tentang manusia 6



 dari kebijakan perusahaan-perusahaan besar ini, baik secara 

langsung maupun tidak.

Revolusi Institusi Bisnis

Jelas, bahwa perubahan mendasar diperlukan. Perusahaan-

perusahaan besar perlu mengalami revolusi dari struktur dasarnya, 

supaya   ia tidak lagi mengorbankan kepentingan warga  luas, demi 

keuntungan ekonomi semata. Sepak terjangnya perlu berada di bawah 

kontrol warga  luas. Namun, bagaimana ini dilakukan?

Pandangan lama mengatakan, bahwa perusahaan dimiliki oleh para 

pemegang saham. Ini terjadi di mayoritas perusahaan-perusahaan besar 

di dunia. Maka dari itu, perusahaan harus dijalankan dengan mengabdi 

pada kepentingan pemegang saham ini . Pendapatan para 

pemegang saham amat tergantung dari keberhasilan perusahaannya 

menjalankan bisnis.

Di dalam berbagai kebijakannya, para pemegang saham ini hanya 

memperhatikan satu hal, yakni bagaimana supaya   perusahaan meraih 

keuntungan lebih besar lagi. Jika perusahaan bangkrut, maka mereka 

kehilangan segalanya. Oleh sebab  itu, seperti dijelaskan Ha-Joon 

Chang, ekonom dari Universitas Cambridge, para pemegang saham 

hanya sibuk dengan keuntungan jangan pendek semata. Ini dilakukan 

dengan mengorbankan investasi jangka panjang, dan juga seringkali 

mengorbankan kepentingan kelompok-kelompok lainnya.

saat  krisis melanda, para pemegang saham juga bersikap 

reaksioner dengan menjual saham mereka. Ini membuat keadaan 

perusahaan menjadi semakin sulit. Korban terbesar tentu di kalangan 

pekerja perusahaan ini . saat  pemecatan besar-besaran terjadi, 

warga  luas dan negara pun mengalami kerugian. Ini yang kerap 

tidak diperhatikan oleh para pemegang saham.

Akuntabilitas Bisnis

Jalan keluar dari masalah ini yaitu  dengan mengubah struktur 

kepe milikan perusahaan. Di beberapa negara, pemiliki perusahaan-

perusahaan besar bukan hanya para pemegang saham, namun  juga 

pemerintah dan beberapa elemen warga  sipil, seperti perwakilan 

pekerja dan tokoh warga  yang dianggap mumpuni. Kebijakan 

nasional dibuat, supaya   susunan ini tidak dengan mudah dirubah, 

terutama jika krisis melanda.

Perusahaan Renault di Prancis sudah menjalankan ini. Beberapa 

Bank besar di Korea, Jepang dan negara-negara Eropa memakai  

struktur kepemilikan perusahaan semacam ini. Semua ini dilakukan, 

supaya   bisnis tetap berada dalam kontrol warga  luas, terutama 

dalam kaitan dengan kelestarian lingkungan. saat  struktur 

kepemilikan sudah diatur ulang, maka kebijakan-kebijakan perusahaan-

perusahaan besar itu pun bisa lebih dipertanggungjawabkan.

Model semacam ini juga menjami keberlangsungan (Nachhaltigkeit) 

perusahaan dalam kaitan dengan kehidupan warga  yang lebih 

luas dan pelestarian lingkungan hidup. Franz Joseph Radermacher, 

ahli teknologi dan ekologi di Jerman, menyebutnya sebagai tata kelola 

ekonomi yang berpijak pada kesadaran sosial dan ekologis (ökosoziale 

Marktwirtschaft). Kontrol dari pemerintah dan warga  sipil tidak 

hanya berlangsung dari luar perusahaan, seperti yang sekarang ini 

terjadi, namun  juga dari dalam perusahaan itu sendiri, yakni dari para 

pemiliknya. Model semacam ini juga memastikan investasi jangka 

panjang di dalam perusahaan ini  bisa terus berlangsung.

Di tengah beragam pelanggaran berat yang dilakukan oleh 

perusahaan-perusahaan besar di seluruh dunia, revolusi dari institusi 

bisnis mutlak diperlukan. Kita sudah lelah dengan eksploitasi tenaga 

kerja oleh perusahaan-perusahaan besar yang menekan upah buruh 

serendah-rendahnya. Kita juga sudah lelah dengan eksploitasi sumber 

daya alam yang mereka lakukan. Kita sudah jenuh dengan kebijakan 

pembuangan limbah sembarangan, sampai dengan pembakaran hutan, 

demi keuntungan ekonomi sesaat perusahaan-perusahaan ini .

Untuk apa sebuah negara memiliki perusahaan-perusahaan raksasa 

dengan modal besar, namun  alamnya rusak? Untuk apa sebuah negara 

memiliki gemilau perusahaan-perusahaan dengan merk keren, namun  

kesenjangan antara si kaya dan si miskin begitu besar? Bukankah ini 

akan menciptakan keadaan hidup bersama yang tidak nyaman? Lebih

dari itu, bukankah ini akan menciptakan keadaan yang subur untuk 

kebencian, iri hati dan akhirnya konfl ik yang memakan banyak korban? 

Mau sampai kapan?

Dua Sayap Pendidikan

Di berbagai negara, kita menemukan banyak pejabat politik yang terjebak korupsi. Mereka memiliki gelar pendidikan tinggi. 

Mereka juga memiliki nama baik di lingkungan sosialnya. Namun, 

latar belakang pendidikan tinggi, pengetahuan agama, serta nama baik 

sama sekali tidak menghalangi mereka untuk mencuri dan merugikan 

orang lain.

Kecenderungan yang sama juga sering kita temukan di kalangan 

pemuka agama. Mereka yaitu  orang-orang yang dianggap bijak, 

sebab  memiliki pengetahuan agama yang tinggi. Namun, kerap kali, 

mereka juga jatuh ke dalam sikap bejat yang sama. Korupsi, pemer-

kosaan, penipuan, serta beragam pelanggaran lainnya juga kerap 

mereka lakukan, sebab  kerakusan dan kekosongan batin yang mereka 

alami. 

Kita juga sering mendengar berita tentang perilaku bejat para 

manajer dan direktur perusahaan-perusahaan besar. Mereka mengguna-

kan segala cara, guna meraih keuntungan ekonomis. Mereka juga 

tak segan untuk merugikan orang lain, guna mencapai tujuan itu. 

Kekayaan dan kecerdasan justru bisa dipakai  untuk tujuan-tujuan 

yang merusak.

Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa pengetahuan yang luas tidak 

menjamin orang bebas dari korupsi? Mengapa pengetahuan agama yang 

mendalam tidak mendorong orang menjadi lebih baik, melainkan justru 

menjadi lebih bejat dengan memakai  pembenaran-pembenaran 

palsu dari pengetahuan agama yang dimilikinya? Pertanyaan-per-

tanyaan inilah yang mesti kita jawab bersama.

