Biksu Budha 19

 



an membunuh (menangkap ikan), 

saat   tidak berhubungan dengan tindakan membunuh, dàna yang 

dilakukan dalam kehidupan lampau tidak dapat berbuah dan sebab   

itu kekayaannya menurun.

3174


(6) Persembahan yang Dilakukan Melalui Tangan Sendiri 

(Sàhatthika Dàna) dan Persembahan yang Dilakukan Melalui 

Wakil Atau Dilakukan Atas Perintah Orang Lain (Anattika 

Dàna).

Bahwasanya sàhatthika dàna menghasilkan akibat yang lebih 

bermanfaat daripada anattika dàna dapat dibaca dari Payàsi Sutta 

dari Mahà Vagga, Dãgha Nikàya, Kitab Pàëi.

(7) Persembahan yang Dilakukan Dengan Persiapan yang 

Benar dan Saksama (Sakkacca Dàna) dan Persembahan yang 

Dilakukan Tanpa Persiapan yang Benar dan Tidak Saksama 

(Asakkacca Dàna)

Misalkan dalam suatu persembahan bunga. sesudah   memetik 

bunga dari pohonnya, si penyumbang membuat karangan bunga, 

dan membentuknya agar terlihat seindah mungkin, dan lalu   

memberi   persembahan bunga, maka ini disebut sakkacca 

dàna, persembahan yang dilakukan dengan persiapan yang benar 

dan saksama. Tanpa melakukan persiapan benar dan tidak secara 

saksama, bunga-bunga itu dipersembahkan begitu dipetik dari 

pohonnya, dengan pikiran bahwa dengan mempersembahkan 

bunga saja sudah mencukupi, maka itu yaitu   asakkacca dàna, 

persembahan yang dilakukan tanpa persiapan benar dan tidak 

saksama.

Beberapa penulis menerjemahkan ‘sakkacca dàna’ dan ‘asakkacca 

dàna’ sebagai ‘persembahan yang dilakukan dengan penuh hormat’ 

dan ‘persembahan yang dilakukan tanpa rasa hormat’. Terjemahan 

ini, sering disalahartikan oleh para pembaca yang menganggap 

bahwa itu berarti menghormati atau tidak menghormati si penerima 

persembahan. ‘Dengan penuh hormat’ di sini maksudnya yaitu   

‘melakukan persiapan yang saksama’ atas persembahan ini  .

3175

 1

(8) Persembahan yang Berhubungan Dengan Kebijaksanaan 

(¥Ã Ãµasampayutta Dàna) dan Persembahan yang Tidak 

Berhubungan Dengan Kebijaksanaan (¥Ã Ãµavippayutta Dàna)

Persembahan yang dilakukan dengan pemahaman murni atas 

kehendak dan akibat yang dihasilkan disebut persembahan yang 

berhubungan dengan kebijaksanaan; jika persembahan yang 

dilakukan tanpa pemahaman murni dan kesadaran, hanya sekadar 

mengikuti perbuatan orang lain dalam berdana, maka disebut 

¥Ã Ãµavippayutta dàna. Harus disebutkan bahwa hanya kesadaran 

atas sebab dan akibatnya, pada saat memberi   persembahan, 

sudah cukup agar memenuhi syarat sebagai persembahan yang 

berhubungan dengan kebijaksanaan. Sehubungan dengan hal 

ini, diperlukan penjelasan atas nasihat: Pada saat memberi   

persembahan, harus disertai dengan Pengetahuan Pandangan Cerah, 

Vipassanà ¥aõa, dengan cara: aku, penyumbang benda ini, yaitu   

anicca, bersifat tidak kekal, benda yang kuberikan juga anicca, 

bersifat tidak kekal, dan penerima benda ini juga anicca, bersifat 

tidak kekal. Aku yang tidak kekal, mempersembahkan benda yang 

tidak kekal kepada penerima yang tidak kekal. Demikianlah kita 

harus merenungkan pada saat memberi   suatu persembahan.

Nasihat ini   ber tujuan untuk mendorong praktik 

mengembangkan Pengetahuan Pandangan Cerah, Vipassanà 

¥Ã Ãµa. Jangan disalahartikan bahwa tindakan kedermawanan tidak 

berhubungan dengan kebijaksanaan jika si penyumbang tidak 

melakukan perenungan seperti nasihat di atas.

Sesungguhnya, siapa pun yang ingin mengembangkan Vipassanà 

¥Ã Ãµa sejati harus terlebih dahulu menyingkirkan gagasan tentang 

aku, dia, laki-laki, perempuan, yaitu, ilusi tentang aku, ilusi 

tentang diri, untuk dapat melihat bahwa semua itu hanyalah 

kelompok-kelompok jasmani dan kelompok-kelompok batin. 

lalu   ia harus melanjutkan dengan merenungkan bahwa 

kelompok-kelompok jasmani dan batin ini bersifat tidak kekal, tidak 

memuaskan dan tanpa-diri. Tanpa membeda-bedakan kelompok-

kelompok batin dan jasmani, jika seseorang merenungkan dengan 

konsep konvensional: aku anicca, objek persembahan ini anicca, 

3176


penerima juga anicca, akan ada Pengetahuan Pandangan Cerah 

yang sejati.

(9) Persembahan yang Diberikan Dengan Enggan dan Hanya 

sesudah   Dipaksa (Sasaïkhàrika Dàna); Persembahan yang 

Diberikan Secara Spontan Tanpa Paksaan (Asaïkhàrika Dàna)

Di sini paksaan berarti dorongan atau permintaan dari seseorang 

untuk memberi   sedangkan ia segan atau enggan melakukannya. 

Jika persembahan dilakukan dengan permintaan sederhana, maka 

itu tidak dianggap paksaan. Misalnya, seseorang yang belum 

memutuskan apakah ia akan memberi   persembahan atau tidak, 

didatangi oleh seseorang yang meminta sumbangan; dan orang 

ini   memberi   tanpa merasa enggan. Ini yaitu   pemberian 

spontan atas suatu permintaan sederhana; sebab   itu dikelompokkan 

sebagai asaïkhàrikadàna (tanpa paksaan), dan tidak disebut 

sasaïkhàrika dàna (meskipun dilakukan sesudah   suatu permintaan). 

Seorang yang lain mengalami hal yang sama—didatangi dan 

dimintai sumbangan; pada mulanya ia enggan dan menolak untuk 

memberi. Namun saat permintaan ini   diulangi dengan paksaan 

‘Mohon berikan sumbangan; jangan menghindar’ maka lalu   

ia memberi sumbangan. Dàna-nya yang dilakukan sebagai akibat 

dari paksaan disebut sasaïkhàrika dàna (dengan paksaan). Bahkan 

dalam kasus di mana tidak ada orang yang datang untuk meminta 

dàna, jika ia pertama-tama berniat memberi   persembahan, dan 

lalu   merasa enggan melakukannya, tetapi sesudah   membujuk 

diri sendiri, mendesak diri sendiri, akhirnya ia memberi  , dàna-

nya juga dikelompokkan dalam jenis sasaïkhàrika juga.

(10) Persembahan yang Dilakukan Saat Seseorang Sedang 

Dalam Keadaan Gembira (Somanassa Dàna); Persembahan 

yang Dilakukan Dengan Batin Seimbang, Tidak Gembira Juga 

Tidak Berduka (Upekkhà Dàna)

(Jika tindakan berdana disertai oleh kegembiraan, itu yaitu   

somanassa dàna; jika disertai oleh keseimbangan, maka disebut 

upekkhà dàna).

3177

 1

(11) Persembahan Harta Benda yang Diperoleh Sesuai Dengan 

Dhamma (Dhammiya Dàna); Persembahan Harta Benda yang 

Diperoleh Dengan Cara-cara yang Tidak Sesuai Dengan 

Dhamma (Adhammiya Dàna)

Walaupun harta benda diperoleh dengan cara-cara yang tidak 

brmoral, namun mempersembahkan barang-barang ini   juga 

merupakan perbuatan baik; namun akibat baik yang dihasilkan dari 

dàna jenis ini tidak sebesar akibat baik yang dihasilkan dari jenis 

pertama, dhammiya dàna. Perumpamaan dari perbedaan kedua ini 

yaitu   bagaikan tanaman yang tumbuh dari benih yang baik dan 

dari benih yang buruk.

(12) Persembahan yang Dilakukan Dengan Harapan Untuk 

Memperoleh Kenikmatan Duniawi yaitu   Memperbudak 

Dàna (Dàsa Dàna), Persembahan yang Dapat Memperbudak 

Seseorang

Sebagai seorang budak dari kemelekatan terhadap kenikmatan 

indria, seseorang menjadikan dàna jenis ini untuk melayani 

majikannya, kemelekatan untuk memenuhi keinginannya. 

Persembahan yang dilakukan dengan cita-cita untuk mencapai Jalan 

dan Buahnya, Nibbàna, yaitu   dàna untuk kebebasan, bhujissa dàna 

(persembahan yang dilakukan sebagai pemberontakan melawan 

perintah majikan, si kemelekatan).

Makhluk-makhluk hidup yang berada dalam lingkaran kehidupan 

yang tiada akhir ingin menikmati kenikmatan indria yang 

menyenangkan (objek terlihat, suara, bau-bauan, rasa kecapan, 

sentuhan). Keinginan untuk bersenang-senang yang disebut 

kenikmatan ini disebut keserakahan. Setiap saat dalam kehidupan 

mereka dicurahkan untuk memuaskan keserakahan ini; dengan 

memenuhi keserakahan ini, mereka menjadi pelayannya. Terus-

menerus berusaha, siang dan malam sepanjang hidup mereka demi 

kekayaan bukan lain yaitu   pemenuhan keinginan dari keserakahan 

yang menuntut makanan terbaik, pakaian terbaik, dan gaya hidup 

yang paling mewah.

3178


Tidak puas dengan menjadi budak bagi keserakahan dalam 

kehidupan ini, bekerja untuk memenuhi segala kebutuhan, 

kita melakukan tindakan dàna untuk memastikan tercapainya 

kemewahan pada masa depan. Jenis persembahan yang disertai 

oleh keinginan kuat untuk menikmati kenikmatan duniawi 

terus-menerus dalam kehidupan-kehidupan mendatang, yaitu   

memperbudak dàna, dàsa dàna.

Jenis dàna ini dalam memenuhi keinginan dari keserakahan dan yang 

melayani keserakahan sepanjang lingkaran kehidupan yang tiada 

akhir, berpikir bahwa itu yaitu   yang terbaik, sebelum seseorang 

bertemu dengan ajaran Buddha. Tetapi begitu kita cukup beruntung 

dapat mendengarkan Buddhadhamma, kita menjadi memahami 

betapa berkuasanya keserakahan itu, betapa tidak pernah puasnya 

ia, betapa kita harus menderita untuk memenuhi keinginan dari si 

keserakahan ini. lalu   dengan bertekad, ‘Aku tidak mau lagi 

menjadi pelayan dari keserakahan yang sungguh mengerikan ini, 

aku tidak mau lagi memenuhi keinginannya, aku akan memberontak 

melawannya, aku akan menentangnya’, dan untuk mencabut, untuk 

melenyapkan keserakahan jahat ini, seseorang harus memberi   

persembahan dengan cita-cita untuk mencapai Jalan dan Buahnya, 

Nibbàna. Dàna ini disebut dàna yang dilakukan demi kebebasan, 

bhujissa dàna (persembahan yang dilakukan sebagai pemberontakan 

melawan perintah majikan, si kemelekatan).

(13) Persembahan Benda-benda yang Bersifat Diam, Tidak 

Bergerak, Seperti Pagoda, Vihàra, Penginapan, Kamar Mandi, 

dan Sebagainya (Thàvara Dàna); Persembahan Benda-

benda yang Bersifat Dapat Bergerak, yang Dimaksudkan 

untuk Penggunaan Sementara, Seperti Makanan, Jubah, dan 

Sebagainya (Athàvara Dàna)

(14) Persembahan yang Diberikan Dengan Disertai Barang-

barang Pelengkap yang Biasanya Menyertai Barang-barang 

Persembahan ini   (Saparivàra Dàna)

Misalnya, dalam mempersembahkan jubah, sebagai barang utama 

dari suatu persembahan, jika disertai dengan barang-barang 

3179

 1

pelengkap yang sesuai, maka itu yaitu   saparivàra dàna; jika 

tidak ada barang lain selain barang utama jubah, maka itu yaitu   

persembahan tanpa barang pelengkap, aparivàra dàna. Hal yang 

sama berlaku bagi barang persembahan lainnya.

