapa 

Bank besar di Korea, Jepang dan negara-negara Eropa memakai  

struktur kepemilikan perusahaan semacam ini. Semua ini dilakukan, 

supaya   bisnis tetap berada dalam kontrol warga  luas, terutama 

dalam kaitan dengan kelestarian lingkungan. saat  struktur 

kepemilikan sudah diatur ulang, maka kebijakan-kebijakan perusahaan-

perusahaan besar itu pun bisa lebih dipertanggungjawabkan.

Model semacam ini juga menjami keberlangsungan (Nachhaltigkeit) 

perusahaan dalam kaitan dengan kehidupan warga  yang lebih 

luas dan pelestarian lingkungan hidup. Franz Joseph Radermacher, 

ahli teknologi dan ekologi di Jerman, menyebutnya sebagai tata kelola 

ekonomi yang berpijak pada kesadaran sosial dan ekologis (ökosoziale 

Marktwirtschaft). Kontrol dari pemerintah dan warga  sipil tidak 

hanya berlangsung dari luar perusahaan, seperti yang sekarang ini 

terjadi, namun  juga dari dalam perusahaan itu sendiri, yakni dari para 

pemiliknya. Model semacam ini juga memastikan investasi jangka 

panjang di dalam perusahaan ini  bisa terus berlangsung.

Di tengah beragam pelanggaran berat yang dilakukan oleh 

perusahaan-perusahaan besar di seluruh dunia, revolusi dari institusi 

bisnis mutlak diperlukan. Kita sudah lelah dengan eksploitasi tenaga 

kerja oleh perusahaan-perusahaan besar yang menekan upah buruh 

serendah-rendahnya. Kita juga sudah lelah dengan eksploitasi sumber 

daya alam yang mereka lakukan. Kita sudah jenuh dengan kebijakan 

pembuangan limbah sembarangan, sampai dengan pembakaran hutan, 

demi keuntungan ekonomi sesaat perusahaan-perusahaan ini .

Untuk apa sebuah negara memiliki perusahaan-perusahaan raksasa 

dengan modal besar, namun  alamnya rusak? Untuk apa sebuah negara 

memiliki gemilau perusahaan-perusahaan dengan merk keren, namun  

kesenjangan antara si kaya dan si miskin begitu besar? Bukankah ini 

akan menciptakan keadaan hidup bersama yang tidak nyaman? Lebih

dari itu, bukankah ini akan menciptakan keadaan yang subur untuk 

kebencian, iri hati dan akhirnya konfl ik yang memakan banyak korban? 

Mau sampai kapan?

Dua Sayap Pendidikan

Di berbagai negara, kita menemukan banyak pejabat politik yang terjebak korupsi. Mereka memiliki gelar pendidikan tinggi. 

Mereka juga memiliki nama baik di lingkungan sosialnya. Namun, 

latar belakang pendidikan tinggi, pengetahuan agama, serta nama baik 

sama sekali tidak menghalangi mereka untuk mencuri dan merugikan 

orang lain.

Kecenderungan yang sama juga sering kita temukan di kalangan 

pemuka agama. Mereka yaitu  orang-orang yang dianggap bijak, 

sebab  memiliki pengetahuan agama yang tinggi. Namun, kerap kali, 

mereka juga jatuh ke dalam sikap bejat yang sama. Korupsi, pemer-

kosaan, penipuan, serta beragam pelanggaran lainnya juga kerap 

mereka lakukan, sebab  kerakusan dan kekosongan batin yang mereka 

alami. 

Kita juga sering mendengar berita tentang perilaku bejat para 

manajer dan direktur perusahaan-perusahaan besar. Mereka mengguna-

kan segala cara, guna meraih keuntungan ekonomis. Mereka juga 

tak segan untuk merugikan orang lain, guna mencapai tujuan itu. 

Kekayaan dan kecerdasan justru bisa dipakai  untuk tujuan-tujuan 

yang merusak.

Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa pengetahuan yang luas tidak 

menjamin orang bebas dari korupsi? Mengapa pengetahuan agama yang 

mendalam tidak mendorong orang menjadi lebih baik, melainkan justru 

menjadi lebih bejat dengan memakai  pembenaran-pembenaran 

palsu dari pengetahuan agama yang dimilikinya? Pertanyaan-per-

tanyaan inilah yang mesti kita jawab bersama.

Akar dari gejala ini yaitu  cacat di dalam paradigma pendidikan 

kita di Indonesia. Pendidikan kita tak punya sayap. Di dalam tradisi 

Filsafat Timur, pendidikan selalu dilihat sebagai kerja sama dari dua 

aspek yang tak terpisahkan, yakni pengetahuan dan pengalaman. 

saat  dua sayap ini ada, barulah pendidikan bisa mendorong orang 

tidak hanya untuk cerdas, namun  juga terbang menuju kebijaksanaan.

Pengetahuan bisa diperoleh, saat  kita mendengar ajaran dari 

orang lain. Kita juga bisa memperoleh pengetahuan dari membaca 

buku. Dengan pengetahuan yang ada, kita bisa meningkatkan mutu 

hidup kita, sekaligus membantu orang lain. Namun, pengetahuan 

semata tidaklah cukup, sebab  kita masih menciptakan jarak antara 

diri kita dengan kenyataan melalui konsep-konsep yang kita rumuskan.

Yang lebih penting yaitu  pengalaman. Pengalaman disini yaitu  

per sentuhan langsung dengan kenyataan apa adanya, tanpa terlebih 

dahulu dihalangi oleh konsep. Pola semacam ini dapat diperoleh, jika 

orang melakukan refl eksi, yakni melihat jauh ke dalam dirinya sendiri, 

guna memahami jati diri sejatinya sebagai manusia. Inilah kiranya yang 

kurang di dalam paradigma pendidikan di Indonesia.

Pemahaman akan jati diri sejati berarti orang bergerak melampaui 

segala bentuk pemahaman yang terkait dengan identitas sosial. 

Kita bukanlah identitas sosial kita. Itu hanya satu bagian kecil dari 

kemanusiaan kita. Pemahaman akan jati diri sejati, ditambah dengan 

pengetahuan yang luas, akan mendorong orang masuk ke dalam 

kebijaksanaan.

saat  pendidikan tidak bersayap, ia justru akan menghasilkan 

manusia-manusia bodoh. saat  pendidikan hanya memiliki satu 

sayap, ia akan rapuh dan akan menghasilkan manusia-manusia yang 

cacat. saat  pendidikan hanya berfokus pada pengetahuan, ia akan 

menghasilkan manusia-manusia cerdas yang siap menipu dan ko-

rupsi, saat  ada kesempatan. saat  pendidikan hanya berfokus 

pada pengalaman, ia akan menghasilkan manusia-manusia yang tidak 

terampil, dan tidak memiliki arah.

