g masih
berlatih untuk mencapai Kearahattaan sesuai Tiga Latihan.
(6) Bhikkhu, ‘pedang’ yaitu sebutan untuk pengetahuan, baik
lokiya maupun Lokuttara.
(7) Bhikkhu, ‘menggali dengan tekun’ artinya yaitu usaha terus-
menerus.
(8) Bhikkhu, ‘gerendel pintu’ yaitu sebutan untuk kebodohan.
‘Singkirkan gerendel pintu itu’ maksudnya yaitu singkirkan
kebodohan. ‘Murid bijaksana, peganglah pedang itu dan galilah
terus’ artinya ‘berusahalah dengan tekun dengan pengetahuan
untuk menyingkirkan kebodohan’.
(9) Bhikkhu ‘kodok menggembung’ yaitu sebutan untuk
2705
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
kemarahan. ‘Singkirkan kodok menggembung itu’ artinya
‘singkirkan kemarahan’. Murid bijaksana, ‘peganglah pedang
itu dan galilah terus’ artinya ‘berusahalah dengan tekun dengan
pengetahuan untuk mengatasi kemarahan’.
(10) Bhikkhu, ‘persimpangan jalan’ yaitu sebutan untuk keraguan
(vicikiccha). ‘Tinggalkan persimpangan itu’ artinya berusahalah
dengan tekun dengan pengetahuan untuk mengatasi
keraguan.
(11) Bhikkhu, ‘saringan air’ untuk menyaring pasir yaitu sebutan
untuk lima rintangan (nãvarana) yang menghalangi jalan
menuju Jhà na dan Pengetahuan Jalan, yaitu: (i) nafsu indria
(kà macchanda), (ii) niat buruk (vyà pà da), (iii) kemalasan dan
kelembaman (thina-middha), (iv) kegelisahan dan penyesalan
(uddhacca-kukkucca), (v) keraguan (vicikicchà ). ‘Singkirkan
saringan air’ artinya, ‘berusahalah dengan tekun dengan
pengetahuan untuk mengatasi lima rintangan.’
(12) Bhikkhu, ‘kura-kura’ yaitu sebutan untuk lima objek
kemelekatan (upà dà na), yaitu: (i) kelompok jasmani
(råpakkhandha) yang pasti mengalami perubahan, (ii)
kelompok perasaan (vedanà kkhandha) yang mampu
merasakan, (iii) kelompok pencerapan (sa¤¤Ã kkhandha) yang
memiliki sifat mengenali, (iv) kelompok aktivitas kehendak
(saïkhà rakkhandha) yang membantu dalam membentuk
semua perbuatan, (v) kelompok kesadaran (vi¤¤Ã õakkhandha)
yang memiliki sifat mengetahui. ‘Singkirkan kura-kura itu’
artinya ‘berusahalah dengan tekun dengan pengetahuan
untuk menyingkirkan lima kelompok yang merupakan objek
kemelekatan.’
(13) Bhikkhu, ‘pisau’ dan ‘papan pemotong’ yaitu sebutan
untuk lima jenis kenikmatan indria yang muncul dengan
indah, menyenangkan dan menarik dan yang menyebabkan
munculnya kemelekatan indria terhadapnya, yaitu: (i) objek
terlihat (råparammaõa) yang dikenali oleh kesadaran-mata
(cakkhu-vi¤¤Ã õa), (ii) suara (saddà -rammaõa) yang dikenali
2706
oleh kesadaran-telinga (sota-vi¤¤Ã õa), (iii) bau-bauan
(gandhà -rammaõa) yang dikenali oleh kesadaran-hidung
(ghà na-vi¤¤Ã õa), (iv) rasa (rasà -rammaõa) yang dikenali
oleh kesadaran lidah (jivhà -vi¤¤Ã õa), (v) objek-objek kasar
(phoññhabbà -rammaõa) yang dikenali oleh kesadaran-badan
(kà ya-vi¤¤Ã õa). ‘Singkirkan pisau dan papan pemotong itu’
artinya, ‘berusahalah dengan tekun dengan pengetahuan untuk
menyingkirkan lima jenis kenikmatan indria.’
(14) Bhikkhu, ‘segumpal daging’ yaitu sebutan untuk kemelekatan
atau keserakahan (nandãrà gataõhà ) ‘Singkirkan segumpal daging
itu’ artinya ‘berusahalah dengan tekun dengan pengetahuan
untuk menyingkirkan kemelekatan atau keserakahan indria.’
(15) Bhikkhu, ‘nà ga’ yaitu sebutan untuk Arahanta. Engkau
dianjurkan untuk membiarkan Arahanta itu tanpa mengusiknya.
Engkau juga dianjurkan untuk menghormati Arahanta.”
Beberapa penjelasan:
1. Tubuh ini diumpamakan sebagai ‘gundukan rumah semut’
sebab dari gundukan rumah semut keluar ular, tikus, kadal, dan
semut, demikian pula tubuh ini mengeluarkan segala jenis kotoran
melalui sembilan lubang. (Juga ada alasan lainnya yang menjelaskan
perumpamaan ini. Baca Komentar Mahà Vagga.)
2. ‘Berasap pada malam hari’ menunjukkan hal-hal yang dipikirkan
pada malam hari untuk dilakukan pada keesokan harinya.
3. ‘Terbakar pada siang hari’ menunjukkan perbuatan fisik, ucapan,
dan pikiran yang dilakukan pada siang hari seperti yang dipikirkan
pada malam sebelumnya.
4, 5, 6, 7. Perumpamaan ini tidak memerlukan penjelasan.
8. ‘Gerendel pintu’ di gerbang kota menutup jalan bagi para
warga . Demikian pula kebodohan menutup munculnya
Pengetahuan menuju Nibbà na.
2707
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
1. ‘Kodok yang menggembung’ menunjukkan kemarahan yang
menggembungkan dirinya saat diserang. Ia dapat meledak
sebab kemarahan dan jatuh terjengkang, tidak mampu
bergerak, dan jatuh menjadi mangsa burung gagak atau
musuh lainnya. Demikian pula, saat kemarahan mulai muncul,
seseorang menjadi kacau. Jika seseorang cukup waspada, ia
dapat mengekangnya dengan perenungan bijaksana. Jika tidak
dilawan, kemarahan akan terlihat pada ekspresinya, dan jika
masih tidak dilawan, hal itu akan menimbulkan kata-kata jahat,
yaitu, kutukan atau kata-kata kasar. Jika kemarahan dibiarkan
berkembang, seseorang akan mulai memikirkan perbuatan
yang mengerikan. Pada titik itu, ia akan melihat sekeliling
apakah ada orang yang memihak kepadanya atau memihak
lawan. lalu , ia akan berkelahi, dan jika ia tidak menahan
diri, ia akan mulai mencari senjata untuk menyerang pihak
lawan. Jika tidak ada pengendalian diri yang efektif, ia akan
cenderung melakukan penyerangan. Dalam kasus terburuk,
dapat menyebabkan pembunuhan, apakah di pihak lawan, atau
diri sendiri, atau keduanya.
Bagaikan kodok menggembung yang tidak mampu bergerak,
terbaring, dan menjadi santapan burung gagak dan musuh
lainnya, demikian pula seseorang yang dipengaruhi oleh
kemarahan tidak dapat berkonsentrasi dalam meditasi dan
pengetahuannya menjadi terhalang. Tanpa pengetahuan, ia
akan menjadi korban segala jenis MÃ ra (kejahatan) dan menjadi
budak dari nalurinya.
2. saat seorang pengembara yang membawa barang berharga
tiba di persimpangan jalan dan menghabiskan banyak waktu di
sana, tanpa mampu memilih jalan mana yang harus diambil, ia
mengundang banyak perampok yang akan menghancurkannya.
Demikian pula, jika seorang bhikkhu, yang telah mendapatkan
instruksi dari gurunya mengenai metode dasar dalam meditasi
dan telah memulai latihan, meragukan kebenaran akan Tiga
Permata, ia tidak akan mampu bermeditasi. sebab ia duduk
dengan pikiran yang diganggu oleh keraguan, ia kalah oleh
2708
kotoran dan MÃ ra dan kekuatan jahat lainnya.
3. saat seseorang menuangkan air ke dalam saringan air untuk
menyaring pasir, air akan mengalir ke dalam saringan dengan
bebas. Jangankan secangkir air yang dituangkan, bahkan seratus
kendi pun, air itu akan tetap utuh; demikian pula, dalam batin
seorang meditator yang memiliki lima rintangan, tidak ada jasa
kebajikan tertinggal.
4. Bagaikan seekor kura-kura yang memiliki lima tonjolan—kepala
dan empat kakinya—demikian pula semua fenomena berkondisi
di bawah mata pengetahuan terbagi dalam lima kelompok yang
merupakan objek keserakahan.
5. Daging dicincang dengan memakai pisau di atas papan
pemotong. Kenikmatan indria, kotoran, mencari objek-objek
indria. Kotoran diumpamakan sebagai ‘pisau’, objek-objek
indria diumpamakan sebagai ‘papan pemotong’.
6. Segumpal daging dicari oleh setiap orang, tinggi atau rendah,
raja atau rakyat jelata, mereka menyukainya, demikian pula
burung-burung dan binatang buas. Semua kesulitan berasal
dari mengejar segumpal daging. Demikian pula, kemelekatan
indria atau keserakahan yaitu sumber semua penderitaan.
Tetapi kebenaran ini terselubung oleh kebodohan. Keserakahan
atau kemelekatan indria memikat semua makhluk ke dalam
lingkaran kelahiran kembali yang berputar tanpa welas asih.
Penjelasan lain, segumpal daging melekat pada tempat di
mana ia berada. Demikian pula kemelekatan indria cenderung
mengikat makhluk-makhluk pada lingkaran kelahiran kembali
yang mereka puja, tanpa menyadari sifat bahayanya.
7. Seorang Arahanta disebut ‘nà ga’ sebab seorang Arahanta
tidak disesatkan oleh empat faktor yang menyesatkan,
yaitu, kegemaran atau kesukaan, kebencian, ketakutan, dan
kebodohan. (Chandà dãhi na gacchantãti nà gà , Komentar MahÃ
Vagga). Penjelasan lain, seorang Arahanta tidak pernah kembali
kepada kotoran yang telah disingkirkan dalam (empat) tingkat
2709
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
penyucian. (Tena tena maggena pahãne kilese na à gacchantã ti
nà gà .) Pengertian lainnya, Arahanta tidak mampu melakukan
kejahatan apa pun (¥Ã õappakà rakaÿ à guÿ na karontã nà gà .)
Dalam memberi hormat kepada Buddha, NÃ ga, Arahanta, yang
bebas dari racun moral, Komentar memberi cara penghormatan
berikut:
Buddho bodhà ya deset, danto yo damathà ya ca;
samathà ya santo dhammaÿ, tiõõova taraõà ya ca,
nibbuto Nibbà natthà ya, taÿ lokasaraõaÿ name.
“Buddha, Yang mencapai Pencerahan Sempurna, pelindung di tiga
alam, Arahanta (NÃ ga), sesudah menembus Empat Kebenaran Mulia
oleh diri-Nya sendiri dan berkeinginan untuk mencerahkan orang
lain yang layak dicerahkan seperti diri-Nya; sesudah menjinakkan
diri-Nya dalam hal enam indria dan berkeinginan untuk
menjinakkan orang lain yang layak juga dijinakkan seperti diri-Nya,
sesudah mencapai kedamaian oleh diri-Nya sendiri dan berkeinginan
agar orang lain yang layak juga mencapai kedamaian seperti diri-
Nya, sesudah menyeberang ke pantai seberang dari lautan saÿsà ra
dan berkeinginan agar orang lain yang layak juga menyeberang
ke pantai seberang seperti diri-Nya; sesudah memadamkan api
kotoran pada empat tahap dan berkeinginan agar orang lain yang
layak juga memadamkan api kotoran seperti diri-Nya; demi welas
asih-Nya menjelaskan Dhamma Agung kepada para dewa dan
manusia selama empat puluh lima tahun. Kepada-Nya, Buddha,
NÃ ga, pelindung di tiga alam, aku bersujud secara fisik, ucapan,
dan pikiran dengan segala kerendahan hati dengan kedua tangan
dirangkapkan.”