Karakteristik istimewa yang terdapat pada tubuh para Bodhisatta 

yang memiliki banyak pengikut yang melayani mereka yaitu   akibat 

dari dàna jenis saparivàra.

(15) Persembahan yang Diberikan Secara Rutin dan Teratur 

Seperti Persembahan Makanan Kepada Saÿgha Setiap Hari 

(Nibaddha Dàna); Persembahan yang Dilakukan Secara Tidak 

Rutin Tetapi Hanya Kadang-kadang (Anibaddha Dàna)

(16) Persembahan Ternoda (Paramattha Dàna); Persembahan 

Tidak Ternoda (Aparamattha Dàna)

Persembahan yang dinodai oleh keserakahan dan pandangan 

salah yaitu   paràmattha dàna; persembahan yang tidak dirusak 

oleh keserakahan dan pandangan salah yaitu   aparamattha dàna. 

Menurut Abhidhammà, seseorang menjadi rusak jika disesatkan 

hanya oleh pandangan salah; tetapi pandangan salah selalu 

berdampingan dengan keserakahan. saat   pandangan salah 

merusak dan menyesatkan seseorang, keserakahan juga terlibat. 

Oleh sebab   itu keserakahan dan pandangan salah keduanya 

disebutkan di atas. Dan berikut ini yaitu   bagaimana keserakahan 

dan pandangan salah membawa kerusakan. sesudah   memberi   

persembahan, jika seseorang mengungkapkan keinginan yang baik 

dan sungguh-sungguh, ”Semoga aku segera mencapai Jalan dan 

Buahnya, Nibbàna, sebagai akibat dari kebajikan ini’, persembahan 

ini berjenis vivattanissita (lihat jenis (4) di atas), dan dapat menjadi 

kondisi yang cukup kuat untuk mencapai Jalan dan Buahnya, 

Nibbàna. Tetapi, bukannya berkeinginan untuk mencapai Nibbàna, 

saat   seseorang dirusak dan disesatkan oleh keserakahan dan 

pandangan salah, sebagai akibat dari kebajikannya, ia bercita-cita, 

”Semoga aku menjadi dewa yang berkuasa seperti Sakka, Raja 

Alam Tàvatiÿsa, atau dewa yang berumur panjang,” dànanya 

tidak bertindak sebagai kondisi yang mencukupi untuk mencapai 

3180


Nibbàna dan dikelompokkan hanya sebagai paramattha dàna, dàna 

yang tidak mengandung kondisi yang mencukupi untuk mencapai 

Nibbàna, sebab   dinodai oleh keserakahan dan pandangan salah. 

Dàna yang tidak ternoda oleh keserakahan dan pandangan 

salah tetapi dilakukan dengan tujuan tunggal mencapai Nibbàna 

dikelompokkan sebagai aparamattha dàna.

Banyak kedermawanan dipraktikkan di luar ajaran Buddha; tetapi 

hanya jenis paràmattha yang mungkin. Hanya di dalam ajaran 

Buddha, dàna jenis aparamattha dapat dipraktikkan. Oleh sebab   

itu, sebab   kita mendapat kesempatan yang langka dapat bertemu 

dengan ajaran Buddha, kita harus berusaha semaksimal mungkin 

untuk memastikan agar persembahan yang kita lakukan yaitu   

yang berjenis aparàmattha.

(17) Persembahan Barang-barang Sisa, yang Berkualitas Rendah 

(Ucchiññha Dàna); Persembahan Barang-barang yang Bukan 

Sisa, Tidak Berkualitas Rendah (Anucchiññha Dàna)

Misalnya, sewaktu mempersiapkan makanan, seorang penerima 

dàna datang dan seseorang memberi   makanan yang telah 

dipersiapkan sebelum ada orang yang memakannya; itu dianggap 

sebagai ‘pemberian tertinggi’ (agga dàna) dan itu juga disebut 

anucchiññha dàna sebab   persembahan itu bukanlah makanan sisa. 

Jika si penerima datang sewaktu seseorang sedang makan, tetapi 

belum menyelesaikan makannya, dan orang itu mempersembahkan 

makanan yang diambil dari makanan yang sedang ia makan, itu 

juga dianggap sebagai anucchiññha dàna; juga dianggap sebagai 

persembahan mulia. Jika persembahan terdiri dari makanan sisa 

saat seseorang telah selesai makan, itu yaitu   sisa, ucchiññha dàna, 

yang berkualitas rendah. Akan tetapi, harus dimengerti, suatu 

persembahan sederhana yang diberikan oleh seseorang yang 

tidak memiliki apa pun kecuali makanan sisa, juga dapat disebut 

anucchiññha dàna, hanya jika persembahan ini   dilakukan oleh 

orang yang mampu memberi   persembahan yang lebih baik maka 

persembahan itu disebut berkualitas rendah, ucchiññha dàna.

3181

 1

(18) Persembahan yang Dilakukan Sewaktu Masih Hidup 

(Sajivadàna); Persembahan yang Dilakukan sesudah   Meninggal 

Dunia (Accaya Dàna)

Seorang bhikkhu tidak diperbolehkan melakukan dàna jenis accaya, 

yaitu, ia tidak boleh mewariskan hartanya kepada orang lain sesudah   

meninggal dunia. Bahkan jika ia melakukan hal itu, tindakan itu 

bukanlah dàna; calon penerima juga tidak berhak memilikinya. 

Jika seorang bhikkhu memberi   hartanya kepada bhikkhu lain 

sewaktu ia masih hidup, si penerima berhak atas apa yang diberikan; 

atau jika bhikkhu itu masih hidup, bhikkhu-bhikkhu lain yang akrab 

(vissàssagaha) dengannya boleh mengambil dan memilikinya; atau 

jika ia memilikinya secara bersama (dvisantaka) dengan bhikkhu 

lain, jika ia meninggal dunia, bhikkhu yang masih hidup akan 

menjadi pemilik sah. Jika kondisi-kondisi ini tidak terpenuhi, 

yaitu, memberi   harta saat masih hidup, atau memilikinya 

sebab   keakraban sewaktu masih hidup, atau memilikinya sebab   

kepemilikan bersama, maka harta bhikkhu itu menjadi harta 

Saÿgha, perkumpulan para bhikkhu jika ia meninggal. Oleh 

sebab   itu, jika seorang bhikkhu melakukan accaya dàna, dengan 

mengatakan, ”Aku memberi   hartaku kepada si anu saat aku 

meninggal dunia. Ia boleh memilikinya,” itu berarti memberi   

hartanya itu kepada Saÿgha. Pemberiannya itu bukanlah tindakan 

dàna dan calon penerima juga tidak berhak memilikinya. Hanya di 

antara umat-umat awam, pemberian demikian, accaya dàna, boleh 

dilakukan dan sah.

(19) Persembahan yang Diberikan Kepada Satu Atau Beberapa 

Bhikkhu Secara Terpisah (Puggalika Dàna); Persembahan yang 

Diberikan Kepada Saÿgha (Saÿghika Dàna)

Saÿgha artinya kelompok, perkumpulan atau komunitas; di sini, 

yang dimaksudkan yaitu   seluruh komunitas para siswa Ariya 

Buddha. Dalam memberi   persembahan kepada Saÿgha, si 

pemberi tidak boleh memikirkan seorang siswa Ariya secara 

individu sebagai Saÿgha, tetapi komunitas para siswa Ariya secara 

keseluruhan, maka persembahannya termasuk jenis Saÿghika.

3182


Dakkhinavibhaïga Sutta (dari Majjhima Nikàya Pàëi) menyebutkan 

14 jenis pemberian kepada individu, puggalika dàna dan 7 jenis 

pemberian kepada Saÿgha, saÿghika dàna. 

14 Jenis Persembahan Kepada Individu.

(1) Persembahan kepada seorang Buddha,

(2) Persembahan kepada seorang Pacceka Buddha, Buddha yang 

tidak mengajar,

(3) Persembahan kepada seorang Arahanta atau seorang yang telah 

mencapai tingkat Arahatta-Phala,

(4) Persembahan kepada seorang yang sedang berlatih untuk 

mencapai tingkat Arahatta-Phala atau seorang yang telah 

mencapai tingkat Arahatta- Magga,

(5) Persembahan kepada seorang Anàgàmã atau seorang yang telah 

mencapai tingkat Anàgàmã-Phala,

(6) Persembahan kepada seorang yang sedang berlatih untuk 

mencapai Anàgàmã-Phala atau seorang yang telah mencapai 

tingkat Anàgàmã-Magga,

(7) Persembahan kepada seorang Sakadàgàmã atau seorang yang 

telah mencapai tingkat Sakadàgàmã-Phala,

(8) Persembahan kepada seorang yang sedang berlatih untuk 

mencapai Sakadàgàmã-Phala atau seorang yang telah mencapai 

tingkat Sakadàgàmã-Magga,

(9) Persembahan kepada seorang Sotàpanna atau seorang yang 

telah mencapai tingkat Sotàpatti- Phala,

(10) Persembahan kepada seorang yang sedang berlatih untuk 

mencapai Sotàpatti-Phala atau seorang yang telah mencapai 

tingkat Sotàpatti-Magga,

(11) Persembahan kepada petapa (di luar ajaran Buddha atau di 

mana tidak ada ajaran Buddha) yang telah berhasil mencapai 

Jhàna atau mencapai kekuatan batin,

(12) Persembahan kepada orang biasa yang memiliki moralitas,

(13) Persembahan kepada orang biasa yang tidak memiliki moralitas, 

dan

(14) Persembahan kepada seekor binatang.

Dari 14 jenis persembahan kepada individu ini, memberi   

3183

 1

satu kali makanan kepada seekor binatang akan menghasilkan 

akibat baik berupa umur panjang, kecantikan, kesehatan jasmani, 

kekuatan, dan kecerdasan selama seratus kehidupan. lalu   

dengan urutan naik, memberi   makanan satu kali kepada 

seorang biasa yang tidak memiliki moralitas akan menghasilkan 

akibat baik selama seribu kehidupan; kepada seorang biasa yang 

memiliki moralitas yang baik pada saat tidak ada ajaran Buddha 

dan ia tidak berkesempatan menerima perlindungan dari Tiga 

Permata, selama seratus ribu kehidupan; kepada para petapa yang 

mencapai Jhàna, selama sepuluh juta kehidupan; kepada orang 

biasa dan para sàmaõera (pada masa adanya ajaran Buddha) yang 

telah menerima perlindungan dalam Tiga Permata, dan hingga para 

mulia yang telah mencapai Sotàpatti-Magga, selama tidak terhingga 

lamanya (asaïkhyeyya) kehidupan; dan kepada orang-orang yang 

telah mencapai pencapaian yang lebih tinggi, selama tidak terhitung 

banyaknya kehidupan. (Menurut Komentar, bahkan seorang yang 

hanya menerima perlindungan dalam Tiga Perlindungan dapat 

dianggap sebagai seorang yang sedang berlatih untuk mencapai 

tingkat Sotàpatti-Phala).

Tidak disebutkan tentang para bhikkhu yang memiliki moralitas 

yang kurang baik dalam daftar 14 jenis penerima dàna kepada para 

individu di atas. Persembahan kepada orang yang tidak bermoral 

hanya pada masa ajaran Buddha tidak ada. sebab   alasan ini, ada 

kecenderungan untuk menganggap bahwa persembahan kepada 

para bhikkhu yang memiliki moralitas yang buruk selama ajaran 

Buddha masih ada yaitu   tercela. Namun harap diingat bahwa siapa 

pun yang telah menjadi umat Buddha minimal telah menerima 

perlindungan di dalam Tiga Permata; dan Komentar mengatakan 

bahwa siapa pun yang telah menerima perlindungan di dalam Tiga 

Permata yaitu   orang yang sedang berlatih untuk mencapai tingkat 

Sotàpatti-Phala. Lebih jauh lagi jika persembahan kepada orang biasa 

yang tidak memiliki moralitas (saat ajaran Buddha tidak ada) dapat 

menghasilkan manfaat; tidak diragukan lagi bahwa persembahan 

kepada orang biasa yang tidak memiliki moralitas selama ajaran 

Buddha masih ada juga dapat menghasilkan manfaat.

lalu  , di dalam Kitab Milinda Pa¤hà, Thera Nàgasena 

3184


menjelaskan bahwa seorang bhikkhu yang tidak bermoral yaitu   

lebih unggul daripada seorang biasa yang tidak bermoral dalam 

sepuluh hal seperti penghormatan kepada Buddha, penghormatan 

kepada Dhamma, penghormatan kepada Saÿgha, dan seterusnya. 

