Estetika memiliki peran penting dalam struktur kebudayaan Bali. Estetika
dapat dikatakan sebagai pengejawantahan dari konsep yang disebut dengan Tri Wisesa
yakni: Satyam (kebenaran), Siwam (kesucian), dan Sundaram (keindahan). Oleh sebab
dalam estetika Hindu yang dipentingkan yaitu sebuah dialektika yang selalu
menempatkan kebenaran itu suci dan indah, serta keindahan itu harus suci dan
mengandung kebenaran. Nilai estetika juga berarti nilai pendidikan seni dan budaya.
Nilai-nilai seni dan budaya tentu banyak terlihat dalam karya-karya seni maupun
bangunan-bangunan khas. Dalam implementasinya tentu menyadurkan konsepkonsep yang erat kaitannya dengan konsep tata ruang Bali. Ranah ini masuk
dalam konsep-konsep kosmologi Hindu Bali.
Meninjau bangunan Bali pada umumnya seperti Bale banjar, pura, pamerajan,
serta tempat tinggal, tidak lepas dari konsep-konsep arsitektur Bali. Lontar-lontar para
undagi seperti Asta Kosala-Kosali, Asta Bhumi, dan sebagainya merupakan salah satu
rujukan yang sering digunakan. Dalam membangun sebuah bangunan memang tidak
terlepas dari falsafah dan konsep tata-ruang. Komposisi, proporsi, kesatuan, harmoni,
kenyamanan serta keindahan sebagai unsur-unsur arsitektur modern terwujud
sempurna dalam arsitektur Bali.
Memperhatikan kembali dalam lontar Asta Bhumi yang menyebutkan ada lima
pembagian zonasi atau wilayah dalam tata ruang karang sikut satak atau lahan hunian
tradisional Bali yang tampaknya perlu diperdalam untuk menggali nilai-nilai yang ada.
lontar Asta Bhumi yang mengatur tentang tata letak bangunan rumah, pelinggih dan
secara normatif cenderung memiliki makna transenden yang melekat dengan sisi
spiritualitas masyarakat Bali. Sisi spiritualitas yang terwujud dalam seni arsitektur Bali
terutama bangunan pelinggih Surya natah memiliki keterkaitan dengan konsep Tri
Angga, Tri Hita Karana, dan Dewata Nawa Sangga yang memiliki makna sejajar dengan
ruang lingkup kosmologi. Konsep tata ruang pelinggih surya natah dikaji dan
dieksplorasi dalam ranah kosmologi Hindu.
1. Pelinggih Surya Natah dan Dimensi Transenden
Istilah pelinggih merujuk pada bangunan suci. Selain rumah dan dapur, dalam
pekarangan rumah terdapat bermacam-macam palinggih atau bangunan suci. Kata
palinggih berarti bangunan tempat mensthanakan Sang Hyang Widhi, manifestasi-Nya
atau roh suci leluhur (Atma Siddha Devata) . Ada kalanya konsep tempat
suci/tempat ibadah dalam sebuah keluarga di Bali memiliki identik akan ukiranukiran Bali yang menyimbolkan tata ruang arsitektur Bali. Salah satu tempat yang
dijadikan untuk pemujaan bagi umat Hindu dikenal dengan nama sanggah atau
pamerajan. Memasuki sanggah atau pamerajan pastinya akan terlihat sebuah bangunan
pelinggih yang berdiri kokoh dengan bentuk dan tata letak yang berbeda. Hal yang
paling unik di tengah natah/pekarangan, terbentuknya sebuah pelinggih surya yang
disebut dengan pelinggih surya natah yang memiliki fungsi menjaga kestabilan dan
keseimbangan pekarangan rumah.
Surya Natah yaitu sebuah pelinggih yang berada di timur laut, berposisikan
sebagai pengijeng natah atau penjaga halaman rumah bagi yang penghuni tempat
ini . Surya Natah diyakini sebagai pertemuan antara dua kutub energi yaitu energi
bapa-akasa (maskulin) dengan energi ibu-pertiwi (feminim). Pertemuan dua kutub
energi ini menciptakan (ngreka) kehidupan, adapun yang menyebutkan palinggih ini
sebagai stana dari Sanghyang Siwa Reka.
Surya Natah umumnya ditempatkan di bagian halaman pekarangan. Surya natah
biasanya diimplementasikan dalam struktur paduraksa dengan menempatkan di bagian hulu pekarangan di masing-masing kepala keluarga serta memiliki posisi di luar dari
karang pamerajan. Dalam karang yang sama, akan terdapat satu buah sanggah/merajan
yang lengkap namun dalam situasi masing-masing keluarga kemungkinan akan
terdapat lebih dari satu Surya natah, tergantung jumlah kepala keluarganya. Adapun
fungsi Surya Natah yaitu sebagai pengayatan (pemujaan) Hyang Widhi atau BhataraBhatari yang sangat cocok bagi keluarga dengan lahan yang sempit dan paling
terpenting sebagai wujud bakti kepada leluhur tetap bisa dilaksanakan.
Secara spiritual umat Hindu percaya akan adanya dimensi transenden dari suatu
kehidupan. Perihal yang mendasar yaitu berupa kepercayaan terhadap Tuhan atau
apapun yang dipersepsikan oleh manusia sebagai sosok transenden. Dalam masyarakat
Hindu di Bali Tuhan yang disebut Ida Sang Hyang Widhi Wasa memiliki berbagai
manifestasi sebagai bentuk mendekatkan diri dengan-Nya. Menurut tataran dimensi
ruang, Tuhan yang jauh kemudian didekatkan oleh bentuk dan atribut sebagai tanda
bahwa yang absolut dekat dengan penciptanya.
Demikian pula dalam pengejawantahan arsitektur Bali yakni dalam mengatur
tata letak bangunan dan tempat suci tentu memiliki aspek-aspek praktis di dalamnya.
Sebagai contoh dalam tataran dimensi filosofis, konsep-konsep Bhuana agung-Bhuana
alit, Tri Hita Karana, Tri loka diimplementasikan ke dalam bentuk prinsip-prinsip
praktis dalam arsitektur Bali yakni Hulu-Teben, Tri Mandala, Tri Angga yang merupakan
bentuk-bentuk konsep ruang ala Bali. Prinsip dalam membangun pelinggih surya natah
juga memiliki tendensi yang mirip dengan konsep ruang ini yang mensejajarkan
antara lapisan utama dengan lapisan yang lebih luar.
Individu orang Bali yang paham akan spiritualitas tentu memahami proses
pencarian akan makna dan tujuan hidup. Manusia mengembangkan pandangan bahwa
setiap eksistensi memiliki tujuannya masing-masing. Manusia Bali (bhuwana alit)
merupakan bagian dari alam (bhuwana agung), selain memiliki unsur-unsur pembentuk
yang sama, juga terdapat perbedaan ukuran dan fungsi. Manusia sebagai isi dan alam
sebagai wadah, selalu dalam keadaan harmonis selaras seperti janin (“manik”) dalam
rahim (“cecupu”). Rahim merupakan tempat yang memberikan kehidupan,
perlindungan, dan perkembangan janin ini . Demikian pula halnya manusia
berada, hidup, berkembang dan berlindung pada alam semesta. Dengan alasan inilah
manusia Bali memahami kesejajaran ruang antara makrokosmos dan mikrokosmos
hendaknya selaras. Pada lapisan yang lebih kecil seperti lingkungan pekarangan
rumah juga dibuat senilai dengan bhuwana agung. Unsur unsur pamerajan dalam
konteks ruangnya sebagai pusering jagat dari pekarangan, maka surya natah merupakan
penyawangan atau pengayatan-nya yang merupakan bagian kecil dari merajan.
2. Konsep Surya Natah dalam Lontar Asta Bhumi
Natah, merupakan satu istilah dalam bahasa Bali yang umum dipakai untuk
menyatakan suatu halaman di tengah-tengah suatu rumah yang dikelilingi oleh masamasa bangunan. Kata natar juga untuk menunjukkan suatu yang serupa dengan natah,
namun yang banyak digunakan untuk menunjukkan suatu halaman tengah yangterbentuk oleh pelinggih-pelinggih yang ada di suatu tempat peribadatan umat Hindu
seperti: pura dan pamerajan
Menurut lontar Asta Bhumi terdapat sistem pembagian ruang
natah/pekarangan rumah yang disebut dengan raksa. Pembagian wilayah terdiri dari:
(1) Sri Raksa, melingkupi sudut timur laut difungsikan untuk lokasi membangun
sanggah-pemerajan atau tempat suci keluarga, (2) Guru Raksa, melingkupi sudut tengah,
diperuntukkan untuk tempat suci lebuh, (3) Durga Raksa, pada sudut barat daya
diperuntukkan sebagai tempat membangun kandang ternak rumahan atau hewan
peliharaan dan bangunan dapur, (4) Kala Raksa, mewilayahi sudut barat laut, yang
diperuntukkan untuk tempat membangun pelinggih tugu/panunggun karang,
sumur/sumber air bersih, dan kamar mandi, serta (5) Siwa Raksa, melingkupi bagian
tengah pekarangan sebagai tempat mendirikan bangunan pelinggih Siwa Reka.
Jenis pelinggih di tengah pekarangan inilah yang pada umumnya dikenal
dengan sebutan Surya Natah. Berdasarkan bentuk arsitekturnya pelinggih Surya Natah
ini sangat terkait dengan ista dewata manifestasi Ida Sang Hyang Widhi yang akan
distanakan nantinya. Terdapat tiga tipe bentuk, yakni:
Pertama, Berbentuk dasar persegi empat-bujur sangkar. Aplikasi konsep tri
angga (tiga bagian badan) bangunannya, yakni bagian kaki (tepas ujan dan bebaturan),
badan atau pengawak (tersusun atas palih taman-sari) dan bagian kepala atau sari terbuat
dari gedong kayu dengan bentuk atap limas. Penutup atap berbahan ijuk dan genteng,
untuk menstanakan Sang Hyang Mpu Bumi. Palinggih surya natah seperti ini berfungsi
sebagai "pengijeng natah" atau penjaga halaman hunian dari pergolakan pertemuan dua
kutub energi, sebab diyakini di natah menjadi titik pertemuan energi bapa-akasa
(maskulin) dengan energi ibu-pertiwi (feminim). Pertemuan dua kutub energi ini
menciptakan (ngreka) kehidupan dengan demikian, ada juga yang kemudian menyebut
palinggih ini sebagai stana Sanghyang Siwa Reka.
Kedua, berbentuk dasar dan pepalinggihan sama seperti pelinggih pertama di atas,
demikian juga bagian sarinya juga dari gedong kayu, namun dengan penutup atap
alang-alang. Tipe ini didedikasikan untuk stana Sang Hyang Taksu Usada/Balian. Jadi
spesifik berfungsi untuk pemujaan kepada ista dewata terkait pengobatan, yakni Sang
Hyang Siwa Mahosadhi termasuk pengayatan kepada Dewi Danuantari dan Bhagawan
Kasyapa. Dengan demikian Palinggih Surya Natah beratap alang-alang ini biasanya ada
di halaman rumah para praktisi usadha.