Pencapaian Kearahattaan
Khotbah Gundukan Rumah Semut atau Vammika Sutta, menurut
catatan Komentar, yaitu pelajaran meditasi bagi Yang Mulia Kumà ra
Kassapa. (Iti idaÿ suttaÿ therassa kammaññhà naÿ ahosi.)
Yang Mulia Kumà ra Kassapa memelajari jawaban Buddha atas lima
2710
belas teka-teki ini , lalu memasuki kesunyian Hutan
Andhavana, bermeditasi dengan tekun dan tidak lama lalu
ia mencapai Kearahattaan.
(c) Gelar Etadagga
Sejak saat ia menjadi seorang bhikkhu, Yang Mulia Kumà ra
Kassapa dalam khotbah-khotbahnya kepada empat kelompok
siswa—para bhikkhu, bhikkhunã, umat awam laki-laki, dan umat
awam perempuan—selalu memakai berbagai perumpamaan
dan kiasan.
saat Yang Mulia Kumà ra Kassapa membabarkan khotbah kepada
PÃ yasi (penganut pandangan salah) dengan membabarkan lima
belas perumpamaan, Buddha, dengan merujuk pada khotbah
ini yang dikenal sebagai Pà yà sirà ja¤¤a Sutta, menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
cittakathikà naÿ yadidaÿ Kumà ra Kassapo,” “Para bhikkhu, di
antara para bhikkhu siswa-Ku yang memakai perumpamaan
dalam khotbahnya, Bhikkhu Kumà ra Kassapa yaitu yang
terbaik.”
(Baca Sutta ini dalam Dãgha Nikà ya Mahà Vagga, Sutta
kesepuluh.)
Demikianlah kisah Thera Kumà ra Kassapa
(29) Thera Mahà Koññhita
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Thera Koññhita terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota
Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. Sewaktu ia
mendengarkan khotbah Buddha, ia menyaksikan seorang bhikkhu
yang dinyatakan oleh Buddha sebagai yang terbaik di antara mereka
yang mencapai empat Pengetahuan Analitis. Putra orang kaya itu
berkeinginan untuk menjadi seperti bhikkhu mulia ini pada
2711
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
masa depan. Seperti halnya para bakal Thera lainnya, ia memberi
persembahan dan mengungkapkan cita-citanya di hadapan Buddha.
Dan Buddha mengucapkan ramalan sebelum kembali ke vihà ra.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Bakal Thera Koññhita, sesudah melakukan banyak kebajikan seumur
hidupnya, meninggal dunia dan terlahir kembali di alam dewa
dan alam manusia silih berganti. Pada masa kehidupan Buddha
Gotama, ia terlahir dalam sebuah keluarga brahmana kaya di
Sà vatthã, bernama Koññhita. Ia menguasai tiga Veda. Suatu hari, saat
mendengar khotbah Buddha, ia menjadi berkeyakinan terhadap
Buddha sehingga ia bergabung dalam Saÿgha. Sejak itu, ia melatih
Meditasi Pandangan Cerah dan mencapai Kearahattaan, lengkap
dengan empat Pengetahuan Analitis.
(c) Gelar Etadagga
sesudah mecapai kesucian Arahatta, Yang Mulia Koññhita sebagai
seorang yang ahli dalam empat Pengetahuan Analitis biasanya
mengajukan pertanyaan tentang bentuk-bentuk Pengetahuan ini.
Demikianlah, dengan merujuk pada Mahà vedalla Sutta (Majjhima
Nikà ya, Målapaõõà sa) Buddha menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥haÿ
Pañisambhidà pattà naÿ yadidaÿ Mahà Koññhito,” “Para bhikkhu,
di antara para bhikkhu siswa-Ku yang mencapai empat Pengetahuan
Analitis, Bhikkhu Koññhita yaitu yang terbaik.”
Demikianlah kisah Thera Koññhita
(30) Thera ânanda
(a) Cita-cita masa lampau
Balik ke seratus ribu siklus dunia sebelum siklus dunia sekarang
ini, muncullah di dunia ini, Buddha Padumuttara yang terlahir di
Kota Haÿsà vatã sebagai putra Raja ânanda dan Ratu Sujà tà . Dua
2712
Siswa Utama Buddha yaitu Thera Devala dan Thera Sujà ta. Dua
Siswi yaitu Therã Amità dan Therã Asamà . Pelayan pribadi Buddha
yaitu Thera Sumanà . Buddha memiliki seratus ribu siswa bhikkhu.
Buddha memberi hak untuk melayani kebutuhan-Nya kepada
ayah-Nya dan Beliau beserta Saÿgha menetap di dekat kota tempat
mereka mengumpulkan dà na makanan setiap hari.
Sebelum melepaskan keduniawian, Buddha Padumuttara memiliki
seorang adik tiri bernama Pangeran Sumanà (yang kelak menjadi
Thera ânanda). Raja ânanda mengangkat Pangeran Sumanà sebagai
gubernur di sebuah wilayah yang jauhnya seratus dua puluh yojanÃ
dari ibukota. Pangeran kadang-kadang mengunjungi ayah dan
kakaknya, Buddha Padumuttara.
Suatu saat terjadi pemberontakan di wilayah perbatasan. Sang
pangeran melaporkan masalah itu kepada raja yang menjawab,
“Bukankah engkau ditempatkan di sana untuk menegakkan
hukum?” Menerima jawaban itu, sang pangeran memadamkan
pemberontakan itu dan melaporkan kepada raja bahwa wilayah
ini telah dipulihkan. Raja gembira dan memanggil putranya
ke hadapannya.
Pangeran Sumanà berangkat menuju ibukota disertai seribu
pejabatnya. Dalam perjalanan itu, ia berdiskusi dengan para
pejabatnya mengenai hadiah apa yang akan ia minta dari ayahnya
yang pasti akan memberi anugerah kepadanya. Beberapa pejabat
menyarankan gajah, kuda, permata, dan lain-lain, tetapi beberapa
pejabat yang bijaksana berkata,
“O Pangeran, engkau yaitu putra raja. Hadiah materi tidak
berguna bagimu. Engkau dapat memperolehnya tetapi engkau akan
meninggalkannya saat meninggal dunia. Engkau harus meminta
anugerah yang mulia. Hanya jasa kebajikanmu yang akan menjadi
milikmu saat engkau meninggalkan kehidupan ini. Maka, jika
raja memberimu anugerah, mintalah hak untuk melayani Buddha
(kakakmu) selama satu vassa.”
Sang pangeran senang dengan gagasan itu. “Engkau yaitu teman
2713
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
baikku. Aku tidak pernah berpikir tentang gagasan mulia itu.
Aku menerima nasihatmu.” Sesampainya di ibukota, ia diterima
dengan penuh cinta oleh ayahnya yang memeluk dan mencium
keningnya, raja berkata, “Anakku, mintalah anugerah dan aku
akan mengabulkannya.” Sang anak menjawab, “Tuanku, aku
ingin menjadikan kehidupanku saat ini cukup produktif untuk
mendukung masa depan daripada hidup gersang pada masa
depan. sebab itu aku ingin melayani kakakku, Buddha, selama
satu vassa. Sudilah ayah memberi hak itu kepadaku!” Raja
menjawab, “Anakku, aku tidak dapat mengabulkan permintaan
ini , mintalah yang lain.” “Ayah,” Pangeran Sumanà berkata,
“Kata-kata seorang penguasa teguh bagaikan batu karang. Aku tidak
menginginkan hal lain. Aku tetap pada permohonanku.”
lalu Raja berkata, “Anakku, tidak ada yang mengetahui pikiran
Buddha. Jika Buddha tidak menerima undanganmu apa gunanya
persetujuanku kepadamu?” “Kalau begitu, ayah, aku akan pergi
dan bertanya sendiri kepada Buddha dan memastikan apa jawaban
Beliau mengenai permohonanku,” Pangeran Sumanà menjawab.
sesudah mendesak raja untuk mengabulkan permohonannya,
Pangeran Sumanà pergi ke vihà ra.
Sesampainya di sana, Buddha baru memasuki Kuñã-Harum sesudah
makan. Pangeran Sumanà masuk ke aula pertemuan dan bertemu
dengan para bhikkhu yang menanyakan tujuan kunjungannya.
“Yang Mulia, aku datang untuk menjumpai Bhagavà . Dapatkan
kalian mengantarkan aku ke tempat Buddha berada?” “Pangeran,”
Para bhikkhu berkata, “Kami tidak berhak menjumpai Buddha.”
“Siapa yang berhak kalau begitu?” Pangeran bertanya. “Bhikkhu
Sumanà , Pangeran” mereka berkata, “Di manakah Yang Mulia
Sumanà sekarang?” dan sesudah menunjukkan di mana bhikkhu
itu berada, pangeran mendatanginya, bersujud dan berkata, “Yang
Mulia, aku ingin bertemu dengan Bhagavà . Dapatkan engkau
mengantarkan aku menghadap Bhagavà ?”
Bhikkhu Sumanà lalu memasuki Jhà na à po-kasiõa di hadapan
sang pangeran, dan berkehendak agar tanah di sana berubah menjadi
air, lalu ia menyelam ke dalam air (ciptaan) dan muncul di
2714
dalam Kuñã-Harum Buddha. Buddha bertanya kepada bhikkhu itu
untuk apa ia datang. Bhikkhu Sumanà menjawab, “Yang Mulia,
Pangeran Sumanà datang untuk bertemu dengan Bhagavà .” “Kalau
begitu, siapkan tempat duduk untuk-Ku,” Buddha berkata. Bhikkhu
Sumanà menyelam kembali ke dalam air dalam kuñã Buddha dan
muncul dari air di depan sang pangeran di dalam kawasan vihà ra,
dan mempersiapkan tempat duduk untuk Buddha. Pangeran
Sumanà sangat terkesan dengan kekuatan batin bhikkhu ini .
Buddha Padumuttara keluar dari Kuñã Harum dan duduk di tempat
yang telah dipersiapkan. Pangeran Sumanà bersujud kepada
Buddha dan saling bertukar sapa dengan Buddha. “Kapan engkau
datang, Pangeran?” Buddha bertanya. “Yang Mulia, aku tiba di
sini saat Bhagavà baru masuk ke Kuñã Harum,” jawab pangeran.
“Para bhikkhu memberitahuku bahwa mereka tidak berhak untuk
menjumpai Bhagavà , dan mengantarkan aku menghadap Yang
Mulia Sumanà , dan Yang Mulia Sumanà , hanya dengan satu
kata, ia memberitahukan kunjunganku kepada Bhagavà dan juga
mempersiapkan pertemuanku dengan Bhagavà . Aku menganggap,
Yang Mulia, bahwa Yang Mulia Sumanà akrab dengan BhagavÃ
dalam pengajaran ini.”
“Pangeran, apa yang engkau katakan yaitu benar. Bhikkhu SumanÃ
ini akrab dengan Tathà gata dalam Pengajaran ini.” “Yang Mulia,
kebajikan apakah yang dapat mengarahkan seseorang menjadi
seorang bhikkhu yang akrab dengan Buddha?” “Pangeran, dengan
memberi dà na, dengan menjaga moralitas, dengan menjalani
sãla, seseorang dapat bercita-cita untuk menjadi bhikkhu yang
akrab dengan Buddha.” Pangeran Sumanà sekarang memiliki
kesempatan yang baik untuk mengundang Buddha ke tempatnya
untuk menerima persembahan. Ia berkata, “Yang Mulia, aku ingin
menjadi seorang bhikkhu yang akrab dengan Buddha pada masa
mendatang seperti Yang Mulia Sumanà . Sudilah Bhagavà menerima
persembahan makanan dariku besok.” Buddha menerima undangan
itu dengan berdiam diri. Pangeran kembali ke tempat tinggal
sementaranya di dalam kota dan mempersiapkan persembahan
besar yang berlangsung selama tujuh hari di tempat kediaman
sementaranya.
2715
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Pada hari ketujuh, Pangeran Sumanà bersujud dan berkata kepada
Buddha, “Yang Mulia, aku telah mendapatkan persetujuan dari
ayah, sang raja, untuk mendapatkan hak melayani Buddha selama
tiga bulan vassa. Sudilah Bhagavà menerima pelayananku kepada
Bhagavà selama masa vassa itu.” Buddha memeriksa manfaat apa
yang akan diperoleh pangeran jika permohonannya dikabulkan,
dan melihat bahwa hal itu akan sangat bermanfaat baginya, Beliau
berkata, “Pangeran, para Buddha menyukai tempat sepi.”