Dengan demikian, menurut Milinda Pa¤hà, seorang bhikkhu 

yang tidak bermoral yaitu   lebih unggul daripada seorang biasa 

yang tidak bermoral; dan sebab   dalam daftar yang terdapat 

dalam Komentar, sebagai seorang yang berlatih untuk mencapai 

tingkat Sotàpatti-Phala, seseorang tidak boleh mengatakan bahwa 

memberi   persembahan kepada seorang bhikkhu yang tidak 

memiliki moralitas yaitu   tercela.

Ada lagi pandangan lain sehubungan dengan hal ini. Pada masa 

tidak ada ajaran Buddha, para bhikkhu yang tidak bermoral tidak 

dapat menyebabkan gangguan terhadap Dhamma; tetapi saat ada 

ajaran Buddha, mereka dapat menimbulkan gangguan terhadap 

Dhamma. sebab   alasan itu, tidak perlu memberi   persembahan 

kepada para bhikkhu yang tidak memiliki moralitas pada masa ada 

ajaran Buddha. Namun pandangan ini ditunjukkan oleh Buddha 

sebagai pandangan yang tidak dapat dipertahankan.

Pada penutup dari khotbah tentang tujuh jenis persembahan kepada 

Saÿgha, Saÿghika dàna (pada bagian berikut), Buddha menjelaskan 

kepada ânanda:

“ânanda, pada masa-masa mendatang, akan muncul bhikkhu-

bhikkhu kotor, yang tidak memiliki moralitas, yang hanya 

memakai   nama bhikkhu, yang mengenakan jubah mereka 

melingkari leher mereka. Dengan niat untuk memberi kepada 

Saÿgha, persembahan diserahkan kepada para bhikkhu tidak 

bermoral ini. Bahkan jika dipersembahkan dengan cara ini, suatu 

Saÿghika dàna, persembahan yang ditujukan kepada seluruh 

Saÿgha, Aku menyatakan, akan menghasilkan manfaat yang tidak 

terhingga.”

Ada lagi hal lain yang patut dipertimbangkan. Dari empat kemurnian 

kedermawanan (Dakkhiõà Visuddhi), Kemurnian pertama yaitu  : 

bahkan jika si penerima memiliki moralitas yang buruk, sedangkan 

3185

 1

si pemberi memiliki moralitas yang baik, persembahan ini   

yaitu   murni sebab   kemurnian si penyumbang. sebab   alasan ini 

juga, seseorang tidak boleh mengatakan bahwa seorang bhikkhu 

yang tidak bermoral tidak layak menerima persembahan, dan 

bahwa tidak ada manfaat yang akan dihasilkan dengan memberi   

persembahan kepadanya.

Oleh sebab   itu, harus diperhatikan, suatu persembahan yaitu   

tercela hanya jika persembahan dilakukan dengan niat buruk yaitu 

menyetujui dan mendorong seorang bhikkhu yang tidak bermoral 

untuk terus melakukan praktik buruknya; tanpa mempertimbangkan 

sifatnya. Jika seseorang memberi   persembahan dengan batin 

yang murni, hanya berpikir, ”Seseorang harus memberi   jika 

seseorang datang untuk menerima persembahan,” maka hal itu 

tidaklah tercela.

Tujuh Jenis Persembahan Kepada Saÿgha (Saÿghika Dàna)

(1) Persembahan kepada komunitas para bhikkhu dan bhikkhunã 

yang dipimpin oleh Buddha, pada masa Buddha masih 

hidup;

(2) Persembahan kepada komunitas para bhikkhu dan bhikkhunã 

sesudah   Buddha Parinibbàna;

(3) Persembahan kepada komunitas para bhikkhu saja;

(4) Persembahan kepada komunitas para bhikkhunã saja;

(5) Persembahan kepada sekelompok bhikkhu dan bhikkhunã 

yang ditunjuk oleh Saÿgha (dengan niat kepada seluruh 

Saÿgha), persembahan ini dilakukan jika si penyumbang 

tidak mampu memberi   persembahan kepada seluruh 

bhikkhu dan bhikkhunã; si penyumbang mendatangi komunitas 

bhikkhu dan memohon untuk menunjuk sejumlah tertentu 

(sesuai kemampuannya) para bhikkhu dan bhikkhunã untuk 

menerima persembahannya. Saÿgha lalu   menunjuk 

sejumlah bhikkhu dan bhikkhunã, lalu   si penyumbang 

memberi   persembahan kepada sekelompok bhikkhu dan 

bhikkhunã ini (dengan pikiran tertuju pada seluruh Saÿgha);

(6) Persembahan kepada sekelompok bhikkhu saja (dengan niat 

kepada seluruh Saÿgha) sesudah   memohon Saÿgha untuk 

3186


menunjuk sejumlah yang mampu ia berikan; dan

(7) Persembahan kepada sekelompok bhikkhunã saja (dengan niat 

kepada seluruh Saÿgha) sesudah   memohon Saÿgha untuk 

menunjuk sejumlah yang mampu ia berikan.

Dari ketujuh jenis saÿghika dàna ini, akan muncul pertanyaan 

apakah mungkin memberi   persembahan jenis pertama, yaitu, 

persembahan kepada para bhikkhu dan bhikkhunã yang dipimpin 

oleh Buddha, sesudah   Buddha Parinibbàna. Jawabannya yaitu   “Ya, 

mungkin saja” dan persembahan harus dilakukan sebagai berikut: 

sesudah   menempatkan patung Buddha yang berisikan relik-relik di 

depan komunitas para bhikkhu dan bhikkhunã yang berkumpul 

dalam Ritual   ini  , persembahan harus dilakukan dengan 

mengucapkan, “Aku memberi   persembahan ini kepada para 

bhikkhu dan bhikkhunã yang dipimpin oleh Buddha.”

sesudah   melakukan persembahan jenis pertama, muncul pertanyaan 

apakah yang dilakukan terhadap objek yang ditujukan untuk 

Buddha. Seperti halnya harta seorang ayah yang umumnya akan 

diwariskan kepada anaknya, demikian pula, persembahan kepada 

Buddha diwariskan kepada bhikkhu yang melakukan tugas-tugas 

melayani Buddha atau komunitas para bhikkhu. Khususnya, jika 

objek yang dipersembahkan termasuk barang-barang seperti 

minyak, mentega, dan sebagainya, barang-barang itu harus 

digunakan dalam persembahan pelita kepada Buddha; kain yang 

termasuk dalam persembahan dapat dibuat menjadi spanduk dan 

dipersembahkan dalam Ritual   kebaktian.

Pada masa kehidupan Buddha, orang-orang biasanya tidak 

memberi   dengan kemelekatan kepada, atau melibatkan diri 

mereka dengan, para pribadi secara individu; pikiran mereka 

tertuju pada Komunitas para bhikkhu secara keseluruhan, dan 

dengan demikian mereka dapat memberi   persembahan yang 

berjenis saÿghika dàna. Akibatnya, kebutuhan para anggota 

Saÿgha pada umumnya dipenuhi dengan cara dibagikan oleh 

Komunitas; mereka jarang sekali bergantung pada umat awam dan 

sebab   itu mereka memiliki sangat sedikit kemelekatan terhadap 

mereka sebagai “penyumbang vihàraku, penyumbang jubahku, dan 

3187

 1

sebagainya”. Dengan demikian, bhikkhu dapat bebas dari belenggu 

kemelekatan.

Kisah Singkat Ugga Si Perumah Tangga

Mereka yang ingin memberi   persembahan jenis saÿghika dàna 

murni harus meniru teladan si perumah tangga Ugga. Kisah tentang 

perumah tangga Ugga terdapat dalam khotbah kedua dari Gahapati 

Vagga, Aññhakanipàta, Aïguttara Nikàya Pàëi.

Pada suatu hari saat   Bhagavà sedang menetap di Desa Gajah di 

Negeri Vajjã, Bhagavà berkata kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu, 

kalian harus menghormati perumah tangga Ugga dari Desa Gajah 

sebagai seorang yang memiliki delapan kualitas menakjubkan.” 

sesudah   berkata demikian tanpa memberi   penjelasan, Bhagavà 

masuk ke dalam vihàra.

lalu   pada pagi harinya seorang bhikkhu pergi ke rumah 

perumah tangga itu dan berkata, “Perumah tangga, Bhagavà 

mengatakan bahwa engkau yaitu   seorang yang memiliki delapan 

kualitas menakjubkan. Apakah delapan kualitas menakjubkan 

ini   yang dikatakan oleh Bhagavà engkau miliki?”

“Yang Mulia, aku tidak yakin delapan kualitas menakjubkan 

apa yang dimaksudkan oleh Buddha yang kumiliki, akan tetapi, 

dengarkanlah dengan saksama delapan kualitas menakjubkan yang 

benar-benar kumiliki.” lalu   ia menjelaskan delapan kualitas 

menakjubkan sebagai berikut:

(1) Pertama kali aku melihat Buddha yaitu   saat aku sedang minum 

minuman keras dan bersantai di dalam hutan bunga pohon kayu 

besi. Segera sesudah   aku melihat Buddha datang dari jauh, aku 

menjadi sadar dan pengabdian serta keyakinan terhadap kemuliaan 

Buddha muncul dalam diriku. Ini yaitu   kualitas pertama.

(2) Pada pertemuan pertama dengan Buddha itu, aku menerima 

perlindungan di dalam Buddha dan mendengarkan khotbah-Nya. 

Hasilnya, aku menjadi seorang Sotàpanna, seorang ‘Pemenang 

3188


Arus’, dan melaksanakan Brahmacariya-Pa¤cama-Sãla. Ini yaitu   

kualitas kedua.

(Brahmacariya-Pa¤cama-Sãla mirip dengan Lima Sãla yang biasa 

dilaksanakan oleh umat awam kecuali bahwa, sãla “menghindari 

hubungan seksual yang salah” diganti dengan “menghindari 

segala bentuk hubungan seksual”. Dalam Lima Sãla, seseorang 

menghindari hubungan seksual dengan siapa pun kecuali istri 

sendiri; tetapi Brahmacariya-Pa¤cama-Sãla menuntut menghindari 

secara total segala bentuk hubungan seksual, bahkan tidak dengan 

istri sendiri sekalipun).

(3) Aku memiliki empat istri; segera sesudah   aku pulang ke rumah, 

aku berkata kepada mereka: aku bertekad untuk melaksanakan sãla 

menghindari secara total; siapa pun dari kalian yang ingin tetap 

tinggal di rumah ini, boleh tinggal dan menikmati kekayaanku 

sesuka kalian dan melakukan kebajikan dengan kekayaanku ini; 

siapa pun yang ingin pulang ke rumah orangtuanya juga boleh 

melakukannya; dan siapa pun yang ingin menikah dengan laki-

laki lain, katakan kepadaku kepada siapa aku harus menyerahkan 

kalian.’ Istri tertua dari empat istri ini   mengungkapkan 

keinginannya untuk diserahkan kepada seseorang yang ia sebutkan 

namanya. Aku memanggil orang itu dan memegang tangan istri 

tertuaku dengan tangan kiriku dan sekendi air dengan tangan 

kananku, aku menyerahkan istriku kepada laki-laki itu. Dalam 

melakukan penyerahan istriku ini kepada laki-laki itu, aku tetap 

tenang, tidak terpengaruh. Ini yaitu   kualitas ketiga.

(4) Aku bertekad untuk memakai   seluruh kekayaanku 

bersama-sama dengan orang-orang yang memiliki karakter moral 

yang baik. Ini yaitu   kualitas keempat.

(5) Aku selalu mendatangi seorang bhikkhu dengan penuh 

hormat, tidak pernah dengan tidak hormat; jika bhikkhu ini   

memberi   khotbah Dhamma, aku mendengarkan khotbahnya 

dengan penuh hormat, tidak pernah dengan tidak hormat; jika 

bhikkhu ini   tidak memberi   khotbah Dhamma, aku akan 

membabarkan khotbah kepadanya. Ini yaitu   kualitas kelima.

3189

 1

(6) Setiap saat aku mengundang Saÿgha ke rumahku untuk 

memberi   persembahan, para dewa akan mendahului mereka 

dan memberitahukan kepadaku: ‘Perumah tangga, bhikkhu itu 

yaitu   orang-orang yang telah mencapai Pencerahan, para Ariya; 

bhikkhu itu yaitu   orang-orang biasa yang memiliki moralitas; 

bhikkhu itu tidak memiliki moralitas.’ Bahwa para dewa datang dan 

memberi   informasi kepadaku tentang para bhikkhu tidaklah 

mengherankan bagiku; yang menakjubkan yaitu   bahwa saat aku 

memberi   persembahan makanan atau materi lainnya kepada 

Saÿgha, pikiran-pikiran seperti, ‘Aku akan memberi   lebih 

banyak kepada bhikkhu ini sebab   ia yaitu   orang mulia yang 

telah mencapai Pencerahan, yang memiliki moralitas baik; atau aku 

akan memberi   sedikit kepada bhikkhu ini sebab   ia memiliki 

moralitas yang tidak baik’ tidak pernah muncul dalam diriku. 

