Biksu Budha 17

 



nya mengkhawatirkan reputasi buruk.”

“Reputasi buruk apa?”

“Jika sebab   terlalu banyak makan nasi ini yang mengandung nutrisi 

istimewa, Tuanku menjadi malas dan mengantuk keesokan hari, 

orang-orang akan menuduhku meracuni engkau dengan makanan 

ini.”

“Kalau begitu, bersihkan meja ini. Berikan aku air minum.”

3086


sesudah   raja selesai makan semua pengikutnya diberi makan dengan 

nasi yang sama.

Satulakàyã Melayani Raja

lalu   sesudah   berbincang-bincang, raja bertanya kepada tuan 

rumah.

“Apakah engkau tidak memiliki istri di rumah ini?”

“Ya, Tuanku, istriku ada.”

“Di manakah ia sekarang?”

“Ia sedang duduk di kamar. Ia tidak keluar sebab   tidak mengetahui 

bahwa Tuanku telah tiba.” 

Jotika berpikir bahwa sebaiknya istrinya datang dan bertemu 

dengan raja, maka ia mendatangi istrinya dan berkata, “Raja sedang 

mengunjungi kita. Apakah engkau tidak menemuinya?”

Satulakàyã yang sedang berbaring di kamar mereka, menjawab, 

“Suamiku, orang seperti apakah raja itu?”

“Raja yaitu   orang yang memerintah kita.” Satulakàyã tidak senang 

mendengar hal itu dan tidak menyembunyikan perasaannya. Ia 

berkata, “Kita melakukan kebajikan pada masa lampau dengan cara 

yang salah. Itulah sebabnya mengapa kita diperintah oleh orang 

lain. Kehendak kita pada masa lampau dalam melakukan kebajikan 

tidak murni sehingga meskipun kita kaya tetapi kita terlahir sebagai 

rakyat seseorang. Persembahan yang kita lakukan pasti dilakukan 

tanpa keyakinan akan hukum sebab-akibat. Kondisi kita sekarang ini 

yang menjadi rakyat dari para penguasa yaitu   akibat dari praktik 

kedermawanan kita dengan keyakinan tidak murni. Tetapi sekarang, 

apa yang diharapkan dariku?”

Jotika berkata, “Ambillah kipas daun kelapa dan kipasilah raja.”

3087

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

Satulakàyã mematuhi suaminya. Saat ia duduk mengipasi raja, 

wewangian yang berasal dari penutup kepala raja menyakiti 

matanya menyebabkan air matanya mengalir. Melihat air matanya, 

raja berkata, “Bendaharawan, perempuan kurang memiliki 

kebijaksanaan. Ia menangis mungkin sebab   ia berpikir bahwa raja 

akan mengambil alih harta kekayaanmu. Katakan kepada istrimu 

bahwa aku tidak tertarik pada harta kekayaanmu, agar pikirannya 

tenang.”

Jotika memberi   Hadiah Batu Delima Besar Kepada Raja

Jotika berkata kepada raja, “Tuanku, istriku tidak menangis.” 

“Tetapi, mengapa air matanya mengalir?”

“Tuanku, wewangian yang berasal dari penutup kepala Tuanku 

menyakiti matanya, dan sebab   itu air matanya keluar. Ia memiliki 

tubuh yang sangat lemah. Ia tidak pernah memakai   api seumur 

hidupnya. Ia mendapatkan panas dan cahaya dari batu kristal dan 

permata. Sedangkan Tuanku, engkau tentu terbiasa dengan cahaya 

pelita.”

“Itu benar, Bendaharawan.”

“Kalau begitu, Tuanku, mulai sekarang, sudilah Tuanku hidup 

dengan cahaya batu delima.” Dan ia menghadiahkan kepada raja 

sebuah permata yang sangat berharga yang berukuran sebesar 

sebuah mentimun. Raja Bimbisàra mengamati istana Jotika dari 

dekat dan mengucapkan komentar tulus, “Sungguh besar kekayaan 

Jotika,” lalu   ia meninggalkan tempat itu.

Kejahatan Raja Ajàtasattu Membangkitkan Semangat Religius 

Jotika dan Kearahattaan

Kelak, Pangeran Ajàtasattu, di bawah pengaruh jahat Devadatta 

memenjara ayah kandungnya Raja Bimbisàra, membuatnya tidak 

bisa berjalan di dalam selnya, dengan cara menyayat telapak 

kakinya dan membakar lukanya dengan arang yang menyala, 

3088


dan membiarkannya kelaparan hingga akhirnya Raja Bimbisàra 

meninggal dunia. Demikianlah ia merampas tahta. Tidak lama 

sesudah   ia naik tahta, ia membawa pasukannya untuk mengambil 

alih istana Jotika secara paksa. Tetapi saat para pasukannya tiba di 

depan tembok permata, bayangan para pasukan itu yang terpantul 

dari tembok terlihat seolah-olah para pasukan Jotika yang hendak 

menyerangnya, dan ia tidak berani mendekati tembok itu.

Jotika sedang menjalani uposatha pada hari itu. sesudah   selesai 

makan pagi, ia pergi ke vihàra untuk mendengarkan khotbah yang 

disampaikan oleh Buddha. Demikianlah, selagi Ajàtasattu sedang 

terbakar oleh keserakahan, Jotika menikmati kedamaian bersama 

Buddha.

“Bagaikan si dungu, si jahat yang dibutakan oleh keserakahan, akan 

memakan, membakar, dan menyiksa dirinya sendiri. Sang bijaksana, 

yang menghargai Dhamma, akan menemukan kebahagiaan batin 

dan jasmani.”

saat   bala tentara Raja Ajàtasattu mendekati tembok pertama istana 

Jotika, Yamakoëã, dewa penjaga gerbang menyuarakan peringatan 

menakutkan, “Sekarang, mau lari ke mana engkau?” dan mengusir 

para pasukan raja yang melarikan diri pontang-panting ke segala 

arah. Ajàtasattu melarikan diri ke arah vihàra Buddha dengan cara 

yang tidak sopan.

saat   Jotika melihat raja, ia bangkit dan bertanya, “Tuanku, apa 

yang terjadi?” Raja berkata dengan marah, “Engkau memerintahkan 

pasukanmu untuk menyerangku sedangkan engkau berada di sini 

berpura-pura mendengarkan khotbah Buddha.”

“Tuanku, apakah engkau datang ke rumahku untuk mengambil 

alihnya dengan paksa?” tanya Jotika.

“Ya,” jawab raja dengan marah.

Jotika dengan santai berkata kepadanya, “Tuanku, (jangankan hanya 

engkau sendiri) bahkan seribu raja tidak mungkin dapat mengambil 

3089

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

alih istanaku tanpa seizinku.”

“Apakah engkau hendak menjadi raja?” ia merasa sangat terhina 

dengan kata-kata Jotika.

Tetapi Jotika menjawab dengan santai, “Tidak, tidak, Tuanku. Tidak 

seorang pun yang dapat mengambil hartaku, bahkan tidak sehelai 

benang pun, tanpa seizinku. Dan itu termasuk raja-raja.”

“Aku yaitu   raja. Aku dapat mengambil apa pun yang engkau miliki 

dengan atau tanpa izinmu.”

“Kalau begitu, Tuanku. Ini ada dua puluh cincin di jari-jari tanganku. 

Aku tidak memberi  nya kepadamu. Sekarang, cobalah ambil.”

Ajàtasattu yaitu   seorang yang bertenaga kuat. Sambil duduk 

ia dapat melompat hingga setinggi delapan belas lengan, dan 

sambil berdiri, hingga setinggi delapan puluh lengan. Ia mencoba 

untuk melepas cincin-cincin dari jari-jari tangan Jotika tetapi tidak 

mampu mendapatkan satu pun. Martabatnya sebagai seorang raja 

menjadi rusak. Jotika berkata kepadanya, “Tuanku, jika engkau sudi 

menghamparkan jubahmu, aku akan menunjukkan kepadamu.” 

Dan ia meluruskan jari-jemari tangannya ke arah jubah raja yang 

dihamparkan di depannya, dan seluruh dua puluh cincin itu jatuh 

di atas jubah itu. Ia berkata, “Tuanku, engkau lihat sendiri bahwa 

Tuanku tidak dapat mengambil alih hartaku tanpa seizinku.” Ia 

sangat terinspirasi dengan pertemuannya dengan raja itu. Suatu 

semangat religius muncul dalam dirinya dan ia berkata kepada 

raja, “Sudilah Tuanku mengizinkan aku untuk menjadi seorang 

bhikkhu.”

Raja berpikir bahwa jika ia meninggalkan kehidupan rumah tangga 

dan menjadi seorang bhikkhu, istana megahnya akan dengan mudah 

ia rebut, sebab   itu ia segera mengabulkan permohonannya. Jotika 

ditahbiskan menjadi bhikkhu di kaki Buddha. Tidak lama lalu  , 

sesudah   berlatih dengan tekun, ia menjadi seorang Arahanta dan 

dikenal dengan Thera Jotika. Begitu ia mencapai Kearahattaan, 

seluruh istana dan harta kekayaannya sesaat   lenyap. Istrinya 

3090


Satulakàyã dikirim kembali oleh para dewa ke tempat asalnya, di 

Benua Utara.

Suatu hari, beberapa bhikkhu bertanya kepada Yang Mulia Jotika, 

“Teman, apakah engkau memiliki kemelekatan terhadap istana 

megahmu dan Satulakàyã?” Yang Mulia Jotika menjawab, “Tidak, 

Teman, aku tidak memiliki kemelekatan terhadap apa pun.” 

Para bhikkhu menghadap Buddha dan berkata, “Yang Mulia, 

Bhikkhu Jotika berbohong dengan mengaku telah mencapai 

Kearahattaan.”

lalu   Buddha berkata, “Para bhikkhu, benar bahwa tidak 

ada kemelekatan terhadap istana megah dan istrinya dalam 

batin Bhikkhu Jotika, seorang Arahanta.” Lebih jauh lagi Buddha 

mengucapkan syair berikut:

“Ia yang di dunia ini telah melepaskan keserakahan (yang muncul 

di enam pintu-indria) dan telah meninggalkan kehidupan rumah 

tangga untuk menjadi seorang bhikkhu, ia yang telah memadamkan 

keterikatan terhadap kelahiran kembali, dan telah mengakhiri 

segala bentuk kehidupan, ia Kusebut bràhmana. (Ia yang telah 

membebaskan diri dari segala kejahatan.)”

Pada akhir khotbah ini   banyak orang yang mencapai 

Pengetahuan Jalan dalam berbagai tingkat.

Demikianlah kisah Jotika.

(2) Meõóaka

Cita-cita Masa Lampau

Bakal Meõóaka yaitu   seorang keponakan dari Aparàjita si 

perumah tangga yang hidup pada masa Buddha Vipassã, sembilan 

puluh satu siklus dunia sebelumnya. Ia juga bernama Aparàjita. 

Pamannya, Aparàjita membangun sebuah vihàra dari bata sebagai 

kuñã Buddha. lalu  , Aparàjita muda, mendatangi pamannya, 

Aparàjita dan memohon agar ia diizinkan untuk turut membangun 

3091

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

vihàra ini  . Sang paman menolaknya, sebab   ia tidak ingin 

berbagi jasa dengan siapa pun. Aparàjita muda berpikir untuk 

membangun serambi di depan bangunan utama yang dibangun 

oleh pamannya. Ia mendirikan serambi dari kayu. Tiang bangunan 

itu masing-masing dihias dengan emas, perak, batu delima, dan 

tujuh jenis permata. Demikian pula, balok-balok dan kasau, teralis 

jendela, daun pintu dan genteng juga dihias dengan emas, perak 

dan batu-batu mulia. Ia merencanakan serambi itu untuk digunakan 

oleh Buddha.

Di puncak serambi itu, terpasang lembaran emas membentuk 

kubah. Di tengah-tengah serambi itu yaitu   aula pertemuan dengan 

sebuah singgasana untuk Buddha yang lantai dan kakinya terbuat 

dari emas. (1) bagian bawah kaki singgasana ini   berbentuk 

kambing emas. (2) sandaran kaki berbentuk sepasang kambing 

emas. (3) dan juga terdapat enam kambing emas di sekeliling aula 

pertemuan itu. (4) alas duduk bagi penceramah dijahit dengan 

benang katun di bagian bawah, benang emas di bagian tengah dan 

dihiasi butir-butiran mutiara. (5) sandaran punggung si penceramah 

terbuat dari kayu cendana.

saat   pembangunan serambi itu selesai dengan memuaskan, 

Ritual   persembahan diadakan yang berlangsung selama empat 

bulan. Buddha dan 6,8 juta bhikkhu diberi persembahan makanan. 