Akar dari gejala ini yaitu  cacat di dalam paradigma pendidikan 

kita di Indonesia. Pendidikan kita tak punya sayap. Di dalam tradisi 

Filsafat Timur, pendidikan selalu dilihat sebagai kerja sama dari dua 

aspek yang tak terpisahkan, yakni pengetahuan dan pengalaman. 

saat  dua sayap ini ada, barulah pendidikan bisa mendorong orang 

tidak hanya untuk cerdas, namun  juga terbang menuju kebijaksanaan.

Pengetahuan bisa diperoleh, saat  kita mendengar ajaran dari 

orang lain. Kita juga bisa memperoleh pengetahuan dari membaca 

buku. Dengan pengetahuan yang ada, kita bisa meningkatkan mutu 

hidup kita, sekaligus membantu orang lain. Namun, pengetahuan 

semata tidaklah cukup, sebab  kita masih menciptakan jarak antara 

diri kita dengan kenyataan melalui konsep-konsep yang kita rumuskan.

Yang lebih penting yaitu  pengalaman. Pengalaman disini yaitu  

per sentuhan langsung dengan kenyataan apa adanya, tanpa terlebih 

dahulu dihalangi oleh konsep. Pola semacam ini dapat diperoleh, jika 

orang melakukan refl eksi, yakni melihat jauh ke dalam dirinya sendiri, 

guna memahami jati diri sejatinya sebagai manusia. Inilah kiranya yang 

kurang di dalam paradigma pendidikan di Indonesia.

Pemahaman akan jati diri sejati berarti orang bergerak melampaui 

segala bentuk pemahaman yang terkait dengan identitas sosial. 

Kita bukanlah identitas sosial kita. Itu hanya satu bagian kecil dari 

kemanusiaan kita. Pemahaman akan jati diri sejati, ditambah dengan 

pengetahuan yang luas, akan mendorong orang masuk ke dalam 

kebijaksanaan.

saat  pendidikan tidak bersayap, ia justru akan menghasilkan 

manusia-manusia bodoh. saat  pendidikan hanya memiliki satu 

sayap, ia akan rapuh dan akan menghasilkan manusia-manusia yang 

cacat. saat  pendidikan hanya berfokus pada pengetahuan, ia akan 

menghasilkan manusia-manusia cerdas yang siap menipu dan ko-

rupsi, saat  ada kesempatan. saat  pendidikan hanya berfokus 

pada pengalaman, ia akan menghasilkan manusia-manusia yang tidak 

terampil, dan tidak memiliki arah.

Kita tidak perlu lagi orang pintar. Sudah banyak orang pintar di 

muka bumi ini. Yang kita butuhkan yaitu  orang yang hidup dalam 

dua sayap pendidikan, yakni pengetahuan dan pengalaman. Buat 

apa gelar tinggi dan pengetahuan agama yang luas, jika itu hanya 

dipakai  untuk membenarkan perilaku bejat di dalam kehidupan? 

Buat apa gelar tinggi dan tampilan memikat, namun hatinya kosong 

dan menderita, sehingga menciptakan penderitaan tidak hanya untuk 

dirinya sendiri, namun  untuk orang lain?


Paris

Mereka menyebutnya ”Jumat tanggal 13”, seperti dalam fi lm horror terkenal Friday the 13th. Salah satu kota terbesar Eropa ini  

dihantam serangan teror di berbagai tempat pada 13 November 2015. 

Sampai tulisan ini dibuat, lebih dari 140 orang mati terbunuh di Paris. 

Ketakutan dan kemarahan bagaikan udara yang kini dihirup tidak 

hanya oleh para penduduk kota Paris, namun  juga oleh seluruh Eropa.

Lingkaran Kekerasan

Lingkaran kekerasan kini berlanjut, dan ini tak dapat dipisahkan 

dari brutalitas yang telah terjadi sebelumnya. Amerika Serikat, dengan 

Prancis dan berbagai negara di Eropa lainnya sebagai sekutunya, sudah 

menyerang Irak dan menurunkan Sadam Hussein dengan paksa. Ini 

dimulai sejak serangan 2003 lalu. AS dan sekutunya juga menyerbu 

Libya dengan kekerasan militer yang brutal. Sampai detik ini, AS dan 

sekutunya terus mendukung gerakan teroris yang menyerang peme-

rintahan Assad di Suriah.

 Jutaan orang terbunuh, akibat serangan militer brutal ini . 

Akibatnya, seluruh Timur Tengah masuk ke dalam kekacauan. Kelom-

pok teroris seperti ISIL, Al Qaeda dan Taliban memperoleh angin segar 

untuk terus menyebarkan teror mereka. Sementara, AS dan sekutunya, 

termasuk Arab Saudi, terus memberi  dukungan dana dan senjata 

kepada beragam kelompok ekstrimis Islam di Timur Tengah, guna 

menyerang Iran dan sekutunya.

AS dan sekutunya secara sengaja menciptakan dan mendukung 

gerakan ekstrimis Islam di berbagai penjuru dunia demi memenuhi 

kepentingan politik mereka. Di satu sisi, ada kepentingan penguasaan 

minyak di Timur Tengah. Di sisi lain, ada kepentingan untuk 

melindungi Israel dengan kebijakan rasis dan merusaknya di Palestina. 

Ini bukan rahasia lagi sebenarnya.

Apa yang terjadi di Paris pada Jumat 13 November 2015 yaitu  

bagian dari rantai kekerasan yang telah terjadi sebelumnya. Ini yaitu  

buah dari dendam, akibat perang dan penderitaan yang dihasilkan 

selama ratusan tahun, demi memenuhi kepentingan politik jangka 

pendek semata. Hancurnya beragam institusi demokratis sekular di 

Timur Tengah dan Asia juga merupakan dampak dari sepak terjang AS 

dan sekutunya pada abad 20 lalu. Tak heran, kini Timur Tengah hidup 

dalam kemiskinan akut, kesenjangan sosial ekstrem dan kekerasan 

yang tak kunjung henti.

Sebab Akibat

Rantai sebab akibat sebenarnya amat jelas dalam hal ini. Kekerasan 

kolonialisme yang berlangsung selama lebih dari 500 tahun oleh 

negara-negara Eropa, ditambah dengan kebijakan luar negeri AS dan 

sekutunya dewasa ini, telah menciptakan beragam gerakan teroris 

ekstrem di seluruh dunia sekarang ini. Gerakan teror ini bukanlah 

sebuah kebetulan, melainkan bagian dari lingkaran kekerasan dan 

sebab akibat yang memiliki pola yang jelas. Semuanya tercatat dan 

terbuka untuk mata kita, asal kita mau melihat.

Darah mereka yang terbunuh di Paris 13 November 2015 terkait 

erat dengan kekerasan dan kerakusan yang telah terjadi sebelumnya. 

Ini bukan cerita sederhana soal orang jahat yang menyerang orang 

baik. Ini yaitu  cerita soal penderitaan tanpa henti yang menghasilkan 

dendam membara untuk melahirkan kekerasan yang lebih besar lagi. 