Kita tidak perlu lagi orang pintar. Sudah banyak orang pintar di 

muka bumi ini. Yang kita butuhkan yaitu  orang yang hidup dalam 

dua sayap pendidikan, yakni pengetahuan dan pengalaman. Buat 

apa gelar tinggi dan pengetahuan agama yang luas, jika itu hanya 

dipakai  untuk membenarkan perilaku bejat di dalam kehidupan? 

Buat apa gelar tinggi dan tampilan memikat, namun hatinya kosong 

dan menderita, sehingga menciptakan penderitaan tidak hanya untuk 

dirinya sendiri, namun  untuk orang lain?


Paris

Mereka menyebutnya ”Jumat tanggal 13”, seperti dalam fi lm horror terkenal Friday the 13th. Salah satu kota terbesar Eropa ini  

dihantam serangan teror di berbagai tempat pada 13 November 2015. 

Sampai tulisan ini dibuat, lebih dari 140 orang mati terbunuh di Paris. 

Ketakutan dan kemarahan bagaikan udara yang kini dihirup tidak 

hanya oleh para penduduk kota Paris, namun  juga oleh seluruh Eropa.

Lingkaran Kekerasan

Lingkaran kekerasan kini berlanjut, dan ini tak dapat dipisahkan 

dari brutalitas yang telah terjadi sebelumnya. Amerika Serikat, dengan 

Prancis dan berbagai negara di Eropa lainnya sebagai sekutunya, sudah 

menyerang Irak dan menurunkan Sadam Hussein dengan paksa. Ini 

dimulai sejak serangan 2003 lalu. AS dan sekutunya juga menyerbu 

Libya dengan kekerasan militer yang brutal. Sampai detik ini, AS dan 

sekutunya terus mendukung gerakan teroris yang menyerang peme-

rintahan Assad di Suriah.

 Jutaan orang terbunuh, akibat serangan militer brutal ini . 

Akibatnya, seluruh Timur Tengah masuk ke dalam kekacauan. Kelom-

pok teroris seperti ISIL, Al Qaeda dan Taliban memperoleh angin segar 

untuk terus menyebarkan teror mereka. Sementara, AS dan sekutunya, 

termasuk Arab Saudi, terus memberi  dukungan dana dan senjata 

kepada beragam kelompok ekstrimis Islam di Timur Tengah, guna 

menyerang Iran dan sekutunya.

AS dan sekutunya secara sengaja menciptakan dan mendukung 

gerakan ekstrimis Islam di berbagai penjuru dunia demi memenuhi 

kepentingan politik mereka. Di satu sisi, ada kepentingan penguasaan 

minyak di Timur Tengah. Di sisi lain, ada kepentingan untuk 

melindungi Israel dengan kebijakan rasis dan merusaknya di Palestina. 

Ini bukan rahasia lagi sebenarnya.

Apa yang terjadi di Paris pada Jumat 13 November 2015 yaitu  

bagian dari rantai kekerasan yang telah terjadi sebelumnya. Ini yaitu  

buah dari dendam, akibat perang dan penderitaan yang dihasilkan 

selama ratusan tahun, demi memenuhi kepentingan politik jangka 

pendek semata. Hancurnya beragam institusi demokratis sekular di 

Timur Tengah dan Asia juga merupakan dampak dari sepak terjang AS 

dan sekutunya pada abad 20 lalu. Tak heran, kini Timur Tengah hidup 

dalam kemiskinan akut, kesenjangan sosial ekstrem dan kekerasan 

yang tak kunjung henti.

Sebab Akibat

Rantai sebab akibat sebenarnya amat jelas dalam hal ini. Kekerasan 

kolonialisme yang berlangsung selama lebih dari 500 tahun oleh 

negara-negara Eropa, ditambah dengan kebijakan luar negeri AS dan 

sekutunya dewasa ini, telah menciptakan beragam gerakan teroris 

ekstrem di seluruh dunia sekarang ini. Gerakan teror ini bukanlah 

sebuah kebetulan, melainkan bagian dari lingkaran kekerasan dan 

sebab akibat yang memiliki pola yang jelas. Semuanya tercatat dan 

terbuka untuk mata kita, asal kita mau melihat.

Darah mereka yang terbunuh di Paris 13 November 2015 terkait 

erat dengan kekerasan dan kerakusan yang telah terjadi sebelumnya. 

Ini bukan cerita sederhana soal orang jahat yang menyerang orang 

baik. Ini yaitu  cerita soal penderitaan tanpa henti yang menghasilkan 

dendam membara untuk melahirkan kekerasan yang lebih besar lagi. 

Saya yakin, kekerasan tidak akan berhenti disini. Serangan balik yang 

jauh lebih mematikan akan dilakukan oleh pemerintah Prancis dan 

sekutunya.

Sejarah mencatat, dendam tidak akan pernah menyelesaikan ma-

salah. Dendam mendorong kebencian dan kekerasan. Buahnya yaitu  

penderitaan dan dendam lebih jauh. Dendam membutakan mata kita 

dari realitas, dan menggiring kita untuk menciptakan neraka di dunia.

Yang lebih menyedihkan, lingkaran kekerasan dan rantai sebab 

akibat yang menghasilkan teror di Paris amatlah jelas dan terang. 

Informasi tentang hal ini terbuka lebar untuk dibaca dan dianalisis oleh 

warga  luas. Namun, ini semua ini diabaikan. Orang lebih senang 

tenggelam dalam pola hidup konsumtif dan hedonis tanpa henti, serta 

hidup dalam prasangka pada mereka yang memiliki pandangan hidup 

yang berbeda.

Dendam harus Berhenti

Jalan keluar dari semua ini hanya satu, berhenti membalas. Kita 

harus kembali belajar pada ajaran luhur yang menghasilkan peradaban 

tinggi di dunia, bahwa pengampunan yaitu  jalan keluar dari segala 

kekerasan. Selama dendam masih membara di dada, selama itu pula 

kematian, pembunuhan, perang dan penderitaan akan tercipta. Hanya 

pengampunan yang berpijak pada kesadaran untuk menghentikan 

kekerasan yang bisa memutus kejahatan dan kebencian yang kini terasa 

begitu kuat di seluruh dunia.

Logika mata ganti mata sudah terbukti hanya membawa penderitaan 

lebih jauh. Keadilan yang dikejar oleh hasrat untuk membalas dendam 

tidak akan pernah menciptakan perdamaian yang sejati. Penegakkan 

hukum yang berpijak pada kebencian di hati bagaikan melempar 

minyak di api kekerasan dan dendam yang masih membara di dada. 

