dari kebijakan perusahaan-perusahaan besar ini, baik secara
langsung maupun tidak.
Revolusi Institusi Bisnis
Jelas, bahwa perubahan mendasar diperlukan. Perusahaan-
perusahaan besar perlu mengalami revolusi dari struktur dasarnya,
supaya ia tidak lagi mengorbankan kepentingan warga luas, demi
keuntungan ekonomi semata. Sepak terjangnya perlu berada di bawah
kontrol warga luas. Namun, bagaimana ini dilakukan?
Pandangan lama mengatakan, bahwa perusahaan dimiliki oleh para
pemegang saham. Ini terjadi di mayoritas perusahaan-perusahaan besar
di dunia. Maka dari itu, perusahaan harus dijalankan dengan mengabdi
pada kepentingan pemegang saham ini . Pendapatan para
pemegang saham amat tergantung dari keberhasilan perusahaannya
menjalankan bisnis.
Di dalam berbagai kebijakannya, para pemegang saham ini hanya
memperhatikan satu hal, yakni bagaimana supaya perusahaan meraih
keuntungan lebih besar lagi. Jika perusahaan bangkrut, maka mereka
kehilangan segalanya. Oleh sebab itu, seperti dijelaskan Ha-Joon
Chang, ekonom dari Universitas Cambridge, para pemegang saham
hanya sibuk dengan keuntungan jangan pendek semata. Ini dilakukan
dengan mengorbankan investasi jangka panjang, dan juga seringkali
mengorbankan kepentingan kelompok-kelompok lainnya.
saat krisis melanda, para pemegang saham juga bersikap
reaksioner dengan menjual saham mereka. Ini membuat keadaan
perusahaan menjadi semakin sulit. Korban terbesar tentu di kalangan
pekerja perusahaan ini . saat pemecatan besar-besaran terjadi,
warga luas dan negara pun mengalami kerugian. Ini yang kerap
tidak diperhatikan oleh para pemegang saham.
Akuntabilitas Bisnis
Jalan keluar dari masalah ini yaitu dengan mengubah struktur
kepe milikan perusahaan. Di beberapa negara, pemiliki perusahaan-
perusahaan besar bukan hanya para pemegang saham, namun juga
pemerintah dan beberapa elemen warga sipil, seperti perwakilan
pekerja dan tokoh warga yang dianggap mumpuni. Kebijakan
nasional dibuat, supaya susunan ini tidak dengan mudah dirubah,
terutama jika krisis melanda.
Perusahaan Renault di Prancis sudah menjalankan ini. Beberapa
Bank besar di Korea, Jepang dan negara-negara Eropa memakai
struktur kepemilikan perusahaan semacam ini. Semua ini dilakukan,
supaya bisnis tetap berada dalam kontrol warga luas, terutama
dalam kaitan dengan kelestarian lingkungan. saat struktur
kepemilikan sudah diatur ulang, maka kebijakan-kebijakan perusahaan-
perusahaan besar itu pun bisa lebih dipertanggungjawabkan.
Model semacam ini juga menjami keberlangsungan (Nachhaltigkeit)
perusahaan dalam kaitan dengan kehidupan warga yang lebih
luas dan pelestarian lingkungan hidup. Franz Joseph Radermacher,
ahli teknologi dan ekologi di Jerman, menyebutnya sebagai tata kelola
ekonomi yang berpijak pada kesadaran sosial dan ekologis (ökosoziale
Marktwirtschaft). Kontrol dari pemerintah dan warga sipil tidak
hanya berlangsung dari luar perusahaan, seperti yang sekarang ini
terjadi, namun juga dari dalam perusahaan itu sendiri, yakni dari para
pemiliknya. Model semacam ini juga memastikan investasi jangka
panjang di dalam perusahaan ini bisa terus berlangsung.
Di tengah beragam pelanggaran berat yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan besar di seluruh dunia, revolusi dari institusi
bisnis mutlak diperlukan. Kita sudah lelah dengan eksploitasi tenaga
kerja oleh perusahaan-perusahaan besar yang menekan upah buruh
serendah-rendahnya. Kita juga sudah lelah dengan eksploitasi sumber
daya alam yang mereka lakukan. Kita sudah jenuh dengan kebijakan
pembuangan limbah sembarangan, sampai dengan pembakaran hutan,
demi keuntungan ekonomi sesaat perusahaan-perusahaan ini .
Untuk apa sebuah negara memiliki perusahaan-perusahaan raksasa
dengan modal besar, namun alamnya rusak? Untuk apa sebuah negara
memiliki gemilau perusahaan-perusahaan dengan merk keren, namun
kesenjangan antara si kaya dan si miskin begitu besar? Bukankah ini
akan menciptakan keadaan hidup bersama yang tidak nyaman? Lebih
dari itu, bukankah ini akan menciptakan keadaan yang subur untuk
kebencian, iri hati dan akhirnya konfl ik yang memakan banyak korban?
Mau sampai kapan?
Dua Sayap Pendidikan
Di berbagai negara, kita menemukan banyak pejabat politik yang terjebak korupsi. Mereka memiliki gelar pendidikan tinggi.
Mereka juga memiliki nama baik di lingkungan sosialnya. Namun,
latar belakang pendidikan tinggi, pengetahuan agama, serta nama baik
sama sekali tidak menghalangi mereka untuk mencuri dan merugikan
orang lain.
Kecenderungan yang sama juga sering kita temukan di kalangan
pemuka agama. Mereka yaitu orang-orang yang dianggap bijak,
sebab memiliki pengetahuan agama yang tinggi. Namun, kerap kali,
mereka juga jatuh ke dalam sikap bejat yang sama. Korupsi, pemer-
kosaan, penipuan, serta beragam pelanggaran lainnya juga kerap
mereka lakukan, sebab kerakusan dan kekosongan batin yang mereka
alami.
Kita juga sering mendengar berita tentang perilaku bejat para
manajer dan direktur perusahaan-perusahaan besar. Mereka mengguna-
kan segala cara, guna meraih keuntungan ekonomis. Mereka juga
tak segan untuk merugikan orang lain, guna mencapai tujuan itu.
Kekayaan dan kecerdasan justru bisa dipakai untuk tujuan-tujuan
yang merusak.
Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa pengetahuan yang luas tidak
menjamin orang bebas dari korupsi? Mengapa pengetahuan agama yang
mendalam tidak mendorong orang menjadi lebih baik, melainkan justru
menjadi lebih bejat dengan memakai pembenaran-pembenaran
palsu dari pengetahuan agama yang dimilikinya? Pertanyaan-per-
tanyaan inilah yang mesti kita jawab bersama.