Pada hari terakhir, tiga perangkat jubah dipersembahkan kepada 

Saÿgha. Bahkan bhikkhu yang paling junior menerima jubah yang 

bernilai seratus ribu keping uang. (Versi Sinhala menyebutkan seribu 

keping uang.)

Kehidupan Lampau Sebagai Orang Kaya dari Bàràõasã

sesudah   melakukan banyak kebajikan selama masa Buddha Vipassã, 

bakal Meõóaka terlahir kembali dalam siklus dunia sekarang ini 

sebagai putra Orang Kaya di Bàràõasã. Ia mewarisi status ayahnya 

sebagai orang kaya yang kekayaannya tidak bisa habis. Suatu hari 

sewaktu ia menghadap raja, ia mendiskusikan pembacaan astronomi 

kepada penasihat aja. Ia bertanya kepada Purohita.

3092


“Bagaimana Guru, apakah engkau telah memelajari planet-planet 

(baru-baru ini)?”

“Tentu saja. Apa lagi hal yang lain yang kupelajari selain planet-

planet?”

“Kalau begitu, apakah yang diisyaratkan oleh planet-planet tentang 

negeri ini?”

“Beberapa bencana akan terjadi.”

“Bencana apa?”

“Akan terjadi kelaparan.”

“Kapan akan terjadi?”

“Tiga tahun lagi.”

Orang Kaya yang kekayaannya tidak bisa habis itu lalu   

memperluas pertaniannya. Ia menanamkan seluruh kekayaannya 

pada beras-beras yang ia simpan dalam 1.250 lumbung. Kelebihan 

beras itu lalu   disimpan dalam kendi besar, dan lalu   

lagi kelebihan itu dikuburkan di dalam tanah. Bagian terakhir dari 

kelebihan itu lalu   dicampur dengan lumpur dan digunakan 

untuk melapisi dinding rumahnya. (Cara yang sangat bijaksana 

untuk mengantisipasi bencana kelaparan.)

saat   bencana kelaparan melanda (sesuai ramalam Purohita), 

keluarga orang kaya itu hidup selama beberapa waktu dari timbunan 

beras simpanan. saat   lumbung-lumbung dan kendi-kendi besar 

telah kosong, orang kaya itu terpaksa membebaskan para pelayan 

mereka untuk pergi ke hutan atau ke balik gunung untuk mencari 

makanan hingga situasi kembali normal dan saat itu mereka boleh 

memilih apakah akan kembali atau tidak. Mereka menangis dan 

sesudah   tujuh hari bergantung pada majikan mereka, akhirnya 

mereka harus pergi.

3093

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

Hanya ada satu pelayan yang bernama Puõõa yang secara pribadi 

melayani anggota keluarga orang kaya itu. Keluarga itu terdiri 

dari si orang kaya, istrinya, putra dan menantunya. Lima orang 

itu selanjutnya bertahan hidup dari beras yang terkubur di tanah. 

saat   simpanan itu habis, mereka membongkar dinding rumah, 

mendapatkan sedikit padi lagi untuk bertahan hidup. Bencana 

kelaparan semakin hebat. Akhirnya, tempat penyimpanan terakhir 

diambil dari bawah dinding yang berlapis lumpur yang menyimpan 

banyak padi. Mereka mendapatkan seperempat takaran besar dari 

sana. Khawatir para perampok akan menjarah makanan apa pun 

yang tersedia di rumah mereka, keluarga itu dengan bijaksana 

menyimpan beras itu di dalam tanah, di dalam sebuah kendi 

kecil.

Suatu hari orang kaya itu yang baru pulang dari istana raja berkata 

kepada istrinya, “Istriku, aku lapar. Apakah ada makanan?” 

istrinya tidak berkata “Tidak,” melainkan menjawab, “Suamiku, 

kita memiliki seperempat takaran beras.”

“Di mana?”

“Aku menyembunyikannya di dalam tanah sebab   takut dicuri.”

“Kalau begitu, masaklah sedikit nasi.”

“Suamiku, jika aku memasak nasi, hanya akan cukup untuk satu 

kali makan. Jika aku akan memasak bubur, beras itu cukup untuk 

dua kali makan. Apa yang harus kulakukan?”

“Istriku, itu yaitu   sumber makanan terakhir kita. Mari kita makan 

sekenyangnya dan menghadapi kematian. Masaklah nasi.”

Istri orang kaya itu patuh dan memasakkan nasi, dan membuat lima 

porsi nasi, meletakkannya di depan suaminya. Pada saat itu, seorang 

Pacceka Buddha yang baru bangun dari pencapaian Penghentian 

di Gunung Gandhamàdana, memeriksa dunia ini dengan mata-

batinnya dan melihat bahwa Benua Selatan sedang dilanda bencana 

kelaparan yang berkepanjangan.

3094


(Seorang Arahanta, atau Pacceka Buddha, tidak merasa lapar selama 

(tujuh hari) dalam pencapaian Penghentian. Saat bangun dari 

pencapaian itu, rasa lapar akan muncul dalam perutnya. Jadi, saat 

si Pacceka Buddha memeriksa dunia, yaitu   suatu hal yang wajar, 

jika ia juga mencari sumber dàna makanan. Seorang penyumbang 

kepada Pacceka Buddha pada hari itu biasanya akan mendapat 

balasan sesuai jasanya. Jika ia ingin menjabat sebagai jenderal, ia 

akan mencapainya.)

Pacceka Buddha itu tahu bahwa orang kaya di Bàràõasã memiliki 

seperempat takaran beras yang telah dimasak untuk memberi   

makanan kepada lima orang. Ia juga mengetahui bahwa lima 

orang anggota keluarga itu memiliki keyakinan di dalam hukum 

Kamma yang mendorong mereka untuk mempersembahkan nasi 

itu kepadanya. Ia membawa mangkuk dan jubahnya dan berdiri di 

depan pintu si orang kaya.

Orang kaya itu sangat gembira melihat Pacceka Buddha yang 

datang ke depan pintu rumahnya untuk menerima dàna makanan. 

Ia berpikir, “Pada masa lampau aku telah gagal memberi   

persembahan kepada para penerima dàna, akibatnya aku harus 

mengalami bencana ini. Jika aku memakan seporsi nasiku ini, 

aku akan hidup selama satu hari. Jika aku mempersembahkannya 

kepada Yang Mulia, hal itu akan memberi   kesejahteraan 

kepadaku selama jutaan siklus dunia.” Dengan pikiran demikian, 

ia mengambil piring nasinya dan mendatangi Pacceka Buddha, dan 

sesudah   bersujud dengan lima titik sentuhan, ia mengundangnya 

untuk masuk ke rumah. sesudah   mempersilakan duduk, ia mencuci 

kaki si Pacceka Buddha, dan mengeringkannya. lalu  , sesudah   

memberi   tempat duduk yang tinggi berkaki emas, ia mengisi 

mangkuk Pacceka Buddha dengan nasi.

Pacceka Buddha menutup mengkuknya saat   piring si penyumbang 

masih menyisakan setengah dari isinya semula. Tetapi penyumbang 

itu berkata, “Yang Mulia, nasi ini hanya seperlima dari seperempat 

takaran beras dan hanya cukup untuk satu orang untuk satu kali 

makan. Tidak dapat dibagi untuk dua orang. Jangan memikirkan 

3095

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

kesejahteraanku dalam kehidupan ini, tetapi pikirkanlah 

kesejahteraanku dalam kehidupanku berikutnya. Aku ingin 

mempersembahkan seluruhnya kepada Yang Mulia.” lalu   

ia bercita-cita, “Yang Mulia, dalam pengembaraanku di dalam 

saÿsàra semoga aku tidak pernah mengalami bencana kelaparan 

seperti ini. Mulai saat ini, semoga aku menjadi sumber makanan 

bagi seluruh warga   Benua Selatan. Semoga aku tidak perlu 

mengerahkan tenaga untuk mendapatkan makanan. Semoga 1.250 

lumbung tempat penyimpanan padi milikku penuh dengan beras 

merah berkualitas baik yang turun dari langit saat aku menatap ke 

langit sewaktu duduk sesudah   mencuci rambutku.

Dalam seluruh kehidupanku pada masa depan, semoga istriku 

sekarang selalu menjadi istriku, putraku yang sekarang selalu 

menjadi putraku, menantuku yang sekarang selalu menjadi 

menantuku, dan pelayanku yang sekarang selalu menjadi 

pelayanku.”

Keyakinan Anggota Keluarga Lainnya

Istri orang kaya itu berpikir, “Aku tidak dapat makan saat suamiku 

kelaparan,” dan ia juga mempersembahkan bagiannya kepada 

Pacceka Buddha. Ia mengucapkan keinginannya, “Yang Mulia, 

semoga di dalam pengembaraanku di dalam saÿsàra, aku tidak 

pernah kelaparan. Semoga mangkuk nasiku tidak pernah berkurang 

sebanyak apa pun diambil darinya oleh warga   Benua Selatan, 

sewaktu aku duduk membagikan nasi. Dalam seluruh kehidupanku 

pada masa depan, semoga suamiku sekarang selalu menjadi suamiku, 

putraku yang sekarang selalu menjadi putraku, menantuku yang 

sekarang selalu menjadi menantuku, dan pelayanku yang sekarang 

selalu menjadi pelayanku.”

Putra si orang kaya juga mempersembahkan bagiannya kepada 

Pacceka Buddha, dan mengucapkan keinginannya, “Semoga di 

dalam pengembaraanku di dalam saÿsàra, aku tidak pernah 

kelaparan. Semoga aku memiliki sekantung uang perak yang berisi 

seribu keping yang dapat dibagikan kepada seluruh warga   

Benua Selatan, dan semoga kantung itu selalu penuh. Dalam seluruh 

3096


kehidupanku pada masa depan, semoga orangtuaku sekarang selalu 

menjadi orang tuaku, istriku yang sekarang selalu menjadi istriku, 

dan pelayan kami yang sekarang selalu menjadi pelayan kami.”

Menantu si orang kaya juga mempersembahkan bagiannya kepada 

Pacceka Buddha, dan mengucapkan keinginannya, “Semoga di 

dalam pengembaraanku di dalam saÿsàra, aku tidak pernah 

kelaparan. Semoga aku memiliki sekeranjang beras yang dapat 

dibagikan kepada seluruh warga   Benua Selatan, dan semoga 

keranjang itu tidak pernah berkurang isinya. Dalam seluruh 

kehidupanku pada masa depan, semoga mertuaku sekarang selalu 

menjadi mertuaku, suamiku yang sekarang selalu menjadi suamiku, 

dan pelayan kami yang sekarang selalu menjadi pelayan kami.”

Si pelayan Puõõa juga mempersembahkan bagiannya kepada 

Pacceka Buddha dan mengucapkan keinginannya,

‘Semoga di dalam pengembaraanku di dalam saÿsàra, aku tidak 

pernah kelaparan. Dalam seluruh kehidupanku pada masa depan, 

semoga seluruh anggota keluarga majikanku selalu menjadi 

majikanku. saat   aku membajak sawah, semoga muncul tiga 

alur tambahan di sebelah kiri dan tiga alur tambahan di sebelah 

kanan dari alur bajakan utama di tengah, dengan demikian aku 

menyelesaikan pekerjaanku tujuh kali lebih cepat dalam menyiapkan 

pembibitan untuk menanam empat keranjang benih.”

(Puõõa bisa saja berkeinginan untuk menjadi jenderal jika ia mau. 

Namun ikatan pribadinya dengan keluarga si orang kaya begitu 

kuat sehingga ia berkeinginan agar dalam seluruh kehidupannya 

pada masa depan, majikannya sekarang tetap menjadi majikannya 

pada masa depan.)

saat   lima penyumbang itu telah mengucapkan keinginan mereka 

masing-masing, Pacceka Buddha itu berkata, 

“Semoga keinginan kalian cepat terkabul. Semoga semua cita-cita 

kalian tercapai bagaikan bulan purnama.”