Mau sampai kapan?

Namun, pengampunan memang tidak bisa datang dari langit. 

Peng ampunan lahir dari kebijaksanaan hati dan pikiran yang terlatih. 

Inilah yang kita lupa. Sistem pendidikan dunia sibuk menyuapi orang 

dengan fakta, dan lupa untuk melatih pikiran untuk melihat kenyataan 

apa adanya. Akibatnya, begitu banyak orang hidup dalam penderitaan 

dan delusi yang memperpanjang rantai kekerasan berikutnya.

Darah di Paris, di Suriah, di Palestina, di Myanmar, di Tibet, 

di Papua dan di seluruh dunia yaitu  buah dari kedunguan kita 

semua. Sampai kapan kita mau membalas dendam untuk luka dan 

penderitaan yang kita alami? Sampai kapan kita mau menutup mata 

dari fakta, bahwa dendam justru menghancurkan diri kita sendiri, 

dan menghasilkan kekerasan serta penderitaan yang lebih besar lagi? 

Sampai kapan kita mau hidup seperti ini di dunia?

Adu Domba

Taktik adu bomba mungkin yaitu  taktik yang paling jitu untuk menjajah bangsa lain. Taktik ini tidak membutuhkan biaya banyak, 

namun amat efektif untuk melemahkan lawan. Ia menjadi taktik 

utama dari berbagai penguasa absolut di sepanjang sejarah manusia 

untuk menjajah dan menaklukan. Tingkat keberhasilannya pun nyaris 

sempurna.

Logika Adu Domba

Taktik adu domba memakai  logika adu domba. Ada empat 

ciri utama dari logika ini. Yang pertama yaitu  penciptaan perpecahan 

di dalam warga .

 Logika adu domba dimulai dengan menyebarkan sebuah berita 

ter tentu yang menciptakan perpecahan dan kecurigaan di dalam ke-

lompok tertentu. Berita ini begitu sensasional, dan biasanya amat sulit 

untuk diperiksa kebenarannya. Banyak orang resah atas berita ini. 

Keresahan serta kecurigaan ini  lalu menciptakan perpecahan di 

dalam kelompok, yang akhirnya melemahkan persatuan serta kesatuan 

kelompok ini .

Pemerintah Romawi Kuno memakai  taktik ini, saat  mereka 

menyerbu Yunani sekitar 200 tahun sebelum Masehi lalu di Eropa. 

Keduanya yaitu  negara yang kuat. Namun, Yunani menjadi lemah, 

sebab  ada perpecahan di dalam negaranya. Perpecahan ini  

disebab kan oleh taktik adu domba yang dipakai  oleh tentara 

Romawi.

Ciri kedua yaitu  adanya pihak-pihak tertentu di belakang layar 

yang memperoleh keuntungan dari perpecahan yang ada. Pihak-pihak 

ini biasanya yaitu  pihak asing yang memiliki kepentingan tertentu, 

terutama kepentingan politik dan ekonomi. Mereka bertanggung 

jawab atas berita yang tersebar dan meresahkan warga . Mereka 

dikenal sebagai provokator atau aktor di belakang layar yang memicu 

perpecahan.

Belanda memakai  taktik ini, saat  ia hendak menjajah 

Indonesia lebih dari 300 tahun yang lalu. Beragam kerajaan yang ada 

diadu domba, sehingga mereka saling curiga dan bahkan berperang 

satu sama lain. Akibatnya, mereka menjadi lemah, dan dengan mudah 

dikalahkan oleh Belanda. Belanda lalu akhirnya menjadi penguasa 

politik dan ekonomi di berbagai pulau di Indonesia.

Ciri ketiga yaitu  kerja sama terselubung. Di balik kecurigaan 

dan perpecahan yang terjadi, ada pihak dari luar yang mengajak salah 

satu dari pihak yang terpecah ini  untuk bekerja sama. Mereka 

lalu membentuk persekutuan terselubung. Namun, yang kerap terjadi 

yaitu  persekutuan ini  lalu hancur, sebab  pihak dari luar 

mengingkari janji mereka.

Inilah pola yang dipakai  tentara Amerika Serikat untuk meng-

hancurkan beragam Suku Indian yang ada di Amerika Utara. Pemerintah 

AS menyebarkan beragam berita bohong, guna memecah kerja sama 

di antara berbagai Suku Indian di Amerika Utara. Pemerintah AS lalu 

mengajak salah satu suku untuk bekerja sama, guna menghancurkan 

suku Indian lainnya. Namun, kerja sama ini  lalu hancur, saat  

pemerintah AS mengingkari janji mereka, dan justru menyerang 

sekutunya. Ini terjadi berulang kali di Amerika Utara.

Ciri keempat yaitu  pengalihan isu dan sumber daya. Perpecahan 

dan kecurigaan yang terjadi biasanya membuat kelompok warga  

ini  melupakan hal-hal yang penting. Mereka menghabiskan sum-

ber daya mereka untuk berperang satu sama lain, sehingga kekuatan 

ekonomi dan budaya mereka pun melemah. Di dalam keadaan itu, 

pihak dari luar bisa dengan mudah datang dan menghancurkan 

mereka.

Kerajaan Inggris memakai  taktik ini, saat  mereka hendak 

menguasai Cina pada awal abad 20 yang lalu. Mereka memaksa 

kekaisaran Cina untuk terus berperang dengan kelompok pemberontak 

yang diciptakan oleh kerajaan Inggris. Akibatnya, begitu banyak 

sumber daya ekonomi habis untuk berperang, dan Cina pun lalu 

menjadi lemah. Kerajaan Inggris lalu menyerang Cina, walaupun tidak 

pernah bisa sepenuhnya menaklukkan Cina.

Seperti sudah kita lihat, taktik adu bomba sudah begitu sering 

dipakai  di dalam sejarah oleh para penjajah di berbagai belahan 

dunia. Mereka ingin memperluas kekuasaan dan mengeruk keuntungan 

ekonomi secara tidak adil dari bangsa-bangsa lain. Begitu banyak orang 

mati, akibat taktik ini. Begitu banyak kerajaan dan bangsa hancur, 

akibat taktik ini.

Sikap Kritis Kita

Namun, taktik dan logika adu domba bisa dilawan. Kita perlu 

peka terhadap segala bentuk usaha  adu domba yang terjadi di ma-

syarakat kita. Kita perlu membangun sikap kritis, sehingga kita tidak 

mudah dipecah oleh beragam isu dan berita bohong. Sikap kritis 

berarti kita berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara rasional 

tentang berbagai berita yang kita dengar, terutama berita-berita yang 

menimbulkan kecurigaan dan perpecahan.