Ketiga, palinggih Surya Natah yang berbentuk Padmasari. Palinggih tipe ini
berfungsi untuk “Pengoleman” pengundang dalam arti penyawangan/pengayatan
kepada para dewa (baik dewa pratista/manifestasi Tuhan maupun atma pratista/roh
suci leluhur yang sudah menyatu dengan Siwa, amor ing achintya). Jadi fungsi
utamanya untuk melakukan pemujaan ngayat/ngubeng ke seluruh Pura Kahyangan
Tiga, Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat, Dang Kahyangan Jagat, Dang Kahyangan dan
Pura Kawitan. Hal ini menyebabkan palinggih ini berada di tengah masyarakat
secara sederhana disebut stana Dewa Kolem. Dengan demikian, Palinggih Surya Natah
berbentuk Padmasari ini berfungsinya lebih luas melingkupi lintas teritorial dan genealogi, layaknya emanasi kuasa Dewa Siwa atas seluruh arah mata angin dan
tujuan akhir seluruh prosesi penyucian roh. Palinggih tipe ini pada umumnya ada di
natar griya para Sulinggih, yakni di tengah halaman rumah para pendeta yang sangat
erat berhubungan dengan aktivitas pelayanan umat sedharma.
Dengan demikian Palinggih Surya Natah yang menempati zona Siwa Raksa
menjadi tanda simbolis puncak pencarian ke dalam, sebagaimana natah, halamanruang kosong mengikat elemen-elemen masa bangunan dan ruang-ruang yang ada di
sekitarnya, sekaligus beremanasi-memancarkan harmoni keseluruhan penjuru,
menguatkan energi kehidupan bagi seluruh penghuni maupun tamu yang berkunjung
(sarwa prani hita)
3. Konsep Pembangunan Surya Natah dalam Perspektif Kosmologi Hindu
Tata zonasi ruang permukiman masyarakat Hindu-Bali di dataran rendah dan
dataran tinggi menyebutkan bahwa terdapat ruang yang terbangun dan ruang luar
kosong dengan rata-rata prosentase seimbang. Dalam skala perumahan maupun
pemukiman ruang luar selalu hadir dalam tata ruangnya yaitu berupa natah dan lebuh.
Natah dan lebuh dalam konteks symbol dan ritual sebagai wadah keseimbangan antara
purusa (langit) dan pradana (bumi) yang diwujudkan dalam kegiatan ritual pecaruan.
Konsep keseimbangan dalam tata ruang arsitektur Bali, tentunya mengandung ajaranajaran agama yang bersifat kosmologi.
Kosmologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk
alam semesta, mulai dari kelahirannya atau keberadaannya, perkembangannya hingga
kemusnahannya, sebagai suatu sistem yang teratur. Kosmologi dalam agama Hindu
dapat disejajarkan dengan istilah viratvidyā, sebab virat berarti kosmos atau alam
semesta dan vidyā berarti pengetahuan. Jadi, viratvidyā yaitu pengetahuan yang
mempelajari tentang alam semesta. Dalam kosmologi Hindu atau
Viratvidyā menempatkan Tuhan pada posisi pertama dan utama sebagai causa prima,
cikal bakal (sangkan paraning dumadi) dari alam semesta ini
Melihat dari Kosmologi Hindu mengajarkan tentang asal-usul penciptaan dan
perkembangan alam semesta dengan menempatkan Tuhan yang kerap juga disebut
jiwa semesta sebagai asal mula alam semesta ini. Untuk memahami keterkaitan antara
Tuhan sebagai Pencipta dan alam semesta sebagai ciptaan-Nya ada empat status dari
Tuhan Yang Maha Nyata, yang harus dipahami oleh manusia terlebih dahulu, yaitu;
(1) Brahman Yang Mutlak', (2) Isvara ‘Jiwa Yang Berkemampuan’, (3) Hiranya-garbha
Jiwa Alam Semesta', (4) Jagat raya ‘Alam Semesta'. Beginilah pemikir Timur
menafsirkan sifat dari Yang Nyata dan Maha Tinggi. Mandukya Upanişad menguraikan
bahwa Brahman yaitu catuspat 'berkaki empat' atau empat asas, dan keempat asasnya
itu yaitu ; (1) Brahman, (2) Iśvara, (3) Hiranya-garbha, (4) Viraj. Dalam bagian keempat
kitab Taittiriya Upanişad menjelaskan perumpamaan tentang tri-suparna yaitu Tuhan
Yang Maha Mutlak dianggap sebagai ‘sarang’ yang dari padanya muncul ‘tiga ekor
burung’, yaitu; (1) Viraj, (2) Hiranya-garbha, (3) Iśvara. Sedangkan Brahman Yang
Mutlak dibayangkan berada pada diri-Nya sendiri bebas dari ciptaan apapun. Walaupun Brahman itu bebas tak terpengaruh oleh apapun juga namun: (1)
Ketika Dia dianggap menciptakan dirinya sendiri pada alam semesta, Dia disebut Viraj,
(2) Ketika Dia dianggap sebagai Roh yang bergerak ke mana-mana pada alam semesta
ini, Dia disebut Hiranya-garbha, (3) Ketika Dia dipikirkan sebagai Kepribadian Tuhan
yang menciptakan memelihara, dan melebur dunia, Dia disebut Iśvara, dan (4)
Selanjutnya Iśvara menjadi Brahma, Visnu dan Siva ketika fungsi-Nya dibeda-bedakan
(
Kosmologi Hindu memandang kesatuan ruang dalam jagat raya secara
kompleks dan utuh, terhubung satu dengan yang lainnya. Konsep ruang sangat jelas
memiliki logika implikasi seperti tertuang dalam mahavakya Upanisad, sarvam khalvidam
brahman (segalanya yaitu perwujudan Tuhan). Konsep ini sesungguhnya
menyatakan bahwa makhluk hidup dan benda material memiliki keterhubungan atas
energi kosmis yakni Tuhan. Dalam falsafah Hindu Bali sering didengar istilah bhuwana
agung dan bhuwana alit yang terhubung. Sama halnya manusia memiliki kepala, badan
dan kaki, demikian juga alam semesta memiliki konsep kesatuan yang sedemikian
sama
Spiritualitas umat Hindu Bali memiliki kesejajaran konsep dengan
memposisikan unsur hidup dengan alam material yang terhubung, umumnya dikenal
dengan bhuwana agung dan bhuwana alit. Bhuwana agung (alam semesta) yang sangat
luar tidak mampu digambarkan oleh manusia (bhuwana alit), tapi antara keduanya
memiliki unsur yang sama, yakni Tri Hita Karana, oleh sebab itu manusia dipakai
sebagai cerminan. Filosofi Tri Hita Karana digunakan dalam pola perumahan
tradisional Bali yang berupa: a) Parhyangan/Kahyangan tiga sebagai unsur Atma/jiwa;
b) Krama/warga sebagai unsur Prana/tenaga; c) Palemahan/tanah sebagai unsur
Angga/jasad. Filosofi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos dari
macro (bhuwana agung/alam semesta) hingga hal yang paling micro (bhuwana
alit/manusia)
Dalam bentuk bangunan, tentunya memiliki nilai kesatuan yang dapat menjaga
wilayah keharmonisan alam semesta ini yang biasanya terdapat di Lontar Asta Bhumi
yang disebut dengan panca raksa. Panca Raksa yaitu lima wilayah penjaga yang
berada pada sudut tengah pekarangan rumah yang terdiri dari; 1. Sri Raksa: timur
laut/kaja kangin/ersania, lokasi pemerajan atau sanggah, 2. Guru Raksa: disamping
pintu keluar/pamesuan, bangunan suci lebuh, berstana Sanghyang Wisesa, kawisesan
ngalukat sahananing wisya, lara, roga, 3. Durga Raksa: sudut barat daya/kelod
kauh/neriti, lokasi dapur, 4. Kala Raksa: sudut barat laut/ kaja kauh/wayabiya, lokasi
bangunan penunggun
karang, manifestasi ratu anglurah nyoman sakti pengadangan,sebagai kekuatan
daerah setra, danau, sungai, jurang, dikenal memiliki kekuatan dharma dan Wisesa
Piyasaning ring Dewa Sanghyang Wisnu, 5. Siwa Raksa: di tengah pekarangan, bangunan
suci Siwa Reka, manifestasi Ratu Anglurah Wayahan Tebehan, sebagai kekuatan gunung,
hutan, tempat angker, Dewa Rambut Sedana, catus pata, Piyasaning Sanghyang Brahma.
Adapula Paduraksa yang dapat dikaitkan dengan posisi-posisi bangunan yang berada Ngaran dědong sikute, gědongnya pañjangnya satahil, dua pah 5, rwa duma ring watěs.
Elingakěna. Mwang pangalapi kiwunira, mwang ring Parhyangan, ring Sanggar.
Mwang dum pah kutus, ngaran pagěnahan, ring jungut magenah, ingaranan
Padurakşa. Padu, ngaran atěp, rakşa, ngaran tembok. Magěnah ring jungut, ngaran
bucu. saguli, Umungguh lor wetan, ngaran Sārirakşa. Umungguh kidul wetan, Sang
Ajirakşa ngaran. Mungguh ring kidul kulon, Sang Rudreng rakşa ngaran. Mungguh
ring lor kolun, Sang Kalangrakşa ngaran. Ika kukuhing pakarangan paumahan. Yan
patūting sikutnya, satmaka māwak Dewa. Sakalwiring durjana patuh asih, duşta corah
wědi, sarwwa tinandur agèlis murah, ingon-ingon lanus. Yan nora anūt sikute,
satmaka umah Kala, Bhūta, Děngěn. Tan mari ya aněmu gěring mwang pějah. Kala
Bhūta Děngěn padha wani amiruda, mwang anjaga, amiruda, anadah. Ika elingakěna,
aywa nora tanpa dadurakşa. Ika pangukuhing paumahan, panyěngkěr. Yan nora
samangkana agělis pějah sang adrěwe karang paumahan.
Terjemahan :
Ukuran membangun rumah, dan juga parhyangan, sanggar. Lalu kelilingnya
dibagi 8, yang disebut lokasi, yang bertempat pada sudut, disebut Padurakşa.
Padu artinya pertemuan, rakşa artinya tembok. Bertempat di masing-masing
penjuru sudut yang disebut Bucu. Yang bertempat di sudut timur laut disebut
Sāri Rakşa. Yang bertempat.di sudut tenggara Aji Rakşa namanya. Yang
bertempat di sudut barat daya Rudra Raksa namanya. yang bertempat di sudut
barat-laut Kala Raksa namanya. Itulah sebagai penjaga pekarangan rumah.
Kalau sudah benar ukurannya, itu bagaikan perwujudan Dewata. Segala orang
yang bermaksud jahat menjadi sayang, penjahat pencuri takut, segala yang
ditanam cepat berhasil, ternak berkembang biak dengan baik. Kalau tidak
sesuai ukurannya, sepertinya menjadi rumah Kala, Bhuta, Děngěn. Sudah tentu
penghuninya tertimpa sakit, berakhir dengan kematian. Kala, Bhūta, Děngěn
dengan senang hati mengganggu,dan menghadangnya, menyiksa,
memangsanya. Itu hendaknya diperhatikan, janganlah tidak Padurakşa Sebab
itu sebagai penguat pekarangan rumah dan tembok. Kalau tidak demikian
cepat memakai meninggal pemilik rumah.
