Kosmologi Hindu 6

 



Estetika memiliki peran penting dalam struktur kebudayaan Bali. Estetika 

dapat dikatakan sebagai pengejawantahan dari konsep yang disebut dengan Tri Wisesa

yakni: Satyam (kebenaran), Siwam (kesucian), dan Sundaram (keindahan). Oleh sebab  

dalam estetika Hindu yang dipentingkan yaitu   sebuah dialektika yang selalu 

menempatkan kebenaran itu suci dan indah, serta keindahan itu harus suci dan 

mengandung kebenaran. Nilai estetika juga berarti nilai pendidikan seni dan budaya. 

Nilai-nilai seni dan budaya tentu banyak terlihat dalam karya-karya seni maupun 

bangunan-bangunan khas. Dalam implementasinya tentu menyadurkan konsepkonsep yang erat kaitannya dengan konsep tata ruang Bali. Ranah ini  masuk 

dalam konsep-konsep kosmologi Hindu Bali.

Meninjau bangunan Bali pada umumnya seperti Bale banjar, pura, pamerajan, 

serta tempat tinggal, tidak lepas dari konsep-konsep arsitektur Bali. Lontar-lontar para 

undagi seperti Asta Kosala-Kosali, Asta Bhumi, dan sebagainya merupakan salah satu 

rujukan yang sering digunakan. Dalam membangun sebuah bangunan memang tidak 

terlepas dari falsafah dan konsep tata-ruang. Komposisi, proporsi, kesatuan, harmoni, 

kenyamanan serta keindahan sebagai unsur-unsur arsitektur modern terwujud 

sempurna dalam arsitektur Bali.

Memperhatikan kembali dalam lontar Asta Bhumi yang menyebutkan ada lima 

pembagian zonasi atau wilayah dalam tata ruang karang sikut satak atau lahan hunian 

tradisional Bali yang tampaknya perlu diperdalam untuk menggali nilai-nilai yang ada. 

lontar Asta Bhumi yang mengatur tentang tata letak bangunan rumah, pelinggih dan 

secara normatif cenderung memiliki makna transenden yang melekat dengan sisi

spiritualitas masyarakat Bali. Sisi spiritualitas yang terwujud dalam seni arsitektur Bali 

terutama bangunan pelinggih Surya natah memiliki keterkaitan dengan konsep Tri 

Angga, Tri Hita Karana, dan Dewata Nawa Sangga yang memiliki makna sejajar dengan 

ruang lingkup kosmologi. Konsep tata ruang pelinggih surya natah dikaji dan 

dieksplorasi dalam ranah kosmologi Hindu.


1. Pelinggih Surya Natah dan Dimensi Transenden

Istilah pelinggih merujuk pada bangunan suci. Selain rumah dan dapur, dalam 

pekarangan rumah terdapat bermacam-macam palinggih atau bangunan suci. Kata 

palinggih berarti bangunan tempat mensthanakan Sang Hyang Widhi, manifestasi-Nya 

atau roh suci leluhur (Atma Siddha Devata) . Ada kalanya konsep tempat 

suci/tempat ibadah dalam sebuah keluarga di Bali memiliki identik akan ukiran￾ukiran Bali yang menyimbolkan tata ruang arsitektur Bali. Salah satu tempat yang 

dijadikan untuk pemujaan bagi umat Hindu dikenal dengan nama sanggah atau 

pamerajan. Memasuki sanggah atau pamerajan pastinya akan terlihat sebuah bangunan 

pelinggih yang berdiri kokoh dengan bentuk dan tata letak yang berbeda. Hal yang

paling unik di tengah natah/pekarangan, terbentuknya sebuah pelinggih surya yang 

disebut dengan pelinggih surya natah yang memiliki fungsi menjaga kestabilan dan 

keseimbangan pekarangan rumah.

Surya Natah yaitu   sebuah pelinggih yang berada di timur laut, berposisikan 

sebagai pengijeng natah atau penjaga halaman rumah bagi yang penghuni tempat 

ini . Surya Natah diyakini sebagai pertemuan antara dua kutub energi yaitu energi 

bapa-akasa (maskulin) dengan energi ibu-pertiwi (feminim). Pertemuan dua kutub

energi ini menciptakan (ngreka) kehidupan, adapun yang menyebutkan palinggih ini 

sebagai stana dari Sanghyang Siwa Reka.

Surya Natah umumnya ditempatkan di bagian halaman pekarangan. Surya natah 

biasanya diimplementasikan dalam struktur paduraksa dengan menempatkan di bagian hulu pekarangan di masing-masing kepala keluarga serta memiliki posisi di luar dari 

karang pamerajan. Dalam karang yang sama, akan terdapat satu buah sanggah/merajan 

yang lengkap namun dalam situasi masing-masing keluarga kemungkinan akan 

terdapat lebih dari satu Surya natah, tergantung jumlah kepala keluarganya. Adapun 

fungsi Surya Natah yaitu   sebagai pengayatan (pemujaan) Hyang Widhi atau Bhatara￾Bhatari yang sangat cocok bagi keluarga dengan lahan yang sempit dan paling 

terpenting sebagai wujud bakti kepada leluhur tetap bisa dilaksanakan.

Secara spiritual umat Hindu percaya akan adanya dimensi transenden dari suatu 

kehidupan. Perihal yang mendasar yaitu   berupa kepercayaan terhadap Tuhan atau 

apapun yang dipersepsikan oleh manusia sebagai sosok transenden. Dalam masyarakat 

Hindu di Bali Tuhan yang disebut Ida Sang Hyang Widhi Wasa memiliki berbagai 

manifestasi sebagai bentuk mendekatkan diri dengan-Nya. Menurut tataran dimensi 

ruang, Tuhan yang jauh kemudian didekatkan oleh bentuk dan atribut sebagai tanda 

bahwa yang absolut dekat dengan penciptanya. 

Demikian pula dalam pengejawantahan arsitektur Bali yakni dalam mengatur 

tata letak bangunan dan tempat suci tentu memiliki aspek-aspek praktis di dalamnya. 

Sebagai contoh dalam tataran dimensi filosofis, konsep-konsep Bhuana agung-Bhuana 

alit, Tri Hita Karana, Tri loka diimplementasikan ke dalam bentuk prinsip-prinsip

praktis dalam arsitektur Bali yakni Hulu-Teben, Tri Mandala, Tri Angga yang merupakan 

bentuk-bentuk konsep ruang ala Bali. Prinsip dalam membangun pelinggih surya natah 

juga memiliki tendensi yang mirip dengan konsep ruang ini  yang mensejajarkan 

antara lapisan utama dengan lapisan yang lebih luar. 

Individu orang Bali yang paham akan spiritualitas tentu memahami proses 

pencarian akan makna dan tujuan hidup. Manusia mengembangkan pandangan bahwa 

setiap eksistensi memiliki tujuannya masing-masing. Manusia Bali (bhuwana alit) 

merupakan bagian dari alam (bhuwana agung), selain memiliki unsur-unsur pembentuk 

yang sama, juga terdapat perbedaan ukuran dan fungsi. Manusia sebagai isi dan alam 

sebagai wadah, selalu dalam keadaan harmonis selaras seperti janin (“manik”) dalam 

rahim (“cecupu”). Rahim merupakan tempat yang memberikan kehidupan, 

perlindungan, dan perkembangan janin ini . Demikian pula halnya manusia 

berada, hidup, berkembang dan berlindung pada alam semesta. Dengan alasan inilah 

manusia Bali memahami kesejajaran ruang antara makrokosmos dan mikrokosmos 

hendaknya selaras. Pada lapisan yang lebih kecil seperti lingkungan pekarangan 

rumah juga dibuat senilai dengan bhuwana agung. Unsur unsur pamerajan dalam 

konteks ruangnya sebagai pusering jagat dari pekarangan, maka surya natah merupakan 

penyawangan atau pengayatan-nya yang merupakan bagian kecil dari merajan.

2. Konsep Surya Natah dalam Lontar Asta Bhumi

Natah, merupakan satu istilah dalam bahasa Bali yang umum dipakai untuk 

menyatakan suatu halaman di tengah-tengah suatu rumah yang dikelilingi oleh masa￾masa bangunan. Kata natar juga untuk menunjukkan suatu yang serupa dengan natah, 

namun yang banyak digunakan untuk menunjukkan suatu halaman tengah yangterbentuk oleh pelinggih-pelinggih yang ada di suatu tempat peribadatan umat Hindu 

seperti: pura dan pamerajan 

Menurut lontar Asta Bhumi terdapat sistem pembagian ruang 

natah/pekarangan rumah yang disebut dengan raksa. Pembagian wilayah terdiri dari: 

(1) Sri Raksa, melingkupi sudut timur laut difungsikan untuk lokasi membangun 

sanggah-pemerajan atau tempat suci keluarga, (2) Guru Raksa, melingkupi sudut tengah, 

diperuntukkan untuk tempat suci lebuh, (3) Durga Raksa, pada sudut barat daya 

diperuntukkan sebagai tempat membangun kandang ternak rumahan atau hewan 

peliharaan dan bangunan dapur, (4) Kala Raksa, mewilayahi sudut barat laut, yang 

diperuntukkan untuk tempat membangun pelinggih tugu/panunggun karang, 

sumur/sumber air bersih, dan kamar mandi, serta (5) Siwa Raksa, melingkupi bagian 

tengah pekarangan sebagai tempat mendirikan bangunan pelinggih Siwa Reka.