Di sisi lain, kita juga perlu peka dengan berbagai hubungan ke-

kuasaan yang ada. Kita perlu bertanya, siapa yang diuntungkan dari 

kecurigaan dan perpecahan yang terjadi? Jika kita menelan mentah-

mentah berbagai berita yang ada, terutama berita-berita yang disebar-

kan oleh media-media besar dunia, maka kita akan mudah diadu 

domba. saat  taktik adu domba sudah menyusupi kelompok kita, 

maka peluang untuk hancur, akibat penaklukkan pihak luar, akan 

menjadi semakin besar.

Belakangan ini, kelompok Muslim di berbagai belahan dunia 

menjadi target dari pemberitaan terkait dengan terorisme yang terjadi 

di Beirut, Afganistan, Mali dan Prancis. Banyak komunitas Muslim yang 

tak bersalah lalu mengalami diskriminasi di berbagai bidang, mulai dari 

politik, ekonomi sampai dengan pendidikan. Kita jelas perlu bersikap 

kritis terhadap ini. Kita juga perlu peka pada hubungan-hubungan 

kekuasaan yang terjadi di belakang pemberitaan ini, terutama soal 

pengalihan isu serta tentang pihak-pihak yang diuntungkan dari 

perpecahan yang ada.

Kita juga jelas perlu belajar dari sejarah kita sendiri. Nusantara 

Indonesia takluk dibawah berbagai penjajahan negara-negara Eropa 

selama ratusan tahun, akibat taktik adu domba ini. Kita tidak boleh 

mengulang kesalahan yang sama. Harganya terlalu mahal, yakni 

hancurnya bangsa Indonesia dan hilangnya nyawa jutaan orang, seperti 

yang terjadi di masa silam, jika kita jatuh kembali pada lubang yang 

sama. Harganya sungguh terlalu mahal…

Kamu yaitu  Pengungsi

Usiamu 29 tahun. Kamu punya seorang istri, dan dua orang anak kecil. Kamu punya pekerjaan yang bagus di kota tempat 

tinggalmu. Gajimu cukup. Kamu bisa menabung, dan hidup dengan 

nyaman. Kamu punya rumah kecil di pinggir kota.

Tiba-tiba, keadaan politik di negaramu berubah. Dalam waktu 

beberapa bulan, banyak tentara lalu lalang di depan rumahmu. Mereka 

memaksamu untuk ikut berperang bersama mereka. Jika kamu tidak 

mau, kamu akan ditembak. Salah seorang tetanggamu berani melawan 

mereka. Ia ditembak. Mati.

 Salah seorang tentara mengancam untuk memperkosa istrimu. Kamu 

tidak merasa aman lagi di rumahmu sendiri. Daerah perumahanmu 

sudah nyaris rata dengan tanah, sebab  dibom. Hampir tidak ada 

gedung yang utuh.

Kamu memutuskan untuk membawa seluruh keluargamu ke luar 

kota, kembali ke rumah orang tuamu di kota lain. Namun, rumah itu 

sudah tidak ada. Orang tuamu juga sudah mati tertembak. Tidak ada 

mayat. Tidak ada kabar.

Mereka bilang: ”Namun, para pengungsi itu punya banyak barang 

bagus. Mereka punya Smartphone mewah! Baju mereka pun bagus-

bagus!”

Dalam keadaan panik, kamu dan keluargamu segera berkemas. 

Kamu memasukan semua pakaian yang kiranya dibutuhkan untuk 

perjalanan. Apa yang akan kamu bawa? Kamu mungkin tidak akan 

kembali ke tanah airmu lagi. Bagaimana kamu bisa mendengar kabar 

dari mereka? Dengan terburu-buru, kamu memasukkan smartphone 

yang kamu punya ke dalam tas. Kamu juga membawa beberapa baju, 

beberapa makanan, dan boneka kesayangan anakmu.

Mereka bilang: ”Para pengungsi itu punya banyak uang. Mereka 

bisa kabur buktinya!”

Kamu sudah tahu sebelumnya, bahwa krisis akan datang. Kamu 

menarik semua uang yang kamu punya dari bank, dan menjual semua 

hartamu. Uang 150 juta Rupiah pun terkumpul. Untuk bisa mengungsi 

ke negara lain, kamu harus membayar 50 juta rupiah untuk satu kepala. 

Dengan sedikit keberuntungan, kamu bisa pergi sebagai satu keluarga. 

Jika tidak, kamu harus merelakan istrimu untuk pergi bersama kedua 

anakmu. Akhirnya, semua uangmu habis. Yang ada hanya tas berisi 

pakaian. Kamu harus berjalan kaki selama dua minggu untuk mencapai 

pelabuhan.

Perutmu lapar. Selama seminggu terakhir, kamu nyaris tidak 

makan. Tubuhmu lemah. Tubuh istrimu pun juga lemah. Namun, 

setidaknya, kedua anakmu mendapatkan cukup makan dan minum. 

Mereka terus menangis sepanjang perjalanan. Kamu juga harus 

menggendong anakmu yang paling kecil. Usianya baru 21 bulan. Dua 

minggu lagi, kamu akan tiba di pelabuhan.

Di malam yang gelap, kamu dan keluargamu masuk ke dalam 

kapal bersama para pengungsi lainnya. Kamu beruntung, bahwa 

seluruh keluargamu bisa pergi mengungsi. Kapal laut itu terlalu kecil, 

dan penumpang terlalu banyak. Semoga ia tidak tenggelam. Orang-

orang di sekitarmu berteriak dan menangis.

Beberapa anak kecil sudah meninggal, sebab  kehausan. Mayat 

mereka dibuang ke laut begitu saja. Istrimu duduk di pinggir kapal. Dia 

tidak makan dan minum selama dua hari ini. Setelah beberapa waktu, 

kamu harus berpisah dengan mereka. Istrimu dan anak tertuamu di 

satu kapal, dan kamu bersama anak terkecilmu di kapal lain.

Kamu dipaksa untuk tetap diam sepanjang perjalanan, supaya   

kapalmu tidak dicurigai tentara. Anak tertuamu mengerti. Namun, anak 

terkecilmu terus menangis. Para pengungsi lainnya tampak prihatin. 

Mereka meminta kamu untuk menenangkan anakmu. Salah seorang 

dari mereka merebut anakmu darimu, dan membuangnya ke laut. 

Kamu melompat untuk menyelamatkan dia. Namun, cahaya terlalu 

gelap. Udara dan air terlalu dingin. Kamu tidak bisa menemukannya. 