3097

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

“Semoga keinginan kalian terkabul dalam segala aspek. Semoga 

semua cita-cita kalian tercapai bagaikan permata pengabul 

keinginan.”

sesudah   mengungkapkan penghargaannya atas persembahan 

itu, ia berkehendak agar para penyumbangnya melihat dirinya 

dan tindakannya nanti, lalu   ia terbang dan pergi menuju 

Gunung Gandhamàdana, lalu   membagikan dàna makanan 

yang ia terima kepada lima ratus Pacceka Buddha. Nasi yang 

semula disiapkan untuk dimakan oleh lima orang dibagikan dan 

mengenyangkan lima ratus Pacceka Buddha itu, berkat kekuatan 

batin si penerima pertama. Semua ini disaksikan oleh lima 

penyumbang yang keyakinan dan pengabdian mereka semakin 

bertambah.

Akibat yang Dialami Pada Hari yang Sama

Hal yang menakjubkan sekarang terjadi. Pada siang hari, istri si 

orang kaya mencuci bersih panci masaknya dan menutupnya. 

Si orang kaya yang sedang kelaparan jatuh tertidur. saat   ia 

terbangun pada malam hari, ia berkata kepada istrinya, “Istriku, 

aku kelaparan. Coba lihat apakah engkau bisa mengorek sedikit 

nasi dari panci itu.” Istrinya yakin bahwa tidak ada sebutir kecil 

pun yang tersisa di pancinya sebab   ia telah mencucinya. Tetapi 

ia tidak mengatakannya. Ia berpikir bahwa ia akan membukanya 

untuk memeriksanya terlebih dahulu sebelum melaporkan kepada 

suaminya.

Saat ia membuka panci nasi itu, ia melihat nasi yang telah matang 

bagaikan kuntum-kuntum melati memenuhi pancinya. Dengan 

heran dan gembira ia tergopoh-gopoh melaporkan kejadian aneh itu 

kepada suaminya, “Lihat, suamiku, aku telah mencuci bersih-bersih 

panci ini dan menutupnya. Tetapi sekarang, panci ini penuh dengan 

nasi yang seperti kuntum-kuntum melati. Kebajikan memang suatu 

hal yang layak dilakukan! Memberi persembahan memang suatu hal 

yang layak dilakukan! Sekarang, suamiku, bangun dan makanlah 

sepuasnya.”

3098


Istri orang kaya itu pertama-tama melayani suami dan putranya. 

lalu   sesudah   mereka selesai makan, ia dan menantunya makan. 

lalu   ia memberi   kepada pelayan mereka Puõõa. Panci nasi 

itu tidak pernah berkurang lebih dari satu sendok. Pada hari itu, 

semua lumbung dan kendi-kendi terisi penuh oleh beras kembali. 

Orang kaya itu mengumumkan kepada seluruh warga   Bàràõasã 

bahwa rumahnya memiliki beras dan nasi yang cukup untuk semua 

orang yang datang. Dan para warga   datang dan memakannya 

dengan gembira. warga   Benua Selatan selamat dari bencana 

kelaparan berkat si orang kaya.

Kehidupan Terakhirnya Sebagai Meõóaka Si Orang Kaya

sesudah   meninggal dunia dari kehidupan itu, ia terlahir kembali di 

alam dewa. Dan sejak saat itu ia mengembara hanya di alam dewa 

dan alam manusia. Pada masa Buddha Gotama, ia terlahir kembali 

dalam sebuah keluarga kaya di Bhaddiya. Ia menikah dengan putri 

orang kaya lainnya.

Bagaimana Asal Mula Nama Meõóaka

Sebagai akibat dari perbuatan menyumbangkan patung-patung 

kambing emas kepada Buddha Vipassã, di halaman belakang rumah 

orang kaya itu yang luasnya kira-kira delapan karisa dipenuhi 

dengan patung-patung emas berbentuk kambing yang muncul 

dari dalam tanah. Mulut-mulut patung kambing itu dihiasi dengan 

bola katun kecil berukuran sebesar kelereng dalam lima warna. 

Dengan menyingkirkan hiasan ini dari mulut patung ini  , 

seseorang dapat mengambil benda apa pun yang ia inginkan―kain 

atau emas atau perak, dan sebagainya. Satu patung emas itu dapat 

menghasilkan semua kebutuhan seluruh warga   di Benua Selatan 

seperti mentega, minyak, madu, gula merah, pakaian, emas, perak, 

dan lain-lain. Sebagai pemilik dari patung kambing ajaib ini, orang 

kaya itu dipanggil Meõóaka, “Pemilik Kambing Emas.”

Putra mereka yaitu   putra dari kehidupan mereka sebelumnya. 

(Putra itu yaitu   Dhana¤jaya yang menjadi ayah Visàkhà). Menantu 

mereka juga menantu dari kehidupan sebelumnya. (Istri Meõóaka 

3099

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

bernama Candapadumà, menantu, istri Dhana¤jaya, bernama 

Sumanàdevã, pelayan mereka bernama Puõna.)

(Sehubungan dengan Meõóaka, dari kehidupan rumah tangga 

hingga pencapaian Pengetahuan Pemenang Arus, dapat dipelajari 

dari kisah Siswi awam, Visàkhà.)

Yang penting dicatat di sini yaitu   bahwa Meõóaka, si Orang 

Kaya, sesudah   mencapai Pengetahuan Pemenang Arus sesudah   

mendengarkan khotbah Buddha, memberitahukan kepada Buddha 

tentang bagaimana ia dibujuk oleh para petapa yang menganut 

kepercayaan lain, dan bagaimana mereka mencemooh Buddha. 

Buddha berkata, “Orang Kaya, yaitu   sifat manusia tidak dapat 

melihat kesalahan sendiri namun menyebarkan kesalahan orang lain 

bagaikan seorang yang menampi dedak.” Lebih jauh lagi, Buddha 

mengucapkan syair berikut:

“Perumah tangga, yaitu   mudah melihat kesalahan orang lain, 

namun sulit melihat kesalahan sendiri. Bagaikan menampi dedak 

dalam tiupan angin kencang, seseorang menyebarkan kesalahan 

orang lain tetapi menyembunyikan kesalahan sendiri bagaikan 

seekor burung yang bersembunyi.”

(Dhammapada, v.252)

Pada akhir khotbah ini   banyak orang yang mencapai 

Pencerahan dalam berbagai tingkat.

Demikianlah kisah Meõóaka.

(3) Jañila

Cita-cita Masa Lampau

Bakal Jañila yaitu   seorang pandai emas pada masa kehidupan 

Buddha Kassapa. sesudah   Buddha meninggal dunia, sewaktu pagoda 

tempat persemayaman relik Buddha sedang dibangun, seorang 

Arahanta yang mengawasi pembangunan itu bertanya kepada para 

3100


pekerja, “O sahabat, mengapa gerbang sebelah utara belum selesai?” 

dan para pekerja menjawab, “Yang Mulia, kami kekurangan emas 

untuk menyelesaikannya.”

“Aku akan pergi ke kota untuk mencari sumbangan. Sementara 

itu kalian kerjakanlah semampu kalian.” Arahanta itu pergi ke 

kota dan mencari para penyumbang emas dan menjelaskan bahwa 

sumbangan mereka sangat diperlukan untuk menyelesaikan gerbang 

utara pagoda besar yang sedang mereka bangun.

saat   ia tiba di rumah pandai emas itu, kebetulan orang itu sedang 

bertengkar dengan istrinya. Arahanta itu berkata kepada si pandai 

emas,” Umat penyokong, pagoda besar yang sedang dibangun tidak 

dapat selesai sebab   kekurangan emas untuk pembangunan gerbang 

utara. Baik sekali jika engkau menyumbangkan sedikit emas.” Orang 

yang marah kepada istrinya itu berkata kepada Arahanta, “Pergilah 

dan buang saja (patung) Buddhamu itu ke air!” Istrinya berkata 

kepadanya, “Engkau melakukan kesalahan besar. Jika engkau 

marah, engkau boleh memarahiku, atau memukulku jika engkau 

suka. Mengapa engkau mencerca para Buddha pada masa lampau, 

masa depan, dan masa sekarang?”

Si pandai emas itu segera menyadari kesalahannya dan semangat 

religius muncul dalam dirinya, ia meminta maaf kepada Arahanta, 

“Yang Mulia, maafkan kesalahanku.” Arahanta berkata, “Engkau 

tidak melakukan kesalahan terhadapku. Engkau melakukan 

kesalahan terhadap Buddha. Maka engkau harus menebusnya di 

depan Buddha.”

“Bagaimana aku harus melakukannya, Yang Mulia?”

“Sediakan tiga ikat bunga emas, persembahkan di ruang relik di 

pagoda besar, basahi pakaian dan rambutmu, dan mohon maaf atas 

kesalahanmu.”

“Baiklah, Yang Mulia,” si pandai emas berkata dan mulai membuat 

bunga-bunga emas. Ia memanggil putra tertuanya dan berkata 

kepadanya, “Marilah, Anakku, aku telah mencerca Buddha dan 

3101

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

sebab  nya aku harus menebusnya dengan tiga ikat bunga emas yang 

akan dipersembahkan di ruang relik di pagoda besar. Aku ingin 

engkau membantuku dalam perbuatan baik ini.” Putra tertuanya 

menjawab, “Aku tidak menyuruhmu untuk mencerca Buddha. 

Engkau melakukannya atas kemauanmu sendiri. Jadi engkau, 

kerjakanlah sendiri.” Si pandai emas lalu   memanggil anak 

keduanya dan memohon bantuan. Anak keduanya juga memberi   

jawaban yang sama seperti kakaknya. Si pandai emas lalu   

memanggil putra bungsunya dan meminta bantuan. Si bungsu 

menjawab, “Pekerjaan apa pun yang harus engkau kerjakan, yaitu   

kewajibanku untuk membantu.” Dan demikianlah ia membantu 

ayahnya dalam membuat bunga-bunga emas itu.

Si pandai emas membuat tiga pot bunga emas setinggi setengah lengan, 

memasukkan bunga-bunga emas itu, dan mempersembahkannya 

di ruang relik di dalam pagoda besar. lalu   (seperti yang 

dinasihatkan oleh Arahanta,) ia membasahi pakaian dan rambutnya, 

dan meminta maaf atas kesalahannya. (Demikianlah bagaimana 

bakal Jañila melakukan kebajikan.)

Kehidupan Terakhir Sebagai Jañila, Si Orang Kaya

sebab   ucapan kasarnya mengenai Buddha, si pandai emas itu 

hanyut di sungai sebanyak tujuh kali kelahiran. Dalam kehidupan 

terakhirnya, pada masa kehidupan Buddha Gotama, ia dilahirkan 

oleh putri seorang kaya di Bàràõasã dalam kondisi yang tidak biasa. 

Putri orang kaya itu sangat cantik. saat   berusia lima belas atau 

enam belas tahun, orangtuanya menempatkannya di lantai tujuh 

rumah mereka bersama seorang pelayan. Mereka hidup terasing 

dalam sebuah kamar sendiri. Suatu hari gadis itu melihat melalui 

jendela, seseorang yang memiliki kesaktian, Vijjàdhara, berjalan 

melalui angkasa dan kebetulan melihatnya. Orang itu jatuh cinta 

kepadanya dan masuk melalui jendela. Keduanya saling jatuh 

cinta.

Gadis itu hamil sebab   orang itu. Pelayannya bertanya bagaimana ia 

bisa hamil. Ia mengakui hubungan rahasianya tetapi melarangnya 

untuk memberitahukan kepada orang lain. Pelayan itu tidak 

3102


berani mengungkapkan rahasia itu kepada orang lain. Pada bulan 

kesepuluh kehamilannya, ia melahirkan seorang bayi laki-laki. Ibu 

muda itu memasukkan bayinya ke dalam sebuah kendi yang terbuat 

dari tanah, menutupnya dan meletakkan bunga-bunga di atasnya. 

Ia lalu   meminta pelayannya membawanya di atas kepalanya 

dan menghanyutkannya di Sungai Gaïgà. Jika ada orang yang 

menanyakan apa yang ia lakukan, pelayan itu harus menjawab 

bahwa ia memberi   persembahan atas nama majikannya. Rencana 

itu dilakukan dengan sukses.

Pada waktu itu, dua perempuan sedang mandi di hilir dan melihat 

sebuah kendi yang hanyut. Salah satu dari mereka berkata, “Kendi 

itu milikku!” yang lainnya berkata, “Isi kendi itu milikku!” mereka 

mengambil kendi itu dari dalam air, meletakkannya di tanah yang 

kering dan membukanya. Melihat bayi itu, perempuan pertama 

yang berkata bahwa kendi itu yaitu   miliknya menuntut anak 

itu sebagai anaknya. Perempuan kedua yang berkata bahwa isi 

kendi itu yaitu   miliknya juga menuntut itu sebagai anaknya. 

