Biksu Budha 24

 



’, ‘di sana ada seorang 

perempuan’, dan seterusnya.

Kebenaran mutlak yaitu   objek kebijaksanaan. Dengan kata lain, 

terlihat melalui kebijaksanaan. Makin besar kebijaksanaan, makin 

terlihat kebenaran mutlak ini  . Kebijaksanaan memungkinkan 

analisis atas segala sesuatu dan melihat sifat sejatinya. Jika 

dikatakan “yang mengetahui berbagai objek indria yaitu   batin”, 

kebijaksanaan menyelidiki apakah kebenaran mengetahui ada atau 

tidak ada dan memutuskan ada. Jika tidak ada yang mengetahui, 

kebijaksanaan akan mempertimbangkan, tidak akan ada yang 

disebut makhluk; semua hanyalah materi belaka seperti batu, 

karang, dan sejenisnya. Benda-benda materi tidak dapat mengetahui. 

Tetapi semua makhluk dapat mengenali berbagai objek-indria. Saat 

kebijaksanaan mempertimbangkan demikian, maka terlihatlah citta 

yang mengenali objek-objek indria.

Oleh sebab   itu, bahwa dalam batin terdapat pengertian tertinggi 

sudah jelas bagi mereka yang berpikir melalui kebijaksanaan; 

semakin banyak mereka berpikir, semakin jelas mereka memahami. 

Tetapi bagi mereka yang melihat melalui persepsi, hal ini tidak 

akan jelas; akan tetap tidak terlihat. sebab  , seperti telah dijelaskan 

sebelumnya, persepsi hanyalah gagasan akan bentuk-bentuk, jika 

dikatakan ada batin, orang yang melihat melalui persepsi akan 

bertanya, “Apakah batin itu bulat, datar atau persegi? Apakah 

berbentuk serbuk, cairan atau gas?” Tetapi Anda tidak bisa 

menjawab bahwa batin yaitu   bulat, datar atau persegi, Anda juga 

tidak bisa mengatakan bahwa batin berbentuk serbuk, cairan atau 

gas. Jika Anda tidak bisa memberi   jawaban, ia akan membantah 

dengan mengatakan bahwa tidak ada yang disebut batin; sebab   jika 

batin ada, maka bentuknya harus bulat, datar atau persegi; harus 

3383

 1

berbentuk serbuk, cairan atau gas. Bagi mereka yang melihat melalui 

persepsi yang dipenuhi dengan gagasan akan bentuk-bentuk yang 

nyata, batin tidak ada sebab   tidak memiliki bentuk yang nyata.

Seperti halnya seorang yang melihat melalui persepsi tidak dapat 

melihat kebenaran mutlak, demikian pula seorang cendekiawan 

tidak dapat melihat kebenaran umum. saat   seorang cendekiawan 

melihat apa yang disebut ‘laki-laki’ oleh mereka yang melihat 

melalui persepsi, ia akan melakukan analisis dan membagi menjadi 

tiga puluh dua bagian seperti rambut kepala, bulu badan, kuku jari 

tangan, kuku jari kaki, dan sebagainya, “Apakah rambut kepala 

ini yang disebut laki-laki?” “Apakah bulu badan ini yang disebut 

laki-laki?” jawaban terhadap pertanyaan ini tidak ada yang benar. 

Demikian pula, jika pertanyaan yang sama diajukan untuk bagian 

tubuh lainnya, jawabannya akan selalu tidak. Jika tidak ada bagian 

yang dapat disebut ‘laki-laki’, si intelektual akan berkata, “Kalau 

begitu, sesungguhnya tidak ada yang disebut laki-laki.”

Kebenaran umum hanya ada jika dilihat melalui persepsi; namun 

jika dilihat melalui kebijaksanaan, ia akan lenyap; demikian pula, 

kebenaran mutlak ada jika dilihat melalui kebijaksanaan; jika dilihat 

melalui persepsi, ia akan lenyap.

Sehubungan dengan hal ini, apa yang perlu diperhatikan secara 

khusus yaitu   kenyataan bahwa Nibbàna yaitu   kebenaran mutlak. 

Kebenaran mutlak yaitu   damai melalui lenyapnya segala jenis 

duka dan penderitaan. Kedamaian ini   hanya dapat terlihat 

jika diperiksa dengan memakai   Pandangan Cerah yang tajam, 

bukan melalui persepsi.

Pandangan Mereka yang Melihat Melalui Persepsi

Sekarang ini, orang-orang bertanya, “Apakah di Nibbàna terdapat 

bangunan-bangunan mewah? Bagaimanakah mereka yang telah 

merealisasi Nibbàna menikmati Nibbàna?” dan seterusnya. Mereka 

bertanya demikian sebab   persepsi mereka atas Nibbàna yang 

sebagai kebenaran mutlak terletak dalam lingkup kebijaksanaan.

3384


Tidak ada bangunan mewah di Nibbàna; juga tidak ada individu 

yang memasuki Nibbàna. (Mereka yang telah mencapai kedamaian 

Nibbàna dengan pencapaian Kearahattaan tidak akan terlahir 

kembali, namun batin dan jasmani mereka padam saat kematian 

terjadi dalam kehidupan terakhir mereka bagaikan api yang padam. 

Pelenyapan demikian disebut mencapai Parinibbàna. Tidak ada 

entitas yang hidup di Nibbàna.)

“Kalau begitu, Nibbàna itu tidak ada,” mereka yang melihat melalui 

perepsi akan mengatakan, “Kalau begitu tidak perlu dan tidak 

ada gunanya.” Untuk mendorong mereka, kita harus mengatakan, 

“Nibbàna yaitu   tempat di mana makhluk-makhluk yaitu   kekal 

dalam bentuk jasmani dan batin yang istimewa dan menikmati 

kemewahan yang tiada bandingnya di dalam istana-istana.” Barulah 

mereka akan puas sebab   pernyataan itu sesuai dengan anggapan 

mereka.

Jika seseorang melalui persepsi melihat sesuatu dan melihat bentuk 

yang nyata, itu bukanlah yang mutlak (paramattha) namun hanyalah 

suatu penglihatan umum (pa¤¤Ã tti). Demikian pula, jika seseorang 

melalui kebijaksanaan melihat sesuatu dan tidak melihat bentuknya, 

itu juga bukan yang mutlak, namun hanya sekadar penglihatan 

umum juga. Hanya jika seseorang melihat melalui kebijaksanaan 

dan melihat sifat sejatinya, maka itu yaitu   mutlak. Semakin dilihat, 

semakin terlihat kenyataannya. Oleh sebab   itu, Nibbàna yang 

yaitu   hanya kedamaian, Kesempurnaan yang unik, tidak dapat 

dilihat melalui persepsi yang cenderung melihat bentuk dan inti. 

Melainkan harus diperiksa melalui kebijaksanaan yang cenderung 

mengabaikan bentuk dan inti dan menyelidiki sifat sejati sehingga 

kedamaian sejati, Nibbàna, memperlihatkan dirinya.

Kebenaran umum dan kebenaran mutlak keduanya dapat diterima 

dalam situasinya masing-masing seperti dijelaskan di atas. Misalnya 

seseorang bersumpah dengan mengatakan, “Aku menyatakan 

bahwa di sana ada laki-laki dan perempuan. Jika apa yang kukatakan 

tidak benar biarlah kemalangan menimpaku,” dan misalnya seorang 

lainnya juga bersumpah dengan mengatakan, “Aku menyatakan 

bahwa di sana tidak ada laki-laki dan perempuan. Jika apa yang 

3385

 1

kukatakan tidak benar biarlah kemalangan menimpaku.” Keduanya 

tidak akan tertimpa kemalangan. Alasannya yaitu  : meskipun 

kedua pernyataan ini   berlawanan, tetapi keduanya benar 

dari sudut pandang mereka masing-masing. Yang pertama, benar 

dari sudut pandang penggunaan umum, yaitu kebenaran umum; 

yang terakhir, benar dari sudut pandang pengertian mutlak, yaitu 

kebenaran mutlak.

Walaupun para Buddha bermaksud mengajarkan hanya sifat 

kebenaran mutlak, Mereka tidak mengabaikan istilah-istilah 

umum dalam ajaran Mereka. Melainkan, Mereka menyebutkannya 

berdampingan dengan kebenaran mutlak. Misalnya, bahkan dalam 

Khotbah Pertama, diajarkan bahwa “dua ekstrem tidak boleh 

dilakukan oleh seorang petapa”, di mana “petapa” hanyalah sebuah 

penunjukan.

Pentingnya Penunjukan Umum

saat   Buddha mengajarkan kebenaran mutlak, Beliau memakai   

penunjukan umum jika diperlukan. Beliau melakukan hal itu 

hanya untuk membuat perbandingan. Bagi orang-orang biasa, 

kebenaran umum sama pentingnya dengan kebenaran mutlak. 

Jika Buddha mengajarkan hanya dengan memakai   istilah-

istilah kebenaran mutlak, mereka yang memiliki sikap batin yang 

baik akan memahami bahwa “Segala sesuatu di dunia ini yaitu   

tidak kekal, tidak memuaskan dan tanpa-diri,” dan mereka akan 

berusaha melatih meditasi Vipassanà, yang akan mengarahkan 

mereka menuju Nibbàna.

Sebaliknya, mereka yang memiliki sikap batin yang tidak baik akan 

menganggap, “Dikatakan bahwa hanya ada kelompok-kelompok 

jasmani dan batin yang bersifat tidak kekal, tidak memuaskan, dan 

tanpa-diri di dunia ini. Tidak ada diri, juga tidak ada pribadi. sebab   

itu tidak ada ‘hartaku, anakku, istriku’; juga tidak ada ‘hartanya, 

anaknya, istrinya’. ‘Seseorang boleh melakukan apa pun yang ia 

inginkan. sebab   tidak ada ‘dia’, maka tidak ada yang disebut 

‘membunuhnya’, tidak ada yang disebut ‘mencuri hartanya’, tidak 

ada yang disebut ‘melakukan perbuatan salah dengan istrinya’. 

3386


Demikianlah mereka akan melakukan kejahatan menuruti keinginan 

liar mereka. Dan saat meninggal dunia, mereka akan terlahir 

kembali di alam sengsara. Untuk mencegah hal ini, Suttanta Desanà, 

khotbah-khotbah, disampaikan dengan memakai   istilah-istilah 

umum. Ajaran-ajaran Suttanta membentuk nilai-nilai efektif dan 

mencegah makhluk-makhluk terjatuh ke empat alam sengsara.

Selain itu, ajaran-ajaran Suttanta mengarahkan makhluk-makhluk 

ke alam-alam bahagia seperti alam manusia, surga dan brahmà, 

sebab   kualitas-kualitas, yaitu, kedermawanan, moralitas, meditasi 

ketenangan, yang mendukung kelahiran kembali di alam-alam 

ini  , banyak diajarkan dalam Suttanta. (Misalnya, untuk 

memenuhi kebajikan kedermawanan, harus ada si pemberi, 

kehendak, penerima, dan objek-objek yang dapat diberikan. Dari 

faktor-faktor ini, kehendak yaitu   realitas mutlak, sedangkan 

lainnya hanyalah penunjukan, yang tanpanya akan membuat 

kedermawanan mustahil dilakukan. Hal yang sama berlaku 

pada moralitas dan meditasi ketenangan.) oleh sebab   itu, harus 

dimengerti tanpa ragu bahwa kebenaran umum mengarah pada 

alam bahagia. Mengabaikan kebenaran umum, akan menghambat 

pemenuhan Kesempurnaan yang diperlukan untuk mencapai 

Kebuddhaan.

Walaupun benar bahwa ajaran-ajaran Buddha dalam Suttanta saja 

cukup untuk mencegah makhluk-makhluk melakukan kejahatan. 

sebab   Buddha sendiri juga menyebutkan ‘aku’, ‘dia’, ‘milikku’, 

‘miliknya’, ‘istriku dan anak-anakku’ dan ‘istrinya dan anak-

anaknya’, dan seterusnya, ada bahaya makhluk-makhluk menjadi 

melekat kuat dengan gagasan palsu bahwa objek-objek ini   

memang ada dan lambat laun mereka akan semakin jauh dari Jalan 

dan Buahnya, Nibbàna. Untuk membantu mereka mencapai Jalan 

dan Buahnya, Nibbàna, Buddha harus mengajarkan kebenaran 

mutlak seperti yang terdapat dalam Abhidhammà.