Jenis pelinggih di tengah pekarangan inilah yang pada umumnya dikenal

dengan sebutan Surya Natah. Berdasarkan bentuk arsitekturnya pelinggih Surya Natah 

ini sangat terkait dengan ista dewata manifestasi Ida Sang Hyang Widhi yang akan 

distanakan nantinya. Terdapat tiga tipe bentuk, yakni:

Pertama, Berbentuk dasar persegi empat-bujur sangkar. Aplikasi konsep tri 

angga (tiga bagian badan) bangunannya, yakni bagian kaki (tepas ujan dan bebaturan), 

badan atau pengawak (tersusun atas palih taman-sari) dan bagian kepala atau sari terbuat 

dari gedong kayu dengan bentuk atap limas. Penutup atap berbahan ijuk dan genteng, 

untuk menstanakan Sang Hyang Mpu Bumi. Palinggih surya natah seperti ini berfungsi 

sebagai "pengijeng natah" atau penjaga halaman hunian dari pergolakan pertemuan dua 

kutub energi, sebab  diyakini di natah menjadi titik pertemuan energi bapa-akasa 

(maskulin) dengan energi ibu-pertiwi (feminim). Pertemuan dua kutub energi ini

menciptakan (ngreka) kehidupan dengan demikian, ada juga yang kemudian menyebut 

palinggih ini sebagai stana Sanghyang Siwa Reka.

Kedua, berbentuk dasar dan pepalinggihan sama seperti pelinggih pertama di atas, 

demikian juga bagian sarinya juga dari gedong kayu, namun dengan penutup atap 

alang-alang. Tipe ini didedikasikan untuk stana Sang Hyang Taksu Usada/Balian. Jadi 

spesifik berfungsi untuk pemujaan kepada ista dewata terkait pengobatan, yakni Sang 

Hyang Siwa Mahosadhi termasuk pengayatan kepada Dewi Danuantari dan Bhagawan 

Kasyapa. Dengan demikian Palinggih Surya Natah beratap alang-alang ini biasanya ada 

di halaman rumah para praktisi usadha. 

Ketiga, palinggih Surya Natah yang berbentuk Padmasari. Palinggih tipe ini 

berfungsi untuk “Pengoleman” pengundang dalam arti penyawangan/pengayatan 

kepada para dewa (baik dewa pratista/manifestasi Tuhan maupun atma pratista/roh 

suci leluhur yang sudah menyatu dengan Siwa, amor ing achintya). Jadi fungsi 

utamanya untuk melakukan pemujaan ngayat/ngubeng ke seluruh Pura Kahyangan 

Tiga, Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat, Dang Kahyangan Jagat, Dang Kahyangan dan 

Pura Kawitan. Hal ini menyebabkan palinggih ini  berada di tengah masyarakat 

secara sederhana disebut stana Dewa Kolem. Dengan demikian, Palinggih Surya Natah

berbentuk Padmasari ini berfungsinya lebih luas melingkupi lintas teritorial dan genealogi, layaknya emanasi kuasa Dewa Siwa atas seluruh arah mata angin dan 

tujuan akhir seluruh prosesi penyucian roh. Palinggih tipe ini pada umumnya ada di 

natar griya para Sulinggih, yakni di tengah halaman rumah para pendeta yang sangat 

erat berhubungan dengan aktivitas pelayanan umat sedharma. 

Dengan demikian Palinggih Surya Natah yang menempati zona Siwa Raksa 

menjadi tanda simbolis puncak pencarian ke dalam, sebagaimana natah, halaman￾ruang kosong mengikat elemen-elemen masa bangunan dan ruang-ruang yang ada di 

sekitarnya, sekaligus beremanasi-memancarkan harmoni keseluruhan penjuru, 

menguatkan energi kehidupan bagi seluruh penghuni maupun tamu yang berkunjung 

(sarwa prani hita) 

3. Konsep Pembangunan Surya Natah dalam Perspektif Kosmologi Hindu

Tata zonasi ruang permukiman masyarakat Hindu-Bali di dataran rendah dan 

dataran tinggi menyebutkan bahwa terdapat ruang yang terbangun dan ruang luar 

kosong dengan rata-rata prosentase seimbang. Dalam skala perumahan maupun 

pemukiman ruang luar selalu hadir dalam tata ruangnya yaitu berupa natah dan lebuh. 

Natah dan lebuh dalam konteks symbol dan ritual sebagai wadah keseimbangan antara 

purusa (langit) dan pradana (bumi) yang diwujudkan dalam kegiatan ritual pecaruan. 

Konsep keseimbangan dalam tata ruang arsitektur Bali, tentunya mengandung ajaran￾ajaran agama yang bersifat kosmologi. 

Kosmologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk 

alam semesta, mulai dari kelahirannya atau keberadaannya, perkembangannya hingga 

kemusnahannya, sebagai suatu sistem yang teratur. Kosmologi dalam agama Hindu 

dapat disejajarkan dengan istilah viratvidyā, sebab  virat berarti kosmos atau alam 

semesta dan vidyā berarti pengetahuan. Jadi, viratvidyā yaitu   pengetahuan yang 

mempelajari tentang alam semesta.  Dalam kosmologi Hindu atau 

Viratvidyā menempatkan Tuhan pada posisi pertama dan utama sebagai causa prima,

cikal bakal (sangkan paraning dumadi) dari alam semesta ini 

Melihat dari Kosmologi Hindu mengajarkan tentang asal-usul penciptaan dan 

perkembangan alam semesta dengan menempatkan Tuhan yang kerap juga disebut 

jiwa semesta sebagai asal mula alam semesta ini. Untuk memahami keterkaitan antara 

Tuhan sebagai Pencipta dan alam semesta sebagai ciptaan-Nya ada empat status dari 

Tuhan Yang Maha Nyata, yang harus dipahami oleh manusia terlebih dahulu, yaitu; 

(1) Brahman Yang Mutlak', (2) Isvara ‘Jiwa Yang Berkemampuan’, (3) Hiranya-garbha 

Jiwa Alam Semesta', (4) Jagat raya ‘Alam Semesta'. Beginilah pemikir Timur 

menafsirkan sifat dari Yang Nyata dan Maha Tinggi. Mandukya Upanişad menguraikan 

bahwa Brahman yaitu   catuspat 'berkaki empat' atau empat asas, dan keempat asasnya 

itu yaitu  ; (1) Brahman, (2) Iśvara, (3) Hiranya-garbha, (4) Viraj. Dalam bagian keempat 

kitab Taittiriya Upanişad menjelaskan perumpamaan tentang tri-suparna yaitu Tuhan 

Yang Maha Mutlak dianggap sebagai ‘sarang’ yang dari padanya muncul ‘tiga ekor 

burung’, yaitu; (1) Viraj, (2) Hiranya-garbha, (3) Iśvara. Sedangkan Brahman Yang 

Mutlak dibayangkan berada pada diri-Nya sendiri bebas dari ciptaan apapun. Walaupun Brahman itu bebas tak terpengaruh oleh apapun juga namun: (1) 

Ketika Dia dianggap menciptakan dirinya sendiri pada alam semesta, Dia disebut Viraj, 

(2) Ketika Dia dianggap sebagai Roh yang bergerak ke mana-mana pada alam semesta 

ini, Dia disebut Hiranya-garbha, (3) Ketika Dia dipikirkan sebagai Kepribadian Tuhan 

yang menciptakan memelihara, dan melebur dunia, Dia disebut Iśvara, dan (4) 

Selanjutnya Iśvara menjadi Brahma, Visnu dan Siva ketika fungsi-Nya dibeda-bedakan 

(

Kosmologi Hindu memandang kesatuan ruang dalam jagat raya secara 

kompleks dan utuh, terhubung satu dengan yang lainnya. Konsep ruang sangat jelas 

memiliki logika implikasi seperti tertuang dalam mahavakya Upanisad, sarvam khalvidam 

brahman (segalanya yaitu   perwujudan Tuhan). Konsep ini  sesungguhnya 

menyatakan bahwa makhluk hidup dan benda material memiliki keterhubungan atas 

energi kosmis yakni Tuhan. Dalam falsafah Hindu Bali sering didengar istilah bhuwana 

agung dan bhuwana alit yang terhubung. Sama halnya manusia memiliki kepala, badan 

dan kaki, demikian juga alam semesta memiliki konsep kesatuan yang sedemikian 

sama 

Spiritualitas umat Hindu Bali memiliki kesejajaran konsep dengan 

memposisikan unsur hidup dengan alam material yang terhubung, umumnya dikenal 

dengan bhuwana agung dan bhuwana alit. Bhuwana agung (alam semesta) yang sangat 

luar tidak mampu digambarkan oleh manusia (bhuwana alit), tapi antara keduanya 

memiliki unsur yang sama, yakni Tri Hita Karana, oleh sebab itu manusia dipakai 

sebagai cerminan. Filosofi Tri Hita Karana digunakan dalam pola perumahan 

tradisional Bali yang berupa: a) Parhyangan/Kahyangan tiga sebagai unsur Atma/jiwa; 

b) Krama/warga sebagai unsur Prana/tenaga; c) Palemahan/tanah sebagai unsur 

Angga/jasad. Filosofi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos dari 

macro (bhuwana agung/alam semesta) hingga hal yang paling micro (bhuwana 

alit/manusia) 