Saya yakin, kekerasan tidak akan berhenti disini. Serangan balik yang 

jauh lebih mematikan akan dilakukan oleh pemerintah Prancis dan 

sekutunya.

Sejarah mencatat, dendam tidak akan pernah menyelesaikan ma-

salah. Dendam mendorong kebencian dan kekerasan. Buahnya yaitu  

penderitaan dan dendam lebih jauh. Dendam membutakan mata kita 

dari realitas, dan menggiring kita untuk menciptakan neraka di dunia.

Yang lebih menyedihkan, lingkaran kekerasan dan rantai sebab 

akibat yang menghasilkan teror di Paris amatlah jelas dan terang. 

Informasi tentang hal ini terbuka lebar untuk dibaca dan dianalisis oleh 

warga  luas. Namun, ini semua ini diabaikan. Orang lebih senang 

tenggelam dalam pola hidup konsumtif dan hedonis tanpa henti, serta 

hidup dalam prasangka pada mereka yang memiliki pandangan hidup 

yang berbeda.

Dendam harus Berhenti

Jalan keluar dari semua ini hanya satu, berhenti membalas. Kita 

harus kembali belajar pada ajaran luhur yang menghasilkan peradaban 

tinggi di dunia, bahwa pengampunan yaitu  jalan keluar dari segala 

kekerasan. Selama dendam masih membara di dada, selama itu pula 

kematian, pembunuhan, perang dan penderitaan akan tercipta. Hanya 

pengampunan yang berpijak pada kesadaran untuk menghentikan 

kekerasan yang bisa memutus kejahatan dan kebencian yang kini terasa 

begitu kuat di seluruh dunia.

Logika mata ganti mata sudah terbukti hanya membawa penderitaan 

lebih jauh. Keadilan yang dikejar oleh hasrat untuk membalas dendam 

tidak akan pernah menciptakan perdamaian yang sejati. Penegakkan 

hukum yang berpijak pada kebencian di hati bagaikan melempar 

minyak di api kekerasan dan dendam yang masih membara di dada. 

Mau sampai kapan?

Namun, pengampunan memang tidak bisa datang dari langit. 

Peng ampunan lahir dari kebijaksanaan hati dan pikiran yang terlatih. 

Inilah yang kita lupa. Sistem pendidikan dunia sibuk menyuapi orang 

dengan fakta, dan lupa untuk melatih pikiran untuk melihat kenyataan 

apa adanya. Akibatnya, begitu banyak orang hidup dalam penderitaan 

dan delusi yang memperpanjang rantai kekerasan berikutnya.

Darah di Paris, di Suriah, di Palestina, di Myanmar, di Tibet, 

di Papua dan di seluruh dunia yaitu  buah dari kedunguan kita 

semua. Sampai kapan kita mau membalas dendam untuk luka dan 

penderitaan yang kita alami? Sampai kapan kita mau menutup mata 

dari fakta, bahwa dendam justru menghancurkan diri kita sendiri, 

dan menghasilkan kekerasan serta penderitaan yang lebih besar lagi? 

Sampai kapan kita mau hidup seperti ini di dunia?

Adu Domba

Taktik adu bomba mungkin yaitu  taktik yang paling jitu untuk menjajah bangsa lain. Taktik ini tidak membutuhkan biaya banyak, 

namun amat efektif untuk melemahkan lawan. Ia menjadi taktik 

utama dari berbagai penguasa absolut di sepanjang sejarah manusia 

untuk menjajah dan menaklukan. Tingkat keberhasilannya pun nyaris 

sempurna.

Logika Adu Domba

Taktik adu domba memakai  logika adu domba. Ada empat 

ciri utama dari logika ini. Yang pertama yaitu  penciptaan perpecahan 

di dalam warga .

 Logika adu domba dimulai dengan menyebarkan sebuah berita 

ter tentu yang menciptakan perpecahan dan kecurigaan di dalam ke-

lompok tertentu. Berita ini begitu sensasional, dan biasanya amat sulit 

untuk diperiksa kebenarannya. Banyak orang resah atas berita ini. 

Keresahan serta kecurigaan ini  lalu menciptakan perpecahan di 

dalam kelompok, yang akhirnya melemahkan persatuan serta kesatuan 

kelompok ini .

Pemerintah Romawi Kuno memakai  taktik ini, saat  mereka 

menyerbu Yunani sekitar 200 tahun sebelum Masehi lalu di Eropa. 

Keduanya yaitu  negara yang kuat. Namun, Yunani menjadi lemah, 

sebab  ada perpecahan di dalam negaranya. Perpecahan ini  

disebab kan oleh taktik adu domba yang dipakai  oleh tentara 

Romawi.

Ciri kedua yaitu  adanya pihak-pihak tertentu di belakang layar 

yang memperoleh keuntungan dari perpecahan yang ada. Pihak-pihak 

ini biasanya yaitu  pihak asing yang memiliki kepentingan tertentu, 

terutama kepentingan politik dan ekonomi. Mereka bertanggung 

jawab atas berita yang tersebar dan meresahkan warga . Mereka 

dikenal sebagai provokator atau aktor di belakang layar yang memicu 

perpecahan.

Belanda memakai  taktik ini, saat  ia hendak menjajah 

Indonesia lebih dari 300 tahun yang lalu. Beragam kerajaan yang ada 

diadu domba, sehingga mereka saling curiga dan bahkan berperang 

satu sama lain. Akibatnya, mereka menjadi lemah, dan dengan mudah 

dikalahkan oleh Belanda. Belanda lalu akhirnya menjadi penguasa 

politik dan ekonomi di berbagai pulau di Indonesia.

Ciri ketiga yaitu  kerja sama terselubung. Di balik kecurigaan 

dan perpecahan yang terjadi, ada pihak dari luar yang mengajak salah 

satu dari pihak yang terpecah ini  untuk bekerja sama. Mereka 

lalu membentuk persekutuan terselubung. Namun, yang kerap terjadi 

yaitu  persekutuan ini  lalu hancur, sebab  pihak dari luar 

mengingkari janji mereka.

Inilah pola yang dipakai  tentara Amerika Serikat untuk meng-

hancurkan beragam Suku Indian yang ada di Amerika Utara. Pemerintah 

AS menyebarkan beragam berita bohong, guna memecah kerja sama 

di antara berbagai Suku Indian di Amerika Utara. Pemerintah AS lalu 

mengajak salah satu suku untuk bekerja sama, guna menghancurkan 

suku Indian lainnya. Namun, kerja sama ini  lalu hancur, saat  

pemerintah AS mengingkari janji mereka, dan justru menyerang 

sekutunya. Ini terjadi berulang kali di Amerika Utara.

Ciri keempat yaitu  pengalihan isu dan sumber daya. Perpecahan 

dan kecurigaan yang terjadi biasanya membuat kelompok warga  

ini  melupakan hal-hal yang penting. Mereka menghabiskan sum-

ber daya mereka untuk berperang satu sama lain, sehingga kekuatan 

ekonomi dan budaya mereka pun melemah. Di dalam keadaan itu, 

pihak dari luar bisa dengan mudah datang dan menghancurkan 

mereka.