“Buddha Yang Agung, aku mengerti! Yang Selalu Berkata Benar,
aku mengerti!” Sang pangeran berkata. “Aku akan membangun
vihà ra untuk Bhagavà . sesudah selesai aku akan mengirim utusan
kepada Bhagavà . sesudah itu, silakan Bhagavà bersama seratus ribu
bhikkhu datang ke vihà ra kami.” lalu ia menghadap ayahnya
dan berkata, “Ayah, Buddha telah setuju untuk datang ke tempatku.
Saat aku mengirim utusan untuk memberitahukan kapan Buddha
dapat datang, engkau aturlah pengawalan untuk Buddha dalam
perjalanan itu.” Ia bersujud kepada ayahnya dan meninggalkan
kota. lalu ia membangun tempat-tempat peristirahatan dalam
setiap jarak satu yojanà di sepanjang jalan yang jauhnya seratus
dua puluh yojanà dari ibukota sampai ke tempatnya. Kembali di
kotanya, ia memilih lahan yang cocok untuk membangun vihà ra
untuk Buddha. Ia membeli lahan itu, sebuah taman milik seorang
perumah tangga kaya bernama Sobhaõa, seharga seratus ribu keping
uang. Dan ia menghabiskan seratus ribu keping lagi sebagai biaya
pembangunan.
Ia membangun Kuñã Harum untuk Buddha, kuñã-kuñã lainnya untuk
(seratus ribu) bhikkhu, kamar mandi, pondok-pondok, gua-gua
kecil, dan lumbung yang digunakan untuk siang dan untuk malam,
mengelilingi kompleks vihà ra yang dikelilingi oleh pagar. sesudah
semuanya selesai, ia mengirim utusan kepada raja untuk mengawal
Buddha dan memulai perjalanan itu.
Raja ânanda memberi persembahan kepada Buddha dan seratus
ribu bhikkhu. lalu ia berkata kepada Buddha, “Buddha,
putraku, adik Yang Mulia telah melakukan segala persiapan yang
2716
diperlukan untuk menyambut Bhagavà , dan ia sangat mengharapkan
kedatangan-Mu.” Bhagavà melakukan perjalanan disertai oleh
seratus ribu bhikkhu, dan beristirahat satu malam di tempat
peristirahatan yang tersedia di setiap jarak satu yojanà . Seratus dua
puluh yojanà itu ditempuh tanpa kesulitan.
Pangeran Sumanà menyambut Buddha dari jarak satu yojanà dari
tempat kediamannya. Menyambut dengan Ritual persembahan
bunga dan dupa, ia mengawal Buddha dan para bhikkhu ke vihà ra.
lalu ia mempersembahkan vihà ra itu kepada Buddha, dengan
mengucapkan syair berikut:
“Satasahassena me kãtaÿ, satasahassena mà pitaÿ Sobhaõam nà ma
uyyà naÿ, pañiggaõha Mahà muni.”
“O Yang Paling Bijaksana di antara para bijaksana, aku, Sumanà ,
telah membeli Taman Sobhaõa senilai seratus ribu keping uang,
dan membangun vihà ra ini dengan biaya seratus ribu keping uang.
Sudilah Yang Bijaksana menerima persembahan vihà ra ini.”
Pangeran Sumanà mempersembahkan vihà ra itu pada hari
pertama dimulainya vassa. sesudah Ritual persembahan selesai,
ia memanggil keluarga dan pengikutnya dan berkata, “ BhagavÃ
telah datang dari tempat yang berjarak seratus dua puluh yojanà .
Para Buddha lebih mementingkan Dhamma daripada persembahan
materi. sebab itu, aku akan menetap di vihà ra ini selama tiga bulan,
hanya berbekal dua perangkat jubah ini dan menjalani Sepuluh Sãla.
Kalian akan melayani Buddha dan seratus ribu bhikkhu selama tiga
bulan seperti yang kalian lakukan hari ini.” Dan demikianlah ia
mengasingkan diri di vihà ra.
Pangeran Sumanà melihat bahwa Buddha tidak pernah jauh dari
pelayan pribadi-Nya, Yang Mulia Sumanà , yang melayani semua
kebutuhan Buddha. Ia ingin meniru bhikkhu ini dan bertekad
untuk menjadi bhikkhu yang akrab dengan Buddha pada masa
depan. sebab itu, kira-kira seminggu sebelum vassa berakhir, ia
memberi persembahan besar kepada Buddha dan Saÿgha. Pada
hari ketujuh Ritual persembahan itu, ia meletakkan tiga perangkat
2717
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
jubah di kaki setiap bhikkhu dari seratus ribu bhikkhu ini
dan bersujud kepada Buddha, “Semua kebajikan yang kulakukan
dimulai dari Kota Haÿsà vatã di tempat kediaman sementaraku
bukan bertujuan untuk mendapatkan kemuliaan duniawi pada masa
depan, juga bukan untuk terlahir sebagai Sakka atau dewa atau MÃ ra.
Cita-citaku untuk melakukan kebajikan ini yaitu untuk menjadi
pelayan pribadi seorang Buddha pada masa depan.”
Buddha mengetahui bahwa cita-cita sang pangeran akan tercapai,
Beliau mengucapkan ramalan dan meninggalkan tempat itu.
Mendengar ramalan Buddha Padumuttara, pangeran yakin akan
kepastian ramalan Buddha seolah-olah ia akan menjadi pelayan
pribadi Buddha Gotama pada keesokan harinya (seperti ramalan
Buddha Padumuttara), membawakan mangkuk dan jubah
Buddha.
Kebajikan Lainnya Dalam Masa Antara
Pangeran Sumanà melewatkan seratus ribu tahun kehidupannya
pada masa Buddha Padumuttara dengan melakukan banyak
kebajikan. Saat meninggal dunia, ia terlahir kembali di alam dewa.
Pada masa Buddha Kassapa, ia memberi jubahnya kepada
seorang bhikkhu yang sedang mengumpulkan dà na makanan untuk
digunakan sebagai alas mangkuknya.
Saat meninggal dunia dari kehidupan itu, ia terlahir kembali
di alam dewa. sesudah kehidupannya sebagai dewa, ia terlahir
kembali di alam manusia di Bà rà õasã sebagai raja. Dari teras atas
istananya, ia melihat delapan Pacceka Buddha berjalan di angkasa
dari arah Gunung Gandhamà dana. Ia mengundang para Pacceka
Buddha itu ke istananya dan mempersembahkan makanan. Ia juga
membangun delapan tempat tinggal di taman istananya, sebagai
tempat tinggal delapan Pacceka Buddha itu. Lebih jauh lagi, ia
membuat delapan tempat duduk permata sebagai tempat duduk
mereka saat berkunjung ke istana juga tempat mangkuk batu delima
berjumlah sama untuk meletakkan mangkuk mereka. Ia melayani
delapan Pacceka Buddha itu selama sepuluh ribu tahun. Banyak
sekali kebajikan yang ia lakukan selama masa antara seratus ribu
2718
siklus dunia.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
sesudah melakukan berbagai kebajikan dan dengan demikian
menanam benih jasa selama masa antara seratus ribu siklus dunia,
bakal Thera ânanda terlahir di Alam Dewa Tusita bersama Bakal
Buddha Gotama. sesudah meninggal dunia dari alam itu, ia terlahir
kembali sebagai putra Pangeran Amitodana di Kapilavatthu. Ia
diberi nama ânanda, menggambarkan kegembiraan keluarganya
saat kelahirannya. Pada kunjungan pertama Buddha Gotama
ke Kapilavatthu, sejumlah pangeran Sakya yang dipimpin oleh
Pangeran Bhaddiya meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi
bhikkhu sebagai siswa Buddha saat Buddha berada di Hutan
Anupiya di dekat Kota Anupiya.
ânanda Mencapai Sotà patti-Phala
Tidak lama sesudah menjadi bhikkhu, Yang Mulia ânanda
mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Yang Mulia
Mantà õiputta Puõõa dan mencapai Sotà patti-Phala. Peristiwa ini
tercatat dalam Saÿyutta Nikà ya, Khandhavagga Saÿyutta, 4 Thera
Vagga, 1 ânanda Sutta. Inti dari Sutta ini yaitu sebagai
berikut:
saat Buddha sedang berada di Vihà ra Jetavana di Sà vatthã, Yang
Mulia ânanda berkata kepada para bhikkhu, “Teman-teman
bhikkhu,” dan para bhikkhu menjawab, “Teman.”
lalu Yang Mulia ânanda berkata:
“Teman-teman, Yang Mulia Mantà õiputta Puõõa sangat membantu
saat kita masih menjadi bhikkhu baru. Ia menasihati kita
dengan instruksi, “Teman ânanda, melalui suatu pemicu maka
keangkuhan ‘Aku’ muncul melalui keserakahan dan pandangan
salah (demikianlah trio papa¤ca keserakahan, keangkuhan, dan
pandangan salah berlangsung dalam lingkaran kelahiran). Ia tidak
muncul tanpa pemicu . Melalui pemicu apakah keangkuhan
2719
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
‘Aku’ muncul? sebab badan jasmani (rÃ¥pa), keangkuhan ‘Aku’,
beserta keserakahan dan pandangan salah yang menyertainya
muncul; tanpa pemicu demikian, keangkuhan ‘Aku’ tidak
muncul. sebab perasaan (vedana)… pencerapan (sa¤¤Ã )… aktivitas
kehendak (saõkhà ra)… sebab kesadaran (vi¤¤Ã õa), keangkuhan
‘aku’ beserta keserakahan dan pandangan salah yang menyertainya
muncul; tanpa pemicu demikian, keangkuhan ‘aku’ tidak
muncul.
“Teman ânanda, aku akan memberi contoh. Jika seorang
perempuan atau laki-laki muda yang senang menghias dirinya
melihat bayangannya di dalam cermin yang bersih atau semangkuk
air jernih, ia akan melihatnya bergantung pada suatu pemicu
(yaitu, bayangannya dan merenungkan permukaan cermin atau air),
dan bukan sebaliknya. Teman ânanda, demikian pula, sebab badan
jasmani, keangkuhan (mana) ‘aku’, beserta keserakahan (taõhà ) dan
pandangan salah (micchà diññhi) muncul; tanpa pemicu itu, maka
ia juga tidak muncul. sebab perasaan… pencerapan… aktivitas
kehendak… sebab kesadaran; keangkuhan (mana) ‘aku’, beserta
keserakahan (taõhà ) dan pandangan salah (micchà diññhi) muncul;
tanpa pemicu itu, maka ia juga tidak muncul.
“Teman ânanda, bagaimana menurutmu atas pertanyaan yang
akan kuajukan ini: ‘Apakah badan jasmani kekal atau tidak kekal?’”
“Tidak kekal, teman.”
(Percakapan berlanjut seperti terdapat dalam Anattalakkhaõa
Sutta)… Tidak ada lagi yang harus dilakukan untuk menembus
Magga.
“Teman, Yang Mulia Mantà õiputta Puõõa sangat membantu kita
saat kita masih menjadi bhikkhu baru. Ia menasihati kita dengan
instruksi di atas. Dengan mendengar penjelasan Yang Mulia
Mantà õiputta Puõõa, aku mencapai pengetahuan Empat Kebenaran
Mulia (yaitu, mencapai Sotà patti-Phala.)
Sehubungan dengan khotbah di atas, jelas bahwa Yang Mulia
ânanda menjadi Sotà panna sesudah mendengarkan khotbah
2720
yang disampaikan oleh Yang Mulia Mantà õiputta Puõõa dengan
perumpamaan cermin.
Penunjukan ânanda Sebagai Pelayan Pribadi Buddha
Buddha tidak memiliki pelayan pribadi tetap selama dua puluh
tahun pertama sesudah mencapai Kebuddhaan, yang disebut
periode Bodhi Pertama. Pada masa itu, sejumlah bhikkhu bertindak
sebagai pelayan pribadi Buddha, membawakan mangkuk dan jubah
Buddha; mereka yaitu : Yang Mulia Nà gasamà la, Nà gita, Upavà na,
Sunakkhatta, mantan Pangeran Licchaci; Cunda, adik Yang Mulia
SÃ riputta, SÃ gata, RÃ dha, dan Meghiya.