Dalam bentuk bangunan, tentunya memiliki nilai kesatuan yang dapat menjaga 

wilayah keharmonisan alam semesta ini yang biasanya terdapat di Lontar Asta Bhumi 

yang disebut dengan panca raksa. Panca Raksa yaitu   lima wilayah penjaga yang 

berada pada sudut tengah pekarangan rumah yang terdiri dari; 1. Sri Raksa: timur 

laut/kaja kangin/ersania, lokasi pemerajan atau sanggah, 2. Guru Raksa: disamping 

pintu keluar/pamesuan, bangunan suci lebuh, berstana Sanghyang Wisesa, kawisesan 

ngalukat sahananing wisya, lara, roga, 3. Durga Raksa: sudut barat daya/kelod 

kauh/neriti, lokasi dapur, 4. Kala Raksa: sudut barat laut/ kaja kauh/wayabiya, lokasi 

bangunan penunggun

karang, manifestasi ratu anglurah nyoman sakti pengadangan,sebagai kekuatan 

daerah setra, danau, sungai, jurang, dikenal memiliki kekuatan dharma dan Wisesa 

Piyasaning ring Dewa Sanghyang Wisnu, 5. Siwa Raksa: di tengah pekarangan, bangunan 

suci Siwa Reka, manifestasi Ratu Anglurah Wayahan Tebehan, sebagai kekuatan gunung, 

hutan, tempat angker, Dewa Rambut Sedana, catus pata, Piyasaning Sanghyang Brahma. 

Adapula Paduraksa yang dapat dikaitkan dengan posisi-posisi bangunan yang berada Ngaran dědong sikute, gědongnya pañjangnya satahil, dua pah 5, rwa duma ring watěs. 

Elingakěna. Mwang pangalapi kiwunira, mwang ring Parhyangan, ring Sanggar. 

Mwang dum pah kutus, ngaran pagěnahan, ring jungut magenah, ingaranan 

Padurakşa. Padu, ngaran atěp, rakşa, ngaran tembok. Magěnah ring jungut, ngaran 

bucu. saguli, Umungguh lor wetan, ngaran Sārirakşa. Umungguh kidul wetan, Sang 

Ajirakşa ngaran. Mungguh ring kidul kulon, Sang Rudreng rakşa ngaran. Mungguh 

ring lor kolun, Sang Kalangrakşa ngaran. Ika kukuhing pakarangan paumahan. Yan 

patūting sikutnya, satmaka māwak Dewa. Sakalwiring durjana patuh asih, duşta corah 

wědi, sarwwa tinandur agèlis murah, ingon-ingon lanus. Yan nora anūt sikute, 

satmaka umah Kala, Bhūta, Děngěn. Tan mari ya aněmu gěring mwang pějah. Kala 

Bhūta Děngěn padha wani amiruda, mwang anjaga, amiruda, anadah. Ika elingakěna, 

aywa nora tanpa dadurakşa. Ika pangukuhing paumahan, panyěngkěr. Yan nora 

samangkana agělis pějah sang adrěwe karang paumahan.

Terjemahan :

Ukuran membangun rumah, dan juga parhyangan, sanggar. Lalu kelilingnya 

dibagi 8, yang disebut lokasi, yang bertempat pada sudut, disebut Padurakşa. 

Padu artinya pertemuan, rakşa artinya tembok. Bertempat di masing-masing 

penjuru sudut yang disebut Bucu. Yang bertempat di sudut timur laut disebut 

Sāri Rakşa. Yang bertempat.di sudut tenggara Aji Rakşa namanya. Yang 

bertempat di sudut barat daya Rudra Raksa namanya. yang bertempat di sudut 

barat-laut Kala Raksa namanya. Itulah sebagai penjaga pekarangan rumah. 

Kalau sudah benar ukurannya, itu bagaikan perwujudan Dewata. Segala orang 

yang bermaksud jahat menjadi sayang, penjahat pencuri takut, segala yang 

ditanam cepat berhasil, ternak berkembang biak dengan baik. Kalau tidak 

sesuai ukurannya, sepertinya menjadi rumah Kala, Bhuta, Děngěn. Sudah tentu 

penghuninya tertimpa sakit, berakhir dengan kematian. Kala, Bhūta, Děngěn 

dengan senang hati mengganggu,dan menghadangnya, menyiksa, 

memangsanya. Itu hendaknya diperhatikan, janganlah tidak Padurakşa Sebab 

itu sebagai penguat pekarangan rumah dan tembok. Kalau tidak demikian 

cepat memakai meninggal pemilik rumah.

Berdasarkan uraian dari Lontar Asta Bhumi dengan Kosmologi Hindu, maka 

dapat dikaitkan bahwa Surya Natah berada pada Siwa Raksa di tengah pekarangan 

rumah yang mampu memberikan energi positif dan negatif untuk menciptakan alam 

semesta beserta kehidupan manusia saat ini (ngereka). Hal ini terciptakan dalam bentuk 

sebuah palinggih yang berstana sebagai Sanghyang Siwa Reka. 

Sanghyang Siwa Reka sejatinya memiliki makna penciptaan di dalam-nya. Asal 

Siwa yang berfungsi sebagai pelebur dalam hal ini juga bermakna sebagai penciptaan 

yang merupakan bagian dari siklus alam semesta. Reka sendiri bermakna ngereka yakni 

menciptakan. Dalam pandangan kosmologi Hindu, Ngereka merupakan sebuah proses 

yang terjadi di dalam penataan wilayah pekarangan dan menghubungkan pancaraksa 

sebagai komponen yang berada di lima wilayah utama. Posisi-posisi yang terbagi menjadi lima sudut pada arah mata angin akan membentuk aspek penciptaan dan 

pada akhirnya menciptakan titik utama yang berada di zona tengah sebagai titik temu 

aspek purusa pradana. Sebagai proses (ngereka) penciptaan kehidupan 

Purusa dan pradana sebagai dua benih kekuatan awal dalam urutan penciptaan 

manusia oleh Hyang Widhi dan membentuk keseimbangan antara kehidupan mental 

spiritual dan kehidupan fisik material. Dalam proses ngereka dalam konsep pancaraksa

selanjutnya akan berwujud secara fisik. Berupa Pelinggih Surya Natah. Maka, fungsi 

pelinggih surya natah juga sebagai simbolis penjaga kestabilan dan keseimbangan di 

dalam pekarangan rumah. 


Secara konsep, pelinggih Surya Natah memiliki makna yang bertendensi sebagai 

unsur penciptaan alam semesta. Posisi dari pelinggih Surya Natah yang berada di timur 

laut, berfungsi sebagai pengijeng natah atau penjaga halaman rumah bagi yang 

penghuni tempat ini . Surya Natah dalam kajian kosmologi Hindu merupakan 

unsur pertemuan antara dua kutub energi yaitu energi bapa-akasa (maskulin) dengan 

energi ibu-pertiwi (feminim). Pertemuan dua kutub energi ini menciptakan (ngreka) 

kehidupan, adapun yang menyebutkan palinggih surya natah ini disebut sebagai stana 

Sanghyang Siwa Reka. Sanghyang Siwa Reka termanifestasikan sebagai penciptaan yang 

berproses dari ngereka. Ngereka ini berhubungan erat dengan proses pancaraksa sebagai 

penataan wilayah pekarangan dan komponen-komponen yang berada di lima wilayah 

utama. Komponen ini  diposisikan menjadi lima sudut arah mata angin yang 

membentuk aspek penciptaan di zona tengah sebagai titik temu aspek purusa pradana. Agama diperlukan untuk membantu manusia memaknai berbagai pengalaman 

kongkrit dalam menjalani kehidupannya di dunia. Keyakinan terhadap kebenaran ajaran 

agama Hindu perlu diperkuat di tengah kehidupan global saat ini. Guna memperkuat 

keyakinan terhadap nilai-nilai agama Hindu, diperlukan berbagai kajian fenomena￾fenomena sains yang dapat mengungkapkan kebenaran ajaran agama Hindu, tujuannya

untuk mempertemukan kebenaran ilmiah dan kebenaran normatif agama melalui 

fenomena-fenomena dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini menggunakan 

pendekatan kualitatif. Sumber data yang digunakan yaitu   data primer yang bersumber 

pada literatur/pustaka. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan 

metode kepustakaan dan dokumentasi. Analisis data fenomena yang terjadi di kalangan 

umat Hindu dikaji secara ilmiah melalui teks-teks Hindu dan teks-teks sains. Hasil dari 

penelusuran sumber referensi menyatakan bahwa para intelektual dapat membuktikan 

unsur-unsur sains dan teknologi yang terkandung dalam ritual Hindu. Agama Hindu 

memiliki metode ilmiah untuk memperoleh dan mengembangkan ilmu pengetahuan. 