Kerajaan Inggris memakai  taktik ini, saat  mereka hendak 

menguasai Cina pada awal abad 20 yang lalu. Mereka memaksa 

kekaisaran Cina untuk terus berperang dengan kelompok pemberontak 

yang diciptakan oleh kerajaan Inggris. Akibatnya, begitu banyak 

sumber daya ekonomi habis untuk berperang, dan Cina pun lalu 

menjadi lemah. Kerajaan Inggris lalu menyerang Cina, walaupun tidak 

pernah bisa sepenuhnya menaklukkan Cina.

Seperti sudah kita lihat, taktik adu bomba sudah begitu sering 

dipakai  di dalam sejarah oleh para penjajah di berbagai belahan 

dunia. Mereka ingin memperluas kekuasaan dan mengeruk keuntungan 

ekonomi secara tidak adil dari bangsa-bangsa lain. Begitu banyak orang 

mati, akibat taktik ini. Begitu banyak kerajaan dan bangsa hancur, 

akibat taktik ini.

Sikap Kritis Kita

Namun, taktik dan logika adu domba bisa dilawan. Kita perlu 

peka terhadap segala bentuk usaha  adu domba yang terjadi di ma-

syarakat kita. Kita perlu membangun sikap kritis, sehingga kita tidak 

mudah dipecah oleh beragam isu dan berita bohong. Sikap kritis 

berarti kita berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara rasional 

tentang berbagai berita yang kita dengar, terutama berita-berita yang 

menimbulkan kecurigaan dan perpecahan.

Di sisi lain, kita juga perlu peka dengan berbagai hubungan ke-

kuasaan yang ada. Kita perlu bertanya, siapa yang diuntungkan dari 

kecurigaan dan perpecahan yang terjadi? Jika kita menelan mentah-

mentah berbagai berita yang ada, terutama berita-berita yang disebar-

kan oleh media-media besar dunia, maka kita akan mudah diadu 

domba. saat  taktik adu domba sudah menyusupi kelompok kita, 

maka peluang untuk hancur, akibat penaklukkan pihak luar, akan 

menjadi semakin besar.

Belakangan ini, kelompok Muslim di berbagai belahan dunia 

menjadi target dari pemberitaan terkait dengan terorisme yang terjadi 

di Beirut, Afganistan, Mali dan Prancis. Banyak komunitas Muslim yang 

tak bersalah lalu mengalami diskriminasi di berbagai bidang, mulai dari 

politik, ekonomi sampai dengan pendidikan. Kita jelas perlu bersikap 

kritis terhadap ini. Kita juga perlu peka pada hubungan-hubungan 

kekuasaan yang terjadi di belakang pemberitaan ini, terutama soal 

pengalihan isu serta tentang pihak-pihak yang diuntungkan dari 

perpecahan yang ada.

Kita juga jelas perlu belajar dari sejarah kita sendiri. Nusantara 

Indonesia takluk dibawah berbagai penjajahan negara-negara Eropa 

selama ratusan tahun, akibat taktik adu domba ini. Kita tidak boleh 

mengulang kesalahan yang sama. Harganya terlalu mahal, yakni 

hancurnya bangsa Indonesia dan hilangnya nyawa jutaan orang, seperti 

yang terjadi di masa silam, jika kita jatuh kembali pada lubang yang 

sama. Harganya sungguh terlalu mahal…

Kamu yaitu  Pengungsi

Usiamu 29 tahun. Kamu punya seorang istri, dan dua orang anak kecil. Kamu punya pekerjaan yang bagus di kota tempat 

tinggalmu. Gajimu cukup. Kamu bisa menabung, dan hidup dengan 

nyaman. Kamu punya rumah kecil di pinggir kota.

Tiba-tiba, keadaan politik di negaramu berubah. Dalam waktu 

beberapa bulan, banyak tentara lalu lalang di depan rumahmu. Mereka 

memaksamu untuk ikut berperang bersama mereka. Jika kamu tidak 

mau, kamu akan ditembak. Salah seorang tetanggamu berani melawan 

mereka. Ia ditembak. Mati.

 Salah seorang tentara mengancam untuk memperkosa istrimu. Kamu 

tidak merasa aman lagi di rumahmu sendiri. Daerah perumahanmu 

sudah nyaris rata dengan tanah, sebab  dibom. Hampir tidak ada 

gedung yang utuh.

Kamu memutuskan untuk membawa seluruh keluargamu ke luar 

kota, kembali ke rumah orang tuamu di kota lain. Namun, rumah itu 

sudah tidak ada. Orang tuamu juga sudah mati tertembak. Tidak ada 

mayat. Tidak ada kabar.

Mereka bilang: ”Namun, para pengungsi itu punya banyak barang 

bagus. Mereka punya Smartphone mewah! Baju mereka pun bagus-

bagus!”

Dalam keadaan panik, kamu dan keluargamu segera berkemas. 

Kamu memasukan semua pakaian yang kiranya dibutuhkan untuk 

perjalanan. Apa yang akan kamu bawa? Kamu mungkin tidak akan 

kembali ke tanah airmu lagi. Bagaimana kamu bisa mendengar kabar 

dari mereka? Dengan terburu-buru, kamu memasukkan smartphone 

yang kamu punya ke dalam tas. Kamu juga membawa beberapa baju, 

beberapa makanan, dan boneka kesayangan anakmu.

Mereka bilang: ”Para pengungsi itu punya banyak uang. Mereka 

bisa kabur buktinya!”

Kamu sudah tahu sebelumnya, bahwa krisis akan datang. Kamu 

menarik semua uang yang kamu punya dari bank, dan menjual semua 

hartamu. Uang 150 juta Rupiah pun terkumpul. Untuk bisa mengungsi 

ke negara lain, kamu harus membayar 50 juta rupiah untuk satu kepala. 

Dengan sedikit keberuntungan, kamu bisa pergi sebagai satu keluarga. 

Jika tidak, kamu harus merelakan istrimu untuk pergi bersama kedua 

anakmu. Akhirnya, semua uangmu habis. Yang ada hanya tas berisi 

pakaian. Kamu harus berjalan kaki selama dua minggu untuk mencapai 

pelabuhan.

Perutmu lapar. Selama seminggu terakhir, kamu nyaris tidak 

makan. Tubuhmu lemah. Tubuh istrimu pun juga lemah. Namun, 

setidaknya, kedua anakmu mendapatkan cukup makan dan minum. 

Mereka terus menangis sepanjang perjalanan. Kamu juga harus 

menggendong anakmu yang paling kecil. Usianya baru 21 bulan. Dua 

minggu lagi, kamu akan tiba di pelabuhan.

