Biksu Budha 15

 



‘Bagi pasangan yang memiliki moralitas (kebajikan) yang sama 

dan perbuatan baik yang menginginkan objek-objek indria, hidup 

sesuai Dhamma dalam kehidupan sekarang, mereka berdua akan 

berbahagia dalam dunia ini dan juga berbahagia di alam dewa.’” 

(Aïguttara Nikàya, Vol. 1)

(c) Menjadi siswa awam terbaik

Khotbah di atas yang dibabarkan atas pernyataan akrab yang 

diucapkan oleh pasangan Nakulapitu dikenal sebagai Pañhama 

Samajãvã Sutta. Khotbah itu mengungkapkan hubungan akrab 

yang terjadi antara mereka dan Buddha dalam bentuk cinta kasih 

antara orangtua dan anak. Pasangan tua itu lalu   menjadi 

berkeyakinan kuat di dalam Buddha yang mereka anggap sebagai 

anak mereka. Itulah sebabnya mereka mengungkapkan perasaan 

mereka kepada Buddhas, tanpa merasa malu.

Itulah sebabnya, saat   Buddha sedang berada di Vihàra Jetavana, 

menganugerahkan gelar siswa awam terbaik, Buddha menyatakan:

“Para bhikkhu, di antara para siswa awam-Ku yang akrab dengan 

Buddha, Nakulapitu si perumah tangga yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Nakulapitu.

3001

Riwayat Para Siswi Awam

52

Riwayat Para Siswi Awam

   

(1) Sujàtà, Istri Perumah Tangga dari Bàràõasã

(a) Cita-cita masa lampau 

Bakal Sujàtà terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota 

Haÿsàvatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. saat   ia 

mendengarkan khotbah Buddha ia menyaksikan seorang siswi awam 

yang dinyatakan oleh Buddha sebagai yang terbaik dalam menerima 

Tiga Perlindungan. Ia bercita-cita untuk mencapai gelar ini  , dan 

sesudah   memberi   persembahan besar, ia mengungkapkan cita-

citanya di hadapan Buddha. Buddha meramalkan pencapaiannya.

(b) Kehidupan terakhir sebagai Sujàtà, istri perumah tangga 

dari Bàràõasã

Perempuan kaya itu mengembara selama seratus ribu siklus dunia 

di alam dewa dan alam manusia. Menjelang munculnya Buddha 

Gotama, ia terlahir sebagai Putri Seniya di Kota Senà, dekat Hutan 

Uruvela. Pada suatu hari ia datang ke pohon banyan di dekat kota 

dan sesudah   memberi   persembahan kepada dewa penjaga pohon 

itu, ia bersumpah jika ia menikah dengan suami yang berasal dari 

status yang sama (suku yang sama) dan jika ia melahirkan anak 

pertama laki-laki, ia akan memberi   persembahan kepada dewa 

penjaga pohon itu setiap tahun. Keinginannya terpenuhi.

3002


(Sujàtà menikah dengan putra seorang kaya dari Bàràõasã dan anak 

pertama dari perkawinan itu yaitu   seorang anak laki-laki bernama 

Yasa. Ia menepati sumpahnya dan memberi   persembahan setiap 

tahun kepada dewa penjaga pohon banyan ini  .

sesudah   memberi   persembahan di pohon banyan itu selama 

lebih dari dua puluh kali, pada hari Buddha mencapai Pencerahan 

Sempurna, tahun 103 Mahà era, Sujàtà datang untuk memberi   

persembahan tahunannya kepada dewa penjaga pohon itu. Pada 

saat itu putra Sujàtà, Yasa sudah menikah, dan sedang menikmati 

kemewahan di tiga istananya. Hal ini disebutkan sebab   Sujàtà sering 

digambarkan sebagai seorang gadis muda saat ia mempersembahkan 

nasi susu yang dipersiapkan secara khusus kepada Buddha.)

Pada hari purnama di bulan Kason (Mei) tahun 103 Mahà Era, 

sesudah   enam tahun melakukan praktik menyiksa diri dalam 

mencari Kebenaran, Buddha mencapai Pencerahan Sempurna. Sujàtà 

bangun pagi-pagi pada hari itu untuk mempersiapkan persembahan 

di pohon banyan. Pada hari itu anak-anak sapi kebetulan tidak 

mendatangi ibunya untuk menyusu, dan saat   pelayan Sujàtà 

membawa kendi untuk menampung susu sapi-sapi itu, susu dari 

sapi-sapi itu mengalir deras. Melihat fenomena aneh ini  , Sujàtà 

sendiri yang melakukan pengambilan susu, menampungnya di 

dalam sebuah panci masak yang baru, menyalakan api sendiri dan 

mulai memasak nasi susu.

Sewaktu susu itu sedang dimasak, gelembung-gelembung besar 

muncul berurutan dan berputar searah jarum jam di dalam 

panci tetapi tidak ada setetes pun busa susu itu meluap keluar. 

Mahàbrahmà menaungi panci itu dengan payung putih, empat raja 

dewa menjaga panci itu dengan memegang pedang mereka, Sakka 

menjaga api, para dewa membawa berbagai nutrisi dari empat benua 

dan menuangkannya ke dalam panci. Demikianlah para makhluk 

surgawi bergabung bersama Sujàtà mempersiapkan nasi susu itu.

Sambil mempersiapkan nasi susu, ia memanggil pelayannya Puõõà 

dan berkata, “Puõõa yang baik, aku yakin dewa penjaga pohon 

3003

Riwayat Para Siswi Awam

banyan sedang gembira sebab   aku belum pernah menyaksikan 

fenomena aneh seperti ini terjadi sebelumnya selama bertahun-

tahun. Sekarang, pergilah dan bersihkan sekeliling pohon banyak 

itu untuk memberi   persembahan.” “Baiklah, nyonya,” gadis 

pelayan itu menjawab dan segera pergi ke pohon banyan.

Bakal Buddha duduk di bawah pohon banyan, lebih awal dari 

waktu untuk mengumpulkan dàna makanan. Si gadis pelayan yang 

hendak membersihkan tempat itu menganggap bahwa Bodhisatta 

yaitu   dewa penjaga pohon banyan dan melaporkan hal itu kepada 

majikannya. Sujàtà berkata, “Baiklah Anakku, jika apa yang engkau 

katakan benar, aku akan membebaskan engkau dari perbudakan.” 

lalu  , sesudah   berpakaian dan menghias dirinya, Sujàtà pergi 

ke pohon banyan membawa di atas kepalanya nasi susu yang 

diletakkan di dalam mangkuk emas bernilai satu lakh yang ditutupi 

dengan penutup emas dan dibungkus dengan sehelai kain dan di 

atasnya diletakkan bunga-bunga harum yang ditata bergantungan 

di sekeliling kendi itu. saat   ia melihat Bodhisatta yang ia anggap 

sebagai dewa penjaga pohon itu, ia menjadi sangat gembira dan 

mendekat sambil membungkuk. lalu   ia menurunkan 

mangkuk itu, membuka tutupnya dan mempersembahkannya 

kepada Bodhisatta, dan berkata, “Semoga keinginanmu terpenuhi 

seperti aku!” lalu   ia meninggalkan tempat itu.

Bodhisatta pergi ke Sungai Nera¤jarà, meletakkan mangkuk berisi 

nasi susu itu di tepi sungai, dan mandi di sungai. lalu  , 

sesudah   naik dari air, Ia memakan nasi susu itu dalam empat puluh 

sembilan suap dan sesudah  nya Ia mengapungkan mangkuk emas itu 

di aliran Sungai Nera¤jarà. sesudah   itu, Ia duduk di bawah pohon 

Bodhi penerangan, mencapai Pencerahan Sempurna dan berdiam 

selama tujuh hari di masing-masing dari tujuh tempat di sekeliling 

pohon penerangan. Di akhir empat puluh sembilan hari itu (selama 

itu Buddha berdiam di dalam Penghentian) Beliau pergi ke Hutan 

Isipatana Migadàvana di mana Beliau memutar Roda Dhamma 

dengan membabarkan Khotbah Pertama kepada Kelompok Lima 

Petapa. lalu   Beliau melihat matangnya jasa masa lampau 

Yasa, putra Sujàtà, istri perumah tangga dari Bàràõasã dan sebab   

itu Beliau menunggu kedatangan Yasa dengan duduk di bawah 

3004


pohon.

Yasa merasa letih dengan kenikmatan indria sesudah   ia melihat 

pemandangan yang memuakkan di tempat kediaman selir-selirnya 

(lewat tengah malam). “O, betapa menderitanya makhluk-makhluk 

hidup ini dengan batin dan jasmani tertekan oleh segala jenis 

kotoran! O, betapa mengerikan mereka disiksa oleh kotoran!” Yasa 

bergumam dan meninggalkan rumahnya dengan memendam 

kejijikan terhadap hidupnya.

sesudah   meninggalkan kota, ia bertemu dengan Buddha, dan 

sesudah   mendengarkan khotbah Buddha, ia mencapai Pengetahuan 

penembusan terhadap Kebenaran dan mencapai Buah Pengetahuan 

Pemenang Arus. (Dalam Komentar Aïguttara Nikàya, ia mencapai 

tiga Magga dan Phala yang lebih rendah.)

Ayah Yasa mencarinya dengan mengikuti jejak putranya dan persis 

berada di belakang putranya. Ia pergi dan bertanya kepada Buddha 

apakah anaknya melewati jalan itu. Buddha dengan kekuatan-

Nya menyembunyikan putra itu dari pandangan ayahnya dan 

membabarkan khotbah kepada Ayah Yasa yang mengakibatkan 

pada akhir khotbah ini  , perumah tangga itu mencapai 

Pengetahuan Pemenang Arus dan Yasa mencapai Kearahattaan. 

lalu   Buddha menahbiskan Yassa menjadi seorang bhikkhu 

dengan memanggilnya, “Datanglah, Bhikkhu,” dan penampilan 

Yasa sesaat   berubah menjadi seorang bhikkhu, lengkap dengan 

mangkuk, jubah, dan perlengkapan bhikkhu lainnya yang semuanya 

diciptakan melalui kekuatan batin Buddha. Si perumah tangga 

mengundang Buddha untuk menerima persembahan makanan di 

rumah keesokan harinya. Buddha pergi ke rumah si perumah tangga 

disertai oleh Yang Mulia Yasa. sesudah   makan Beliau membabarkan 

khotbah yang pada akhirnya ibu Yang Mulia Yasa, Sujàtà dan mantan 

istri Yang Mulia Yasa mencapai Buah Pengetahuan Pemenang 

Arus. Pada hari yang sama Sujàtà dan menantunya menerima 

Tiga Perlindungan. (Ini yaitu   kisah singkat tentang Sujàtà dan 

keluarganya. Untuk penjelasan lebih lengkap, pembaca dapat 

kembali ke bab terdahulu.)

3005

Riwayat Para Siswi Awam

(c) Menjadi siswi awam terbaik

Pada lalu   hari saat Buddha menganugerahkan gelar terbaik 

kepada siswa awam perempuan, Beliau menyatakan:

“Para bhikkhu, di antara para siswi awam yang paling awal 

menerima Tiga Perlindungan, Sujàtà, Putri Seniya si perumah 

tangga, yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Sujàtà, istri perumah tangga dari Bàràõasã.

(2) Visàkhà, Penyumbang Vihàra Pubbàràma

(a) Cita-cita masa lampau 

 

Bakal Visàkhà terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota 

Haÿsàvatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. saat   

ia mendengarkan khotbah Buddha ia menyaksikan seorang siswi 

awam yang dinyatakan oleh Buddha sebagai yang terbaik dalam hal 

kedermawanan. Ia bercita-cita untuk mencapai gelar ini  , dan 

sesudah   memberi   persembahan besar, ia mengungkapkan cita-

citanya di hadapan Buddha. Buddha meramalkan pencapaiannya.

Dalam Kehidupan Lampau Sebagai Putri Bungsu Raja Kikã

Perempuan kaya itu mengembara selama seratus ribu siklus dunia 

di alam dewa dan alam manusia. Dalam siklus dunia sekarang 

ini, muncul lima Buddha, pada masa Buddha Kassapa, ia terlahir 

sebagai putri bungsu dari tujuh putri Raja Kikã di Provinsi Kikã. 