Akar dari gejala ini yaitu cacat di dalam paradigma pendidikan
kita di Indonesia. Pendidikan kita tak punya sayap. Di dalam tradisi
Filsafat Timur, pendidikan selalu dilihat sebagai kerja sama dari dua
aspek yang tak terpisahkan, yakni pengetahuan dan pengalaman.
saat dua sayap ini ada, barulah pendidikan bisa mendorong orang
tidak hanya untuk cerdas, namun juga terbang menuju kebijaksanaan.
Pengetahuan bisa diperoleh, saat kita mendengar ajaran dari
orang lain. Kita juga bisa memperoleh pengetahuan dari membaca
buku. Dengan pengetahuan yang ada, kita bisa meningkatkan mutu
hidup kita, sekaligus membantu orang lain. Namun, pengetahuan
semata tidaklah cukup, sebab kita masih menciptakan jarak antara
diri kita dengan kenyataan melalui konsep-konsep yang kita rumuskan.
Yang lebih penting yaitu pengalaman. Pengalaman disini yaitu
per sentuhan langsung dengan kenyataan apa adanya, tanpa terlebih
dahulu dihalangi oleh konsep. Pola semacam ini dapat diperoleh, jika
orang melakukan refl eksi, yakni melihat jauh ke dalam dirinya sendiri,
guna memahami jati diri sejatinya sebagai manusia. Inilah kiranya yang
kurang di dalam paradigma pendidikan di Indonesia.
Pemahaman akan jati diri sejati berarti orang bergerak melampaui
segala bentuk pemahaman yang terkait dengan identitas sosial.
Kita bukanlah identitas sosial kita. Itu hanya satu bagian kecil dari
kemanusiaan kita. Pemahaman akan jati diri sejati, ditambah dengan
pengetahuan yang luas, akan mendorong orang masuk ke dalam
kebijaksanaan.
saat pendidikan tidak bersayap, ia justru akan menghasilkan
manusia-manusia bodoh. saat pendidikan hanya memiliki satu
sayap, ia akan rapuh dan akan menghasilkan manusia-manusia yang
cacat. saat pendidikan hanya berfokus pada pengetahuan, ia akan
menghasilkan manusia-manusia cerdas yang siap menipu dan ko-
rupsi, saat ada kesempatan. saat pendidikan hanya berfokus
pada pengalaman, ia akan menghasilkan manusia-manusia yang tidak
terampil, dan tidak memiliki arah.
Kita tidak perlu lagi orang pintar. Sudah banyak orang pintar di
muka bumi ini. Yang kita butuhkan yaitu orang yang hidup dalam
dua sayap pendidikan, yakni pengetahuan dan pengalaman. Buat
apa gelar tinggi dan pengetahuan agama yang luas, jika itu hanya
dipakai untuk membenarkan perilaku bejat di dalam kehidupan?
Buat apa gelar tinggi dan tampilan memikat, namun hatinya kosong
dan menderita, sehingga menciptakan penderitaan tidak hanya untuk
dirinya sendiri, namun untuk orang lain?
Paris
Mereka menyebutnya ”Jumat tanggal 13”, seperti dalam fi lm horror terkenal Friday the 13th. Salah satu kota terbesar Eropa ini
dihantam serangan teror di berbagai tempat pada 13 November 2015.
Sampai tulisan ini dibuat, lebih dari 140 orang mati terbunuh di Paris.
Ketakutan dan kemarahan bagaikan udara yang kini dihirup tidak
hanya oleh para penduduk kota Paris, namun juga oleh seluruh Eropa.
Lingkaran Kekerasan
Lingkaran kekerasan kini berlanjut, dan ini tak dapat dipisahkan
dari brutalitas yang telah terjadi sebelumnya. Amerika Serikat, dengan
Prancis dan berbagai negara di Eropa lainnya sebagai sekutunya, sudah
menyerang Irak dan menurunkan Sadam Hussein dengan paksa. Ini
dimulai sejak serangan 2003 lalu. AS dan sekutunya juga menyerbu
Libya dengan kekerasan militer yang brutal. Sampai detik ini, AS dan
sekutunya terus mendukung gerakan teroris yang menyerang peme-
rintahan Assad di Suriah.
Jutaan orang terbunuh, akibat serangan militer brutal ini .
Akibatnya, seluruh Timur Tengah masuk ke dalam kekacauan. Kelom-
pok teroris seperti ISIL, Al Qaeda dan Taliban memperoleh angin segar
untuk terus menyebarkan teror mereka. Sementara, AS dan sekutunya,
termasuk Arab Saudi, terus memberi dukungan dana dan senjata
kepada beragam kelompok ekstrimis Islam di Timur Tengah, guna
menyerang Iran dan sekutunya.
AS dan sekutunya secara sengaja menciptakan dan mendukung
gerakan ekstrimis Islam di berbagai penjuru dunia demi memenuhi
kepentingan politik mereka. Di satu sisi, ada kepentingan penguasaan
minyak di Timur Tengah. Di sisi lain, ada kepentingan untuk
melindungi Israel dengan kebijakan rasis dan merusaknya di Palestina.
Ini bukan rahasia lagi sebenarnya.
Apa yang terjadi di Paris pada Jumat 13 November 2015 yaitu
bagian dari rantai kekerasan yang telah terjadi sebelumnya. Ini yaitu
buah dari dendam, akibat perang dan penderitaan yang dihasilkan
selama ratusan tahun, demi memenuhi kepentingan politik jangka
pendek semata. Hancurnya beragam institusi demokratis sekular di
Timur Tengah dan Asia juga merupakan dampak dari sepak terjang AS
dan sekutunya pada abad 20 lalu. Tak heran, kini Timur Tengah hidup
dalam kemiskinan akut, kesenjangan sosial ekstrem dan kekerasan
yang tak kunjung henti.
Sebab Akibat
Rantai sebab akibat sebenarnya amat jelas dalam hal ini. Kekerasan
kolonialisme yang berlangsung selama lebih dari 500 tahun oleh
negara-negara Eropa, ditambah dengan kebijakan luar negeri AS dan
sekutunya dewasa ini, telah menciptakan beragam gerakan teroris
ekstrem di seluruh dunia sekarang ini. Gerakan teror ini bukanlah
sebuah kebetulan, melainkan bagian dari lingkaran kekerasan dan
sebab akibat yang memiliki pola yang jelas. Semuanya tercatat dan
terbuka untuk mata kita, asal kita mau melihat.
Darah mereka yang terbunuh di Paris 13 November 2015 terkait
erat dengan kekerasan dan kerakusan yang telah terjadi sebelumnya.
Ini bukan cerita sederhana soal orang jahat yang menyerang orang
baik. Ini yaitu cerita soal penderitaan tanpa henti yang menghasilkan
dendam membara untuk melahirkan kekerasan yang lebih besar lagi.