Di malam yang gelap, kamu dan keluargamu masuk ke dalam 

kapal bersama para pengungsi lainnya. Kamu beruntung, bahwa 

seluruh keluargamu bisa pergi mengungsi. Kapal laut itu terlalu kecil, 

dan penumpang terlalu banyak. Semoga ia tidak tenggelam. Orang-

orang di sekitarmu berteriak dan menangis.

Beberapa anak kecil sudah meninggal, sebab  kehausan. Mayat 

mereka dibuang ke laut begitu saja. Istrimu duduk di pinggir kapal. Dia 

tidak makan dan minum selama dua hari ini. Setelah beberapa waktu, 

kamu harus berpisah dengan mereka. Istrimu dan anak tertuamu di 

satu kapal, dan kamu bersama anak terkecilmu di kapal lain.

Kamu dipaksa untuk tetap diam sepanjang perjalanan, supaya   

kapalmu tidak dicurigai tentara. Anak tertuamu mengerti. Namun, anak 

terkecilmu terus menangis. Para pengungsi lainnya tampak prihatin. 

Mereka meminta kamu untuk menenangkan anakmu. Salah seorang 

dari mereka merebut anakmu darimu, dan membuangnya ke laut. 

Kamu melompat untuk menyelamatkan dia. Namun, cahaya terlalu 

gelap. Udara dan air terlalu dingin. Kamu tidak bisa menemukannya. 

Kamu tidak akan pernah bisa melihat dia lagi. Padahal, tiga bulan lagi, 

usianya dua tahun….

Mereka bilang: ”Tapi, para pengungsi itu hanya menjadi parasit disini! 

Mereka mengemis, tanpa mau berusaha!”

Sampai detik ini, kamu tidak tahu, kemana kamu akan pergi. Kamu 

duduk sendiri. Istrimu dan anak tertuamu ada di kapal lain. Kamu 

beruntung, akhirnya, kamu bisa bertemu lagi dengan mereka. Istrimu 

hanya terdiam, saat  kamu bercerita tentang anak terkecilmu. Anak 

tertuamu memeluk boneka adiknya yang telah meninggal. Ia tampak 

membeku…

Akhirnya, kamu tiba di daratan. Tempat ini disebut kamp 

pengungsi darurat. Orang-orang dengan berbahasa asing berteriak 

mengatur keadaan. Ada 500 tempat tidur yang saling berdempetan 

satu sama lain.

Lebih dari tiga hari, kamu tidak makan dan minum. Tubuhmu 

lemas. Kamu berharap untuk mati saja. Lalu, kamu melihat istri dan 

anakmu. Kamu memeluk mereka ke dalam dekapanmu. Kamu tertidur 

bersama mereka.

Mereka bilang: ”Mereka sudah enak hidupnya disini. Tidak perlu kerja, tapi 

dapat makan! Mereka harus merasa bahagia!”

Esok paginya, kamu mendapat makan dan minumnya untuk 

pertama kalinya setelah beberapa hari. Kamu memeriksa teleponmu, 

menantikan kabar dari keluargamu di tanah air. Tidak ada kabar 

apapun.

Segerombolan orang datang dan berteriak, ”Kembali ke rumahmu! Kamu 

tidak diinginkan disini!”

Kamu yaitu  pengungsi…

Jutaan pengungsi dari Suriah dan beragam negara di Timur Tengah 

lainnya mengalami nasib semacam ini setiap harinya. Apakah kita 

sudah membantu? Dimana Indonesia? Dimana Arab Saudi? Dimana 

Qatar? Dimana negara-negara tetangga di Timur Tengah yang mengaku 

beragama dan beriman? Bukankah kita seharusnya saling membantu? 

Mau berapa mayat lagi dibuang di laut? Mau berapa anak kecil dan 

orang tak bersalah lagi yang harus jadi korban?

Diolah dari tulisan Faz Ali dan John Vibes dari media independen TrueActivist.

com

Hak atas Justifi kasi

Pemahaman tentang keadilan telah lama menjadi bagian dari diskusi di dalam fi lsafat Barat. Rainer Forst mencoba ikut serta 

di dalam diskusi ini  di dalam bukunya yang berjudul Das 

Recht auf Rechtfertigung: Elemente einer konstruktivistischer Theorie der 

Gerechtigkeit yang diterbitkan pada 2007 lalu. Secara sederhana, judul 

buku itu dapat diterjemahkan sebagai ”Hak atas Pendasaran: Elemen-

elemen dari Teori Konstruktivis tentang Keadilan”.

D i Jerman, Rainer Forst dikenal sebagai seorang fi lsuf politik. Ia 

memperoleh penghargaan GoÄ´ fried Wilhelm Leibniz pada 2012 lalu. 

Saat ini, ia bekerja sebagai Professor Teori Politik di dalam Departemen 

Ilmu Sosial Universitas Johann Wolfgang Goethe di Frankfurt, Jerman. 

Ia juga dikenal sebagai penerus tradisi Teori Kritis Mazhab Frankfurt. 

Di dalam berbagai tulisannya, Forst mencoba membuat sintesis antara 

teori-teori keadilan liberal, komunitarisme dan tradisi teori sosial kritis 

dari Jerman.

Hak atas Justifi kasi

Bagi Forst, di balik beragam teori keadilan yang berkembang 

di dalam fi lsafat Barat, ada satu pengandaian yang sama, yakni 

kebutuhan untuk dihargai sebagai manusia yang memiliki hak untuk 

memperoleh pendasaran (das Bedürfnis der Rechtfertigung). Ketidakadilan 

terjadi, saat  orang tidak dianggap sebagai bagian dari proses-

proses yang ada di dalam warga . Ia dianggap tidak ada, dan 

beragam keputusan dibuat, tanpa mendengarkan keinginan maupun 

kebutuhannya. Pengabaian (Vernachlässigung) semacam ini menjadi 

dasar untuk beragam ketidakadilan lainnya, seperti ketidakadilan 

politis, ketidakadilan ekonomi, dan sebagainya.

Forst juga menafsir ulang makna dari kata martabat manusia 

(Menschenwürde) di dalam fi lsafat politik. Di dalam fi lsafat politiknya, 

martabat manusia dipahami sebagai hak dan kemampuan seseorang 

untuk memperoleh alasan yang kuat dari berbagai kebijakan dan 

tindakan yang mempengaruhi dirinya. Pengandaian dasar dari argumen 

ini sejalan dengan fi lsafat politik Habermas, bahwa setiap orang harus 

ikut serta secara aktif di dalam proses pembuatan kebijakan yang 

nantinya harus ia patuhi.

Teori Keadilan sebagai justifi kasi menyatakan dengan tegas, bahwa 

tidak boleh ada satu pun tata politik ataupun tata sosial yang tidak 

dapat diterima secara bebas dan masuk akal oleh orang-orang yang 

ada di dalamnya. Setiap manusia mempunyai hak, menurut Forst, 

untuk tidak hidup di dalam tata sosial, politik, ekonomi ataupun 

budaya, yang tidak dapat ia terima secara bebas dan masuk akal 

sebagai manusia yang bermartabat. Setiap orang berhak untuk berkata 

”tidak” atas sistem moral ataupun aturan yang ditimpakan kepadanya. 