Metode ilmiah ini  dinamakan Catur Pramana yaitu pengamatan (pratyaksa), 

penalaran (anumana), pemodelan (upamana), dan kesaksian (sabda). Simpulan yang 

diperoleh yaitu   jika   umat Hindu yakin kepada Tuhan maka dapat memahami-Nya 

dengan beranalogi dan merefleksi diri pada Kosmologi Hindu yang mempelajari tentang 

seluk beluk alam semesta. Pemahaman tentang kebenaran Brahman dan Atman dapat 

dilakukan melalui jalan theistic atau scientific (ilmiah) melalui prosedur yang benar.Pembelajaran agama berwawasan fenomena sains bukan hal baru dalam khasanah 

pedagogic spiritual Veda. Para ācārya pada jaman Upanisad menjelaskan keberadaan dan 

sifat-sifat Brahman, ātman, dan ajaran tattwa lainnya dengan mengambil analogi 

fenomena dan konsep-konsep sains. Kondisi ini didukung oleh pandangan Dimana 

kebenaran agama dan kebenaran sains tidak semestinya dipertentangkan. Sains hanya 

menjangkau kebenaran ilmiah yang bersifat relatif dan probabilistik, sedangkan wahyu 

suci Tuhan bersifat absolut. Sementara tafsir keagamaan yang disusun oleh para tokoh 

agama juga bersifat relatif tergantung pada sudut pandangnya, waktu, dan tempat.

Setiap mengawali wacana tentang titik temu sains dan agama, dalam pikiran 

banyak orang sering muncul dua pertanyaan berikut. Apakah sains dan agama bisa 

dipertemukan? Haruskah umat Hindu memilih antara agama dan sains? Pertanyaan￾pertanyaan serupa akan terus bergulir jika   umat Hindu mencoba menelisiknya. 

Menurut Hewlett (2005), permasalahan seperti hal ini  dapat terjadi disebab kan 

perjumpaan agama dan sains selama ini digambarkan oleh para “ekstrimis,” yang tidak 

memahami agama dan sains secara utuh. Sains dan agama sesungguhnya memiliki bahan 

kajian berbeda dan komplementer . Sains memfokuskan perhatiannya 

pada dunia fisik, sedangkan agama pada domain psikis. 

Kemampuan berpikir sekali lagi walaupun terbatas mendorong kehausan 

intelektual (intellectual curiosity) dan rasa kagum (thauma) terhadap segala ciptaan 

Tuhan Keingintahuan dan penyelidikan terhadap aspek fisis alam 

menghasilkan sains, sedangkan kekaguman dan penyebab penyelidikan terhadap aspek 

psikis memunculkan agama. Berkaitan dengan sains dan agama,

menyebutkan bahwa kedua bidang kajian ini  mengakui adanya keterbatasan Bahasa 

dan pikiran manusia. Keterbatasan untuk mencapai kesempurnaan inilah yang semestinya 

dijadikan landasan untuk bekerjasama di antara agamawan dan ilmuwan.

Sains menjanjikan kemudahan dan kenikmatan hidup. Sedangkan agama 

menuntun hidup yang benar. Memang, sains bermaksud menyingkap misteri dan 

ketidakpastian dunia, namun upaya ini  tidak pernah berakhir. Misteri dunia tidak 

mungkin terpecahkan ileh ilmuwan sendiri sebab  keterbatasan nalar dan peralatan yang 

dimilikinya. Selain keterbatasan-keterbatasan ini , sebagaimana disebutkan oleh 

Max Plank, sains tidak akan memecahkan misteri alam semesta sebab  pada analisis 

terakhir umat Hindu (ilmuwan) akan menjadi misteri yang hendah dipecahkan. Hal 

senada juga disampaikan oleh fisikawan yang menyatakan, “Kita tak dapat 

berbicara tentang alam, tanpa membicarakan diri kita sendiri pada saat yang sama.” Di 

sisi lain agama yang selalu mempromosikan diri sebagai ajaran yang lengkap dan 

sempurna, justru tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan atas berbagai 

fenomena alam dan sosial yang terjadi di masyarakat. 

Setiap orang yang rindu akan pencerahan akan kehidupan, sudah saatnya 

menyadari pentingnya kebebasan dalam berpikir, namun tetap pada kesadaran bahwa 

manusia hanya mahkhluk Tuhan yang tak sempurna, yang sewaktu-waktu bisa salah 

dalam menafsirkan wahyu suci Tuhan. Manusia dilengkapi dengan keterbatasan. Mata 

manusia hanya dapat memandang benda-benda yang memancarkan atau memantulkan 

Cahaya tampak. Mata manusia memiliki batas sensitivitas antara Cahaya ungu sampai 

dengan Cahaya merah (Panjang gelombang 400-800nm). Diluar batas ini  manusia

tidak dapat melihat (Sastrohamidjojo, 1988). Begitu juga dengan Indera pendengaran 

manusia, telinga hanya mampu mendengar hanya gelombang suara audiosonik dengan 

frekuensi 20-20.000 Hertz. Di luar frekuensi ini , manusia tidak mampu 

mendengarkannya. Daya nalar manusia pun juga terbatas.Hindu menggunakan epistemologi catur pramana (empat logika penentuan 

kebenaran), yaitu pertama kebenaran logis harus merujuk kepada kebenaran referensi 

teks pustaka suci (sabda pramana atau wahyu pramana); kedua, kebenaran logis juga 

harus merujuk pada penalaran akal sehat atau anumana pramana yaitu kebenaran dapat 

diterima oleh kebenaran akal sehat; ketiga pengetahuan yang diperoleh melalui analogia 

dan simbolik (upamana Pramana); dan keempat, yaitu   praktiaksa pramana, yaitu 

kebenaran logis yang mirip dengan pendekatan positivistik yang kebenarannya diperoleh 

berdasarkan hasil praktik laboratorium atau hasil uji klinis yang didukung oleh 

kemampuan pañca indria.

Kebebasan berpikir secara ilmiah sebagaimana disampaikan oleh  termasuk pendapat yang berlawanan dengan pandangan agamawan, jangan 

sampai dikekang, sebab tafsir yang mereka anut juga merupakan hasil olah pikir manusia. 

Umat Hindu meski yakin, pada akhirnya setiap pengetahuan hasil usaha menemukan 

kebenaran ilmiah akan mempunyai titik temu dengan wahyu suci Tuhan. Sebagaimana 

disampaikan  saintisme dan theisme memang berhadap-hadapan namun  

dapat dipadukan untuk bersalaman dan bekerja sama. Ibarat tangan, jempol memang 

berbeda dengan jari-jari lainnya, namun perbedaan itu justru bertujuan memperkuat 

genggaman tangan umat Hindu. Kesadaran inilah yang semestinya dimiliki oleh para 

agamawan dan ilmuwan.

Sejalan dengan pertemuan kebenaran ilmiah dan kebenaran normatif agama, para 

wasumat Hindu Hindu memandang hanya ada satu kebenaran sejati, namun orang 

bijaksana memformulasikan dan menyebutnya dengan banyak nama. Ekam sat viprā 

bahudhā vadanti (Rgveda I.164.46), dan bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa 

(Kekawin Sutasoma). Pemikiran manusia, baik pandangan ilmiah maupun keagamaan, 

tak pernah mencapai titik final. Kebenaran dan Tuhan (Sat) tidak pernah menolak dari 

manapun umat Hindu mendekatinya. Apakah lewat jalan theistic atau scientific (ilmiah) 

jika itu dilakukan dengan prosedur yang benar (Suja, 2010). Guna memperkuat keyakinan 

umat Hindu terhadap nilai-nilai agama yang dianut, maka diperlukan berbagai kajian 

fenomena-fenomena sains dalam kehidupan sehari-hari manusia yang dapat 

mengungkapkan kebenaran ajaran agama Hindu. 

Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber data yang digunakan 

yaitu   data primer yang bersumber pada literatur/pustaka. Teknik pengumpulan data 

dilakukan dengan menggunakan metode kepustakaan dan dokumentasi. Analisis data 

fenomena-fenomena sains dalam kehidupan sehari-hari manusia yang dapat 

mengungkapkan kebenaran ajaran agama Hindu dikaji secara ilmiah melalui teks-teks 

Hindu dan teks-teks sains. 