Saya yakin, kekerasan tidak akan berhenti disini. Serangan balik yang
jauh lebih mematikan akan dilakukan oleh pemerintah Prancis dan
sekutunya.
Sejarah mencatat, dendam tidak akan pernah menyelesaikan ma-
salah. Dendam mendorong kebencian dan kekerasan. Buahnya yaitu
penderitaan dan dendam lebih jauh. Dendam membutakan mata kita
dari realitas, dan menggiring kita untuk menciptakan neraka di dunia.
Yang lebih menyedihkan, lingkaran kekerasan dan rantai sebab
akibat yang menghasilkan teror di Paris amatlah jelas dan terang.
Informasi tentang hal ini terbuka lebar untuk dibaca dan dianalisis oleh
warga luas. Namun, ini semua ini diabaikan. Orang lebih senang
tenggelam dalam pola hidup konsumtif dan hedonis tanpa henti, serta
hidup dalam prasangka pada mereka yang memiliki pandangan hidup
yang berbeda.
Dendam harus Berhenti
Jalan keluar dari semua ini hanya satu, berhenti membalas. Kita
harus kembali belajar pada ajaran luhur yang menghasilkan peradaban
tinggi di dunia, bahwa pengampunan yaitu jalan keluar dari segala
kekerasan. Selama dendam masih membara di dada, selama itu pula
kematian, pembunuhan, perang dan penderitaan akan tercipta. Hanya
pengampunan yang berpijak pada kesadaran untuk menghentikan
kekerasan yang bisa memutus kejahatan dan kebencian yang kini terasa
begitu kuat di seluruh dunia.
Logika mata ganti mata sudah terbukti hanya membawa penderitaan
lebih jauh. Keadilan yang dikejar oleh hasrat untuk membalas dendam
tidak akan pernah menciptakan perdamaian yang sejati. Penegakkan
hukum yang berpijak pada kebencian di hati bagaikan melempar
minyak di api kekerasan dan dendam yang masih membara di dada.
Mau sampai kapan?
Namun, pengampunan memang tidak bisa datang dari langit.
Peng ampunan lahir dari kebijaksanaan hati dan pikiran yang terlatih.
Inilah yang kita lupa. Sistem pendidikan dunia sibuk menyuapi orang
dengan fakta, dan lupa untuk melatih pikiran untuk melihat kenyataan
apa adanya. Akibatnya, begitu banyak orang hidup dalam penderitaan
dan delusi yang memperpanjang rantai kekerasan berikutnya.
Darah di Paris, di Suriah, di Palestina, di Myanmar, di Tibet,
di Papua dan di seluruh dunia yaitu buah dari kedunguan kita
semua. Sampai kapan kita mau membalas dendam untuk luka dan
penderitaan yang kita alami? Sampai kapan kita mau menutup mata
dari fakta, bahwa dendam justru menghancurkan diri kita sendiri,
dan menghasilkan kekerasan serta penderitaan yang lebih besar lagi?
Sampai kapan kita mau hidup seperti ini di dunia?
Adu Domba
Taktik adu bomba mungkin yaitu taktik yang paling jitu untuk menjajah bangsa lain. Taktik ini tidak membutuhkan biaya banyak,
namun amat efektif untuk melemahkan lawan. Ia menjadi taktik
utama dari berbagai penguasa absolut di sepanjang sejarah manusia
untuk menjajah dan menaklukan. Tingkat keberhasilannya pun nyaris
sempurna.
Logika Adu Domba
Taktik adu domba memakai logika adu domba. Ada empat
ciri utama dari logika ini. Yang pertama yaitu penciptaan perpecahan
di dalam warga .
Logika adu domba dimulai dengan menyebarkan sebuah berita
ter tentu yang menciptakan perpecahan dan kecurigaan di dalam ke-
lompok tertentu. Berita ini begitu sensasional, dan biasanya amat sulit
untuk diperiksa kebenarannya. Banyak orang resah atas berita ini.
Keresahan serta kecurigaan ini lalu menciptakan perpecahan di
dalam kelompok, yang akhirnya melemahkan persatuan serta kesatuan
kelompok ini .
Pemerintah Romawi Kuno memakai taktik ini, saat mereka
menyerbu Yunani sekitar 200 tahun sebelum Masehi lalu di Eropa.
Keduanya yaitu negara yang kuat. Namun, Yunani menjadi lemah,
sebab ada perpecahan di dalam negaranya. Perpecahan ini
disebab kan oleh taktik adu domba yang dipakai oleh tentara
Romawi.
Ciri kedua yaitu adanya pihak-pihak tertentu di belakang layar
yang memperoleh keuntungan dari perpecahan yang ada. Pihak-pihak
ini biasanya yaitu pihak asing yang memiliki kepentingan tertentu,
terutama kepentingan politik dan ekonomi. Mereka bertanggung
jawab atas berita yang tersebar dan meresahkan warga . Mereka
dikenal sebagai provokator atau aktor di belakang layar yang memicu
perpecahan.
Belanda memakai taktik ini, saat ia hendak menjajah
Indonesia lebih dari 300 tahun yang lalu. Beragam kerajaan yang ada
diadu domba, sehingga mereka saling curiga dan bahkan berperang
satu sama lain. Akibatnya, mereka menjadi lemah, dan dengan mudah
dikalahkan oleh Belanda. Belanda lalu akhirnya menjadi penguasa
politik dan ekonomi di berbagai pulau di Indonesia.
Ciri ketiga yaitu kerja sama terselubung. Di balik kecurigaan
dan perpecahan yang terjadi, ada pihak dari luar yang mengajak salah
satu dari pihak yang terpecah ini untuk bekerja sama. Mereka
lalu membentuk persekutuan terselubung. Namun, yang kerap terjadi
yaitu persekutuan ini lalu hancur, sebab pihak dari luar
mengingkari janji mereka.
Inilah pola yang dipakai tentara Amerika Serikat untuk meng-
hancurkan beragam Suku Indian yang ada di Amerika Utara. Pemerintah
AS menyebarkan beragam berita bohong, guna memecah kerja sama
di antara berbagai Suku Indian di Amerika Utara. Pemerintah AS lalu
mengajak salah satu suku untuk bekerja sama, guna menghancurkan
suku Indian lainnya. Namun, kerja sama ini lalu hancur, saat
pemerintah AS mengingkari janji mereka, dan justru menyerang
sekutunya. Ini terjadi berulang kali di Amerika Utara.
Ciri keempat yaitu pengalihan isu dan sumber daya. Perpecahan
dan kecurigaan yang terjadi biasanya membuat kelompok warga
ini melupakan hal-hal yang penting. Mereka menghabiskan sum-
ber daya mereka untuk berperang satu sama lain, sehingga kekuatan
ekonomi dan budaya mereka pun melemah. Di dalam keadaan itu,
pihak dari luar bisa dengan mudah datang dan menghancurkan
mereka.