Sesungguhnya, tanpa membeda-bedakan siapa yang mulia, siapa 

yang bermoral atau siapa yang tidak bermoral, aku memberi   

persembahan secara adil kepada setiap orang. Ini yaitu   kualitas 

keenam.

(7) Yang Mulia, para dewa datang dan memberitahuku bahwa ajaran 

Buddha telah dibabarkan dengan sempurna, memiliki kebajikan 

sebab   dibabarkan dengan sempurna. Berita yang disampaikan 

para dewa kepadaku tidak mengherankan bagiku. Kualitas 

menakjubkannya yaitu  , pada kesempatan itu, aku memberitahu 

para dewa sebagai jawaban, ‘Para dewa, apakah engkau mengatakan 

kepadaku atau tidak, sesungguhnya, ajaran Buddha memang 

dibabarkan dengan sempurna’; (ia yakin bahwa ajaran Buddha 

memang dibabarkan dengan sempurna, bukan sebab   para dewa 

memberitahukan kepadanya, tetapi sebab   ia sendiri mengetahui 

hal itu). Walaupun aku berkomunikasi dengan para dewa, aku tidak 

merasa bangga bahwa para dewa mengunjungiku dan bahwa aku 

telah bercakap-cakap dengan mereka. Ini yaitu   kualitas ketujuh.

(8) Juga tidak mengherankan, jika aku meninggal dunia terlebih 

dahulu sebelum Bhagavà meninggal dunia dan Bhagavà akan 

meramalkan, ‘Perumah tangga Ugga telah menghancurkan secara 

total Lima Belenggu yang lebih rendah yang dapat mengarah 

3190


kepada kelahiran kembali di alam indria yang lebih rendah; ia 

yaitu   seorang Anàgamã. Bahkan sebelum Buddha meramalkan, 

aku telah menjadi seorang Anàgamã dan aku telah mengetahui hal 

ini. Ini yaitu   kualitas kedelapan.

Dari delapan kualitas menakjubkan yang dijelaskan oleh si 

perumah tangga Ugga, yang keenam yaitu   mengenai memberi   

persembahan secara adil kepada orang mulia, orang bermoral 

atau orang yang tidak bermoral. Perlu untuk diketahui mengenai 

bagaimana caranya untuk bersikap adil dalam situasi demikian. 

Sikap adil dapat dilakukan dengan cara berikut, “sebab   aku telah 

mengundang dengan niat untuk memberi   persembahan kepada 

Saÿgha, secara keseluruhan, saat   aku memberi   kepada orang 

yang mulia, aku tidak akan menganggapnya demikian; aku tidak 

menganggap bahwa aku sedang memberi   persembahan kepada 

seorang mulia; aku harus ingat bahwa aku sedang memberi   

persembahan kepada Saÿgha, siswa mulia Buddha secara 

keseluruhan. saat   aku memberi   kepada orang yang tidak 

bermoral, aku tidak akan menganggapnya demikian; aku tidak 

menganggap bahwa aku sedang memberi   persembahan kepada 

seorang yang tidak bermoral; aku harus ingat bahwa aku sedang 

memberi   persembahan kepada Saÿgha, siswa mulia Buddha 

secara keseluruhan.” Demikianlah, sikap adil dapat dipelihara.

Meniru teladan perumah tangga Ugga, saat   memberi   

persembahan, seseorang harus mengabaikan status si penerima, 

singkirkan perasaan pribadi terhadapnya, dan berusahalah untuk 

mengingat hanya komunitas para bhikkhu secara keseluruhan, 

sehingga dàna-nya dapat digolongkan sebagai jenis saÿghika 

dàna. Seperti yang dijelaskan secara tegas oleh Buddha dalam 

Dakkhinà-Vibhaïga Sutta yang telah disebutkan di atas, saat   suatu 

persembahan yaitu   berjenis saÿghika, yaitu dengan niat tertuju 

kepada komunitas para bhikkhu secara keseluruhan, maka manfaat 

yang didapat oleh si pemberi yaitu   tidak terhingga besarnya, 

bahkan jika penerimanya yaitu   orang yang tidak bermoral dan 

tidak memiliki kebajikan.

Suatu persembahan yaitu   berjenis saÿghika dàna jika dilakukan 

3191

 1

dengan penuh penghormatan kepada Saÿgha; tetapi tidak selalu 

mudah melakukannya. Misalnya seseorang memutuskan untuk 

memberi   persembahan berjenis saÿghika, sesudah   melakukan 

persiapan, ia pergi ke vihàra dan berkata kepada para bhikkhu, 

“Yang Mulia, aku ingin memberi   persembahan berjenis 

saÿghika; mohon kalian menunjuk seseorang di antara Saÿgha 

sebagai wakil.” Jika para bhikkhu menunjuk seorang sàmaõera 

mewakili Saÿgha, si pemberi mungkin menjadi tidak senang; jika 

mereka memilih seorang Thera senior mewakili mereka, ia akan 

diliputi oleh kegembiraan, “Aku mendapatkan seorang Thera senior 

sebagai penerima persembahanku.” Kedermawanan demikian yang 

dipengaruhi oleh kepribadian si penerima tidak akan menjadi 

persembahan jenis saÿghika sempurna.

Hanya jika seseorang dapat menerima wakil yang ditunjuk oleh 

Saÿgha tanpa merasa terganggu dan tanpa memerhatikan apakah si 

penerima yaitu   seorang sàmaõera atau seorang bhikkhu, seorang 

bhikkhu muda atau bhikkhu senior, seorang bhikkhu bodoh atau 

bhikkhu terpelajar, dan memberi   persembahannya, dengan 

pikiran, “Aku memberi   persembahan kepada Saÿgha,” dengan 

penuh penghormatan kepada Saÿgha, maka ia disebut memberi   

Saÿghika dàna yang sesungguhnya.

Kisah Seorang Penyumbang Vihàra

Peristiwa ini terjadi di seberang lautan, yaitu di India. Seorang 

perumah tangga kaya yang telah menyumbangkan sebuah vihàra 

bermaksud untuk memberi   persembahan kepada Saÿgha. 

sesudah   melakukan persiapan, ia pergi menemui Saÿgha dan 

berkata, “Yang Mulia, mohon kalian menunjuk seseorang untuk 

menerima persembahanku kepada Saÿgha.” Kebetulan saat itu 

yaitu   giliran seorang bhikkhu yang kurang bermoral untuk 

mewakili Saÿgha dalam menerima persembahan. Meskipun orang 

itu mengetahui bahwa bhikkhu yang ditunjuk itu yaitu   bhikkhu 

yang kurang bermoral, namun ia tetap memperlakukannya dengan 

penuh hormat; tempat duduk untuk bhikkhu ini   yaitu   tempat 

duduk yang dipersiapkan untuk Ritual  -Ritual  , berhiaskan 

atap dan bunga-bunga harum. Ia mencuci kaki bhikkhu ini   

3192


dan meminyakinya dengan penuh hormat seolah-olah ia sedang 

melayani Buddha sendiri. Ia lalu   memberi   persembahan 

kepada bhikkhu ini   dan memberi   penghormatan penuh 

kepada Saÿgha.

Sore harinya, bhikkhu yang tidak bermoral ini   kembali 

mendatangi rumahnya dan berdiri di pintu meminta cangkul yang 

ia perlukan untuk melakukan perbaikan di vihàra. Si penyumbang 

vihàra itu bahkan tidak bangkit dari duduknya; ia hanya mendorong 

cangkul dengan kakinya ke arah si bhikkhu. Anggota keluarganya 

bertanya kepadanya, “Tuan, pagi ini engkau melayani bhikkhu 

itu dengan penghormatan yang berlebih; sekarang engkau sama 

sekali tidak menunjukkan secuil pun dari penghormatan itu. Ada 

apa ini? Perbedaan antara sikapmu kepada bhikkhu itu tadi pagi 

dan sore ini?” Orang itu menjawab, “Keluargaku, penghormatan 

yang kuperlihatkan tadi pagi yaitu   kepada Saÿgha bukan kepada 

bhikkhu tidak bermoral ini.”

Beberapa Hal yang Harus Dipertimbangkan Sehubungan 

Dengan Persembahan Kepada Individu (Puggalika Dàna) dan 

Kepada Saÿgha (Saÿghika Dàna)

Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa jika seseorang 

datang untuk meminta dàna dan jika diketahui sebelumnya bahwa 

orang itu memiliki moralitas yang tidak baik, maka kita sebaiknya 

tidak memberi   dàna kepada orang itu; jika kita melakukannya, 

hal itu bagaikan menyiram tanaman beracun.

Tetapi tidak dapat dikatakan bahwa semua tindakan memberi 

dengan sengaja kepada orang yang tidak bermoral yaitu   tidak 

baik. yaitu   kehendak si pemberi yang harus dipertimbangkan 

di sini. Jika si pemberi menyetujui kebiasaan buruk si penerima 

dan memberi   kepadanya dengan tujuan untuk mendukung 

dan mendorongnya untuk melanjutkan praktik tidak bermoralnya, 

maka pemberian itu yaitu   bagaikan menyirami tanaman beracun. 

Jika si pemberi tidak menyetujui kebiasaan buruk si penerima, 

tetapi meniru teladan si penyumbang vihàra yang telah dijelaskan 

sebelumnya, jika ia memberi   persembahan dengan cara yang 

3193

 1

menjadikan persembahan itu yaitu   saÿghika dàna, maka tidak 

ada cacat dalam persembahan seperti itu.

Ada juga yang berpendapat bahwa apakah si penerima memiliki 

moral yang baik atau buruk, hal itu bukanlah urusan si pemberi; 

itu yaitu   urusan si penerima. Oleh sebab   itu, dengan tanpa 

membeda-bedakan karakter si penerima, apakah baik atau buruk, 

si pemberi harus tetap memberi   dengan pikiran, “Ini yaitu   

orang mulia, seorang Ariya (atau seorang Arahanta).” Mereka 

berpendapat bahwa tindakan memberi seperti ini yaitu   tanpa cacat 

dan bermanfaat bagaikan memberi persembahan kepada seorang 

Arahanta. Pandangan ini juga tidak dapat dipertahankan.

Murid-murid dari para guru-guru lain yang tidak mengetahui 

apakah seseorang yaitu   seorang Ariya, atau seorang Arahanta, 

secara keliru menganggap guru-guru mereka sebagai orang mulia, 

Arahanta yang telah mencapai Pencerahan Sempurna. Kepercayaan 

seperti ini yang disebut micchàdhimokkha, membuat keputusan 

atau kesimpulan yang salah yaitu   suatu keburukan. Tentu saja 

yaitu   suatu kejahatan dan suatu keputusan salah jika seseorang 

menganggap, “Orang-orang ini mulia, para Arahanta yang telah 

mencapai Pencerahan Sempurna,” jika ia mengetahui bahwa mereka 

bukan orang mulia. Oleh sebab   itu, tidaklah benar menganut 

pandangan demikian.

saat   menghadapi penerima seperti itu dalam memberi   

persembahan,  s ikap bat in  yang baik  yaitu   dengan 

mempertimbangkan, “Para Bodhisatta dalam memenuhi 

Kesempurnaan Kedermawanan memberi   persembahan 

tanpa membeda-bedakan status tinggi, menengah atau rendah. 

Aku juga akan meniru teladan para Bodhisatta dan memberi   

persembahan kepada siapa pun yang datang tanpa membeda-

bedakan.” Demikianlah seseorang tidak memberi   dukungan 

dan dorongan terhadap praktik kebiasaan-kebiasaan buruk dan 

tidak akan membuat keputusan atau kesimpulan salah tentang 

pengembangan batin si penerima; tindakan persembahan demikian 

menjadi bebas dari cacat.