Berdasarkan uraian dari Lontar Asta Bhumi dengan Kosmologi Hindu, maka
dapat dikaitkan bahwa Surya Natah berada pada Siwa Raksa di tengah pekarangan
rumah yang mampu memberikan energi positif dan negatif untuk menciptakan alam
semesta beserta kehidupan manusia saat ini (ngereka). Hal ini terciptakan dalam bentuk
sebuah palinggih yang berstana sebagai Sanghyang Siwa Reka.
Sanghyang Siwa Reka sejatinya memiliki makna penciptaan di dalam-nya. Asal
Siwa yang berfungsi sebagai pelebur dalam hal ini juga bermakna sebagai penciptaan
yang merupakan bagian dari siklus alam semesta. Reka sendiri bermakna ngereka yakni
menciptakan. Dalam pandangan kosmologi Hindu, Ngereka merupakan sebuah proses
yang terjadi di dalam penataan wilayah pekarangan dan menghubungkan pancaraksa
sebagai komponen yang berada di lima wilayah utama. Posisi-posisi yang terbagi menjadi lima sudut pada arah mata angin akan membentuk aspek penciptaan dan
pada akhirnya menciptakan titik utama yang berada di zona tengah sebagai titik temu
aspek purusa pradana. Sebagai proses (ngereka) penciptaan kehidupan
Purusa dan pradana sebagai dua benih kekuatan awal dalam urutan penciptaan
manusia oleh Hyang Widhi dan membentuk keseimbangan antara kehidupan mental
spiritual dan kehidupan fisik material. Dalam proses ngereka dalam konsep pancaraksa
selanjutnya akan berwujud secara fisik. Berupa Pelinggih Surya Natah. Maka, fungsi
pelinggih surya natah juga sebagai simbolis penjaga kestabilan dan keseimbangan di
dalam pekarangan rumah.
Secara konsep, pelinggih Surya Natah memiliki makna yang bertendensi sebagai
unsur penciptaan alam semesta. Posisi dari pelinggih Surya Natah yang berada di timur
laut, berfungsi sebagai pengijeng natah atau penjaga halaman rumah bagi yang
penghuni tempat ini . Surya Natah dalam kajian kosmologi Hindu merupakan
unsur pertemuan antara dua kutub energi yaitu energi bapa-akasa (maskulin) dengan
energi ibu-pertiwi (feminim). Pertemuan dua kutub energi ini menciptakan (ngreka)
kehidupan, adapun yang menyebutkan palinggih surya natah ini disebut sebagai stana
Sanghyang Siwa Reka. Sanghyang Siwa Reka termanifestasikan sebagai penciptaan yang
berproses dari ngereka. Ngereka ini berhubungan erat dengan proses pancaraksa sebagai
penataan wilayah pekarangan dan komponen-komponen yang berada di lima wilayah
utama. Komponen ini diposisikan menjadi lima sudut arah mata angin yang
membentuk aspek penciptaan di zona tengah sebagai titik temu aspek purusa pradana. Agama diperlukan untuk membantu manusia memaknai berbagai pengalaman
kongkrit dalam menjalani kehidupannya di dunia. Keyakinan terhadap kebenaran ajaran
agama Hindu perlu diperkuat di tengah kehidupan global saat ini. Guna memperkuat
keyakinan terhadap nilai-nilai agama Hindu, diperlukan berbagai kajian fenomenafenomena sains yang dapat mengungkapkan kebenaran ajaran agama Hindu, tujuannya
untuk mempertemukan kebenaran ilmiah dan kebenaran normatif agama melalui
fenomena-fenomena dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Sumber data yang digunakan yaitu data primer yang bersumber
pada literatur/pustaka. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
metode kepustakaan dan dokumentasi. Analisis data fenomena yang terjadi di kalangan
umat Hindu dikaji secara ilmiah melalui teks-teks Hindu dan teks-teks sains. Hasil dari
penelusuran sumber referensi menyatakan bahwa para intelektual dapat membuktikan
unsur-unsur sains dan teknologi yang terkandung dalam ritual Hindu. Agama Hindu
memiliki metode ilmiah untuk memperoleh dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Metode ilmiah ini dinamakan Catur Pramana yaitu pengamatan (pratyaksa),
penalaran (anumana), pemodelan (upamana), dan kesaksian (sabda). Simpulan yang
diperoleh yaitu jika umat Hindu yakin kepada Tuhan maka dapat memahami-Nya
dengan beranalogi dan merefleksi diri pada Kosmologi Hindu yang mempelajari tentang
seluk beluk alam semesta. Pemahaman tentang kebenaran Brahman dan Atman dapat
dilakukan melalui jalan theistic atau scientific (ilmiah) melalui prosedur yang benar.Pembelajaran agama berwawasan fenomena sains bukan hal baru dalam khasanah
pedagogic spiritual Veda. Para ācārya pada jaman Upanisad menjelaskan keberadaan dan
sifat-sifat Brahman, ātman, dan ajaran tattwa lainnya dengan mengambil analogi
fenomena dan konsep-konsep sains. Kondisi ini didukung oleh pandangan Dimana
kebenaran agama dan kebenaran sains tidak semestinya dipertentangkan. Sains hanya
menjangkau kebenaran ilmiah yang bersifat relatif dan probabilistik, sedangkan wahyu
suci Tuhan bersifat absolut. Sementara tafsir keagamaan yang disusun oleh para tokoh
agama juga bersifat relatif tergantung pada sudut pandangnya, waktu, dan tempat.
Setiap mengawali wacana tentang titik temu sains dan agama, dalam pikiran
banyak orang sering muncul dua pertanyaan berikut. Apakah sains dan agama bisa
dipertemukan? Haruskah umat Hindu memilih antara agama dan sains? Pertanyaanpertanyaan serupa akan terus bergulir jika umat Hindu mencoba menelisiknya.
Menurut Hewlett (2005), permasalahan seperti hal ini dapat terjadi disebab kan
perjumpaan agama dan sains selama ini digambarkan oleh para “ekstrimis,” yang tidak
memahami agama dan sains secara utuh. Sains dan agama sesungguhnya memiliki bahan
kajian berbeda dan komplementer . Sains memfokuskan perhatiannya
pada dunia fisik, sedangkan agama pada domain psikis.
Kemampuan berpikir sekali lagi walaupun terbatas mendorong kehausan
intelektual (intellectual curiosity) dan rasa kagum (thauma) terhadap segala ciptaan
Tuhan Keingintahuan dan penyelidikan terhadap aspek fisis alam
menghasilkan sains, sedangkan kekaguman dan penyebab penyelidikan terhadap aspek
psikis memunculkan agama. Berkaitan dengan sains dan agama,
menyebutkan bahwa kedua bidang kajian ini mengakui adanya keterbatasan Bahasa
dan pikiran manusia. Keterbatasan untuk mencapai kesempurnaan inilah yang semestinya
dijadikan landasan untuk bekerjasama di antara agamawan dan ilmuwan.
Sains menjanjikan kemudahan dan kenikmatan hidup. Sedangkan agama
menuntun hidup yang benar. Memang, sains bermaksud menyingkap misteri dan
ketidakpastian dunia, namun upaya ini tidak pernah berakhir. Misteri dunia tidak
mungkin terpecahkan ileh ilmuwan sendiri sebab keterbatasan nalar dan peralatan yang
dimilikinya. Selain keterbatasan-keterbatasan ini , sebagaimana disebutkan oleh
Max Plank, sains tidak akan memecahkan misteri alam semesta sebab pada analisis
terakhir umat Hindu (ilmuwan) akan menjadi misteri yang hendah dipecahkan. Hal
senada juga disampaikan oleh fisikawan yang menyatakan, “Kita tak dapat
berbicara tentang alam, tanpa membicarakan diri kita sendiri pada saat yang sama.” Di
sisi lain agama yang selalu mempromosikan diri sebagai ajaran yang lengkap dan
sempurna, justru tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan atas berbagai
fenomena alam dan sosial yang terjadi di masyarakat.
Setiap orang yang rindu akan pencerahan akan kehidupan, sudah saatnya
menyadari pentingnya kebebasan dalam berpikir, namun tetap pada kesadaran bahwa
manusia hanya mahkhluk Tuhan yang tak sempurna, yang sewaktu-waktu bisa salah
dalam menafsirkan wahyu suci Tuhan. Manusia dilengkapi dengan keterbatasan. Mata
manusia hanya dapat memandang benda-benda yang memancarkan atau memantulkan
Cahaya tampak. Mata manusia memiliki batas sensitivitas antara Cahaya ungu sampai
dengan Cahaya merah (Panjang gelombang 400-800nm). Diluar batas ini manusia
tidak dapat melihat (Sastrohamidjojo, 1988). Begitu juga dengan Indera pendengaran
manusia, telinga hanya mampu mendengar hanya gelombang suara audiosonik dengan
frekuensi 20-20.000 Hertz. Di luar frekuensi ini , manusia tidak mampu
mendengarkannya. Daya nalar manusia pun juga terbatas.Hindu menggunakan epistemologi catur pramana (empat logika penentuan
kebenaran), yaitu pertama kebenaran logis harus merujuk kepada kebenaran referensi
teks pustaka suci (sabda pramana atau wahyu pramana); kedua, kebenaran logis juga
harus merujuk pada penalaran akal sehat atau anumana pramana yaitu kebenaran dapat
diterima oleh kebenaran akal sehat; ketiga pengetahuan yang diperoleh melalui analogia
dan simbolik (upamana Pramana); dan keempat, yaitu praktiaksa pramana, yaitu
kebenaran logis yang mirip dengan pendekatan positivistik yang kebenarannya diperoleh
berdasarkan hasil praktik laboratorium atau hasil uji klinis yang didukung oleh
kemampuan pañca indria.
Kebebasan berpikir secara ilmiah sebagaimana disampaikan oleh termasuk pendapat yang berlawanan dengan pandangan agamawan, jangan
sampai dikekang, sebab tafsir yang mereka anut juga merupakan hasil olah pikir manusia.
Umat Hindu meski yakin, pada akhirnya setiap pengetahuan hasil usaha menemukan
kebenaran ilmiah akan mempunyai titik temu dengan wahyu suci Tuhan. Sebagaimana
disampaikan saintisme dan theisme memang berhadap-hadapan namun
dapat dipadukan untuk bersalaman dan bekerja sama. Ibarat tangan, jempol memang
berbeda dengan jari-jari lainnya, namun perbedaan itu justru bertujuan memperkuat
genggaman tangan umat Hindu. Kesadaran inilah yang semestinya dimiliki oleh para
agamawan dan ilmuwan.