Tujuh putri itu yaitu  : (1) Putri Samaõã, (2) Putri Samaõaguttà, 

(3) Putri Bhikkhunã, (4) Putri Bhikhadàyikà, (5) Putri Dhammà, (6) 

Putri Sudhammà, dan (7) Putri Saÿghadàsã. Tujuh putri itu terlahir 

kembali pada masa Buddha Gotama sebagai tujuh perempuan 

terkenal, yaitu, (1) Therã Khemà, (2) Therã Uppalavaõõà, (3) Therã 

Pañàcàrà, (4) Therã Mahàpajàpatã Gotamã, ibu tiri Buddha, (5) Therã 

Dhammadinnà, (6) Ratu Mahàmàyà, ibunda Buddha, dan (7) 

Visàkhà, penyumbang vihàra besar.

3006


(b) Kehidupan terakhir sebagai Visàkhà

Putri Saÿghadàsã, si bungsu dari tujuh putri Raja Kikã, mengembara 

di alam dewa dan alam manusia selama periode antara munculnya 

dua Buddha (Kassapa dan Gotama) dan pada masa Buddha 

Gotama, ia dikandung dalam rahim Sumanà Devã, istri Dhana¤jaya 

si perumah tangga, putra Meõóaka si perumah tangga di Kota 

Bhaddiya, Provinsi Aïga. Ia diberi nama Visàkhà oleh orangtua 

dan sanak saudaranya. saat   Visàkhà berusia tujuh tahun, Buddha 

tiba di Bhaddiya bersama banyak bhikkhu dalam perjalanan Beliau 

ke negeri ini  . Beliau datang ke Bhaddiya dengan tujuan untuk 

mencerahkan Sela sang brahmana dan orang-orang lainnya yang jasa 

masa lampaunya telah matang untuk mencapai Pencerahan.

Lima Individu Dengan Jasa Masa Lampau yang Besar

Pada waktu itu, Meõóaka, ayah mertua Visàkhà, yaitu   pemimpin 

dari lima individu yang memiliki jasa masa lampau yang besar, 

yaitu, (1) Meõóaka, si perumah tangga, (2) Cadapadumà, istrinya, 

(3) Dhana¤jaya, putra Meõóaka, (4) Sumanà Devã, istri Dhana¤jaya, 

dan (5) Puõõa, pelayan Meõóaka. (Jasa masa lampau lima orang ini 

dijelaskan secara singkat bersumber dari Komentar Dhammapada, 

Vol. 1, 18-Mala Vagga, 10-Meõóaka si Perumah tangga.)

1. Kekuatan Gaib Meõóaka Si Perumah Tangga

Suatu hari Meõóaka, ingin mengetahui kekuatannya, mengosongkan 

1.250 lumbungnya. lalu  , sesudah   mencuci rambutnya, ia duduk 

di depan pintu rumahnya dan menatap ke langit. Tiba-tiba, dari 

langit turun dengan lebatnya hujan beras merah yang memenuhi 

1.250 lumbung milik Meõóaka. Lebih jauh lagi, Meõóaka ingin 

mengetahui kekuatan gaib para anggota keluarganya dan meminta 

mereka untuk mencobanya sendiri-sendiri.

2. Kekuatan Gaib Candapadumà, Istri Meõóaka

lalu  , Candapadumà, istri Meõóaka, sesudah   menghias dirinya, 

mengambil sedikit beras disaksikan banyak orang dan memasaknya. 

3007

Riwayat Para Siswi Awam

Ia duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan di depan pintu 

rumahnya dan sesudah   membuat pengumuman kepada semua 

orang bahwa siapa pun yang ingin mendapatkan nasi silakan 

mendatanginya, ia mengambil nasi itu memakai   sendok emas 

dan diberikan kepada setiap orang yang datang. Panci nasinya tidak 

pernah berkurang lebih dari satu sendok, bahkan sesudah   dibagikan 

sehari penuh.

Bagaimana Candapadumà Mendapatkan Namanya

Dalam kehidupan lampaunya pada masa Buddha yang lampau, 

perempuan yang menakjubkan ini pernah mempersembahkan 

makanan kepada Saÿgha, dengan tangan kirinya memegang 

panci beras dan tangan kanannya memegang sendok, mengisi 

mangkuk hingga penuh. Sebagai akibat dari perbuatan baik ini, 

dalam kehidupannya sekarang, di telapak tangan kirinya bergambar 

sekuntum bunga teratai (padumà) sedangkan di telapak tangan 

kanannya bergambar bulan purnama (canda). Lebih jauh lagi, pada 

masa Buddha yang lampau, ia juga pernah mempersembahkan air 

dengan tangannya memegang saringan air dan mendatangi para 

bhikkhu satu per satu. Sebagai akibat dari perbuatan baik ini, telapak 

kaki kanannya bergambar bulan purnama dan telapak kaki kirinya 

bergambar bunga teratai. sebab   tanda-tanda istimewa yang terdapat 

di telapak tangan dan kakinya, ia diberi nama ‘Candapadumà’ oleh 

orangtua dan sanak saudaranya.

3. Kekuatan Gaib Dhana¤jaya, Putra Meõóaka

Dhana¤jaya si perumah tangga, putra Meõóaka si perumah 

tangga, sesudah   mencuci rambutnya, duduk di depan pintu, dengan 

meletakkan seribu keping uang perak di sisinya. sesudah   membuat 

pengumuman bahwa siapa pun yang ingin mendapatkan uang 

silakan mendatanginya. Ia mengisi semua kantung uang dari semua 

orang yang datang. sesudah   memenuhi kebutuhan setiap orang yang 

datang, uang si perumah tangga itu yang berjumlah seribu keping 

uang perak tidak berkurang.

3008


4. Kekuatan Gaib Sumana Devã, Menantu Meõóaka

Sumana Devã menghias dirinya dan duduk di ruang terbuka dengan 

meletakkan sekeranjang benih padi, sesudah   membuat pengumuman 

bahwa siapa pun yang ingin mendapatkan benih padi silakan 

mendatanginya. Ia membagikan benih padi kepada setiap orang 

yang datang. Sekeranjang benih padi itu tidak berkurang.

5. Kekuatan Gaib Puõõa, Pelayan Kepercayaan Meõóaka

Puõõa, pelayan kepercayaan (kepala pelayan) Meõóaka, sesudah   

mengenakan pakaian yang sesuai dengan statusnya, memasang 

gandar pada sepasang sapi yang keduanya diberi cap lima jari 

yang diolesi salep harum dan tanduknya dihiasi dengan emas, 

memasangkan rantai emas, dan memasang bajak, lalu   ia mulai 

membajak sawah Meõóaka disaksikan banyak orang. Bajakannya 

tidak membentuk satu alur di bawah mata bajaknya melainkan 

terdapat tiga alur tambahan di kedua sisi, sehingga dalam satu kali 

jalan, ia menyelesaikan tujuh kali lebih banyak.

Demikianlah seluruh warga   Benua Selatan mendapatkan 

kebutuhan mereka, yaitu, nasi, benih-padi, uang, dan lain-lain 

dari rumah Meõóaka. Ini yaitu   penjelasan singkat tentang lima 

individu yang memiliki jasa besar pada masa lampau.

Di wilayah Ràjagaha, kekuasaan Raja Bimbisàra, selain Meõóaka, ada 

empat perumah tangga lainnya, yaitu: Jotika, Jañila, Puõna, dan Kaka 

Valiya. Bimbisàra memiliki lima perumah tangga ini yang kekayaan 

mereka tidak pernah habis dalam wilayah kekuasaannya. 

saat   Meõóaka mendengar tentang kedatangan Buddha, ia berkata 

kepada cucu perempuan-nya (putri Dhana¤jaya). “Cucuku, apa 

yang akan kukatakan yaitu   demi jasa besar bagimu juga bagiku. 

Pergi dan sambutlah Buddha dalam perjalanan-Nya, bawalah lima 

ratus pelayan perempuan yang masing-masing mengendarai kereta 

dan lima ratus pembantu.”

3009

Riwayat Para Siswi Awam

Visàkhà Mencapai Pengetahuan Pemenang Arus Pada Usia 

Tujuh Tahun

Visàkhà dengan gembira mematuhi kata-kata kakeknya dan 

meninggalkan rumah bersama lima ratus kereta. Kakeknya pasti 

telah berpikir ia akan mengendarai keretanya langsung ke hadapan 

Buddha, sehingga seolah-olah ia yaitu   orang penting, tetapi 

Visàkhà yaitu   seorang yang memiliki kebijaksanaan sejak lahir 

dan mempertimbangkan bahwa tidaklah tepat jika ia menghadap 

Buddha dengan mengendarai kereta. Maka ia turun dari keretanya 

dalam jarak tertentu dari Buddha, lalu   berjalan kaki menuju 

Buddha, bersujud kepada Beliau dan duduk di tempat yang 

semestinya.

Buddha membabarkan khotbah yang sesuai bagi kondisi batin 

Visàkhà (yang berusia tujuh tahun) yang pada akhirnya, ia dan 

lima ratus pelayannya mencapai Pengetahuan Pemenang Arus dan 

Buah tingkat pertama.

Meõóaka si perumah tangga juga datang menemui Buddha, 

bersujud dan duduk di tempat yang semestinya. Buddha 

membabarkan khotbah yang sesuai bagi kondisi batin Meõóaka 

yang pada akhirnya, ia mencapai Buah Pengetahuan Pemenang 

Arus. Ia mengundang Buddha untuk menerima persembahan 

makanan di rumahnya keesokan harinya. Pada keesokan harinya ia 

memberi   persembahan makanan-makanan lezat kepada Buddha 

dan Saÿgha. Ia memberi   persembahan besar selama lima belas 

hari berturut-turut. Buddha menetap di Bhaddiya selama masih 

ada makhluk yang layak dijinakkan oleh Buddha sebelum Beliau 

meninggalkan tempat itu.

Visàkhà dan Keluarganya Pindah ke Sàketa

Pasenadi Kosala, Raja Sàvatthã menulis surat kepada Raja Bimbisàra 

mengatakan bahwa sebab   kerajaannya tidak memiliki perumah 

tangga dengan kekayaan yang tidak habis-habisnya, sudilah Raja 

Bimbisàra menyerahkan satu perumah tangga yang memiliki 

kekayaan yang tidak dapat habis.

3010


Raja Bimbisàra berunding dengan para menterinya yang berkata, 

“Tuanku, kita tidak mungkin menyerahkan perumah tangga kita 

yang memiliki kekayaan yang tidak dapat habis. Namun untuk 

menyenangkan Raja Kosala, biarlah kira mengirimkan anak dari 

salah satu dari (lima) perumah tangga itu.” Raja (Bimbisàra) setuju 

akan usulan itu. Demikianlah, Dhana¤jaya, putra Meõóaka si 

perumah tangga diminta untuk pindah ke Kerajaan Kosala.

(Komentar Dhammapada menyebutkan bahwa Raja Kosala dan 

Raja Bimbisàra yaitu   saudara ipar. Raja Bimbisàra berpikir bahwa 

ia harus memenuhi keinginan Raja Kosala. Ia juga tidak dapat 

mengusir lima keluarga terkenal itu, dan meminta Dhana¤jaya, putra 

Meõóaka untuk pergi dan menetap di Kerajaan Kosala. Dhana¤jaya 

menyanggupi dan ia diserahkan kepada Raja Kosala.)

sesudah   ia pindah dari Bhaddiya ke Kerajaan Kosala, Dhana¤jaya si 

perumah tangga mendapatkan tempat yang menjanjikan sebagai 

pemukiman manusia. Ia bertanya kepada Raja Kosala, wilayah 

siapakah tempat itu. Ia diberitahu bahwa tempat itu terletak dalam 

wilayah Kerajaan Kosala, ia bertanya lebih jauh berapa jauh tempat 

itu dari Sàvatthã, ibukota. Raja berkata, “Tujuh mil dari sini ke 

Sàvatthã.” lalu   Dhana¤jaya berkata kepada Raja, “Tuanku, 

Sàvatthã tidak cukup besar bagi keluargaku. Jika Tuanku setuju, 

aku akan menetap di tempat ini agar pengikutku yang banyak 

dapat hidup dengan nyaman.” Raja menyetujui. Dan Dhana¤jaya 

mendirikan sebuah kota di tempat itu. sebab   itu yaitu   tempat 

pilihan penghuni, kota itu dinamakan ‘Sàketa.’

Di Sàvatthã, Puõõavaóóhana, putra Migàra si perumah tangga, telah 

menginjak dewasa. Ayahnya mempertimbangkan bahwa sudah 

waktunya putranya menikah dan memberitahu sanak keluarganya 

untuk mencari pengantin perempuan untuk putranya yang berasal 

dari keluarga yang sederajat. Ia mengutus kelompok pencari untuk 

mencari perempuan itu. sebab   tidak dapat menemukannya di Kota 

Sàvatthã, mereka pergi ke Sàketa untuk mencarinya.

