Alam semesta di Alquran
Konsep penciptaan alam semesta menurut sains, terutama melalui Teori Big Bang,
memberi penjelasan ilmiah yang mendalam mengenai bagaimana alam semesta terbentuk
dan berkembang. Dengan dukungan bukti-bukti empiris, teori ini telah mengubah cara kita
memandang alam semesta, yang sebelumnya dianggap sebagai ciptaan metafisik, menjadi
entitas yang dapat dijelaskan melalui hukum-hukum fisika yang berlaku secara universal.
Perkembangan konsep seperti multiverse juga menambah dimensi baru dalam pemahaman kita
tentang alam semesta. Pencapaian ilmiah yang telah diraih sejauh ini menunjukkan betapa
kompleks dan menakjubkannya alam semesta ini.
Alam semesta dan segala isinya, beserta kejadian-kejadian yang terjadi di dalamnya,
tentu tidak muncul begitu saja tanpa sebab. Alam semesta dapat diibaratkan sebagai
mikrokosmos yang mencakup berbagai komponen dengan keteraturan, kestabilan, dan
harmoni. Langit, bumi, serta benda-benda langit lainnya menunjukkan keteraturan yang
menjadi ciri khas dari alam semesta. Sains, sebagai bidang ilmu pengetahuan, mempelajari
berbagai fenomena alam dan kejadian-kejadian yang dapat dibuktikan secara ilmiah. Melalui
studi sains, kita dapat memperoleh pemahaman mengenai faktual terkait alam semesta dan
berbagai kejadian yang terjadi di dalamnya. Pemahaman ini membantu kita menyadari betapa luar biasanya alam semesta yang diciptakan, sekaligus memberi manfaat besar bagi
kelangsungan hidup manusia.
Pandangan para ilmuwan mengenai asal-usul alam semesta telah berkembang sejak
berabad-abad lalu. Salah satu pemikiran awal berasal dari Isaac Newton pada era Fisika Klasik
(abad ke-17 hingga ke-18), yang menggambarkan alam semesta sebagai entitas klasik. Dalam
pandangannya, alam semesta tidak mengalami perubahan totalitas dari masa ke masa, seolaholah telah ada selamanya tanpa awal maupun akhir, serta tanpa melalui proses penciptaan.
Pemikiran ini menggambarkan alam semesta sebagai sesuatu yang statis. Namun, pandangan
ini dikoreksi oleh Alexander Friedman, yang menyatakan bahwa alam semesta sebenarnya
bersifat dinamis, sesuai dengan model yang dikenal sebagai Model Friedman. Sains, sebagai
cabang ilmu pengetahuan, merupakan topik klasik yang telah lama menjadi fokus kajian para
filsuf. Hingga saat ini, di negara-negara Barat, perdebatan antara sains dan agama sering kali
muncul, seringkali dilihat melalui perspektif sekularisme.. Sebaliknya, dalam Islam, sains tidak
dipandang dari perspektif yang memisahkannya dengan agama. Al-Qur'an dan sunnah telah
menetapkan sebuah unsur yang terstruktur dengan menimbang segala aspek kehidupan,
termasuk dalam hal proses ilmiah, sebagai bagian penting dari sistem tersebut. Penelitian
terdahulu yang membahas proses penciptaan alam semesta meliputi berbagai pendekatan yang
memperkaya wawasan manusia tentang asal-usul alam ini.
Pertama, karya Ali Mahmuz Munawar dan Sri Rianti berjudul “Penciptaan Alam
Semesta Menurut Para Mufassir dan Astronom” (2022) membahas bagaimana penciptaan alam
semesta dari dua sudut pandang, yaitu perspektif para mufasir dan astronom. Penelitian ini
menjelaskan bahwa penciptaan alam semesta, termasuk langit, bumi, dan segala yang ada di
dalamnya, terjadi dalam 6 tahap. Hal ini tercatat pada kitab-kitab suci agama samawi seperti
Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Penemuan tersebut selaras mengenai hasil-hasil ilmiah yang
menunjukkan bahwa keberadaan alam semesta seperti proses saat ini yang sangat panjang dan
rumit.