3194


Kontroversi dan kesulitan muncul hanya dalam kasus persembahan 

yang diberikan kepada individu, puggalika dàna, sebab   terdapat 

berbagai jenis individu, baik atau buruk, pada persembahan kepada 

Saÿgha, saÿghika dàna, hanya ada satu jenis Saÿgha, bukan 

dua—baik atau buruk. (yang dimaksudkan disini, yaitu   para Siswa 

Mulia Buddha, para Ariya). Tidak ada perbedaan di antara para 

Ariya Saÿgha, sebagai yang berstatus tinggi, menengah atau rendah, 

mereka semuanya sama mulianya. Oleh sebab   itu, seperti telah 

dijelaskan di atas, pada saat seorang penerima datang ke hadapan 

seseorang, tanpa mempertimbangkan sifatnya, ia harus memberi   

persembahan dengan pikiran, “Aku memberi   persembahan 

kepada para siswa Buddha, komunitas mulia para bhikkhu.” Maka 

persembahan ini yaitu   berjenis saÿghika dàna dan penerimanya 

yaitu   Saÿgha; orang yang datang ke hadapannya hanyalah wakil 

dari Saÿgha. Betapa pun rendahnya orang itu dalam hal moralitas, 

penerima sesungguhnya dari persembahan itu yaitu   Saÿgha mulia 

dan sebab  nya, persembahan itu menjadi persembahan mulia.

Beberapa orang menganggap bahwa yaitu   sangat sulit 

mempraktikkan nasihat agar mengabaikan sifat pribadi dari 

penerima yang tidak bermoral yang datang ke hadapannya dan 

ia memberi   persembahan dengan pikiran yang tertuju bukan 

kepada pribadi si penerima tetapi kepada Saÿgha mulia, dan 

menganggap si penerima hanyalah seorang wakil dari Saÿgha. 

Kesulitan muncul sebab   tidak biasa dalam melakukan hal demikian. 

Dalam melakukan penghormatan dengan bersujud pada patung 

Buddha, menganggap patung ini   sebagai wakil Buddha, kita 

sudah begitu terbiasa dalam melakukan praktik memproyeksikan 

pikiran kita dari patung kepada pribadi Buddha hidup sehingga tak 

seorang pun yang akan mengatakan bahwa hal itu sulit dilakukan. 

Seperti halnya si perumah tangga Ugga pada masa Buddha dan 

si penyumbang vihàra di Jambudãpa yang memiliki kebiasaan 

memberi   persembahan kepada bhikkhu yang tidak bermoral 

yang mewakili Buddha, demikian pula para umat Buddha di zaman 

modern ini harus membiasakan diri dalam bersikap demikian.

3195

 1

Empat Jenis Persembahan Kepada Saÿgha Seperti yang 

Dijelaskan Dalam Vinaya Piñaka

 

Vinaya Piñaka, Kitab Disiplin bagi para anggota Saÿgha, menjelaskan 

empat kelompok persembahan yang diberikan kepada Saÿgha. 

Tetapi empat kelompok saÿghika dàna ini bukan untuk umat awam; 

hanya tujuh jenis saÿghika dàna seperti yang dijelaskan di atas 

yang dapat dilakukan oleh umat awam. Pembagian yang terdapat 

dalam Vinaya ditujukan untuk anggota Saÿgha saja agar mereka 

memahami bagaimana membagi persembahan di antara mereka. 

Empat kelompok ini yaitu  :

(1) SammukhibhÃ¥ta Saÿghika. Persembahan yang dibagikan di 

antara anggota Saÿgha yang benar-benar hadir pada waktu dan 

tempat persembahan diberikan. Misalnya suatu persembahan 

jubah dilakukan di suatu tempat di dalam kota atau desa di mana 

terdapat beberapa bhikkhu berkumpul, dan persembahan diberikan 

kepada Saÿgha mulia secara keseluruhan oleh penyumbang 

dengan mengatakan, “Aku mempersembahkan kepada Saÿgha.” 

yaitu   sulit untuk menjangkau semua Saÿgha mulia di kota atau 

desa ini  . Oleh sebab   itu, pembagian dilakukan di antara 

Saÿgha yang hadir di tempat itu pada waktu itu. sebab   itu disebut 

Sammukhibhuta Saÿghika (Sammukhibhuta―hadir di waktu dan 

tempat itu; saÿghika―milik Saÿgha).

(2) âràmaññha Saÿghika. Persembahan yang dibagikan di antara 

Saÿgha yang menetap di seluruh kompleks vihàra. Misalnya seorang 

penyumbang datang ke vihàra dan memberi   persembahan 

jubah kepada bhikkhu yang ia jumpai, dengan mengatakan, “Aku 

mempersembahkan kepada Saÿgha.” sebab   persembahan itu 

dilakukan di dalam kompleks vihàra, maka persembahan itu yaitu   

milik semua Saÿgha yang menetap di dalam kompleks vihàra, 

bukan hanya milik para bhikkhu di sekitar sana. sebab   itu disebut 

âràmaññha―menetap di kompleks; saÿghika―milik Saÿgha.)

(3) Gatàgata Saÿghika. Persembahan yang menjadi hak Saÿgha 

yang berada di tempat mana pun yang dikunjungi oleh si 

bhikkhu penerima dengan membawa persembahan itu. Misalnya 

3196


seorang penyumbang datang ke vihàra di mana menetap seorang 

bhikkhu yang sedang menyepi menetap, dan penyumbang 

ini   mempersembahkan seratus jubah dengan mengatakan, 

“Aku mempersembahkannya kepada Saÿgha.” Jika bhikkhu 

ini   memahami peraturan disiplin, ia boleh memiliki seluruh 

persembahan itu untuk dirinya sendiri dengan mengatakan, “Pada 

saat ini, di vihàra ini, aku yaitu   satu-satunya Saÿgha; oleh sebab   

itu, seluruh seratus jubah ini, yaitu   milikku.” Ia berhak (menurut 

peraturan Vinaya) melakukannya; ia tidak bisa disalahkan sebab   

memonopoli persembahan yang diberikan kepada Saÿgha. Jika 

bhikkhu ini   tidak memahami peraturan Vinaya, ia tidak tahu 

apa yang harus dilakukan. Dan tanpa ketetapan dalam memutuskan, 

“Aku yaitu   pemilik satu-satunya; aku memiliki semuanya,” jika 

ia pergi ke tempat lain dengan membawa jubah-jubah itu, dan 

para bhikkhu yang ia temui di tempat lain menanyakan bagaimana 

ia mendapatkan jubah-jubah itu. Misalnya, sesudah   mengetahui 

bagaimana ia mendapatkannya, para bhikkhu itu menuntut bagian 

dari jubah-jubah itu dengan mengatakan, “Kami juga berhak 

atas jubah-jubah ini,“ dan lalu   semua jubah itu dibagi rata 

di antara mereka, maka pembagian jubah ini yaitu   pembagian 

yang benar. Akan tetapi, misalkan, tanpa membagi jubah-jubah 

itu, ia melanjutkan perjalanan dan berjumpa dengan para bhikkhu 

lainnya. Para bhikkhu lain ini   juga berhak menerima bagian 

atas jubah-jubah itu. Demikianlah, ke mana pun bhikkhu itu pergi 

dengan membawa jubah-jubah itu, para bhikkhu di tempat yang 

ia kunjungi juga berhak atas jubah-jubah itu. sebab   itu disebut 

Gatàgata Saÿghika (Gatàgata―ke mana pun seseorang pergi; 

Saÿghika―milik Saÿgha).

(4) Catuddisà Saÿghika. Persembahan yang menjadi milik semua 

bhikkhu yang datang dari empat penjuru. Persembahan itu termasuk 

pemberian yang besar dan penting, yang harus diperlakukan 

dengan penuh hormat, misalnya, vihàra. Bukan untuk dibagikan 

kepada Saÿgha yang datang dari empat penjuru. sebab   itu disebut 

Catuddisa-Saÿghika (Catuddisà―dari empat penjuru; Saÿghika―milik 

Saÿgha.)

Tanpa menyadari fakta bahwa empat kelompok ini disebutkan 

3197

 1

dalam peraturan Vinaya untuk melakukan pembedaan kepemilikan 

dan pembagian persembahan yang diserahkan kepada Saÿgha, 

beberapa (bhikkhu) memanfaatkan ketentuan Vinaya ini saat 

umat-umat awam memberi   persembahan. Sebagai ilustrasi, 

misalnya seorang penyumbang yang tergerak oleh pengabdian 

terhadap seorang bhikkhu membangun vihàra, meskipun bukan 

ditujukan untuknya, melainkan untuk seluruh Saÿgha. Untuk 

Ritual   menuang air, ia mengundang sepuluh bhikkhu termasuk 

bhikkhu yang terhadapnya ia begitu penuh pengabdian. sesudah   

pembacaan paritta-paritta, saat tiba waktunya untuk menyerahkan 

persembahan, bhikkhu itu ingin agar persembahan diserahkan 

sebagai puggalika dàna. Persembahan yang ditujukan kepada 

individu tertentu, sebab   ia merasa bahwa menetap di vihàra 

yang merupakan milik Saÿgha menuntut banyak kewajiban 

dan tanggung jawab. Tetapi si penyumbang lebih memilih untuk 

menjadikannya saÿghika dàna sebab  , ia yakin, dàna demikian 

yaitu   lebih mulia dan menghasilkan jasa yang lebih besar. Para 

bhikkhu lainnya menengahi perselisihan antara si penyumbang 

dan gurunya dengan meminta agar si penyumbang memberi   

persembahan dengan mengatakan, “Aku mempersembahkan vihàra 

ini kepada Saÿgha yang hadir di sini sekarang” (SammukhibhÃ¥ta 

Saÿgha). lalu   sembilan bhikkhu lain ini   berkata kepada 

satu bhikkhu itu, “Kami menyerahkan hak kepemilikan atas vihàra 

ini kepada Yang Mulia,” lalu   menyerahkan vihàra baru itu 

kepadanya dan pergi.

Demikianlah prosedur ini   dilakukan, dengan meyakini bahwa 

dengan melakukan cara ini  , keinginan si penyumbang untuk 

mempersembahkan saÿghika dàna terpenuhi dan si penerima 

yang ingin menjadi pemilik tunggal juga terpenuhi sebab   sembilan 

pemilik lainnya telah melepaskan hak kepemilikan vihàra itu dan 

menjadikannya pemilik tunggal.

Akan tetapi dalam kenyataan, prosedur demikian tidaklah benar 

dan seharusnya tidak dilakukan. Pemberian sebuah vihàra yaitu   

pemberian yang besar dan penting; sepuluh bhikkhu yang telah 

menerima persembahan vihàra tidak dapat melakukan pembagian 

dalam bentuk apa pun di antara mereka; dan pemberian si 

3198


penyumbang hanya sebagai pemberian kepada sepuluh bhikkhu 

yang hadir pada saat itu saja dan bukan kepada Saÿgha secara 

keseluruhan.

(20) Persembahan yang Dilakukan Pada Kesempatan Khusus 

(Kàla Dàna); Persembahan Yang Dilakukan Setiap Saat (Akàla 

Dàna)

Persembahan jubah Kathina pada akhir masa vassa selama 

satu bulan, mempersembahkan jubah pada awal masa vassa, 

mempersembahkan makanan-makanan untuk bhikkhu yang 

sedang sakit, mempersembahkan makanan untuk bhikkhu-bhikkhu 

tamu, mempersembahkan makanan kepada bhikkhu yang hendak 

melakukan perjalanan, semua ini yaitu   persembahan yang 

diberikan pada waktu tertentu untuk tujuan tertentu dan disebut 

kàla dàna; semua persembahan lainnya yang dilakukan setiap saat 

diinginkan tanpa mempertimbangkan waktu disebut akàla dàna.

Kàla dàna menghasilkan jasa yang lebih besar daripada akàla 

dàna sebab   persembahan diberikan untuk memenuhi kebutuhan 

tertentu pada waktu tertentu. Dàna jenis kàla, pada saat berbuah, 

akan menghasilkan akibat baik pada saat diperlukan. Misalnya, jika 

si penyumbang menginginkan makanan khusus, keinginannya akan 

segera tercapai; demikian pula jika ia menginginkan pakaian khusus, 

ia akan mendapatkannya. Ini yaitu   contoh manfaat istimewa yang 

dihasilkan dari persembahan yang dilakukan pada waktu khusus 

untuk memenuhi kebutuhan khusus.