Pada hari itu, Visàkhà pergi ke danau di luar Sàketa disertai oleh 

3011

Riwayat Para Siswi Awam

lima ratus gadis pelayan yang sebaya dengannya untuk mandi 

dan bermain-main air. Saat itu, orang-orang dari Sàvatthã yang 

mencari calon menantu Migàra keluar dari Kota Sàketa sebab   

tidak menemukan gadis yang sesuai dengan tujuan mereka. Mereka 

berdiri di dekat gerbang kota. Hujan turun. Visàkhà dan para 

pelayannya berteduh di tempat peristirahatan umum. Lima ratus 

gadis pelayan itu berlari masuk ke dalam rumah peristirahatan. 

Tidak satu pun dari mereka yang menarik perhatian kelompok 

pencari itu. Tetapi di belakang mereka, Visàkhà muda berjalan 

santai ke arah rumah peristirahatan, tanpa memedulikan hujan. 

Orang-orang dari Sàvatthã itu tertarik pada kecantikannya. Mereka 

merenungkan, “Dalam hal penampilan, tidak ada gadis lain di dunia 

ini yang dapat menyamainya. Kecantikannya seperti buah delima 

matang yang segar, tetapi gaya bicaranya perlu diketahui. Kami 

harus bercakap-cakap dengannya.” Dan sebab   itu mereka berkata 

kepadanya sebagai berikut:

“Gadis kecil, engkau berjalan seperti nenek tua.”

Visàkhà menjawab, “Bapak, mengapa engkau berkata begitu?”

“Teman-temanmu memasuki rumah peristirahatan ini dengan 

berlari, takut basah. Sedangkan engkau, engkau datang dengan 

langkah biasa seperti nenek tua. Engkau seperti tidak takut bajumu 

basah. Seandainya seekor gajah atau kuda mengejarmu, apakah 

engkau akan berjalan dengan langkah santai yang sama?”

“Bapak, pakaian dapat dibeli dengan mudah. Apalah artinya 

pakaianku? Tetapi diriku lebih penting bagiku, sebab   seorang 

gadis yaitu   bagaikan sebuah barang dagangan. Jika dengan berlari 

aku tersandung dan tubuhku terluka dan menjadi cacat, aku tidak 

berharga menjadi seorang pengantin. Itulah sebabnya aku tidak 

berlari.”

Orang-orang dari Sàvatthã itu sepakat bahwa mereka telah 

menemukan pengantin yang sesuai untuk putra majikan mereka, 

seorang gadis yang cantik secara fisik juga cantik dalam kata-kata, 

bersuara merdu. Mereka melemparkan karangan bunga pengantin 

3012


di atas Visàkhà, yang memahami maksudnya, menerimanya dengan 

duduk di tempat itu juga. Orang-orang Migàra lalu   memasang 

tirai di sekeliling calon pengantin itu. sesudah   melakukan Ritual   

itu, Visàkhà pulang ke rumah disertai para pelayannya. Orang-

orang Migàra juga turut pergi ke rumah Dhana¤jaya si perumah 

tangga.

Percakapan antara orang-orang utusan Migàra dari Sàvatthã dan 

ayah Visàkhà, Dhana¤jaya tentang pernikahan itu terjadi sebagai 

berikut:

(Dhana¤jaya), “O teman, dari manakah kalian berasal?”

(Utusan), “Perumah tangga, kami mewakili Migàra, perumah 

tangga dari Sàvatthã. Majikan kami mengetahui bahwa engkau 

memiliki seorang putri yang sudah menginjak usia menikah dan 

ia menginginkan putrimu sebagai pengantin bagi putranya. Kami 

datang untuk memohon putrimu.”

(Dhana¤jaya), “Baiklah, teman, majikan kalian tidak sederajat 

dengan kami dalam hal kekayaan. Tetapi, ia sederajat dalam hal 

status kelahiran. Sangat jarang dapat bertemu dengan orang yang 

berderajat sama dalam hal status dan kekayaan. Pulanglah dan 

katakan kepada majikan kalian bahwa lamarannya diterima.”

Wakil Migàra kembali ke Sàvatthã, menghadap Migàra si perumah 

tangga, dan sesudah   saling bertukar sapa, mereka melaporkan, 

“O perumah tangga, kami telah mendapatkan persetujuan dari 

Dhana¤jaya, perumah Tangga dari Sàketa, untuk menikahkan 

putrinya dengan Puõõavaóóhana.” Migàra gembira sebab   telah 

mendapatkan pengantin untuk putranya yang berasal dari keluarga 

kaya dan ia segera mengirim pesan kepada Dhana¤jaya mengatakan 

bahwa ia akan menjemput pengantin dalam beberapa hari, dan 

bertanya apakah Dhana¤jaya menghendaki persiapan tertentu? 

Dhana¤jaya mengirim pesan balasan yang mengatakan bahwa 

semua persiapan akan dilakukan oleh pihaknya dan meminta 

Migàra untuk melakukan hal-hal yang penting saja.

3013

Riwayat Para Siswi Awam

Raja Kosala Memberi Hormat Atas Pernikahan Itu

Migàra si perumah tangga menghadap Raja Kosala untuk meminta 

izin pergi ke Sàketa untuk menghadiri Ritual   pernikahan putranya 

Puõõavaóóhana, seorang kepercayaan raja, dengan Visàkhà, putri 

Dhana¤jaya, perumah tangga dari Sàketa.

Raja berkata, “Baiklah, perumah tangga, apakah kami perlu 

menyertaimu?”

“Tuanku,” Migàra berkata, “Bagaimana mungkin kami mengharapkan 

kehadiran orang paling penting seperti dirimu?” Raja ingin memberi 

penghormatan kepada kedua belah pihak dengan kehadirannya, 

maka ia berkata, “Baiklah, perumah tangga, aku akan pergi 

bersamamu.” Dan raja pergi ke Sàketa bersama perumah tangga 

itu.

saat   Dhana¤jaya diberitahu mengenai kedatangan Migàra dan 

Raja Kosala, ia menyambut raja secara pribadi dan menuntunnya 

masuk ke rumahnya. Ia melakukan pengaturan yang saksama 

untuk menyambut raja dan bala tentaranya serta Migàra dan 

rombongannya. Makanan, tempat tinggal, bunga-bungaan, 

wewangian, dan semua kebutuhan yang diperlukan telah tersedia 

bagi semua orang sesuai status mereka. Ia mengawasi semuanya 

sendiri sehingga semua tamu mendapat kesan bahwa Dhana¤jaya 

si perumah tangga sangat menghargai mereka.

Beberapa hari lalu  , Raja Kosala berkata kepada Dhana¤jaya 

melalui seorang utusan, “Perumah tangga, kami datang dalam 

rombongan besar. Kami akan menyusahkan engkau jika kami 

tinggal terlalu lama. Sebaiknya, engkau memikirkan waktu yang 

tepat untuk mengantarkan pengantin ke Sàvatthã.” Dhana¤jaya 

menjawab melalui utusan, “Tuanku, sekarang musim hujan. Bala 

tentaramu akan kesulitan dalam melakukan perjalanan. Biarlah 

semua kebutuhan para prajuritmu menjadi tanggung jawabku. Aku 

mohon agar Tuanku kembali ke Sàvatthã hanya sesudah   aku siap.”

Sejak kedatangan Migàra dan rombongannya, seluruh Sàketa berada 

3014


dalam situasi gembira. Tiga bulan berlalu dalam kegembiraan. Masa 

vassa telah berakhir. Saat itu bulan Oktober. Pakaian pengantin 

masih dikerjakan oleh si pandai emas dan hampir selesai. Pelayan 

Dhana¤jaya melaporkan kepadanya bahwa walaupun semua 

benda yang diperlukan untuk melayani rombongan dari Sàvatthã 

telah tersedia, namun mereka kekurangan bahan bakar untuk 

memasak. Dhana¤jaya memerintahkan agar semua kandang kuda 

dan kandang gajah dibongkar untuk dijadikan bahan bakar. Tetapi 

kayu-kayu ini hanya dapat bertahan selama lima belas hari dan hal 

ini dilaporkan kepada Dhana¤jaya yang berkata, “Kayu bakar sulit 

diperoleh selama musim hujan. sebab   itu, bukalah gudang kain, 

buatlah tali dari kain-kain kasar, rendam dalam minyak dan gunakan 

sebagai bahan bakar.” Dengan cara yang bijaksana ini persediaan 

bahan bakar dapat bertahan lima belas hari lagi dan saat itu, pakaian 

pengantin juga telah selesai.

Si pengantin diantarkan kepada calon suaminya sehari sesudah   

pakaian pengantinnya selesai. Pada hari keberangkatannya, 

Dhana¤jaya memanggil putrinya, Visàkhà dan memberi   nasihat 

berikut:

“Putriku, seorang istri yang melayani suaminya dengan 

penuh kesetiaan harus mengetahui prinsip-prinsip ini dan 

mempraktikkannya dengan benar.”

(Pada saat itu, Migàra mendengarkan dari ruangan sebelah.)

“Putriku, seorang menantu yang tinggal bersama mertua,

1. Tidak boleh membawa keluar api dari dalam rumah;

2. Tidak boleh membawa masuk api dari luar rumah;

3. Hanya meminjamkan kepada mereka yang mengembalikan apa 

yang mereka pinjam;

4. Tidak meminjamkan kepada mereka yang tidak mengembalikan 

apa yang mereka pinjam;

3015

Riwayat Para Siswi Awam

5. Harus memberi kepada mereka tanpa memedulikan apakah 

mereka memberi   kepadamu atau tidak;

6. Duduk dengan tertib;

7. Makan dengan tertib;

8. Tidur dengan tertib;

9. Mengurus api dengan hormat;

10. Menyembah para dewa rumah.”

(Penjelasan dari sepuluh pokok ini telah dijelaskan pada bab 

terdahulu.)

Keesokan harinya Dhana¤jaya mengumpulkan semua tamunya dan 

di tengah-tengah bala tentara Kosala, ia menunjuk delapan perumah 

tangga terpelajar untuk menjadi pelindung Visàkhà di Sàvatthã, 

dengan permohonan agar mereka mengadili dan menyelesaikan 

segala perselisihan yang mungkin muncul sehubungan dengan 

putrinya. lalu   ia memakaikan pakaian pengantin yang 

berhiaskan emas dan permata, yang bernilai sembilan crore 

kepada pengantin. Ia memberi   kepadanya seratus lima puluh 

empat kereta yang penuh dengan uang sebagai biaya perawatan 

kecantikannya, lima ratus pelayan, lima ratus kereta yang ditarik 

oleh kuda-kuda berdarah murni dan berbagai benda-benda berguna 

yang masing-masing berjumlah seratus. sesudah   menyerahkan 

barang-barang itu sebagai hadiah perkawinan di depan para hadirin, 

ia pertama-tama mengantarkan Raja Kosala dan Migàra si perumah 

tangga.

Saat tiba waktunya bagi Visàkhà untuk memulai perjalanannya, 

Dhana¤jaya memanggil pengawas peternakan sapi dan memberi   

instruksi, “Teman, di rumah barunya putriku akan memerlukan 

sapi-sapi susu dan sapi-sapi jantan berdarah murni untuk menarik 

keretanya. Keluarkan sapi-sapi dari kandang sehingga memenuhi 

3016


jalan menuju Sàvatthã dalam wilayah yang lebarnya delapan 

usabha (140 jengkal) dan panjangnya tiga gàvuta (3/4 yojanà). Jalan 

sepanjang tiga gàvuta yang berbentuk parit. saat   sapi terdepan 

tiba di parit itu, bunyikan isyarat genderang yang merupakan saat 

untuk menutup kandang.” Pengawas peternakan itu melakukan 

instruksi ini  . Begitu kandang dibuka, hanya sapi yang paling 

kuat yang keluar. Tetapi saat   kandang ditutup, sapi-sapi jantan 

yang kuat melompat pagar dan mengikuti Visàkhà. Ini yaitu   akibat 

jasa masa lampau Visàkhà, (pada masa Buddha Kassapa, jika ia 

memberi   persembahan makanan kepada Saÿgha, ia biasanya 

akan membujuk para bhikkhu untuk memakan berbagai makanan 

lezat walaupun mereka telah memakan bagian mereka.)

Visàkhà Memasuki Sàvatthã

saat   kereta Visàkhà sampai di Kota Sàvatthã, ia mempertimbangkan 

apakah ia akan memasuki kota sambil duduk di dalam keretanya 

atau berdiri memperlihatkan dirinya di depan umum. saat   ia 

ingat bahwa pengantin besar yang mengenakan gaun Mahàlatà 

yang sedang ia kenakan, ia berpikir bahwa lebih bijaksana ia 

memperlihatkan dirinya dengan berdiri sehingga kemegahan 

gaun pengantinnya dapat terlihat oleh semua orang. Sewaktu ia 

melakukan hal itu, semua warga   Sàvatthã yang melihatnya 

terpesona dan saling berbicara, ‘Itu dia! Visàkhà yang terkenal! 