Pada suatu saat , Buddha dilayani oleh Yang Mulia Nà gasamà la,
sewaktu melakukan perjalanan, mereka tiba dipersimpangan
jalan. Yang Mulia Nà gasamà la, meninggalkan jalan utama, berkata
kepada Buddha, “Yang Mulia, aku akan mengambil jalan ini (dari
persimpangan jalan itu).” Buddha berkata, “Bhikkhu, marilah kita
mengambil jalan yang lain.” Yang Mulia Nà gasamà la lalu
berkata dengan tidak sabar, “Yang Mulia, aku akan mengambil jalan
ini,” dan meletakkan mangkuk dan jubah Buddha di atas tanah.
Selanjutnya Buddha berkata kepadanya, “Bhikkhu, berikan kepada-
Ku,” dan Beliau terpaksa membawanya sendiri, dan berjalan ke arah
yang Beliau pilih sedangkan Yang Mulia Nà gasamà la mengambil
jalan lainnya, meninggalkan Buddha. Tidak lama sesudah ia berjalan,
Yang Mulia Nà gasamà la dirampok oleh sekelompok perampok yang
mengambil mangkuk dan jubahnya dan juga memukul kepalanya.
Dengan darah mengalir dari kepalanya, ia teringat kepada Buddha
sebagai pelindung satu-satunya dan kembali ke Buddha. Buddha
berkata kepadanya, “Bhikkhu, apa yang terjadi padamu?” Yang Mulia
Nà gasamà la menceritakan kejadiannya kepada Buddha dan Buddha
berkata kepadanya, “Bhikkhu, tenanglah. Mengetahui bahaya itu,
Aku telah mengatakan kepadamu untuk tidak mengambil jalan
itu.” (Ini yaitu satu peristiwa yang melatarbelakangi penunjukan
pelayan pribadi tetap.)
Pada kesempatan lain (pada vassa ke-13 saat Buddha sedang
menetap di Bukit Cà lika) sesudah mengumpulkan dà na makanan
2721
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
di Desa Jantu. Buddha, bersama pelayan pribadi, Thera Meghiya,
berjalan di tepi Sungai Timikà ëà , saat melihat hutan mangga, Yang
Mulia Meghiya berkata kepada Buddha, “Yang Mulia, bawalah
sendiri mangkuk dan jubah-Mu. Aku ingin bermeditasi di hutan
mangga itu.” Buddha tiga kali meminta agar ia tidak melakukannya,
tetapi ia tidak mendengarkan. lalu , tidak lama lalu
Yang Mulia Thera Meghiya duduk di atas batu untuk bermeditasi.
Tiga pikiran buruk menyerangnya saat ia bermeditasi. Ia kembali
kepada Buddha dan menceritakan apa yang dialaminya sewaktu
ia bermeditasi di sana. Buddha menghiburnya dengan berkata,
“Mengetahui apa yang akan terjadi padamu, Aku telah memintamu
untuk tidak pergi ke tempat itu.” (Ini yaitu peristiwa lain yang
melatarbelakangi penunjukan pelayan pribadi tetap.)
sebab peristiwa-peristiwa itu, Buddha, pada kesempatan lain, saat
duduk dalam aula pertemuan di Vihà ra Jetavana, Beliau berkata
kepada para bhikkhu:
“Para bhikkhu, Aku telah tua (Beliau telah berumur lebih dari
lima puluh lima tahun). Beberapa bhikkhu yang melayani-Ku
mengambil jalan yang lain dari yang Kupilih (merujuk pada Yang
Mulia Meghiya); beberapa bhikkhu bahkan meletakkan mangkuk
dan jubah-Ku di atas tanah (merujuk pada Yang Mulia Nà gasamà la).
Sekarang tentukanlah seorang bhikkhu yang akan melayani-Ku
secara tetap.”
Mendengar kata-kata itu, emosi para bhikkhu tersentuh.
lalu Yang Mulia SÃ riputta bangkit dari duduknya, bersujud
kepada Bdudha dan berkata, “Yang Mulia, selama satu asaïkhyeyya
dan seratus ribu kappa, aku telah memenuhi Kesempurnaan hanya
untuk siswa Bhagavà . Seorang yang berpengetahuan luas sepertiku
harus dipertimbangkan untuk menjadi pelayan pribadi Bhagavà .
Mohon aku diperbolehkan untuk melayani Bhagavà .” BhagavÃ
berkata, “Tidak begitu, SÃ riputta, ke mana pun engkau pergi, di
sanalah Dhamma. sebab engkau membabarkan Dhamma sama
seperti yang dilakukan oleh Tathà gata. sebab itu engkau tidak
dapat melayani Tathà gata.” sesudah Buddha memuji kemuliaan Yang
2722
Mulia SÃ riputta, dan mengulangi tawaran untuk melayani Beliau,
Yang Mulia Moggallà na menawarkan dirinya untuk posisi ini
tetapi ditolak dengan cara yang sama. lalu delapan puluh
Siswa Besar menawarkan diri mereka, semuanya ditolak.
Delapan Anugerah untuk ânanda
Yang Mulia ânanda tetap diam dan tidak menawarkan dirinya
untuk posisi itu. Para bhikkhu mendesaknya, “Teman ânanda,
semua anggota Saÿgha menawarkan dirinya untuk melayani
Bhagavà . Engkau harus menawarkan dirimu.” Yang Mulia ânanda
berkata kepada mereka, “Teman-teman, posisi (yang berhubungan
dengan Bhagavà ) bukanlah suatu hal yang dapat diminta. Apakah
Bhagavà tidak melihatku? Jika Bhagavà menginginkan aku, Beliau
akan berkata, “ânanda, jadilah pelayan pribadi-Ku.”
lalu Buddha berkata kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu,
ânanda tidak memerlukan nasihat untuk melayani Tathà gata. Ia
akan melakukannya atas keinginannya sendiri.” Selanjutnya para
bhikkhu memohon kepada Yang Mulia ânanda dengan berkata,
“Teman ânanda, sekarang berdirilah, dan tawarkan dirimu untuk
menjadi pelayan pribadi.” lalu Yang Mulia ânanda berdiri
dari duduknya dan memohon agar Buddha memberi delapan
anugerah kepadanya, “Yang Mulia, jika Bhagavà menyetujui empat
‘tidak’ berikut, aku akan menjadi pelayan pribadi Bhagavà :
1. Bahwa Bhagavà tidak memberi kepadaku jubah baik yang
Beliau terima.
2. Bahwa Bhagavà tidak memberi makanan yang baik
kepadaku.
3. Bahwa Bhagavà tidak mengizinkan aku menetap di tempat yang
sama dengan Beliau.
4. Bahwa Bhagavà tidak mengajakku ke rumah umat awam yang
mengundang Beliau.”
Buddha berkata kepada Yang Mulia ânanda, “ânanda, apa kerugian
yang engkau lihat dari empat hal itu?” dan Yang Mulia ânanda
menjelaskan sebagai berikut, “Yang Mulia, jika aku diberikan empat
2723
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
kebutuhan yang seharusnya digunakan oleh Buddha, hal itu akan
menimbulkan kritik bahwa ânanda berhak (1) menerima jubah
baik yang diterima oleh Bhagavà , (2) menerima makanan baik yang
diterima oleh Bhagavà , (3) berdiam bersama Buddha di Kuñã Harum,
dan (4) berhak menyertai Buddha mengunjungi rumah umat awam.
Aku melihat kritik itu sebagai kerugian.”
Lebih jauh lagi, Yang Mulia ânanda memohon empat hak berikut
kepada Buddha:
“Yang Mulia, jika Bhagavà sudi memberi empat hak istimewa
berikut kepadaku, aku akan menjadi pelayan pribadi Bhagavà ,
(1) Bahwa Bhagavà sudi pergi ke tempat akudiundang; (2) Bahwa
Bhagavà sudi memberi audisi kepada pengunjung asing segera
sesudah mereka tiba; (3) Bahwa Bhagavà sudi menjelaskan segala
hal yang berhubungan dengan Dhamma kepadaku saat aku
memerlukan penjelasan; (4) Bahwa Bhagavà sudi mengulangi semua
khotbah yang telah dibabarkan tanpa kehadiranku.”
Buddha berkata kepada Yang Mulia ânanda, “ânanda, manfaat
apakah yang engkau lihat dari empat hak itu?” Yang Mulia ânanda
menjelaskan sebagai berikut, “Yang Mulia, dalam Dhamma ini
yang memiliki delapan kualitas, (1) umat penyokong tertentu
yang berkeyakinan terhadap Buddha tidak memiliki hak untuk
secara langsung mengundang Buddha ke rumah mereka. Mereka
akan memohon kepadaku sebagai pelayan pribadi Buddha untuk
mewakili mereka mengundang Buddha dan jika Engkau menerima
undangan mereka; (2) para umat yang datang dari jauh untuk
memberi hormat kepada Bhagavà harus diperbolehkan untuk
bertemu dengan Bhagavà tanpa harus menunggu lama; (3) jika aku
tidak puas dengan kata-kata Bhagavà , aku sebagai pelayan pribadi
harus diperbolehkan untuk memohon Bhagavà agar menjelaskan
hal yang berhubungan dengan Dhamma. Yang Mulia, jika BhagavÃ
(1) tidak menyanggupi permohonanku untuk menerima undangan
yang disampaikan oleh para umat awam melalui aku; atau (2)
tidak menyanggupi permohonanku atas nama pengembara asing
untuk memberi audisi lebih dulu; (3) tidak menyanggupi
permohonanku untuk mendapatkan hak meminta penjelasan
2724
sehubungan dengan Dhamma, maka orang-orang akan berkata,
‘Apa gunanya ânanda menjadi perlayan pribadi Bhagavà jika ia
tidak memperoleh hak-hak ini?’
Itulah alasan aku memohon tiga anugerah pertama. (4) sehubungan
dengan yang keempat: Jika para bhikkhu lain bertanya kepadaku,
‘Teman ânanda, di manakah syair ini, atau khotbah atau kisah-
kelahiran yang disampaikan oleh Bhagavà ?’ Dan jika aku tidak
mampu menjawab pertanyaan mereka, mereka akan berkata,
‘Teman, engkau begitu akrab dengan Bhagavà bagaikan bayangan-
Nya, tetapi engkau tidak mengetahui apa-apa.’ Yang Mulia, untuk
menghindari kritik demikian, aku memohon kepada BhagavÃ
untuk memberi anugerah keempat ini, yaitu, mengulangi
kepadaku khotbah-khotbah yang dibabarkan oleh Bhagavà tanpa
kehadiranku.”
“Yang Mulia, demikianlah manfaat yang kulihat dari empat anugerah
yang kumohon ini .” Buddha menyetujui seluruh delapan hal
itu, empat tidak dan empat hak.
Pelayanan ânanda kepada Buddha
Demikianlah ânanda, sesudah diberikan delapan anugerah oleh
Buddha, menjadi pelayan pribadi tetap Buddha, pencapaian cita-
citanya yang telah ia kejar dengan memenuhi Kesempurnaan selama
lebih dari seratus ribu siklus dunia.
Rutinitas hariannya yaitu mengambilkan air dingin dan panas
untuk Buddha, menyiapkan tiga jenis ranting pohon sebagai sikat
gigi dalam tiga ukuran yang disesuaikan dengan situasi, memijat
lengan dan kaki Buddha, menggosok punggung Buddha saat Buddha
mandi, membersihkan halaman Kuñã Harum Buddha, dan lain-lain,
lebih jauh lagi, ia selalu berada di dekat Buddha, memerhatikan
kebutuhan Buddha setiap waktu dan mencatat kegiatan yang harus
dilakukan oleh Buddha.
Bukan hanya pada siang hari ia melakukan pelayanan terhadap
aktivitas Buddha; pada malam hari juga ia menjaga agar dirinya
2725
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
selalu terjaga dengan memegang lampu dan berjalan mengelilingi
Kuñã Buddha. Setiap malam ia berkeliling sembilan kali dengan
memegang lampu di tangan, tujuannya yaitu agar selalu siap jika
sewaktu-waktu dipanggil oleh Buddha. Demikianlah alasan di balik
penunjukannya sebagai bhikkhu terbaik.