Sejalan dengan pertemuan kebenaran ilmiah dan kebenaran normatif agama, para
wasumat Hindu Hindu memandang hanya ada satu kebenaran sejati, namun orang
bijaksana memformulasikan dan menyebutnya dengan banyak nama. Ekam sat viprā
bahudhā vadanti (Rgveda I.164.46), dan bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa
(Kekawin Sutasoma). Pemikiran manusia, baik pandangan ilmiah maupun keagamaan,
tak pernah mencapai titik final. Kebenaran dan Tuhan (Sat) tidak pernah menolak dari
manapun umat Hindu mendekatinya. Apakah lewat jalan theistic atau scientific (ilmiah)
jika itu dilakukan dengan prosedur yang benar (Suja, 2010). Guna memperkuat keyakinan
umat Hindu terhadap nilai-nilai agama yang dianut, maka diperlukan berbagai kajian
fenomena-fenomena sains dalam kehidupan sehari-hari manusia yang dapat
mengungkapkan kebenaran ajaran agama Hindu.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber data yang digunakan
yaitu data primer yang bersumber pada literatur/pustaka. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan metode kepustakaan dan dokumentasi. Analisis data
fenomena-fenomena sains dalam kehidupan sehari-hari manusia yang dapat
mengungkapkan kebenaran ajaran agama Hindu dikaji secara ilmiah melalui teks-teks
Hindu dan teks-teks sains.
Hasil dan Pembahasan
1. Paradigma Sains dalam Agama Hindu
Dalam tradisi Veda, sains dan spiritual bukanlah hal yang bertolak belakang.
Sebaliknya, saling mendukung. Ketika teori-teori sains berkembang, teori teori tantra
yang semula dianggap bersifat mistis justru mendapat pijakan ilmiah, dan terbukti
kebenarannya. Para spiritualis yang menjalankan sadhana (latihan spiritual) mampu
melakukan transformasi materi menjadi energi, dan sebaliknya; bahkan berpindah ke
tempat lain menyamai kecepatan cahaya. Ini yaitu fenomena mekanika gelombang
sebagai dasar fisika modern. Segala sesuatu, termasuk badan manusia memancarkan
gelombang fisik dan psikis (Wiyatmo, 2004). Menurut pandangan fisika kuantum, dunia (makroskosmos dan mikroskosmos)
tersusun atas molekul-molekul, atom-atom, dan partikel subelementer yang senantiasa
bergerak, bagaikan tarian energi kosmis (Siva Nataraja). Partikel-partikel materi (tan
matra) juga menampakkan sifat gelombang, yang baru bisa dikenali dan dipahami oleh
para ahli fisika pada awal abad ke-20. Padahal para yogi telah memahaminya ribuan tahun
yang lalu
Ritual bagi umat Hindu yaitu perwujudan nyata dari kepercayaan umat Hindu.
Selama ini ritual hanya dinilai sebatas aktivitas kepercayaan belaka yang tidak memiliki
ranah dan hubungan dengan pengetahuan ilmiah. Oleh sebab itu, para intelektual dapat
melakukan kajian ilmiah terhadap ritual yang bertujuan untuk membuktikan unsur-unsur
sains dan teknologi yang terkandung dalam ritual Hindu. Wiana menyatakan bahwa
mantram yaitu alat kendali pikiran. Pikiran yang selalu liar dapat diikat dan kemudian
dikendalikan dengan cara mendengarkan mantram yang terus-menerus diucapkan baik
diucapkan dalam hati ataupun diucapkan secara keras-keras. Rahasia tentang keampuhan
mantra ini telah diketahui oleh para Rsi Hindu sejak beberapa ribu tahun yang lalu.
Belakangan ini setelah ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang para
ilmuwan mulai percaya dengan keampuhan mantram itu. Jadi mantram sesungguhnya
yaitu suatu teknologi tingkat tinggi yaitu teknologi gaib yang mampu meningkatkan
energi gaib dalam diri sendiri (mikrokosmos) maupun energi alam semesta
(makrokosmos).
Masaru Emoto , seorang ahli dari jepang telah meneliti tentang air dan hasil
penelitiannya telah ditulis dalam bentuk buku dengan judul The Miracle of Water. Hasil
penelitiannya sangat menakjubkan dan membuat para ahli ilmu pengetahuan modern
terheran heran mendengar serta melihat hasil penelitiannya itu yang menggunakan
perspektif baru dalam bidang ilmu pengetahuan.
Masaru Emoto sampai pada suatu kesimpulan bahwa air memiliki perasaan
sebagaimana manusia. Apa yang dilakukan oleh Emoto sangat menarik, dalam
penelitiannya ia mula-mula menempatkan beberapa cc air dalam 4 gelas dan tiap gelas
diberikan kata-kata tertentu dan juga dilengkapi tulisan dengan kata-kata tertentu juga.
Dalam penelitiannya, masing-masing gelas diberi kata-kata yaitu “happy”, “unhappy”, “I
like”, dan “you are stupid” dan sebagainya. Kemudian air itu dibekukan pada dalam suatu
alat pendingin sampai pada suhu beberapa derajat Celcius di bawah nol. Hasilnya
sungguh menakjubkan, air itu yang telah berbentuk kristal itu setelah dilihat dalam alat
fotografi yang menggunakan lensa optik pembesaran 200X, maka Masaru Emoto
menemukan bentuk kristal Hexagonal yang sangat bervariasi dari air yang telah
dibekukan itu.
Masaru Emoto (2007) melalui hasil penelitiannya yang telah dilakukan secara
berulang-ulang, maka ia kemudian menyimpulkan bahwa doa (mantra) dapat
menciptakan rasa bahagia khususnya melalui pengucapan do secara benar. Emoto
menjelaskan bahwa sesungguhnya dapat dipahami mengapa fenomena perwujudan
Kristal air itu dapat terjadi, hal itu sesuai dengan konsep energi yang disebabkan oleh
vibrasi. Sebagaimana diketahui bahwa segala sesuatu memiliki vibrasi, entah ia mahluk
hidup atau benda mati semuanya memiliki vibrasi. Demikian juga kata-kata baik
diucapkan secara keras maupun diucapkan dalam hati semua kata-kata itu akan
bervibrasi. Vibrasi mantram atau kata-kata itulah yang menghasilkan energi yang dapat
mempengaruhi setiap partikel sub-atom (electron) atom dari air, udara dan sebagainya.
Hal ini terbukti benar sebagaimana hasil penelitian Masaru Emoto. Menyimak hasil
penelitian Masaru Emoto di atas, dan beberapa ilmuwan lainnya, maka semakin jelas
bahwa hasilhasil penelitian mereka menunjukkan kebenaran konsep-konsep pengetahuan
Hindu yang memandang bahwa alam semesta merupakan satu kesatuan yang secara keseluruhan diresapi oleh kesadaran Tuhan. Alam semesta yang paling dekat dengan
manusia yaitu bumi beserta isinya, semua benda-benda termasuk semua mahluk
terbangun dari unsur materi atau prakrti (materi fisik) dan di balik materi fisik terdapat
suatu yang metafisik. Prakrti atau materi yaitu energi Tuhan Yang Mahaesa yang
bersifat lebih rendah. Menurut Vedanta, alam material tidaklah bebas, ia bekerja di bawah
arahan Tuhan Yang Mahaesa, hal ini relevan dengan pernyataan Bhagavadgìtà . Oposisi biner dari kata Prakrti yaitu Purusha yaitu kesadaran penuh. Jadi Prakrti
tampak seperti berkesadaran ketika bersentuhan dengan Purusha, oposisi biner ini kerap
dituangkan menjadi konsep pauruûha-pradhàna.
Fisika kuantum telah membangkitkan isi-isu penting di seputar hubungan antara
hukum dengan kebetulan, bagian dengan keseluruhan, seerta pengamat dengan objek
yang diamati. Lebih dari itu prinsip ketidakpastian Heisenberg dalam teori kuantum telah
mengangkat wacana seputar sains dan agama. Pandangan sains tentang alam yang semula
didasarkan pandangan Newtonian yang bersifat deterministic (pasti), bergeser menjadi
probabilistic (peluang). Menurut prinsip ini , semakin akurat menentukan posisi
sebuah electron dalam suatu atom, semakin tidak akurat dalam menentukan
momentumnya. Demikian pula sebaliknya. Ketidakpastian juga berlaku juga untuk semua
pasangan variabel, seperti energi/waktu, wadah/isi, filosofis/ritual, dan sebagainya.
Ketidakpastian disebabkan oleh objek alam dan pengamat masih dalam proses menjadi.
Variabel proses merupakan keterbatasan, yang tidak memungkinkan untuk memastikan
sebab yang pasti itu yaitu peluang.
Uraian-uraian di atas relevan dengan beberapa teori-teori fisika, yaitu Teori
Elektromagnetisme, Teori Gelombang Materi, Teori Kondensasi, Teori Osilasi, Teori
Vibrasi, dan Teori Fisika Energi atau Fisika Kuantum sebab dalam teori-teori ini
dapat memaparkan secara terperinci tentang hubungan materi dengan energi, sebab
materi bisa berubah wujud menjadi energi, dan demikian sebaliknya energi pada saat yang
lain juga dapat berubah wujud menjadi materi. Berdasarkan landasan sains terdapat
beberapa teori penciptaan alam semesta seperti teori Big Bang, keadaan Tetap (steady
state theory), teori kabut (nebula), planetisimal, teori radiasi dasar gelombang mikro
kosmik. Sedangkan dalam konsep Hindu terdapat beberapa teori-teori dalam berbagai
literatur Hindu mengenai penciptaan alam semesta. Berdasarkan beberapa ayat Veda Sruti
seperti dalam RgVeda dan juga Atharwa Veda. Sedangkan, dalam Purana, dipaparkan
penciptaan alam semesta dalam Bhagawata Purana yang dimana penciptaan alam
semesta dibagi menjadi dua fase, pertama penciptaan alam semesta oleh Visnu/Narayana,
fase kedua penciptaan alam semesta material oleh Dewa Brahma yang lahir dari pusar
Visnu. Selain itu, dalam lontar Bali yakni Buwana Kosa juga dikisahkan penciptaan alam
semesta. Menurut lontar ini Tuhan disebut Bhatara Siwa (Siwaistik). Bhatara Siwa
bersifat transenden dan immanen atau impersonal dan personal. Bhatara Siwalah menjadi
sumber segala dan menjadi segala serta ternpat kembalinya segala itu
Aktivitas ritual yaitu aktivitas energi, sebab itu teori-teori di atas relevan untuk
dijadikan pisau bedah. Teori ini akan digunakan untuk menganalisis alasan sains dan
teknologi mengapa umat Hindu menggunakan sarana tertentu dalam prosesi ritual, seperti
alasan menggunakan kulkul, gamelan, kidung, genta, dan mantra.
Donder (2005) menguraikan bahwa, esensi bunyi gamelan dan sebagainya, tidak
bisa terlepas dengan teori Mekanika Gelombang sebagai bagian dari ilmu Fisika, sebab
bunyi hanya akan dapat dipahami dengan jelas manakala dijelaskan dengan teori ini.
Dengan mengutip pandangan Acarya Cidananda Avandhuta sebagaimana dipetik oleh
Wiyatmo, menguraikan bahwa menurut pandangan ilmu fisika, bahwa dunia alam
semesta ini tersusun atas molekul-molekul, atom-atom, zarah-zarah sub atomik yang bervibrasi. Zarah-zarah ini saling berinteraksi, menghasilkan zarah baru dan memusnahkan
zarah lainnya. Bagaikan tarian energi kosmik (siwa nataraja atau tandawa) dengan irama
kelahiran, kehidupan, dan kematian, semua proses itu merupakan penyusun utama
seluruh alam semesta (Acarya Cidananda Avandhuta dalam Wiyatmo, 2004).