Hasil dan Pembahasan

1. Paradigma Sains dalam Agama Hindu

Dalam tradisi Veda, sains dan spiritual bukanlah hal yang bertolak belakang. 

Sebaliknya, saling mendukung. Ketika teori-teori sains berkembang, teori teori tantra 

yang semula dianggap bersifat mistis justru mendapat pijakan ilmiah, dan terbukti 

kebenarannya. Para spiritualis yang menjalankan sadhana (latihan spiritual) mampu 

melakukan transformasi materi menjadi energi, dan sebaliknya; bahkan berpindah ke 

tempat lain menyamai kecepatan cahaya. Ini yaitu   fenomena mekanika gelombang 

sebagai dasar fisika modern. Segala sesuatu, termasuk badan manusia memancarkan 

gelombang fisik dan psikis (Wiyatmo, 2004). Menurut pandangan fisika kuantum, dunia (makroskosmos dan mikroskosmos) 

tersusun atas molekul-molekul, atom-atom, dan partikel subelementer yang senantiasa 

bergerak, bagaikan tarian energi kosmis (Siva Nataraja). Partikel-partikel materi (tan 

matra) juga menampakkan sifat gelombang, yang baru bisa dikenali dan dipahami oleh 

para ahli fisika pada awal abad ke-20. Padahal para yogi telah memahaminya ribuan tahun 

yang lalu 

Ritual bagi umat Hindu yaitu   perwujudan nyata dari kepercayaan umat Hindu. 

Selama ini ritual hanya dinilai sebatas aktivitas kepercayaan belaka yang tidak memiliki 

ranah dan hubungan dengan pengetahuan ilmiah. Oleh sebab itu, para intelektual dapat 

melakukan kajian ilmiah terhadap ritual yang bertujuan untuk membuktikan unsur-unsur 

sains dan teknologi yang terkandung dalam ritual Hindu. Wiana menyatakan bahwa 

mantram yaitu   alat kendali pikiran. Pikiran yang selalu liar dapat diikat dan kemudian 

dikendalikan dengan cara mendengarkan mantram yang terus-menerus diucapkan baik 

diucapkan dalam hati ataupun diucapkan secara keras-keras. Rahasia tentang keampuhan 

mantra ini telah diketahui oleh para Rsi Hindu sejak beberapa ribu tahun yang lalu. 

Belakangan ini setelah ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang para 

ilmuwan mulai percaya dengan keampuhan mantram itu. Jadi mantram sesungguhnya 

yaitu   suatu teknologi tingkat tinggi yaitu teknologi gaib yang mampu meningkatkan 

energi gaib dalam diri sendiri (mikrokosmos) maupun energi alam semesta 

(makrokosmos).

Masaru Emoto , seorang ahli dari jepang telah meneliti tentang air dan hasil 

penelitiannya telah ditulis dalam bentuk buku dengan judul The Miracle of Water. Hasil 

penelitiannya sangat menakjubkan dan membuat para ahli ilmu pengetahuan modern

terheran heran mendengar serta melihat hasil penelitiannya itu yang menggunakan 

perspektif baru dalam bidang ilmu pengetahuan.

Masaru Emoto sampai pada suatu kesimpulan bahwa air memiliki perasaan 

sebagaimana manusia. Apa yang dilakukan oleh Emoto sangat menarik, dalam 

penelitiannya ia mula-mula menempatkan beberapa cc air dalam 4 gelas dan tiap gelas 

diberikan kata-kata tertentu dan juga dilengkapi tulisan dengan kata-kata tertentu juga.

Dalam penelitiannya, masing-masing gelas diberi kata-kata yaitu “happy”, “unhappy”, “I 

like”, dan “you are stupid” dan sebagainya. Kemudian air itu dibekukan pada dalam suatu 

alat pendingin sampai pada suhu beberapa derajat Celcius di bawah nol. Hasilnya 

sungguh menakjubkan, air itu yang telah berbentuk kristal itu setelah dilihat dalam alat 

fotografi yang menggunakan lensa optik pembesaran 200X, maka Masaru Emoto 

menemukan bentuk kristal Hexagonal yang sangat bervariasi dari air yang telah 

dibekukan itu.

Masaru Emoto (2007) melalui hasil penelitiannya yang telah dilakukan secara 

berulang-ulang, maka ia kemudian menyimpulkan bahwa doa (mantra) dapat 

menciptakan rasa bahagia khususnya melalui pengucapan do secara benar. Emoto

menjelaskan bahwa sesungguhnya dapat dipahami mengapa fenomena perwujudan 

Kristal air itu dapat terjadi, hal itu sesuai dengan konsep energi yang disebabkan oleh 

vibrasi. Sebagaimana diketahui bahwa segala sesuatu memiliki vibrasi, entah ia mahluk

hidup atau benda mati semuanya memiliki vibrasi. Demikian juga kata-kata baik 

diucapkan secara keras maupun diucapkan dalam hati semua kata-kata itu akan 

bervibrasi. Vibrasi mantram atau kata-kata itulah yang menghasilkan energi yang dapat

mempengaruhi setiap partikel sub-atom (electron) atom dari air, udara dan sebagainya. 

Hal ini terbukti benar sebagaimana hasil penelitian Masaru Emoto. Menyimak hasil 

penelitian Masaru Emoto di atas, dan beberapa ilmuwan lainnya, maka semakin jelas 

bahwa hasilhasil penelitian mereka menunjukkan kebenaran konsep-konsep pengetahuan 

Hindu yang memandang bahwa alam semesta merupakan satu kesatuan yang secara keseluruhan diresapi oleh kesadaran Tuhan. Alam semesta yang paling dekat dengan 

manusia yaitu   bumi beserta isinya, semua benda-benda termasuk semua mahluk 

terbangun dari unsur materi atau prakrti (materi fisik) dan di balik materi fisik terdapat 

suatu yang metafisik. Prakrti atau materi yaitu   energi Tuhan Yang Mahaesa yang 

bersifat lebih rendah. Menurut Vedanta, alam material tidaklah bebas, ia bekerja di bawah 

arahan Tuhan Yang Mahaesa, hal ini relevan dengan pernyataan Bhagavadgìtà . Oposisi biner dari kata Prakrti yaitu   Purusha yaitu kesadaran penuh. Jadi Prakrti 

tampak seperti berkesadaran ketika bersentuhan dengan Purusha, oposisi biner ini kerap 

dituangkan menjadi konsep pauruûha-pradhàna.

Fisika kuantum telah membangkitkan isi-isu penting di seputar hubungan antara 

hukum dengan kebetulan, bagian dengan keseluruhan, seerta pengamat dengan objek 

yang diamati. Lebih dari itu prinsip ketidakpastian Heisenberg dalam teori kuantum telah 

mengangkat wacana seputar sains dan agama. Pandangan sains tentang alam yang semula 

didasarkan pandangan Newtonian yang bersifat deterministic (pasti), bergeser menjadi 

probabilistic (peluang). Menurut prinsip ini , semakin akurat menentukan posisi 

sebuah electron dalam suatu atom, semakin tidak akurat dalam menentukan 

momentumnya. Demikian pula sebaliknya. Ketidakpastian juga berlaku juga untuk semua

pasangan variabel, seperti energi/waktu, wadah/isi, filosofis/ritual, dan sebagainya. 

Ketidakpastian disebabkan oleh objek alam dan pengamat masih dalam proses menjadi. 

Variabel proses merupakan keterbatasan, yang tidak memungkinkan untuk memastikan 

sebab  yang pasti itu yaitu   peluang. 

Uraian-uraian di atas relevan dengan beberapa teori-teori fisika, yaitu Teori 

Elektromagnetisme, Teori Gelombang Materi, Teori Kondensasi, Teori Osilasi, Teori 

Vibrasi, dan Teori Fisika Energi atau Fisika Kuantum sebab  dalam teori-teori ini 

dapat memaparkan secara terperinci tentang hubungan materi dengan energi, sebab 

materi bisa berubah wujud menjadi energi, dan demikian sebaliknya energi pada saat yang 

lain juga dapat berubah wujud menjadi materi. Berdasarkan landasan sains terdapat 

beberapa teori penciptaan alam semesta seperti teori Big Bang, keadaan Tetap (steady 

state theory), teori kabut (nebula), planetisimal, teori radiasi dasar gelombang mikro 

kosmik. Sedangkan dalam konsep Hindu terdapat beberapa teori-teori dalam berbagai 

literatur Hindu mengenai penciptaan alam semesta. Berdasarkan beberapa ayat Veda Sruti

seperti dalam RgVeda dan juga Atharwa Veda. Sedangkan, dalam Purana, dipaparkan 

penciptaan alam semesta dalam Bhagawata Purana yang dimana penciptaan alam 

semesta dibagi menjadi dua fase, pertama penciptaan alam semesta oleh Visnu/Narayana, 

fase kedua penciptaan alam semesta material oleh Dewa Brahma yang lahir dari pusar 

Visnu. Selain itu, dalam lontar Bali yakni Buwana Kosa juga dikisahkan penciptaan alam 

semesta. Menurut lontar ini Tuhan disebut Bhatara Siwa (Siwaistik). Bhatara Siwa 

bersifat transenden dan immanen atau impersonal dan personal. Bhatara Siwalah menjadi 

sumber segala dan menjadi segala serta ternpat kembalinya segala itu 

Aktivitas ritual yaitu   aktivitas energi, sebab  itu teori-teori di atas relevan untuk 

dijadikan pisau bedah. Teori ini akan digunakan untuk menganalisis alasan sains dan 

teknologi mengapa umat Hindu menggunakan sarana tertentu dalam prosesi ritual, seperti 

alasan menggunakan kulkul, gamelan, kidung, genta, dan mantra. 