(c) Gelar Etadagga
Pada lalu hari, saat Buddha sedang menetap di Vihà ra
Jetavana, Ia memuji kemuliaan ânanda, penjaga Dhamma, dalam
banyak hal dan menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
bahusutà naÿ,” “Para bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku
yang banyak belajar,” (1)
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà nam bhikkhÃ¥naÿ
satimantà naÿ,” “Para bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku
yang penuh perhatian dalam menghafalkan khotbah-khotbah-Ku,
(2)
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
gatimantà naÿ,” “Para bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku
yang memahami ajaran-Ku, (3)
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
dhitimantà naÿ,” “Para bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku
yang tekun (dalam belajar, mengingat dan membaca ajaran-ajaran-
Ku serta dalam memerhatikan-Ku), (4)
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ upaññhà kà naÿ
yadidaÿ Anando,” “Para bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku
yang memberi pelayanan pribadi kepada-Ku, ânanda yaitu
yang terbaik.” (5)
Demikianlah dalam ajaran Buddha Gotama, Yang Mulia ânanda
disebutkan oleh Buddha sebagai yang terbaik dalam lima hal, yaitu,
banyak belajar, penuh perhatian dalam menghafalkan Dhamma,
2726
memahami Dhamma, tekun dalam melestarikan Dhamma, dan
memerhatikan Guru dengan memberi pelayanan pribadi kepada
Buddha.
Mencapai Kesucian Arahatta
sebab pencapaian Kearahattaan Yang Mulia ânanda berhubungan
dengan sidang Pertama, kita akan membahas peristiwa ini
merujuk pada Komentar Sãlakkhandha Vagga (Dãgha Nikà ya)
tentang topik ini.
sesudah menjalani misi-Nya tanpa mengenal lelah dalam
memberi Pembebasan kepada mereka yang layak, dimulai dari
Khotbah Pertama, Dhammacakka, hingga khotbah terakhir kepada
Petapa Subhadda, Buddha meninggal dunia di bawah pohon sà la
kembar di taman para pangeran Malla di dekat Kusinà rà di tahun 148
Mahà Era. Pelenyapan total Buddha, tanpa menyisakan kelompok-
kelompok kehidupan, terjadi pada hari purnama bulan Mei, dini
hari. Para Pangeran Malla melakukan Ritual pemakaman selama
tujuh hari dengan meletakkan bunga dan wewangian di sekitar
jenazah Buddha untuk menghormati Beliau. Seminggu ini disebut
‘Minggu Perayaan Pemakaman’.
sesudah perayaan ini , jenazah Buddha diletakkan di atas
tumpukan kayu pemakaman tetapi tidak dapat terbakar meskipun
para Pangeran Malla telah berusaha keras. Hanya pada hari ketujuh,
sesudah Yang Mulia Mahà Kassapa tiba dan memberi hormat, jenazah
Buddha terbakar dengan sendirinya, sesuai kehendak Buddha
sebelumnya. Minggu kedua itu disebut ‘Minggu Pembakaran’.
sesudah relik-relik Buddha dihormati oleh para Pangeran Malla selama
tujuh hari dengan mengadakan perayaan, mereka menempatkan
pengawal bertombak berlapis-lapis untuk mengamankan perayaan
ini . Minggu ketiga itu disebut ‘Minggu Penghormatan
Relik’.
sesudah tiga minggu berlalu, pada tanggal lima bulan deññha (Mei-
Juni) dilakukan pembagian relik-relik Buddha (yang dipimpin oleh
2727
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Brahmana Doõa, seorang guru brahmana). Pada hari itu terdapat
kumpulan yang terdiri dari tujuh ratus ribu bhikkhu (di Kusinà rà ).
Pada pertemuan itu, Yang Mulia Mahà Kassapa teringat kata-kata
tidak sopan yang dilontarkan oleh Subhadda, seorang bhikkhu tua
yang melakukan perjalanan bersama Yang Mulia Mahà Kassapa
dari Pà và menuju Kusinà rà , pada hari ketujuh sesudah Buddha
meninggal dunia. Bhikkhu tua itu berkata kepada para bhikkhu
yang meratapi kematian Buddha, “Teman-teman, jangan bersedih,
jangan meneteskan air mata sia-sia. sebab mulai sekarang kita telah
bebas dari kezaliman Bhikkhu Gotama yang selalu memerintah kita,
‘Ya, ini baik bagi seorang bhikkhu’, atau ‘Tidak, ini tidak baik bagi
seorang bhikkhu.’ Sekarang kita bebas melakukan apa yang kita
inginkan, dan tidak melakukan apa yang tidak kita inginkan.”
Lebih jauh lagi, Yang Mulia Mahà Kassapa melihat bahwa ajaran
Buddha yang terdiri dari Tiga Ajaran Baik akan lenyap dengan
mudah sesudah kematian sumbernya, sebab bhikkhu-bhikkhu
jahat tidak menghormati sabda-sabda Buddha saat Buddha tidak
ada lagi, dan jumlah mereka akan terus bertambah. Baik sekali jika
para bhikkhu dikumpulkan dan membacakan semua Dhamma dan
Vinaya yang diwariskan oleh Buddha.
Dengan demikian, Tiga Ajaran Baik akan bertahan lama.
Demikianlah Yang Mulia Mahà Kassapa merenungkan.
lalu ia juga teringat akan pengakuan istimewa Buddha
terhadapnya. “Buddha telah bertukar jubah luar-Nya denganku. Ia
telah menyatakannya kepada para bhikkhu, ‘Para bhikkhu, dalam
hal berdiam dalam Jhà na Pertama, Kassapa sebanding dengan-
Ku; dan seterusnya,’ demikianlah ia memuji kekuatanku dalam
pencapaian Jhà na dan juga Jhà na-Jhà na yang lebih tinggi, merangkul
sembilan pencapaian Jhà na dengan berdiam dalam masing-masing
tingkatannya, serta lima kekuatan batin. Juga, Bhagavà sambil berdiri
di angkasa, dan melambaikan tangan-Nya, menyatakan, bahwa
dalam hal Pembebasan diri dari empat jenis pengikut, Kassapa
tidak ada tandingannya,’ dan ‘bahwa dalam hal sikap seimbang,
Kassapa berperilaku bagaikan bulan.’ Kata-kata pujian ini sungguh
tidak ada bandingnya. Aku harus bertindak sesuai kemuliaan itu
2728
dengan mengadakan sidang Saÿgha untuk membacakan Dhamma
dan Vinaya untuk melestarikannya.”
“Bagaikan seorang raja yang mengangkat putra tertuanya
sebagai pewaris tahta, menganugerahkan perlengkapan kerajaan
dan kekuasaannya kepada putranya dengan pandangan untuk
melestarikan kedaulatannya, demikian pula, Bhagavà telah
memujiku secara berlebihan sebab melihat bahwa, aku, Kassapa,
akan mampu melestarikan ajaran-Nya.”
sesudah merenungkan demikian, Yang Mulia Mahà Kassapa
menceritakan kepada perkumpulan bhikkhu ini tentang kata-
kata tidak sopan yang dilontarkan oleh Subhadda, si bhikkhu tua
(seperti telah disebutkan di atas) dan mengajukan usul:
“Sekarang, teman-teman, sebelum noda-noda moral mendapatkan
landasan dan menjadi gangguan bagi Dhamma, sebelum kejahatan
mendapatkan landasan dan menjadi gangguan bagi Disiplin,
sebelum para penganut noda-noda moral mendapatkan kekuatan,
sebelum penganut Dhamma baik menjadi lemah, sebelum para
penganut kejahatan mendapatkan kekuatan, sebelum penganut
Disiplin menjadi lemah, marilah kita membacakan Dhamma dan
Vinaya dengan suara bulat dan melestarikan-Nya.”
Mendengar usulannya itu, kumpulan bhikkhu itu berkata
kepadanya, “Yang Mulia Kassapa, silakan Yang Mulia memilih
para bhikkhu untuk membacakan Dhamma dan Vinaya.” Yang
Mulia Mahà Kassapa lalu memilih empat ratus sembilan
puluh sembilan Arahanta yang telah menghafal Tiga Piñaka, dan
kebanyakan mereka juga memiliki empat Pengetahuan Analitis,
Tiga Vijjà dan Enam Kekuatan Batin, dan dinyatakan oleh BhagavÃ
sebagai bhikkhu terbaik.
(Pemilihan empat ratus sembilan puluh sembilan bhikkhu
menunjukkan bahwa satu telah disediakan untuk Yang Mulia
ânanda. Alasannya yaitu bahwa pada saat itu Yang Mulia ânanda
belum mencapai kesucian Arahatta, dan masih melatih diri untuk
menjadi seorang Arahanta. Tanpa ânanda tidaklah mungkin
2729
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
mengadakan sidang sebab ia telah mendengarkan semua sabda
Buddha yang terdiri dari Lima Nikà ya atau kumpulan, Sembilan
Aïga atau bagian, dan istilah-istilah dalam Dhamma yang berjumlah
delapan puluh empat ribu.
Mengapa ânanda tidak dimasukkan dalam daftar pembaca oleh
Yang Mulia Mahà Kassapa? Alasannya yaitu bahwa Yang Mulia
Mahà Kassapa ingin menghindari kritik bahwa ia pilih kasih
terhadap ânanda sebab masih ada Arahanta lain yang memiliki
Empat Pengetahuan Analitis seperti ânanda sedangkan ânanda
masih seorang sekkha, seorang yang masih melatih diri untuk
mencapai Kearahattaan.
Kritik itu mungkin terjadi, mempertimbangkan fakta bahwa Yang
Mulia Mahà Kassapa dan ânanda sangat akrab. Yang Mulia MahÃ
Kassapa memanggil ânanda dengan sebutan ‘anak muda ini’
padahal Yang Mulia ânanda berumur hampir delapan puluh tahun
dengan rambut yang sudah memutih. (Baca Kassapa Saÿyutta,
Cãvara Sutta, Nidà na Vagga). Lebih jauh lagi, Yang Mulia ânanda
yaitu seorang pangeran Sakya dan sepupu pertama Buddha.
sebab alasan itu, walaupun Yang Mulia Mahà Kassapa mengetahui
bahwa ânanda pasti terlibat dalam proyek pembacaan itu, ia
menunggu persetujuan umum dari kumpulan itu untuk memilih
ânanda.)
saat Yang Mulia Mahà Kassapa memberitahu kumpulan itu
bahwa ia telah memilih empat ratus sembilan puluh sembilan
Arahanta untuk tujuan itu, kumpulan itu sepakat mengusulkan
Yang Mulia ânanda meskipun ia masih seorang sekkha. Mereka
berkata, “Yang Mulia Mahà Kassapa, walaupun Yang Mulia ânanda
masih seorang sekkha, ia bukanlah seorang yang dapat salah
menilai. Terlebih lagi, ia yaitu bhikkhu yang paling banyak belajar
dari Buddha baik dalam hal Dhamma dan Vinaya.” lalu
Yang Mulia Mahà Kassapa memasukkan ânanda dalam daftar
pembaca. Demikianlah ada lima ratus pembaca yang dipilih dengan
persetujuan kumpulan itu.
lalu mereka mempertimbangkan lokasi pembacaan itu.
2730
Mereka memilih RÃ jagaha sebab merupakan kota besar, cukup
besar untuk menyediakan makanan setiap hari kepada sidang para
bhikkhu ini , dan sebab memiliki banyak vihà ra besar di mana
para bhikkhu dapat menetap. Mereka juga berpikir tentang melarang
para bhikkhu lain di luar daftar sidang itu untuk menjalani vassa
di RÃ jagaha, tempat sidang itu diadakan, selama masa itu. (Alasan
melarang bhikkhu di luar sidang yaitu sebab sidang itu dilakukan
setiap hari selama beberapa hari, jika pihak luar tidak secara resmi
dilarang untuk menetap di sana selama masa vassa, orang-orang
yang tidak menyetujui akan mengganggu jalannya sidang.)
lalu Yang Mulia Mahà Kassapa, dengan mengajukan
usulan resmi ini bertindak sebagai pemimpin sidang,
dan mendapatkan persetujuan resmi dari kumpulan itu untuk
mengumumkan keputusan Saÿgha sebagai berikut:
Suõà tu me à vuso Sangho yadi Saÿghassa pattakallaÿ Saÿgho imà ni
pa¤cabhikkhusatà ni sammanneyya rà ja gahe vassaÿ vasantà ni
Dhamma¤ ca vinaya¤ ca sangà yituÿ na a¤¤ehi bhikkhÃ¥hi rà jagahe
vassaÿ vasitabbanti, esà ¤atti.