Kerajaan Inggris memakai taktik ini, saat mereka hendak
menguasai Cina pada awal abad 20 yang lalu. Mereka memaksa
kekaisaran Cina untuk terus berperang dengan kelompok pemberontak
yang diciptakan oleh kerajaan Inggris. Akibatnya, begitu banyak
sumber daya ekonomi habis untuk berperang, dan Cina pun lalu
menjadi lemah. Kerajaan Inggris lalu menyerang Cina, walaupun tidak
pernah bisa sepenuhnya menaklukkan Cina.
Seperti sudah kita lihat, taktik adu bomba sudah begitu sering
dipakai di dalam sejarah oleh para penjajah di berbagai belahan
dunia. Mereka ingin memperluas kekuasaan dan mengeruk keuntungan
ekonomi secara tidak adil dari bangsa-bangsa lain. Begitu banyak orang
mati, akibat taktik ini. Begitu banyak kerajaan dan bangsa hancur,
akibat taktik ini.
Sikap Kritis Kita
Namun, taktik dan logika adu domba bisa dilawan. Kita perlu
peka terhadap segala bentuk usaha adu domba yang terjadi di ma-
syarakat kita. Kita perlu membangun sikap kritis, sehingga kita tidak
mudah dipecah oleh beragam isu dan berita bohong. Sikap kritis
berarti kita berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara rasional
tentang berbagai berita yang kita dengar, terutama berita-berita yang
menimbulkan kecurigaan dan perpecahan.
Di sisi lain, kita juga perlu peka dengan berbagai hubungan ke-
kuasaan yang ada. Kita perlu bertanya, siapa yang diuntungkan dari
kecurigaan dan perpecahan yang terjadi? Jika kita menelan mentah-
mentah berbagai berita yang ada, terutama berita-berita yang disebar-
kan oleh media-media besar dunia, maka kita akan mudah diadu
domba. saat taktik adu domba sudah menyusupi kelompok kita,
maka peluang untuk hancur, akibat penaklukkan pihak luar, akan
menjadi semakin besar.
Belakangan ini, kelompok Muslim di berbagai belahan dunia
menjadi target dari pemberitaan terkait dengan terorisme yang terjadi
di Beirut, Afganistan, Mali dan Prancis. Banyak komunitas Muslim yang
tak bersalah lalu mengalami diskriminasi di berbagai bidang, mulai dari
politik, ekonomi sampai dengan pendidikan. Kita jelas perlu bersikap
kritis terhadap ini. Kita juga perlu peka pada hubungan-hubungan
kekuasaan yang terjadi di belakang pemberitaan ini, terutama soal
pengalihan isu serta tentang pihak-pihak yang diuntungkan dari
perpecahan yang ada.
Kita juga jelas perlu belajar dari sejarah kita sendiri. Nusantara
Indonesia takluk dibawah berbagai penjajahan negara-negara Eropa
selama ratusan tahun, akibat taktik adu domba ini. Kita tidak boleh
mengulang kesalahan yang sama. Harganya terlalu mahal, yakni
hancurnya bangsa Indonesia dan hilangnya nyawa jutaan orang, seperti
yang terjadi di masa silam, jika kita jatuh kembali pada lubang yang
sama. Harganya sungguh terlalu mahal…
Kamu yaitu Pengungsi
Usiamu 29 tahun. Kamu punya seorang istri, dan dua orang anak kecil. Kamu punya pekerjaan yang bagus di kota tempat
tinggalmu. Gajimu cukup. Kamu bisa menabung, dan hidup dengan
nyaman. Kamu punya rumah kecil di pinggir kota.
Tiba-tiba, keadaan politik di negaramu berubah. Dalam waktu
beberapa bulan, banyak tentara lalu lalang di depan rumahmu. Mereka
memaksamu untuk ikut berperang bersama mereka. Jika kamu tidak
mau, kamu akan ditembak. Salah seorang tetanggamu berani melawan
mereka. Ia ditembak. Mati.
Salah seorang tentara mengancam untuk memperkosa istrimu. Kamu
tidak merasa aman lagi di rumahmu sendiri. Daerah perumahanmu
sudah nyaris rata dengan tanah, sebab dibom. Hampir tidak ada
gedung yang utuh.
Kamu memutuskan untuk membawa seluruh keluargamu ke luar
kota, kembali ke rumah orang tuamu di kota lain. Namun, rumah itu
sudah tidak ada. Orang tuamu juga sudah mati tertembak. Tidak ada
mayat. Tidak ada kabar.
Mereka bilang: ”Namun, para pengungsi itu punya banyak barang
bagus. Mereka punya Smartphone mewah! Baju mereka pun bagus-
bagus!”
Dalam keadaan panik, kamu dan keluargamu segera berkemas.
Kamu memasukan semua pakaian yang kiranya dibutuhkan untuk
perjalanan. Apa yang akan kamu bawa? Kamu mungkin tidak akan
kembali ke tanah airmu lagi. Bagaimana kamu bisa mendengar kabar
dari mereka? Dengan terburu-buru, kamu memasukkan smartphone
yang kamu punya ke dalam tas. Kamu juga membawa beberapa baju,
beberapa makanan, dan boneka kesayangan anakmu.
Mereka bilang: ”Para pengungsi itu punya banyak uang. Mereka
bisa kabur buktinya!”
Kamu sudah tahu sebelumnya, bahwa krisis akan datang. Kamu
menarik semua uang yang kamu punya dari bank, dan menjual semua
hartamu. Uang 150 juta Rupiah pun terkumpul. Untuk bisa mengungsi
ke negara lain, kamu harus membayar 50 juta rupiah untuk satu kepala.
Dengan sedikit keberuntungan, kamu bisa pergi sebagai satu keluarga.
Jika tidak, kamu harus merelakan istrimu untuk pergi bersama kedua
anakmu. Akhirnya, semua uangmu habis. Yang ada hanya tas berisi
pakaian. Kamu harus berjalan kaki selama dua minggu untuk mencapai
pelabuhan.
Perutmu lapar. Selama seminggu terakhir, kamu nyaris tidak
makan. Tubuhmu lemah. Tubuh istrimu pun juga lemah. Namun,
setidaknya, kedua anakmu mendapatkan cukup makan dan minum.
Mereka terus menangis sepanjang perjalanan. Kamu juga harus
menggendong anakmu yang paling kecil. Usianya baru 21 bulan. Dua
minggu lagi, kamu akan tiba di pelabuhan.