(21) Persembahan yang Dilakukan Dengan Dihadiri Oleh Si 

Pemberi (Paccakkha Dàna); Persembahan yang Dilakukan 

Tanpa Dihadiri Oleh Si Pemberi (Apaccakkha Dàna)

Paccakkha dalam bahasa Pàëi terdiri dari pati dan akkha. Pati 

artinya ke arah; akkha artinya lima indria: mata, telinga, hidung, 

lidah, badan. Walaupun Paccakkha biasanya diartikan ‘di depan 

mata’, arti lengkapnya yaitu   ‘dikenali oleh indria’. sebab   itu 

paccakkha dàna memiliki makna yang lebih luas, bukan hanya 

jenis persembahan yang dapat dilihat oleh si penyumbang tetapi 

3199

 1

juga persembahan yang dapat dikenali oleh indria lainnya, yaitu, 

suara, bau-bauan, rasa, dan sentuhan. Sehubungan dengan hal 

ini, harus dipahami bahwa persembahan yang dilakukan dengan 

dihadiri oleh si penyumbang, paccakkha dàna tidak sama dengan 

sàhatthika dàna, persembahan yang dilakukan dengan kedua 

tangan sendiri. Persembahan yang dilakukan dengan dihadiri oleh 

si penyumbang atas perintah si penyumbang tetapi bukan melalui 

tangan si penyumbang yaitu   jenis anattika dàna, persembahan 

yang dilakukan atas permintaan atau perintah seseorang.

(22) Persembahan yang Dapat Ditandingi Oleh Orang Lain 

(Sadisa Dàna); Persembahan yang Tidak Dapat Ditandingi Oleh 

Orang Lain (Asadisa Dàna)

Jika persembahan dilakukan dengan semangat bersaing, para 

penyumbang berusaha untuk mengalahkan saingan mereka dalam 

hal skala dan kemegahan persembahan. Dalam persaingan itu, 

persembahan yang terbukti tidak tertandingi, tidak dapat ditiru 

disebut persembahan tanpa tandingan, asadisa dàna.

Menurut Komentar Dhammapada, dijelaskan dalam kisah 

Persembahan tanpa tandingan dalam Loka Vagga, hanya ada 

satu penyumbang dalam masa tiap-tiap Buddha yang melakukan 

persembahan tanpa tandingan. Kisah ini   yaitu   sebagai 

berikut:

Pada suatu saat  , Bhagavà, sesudah   melakukan perjalanan panjang 

disertai oleh lima ratus Arahanta tiba kembali di Vihàra Jetavana. 

Sang Raja, Pasenadã dari Kosala, memberi penghormatan kepada 

Buddha dan lima ratus siswa-Nya dengan mengundang mereka 

ke istana dan mempersembahkan dàna berskala besar. Raja juga 

mengundang warga   Sàvatthã untuk menghadiri Ritual   

persembahan itu sehingga mereka dapat menyaksikan dan 

bergembira dalam kebajikan yang ia lakukan. Keesokan harinya, 

warga   Sàvatthã, menyaingi raja, mempersiapkan seluruh kota 

dan memberi   persembahan yang melampaui persembahan 

raja kepada Bhagavà dan para siswa-Nya. Mereka mengundang 

raja untuk menghadiri Ritual   persembahan mereka untuk 

3200


menyaksikan perbuatan mereka dan bergembira dalam Ritual   

ini  .

Menangkap semangat persaingan, raja menerima tantangan para 

warga  . Keesokan harinya ia melakukan Ritual   persembahan 

yang lebih megah lagi. Para warga   melakukan lagi Ritual   

persembahan besar untuk mengalahkan usaha raja. Demikianlah, 

persaingan sengit antara raja dan para warga  nya berlangsung 

hingga masing-masing pihak melakukan enam kali Ritual   

persembahan. (Persaingan itu masih belum berakhir.)

Pada babak ke tujuh, raja merasa sedih, “Sulit sekali untuk 

melampaui usaha para warga   dalam babak ke tujuh ini; dan 

hidup menjadi tidak berarti, jika aku, yang berkuasa atas negeri ini, 

kalah terhadap para warga   yang kuperintah dalam babak ini.” 

(Untuk menghiburnya), Ratu, Mallikà, memikirkan sebuah rencana 

agar raja dapat melakukan persembahan yang sungguh megah yang 

mustahil dapat ditandingi oleh para warga  . Ia membangun 

sebuah aula besar; lima ratus siswa Buddha, para Arahanta, akan 

duduk di dalam aula dengan lima ratus putri mengipasi mereka 

dan memercikkan wangi-wangian dan air harum di dalam aula. 

Di belakang lima ratus Arahanta itu, terdapat lima ratus ekor gajah 

yang berlutut dan memegang payung putih menaungi tiap-tiap 

Arahanta.

Saat persiapan sedang dilakukan sesuai rencana di atas, mereka 

kekurangan satu ekor gajah jinak, jadi mereka memakai   seekor 

gajah liar dan ganas yang terkenal akan kebuasannya di belakang 

Yang Mulia Aïgulimala; gajah itu memegang payung putih seperti 

gajah-gajah lainnya. Para warga   takjub melihat binatang buas 

itu turut serta dalam Ritual   dan memegang payung di atas kepala 

Yang Mulia Aïgulimala dengan jinaknya.

sesudah   makanan dipersembahkan, raja menyatakan, “Aku 

melakukan persembahan segala benda di dalam aula ini, barang-

barang yang diperbolehkan juga barang-barang yang tidak 

diperbolehkan. Dalam pernyataan ini, para warga   harus 

mengaku kalah atas persaingan ini, sebab   mereka tidak memiliki 

3201

 1

putri, tidak memiliki payung putih, dan tidak memiliki gajah.

Dengan demikian, penyumbang dari persembahan tanpa tandingan 

pada masa ‘Makhluk Teragung di tiga alam’, Buddha Gotama yaitu   

Raja Pasenadã dari Kosala. Setiap Buddha memiliki penyumbang 

yang mempersembahkan dàna tanpa tandingan.

Jenis Dàna Dalam Kelompok Tiga

(1) Dàna juga dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu, 

rendah (hina), menengah (majjhima), dan tinggi (paõita). Tingkat 

kebajikan suatu tindakan bergantung pada kuatnya kehendak 

(chanda), kesadaran (citta), usaha (viriya), dan pengetahuan 

penyelidikan (vimaÿsà) yang terlibat dalam tindakan ini  . Jika 

empat unsur ini lemah, maka dàna dikatakan berjenis rendah; jika 

berstandar menengah maka dàna dianggap berjenis menengah; jika 

semuanya kuat, maka dàna dianggap berjenis tinggi.

(2) Jika tindakan dàna dimotivasi oleh keinginan untuk mendapatkan 

kemasyhuran dan pujian, ini yaitu   jenis rendah; jika tujuan dàna 

yaitu   untuk mencapai kebahagiaan hidup sebagai manusia atau 

dewa, ini yaitu   jenis menengah; jika persembahan diberikan 

sebagai penghormatan kepada para Ariya atau Bodhisatta atas 

teladan mereka dalam berdana, ini yaitu   persembahan mulia 

berjenis tinggi.

(Dalam berbagai khotbah dalam Kitab Pàëi disebutkan taman-taman 

dan vihàra-vihàra yang diberi nama sesuai nama penyumbangnya, 

misalnya, Jetavana, taman Pangeran Jeta; Anàthàpiõóikàràma, 

vihàra yang disumbangkan oleh orang kaya Anàthapiõóika; 

Ghositàràma, vihàra yang disumbangkan oleh orang kaya Ghosita. 

Sistem penamaan seperti ini digunakan oleh sidang Pertama para 

Sesepuh dengan tujuan untuk mendorong orang-orang lain agar 

mengikuti teladan mereka dan dengan demikian memperoleh 

jasa. sebab   itu, para penyumbang masa kini, sesudah   memberi   

persembahan, menuliskan nama mereka di atas marmer atau batu. 

Dalam melakukan hal itu, mereka harus mengendalikan diri, dengan 

mengerahkan perhatian, segala keinginan akan kemasyhuran 

3202


dengan mengingat bahwa mereka memberi   persembahan untuk 

menjadi teladan bagi mereka yang ingin memperoleh jasa.)

(3) Jika si penyumbang bercita-cita untuk mencapai kebahagiaan 

hidup sebagai manusia atau dewa, maka persembahannya yaitu   

berjenis rendah; jika cita-citanya yaitu   mencapai Pencerahan 

sebagai seorang siswa (Sàvakabodhi ¥Ã Ãµa), atau sebagai seorang 

Buddha diam (Paccekabuddha ¥Ã Ãµa), persembahannya yaitu   

berjenis menengah; jika ia bercita-cita untuk mencapai Pencerahan 

Sempurna dengan usaha sendiri (Sammàsambodhi ¥Ã Ãµa atau 

Sabba¤¤uta ¥Ã Ãµa), maka persembahannya yaitu   berjenis tinggi.

(Bodhi atau Pencerahan yang dimaksudkan yaitu   satu dari Empat 

Jalan. Para bijaksana masa lampau menasihatkan bahwa agar 

persembahan dapat bertindak sebagai alat untuk melarikan diri dari 

lingkaran kelahiran kembali (vivaññanissita), seseorang seharusnya 

tidak memberi   persembahan dengan cara yang sembrono atau 

cara-cara umum, ia seharusnya dengan serius (penuh keyakinan) 

bercita-cita untuk mencapai satu dari tiga bentuk Pencerahan 

sewaktu memberi   persembahan.)

(4) Selanjutnya, persembahan terdiri dari tiga jenis, yaitu, dàna dàsa, 

persembahan untuk seorang pelayan; dàna sahàya, persembahan 

untuk seorang teman, dan dàna sàmi, persembahan untuk seorang 

guru.

Seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari, seseorang memakai   

barang-barang yang berkualitas baik dan memberi   barang-

barang berkualitas rendah kepada para pelayan, demikian pula 

jika seseorang memberi   barang-barang berkualitas yang lebih 

rendah daripada yang ia gunakan sendiri, maka pemberian ini 

yaitu   berjenis rendah, dàna dasa, yang layak untuk pelayan; seperti 

halnya dalam kehidupan sehari-hari, seseorang memberi   kepada 

temannya barang-barang yang berkualitas sama dengan ia gunakan 

sendiri, maka pemberian ini dikatakan berjenis menengah (dàna 

sahàya); seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari, seseorang 

memberi   persembahan kepada yang lebih dihormati, barang-

barang yang berkualitas lebih baik daripada yang ia gunakan 

3203

 1

sendiri, demikian pula jika seseorang memberi   dàna berupa 

barang-barang yang berkualitas tinggi, maka persembahan ini 

dikatakan berjenis tinggi, dàna sàmi.

(5) Ada tiga jenis Dhamma dàna (pembagian ini berdasarkan arti 

kata ‘Dhamma’ untuk masing-masing jenis). 

Jenis pertama Dhamma dàna, ‘Dhamma’ yaitu   yang berhubungan 

dengan àmisa Dhamma dàna, telah disebutkan di atas pada bagian 

dàna dalam kelompok dua. Disebutkan bahwa àmisa Dhamma 

dàna yaitu   pemberian naskah daun palem atau kitab-kitab. Dalam 

kelompok ini, ‘Dhamma’ yaitu   naskah itu sendiri, Pariyatti, 

Dhamma yang diajarkan oleh Buddha dan dicatat di atas daun palem 

atau kitab-kitab sebagai naskah.) oleh sebab   itu, Dhamma dàna, di 

sini berarti mengajarkan kitab-kitab atau memberi   pengetahuan 

ajaran Buddha kepada orang lain. Pariyatti yaitu   objek pemberian, 

materi yang diberikan; pendengar yaitu   penerima dan orang yang 

mengajarkan atau menjelaskan Dhamma yaitu   si penyumbang.

(Jenis kedua Dhamma dàna, ‘Dhamma’ merujuk pada ‘Dhamma’ 

yang terdapat dalam pengelompokan Abhidhammà atas dàna 

dalam enam kelompok, yaitu rÃ¥pa dàna, gandha dàna, rasa dàna, 

phoÿñhabba dàna, dan Dhamma dàna. Dhamma yang dimaksud di 

sini dijelaskan sebagai segala sesuatu yang membentuk objek batin. 

Objek batin yaitu  : (1) lima organ indria (pasàda rÃ¥pa); (2) enam 

belas bentuk halus (sukhuma rÃ¥pa); (3) delapan puluh sembilan 

kondisi kesadaran (citta); (4) lima puluh dua faktor batin (cetasika); 

(5) Nibbàna, dan (6) konsepsi (pa¤¤Ã tti). Sedangkan dalam Pariyatti 

Dhamma, ‘Dhamma’ berarti ‘mulia’; di sini bermakna ‘kebenaran 

sehubungan dengan sifat sejati dari segala sesuatu’.