Betapa cantiknya! Dan lihat pakaian pengantin indah yang ia 

kenakan! Betapa cantiknya dia dengan pakaian yang indah itu!” 

Demikianlah kedatangan Visàkhà ke rumah barunya di rumah 

Migàra yaitu   suatu misi yang berhasil.

Sejak pertama ia berada di Sàvatthã, para warga   masih 

teringat tentang saat-saat mereka berada di Sàketa menjadi tamu 

kehormatan Dhana¤jaya yang memperlakukan mereka dengan 

penuh perhatian dan menyediakan perbekalan berlimpah. sebab   

itu mereka memberi   hadiah kepada Visàkhà sesuai kemampuan 

mereka. Visàkhà membagikan hadiah-hadiah yang ia terima ke 

para warga   lainnya di Sàvatthã, memastikan bahwa semua 

rumah mendapatkannya. Demikianlah para warga   Sàvatthã 

tenggalam dalam tindakan kedermawanan sejak hari pertama ia 

3017

Riwayat Para Siswi Awam

berada di Sàvatthã.

Pada malam pertama ia sampai di rumah mertuanya, saat jaga 

malam pertama berlalu, seekor keledai betina di rumah Migàra 

melahirkan anaknya. Ia menyuruh pelayannya memegang pelita 

sedangkan ia membantu kelahiran anak keledai itu. Ia memandikan 

induk keledai itu dengan air hangat dan meminyaki tubuhnya. 

sesudah   melakukan semua tindakan ini, ia kembali ke kamarnya.

Pesta Penyambutan di Rumah Migàra

Migàra mengadakan pesta penyambutan selama tujuh hari di 

rumahnya untuk merayakan pernikahan putranya. Meskipun 

Buddha sedang menetap di Vihàra Jetavana, Migàra, yang yaitu   

seorang pengikut kepercayaan lain, tidak memedulikan Buddha 

tetapi ia mengundang banyak petapa telanjang ke rumahnya. 

Ia memanggil Visàkhà untuk datang dan bersujud kepada para 

‘Arahanta’. saat   Visàkhà mendengar kata ‘Arahanta’, ia yang 

yaitu   seorang Ariya, seorang Pemenang Arus, sangat ingin bertemu 

dengan ‘Arahanta’ ini  . Ia sangat kecewa melihat para petapa 

telanjang itu. “Bagaimana mungkin orang-orang tidak tahu malu 

ini yaitu   para ‘Arahanta’?”―ia menilai dan bertanya-tanya mengapa 

ayah mertuanya memintanya memberi hormat kepada mereka. 

Dengan muak ia berbalik dan masuk ke kamarnya.

Para petapa telanjang itu marah melihat sikap Visàkhà. “Perumah 

tangga,” mereka berkata kepada Migàra, “tidak bisakah engkau 

mencari menantu yang lebih baik? Mengapa engkau menerima 

perempuan menjijikkan ini, pengikut Samaõa Gotama menjadi 

anggota keluargamu? Singkirkanlah siluman perempuan itu!” Tetapi 

Migàra tidak dapat mengusir menantunya atas saran para petapa 

telanjang itu, sebab   menantunya berasal dari keluarga berstatus 

tinggi. Maka ia hanya menghibur guru-gurunya dengan berkata, 

“Guru, anak-anak muda memang sembrono dan mengucapkan 

kata-kata tanpa mempertimbangkannya. Mohon kalian sabar 

menghadapinya.”

3018


Migàra Menjadi Marah

Sebagai seorang menantu yang baik, Visàkhà melayani ayah 

mertuanya dengan hormat. Ia menyediakan tempat duduk yang 

tinggi, dan melayaninya dengan nasi susu yang terbuat dari susu 

kental. Ia menyendokkan nasi susu ini   memakai   sendok 

emas dan mengisikannya ke dalam sebuah mangkuk lalu   

memberi  nya kepada Migàra. Pada saat itu seorang bhikkhu 

yang sedang mengumpulkan dàna makanan berdiri di depan pintu 

rumah Migàra. Visàkha melihat bhikkhu ini  , tetapi menyadari 

bahwa ayah mertuanya yaitu   seorang pengikut petapa telanjang, 

ia berpikir lebih baik tidak memberitahunya tentang kedatangan 

bhikkhu ini  , melainkan ia bergeser sehingga bhikkhu ini   

terlihat oleh Migàra. Migàra melihat bhikkhu ini   tetapi 

berpura-pura tidak melihat dan menundukkan kepalanya menatap 

makanannya.

Visàkhà tahu bahwa ayah mertuanya sengaja mengabaikan bhikkhu 

itu, maka ia mendatangi bhikkhu itu dan berkata, “Tangan kosong, 

aku memberi hormat kepadamu, Yang Mulia, ayah mertuaku hidup 

hanya dari makanan basi.”

Mendengar kaat-kata ini, Migàra murka. saat   Visàkhà mencemooh 

para petapa telanjang, ia masih dapat menahan sabar. Tetapi 

sekarang bahwa menantunya mengatakan bahwa ia memakan 

kotoran (yang diartikan dari kata-kata Visàkhà ‘makanan basi’) ia 

tidak dapat menahan sabar lagi. Ia menyingkirkan tangannya dari 

mangkuk nasi susu di depannya dan berkata dengan marah kepada 

pelayannya, “Singkirkan nasi susu ini! Usir Visàkhà dari rumah 

ini! Lihatlah, selagi aku sedang makan nasi susu yang lezat ini di 

dalam rumah mewahku, Visàkhà berkata bahwa aku sedang makan 

kotoran manusia!” Namun, seluruh pelayan di rumah itu yaitu   

pelayan Visàkhà, dan siapakah yang berani menarik tangan atau 

kaki Visàkhà dan mengusirnya? Jangankan melakukan kekerasan 

fisik, bahkan hanya dalam kata-kata pun tidak ada orang di rumah 

itu yang berani.

3019

Riwayat Para Siswi Awam

Visàkhà Menuntut Haknya

saat   Visàkhà mendengar kata-kata marah ayah mertuanya, ia 

berkata dengan tenang dan penuh hormat, “Ayah, aku tidak harus 

pergi dari rumah ini atas perintahmu yang tidak benar dan tidak 

seharusnya. Engkau tidak membawaku ke rumah ini seperti seorang 

budak pembawa air. Seorang putri terhormat yang orangtuanya 

masih hidup tidak perlu mematuhi perintah yang tidak adil ini. 

Untuk memastikan sikap yang benar dari semua pihak, pada hari 

keberangkatanku, ayahku telah menunjuk dewan yang terdiri dari 

delapan orang perumah tangaa dengan pesan, ‘Jika terjadi masalah 

sehubungan dengan putriku, kalian harus memeriksa kasusnya dan 

menyelesaikannya.’ Delapan orang itu yaitu   kepercayaan ayahku 

yang juga merupakan pelindungku. Sudikah engkau melaporkan 

kasus ini kepada mereka?”

Bagaimana Masalah Itu Dipecahkan

Migàra mempertimbangakan bahwa kata-kata Visàkhà masuk akal. 

Ia memanggil dewan yang terdiri dari delapan perumah tangga, dan 

mengajukan keluhannya dengan berkata, “Tuan-tuan, perempuan 

Visàkhà ini belum seminggu di rumah ini, dan ia telah menghinaku 

yang tinggal di rumah mewah ini sebagai seorang yang memakan 

kotoran.”

(Dewan), “Sekarang, Anakku, apakah engkau mengatakan apa yang 

dituduhkan si perumah tangga?”

(Visàkhà), “Bapak-bapak, ayah mertuaku mungkin saja suka 

makan kotoran. Tetapi aku tidak pernah menyebutnya pemakan 

kotoran. Faktanya yaitu   sewaktu ia sedang memakan nasi susu, 

seorang bhikkhu berdiri di depan pintu untuk mengumpulkan 

dàna makanan. Ayah mertuaku mengabaikan bhikkhu itu. Maka 

aku mendatangi bhikkhu itu dan berkata, “Tangan kosong, aku 

memberi hormat kepadamu, Yang Mulia, ayah mertuaku hidup 

hanya dari makanan basi.” Yang kumaksudkan yaitu   bahwa ayah 

mertuaku tidak melakukan kebajikan dalam kehidupan ini tetapi 

hanya menikmati Buah dari jasa masa lampaunya.”

3020


(Dewan), “Perumah tangga, dalam kasus ini putri kami tidak 

bersalah. Ia mengucapkan kata-kata yang sangat beralasan. Mengapa 

engkau marah?”

(Migàra), “Baiklah, tuan-tuan. Tetapi gadis muda ini sejak malam 

pertama datang ke rumah ini telah mengabaikan suaminya dan 

tidak berada di rumah.”

(Dewan), “Putriku, apakah engkau tidak berada di rumah seperti 

yang dituduhkan?”

(Visàkhà), “Bapak-bapak, aku tidak pergi ke tempat lain tetapi 

faktanya yaitu   bahwa aku membantu seekor keledai betina 

melahirkan anak di kandangnya malam itu. Aku menganggap 

bahwa yaitu   tugasku melakukan hal itu. aku menyuruh pelayanku 

memegang pelita dan aku mengawasi agar keledai itu melahirkan 

anaknya dengan baik.”

(Dewan), “Perumah tangga, putri kami sangat bertanggung jawab 

dan melakukan apa yang bahkan tidak dapat dilakukan oleh 

pelayanmu. Ia melakukannya demi kebaikan. Mengapa engkau 

menganggapnya sebagai penghinaan?”

(Migàra), “Baiklah tuan-tuan. Aku ingin mengajukan keluhan 

tentang nasihat ayahnya Dhana¤jaya kepadanya pada hari 

keberangkatannya. (1) Ia dinasihati agar ‘tidak membawa keluar api 

dari dalam rumah.’ Bagaimana mungkin kami tidak memberi   

api jika tetangga membutuhkan?”

(Dewan), “Putriku, apakah ayahmu mengatakan seperti yang 

dituduhkan oleh perumah tangga?”

(Visàkhà), “Bapak-bapak, ‘api’ yang dimaksudkan oleh ayahku 

bukanlah ‘api’ dalam arti sesungguhnya. Apa yang ia maksudkan 

yaitu   bahwa urusan mertuaku dan keluargaku jangan diberitahukan 

kepada para pelayan yang merupakan orang luar. Jika aku 

melakukan hal itu, aku hanya akan menyebabkan masalah yang 

3021

Riwayat Para Siswi Awam

tidak perlu di dalam rumah. Ayahku memakai   kalimat ‘api 

dari dalam rumah’ untuk menyatakan maksud ini.”

(Migàra), “Baiklah, tuan-tuan. Tetapi lalu   ayahnya berkata, 

(2) ‘bahwa ia tidak boleh membawa api dari luar rumah masuk ke 

dalam rumah.’ Bagaimana mungkin kami tidak boleh membawa api 

dari rumah lain (dari luar rumah) jika semua api di dalam rumah 

kami padam?”

(Dewan), “Putriku, benarkah itu?”

(Visàkhà), “Bapak-bapak, ‘api’ yang dimaksudkan oleh ayahku 

bukanlah ‘api’ dalam arti sesungguhnya. Apa yang ia maksudkan 

yaitu   bahwa apa yang dikatakan oleh para pelayan yang mengkritik 

keluarga tidak perlu dilaporkan kepada anggota keluarga. Jika aku 

melakukan hal itu aku hanya akan menyebabkan masalah yang tidak 

perlu di dalam rumah. Ayahku memakai   kalimat ‘api dari luar 

rumah’ untuk menyatakan maksud ini. saat   ayahku berkata, 

“(3) Engkau hanya boleh meminjamkan kepada mereka yang 

mengembalikan apa yang mereka pinjam. Hal ini untuk mencegah 

agar mereka yang tidak mengembalikan apa yang mereka pinjam, 

dapat mengambil barang yang lebih bagus lagi darimu.”

“(4) Engkau tidak boleh meminjamkan kepada mereka yang tidak 

mengembalikan apa yang mereka pinjam. Hal ini untuk mencegah 

agar mereka yang tidak mengembalikan apa yang mereka pinjam, 

memanfaatkan kebaikanmu.”