Alasan Mengajarkan Kedua Jenis Kebenaran

Ajaran-ajaran Suttanta tentang keberadaan individu-individu dan 

benda-benda milik mereka dibuat sesuai dengan sebutan yang 

3387

 1

dipergunakan secara umum. Tetapi dalam Abhidhammà, Buddha 

melenyapkan gagasan palsu yang mengatakan ada sesuatu seperti 

aku, dia, laki-laki, perempuan, dan sebagainya, oleh sebab   itu, 

sebab   istilah-istilah umum itu, jangan beranggapan bahwa hal-

hal ini   memang ada; semuanya yaitu   tidak kekal, tidak 

memuaskan, dan tanpa-diri.

Demikianlah Buddha menjelaskan bahwa ada aku, dia, laki-

laki, perempuan, dan sebagainya, hanya sekadar sebutan (atau 

kebenaran umum), dan bahwa hal-hal ini   tidak ada dalam 

pengertian mutlak. Demikianlah perlunya mengajarkan kedua jenis 

kebenaran.

Kebenaran Alami (Sabhàva Sacca) dan Kebenaran Mulia (Ariya 

Sacca)

Kebenaran mutlak terdiri dari dua jenis: (a) alami dan (b) mulia. 

Seluruh empat Realitas Mutlak, yaitu, batin, faktor-faktor batin, 

materi, dan Nibbàna, merupakan kebenaran alami sebab   mereka 

nyata dalam pengertian mutlak.

Dalam hal urusan duniawi, terdapat kebahagiaan jasmani (sukha) 

dan kebahagiaan batin (somanassa) yang merupakan kebenaran 

alami. Jika seseorang bersentuhan dengan objek yang menyenangkan, 

sebab   sentuhan ini  , timbullah kebahagiaan dalam diri orang 

itu. Tak seorang pun yang dapat menyangkal dengan mengatakan, 

“Tidak, itu tidak benar.” Atau “Tidak, yaitu   tidak baik bersentuhan 

dengan objek yang menyenangkan.” Tak seorang pun yang 

dapat mengatakan demikian sebab   kenyataannya yaitu   orang 

ini   benar-benar bahagia saat bersentuhan dengan objek yang 

menyenangkan sebagai objek-indria (iññhaphoññhabbàrammana).

Demikian pula, jika pikiran seseorang berhubungan dengan objek-

pikiran yang menyenangkan, ia akan menikmati kebahagiaan batin. 

Perasaan demikian disebut somanassa-vedanà. Hal ini tidak dapat 

dibantah sebab   munculnya kebahagiaan batin yaitu   kenyataan. 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sukha dan somanassa 

keduanya hadir dalam urusan duniawi.

3388


Kebenaran Mulia (Ariya Sacca) 

Kebenaran Mulia Tentang Penderitaan (Dukkha Ariya Sacca)

Dalam istilah Kebenaran Mulia, seseorang tidak melihat sukha atau 

somanassa dalam konteks duniawi. Jika seseorang melekat pada 

pandangan bahwa ada sukha dan somanassa sebagai kebenaran 

alami, ia tidak akan dapat melepaskan diri dari belenggu duniawi; 

ia tidak akan dapat mencapai kemuliaan (Ariya). Oleh sebab   itu, 

ia yang bercita-cita untuk menjadi Ariya harus berusaha untuk 

melihat kondisi batin yang disebut sukha dan somanassa dalam 

istilah kebenaran alami sesungguhnya semua yaitu   penderitaan. 

Perasaan ini yang disebut sukha dan somanassa yaitu   hal-hal yang 

tetap tanpa perubahan selamanya; sesungguhnya hal-hal ini   

selalu berubah setiap detik.

Kaum duniawi menginginkan kenikmatan alam manusia dan alam 

dewa, secara keliru memercayai bahwa alam-alam ini   yaitu   

sumber kebahagiaan dan kegembiraan. Mereka memercayai hal 

ini   sebab   mereka tidak mengetahui bahwa kenikmatan itu 

yaitu   sementara dan selalu berubah. Mereka bodoh akan sifat sejati 

dari kenikmatan ini sebab   mereka memiliki sedikit kecerdasan 

namun keserakahan yang besar. Orang-orang bodoh ini   akan 

menganggapnya sebagai kenikmatan dan kebahagiaan sebelum 

proses kerusakan dan kehancuran terjadi. Tetapi kehancuran sudah 

menjadi sifatnya dan saat   hal itu terjadi orang-orang ini mengalami 

kesedihan yang lebih besar daripada kebahagiaan yang pernah 

mereka alami.

Misalnya, seorang miskin yang menjadi sangat bahagia saat ia 

mendengar bahwa ia memenangkan undian berhadiah. lalu   

ia mulai membayangkan bagaimana ia akan memakai   dan 

menikmati kekayaannya untuk memperbaiki kemiskinannya. 

Sewaktu ia sedang membangun istana di angkasa, ia kehilangan 

uangnya sebab   suatu kemalangan yang menimpanya. Dapat 

dibayangkan bagaimana ia menjadi tidak bahagia. Dukacita 

sebab   kehilangan kekayaannya akan jauh lebih besar daripada 

kebahagiaan saat menjadi kaya mendadak.

3389

 1

Dalam hal urusan duniawi segala sesuatu dihubungkan dengan 

kenikmatan atau penderitaan. Lima kenikmatan indria biasa 

dinikmati oleh kaum duniawi. Tetapi Buddha berkata bahwa dalam 

kenikmatan ini   terdapat lebih banyak penderitaan daripada 

kegembiraan. Tidak seperti kaum duniawi, Siswa Buddha tidak 

melihatnya sebagai suatu kenikmatan, apalagi Buddha. Namun 

Buddha tidak mengatakan bahwa kenikmatan itu sama sekali tidak 

menyenangkan; Ia mengatakan bahwa ada sedikit kenikmatan tetapi 

lebih banyak penderitaan di dalamnya.

Dalam situasi apa pun, para bijaksana selalu pertama-tama 

mempertimbangkan apakah ada cacat atau tidak, bukan apakah 

ada kenikmatan atau tidak. Jika ada cacat maka mereka tidak akan 

tertarik meskipun ada kenikmatan. Mereka memutuskan bahwa 

itu tidak sesuai bagi mereka. Jika tidak ada cacat, mereka akan 

mengambilnya sebagai sesuatu yang menyenangkan meskipun tidak 

ada kenikmatan di sana.

Demikian pula, melihat bahwa segala sesuatu akan lenyap, para 

mulia tidak akan menggenggam kenikmatan sementara, yang 

timbul hanya sesaat sebelum lenyap, sebagai kenikmatan. Seseorang 

dapat menjadi mulia hanya melalui perenungan bahwa, “Tidak 

ada kebahagiaan di dunia ini; segala sesuatu yaitu   tidak kekal, 

sebab   tidak ada yang kekal, maka tidak ada kebahagiaan; hanya 

ada penderitaan.”

Hanya dengan mengembangkan Pandangan Cerah melalui 

perenungan bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat penuh 

penderitaan, yaitu   mungkin untuk menjadi seorang Ariya. 

Kelompok-kelompok fenomena yang merupakan objek meditasi 

disebut Kebenaran Mulia. Dengan kata lain, sebab   para mulia 

bermeditasi dengan merenungkan kelompok-kelompok fenomena 

duniawi ini sebagaimana adanya, maka disebut Kebenaran Mulia.

Pandangan Cerah bahwa, dalam lingkaran kelahiran yang disebut 

tiga alam, tidak terdapat kenikmatan sama sekali, tetapi hanya 

penderitaan menurut pandangan benar yang dianut oleh mereka 

3390


yang berusaha mencapai kemuliaan dan oleh mereka yang 

telah mencapai kemuliaan yaitu   kebenaran; sebab   itu disebut 

Kebenaran Mulia Tentang Penderitaan.

Singkatnya, lima kelompok kemelekatan (pa¤ca upàdànakkhandha), 

juga disebut fenomena tiga alam kehidupan duniawi, semuanya 

yaitu   penderitaan dan bahwa semua itu hanyalah penderitaan, 

tidak ada yang lain. Pa¤ca upàdànakkhandha yaitu   lima kelompok 

kemelekatan; kelompok materi (rÃ¥pa), kelompok perasaan (vedanà), 

kelompok persepsi (sa¤¤Ã ), kelompok bentukan-bentukan pikiran 

(saïkhàra), dan kelompok kesadaran (vi¤¤Ã Ãµa), yang membentuk 

objek kemelekatan sebagai ‘aku’, ‘milikku’, ‘diriku’. Lima kelompok 

ini disebut Kebenaran Mulia Tentang Penderitaan.

Kebenaran Mulia Tentang pemicu   Penderitaan

(Dukkha Samudaya Ariya Sacca)

Pa¤ca upàdànakkhandha yang membentuk Kebenaran Mulia 

Tentang Penderitaan tidak muncul dengan sendirinya, tetapi 

memiliki alasan-alasan kemunculannya, yang paling mendasar dan 

paling penting yaitu   keserakahan akan objek indria.

Di dunia ini semua makhluk pasti mengalami penderitaan sebab   

mereka harus bekerja keras untuk mencari nafkah. Dan semua ini 

didorong oleh keserakahan. Semakin ia serakah untuk mencapai 

kehidupan yang baik, semakin besar penderitaan yang akan ia 

peroleh. Jika ia merasa puas dengan hidup sederhana, hidup dengan 

kebutuhan secukupnya, penderitaannya akan berkurang hingga 

batas tertentu. sebab   itu jelas bahwa penderitaan yang secara 

keliru diyakini sebagai kehidupan yang lebih baik disebabkan oleh 

keserakahan.

Makhluk-makhluk melakukan segala jenis perbuatan sebab   

menginginkan yang lebih baik bukan saja untuk kehidupan sekarang 

tetapi juga untuk kehidupan mendatang. saat   kelahiran baru 

terjadi sebagai akibat dari perbuatan-perbuatan ini  , pemicu   

utama dari kelahiran ini yaitu   keserakahan yang mendorong 

perbuatan-perbuatan ini  .

3391

 1

Keserakahan disebut Kebenaran Mulia Tentang pemicu   

Penderitaan sebab   benar bahwa keserakahan yaitu   sumber 

penderitaan, upàdànakkhandha, dalam kelahiran baru. Dengan 

kata lain, keserakahan yaitu   pemicu   bagi kelompok-kelompok 

yang membentuk penderitaan. Kebenaran Mulia Tentang pemicu   

Penderitaan ini (Dukkha Samudaya Saccà) juga disebut, secara 

singkat, sebagai Samudaya Saccà.

Kebenaran Mulia Tentang Lenyapnya Penderitaan

(Dukkha Nirodha Ariya Sacca)

Keserakahan disebut Kebenaran Tentang pemicu   Dukkha, 

bagaikan getah pohon myauk-hnai, melekat pada berbagai objek 

indria duniawi, tetapi, bagaikan lalat yang tidak bisa mendekati besi 

yang menyala, keserakahan juga tidak bisa membentuk kemelekatan 

terhadap Nibbàna.

Alasan untuk hal ini yaitu   Realitas Mutlak, Nibbàna. Unsur yang 

tidak berkondisi, tidak menarik dari sudut pandang keserakahan. 

Penjelasannya, keserakahan muncul dari perasaan seperti yang 

dinyatakan oleh Buddha “vedanà paccayà taõhà” dalam Hukum 

Musabab Yang Saling Bergantung (Paticcasamuppàda), dan sebab   

itu keserakahan bergantung kepada perasaan untuk dapat muncul. 

Tetapi, Nibbàna yang tidak berkondisi tidak ada hubungannya 

dengan perasaan (bukan jenis kebahagiaan yang dapat dirasakan); 

Nibbàna yaitu   kebahagiaan penuh kedamaian (santi-sukha).

lalu   muncul pertanyaan: dengan sama sekali hampa dari 

perasaan, dapatkan Nibbàna menyenangkan?

Jika seseorang bertanya seperti itu, ia menganggap bahwa perasaan 

yaitu   kebahagiaan sejati atau ia tidak menganggap bahwa 

kebahagiaan penuh kedamaian yaitu   kebahagiaan sejati.

Jawabannya yaitu  : ada dua jenis kebahagiaan, kebahagiaan yang 

berasal dari perasaan (vedayita-sukha) dan kebahagiaan yang 

berasal dari kedamaian (santi-sukha). Berikut ini ada perumpamaan: 

3392


misalkan ada seorang kaya yang gemar makan. Ia melewatkan 

sebagian besar waktunya dengan makanan-makanan mewah. Tetapi 

seorang vijjàdhara (seseorang yang bertahan hidup hanya dari 

kekuatan gaib) akan melihat bahwa makanan orang kaya ini   

menjijikkan, bukannya mengundang selera, sebab   ia memiliki 

kekuatan gaib dapat bertahan hidup tanpa makan. saat   ditanya, 

“Dari kedua orang ini, siapakah yang lebih bahagia sehubungan 

dengan makanan.” Orang yang serakah akan mengatakan bahwa si 

orang kaya lebih bahagia sebab   ia menikmati makanan-makanan 

mewah kapan pun ia menginginkannya sedangkan orang kedua 

tidak makan apa-apa. Mereka mengatakan demikian sebab  , dengan 

dikuasai oleh keserakahan, mereka percaya bahwa perasaan yang 

mendorong keserakahan yaitu   suatu hal yang patut dihargai.