Donder (2005) menguraikan bahwa, esensi bunyi gamelan dan sebagainya, tidak

bisa terlepas dengan teori Mekanika Gelombang sebagai bagian dari ilmu Fisika, sebab  

bunyi hanya akan dapat dipahami dengan jelas manakala dijelaskan dengan teori ini. 

Dengan mengutip pandangan Acarya Cidananda Avandhuta sebagaimana dipetik oleh 

Wiyatmo, menguraikan bahwa menurut pandangan ilmu fisika, bahwa dunia alam 

semesta ini tersusun atas molekul-molekul, atom-atom, zarah-zarah sub atomik yang ber￾vibrasi. Zarah-zarah ini saling berinteraksi, menghasilkan zarah baru dan memusnahkan

zarah lainnya. Bagaikan tarian energi kosmik (siwa nataraja atau tandawa) dengan irama

kelahiran, kehidupan, dan kematian, semua proses itu merupakan penyusun utama 

seluruh alam semesta (Acarya Cidananda Avandhuta dalam Wiyatmo, 2004).

Konsep ini dikenal sebagai Fisika Kuantum pada abad modern, yang 

dikembangkan oleh Albert Einstein, Neils Bohr, dan Werner Heisenberg pada 

pertengahan abad ke-20. Pada semua pelaksanaan upacara yang menggunakan api, 

Agnihotra yaitu   dasarnya yang diuraikan dalam Veda. Agnihotra merupakan ritual Veda 

yang bersifat holistik tidak hanya bermakna religius-spiritual-magis, namun juga 

berkaitan dengan berbagai hal yang memiliki dimensi sains dan teknologi, seperti; 

bioenergi, psikologi, obat-obatan, pertanian, biogenetik, mikrobiologi dan komunikasi 

interplanet (Paranjape dalam Jendra, 1999). Dalam berbagai sumber pemberitaan, ritual 

Agnihotra dinyatakan memiliki multi fungsi antara lain; psikoterapi, rekayasa biogenetik, 

planologis, multi terapi. Terdapat informasi bahwa ribuan orang, umumnya dari Amerika 

Utara, Amerika Selatan, Eropa Barat, dan Eropa Timur, telah mendapatkan kesembuhan 

dan manfaat lainnya dari terapi Agnihotra atau Homa. Masih banyak lagi manfaat 

Agnihotra itu, antara lain bahan-bahan yang telah menjadi abu di dalam api persembahan 

itu dapat dijadikan sebagai; kapsul, bubuk, kream, untuk terapi atau pengobatan; sakit 

telinga, hidung, tenggorokan (THT), dan lain-lainnya. Abu Agnihotra inilah yang dapat 

dimanfaatkan secara maksimal dalam berbagai kesulitan, keluhan, dan aneka penyakit. 

Kesimpulannya yaitu   bahwa Agnihotra merupakan pendekatan holistik terhadap hidup 

dan kehidupan terutama pada zaman IPTEK yang telah banyak membawa dampak negatif 

dalam perikehidupan manusia (Paranjape dalam Jendra, 1999).

2. Catur Pramana sebagai Metode Ilmiah Hindiusme 

Hindu mengagungkan ilmu pengetahuan sebagai anugerah Tuhan untuk dapat 

didaya gunakan dengan baik oleh manusia sehingga dapat mempermudah manusia dalam 

kehidupannya (Sumertini, 2021). namun  kembali lagi kepada azas tunggal yang tidak 

dapat diabaikan bahwa setiap hal harus dilakukan berdasarkan dharma, sehingga 

keseimbangan hidup dapat dicapai yang menuju pada tercapainya tujuan hidup dalam 

agama Hindu yaitu “Mokshartam Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”. Ajaran Veda bersifat 

terbuka, sebagaimana digambarkan dengan ardhacandra dalam Pranava. Ruang lingkup 

ajaran Hindu telah dikelompokkan dalam tiga kerangka pokok, yaitu tattwa, Susila, dan 

ritual. Tattwa merupakan tiang utama, sekaligus fondasi bagi kedua kerangka yang 

lainnya. Pengamalan agama tanpa pijakan tattwa yang kuat, ibarat Gedung dibangun di 

atas pasir, yang mudah roboh jika dilanda banjir atau angin , Berkaitan 

dengan yajna tanpa dukungan tattwa, Brhadaranyaka Upanisad menyebut hanya akan 

menimbulkan kegelapan (timira), dan lontar Yajna Prakrti mengingatkan sebagai Kesia￾siaan belaka. 

Disamping berpedoman pada tattwa yang bersumberkan pada wahyu suci Tuhan, 

Hindu juga memiliki umat Hindub-umat Hindub filsafat (Darsana). Salah satu filsafat 

Veda yang dikenal dengan Nyaya Darsana. Filsafat Nyaya sesungguhnya merupakan 

system pemikiran realistik, eksistensi benda-benda atau objek tidak tergantung 

(independent) pada pengetahuan dan pikiran pengamat (subjek). Ruang lingkup filsafat

Nyaya dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu teori pengetahuan, teori dunia fisika, 

teori jiwa individual dan kelepasan, serta teori tentang Tuhan 

Epistemologi Nyaya memaparkan tentang empat cara untuk memperoleh dan 

mengembangkan ilmu pengetahuan yang dapat umat Hindu sebut sebagai metode 

ilmiahnya Hindu. Keempat cata ini  dinamakan Catur Pramana (Maswinara, 1998), 

yaitu pengamatan (pratyaksa), penalaran (anumana), pemodelan (upamana), dan 

kesaksian (sabda). Uraian keempat cara ini  dapat dipaparkan sebagai berikut.

a. Pratyaksa Pramana

Cara untuk memperoleh pengetahuan melalui pengamatan langsung terhadap 

suatu objek dengan atau tanpa menggunakan alat bantu. Berkaitan dengan Pratyaksa 

pramana, Filsafat nyanya mengajarkan empat faktor yang mempengaruhi kebenaran data 

yang diperoleh lewat pengamatan yaitu (1) keadaan subjek pengamat (2) keadaan objek 

yang diamati (3) keadaan hasil yang diinginkan serta (4) keadaan alat dan cara untuk 

mengamati Pemerolehan pengetahuan lewat pratyaksa pramana menggunakan metode 

induktif. Tingkat pengamatan ada dua macam yaitu: Nirvikalpa (presepsi tak pasti) dan 

savikalpa (perspesi pasti) Nirvikalpa maksudnya pengamatan tanpa penilaian dan 

hubungan dengan subjek, sebaliknya savikalva menyangkut pengenalan secara mendalam 

tentang ciri-ciri dan sifat objek yang diamati. Objek pengamatan tidak hanya bersifat 

substansif materil namun  juga tentang tingkah laku (praverti). Dalam proses pengamatan, 

alat indera pengamat memiliki hubungan khusus dengan objek sasaran (Sumawa, 1996) 

Hubungan antara alat indera dengan objek menimbulkan adanya persepsi. Persepsi yang 

muncul dari hubungan langsung antara alat indra dengan objek sasaran disebut persepsi 

biasa (laukika) sedangkan persepsi yang muncul dari hubungan tidak langsung, 

menggunakan media tertentu disebut perspsi luar biasa (alaukika). Perspsi biasa dibagai 

menjadi dua sesuai dengan alat panca indra yang dipakai. Penggunaan panca indera 

(indera luar) untuk mengamati objek tertentu berkaitan dengan unsur pembentuk dan 

organ alat indra ini . Mata hanya mampu menangkap sinar tampak untuk dapat 

melihat warna dan bentuk benda. 

b. Anumana Pramana

Cara untuk memperoleh pengetahuan melalui analisis terhadap gejala-gejala yang 

diamati. Anumana pramana menjadi sangat penting sebab  tidak semua objek 

pengamatan bersifat kasat mata, walaupun tetap kasat logika. Pemorelahan pengetahuan 

dengan anumana pramana melalui lima tahapan kegiatan (silogisme) sebagai berikut: 1) 

Pengenalan gejala yang teramati, misalnya dari kejauahan tampak gunung mengepulkan 

asap 2) Pengenalan atas faktor umum penyebab gejala ini  misalnya asap ditimbulkan 

oleh api. 3) Menyusun hipotesis berdasarkan gejala atau fenomena yang diamati, 

misalnya gunung ini  mengeluarkan asap berarti ada api di dalamnya 4) Menerapkan 

aturan umum ini  pada objek yang diamati, misalnya api ini  berasal dari letusan 

yang dikeluarkannya 5) Merumuskan simpulan akhir, misalnya gunung ini  termasuk 

gunung berapi. Dengan demikian pemerolehan pengetahuan lewat anumana pramana 

menggunakan metode deduktif.

c. Upamana Pramana 

Cara untuk memperoleh pengetahuan dengan membandingkan suatu objek yang 

akan dipelajari berdasarkan objek lain yang sudah dikenal termasuk dari persamaan dan 

perbedaan. Kebenaran pengetahuan yang diperoleh dengan cara seperti sangat tergantung 

dengan variabel yang dibandingkan. Semakin banyak variabel yang diteliti semakin besar 

peluang kebenarannya. Termasuk upamana pramana yaitu   pengetahuan yang yang 

diperoleh lewat analogi dan simbolik. Sebagai sebuah contoh seseorang belum mengenal 

harimau, dapat diberikan informasi bahwa harimau mirip kucing, namun jauh lebih besar. 