Ini hanya mungkin, sebab  setiap orang memiliki kebebasan untuk 

mempertanyakan keabsahan atau justifi kasi (Rechtfertigungsforderung) 

dari hukum-hukum maupun tata moral-politik yang dikenakan 

kepadanya.

Pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti ”Mengapa hukum 

semacam ini yang diberlakukan?”, atau ”Mengapa saya harus menjalani 

prosedur semacam ini?”, yaitu  pertanyaan-pertanyaan terkait dengan 

pendasaran, atau justifi kasi. Di balik pertanyaan-pertanyaan semacam 

ini, ada dua hal yang penting untuk diperhatikan. Yang pertama 

yaitu  kebutuhan akan penjelasan. Yang kedua yaitu  kebutuhan atas 

pendasaran moral dan keadilan dari kebijakan ataupun hukum yang 

harus saya patuhi. Jika dua hal itu tak terpenuhi, maka saya punya hak 

untuk menolak hukum ataupun kebijakan ini . Saya juga punya 

hak untuk memperoleh ganti rugi dari pelanggaran martabat yang 

telah terjadi pada diri saya.

Moralitas, Diskursivitas dan Intersubyektivitas

Di dalam buku ini, Forst juga menjabarkan pandangan beberapa 

fi lsuf terkait dengan moralitas sebagai akal budi praktis. Forst hendak 

melihat moralitas sebagai prinsip yang memandu kehidupan praktis 

manusia di bidang hukum, politik dan ekonomi. Satu prinsip dasar 

yang penting disini yaitu , bahwa setiap orang harus bisa memberi  

pertanggungjawaban atas tindakannya. Pertanggungjawaban ini 

haruslah bisa dimengerti serta dianggap bermutu oleh orang-orang 

lainnya yang mungkin tidak memiliki sudut pandang yang sama 

dengannya.

Forst di titik ini berada di dalam tradisi pemikiran Kant dan 

Habermas, bahwa moralitas yaitu  bagian dari penentuan diri 

ma nusia (Selbstbestimmung). Dengan kata lain, moralitas yaitu  

otonom. Ia lahir dari kebebasan dan akal budi manusia, serta juga 

bisa dimengerti oleh orang-orang lainnya. Seperangkat aturan moral 

yang tidak lahir dari kebebasan dan akal budi manusia tidaklah 

layak disebut sebagai moralitas. Itu hanya penindasan atas martabat 

manusia yang memakai  selubung-selubung luhur untuk menutupi 

kebusukannya.

Sebagai bagian dari otonomi manusia, moralitas juga harus bisa 

dipertanggungjawabkan secara timbal balik di depan orang-orang 

lainnya. Dengan kata lain, menurut Forst, moralitas juga harus memiliki 

aspek intersubyektivitas dan diskursif. Jika moralitas memiliki dua 

aspek ini, maka tidak ada alasan apapun bagi orang untuk tidak 

menerapkannya secara praktis di dalam hidup sehari-hari.

Untuk bisa mempertanggungjawabkan tindakannya, orang 

mem butuhkan kemampuan untuk merefleksikan tindakannya 

(Besinnungsfähigkeit). Ia juga harus memiliki kemampuan untuk 

meng ambil sudut pandang orang lain yang berbeda darinya 

(Perspektiveübernahme). Dua kemampuan ini tidak datang begitu saja, 

te tapi harus dikembangkan di dalam berbagai konteks, baik pendidikan 

di keluarga maupun di sekolah dan warga . Dengan kemampuan 

ini, orang lalu bisa menjadi pembuat keputusan yang bijak. Ia bisa 

mempertimbangkan berbagai kemungkinan, lalu membuat keputusan 

yang paling cocok untuk keadaan yang dihadapinya. Ia juga bisa 

menolak sebuah keputusan yang ditimpakan kepadanya tanpa dasar 

yang masuk akal. Hak untuk memperoleh pendasaran atau justifi kasi 

juga berarti hak untuk berkata tidak.

Di sisi lain, kita juga mesti menghormati hak orang lain untuk 

berkata tidak. Hak untuk justifi kasi tidak hanya berarti, bahwa kita 

punya hak untuk meminta penjelasan dan pendasaran, namun  orang 

lain juga bisa menuntut penjelasan dan pendasaran pada kita. saat  

penjelasan dan pendasaran ini  tidak diterima, maka orang lain 

juga bisa berkata tidak kepada kita. Inilah aspek timbal balik dari hak 

untuk justifi kasi.

Keadilan Transnasional

Lebih jauh, Forst juga berbicara tentang konsep keadilan trans-

nasional. Ia menyebutnya sebagai Teori Kritis Keadilan Transnasional 

(kritische Theorie transnationaler Gerechtigkeit). Para pemikir keadilan 

transnasional mencoba merumuskan teori keadilan yang berpijak pada 

fakta, bahwa semua negara saling terkait di era globalisasi sekarang 

ini. Peristiwa yang menimpa satu negara memberi  pengaruh 

kepada semua negara lainnya. Oleh sebab  itu, dunia internasional 

membutuhkan kerja sama yang semakin erat, guna mengatasi beragam 

permasalahan yang ada di berbagai belahan dunia secara bersama-

sama.

Forst mencoba untuk menanggapi pandangan semacam ini. 

Baginya, masalah global utama sekarang ini yaitu  masalah kekuasaan. 

Oleh sebab  itu, analisis harus dimulai dengan menelaah berbagai 

hubungan kekuasaan yang terjadi, yang menciptakan ketidakadilan 

struktural di berbagai belahan dunia. Ketidakadilan struktural yang 

lahir dari hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak setara ini menjadi 

penghalang utama bagi terciptanya tata politik global yang memberi  

keadilan dan kemakmuran. Kata ”kekuasaan” menjadi kata kunci 

disini. Bagi Forst, teori keadilan harus pertama-tama berbicara soal 

kekuasaan. Gaya berpikir semacam ini yaitu  gaya berpikir khas Teori 

Kritis Mazhab Frankfurt.

Keadilan transnasional hanya dapat dicapai, jika beragam kekuasaan 

yang ada tunduk pada hak untuk justifi kasi. Artinya, kekuasaan 

ini  dapat dijelaskan secara masuk akal kepada semua pihak. 

Kekuasaan ini  harus tunduk pada pendasaran yang masuk akal 

yang bersifat timbal balik. Hal ini bisa dituntut dengan argumen dasar, 

bahwa hak untuk justifi kasi yaitu  hak mutlak yang harus dipenuhi, 

saat  sebuah kebijakan atau hukum akan diberlakukan.