Kedua, artikel karya Ahmad Atabik membahas berbagai pandangan mengenai sejarah
alam semesta. Artikel ini dimulai dengan menjelaskan konsep penciptaan alam secara umum,
kemudian membandingkan pandangan agama-agama seperti Islam (berdasarkan Al-Qur'an),
Kristen (berdasarkan Alkitab), serta agama-agama lain seperti Hindu dan Buddha. Dengan
pendekatan ini, pemikiran manusia melalui agama dan studi empiris dalam ilmu pengetahuan
alam (kosmologi) diharapkan mampu menghasilkan kesimpulan atau jawaban terkait asal-usul
alam semesta. Ketiga, Yuli Fatimah Warosari Dalam penelitian yang berjudul “Konsep Penciptaan
Alam Semesta (Makhluk) Dalam Al-Qur’an” (2022), dijelaskan bahwa penciptaan alam
semesta memiliki tujuan agar makhluk dapat merenung (tafakkur) dan memperhatikan
(tadabbur) ciptaan Allah. Dunia ini diciptakan dengan maksud yang jelas, & melalui pemikiran
serta pemahaman terhadap nilai-nilai yang terkandung di balik ciptaan-Nya, manusia dapat
mencapai tingkat keimanan yang lebih tinggi. Alam semesta mencakup segala sesuatu, seperti
manusia, tumbuhan, batu, air, dan gunung. Penciptaan ini dimaksudkan agar manusia dapat
mempelajari hakikat dan hikmah di balik prosesnya. Berdasarkan telaah penulis terhadap buku
dan artikel yang telah disebutkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa observasi ini
mempunyai titik utama yang lain dengan observasi yang sebelumnya, yang lebih menekankan
pada konsep sains. Artikel ini berargumen bahwa Al-Qur'an dan sains dapat saling melengkapi
untuk menggambarkan proses penciptaan alam. Al-Qur'an menjelaskan proses tersebut dalam
enam tahap, yang dimulai dari ketiadaan hingga terbentuknya bumi dan langit (QS. An-Nazi'at:
27-33). Sementara itu, sains menjelaskan fenomena tersebut melalui teori Big Bang, yang
mengemukakan bahwa alam semesta bermula dari ledakan besar mencapai 13,8 M. Kedua
sudut pandang ini sama-sama menunjukkan bahwa penciptaan alam semesta melibatkan proses
yang panjang dan kompleks.
Pandangan masyarakat tentang proses penciptaan alam semesta sangat beragam,
bergantung pada latar belakang keilmuan, budaya, dan agama yang dianut. Keragaman ini
mencerminkan adanya dialog antara berbagai perspektif. Dalam Al-Qur'an, penciptaan alam
semesta dijelaskan melalui sejumlah ayat yang menegaskan bahwa Allah adalah pencipta
segalanya, dengan proses yang berlangsung dalam enam masa. Di sisi lain, sains, khususnya
melalui teori terkenal seperti Big Bang, menawarkan penjelasan ilmiah tentang asal-usul alam
semesta. Tokoh seperti Hamka dan Quraish Shihab berpendapat bahwa terdapat keselarasan
antara konsep penciptaan dalam Al-Qur'an dan penemuan ilmiah, meskipun terdapat perbedaan
pandangan mengenai peran Tuhan dalam proses tersebut. Artikel ini bertujuan untuk
mengeksplorasi dan menganalisis hubungan antara pemahaman religius dan ilmiah terkait asalusul alam semesta. Penulis dan dapat diinterpretasikan dalam konteks sains, sehingga terjalin
dialog yang konstruktif antara dua bidang yang sering dianggap berbeda ini.
a. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini menerapkan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif analitis.