Dhamma dàna jenis ini dilakukan melalui pelayanan terhadap 

mereka yang menderita cacat (organ tubuh), misalnya, penglihatan 

yang lemah, kesulitan pendengaran, dan lain-lain. Membantu orang 

lain dalam memperbaiki penglihatannya yaitu   cakkhu (Dhamma) 

dàna; membantu orang lain dalam memperbaiki pendengarannya 

yaitu   sota (Dhamma) dàna, dan seterusnya. Dàna yang paling 

istimewa dari jenis ini yaitu   jivita dàna, membantu memperpanjang 

3204


umur orang lain. Dengan cara yang sama, dàna-dàna yang lainnya 

dapat dipahami.

Dalam jenis ketiga Dhamma dàna, ‘Dhamma’ merujuk pada 

Dhamma dari Tiga Permata, yaitu, Buddha, Dhamma, dan Saÿgha. 

Seperti halnya Dhamma dàna jenis pertama, Dhamma di sini 

berarti kitab-kitab ajaran Buddha. Sedangkan dalam jenis kedua, 

‘Dhamma’ yaitu   objek persembahan, dan pendengar yaitu   

penerima; dalam jenis ketiga ini, Dhamma, yang merupakan 

bagian dari Trinitas—Buddha, Dhamma, dan Saÿgha itu sendiri 

yaitu   penerima persembahan. Jika Buddha dan Saÿgha menjadi 

penerima, Dhamma juga menjadi penerima persembahan.

Sebagai ilustrasi, Buddha sedang menetap di Vihàra Jetavana di 

Sàvatthã. Pada waktu itu, seorang perumah tangga kaya yang 

berkeyakinan di dalam Dhamma, berpikir, ”Aku telah berkesempatan 

untuk memberi   penghormatan kepada Buddha dan Saÿgha 

dengan secara rutin memberi   persembahan makanan, jubah, 

dan lain-lain. Tetapi aku tidak pernah memberi penghormatan 

kepada Dhamma dengan memberi   persembahan. Sekarang 

yaitu   waktunya untuk melakukan hal itu.” Dengan pikiran ini, 

ia menemui Bhagavà dan bertanya kepada Bhagavà mengenai 

bagaimana melakukan hal itu.

Bhagavà menjawab: ”Jika engkau ingin memberi   penghormatan 

kepada Dhamma, engkau dapat mempersembahkan makanan, 

jubah, dan sebagainya kepada bhikkhu yang telah memelajari 

Dhamma dengan baik, tetapi dengan niat jelas untuk menghormati 

Dhamma yang telah ia kuasai.”

saat   perumah tangga itu bertanya kepada Bhagavà, bhikkhu mana 

yang layak menerima persembahan itu, Buddha memberitahunya 

agar menanyakan hal itu kepada Saÿgha. Saÿgha mengarahkannya 

agar memberi   persembahannya kepada Yang Mulia ânanda. 

sebab   itu ia mengundang Yang Mulia ânanda dan memberi   

persembahan makanan, jubah dan sebagainya yang melimpah, 

dengan mengingat bahwa ia sedang menghormati Dhamma yang 

telah dikuasai oleh Yang Mulia ânanda. Kisah ini dijelaskan dalam 

3205

 1

bagian pendahuluan dari Bhikkhàparampara Jàtaka, Jàtaka ketiga 

belas dari Pakinnaka Nipàta.

Menurut kisah ini, si perumah tangga yaitu   penyumbang; 

makanan, jubah, dan sebagainya yaitu   objek persembahan; dan 

tubuh Dhamma yang terdapat dalam diri Yang Mulia ânanda yaitu   

penerima persembahan.

Perumah tangga ini bukanlah satu-satunya yang melakukan 

persembahan ini pada masa Buddha, dengan pikiran tertuju pada 

Dhamma sebagai penerima persembahan. Kitab dengan jelas 

menyebutkan bahwa penguasa besar Sãri Dhammàsoka (Asoka) 

dengan penghormatan besar terhadap Dhamma membangun 

banyak vihàra, seluruhnya berjumlah 84.000, satu untuk masing-

masing dari 84.000 kelompok Dhamma (Dhammakkhandha) yang 

membentuk ajaran Buddha yang lengkap.

(Perhatian) Banyak orang telah mendengar tentang dàna besar oleh 

Asoka ini dan berkeinginan untuk menirunya. Tetapi sangatlah 

penting untuk mengikuti teladannya dengan cara yang benar. 

Tujuan sesungguhnya dari Raja Besar Asoka bukanlah sekadar 

mempersembahkan vihàra-vihàra, tetapi memberi   penghormatan 

kepada masing-masing kelompok Dhamma. Bangunan vihàra hanya 

sebagai benda-benda persembahan. Generasi-generasi penyumbang 

selanjutnya yang ingin meniru teladan Sãri Dhammàsoka harus 

memahami bahwa mereka membangun vihàra bukan sebagai 

objek persembahan, bukan dengan tujuan untuk memperoleh 

kemasyhuran sebagai penyumbang vihàra, tetapi dengan tujuan 

tunggal untuk menghormati Dhamma.

Pentingnya Dhamma dàna ini dapat dipahami saat   seseorang 

mengingat pentingnya ajaran, Dhamma. Komentator besar, yang 

Mulia Mahà Buddhaghosa mengakhiri karyanya, Aññhasàlinã, 

Komentar Dhammasaïgaõã, buku pertama dari Abhidhammà, 

dengan harapan, “Semoga Dhamma sejati bertahan lama. 

Semoga semua makhluk menghormati Dhamma.” (Ciraÿ tiññhatu 

saddhàmmo; Dhamme hontu sagàravà, sabbepi sattà). Ia menuliskan 

harapan ini sebab   ia menyadari peranan penting Dhamma. Ia 

3206


menyadari bahwa selama Dhamma bertahan, maka ajaran Buddha 

tidak akan memudar dan setiap orang yang menghormati Dhamma 

akan menghormati ajaran dan mengikutinya. Dan Buddha telah 

berkata, “Hanya mereka yang melihat Dhamma, dapat melihat 

Aku.” Dan menjelang akhir hidup-Nya, Buddha berkata bahwa, 

“Dhamma akan menjadi gurumu sesudah   kematian-Ku.” (So vo 

mamaccayena satthà.)

Oleh sebab   itu, kita harus berusaha untuk mengembangkan jenis 

ketiga Dhamma dàna ini yang memainkan peranan yang begitu 

penting.

(6) Tiga jenis dàna yang lainnya dikelompokkan sebagai dukkara 

dàna, persembahan yang sulit diberikan; mahàdàna, persembahan 

besar penuh kemegahan; dan sàma¤¤a dàna, persembahan biasa, 

yang tidak terlalu sulit dilakukan, juga tidak terlalu megah.

Contoh dari jenis pertama, dukkara dàna, dapat dibaca dalam kisah 

dàna yang diberikan oleh Dàrubhaõóaka Tissa. Kisah ini terdapat 

dalam Komentar Vagga ke-28 dari EkadhammaJhàna, Ekaka Nipàta, 

Aïguttara Nikàya.

Kisah Dàna yang Dipersembahkan Oleh Dàrubhaõóaka

Terdapat seorang miskin yang menetap di Mahàgàma, Sri Lanka, 

yang mencari nafkah dengan menjual kayu bakar. Namanya Tissa, 

tetapi sebab   mata pencahariannya yaitu   menjual kayu bakar, 

maka ia dikenal sebagai Dàrubhaõóaka Tissa (Tissa yang hanya 

memiliki kayu bakar sebagai harta).

Suatu hari ia berbicara dengan istrinya, “Kehidupan kita sangat 

sederhana, malang, dan rendah; walaupun Buddha telah mengajarkan 

manfaat dari nibaddha dàna, pelaksanaan kewajiban memberi   

secara rutin, kita tidak mampu melatih praktik demikian. Tetapi kita 

dapat melakukan satu hal; kita dapat memulai memberi   dàna 

makanan secara rutin dua kali setiap bulan, dan pada saat kita lebih 

mampu lagi, kita akan melakukan persembahan makanan yang 

lebih tinggi dengan memakai   kupon (salàkabhatta).” Istrinya 

3207

 1

menyetujui usulnya dan mereka mulai memberi   dàna makanan 

keesokan paginya.

Sungguh menggembirakan bagi para bhikkhu yang menerima 

banyak makanan baik. Beberapa bhikkhu muda dan para sàmaõera 

menerima dàna makanan yang buruk yang dipersembahkan oleh 

keluarga Dàrubhaõóaka, mereka membuangnya di hadapan mereka. 

Sang istri melaporkan kepada suaminya, “Mereka membuang 

makanan persembahan kita,” tetapi ia tidak pernah berpikiran 

buruk atas kejadian ini.

lalu   Dàrubhaõóaka Tissa berdiskusi dengan istrinya. “Kita 

begitu miskin sehingga kita tidak mampu mempersembahkan 

makanan yang dapat menyenangkan para mulia. Apa yang harus 

kita lakukan untuk memuaskan mereka?” “Mereka yang memiliki 

anak-anak tidaklah miskin,” jawab istri untuk menghibur dan 

memberi   dukungan dan menasihatinya untuk memperkerjakan 

putri mereka sebagai pembantu rumah tangga, dan dengan uang 

yang diperoleh, mereka akan membeli sapi perah. Dàrubhaõóaka 

menerima nasihat istrinya; ia mendapatkan dua belas keping uang 

dan membeli seekor sapi. sebab   kemurnian niat baik mereka, sapi 

itu menghasilkan banyak susu.

Susu yang mereka ambil pada malam hari dijadikan keju dan 

mentega. Susu yang diambil pada pagi hari digunakan istrinya 

untuk membuat bubur susu dan sesudah   ditambah keju dan mentega, 

mereka mempersembahkannya kepada Saÿgha. Demikianlah, 

mereka mampu memberi   persembahan makanan yang 

diterima dengan baik oleh Saÿgha. Sejak saat itu salàkabhatta 

dari Dàrubhaõóaka hanya tersedia bagi para mulia yang memiliki 

pencapaian yang tinggi.

Suatu hari Dàrubhaõóaka berkata kepada istrinya, “Berkat putri 

kita, kita selamat dari hinaan. Kita telah mencapai posisi di 

mana para mulia menerima persembahan makanan kita dengan 

penuh kepuasan. Sekarang, jangan lupa tugas rutin memberi   

persembahan makanan selama aku tidak ada. Aku akan mencari 

pekerjaan; aku akan kembali sesudah   menebus anak kita dari 

3208


perbudakan.” lalu   ia pergi bekerja selama enam bulan di 

pabrik gula dan berhasil mengumpulkan dua belas keping uang 

untuk menebus putrinya.

Berangkat pulang pada suatu pagi, ia melihat di depannya ada Yang 

Mulia Tissa yang sedang dalam perjalanan untuk melakukan puja 

bakti di Pagoda Mahàgàma. Bhikkhu ini yaitu   orang yang melatih 

praktik keras piõóindapàta, yaitu, ia hanya memakan makanan yang 

dipersembahkan kepadanya saat   ia pergi mengumpulkan dàna 

makanan. Dàrubhaõóaka berjalan cepat untuk mengejar bhikhhu 

dan berjalan beriringan dengannya, mendengarkan khotbahnya 

tentang Dhamma. Mendekati sebuah desa, Dàrubhaõóaka melihat 

seorang laki-laki keluar dengan membawa sebungkus nasi di 

tangannya. Ia menawarkan orang itu satu keping uang untuk 

menjual nasi bungkus itu kepadanya.

Orang itu yang menyadari pasti ada alasan khusus dengan 

menawarkan satu keping uang untuk mekanan yang bahkan tidak 

bernilai seperenam belasnya, menolak untuk menjualnya dengan 

harga satu keping uang. Dàrubhaõóaka menaikkan tawarannya 

menjadi dua, lalu   tiga keping uang dan seterusnya hingga 

ia menawarkan semua uang yang ia miliki, tetapi orang itu tetap 

menolak tawaran itu (sebab   berpikir bahwa Dàrubhaõóaka masih 

memiliki uang).

Akhirnya, Dàrubhaõóaka menjelaskan kepada orang itu, “Aku 

tidak memiliki uang lagi selain dua belas keping ini. Aku pasti 

memberi   lebih jika aku memilikinya. Aku membeli makanan 

ini bukan untuk diriku; sebab   ingin mempersembahkan makanan, 

aku memohon kepada seorang bhikkhu agar menungguku di bawah 

pohon. Makanan ini akan dipersembahkan kepada bhikkhu itu. 

Mohon jual kepadaku nasi bungkus ini dengan harga dua belas 

keping uang ini. Engkau juga akan mendapatkan jasa dengan 

melakukan hal itu.”