Konsep ini dikenal sebagai Fisika Kuantum pada abad modern, yang
dikembangkan oleh Albert Einstein, Neils Bohr, dan Werner Heisenberg pada
pertengahan abad ke-20. Pada semua pelaksanaan upacara yang menggunakan api,
Agnihotra yaitu dasarnya yang diuraikan dalam Veda. Agnihotra merupakan ritual Veda
yang bersifat holistik tidak hanya bermakna religius-spiritual-magis, namun juga
berkaitan dengan berbagai hal yang memiliki dimensi sains dan teknologi, seperti;
bioenergi, psikologi, obat-obatan, pertanian, biogenetik, mikrobiologi dan komunikasi
interplanet (Paranjape dalam Jendra, 1999). Dalam berbagai sumber pemberitaan, ritual
Agnihotra dinyatakan memiliki multi fungsi antara lain; psikoterapi, rekayasa biogenetik,
planologis, multi terapi. Terdapat informasi bahwa ribuan orang, umumnya dari Amerika
Utara, Amerika Selatan, Eropa Barat, dan Eropa Timur, telah mendapatkan kesembuhan
dan manfaat lainnya dari terapi Agnihotra atau Homa. Masih banyak lagi manfaat
Agnihotra itu, antara lain bahan-bahan yang telah menjadi abu di dalam api persembahan
itu dapat dijadikan sebagai; kapsul, bubuk, kream, untuk terapi atau pengobatan; sakit
telinga, hidung, tenggorokan (THT), dan lain-lainnya. Abu Agnihotra inilah yang dapat
dimanfaatkan secara maksimal dalam berbagai kesulitan, keluhan, dan aneka penyakit.
Kesimpulannya yaitu bahwa Agnihotra merupakan pendekatan holistik terhadap hidup
dan kehidupan terutama pada zaman IPTEK yang telah banyak membawa dampak negatif
dalam perikehidupan manusia (Paranjape dalam Jendra, 1999).
2. Catur Pramana sebagai Metode Ilmiah Hindiusme
Hindu mengagungkan ilmu pengetahuan sebagai anugerah Tuhan untuk dapat
didaya gunakan dengan baik oleh manusia sehingga dapat mempermudah manusia dalam
kehidupannya (Sumertini, 2021). namun kembali lagi kepada azas tunggal yang tidak
dapat diabaikan bahwa setiap hal harus dilakukan berdasarkan dharma, sehingga
keseimbangan hidup dapat dicapai yang menuju pada tercapainya tujuan hidup dalam
agama Hindu yaitu “Mokshartam Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”. Ajaran Veda bersifat
terbuka, sebagaimana digambarkan dengan ardhacandra dalam Pranava. Ruang lingkup
ajaran Hindu telah dikelompokkan dalam tiga kerangka pokok, yaitu tattwa, Susila, dan
ritual. Tattwa merupakan tiang utama, sekaligus fondasi bagi kedua kerangka yang
lainnya. Pengamalan agama tanpa pijakan tattwa yang kuat, ibarat Gedung dibangun di
atas pasir, yang mudah roboh jika dilanda banjir atau angin , Berkaitan
dengan yajna tanpa dukungan tattwa, Brhadaranyaka Upanisad menyebut hanya akan
menimbulkan kegelapan (timira), dan lontar Yajna Prakrti mengingatkan sebagai Kesiasiaan belaka.
Disamping berpedoman pada tattwa yang bersumberkan pada wahyu suci Tuhan,
Hindu juga memiliki umat Hindub-umat Hindub filsafat (Darsana). Salah satu filsafat
Veda yang dikenal dengan Nyaya Darsana. Filsafat Nyaya sesungguhnya merupakan
system pemikiran realistik, eksistensi benda-benda atau objek tidak tergantung
(independent) pada pengetahuan dan pikiran pengamat (subjek). Ruang lingkup filsafat
Nyaya dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu teori pengetahuan, teori dunia fisika,
teori jiwa individual dan kelepasan, serta teori tentang Tuhan
Epistemologi Nyaya memaparkan tentang empat cara untuk memperoleh dan
mengembangkan ilmu pengetahuan yang dapat umat Hindu sebut sebagai metode
ilmiahnya Hindu. Keempat cata ini dinamakan Catur Pramana (Maswinara, 1998),
yaitu pengamatan (pratyaksa), penalaran (anumana), pemodelan (upamana), dan
kesaksian (sabda). Uraian keempat cara ini dapat dipaparkan sebagai berikut.
a. Pratyaksa Pramana
Cara untuk memperoleh pengetahuan melalui pengamatan langsung terhadap
suatu objek dengan atau tanpa menggunakan alat bantu. Berkaitan dengan Pratyaksa
pramana, Filsafat nyanya mengajarkan empat faktor yang mempengaruhi kebenaran data
yang diperoleh lewat pengamatan yaitu (1) keadaan subjek pengamat (2) keadaan objek
yang diamati (3) keadaan hasil yang diinginkan serta (4) keadaan alat dan cara untuk
mengamati Pemerolehan pengetahuan lewat pratyaksa pramana menggunakan metode
induktif. Tingkat pengamatan ada dua macam yaitu: Nirvikalpa (presepsi tak pasti) dan
savikalpa (perspesi pasti) Nirvikalpa maksudnya pengamatan tanpa penilaian dan
hubungan dengan subjek, sebaliknya savikalva menyangkut pengenalan secara mendalam
tentang ciri-ciri dan sifat objek yang diamati. Objek pengamatan tidak hanya bersifat
substansif materil namun juga tentang tingkah laku (praverti). Dalam proses pengamatan,
alat indera pengamat memiliki hubungan khusus dengan objek sasaran (Sumawa, 1996)
Hubungan antara alat indera dengan objek menimbulkan adanya persepsi. Persepsi yang
muncul dari hubungan langsung antara alat indra dengan objek sasaran disebut persepsi
biasa (laukika) sedangkan persepsi yang muncul dari hubungan tidak langsung,
menggunakan media tertentu disebut perspsi luar biasa (alaukika). Perspsi biasa dibagai
menjadi dua sesuai dengan alat panca indra yang dipakai. Penggunaan panca indera
(indera luar) untuk mengamati objek tertentu berkaitan dengan unsur pembentuk dan
organ alat indra ini . Mata hanya mampu menangkap sinar tampak untuk dapat
melihat warna dan bentuk benda.
b. Anumana Pramana
Cara untuk memperoleh pengetahuan melalui analisis terhadap gejala-gejala yang
diamati. Anumana pramana menjadi sangat penting sebab tidak semua objek
pengamatan bersifat kasat mata, walaupun tetap kasat logika. Pemorelahan pengetahuan
dengan anumana pramana melalui lima tahapan kegiatan (silogisme) sebagai berikut: 1)
Pengenalan gejala yang teramati, misalnya dari kejauahan tampak gunung mengepulkan
asap 2) Pengenalan atas faktor umum penyebab gejala ini misalnya asap ditimbulkan
oleh api. 3) Menyusun hipotesis berdasarkan gejala atau fenomena yang diamati,
misalnya gunung ini mengeluarkan asap berarti ada api di dalamnya 4) Menerapkan
aturan umum ini pada objek yang diamati, misalnya api ini berasal dari letusan
yang dikeluarkannya 5) Merumuskan simpulan akhir, misalnya gunung ini termasuk
gunung berapi. Dengan demikian pemerolehan pengetahuan lewat anumana pramana
menggunakan metode deduktif.
c. Upamana Pramana
Cara untuk memperoleh pengetahuan dengan membandingkan suatu objek yang
akan dipelajari berdasarkan objek lain yang sudah dikenal termasuk dari persamaan dan
perbedaan. Kebenaran pengetahuan yang diperoleh dengan cara seperti sangat tergantung
dengan variabel yang dibandingkan. Semakin banyak variabel yang diteliti semakin besar
peluang kebenarannya. Termasuk upamana pramana yaitu pengetahuan yang yang
diperoleh lewat analogi dan simbolik. Sebagai sebuah contoh seseorang belum mengenal
harimau, dapat diberikan informasi bahwa harimau mirip kucing, namun jauh lebih besar.
Jika suatu saat dia pergi kekebun binatang. Maka dia langsung mengenali harimau hanya
dengan melihat kemeiripannya dengan kucing ini . lebih lanjut penggunaan simbol
dan analogi sangat diperlukan dalam pembelajaran sains mengingat tidak semua objek
mata pelajaran agama dapat diamati secara kasat mata
d. Sabda Pramana
Cara untuk memperoleh pengetahuan dari kesaksian yang dapat dipercaya. Dua
sumber otentik yang dimaksud yaitu kesaksian dari orang yang dapat dipercaya. Dua
sumber otentik yang dimaksud yaitu kesaksian dari orang yang dapat dipercaya (laukika sabda dan kebenaran yang diwahyukan langsung oleh Tuhan dalam pustaka suci (waidika
sabda/pemerolehan pengetahuan lewat sabda pramana sangat penting untuk memahami
kebenaran akan objek yang tidak kasat mata, namun kasat logika sebagai sebuah contoh,
mengakui kebenaran ungkapan yang disampaikan oleh para ilmuwan yang menyatakan
bahwa garam dapur dibentuk dari reaksi unsur natrium (beracun) dengan gas klor
(beracun) Pada proses pembentukan garam dapur murni terjadi transfer electron dari
atom-atom logam natrium menuju molekul-molekul gas klor, sehingga terbentuk ion
positif (kation) natrium dan ion negatif (anion) klorida. Kedua jenis ion yang bermuatan
berlawanan ini tidak bersifat racun lagi dan saling berikatan satu dengan lainnya
dalam struktur isi kristal berbentuk kubus. Pandangan ilmuwan ini umat Hindu
sebagai sebuah kebenaran. Kebenaaran itu bisa diketahui siswa dari gurunya (gurutah)
atau dari dokumen sastra (sastratah) hal senada juga terjadi pada penerimaan umat Hindu
terhadap penjelasan tentang tentang jiwa dalam pustaka suci. Walaupun tidak pernah
melihat jiwa, namun umat Hindu percaya ada sesuatu yang menyebabkan mahkluk itu,
hidup dan mati jika ditinggalkannya. Akhirnya menurut filsafat Nyaya sesuatu dinyatakan
benar jika sesuai dengan kenyataan (korespodensi) atau dapat diterima dengan penalaran.