Di malam yang gelap, kamu dan keluargamu masuk ke dalam
kapal bersama para pengungsi lainnya. Kamu beruntung, bahwa
seluruh keluargamu bisa pergi mengungsi. Kapal laut itu terlalu kecil,
dan penumpang terlalu banyak. Semoga ia tidak tenggelam. Orang-
orang di sekitarmu berteriak dan menangis.
Beberapa anak kecil sudah meninggal, sebab kehausan. Mayat
mereka dibuang ke laut begitu saja. Istrimu duduk di pinggir kapal. Dia
tidak makan dan minum selama dua hari ini. Setelah beberapa waktu,
kamu harus berpisah dengan mereka. Istrimu dan anak tertuamu di
satu kapal, dan kamu bersama anak terkecilmu di kapal lain.
Kamu dipaksa untuk tetap diam sepanjang perjalanan, supaya
kapalmu tidak dicurigai tentara. Anak tertuamu mengerti. Namun, anak
terkecilmu terus menangis. Para pengungsi lainnya tampak prihatin.
Mereka meminta kamu untuk menenangkan anakmu. Salah seorang
dari mereka merebut anakmu darimu, dan membuangnya ke laut.
Kamu melompat untuk menyelamatkan dia. Namun, cahaya terlalu
gelap. Udara dan air terlalu dingin. Kamu tidak bisa menemukannya.
Kamu tidak akan pernah bisa melihat dia lagi. Padahal, tiga bulan lagi,
usianya dua tahun….
Mereka bilang: ”Tapi, para pengungsi itu hanya menjadi parasit disini!
Mereka mengemis, tanpa mau berusaha!”
Sampai detik ini, kamu tidak tahu, kemana kamu akan pergi. Kamu
duduk sendiri. Istrimu dan anak tertuamu ada di kapal lain. Kamu
beruntung, akhirnya, kamu bisa bertemu lagi dengan mereka. Istrimu
hanya terdiam, saat kamu bercerita tentang anak terkecilmu. Anak
tertuamu memeluk boneka adiknya yang telah meninggal. Ia tampak
membeku…
Akhirnya, kamu tiba di daratan. Tempat ini disebut kamp
pengungsi darurat. Orang-orang dengan berbahasa asing berteriak
mengatur keadaan. Ada 500 tempat tidur yang saling berdempetan
satu sama lain.
Lebih dari tiga hari, kamu tidak makan dan minum. Tubuhmu
lemas. Kamu berharap untuk mati saja. Lalu, kamu melihat istri dan
anakmu. Kamu memeluk mereka ke dalam dekapanmu. Kamu tertidur
bersama mereka.
Mereka bilang: ”Mereka sudah enak hidupnya disini. Tidak perlu kerja, tapi
dapat makan! Mereka harus merasa bahagia!”
Esok paginya, kamu mendapat makan dan minumnya untuk
pertama kalinya setelah beberapa hari. Kamu memeriksa teleponmu,
menantikan kabar dari keluargamu di tanah air. Tidak ada kabar
apapun.
Segerombolan orang datang dan berteriak, ”Kembali ke rumahmu! Kamu
tidak diinginkan disini!”
Kamu yaitu pengungsi…
Jutaan pengungsi dari Suriah dan beragam negara di Timur Tengah
lainnya mengalami nasib semacam ini setiap harinya. Apakah kita
sudah membantu? Dimana Indonesia? Dimana Arab Saudi? Dimana
Qatar? Dimana negara-negara tetangga di Timur Tengah yang mengaku
beragama dan beriman? Bukankah kita seharusnya saling membantu?
Mau berapa mayat lagi dibuang di laut? Mau berapa anak kecil dan
orang tak bersalah lagi yang harus jadi korban?
Diolah dari tulisan Faz Ali dan John Vibes dari media independen TrueActivist.
com
Hak atas Justifi kasi
Pemahaman tentang keadilan telah lama menjadi bagian dari diskusi di dalam fi lsafat Barat. Rainer Forst mencoba ikut serta
di dalam diskusi ini di dalam bukunya yang berjudul Das
Recht auf Rechtfertigung: Elemente einer konstruktivistischer Theorie der
Gerechtigkeit yang diterbitkan pada 2007 lalu. Secara sederhana, judul
buku itu dapat diterjemahkan sebagai ”Hak atas Pendasaran: Elemen-
elemen dari Teori Konstruktivis tentang Keadilan”.
D i Jerman, Rainer Forst dikenal sebagai seorang fi lsuf politik. Ia
memperoleh penghargaan GoĴ fried Wilhelm Leibniz pada 2012 lalu.
Saat ini, ia bekerja sebagai Professor Teori Politik di dalam Departemen
Ilmu Sosial Universitas Johann Wolfgang Goethe di Frankfurt, Jerman.
Ia juga dikenal sebagai penerus tradisi Teori Kritis Mazhab Frankfurt.
Di dalam berbagai tulisannya, Forst mencoba membuat sintesis antara
teori-teori keadilan liberal, komunitarisme dan tradisi teori sosial kritis
dari Jerman.
Hak atas Justifi kasi
Bagi Forst, di balik beragam teori keadilan yang berkembang
di dalam fi lsafat Barat, ada satu pengandaian yang sama, yakni
kebutuhan untuk dihargai sebagai manusia yang memiliki hak untuk
memperoleh pendasaran (das Bedürfnis der Rechtfertigung). Ketidakadilan
terjadi, saat orang tidak dianggap sebagai bagian dari proses-
proses yang ada di dalam warga . Ia dianggap tidak ada, dan
beragam keputusan dibuat, tanpa mendengarkan keinginan maupun
kebutuhannya. Pengabaian (Vernachlässigung) semacam ini menjadi
dasar untuk beragam ketidakadilan lainnya, seperti ketidakadilan
politis, ketidakadilan ekonomi, dan sebagainya.
Forst juga menafsir ulang makna dari kata martabat manusia
(Menschenwürde) di dalam fi lsafat politik. Di dalam fi lsafat politiknya,
martabat manusia dipahami sebagai hak dan kemampuan seseorang
untuk memperoleh alasan yang kuat dari berbagai kebijakan dan
tindakan yang mempengaruhi dirinya. Pengandaian dasar dari argumen
ini sejalan dengan fi lsafat politik Habermas, bahwa setiap orang harus
ikut serta secara aktif di dalam proses pembuatan kebijakan yang
nantinya harus ia patuhi.
Teori Keadilan sebagai justifi kasi menyatakan dengan tegas, bahwa
tidak boleh ada satu pun tata politik ataupun tata sosial yang tidak
dapat diterima secara bebas dan masuk akal oleh orang-orang yang
ada di dalamnya. Setiap manusia mempunyai hak, menurut Forst,
untuk tidak hidup di dalam tata sosial, politik, ekonomi ataupun
budaya, yang tidak dapat ia terima secara bebas dan masuk akal
sebagai manusia yang bermartabat. Setiap orang berhak untuk berkata
”tidak” atas sistem moral ataupun aturan yang ditimpakan kepadanya.