Proses penelitian dilakukan melalui studi pustaka, yaitu dengan menganalisis berbagai buku,
jurnal, dan karya-karya lain yang relevan dengan topik yang diteliti. Studi pustaka dalam
penelitian ini mengadopsi pendekatan kualitatif, yang bertujuan untuk memahami suatu
permasalahan secara mendalam dan melakukan kajian yang mendalam terhadap isu yang
diangkat.
b. Data dan Sumber Data
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah ditetapkan, data yang akan diberikan pada
penelitian ini yaitu:
1) Konsep penciptaan alam menurut perspektif Al-Qur’an dan sains.
2) Fenomena-fenomena yang terkait dengan proses penciptaan alam.
3) Analisis terhadap ayat-ayat yang menjelaskan tentang penciptaan alam.
Sumber pertama pada penelitian ini yaitu Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang
pertama, serta buku-buku karya para tokoh atau mufasir yang relevan. Sumber ini berguna
untuk pelengkap data primer yang dapat mencakup penulisan yang berkaitan pada materi,
seperti buku-buku terkait, kitab-kitab tafsir lainnya, serta artikel dari majalah atau internet.
c. Teknik pengumpulan data
Pada penelitian ini merupakan penelitian library research yang bertujuan menyerahkan
data teoritis sebagai landasan penyajian ilmiah. Metode ini dilaksanakan dengan cara memilih
bacaan yang relevan pada topik penelitian. Penulis menggunakan metode ini untuk
mengidentifikasi literatur yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
Dalam prosesnya, penulis membaca dan mengkaji berbagai buku serta jurnal yang
berhubungan dengan tema penelitian, yaitu Konsep Penciptaan Alam Semesta dalam AlQur’an dan Sains.
d. Teknik analisis data
Pada bagian ini dilakukannya proses mengorganisasi data sehingga dapat
diinterpretasikan dengan baik. Dalam menyusun & analisis data yang telah dikumpulkan,
penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif analitis. Metode ini merupakan bentuk
analisis yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang diteliti. Tujuan analisis deskriptif
merupakan gambaran mengenai sebuah subjek penelitian berdasarkan data yang didapatkan.
Dalam menganalisis data, penulis menerapkan pendekatan yang bertujuan menyajikan fakta
dan peristiwa secara sistematis dan akurat. Proses ini dilakukan dengan pola pikir induktif,
yakni menarik kesimpulan berdasarkan kajian tentang Konsep Penciptaan Alam Semesta
dalam Al-Qur’an dan Sains.
3. PEMBAHASAN
Istilah Alam Dalam Al-Qur’an
Di dalam bahasa Arab, kata ini berasal dari akar yang memiliki makna dasar sebagai
tanda yang membedakan maksud dari kata yang lain. Dalam bahasa Indonesia, kata alam
memiliki berbagai arti, di antaranya
1) Dunia
2) Wilayah atau kondisi tertentu (seperti waktu, kehidupan, dan sebagainya);
3) Semua hal yang termasuk dalam suatu kelompok atau kategori yang dianggap sebagai satu
kesatuan
4) Segala kekuatan atau energi yang menyebabkan terjadinya dan seolah-olah
mengendalikan semua fenomena di dunia ini.
Berdasarkan yang telah dijelaskan, bisa dikatakan bahwa dunia mencakup segala
sesuatu nyata, dapat dilihat dari materi maupun nonmateri, yang tampak maupun yang tidak
tampak. Allah bukan kategori dalam dunia, , meskipun Dia "Ada", sebab Tuhan belum
memiliki materi atau nonmateri. Berdasarkan pemahaman pernyataan ini, para ulama
menyampaikan makna yang sejalan dengan definisi tersebut. Al-Räġib al-Asfahānī
menyatakan bahwa "al-alam"merupakan nama bagi orbit dan segala yang ada di dalamnya,
termasuk substansi (jauhar) dan kecelakaan ('arad), dengan makna dasar sebagai nama yang
diberikan pada sesuatu yang dapat dikenali. Al-alam juga berfungsi sebagai sarana untuk
memahami penciptanya. Pandangan serupa juga dinyatakan pada al-Jurjānī yang menyatakan
bahwa "alam/dunia" adalah segala sesuatu melainkan Allah, sebeb seluruh yang ada dikatakan
bukti dari keberadaan-Nya.