3. Memahami Brahman Lewat Sains.
Dalam banyak agama, keberadaan dan hakikat Tuhan ada dalam zone yang tidak
boleh diperbincangkan, jika tidak ingin disebut murtad. Tuhan Berwujud Suprapersonal
yang mengawasi seluruh prilaku manusia. Doa senantiasa siap memberikan berkah bagi
mereka yang tunduk dan patuh kepada Tuhan, namun sebaliknya menghukum mereka
yang melanggar larangan-larangannya. Di sisi lain, sains modern dan spiritual Vedanta
menghayati Brahman sebagai impersonal God yang mengatur alam semesta lewat
hukum-hukumnya. Bahkan, Dia sendiri lewat awatara-awatara-Nya juga memberikan
contoh tentang ketaatan terhadap hukum-hukum-Nya itu, walaupun tidak ada kekuatan
lain yang mampu menghalangi-Nya
Berkaitan dengan Brahman, dalam Chandogya Upanisad VI.13.1-2. Terdapat
percakapan yang sangat menarik tentang keberadaan-Nya Dimana-mana. Disebutkan,
Bhagawan Uddalaka memberikan petunjuk kepada anaknya, Svetaketu, agar melarutkan
garam ke dalam air. Melalui anumana dan upamana Pramana berbasis sains, sang ayah
menjadikan percobaan yang dilakukan oleh putranya itu sebagai wahana untuk
menjelaskan bahwa Brahman sesungguhnya ada di sini, namun sang anak tidak mampu
melihat-Nya, sama seperti ketidakmampuan manusia melihat garam di dalam air. Hal
senada juga dipaparkan dalam Svetasvatara Upanisad I.13-14, yang menganalogikan
Brahman bagaikan minyak di dalam santan, dan api di dalam kayu. Hanya dengan yoga
semuanya akan tampak. Nasehat ini juga dapat ditemukan dalam kakawin Arjuna Wiwaha
XI:1. Ring angambeki yoga kiteng sakala.
sebab keterbatasan kemampuan alat-alat Indera yang manusia miliki, Brahman
menjadi tidak kasat Indera, walaupun tetap kasat logika. Perumpamaan Brahman sebagai
matahari tampaknya merupakan model upamana Pramana yang sangat tepat. Siapa pun
tidak mampu melihat matahari dengan mata fisik sebab dia berupa gugusan gas berpijar.
Matahari dikenali dari sinar yang dipancarkannya ke bumi. Demikian juga dengan
Brahman. Lewat sinar-sinar suci-Nyalah (dewa) umat Hindu memuliakan Beliau.
Para ilmuwan mengetahui setiap sinar yang dipancarkan oleh matahari berbeda
pengaruhnya terhadap bumi dan kehidupan yang ada di atasnya, sebab itulah diberikan
nama berbeda. Sejalan dengan itu, dewa-dewa dalam Veda diberikan nama berbeda-beda
sebab mempresentasikan kekuatan dan peran berbeda pula. Setiap sinar matahari
memiliki energi dan fungsi tertentu. Hal yang sama juga tampak pada sinar-sinar suci
Tuhan. jika dilewatkan pada sebuah prisma kaca, atau juga setetes embun, Cahaya matahari akan terurai menjadi warna warni: merah, jingga, kuning, hijau, biru nila, dan
ungu. Cahaya ssuci-Nya akan terkait dengan warna-warna tertentu. Dewa Brahma
disimbolkan dengan warna merah, Siwa putih, Mahadewa kuning, dan seterusnya.
Pertanyaan yang sering muncul dari umat beragama lain, jika dewa-dewa itu tidak
lain yaitu sinar suci Tuhan, yang satu, mengapa tidak disebut Tuhan saja? Tidak perlu,
dan jangan diberikan nama lain lagi, apalagi dipersonifikasikan. Andaikata penghayatan
dipandang salah, penghayatan para ilmuwan tentang sinar pun tidak dapat dibenarkan.
Dalam hal ini, umat Hindu hendaknya dapat membedakan antara pengertian hakikat,
pengertian penghayatan, dan pengertian praktis; yang semuanya itu tidak boleh
dicampuradukkan. Umat Hindu secara tattwa (hakikat) meyakini adanya satu Tuhan,
sebagaimana diungkapkan dalam Chandogya Upanisad IV.2.1, “Ekam evadvityam
Brahman.” Tuhan hanya satu, tidak ada yang kedua. Di sisi lain, untuk keperluan praktis,
umat memuja Beliau lewat sinar-sinar suci-Nya, sehingga memunculkan hubungan
khusus antara penyembah dengan Istadewata pujaannya. Keadaan ini dapat dibenarkan,
sebagaimana disebutkan dalam Rgveda I.1964.46, “ekam sad vipra bahudha vadanty.”
Artinya, Tuhan itu satu, hanya orang-orang bijaksana menyebut dengan banyak nama,
Tuhan menjadi jamak; namun sebab tidak bijaksanalah orang-orang
mempertentangkannya.
Selajutnya pengetahuan mengenai Brahman atau Tuhan pada dasarnya dipandang
masuk kedalam sebuah kajian yang disebut dengan teologi. Kata teologi yang memiliki
pengertian sebagai ilmu tentang Tuhan secara etimologi dipadankan dengan istilah
Brahmavidya dalam keyakinan Hindu. Brahma yang memiliki arti Tuhan dan Vidya
artinya pengetahahuan. Sehingga Brahmavidya sesuai jika dipadankan dengan teologi
sebagai sebuah kajian untuk dapat memahami Tuhan secara mendalam. Dalam kajian
Brahmavidya pengetahuan tentang Tuhan yang tidak beratribut masuk kedalam wilayah
pengetahuan paravidya, pada wilayah paravidya pengetahuan tentang Tuhan disebut
Nirguna Brahman sedangkan dalam wilayah aparavidya Tuhan disebut dengan Saguna
Brahman. Tuhan dalam konsep Nirguna Brahma tidak memiliki bentuk tertentu, tidak
memiliki nama tertentu serta tidak dapat dibayangkan sebagai sesuatu apapun, sebab
Brahman bukanlah ini dan itu (neti-neti) yang mirib dengan istilah barat Impersonal God.
Selama kita memberi nama apapun, maka nama itu, entah nama suci ataupun tidak suci
maka itu telah mendefinisikan Tuhan yang tak terabatas, Tuhan yang maha segalanya, ke
dalam hal-hal yang terbatas. Hal ini tidak mungkin, oleh sebab itu Brahmavidya
“pengetahuan tentang Tuhan” pada wilayah ini tidak mengizinkan pemujanya untuk
membayangkan Tuhan sebagai apapun (Donder, 2009).
Sedangkan wilayah pengetahuan Saguna Brahman yaitu Brahman yang sudah
mendapatkan pengaruh maya yang sering juga disebut aparabrhaman. Dalam berbagai
sumber khususnya lontar-lontar tatwa yang terdapat di Bali dikelan dengan istilah Sada
Siwa. Dalam wilayah Saguna Brahman Tuhan juga disebut sebagai Tuhan yang imanen.
Dalam Kamus Besar Bahsa Indonesia (KBBI) kata imanen berada dalam kesadaran atau
dalam akal budi (pikiran). Tuhan dalam bentuk yang imanen artinya Tuhan dalam sifatnya
yang terjangkau oleh akar pikiran manusia. Diantara berbagai wilayah teologi, maka
teologi Saguna Brahma atau teologi yang mengenakan kepada Tuhan berbagai macam
atribut yang juga dapat disebut sebagai theology personal God, yaitu wilayah teologi
yang paling mudah untuk didekati oleh nalar manusia. sebab itu dalam wilayah teologi
ini peran otak, nalar atau akal menjadi sangat penting dan perlu dihargai (Donder, 2009:
39). Sebagai manusia yang memiliki keterbatasan akibat pengaruh maya yang
menyeliputi seluruh indria, tentu akan sangat sulu untuk dapat memahami Tuhan dalam
wilayah Nirguna Brahman. Maka dari itu, kajian mengenai Tuhan yang dapat dijangkau
oleh manusia yaitu terletak pada wilayah Saguna Brahman, dimana dalam wilayah ini Brahman telah memiliki atribut sehingga manusia dapat lebih mudah untuk dapat
memahami dan menyadari keberadaan dari Tuhan itu sendiri. Dalam melakukan perannya
sebagai pengatur alam semesta, Tuhan memanifestasikan diri sebagai Tri Murti, yang
secara harfiah bermakna tiga wujud suci Tuhan. Ketiga wujud suci ini yaitu
Brahma, Visnu, dan Siva. Kata Brahma berasal dari urat kata brh, yang artinya tumbuh,
berkembang, berevolusi. Yang bertambah besar, yang meluap dari diri-Nya. Hal ini
diibaratkan dalam Mundaka Upanisad, bagaikan seekor laba-laba membuat rumah
dengan benang-benang sutra yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Kelak benangbenang itu akan ditarik Kembali ke dalam tubuhnya, bagaikan pralaya menimpa jagat ini.
Dewa Brahma mampu menciptakan dunia sebab memiliki kekuatan (sakti), yaitu
Dewi Saraswati. Saraswati berasal dari kata saras berarti mengalir, dan wati bermakna
sifat. Jadi Saraswati yaitu sesuatu yang bersifat mengalir. Lalu apalah yang sifatnya
mengalir? Di jagat raya yang agung, yang bersifat kasat mata (sekala) ada air, sedangkan
di alam niskala yang abstrak, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaanlah yang bersifat
mengalir, sehingga sering direpresentasikan dengan ungkapan banyupinaweruh
(banyupinaruh). Selain berpengetahuan, pencipta juga berpandangan luas (Catur Muka),
serta memiliki energi, kemauan, dan kehendak yang dilambangkan dengan api. Api atau
agni keluar dari tapa, dan lewat tapa Brahma menciptakan alam semesta (Brahmanda)
beserta isinya. Ungkapan Brahmanda, telur Tuhan,” juga memberikan petunjuk bahwa
alam semesta ini berbentuk bulat pipih, tidak datar ,
Merah yaitu warna api, warna kekuatan dan proses penciptaan. Proses
penciptaan bercirikan warna merah di ufuk timur, demikian pula terciptanya malam
diawali dengan warna merah di ufuk barat. Manusia juga tercipta diawali dengan warna
merah, bahkan untuk menginjak dewasa pun bagi anak-anak putri juga ditandai dengan
merah. Merah yaitu warna pertama, panjang gelombang tertinggi yang dapat manusia
lihat.
Kata Visnu, memiliki makna meresapi segalanya, sebab Dia memang meresap ke
dalam seluruh ciptaan-Nya. Dia bersifat wayapi wyapaka, sehingga tepat jika disebitkan
bahwa Isvarah sarva bhutanam. Tuhan ada pada segala ciptaan-Nya sebab Dia meresap
ke dalam Ciptaannya itu. Ibarat warna hitam, yang menyerap segala jenis Cahaya yang
jatuh kepadanya, demikian Sri Visnu terserap ke seluruh makhluk ciptaan-Nya. CiptaanNyalah yang menjadi badan-Nya. Untuk dapat memelihara kehidupan, Visnu hadir
dengan kekuatan sakti-Nya, yaitu Sri Laksmi, Sang Dewi yaitu penguasa kesejahteraan,
kemakmuran, dan segala bentuk fasilitas yang diperlukan untuk manusia untuk menopang
dan menjalani hidupnya. Tanpa dukungan fasilitas, manusia susah menjalani hidupnya.
Untuk mengatur kehidupan, Visnu dilambangkan memiliki tiga kepala (Tri Sirah).