“(5) Engkau harus memberi kepada mereka tanpa memedulikan 

apakah mereka memberi   kepadamu atau tidak. Ini artinya 

bahwa engkau harus dermawan terhadap orang-orang miskin, 

sanak saudara, dan teman-teman yang datang kepadamu. Engkau 

harus memberi mereka tanpa memedulikan apakah mereka mampu 

memberimu atau tidak.”

“(6) Engkau harus duduk dengan tertib. Artinya ‘Aku harus 

menunjukkan hormat kepada ayah-mertua dan ibu-mertuaku. 

3022


saat   mereka datang aku harus berdiri.’”

“(7) Engkau harus makan dengan tertib. Artinya ‘Aku tidak boleh 

makan sebelum mertua dan suamiku selesai. Hanya sesudah   mereka 

selesai makan, baru aku boleh makan.’” 

“(8) Engkau harus tidur dengan tertib. Artinya ‘Aku tidak boleh 

pergi tidur sebelum mertua dan suamiku pergi tidur. Hanya sesudah   

aku melayani keperluan mereka dan mereka telah pergi tidur, baru 

aku boleh pergi tidur.’”

“(9) Mengurus api dengan hormat. Artinya ‘Aku harus menganggap 

mertua dan suamiku sebagai api atau nàga yang harus selalu 

dihormati. Mereka harus dilayani dengan penuh hormat.’”

(Migàra), “Baiklah, tuan-tuan. Tetapi bagaimana dengan nasihat 

ayahnya tentang ‘menyembah para dewa rumah?’”

(Dewan), “Putriku, apakah itu yang ingin diketahui oleh ayah 

mertuamu?”

(Visàkhà), “Bapak-bapak, benar bahwa ayahku menasihati, ‘(10) 

menyembah para dewa rumah.’ Dengan kata-kata ini ayahku 

menasihati aku agar sesudah   aku menjadi seorang istri, aku harus 

memberi   persembahan makanan kepada para bhikkhu yang 

berdiri di depan pintu rumah untuk mengumpulkan dàna makanan. 

Hanya sesudah   mempersembahkan makanan kepada mereka, baru 

aku boleh makan.”

(Dewan), “Perumah tangga, engkau sepertinya senang mengabaikan 

para bhikkhu yang datang untuk menerima dàna makanan.” Migàra 

tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun untuk menjawab 

sindiran itu, dan hanya dapat menundukkan kepala.

Kemenangan Visàkhà

lalu   delapan perumah tangga bijaksana itu berkata kepada 

Migàra si perumah tangga, “Perumah tangga, masih adakah 

3023

Riwayat Para Siswi Awam

kesalahan putri kami?” dan Migàra mengakui bahwa sudah tidak 

ada lagi.

Mereka berkata, “Perumah tangga, sebab   ia tidak bersalah, 

mengapa engkau mengusirnya dari rumahmu?”

Visàkhà berdiri dan berkata, “Bapak-bapak, aku tidak menganggap 

bahwa yaitu   bijaksana untuk mematuhi perintah ayah 

mertuaku yang gegabah dalam mengusirku. sebab   ayahku telah 

mempercayakan diriku dalam perlindungan kalian dan untuk 

menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan diriku. Dan 

sekarang bahwa aku telah dinyatakan tidak bersalah, aku akan 

pergi dengan gembira.”

Visàkhà masuk ke kamarnya dan memerintahkan para pelayannya 

untuk menyiapkan kereta dan perlengkapan lainnya untuk 

melakukan perjalanan. Selanjutnya Migàra memanggil delapan 

orang dewan itu dan meminta maaf pada Visàkhà atas kesalahannya, 

“Putriku, aku telah bersikap sembrono. Maafkan aku.” Visàkhà, 

melihat peluangnya, berkata kepada ayah mertuanya, “Ayah, aku 

memaafkanmu untuk apa yang dapat dimaafkan. Hanya saja aku 

harus mengajukan persyaratan. Aku yaitu   seorang siswa Buddha 

yang tidak tergoyahkan, tidak dapat jauh dari Saÿgha. Jika aku 

diperbolehkan dengan bebas memberi   persembahan kepada 

Saÿgha, aku akan tinggal di sini, kalau tidak, aku pergi.”

Migàra sesaat   menjawab, “Putriku, engkau bebas melakukan hal 

itu.”

Migàra Si Perumah Tangga Mencapai Pengetahuan Pemenang 

Arus

Keesokan harinya, Visàkhà mengundang Buddha untuk menerima 

persembahan makanan. Buddha datang ke rumahnya bersama 

banyak bhikkhu. Para petapa telanjang, mengetahui kedatangan 

Buddha, pergi ke rumah Migàra, mereka tertarik dan duduk 

berkeliling mengawasi.

3024


Visàkhà memberi   persembahan dan menuangkan air. sesudah   

itu ia menyuruh pelayannya untuk memberitahu ayah mertuanya 

bahwa segalanya telah siap untuk mempersembahkan makanan 

kepada Buddha dan Saÿgha, Visàkhà juga mengundangnya 

untuk secara pribadi melayani Buddha. Migàra yang berada di 

bawah kuasa guru-gurunya, para petapa telanjang, berkata kepada 

Visàkhà, “Engkau layanilah Buddha.” Visàkhà melakukan hal itu, 

memberi   berbagai makanan dan minuman lezat kepada Buddha. 

sesudah   itu ia memberitahu ayah mertuanya bahwa Buddha telah 

selesai makan, dan ia mengundang Migàra untuk datang dan 

mendengarkan khotbah yang akan dibabarkan oleh Buddha.

Jasa masa lampau Migàra mulai mengingatkannya, sebab   ia 

berpikir, “Menolak undangan ini yaitu   suatu hal yang sangat tidak 

benar.” Muncul keinginan dalam dirinya untuk mendengarkan 

khotbah Buddha, dan mendatangi tempat di mana Buddha sedang 

duduk. Tetapi guru-gurunya, para petapa telanjang, menasihatinya 

agar ia memasang tirai jika ia ingin mendengarkan khotbah Buddha. 

sebab   itu para pelayannya memasang tirai di sekeliling tempat 

duduknya.

Buddha membabarkan khotbah-Nya dengan mengerahkan kesaktian 

agar semua pendengar dapat mendengarkan-Nya dengan baik, 

meskipun tersembunyi dan berada di tempat yang jauh dari-Nya, 

apakah dipisahkan oleh dinding atau berjarak sejauh alam semesta 

ini. Bagaikan sebatang pohon mangga yang buahnya telah matang 

keemasan diguncang batangnya, Buddha memulai khotbahnya dari 

dàna, moralitas, kehidupan di alam surga, dan memuncak pada 

Magga-Phala.

(Catatan: saat   Buddha membabarkan khotbah, semua pendengar, 

apakah di depan atau di belakang Buddha, apakah ribuan 

alam semesta jauhnya, atau bahkan di alam brahmà tertinggi 

Akaniññha, merasa bahwa Buddha sedang berbicara dengannya 

sendiri, berhadapan. Bagaikan bulan, yang berada di langit dalam 

lintasannya, tetapi terlihat seperti selalu berada di atas kepala kita. 

Kekuatan Buddha yang tidak ada bandingnya ini yaitu   akibat dari 

pemenuhan Kesempurnaan, khususnya, pengorbanan tertinggi 

3025

Riwayat Para Siswi Awam

dalam memberi   kepala atau bagian-bagian tubuhnya, mata atau 

jantungnya, atau kebebasannya dengan melayani orang lain sebagai 

seorang budak, atau memberi   anak-anaknya sendiri seperti 

dalam kehidupan-Nya sebagai Vessantara saat   ia menyerahkan 

putra dan putri-Nya kepada seorang brahmana tua, atau istri-Nya 

sendiri Maddã Devã.) (Komentar Dhammapada, Vol. 1, hal 256)

(Pada akhir khotbah ini  , Migàra mencapai Buah Pengetahuan 

Pemenang Arus. Ia membuka tirai, bersujud di kaki Buddha dalam 

lima titik menyentuh lantai, dan memuji Visàkha di hadapan 

Buddha, dengan kata-kata, “Putriku, mulai hari ini, engkau yaitu   

ibuku!” sejak saat itu, Visàkhà dikenal sebagai ‘ibu Migàra.’ (Ini 

yaitu   apa yang disebutkan dalam Komentar Dhammapada, yang 

tertulis: Migàra keluar dari tirai, mendatangi menantunya, dan 

meletakkan mulutnya di dada Visàkhà, dan berseru, “Mulai hari 

ini, engkau yaitu   ibuku!” sejak saat itu, Visàkhà dikenal sebagai 

‘ibu Migàra’. Kelak saat   putranya lahir, ia disebut ‘Putra Migàra, 

si perumah tangga’.)

Sehubungan dengan hal ini, Komentar Aïguttara Nikàya hanya 

memberi   kisah singkat Visàkhà, dan untuk kepentingan 

pembaca, peristiwa yang berhubungan dengan Visàkha akan 

dilanjutkan dengan berdasarkan pada Komentar Dhammapada.)

Istri Migàra Juga Mencapai Tingkat Pemenang Arus

sesudah   mengakui menantunya sebagai ibunya, Migàra mendatangi 

Buddha dan bersujud di kaki Buddha, merangkul-Nya dengan 

penuh hormat dan mengecup-Nya, ia berkata, “Yang Mulia, 

sebelumnya aku tidak mengetahui harus memberi dàna kepada 

siapa yang akan memberi   manfaat besar bagiku. Sekarang aku 

telah mengetahuinya, berkat menantuku. Sekarang aku telah selamat 

dari alam sengsara, apàya. Kedatangan menantuku Visàkhà telah 

membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagiku.” Lebih jauh lagi, 

ia mengucapkan syair gembira berikut:

“(Yang Mulia,) Hari ini aku telah memahami kepada siapa harus 

memberi   persembahan yang menghasilkan manfaat besar. 

3026


Menantuku, pemilik sifat mulia, sungguh telah (berkat jasa masa 

lampauku) datang ke rumahku demi kebaikanku.”

Keesokan harinya Visàkhà mengundang Buddha lagi untuk 

memberi   persembahan makanan. lalu   pada hari 

berikutnya ibu mertuanya juga menjadi seorang Pemenang Arus. 

Sejak hari itu rumah Migàra terbuka untuk mempersembahkan 

segala kebutuhan yang berhubungan dengan Dhamma.

(Terjemahan syair Myanmar)

“Kedatangan orang mulia di sebuah rumah, membuka pintu menuju 

Jalan Berfaktor Delapan bagi semua penghuninya untuk memasuki 

Nibbàna.”

Visàkhà Dihormati Oleh Ayah Mertuanya

 

lalu   Migàra berpikir, “Menantuku Visàkhà yaitu   

penyelamatku. Aku harus membalas budi kepadanya. Gaun 

pengantin Mahàlatà tidak praktis untuk dipakai sehari-hari. Aku 

akan memberi   pakaian mewah yang pantas untuk dikenakannya 

pada siang atau malam hari dalam segala postur tubuh.” Dengan 

pikiran demikian, ia membuatkan pakaian yang nyaman dipakai 

yang bernilai seratus ribu keping perak, yang disebut ghanamaññhaka 

untuk Visàkhà. saat   pakaian itu telah selesai, ia mengundang 

Buddha dan Saÿgha untuk menerima persembahan makanan. Ia 

memandikan menantunya dalam enam belas kendi air harum, dan 

mengenakan pakaian istimewa itu di hadapan Buddha, lalu   

Visàkhà bersujud kepada Buddha. Buddha mengucapkan kata-kata 

penghargaan atas persembahan itu lalu   kembali ke vihàra.

Sejak saat itu kehidupan Visàkhà dipenuhi dengan perbuatan 

baik seperti memberi dàna yang ia lakukan dengan gembira, dan 

ia lakukan sebanyak yang ia inginkan. Ia diakui sebagai umat 

penyokong perempuan yang penting sesudah   ia mendapatkan 

delapan hak istimewa sebagai anugerah dari Buddha*. Riwayatnya 

bagaikan bulan di langit. Reputasinya sebagai kepala keluarga besar 

juga layak diketahui, sebab   ia memiliki sepuluh putra dan sepuluh 

3027

Riwayat Para Siswi Awam

putri yang (seperti dirinya) masing-masing memiliki sepuluh putra 

dan sepuluh putri. Dengan demikian ia memiliki empat ratus cucu. 

Empat ratus cucu itu juga masing-masing memiliki sepuluh putra 

dan sepuluh putri. Sehingga seluruhnya ia memiliki delapan ribu 

cicit.