Jika suatu saat dia pergi kekebun binatang. Maka dia langsung mengenali harimau hanya 

dengan melihat kemeiripannya dengan kucing ini . lebih lanjut penggunaan simbol 

dan analogi sangat diperlukan dalam pembelajaran sains mengingat tidak semua objek 

mata pelajaran agama dapat diamati secara kasat mata

d. Sabda Pramana 

Cara untuk memperoleh pengetahuan dari kesaksian yang dapat dipercaya. Dua 

sumber otentik yang dimaksud yaitu   kesaksian dari orang yang dapat dipercaya. Dua 

sumber otentik yang dimaksud yaitu   kesaksian dari orang yang dapat dipercaya (laukika sabda dan kebenaran yang diwahyukan langsung oleh Tuhan dalam pustaka suci (waidika 

sabda/pemerolehan pengetahuan lewat sabda pramana sangat penting untuk memahami 

kebenaran akan objek yang tidak kasat mata, namun kasat logika sebagai sebuah contoh, 

mengakui kebenaran ungkapan yang disampaikan oleh para ilmuwan yang menyatakan 

bahwa garam dapur dibentuk dari reaksi unsur natrium (beracun) dengan gas klor 

(beracun) Pada proses pembentukan garam dapur murni terjadi transfer electron dari 

atom-atom logam natrium menuju molekul-molekul gas klor, sehingga terbentuk ion 

positif (kation) natrium dan ion negatif (anion) klorida. Kedua jenis ion yang bermuatan 

berlawanan ini  tidak bersifat racun lagi dan saling berikatan satu dengan lainnya 

dalam struktur isi kristal berbentuk kubus. Pandangan ilmuwan ini  umat Hindu

sebagai sebuah kebenaran. Kebenaaran itu bisa diketahui siswa dari gurunya (gurutah) 

atau dari dokumen sastra (sastratah) hal senada juga terjadi pada penerimaan umat Hindu

terhadap penjelasan tentang tentang jiwa dalam pustaka suci. Walaupun tidak pernah 

melihat jiwa, namun umat Hindu percaya ada sesuatu yang menyebabkan mahkluk itu, 

hidup dan mati jika ditinggalkannya. Akhirnya menurut filsafat Nyaya sesuatu dinyatakan 

benar jika sesuai dengan kenyataan (korespodensi) atau dapat diterima dengan penalaran.

3. Memahami Brahman Lewat Sains.

Dalam banyak agama, keberadaan dan hakikat Tuhan ada dalam zone yang tidak 

boleh diperbincangkan, jika tidak ingin disebut murtad. Tuhan Berwujud Suprapersonal 

yang mengawasi seluruh prilaku manusia. Doa senantiasa siap memberikan berkah bagi 

mereka yang tunduk dan patuh kepada Tuhan, namun sebaliknya menghukum mereka 

yang melanggar larangan-larangannya. Di sisi lain, sains modern dan spiritual Vedanta 

menghayati Brahman sebagai impersonal God yang mengatur alam semesta lewat 

hukum-hukumnya. Bahkan, Dia sendiri lewat awatara-awatara-Nya juga memberikan 

contoh tentang ketaatan terhadap hukum-hukum-Nya itu, walaupun tidak ada kekuatan 

lain yang mampu menghalangi-Nya 

Berkaitan dengan Brahman, dalam Chandogya Upanisad VI.13.1-2. Terdapat 

percakapan yang sangat menarik tentang keberadaan-Nya Dimana-mana. Disebutkan, 

Bhagawan Uddalaka memberikan petunjuk kepada anaknya, Svetaketu, agar melarutkan 

garam ke dalam air. Melalui anumana dan upamana Pramana berbasis sains, sang ayah 

menjadikan percobaan yang dilakukan oleh putranya itu sebagai wahana untuk 

menjelaskan bahwa Brahman sesungguhnya ada di sini, namun  sang anak tidak mampu 

melihat-Nya, sama seperti ketidakmampuan manusia melihat garam di dalam air. Hal 

senada juga dipaparkan dalam Svetasvatara Upanisad I.13-14, yang menganalogikan 

Brahman bagaikan minyak di dalam santan, dan api di dalam kayu. Hanya dengan yoga

semuanya akan tampak. Nasehat ini juga dapat ditemukan dalam kakawin Arjuna Wiwaha 

XI:1. Ring angambeki yoga kiteng sakala.

sebab  keterbatasan kemampuan alat-alat Indera yang manusia miliki, Brahman

menjadi tidak kasat Indera, walaupun tetap kasat logika. Perumpamaan Brahman sebagai 

matahari tampaknya merupakan model upamana Pramana yang sangat tepat. Siapa pun 

tidak mampu melihat matahari dengan mata fisik sebab  dia berupa gugusan gas berpijar. 

Matahari dikenali dari sinar yang dipancarkannya ke bumi. Demikian juga dengan 

Brahman. Lewat sinar-sinar suci-Nyalah (dewa) umat Hindu memuliakan Beliau. 

Para ilmuwan mengetahui setiap sinar yang dipancarkan oleh matahari berbeda 

pengaruhnya terhadap bumi dan kehidupan yang ada di atasnya, sebab  itulah diberikan 

nama berbeda. Sejalan dengan itu, dewa-dewa dalam Veda diberikan nama berbeda-beda 

sebab  mempresentasikan kekuatan dan peran berbeda pula. Setiap sinar matahari 

memiliki energi dan fungsi tertentu. Hal yang sama juga tampak pada sinar-sinar suci 

Tuhan. jika   dilewatkan pada sebuah prisma kaca, atau juga setetes embun, Cahaya matahari akan terurai menjadi warna warni: merah, jingga, kuning, hijau, biru nila, dan 

ungu. Cahaya ssuci-Nya akan terkait dengan warna-warna tertentu. Dewa Brahma 

disimbolkan dengan warna merah, Siwa putih, Mahadewa kuning, dan seterusnya.

Pertanyaan yang sering muncul dari umat beragama lain, jika dewa-dewa itu tidak 

lain yaitu   sinar suci Tuhan, yang satu, mengapa tidak disebut Tuhan saja? Tidak perlu, 

dan jangan diberikan nama lain lagi, apalagi dipersonifikasikan. Andaikata penghayatan 

dipandang salah, penghayatan para ilmuwan tentang sinar pun tidak dapat dibenarkan. 

Dalam hal ini, umat Hindu hendaknya dapat membedakan antara pengertian hakikat, 

pengertian penghayatan, dan pengertian praktis; yang semuanya itu tidak boleh 

dicampuradukkan. Umat Hindu secara tattwa (hakikat) meyakini adanya satu Tuhan, 

sebagaimana diungkapkan dalam Chandogya Upanisad IV.2.1, “Ekam evadvityam 

Brahman.” Tuhan hanya satu, tidak ada yang kedua. Di sisi lain, untuk keperluan praktis, 

umat memuja Beliau lewat sinar-sinar suci-Nya, sehingga memunculkan hubungan 

khusus antara penyembah dengan Istadewata pujaannya. Keadaan ini dapat dibenarkan,

sebagaimana disebutkan dalam Rgveda I.1964.46, “ekam sad vipra bahudha vadanty.”

Artinya, Tuhan itu satu, hanya orang-orang bijaksana menyebut dengan banyak nama, 

Tuhan menjadi jamak; namun sebab  tidak bijaksanalah orang-orang 

mempertentangkannya. 