Di pihak lain, mereka yang memiliki kecerdasan, akan mengatakan 

bahwa si vijjàdhara lebih bahagia; si orang kaya, sebagai seorang 

yang berselera tinggi, harus pergi mencari makanan; sesudah   

mendapatkannya, ia harus bersusah payah untuk membuat 

segala persiapan yang diperlukan (pañisaïkharaõa-dukkha) dan 

menginginkan kesenangan baru (àsà-dukkha). Untuk menikmati 

kebahagiaan yang berasal dari perasaan (vedayita-sukha) harus 

mengalami kesulitan dari dukkha kembar ini; tidak mungkin 

menghindarinya. Si vijjàdhara tidak memiliki dukkha seperti ini; ia 

hidup bahagia dengan tidak berhubungan dengan makanan. Tidak 

ada jejak kecemasan dalam kebahagiaannya, yang yaitu   mutlak. 

sebab   itu mereka mengatakan bahwa ia lebih bahagia.

Orang-orang yang serakah mengatakan bahwa si orang kaya lebih 

bahagia sebab   mereka tidak melihat kesulitan-kesulitannya; 

yang mereka lihat hanya kenikmatan makanannya. Mereka tidak 

melihat kesan baik dari kedamaian hidup si vijjàdhara yang tidak 

memerlukan makanan sama sekali; mereka bahkan iri melihat gaya 

hidup si orang kaya dan ingin menjadi kaya juga. Demikianlah, 

keserakahan tidak menganggap tinggi akan, tidak menginginkan, 

santi-sukha (Nibbàna yang tidak berkondisi) yang hampa dari 

perasaan dan yang sesungguhnya yaitu   kedamaian.

Sehubungan dengan hal ini, Sutta ketiga, 4, Mahà Vagga, Navaka 

3393

 1

Nipàta dari Aïguttara Nikàya mengatakan:

‘Suatu saat   Yang Mulia Sàriputta, sewaktu berada di tengah-tengah 

para bhikkhu berkata, “Teman-teman, Nibbàna yaitu   kebahagiaan 

sesungguhnya; Nibbàna yaitu   kebahagiaan sesungguhnya.” 

lalu   Yang Mulia Udàyã bertanya, “Bagaimana mungkin 

Nibbàna yaitu   kebahagiaan, Teman Sàriputta, jika tidak ada 

perasaan?” Yang Mulia Sàriputta menjawab, “Teman Udàyã, Nibbàna 

yang hampa dari perasaan yaitu   kebahagiaan itu sendiri.”

Kaum duniawi yang kurang cerdas melihat lima kelompok 

kehidupan, Kebenaran Tentang Dukkha, sebagai kebahagiaan. 

Kaum duniawi yang cerdas dan para mulia melihat lenyapnya 

lima kelompok kehidupan yang seperti padamnya api sebagai 

kebahagiaan. Sebuah perumpamaan untuk menggambarkan 

keunggulan kebahagiaan yang berasal dari pelenyapan dan 

pemadaman bagi kaum duniawi yang tidak cerdas yaitu   sebagai 

berikut: seorang pasien yang menderita sakit perut meminum obat 

yang diberikan oleh seorang dokter yang ahli; akibatnya ia sembuh 

dari penyakitnya. Dapat dibayangkan betapa bahagianya dia. Pada 

saat itu ia tidak memiliki perasaan menyenangkan apa pun; apa 

yang ia alami hanyalah padamnya sakit perutnya. Ia tentu saja 

gembira mengetahui, “Oh, sakitku telah hilang sekarang!” saat 

penyakitnya lenyap. Sakit perut tidak ada apa-apanya dibandingkan 

penderitaan saÿsàra. Jika seseorang merasa gembira dalam 

padamnya masalah kecil ini  , mengapa ia tidak bahagia dalam 

padamnya penderitaan saÿsara yang luar biasa berat. Ia tentu saja 

akan sangat bergembira.

Nibbàna

Apakah Nibbàna, lenyapnya penderitaan? saat   unsur yang tidak 

berkondisi Asaïkhata-Dhàtu, Realitas Mutlak yang istimewa, yang 

memiliki karakteristik damai, dicapai dengan empat pengetahuan 

Jalan, semua kotoran yang berjumlah seribu lima ratus, dilenyapkan 

secara total, tidak akan pernah muncul kembali. Dalam kehidupan 

yang mana pun, saat Arahatta-Magga dicapai, penderitaan dalam 

bentuk lima kelompok kehidupan sesaat   lenyap selamanya segera 

3394


sesudah   meninggal dunia, bagaikan kobaran api yang dipadamkan. 

Tidak ada lagi kelahiran kembali di alam kehidupan mana pun juga. 

Unsur yang tidak berkondisi, Realitas Mutlak yang istimewa, yang 

memiliki karakteristik damai dan semua ciri-ciri istimewa yang 

dijelaskan di atas disebut Nibbàna.

Kaum duniawi tidak mengetahui dengan baik sifat Nibbàna seperti 

para mulia. Jika mereka, tanpa mengetahuinya, mengatakan atau 

menulis agar orang lain memahaminya seperti para mulia, mereka 

bisa saja salah. Jangankan membicarakan Nibbàna, bahkan saat   

mereka membicarakan objek-objek duniawi yang hanya mereka 

ketahui dari buku-buku, seolah-olah mereka melihatnya sendiri 

dengan mata mereka sendiri, mereka mungkin saja salah. Kaum 

duniawi biasa, sebab   tidak mampu melihat segala aspeknya seperti 

para mulia, harus membicarakan Nibbàna hanya dengan cara seperti 

yang dijelaskan di atas.

Jika mempertimbangkan Nibbàna sebagai apa adanya, mereka yang 

tidak memahami makna sebenarnya Nibbàna akan menganggap 

Nibbàna sebagai suatu negeri atau kota yang tidak bisa dihancurkan. 

saat   Nibbàna disebut sebagai suatu kota yang aman dalam suatu 

khotbah pada suatu Ritual   menuang air, itu hanyalah sebuah 

ungkapan kiasan. Nibbàna bukanlah suatu kota, atau negeri. Namun 

ada yang percaya bahwa Nibbàna yaitu   suatu kota di mana mereka 

yang meninggal dunia dan masuk ke dalamnya hidup bahagia 

dengan batin dan jasmani yang bebas dari usia tua, penyakit, dan 

kematian. Sebenarnya yaitu   bahwa para Buddha, Pacceka Buddha, 

dan Arahanta yang masuk ke Nibbàna artinya yaitu   pelenyapan 

total dari lima kelompok kehidupan, jasmani dan batin, dari para 

Arahanta saat kematiannya dalam kehidupan terakhirnya; mereka 

tidak akan muncul dalam alam kehidupan mana pun. (Nibbàna 

yaitu   Realitas Mutlak yang merupakan objek Jalan dan Buahnya. 

Parinibbàna yaitu   pelenyapan total dari kelompok-kelompok 

jasmani dan batin yang tidak akan pernah menjadi makhluk lagi.) 

Mereka memasuki Nibbàna bukan berarti masuk ke Kota Nibbàna. 

Tidak ada yang dinamakan Kota Nibbàna.

saat   orang-orang melakukan kebajikan, guru-guru mereka akan 

3395

 1

menasihati agar mereka mengharapkan Nibbàna. Meskipun mereka 

melakukan sesuai apa yang dinasihatkan, namun seringkali mereka 

tidak memahami apa Nibbàna itu. sebab   itu mereka menjadi tidak 

terlalu bersemangat. sebab   itu guru-guru harus menasihati mereka 

agar mengharapkan padamnya penderitaan dan para umat akan 

memahami dan berdoa dengan penuh semangat dan sungguh-

sungguh.

Dua Jenis Nibbàna

Misalkan ada sebuah pakaian yang sangat mahal. saat   pemiliknya 

masih hidup, kita mengatakan, “Itu yaitu   pakaian mahal yang 

ada pemakainya.” saat   ia meninggal dunia, kita mengatakan, 

“Itu yaitu   pakaian mahal yang tidak ada pemakainya.” (Pakaian 

dinyatakan sesuai dengan waktu apakah pemakainya masih hidup 

atau sudah meninggal dunia.) Demikian pula, unsur yang tidak 

berkondisi, Realitas Mutlak Nibbàna, yang memiliki karakteristik 

damai dan yang merupakan objek bagi para mulia seperti Yang 

Mulia Sàriputta yang merenungkan melalui Jalan dan Buahnya 

disebut Sa-upàdisesa Nibbàna (Nibbàna dengan lima kelompok 

kehidupan yang merenungkannya) sebelum meninggal dunia; 

akan tetapi sesudah   meninggal dunia, sebab   tidak ada lagi lima 

kelompok kehidupan yang merenungkan Nibbàna, hal itu disebut 

Anupàdisesa Nibbàna (Nibbàna tanpa lima kelompok kehidupan 

yang merenungkannya.)

Kedamaian Nibbàna hanya akan dicita-citakan jika direnungkan 

sesudah   mengatasi kemelekatan melalui kebijaksanaan. Bahwasanya 

kedamaian Nibbàna yaitu   suatu hal yang harus dicita-citakan tidak 

akan dipahami jika kemelekatan masih menguasai pikiran seseorang 

dan tidak diatasi melalui kebijaksanaan.

Tiga Jenis Nibbàna

Nibbàna juga terdiri dari tiga jenis menurut ciri-ciri yang jelas 

terdapat di dalamnya: (1) Su¤¤ata Nibbàna, (2) Animitta Nibbàna, 

dan (3) Appanihita Nibbàna.

3396


(1) Ciri pertama yaitu   bahwa Nibbàna yaitu   hampa dari segala 

gangguan (palibodha); sebab   itu disebut Su¤¤ata Nibbàna. 

(Su¤¤ata artinya ‘hampa’.)

(2) Ciri kedua yaitu   bahwa Nibbàna yaitu   hampa dari kesadaran 

(citta), faktor-faktor batin (cetasika), dan jasmani (rÃ¥pa) yang sebagai 

benda-benda berkondisi yang menyebabkan kotoran. Benda-

benda berkondisi, apakah batin atau jasmani, tidak dapat muncul 

secara terpisah tanpa bergabung dengan lainnya. Benda-benda 

jasmani hanya muncul saat paling sedikit delapan di antaranya 

bergabung. (sebab   itu disebut aññhakalàpa, kelompok delapan). 

Benda-benda batin juga hanya muncul jika paling sedikit delapan 

unsur bergabung. (Yang dimaksudkan yaitu   pa¤ca-vi¤¤Ã Ãµa, 

lima kesadaran.) Saat kombinasi batin dan jasmani ini bergabung 

membentuk suatu kelompok, inilah yang secara keliru dianggap 

sebagai diriku, tubuhku, benda yang memiliki inti, kelompok ini 

lalu   memunculkan kotoran batin seperti kemelekatan, dan 

seterusnya. Dengan demikian, benda-benda berkondisi ini dikenal 

sebagai nimitta, landasan atau pemicu  . Dalam kesadaran duniawi 

tertentu, faktor-faktor batin dan jasmani disebut nimitta. Akan 

tetapi dalam Nibbàna, tidak ada yang disebut ‘diriku’, ‘tubuhku’, 

yang dapat menyebabkan munculnya kotoran. sebab   itu disebut 

Animitta Nibbàna.

(3) Ciri ketiga yaitu   bahwa Nibbàna yaitu   hampa dari 

kemelekatan, taõhà. Seperti telah disebutkan sebelumnya, Nibbàna 

tidak memiliki apa pun untuk dilekati. Nibbàna tidak untuk dilekati. 

sebab   itu disebut Appaõihita Nibbàna. 

Dengan demikian, terdapat tiga jenis Nibbàna menurut ciri-

cirinya.

Kebenaran Tentang Lenyapnya Dukkha ini secara singkat disebut 

Kebenaran Tentang Lenyapnya. Kebenaraan Tentang Lenyapnya ini 

yaitu   unsur yang tidak berkondisi (Asaïkhata) (tidak dikondisikan 

oleh faktor apa pun). Oleh sebab   itu, Kebenaran Tentang Lenyapnya 

ini, Yang Tak Berkondisi, Kenyataan Tertinggi Nibbàna, disebut 

Appaccaya-Dhamma, fenomena tanpa sebab, atau Asaïkhata-

3397

 1

Dhamma, fenomena tanpa kondisi, dalam Dhammasaïganã.