Intinya yaitu : (1) hanya lima ratus bhikkhu yang akan membacakan
Dhamma dan Vinaya yang menetap di RÃ jagaha selama masa vassa
dan (2) bahwa para bhikkhu lain tidak diperbolehkan menetap di
RÃ jagaha selama masa yang sama.
Kammavà ca di atas atau keputusan Saÿgha mengenai sidang terjadi
dua puluh satu hari sesudah Buddha meninggal dunia. sesudah
keputusan itu ditetapkan, Yang Mulia Mahà Kassapa mengumumkan
kepada semua anggota kumpulan sebagai berikut:
“Teman-teman, aku mengizinkan kalian untuk melakukan urusan
pribadi kalian masing-masing selama empat puluh hari. sesudah
empat puluh hari, tidak ada alasan untuk tidak menghadiri tugas
pembacaan, apakah sebab sakit, urusan yang berhubungan dengan
penahbis, atau orangtua atau kebutuhan bhikkhu seperti mangkuk
dan jubah. Kalian diharapkan untuk siap memulai tugas ini sesudah
empat puluh hari.”
2731
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
sesudah memberi instruksi keras itu kepada Saÿgha, Yang
Mulia Mahà Kassapa, disertai oleh lima ratus siswa bhikkhu,
pergi ke RÃ jagaha. Anggota sidang lainnya juga pergi ke berbagai
tempat, disertai oleh para siswa bhikkhu mereka, untuk meredakan
kesedihan banyak orang dengan membabarkan Dhamma yang baik.
Yang Mulia Puõõa dan tujuh ratus siswa bhikkhu tetap di Kusinà rÃ
memberi penghiburan dengan khotbah mereka kepada para
umat yang berdukacita atas kematian Buddha.
Yang Mulia ânanda seperti biasa membawa mangkuk dan jubah
Buddha, dan pergi ke Sà vatthã disertai oleh lima ratus siswa bhikkhu.
Pengikutnya terus bertambah setiap hari. Ke mana pun ia pergi,
para umat meratap dan menangis.
Dengan melakukan perjalanan bertahap, akhirnya Yang Mulia
ânanda tiba di Sà vatthã, berita kedatangannya menyebar ke seluruh
kota dan para warga keluar dengan membawa bunga dan
wewangian untuk menyambutnya. Mereka meratap dengan berkata,
“O Yang Mulia ânanda, engkau biasanya datang menyertai Buddha,
tetapi di manakah engkau meninggalkan Buddha sekarang dan
datang sendirian?” Kesedihan orang-orang saat melihat Yang Mulia
ânanda sendirian sama seperti kesedihan yang terjadi saat Buddha
meninggal dunia.
Yang Mulia ânanda menghibur mereka dengan membabarkan
khotbah ketidakkekalan, penderitaan, dan tanpa-diri dari
kelahiran yang berkondisi. lalu ia memasuki Vihà ra Jetavana,
memberi hormat ke arah Kuñã Harum Buddha, membuka pintunya,
mengeluarkan selimut dan alas duduk, membersihkannya, menyapu
bagian dalam dan luar kamar, membuang bunga-bunga yang telah
layu. lalu ia mengembalikan selimut dan alas duduk dan
melakukan tugas rutin di tempat kediaman Buddha seperti pada
waktu Buddha masih hidup.
Sewaktu ia melakukan tugas-tugas rutin itu, ia akan berkata sambil
menangis, “O Bhagavà , bukankah sekarang saatnya Engkau mandi?”
“Bukankah sekarang saatnya Engkau membabarkan khotbah?”
2732
“Bukankah sekarang saatnya Engkau memberi nasihat kepada
para bhikkhu?” “Bukankah sekarang saatnya untuk berbaring di
sisi kanan dalam keagungan Buddha (seperti singa)?” “Bukankah
sekarang saatnya mencuci muka?” Ia tidak dapat menahan tangis
dalam melakukan rutinitas dalam melayani Buddha itu sebab ,
mengetahui manfaat dari kualitas menenangkan dari Bhagavà , ia
memiliki cinta yang mendalam terhadap Buddha sebab keyakinan
juga sebab kasih sayangnya; ia belum melenyapkan semua noda
moral; ia memiliki hati yang lembut terhadp Buddha sebab
kebersamaan yang terjadi antara dirinya dan Buddha selama jutaan
kehidupan yang lampau.
Nasihat yang Diberikan Oleh Dewa Hutan
Meskipun dirinya menderita kesedihan yang hebat dan dukacita
akibat kehilangan Buddha, Yang Mulia ânanda juga memberi
banyak penghiburan kepada para umat yang datang menjumpainya
yang berduka sebab kematian Buddha. Saat ia menetap di dalam
hutan di Kerajaan Kosala, dewa penjaga hutan itu juga turut
bersedih sebab nya; dan untuk mengingatkannya agar melawan
kesedihannya, dewa itu menyanyikan syair berikut untuknya:
Rukkhamålagahanaÿ pasakkiya
Nibbà naÿ hadayasmiÿ opiya.
Jhà ya Gotama mà pamà do Kiÿ
te biëibiëikà karissati.
“O Yang Mulia dari keluarga Gotama, pergilah ke bawah pohon,
celupkan batinmu ke dalam Nibbà na (‘arahkan batinmu ke
Nibbà na’, Komentar) dan berdiamlah dalam Jhà na yang ditandai
oleh konsentrasi pada objek (‘celupkan batinmu ke dalam Nibbà na:
‘Arahkan batinmu ke Nibbà na―Komentar, meditasi) dan pada
coraknya (yaitu ketidakkekalan, penderitaan, tanpa-diri). Apa
gunanya engkau bercakap-cakap dengan para pengunjung untuk
menghibur mereka?”
Teguran itu membangkitkan saÿvega dalam diri Yang Mulia
ânanda. Sejak Buddha meninggal dunia, ia terlalu banyak berdiri
2733
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
dan duduk sehingga ia merasa kurang sehat; dan untuk memulihkan
dirinya, keesokan harinya ia meminum obat pencahar dari susu,
dan tidak keluar dari vihà ra.
Pada hari itu, Subha, putra Todeyya, seorang brahmana (yang
meninggal dunia) datang mengundang Yang Mulia ânanda untuk
mempersembahkan makanan. Yang Mulia ânanda berkata kepada
pemuda itu bahwa ia tidak dapat datang hari itu sebab ia telah
meminum susu pencahar, dan bahwa ia akan datang keesokan
harinya. Keesokan harinya ia pergi ke tempat Buddha di mana
pemuda brahmana kaya itu mengajukan pertanyaan yang menyentuh
Dhamma. Sebagai jawaban Yang Mulia ânanda membabarkan
khotbah seperti yang tercatat dalam Subha Sutta, khotbah kesepuluh
dalam Sãlakkhandha Vagga dari Dãgha Nikà ya.
lalu Yang Mulia ânanda mengawasi perbaikan Vihà ra
Jetavana. Menjelang vassa, ia meninggalkan para siswa bhikkhu di
vihà ra dan berangkat ke Rà jagaha. Anggota lainnya yang terpilih
untuk membacakan Piñaka juga datang ke Rà jagaha pada waktu yang
hampir bersamaan. Seluruh anggota ini melakukan uposatha
pada malam purnama bulan âsaëha (Juni-Juli) dan pada keesokan
harinya mereka bertekad untuk menetap di RÃ jagaha selama tiga
bulan vassa.
Pada waktu itu terdapat delapan belas vihà ra di Rà jagaha. sebab
tidak ditempati selama beberapa waktu, bangunan dan halamannya
dalam keadaan rusak dan terabaikan. Pada saat Buddha meninggal
dunia, semua bhikkhu meninggalkan Rà jagaha menuju Kusinà rà dan
vihà ra-vihà ra itu tidak ditempati sehingga bangunannya menjadi
kotor dan berdebu serta banyak jendela yang pecah dan dinding
yang bercelah.
Para bhikkhu mengadakan rapat dan memutuskan bahwa sesuai
peraturan yang ditetapkan oleh Buddha dalam Vinaya; dalam bab
tentang tempat tinggal, bangunan vihà ra dan sekitarnya harus
diperbaiki sebaik-baiknya. Maka mereka menyediakan waktu satu
bulan pertama dari masa vassa itu untuk memperbaiki vihà ra-
vihà ra, dan bulan kedua untuk pembacaan. Mereka melakukan
2734
pekerjaan perbaikan itu untuk menghormati instruksi Buddha yang
tercantum dalam peraturan Vinaya, dan juga untuk menghindari
kritik oleh aliran kepercayaan di luar ajaran Buddha yang akan
mengatakan, “Para siswa Samaõa Gotama memelihara vihà ra
hanya pada saat guru mereka masih hidup, tetapi sesudah Beliau
meninggal dunia, mereka mengabaikan vihà ra-vihà ra itu dan
menyia-nyiakan harta berharga yang disumbangkan oleh empat
kelompok pengikutnya.”
sesudah memutuskan demikian, para bhikkhu mendatangi istana
Raja Ajà tasattu, seorang penyumbang. Raja bersujud kepada
mereka dan menanyakan tujuan dari kunjungan mereka. Mereka
memberitahunya bahwa mereka memerlukan bantuan tenaga untuk
pekerjaan memperbaiki delapan belas vihà ra. Raja menyediakan
pekerja untuk melakukan pekerjaan perbaikan di bawah pengawasan
para bhikkhu. Dalam bulan pertama, pekerjaan itu selesai dilakukan.
Para bhikkhu lalu menghadap Raja Ajà tasattu dan berkata,
“Tuanku, pekerjaan memperbaiki vihà ra telah selesai. Sekarang
kami akan mengadakan sidang untuk membacakan Dhamma dan
Vinaya bersama-sama.” Raja berkata, “Para Mulia, lakukanlah
tugas kalian.” Semoga ada kerjasama antara kekuasaan kerajaan
dan kekuasaan Dhamma. Sebutkanlah kebutuhan kalian dan aku
akan menyediakannya.” Para bhikkhu berkata, “Kami memerlukan
aula pertemuan untuk Saÿgha untuk melakukan tugas itu.” Raja
menanyakan tempat yang mereka pilih, dan mereka menyebutkan di
lereng Gunung Vebhà ra di mana berdiri sebatang pohon sattapaõni
(Alstonia scholaris).
Sebuah Paviliun Besar Sumbangan Raja Ajà tasattu
“Baiklah, Yang Mulia,” Raja Ajà tasattu berkata dan ia membangun
sebuah paviliun besar untuk sidang ini semegah paviliun
yang pernah dibangun oleh Visukamma, dewa arsitek. Terdiri dari
beberapa ruangan untuk melakukan berbagai pekerjaan dalam
sidang ini , masing-masing memiliki tangga dan koridor,
semua dinding dan tiang dihiasi dengan lukisan yang artistik.
Keseluruhan paviliun itu melampaui kemegahan istana kerajaan
dan keindahannya mengalahkan istana dewa. Tampak seperti
2735
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
istana megah yang menarik perhatian mereka yang melihatnya, baik
dewa maupun manusia, bagaikan tepi sungai yang menyenangkan
menarik perhatian segala jenis burung. Sesungguhnya, paviliun
itu memiliki kesan seperti sebuah objek kegembiraan yang setara
dengan gabungan seluruh hal-hal yang menggembirakan.
Aula dewan memiliki kanopi yang berhiaskan permata. Kuntum-
kuntum bunga berbagai ukuran, bentuk, dan warna tergantung
dari kanopi itu. Di lantainya bertebaran permata-permata yang
terlihat bagaikan lantai yang terbuat dari batu delima utuh. Di
atasnya terhampar karangan-karangan bunga berbagai warna yang
membentuk karpet yang menghiasi istana brahmà . Lima ratus
tempat duduk untuk lima ratus bhikkhu pembaca dibuat dari bahan-
bahan yang tidak ternilai, namun dibuat sedemikian sehingga layak
untuk dipakai oleh para bhikkhu. Singgasana, yaitu, mimbar yang
tinggi, untuk bhikkhu senior yang bertugas mengajukan pertanyaan
memiliki sandaran punggung yang disandarkan pada dinding
sebelah selatan, menghadap ke utara. Di tengah-tengah terdapat
sebuah singgasana atau mimbar untuk bhikkhu yang bertugas
menjawab pertanyaan-pertanyaan, menghadap ke timur, yang cocok
untuk digunakan oleh Buddha. Di atasnya diletakkan sebuah kipas
bundar Ritual yang terbuat dari gading. sesudah membuat semua
persiapan secara saksama, raja memberitahukan kepada Saÿgha
bahwa semuanya telah siap.