Ini hanya mungkin, sebab setiap orang memiliki kebebasan untuk
mempertanyakan keabsahan atau justifi kasi (Rechtfertigungsforderung)
dari hukum-hukum maupun tata moral-politik yang dikenakan
kepadanya.
Pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti ”Mengapa hukum
semacam ini yang diberlakukan?”, atau ”Mengapa saya harus menjalani
prosedur semacam ini?”, yaitu pertanyaan-pertanyaan terkait dengan
pendasaran, atau justifi kasi. Di balik pertanyaan-pertanyaan semacam
ini, ada dua hal yang penting untuk diperhatikan. Yang pertama
yaitu kebutuhan akan penjelasan. Yang kedua yaitu kebutuhan atas
pendasaran moral dan keadilan dari kebijakan ataupun hukum yang
harus saya patuhi. Jika dua hal itu tak terpenuhi, maka saya punya hak
untuk menolak hukum ataupun kebijakan ini . Saya juga punya
hak untuk memperoleh ganti rugi dari pelanggaran martabat yang
telah terjadi pada diri saya.
Moralitas, Diskursivitas dan Intersubyektivitas
Di dalam buku ini, Forst juga menjabarkan pandangan beberapa
fi lsuf terkait dengan moralitas sebagai akal budi praktis. Forst hendak
melihat moralitas sebagai prinsip yang memandu kehidupan praktis
manusia di bidang hukum, politik dan ekonomi. Satu prinsip dasar
yang penting disini yaitu , bahwa setiap orang harus bisa memberi
pertanggungjawaban atas tindakannya. Pertanggungjawaban ini
haruslah bisa dimengerti serta dianggap bermutu oleh orang-orang
lainnya yang mungkin tidak memiliki sudut pandang yang sama
dengannya.
Forst di titik ini berada di dalam tradisi pemikiran Kant dan
Habermas, bahwa moralitas yaitu bagian dari penentuan diri
ma nusia (Selbstbestimmung). Dengan kata lain, moralitas yaitu
otonom. Ia lahir dari kebebasan dan akal budi manusia, serta juga
bisa dimengerti oleh orang-orang lainnya. Seperangkat aturan moral
yang tidak lahir dari kebebasan dan akal budi manusia tidaklah
layak disebut sebagai moralitas. Itu hanya penindasan atas martabat
manusia yang memakai selubung-selubung luhur untuk menutupi
kebusukannya.
Sebagai bagian dari otonomi manusia, moralitas juga harus bisa
dipertanggungjawabkan secara timbal balik di depan orang-orang
lainnya. Dengan kata lain, menurut Forst, moralitas juga harus memiliki
aspek intersubyektivitas dan diskursif. Jika moralitas memiliki dua
aspek ini, maka tidak ada alasan apapun bagi orang untuk tidak
menerapkannya secara praktis di dalam hidup sehari-hari.
Untuk bisa mempertanggungjawabkan tindakannya, orang
mem butuhkan kemampuan untuk merefleksikan tindakannya
(Besinnungsfähigkeit). Ia juga harus memiliki kemampuan untuk
meng ambil sudut pandang orang lain yang berbeda darinya
(Perspektiveübernahme). Dua kemampuan ini tidak datang begitu saja,
te tapi harus dikembangkan di dalam berbagai konteks, baik pendidikan
di keluarga maupun di sekolah dan warga . Dengan kemampuan
ini, orang lalu bisa menjadi pembuat keputusan yang bijak. Ia bisa
mempertimbangkan berbagai kemungkinan, lalu membuat keputusan
yang paling cocok untuk keadaan yang dihadapinya. Ia juga bisa
menolak sebuah keputusan yang ditimpakan kepadanya tanpa dasar
yang masuk akal. Hak untuk memperoleh pendasaran atau justifi kasi
juga berarti hak untuk berkata tidak.
Di sisi lain, kita juga mesti menghormati hak orang lain untuk
berkata tidak. Hak untuk justifi kasi tidak hanya berarti, bahwa kita
punya hak untuk meminta penjelasan dan pendasaran, namun orang
lain juga bisa menuntut penjelasan dan pendasaran pada kita. saat
penjelasan dan pendasaran ini tidak diterima, maka orang lain
juga bisa berkata tidak kepada kita. Inilah aspek timbal balik dari hak
untuk justifi kasi.
Keadilan Transnasional
Lebih jauh, Forst juga berbicara tentang konsep keadilan trans-
nasional. Ia menyebutnya sebagai Teori Kritis Keadilan Transnasional
(kritische Theorie transnationaler Gerechtigkeit). Para pemikir keadilan
transnasional mencoba merumuskan teori keadilan yang berpijak pada
fakta, bahwa semua negara saling terkait di era globalisasi sekarang
ini. Peristiwa yang menimpa satu negara memberi pengaruh
kepada semua negara lainnya. Oleh sebab itu, dunia internasional
membutuhkan kerja sama yang semakin erat, guna mengatasi beragam
permasalahan yang ada di berbagai belahan dunia secara bersama-
sama.
Forst mencoba untuk menanggapi pandangan semacam ini.
Baginya, masalah global utama sekarang ini yaitu masalah kekuasaan.
Oleh sebab itu, analisis harus dimulai dengan menelaah berbagai
hubungan kekuasaan yang terjadi, yang menciptakan ketidakadilan
struktural di berbagai belahan dunia. Ketidakadilan struktural yang
lahir dari hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak setara ini menjadi
penghalang utama bagi terciptanya tata politik global yang memberi
keadilan dan kemakmuran. Kata ”kekuasaan” menjadi kata kunci
disini. Bagi Forst, teori keadilan harus pertama-tama berbicara soal
kekuasaan. Gaya berpikir semacam ini yaitu gaya berpikir khas Teori
Kritis Mazhab Frankfurt.
Keadilan transnasional hanya dapat dicapai, jika beragam kekuasaan
yang ada tunduk pada hak untuk justifi kasi. Artinya, kekuasaan
ini dapat dijelaskan secara masuk akal kepada semua pihak.
Kekuasaan ini harus tunduk pada pendasaran yang masuk akal
yang bersifat timbal balik. Hal ini bisa dituntut dengan argumen dasar,
bahwa hak untuk justifi kasi yaitu hak mutlak yang harus dipenuhi,
saat sebuah kebijakan atau hukum akan diberlakukan.