Dalam al-Mu'jam al-Falsafiy, dikatakan bahwa dunia memiliki 2 maksud, yakni
pengertian umum seperti yang dijelaskan sebelumnya & pengertian khusus, yakni segala
sesuatu yang ada didalam suatu kelompok yang sejenis. Istilah alam, dalam bahasa Arab juga
dikenal istilah al-kaun yang merujuk pada makna alam, walaupun pernyataan ini tidak
ditemukan keberadaannya dalam suatu al-quran. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa
definisi al-kaun lebih terbatas dibandingkan dengan al-'alam.
Dalam Al-Qur'an, (al-‘ālamīn) disebutkan sebanyak 74 kali. Dari jumlah tersebut, 42
kali istilah ini dihubungkan dengan kata rabb, yang menunjukkan bahwa semua alam ini berada
di bawah kekuasaan-Nya. Hal ini mengindikasikan masih ada dunia lain selain dunia /alam
kitaAl-Rāzi dalam tafsirnya terhadap QS. Al-Fatihah (2):2 juga menjelaskan hal ini.
علحما هلل بر نلملاعلا (۲)
“Segala puji bagi Allah, Tuharı semesta alarn”
Dijelaskan bahwa telah terbukti Allah memiliki kemampuan untuk mewujudkan
semua kehendak, dan Dia yang Maha Tinggi berkuasa untuk menciptakan jutaan alam yang
lebih besar dan lebih masif daripada alam kita. Pendapat para filsuf terkait uniknya dunia ini
dianggap kurang dan tidak cukup, sebab berlandaskan istilah yang kurang tepat. Istilah (al-
‘ālamīn) digunakan dalam bentuk jamak dengan bertambahnya ya dan nūn, dikarenakan
manusia juga kedalam makna definisi al-‘ālam. Ketika manusia bersatu dengan makhluk
lainnya, hukum yang berlaku bagi mereka pun serupa. Tetapi, ada suatu pendapat mengatakan
al-‘ālamīn dalam Al-Qur'an merupakan jin, manusia, malaikat.
Maka dari itu, ketika Allah SWT menyampaikan bagaimana penciptaan alam, yang
menjadi fokus pembicaraan merupakan bumi dan langit beserta hal-hal yang ada di keduanya,
salah satunya angkasa. Keterikatan statis antara langit dan bumi akan tetap ada hingga hari
kiamat, namun setelah itu, keduanya akan mengalami transformasi, seperti yang dijelaskan
dalam QS. Ibrahim (14):48.
َ
َب ُأ ُُلَاَ ُب ََ ْمو
َ َ
َي ُ
َب ۡلأ َََل
َ َ
َم ل ُٱ ُ
َُُل َ َمل
ْ
َُاَ َي َُُع
ۡل
ۡل ۡلا ۡلَِ
َم ل
َ
ۡلب ُل
َهن
اَ
َ
ُل
"(Yaitu) pada hari ketika bumi digantikan dengan bumi yang lain dan demikian pula langit,
dan manusia berkumpul (di padang Mahsyar) menghadap Allah yang Maha Esa lagi Maha
Perkasa."
Konsep penciptaan alam Menurut Al-Qur’an.
Dalam ayat Al-Qur'an, Allah SWT menyampaikan proses penciptaan langit dan bumi
dengan sangat jelas dan terperinci. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan modern, terbukti
bahwa penjelasan tersebut benar. Al-Qur'an, bersama dengan Sunnah, merupakan satu-satunya
sumber otentik yang dapat dipercaya. Teori-teori yang dikemukakan oleh para sarjana Barat
pada dasarnya merujuk pada Al-Qur'an. Jika teori tersebut sesuai dengan isi Al-Qur'an, maka
dapat diterima, namun jika bertentangan, maka yang dijadikan patokan adalah aturan AlQur'an.