Kamu tidak akan pernah bisa melihat dia lagi. Padahal, tiga bulan lagi, 

usianya dua tahun….

Mereka bilang: ”Tapi, para pengungsi itu hanya menjadi parasit disini! 

Mereka mengemis, tanpa mau berusaha!”

Sampai detik ini, kamu tidak tahu, kemana kamu akan pergi. Kamu 

duduk sendiri. Istrimu dan anak tertuamu ada di kapal lain. Kamu 

beruntung, akhirnya, kamu bisa bertemu lagi dengan mereka. Istrimu 

hanya terdiam, saat  kamu bercerita tentang anak terkecilmu. Anak 

tertuamu memeluk boneka adiknya yang telah meninggal. Ia tampak 

membeku…

Akhirnya, kamu tiba di daratan. Tempat ini disebut kamp 

pengungsi darurat. Orang-orang dengan berbahasa asing berteriak 

mengatur keadaan. Ada 500 tempat tidur yang saling berdempetan 

satu sama lain.

Lebih dari tiga hari, kamu tidak makan dan minum. Tubuhmu 

lemas. Kamu berharap untuk mati saja. Lalu, kamu melihat istri dan 

anakmu. Kamu memeluk mereka ke dalam dekapanmu. Kamu tertidur 

bersama mereka.

Mereka bilang: ”Mereka sudah enak hidupnya disini. Tidak perlu kerja, tapi 

dapat makan! Mereka harus merasa bahagia!”

Esok paginya, kamu mendapat makan dan minumnya untuk 

pertama kalinya setelah beberapa hari. Kamu memeriksa teleponmu, 

menantikan kabar dari keluargamu di tanah air. Tidak ada kabar 

apapun.

Segerombolan orang datang dan berteriak, ”Kembali ke rumahmu! Kamu 

tidak diinginkan disini!”

Kamu yaitu  pengungsi…

Jutaan pengungsi dari Suriah dan beragam negara di Timur Tengah 

lainnya mengalami nasib semacam ini setiap harinya. Apakah kita 

sudah membantu? Dimana Indonesia? Dimana Arab Saudi? Dimana 

Qatar? Dimana negara-negara tetangga di Timur Tengah yang mengaku 

beragama dan beriman? Bukankah kita seharusnya saling membantu? 

Mau berapa mayat lagi dibuang di laut? Mau berapa anak kecil dan 

orang tak bersalah lagi yang harus jadi korban?

Diolah dari tulisan Faz Ali dan John Vibes dari media independen TrueActivist.

com

Hak atas Justifi kasi

Pemahaman tentang keadilan telah lama menjadi bagian dari diskusi di dalam fi lsafat Barat. Rainer Forst mencoba ikut serta 

di dalam diskusi ini  di dalam bukunya yang berjudul Das 

Recht auf Rechtfertigung: Elemente einer konstruktivistischer Theorie der 

Gerechtigkeit yang diterbitkan pada 2007 lalu. Secara sederhana, judul 

buku itu dapat diterjemahkan sebagai ”Hak atas Pendasaran: Elemen-

elemen dari Teori Konstruktivis tentang Keadilan”.

D i Jerman, Rainer Forst dikenal sebagai seorang fi lsuf politik. Ia 

memperoleh penghargaan GoÄ´ fried Wilhelm Leibniz pada 2012 lalu. 

Saat ini, ia bekerja sebagai Professor Teori Politik di dalam Departemen 

Ilmu Sosial Universitas Johann Wolfgang Goethe di Frankfurt, Jerman. 

Ia juga dikenal sebagai penerus tradisi Teori Kritis Mazhab Frankfurt. 

Di dalam berbagai tulisannya, Forst mencoba membuat sintesis antara 

teori-teori keadilan liberal, komunitarisme dan tradisi teori sosial kritis 

dari Jerman.

Hak atas Justifi kasi

Bagi Forst, di balik beragam teori keadilan yang berkembang 

di dalam fi lsafat Barat, ada satu pengandaian yang sama, yakni 

kebutuhan untuk dihargai sebagai manusia yang memiliki hak untuk 

memperoleh pendasaran (das Bedürfnis der Rechtfertigung). Ketidakadilan 

terjadi, saat  orang tidak dianggap sebagai bagian dari proses-

proses yang ada di dalam warga . Ia dianggap tidak ada, dan 

beragam keputusan dibuat, tanpa mendengarkan keinginan maupun 

kebutuhannya. Pengabaian (Vernachlässigung) semacam ini menjadi 

dasar untuk beragam ketidakadilan lainnya, seperti ketidakadilan 

politis, ketidakadilan ekonomi, dan sebagainya.

Forst juga menafsir ulang makna dari kata martabat manusia 

(Menschenwürde) di dalam fi lsafat politik. Di dalam fi lsafat politiknya, 

martabat manusia dipahami sebagai hak dan kemampuan seseorang 

untuk memperoleh alasan yang kuat dari berbagai kebijakan dan 

tindakan yang mempengaruhi dirinya. Pengandaian dasar dari argumen 

ini sejalan dengan fi lsafat politik Habermas, bahwa setiap orang harus 

ikut serta secara aktif di dalam proses pembuatan kebijakan yang 

nantinya harus ia patuhi.

Teori Keadilan sebagai justifi kasi menyatakan dengan tegas, bahwa 

tidak boleh ada satu pun tata politik ataupun tata sosial yang tidak 

dapat diterima secara bebas dan masuk akal oleh orang-orang yang 

ada di dalamnya. Setiap manusia mempunyai hak, menurut Forst, 

untuk tidak hidup di dalam tata sosial, politik, ekonomi ataupun 

budaya, yang tidak dapat ia terima secara bebas dan masuk akal 

sebagai manusia yang bermartabat. Setiap orang berhak untuk berkata 

”tidak” atas sistem moral ataupun aturan yang ditimpakan kepadanya. 

Ini hanya mungkin, sebab  setiap orang memiliki kebebasan untuk 

mempertanyakan keabsahan atau justifi kasi (Rechtfertigungsforderung) 

dari hukum-hukum maupun tata moral-politik yang dikenakan 

kepadanya.

Pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti ”Mengapa hukum 

semacam ini yang diberlakukan?”, atau ”Mengapa saya harus menjalani 

prosedur semacam ini?”, yaitu  pertanyaan-pertanyaan terkait dengan 

pendasaran, atau justifi kasi. Di balik pertanyaan-pertanyaan semacam 

ini, ada dua hal yang penting untuk diperhatikan. Yang pertama 

yaitu  kebutuhan akan penjelasan. Yang kedua yaitu  kebutuhan atas 

pendasaran moral dan keadilan dari kebijakan ataupun hukum yang 

harus saya patuhi. Jika dua hal itu tak terpenuhi, maka saya punya hak 

untuk menolak hukum ataupun kebijakan ini . Saya juga punya 

hak untuk memperoleh ganti rugi dari pelanggaran martabat yang 

telah terjadi pada diri saya.