Kebenaran Mulia Tentang Jalan

Meskipun Nibbàna yaitu   tanpa pemicu  , tidak berkondisi oleh 

sebab apa pun dan selalu ada, yaitu   tidak mungkin mencapai 

kedamaian tanpa suatu sebab. Kedamaian hanya dapat dicapai 

melalui suatu pemicu  . pemicu   itu bukan lain yaitu   praktik 

mulia. Oleh sebab   itu praktik mulia yang mengarah menuju 

Nibbàna, Lenyapnya Penderitaan, disebut Dukkha Nirodhagàmini 

Pañipadà, Praktik yang mengarah menuju Lenyapnya Penderitaan.

Jalan Tengah (Majjhima Pañipadà)

Hidup dengan menikmati kenikmatan indria dalam dunia ini 

memenuhi tuntutan kemelekatan bukanlah jalan menuju tercapainya 

Nibbàna, Lenyapnya Penderitaan, melainkan hanyalah praktik 

rendah yang disebut kàmasukhallikànuyoga. Usaha untuk membuat 

seseorang menderita sebab   tubuhnya terbakar oleh api, oleh sinar 

matahari, dengan mengacungkan tangan terus-menerus, dengan 

pandangan untuk mencegah munculnya kotoran batin tidak akan 

membentuk jalan menuju Nibbàna, Lenyapnya Penderitaan. Ini 

yaitu   praktik rendah yang lain yang disebut attakilamathànuyoga. 

Menghindari kenikmatan indria di satu sisi dan penyiksaan diri 

di sisi lainnya, hanya mengikuti Jalan Tengah yang tidak terlalu 

menyenangkan dan juga tidak terlalu menyulitkan bagaikan dawai 

kecapi yang tidak terlalu tegang dan juga tidak terlalu kendur yaitu   

praktik yang pasti mengarah menuju Nibbàna. Praktik ini, yang tidak 

mudah juga tidak sulit, disebut Majjhima Pañipadà, Jalan Tengah.

Jalan Tengah ini disebut Jalan (Magga), Jalan menuju Nibbàna. 

Pandangan salah, dan lain-lain yang tidak baik disebut duggati 

magga atau micchà magga sebab   mengarah menuju empat alam 

sengsara (apàya). Pandangan benar, dan lain-lain yang baik disebut 

sugati magga atau samma magga sebab   mengarah menuju Nibbàna. 

Komentar Sacca Vibhaïga menjelaskan bahwa faktor-faktor 

seperti pandangan benar, dan seterusnya, yang merupakan Jalan 

Kesadaran disebut Magga sebab   dijalani oleh mereka yang bercita-

3398


cita mencapai Nibbàna; sebab   faktor-faktor ini mengarah menuju 

Nibbàna; dan sebab   mereka menemukan jalan menuju Nibbàna 

sesudah   melenyapkan kotoran batin.

Sang Jalan tidak terdiri hanya satu faktor; tetapi terdiri dari 

delapan faktor, yang akan dijelaskan berikut ini; sebab   itu disebut 

Aññhaïgika Magga, Jalan Berfaktor Delapan, yaitu:

(1) Sammà Diññhi: Pandangan Benar (Pengetahuan Atas Kebenaran 

Tentang Dukkha, Pengetahuan Atas Kebenaran Tentang pemicu   

Dukkha, Pengetahuan Atas Kebenaran Tentang Lenyapnya Dukkha, 

dan Pengetahuan Atas Kebenaran Tentang Jalan Menuju Lenyapnya 

Dukkha).

(2) Sammà Saïkappa: Pemikiran Benar (tiga jenis pemikiran, 

yaitu, pemikiran membebaskan diri dari kotoran indria (kilesa-

kàma) dan objek-objek indria (vatthu-kàma) seperti yang telah 

dijelaskan pada bagian Nekkhama Pàramã, Kesempurnaan 

Melepaskan Keduniawian; pemikiran membebaskan diri dari niat 

menghancurkan makhluk lain; dan pemikiran membebaskan diri 

dari niat menyakiti makhluk lain).

(3) Sammà Vacà: Perkataan Benar (pengendalian terhadap empat 

ucapan buruk).

(4) Samma Kammanta: Perbuatan Benar (pengendalian terhadap 

tiga perbuatan buruk).

(5) Sammà âjiva: Penghidupan Benar (penghidupan yang bebas 

dari tujuh hal buruk).

(6) Sammà Vàyàma: Usaha Benar (usaha yang tidak memunculkan 

kejahatan yang belum muncul, usaha untuk melenyapkan kejahatan 

yang telah muncul, usaha yang memunculkan kebaikan yang belum 

muncul dan, usaha untuk mengembangkan kebaikan yang telah 

muncul).

(7) Sammà Sati: Perhatian Benar (perhatian yang menyadari jasmani, 

3399

 1

perasaan, kesadaran dan rintangan batin, dan sebagainya).

(8) Sammà Samàdhi: Pemusatan Benar (Jhàna Pertama, Jhàna Kedua, 

Jhàna Ketiga, dan Jhàna Keempat).

Delapan faktor ini tidak muncul bersamaan dalam wilayah 

duniawi; namun muncul dalam kombinasi satu dengan yang lain 

sejauh mungkin. Akan tetapi saat tiba di wilayah spiritual, seluruh 

delapan ini muncul bersamaan. Hanya delapan unsur yang muncul 

bersamaan pada saat mencapai Jalan Lokuttara secara keseluruhan 

disebut Kebenaran Mulia Jalan. Dengan demikian, Kebenaran Mulia 

Jalan yang menuju Lenyapnya Penderitaan maksudnya yaitu   

kelompok delapan faktor yang dimulai dari Pandangan Benar, dan 

seterusnya yang muncul seluruhnya dalam waktu yang bersamaan. 

Jalan yang bersama-sama dengan Buah dan Nibbàna dalam 

sekelompok fenomena Lokuttara (Magga-Phala Nibbàna) berarti 

seluruh delapan faktor yang membentuk Kebenaran Mulia Jalan.

Kebenaran dari Belajar (Pariyatti Sacca) dan Kebenaran dari 

Praktik (Pañipatti Sacca)

Kebenaran yang telah kita bahas sejauh ini yaitu   yang dipelajari 

dari kitab-kitab (pariyatti sacca). Tetapi yang sebenarnya dianggap 

sebagai Kesempurnaan Kejujuran yaitu   kebenaran praktik (pañipatti 

sacca) yang dipenuhi oleh para mulia seperti para Bodhisatta dan 

lain-lain. Kebenaran praktik artinya kejujuran dalam berbicara atau 

mengatakan kebenaran (vaci sacca). Pelaksanaan praktik demikian 

dalam diri seseorang yaitu   pemenuhan Kesempurnaan Kejujuran. 

yaitu   kebenaran ucapan yang dipenuhi oleh para Bodhisatta dan 

para mulia lainnya. Kebenaran ucapan ini terdiri dari tiga jenis:

(1) Saddahàpana sacca, kebenaran ucapan yang diucapkan 

sehingga dipercaya oleh orang lain.

(2) IcchàpÃ¥raõa sacca, kebenaran ucapan yang diucapkan sehingga 

keinginan terpenuhi.

(3) Musàviramaõa sacca, kebenaran ucapan yang diucapkan 

sehingga kebohongan dapat dihindari.

3400


(1) Saddahàpana sacca

Dari ketiga kebenaran ini, cara para Bodhisatta memenuhi 

saddahàpana sacca disebutkan dalam Bhisa Jàtaka dari Pakiõõaka 

Nipàta. Kisah lengkap Bhisa Jàtaka dapat dibaca dalam Kitab Jàtaka. 

Kisah singkatnya yaitu   sebagai berikut.

Kisah Singkat Bhisa Jàtaka

Pada suatu masa, seorang pemuda bràhmana, bernama Mahàka¤cana, 

yang lahir di Kota Bàràõasã, pergi melepaskan keduniawian dan 

masuk ke hutan disertai sepuluh orang, di antaranya yaitu   adik 

laki-lakinya, seorang adik perempuannya, seorang pelayan laki-

laki, seorang pelayan perempuan, dan seorang teman. Mereka 

membangun tempat tinggal di suatu tempat di dekat kolam teratai 

dan hidup dengan mengumpulkan buah-buahan.

Awalnya mereka semuanya pergi mencari buah-buahan; saling 

berbicara satu sama lain seperti warga   kota atau desa, tidak 

seperti penghuni hutan. Untuk menghentikan situasi yang tidak 

menyenangkan ini, Mahàka¤cana, saudara tua berkata, “Aku 

sendiri yang mencari buah-buahan. Kalian semua tetap di sini 

dan mempraktikkan Dhamma dalam damai.” lalu   saudara 

lainnya berkata, “Engkau yaitu   pemimpin kami. Tidak layak 

bagimu untuk mencari buah-buahan. Saudara perempuan dan 

pelayan perempuan juga tidak layak melakukan hal itu, sebab   

mereka perempuan. Tetapi yang lainnya, delapan orang dari kami, 

akan melakukan hal itu bergantian.” Hal ini disepakati oleh semua 

orang dan delapan orang itu mengumpulkan buah-buahan untuk 

makan mereka semua.

Seiring berjalannya waktu, mereka merasa sangat puas sehingga 

mereka tidak peduli lagi dengan buah-buahan dan memetik tunas 

teratai dari kolam di dekat sana dan membaginya di antara mereka. 

Orang yang bertugas akan membawa tunas teratai ke dalam gubuk 

beratap daun dan membaginya dalam delapan porsi. Saudara tertua 

mengambil porsi pertama dan, sesudah   memukul genderang batu, 

kembali ke tempatnya untuk makan dengan damai dan melanjutkan 

3401

 1

latihannya. saat   saudara berikutnya mendengar suara genderang 

batu, ia akan mengambil bagiannya dan memukul genderang batu. 

Demikianlah mereka mengambil bagian mereka satu demi satu 

bergantian, lalu   kembali ke tempat mereka masing-masing 

dan makan, lalu   melanjutkan latihan. Dengan demikian, 

mereka tidak pernah saling bertemu jika tidak ada alasan khusus.

Latihan mereka yang sangat keras menyebabkan alam Dewa 

Sakka berguncang, raja para dewa merenungkan alasannya dan 

mengetahui. Ia menjadi ragu apakah orang-orang ini benar-benar 

telah lepas dari kemelekatan akan kenikmatan indria atau tidak. 

Untuk menyelidiki, ia menyembunyikan jatah makanan si kakak 

tertua dengan kekuatan gaibnya selama tiga hari berturut-turut.

saat   kakak tertua pergi mengambil jatah makanannya pada hari 

pertama, ia tidak melihatnya dan berpikir bahwa mereka lupa 

menyiapkan makanannya; lalu   ia kembali ke tempatnya 

untuk melanjutkan meditasi tanpa berkata apa-apa. Pada hari 

kedua juga ia tidak melihat makanannya; berpikir bahwa jatah 

makanannya sengaja tidak disediakan sebagai hukuman sebab   

suatu kesalahpahaman bahwa ia melakukan kesalahan, ia tetap diam 

seperti pada hari pertama. Pada hari ketiga, saat   ia tidak melihat 

jatah makanannya, ia berpikir bahwa ia harus meminta maaf jika 

ia telah melakukan kesalahan, maka malam harinya ia memanggil 

semua orang dengan memukul genderang batu, ia berkata, “Mengapa 

kalian tidak menyiapkan jatah makanan untukku? Bicaralah jika aku 

melakukan kesalahan; aku akan meminta maaf.” lalu   adik 

pertamanya berdiri dan sesudah   memberi hormat kepada kakaknya 

ia berkata, “Tuan, izinkan aku untuk berbicara secara pribadi.” 

sesudah   mendapat izin, ia bersumpah dengan mengatakan:

“Tuan, jika aku telah mencuri makananmu, semoga aku memiliki 

banyak kuda, sapi, perak, emas, dan istri yang cantik di tempat 

ini juga dan tinggal bersama keluargaku (menikmati kehidupan 

duniawi).”

(Sumpah ini menyatakan bahwa semakin banyak objek keinginan 

yang memberi   kenikmatan yang kita miliki, semakin kita 

3402


akan menderita dan tertekan saat   kita kehilangan objek-objek 

ini  . Sumpah ini dinyatakan untuk meremehkan objek-objek 

keinginan.)

Sang kakak tertua berkata, “Engkau telah mengambil sumpah yang 

sangat berat. Aku percaya engkau tidak mengambil makananku. 