Dengan tiga kepala Beliau memenuhi tiga kebutuhan pokok manusia (bhoga, upabhoga,
paribhoga), tiga macam Kesehatan (fisik, emosional, dan spiritual), dan seterusnya.
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini , Visnu hadir sebagai Yang Maha Ada,
sebagai Dewa Kesuburan dengan lambing hitamnya. Sebagai contoh, warna mendung
menghitam akan mendatangkan air hujan, dan tanah yang kehitam-hitaman juga
menunjukkan kesuburan (Suja, 2010). Di sisi lain, air juga menjadi simbol kekuatan dari
Visnu. Pertemuan air (Visnu) dengan tanah (Pertivi) dalam purana disebutkan telah
melahirkan Boma (tumbuh-tumbuhan), dan dengan tumbuh-tumbuhan itulah Visnu
memelihara kehidupan.
Visnu diperlambangkan sebagai air. Beliau dimanifestasikan sebagai Ista Devata
di Pura Segara, Hulun Danu, dan juga di Pura Puseh. Hal ini mengindikasikan bahwa
kehidupan makhluk hidup dapat dipelihara dengan adanya senyawa air yang bersimbol
(H2O). jika berpikiran secara sains kehidupan dimulai dengan adanya air dan misi
penelitian di ruang angkasa melacak residu-residu air di planet-planet di luar angkasa sana. jika ditelisik dari kajian Hindu adanya jalur evolusi spiritual maupun fisik dari
para Awatara yang dimulai dari Matsya Awatara yang dimulai dari air. Lebih lanjut
kehidupan dapat berlangsung jika didukung dengan tambahan makanan sebagai
sumber energi penggerak tubuh. Peran tumbuh-tumbuhan sampai saat ini belum dapat
tergantikan. Namun tanpa dukungan air tentunya fotosintesis pada tumbuh-tumbuhan
tidak mampu menghasilkan makanan. Dewa ketiga dalam Tri Murti yaitu Siva. Peran
dewa Siva sebagai pemralina. Siva, memiliki makna baik hati, pemaaf, menyenangkan,
membahagiakan dan sejenisnya. Siva yang mengantarkan makhluk hidup kembali kepada
Hyang Sangkan Paraning Dumadi. Tanpa peran Siva, dunia akan penuh oleh makhluk
hidup yang terlahir dan hidup terus menerus sehingga dunia akan penuh.
Personifikasi dewa Siva hadir secara sederhana. Warna putih merupakan lambing
kesucian dan keadilan. Secara ilmiah warna putih merupakan gabungan seluruh sinarsinar yang ada. Pengikut Sivaisme beralasan bahwa seluruh kekuatan dewa-dewa lain
menyatu dalam diri Siva. Dia yaitu penegak hukum karma, dengan dampingan dua
Sakti, yaitu Parvati dan Durga. Kedua Sakti ini memiliki peran yang berbeda untuk
Siva. Dewi Parvati dipersonifikasikan sebagai dewi yang lemah lembut, cantik, dan
pemaaf, sedangkan Dewi Durga sosok dewi menyeramkan yang menjulurkan lidahnya.
Sejatinya wajah hanyalah perbedaan pemikiran orang yang memandangnya. Wajah
hakim yang sama, bisa dipandang berbeda oleh orang baik dan orang jahat. Seorang guru
memiliki roman muka yang sama, namun dapat memiliki ekspresi berbeda dikala
memarahi atau memuji muridnya. Dari Siva umat Hindu belajar banyak tentang
kehidupan akan Kembali ke muasalnya. Lembu Nandini sebagai wahana Siva, sedangkan
Dewi Durga berwahana Singa. Kedua Binatang ini menunjukkan karakter berbeda.
Di leher Siva melilit ular kobra, yang senantiasa dekat dengan wahana Dewa Ganesha,
tikus. Sementara itu burung merak yaitu wahana dewa Karttikeya. Semua yang berada
dalam keluarga besar dewa Siva menampakkan karakter yang berbeda, namun mereka
hidup dengan damai, malah bertentangan dari segi ukuran dunia. Mereka menghargai
perbedaan, Bersatu dalam kebhinekaan. Ini yaitu contoh terbaik untuk umat Hindu
pelajari, cinta kasih lahir dari kebhinekaan. Cinta menjadi dasar dari Karma Yoga,
pelayanan tanpa pamrih. Pelayanan akan memurnikan hati, dan kemurnian hati
membangkitkan sifat-sifat kedewataan dalam diri. Demikian adanya prinsip unity-puritydivinity (kesatuan, kemurnian dan ketuhanan) yang wajib dibangun pada diri setiap umat
manusia.
Demikianlah jika umat Hindu yakin kepada Tuhan maka dapat memahamiNya dengan beranalogi dan merefleksi diri pada alam. Para saintifis banyak dikenal
sebab menemukan Hukum alam (Rta). Selanjutnya, para insinyur mewujudkan hukum
ini menjadi teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Keberadaan alam
dari Tingkat atomik menuju makrokosmos menjadi sedemikian teraturnya sehingga dapat
memanfaatkannya untuk hidup semata-mata sebab ada kekuatan mahadahsyat di balik
semua itu. Dialah Sang Penari Kosmis, Siva Nataraja sebagaimana
disabdakan oleh Sri Krsna dalam Bhagawadgita IX.8. “Seluruh susunan dari alam
semesta ini berada dibawah-Ku, atas kehendak-Ku ia diwujudkan berulang kali, dan atas
kehendak-Ku pula ia akan dihancurkan pada akhirnya.”
Dalam perspektif agama Tuhan diasumsikan sebagai puncak spiritual tertinggi,
Aristoteles mengasumsikan Tuhan sebagai eksistensi dari Sang Penggerak, segala sesuatu
yang ada diantara ada yang ada Perspektif Tuhan oleh Aristoteles
berkorelasi dengan paham Hindu Dalam Atharva Veda secara tegas dijelaskan, pada sloka
yang berbunyi “Wyapi Wyapaka ta SarvaGhata” yang artinya “tuhan ada dimana mana
dan beliau meresapi semua ciptaanya 4. Memahami Atman Lewat Sains.
Umat Hindu pada umumnya memiliki dasar keyakinan atau Sradhha yang
digunakan sebagai pijakan dari upaya menganal Tuhan secara menyeluruh. Ajaran ini
secara mendalam tertuang dalam konsep Pañca Śraddā. Dua diantara kelima bagian dari
Sraddha ini yaitu meyakini keberadaan Tuhan atau Brahman (Widhi Śraddhā) dan
percaya akan adanya Ātma sebagai sumber yang menghidupi diri manusia. Ātma yang
berada dalam diri manusia biasanya dikelan dengan istilah jiwatman. Konsep mengenai
ātma pada dasarnya telah tertuang dalam berbagai pustaka suci Hindu yang secara
keseluruhan pada dasarnya menguraikan bahwa asal dari pada ātma sesungguhnya yaitu
Brahman itu sendiri. Sebagai bagian yang berasal dari Brahman tentunya suatu saat ātma
harus kembali pada Brahman. Hal inilah yang sesungguhnya dapat dikatakan sebagai
tugas utama manusia untuk dapat menghantarkan ātma menyatu dengan Brahman. Ātma
sebagai bagian dari Tuhan yang murni tentunya memiliki kemurnian yang berbeda
dengan badan kasar manusia, ātma yang berada dalam diri manusia sesungguhnya tidak
terpengaruh terhadap segala keinginan indriaindria manusia walaupun pada dasarnya
ātma merasakan segalanya dan memahami segala yang dilakukan oleh manusia. Dalam
sudut pandang teologi hal ini tertuang dalam Chāndogya Upanisad VIII.7.1 yang
menjelaskan sebagai berikut:
Ya ātma apahata pātmā vijaro vimrtyur visako vijighatso ‘pipāsah satya kāmah,
satya samkalpah, so ‘nvestavyah, so vijijñāsitavyah sa sarvāms ca lokān āpnoti
sarvāms ca kāmān. Yas tam ātmānam anuvidya vijañati. Iti ha prajāpatir uvāca
(Chāndogya Upanisad VIII.7.1)
Terjemahan:
Ātma bebas dari kejahatan, bebas dari tua, bebas dari kematian, bebas dari
kesdihan, bebas dari lapar dan haus. Yang keinginannya yaitu kebenaran. Ia
dapat dicari, padanya seseorang dapat berkeinginan untuk memahaminya.
Seseorang yang telah menemukannya dan memahaminya, ia mendapatkan dunia,
seluruhnya. Demikian Prajapati berkata
Kutipan Chāndogya Upanisad VIII.7.1 di atas memberikan pemahaman bahwa
ātma yang berada dalam diri manusia tidak mendapat pengaruh pada apa yang terjadi
dengan indria-indria manusia, dan juga menguraikan betapa pentingnya memahami
keberadaan ātma yang berada dalam diri manusia sehingga mempu mencapai kesadaran
yang tertinggi dan mampu menyatukan diri dengan sang pencipta. Penyatuan ātma
dengan Brahman akan mengakhiri penderitaan terlahir berkali-kali sebagai makhluk yang
berbeda di alam semesta ini, sehingga yaitu kewajiban bagi setiap makhluk untuk
memahami keberadaan ātma yang merupakan Brahman itu sendiri. Kata Ātma menurut
S. Radhakrishnan dalam buku yang berjudul “Panca Dhātu, Atom, Atma, dan Animisme”
karangan I Ketut Donder berasal dari akar kata bahasa sanskerta “An” yang berarti
bernafas, dia yaitu nafas yang hidup, jiwa, diri atau oknum dari perseorangan
Sehingga jelas bahwa ātma sebagai bagian yang berada didalam diri manusia yang
memberikan kehidupan pada semua makhluk pada alam semesta ini. Pernyataan bahwa
ātma merupakan bagian dari kehidupan setiap makhluk dikuatkan secara teologi dengan
beberapa sumber yang menjelaskan bahwa ātma/ Brahman itu sendiri yaitu yang
memberikan kehidupan yang posisinya tidak lain yaitu terletak dalam diri setiap
makhluk itu sendiri. Hal ini tertuang dalam pustaka suci Bhagavadgita dan Athavaveda
yang menyampaikan sebagai berikut:
Aham ātmā gudākeśa Sarva-bhūtāśaya-sthitaḥ Aham ādiś ca madhayaṁ ca
Bhūtānām anta eva ca (Bhagavad Gitā X.20) Terjemahan:
Aku yaitu sang diri yang ada dalam hati setiap makhluk, wahai Gudākeśa, aku
yaitu permulaan, pertengah dan akhir dari mahkluk semua
Akāmo dhiro amṛtaḥ svayaṁbhū rasena tṛpto na kutaścanonaḥ, tameva vidyān na
bibhāya mṛtyorātmānaṁ dhiramajaraṁ yuvānam (Atharvaveda X.8.44)
Terjemahan:
Terbebas dari hawa nafsu keinginan, memiliki sifat bijaksana (dhira), terbebas
dari kematian, dapat mengendalikan dirinya sendiri, mengenyangkan dirinya
dengan persembahan berupa sari buah, tidak kekurangan suatu apapun dengan
pencapaian kebijaksanaan itu, ia tidak takut lagi akan kematian dan senantiasa
muda dan tidak lapuk usia
Selain kutipan sloka di atas, tentu masi banyak pustaka suci yang menjelaskan
tentang keberadaan dari ātma yang merupakan bagian dari Tuhan yang memberikan
kehidupan bagi setiap makhluk. Kemurnian ātma sebagai jiwa individual tidak memiliki
nafsu, kekal, bijaksana dan sempurna dalam berbagai hal. Secara sederhana dari kutipan
sloka Bhagavadgita X.20 dan Atharvaveda X.8.44 umat Hindu dapat memahami bahwa
ātma sebagai percikan terkecil dari Tuhan yaitu Tuhan itu sendiri. Dalam upaya
memperkuat keyakinan terhadap ātma dan Brahman, perlu dipahami pula bahwa Tuhan
berada di dalam dan diluar makhluk hidup sifatnya sangat halus sehingga manusia dengan
penuh keterbatasan tidak memiliki kemampuan untuk mencapai hal ini dengan
mudah. Jika dikaji lebih mendalam dalam pandangan filsafat yang memerlukan
penjelasan konkrit mengenai asal muasal dari ātma maupun Brahman tentunya tidak
dapat dipungkiri bahwa ada kekuatan diluar nalar manusia yang disebut dengan Tuhan
sebagai sumber dari segala yang ada maupun akan ada. Alam semesta dan kehidupan
yang ada pada bumi ini tentunya tidak mungkin dilakukan oleh mahkluk biasa seperti
manusia dan lainnya, tentunya ini semua terjadi melalui proses penciptaan yang
melibatkan campur tangan Tuhan yang memiliki kemahakuasaan yang tinggi.