Hari itu yaitu hari keempat bulan tua di bulan Savana (Juli-
Agustus). Pada hari itu beberapa bhikkhu berkata kepada temannya,
“Dalam kelompok para bhikkhu, ada satu yang masih memiliki
kotoran” yang merupakan sindiran terhadap Yang Mulia ânanda.
saat kata-kata ini sampai di telinga Yang Mulia ânanda, ia
menyadari bahwa bukan orang lain melainkan dirinya sendirilah
yang menyebarkan bau kotoran itu. Ia membangkitkan saÿvega
dari kata-kata itu. Bhikkhu lainnya berkata kepadanya, “Teman
ânanda, sidang akan dimulai besok. Engkau masih harus mencapai
tingkatan Jalan yang lebih tinggi. Tidaklah tepat jika engkau
berpartisipasi dalam sidang sebagai seorang sekkha (Seorang Ariya
yang masih berlatih untuk mencapai Kearahattaan). Kami ingin agar
engkau berusaha dengan penuh perhatian agar dapat mencapai
2736
Kearahattaan pada waktunya.”
Kearahattaan di Luar Empat Postur
lalu Yang Mulia ânanda berpikir, “Besok, sidang akan
dimulai. Tidaklah tepat jika aku berpartisipasi dalam sidang sebagai
seorang sekkha (hanya seorang Sotà panna).” Ia bermeditasi dengan
objek badan jasmani sepanjang malam. Saat menjelang pagi, ia
berpikir untuk beristirahat sejenak. Ia kembali ke vihà ra, dengan
penuh perhatian ia berbaring di atas selimut. Saat kedua kakinya
naik dari lantai dan kepalanya belum menyentuh bantal, ia sesaat
mencapai Kearahattaan, bukan dalam satu dari empat postur.
Penjelasan lebih lanjut: Yang Mulia ânanda telah bermeditasi
berjalan mondar-mandir di luar vihà ra. Magga-Phala (tiga tingkat
yang lebih tinggi) masih belum tercapai. lalu ia teringat kata-
kata Buddha saat menjelang meninggal dunia: Ӊnanda, engkau
telah melakukan banyak kebajikan. Bermeditasilah dengan tekun.
Engkau akan segera mencapai Kearahattaan.” Ia tahu bahwa kata-
kata Buddha tidak pernah keliru. Ia meninjau kembali latihannya
“Aku telah terlalu keras berusaha; ini membuat pikiranku kacau.
Aku harus berusaha menyeimbangkan usaha dan konsentrasi.”
Dengan merenungkan demikian, ia mencuci kakinya dan masuk
ke dalam ruang meditasinya, berniat untuk beristirahat sejenak.
Dengan penuh perhatian, ia berbaring di atas selimut. Saat kedua
kakinya naik dari lantai dan kepalanya belum menyentuh bantal,
dalam waktu yang sangat singkat itu, ia mencapai Arahatta-Phala,
menyucikan semua noda moral.
sebab itu jika seseorang mengajukan pertanyaan, “Bhikkhu
siapakah dalam Dhamma ini yang mencapai Kearahattaan di
luar dari empat postur tubuh?” Jawabannya yaitu “Yang Mulia
ânanda.”
ânanda Dipuji Oleh Mahà Kassapa
Hari itu yaitu hari kelima bulan tua di bulan Savana (Juli-Agustus),
sehari sesudah Yang Mulia ânanda mencapai Kearahattaan. sesudah
2737
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
selesai makan, para pembaca terpilih dalam sidang itu menyimpan
mangkuk dan perlengkapan lainnya dan berkumpul di paviliun
besar untuk memulai tugas mereka. (Sesuai tradisi di India, periode
yang dimulai sejak hari purnama di bulan âsaëha (Juni-Juli) hingga
hari purnama di bulan Sayaria dihitung satu bulan. Selama periode
satu bulan itu, Saÿgha melakukan pekerjaan perbaikan dan
pemeliharaan vihà ra. Pada hari pertama bulan tua di bulan Savana
mereka memohon kepada Raja Ajà tasattu untuk dibangunkan
sebuah paviliun. Pembangunan itu membutuhkan waktu tiga hari.
Pada hari keempat Yang Mulia ânanda mencapai Kearahattaan.
Pada hari kelima kegiatan sidang dimulai.)
Pada kesempatan itu Yang Mulia ânanda menghadiri sidang sebagai
seorang Arahanta.
Ia memasuki paviliun itu saat semua yang lainnya telah hadir.
Mengenakan jubahnya dengan cara yang diharuskan bagi para
bhikkhu yang akan menghadiri suatu pertemuan (atau pergi ke
desa), ia melangkah masuk ke ruang sidang dengan wajah bersinar
bagaikan buah kelapa segar yang baru dipetik, atau bagaikan sebutir
batu delima yang diletakkan di atas sehelai kain putih, atau bagaikan
bulan purnama di langit yang bersih, atau bagaikan bunga teratai
paduma yang mekar sebab menerina sinar matahari pagi. Terlihat
memancarkan kesucian Arahatta. Kemegahannya mengungkapkan
Kearahattaannya.
(“Mengapa ânanda memasuki ruangan seolah-olah mengungkapkan
Kearahattaannya?” “Seorang Arahanta tidak mengungkapkan
pencapaian Arahatta-Phala dalam kata-kata tetapi membiarkan
fakta itu diketahui oleh orang lain, dan hal ini dipuji oleh Buddha,”
demikianlah renungan Yang Mulia ânanda. Ia menyadari bahwa
Dewan itu mengizinkannya berpartisipasi dalam sidang sebab
pengetahuannya, meskipun ia masih seorang sekkha. Dan sekarang
ia telah mencapai Kearahattaan, para bhikkhu lain akan gembira
mengetahui fakta itu. Lebih jauh lagi, ia ingin membuktikan kepada
semua orang tentang sabda terakhir Buddha, ‘Berusahalah dengan
tekun untuk mencapai tujuan yang engkau tetapkan’, terbukti
benar.)
2738
Melihat Yang Mulia ânanda, Mahà Kassapa berpikir, “Ah, ânanda
sebagai seorang Arahanta terlihat begitu agung. Jika Bhagavà masih
hidup, ia pasti akan bersorak untuk ânanda hari ini. Sekarang aku
harus mengucapkan kata-kata pujian mewakili Bhagavà .” lalu
ia berkata, “Teman ânanda, keagunganmu menunjukkan bahwa
engkau telah memenangkan Arahatta-Phala, dan seterusnya,” ia
mengucapkan kata-kata itu tiga kali dengan suara keras.
Memulai Sidang
Dengan kedatangan Yang Mulia ânanda, Dewan itu menjadi
lengkap dengan lima ratus pembaca terpilih. Yang Mulia MahÃ
Kassapa bertanya kepada Dewan bagian mana yang akan dimulai
lebih dulu, apakah Dhamma, Suttanta, dan Abhidhammà yang
harus dibacakan terlebih dahulu, atau Disiplin, Vinaya, yang harus
dibacakan terlebih dahulu. Saÿgha sepakat mengusulkan, “Yang
Mulia Mahà Kassapa, Vinaya yaitu sumber kehidupan ajaran
Buddha. sebab jika Vinaya bertahan lama maka ajaran Buddha juga
bertahan lama. sebab itu marilah kita memulai pembacaan kita
dengan membacakan Vinaya.” Yang Mulia Mahà Kassapa lalu
bertanya, “Siapakah yang akan menjadi bhikkhu pemimpin dalam
membacakan Vinaya?” “Kami akan memilih Yang Mulia Upà li
sebagai bhikkhu pemimpin.” “Apakah Yang Mulia ânanda tidak
mampu melakukannya?” “ânanda cukup mampu melakukannya.
Tetapi, saat Bhagavà masih hidup, Beliau menyatakan Yang Mulia
Upà li sebagai yang terbaik di antara para siswa bhikkhu yang
menguasai Vinaya. sebab itu, kami memilih Yang Mulia Upà li,
kalau ia bersedia, menjadi bhikkhu pemimpin dalam membacakan
Vinaya.”
Yang Mulia Mahà Kassapa yaitu bhikkhu ketua dalam sidang
pertama. Ia juga bertanggung jawab dalam mengajukan pertanyaan-
pertanyaan. Yang Mulia Upà li bertanggung jawab dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan Vinaya. Dua
bhikkhu mulia ini duduk di tempat yang telah dipersiapkan
untuk mereka dan melaksanakan tugas mereka. Tiap-tiap peraturan
dari Vinaya diajukan sebagai suatu pertanyaan yang terdiri dari topik,
2739
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
kisah yang melatarbelakangi, orang yang menyebabkan Buddha
menetapkan peraturan itu, peraturan asli, amandemen (jika ada),
apakah pelanggaran terhadap peraturan itu memerlukan penebusan
atau tidak; dan setiap pertanyaan dijawab secara lengkap sesuai
urutan demikian. sidang itu lalu mencatatnya dengan cara
membacakannya bersama-sama, menyebutkan dengan ungkapan-
ungkapan resmi seperti: ‘Pada saat itu’, ‘Selanjutnya’, ‘lalu ’,
‘Dikatakan’ untuk merangkum berbagai hal. Para pembaca sepakat,
“Pada saat itu Bhagavà sedang berdiam di Vera¤ja, dan seterusnya.”
(Pembacaan sabda-sabda Buddha oleh Saÿgha dalam pertemuan
khusus disebut mengadakan sidang, Saÿgà yanà .)
saat pembacaan Pà rà jika Pertama selesai, bumi ini berguncang
hingga ke bawah batas permukaan air, seolah-olah menyoraki
peristiwa bersejarah itu.
Tiga peraturan Pà rà jika berikutnya dibacakan dengan cara yang
sama, demikian pula dengan dua ratus dua puluh tujuh peraturan
lainnya, masing-masing diajukan sebagai sebuah pertanyaan dan
diikuti oleh jawabannya. Keseluruhan kitab itu disebut Pà rà jikakaõóa
Pà ëi, dan juga dikenal sebagai Bhikkhu Vibhaõga, yang lebih terkenal
dengan sebutan “Mahà vibhaïga.” Yang ditetapkan sebagai kitab
resmi yang sejak saat itu diajarkan (di vihà ra-vihà ra) dari generasi
ke generasi. Pada akhir pembacaan Mahà vibhaïga itu, bumi ini juga
berguncang keras seperti sebelumnya.
lalu menyusul tiga ratus empat peraturan Bhikkhunã
Vibhaïga, dibacakan dalam bentuk pertanyaan dan jawaban seperti
sebelumnya. Bhikkhunã Vibhaïga ini dan Mahà vibhaïga bersama-
sama dikenal sebagai ‘Ubhato Vibhaïga dari enam puluh empat
pembacaan atau bhà õavà ra.’ Yang ditetapkan sebagai kitab resmi
yang sejak saat itu diajarkan dari generasi ke generasi. Pada akhir
pembacaan Ubhato Vibhaïga itu, bumi ini juga berguncang keras
seperti sebelumnya.