Orang itu akhirnya setuju untuk menjual nasi bungkusnya dan 

Dàrubhaõóaka menyerahkannya dengan penuh kegembiraan kepada 

bhikkhu yang sedang menunggu itu. Mengambil mangkuk dari 

3209

 1

bhikkhu itu, Dàrubhaõóaka memindahkan nasi itu dari bungkusnya 

ke dalam mangkuk itu. Tetapi Yang Mulia Thera hanya menerima 

setengah dari makanan itu. Dàrubhaõóaka memohon kepada 

bhikkhu, “Yang Mulia, makanan ini hanya cukup untuk satu orang. 

Aku tidak akan memakannya sedikit pun. Aku membeli makanan 

ini khusus untukmu. Berkat welas asihmu kepadaku, sudilah Yang 

Mulia menerima semua makanan ini.” Atas permohonan ini, Yang 

Mulia mengizinkannya mempersembahkan semua makanan dalam 

bungkusan itu.

sesudah   Thera selesai makan, mereka melakukan perjalanan 

bersama-sama dan bhikkhu itu bertanya kepada Dàrubhaõóaka 

tentang dirinya. Dàrubhaõóaka menceritakan segalanya dengan 

jujur tentang dirinya kepada bhikkhu. Sang Thera merasa takjub atas 

bakti yang ditunjukkan oleh Dàrubhaõóaka dan berpikir, “Orang ini 

telah melakukan dukkara dàna, persembahan yang sulit dilakukan. 

sesudah   memakan makanan yang dipersembahkan olehnya dengan 

susah payah, aku sangat berhutang kepadanya dan aku harus 

menunjukkan terima kasih sebagai balasan. Jika aku menemukan 

tempat yang layak, aku akan berusaha keras untuk mencapai 

Kearahattaan dalam satu kali duduk. Biarpun kulitku, dagingku, 

dan darahku mengering. Aku tidak akan mengubah posisiku hingga 

aku mencapai tujuan.” Saat mereka tiba di Mahàgàma, mereka 

berpisah.

Sesampainya di Vihàra Tissa Mahàvihàra, Thera mendapatkan 

satu ruangan untuk dirinya, di mana ia mengerahkan usaha 

kerasnya, bertekad untuk tidak berpindah dari tempat itu hingga 

ia telah melenyapkan semua kotoran dan menjadi seorang 

Arahanta. Bahkan tidak pergi mengumpulkan dàna makanan, ia 

dengan teguh berusaha, hingga pagi pada hari ketujuh ia menjadi 

seorang Arahanta yang menguasai Empat Pengetahuan Analitis 

(Patisambhidà). lalu   ia berpikir, “Tubuhku sangat lemah. 

Aku ingin tahu apakah aku dapat hidup lebih lama.” Ia menyadari 

melalui kekuatan batinnya bahwa fenomena nàma rÃ¥pa yang 

merupakan tubuh hidupnya tidak akan bertahan lebih lama lagi. 

Ia merapikan kamarnya dan mengambil mangkuk dan jubahnya 

lalu   pergi ke ruang pertemuan di tengah vihàra dan menabuh 

3210


genderang untuk mengumpulkan para bhikkhu.

saat   semua bhikkhu telah berkumpul, Thera kepala bertanya siapa 

yang memanggil untuk berkumpul. Yang Mulia Tissa yang berlatih 

keras dengan mempraktikkan hanya memakan yang diperoleh 

dari perjalanan mengumpulkan dàna makanan, menjawab, “Aku 

yang menabuh genderang, Yang Mulia.” “Dan mengapa engkau 

melakukan itu?” “Aku tidak memiliki tujuan lain, tetapi jika ada 

anggota Saÿgha yang meragukanku dalam pencapaian Jalan dan 

Buah, aku ingin agar mereka bertanya kepadaku.”

Thera kepala memberitahunya bahwa tidak ada pertanyaan. Ia 

lalu   bertanya kepada Yang Mulia Tissa mengapa berlatih begitu 

keras bahkan hingga mengorbankan nyawanya untuk mencapai itu. 

Ia menceritakan segala yang telah terjadi dan memberitahukan 

bahwa ia akan meninggal dunia pada hari itu juga. lalu   

ia berkata, “Semoga papan tempat jasadku terbaring tetap tidak 

bergerak hingga penyumbang makananku, Dàrubhaõóaka, datang 

dan mengangkatnya dengan kedua tangannya,” dan lalu   ia 

meninggal dunia pada hari itu juga.

lalu   Raja Kàkavaõõatissa datang dan memerintahkan orangnya 

untuk meletakkan jasad itu di atas papan dan membawanya ke 

tumpukan kayu bakar di tanah pemakaman, tetapi mereka tidak 

mampu mengangkatnya. Mengetahui alasannya, raja memanggil 

Dàrubhaõóaka, memberinya pakaian yang baik dan memintanya 

untuk mengangkat papan jenazah itu.

Kitab menjelaskan kisah lengkap tentang bagaimana Dàrubhaõóaka 

mengangkat papan jenazah itu dengan mudah ke atas kepalanya dan 

bagaimana, sesudah   ia mengangkatnya, papan jenazah itu melayang 

di udara dan berjalan sendiri ke tumpukan kayu pemakaman.

Dàna yang dilakukan oleh Dàrubhaõóaka yang melibatkan 

pengorbanan tanpa ragu atas dua belas keping uang yang ia perlukan 

untuk menebus putrinya dari perbudakan dan yang memerlukan 

enam bulan untuk mengumpulkannya yaitu   sungguh sangat sulit 

untuk dilakukan dan sebab   itu disebut dukkara dàna.

3211

 1

Contoh lain dari pemberian semacam ini terdapat dalam kisah 

Sàmaõera Sukha yang dijelaskan dalam Vagga kesepuluh dari 

Komentar Dhammapada. Sebelum ia menjadi seorang sàmaõera, 

ia yaitu   seorang miskin yang ingin memakan makanan mewah 

seorang kaya. Orang kaya Gandha memberitahunya bahwa ia 

harus bekerja selama tiga tahun untuk dapat memakan makanan 

seperti itu. Demikianlah ia bekerja selama tiga tahun dan akhirnya 

mendapatkan makanan yang sangat ia dambakan; saat ia hendak 

memakan makanan itu, seorang Pacceka Buddha kebetulan datang. 

Tanpa ragu, ia mempersembahkan kepada Pacceka Buddha makanan 

yang sangat ia harapkan itu yang memerlukan tiga tahun bekerja 

untuk mendapatkannya.

Contoh lain lagi terdapat dalam Ummàdantã Jàtaka dari Pa¤¤Ã sa 

Nipàta yang mengisahkan tentang seorang gadis miskin yang 

bekerja selama tiga tahun untuk mendapatkan kain bergambar 

untuk menghias dirinya. saat   ia hendak menghias dirinya dengan 

kain yang sangat ia dambakan itu, seorang siswa Buddha Kassapa 

datang (yang hanya ditutupi dengan daun-daunan sebab   ia telah 

dirampok oleh gerombolan perampok). Pemberian kain yang sangat 

ia dambakan dan membutuhkan tiga tahun bekerja juga yaitu   

dàna jenis dukkara.

Pemberian yang sangat menakjubkan dalam hal kemegahan disebut 

mahàdàna, Pemberian Sirãdhammàsoka yang agung (Asoka) berupa 

84.000 vihàra untuk menghormati 84.000 bagian dari Piñaka yaitu   

dàna besar dalam jenis ini. Sehubungan dengan hal ini, Yang 

Mulia Mahàmoggalliputta Tissa berkata, “Dalam masa pengajaran 

Buddha, atau bahkan dalam masa kehidupan Buddha, tidak 

ada yang menyamaimu sebagai penyumbang empat kebutuhan. 

Persembahanmu yaitu   yang terbesar.”

Meskipun Yang Mulia Mahàmoggaliputta Tissa berkata demikian, 

persembahan Asoka dilakukan atas kehendaknya sendiri dan 

tidak ada pihak lain yang menyainginya dan sebab   itu tidak perlu 

disebutkan sebagai jenis dàna sadisa atau asadisa. Persembahan 

Passenadã Kosala dilakukan dalam sebuah persaingan dengan 

3212


para warga   (Sàvatthã) dan sebab   itu disebut ‘asadisa dàna’, 

persembahan tanpa tandingan.

Semua persembahan lainnya yang bersifat biasa yang tidak sulit 

dilakukan juga tidak besar, hanya pemberian biasa, disebut sàma¤¤a 

dàna.

Sebagai tambahan, ada pengelompokan lain dari Dhamma dàna 

yang disebutkan dalam Kitab Vinaya Parivàra dan komentarnya, 

yaitu:

1. memberi   kepada Saÿgha, pemberian yang dinyatakan melalui 

ucapan untuk dipersembahkan kepada Saÿgha,

2. memberi   kepada pagoda, pemberian yang dinyatakan melalui 

ucapan untuk dipersembahkan kepada pagoda,

3. memberi   kepada individu, pemberian yang dinyatakan 

melalui ucapan untuk dipersembahkan kepada individu.

Semua ini disebut dhammika dàna, persembahan yang dilakukan 

sehubungan dengan Dhamma. (Penjelasan lebih lanjut atas jenis-

jenis persembahan ini akan dijelaskan lalu   dalam sembilan 

pemberian Adhammika dàna.)

Jenis-Jenis Dàna Dalam Kelompok Empat

Kitab tidak menyebutkan jenis persembahan apa pun dalam 

kelompok empat. Tetapi Vinaya mencantumkan empat jenis 

kebutuhan yang dapat dipersembahkan, yaitu:

(1) Persembahan jubah atau bahan jubah (cãvara dàna).

(2) Persembahan makanan (piõóapàta dàna).

(3) Persembahan tempat tinggal (senàsana dàna), dan

(4) Persembahan obat-obatan (bhesajja dàna).

Persembahan juga dapat dikelompokkan menjadi empat berdasarkan 

kemurnian si penyumbang dan si penerima, yaitu:

(1) Dàna di mana si penyumbang memiliki moralitas tetapi si 

3213

 1

penerima tidak,

(2) Dàna di mana si penerima memiliki moralitas tetapi si 

penyumbang tidak,

(3) Dàna di mana si penyumbang dan si penerima tidak bermoral, 

dan

(4) Dàna di mana si penyumbang dan si penerima memiliki 

moralitas.

Jenis-Jenis Dàna Dalam Kelompok Lima

Kàladàna Sutta dalam Sumanà Vagga, Pa¤caka Nipàta, Aïguttara 

Nikàya menyebutkan lima jenis pemberian berikut ini yang dapat 

diberikan pada waktu yang tepat:

(1) Pemberian kepada seorang tamu,

(2) Pemberian kepada seseorang yang hendak melakukan 

perjalanan,

(3) Pemberian kepada seseorang yang sakit,

(4) Pemberian yang diberikan pada saat kekurangan, dan

(5) Pemberian hasil pertanian yang baru dipanen kepada mereka 

yang memiliki kebajikan.

Jenis kelima berhubungan langsung dengan para petani, tetapi 

harus dimengerti bahwa ini juga termasuk penghasilan pertama 

dari bekerja yang dipersembahkan sebagai dàna sebelum 

memakai  nya untuk diri sendiri.

Lima Jenis Asappurisa Dàna

Terdapat lima jenis pemberian yang dilakukan oleh orang-orang 

yang tidak memiliki kebajikan:

(1) Dàna yang dilakukan tanpa memerhatikan bahwa barang-

barang yang akan dipersembahkan telah dipersiapkan dengan 

baik, segar, baik, dan bersih;

(2) Dàna yang di lakukan tanpa penghor matan atau 

pertimbangan;

(3) Dàna yang dilakukan tanpa memberi   langsung dengan 

3214


kedua tangan sendiri; (misalnya, dàna yang diberikan 

oleh Raja Pàyàsi* yang bukan dengan tangannya sendiri 

melainkan dengan tangan pelayannya Uttara.) (*Catatan: 

Pàyàsi, kepala suku di Setavya di kerajaan Kosala, terlahir 

kembali di Alam Catumahàràjika sebagai hasil dari pemberian 

yang dilakukan sewaktu di alam manusia. Ia menceritakan 

kehidupan lampaunya kepada Mahàthera Gavaÿpati yang 

datang berkunjung. Ia mengatakan bahwa ia memberi   

persembahan tanpa mempersiapkan dengan saksama, tidak 

dengan tangannya sendiri, tanpa pikiran baik, hanya sebagai 

sesuatu yang dibuang; sebab   itu ia terlahir kembali di alam 

terendah dari enam alam surga.