Pergilah dan duduk di tempatmu.” Yang lainnya, menutup telinga 

mereka dan berkata, “Kakak, mohon jangan berkata seperti itu. Kata-

katamu sungguh serius dan mengerikan.” (Mereka menutup telinga 

mereka sebab   sebagai meditator mereka menganggap kenikmatan 

indria itu sangat menjijikkan; kenikmatan indria begitu menakutkan 

bagi mereka sehingga mereka tidak tahan bahkan hanya sekadar 

mendengarkan hal-hal yang berhubungan dengan kenikmatan 

indria.) lalu   saudara kedua berkata:

“Tuan, jika aku mencuri tunas terataimu, semoga aku menjadi 

seseorang yang memakai hiasan bunga-bungaan, memakai   

pasta kayu cendana dari Negeri Kàsi, memiliki banyak anak dan 

sangat melekat pada kenikmatan indria.” (Demikianlah, delapan 

orang itu bersumpah.)

Dalam kisah Jàtaka ini, si Petapa Mahàka¤cana, pemimpin 

kelompok, yaitu   Bodhisatta dan yang lainnya yaitu   yang kelak 

menjadi Siswa Besar yang memiliki keunggulan. Oleh sebab   

itu, sesudah   mencapai kematangan spiritual, mereka benar-benar 

tidak menyukai kenikmatan indria. Masing-masing dari mereka 

sangat tegas dalam mengambil sumpah yang sangat menakutkan 

untuk meyakinkan yang lain. sebab   sumpah yaitu   berdasarkan 

kebenaran, hal itu sama dengan ucapan kebenaran (vacã sacca) 

yang dipenuhi oleh para Bodhisatta. Dalam sumpah mereka, hal 

yang penting yaitu   “Kami tidak mencuri tunas teratai bagianmu.” 

sebab   itu yaitu   pernyataan yang benar, sama artinya dengan 

perkataan benar. Kata-kata seperti “Semoga aku memiliki ini atau 

itu” (Yang artinya yaitu   “Semoga aku mengalami ini atau itu”) 

diucapkan sebagai hukuman dalam sumpah yang bertujuan agar 

pihak lainnya percaya kepadanya. Demikianlah, kebenaran ini 

disebut saddahàpana sacca. Sumpah yang diucapkan sejak masa 

raja-raja Mahàsammata hingga ke pemerintahan sekarang semuanya 

3403

 1

yaitu   saddahàpana sacca.

Melakukan Sumpah Badaniah

Sebelum alat sumpah dilakukan secara tertulis sebagai naskah 

keramat, sumpah dilakukan secara verbal dan disebut “bersumpah.” 

Sejak sumpah tertulis muncul, sumpah verbal digantikan dengan 

memegang tulisan keramat (atau meletakkannya di atas kepala 

seseorang); demikianlah mengambil sumpah dengan memegang 

naskah keramat menjadi kebiasaan. Hanya bentuk sumpah bagi 

diri sendiri, apakah dilakukan secara verbal atau dengan memegang 

naskah keramat, untuk meyakinkan orang lain, “Apa yang kukatakan 

yaitu   kebenaran! jika tidak, biarlah kemalangan menimpaku,” dan 

seterusnya, itu disebut saddahàpana sacca.

Kutukan

Ucapan yang tidak berdasarkan kebenaran, namun hanya 

mengirimkan kehancuran orang lain, itu bukanlah sumpah, 

melainkan hanya sekadar kutukan. Sebuah contoh dapat dilihat 

dari kisah berikut ini.

Kisah Dua Petapa

Pada masa lampau, saat   Raja Brahmadatta memerintah Kota 

Bàrànasã, seorang petapa bernama Devãla, menetap di Himalaya; 

pada kunjungannya ke Bàrànasã untuk mendapatkan asam dan 

garam, ia menetap di sebuah gubuk pembuat tembikar di dekat 

kota atas izin pemiliknya. lalu   seorang petapa lain bernama 

Nàrada datang untuk tujuan yang sama dan menetap di tempat yang 

sama. Pada malam harinya menjelang waktu tidur, si pendatang baru 

memerhatikan tempat tidur Devãla juga pintu masuk ke gubuk dan 

pergi ke tempat tidurnya. Tetapi, sesudah   berbaring, Devãla pindah 

ke pintu masuk dan tidur menghalangi jalan ke pintu.

saat   Nàrada keluar di tengah malam, ia kebetulan menginjak 

rambut Devãla. lalu   Devãla berkata, “Siapa yang menginjak 

rambutku?” Nàrada menjawab dengan lembut, “Tuan, aku yang 

3404


menginjak, sebab   aku tidak tahu engkau tidur di sini. Mohon 

maafkan aku.” Ia pun pergi keluar; Devãla menggerutu.

Agar Nàrada tidak melakukan hal yang sama lagi saat ia kembali, 

Devãla membalik posisi berbaringnya, dan tidur. saat   Nàrada 

kembali, ia berpikir, “saat   aku keluar, aku tidak sengaja menginjak 

rambutnya sebab   aku tidak tahu di mana letak kepalanya; aku 

harus melewati jalan lainnya.” Dan ia tidak sengaja menginjak 

lehernya. Devãla bertanya, “Siapa yang menginjak leherku?” “Ini 

aku, Tuan” jawab Nàrada. “Engkau petapa jahat!” Devãla berkata, 

“Pertama engkau menginjak rambutku. Dan kali ini, engkau 

melakukan hal yang sama, tetapi di leherku. Aku akan mengutuk 

engkau.” “Tuan, aku tidak bersalah,” tukas Nàrada. “Pertama kali 

aku salah sebab   tidak mengetahui posisi tidurmu. Sekarang aku 

lewat bagian kakimu agar tidak melakukan kesalahan lagi. Mohon 

maafkan aku,” Nàrada meminta maaf.

“O Petapa jahat, aku akan mengutuk engkau!” ancam Devãla. 

Meskipun Nàrada memohon, Devãla tetap mengucapkan kutukan, 

“Besok pagi, segera sesudah   matahari terbit, semoga kepalamu pecah 

menjadi tujuh keping!” “Meskipun aku telah meminta maaf, engkau 

tetap mengutukku,” Nàrada berkata, “semoga kepala yang bersalah 

pecah menjadi tujuh keping.” Demikianlah Nàrada membalas 

kutukan Devãla. (Tidak seperti kutukan Devãla, kutukan Nàrada 

yaitu   bebas dari kemarahan dan kehendak untuk mencelakainya. 

Ia sangat sakti sehingga dapat melihat hingga delapan puluh 

kappa—empat puluh kappa pada masa lalu dan empat puluh 

kappa pada masa depan.) saat   ia melihat masa depan Devãla, 

ia mengetahui bahwa Devãla akan hancur. sebab   itu berkat welas 

asihnya kepada Devãla, dengan kekuatan gaibnya ia mencegah 

matahari terbit.

saat   matahari tidak terbit sesuai waktunya, orang-orang 

berbondong-bondong pergi ke istana dan berseru, “O Raja, 

matahari tidak terbit saat engkau memerintah kami. Mohon 

perbaiki perbuatanmu sehingga matahari muncul kembali.” Raja 

merenungkan perbuatan-perbuatannya dan tidak melihat ada yang 

salah. Ia berpikir bahwa pasti ada alasan yang ganjil, mungkin 

3405

 1

berupa pertengkaran antara para petapa di negerinya. Dalam 

penyelidikannya, ia mengetahui pertengkaran antara dua petapa. 

Sang raja lalu   mendatangi kedua petapa itu. Atas perintah 

Nàrada, ia meletakkan segumpal tanah di atas kepala Devãla dan 

menenggelamkannya ke dalam kolam dengan paksa. saat   Nàrada 

menarik kembali kekuatan gaibnya, segera matahari terbit dan 

segumpal tanah itu pecah menjadi tujuh keping. Devãla lalu   

pindah ke tempat lain di dalam air dan keluar dengan selamat. 

(Komentar Dhammapada, I. Yamaka Vagga, 3. Tissa Vatthu.)

Kutukan Devãla dalam kisah ini, “Besok pagi, segera sesudah   

matahari terbit, semoga kepalamu pecah menjadi tujuh keping!” 

yaitu   diucapkan dengan kemarahan yang ditujukan kepada 

Nàrada. Dengan demikian, itu bukanlah sumpah, namun hanya 

sebuah kutukan.

Seperti halnya kutukan dalam kisah ini, juga ada kutukan yang 

tercatat dalam prasasti Myanmar zaman dulu. Misalnya, prasasti 

Pagoda Nadaungtat tertanggal 537 (Era Myanmar) di sebelah 

selatan Pagoda CÃ¥làmuni di Bagan, yang di bagian akhir tertulis, 

“Ia yang menghancurkan karya kebajikanku, semoga tujuh generasi 

keturunannya juga hancur. Semoga ia menderita di Neraka Avãcã 

dan semoga ia tidak terbebaskan namun menjadi berakar di sana 

bahkan saat   para Buddha dalam beberapa kappa datang dan 

berusaha untuk menyelamatkannya.” Kutukan demikian bukanlah 

suatu hal yang dilakukan oleh para Bodhisatta. Sesungguhnya, itu 

hanyalah ucapan jahat yang disebut ‘kata-kata kasar’ (pharusa-vàcà). 

Dengan kata lain, itu yaitu   kata-kata kasar yang diucapkan oleh 

orang-orang rendah.

Saddahàpana sacca harus dipahami tidak saja dari Bhisa Jàtaka, 

tetapi juga dari kisah Sutasoma dari Asiti Nipàta, Jàtaka. Ringkasan 

kisahnya yaitu   sebagai berikut.

Kanibal Porisada, yang dulunya yaitu   Raja Bàrànasã, sekarang 

menetap di dalam hutan, bersumpah untuk memandikan batang 

pohon banyan dengan darah yang berasal dari seratus satu raja 

jika kakinya yang tertusuk duri akasia sembuh dalam tujuh hari. 

3406


Kakinya sembuh dan ia berhasil menangkap seratus pangeran. 

Atas perintah dewa pohon agar jumlah raja yang ditangkap 

menjadi lengkap, ia harus menangkap Raja Sutasoma dari Kuru. 

Ia berhasil melakukannya saat Sutasoma sedang dalam perjalanan 

pulang dari Taman Migàjina dan memanggulnya di bahunya. 

lalu   Sutasoma berkata, “Aku harus pulang sebentar. sebab   

sewaktu dalam perjalanan ke Taman Migàjina aku bertemu seorang 

brahmana bernama Nanda, yang menawarkan untuk mengajariku 

empat syair yang bernilai empat ratus keping uang. Aku berjanji 

untuk memelajarinya dalam perjalanan kembali dari taman dan 

memintanya untuk menunggu. Izinkan aku pergi dan memelajari 

syair ini   dan menepati janjiku. sesudah   itu aku akan kembali 

kepadamu.”

“Sepertinya engkau mengatakan sesudah   bebas dari tangan kematian, 

‘Aku akan kembali ke kematian,’” jawab si kanibal, “aku tidak 

percaya kepadamu!”

lalu   Sutasoma berkata, “Teman Porisàda, di dunia ini, 

kematian sesudah   menjalani hidup penuh kebajikan yaitu   lebih baik 

daripada panjang umur dengan melakukan kejahatan sebab   hanya 

akan dicela oleh orang lain. Kata-kata tidak benar yang diucapkan 

tidak dapat melindungi seseorang dari kelahiran kembali di alam 

sengsara sesudah   kematiannya. Teman Porisàda, sebaiknya engkau 

percaya jika seseorang mengatakan, ‘Angin kencang meniup gunung 

karang ke langit’, atau ‘Matahari dan bulan jatuh ke bumi’, atau 

‘Semua sungai mengalir ke hulu’, tetapi jangan engkau percaya jika 

seseorang mengatakan, ‘Sutasoma berbohong’. Teman Porisàda, jika 

seseorang mengatakan ‘Langit telah pecah’, atau ‘Samudra telah 

kering’, atau ‘Gunung Meru telah lenyap tanpa bekas’, engkau 

boleh mempercayainya. Tetapi jangan engkau percaya jika seseorang 

mengatakan ‘Sutasoma berbohong’.” Tetapi Porisàda masih belum 

yakin sepenuhnya.

sebab   Porisàda masih belum mau mengubah pikirannya, 

Mahàsutasoma berpikir, “Porisàda ini masih tidak mempercayaiku. 

Aku akan membuatnya percaya dengan bersumpah.” Maka ia 

berkata, “Teman Porisàda, turunkan aku dari bahumu. Aku akan 

3407

 1

meyakinkan engkau dengan bersumpah.” Porisàda lalu   

menurunkannya dari bahunya. “Teman Porisàda, aku akan 

memegang pedang dan tombak dan bersumpah. Aku akan 

meninggalkanmu sebentar dan akan memenuhi janjiku kepada 

Brahmana Nanda untuk memelajari syair darinya di kota. lalu   

aku akan kembali kepadamu dan menepati janjiku. Jika aku tidak 

mengatakan yang sebenarnya, semoga aku tidak terlahir kembali 

dalam keluarga kerajaan yang terlindung oleh senjata seperti pedang 

dan tombak ini.”

lalu   Porisàda berpikir, “Raja Sutasoma ini telah melakukan 

sumpah yang tidak berani dilakukan oleh raja-raja biasa. Tidak 

peduli ia akan datang kembali atau tidak, aku juga seorang raja. 