Di dalam kondisi ideal, ini tentunya bisa diterima. Namun di
dalam politik sehari-hari, kita tidak bisa memaksa sebuah negara untuk
memberi pendasaran yang masuk akal atas tindakan-tindakannya,
terutama jika negara ini memiliki kekuasaan yang besar di tingkat
internasional. Siapa yang berani menentang Amerika Serikat, saat ia
menyerang Irak berdasar alasan palsu? Di titik ini, pola hubungan
kekuasaan yang tidak adil menjadi penghalang utama.
Relevansi dan Tanggapan
Pemikiran Forst tentang justifi kasi bisa dipakai untuk memahami
akar masalah di Papua sekarang ini. warga Papua kerap tidak
diikutsertakan di dalam beragam pembuatan keputusan yang terkait
dengan dirinya. Masalah Freeport hanyalah puncak gunung es dari
beragam masalah lainnya, mulai dari korupsi, penipuan, peminggiran,
diskriminasi, rasisme sampai dengan penyebaran penyakit mematikan.
Semua masalah ini dapat diselesaikan, jika warga Papua diberikan
hak untuk menuntut penjelasan yang masuk akal, dan bahkan
menolak, dari segala kebijakan yang ditimpakan kepadanya. Mereka
perlu diikutsertakan secara aktif di dalam berbagai proses pembuatan
keputusan yang nantinya akan mempengaruhi hidup mereka, baik
secara langsung ataupun tidak.
Teori Forst juga penting untuk melakukan kritik terhadap beragam
kebijakan di tingkat nasional maupun internasional yang tertutup dari
mata warga luas. Kebijakan yang dibuat di dalam kerahasiaan
semacam ini disebut juga sebagai kebijakan pintu belakang. Perjanjian
rahasia antara Amerika Serikat dan para pemberontak teroristik di
Suriah dan Irak yaitu salah satu dari kebijakan pintu belakang
ini . Kebijakan semacam ini merugikan banyak pihak, dan bahkan
menimbulkan perang berkepanjangan, seperti yang terjadi di Timur
Tengah sekarang ini. Hak atas justifi kasi, sebagaimana dirumuskan oleh
Forst, memaksa kebijakan ini untuk dibuka kepada warga
luas, dan dijelaskan dengan pendasaran-pendasaran yang masuk
akal. Kebijakan ini juga bisa ditolak, saat ia tidak memiliki
pendasaran yang cukup kokoh.
Namun, pola hubungan yang berpijak pada penjelasan dan pen-
dasaran yang masuk akal ini mengandaikan keberadaan sebuah
budaya tertentu, yakni budaya berpikir rasional dan argumentatif. Ini
tentunya tidak datang dengan sendirinya. Di negara dengan budaya
berpikir rasional dan argumentatif yang masih rendah, hak untuk
justifi kasi semacam ini sulit untuk dipenuhi. Diperlukan sebuah sistem
tertentu yang menopang hidup bersama kita, sehingga memungkinkan
kemampuan kita untuk berpikir secara bebas, masuk akal dan
argumentatif bisa berkembang.
Pandangan ini juga bertentangan langsung dengan kenyataan
hidup manusia. Manusia tidak pernah sepenuhnya ditentukan oleh
akal sehatnya. Ada hal-hal lain yang membuat mengingkari akal
sehatnya, dan bahkan melampauinya sama sekali. Ini yang kiranya
kurang menjadi pertimbangan dari para pemikir Teori Kritis di Jerman.
Apa gunanya membuat teori yang sistematis, rasional dan kritis, namun
bertentangan dengan kenyataan dasar hidup manusia yang memiliki
banyak dimensi?
Kematian dan Kesalahpahaman
Masih teringat jelas di kepala saya, saat saya diberikan penjelasan, bahwa Bobo, anjing kesayangan saya, meninggal. Saya masih
kecil, dan belum sungguh paham, apa artinya, jika sesuatu itu me-
ninggal. Apakah dia menghilang? Begitu pertanyaan saya.
Mbak Inah, pembantu di keluarga kami yang sudah kami anggap
sebagai keluarga sendiri, hanya berkata, ”Bobo sudah pergi ke surga,
Sinyo.” Surga? Tempat apa itu. Yang saya tahu, bobo kini hidup di
taman depan rumah kami bersama dengan pohon dan rumput yang
tumbuh di situ.
Setelah itu , beragam peristiwa terkait dengan kematian mulai
menjadi pertanyaan buat saya. Diawali dengan kematian kakek dari
tetangga saya. Kami mengenalnya sebagai ”Engkong baik hati” yang
suka memberi kue dan permen untuk kami, anak-anak kecil yang
suka berlarian di depan rumahnya. Yang paling puncak dan memukul
saya yaitu kematian ayah saya yang begitu mendadak pada 2014 lalu.
Antara Ketakutan dan Harapan
Dihadapkan pada pertanyaan tentang kematian, banyak orang
dikepung oleh ketakutan. Mereka membayangkan peristiwa perpisahan
dengan apa yang mereka anggap berharga dalam hidup. Ada yang
membayangkan neraka yang penuh dengan api panas, dan ada yang
membayangkan surga yang penuh dengan buah manis. Kecemasan
dan ketakutan terselip di balik dua bayangan itu.
Orang lalu terpaku untuk hidup sehat, guna memperlambat
kematian. Mereka berolahraga dengan giat, serta terobsesi dengan
segala macam program kesehatan, mulai dari diet ala Dedi Corbuzier
sampai dengan membeli peralatan fi tness pribadi untuk di rumah. Di
balik segala usaha yang sekilas tampak mulia itu, sesungguhnya ada
ketakutan yang tak pernah bisa dilepas.
Kita juga sedih dan takut, saat mendengar berita kematian. Kita
merasa sedih, saat membaca berita kematian, akibat perang yang tak
henti-hentinya di Timur Tengah. Kita merasa sedih, saat mendengar,
teman dekat atau saudara kita meninggal. Kematian mengundang
beragam emosi yang seringkali sulit dikendalikan.
Ada juga yang melihat kematian sebagai harapan. Bagi mereka,
hidup yaitu penderitaan. Hidup dipenuhi dengan tantangan dan
ketidakadilan. Maka, kematian lalu menjadi jalan keluar, guna
mendapatkan keadaan yang lebih baik.
Namun, di balik ketakutan dan harapan, apa sesungguhnya
kematian itu? Apakah ia ada? Apakah ia hanya sekedar konsep atau
bayangan kita? Mengapa ia dipenuhi begitu banyak misteri yang
mengundang kecemasan sekaligus harapan?
Perubahan dan Kesalingterkaitan
Jika kita bilang, bahwa sesuatu itu mati, kita secara tidak langsung
menyatakan, bahwa sesuatu itu berakhir. Ada titik yang mengakhiri
keberada annya. Ada keterputusan antara yang ”ada”, dan menjadi
yang ”tiada”. Namun, apakah sesuatu itu pernah sungguh berakhir?