Moralitas, Diskursivitas dan Intersubyektivitas

Di dalam buku ini, Forst juga menjabarkan pandangan beberapa 

fi lsuf terkait dengan moralitas sebagai akal budi praktis. Forst hendak 

melihat moralitas sebagai prinsip yang memandu kehidupan praktis 

manusia di bidang hukum, politik dan ekonomi. Satu prinsip dasar 

yang penting disini yaitu , bahwa setiap orang harus bisa memberi  

pertanggungjawaban atas tindakannya. Pertanggungjawaban ini 

haruslah bisa dimengerti serta dianggap bermutu oleh orang-orang 

lainnya yang mungkin tidak memiliki sudut pandang yang sama 

dengannya.

Forst di titik ini berada di dalam tradisi pemikiran Kant dan 

Habermas, bahwa moralitas yaitu  bagian dari penentuan diri 

ma nusia (Selbstbestimmung). Dengan kata lain, moralitas yaitu  

otonom. Ia lahir dari kebebasan dan akal budi manusia, serta juga 

bisa dimengerti oleh orang-orang lainnya. Seperangkat aturan moral 

yang tidak lahir dari kebebasan dan akal budi manusia tidaklah 

layak disebut sebagai moralitas. Itu hanya penindasan atas martabat 

manusia yang memakai  selubung-selubung luhur untuk menutupi 

kebusukannya.

Sebagai bagian dari otonomi manusia, moralitas juga harus bisa 

dipertanggungjawabkan secara timbal balik di depan orang-orang 

lainnya. Dengan kata lain, menurut Forst, moralitas juga harus memiliki 

aspek intersubyektivitas dan diskursif. Jika moralitas memiliki dua 

aspek ini, maka tidak ada alasan apapun bagi orang untuk tidak 

menerapkannya secara praktis di dalam hidup sehari-hari.

Untuk bisa mempertanggungjawabkan tindakannya, orang 

mem butuhkan kemampuan untuk merefleksikan tindakannya 

(Besinnungsfähigkeit). Ia juga harus memiliki kemampuan untuk 

meng ambil sudut pandang orang lain yang berbeda darinya 

(Perspektiveübernahme). Dua kemampuan ini tidak datang begitu saja, 

te tapi harus dikembangkan di dalam berbagai konteks, baik pendidikan 

di keluarga maupun di sekolah dan warga . Dengan kemampuan 

ini, orang lalu bisa menjadi pembuat keputusan yang bijak. Ia bisa 

mempertimbangkan berbagai kemungkinan, lalu membuat keputusan 

yang paling cocok untuk keadaan yang dihadapinya. Ia juga bisa 

menolak sebuah keputusan yang ditimpakan kepadanya tanpa dasar 

yang masuk akal. Hak untuk memperoleh pendasaran atau justifi kasi 

juga berarti hak untuk berkata tidak.

Di sisi lain, kita juga mesti menghormati hak orang lain untuk 

berkata tidak. Hak untuk justifi kasi tidak hanya berarti, bahwa kita 

punya hak untuk meminta penjelasan dan pendasaran, namun  orang 

lain juga bisa menuntut penjelasan dan pendasaran pada kita. saat  

penjelasan dan pendasaran ini  tidak diterima, maka orang lain 

juga bisa berkata tidak kepada kita. Inilah aspek timbal balik dari hak 

untuk justifi kasi.

Keadilan Transnasional

Lebih jauh, Forst juga berbicara tentang konsep keadilan trans-

nasional. Ia menyebutnya sebagai Teori Kritis Keadilan Transnasional 

(kritische Theorie transnationaler Gerechtigkeit). Para pemikir keadilan 

transnasional mencoba merumuskan teori keadilan yang berpijak pada 

fakta, bahwa semua negara saling terkait di era globalisasi sekarang 

ini. Peristiwa yang menimpa satu negara memberi  pengaruh 

kepada semua negara lainnya. Oleh sebab  itu, dunia internasional 

membutuhkan kerja sama yang semakin erat, guna mengatasi beragam 

permasalahan yang ada di berbagai belahan dunia secara bersama-

sama.

Forst mencoba untuk menanggapi pandangan semacam ini. 

Baginya, masalah global utama sekarang ini yaitu  masalah kekuasaan. 

Oleh sebab  itu, analisis harus dimulai dengan menelaah berbagai 

hubungan kekuasaan yang terjadi, yang menciptakan ketidakadilan 

struktural di berbagai belahan dunia. Ketidakadilan struktural yang 

lahir dari hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak setara ini menjadi 

penghalang utama bagi terciptanya tata politik global yang memberi  

keadilan dan kemakmuran. Kata ”kekuasaan” menjadi kata kunci 

disini. Bagi Forst, teori keadilan harus pertama-tama berbicara soal 

kekuasaan. Gaya berpikir semacam ini yaitu  gaya berpikir khas Teori 

Kritis Mazhab Frankfurt.

Keadilan transnasional hanya dapat dicapai, jika beragam kekuasaan 

yang ada tunduk pada hak untuk justifi kasi. Artinya, kekuasaan 

ini  dapat dijelaskan secara masuk akal kepada semua pihak. 

Kekuasaan ini  harus tunduk pada pendasaran yang masuk akal 

yang bersifat timbal balik. Hal ini bisa dituntut dengan argumen dasar, 

bahwa hak untuk justifi kasi yaitu  hak mutlak yang harus dipenuhi, 

saat  sebuah kebijakan atau hukum akan diberlakukan.

Di dalam kondisi ideal, ini tentunya bisa diterima. Namun di 

dalam politik sehari-hari, kita tidak bisa memaksa sebuah negara untuk 

memberi  pendasaran yang masuk akal atas tindakan-tindakannya, 

terutama jika negara ini  memiliki kekuasaan yang besar di tingkat 

internasional. Siapa yang berani menentang Amerika Serikat, saat  ia 

menyerang Irak berdasar  alasan palsu? Di titik ini, pola hubungan 

kekuasaan yang tidak adil menjadi penghalang utama.

Relevansi dan Tanggapan

Pemikiran Forst tentang justifi kasi bisa dipakai  untuk memahami 

akar masalah di Papua sekarang ini. warga  Papua kerap tidak 

diikutsertakan di dalam beragam pembuatan keputusan yang terkait 

dengan dirinya. Masalah Freeport hanyalah puncak gunung es dari 

beragam masalah lainnya, mulai dari korupsi, penipuan, peminggiran, 

diskriminasi, rasisme sampai dengan penyebaran penyakit mematikan. 