Mereka membawa perselisihan itu ke pengadilan kerajaan yang 

tidak mampu memberi   keputusan. Mereka membawa kasus 

itu kepada raja yang memutuskan bahwa anak itu yaitu   milik 

perempuan kedua.

Perempuan yang memenangkan kasus itu atas bayi itu yaitu   seorang 

umat penyokong Yang Mulia Mahàkaccàyana. Ia membesarkan anak 

itu dengan rencana untuk menyerahkannya kepada Yang Mulia 

Mahàkaccàyana untuk ditahbiskan sebagai sàmaõera. sebab   bayi 

itu sejak lahir tidak pernah dimandikan, rambutnya kusut dan 

bercampur dengan benda-benda kotor dari rahim ibunya dan sebab   

itu ia diberi nama Jañila, ‘Rambut kusut’.

saat   Jañila sudah dalam usia kanak-kanak, Yang Mulia 

Mahàkaccàya datang ke rumah perempuan itu untuk menerima 

dàna makanan. Perempuan itu mempersembahkan makanan kepada 

Yang Mulia Mahàkaccàyana yang melihat anak itu dan bertanya, 

“Umat penyokong, apakah anak ini anakmu?” dan perempuan itu 

menjawab, “Ya, Yang Mulia, aku berniat untuk menyerahkannya 

kepadamu untuk ditahbiskan dalam Saÿgha. Sudilah Yang Mulia 

3103

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

menahbiskannya menjadi seorang sàmaõera.”

Yang Mulia Mahà Kaccàyana berkata, “Baiklah,” dan membawa 

anak itu bersamanya. Ia memeriksa jalan hidup anak itu dan 

melihat melalui mata-batinnya bahwa anak itu memiliki jasa masa 

lampau yang besar dan mampu untuk menikmati status yang 

tinggi dalam kehidupannya sekarang. Mempertimbangkan usianya 

yang masih sangat muda, ia berpikir bahwa anak itu masih terlalu 

muda untuk ditahbiskan dan indrianya juga belum cukup matang. 

Maka ia membawa anak itu ke rumah seorang umat penyokong di 

Takkasilà.

Umat penyokong itu sesudah   bersujud kepada Yang Mulia Kaccàyana, 

bertanya, “Yang Mulia, apakah anak ini anakmu?” dan Yang 

Mulia menjawab, “Ya, umat penyokong. Ia akan menjadi seorang 

bhikkhu. Tetapi ia masih terlalu muda. Izinkan ia tinggal di bawah 

asuhanmu.” Umat penyokong itu menjawab, “Baiklah, Yang Mulia,” 

dan ia mengangkat anak itu menjadi anaknya.

Orang itu yaitu   seorang pedagang. Kebetulan ia memiliki banyak 

barang dagangan yang tidak laku dijual selama dua belas tahun. 

Suatu hari saat ia akan melakukan perjalanan, ia mempercayakan 

barang-barang dagangan yang tidak laku itu kepada anak itu dengan 

pesan agar menjualnya dengan harga tertentu.

Jañila Dapat Menjual Barang-barang yang Tidak Laku Selama 

Dua Belas Tahun Dalam Satu Hari

Pada hari itu Jañila bertanggung jawab atas toko itu, para dewa 

penjaga kota itu mengerahkan kesaktian mereka mempengaruhi 

para warga   kota agar mendatangi toko Jañila untuk membeli 

apa yang mereka butuhkan. Bahkan untuk barang-barang sepele 

seperti bumbu masak. Ia berhasil menjual semua barang-barang 

yang tidak laku selama dua belas tahun itu dalam satu hari. saat   

si pedagang pulang dan melihat barang-barang yang tidak laku itu 

sudah tidak ada, ia bertanya kepada anak itu, “Anakku, apakah 

engkau membuang barang-barang itu?” Jañila menjawab, “Tdak, 

aku tidak membuangnya. Aku telah menjualnya dengan harga yang 

3104


telah engkau tentukan. Ini catatannya dan ini uangnya.” Ayah angkat 

itu sangat gembira. “Anak ini akan menjadi orang yang sukses.” 

Demikianlah pedagang itu merenungkan. lalu  , ia menikahkan 

putrinya yang telah dewasa dengan Jañila. lalu  , ia membangun 

sebuah rumah besar untuk pasangan itu. saat   pembangunan 

rumah itu selesai, ia menyerahkannya kepada pasangan itu sebagai 

tempat tinggal.

Jañila, Pemilik Bukit Emas

saat   Jañila menempati rumah itu, segera sesudah   ia menginjakkan 

kakinya di ambang pintu, sebuah bukit emas setinggi delapan puluh 

lengan muncul dari dalam tanah di belakang rumahnya. Mengetahui 

berita keberuntungan Jañila, raja menganugerahkan gelar ”Orang 

Kaya” kepada Jañila, mengirimkan kepadanya payung putih dan 

perlengkapan kantor bendaharawan. Sejak saat itu, Jañila dikenal 

sebagai Jañila, Si Orang Kaya.

Jàtila Mencari Penggantinya di Seluruh Benua Selatan

Jañila memiliki tiga anak. saat   mereka telah dewasa, ia sangat 

berkeinginan untuk menjadi seorang bhikkhu. Tetapi ia memiliki 

tanggung jawab sebagai orang kaya kerajaan. Jika di Benua Selatan 

ini terdapat orang kaya lain yang memiliki kekayaan yang sama 

dengannya, maka ia akan dibebaskan oleh raja sehingga ia dapat 

bergabung dalam Saÿgha. Tetapi kalau tidak, ia tidak mungkin 

diizinkan untuk menjadi bhikkhu. Ia membuat bata emas, tongkat 

emas, dan sepasang sandal emas yang ia percayakan kepada orang-

orangnya dengan pesan, “Orang-orangku, pergilah ke seluruh Benua 

Selatan dengan membawa benda-benda ini dan carilah informasi 

tentang ada atau tidak ada orang kaya yang memiliki kekayaan 

setara denganku.”

Orang-orang Jañila berkeliling ke seluruh negeri dan tiba di Kota 

Bhaddiya dan bertemu dengan Meõóaka si orang kaya yang bertanya 

kepada mereka, “O sahabat, apakah urusan kalian datang ke tempat 

ini?”

3105

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

“Kami datang untuk mencari sesuatu,” kata orang-orang Jañila. 

Meõóaka, melihat bata emas, tongkat emas, dan sepasang sandal 

emas yang dibawa oleh orang-orang itu, menebak dengan benar 

bahwa orang-orang itu sedang menyelidiki kekayaan negeri itu. 

Maka ia berkata kepada mereka, “O sahabat, datanglah ke belakang 

rumahku.”

Di belakang rumah Meõóaka, orang-orang itu melihat tanah seluas 

kira-kira empat belas are (8 karisa) yang penuh dengan patung-

patung kambing emas berukuran sebesar sapi atau kuda atau gajah. 

sesudah   memeriksa semua patung-patung emas ini  , mereka 

keluar dari halaman belakang Meõóaka. “Apakah kalian telah 

menemukan apa yang kalian cari?” tanya Meõóaka, dan mereka 

menjawab, “Ya, orang kaya, kami sudah menemukannya.” “Kalau 

begitu, silakan kalian pergi.” Meõóaka berkata.

Orang-orang Jañila kembali ke kota mereka dan melaporkan kepada 

majikan mereka tentang kekayaan Meõóaka dari Bhaddiya. “Orang 

kaya, apa artinya kekayaanmu dibandingkan dengan kekayaan 

Meõóaka?” Mereka berkata kepada Jañila dan menggambarkan 

dengan jelas apa yang telah mereka lihat di halaman belakang 

rumah Meõóaka. Jañila gembira mendengar temuan itu. “Kami telah 

menemukan satu orang kaya lain. Mungkin masih ada orang kaya 

lain lagi,” ia berpikir. Kali ini ia menyerahkan sehelai kain beludru 

senilai seratus ribu keping uang dan mengutus orang-orangnya 

pergi mencari orang kaya lainnya.

Orang-orang itu pergi ke Ràjagaha dan menetap di suatu 

tempat yang terletak tidak jauh dari istana besar Jotika. Mereka 

mengumpulkan kayu bakar dan hendak menyalakan api saat   

mereka ditanya oleh warga   apa yang akan mereka lakukan 

dengan api. Mereka menjawab, “Kami memiliki sehelai kain beludru 

yang mahal untuk dijual. Kami tidak dapat menemukan pembeli 

yang mampu membelinya. Kami akan kembali ke kota kami. Kain 

ini akan mengundang perampok dalam perjalanan kami. Kami 

akan membakarnya.” Tentu saja kata-kata ini diucapkan untuk 

mengetahui kemampuan para warga   itu.

3106


Jotika memerhatikan orang-orang itu dan sesudah   mengetahui cerita 

mereka, ia memanggil mereka dan bertanya, “Berapa harga kain 

kalian?” Mereka menjawab, “Orang kaya, harganya seratus ribu.” 

Jotika memerintahkan orangnya untuk membayarkan harga seratus 

ribu itu kepada penjual dan berkata kepada mereka, “O sahabat, 

berikan ini kepada pelayanku yang berada di pintu gerbang,” dan 

mempercayakan selimut itu kepada mereka.

Si pelayan mendatangi Jotika sambil mengomel (di depan orang-

orang Jañila), “O orang kaya, bagaimana ini? Jika aku bersalah engkau 

boleh menghukumku dengan memukulku. Tetapi memberi   

sehelai kain kasar ini kepadaku sungguh keterlaluan. Bagaimana aku 

dapat memakai  nya?” Jotika berkata kepadanya, “Anakku, aku 

tidak memberi  nya kepadamu untuk dikenakan. Aku bermaksud 

memberi  nya sebagai keset kaki. Engkau dapat melipatnya di 

bawah tempat tidur dan saat engkau hendak tidur, engkau dapat 

memakai  nya untuk mengeringkan kaki sesudah   mencucinya 

di air harum.”

“Kalau begitu, aku menerimanya,” kata si pelayan.

Orang-orang Joñila melaporkan apa yang mereka alami di 

Ràjagaha kepada majikan mereka, “O orang kaya, apa artinya 

kekayaanmu dibandingkan dengan kekayaan Jotika?” dan mereka 

menggambarkan kemegahan istana Jotika, kekayaannya dan kata-

kata pelayannya tentang kain beludru itu.

Jañila Menguji Jasa Masa Lampau Ketiga Anaknya

Jañila gembira mengetahui adanya dua orang kaya lain di negeri itu. 

“Sekarang aku akan mendapatkan izin dari raja untuk bergabung 

dalam Saÿgha,” ia berpikir dan pergi menghadap raja.

(Komentar tidak menyebutkan nama raja. Tetapi, dalam Komentar 

Dhammapada, dalam kisah Visàkha, disebutkan bahwa, “Penting 

untuk diketahui bahwa dalam wilayah kekuasaan Raja Bimbisàra, 

terdapat lima orang kaya yang memiliki kekayaan yang tidak bisa 

habis, yaitu, Jotika, Jañila, Meõóaka, Puõõaka dan Kàëavaëiya,” sebab   

3107

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

itu raja di sini yaitu   Raja Bimbisàra.)

Raja berkata kepada Jañila, “Baiklah, orang kaya, engkau boleh 

pergi menjalani kebhikkhuan.” Jañila pulang, memanggil ketiga 

putranya, dan menyerahkan kapak yang terbuat dari berlian dengan 

gagang emas, berkata kepada anak sulung, “Anakku, pergi dan 

ambilkan sebongkah emas dari bukit emas di belakang rumah kita.” 

Putra sulung itu mengambil kapak itu dan menggali bukit emas 

itu. Ia merasa seperti memukul batu yang keras. Jañila lalu   

mengambil kapak itu dan menyerahkannya kepada anak kedua 

untuk mencobanya, dan ia mengalami hal yang sama.

saat   si putra bungsu menerima kapak itu, ia merasa seolah-

olah bukit emas itu yaitu   gundukan tanah liat yang lunak. Emas 

bertebaran berlapis-lapis saat ia mengayunkan kapaknya dengan 

mudah. Jañila berkata kepada putra bungsunya, “Cukup, Anakku.” 

lalu   ia berkata kepada dua putranya yang lebih tua, “Putraku, 

bukit emas ini tidak muncul sebab   jasa masa lampau kalian, tetapi 

akibat dari jasa masa lampauku dan adik bungsu kalian. Oleh sebab   

itu, bersatulah dengan adik bungsu kalian dan nikmati kekayaan 

dengan damai bersama-sama.”