(*Catatan: Delapan hal sebagai anugerah: (i) hak mempersembahkan 

jubah seumur hidup kepada Saügha untuk digunakan selama 

masa vassa, (ii) hak mempersembahkan makanan kepada bhikkhu 

tamu, (iii) hak mempersembahkan makanan kepada bhikkhu yang 

melakukan perjalanan, (iv) hak mempersembahkan makanan 

kepada bhikkhu yang sedang sakit, (v) hak mempersembahkan 

makanan kepada bhikkhu yang sedang merawat bhikkhu sakit, (vi) 

hak mempersembahkan obat-obatan kepada bhikkhu yang sakit, 

(vii) hak mempersembahkan bubur (untuk makan pagi) seumur 

hidup, (viii) hak mempersembahkan jubah dalam kepada para 

bhikkhunã. (Lengkapnya baca Vinaya Mahà Vagga))

Para Thera zaman dulu menggubah syair untuk melukiskan fakta 

ini sebagai berikut:

“sebab   memiliki dua puluh anak, empat ratus cucu dan delapan 

ribu cicit, Visàkhà dikenal di seluruh Benua Selatan.”

Beberapa Kualitas Istimewa Visàkhà

Visàkhà hidup hingga usia 120 tahun. Tidak memiliki rambut putih, 

ia selalu terlihat seperti gadis berusia enam belas tahun. Jika ia pergi 

ke vihàra Buddha bersama anak-anak, cucu dan cicitnya, ia tidak 

dapat dibedakan dari mereka.

saat   orang-orang melihat Visàkhà berjalan, mereka tidak pernah 

puas melihatnya. saat   ia berdiri, ia terlihat agung, saat   ia duduk, 

… saat   ia berbaring, orang-orang berpikir bahwa ia sangat agung 

dalam postur demikian.

Ia memiliki kekuatan fisik yang setara dengan lima ekor gajah jantan 

besar. Pada suatu saat  , Raja Kosala ingin menguji kekuatannya 

3028


yang terkenal, ia melepaskan seekor gajah jantan besar ke arahnya. 

Binatang itu berlari ke arahnya mengancam dengan belalai terangkat. 

Lima ratus gadis pelayan Visàkhà berlari ketakutan. (Beberapa dari 

lima ratus pelayan itu merangkulnya, untuk menyelamatkannya: 

versi Sri Laïkà.) “Ada apa?” ia bertanya. Mereka menjawab, 

“Nyonya, raja ingin menguji kekuatanmu dan melepaskan seekor 

gajah besar untuk menyerangmu!”

Visàkhà berpikir, “Untuk apa melarikan diri dari binatang ini? Dan 

jika aku menghadapinya, ia pasti kalah.” Dengan pikiran demikian, 

ia dengan lembut memegang belalai gajah itu dengan dua jari 

tangannya dan menghentikannya, dan membuatnya terguling. 

Orang-orang yang menonton bersorak. Visàkhà dengan santai 

berjalan pulang.

Pembangunan Vihàra Pubbàràma dan Kondisi yang 

Melatarinya

Visàkhà, ibu Migàra di Sàvatthã, istri perumah tangga kaya dikenal 

sebagai seorang nyonya mulia bukan hanya sebab   kecantikannya 

yang lestari, tetapi juga sebab   kekayaan dan kesehatan anak dan 

cucunya, sebab   tidak ada di antara mereka yang meninggal dunia 

sebelum akhir umur kehidupan mereka. Para warga   Sàvatthã 

akan mengundang Visàkhà sebagai tamu agung setiap saat mereka 

melakukan Ritual   persembahan. Suatu hari, sesudah   Visàkhà 

menghadiri suatu Ritual   persembahan dan berjalan dari sana 

menuju vihàra Buddha, ia berpikir bahwa tidaklah pantas jika ia 

menghadap Buddha dengan mengenakan pakaian mewah Mahàlatà, 

sebab   akan terkesan kurang rendah hati. sebab   itu di gerbang 

masuk vihàra ia menitipkannya kepada pelayannya yang lahir ke 

dunia ini berkat jasa masa lampau Visàkhà, sebab   ia juga, seperti 

halnya Visàkha, memiliki kekuatan fisik yang setara dengan lima 

ekor gajah jantan dewasa.

(Visàkhà menitipkan gaun mewahnya kepada pelayannya untuk 

dijaga hingga ia kembali dari Buddha sesudah   mendengarkan 

khotbah.)

3029

Riwayat Para Siswi Awam

Menitipkan Mahàlatà kepada pelayannya dan mengenakan gaun 

ghanamaññhaka, Visàkhà menghadap Buddha, mendengarkan 

khotbah dan meninggalkan vihàra. Si pelayan meletakkan gaun 

Mahàlatà itu di tempat ia mendengarkan khotbah Buddha dan lupa 

mengambilnya kembali saat ia meninggalkan vihàra. Sudah menjadi 

tugas rutin Yang Mulia ânanda, mengumpulkan barang-barang 

yang tertinggal dan terlupakan oleh para tamu vihàra. Pada hari ia 

menemukan gaun Mahàlatà milik Visàkhà, ia melaporkannya kepada 

Buddha yang memintanya untuk menyimpannya di tempat yang 

aman. Yang Mulia ânanda memungutnya dan menggantungnya 

di tangga.

Visàkhà lalu   berkeliling ke berbagai tempat di dalam Vihàra 

Jetavana bersama Suppiya, seorang siswa awam perempuan yang 

terkenal, untuk memeriksa kebutuhan para bhikkhu tamu, bhikkhu 

sakit, dan bhikkhu yang hendak melakukan perjalanan. Sudah 

menjadi kebiasaan bagi para bhikkhu junior dan sàmaõera yang 

memerlukan mentega atau madu atau minyak, datang membawa 

wadah untuk diisi oleh dua nyonya yang sedang berkunjung itu.

sesudah   mengunjungi para bhikkhu yang sakit, para bhikkhu junior, 

dan sàmaõera, lalu melayani kebutuhan mereka, ia meninggalkan 

Vihàra Jetavana melalui gerbang yang lain dan sebelum meninggalkan 

vihàra ia menyuruh pelayannya untuk membawakan gaun Mahàlatà 

untuk dikenakan. Baru lalu   si pelayan ingat dan berkata, 

“Nyonya, aku lupa mengambilnya.”

“Kalau begitu, pergi dan ambillah,” Visàkhà berkata kepadanya. 

“Tetapi,” ia menambahkan, “Kalau Yang Mulia ânanda telah 

memindahkannya ke tempat lain, katakan kepadanya bahwa gaun 

itu dianggap telah dipersembahkan kepadanya.” Ia berkata begitu 

sebab   ia mengetahui bahwa Yang Mulia ânanda selalu menjaga 

semua barang-barang yang tertinggal dan terlupakan oleh para 

tamu di Vihàra Jetavana.

saat   Yang Mulia ânanda melihat pelayan Visàkhà, ia bertanya 

mengapa ia kembali. Dan saat   diberitahu tentang gaun Mahàlatà, 

Yang Mulia ânanda berkata kepadanya, “Aku menggantungnya di 

3030


tangga. Pergi dan ambillah.” lalu   pelayan itu berkata, “Yang 

Mulia, nyonyaku memberi instruksi kepadaku bahwa jika gaun ini 

telah dipegang oleh Yang Mulia, ia tidak akan mengambilnya kembali 

sebab   ia menganggapnya telah dipersembahkan kepadamu.” 

Pelayan itu kembali mendatangi Visàkhà dan memberitahukan 

apa yang terjadi.

lalu   Visàkhà berkata kepadanya, “Pelayanku, aku 

menganggapnya telah dipersembahkan kepada Yang Mulia ânanda. 

Aku tidak ingin mengenakannya lagi sesudah   Yang Mulia ânanda 

memegangnya. Tetapi, gaun itu pasti menyusahkannya. Aku akan 

mempersembahkan sesuatu yang layak digunakan oleh Saÿgha. 

Pergi dan ambillah.” Dan pelayan itu melakukan sesuai perintah. 

Visàkhà memanggil pandai emas dan meminta mereka menaksir 

harga dari gaun Mahàlatà itu. Pandai emas itu berkata, “Gaun ini 

bernilai sembilan crore untuk bahannya dan ditambah seratus ribu 

sebagai ongkos pembuatannya. Visàkhà meletakkan gaun Mahàlatà 

itu di atas punggung seekor gajah dan dipamerkan untuk dijual.

Tetapi tidak seorang pun yang mampu membelinya. Terlebih lagi, 

tidak ada seorang pun yang mampu menahan beban berat dari gaun 

permata ini  . Sesungguhnya, hanya ada tiga perempuan yang 

mampu mengenakan gaun jenis ini. Mereka yaitu  :

(1) Visàkhà,

(2) Mallikà (warga   Provinsi Malla), istri Bandulla, sang 

jenderal,

(3) Putri Raja Bàràõasã.

sebab   tidak ada seorang pun yang mampu membeli gaun mewah 

itu. Visàkhà membelinya sendiri sesuai harga taksiran (sembilan 

crore dan seratus ribu). Ia meletakkan uang itu di atas kereta dan 

membawanya ke Vihàra Jetavana. sesudah   bersujud kepada Buddha, 

ia berkata kepada Buddha, “Yang Mulia, Bhikkhu ânanda, untuk 

menyimpan gaun Mahàlatà milikku, telah memegangnya. Sejak 

saat itu, tidaklah layak bagiku untuk mengenakannya lagi. Oleh 

sebab   itu, aku telah menjualnya demi kesejahteraan Saÿgha agar 

dapat dipergunakan selayaknya oleh Saÿgha. sebab   tidak seorang 

pun yang mampu membelinya, sekarang aku membawakan nilai 

3031

Riwayat Para Siswi Awam

penjualannya sebesar sembilan crore dan seratus ribu. Dengan cara 

bagaimanakah dari empat kebutuhan, uang ini akan digunakan?” 

Buddha berkata, “Sebaiknya engkau membangun sebuah vihàra 

untuk Saÿgha di dekat gerbang timur Kota Sàvatthã.” Visàkhà 

gembira mendengar hal itu. Ia membeli lahan dengan harga sembilan 

crore. Biaya pembangunan itu juga menghabiskan sembilan crore 

lagi. Pembangunan segera dimulai.

Pembangunan Vihàra Dalam Sembilan Bulan di Bawah 

Pengawasan Thera Moggallàna

Suatu pagi, sesudah   bangun tidur, Buddha memeriksa dunia makhluk-

makhluk hidup untuk melihat mereka yang layak dicerahkan, Beliau 

melihat Bhaddiya, putra seorang perumah tangga dari Bhaddiya 

yang kelahiran sebelumnya yaitu   di alam dewa. Maka, sesudah   

Beliau selesai makan di rumah Anàthapiõóika si perumah tangga, 

Beliau pergi ke arah gerbang timur Sàvatthã.

(Jika menerima persembahan makanan di rumah Visàkhà, Buddha 

biasanya pergi melalui gerbang selatan menuju Vihàra Jetavana 

sebagai tempat tinggal Beliau; jika Beliau menerima persembahan 

makanan dari Anàthapiõóika, Beliau pergi melalui gerbang timur 

kota menuju Vihàra Pubbàràma sebagai tempat tinggal-Nya. 

saat   ia meninggalkan kota melalui gerbang timur, orang-orang 

memahami bahwa Buddha akan pergi dalam suatu perjalanan.)

saat   Visàkhà mendengar berita bahwa Buddha pergi melalui 

gerbang timur, ia pergi menghadap Buddha dan berkata, “Yang 

Mulia, apakah Engkau hendak melakukan perjalanan?” Buddha 

menjawab, “Ya, Visàkhà, benar.” Visàkhà berkata, “Yang Mulia, 

aku telah mengeluarkan banyak uang (sembilan crore) untuk 

membangun sebuah vihàra untuk Engkau gunakan. Dapatkah 

Engkau menunggu hingga bangunan ini selesai?” “Visàkhà, 

perjalanan-Ku ini tidak dapat ditunda.” lalu  , Visàkhà 

mengerti bahwa Buddha telah melihat calon siswa yang jasa masa 

lampaunya telah matang, dan berpeluang untuk mencapai Magga-

Phala, dan berkata, “Yang Mulia, kalau begitu, dapatkan Engkau 

meninggalkan beberapa bhikkhu untuk mengawasi pembangunan 

3032


ini?” Buddha berkata, “Visàkhà, ambillah mangkuk milik bhikkhu 

yang engkau pilih.”

Visàkhà menyukai Yang Mulia ânanda; tetapi, ia berpikir bahwa 

Yang Mulia Mahà Moggallàna, dengan kesaktiannya, akan sangat 

membantu dalam menyelesaikan pembangunan vihàra ini  . 

sebab   itu ia mengambil mangkuk Yang Mulia Moggallàna, Yang 

Mulia Moggallàna menatap Buddha. Buddha berkata kepada Yang 

Mulia Mahà Moggallàna, “Moggallàna, engkau dan lima ratus 

bhikkhu pengikutmu akan tinggal.” Dan demikianlah Yang Mulia 

Mahà Moggallàna menjadi bhikkhu yang mengawasi pembangunan 

vihàra Visàkhà.