Di dalam kondisi ideal, ini tentunya bisa diterima. Namun di 

dalam politik sehari-hari, kita tidak bisa memaksa sebuah negara untuk 

memberi  pendasaran yang masuk akal atas tindakan-tindakannya, 

terutama jika negara ini  memiliki kekuasaan yang besar di tingkat 

internasional. Siapa yang berani menentang Amerika Serikat, saat  ia 

menyerang Irak berdasar  alasan palsu? Di titik ini, pola hubungan 

kekuasaan yang tidak adil menjadi penghalang utama.

Relevansi dan Tanggapan

Pemikiran Forst tentang justifi kasi bisa dipakai  untuk memahami 

akar masalah di Papua sekarang ini. warga  Papua kerap tidak 

diikutsertakan di dalam beragam pembuatan keputusan yang terkait 

dengan dirinya. Masalah Freeport hanyalah puncak gunung es dari 

beragam masalah lainnya, mulai dari korupsi, penipuan, peminggiran, 

diskriminasi, rasisme sampai dengan penyebaran penyakit mematikan. 

Semua masalah ini dapat diselesaikan, jika warga  Papua diberikan 

hak untuk menuntut penjelasan yang masuk akal, dan bahkan 

menolak, dari segala kebijakan yang ditimpakan kepadanya. Mereka 

perlu diikutsertakan secara aktif di dalam berbagai proses pembuatan 

keputusan yang nantinya akan mempengaruhi hidup mereka, baik 

secara langsung ataupun tidak.

Teori Forst juga penting untuk melakukan kritik terhadap beragam 

kebijakan di tingkat nasional maupun internasional yang tertutup dari 

mata warga  luas. Kebijakan yang dibuat di dalam kerahasiaan 

semacam ini disebut juga sebagai kebijakan pintu belakang. Perjanjian 

rahasia antara Amerika Serikat dan para pemberontak teroristik di 

Suriah dan Irak yaitu  salah satu dari kebijakan pintu belakang 

ini . Kebijakan semacam ini merugikan banyak pihak, dan bahkan 

menimbulkan perang berkepanjangan, seperti yang terjadi di Timur 

Tengah sekarang ini. Hak atas justifi kasi, sebagaimana dirumuskan oleh 

Forst, memaksa kebijakan ini  untuk dibuka kepada warga  

luas, dan dijelaskan dengan pendasaran-pendasaran yang masuk 

akal. Kebijakan ini  juga bisa ditolak, saat  ia tidak memiliki 

pendasaran yang cukup kokoh.

Namun, pola hubungan yang berpijak pada penjelasan dan pen-

dasaran yang masuk akal ini mengandaikan keberadaan sebuah 

budaya tertentu, yakni budaya berpikir rasional dan argumentatif. Ini 

tentunya tidak datang dengan sendirinya. Di negara dengan budaya 

berpikir rasional dan argumentatif yang masih rendah, hak untuk 

justifi kasi semacam ini sulit untuk dipenuhi. Diperlukan sebuah sistem 

tertentu yang menopang hidup bersama kita, sehingga memungkinkan 

kemampuan kita untuk berpikir secara bebas, masuk akal dan 

argumentatif bisa berkembang.

Pandangan ini juga bertentangan langsung dengan kenyataan 

hidup manusia. Manusia tidak pernah sepenuhnya ditentukan oleh 

akal sehatnya. Ada hal-hal lain yang membuat mengingkari akal 

sehatnya, dan bahkan melampauinya sama sekali. Ini yang kiranya 

kurang menjadi pertimbangan dari para pemikir Teori Kritis di Jerman. 

Apa gunanya membuat teori yang sistematis, rasional dan kritis, namun  

bertentangan dengan kenyataan dasar hidup manusia yang memiliki 

banyak dimensi?


Kematian dan Kesalahpahaman

Masih teringat jelas di kepala saya, saat  saya diberikan penjelasan, bahwa Bobo, anjing kesayangan saya, meninggal. Saya masih 

kecil, dan belum sungguh paham, apa artinya, jika sesuatu itu me-

ninggal. Apakah dia menghilang? Begitu pertanyaan saya.

Mbak Inah, pembantu di keluarga kami yang sudah kami anggap 

sebagai keluarga sendiri, hanya berkata, ”Bobo sudah pergi ke surga, 

Sinyo.” Surga? Tempat apa itu. Yang saya tahu, bobo kini hidup di 

taman depan rumah kami bersama dengan pohon dan rumput yang 

tumbuh di situ.

Setelah itu , beragam peristiwa terkait dengan kematian mulai 

menjadi pertanyaan buat saya. Diawali dengan kematian kakek dari 

tetangga saya. Kami mengenalnya sebagai ”Engkong baik hati” yang 

suka memberi  kue dan permen untuk kami, anak-anak kecil yang 

suka berlarian di depan rumahnya. Yang paling puncak dan memukul 

saya yaitu  kematian ayah saya yang begitu mendadak pada 2014 lalu.

Antara Ketakutan dan Harapan

Dihadapkan pada pertanyaan tentang kematian, banyak orang 

dikepung oleh ketakutan. Mereka membayangkan peristiwa perpisahan 

dengan apa yang mereka anggap berharga dalam hidup. Ada yang 

membayangkan neraka yang penuh dengan api panas, dan ada yang 

membayangkan surga yang penuh dengan buah manis. Kecemasan 

dan ketakutan terselip di balik dua bayangan itu.

Orang lalu terpaku untuk hidup sehat, guna memperlambat 

kematian. Mereka berolahraga dengan giat, serta terobsesi dengan 

segala macam program kesehatan, mulai dari diet ala Dedi Corbuzier 

sampai dengan membeli peralatan fi tness pribadi untuk di rumah. Di 

balik segala usaha yang sekilas tampak mulia itu, sesungguhnya ada 

ketakutan yang tak pernah bisa dilepas.

Kita juga sedih dan takut, saat  mendengar berita kematian. Kita 

merasa sedih, saat  membaca berita kematian, akibat perang yang tak 

henti-hentinya di Timur Tengah. Kita merasa sedih, saat  mendengar, 

teman dekat atau saudara kita meninggal. Kematian mengundang 

beragam emosi yang seringkali sulit dikendalikan.

Ada juga yang melihat kematian sebagai harapan. Bagi mereka, 

hidup yaitu  penderitaan. Hidup dipenuhi dengan tantangan dan 

ketidakadilan. Maka, kematian lalu menjadi jalan keluar, guna 

mendapatkan keadaan yang lebih baik.

Namun, di balik ketakutan dan harapan, apa sesungguhnya 

kematian itu? Apakah ia ada? Apakah ia hanya sekedar konsep atau 

bayangan kita? Mengapa ia dipenuhi begitu banyak misteri yang 

mengundang kecemasan sekaligus harapan?

Perubahan dan Kesalingterkaitan

Jika kita bilang, bahwa sesuatu itu mati, kita secara tidak langsung 

menyatakan, bahwa sesuatu itu berakhir. Ada titik yang mengakhiri 

keberada annya. Ada keterputusan antara yang ”ada”, dan menjadi 

yang ”tiada”. Namun, apakah sesuatu itu pernah sungguh berakhir?