Semua masalah ini dapat diselesaikan, jika warga  Papua diberikan 

hak untuk menuntut penjelasan yang masuk akal, dan bahkan 

menolak, dari segala kebijakan yang ditimpakan kepadanya. Mereka 

perlu diikutsertakan secara aktif di dalam berbagai proses pembuatan 

keputusan yang nantinya akan mempengaruhi hidup mereka, baik 

secara langsung ataupun tidak.

Teori Forst juga penting untuk melakukan kritik terhadap beragam 

kebijakan di tingkat nasional maupun internasional yang tertutup dari 

mata warga  luas. Kebijakan yang dibuat di dalam kerahasiaan 

semacam ini disebut juga sebagai kebijakan pintu belakang. Perjanjian 

rahasia antara Amerika Serikat dan para pemberontak teroristik di 

Suriah dan Irak yaitu  salah satu dari kebijakan pintu belakang 

ini . Kebijakan semacam ini merugikan banyak pihak, dan bahkan 

menimbulkan perang berkepanjangan, seperti yang terjadi di Timur 

Tengah sekarang ini. Hak atas justifi kasi, sebagaimana dirumuskan oleh 

Forst, memaksa kebijakan ini  untuk dibuka kepada warga  

luas, dan dijelaskan dengan pendasaran-pendasaran yang masuk 

akal. Kebijakan ini  juga bisa ditolak, saat  ia tidak memiliki 

pendasaran yang cukup kokoh.

Namun, pola hubungan yang berpijak pada penjelasan dan pen-

dasaran yang masuk akal ini mengandaikan keberadaan sebuah 

budaya tertentu, yakni budaya berpikir rasional dan argumentatif. Ini 

tentunya tidak datang dengan sendirinya. Di negara dengan budaya 

berpikir rasional dan argumentatif yang masih rendah, hak untuk 

justifi kasi semacam ini sulit untuk dipenuhi. Diperlukan sebuah sistem 

tertentu yang menopang hidup bersama kita, sehingga memungkinkan 

kemampuan kita untuk berpikir secara bebas, masuk akal dan 

argumentatif bisa berkembang.

Pandangan ini juga bertentangan langsung dengan kenyataan 

hidup manusia. Manusia tidak pernah sepenuhnya ditentukan oleh 

akal sehatnya. Ada hal-hal lain yang membuat mengingkari akal 

sehatnya, dan bahkan melampauinya sama sekali. Ini yang kiranya 

kurang menjadi pertimbangan dari para pemikir Teori Kritis di Jerman. 

Apa gunanya membuat teori yang sistematis, rasional dan kritis, namun  

bertentangan dengan kenyataan dasar hidup manusia yang memiliki 

banyak dimensi?


Kematian dan Kesalahpahaman

Masih teringat jelas di kepala saya, saat  saya diberikan penjelasan, bahwa Bobo, anjing kesayangan saya, meninggal. Saya masih 

kecil, dan belum sungguh paham, apa artinya, jika sesuatu itu me-

ninggal. Apakah dia menghilang? Begitu pertanyaan saya.

Mbak Inah, pembantu di keluarga kami yang sudah kami anggap 

sebagai keluarga sendiri, hanya berkata, ”Bobo sudah pergi ke surga, 

Sinyo.” Surga? Tempat apa itu. Yang saya tahu, bobo kini hidup di 

taman depan rumah kami bersama dengan pohon dan rumput yang 

tumbuh di situ.

Setelah itu , beragam peristiwa terkait dengan kematian mulai 

menjadi pertanyaan buat saya. Diawali dengan kematian kakek dari 

tetangga saya. Kami mengenalnya sebagai ”Engkong baik hati” yang 

suka memberi  kue dan permen untuk kami, anak-anak kecil yang 

suka berlarian di depan rumahnya. Yang paling puncak dan memukul 

saya yaitu  kematian ayah saya yang begitu mendadak pada 2014 lalu.

Antara Ketakutan dan Harapan

Dihadapkan pada pertanyaan tentang kematian, banyak orang 

dikepung oleh ketakutan. Mereka membayangkan peristiwa perpisahan 

dengan apa yang mereka anggap berharga dalam hidup. Ada yang 

membayangkan neraka yang penuh dengan api panas, dan ada yang 

membayangkan surga yang penuh dengan buah manis. Kecemasan 

dan ketakutan terselip di balik dua bayangan itu.

Orang lalu terpaku untuk hidup sehat, guna memperlambat 

kematian. Mereka berolahraga dengan giat, serta terobsesi dengan 

segala macam program kesehatan, mulai dari diet ala Dedi Corbuzier 

sampai dengan membeli peralatan fi tness pribadi untuk di rumah. Di 

balik segala usaha yang sekilas tampak mulia itu, sesungguhnya ada 

ketakutan yang tak pernah bisa dilepas.

Kita juga sedih dan takut, saat  mendengar berita kematian. Kita 

merasa sedih, saat  membaca berita kematian, akibat perang yang tak 

henti-hentinya di Timur Tengah. Kita merasa sedih, saat  mendengar, 

teman dekat atau saudara kita meninggal. Kematian mengundang 

beragam emosi yang seringkali sulit dikendalikan.

Ada juga yang melihat kematian sebagai harapan. Bagi mereka, 

hidup yaitu  penderitaan. Hidup dipenuhi dengan tantangan dan 

ketidakadilan. Maka, kematian lalu menjadi jalan keluar, guna 

mendapatkan keadaan yang lebih baik.

Namun, di balik ketakutan dan harapan, apa sesungguhnya 

kematian itu? Apakah ia ada? Apakah ia hanya sekedar konsep atau 

bayangan kita? Mengapa ia dipenuhi begitu banyak misteri yang 

mengundang kecemasan sekaligus harapan?

Perubahan dan Kesalingterkaitan

Jika kita bilang, bahwa sesuatu itu mati, kita secara tidak langsung 

menyatakan, bahwa sesuatu itu berakhir. Ada titik yang mengakhiri 

keberada annya. Ada keterputusan antara yang ”ada”, dan menjadi 

yang ”tiada”. Namun, apakah sesuatu itu pernah sungguh berakhir?

Bobo, anjing saya, kini menyatu dengan pohon, rumput serta buah 

di taman depan kami yang kecil. Abu jenazah dari ”Engkong yang baik 

hati” kini tersebar di lautan di dekat Pantai Ancol. Abu ayah saya kini 

menyatu bersama ikan dan beragam mahluk hidup lainnya di laut Jawa.