Allah menciptakan langit dan bumi dalam waktu 6 hari, dimulai pada hari Minggu dan
berakhir pada hari Jumat. Itulah sebabnya hari Jumat dianggap sebagai hari istirahat bagi umat Islam, karena pada hari itu Allah Ta'ala menyelesaikan penciptaan langit dan bumi. Meskipun
para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai enam hari penciptaan tersebut, sebagian
besar ahli berpendapat bahwa enam hari tersebut merujuk pada hari biasa. Sementara itu,
pendapat lain menyatakan bahwa enam hari tersebut berbeda dengan hari biasa, dan setiap hari
setara dengan 1000 tahun hari biasa.
Allah menciptakan alam terbagi menjadi 6 yaitu:
1) Dua masa untuk menciptakan langit dari debu
2) Dua masa untuk menciptakan bumi
3) Dua masa lagi (empat masa setelah penciptaan bumi) untuk memberkahi bumi serta
menentukan makanan bagi penduduknya.
Durasi masing-masing masa tidak menjadi fokus utama. Surat An-Nazi'at ayat 27-33
memberi penjelasan kronologis mengenai tahapan enam masa tersebut. Urutan masa yang
disebutkan dalam ayat ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Masa I ("Apakah lebih sulit bagimu untuk menciptakan ini atau langit? Tuhan yang
membangunnya [27]): Penciptaan langit yang pertama.
Pada Masa I, alam semesta pertama kali terbentuk melalui peristiwa yang dikenal
sebagai "big bang" sekitar 13,7 miliar tahun yang lalu. Teori ini didukung oleh bukti adanya
radiasi kosmik yang dapat diamati di langit dari berbagai arah. Big Bang menandai awal
penciptaan ruang, waktu, dan materi. Pada fase awal, bahan dasar yang ada adalah hidrogen,
yang dalam Al-Qur'an disebut sebagai dukhan. Awan hidrogen ini kemudian mengalami proses
pengembunan akibat rotasi dan kompresi. Ketika suhu mencapai 20 juta derajat Celsius, reaksi
nuklir mulai berlangsung, menghasilkan helium. Proses nuklir ini menjadi sumber energi
bintang, sesuai dengan persamaan E=mc², di mana energi yang dihasilkan sebanding dengan
perbedaan massa antara hidrogen dan helium (m).
Selain itu, angin bintang yang berasal dari kedua kutub bintang (protobintang) meledak,
menyebarkan dan menghempas debu di sekitarnya. Akibatnya, sisa-sisa mantel gas membentuk
piringan yang akhirnya menjadi planet. Awan hidrogen dan bintang berproses untuk
membentuk galaksi. Di dunia, banyak galaksi menyerupai filamen dan struktur kosong.
Dengan demikian, dunia yang kita tahu saat ini seperti sebuah kapas, dengan bagian-bagian
yang kosong dan bagian lainnya yang padat.
Masa II (Dia Mendirikan Bangunan dan Menyelesaikannya [28]): Pembangunan dan
Penyempurnaan)
Hal ini bisa diibaratkan seperti kismis yang tumbuh dan berkembang, di mana kismis
dianggap sebagai galaksi. Ketika roti mengembang, kismis semakin menjauh satu sama lain.
Ekspansi alam semesta sejatinya merupakan kelanjutan dari peristiwa Big Bang. Dengan
demikian, Big Bang bukanlah ledakan yang terjadi di luar angkasa (seperti ledakan bom),
melainkan sebuah proses perluasan alam semesta yang sangat cepat. Sementara itu, kata
“sempurna” menggambarkan bahwa alam semesta tidak terbentuk secara tiba-tiba, melainkan
melalui sebuah proses evolusi yang berkelanjutan, di mana bintang terus lahir dan mati secara
konstan. Proses reproduksi alami ini terus berlanjut.