Bobo, anjing saya, kini menyatu dengan pohon, rumput serta buah 

di taman depan kami yang kecil. Abu jenazah dari ”Engkong yang baik 

hati” kini tersebar di lautan di dekat Pantai Ancol. Abu ayah saya kini 

menyatu bersama ikan dan beragam mahluk hidup lainnya di laut Jawa.

Mereka tidak berakhir. Mereka bergerak lanjut. Mereka berubah. 

Mereka memperkaya kehidupan. Mereka tidak terputus. Mereka tidak 

”mati”.

Salah satu hukum utama di dalam fi sika modern yaitu  hukum 

kekekalan energi. Isinya menegaskan, bahwa energi tidak bisa musnah. 

Ia hanya bisa berubah. Mereka yang ”mati” tidaklah berakhir, melain-

kan berubah, dan memperkaya kehidupan semesta.

Di dalam Filsafat Timur, keberadaan (existence) selalu terkait dengan 

perubahan (impermanence) dan kesalingterkaitan (interdependence). 

Artinya, keberadaan kita tidaklah pernah tetap. Ia selalu berubah 

sejalan dengan perubahan segala hal yang ada di semesta. Kita juga 

tidak pernah sendirian, melainkan selalu menjadi bagian yang tak 

terpisahkan dari segala yang ada di alam semesta ini.

Kesalahpahaman

Belajar dari fi sika modern dan fi lsafat Timur, kita bisa bilang, 

bahwa kematian itu tidak ada. saat  orang ”mati”, tubuh dan energi-

nya bergerak terus memperkaya kehidupan semesta yang selalu 

menjadi bagian dari dirinya. Kita tidak pernah berakhir. Tidak ada 

titik dan kata putus di dalam keberadaan kita.

Kematian, dengan demikian, yaitu  kesalahpahaman. Kematian 

yaitu  konsep yang lahir dari kesalahan berpikir. Sejatinya, senyatanya, 

kita tidak pernah mati, dan kita tidak pernah lahir. Kita selalu ada di 

alam semesta ini dengan segala bentuk yang kita gunakan, dan selalu 

dalam hubungan dengan segala hal yang ada.

Bobo, anjing saya tercinta, kini menjadi buah yang siap dimakan, 

saat  musimnya tiba. Ayah saya kini menjadi bagian dari lingkungan 

laut yang juga tak bisa dipisahkan dari kehidupan lainnya. Semuanya 

saling terhubung dan tak terpisahkan. Kita yaitu  mereka.

Namun, senyatanya, tidak ada kita. Tidak ada mereka. Semua 

hanyalah konsep. Senyatanya, kita semua satu dan sama. Tak ada 

mati. Tak ada hidup. Tak ada gerak. Tak ada perubahan. Tak ada keter-

pisahan. Tak ada perpisahan. Mungkin sebaiknya, kita menari….

Epilog:

Beberapa hal kiranya bisa dikatakan, guna mengakhiri buku ini. Salah satu yang perlu disadari yaitu  soal gerak dari pikiran 

manusia. Pemahaman atas gerak dari pikiran kita ini akan membantu 

kita menjalani berbagai hal dalam kehidupan, terutama saat  krisis 

datang menghadang. Salah satu ciri utama pikiran manusia yaitu  

terkait dengan eksistensi, yakni keberadaan dari sesuatu.

Pikiran kita kerap mengira, bahwa sesuatu itu ada, padahal 

sebenarnya tidak. Dan sebaliknya, ia juga seringkali membuat sesuatu 

yang ada menjadi tiada. Satu contoh kiranya penting untuk disampaikan. 

Kita kerap kali menghubungkan dua hal yang tak berhubungan, 

hanya sebab  perkiraan yang muncul di kepala kita. Perkiraan ini 

tak bisa dibuktikan, namun kita lalu membuat pengandaian dengan 

menganggapnya sebagai ada.

Pola ini telah membawa banyak petaka dalam hidup manusia. 

Keluarga dan bahkan bangsa hancur, sebab  kesalahpahaman yang 

lahir dari pola semacam ini. Jika pikiran kita membuat sesuatu yang 

tidak ada menjadi ada, maka kita akan cenderung bersikap tidak tepat 

di dalam menanggapi berbagai keadaan yang terjadi. Buahnya tidak 

hanya penderitaan besar bagi diri sendiri, namun  juga bagi orang lain.

Sebaliknya, pikiran kita juga cenderung mengabaikan, apa yang 

sesungguhnya ada. Matahari bersinar, burung bernyanyi merdu, semua 

terabaikan, saat  kita dibebani oleh masa lalu dan masa depan di 

dalam pikiran kita. Bunga yang indah luput dari pandangan mata, 

saat  pikiran kita kacau oleh sebab  satu dan lain hal. Segala berkah 

tampak tak berarti, saat  malang datang menimpa.

saat  pikiran kita sendiri menipu kita, kita mencoba mencari 

jalan keluar. Agama dan tradisi berusaha membantu. Akan namun , 

keduanya kerap hanya menghasilkan larangan dan aturan baru, yang 

menghasilkan tegangan hidup yang lebih besar. Tegangan ini justru 

menjadi sumber bagi beragam bentuk kekerasan dan kejahatan yang 

baru.

Tegangan semakin diperkuat, sebab  rasa takut yang muncul, 

akibat kesalahan berpikir. Rasa takut yaitu  ciptaan pikiran yang 

bergerak tanpa arah, dan dianggap sebagai kenyataan. Ini menciptakan 

ilusi yang amat kuat yang nantinya membuat hidup orang menderita. 

saat  ini disadari sebagai sebuah kekosongan yang datang dan pergi, 

maka orang bisa secara perlahan tapi pasti terlepas dari rasa takut 

yang mencekamnya.

Kebebasan dari rasa takut juga berarti kebebasan yang sesung-

guhnya. Ini yaitu  kebebasan sejati yang berada sebelum segala bentuk 

pemahaman tentang kebebasan. Ini hanya mungkin diraih, jika orang 

tidak melekat pada pendapat maupun pikirannya. Artinya, ia tidak 

semata menerima, bahwa pendapat dan pikirannya yaitu  benar.

Yang kita butuhkan bukan hanya kebebasan berpendapat, namun  

juga kebebasan dari pendapat. Artinya, kita tidak dijajah oleh pikiran 

dan pendapat yang kita punya, melainkan bisa bersikap kritis dan tepat 

atasnya. Hanya dengan melepaskan segala kelekatan (Anhaftung) pada 

pendapat dan pikiran kita sendiri, kita lalu bisa melihat kenyataan 

sebagaimana adanya, yakni kenyataan sebelum konsep dan pikiran. 

saat  kita bisa melihat kenyataan pada dirinya sendiri, kita lalu bisa 

menemukan kedamaian sejati yang sudah selalu ada di dalam diri kita.

Kedamaian pikiran yaitu  kunci dari perdamaian dunia. Inilah 

artinya menjadi manusia di dunia yang sementara ini.