Menurut konteks Hindu, pengetahuan berkembang bersumber dari proses-proses
kejiwaan yang melibatkan interaksi dan koordinasi dari dunia objek, indera manusia,
manah, budhi, atman, dan jiwatman . Dunia objek menyumbangkan
stimulasi kepada manah melalui perantara indera. Manah memiliki kesaktian untuk
mengembangkan pengetahuannya yang terikat pada sifat-sifat guna. Budhi
mengendalikan pengetahuan atau kesadaran dari manah dan memberikan sifat-sifat
reflektif dan kesadaran moral. Refleksi akan sangat berguna bagi manusia untuk
mempertimbangkan langkah selanjutnya dari suatu renungan suci akan fenomena dirinya
maupun alam semesta. Semua kesadaran ini dapat terjadi sebab manusia memiliki atman
sebagai sumber kesadaran yang sesungguhnya berasal dari kesadaran Brahman.
Sinergisitas pengembangan pengetahuan ini menjadikan pengetahuan manusia sangat
kompleks dan berdimensi ganda. Pengetahuan berkembang melalui proses-proses
inderawi, emosional, intelektual, moral dan sosial, reflektif, dan proses-proses spiritual.
Inilah kecerdasan ganda menurut Hindu. Pendidikan dan pembelajaran haruslah mampu
memberdayakan proses-proses ini sehingga diharapkan mencapai pengembangan
manusia dengan kecerdasan seutuhnya.
Hindu memandang Veda sebagai sebuah sumber pengetahuan (vidya). Oleh
sebab nya. Veda memberikan segala macam pengetahuan. Apa yang ingin diketahui dari
Veda, maka, ia memberikannya dengan tulus hati. Begitu juga ketika ingin memahami
mengenai alam semesta dalam Hindu. Umat akan menemukan satu keilmuan mengenai
alam semesta dalam Veda. Yakni Kosmologi Hindu. Kosmologi yaitu ilmu pengetahuan
yang mempelajari tentang seluk beluk alam semesta. Istilah kosmologi dalam Agama
Hindu dapat disejajarkan dengan istilah Virat vidya, sebab virat sama artinya dengan kosmos atau alam semesta, dan vidya yaitu artinya pengetahuan . Berbicara mengenai hubungan sains dan agama dalam hal penciptaan alam
semesta umat Hindu ambil dalam satu teori penciptaan alam semesta kaitan antara teori
big bang dan teori penciptaan alam semesta dalam Bhagawata Purana. Secara Ilmiah
munculnya alam semesta dari pori-pori Tuhan dalam wujud Karanodakasayi Visnu ini
diistilahkan dengan White Hole (Lubang Putih). Fenomena white hole sempat diamati
oleh beberapa ilmuan yang merupakan area tempat terjadinya perubahan dari Energi
menjadi Materi. Kenyataan ini dibenarkan dalam sloka Rgveda bab II.72.4 disebutkan
“Aditer dakso ajayata, daksad uaditih pari” artinya: Dari aditi (materi) asalnya daksa
(energi) dan dari daksa (energi) asalnya aditi (materi). Perubahan dari energi menjadi
materi diistilahkan dengan White Hole, Dalam konsep penciptaan Veda, perubahan ini
dapat diistilahkan dengan Black Hole yang juga sangat sesuai dengan penemuan para
ilmuan saat ini.
Setelah terjadinya dentuman besar (big bang) Tuhan mengatur alam semesta lewat
hukum alam (Rta), mencakup empat gaya dasar fisikan, yaitu: 1) gaya elektromagnetik
yang mengendalikan perilaku Cahaya dan partikel bermuatan, 2) gaya nuklir lemah yang
mengendalikan peluruhan radioaktif, 3) gaya nuklir kuat yang mengikat proton dan
neutron dalam inti atom, dan 4) gaya gravitasi yang bekerja antarmassa dari suatu jarak
tertentu. Keempat hukum itulah yang terus diburu, dirumuskan, dan dimanfaatkan oleh
ilmuwan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.
Dentuman besar ini yaitu alasan mengapa roh yang menjelma menjadi seorang
anak bisa lupa dengan kehidupannya terdahulu. Menurut Garbha Upanisad dan Tutur
Kanda Pat Rare. Kehidupan ini dimulai dari persaaan cinta dan kasih akan suatu
kelahiran, yaitu pembuahan sel telur (kama bang) oleh sel sperma (kame petak), dengan
berlandaskan hukum probabilitas. Roh akan merasuk didalamnya pada saat terbenturnya
sperma dengan sel telur . Bagi objek yang sedemikian kecil, dampak yang
disebabkan oleh benturan itu sangat dahsyat. Wajarlah menimbulkan kelupaan, seperti
keadaan amnesia pada seseorang setelah mengalami benturan (kecelakaan).
jika atma yang merasuk dalam tubuh makhluk hidup yaitu sama, namun
perilaku setiap individu justru berbeda. Untuk menjawab masalah ini , Karmavasana
dapat dijadikan dasar rasional penyebabnya. Atma yang diliputi oleh hasil perbuatannya
di masa lalu, sebagai fungsi pengalaman dan kemelekatan, dinamakan roh. Kualitas roh
itulah yang berbeda-beda, sehingga menampilkan watak dan prilaku berbeda oada tatanan
individu.
Karmavasana yang menyelimuti roh yang menghidupkan bakal individu baru
memperkuat teori konvergensi yang dikemukakan oleh William Stern. Menurut teori ini,
pertumbuhan dan perkembangan individu dipengaruhi oleh bakat (hereditas) yang dibawa
oleh manusia dari lahir dan juga lingkungan, atau oleh dasar, dan ajar. Selain dasar dan
ajar, adanya perbedaan karakter bagi orang-orang yang terlahir kembar siam, dan
dibesarkan dalam lingkungan yang sama, hanya dapat dijelaskan dengan ketidaksamaan
roh yang merasuki tubuh-tubuh yang digunakan. Adanya kasus, Dimana Si kembar siam,
malah kembar dempet, yang tetap tidak dipisahkan menampakkan karakter, bakat, dan
kesenangan berbeda, hanya bisa dijelaskan dengan perbedaan roh yang menggerakkan
mereka. Singkatnya, karakter seseorang tergantung pada dasar, ajar, dan roh
Atma ibaratkan energi Listrik yang dipergunakan di dalam rumah umat Hindu.
Jika menghidupkan AC menimbulkan efek dingin, jika menghidupkan setrika akan
menimbulkan efek panas, serta pesawat televisi akan memunculkan suara dan gambar
yang menarik untu umat Hindu. Energi listriknya sama, namun efeknya tergantung pada
peralatan yang dimasukinya. Demikian juga atma yang masuk dalam tumbuhan, hewan
dan manusia, memiliki sifat sama, namun keadaan dari tiga kenis makhluk itu berbeda. Menurut Taittriya Upanisad II.2, di dalam tubuh manusia, atma diselubungi dan
dibelenggu oleh lima lapisan, yang disebut sebagai Pancamayakosa. Kelima selubung
ini mulai dari luar ke dalam, secara urutan yaitu : 1) badan fisik (gross body), yang
asalnya dari zat makanan yang dikonsumsi tubuh tiap harinya (annamayakossa), 2) badan
energi energy body), bersumber dari kalori hasil dari pencernaaan makanan yang
dikonsumsi (pranamayakosa), 3) badan intelek (mental body) yang disebud sebagai
(manomayakosa), 4) badan kebijaksanaan (wisdom body) yang disebut vijnana
mayakosa, dan 5) badan penyebab (causal body) atau iantakarana sarira yang
merupakan anandamayakosa.
Walaupun atma yang merasuki semua makhluk hidup sama, namun tidak ada
satupun makhluk hidup di dunia ini secara genotif dan fenotif sama. Kondisi ini
disebabkan oleh kualitas badan kasar dan halus yang mewadahi atma-atma ini tidak
sama. Perbedaan kualitas wadanya berkaitan dengan karma.
Adapun kesimpulan yang dapat dipaparkan dalam pembahasan ini yaitu jalan
sains dan agama dapat bergandengan secara mesra dan bersahabat. Kebenaran dan Tuhan
(Sat) tidak pernah menolak darimanapun umat Hindu mendekatinya. Apakah lewat jalan
theistic atau scientific (ilmiah) jika itu dilakukan lewat prosedur yang benar, maka dia
akan sampai pada kebenaran yang sama pula. Pengetahuan mengenai ātma dan Brahman
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan dapat dikaji dari ilmu sains inilah
yang disebut dengan Advaita Brahmajñāna sebagai salah satu ajaran yang memberikan
pemahaman kepada manusia untuk dapat menyadari bahwa dalam setiap makhluk
terdapat sebuah ātma yang didalamnya memberikan kehidupan.
Tulisan ini menelusuri tentang bangunan pelinggih atau tempat suci
yang ada di tengah pekarangan menurut kebudayaan Bali. Bangunan
Bali memiliki struktur yang sangat kompleks dengan berbagai konsep
serta filosofis lainnya. Surya natah merupakan unsur dari salah satu
bangunan suci yang ada di tengah pekarangan yang mampu
memberikan energi dalam setiap kehidupan manusia. Berdasarkan
kajian ini terbentuk sebuah konsep kosmologi Hindu yang termuat
dalam Lontar Asta Bhumi sebagai referensi atau acuan dalam
membangun dan memposisikan sebuah pelinggih yang dapat
memberikan kesejahteraan dan kemakmuran di dalam pekarangan
rumah.
.jpeg)
.jpeg)