Dengan kesaktian Yang Mulia Mahà Moggallàna, jarak sejauh lima 

puluh atau enam puluh yojanà ditempuh setiap hari oleh orang-

orang yang membawa bahan-bahan bangunan. Dalam membawanya 

juga mereka melakukannya tanpa kesulitan. Tidak ada rintangan 

seperti roda kereta yang rusak pernah terjadi. Segera sebuah 

vihàra yang terdiri dari dua lantai dan bermenara tujuh tingkat 

selesai dibangun di atas tanah datar seluas delapan karisa. Vihàra 

bermenara tujuh tingkat itu memiliki lima ratus kamar di lantai 

dasar dan lima ratus kamar di lantai dua. Di sekeliling bangunan 

utama, ia menambahkan lima ratus ruang meditasi, lima ratus kuñã 

bertingkat yang lebih kecil, dan lima ratus tangga.

Ritual   Persembahan Vihàra yang Berlangsung Selama Empat 

Bulan

Buddha kembali dari perjalanan-Nya sesudah   sembilan bulan. Pada 

saat itu pembangunan Vihàra Pubbàràma telah selesai, berkat 

pengawasan Yang Mulia Mahà Moggallàna. Visàkhà membawa 

sebuah lempengan emas besar yang besarnya dapat menampung 

enam puluh kendi air untuk dijadikan kubah vihàra. saat   ia 

mendengar bahwa Buddha telah kembali ke Vihàra Jetavana, 

ia mengundang Beliau untuk menetap di vihàra baru itu, yang 

dikenal dengan nama Vihàra Pubbàràma (timur), bersama dengan 

Saÿgha, sebab   ia ingin mengadakan Ritual   persembahan vihàra. 

Ia berkata, “Yang Mulia, aku memohon agar Bhagavà menetap di 

3033

Riwayat Para Siswi Awam

vihàra ini selama empat bulan musim hujan.” Buddha menyanggupi 

permohonannya, ia memberi   persembahan makanan kepada 

Buddha dan Saÿgha. lalu  , seorang teman perempuan 

Visàkhà mendatanginya dan memohon, “Teman Visàkhà, aku 

ingin menyumbangkan sehelai karpet lantai senilai seratus ribu 

keping uang untuk vihàramu. Mohon tunjukkan di mana aku harus 

meletakkannya.” Visàkhà berkata kepadanya, “Baiklah teman, 

engkau carilah dan tentukanlah sendiri tempatnya, sebab   jika aku 

mengatakan, ‘tidak ada tempat untuk karpet lantaimu’, engkau akan 

salah paham terhadapku.” Temannya itu berkeliling ke seluruh 

vihàra besar itu, memeriksa semua tempat di dua lantai, tetapi tidak 

menemukan tempat yang belum tertutup oleh karpet lantai dengan 

kualitas yang setara dengan yang ia bawa atau bahkan lebih baik 

lagi. Ia sangat kecewa dan menangis di sudut.

Yang Mulia ânanda melihatnya menangis dan menanyakan 

alasannya. Ia memberitahukan kisahnya. Yang Mulia ânanda 

berkata kepadanya, “Jangan khawatir. Aku akan menunjukkan 

tempat di mana engkau dapat menghamparkan karpet lantaimu 

itu.” lalu   Yang Mulia ânanda menunjukkan tempat yang 

belum tertutup di ujung tangga yang merupakan tempat Saÿgha 

mencuci kaki. Ia diberitahu bahwa semua bhikkhu pasti menginjak 

lantai itu sebelum masuk ke vihàra, sesudah   mencuci kaki mereka, 

dan bahwa ini akan merupakan jasa bagi si penyumbang. (Itu yaitu   

satu-satunya tempat yang luput dari perhatian Visàkhà.)

Persembahan Empat Kebutuhan Bhikkhu Kepada Saÿgha

Selama empat bulan musim hujan Visàkhà mempersembahkan 

empat kebutuhan bhikkhu kepada Buddha dan Saÿgha. Pada malam 

purnama bulan Tazaungmon (November) ia mempersembahkan 

bahan jubah berkualitas baik. Kualitas terendah yang diterima 

oleh seorang bhikkhu baru bernilai seribu. Semua bhikkhu juga 

menerima makanan empat campuran, catu madhu, yang diisi ke 

mangkuk mereka masing-masing hingga penuh. Persembahan 

selama empat bulan itu yang menandai persembahan Vihàra 

Pubbàràma menelan biaya sebesar sembilan crore.

3034


Demikianlah, lahan bernilai sembilan crore, bangunan bernilai 

sembilan crore, dan Ritual   persembahan juga bernilai sembilan 

crore, sehingga seluruhnya bernilai dua puluh tujuh crore yang 

dihabiskan dalam mempersembahkan Vihàra Pubbàràma, 

pengeluaran sejumlah uang yang jarang dilakukan oleh perempuan, 

dan terlebih lagi sebab   ia tinggal di rumah penganut kepercayaan 

lain.

Kegembiraan Visàkhà Atas Kebajikannya

Pada malam hari di akhir empat bulan Ritual   itu, Visàkhà di 

tengah-tengah para banyak dermawan lainnya sangat berbahagia 

dengan pikiran bahwa cita-cita seumur hidupnya telah tercapai. 

Dalam kegembiraan itu ia melantunkan lima syair berikut dalam 

alunan nada yang sangat indah sambil berkeliling vihàra besar 

itu.

(1) “Ah! Cita-citaku dengan pikiran, ‘Kapankah aku dapat (sesudah   

bercita-cita dan mengumpulkan jasa selama seratus ribu siklus 

dunia) membangun sebuah vihàra yang terbuat dari konstruksi 

semen beton yang menyenangkan bagi para pengunjung, (bhikkhu 

dan umat awam)?’ kini telah tercapai!”

(2) “Ah! Cita-citaku dengan pikiran, ‘Kapankah aku dapat 

menyumbangkan sebuah vihàra kepada Saÿgha lengkap dengan 

dipan, tempat duduk yang dapat dibaringkan, alas duduk, bantal, 

dan sebagainya,’—pikiran yang memenuhi batinku, dengan 

menetapkan Nibbàna sebagai tujuanku, sejak masa Buddha 

Padumuttara?’ kini telah tercapai!” 

(3) “Ah! Cita-citaku dengan pikiran, ‘Kapankah aku dapat 

memberi   persembahan makanan kepada Saÿgha, (jasa yang 

menghasilkan umur panjang, kecantikan, kebahagiaan, kekuatan, 

dan kecerdasan), yang terdiri dari tujuh jenis persembahan makanan 

seperti mempersembahkan melalui pembagian kupon, dan lain-lain, 

nasi yang dimasak dengan daging, dan lain-lain,’—pikiran yang 

memenuhi batinku, dengan menetapkan Nibbàna sebagai tujuanku, 

sejak masa Buddha Padumuttara?’ kini telah tercapai!”

3035

Riwayat Para Siswi Awam

(4) “Ah! Cita-citaku dengan pikiran, ‘Kapankah aku dapat 

memberi   persembahan jubah kepada Saÿgha, jubah yang 

terbuat dari kain Kàsã yang mahal, kain dari serat katun, dan lain-

lain,―pikiran yang memenuhi batinku, dengan menetapkan Nibbàna 

sebagai tujuanku, sejak masa Buddha Padumuttara?’ kini telah 

tercapai!”

(5) “Ah! Cita-citaku dengan pikiran, ‘Kapankah aku dapat 

memberi   persembahan obat-obatan kepada Saÿgha, yaitu, 

makanan empat campuran yang terdiri dari mentega, madu, 

minyak wijen dan gula merah,’―pikiran yang memenuhi batinku, 

dengan menetapkan Nibbàna sebagai tujuanku, sejak masa Buddha 

Padumuttara?’ kini telah tercapai!”

(Dikutip dari Komentar Dhammapada)

(c) Menjadi siswi awam terbaik

Pagi harinya, rumah Visàkhà menyala dengan warna jingga jubah 

para bhikkhu yang datang dan pergi dengan bebas, dan atmosfer 

juga bergetar sebab   gerakan para bhikkhu yang jubah-jubahnya 

berisi udara yang beraroma bahan celup. Seperti halnya di rumah 

Anàthapiõóika, di rumah Visàkhà juga tersedia makanan-makanan 

untuk dipersembahkan kepada berbagai kelompok bhikkhu, yaitu, 

bhikkhu yang melakukan perjalanan, bhikkhu yang sakit, bhikkhu 

tamu, dan lain-lain.

Pada pagi hari Visàkhà mempersembahkan makanan kepada 

berbagai kelompok bhikkhu ini  . Sore harinya, ia akan pergi 

ke vihàra Buddha bersama pelayan-pelayannya yang membawa 

obat-obatan seperti, mentega, dadih susu, madu, dan gula merah, 

dan juga delapan jenis minuman yang terbuat dari buah jambu, 

mangga, manggis, Uraria lagopoides, minuman madhuka, dua jenis 

pisang, dan sari madu teratai, lalu   mempersembahkannya 

kepada mereka sesuai kebutuhan para bhikkhu. lalu   ia akan 

mendengarkan khotbah Buddha sebelum pulang ke rumahnya. 

(Demikianlah keseharian Visàkhà, dipenuhi dengan perbuatan-

3036


perbuatan baik.)

Oleh sebab   itu, pada suatu kesempatan saat Buddha menyatakan 

siswi awam terbaik sesuai jasanya, Beliau menyatakan, 

“Para bhikkhu, di antara para siswi awam yang gembira dalam 

memberi, Visàkhà yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Visàkhà, penyumbang Vihàra Pubbàràma.

(3-4) Khujjuttarà dan Sàmàvatã

(a) Cita-cita masa lampau 

Bakal Khujjuttarà dan bakal Sàmàvatã keduanya terlahir dalam 

keluarga kaya di Kota Haÿsàvati pada masa kehidupan Buddha 

Padumuttara. Sewaktu mereka mendengarkan khotbah Buddha, 

bakal Khujjuttarà melihat seorang siswi awam yang dinyatakan oleh 

Buddha sebagai yang terbaik di antara para siswi awam dalam hal 

belajar. Ia berkeinginan untuk menjadi seperti siswi terbaik ini   

dan, sesudah   memberi   persembahan besar, ia mengungkapkan 

cita-citanya. Buddha meramalkan pencapaiannya.

Bakal Sàmàvatã melihat seorang siswi awam yang dinyatakan oleh 

Buddha sebagai yang terbaik dalam hal berdiam dalam Jhàna 

cinta kasih universal. Ia berkeinginan untuk menjadi seperti 

siswi terbaik ini   dalam masa Buddha pada masa depan, 

dan sesudah   memberi   persembahan besar kepada Buddha, ia 

mengungkapkan cita-citanya. Buddha meramalkan bahwa cita-

citanya akan tercapai.

Kedua perempuan itu melakukan kebajikan seumur hidup mereka. 

Pada akhir umur kehidupan mereka, mereka terlahir kembali di 

alam dewa. Mereka mengembara di alam dewa dan alam manusia 

selama seratus ribu siklus dunia. 

lalu  , pada masa Buddha Gotama, di Kota Kosambã, Ghosaka 

si perumah tangga dan istrinya secara rutin setiap hari memberi   

3037

Riwayat Para Siswi Awam

dàna senilai seribu keping uang. 

(b) Khujjutatà dan Sàmàvatã dalam kehidupan terakhir 

Pada waktu pasangan Ghosaka itu melakukan rutinitas 

kedermawanan mereka, bakal Khujjuttarà meninggal dunia dari 

alam dewa dan dikandung dalam rahim seorang pelayan di rumah 

Ghosaka si perumah tangga. Ia bongkok sejak lahir dan sebab   itu 

ia diberi nama Khujjuttarà.

Sàmàvati, Putri Si Perumah Tangga

Kira-kira pada waktu yang bersamaan, bakal Sàmàvatã meninggal 

dunia dari alam dewa dan terlahir kembali sebagai putri Bhaddavatiya 

si perumah tangga di Bhaddiya di Provinsi Bhaddiya. Ia diberi nama 

Sàmà oleh orangtuanya. Pada suatu saat  , Kota Bhaddiya dilanda 

bencana kelaparan dan para warga  nya pindah ke tempat lain 

untuk bertahan hidup.