Jika ia tidak kembali, aku akan mengambil darah dari lenganku 

sebagai pengorbanan kepada dewa pohon banyan.” Dengan pikiran 

demikian Porisàda melepaskan Bodhisatta Sutasoma.

Ucapan kebenaran Raja Mahàsutasoma yang diucapkan untuk 

meyakinkan Porisàda juga disebut saddahàpana sacca. Ini yaitu   

jenis Kesempurnaan Kejujuran yang harus dipenuhi oleh para 

Bodhisatta.

(2) Icchàpåraõa sacca

Ucapan kebenaran kedua yang diucapkan untuk memenuhi 

keinginan seseorang dapat dibaca dari kisah Suvannasàma, kisah 

ketiga dari Mahànipàta, Jàtaka, juga dari kisah-kisah lainnya.

Dalam Suvaõõasàma Jàtaka, Bodhisatta Suvaõõasàma yang 

sedang merawat kedua orangtuanya yang buta pergi mengambil 

air dari sungai. Raja Pãëiyakkha yang sedang berburu melihatnya 

dan menembaknya dengan sebatang anak panah sebab   keliru 

menganggapnya sebagai makhluk gaib. sebab   pengaruh racun 

yang terdapat pada anak panah ini  , Bodhisatta menjadi tidak 

sadarkan diri. Raja Pãëiyakkha membawa ayah dan ibu Bodhisatta 

ke tempat di mana Bodhisatta terbaring. Sesampainya di tempat itu, 

sang ayah, DukÃ¥la, duduk dan mengangkat kepalanya sedangkan 

sang ibu duduk dan mengangkat kakinya ke atas pangkuannya 

3408


dan menangis. Mereka meraba tubuh putra mereka dan merasakan 

panas tubuh di dadanya, sang ibu berpikir, “Putraku belum mati. 

Ia hanya tidak sadarkan diri sebab   racun. Aku akan melenyapkan 

racun ini   dengan kata-kata kebenaranku.” Demikianlah, ia 

mengucapkan kata-kata kebenaran yang terdiri dari tujuh pokok.

(1) Putraku Sàma dulu selalu mempraktikkan kebajikan 

(Dhammacàri). Jika ini benar, semoga racun yang menyerang 

putraku lenyap.

(2) Putraku Sàma dulu selalu menjalani praktik mulia. Jika ini 

benar, semoga racun yang menyerang putraku lenyap.

(3) Putraku Sàma dulu selalu berbicara hanya yang benar. Jika ini 

benar, semoga racun yang menyerang putraku lenyap.

(4) Putraku Sàma telah merawat orangtuanya. Jika ini benar, 

semoga racun yang menyerang putraku lenyap.

(5) Putraku Sàma dulu selalu bersikap hormat kepada mereka 

yang lebih tua dalam keluarga. Jika ini benar, semoga racun 

yang menyerang putraku lenyap.

(6) Aku menyayangi putraku Sàma melebihi diriku sendiri. Jika 

ini benar, semoga racun yang menyerang putraku lenyap.

(7) Semoga racun dalam tubuhku Sàma-ku lenyap berkat kebajikan 

yang telah dilakukan oleh ayahnya dan diriku.

lalu   Suvaõõa Sàma yang sedang berbaring di satu sisi, 

membalikkan badannya ke sisi lainnya.

Sang ayah juga berpikir, “Putraku masih hidup; aku juga akan 

mengucapkan kata-kata kebenaran,” ia mengucapkan kata-kata 

kebenaran yang terdiri dari tujuh pokok seperti yang diucapkan oleh 

sang ibu. lalu   Bodhisatta membalikkan badannya kembali.

Pada saat itu, dewi bernama Bahusundarã, yang pernah menjadi 

ibu Suvaõõasàma selama tujuh kehidupan dan yang sekarang 

menetap di Bukit Gandhamàdana, datang dari bukit ke tempat di 

mana Suvaõõasàma sedang berbaring dan mengucapkan kata-kata 

kebenarannya, “Aku telah lama menetap di Bukit Gandhamàdana 

di Himalaya. Sepanjang hidupku tidak ada yang kucintai lebih 

dari Suvaõõasàma. Jika ini benar, semoga racun yang menyerang 

3409

 1

Sàma-ku lenyap. Di tempat tinggalku di Bukit Gandhamàdana, 

semua pohon-pohonnya yaitu   pohon-pohon harum. Jika ini benar, 

semoga racun yang menyerang Sàma-ku lenyap. Selagi ayah, ibu, 

dan dewi meratap demikian, Bodhisatta Suvaõõasàma yang masih 

muda dan tampan bangkit sesaat  .

Dalam kisah ini, kata-kata kebenaran yang diucapkan oleh sang 

ibu, Pàrika, ayah, DukÃ¥la dan Dewi Bahusundarã yang bertujuan 

agar keinginan mereka melenyapkan racun yang menyerang 

Suvaõõasàma dan menyembuhkannya telah terpenuhi dan sebab   

itu disebut icchàpåraõa vacãsacca.

Kisah Suppàraka

IcchàpÃ¥raõa sacca juga terdapat dalam kisah Suppàraka dari 

Ekàdasaka Nipàta, Jàtaka. Kisahnya secara singkat yaitu   sebagai 

berikut:

Dalam hari-hari yang dilalui oleh Bodhisatta, bernama Suppàraka, 

yang sangat terpelajar, yang sedang menetap di kota pelabuhan 

Kurukaccha (Bharukaccha). Ia telah lama bekerja sebagai kapten 

sebuah kapal dan telah menjadi buta sebab   matanya terus-menerus 

terkena air laut. sebab   itu ia pensiun. Akan tetapi, atas permohonan 

beberapa pedagang ia menahkodai sebuah kapal untuk berlayar. 

sesudah   tujuh hari, sebab   badai yang tidak pada musimnya, kapal 

itu tidak dapat mempertahankan arahnya dan tersesat di lautan 

selama beberapa bulan. Kapal itu berlayar di lautan-lautan seperti (1) 

Kuhuramàlisamudra, (2) Aggimàlisamudra, (3) Dadhimàlisamudra, 

(4) Kusamàlisamudra, dan (5) Naëamàlisamudra, hingga nyaris 

mencapai lautan yang paling berbahaya, Balavàmukhasamudra. 

Pada saat itu Kapten Suppàraka berkata bahwa siapa pun yang 

sampai di lautan ini tidak dapat mundur lagi, dan akan tenggelam. 

Hal ini membuat semua pedagang menangis ketakutan.

Berpikir, “Aku akan menyelamatkan orang-orang ini dengan kata-

kata kebenaran.” Bodhisatta mengucapkan pernyataan dengan 

khidmat, “Sejak aku dewasa, aku tidak pernah menyakiti seorang 

pun; aku tidak pernah mencuri milik orang lain, bahkan sehelai 

3410


rumput atau sepotong bambu; aku tidak pernah memiliki nafsu 

sekecil apa pun atas istri orang lain; aku tidak pernah berbohong; 

aku tidak pernah meminum minuman keras bahkan seujung helai 

rumput. Berkat kebenaran pernyataanku ini, semoga kapal ini 

pulang dengan selamat.” lalu   kapal yang telah berlayar tanpa 

arah selama empat bulan, kembali ke Kurukaccha bagaikan makhluk 

yang sangat kuat dan tiba di Pelabuhan Kurukaccha dalam satu hari 

berkat kata-kata kebenaran Bodhisatta.

Kata-kata kebenaran Suppàraka, sang bijaksana juga yaitu   

IcchàpÃ¥raõa sacca sebab   diucapkan agar keinginannya 

menyelamatkan nyawa banyak orang, terpenuhi.

Kisah Raja Sivi

Ini yaitu   kisah ketiga dari Vãsati Nipàta. Di Kota Ariññhapura, 

Negeri Sivi, Bodhisatta, Raja Sivi, memberi   enam ratus ribu 

keping uang setiap hari sebagai derma. Meskipun demikian ia 

masih merasa tidak puas dan berpikir untuk memberi   bagian-

bagian tubuhnya. Untuk memenuhi keinginan sang raja, Sakka 

turun dalam samaran seorang brahmana buta dan menghadap 

raja sambil berkata, “O Tuanku, kedua matamu dapat melihat, 

tetapi mataku tidak. Jika engkau memberi   satu matamu, 

engkau masih dapat melihat dengan mata yang satu lagi dan aku 

juga dapat melihat dengan mata yang engkau berikan. sebab   itu, 

mohon berikan aku satu matamu.” Raja sangat gembira, sebab   

seorang penerima telah mendatanginya di saat ia berniat memberi. 

Ia memanggil ahli bedahnya, Sãvika, dan memerintahkan, “Ambil 

satu mataku.” Si ahli bedah, para menteri, dan para ratu semuanya 

berusaha membujuknya. Tetapi ia mempertahankan pendiriannya 

dan Sãvika tidak dapat melakukan apa-apa selain mengambil 

satu mata raja. Dengan satu matanya raja melihat mata yang telah 

dikeluarkan ini  , raja dengan bahagia mengungkapkan cita-

citanya untuk mencapai Pencerahan Sempurna (Sammàsambodhi) 

dan menyerahkan matanya itu kepada sang brahmana.

saat   si brahmana, yang sebenarnya yaitu   Sakka, memasukkan 

mata itu ke dalam rongga matanya, ternyata pas seperti mata aslinya. 

3411

 1

Raja Sivi, melihat hal ini, merasa gembira dan memerintahkan Sãvika, 

“Keluarkan mataku yang satu lagi.” Tidak memedulikan protes 

dari para menteri, raja mengeluarkan matanya yang satu lagi dan 

menyerahkannya kepada si brahmana. Brahmana itu memasukkan 

mata itu ke dalam rongga matanya yang satu lagi yang pas seperti 

aslinya. Ia lalu   memberi   berkah lalu   lenyap kembali 

ke alamnya.

sebab   Raja Sivi telah menjadi buta dan tidak layak untuk menjalani 

pemerintahan, ia pindah ke dekat sebuah kolam di taman kerajaan, 

dan di sana ia merenungkan tindakan kedermawanannya. Sakka 

mendatanginya dan berjalan mondar-mandir di dekat sana 

sehingga raja dapat mendengar suara langkah kakinya. saat   raja 

mendengarnya, ia bertanya siapa itu. Sakka menjawab, “Aku yaitu   

Sakka. Mintalah apa pun yang engkau inginkan.” “Aku memiliki 

banyak kekayaan seperti permata, emas, dan perak. Aku hanya ingin 

mati. Kedua mataku sudah tidak ada lagi,” jawab Raja. “O Raja, 

engkau mengatakan bahwa engkau menginginkan kematian. Apakah 

engkau benar-benar ingin mati? Atau apakah engkau berkata begitu 

sebab   engkau telah menjadi buta?” saat   raja menjawab bahwa ia 

menginginkannya sebab   ia buta, Sakka berkata, “O Raja, aku tidak 

mampu membuatmu dapat melihat kembali. Engkau hanya dapat 

melihat melalui kekuatan kejujuranmu. Ucapkanlah pernyataan 

kebenaran dengan khidmat.” Raja lalu   mengucapkan, 

“Aku memuja orang-orang yang mendatangiku untuk menerima 

persembahan dan aku juga memuja mereka yang benar-benar 

meminta apa yang mereka perlukan. Berkat kesungguhan ucapan 

kebenaran ini semoga penglihatanku pulih.” Segera sesudah   ia 

mengucapkan kata-kata itu, mata pertama muncul. lalu   ia 

mengucapkan pernyataan kebenaran lainnya:

“saat   si brahmana buta mendatangiku untuk meminta satu 

mataku, aku memberi   kedua mataku. Dalam melakukan hal 

itu, batinku dipenuhi kegembiraan. Berkat kesungguhan ucapan 

kebenaran ini, semoga mataku yang satu lagi pulih.”

Demikianlah, ia mendapatkan mata keduanya. Kedua mata ini 

bukanlah mata yang sama dengan mata yang ia miliki saat ia lahir; 

3412


juga bukan mata-dewa. Sesungguhnya, kedua mata itu muncul 

berkat kekuatan ucapan Kesempurnaan Kejujuran.

Ucapan kebenaran Raja Sivi ini juga merupakan icchàpÃ¥raõa 

sacca sebab   diucapkan dengan tujuan agar keinginannya unyuk 

memulihkan penglihatannya terpenuhi.