Upà li Bertanggung Jawab Dalam Vinaya Piñaka
Dewan yang terdiri dari lima ratus pembaca mempercayakan versi
2740
yang telah disetujui dari Vinaya Piñaka kepada Yang Mulia Upà li
sebagai penanggung jawab, “Teman, ajarkanlah Vinaya Piñaka
ini kepada para siswa yang datang untuk memohon instruksi
darimu.” saat pembacaan Vinaya Piñaka selesai, Yang Mulia
Upà li, yang telah menyelesaikan tugasnya, meletakkan kipas bundar
gading itu di atas mimbar, lalu turun dari mimbar ini ,
memberi hormat kepada para bhikkhu senior, dan duduk di tempat
duduknya.
sesudah pembacaan Vinaya, Dhamma (yaitu, Suttanta dan
Abhidhammà ) juga dibacakan. Maka Yang Mulia Mahà Kassapa
bertanya kepada dewan pembaca, “Bhikkhu siapakah yang akan
memimpin pembacaan Dhamma?” Dewan itu sepakat menyebutkan
Yang Mulia ânanda untuk posisi ini .
lalu Yang Mulia Mahà Kassapa menunjuk dirinya sendiri
sebagai penanya, dan Yang Mulia ânanda sebagai penjawab. Bangkit
dari duduknya, membetulkan jubah, dan bersujud kepada para
bhikkhu, Yang Mulia ânanda memegang kipas bundar gading dan
duduk di atas mimbar. lalu rencana pembacaan Dhamma
didiskusikan oleh Yang Mulia Mahà Kassapa dan para Thera yang
berparitisipasi:
Kassapa, “Teman-teman, ada dua bagian Dhamma, Suttanta Piñaka
dan Abhidhammà Piñaka, yang mana lebih dulu?”
Para Thera, “Yang Mulia, marilah kita mulai dengan Suttanta
Piñaka.” (Vinaya berhubungan dengan Moralitas Tinggi (Adhi-
Sãla); Suttanta membahas Kesadaran Tinggi (Adhi-Citta), yaitu
konsentrasi; dan Abhidhammà membahas Kebijaksanaan Tinggi
(Adhi-Pa¤¤Ã ). Oleh sebab itu, Dewan membacakan Tiga Latihan,
Moralitas, Konsentrasi, dan Kebijaksanaan sesuai urutannya.)
Kassapa, “Teman-teman, ada empat kumpulan (Nikà ya) dari Sutta
dalam Suttanta Piñaka; yang mana lebih dulu?”
Para Thera, “Yang Mulia, marilah kita mulai dengan yang panjang,
Dãgha Nikà ya.”
2741
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Kassapa, “Teman-teman, Dighà Nikà ya terdiri dari tiga puluh
empat khotbah (Sutta) dalam tiga bagian (Vagga), yang mana lebih
dulu?”
Para Thera, “Yang Mulia, marilah kita mulai dari Sãlakkhandha
Vagga.”
Kassapa, “Teman-teman, Sãlakkhandha Vagga terdiri dari tiga belas
khotbah; yang mana lebih dulu?”
Para Thera, “Yang Mulia, Brahmajà la Sutta menggambarkan tiga
tingkat moralitas; berguna untuk menghindari dari ucapan-ucapan
yang tidak benar atau kemunafikan bagi para bhikkhu yang dapat
mengganggu ajaran. Juga menjelaskan enam puluh dua jenis
pandangan salah. Terjadi enam puluh dua kali gempa bumi saat
dibabarkan oleh Bhagavà . Marilah kita mulai dengan Brahmajà la
Sutta.”
sesudah sepakat dengan rencana ini , Yang Mulia Mahà Kassapa
mengajukan pertanyaan tentang Brahmajà la Sutta kepada Yang
Mulia ânanda sehubungan dengan kisah yang melatarbelakangi,
orang-orang yang terlibat dalam khotbah ini , topik, dan lain-
lain. Yang Mulia ânanda menjawab setiap pertanyaan dengan
lengkap, dan selanjutnya, lima ratus pembaca itu bersama-sama
membacakan Brahmajà la Sutta. saat pembacaan Sutta itu selesai,
bumi ini berguncang keras seperti sebelumnya.
lalu diikuti dengan pertanyaan dan jawaban dan pembacaan
bersama dua belas Sutta lainnya dari Sãlakkhandha Vagga.
lalu Mahà Vagga yang terdiri dari sepuluh Sutta menyusul,
dan lalu PÃ thika Vagga yang terdiri dari sebelas Sutta, masing-
masing dengan pertanyaan dan jawaban. Dengan demikian tiga
puluh empat Sutta dalam tiga bagian (Vagga), yang pembacaannya
berjumlah dua puluh empat, tercatat sebagai Sabda-Sabda Buddha
dengan judul Dãgha Nikà ya, Kumpulan Khotbah Panjang, lalu
mereka mempercayakan versi yang telah disetujui itu kepada Yang
2742
Mulia ânanda, “Teman ânanda, ajarkanlah Dãgha Nikà ya ini
kepada siswa yang datang untuk memohon instruksi darimu.”
Selanjutnya Dewan itu menyetujui Majjhima Nikà ya, kumpulan
Khotbah-Khotbah yang tidak terlalu panjang dan tidak terlalu
pendek, sesudah proses tanya dan jawab, yang seluruhnya
memerlukan waktu delapan puluh pembacaan. lalu mereka
mempercayakan versi kitab yang telah disetujui itu kepada siswa-
siswa Yang Mulia SÃ riputta, dengan mengatakan, “Teman-teman,
lestarikanlah Majjhima Nikà ya ini dengan baik.”
Selanjutnya Dewan itu menyetujui Saÿyutta Nikà ya, Kumpulan
Khotbah-Khotbah yang Saling Berhubungan, sesudah proses tanya
dan jawab, yang seluruhnya memerlukan waktu seratus pembacaan.
lalu mereka mempercayakan versi kitab yang telah disetujui
itu kepada Yang Mulia Mahà Kassapa, dengan berkata, “Yang Mulia,
ajarkanlah Saÿyutta Nikà ya ini, Sabda-Sabda Bhagavà , kepada para
siswa yang mendatangimu untuk memohon instruksi.”
Selanjutnya Dewan itu menyetujui Aïguttara Nikà ya, kumpulan
Khotbah-Khotbah Bertingkat, sesudah proses tanya dan jawab,
yang seluruhnya memerlukan waktu delapan puluh pembacaan.
lalu mereka mempercayakan versi kitab yang telah disetujui
itu kepada Yang Mulia Anuruddhà , dengan berkata, “Yang
Mulia, ajarkanlah Aïguttara Nikà ya ini, kepada para siswa yang
mendatangimu untuk memohon instruksi.”
lalu Dewan menyetujui tujuh kitab Abhidhammà , yaitu,
Dhammasaïgaõã, Vibhaïga, Dhà tukathà , Puggala Pa¤¤Ã tti,
Kathà vatthu, Yamaka, dan Paññhà na, sesudah melewati pertanyaan,
jawaban, dan pembacaan. Pada akhir pembacaan kitab-kitab
Abhidhammà ini, bumi ini berguncang keras seperti sebelumnya.
lalu Dewan membacakan: Jà taka, Niddesa, PañisambhidÃ
Magga, Apadà na, Sutta Nipà ta, Khuddakapà ñha, Dhammapada,
Udà na, Itivuttaka, Vimà navatthu, Petavatthu, Theragà tha, dan
Therãgà thà , sesudah melewati proses tanya-jawab. Tiga belas kitab ini
secara keseluruhan disebut Khuddaka Nikà ya, Kumpulan Khotbah-
2743
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Khotbah Sejenis.
Menurut para bhikkhu yang telah menghafalkan Dãgha Nikà ya,
disebutkan bahwa, “Khuddaka Nikà ya dibacakan dan disetujui
bersama-sama dengan Abhidhammà Piñaka.” Tetapi menurut para
bhikkhu yang telah menghafalkan Majjhima Nikà ya, tiga belas
kitab ini, bersama-sama dengan Buddhavaÿsa dan Cariyà Piñaka,
sehingga seluruhnya berjumlah lima belas, disebut Khuddaka
Nikà ya dan dikelompokkan dalam Suttanta Piñaka, (Pernyataan
ini berdasarkan pada Komentar Sãlakkhandha. Satu Bhà õavà ra
atau satu ‘pembacaan’ yaitu lama waktu yang dibutuhkan untuk
membacakan satu kitab, yang menurut perkiraan waktu modern,
yaitu kira-kira setengah jam. Nama para bhikkhu pemimpin,
yaitu, Yang Mulia Mahà Kassapa, Yang Mulia Upà li, dan Yang
Mulia ânanda, dan tugasnya masing-masing, tercatat dalam Vinaya
Cåëà vagga Pa¤casatikkhandhaka.)
Demikianlah Yang Mulia ânanda yaitu seorang bhikkhu penting
dalam sidang Pertama, yang menjawab dengan terampil semua
pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma yang terdiri dari
Suttanta Piñaka dan Abhidhammà Piñaka.
(Ini yaitu kisah dari peran penting yang dimainkan oleh Yang
Mulia ânanda pada sidang Pertama.)
Thera ânanda Parinibbà na
Pada saat sidang Pertama, di tahun 148 Mahà Era, Yang Mulia
ânanda, yang terlahir pada hari yang sama dengan Buddha, telah
berusia delapan puluh tahun. Empat puluh tahun sesudah sidang
pertama, saat ia berusia seratus dua puluh tahun, ia memeriksa
kelompok penunjang kehidupannya, dan melihat bahwa ia hanya
akan hidup selama tujuh hari lagi. Ia memberitahukan hal ini kepada
para siswanya.
saat orang-orang mendengar berita ini, mereka yang menetap di
seberang sini Sungai Rohiõi (yang menjadi rebutan antara para Sakya
dan Koliya sehubungan dengan pembagian air yang melatarbelakangi
2744
khotbah Buddha yang dikenal dengan Mahà samaya Sutta) berkata
bahwa Yang Mulia ânanda telah banyak memperoleh persembahan
dari mereka dan sebab itu ia harus meninggal dunia di tempat
mereka, sisi sebelah sini dari sungai itu dan mereka yang menetap
di seberang sana juga mengatakan hal yang sama.
Mendengar kata-kata dari kedua belah pihak, Yang Mulia ânanda
berpikir, “Kedua belah pihak telah banyak berjasa kepadaku. Tidak
seorang pun yang dapat menyangkalnya. Jika aku meninggal dunia
di seberang sini, warga di seberang sana akan berperang dengan
warga di seberang sini untuk memperebutkan relik-relikku.
Dan jika aku meninggal dunia di seberang sana, para warga
di seberang sini juga akan berperang untuk alasan yang sama. Dan
aku hanya menjadi pemicu perselisihan di antara mereka. Jika
dapat berdamai, aku ingin menjadi pemicu perdamaian itu. Ini
tergantung dari bagaimana aku mengatasi masalah ini.” sesudah
merenungkan demikian, ia berkata kepada kedua belah pihak:
“O para penyumbang, laki-laki dan perempuan, kalian yang
menetap di seberang sini telah banyak berjasa kepadaku. Demikian
pula, kalian yang menetap di seberang sana juga banyak berjasa
kepadaku. Tidak ada di antara kalian yang tidak berjasa kepadaku.
Silakan bagi mereka yang menetap di seberang sini, berkumpul di
sini, dan mereka yang menetap di seberang sana, berkumpul di
sana.”
lalu pada hari ketujuh, ia berdiam tinggi di angkasa kira-
kira setinggi tujuh pohon kelapa, duduk bersila di atas di tengah-
tengah Sungai Rohiõã dan membabarkan khotbah kepada para
warga .
Pada akhir khotbah ini , ia berkehendak agar tubuhnya terbelah
menjadi dua dan satu bagian akan jatuh di seberang sini sedangkan
bagian lainnya akan jatuh di seberang sana. lalu ia masuk ke
dalam Jhà na tejo dhà tu yang merupakan dasar dari kekuatan batin.
Keluar dari Jhà na itu, proses pikiran yang berhubungan dengan
kekuatan batin muncul dalam dirinya. Pada saat proses pikiran
ini tubuhnya terbakar dan segera sesudah proses pikiran itu
2745
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
berakhir, kesadaran-kematiannya muncul dan ia meninggal dunia,
menembus Nibbà na dan mengakhiri semua jejak kehidupan.
Tubuhnya terbelah menjadi dua sesuai kehendaknya, satu bagian
jatuh di seberang sini dan bagian lainnya jatuh di seberang sana.
Para warga di kedua sisi meratap sedih. Ledakan emosi mereka
bergema seolah-olah terjadi gempa bumi. Kesedihan yang terjadi
pada peristiwa ini terlihat bahkan lebih menyedihkan dibandingkan
pada saat kematian Buddha. Mereka menangis selama empat bulan
penuh, meratap, “Selama kami masih melihat p
.jpeg)
.jpeg)