(Harus diingat bahwa pada kehidupan lampau Jañila sebagai 

seorang pandai emas. Pada kehidupan itu ia marah kepada seorang 

Arahanta, “Pergi dan buang saja (patung) Buddhamu itu ke air!” 

atas ucapan jahat itu, ia hanyut sebanyak tujuh kali dalam tujuh 

kehidupan berturut-turut. Dalam kehidupan terakhirnya ini juga 

ia menemui nasib yang sama.

saat   si pandai emas sedang membuat tiga bunga emas untuk 

dipersembahkan di altar pagoda Buddha Kassapa sebagai penebusan 

atas ucapan jahatnya itu, hanya putra bungsunya yang membantunya 

dalam pekerjaan itu. Sebagai akibat dari perbuatan baik itu, hanya 

ayah Jañila dan putra bungsunya yang mendapatkan manfaat dari 

kemunculan Bukit Emas itu.)

sesudah   menasihati putra-putranya, Jañila si orang kaya menghadap 

Buddha dan menjadi seorang bhikkhu. Dengan penuh ketekunan 

3108


menjalani praktik kebhikkhuan, ia akhirnya mencapai Kearahattaan 

dalam dua atau tiga hari.

Pada lalu   hari, Buddha pergi mengumpulkan dàna makanan 

bersama lima ratus bhikkhu dan tiba di rumah tiga putra Jañila. 

Putra-putra Jañila itu memberi   persembahan kepada Buddha 

dan Saÿgha selama lima belas hari.

Pada suatu pertemuan para bhikkhu di Dhammasala, para bhikkhu 

bertanya kepada Bhikkhu Jañila, “Teman Jañila, apakah engkau 

sekarang masih memiliki kemelekatan terhadap bukit emas setinggi 

delapan puluh lengan dan tiga putramu?”

Bhikkhu Jañila, Arahanta, menjawab, “Teman, aku tidak memiliki 

kemelekatan terhadap bukit emas dan tiga putraku.”

Para bhikkhu berkata, “Bhikkhu Jañila ini berbohong mengaku telah 

mencapai kesucian Arahatta.” saat   Buddha mendengar tuduhan 

para bhikkhu ini  , Beliau berkata, “Para bhikkhu, tidak ada 

kemelekatan apa pun dalam batin Bhikkhu Jañila terhadap Bukit 

Emas dan putra-putranya.” lalu   Buddha mengucapkan syair 

berikut:

“Ia yang di dunia ini telah melepaskan kemelekatan (yang muncul 

di enam pintu indria) dan telah meninggalkan kehidupan rumah 

tangga menjadi seorang bhikkhu, yang telah memadamkan 

kemelekatan terhadap kelahiran, dan telah mengakhiri segala 

bentuk kelahiran, ia Kusebut seorang bràhmana (seorang yang telah 

menjauhkan diri dari segala kejahatan.)”

(Dhammapada, v.416)

Pada akhir khotbah ini   banyak orang yang mencapai 

Pengetahuan Jalan seperti Sotàpatti-Phala.

(Kisah ini dikutip dari Komentar Dhammapada, Vol. 2)

Demikianlah kisah Jañila

3109

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

(4) Kàëavaëiya

Kisah singkat Kàëavaëiya si orang kaya terdapat dalam Komentar 

Uparipaõõàsa yang dikutipkan sebagai berikut.

Pada masa Buddha Gotama hiduplah di Ràjagaha seorang miskin 

bernama Kàëavaëiya. Suatu hari istrinya memasak bubur asam 

yang dicampur dengan sayur-sayuran, (sebab   nasi yaitu   di luar 

kemampuan mereka). Pada hari itu, Yang Mulia Mahà Kassapa, 

sesudah   bangun dari pencapaian Penghentian, memeriksa dunia 

ini dengan merenungkan siapa yang akan ia beri berkah. Ia melihat 

Kàëavaëiya dalam pandangan batinnya dan pergi ke rumahnya untuk 

menerima dàna makanan.

Istri Kàëavaëiya mengambil mangkuk Yang Mulia Mahà Kassapa 

dan menuangkan semua masakannya ke dalam mangkuk itu. Ia 

mempersembahkan makanan sederhana itu yang berupa bubur 

asam dicampur sayur-sayuran kepada Yang Mulia Mahà Kassapa 

tanpa menyisakan sedikit pun untuk mereka―sebuah persembahan 

dengan mengorbankan diri sendiri, niravasesa dàna. Yang Mulia 

Mahà Kassapa kembali ke vihàra dan mempersembahkan bubur 

itu kepada Buddha. Buddha mengambil sedikit yang mencukupi 

kebutuhan-Nya dan memberi   sisanya, yang masih cukup 

banyak, kepada lima ratus bhikkhu. Kàlavaëiya kebetulan sedang 

berada di vihàra Buddha untuk mengemis makanan sisa.

Yang Mulia Mahà Kassapa bertanya kepada Buddha manfaat 

apakah yang akan diperoleh keluarga Kàëavaëiya sehubungan 

dengan keberaniannya mempersembahkan semua makanan mereka. 

Dan Buddha berkata, “Tujuh hari dari sekarang, Kàëavaëiya akan 

menerima payung putih orang kaya, ia akan dianugerahi gelar orang 

kaya oleh raja.” Kàëavaëiya mendengar kata-kata Buddha itu dan 

bergegas pulang untuk memberitahukan hal itu kepada istrinya.

Pada saat itu Raja Bimbisàra sedang melakukan patroli, dan 

melihat seorang penjahat yang berada di tiang pancungan di luar 

kota. Orang itu tidak takut dan berkata kepada raja dengan suara 

lantang, “Tuanku, aku mohon agar makanan yang dipersiapkan 

3110


untuk Tuanku diberikan kepadaku.” Raja menjawab, “Ah, ya, akan 

kulakukan.” Saat makan malam, ia teringat janjinya kepada penjahat 

itu dan memerintahkan pejabatnya yang sedang bertugas untuk 

mengutus seseorang mengirim makanan untuk penjahat yang akan 

dihukum pancung itu di luar kota.

Daerah luar Kota Ràjagaha dikuasai oleh para siluman sehingga 

sangat sedikit orang yang berani pergi ke luar kota pada malam 

hari. Pejabat itu pergi berkeliling kota menawarkan seribu keping 

uang kepada siapa yang berani mengantarkan makan malam raja 

kepada seorang penjahat yang sedang berada di tiang gantungan 

di luar kota. Tidak seorang pun yang berani menerima tawaran 

itu pada pengumuman pertama (dengan tabuhan genderang); 

dan pengumuman kedua juga tidak membawa hasil. Tetapi pada 

pengumuman ketiga, istri Kàëavaëiya menerima tawaran seribu 

keping uang ini  .

Ia dibawa menghadap raja sebagai orang yang akan melakukan tugas 

ini  . Ia menyamar menjadi seorang laki-laki dan membawa 

lima jenis senjata. Sewaktu ia dengan berani berjalan keluar kota 

membawa makanan raja, ia ditegur oleh Dãghatàla, siluman penjaga 

sebatang pohon kelapa yang berkata, “Berhenti di situ! Berhenti, 

engkau sekarang yaitu   makananku.” Tetapi istri Kàëavaëiya tidak 

takut dan berkata, “Aku bukan makananmu. Aku yaitu   utusan 

raja.”

“Ke mana engkau hendak pergi?”

“Aku pergi ke tempat penjahat yang segera akan dihukum 

pancung.”

“Dapatkan engkau menyampaikan pesanku?”

“Ya, bisa.”

“Kalau begitu, teriakkanlah sepanjang perjalananmu, ‘Kàëã, putri 

Sumana, pemimpin para dewa, istri Dãghatàla, telah melahirkan 

putranya!’ ada tujuh kendi emas di akar pohon kelapa ini. Ambillah 

3111

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

untukmu.”

Perempuan berani itu melanjutkan perjalanannya sambil 

meneriakkan pesan, “Kàëã, putri Sumana, pemimpin para dewa, 

istri Dãghatàla, telah melahirkan putranya!” Sumana, pemimpin 

para dewa mendengar teriakannya sewaktu sedang mengadakan 

rapat dengan para dewa dan berkata kepada pembantunya, “Ada 

manusia yang membawa berita gembira. Bawa dia ke sini.” Dan ia 

dibawa ke hadapan Sumana yang berterima kasih kepadanya dan 

berkata, “Ada banyak kendi emas di sekeliling pohon besar itu, aku 

memberi   semuanya untukmu.”

Ia pergi ke tempat penjahat itu yang harus ia suapi. sesudah   makan 

dan saat   mulutnya dibersihkan oleh si perempuan, ia merasakan 

sentuhan halus seorang perempuan dan mengigit rambutnya tidak 

membiarkannya pergi. Perempuan berani itu, mempunyai akal. 

Ia memotong rambutnya dengan pedangnya dan membebaskan 

dirinya.

Ia melaporkan kepada raja bahwa ia telah melakukan tugasnya. 

”Apakah buktinya bahwa engkau sungguh telah memberi makan 

orang itu?” Raja bertanya. “Rambutku di mulut penjahat itu 

yaitu   buktinya. Tetapi aku masih mempunyai bukti yang lain” 

jawab istri Kàëavaëiya dan menceritakan tentang pertemuannya 

dengan Dãghatàla dan Sumana. Raja memerintahkan penggalian 

emas-emas ini  . Semuanya ditemukan. Pasangan Kàëavaëiya 

mendadak menjadi sangat kaya. “Apakah ada orang lain yang 

sekaya Kàëavaëiya?” tanya raja. Para menteri menjawab, “Tidak ada, 

Tuanku.” Maka raja mengangkatnya sebagai Bendaharawan Sàvatthã 

dan memberi   semua perlengkapannya, dan kantor.

Demikianlah kisah Kàëavaëiya.

3112


3113

 1

54

 1

   

Definisi Pàramã

Sepuluh kebajikan yaitu, Dàna (kedermawanan), Sãla (moralitas), 

dan seterusnya disebut Pàramã, Kesempurnaan.

Seorang Bodhisatta (Bakal Buddha), yang memiliki sepuluh 

kebajikan ini yaitu, Dàna, Sãla, dan seterusnya dikenal sebagai 

Parama atau seseorang yang luar biasa. Oleh sebab   itu, etimologi 

dari Pàramã yaitu   Paramànaÿ Bhàvo (sifat dari seseorang yang 

luar biasa), yang diturunkan dari dua hal: pengetahuan dari mereka 

melihat dan mengetahui hal-hal sebagaimana adanya dan kata-kata 

dari mereka yang melihat dan mengetahui hal-hal sebagaimana 

adanya. Etimologi lainnya yaitu   Paramànaÿ kammaÿ (perbuatan-

perbuatan dari seseorang yang luar biasa); dengan demikian 

perbuatan mereka dalam bentuk Dàna, Sãla, dan seterusnya disebut 

Pàramã.

Urutan dari Sepuluh Kesempurnaan yaitu   seperti yang terdapat 

dalam syair berikut:

Dànaÿ Sãla¤ ca Nekkhammaÿ 

Pa¤¤Ã  Viriyena pa¤camaÿ

Khanti Saccaÿ Adhiññhànaÿ 

Mett’ Upekkhà ti te dasa

3114


Kedermawanan, Moralitas, Melepaskan keduniawian,

Kebijaksanaan, Usaha sebagai yang kelima,

Kesabaran, Kejujuran, Tekad,

Cinta Kasih, dan Ketenangseimbangan;

Seluruhnya menjadi sepuluh (Kesempurnaan).

(Tiap-tiap Kesempurnaan terdiri dari tiga kelompok, yaitu, Pàramã 

(Kesempurnaan biasa), Upa-Pàramã (Kesempurnaan lebih tinggi) 

dan Paramattha-Pàramã (Kesempurnaan tertinggi), (misalnya, Dàna 

terdiri dari tiga kelompok: (1) Dàna-Pàramã (Kesempurnaan biasa 

dari berdana), (2) Dàna-Upa-Pàramã (Kesempurnaan lebih tinggi 

dari berdana) dan (3) Dàna-Paramattha Pàramã (Kesempurnaan 

tertinggi dari berdana). Demikian pula dengan Sãla dan semua 

Kesempurnaan lainnya.) Dengan demikian, seluruhnya terdapat 

Tiga Puluh Kesempurnaan.