Mereka tidak berakhir. Mereka bergerak lanjut. Mereka berubah. 

Mereka memperkaya kehidupan. Mereka tidak terputus. Mereka tidak 

”mati”.

Salah satu hukum utama di dalam fi sika modern yaitu  hukum 

kekekalan energi. Isinya menegaskan, bahwa energi tidak bisa musnah. 

Ia hanya bisa berubah. Mereka yang ”mati” tidaklah berakhir, melain-

kan berubah, dan memperkaya kehidupan semesta.

Di dalam Filsafat Timur, keberadaan (existence) selalu terkait dengan 

perubahan (impermanence) dan kesalingterkaitan (interdependence). 

Artinya, keberadaan kita tidaklah pernah tetap. Ia selalu berubah 

sejalan dengan perubahan segala hal yang ada di semesta. Kita juga 

tidak pernah sendirian, melainkan selalu menjadi bagian yang tak 

terpisahkan dari segala yang ada di alam semesta ini.

Kesalahpahaman

Belajar dari fi sika modern dan fi lsafat Timur, kita bisa bilang, 

bahwa kematian itu tidak ada. saat  orang ”mati”, tubuh dan energi-

nya bergerak terus memperkaya kehidupan semesta yang selalu 

menjadi bagian dari dirinya. Kita tidak pernah berakhir. Tidak ada 

titik dan kata putus di dalam keberadaan kita.

Kematian, dengan demikian, yaitu  kesalahpahaman. Kematian 

yaitu  konsep yang lahir dari kesalahan berpikir. Sejatinya, senyatanya, 

kita tidak pernah mati, dan kita tidak pernah lahir. Kita selalu ada di 

alam semesta ini dengan segala bentuk yang kita gunakan, dan selalu 

dalam hubungan dengan segala hal yang ada.

Bobo, anjing saya tercinta, kini menjadi buah yang siap dimakan, 

saat  musimnya tiba. Ayah saya kini menjadi bagian dari lingkungan 

laut yang juga tak bisa dipisahkan dari kehidupan lainnya. Semuanya 

saling terhubung dan tak terpisahkan. Kita yaitu  mereka.

Namun, senyatanya, tidak ada kita. Tidak ada mereka. Semua 

hanyalah konsep. Senyatanya, kita semua satu dan sama. Tak ada 

mati. Tak ada hidup. Tak ada gerak. Tak ada perubahan. Tak ada keter-

pisahan. Tak ada perpisahan. Mungkin sebaiknya, kita menari….

Epilog:

Beberapa hal kiranya bisa dikatakan, guna mengakhiri buku ini. Salah satu yang perlu disadari yaitu  soal gerak dari pikiran 

manusia. Pemahaman atas gerak dari pikiran kita ini akan membantu 

kita menjalani berbagai hal dalam kehidupan, terutama saat  krisis 

datang menghadang. Salah satu ciri utama pikiran manusia yaitu  

terkait dengan eksistensi, yakni keberadaan dari sesuatu.

Pikiran kita kerap mengira, bahwa sesuatu itu ada, padahal 

sebenarnya tidak. Dan sebaliknya, ia juga seringkali membuat sesuatu 

yang ada menjadi tiada. Satu contoh kiranya penting untuk disampaikan. 

Kita kerap kali menghubungkan dua hal yang tak berhubungan, 

hanya sebab  perkiraan yang muncul di kepala kita. Perkiraan ini 

tak bisa dibuktikan, namun kita lalu membuat pengandaian dengan 

menganggapnya sebagai ada.

Pola ini telah membawa banyak petaka dalam hidup manusia. 

Keluarga dan bahkan bangsa hancur, sebab  kesalahpahaman yang 

lahir dari pola semacam ini. Jika pikiran kita membuat sesuatu yang 

tidak ada menjadi ada, maka kita akan cenderung bersikap tidak tepat 

di dalam menanggapi berbagai keadaan yang terjadi. Buahnya tidak 

hanya penderitaan besar bagi diri sendiri, namun  juga bagi orang lain.

Sebaliknya, pikiran kita juga cenderung mengabaikan, apa yang 

sesungguhnya ada. Matahari bersinar, burung bernyanyi merdu, semua 

terabaikan, saat  kita dibebani oleh masa lalu dan masa depan di 

dalam pikiran kita. Bunga yang indah luput dari pandangan mata, 

saat  pikiran kita kacau oleh sebab  satu dan lain hal. Segala berkah 

tampak tak berarti, saat  malang datang menimpa.

saat  pikiran kita sendiri menipu kita, kita mencoba mencari 

jalan keluar. Agama dan tradisi berusaha membantu. Akan namun , 

keduanya kerap hanya menghasilkan larangan dan aturan baru, yang 

menghasilkan tegangan hidup yang lebih besar. Tegangan ini justru 

menjadi sumber bagi beragam bentuk kekerasan dan kejahatan yang 

baru.

Tegangan semakin diperkuat, sebab  rasa takut yang muncul, 

akibat kesalahan berpikir. Rasa takut yaitu  ciptaan pikiran yang 

bergerak tanpa arah, dan dianggap sebagai kenyataan. Ini menciptakan 

ilusi yang amat kuat yang nantinya membuat hidup orang menderita. 

saat  ini disadari sebagai sebuah kekosongan yang datang dan pergi, 

maka orang bisa secara perlahan tapi pasti terlepas dari rasa takut 

yang mencekamnya.

Kebebasan dari rasa takut juga berarti kebebasan yang sesung-

guhnya. Ini yaitu  kebebasan sejati yang berada sebelum segala bentuk 

pemahaman tentang kebebasan. Ini hanya mungkin diraih, jika orang 

tidak melekat pada pendapat maupun pikirannya. Artinya, ia tidak 

semata menerima, bahwa pendapat dan pikirannya yaitu  benar.

Yang kita butuhkan bukan hanya kebebasan berpendapat, namun  

juga kebebasan dari pendapat. Artinya, kita tidak dijajah oleh pikiran 

dan pendapat yang kita punya, melainkan bisa bersikap kritis dan tepat 

atasnya. Hanya dengan melepaskan segala kelekatan (Anhaftung) pada 

pendapat dan pikiran kita sendiri, kita lalu bisa melihat kenyataan 

sebagaimana adanya, yakni kenyataan sebelum konsep dan pikiran. 

saat  kita bisa melihat kenyataan pada dirinya sendiri, kita lalu bisa 

menemukan kedamaian sejati yang sudah selalu ada di dalam diri kita.

Kedamaian pikiran yaitu  kunci dari perdamaian dunia. Inilah 

artinya menjadi manusia di dunia yang sementara ini.