Masa III (Allah menjadikan malam gelap dan siang terang benderang [29]): ini merujuk
pada proses pembentukan tata surya, termasuk Bumi.
Allah SWT dapat merubah malam gelap gulita dan siang terang benderang. Ayat ini
bias diartikan dengan penciptaan matahari sebagai sumber cahaya serta perputaran bumi yang
menyebabkan adanya pergantian siang dan malam. Proses terbentuknya tata surya ini mirip
dengan pembentukan bintang Dukhan, meskipun bahan yang terlibat tidak lagi berupa
hidrogen murni.
Masa IV (Setelah itu, Bumi diperluas-Nya [30]): Proses evolusi Bumi.
Ayat 30 dalam Surat an-Nazi'at menyebutkan, "Dan bumi sesudah itu dihamparkanNya." Pernyataan ini dapat dimaknai sebagai suatu bntuk superkontinen Pangaea pada
permukaan bumi, yang akhirnya terpecah kedalam benua. Proses tersebut juga sejalan dengan
ayat 9 dalam Surat Fushshilat yang berbunyi: "Katakanlah: 'Apakah kamu beriman kepadaNya yang menciptakan bumi terbelah pada waktunya dan memberinya sahabat?"
Masa V (Ia mengalirkan mata air dari Bumi, dan menumbuhkan tumbuhantumbuhannya [31]): Proses kedatangan air ke Bumi melalui tabrakan dengan komet.
Ayat ini menyatakan tentang awal keberadaan sumber mata air di alam & tumbuhan
sebagai ciptaan makhluk pertama. Berdasarkan kajian astronomi, sumber mata air di bumi tidak
berasal dari bumi itu sendiri, melainkan diperoleh melalui tabrakan komet dengan bumi. Maka
dari itu dibuktikan bahwa dengan perbandingan deuterium dan zat air pada air laut yang
memiliki kesamaan pada komet. Deuterium merupakan sebuah unsur zat air yang biasanya
memiliki massa lebih kuat dibandingkan zat air biasa.
Masa VI (Dan gunung-gunung ditegakkan-Nya dengan kokoh [32] (semuanya) untuk
kebaikanmu dan untuk hewan ternakmu [33]): Proses geologi serta munculnya
kehidupan hewan dan manusia.
Ayat 32 dalam Surat an-Nazi'at yang menyebutkan, “…gunung-gunung berdiri kokoh,”
mengindikasikan bahwa pembentukan gunung-gunung terjadi setelah penciptaan bumi, laut,
dan tumbuhan pertama. Pegunungan terbentuk akibat pergerakan lempeng saat superbenua
Pangaea mulai terpisah. Setelah itu, dengan adanya gunung-gunung, muncul berbagai hewan,
diikuti oleh manusia. Dengan demikian, dalam skala waktu geologis, usia manusia masih
terbilang muda.
Konsep penciptaan alam Menurut Sains.
Dalam menciptakan dunia adalah topik besar yang telah dibahas selama berabad-abad
oleh berbagai bidang ilmu. Dalam pandangan tradisional, penciptaan sering kali dikaitkan
dengan konsep kekuatan ilahi atau kekuatan yang lebih tinggi. Namun, sains menawarkan
pendekatan yang lebih rasional dan terukur melalui teori-teori fisika yang berusaha
menjelaskan asal-usul alam semesta tanpa melibatkan entitas metafisik. Adapun teori yang
paling unggul yaitu Teori Big Bang, yang tidak hanya menjelaskan tempat dunia, tetapi juga
proses dunia berkembang seiring waktu.
Teori Big Bang dan Asal Usul Alam Semesta
Teori Big adalah teori kosmologi yang paling diterima di kalangan ilmuwan untuk
menyatakan munculnya dunia. Berdasarkan definisi ini, dunia dimulai sekitar 13,8 miliar tahun
yang lalu dari kondisi yang sangat panas, padat, dan terkonsentrasi, yang disebut singularitas.