Dalam kisah Maccha dari Varaõa Vagga, Ekaka Nipàta, Bodhisatta, 

yang terlahir sebagai seekor ikan, mengucapkan pernyataan 

kebenaran sebab   air di dalam kolam kering sebagai akibat dari 

kemarau dan ikan-ikan dalam kolam ini   dimangsa oleh 

burung-burung gagak. Ia menyatakan dengan khidmat, “Meskipun 

aku terlahir sebagai seekor ikan yang hidupnya saling bergantung 

satu sama lain. Namun aku belum pernah memangsa bahkan seekor 

ikan yang besarnya seukuran sebutir beras. Berkat kesungguhan 

pernyataan ini, semoga turun hujan lebat.” Segera sesudah   ia 

mengucapkan pernyataan itu, turunlah hujan lebat.

lalu   dalam kisah Vaññaka dari Kulàvaka Vagga, Ekaka Nipàta, 

Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga burung puyuh. saat   

ia masih belum bisa terbang atau berjalan, terjadi kebakaran hutan 

dan kedua orangtuanya terbang menyelamatkan diri. “Di dunia ini, 

ada hal-hal seperti kebajikan dari kemurnian moralitas, kejujuran, 

dan welas asih. Aku tidak memiliki jalan lain kecuali sumpah 

kebenaran.” Berpikir demikian, ia mengucapkan, “Aku memiliki 

sayap, tapi aku tidak dapat terbang. Aku memiliki kaki, tapi aku 

tidak dapat berjalan. Orangtuaku telah terbang menyelamatkan diri. 

O api hutan, mohon pergi melewati aku.” Api hutan yang datang 

dalam jarak enam belas pai menjadi padam, meninggalkan si burung 

puyuh muda tanpa melukainya.

Sehubungan dengan hal ini, ada suatu hal yang perlu diklarifikasi. 

Dalam kisah Suvanasàma dan kisah lainnya, pernyataan kebenaran 

yang diucapkan yaitu   berdasarkan kebajikan dan sebab   itu 

keinginannya layak dipenuhi. Akan tetapi kata-kata kebenaran si 

burung puyuh muda tidak demikian. Ia hanya mengucapkan, “Aku 

memiliki sayap, tapi aku tidak dapat terbang. Aku memiliki kaki, tapi 

aku tidak dapat berjalan. Orangtuaku telah terbang menyelamatkan 

3413

 1

diri.” Pernyataan kebenarannya bukanlah berdasarkan atas 

kebajikan. Tetapi mengapa keinginannya terpenuhi?

Landasan dari sebuah pernyataan kebenaran yaitu   kejujuran 

apakah itu kebajikan atau bukan. Bahkan jika suatu ucapan 

berhubungan dengan kebajikan tetapi diucapkan tidak dengan jujur, 

itu bukanlah ucapan kebenaran; tidak memiliki kekuatan, juga tidak 

berbuah apa-apa. Kejujuran, yang merupakan ucapan yang jujur, 

memiliki kekuatan dan menghasilkan buah.

sebab   jujur, ucapan Bodhisatta termasuk ucapan kejujuran dan 

berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan. Walaupun ucapan 

ini   bukanlah ucapan kebajikan, tetapi juga bukan kejahatan. 

Bahkan jika suatu ucapan berhubungan dengan kejahatan, tetapi 

jika diucapkan dengan kejujuran, maka ucapan itu termasuk ucapan 

kejujuran dan dapat menghasilkan apa yang diinginkan. Hal ini 

dapat dibaca dari Kisah Kaõha Dãpàyana, Dasaka Nipàta.

(Suatu saat   Bodhisatta Dãpàyana bersama seorang teman, sesudah   

melepaskan semua kekayaan mereka, menjadi petapa di Himalaya. Ia 

kelak dikenal sebagai Kaõha Dãpàyana. Untuk penjelasan yang lebih 

terperinci baca Kaõha Dãpàyana Jàtaka, No. 444). Suatu hari Kaõha 

Dãpàyana dikunjungi oleh perumah tangga bernama Maõóavya, 

penyumbang tempat tinggalnya, bersama istri dan putranya, 

Ya¤¤adatta. Sewaktu kedua orang tua itu sedang berbicara dengan 

guru mereka, Ya¤¤adatta bermain-main gasing di ujung jalan 

setapak. Gasing itu menggelinding ke dalam lubang di tanah, yang 

merupakan sarang ular. saat   anak itu memasukkan tangannya ke 

dalam lubang itu untuk mengambil gasingnya, ia dipatuk oleh ular 

dan terjatuh sesaat   sebab   bisa ular ini  .

Mengetahui apa yang terjadi dengan anak mereka, mereka 

membawa anak itu dan meletakkannya di kaki Kaõha Dãpàyana. 

saat   kedua orang tua itu memohonnya untuk menyembuhkan 

anak mereka dari bisa patukan ular, ia berkata, “Aku tidak tahu obat 

untuk menyembuhkan bisa patukan ular. Tetapi aku akan mencoba 

menyembuhkannya dengan pernyataan kebenaran.” Ia meletakkan 

tangannya di kepala si anak dan mengucapkan, “sebab   lelah 

3414


terhadap kehidupan bermasyarakat, aku menjadi seorang petapa. 

Tetapi aku berbahagia dalam menjalani kehidupan sebagai petapa 

hanya selama tujuh hari. Sejak hari kedelapan sebagai petapa, aku 

tidak bahagia hingga hari ini selama lima puluh tahun. Aku dengan 

enggan bergulat dengan pengendalian diri. Berkat kekuatan dari 

ucapan kebenaran ini, semoga racun lenyap dan anak ini selamat.” 

lalu   racun yang ada di dada anak itu meresap ke dalam 

tanah.

Ya¤¤adatta membuka matanya; melihat orangtuanya, ia memanggil 

sekali, “Ibu, Ayah,” menggeliat dan jatuh tertidur kembali. Sang 

petapa berkata kepada sang ayah, “Aku telah melaksanakan 

bagianku. Engkau juga harus melaksanakan bagianmu.” lalu   

sang ayah berkata, “Aku tidak senang saat   para petapa dan 

brahmana mengunjungiku. Tetapi aku tidak memperlihatkannya 

kepada orang lain. Aku menyembunyikan perasaanku. Saat aku 

memberi persembahan, aku melakukannya dengan enggan. Berkat 

kebenaran ucapan ini semoga racun lenyap dan putra kecilku, 

Ya¤¤adatta, selamat.” Racun yang menyerang di atas pinggang 

mengalir ke dalam tanah.

Anak itu duduk, tetapi ia masih belum bisa berdiri. saat   sang 

ayah meminta sang ibu untuk melakukan hal yang sama, sang 

ibu berkata, “Aku akan menyatakan kebenaran. Tetapi aku tidak 

berani melakukannya di depanmu.” saat   sang ayah mendesak, 

ia terpaksa menurut dan berkata, “Aku membenci ular yang 

telah mematuk putraku. Aku membenci ayah anakku seperti aku 

membenci ular itu. Berkat kebenaran ucapan ini semoga racun 

lenyap sehingga putraku selamat.” lalu   semua sisa racun 

lenyap meresap ke dalam tanah; Ya¤¤adatta berdiri dan kembali 

bermain gasing.

(Dasar dari kata-kata kebenaran si guru pertama dan kedua 

muridnya bukanlah hal yang baik yang sejak lama mereka 

rahasiakan sendiri. Sekarang mereka mengungkapkannya dengan 

tegas dan menyatakannya kebenaran. Berkat kekuatan kejujuran ini, 

keinginan mereka terpenuhi.)

3415

 1

Sehubungan dengan hal ini, akan muncul pertanyaan, “Jika ucapan 

kebenaran, apakah berdasarkan kebajikan atau bukan, dapat 

bermanfaat seperti telah dijelaskan, apakah hal yang demikian 

masih berlaku pada masa sekarang ini?”

Jawabannya yaitu  : dari tiga jenis kejujuran, musàviramaõa sacca, 

menghindari kata-kata bohong atau berbicara jujur dalam hal 

apa pun, yaitu   suatu hal yang selalu dibicarakan oleh orang-

orang mulia. Orang-orang pada masa lalu yang mulia yang telah 

mengucapkan kata-kata kebenaran seperti telah disebutkan dalam 

kitab-kitab memiliki mulut yang merupakan tempat kediaman 

kejujuran di mana musàviramaõa sacca bertempat tinggal selamanya. 

“Tempat itu begitu murni dan mulia sehingga kejujuran yang keluar 

darinya mampu memenuhi keinginan. Pada masa lalu, saat   

kejujuran masih subur dan bersinar, hal jahat seperti kebohongan 

akan dengan segera menghasilkan hukuman yang tidak diharapkan; 

demikian pula, kejujuran akan menghasilkan imbalan yang setimpal. 

Kebohongan yang segera menghasilkan hukuman pada masa itu 

dapat dibaca dalam kisah Cetiya dari Aññhaka Nipàta. (Menurut 

kisah ini, Raja Cetiya dengan sengaja berbohong, mengatakan bahwa 

salah satu dari dua calon pendeta kerajaan lebih senior dari yang 

lainnya walaupun yang sebenarnya yaitu   sebaliknya; akibatnya 

ia ditelan bumi.)

Tetapi, masa sekarang, mengikuti pepatah, ‘tanpa kebohongan, tiada 

obrolan’, orang-orang sebagian besar mengucapkan kebohongan. 

Dengan demikian wilayah kebohongan telah tercipta dan kejujuran 

yang muncul dalam wilayah ini   tidak menghasilkan manfaat 

seperti kisah-kisah di atas. Demikian pula, akibat kebohongan juga 

tidak terasa.

Kisah-kisah lain yang mengandung kebenaran yang berakibat yaitu   

sebagai berikut ini.

Kisah Naëapàna dari Ekaka Nipàta menceritakan tentang rumpun 

alang-alang yang berubah menjadi cerukan berkat kebenaran yang 

diperlihatkan oleh Bodhisatta, raja kera.

3416


Kisah Sambulà dari Tiÿsa Nipàta menceritakan kisah lengkap 

mengenai kesembuhan Pangeran Sotthisena dari penyakit lepra 

berkat kata-kata kejujuran yang diucapkan oleh Pangeran Mahkota 

Sambulà.

Kisah Temiya dari Mahà Nipàta menceritakan kelahiran Bodhisatta, 

Pangeran Temiya, oleh Ratu Candà Devã saat   ia mengucapkan 

sumpah kebenaran sesudah   ia menjalani sãla.

Kisah Janaka dari Mahà Nipàta menceritakan tentang Pangeran 

Mahkota Pola Janaka yang melarikan diri dari belenggu rantai besi 

dan dari penjara berkat kata-kata kebenarannya.

Kisah Kaññhavàhana dari Ekaka Nipàta menceritakan tentang kata-

kata kebenaran yang diucapkan oleh seorang ibu, pemotong kayu 

bakar; untuk meyakinkan raja bahwa raja yaitu   ayah dari anak itu, 

ia melemparkan anak itu ke angkasa dan bersumpah, yang dengan 

sumpahnya itu, si anak tetap berada di angkasa dalam posisi duduk 

bersãla.

Kisah Màhamora dari Pakiõõaka Nipàta menceritakan tentang 

burung-burung yang melarikan diri dari sangkarnya masing-masing 

sebab   pernyataan kebenaran yang dinyatakan oleh seorang Pacceka 

Buddha, yang dulunya yaitu   seorang pemburu yang menangkap 

Bodhisatta, raja merak, di sebuah lapangan. Mendengar khotbah 

Dhamma dari Bodhisatta, ia mencapai Pencerahan Sempurna dan 

menjadi seorang Pacceka Buddha. (Atas nasihat Bodhisatta) ia 

mengucapkan kata-kata kebenaran sebagai berikut, “Aku sekarang 

telah terbebas dari belenggu kotoran batin. Semoga semua burung 

yang berada dalam sangkar di rumahku menjadi bebas seperti 

diriku.” Kekuatan kata-kata kebenaran dalam kisah ini harus dapat 

dipahami.

Kekuatan Kejujuran Pada Masa Buddha

Pada suatu saat   pada masa Buddha, terjadi tiga bencana wabah 

penyakit, makhluk halus dan kelaparan yang melanda Kota Vesalã. 

Buddha pergi ke sana disertai para bhikkhu dan mengajarkan Yang 

3417

 1

Mulia ânanda bagaimana membacakan doa kebenaran. Yang Mulia 

ânanda menghabiskan semalam suntuk mengitari tiga tembok kota 

sambil membacakan doa yang berkat kebenarannya tiga bencana 

ini   lenyap.

Kisah ini diceritakan secara lengkap dalam Komentar Ratana Sutta. 