Bhaddiya si perumah tangga berkata kepada istrinya, “Istriku, 

kita tidak tahu kapan bencana kelaparan ini berakhir. Kita juga 

harus pindah. Teman kita Ghosaka si perumah tangga dari 

Kosambã akan mengenali kita jika ia melihat kita. Marilah kita 

pergi kepadanya.” Ia memberi tahu istrinya tentang rencana untuk 

pergi ke rumah Ghosaka tetapi kedua perumah tangga itu hanya 

saling mengenal nama masing-masing dan tidak pernah bertemu. 

Mereka memutuskan untuk pergi, meninggalkan para pelayannya. 

Tiga anggota keluarga (ayah, ibu, dan putri mereka) pergi menuju 

Kosambã, melakukan perjalanan secara bertahap. sesudah   melalui 

berbagai kesulitan dalam perjalanan itu, akhirnya mereka tiba di 

Kosambã dan bermalam di rumah peristirahatan umum di luar 

kota.

Penderitaan Sàmàvatã

Ghosaka si perumah tangga sedang memberi   dàna harian 

kepada semua orang yang membutuhkan yang datang ke rumahnya. 

Orang-orang miskin, para pengembara, dan pengemis memenuhi 

3038


rumahnya setiap hari. Bhaddavatiya si perumah tangga dan 

keluarganya terlihat kurus sesudah   melakukan perjalanan yang 

sulit ini  . Mereka memutuskan untuk tidak mengunjungi 

Ghosaka dalam kondisi mereka yang tidak sepantasnya. Mereka 

harus beristirahat dan memulihkan diri terlebih dahulu. Maka 

mereka tetap berdiam di rumah peristirahatan itu sedangkan Putri 

Sàmà diutus untuk pergi meminta makanan di pos-pos dàna milik 

Ghosaka.

Samàvatã sebagai seorang putri perumah tangga segan berdesak-

desakan dengan kerumunan penerima dàna yang kasar itu. Sewaktu 

ia berdiri ragu-ragu agak jauh, sikapnya yang anggun terlihat oleh 

orang yang bertanggung jawab membagikan dàna ini  . Ia 

berpikir, “Orang-orang lain berteriak dan berdesakan untuk berada 

di depan seperti di tempat pembagian ikan, tetapi gadis muda ini 

justru menjauhkan diri. Ia pasti berasal dari keluarga terhormat. Dan 

ia memiliki kepribadian yang halus.” Ia berkata kepada Sàmà, “Gadis 

kecil, mengapa engkau tidak maju dan meminta?” Sàmà menjawab, 

“Bapak, bagaimana mungkin seorang gadis halus sepertiku saling 

menyikut dalam kerumunan yang penuh sesak itu?”

“Berapa orang keluargamu (kelompok)?” “Ada tiga, Bapak.”

Orang itu memberi   tiga bungkusan kepadanya.

Sàmà memberi   makanan itu kepada orangtuanya. Ayahnya 

yang belum makan selama beberapa waktu, memakannya dengan 

rakus dan meninggal dunia sebab   kekenyangan pada hari itu juga. 

Keesokan harinya Sàmàvatã pergi ke tempat pembagian makanan 

dan meminta dua bungkus makanan. Ibunya yang tidak terbiasa 

dengan makanan yang tidak baik seperti itu dan yang juga masih 

merasa kehilangan atas kematian suaminya, menjadi sakit pada 

malam hari itu dan meninggal dunia saat lewat tengah malam. 

lalu  , keesokan harinya, Sàmàvatã pergi dan meminta hanya 

satu bungkus makanan.

Si penanggung jawab dàna itu bertanya kepadanya, “Gadis kecil, 

pada hari pertama engkau meminta makanan untuk tiga orang, 

3039

Riwayat Para Siswi Awam

pada hari kedua engkau hanya meminta dua, dan sekarang pada 

hari ketiga engkau hanya meminta satu. Ada apa?” Sàmàvatã 

menceritakan kematian ayahnya pada hari pertama, dan kematian 

ibunya pada hari kedua, dan sekarang hanya ia satu-satunya yang 

bertahan hidup.

“Dari mana engkau berasal?” orang itu bertanya. Sàmàvatã 

menceritakan kepadanya bagaimana ia sekeluarga melarikan diri 

dari bencana kelaparan di Bhaddiya dan seterusnya. “Kalau begitu,” 

orang itu berkata, “Engkau dapat dianggap sebagai Putri Ghosaka 

si perumah tangga. Aku tidak memiliki putri. Maka mulai sekarang 

engkau yaitu   putriku.”

Sàmàvatã, si anak angkat penanggung jawab pembagian dàna 

ini   bertanya kepada ayahnya, “Ayah, mengapa terjadi hiruk-

pikuk seperti ini?”

“Jika ada kerumunan besar, maka juga ada keriuhan besar,” jawab 

ayahnya.

“Tetapi, Ayah, aku punya akal!” “Katakanlah!” kata ayahnya.

“Ayah, pasang kawat duri di sekeliling tempat ini, sediakan hanya 

satu pintu masuk. Orang-orang akan masuk untuk menerima 

dàna, dan keluar lagi melalui pintu yang lain, satu-satunya pintu 

keluar.”

Sang ayah menuruti nasihatnya, dan berkat nasihatnya, tempat itu 

menjadi tenang dan tertib seperti kolam teratai.

Sàmàvatã Diadopsi Oleh Ghosaka Si Perumah Tangga

Ghosaka memerhatikan kesunyian yang terjadi di tempat pembagian 

dàna itu yang biasanya ramai dengan suara hiruk-pikuk dan 

bertanya kepada pengawasnya:

“Apakah engkau tidak membagikan dàna hari ini?”

3040


“Ya, ada, Tuan”

“Tetapi, mengapa begitu sunyi di tempat yang biasanya ramai?”

“Ah! Benar, Tuan. Aku memiliki seorang putri yang bijak. Aku 

berhasil menertibkan tempat itu atas nasihat putriku.’

“Tetapi aku tidak pernah tahu engkau memiliki putri. Dari mana 

engkau mendapatkannya?”

Pengawas itu mengakui dengan jujur. Ia menceritakan kepada 

majikannya bagaimana Sàmàvatã menjadi putri angkatnya. 

Selanjutnya Ghosaka berkata kepadanya, “O pengawas, mengapa 

engkau melakukan hal itu? Engkau telah melakukan hal yang tidak 

benar. Engkau merahasiakan tentang gadis yang seharusnya menjadi 

putriku. Bawa dia ke rumahku segera.” Si pengawas terpaksa 

mematuhi perintah majikannya. Sejak saat itu Sàmàvatã menjadi 

putri angkat Ghosaka yang menyayanginya bagaikan anak kandung 

sendiri dan mencarikan lima ratus teman untuknya yang sebaya 

dengannya dan berasal dari keluarga terhormat.

Sàmàvatã Menjadi Ratu dari Raja Udena

Suatu hari Raja Udena dari Kosambã yang sedang berkeliling kota 

melihat Sàmàvatã bersama lima ratus temannya sedang bermain-

main (di taman) dan jatuh cinta kepadanya. Saat menanyakan 

siapa orangtuanya, ia diberitahu bahwa ia yaitu   putri Ghosaka 

si perumah tangga. Raja bertanya apakah ia sudah menikah atau 

belum, dan mengetahui bahwa ia belum menikah, ia mengutus 

para utusan kerajaan ke rumah Ghosaka untuk melamar Sàmàvatã 

untuk menikah dengan Raja Udena. Ghosaka berpikir, “Sàmàvatã 

yaitu   putri kami satu-satunya. Kami tidak dapat mempertaruhkan 

hidupnya di istana raja yang penuh dengan perempuan-perempuan 

licik.” Maka ia menolak permohonan raja. Raja marah dan 

memerintahkan agar Ghosaka si perumah tangga dan istrinya diusir 

dari rumahnya dan rumahnya disegel.

saat   Sàmàvatã dan teman-temannya kembali dari main-main 

3041

Riwayat Para Siswi Awam

dan melihat orangtuanya duduk sedih di luar rumah, ia bertanya 

kepada mereka apa yang telah terjadi. Mendengar cerita itu, ia 

berkata kepada orangtuanya, “Orangtuaku, mengapa kalian tidak 

mengatakan kepada utusan raja bahwa putrimu akan pergi dan 

menetap di istana dengan syarat bahwa seluruh lima ratus temannya 

diizinkan menetap di sana bersamanya. Sekarang, Orangtuaku, 

sampaikanlah jawaban kalian kepada raja seperti anjuranku.” 

Orangtuanya berkata, “Baiklah, Putriku, sekarang kami tahu 

bagaimana engkau akan menerimanya (lamaran raja).”

Raja Udena gembira mendengar jawaban dari Ghosaka. Ia berkata, 

“Biarlah semua temannya menetap bersama Sàmàvatã, bahkan 

meskipun mereka berjumlah seribu orang!” Selanjutnya, pada suatu 

hari baik, pada jam yang baik saat posisi planet-planet juga baik, 

Sàmàvatã bersama lima ratus temannya, diantarkan ke istana Raja 

Udena. Raja mengangkat seluruh lima ratus temannya itu menjadi 

para pelayan istrinya, Sàmàvatã, saat   ia mengangkat Sàmàvatã 

menjadi ratu dalam suatu Ritual  , dan menempatkannya di istana 

emas miliknya.

Pada waktu itu, Ghosaka dan dua temannya, Kukkuña dan Pàvàrika 

dari Kosambã, mendengar berita kemunculan Buddha, dan bahwa 

Beliau saat itu sedang berada di Sàvatthã. Mereka pergi ke sana, dan 

sesudah   mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Buddha, 

mereka mencapai Pengetahuan Pemenang Arus. lalu   mereka 

kembali ke Kosambã sesudah   memberi   persembahan besar kepada 

Buddha dan Saÿgha selama lima belas hari. Mereka mendapatkan 

janji dari Buddha, bahwa Beliau akan datang ke Kosambã saat 

mereka mengundang-Nya. Mereka masing-masing membangun 

sebuah vihàra, sesudah   pembangunan selesai, mereka mengirim 

pesan pemberitahuan kepada Buddha dan mengundang Beliau 

untuk datang ke Kosambã. Buddha memulai perjalanan-Nya menuju 

Kosambã, tetapi melihat matangnya jasa masa lampau sepasang 

brahmana bernama Màgaõóiya, ia melakukan perjalanan memutar 

melewati Kammàsadamma, sebuah kota di Provinsi Kuru, dan 

membantu Màgaõóiya menembus Kebenaran Ariya dan lalu   

melanjutkan perjalanan menuju Kosambã.

3042


Dengan melakukan perjalanan secara bertahap, Beliau tiba di Kosambã 

dan menerima persembahan tiga vihàra yang dipersembahkan oleh 

tiga perumah tangga (Ariya). saat   Beliau memasuki kota untuk 

mengumpulkan dàna makanan, Beliau dan para bhikkhu dicaci oleh 

sekelompok pemabuk suruhan Ratu Màgaõóã yang mendendam 

kepada Buddha. Yang Mulia ânanda menyarankan kepada Buddha 

agar Buddha meninggalkan kota yang tidak ramah itu. Tetapi 

Buddha membabarkan khotbah kepada Yang Mulia ânanda tentang 

pentingnya menjinakkan diri sendiri, yang tercatat dalam Attadaõóa 

Vatthu dalam Dhammapada (syair 320, 321, 322). Buddha menetap 

selama beberapa waktu di Kosambã di tiga vihàra itu.

(Penjelasan lengkap mengenai peristiwa ini, baca bab terdahulu.)

Khujjuttarà Mencapai Pengetahuan Pemenang Arus

Tiga perumah tangga dari Kosambã bergantian melayani Buddha 

dan Saÿgha, memberi   persembahan besar selama satu bulan. 

lalu   mereka memberi   kesempatan memberi hormat 

kepada Buddha dan Saÿgha kepada orang-orang lain di Kosambã 

yang juga mempersiapkan persembahan besar sendiri-sendiri atau 

berkelompok.

Suatu hari Buddha yang disertai oleh banyak bhikkhu berada di 

rumah seorang penjual bunga, untuk menerima persembahan. 

Pada saat itu, Khujjuttarà, pelayan pribadi Ratu Sàmàvatã, datang 

untuk membeli bunga yang merupakan tugas rutinnya. Penjual 

bunga itu berkata kepadanya, “Ah, Uttarà, aku tidak ada waktu 

untuk melayanimu pagi ini. Aku sibuk melayani Buddha dan 

Saÿgha, maukah engkau turut membantu kami dalam memberi   

persembahan? Perbuatan baikmu ini akan membebaskan engkau 

dari perbudakan.” Khujjuttarà menerima potongan makanan 

yang diberika