Pada waktu itu, seluruh materi dan energi alam semesta terpusat dalam sebuah titik yang sangat
kecil. Kemudian, terjadi ekspansi besar-besaran yang menyebabkan alam semesta mulai
mendingin dan berkembang, membentuk galaksi, bintang, dan planet seperti yang kita amati
sekarang (Hawking, 1988).
Perkembangan alam semesta setelah Big Bang dipelajari melalui pengamatan radiasi
latar belakang kosmik dan pergerakan galaksi. Salah satu bukti utama yang mendukung teori
ini adalah penemuan gelombang kosmik yang merupakan sisa panas dari peristiwa Big Bang
yang masih dapat diamati hingga sekarang (Penzias & Wilson, 1965). CMB memberi bukti
penting bahwa alam semesta benar-benar bermula dari keadaan yang sangat panas dan padat.Hukum Fisika dalam Penciptaan Alam Semesta
Sains juga menekankan pentingnya hukum fisika dalam proses penciptaan alam
semesta. Salah satu kontribusi penting dalam pemahaman ini berasal dari percepatan relativitas
umum yang dinyatakan oleh Albert Einstein. Definisi ini menyatakan gravitasi sebagai distorsi
ruang-waktu yang terjadi akibat adanya massa dan energi. Dalam konteks penciptaan alam
semesta, teori ini membantu menjelaskan bagaimana struktur alam semesta terbentuk melalui
interaksi gravitasi antara materi dan energi (Einstein, 1915).
Sains juga menekankan pentingnya hukum fisika dalam proses penciptaan alam
semesta. Pada konteks penciptaan alam semesta, Teori ini berperan dalam menjelaskan
bagaimana struktur alam semesta terbentuk melalui interaksi gravitasi yang terjadi antara
materi dan energi (Einstein, 1915).
Perkembangan Alam Semesta dan Teori Multiverse
Salah satu perkembangan terbaru dalam kosmologi adalah hipotesis multiverse, yang
berpendapat bahwa dunia kita mungkin hanya satu di antara banyak dunia yang ada. Dalam
pandangan ini, alam semesta kita bisa jadi merupakan bagian dari struktur yang jauh lebih besar
yang mencakup berbagai "gelembung". Meskipun konsep ini masih kontroversial dan sulit
untuk diuji secara empiris, hal ini membuka pemahaman baru mengenai kemungkinan
penciptaan alam semesta yang lebih luas dan beragam.
Alam semesta dan segala keteraturannya menjadi objek kajian penting baik dalam perspektif agama
maupun sains. Dalam pandangan klasik, seperti yang dikemukakan Isaac Newton, alam semesta dianggap statis
tanpa awal dan akhir. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan, seperti Model Friedman dan teori Big Bang,
menunjukkan bahwa alam semesta bersifat dinamis dan memiliki proses penciptaan. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis konsep penciptaan alam semesta dalam Al-Qur'an dan sains dengan pendekatan komplementer. AlQur'an menggambarkan penciptaan alam dalam enam masa, sebagaimana terdapat dalam QS. An-Nazi'at: 27-33,
yang mengindikasikan tahapan penciptaan dari ketiadaan hingga terbentuknya bumi dan langit. Sementara itu,
sains menjelaskan asal-usul alam semesta melalui teori Big Bang, yang menyatakan bahwa alam semesta muncul
dari ledakan besar sekitar 13,8 miliar tahun yang lalu. Penelitian ini juga membandingkan pandangan tokoh-tokoh
seperti Hamka dan Quraish Shihab, yang menyelaraskan konsep penciptaan dalam Al-Qur'an dengan temuan
ilmiah, meskipun terdapat perdebatan terkait peran Tuhan dalam proses tersebut. Dengan menggali ayat-ayat AlQur'an dan interpretasinya dalam konteks sains, penelitian ini berupaya menciptakan dialog yang konstruktif
antara perspektif religius dan ilmiah mengenai asal-usul alam semesta.
%20(3).jpeg)