Doa kebenaran yang terdiri dari sejumlah bait syair membentuk 

sebuah paritta, ‘perlindungan’, yang disebut Ratana Sutta. Paritta 

ini dimulai dari kualitas-kualitas seorang Buddha, “Dalam dunia 

manusia, para dewa, nàga, dan garuda, terdapat berbagai permata; 

tetapi tidak ada yang menyamai Permata Buddha. Berkat kebenaran 

ini semoga semua makhluk bebas dari tiga bencana dan berbahagia.” 

Dalam Ratana Sutta terdapat dua belas bait syair kebenaran 

yang mengungkapkan berbagai kualitas Tiga Permata—Buddha, 

Dhamma, dan Saÿgha. (Bersama dengan tiga bait syair yang 

diucapkan oleh Sakka, seluruhnya menjadi lima belas bait syair 

kebenaran.) Sutta ini tercatat dalam Sidang Buddhis sebagai Sutta 

pertama dalam Cåëà Vagga dari Sutta Nipàta dan sebagai Sutta 

keenam dari Khuddaka Pàñha.

Aïgulimala Sutta dalam Ràjavagga dari Majjhima Paõõàsa 

mengandung kisah lain yang juga terjadi pada masa kehidupan 

Buddha. Sewaktu Buddha sedang berdiam di Vihàra Jetavana, 

Sàvatthã, Yang Mulia Aïgulimala melaporkan kepada Buddha 

tentang seorang perempuan yang sedang bersalin yang mengalami 

kesulitan dalam melahirkan bayinya. Atas instruksi dari Buddha, 

Yang Mulia Aïgulimala mendatangi perempuan ini   dan 

membantunya dengan kata-kata kebenaran. “Sejak hari aku menjadi 

seorang mulia,” Yang Mulia Thera menyatakan, “aku tidak pernah 

dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Berkat kebenaran 

ini semoga ibu dan anaknya selamat.” Sang ibu lalu   dapat 

melahirkan anaknya tanpa kesulitan dan keduanya selamat.

Demikianlah, pada masa kehidupan Buddha juga, pernyataan 

kebenaran yang dilakukan dengan khidmat terbukti efektif dan 

bermanfaat.

3418


Kekuatan Kejujuran Pada Masa Ajaran Buddha Berkembang di 

Sri Lanka

saat   Buddhisme masuk ke Sri Lanka sesudah   Buddha Parinibbàna, 

ibu Thera Mahàmitta menderita penyakit kanker payudara. Sang 

ibu mengutus putrinya, seorang bhikkhunã, untuk meminta obat 

dari Thera. “Aku tidak mengetahui obat-obatan biasa,” jawab Thera. 

“Aku akan memberitahukan obat dalam bentuk yang lain. ‘Sejak aku 

ditahbiskan, aku tidak pernah melihat perempuan dengan tatapan 

bernafsu. Berkat pernyataan kebenaran ini, semoga ibuku sembuh; 

saat engkau kembali ke ibu, usaplah tubuhnya sambil mengulangi 

apa yang kukatakan tadi.” Si adik kembali ke ibunya yang sedang 

sakit dan melakukan apa yang diinstruksikan. Segera sesudah   ia 

melakukan hal itu, penyakit kanker yang diderita ibunya lenyap 

bagaikan buih. Demikianlah yang disebutkan dalam bab analisis 

sãla dalam Visuddhimagga.

Kisah serupa diceritakan dalam Dvàra Kathà, Cittuppàda Kaõóa, 

dari Komentar Aññhasàlinã. Dalam menjelaskan kata Sampattavirati, 

disebutkan bahwa seorang perempuan yang sedang menderita suatu 

penyakit. sebab   diberitahu oleh dokter bahwa diperlukan daging 

kelinci untuk menyembuhkan penyakitnya, kakaknya mengutus 

adiknya, Jaggana, untuk pergi ke ladang mencari kelinci. Melihat 

Jaggana, seekor kelinci lari ketakutan dan terjebak dalam kekusutan 

tanaman rambat. Kelinci itu berteriak. Jaggana bergegas datang dan 

menangkap kelinci ini  . Tetapi ia berpikir, “Tidaklah benar 

membunuh makhluk kecil ini hanya untuk menyelamatkan nyawa 

ibuku,” dan membebaskan kelinci ini   dan pulang. “Apakah 

engkau berhasil menangkap kelinci?” tanya kakaknya. saat   

Jaggana memberitahukan apa yang telah ia lakukan, kakaknya 

memarahinya. lalu   Jaggana mendekati ibunya dan sambil 

berdiri, ia mengucapkan, “Sejak aku lahir, aku tidak ingat pernah 

dengan sengaja membunuh satu pun makhluk hidup. Berkat 

kebenaran ini, semoga ibuku selamat dan bahagia.” Pada saat itu 

juga, sang ibu sembuh dan berbahagia kembali.

Demikianlah harus diketahui bahwa icchàpÃ¥raõa sacca dilakukan 

juga sesudah   Buddha Parinibbàna.

3419

 1

(3) Musàviramaõa Sacca

Kisah-kisah yang berhubungan dengan musàviramaõa sacca 

terdapat dalam Vidhura Jàtaka dari Mahànipàta dan kisah-kisah 

Jàtaka lainnya. Berikut ini yaitu   ringkasan dari kisah Vidhura 

yang panjang.

saat   Raja Korabya dan Puõõaka, sang raksasa, bermain dadu, 

mereka sepakat untuk bertaruh: jika raja kalah, Puõõaka boleh 

mengambil apa pun dari raja kecuali (1) diri raja, (2) permaisuri, 

dan (3) payung putih. Sebaliknya, jika Puõõaka kalah, raja akan 

mengambil darinya permata Manomaya dan kuda berdarah murni. 

Raja kalah dalam permainan itu dan Puõõaka meminta, “Aku 

menang, O Raja, serahkan taruhannya sesuai kesepakatan.”

sebab   memang raja telah kalah, ia tidak dapat menolak, dan 

mengizinkan Puõõaka mengambil apa pun yang ia inginkan. 

Puõõaka berkata bahwa ia ingin mengambil Vidhura, sang menteri. 

Raja memohon, “Menteri ini yaitu   bawahanku. Ia juga yaitu   

pelindungku. sebab   itu ia tidak dapat disamakan dengan harta 

lain seperti emas, perak, dan sebagainya. Ia dapat disamakan seperti 

nyawaku. sebab   itu aku tidak dapat menyerahkannya.”

lalu   Puõõaka berkata, “Kita tidak akan mendapatkan 

kesepakatan jika kita memperdebatkan apakah ia milikmu atau 

bukan. Mari kita menemuinya dan menerima keputusannya.” 

Raja setuju dan mereka pergi menemui menteri. Puõõaka berkata, 

“O Menteri, sebagai Menteri Kuru, engkau dipuji bahkan oleh 

para dewa sebab   kejujuran. Benarkah demikian? Apakah engkau 

pembantu Raja Korabya? Apakah engkau yaitu   seorang sanak 

saudara dari raja dan memiliki status yang sama? Atau apakah 

engkau yaitu   seorang sanak saudara dari raja tetapi memiliki 

status yang lebih tinggi? Apakah nama Vidhura memiliki makna 

(anvattha) atau tidak memiliki makna (ruëhã)?”

(Maksud dari pertanyaan terakhir yaitu  : di dunia ini terdapat dua 

jenis nama. Pertama yaitu   ruëhã, nama yang tidak sesuai dengan 

orangnya; hanya nama yang diberikan secara acak. Yang kedua 

3420


yaitu   anvatta, nama yang sesuai dengan orangnya. Misalnya, jika 

seseorang yang buruk rupa diberi nama Maung Hla (anak cantik), 

ini yaitu   nama ruëhã sebab   nama itu tidak sesuai dengan orangnya. 

Jika seorang anak yang cantik diberi nama Maung Hla, itu yaitu   

nama anvattha sebab   sesuai dengan rupa anak itu.

saat   Puõõaka bertanya apakah nama Vidhura yaitu   ruëhã atau 

anvattha, ia ingin membuktikan apakah sang menteri jujur atau 

tidak, sebab   nama Vidhura berarti orang baik yang melenyapkan 

kejahatan. Jika sang menteri bukan seorang yang jujur, maka 

namanya yaitu   nama ruëhã, nama yang tidak memiliki makna 

tertentu. Jika ia yaitu   orang yang jujur, maka nama itu yaitu   nama 

anvattha, sebuah nama yang sesuai dengan sifatnya.

lalu   sang menteri berpikir, “Aku dapat berkata bahwa aku 

yaitu   sanak saudara raja” atau “Aku memiliki status yang lebih 

tinggi” atau “Aku tidak ada hubungan apa pun dengan raja,” tetapi 

di dunia ini, tidak ada perlindungan yang seperti kejujuran. Aku 

akan mengatakan apa yang benar.” Maka ia berkata, “Teman, ada 

empat jenis pelayanan di dunia ini:

(1) pelayanan dari seseorang yang terlahir dari seorang budak 

perempuan,

(2) pelayanan dari seseorang yang dibeli dengan uang,

(3) pelayanan dari seseorang yang melayani dengan sukarela, 

dan

(4) pelayanan dari seorang tawanan perang.

dari empat jenis ini, aku yaitu   seorang pelayan yang melayani raja 

dengan sukarela.” Demikianlah menteri menjawab dengan jujur.

Jawaban demikian yang disampaikan secara jujur tanpa tipuan 

yaitu   ucapan kebenaran tetapi bukan saddahàpana sacca sebab   

ucapan ini   bukan bertujuan untuk meyakinkan orang lain; juga 

bukan icchàpÃ¥raõa sacca sebab   bukan bertujuan agar keinginannya 

terpenuhi. Ucapan itu hanya bertujuan untuk menghindari 

kebohongan dan oleh sebab   itu disebut musàviramaõa sacca.

3421

 1

Demikian pula, dalam Suvaõõa Sàma Jàtaka, saat   Raja Pãëiyakkha 

bertanya kepada Suvaõõa Sàma “Dari suku apakah engkau? Anak 

siapakah engkau? Katakan padaku dari suku apa engkau dan 

ayahmu berasal,” ia akan percaya jika Suvaõõa Sàma menjawab, 

“Aku yaitu   dewa,” atau “nàga,” atau “kinnara,” atau “keluarga 

kerajaan,” atau jawaban apa pun juga. Tetapi ia berpikir bahwa ia 

harus menjawab sejujurnya; maka ia menjawab dengan jujur, “Aku 

yaitu   putra seorang nelayan.” Ucapan Suvaõõa Sàma mirip dengan 

ucapan Vidhura; bukan untuk meyakinkan orang lain; juga bukan 

bertujuan agar keinginannya terwujud. Sesungguhnya, ucapan itu 

yaitu   untuk menghindari kebohongan dan sebab   itu disebut 

musàviramaõa sacca.

Juga dalam BhÃ¥ridatta Jàtaka, saat   Brahmana Nesàda mendatangi 

Bodhisatta (nàga) yang sedang menjalani sãla, dan bertanya, 

“Siapakah engkau? Apakah engkau yaitu   dewa yang sakti? Atau 

apakah engkau nàga yang sakti?” “Orang ini akan memercayai 

aku,” pikir raja nàga, “bahkan jika aku mengatakan bahwa aku 

yaitu   dewa, tetapi aku harus mengatakan sejujurnya.” Dan Ia 

memberitahunya bahwa Ia yaitu   nàga yang sakti. Ucapan raja nàga 

ini, seperti halnya ucapan Vidhura, bukan untuk meyakinkan orang 

lain, juga bukan agar keinginannya tercapai, tetapi diucapkan untuk 

menghindari kebohongan dan untuk mengungkapkan kebenaran, 

ucapan itu yaitu   musàviramaõa sacca.

Apa yang termasuk dalam yang keenam dari Sepuluh Kesempuranaan 

yaitu   musàviramaõa sacca. Para Bodhisatta masa lampau selalu 

melatih ucapan jenis ini yang merupakan penghindaran terhadap 

kebohongan. Mereka memenuhi Kesempurnaan Kejujuran dengan 

mengucapkan kata-kata jujur dalam kehidupan demi kehidupan. 

Jika mereka hanya berdiam diri untuk menghindari kebohongan 

dan melaksanakan kejujuran, itu bukanlah ucapan kebenaran sejati 

(vacã sacca) sebab   tidak ada ucapan sama sekali. Itu hanyalah virati 

sacca, menghindari kebohongan.

Penggunaan Tiga Jenis Kebenaran Oleh Para Bodhisatta

Hanya jika situasi menuntut untuk meyakinkan orang lain, maka para 

3422


Bodhisatta memakai   kebenaran jenis pertama, saddahàpana 

sacca; jika tidak, maka mereka tidak memakai  nya. Demikian 

pula, hanya jika merasa perlu agar keinginan mereka tercapai, maka 

mereka memakai   kebenaran jenis kedua, icch