Perbedaan antara Pàramã, Upa-Pàramã, dan Paramattha-Pàramã

Sehubungan dengan tiga kelompok ini, (1) harta benda seperti 

emas, perak dan lain-lain, anggota keluarga seperti anak dan istri, 

(2) bagian-bagian tubuh besar maupun kecil seperti tangan dan 

kaki, dan lain-lain dan (3) kehidupan, haruslah dimengerti terlebih 

dahulu. Dalam hal Dàna, (1) memberi   harta benda yaitu   Dàna-

Pàramã, (2) memberi   bagian-bagian tubuh besar maupun kecil 

yaitu   Dàna-Upa-Pàramã dan (3) memberi   kehidupan yaitu   

Dàna-Paramattha-Pàramã.

Demikian pula (1) mematuhi moralitas dengan mengorbankan 

harta benda, (2) mematuhi moralitas dengan mengorbankan bagian-

bagian tubuh besar maupun kecil dan (3) mematuhi moralitas 

dengan mengorbankan kehidupan, harus dipahami sebagai Sãla-

Pàramã, Sãla-Upa-Pàramã dan Sãla-Paramattha-Pàramã. Demikian 

pula delapan Kesempurnaan lainnya, berlaku cara pengelompokan 

yang sama.

Pandangan yang berbeda oleh beberapa komentator dapat dilihat 

dalam penjelasan dari kata ‘ko vibhago’ dalam Pakiõõaka Kathà 

3115

 1

dari Komentar Cariyà Piñaka.

Adhimuttimaraõa

Meninggal dunia secara sukarela sebab   kehendak sendiri disebut 

Adhimuttimaraõa. Yaitu, kematian yang terjadi segera sesudah   

seseorang berkehendak, “Semoga aku mati.” Kematian seperti ini 

hanya terjadi pada para Bakal Buddha, tidak terjadi pada makhluk 

lain.

saat   seorang Bakal Buddha terlahir kembali, di alam dewa 

atau di alam brahmà di mana umur kehidupan di sana sangatlah 

panjang, ia menyadari fakta bahwa, dengan hidup di alam surga, 

ia tidak memiliki kesempatan untuk memenuhi Kesempurnaan, 

melakukan pengorbanan dan melatih diri, dan merasakan bahwa 

kehidupan yang panjang di alam surga sangatlah membosankan. 

lalu   sesudah   memasuki istananya, ia menutup matanya dan 

segera bertekad, “Semoga kehidupanku berakhir,” lalu   ia 

akan segera meninggal dunia dari alam surga. Sebenarnya tekadnya 

itu terwujud sebagian sebab   ia memiliki kemelekatan yang sangat 

kecil terhadap tubuhnya, sebab   ia mengkondisikan kelanjutan 

dari tubuhnya dengan mencapai pengetahuan yang lebih tinggi 

dan sebagian lagi sebab   tekadnya didasarkan atas welas asihnya 

kepada makhluk-makhluk sangatlah besar dan murni.

sebab   ia mengendalikan pikiran, perbuatannya juga terkendali; oleh 

sebab   itu, saat   ia mati dengan sukarela, ia akan terlahir kembali 

di alam manusia sebagai seorang pangeran, seorang brahmana, 

dan lain-lain, sehingga ia dapat memenuhi Kesempurnaan yang 

ia inginkan. Itulah sebabnya mengapa Bakal Buddha Gotama kita 

dalam banyak kehidupannya di alam brahmà tanpa jatuh dari Jhàna, 

ia hidup hanya dalam waktu yang singkat di alam brahmà ini   

dan lalu   mati dengan sukarela lalu   terlahir kembali di 

alam manusia dan membangun dasar bagi Kesempurnaan.

Kappa

Lamanya satu kappa tidak dapat dihitung dalam satuan tahun. 

3116


Misalnya ada sebuah lumbung yang panjang, lebar dan tingginya 

masing-masing satu yojanà, dan berisi penuh dengan biji mostar 

yang kecil-kecil. Anda membuang sebutir biji ini   satu kali 

dalam satu abad; semua biji itu akhirnya akan habis dibuang, namun 

periode yang disebut kappa itu mungkin masih belum berakhir. 

(Dari sini, disimpulkan bahwa kappa yaitu   suatu masa yang yang 

sangat lama sekali.)

Pembagian Kappa

Kappa terdiri dari enam bagian: (1) mahàkappa, (2) asaïkhyeyya 

kappa, (3) antara kappa, (4) àyu kappa, (5) hàyana kappa, dan (6) 

vaddhana kappa.

Satu mahàkappa terdiri dari empat asaïkhyeyya kappa, yaitu (1) 

kappa dalam proses penghancuran, (saÿvañña kappa), (2) kappa 

dalam saat proses penghancuran berlangsung (saÿvaññaññhàyã 

kappa), (3) kappa dalam proses pembentukan (vivañña kappa), 

dan (4) kappa saat proses pembentukan berlangsung (vivaññaññhàyã 

kappa). (Dengan kata lain, empat asaïkhyeyya kappa ini disebut, 

saÿvuñña asaïkhyeyya kappa, saÿvaññaññhàyã asaïkhyeyya kappa, 

vivañña asaïkhyeyya kappa, dan vivaññaññhàyã asaïkhyeyya kappa 

membentuk satu mahàkappa).

Dari empat asaïkhyeyya kappa ini, saÿvañña kappa yaitu   periode 

yang dimulai sejak turunnya hujan yang luar biasa deras yang 

menandai hancurnya kappa hingga padamnya api jika kappa itu 

hancur oleh unsur api; atau hingga surutnya banjir jika kappa itu 

hancur oleh unsur air; atau hingga redanya angin badai jika kappa 

itu hancur oleh unsur angin.

Saÿvaññaññhàyã kappa yaitu   periode yang dimulai sejak saat: 

hancurnya alam semesta oleh unsur api, air atau angin hingga 

turunnya hujan deras yang menandai terbentuknya alam semesta.

Vivañña kappa yaitu   periode yang dimulai sejak turunnya hujan 

yang luar biasa deras yang menandai pembentukan semesta baru 

hingga terbentuknya matahari, bulan, bintang-bintang, dan planet-

3117

 1

planet.

Vivaññàññhàyã kappa yaitu   periode yang dimulai sejak munculnya 

matahari, bulan, bintang-bintang, dan planet-planet hingga 

turunnya hujan deras yang menandai dimulainya penghancuran 

alam semesta.

Jadi, ada dua jenis kappa di mana hujan turun dengan luar biasa 

deras: Pertama, hujan deras di seluruh alam semesta yang akan 

hancur. lalu   dengan memanfaatkan hujan ini, umat manusia 

mulai bekerja. saat   tanaman-tanaman tumbuh cukup besar 

sebagai makanan bagi anak-anak sapi, hujan mulai berhenti. Ini 

yaitu   hujan yang menandai dimulainya penghancuran kappa.

Jenis lainnya yaitu  , hujan deras yang turun jika kappa itu akan 

hancur oleh unsur air. Ini bukanlah hujan biasa, tetapi jenis hujan 

yang luar biasa, sebab   memiliki kekuatan yang bahkan dapat 

menghancurkan gunung karang menjadi debu.

(Penjelasan terperinci mengenai penghancuran suatu kappa oleh 

unsur api, air, dan udara terdapat dalam bab Pubbenivàsànussati 

Abhi¤¤Ã  dari Visuddhimagga.) Empat asaïkhyeyya kappa di atas 

memiliki rentang waktu yang sama lamanya. Yang tidak dapat 

dihitung dalam satuan tahun. Itulah sebabnya disebut asaïkhyeyya 

kappa (kappa yang tidak terhitung lamanya).

Empat asaïkhyeyya kappa ini membentuk satu mahàkappa. 

Antara Kappa

Pada awal dari vivaññaññhàyã asaïkhyeyya kappa (awal dari 

terbentuknya alam semesta) umat manusia hidup selama waktu yang 

tidak terhitung lamanya (asaïkhyeyya). Seiring berjalannya waktu, 

mereka dikuasai oleh kotoran batin seperti lobha (keserakahan), dosa 

(kebencian), dan lain-lain dan sebagai akibatnya umur kehidupan 

mereka perlahan-lahan menurun hingga mencapai hanya sepuluh 

tahun. Periode penurunan umur kehidupan ini disebut hàyana 

kappa.

3118


Sebaliknya, sebab   meningkatnya kondisi-kondisi yang luhur dari 

batin seperti mettà (cinta kasih), dan lain-lain, umur kehidupan 

manusia generasi berikutnya setahap demi setahap meningkat 

hingga waktu yang tidak terhitung lamanya. Periode peningkatan 

umur kehidupan sampai tidak terhingga ini disebut vaddhana 

kappa.

Demikianlah umur kehidupan manusia naik dan turun antara 

sepuluh tahun hingga tidak terhingga banyaknya tahun saat 

mereka mengembangkan kebajikan atau saat mereka dikuasai oleh 

kejahatan. Sepasang umur kehidupan ini, yang meningkat lalu   

menurun, disebut antara kappa.

Tiga Jenis Antara Kappa

Pada awal dunia, saat umur kehidupan manusia menurun dari tidak 

terhingga menjadi sepuluh tahun, terjadi perubahan kappa. Jika 

penurunan ini disebabkan oleh meningkatnya keserakahan, akan 

terjadi kekurangan makanan dan semua orang jahat binasa dalam 

tujuh hari terakhir sebelum berakhirnya kappa. Masa ini disebut 

dubbhikkhantara kappa atau kappa kelaparan.

Jika penurunan ini disebabkan oleh meningkatnya kebodohan, akan 

terjadi wabah penyakit dan semua orang jahat akan binasa dalam 

tujuh hari terakhir sebelum berakhirnya kappa. Masa ini disebut 

rogantara kappa atau kappa penyakit.

Jika penurunan ini disebabkan oleh meningkatnya kebencian, akan 

terjadi saling bunuh di antara sesama manusia dengan memakai   

senjata dan semua orang jahat akan binasa dalam tujuh hari terakhir 

sebelum berakhirnya kappa. Masa ini disebut satthantara kappa 

atau kappa senjata.

(Menurut Visuddhimagga Mahàñãkà, rogantara kappa disebabkan 

oleh meningkatnya keserakahan, satthantara kappa oleh 

meningkatnya kebencian dan dubbhikkhantara kappa oleh 

meningkatnya kebodohan; yang lalu   diikuti oleh binasanya 

3119

 1

orang-orang jahat.)

Penamaan dari setiap pasang umur kehidupan ini—satu meningkat 

dan satu menurun—sebagai antara kappa dapat dijelaskan sebagai 

berikut: sebelum segalanya musnah, apakah oleh unsur api, air 

atau angin di akhir vivaññaññàyã asaïkhyeyya kappa dan saat umur 

kehidupan manusia menjadi hanya sepuluh tahun, semua orang 

jahat binasa sebab   kelaparan, penyakit atau senjata. Sehubungan 

dengan pernyataan ini, di sini yang dimaksudkan yaitu   periode 

lanjut dari satu periode penghancuran total dengan periode 

penghancuran berikutnya.

sesudah   bencana yang menimpa selama tujuh hari terakhir dari 

setiap antara kappa, sebutan rogantara kappa, satthantara kappa 

atau dubbhikkhantara kappa diberikan kepada periode bencana 

yang terjadi sebelum umur kehidupan sepuluh tahun (tidak berlaku 

di seluruh dunia, namun) hanya terbatas dalam wilayah tertentu 

seperti sebuah kota atau desa; jika terjadi wabah penyakit, disebut 

terjadi rogantara kappa di wilayah ini  ; jika terjadi peperangan, 

disebut terjadi satthantara kappa di wilayah ini  ; jika terjadi 

bencana kelaparan, disebut terjadi dubbhikkhantara kappa di 

wilayah ini  . Pernyataan demikian hanyalah perumpamaan 

sebab   peristiwa yang terjadi dalam suatu wilayah mirip dengan 

yang terjadi di alam semesta. Jika dalam doa, seseorang menyebutkan 

ingin bebas dari “tiga kappa,” biasanya yang ia maksudkan yaitu   

tiga bencana ini.