Bobo, anjing saya, kini menyatu dengan pohon, rumput serta buah
di taman depan kami yang kecil. Abu jenazah dari ”Engkong yang baik
hati” kini tersebar di lautan di dekat Pantai Ancol. Abu ayah saya kini
menyatu bersama ikan dan beragam mahluk hidup lainnya di laut Jawa.
Mereka tidak berakhir. Mereka bergerak lanjut. Mereka berubah.
Mereka memperkaya kehidupan. Mereka tidak terputus. Mereka tidak
”mati”.
Salah satu hukum utama di dalam fi sika modern yaitu hukum
kekekalan energi. Isinya menegaskan, bahwa energi tidak bisa musnah.
Ia hanya bisa berubah. Mereka yang ”mati” tidaklah berakhir, melain-
kan berubah, dan memperkaya kehidupan semesta.
Di dalam Filsafat Timur, keberadaan (existence) selalu terkait dengan
perubahan (impermanence) dan kesalingterkaitan (interdependence).
Artinya, keberadaan kita tidaklah pernah tetap. Ia selalu berubah
sejalan dengan perubahan segala hal yang ada di semesta. Kita juga
tidak pernah sendirian, melainkan selalu menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari segala yang ada di alam semesta ini.
Kesalahpahaman
Belajar dari fi sika modern dan fi lsafat Timur, kita bisa bilang,
bahwa kematian itu tidak ada. saat orang ”mati”, tubuh dan energi-
nya bergerak terus memperkaya kehidupan semesta yang selalu
menjadi bagian dari dirinya. Kita tidak pernah berakhir. Tidak ada
titik dan kata putus di dalam keberadaan kita.
Kematian, dengan demikian, yaitu kesalahpahaman. Kematian
yaitu konsep yang lahir dari kesalahan berpikir. Sejatinya, senyatanya,
kita tidak pernah mati, dan kita tidak pernah lahir. Kita selalu ada di
alam semesta ini dengan segala bentuk yang kita gunakan, dan selalu
dalam hubungan dengan segala hal yang ada.
Bobo, anjing saya tercinta, kini menjadi buah yang siap dimakan,
saat musimnya tiba. Ayah saya kini menjadi bagian dari lingkungan
laut yang juga tak bisa dipisahkan dari kehidupan lainnya. Semuanya
saling terhubung dan tak terpisahkan. Kita yaitu mereka.
Namun, senyatanya, tidak ada kita. Tidak ada mereka. Semua
hanyalah konsep. Senyatanya, kita semua satu dan sama. Tak ada
mati. Tak ada hidup. Tak ada gerak. Tak ada perubahan. Tak ada keter-
pisahan. Tak ada perpisahan. Mungkin sebaiknya, kita menari….
Epilog:
Beberapa hal kiranya bisa dikatakan, guna mengakhiri buku ini. Salah satu yang perlu disadari yaitu soal gerak dari pikiran
manusia. Pemahaman atas gerak dari pikiran kita ini akan membantu
kita menjalani berbagai hal dalam kehidupan, terutama saat krisis
datang menghadang. Salah satu ciri utama pikiran manusia yaitu
terkait dengan eksistensi, yakni keberadaan dari sesuatu.
Pikiran kita kerap mengira, bahwa sesuatu itu ada, padahal
sebenarnya tidak. Dan sebaliknya, ia juga seringkali membuat sesuatu
yang ada menjadi tiada. Satu contoh kiranya penting untuk disampaikan.
Kita kerap kali menghubungkan dua hal yang tak berhubungan,
hanya sebab perkiraan yang muncul di kepala kita. Perkiraan ini
tak bisa dibuktikan, namun kita lalu membuat pengandaian dengan
menganggapnya sebagai ada.
Pola ini telah membawa banyak petaka dalam hidup manusia.
Keluarga dan bahkan bangsa hancur, sebab kesalahpahaman yang
lahir dari pola semacam ini. Jika pikiran kita membuat sesuatu yang
tidak ada menjadi ada, maka kita akan cenderung bersikap tidak tepat
di dalam menanggapi berbagai keadaan yang terjadi. Buahnya tidak
hanya penderitaan besar bagi diri sendiri, namun juga bagi orang lain.
Sebaliknya, pikiran kita juga cenderung mengabaikan, apa yang
sesungguhnya ada. Matahari bersinar, burung bernyanyi merdu, semua
terabaikan, saat kita dibebani oleh masa lalu dan masa depan di
dalam pikiran kita. Bunga yang indah luput dari pandangan mata,
saat pikiran kita kacau oleh sebab satu dan lain hal. Segala berkah
tampak tak berarti, saat malang datang menimpa.
saat pikiran kita sendiri menipu kita, kita mencoba mencari
jalan keluar. Agama dan tradisi berusaha membantu. Akan namun ,
keduanya kerap hanya menghasilkan larangan dan aturan baru, yang
menghasilkan tegangan hidup yang lebih besar. Tegangan ini justru
menjadi sumber bagi beragam bentuk kekerasan dan kejahatan yang
baru.
Tegangan semakin diperkuat, sebab rasa takut yang muncul,
akibat kesalahan berpikir. Rasa takut yaitu ciptaan pikiran yang
bergerak tanpa arah, dan dianggap sebagai kenyataan. Ini menciptakan
ilusi yang amat kuat yang nantinya membuat hidup orang menderita.
saat ini disadari sebagai sebuah kekosongan yang datang dan pergi,
maka orang bisa secara perlahan tapi pasti terlepas dari rasa takut
yang mencekamnya.
Kebebasan dari rasa takut juga berarti kebebasan yang sesung-
guhnya. Ini yaitu kebebasan sejati yang berada sebelum segala bentuk
pemahaman tentang kebebasan. Ini hanya mungkin diraih, jika orang
tidak melekat pada pendapat maupun pikirannya. Artinya, ia tidak
semata menerima, bahwa pendapat dan pikirannya yaitu benar.
Yang kita butuhkan bukan hanya kebebasan berpendapat, namun
juga kebebasan dari pendapat. Artinya, kita tidak dijajah oleh pikiran
dan pendapat yang kita punya, melainkan bisa bersikap kritis dan tepat
atasnya. Hanya dengan melepaskan segala kelekatan (Anhaftung) pada
pendapat dan pikiran kita sendiri, kita lalu bisa melihat kenyataan
sebagaimana adanya, yakni kenyataan sebelum konsep dan pikiran.
saat kita bisa melihat kenyataan pada dirinya sendiri, kita lalu bisa
menemukan kedamaian sejati yang sudah selalu ada di dalam diri kita.
Kedamaian pikiran yaitu kunci dari perdamaian dunia. Inilah
artinya menjadi manusia di dunia yang sementara ini.