Pada akhir 64 antara kappa (masing-masing antara kappa terdiri dari 

sepasang kappa—menaik dan menurun), vivaññaññhàyã asaïkhyeyya 

kappa pun berakhir. sebab   tidak ada lagi makhluk hidup (di alam 

manusia dan alam surga) selama saÿvañña asaïkhyeyya kappa, 

saÿvaññaññhàyã asaïkhyeyya kappa, dan vivaññaññhàyã asaïkhyeyya 

kappa, kappa-kappa ini tidak termasuk dalam antara kappa yang 

terdiri dari sepasang kappa, menaik dan menurun. Tetapi harus 

dipahami bahwa masing-masing asaïkhyeyya kappa ini, memiliki 

masa yang sama dengan vivaññaññhàyã asaïkhyeyya kappa yaitu 

selama 64 antara kappa.

3120


âyu Kappa

âyu kappa artinya yaitu   suatu masa yang dihitung berdasarkan 

umur kehidupan (àyu) dalam masa itu. Jika umur kehidupan yaitu   

seratus tahun, maka satu abad yaitu   satu àyu kappa. Jika umur 

kehidupan yaitu   seribu tahun, satu millenium yaitu   satu àyu 

kappa.

saat   Buddha berkata, “ânanda, Aku telah mengembangkan 

empat Iddhipada (yang mendasari kekuatan batin). Jika Aku 

menginginkan, Aku dapat hidup selama satu kappa atau kurang 

sedikit,” kappa yang dimaksud di sini harus dianggap àyu kappa, 

yang merupakan lamanya umur kehidupan manusia pada masa itu. 

Dijelaskan dalam Aññhaka Nipàta dari Komentar Aïguttara bahwa 

Buddha mengucapkan pernyataan ini   untuk mengatakan 

bahwa Ia dapat hidup selama seratus tahun atau kurang sedikit jika 

Ia menginginkannya.

Namun Thera Mahàsãva, mengatakan bahwa, “âyu kappa di sini 

harus dianggap mahàkappa yang disebut bhaddaka,” (Ia berkata 

demikian sebab   ia berpendapat bahwa kamma yang menyebabkan 

kelahiran kembali dalam kehidupan terakhir Buddha memiliki 

kekuatan untuk memperpanjang umur kehidupannya selama tidak 

terhingga dan sebab   disebutkan dalam Tipiñaka bahwa âyupàlaka-

Phala Samàpatti, buah pencapaian yang mengkondisikan dan 

mengendalikan proses batin pendukung kehidupan yang disebut 

àyusaïkhara, dapat menghalau semua bahaya.) Namun pendapat 

Thera ini   tidak diterima oleh para komentator.

Saÿghabhedakakkhandhaka dari Vinaya Cåëavagga menyebutkan, 

“Ia yang menyebabkan perpecahan dalam Saÿgha akan terlahir 

kembali di Alam Niraya, alam penderitaan yang terus-menerus, 

dan menderita selama satu kappa penuh.” Kappa ini   yaitu   

umur kehidupan di alam Avãci, alam terendah dari alam penderitaan 

terus-menerus, komentar ini   menjelaskan. Umur kehidupan 

penghuni Avãci sama dengan seperdelapan puluh mahàkappa 

menurut Terasakaõóa òãkà, Subkomentar dari Vinaya. Dari sumber 

yang sama, disebutkan bahwa seperdelapan puluh dari masa 

3121

 1

itu yaitu   antara kappa (dari penghuni Avãci). Sehingga dapat 

disimpulkan bahwa satu mahàkappa terdiri dari 80 antara kappa 

menurut perhitungan Avãci.

Dari penjelasan di atas bahwa satu mahàkappa terdiri dari empat 

asaïkhyeyya kappa, dan satu asaïkhyeyya kappa terdiri dari 84 

antara kappa. Sehingga satu mahàkappa sama dengan 256 antara 

kappa menurut perhitungan manusia.

Jika 256 dibagi 80, sisanya yaitu   3 1/5. Oleh sebab   itu 3 1/5 antara 

kappa di alam manusia sama dengan satu antara kappa di Alam 

Avãci. (Di Alam Avãci tidak ada kappa pembentukan dan kappa 

penghancuran seperti di alam manusia. sebab   alam ini yaitu   

tempat di mana penderitaan terjadi terus-menerus, akhir dari kappa 

penghancuran tidak ditandai oleh tiga bencana. Seperdelapan puluh 

mahàkappa yang merupakan umur kehidupan para penghuni Avãci 

yaitu   antara kappa mereka. Jadi, satu antara kappa di Alam Avãci 

sama dengan 3 1/5 antara kappa di alam manusia.)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa satu asaïkhyeya kappa 

yaitu   sama dengan 64 antara kappa di alam manusia atau 20 antara 

kappa di Alam Avãci. Oleh sebab   itu, jika beberapa sumber Pàëi 

(seperti Visuddhimagga Mahà-òãkà, Abhidhammàttha-vibhàvanã 

Tãka, dan lain-lain) yang menyebutkan bahwa satu asaïkhyeya 

kappa terdiri dari 64 atau 20 antara kappa, hal ini   tidak saling 

bertentangan. Perbedaan antara dua angka ini (64 dan 20) terletak 

hanya pada cara penghitungan. Harus dimengerti bahwa dua-

duanya memiliki panjang waktu yang sama.

Yang penting untuk dicatat secara khusus yaitu   pernyataan yang 

terdapat dalam Sammohavinodanã, Komentar dari Abhidhammà 

Vibhaïga, dalam penjelasan dari ¥Ã Ãµaa-vibhaïga, disebutkan, 

“Hanya Saÿghabhedaka-kamma (perbuatan yang menyebabkan 

perpecahan dalam Saÿgha) yang akan mengakibatkan penderitaan 

hingga akhir kappa. Jika seseorang terlahir di Alam Avãci pada awal 

atau pada pertengahan kappa, ia akan terbebas pada saat kappa 

ini   berakhir. Jika ia terlahir di alam ini   hari ini, dan 

besoknya kappa berakhir, maka ia hanya akan menderita selama satu 

3122


hari dan akan terbebas keesokan harinya. (Namun) hal demikian 

hampir tidak mungkin terjadi.”

Sehubungan dengan pernyataan ini  , ada beberapa yang 

berpendapat bahwa “Saÿghabhedaka-kamma yang membawa 

ke Alam Niraya hingga akhir kappa (dalam arti mahàkappa); 

mereka yang melakukan kamma ini akan memperoleh kebebasan 

hanya saat kappa ini   berakhir. Sebenarnya, ungkapan 

kappaññhitiyo (berlangsung hingga akhir kappa) yang dijelaskan 

dalam Komentar Vibhaïga hanya penjelasan secara umum; tidak 

secara tegas menyebutkan kata mahàkappaññhitiyo (berlangsung 

hingga akhir mahàkappa). Ungkapan kappaññhitiyo yaitu   

berdasarkan syair dalam Vinaya Cåëavagga yang dibaca sebagai, 

“sesudah   menghancurkan persatuan Saÿgha, ia menderita di Alam 

Niraya hingga akhir kappa.” Oleh sebab   itu, kappa di sini yang 

dimaksudkan yaitu   Ã yu kappa bukan mahàkappa. Pada bab 13 

dari Komentar Kathavatthu, disebutkan mengenai kappa itu bahwa 

syair ini   merujuk pada àyu kappa (dari penghuni Avãci) yang 

hanya seperdelapan puluh mahàkappa.

Pembagian Mahàkappa

Mahàkappa dibagi menjadi dua kelompok: (1) su¤¤a kappa atau 

kappa kosong dan (2) asu¤¤a kappa atau kappa tidak kosong.

Dari kedua kelompok ini, kappa di mana tidak ada Buddha yang 

muncul yaitu   su¤¤a kappa atau kappa kosong; artinya kappa yang 

tidak ada Buddha.

Kappa di mana ada Buddha yang muncul yaitu   asu¤¤a kappa; 

artinya kappa di mana terdapat Buddha.

Meskipun Buddha tidak muncul dalam kappa kosong, namun 

Pacceka Buddha dan raja dunia dapat muncul, yang dapat 

disimpulkan berdasarkan Upàli Thera Sutta dalam Vagga Pertama 

dari Apàdàna.

Dalam Upàli Thera Sutta dan Komentarnya, disebutkan bahwa 

3123

 1

dua kappa sebelum kappa sekarang, Pangeran Khattiya, putra 

dari Raja A¤jasa, saat pergi dari suatu taman menghina Pacceka 

Buddha Devãëa, tidak disebutkan adanya kemunculan Buddha pada 

kappa ini  . Juga dalam Komentar Bhaddaji Thera Sutta dari 

Apadàna ini  , disebutkan bahwa Thera ini   memberi   

dàna makanan kepada lima ratus Pacceka Buddha dalam suatu 

su¤¤a kappa. Dari Sutta-Sutta ini, jelas bahwa Pacceka Buddha 

muncul dalam su¤¤a kappa. lalu   lagi, Kusumàsaniya Thera 

Sutta dari Apadàna, menyebutkan bahwa “Pada masa depan, 

Kusumàsaniya akan terlahir sebagai Raja Dunia Varadassã dalam 

kappa berikutnya,” Tiõasanthara Thera Sutta juga menyebutkan 

bahwa bakal Thera Tiõasanthara terlahir sebagai Raja Dunia 

Migasammata dua kappa sebelum kappa sekarang. Semua ini 

menyiratkan adanya kemungkinan munculnya raja dunia dalam 

kappa kosong.

Kappa yang tidak kosong di mana Buddha muncul dibagi menjadi 

lima kelompok: (a) sara kappa, (b) manda kappa, (c) vara kappa, 

(d) saramanda kappa, dan (e) bhadda kappa.

(a) Kappa di mana hanya muncul satu Buddha disebut sàra 

kappa,

(b) Kappa di mana muncul dua Buddha disebut maõóa kappa,

(c) Kappa di mana muncul tiga Buddha disebut vara kappa,

(d) Kappa di mana muncul empat Buddha disebut sàramaõóa 

kappa,

(e) Kappa di mana muncul lima Buddha disebut bhadda kappa.

Kappa saat munculnya Sumedha yaitu   sàramaõóa kappa 

sebab   muncul empat Buddha dalam kappa ini  . Kota 

Amaravati terbentuk sesudah   kemunculan tiga Buddha, yaitu: 

Taõhaïkara, Medhaïkara, dan Saranaïkara dan sebelum munculnya 

Dãpaïkara.

Nama Amaravatã

Amara artinya “Dewa” (makhluk abadi) dan vatã artinya “milik;” 

dengan demikian artinya kota milik para dewa.

3124


Disebutkan dalam Bhesajjakkhandhaka dari Vinaya Mahà 

Vagga dan sumber-sumber lain bahwa segera sesudah   Brahmani 

Sunidha dan Vassakàra merencanakan untuk membangun sebuah 

Kota Pàñaliputta, para dewa datang dan saling membagi petak-

petak tanah. Petak-petak yang ditempati oleh para dewa yang 

berkemampuan batin tinggi menjadi tempat tinggal putri, para 

menteri dan orang-orang kaya yang berstatus tinggi; petak-petak 

tanah yang ditempati oleh para dewa yang berkemampuan batin 

menengah menjadi tempat tinggal orang-orang yang berstatus 

menengah; dan petak-petak tanah yang ditempati oleh para dewa 

yang berkemampuan batin rendah menjadi tempat tinggal orang-

orang yang berstatus rendah.

Dari pernyataan ini, dapat dianggap bahwa para dewa datang 

dan menempati tempat di mana kota agung akan dibangun. 

Dinamakan Amaravati untuk menunjukkan kehadiran para dewa 

yang menandai lokasi mereka dalam kota ini   dan melindungi 

para penghuninya.

Kata Pàëi vatã berarti kepemilikan yang berlimpah-limpah. Di 

dunia ini, mereka yang memiliki sedikit harta tidak disebut orang 

kaya, namun hanya mereka yang memiliki harta yang berlimpah-

limpah yang disebut orang kaya. Oleh sebab   itu nama Amaravati 

menunjukkan bahwa, kota itu yaitu   kota kerajaan dan tempat 

tinggal yang agung, ditempati dan dilindungi oleh sejumlah besar 

dewa-dewa yang berkemampuan batin tinggi.

Cacat Jalan Setapak

Lima cacat dari jalan setapak yaitu   sebagai berikut:

(1) Jalan setapak yang kasar dan tidak datar akan melukai kaki 

yang berjalan di atasnya; telapak kaki dapat melepuh. Sebagai 

akibatnya, meditasi tidak dapat dipraktikkan dengan penuh 

konsentrasi. Sebaliknya, kenyamanan yang diberikan oleh 

jalan setapak yang datar dan lembut sangat membantu dalam 

melatih meditasi. Kasar dan tidak rata yaitu   cacat pertama 

3125

 1

dari sebuah jalan setapak.

(2) Jika terdapat pohon-pohon di tengah-tengah jalan setapak 

ini  , ia yang berjalan dengan tidak hati-hati dapat terluka 

kepalanya sebab   menabrak pohon ini  . Adanya pohon 

yaitu   cacat kedua dari sebuah jalan setapak.

(3) Jika jalan setapak tertutupi oleh semak belukar, ia yang berjalan 

dalam gelap dapat menginjak binatang-binatang melata dan 

lain-lain dan membunuh mereka (meskipun dengan tidak 

sengaja). Adanya semak belukar yaitu   cacat ketiga dari sebuah 

jalan setapak.

(4) Dalam membuat jalan setapak, yaitu   penting untuk membuat 

tiga lajur. Lajur tengah yaitu   yang utama, harus lurus, 

panjangnya 60 lengan dan satu setengah lengan lebarnya. 

Di kedua sisinya terdapat dua lajur yang lebih kecil, masing-

masing lebarnya satu lengan. Jika lajur tengah terlalu sempit, 

misalnya satu lengan atau setengah lengan, ada kemungkinan 

kaki atau tangan terluka sebab   suatu kecelakaan. Terlalu 

sempit yaitu   cacat keempat dari sebuah jalan setapak.

(5) Berjalan di jalan setapak yang terlalu lebar, perhatian seseorang 

dapat terganggu: sehingga pikirannya sulit tenang. Terlalu lebar 

yaitu   cacat kelima dari sebuah jalan setapak.

Delapan Kebahagiaan Seorang Petapa

Delapan kebahagiaan seorang petapa (samaõasukha), yang 

disebutkan di sini dijelaskan sebagai delapan berkah bagi seorang 

petapa (samaõabhadra) dalam Soõaka Jàtaka dari Satthi Nipàta. 

Berikut ini yaitu   kisah dari Jàtaka ini   secara ringkas:

Pada suatu saat  , Bodhisatta terlahir sebagai Arindama, putra raja 

Magadha dari Ràjagaha. Pada hari yang sama juga lahir Soõaka, 

putra dari penasihat raja.

Kedua anak ini tumbuh bersama-sama dan saat   usia mereka 

mencukupi, mereka pergi ke Takkasilà untuk sekolah. sesudah   

menyelesaikan pendidikan, mereka meninggalkan Takkasilà 

bersama-sama dan pergi bersama-sama merantau untuk 

memperluas pengetahuan dan pengalaman mengenai berbagai 

3126


keahlian dan kebiasaan setempat. Mereka tiba di taman kerajaan 

dari Raja Bàràõasã dan memasuki kota keesokan harinya.

Pada hari itu, sedang berlangsung festival pembacaan Veda yang 

dikenal dengan Bràhmaõavàcaka. Nasi susu dihidangkan dan 

tempat-tempat duduk dipersiapkan untuk acara ini  . Saat 

memasuki kota, Pangeran Arindama dan sahabatnya diundang 

masuk ke dalam sebuah rumah dan dipersilakan duduk. Melihat 

bahwa tempat duduk sang pangeran ditutupi oleh kain putih dan 

tempat duduknya ditutupi oleh kain merah, Soõaka memahami 

pertanda ini   bahwa “Hari ini sahabatku Arindama akan 

menjadi Raja Bàràõasã dan aku akan ditunjuk menjadi jenderal.”

sesudah   makan, kedua sahabat ini kembali ke taman kerajaan. Hari 

itu yaitu   hari ketujuh sejak wafatnya sang raja, dan para menteri 

sedang mencari orang yang layak untuk memimpin kerajaan dengan 

mengirimkan kereta-kereta kerajaan untuk mencari orang ini  . 

Kereta ini   meninggalkan kota, menuju taman dan berhenti di 

pintu gerbang. Pada saat itu Pangeran Arindama sedang berbaring 

di atas sebuah batu besar dengan kepala tertutup dan sahabatnya 

Soõaka duduk di dekatnya. Segera saat Soõaka mendengar suara 

musik, ia berpikir, “Kereta kerajaan datang untuk menjemput 

Arindama. Hari ini ia akan menjadi raja dan memberi   jabatan 

panglima kerajaan kepadaku. Aku tidak menginginkan jabatan 

ini  . Saat Arindama meninggalkan taman, aku akan melepaskan 

keduniawian dan menjadi petapa,” lalu   ia pergi ke salah satu 

sudut dan bersembunyi.

Kepala penasihat dan para menteri dari Bàrànasã melakukan Ritual   

pengangkatan Pangeran Arindama di atas batu dan dengan Ritual   

yang megah membawanya memasuki kota. Pangeran Arindama 

menjadi Raja Bàrànasã. sebab   peristiwa yang tiba-tiba ini dan 

sebab   dilayani oleh banyak pelayan dan pengikut, ia lupa kepada 

sahabatnya Soõaka.

saat   Raja Arindama telah meninggalkan taman menuju kota, 

Soõaka keluar dari tempat persembunyiannya dan duduk di atas 

batu. Saat itu ia melihat daun sàla (Shorea robusta) kering jatuh 

3127

 1

tepat di depannya dan ia merenungkan, “Bagaikan daun sàla ini, 

tubuhku juga pasti akan rusak oleh usia tua, aku pasti akan mati 

dan jatuh ke tanah.” Dengan perasaan religius ia bangkit, ia sesaat   

masuk dalam meditasi Vipassanà, dan pada saat duduk itu juga, 

ia mencapai Pencerahan seorang Pacceka Buddha. Penampilan 

awamnya lenyap, dan ia menjadi berpenampilan sebagai seorang 

petapa. Mengucapkan kegembiraan, “Sekarang aku tidak akan 

terlahir kembali!” ia pergi menuju Gua NandamÃ¥laka.

Sebaliknya, Pangeran Arindama terjebak dalam kemewahan istana. 

Hanya sesudah   empat puluh tahun, ia teringat akan sahabatnya. Dan 

ia merasa rindu dan ingin bertemu dengan sahabatnya, bertanya-

tanya di manakah ia sekarang, namun ia tidak menerima berita 

apa pun mengenai keberadaan sahabatnya, ia berulang-ulang 

mengucapkan syair berikut:

“Aku akan memberi   seratus keping uang kepada siapa pun 

yang mendengar dan membawa berita mengenai Soõaka. Aku 

akan memberi   seribu keping uang kepada siapa pun yang 

pernah bertemu dengan Soõaka dan memberitahukan kepadaku 

bagaimana bertemu dengannya. Siapakah? Tua atau muda, yang 

dapat memberitahukan kepadaku mengenai sahabatku Soõaka, 

teman bermainku sejak kecil?”

Orang-orang mendengarkan syair ini   dan semua orang 

menyanyikan sebab   menganggap itu yaitu   kesukaannya.

sesudah   lima puluh tahun, sejumlah anaknya telah lahir, yang tertua 

yaitu   Dãghàvu. Pada saat itu, Pacceka Buddha Soõaka berpikir, 

“Raja Arindama ingin bertemu denganku. Aku akan datang dan 

memberi   ceramah mengenai kerugian dari kenikmatan indria 

dan manfaat melepaskan keduniawian sehingga ia akan tergerak 

untuk menjalani kehidupan bertapa.” Demikianlah, ia melakukan 

perjalanan melalui angkasa menuju taman kerajaan. Mendengar 

seorang anak terus-menerus menyanyikan syair tadi sambil 

memotong kayu, Pacceka Buddha mengajarkan kepadanya sebuah 

syair untuk menjawab syair raja ini  .

3128


Anak itu segera pergi menjumpai raja dan menyanyikan syair 

jawaban ini   yang menyebutkan keberadaan sahabatnya itu. 

lalu   raja dengan diiringi oleh pasukannya pergi menuju 

taman kerajaan dan memberi hormat kepada Pacceka Buddha. 

Namun sebagai seorang yang memiliki kenikmatan duniawi, raja 

memandang rendah sahabatnya dan berkata, “Betapa miskinnya 

engkau, hidup sebatang kara seperti ini.” Pacceka Buddha menolak 

celaan raja dengan menjawab, “Tidak ada istilah miskin bagi mereka 

yang menikmati berkah Dhamma dalam Jalan Mulia baik secara 

jasmani maupun batin! Hanya mereka yang jauh dari Dhamma 

dan mempraktikkan apa yang tidak baik yang disebut miskin! Di 

samping itu, ia yaitu   orang jahat dan menjadi tempat berlindung 

bagi orang jahat lainnya.”

lalu   ia memberitahukan kepada Pacceka Buddha bahwa 

namanya yaitu   Arindama dan bahwa ia dikenal sebagai Raja Kàsi, 

dan bertanya apakah orang suci itu hidup bahagia.

lalu   Pacceka Buddha mengucapkan delapan syair yang 

memuji delapan berkah bagi seorang petapa (samaõabhadra):

1. “Raja besar, seorang petapa yang telah pergi meninggalkan 

kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa 

rumah dan yang bebas dari kekhawatiran akan harta benda 

merasa bahagia di mana pun ia berada dan di setiap waktu 

(Bukan hanya di tamanmu ini pada saat ini). Raja besar, petapa 

demikian tidak perlu menyimpan padi di dalam lumbung 

atau kendi (tidak seperti orang-orang awam yang menimbun 

dan keserakahannya berkembang dalam waktu yang lama). 

Seorang petapa hanya hidup dari makanan yang diberikan dari 

rumah-rumah para dermawan dan memperolehnya dengan 

cara mengumpulkan dàna makanan ini  ; ia memakan 

makanan ini   dengan perenungan.” (Demikianlah ia 

menjelaskan kebahagiaan dari tidak menimbun harta kekayaan 

dan makanan.)

2. Ada dua jenis makanan yang mengandung cacat (sàvajjapiõóa). 

Seperti yang disebutkan dalam Vinaya, yang pertama yaitu   

3129

 1

makanan yang diperoleh dengan cara yang salah seperti 

makanan yang disediakan untuk orang sakit dan lain-lain, atau 

makanan yang disiapkan dengan satu dari lima penghidupan 

yang salah. Cacat yang lain yaitu   jenis makanan yang dimakan 

tanpa perenungan meskipun makanan ini   diperoleh 

dengan cara yang benar.)

 “Raja besar, seorang petapa mulia seharusnya melakukan 

perenungan pada saat memakan makanan yang diperoleh 

dengan tanpa cacat. Ia yang memakan dengan benar makanan 

yang tanpa cacat tidak akan tertekan oleh segala bentuk 

kenikmatan indria. Bebas dari tekanan kenikmatan indria 

yaitu   berkah kedua bagi seorang petapa yang tidak pernah 

menginginkan atau mengkhawatirkan.” (Demikianlah ia 

menjelaskan kebahagiaan yang diperoleh dari mencari dan 

memakan makanan yang tanpa cacat.)

3. (Makanan yang diperoleh dengan cara yang benar dan 

dimakan dengan penuh perenungan disebut “makanan 

penuh kedamaian” (nibbutapiõóa), yaitu, makanan yang tidak 

melibatkan keserakahan. Dalam kenyataannya, bagaimanapun 

juga, hanya makanan seorang Arahanta yang “penuh 

kedamaian” yaitu yang tidak melibatkan keserakahan.)

“Raja besar, seorang petapa mulia hanya memakan makanan 

yang penuh kedamaian. Ia tidak tertekan oleh segala bentuk 

kenikmatan indria. Bebas dari tekanan segala bentuk 

kenikmatan indria yaitu   berkah ketiga bagi seorang petapa 

yang tidak pernah menginginkan atau mengkhawatirkan.” 

(Demikianlah ia menjelaskan kebahagiaan yang diperoleh dari 

hanya memakan makanan yang penuh kedamaian.)

4. “Raja besar, seorang petapa mulia yang mengumpulkan dàna 

makanan di dalam kota-kota dan desa tanpa kemelekatan 

terhadap para dermawan yang menyediakan kebutuhannya 

tidak memiliki keserakahan dan kebencian.” (Melekat dengan 

cara yang salah terhadap objek indria bagaikan duri disebut 

dosasaïga, cacat kemelekatan.) Bebas dari kemelekatan 

3130


demikian yaitu   berkah keempat bagi seorang petapa yang 

tidak menginginkan atau mengkhawatirkan. (Demik