Selajutnya pengetahuan mengenai Brahman atau Tuhan pada dasarnya dipandang 

masuk kedalam sebuah kajian yang disebut dengan teologi. Kata teologi yang memiliki 

pengertian sebagai ilmu tentang Tuhan secara etimologi dipadankan dengan istilah 

Brahmavidya dalam keyakinan Hindu. Brahma yang memiliki arti Tuhan dan Vidya

artinya pengetahahuan. Sehingga Brahmavidya sesuai jika dipadankan dengan teologi 

sebagai sebuah kajian untuk dapat memahami Tuhan secara mendalam. Dalam kajian 

Brahmavidya pengetahuan tentang Tuhan yang tidak beratribut masuk kedalam wilayah 

pengetahuan paravidya, pada wilayah paravidya pengetahuan tentang Tuhan disebut 

Nirguna Brahman sedangkan dalam wilayah aparavidya Tuhan disebut dengan Saguna 

Brahman. Tuhan dalam konsep Nirguna Brahma tidak memiliki bentuk tertentu, tidak 

memiliki nama tertentu serta tidak dapat dibayangkan sebagai sesuatu apapun, sebab 

Brahman bukanlah ini dan itu (neti-neti) yang mirib dengan istilah barat Impersonal God. 

Selama kita memberi nama apapun, maka nama itu, entah nama suci ataupun tidak suci 

maka itu telah mendefinisikan Tuhan yang tak terabatas, Tuhan yang maha segalanya, ke 

dalam hal-hal yang terbatas. Hal ini tidak mungkin, oleh sebab itu Brahmavidya

“pengetahuan tentang Tuhan” pada wilayah ini tidak mengizinkan pemujanya untuk 

membayangkan Tuhan sebagai apapun (Donder, 2009).

Sedangkan wilayah pengetahuan Saguna Brahman yaitu   Brahman yang sudah 

mendapatkan pengaruh maya yang sering juga disebut aparabrhaman. Dalam berbagai 

sumber khususnya lontar-lontar tatwa yang terdapat di Bali dikelan dengan istilah Sada 

Siwa. Dalam wilayah Saguna Brahman Tuhan juga disebut sebagai Tuhan yang imanen. 

Dalam Kamus Besar Bahsa Indonesia (KBBI) kata imanen berada dalam kesadaran atau 

dalam akal budi (pikiran). Tuhan dalam bentuk yang imanen artinya Tuhan dalam sifatnya 

yang terjangkau oleh akar pikiran manusia. Diantara berbagai wilayah teologi, maka 

teologi Saguna Brahma atau teologi yang mengenakan kepada Tuhan berbagai macam 

atribut yang juga dapat disebut sebagai theology personal God, yaitu   wilayah teologi 

yang paling mudah untuk didekati oleh nalar manusia. sebab  itu dalam wilayah teologi 

ini peran otak, nalar atau akal menjadi sangat penting dan perlu dihargai (Donder, 2009: 

39). Sebagai manusia yang memiliki keterbatasan akibat pengaruh maya yang 

menyeliputi seluruh indria, tentu akan sangat sulu untuk dapat memahami Tuhan dalam 

wilayah Nirguna Brahman. Maka dari itu, kajian mengenai Tuhan yang dapat dijangkau 

oleh manusia yaitu   terletak pada wilayah Saguna Brahman, dimana dalam wilayah ini  Brahman telah memiliki atribut sehingga manusia dapat lebih mudah untuk dapat 

memahami dan menyadari keberadaan dari Tuhan itu sendiri. Dalam melakukan perannya 

sebagai pengatur alam semesta, Tuhan memanifestasikan diri sebagai Tri Murti, yang 

secara harfiah bermakna tiga wujud suci Tuhan. Ketiga wujud suci ini  yaitu   

Brahma, Visnu, dan Siva. Kata Brahma berasal dari urat kata brh, yang artinya tumbuh, 

berkembang, berevolusi. Yang bertambah besar, yang meluap dari diri-Nya. Hal ini 

diibaratkan dalam Mundaka Upanisad, bagaikan seekor laba-laba membuat rumah 

dengan benang-benang sutra yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Kelak benang￾benang itu akan ditarik Kembali ke dalam tubuhnya, bagaikan pralaya menimpa jagat ini. 

Dewa Brahma mampu menciptakan dunia sebab  memiliki kekuatan (sakti), yaitu 

Dewi Saraswati. Saraswati berasal dari kata saras berarti mengalir, dan wati bermakna 

sifat. Jadi Saraswati yaitu   sesuatu yang bersifat mengalir. Lalu apalah yang sifatnya 

mengalir? Di jagat raya yang agung, yang bersifat kasat mata (sekala) ada air, sedangkan 

di alam niskala yang abstrak, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaanlah yang bersifat 

mengalir, sehingga sering direpresentasikan dengan ungkapan banyupinaweruh

(banyupinaruh). Selain berpengetahuan, pencipta juga berpandangan luas (Catur Muka), 

serta memiliki energi, kemauan, dan kehendak yang dilambangkan dengan api. Api atau 

agni keluar dari tapa, dan lewat tapa Brahma menciptakan alam semesta (Brahmanda) 

beserta isinya. Ungkapan Brahmanda, telur Tuhan,” juga memberikan petunjuk bahwa 

alam semesta ini berbentuk bulat pipih, tidak datar ,

Merah yaitu   warna api, warna kekuatan dan proses penciptaan. Proses 

penciptaan bercirikan warna merah di ufuk timur, demikian pula terciptanya malam 

diawali dengan warna merah di ufuk barat. Manusia juga tercipta diawali dengan warna 

merah, bahkan untuk menginjak dewasa pun bagi anak-anak putri juga ditandai dengan 

merah. Merah yaitu   warna pertama, panjang gelombang tertinggi yang dapat manusia

lihat. 

Kata Visnu, memiliki makna meresapi segalanya, sebab  Dia memang meresap ke 

dalam seluruh ciptaan-Nya. Dia bersifat wayapi wyapaka, sehingga tepat jika disebitkan 

bahwa Isvarah sarva bhutanam. Tuhan ada pada segala ciptaan-Nya sebab  Dia meresap 

ke dalam Ciptaannya itu. Ibarat warna hitam, yang menyerap segala jenis Cahaya yang 

jatuh kepadanya, demikian Sri Visnu terserap ke seluruh makhluk ciptaan-Nya. Ciptaan￾Nyalah yang menjadi badan-Nya. Untuk dapat memelihara kehidupan, Visnu hadir 

dengan kekuatan sakti-Nya, yaitu Sri Laksmi, Sang Dewi yaitu   penguasa kesejahteraan, 

kemakmuran, dan segala bentuk fasilitas yang diperlukan untuk manusia untuk menopang 

dan menjalani hidupnya. Tanpa dukungan fasilitas, manusia susah menjalani hidupnya. 

Untuk mengatur kehidupan, Visnu dilambangkan memiliki tiga kepala (Tri Sirah). 

Dengan tiga kepala Beliau memenuhi tiga kebutuhan pokok manusia (bhoga, upabhoga, 

paribhoga), tiga macam Kesehatan (fisik, emosional, dan spiritual), dan seterusnya. 

Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini , Visnu hadir sebagai Yang Maha Ada, 

sebagai Dewa Kesuburan dengan lambing hitamnya. Sebagai contoh, warna mendung 

menghitam akan mendatangkan air hujan, dan tanah yang kehitam-hitaman juga 

menunjukkan kesuburan (Suja, 2010). Di sisi lain, air juga menjadi simbol kekuatan dari 

Visnu. Pertemuan air (Visnu) dengan tanah (Pertivi) dalam purana disebutkan telah 

melahirkan Boma (tumbuh-tumbuhan), dan dengan tumbuh-tumbuhan itulah Visnu

memelihara kehidupan.

Visnu diperlambangkan sebagai air. Beliau dimanifestasikan sebagai Ista Devata

di Pura Segara, Hulun Danu, dan juga di Pura Puseh. Hal ini mengindikasikan bahwa 

kehidupan makhluk hidup dapat dipelihara dengan adanya senyawa air yang bersimbol 

(H2O). jika   berpikiran secara sains kehidupan dimulai dengan adanya air dan misi 

penelitian di ruang angkasa melacak residu-residu air di planet-planet di luar angkasa sana. jika   ditelisik dari kajian Hindu adanya jalur evolusi spiritual maupun fisik dari 

para Awatara yang dimulai dari Matsya Awatara yang dimulai dari air. Lebih lanjut 

kehidupan dapat berlangsung jika   didukung dengan tambahan makanan sebagai 

sumber energi penggerak tubuh. Peran tumbuh-tumbuhan sampai saat ini belum dapat 

tergantikan. Namun tanpa dukungan air tentunya fotosintesis pada tumbuh-tumbuhan 

tidak mampu menghasilkan makanan. Dewa ketiga dalam Tri Murti yaitu   Siva. Peran 

dewa Siva sebagai pemralina. Siva, memiliki makna baik hati, pemaaf, menyenangkan, 

membahagiakan dan sejenisnya. Siva yang mengantarkan makhluk hidup kembali kepada 

Hyang Sangkan Paraning Dumadi. Tanpa peran Siva, dunia akan penuh oleh makhluk 

hidup yang terlahir dan hidup terus menerus sehingga dunia akan penuh. 

Personifikasi dewa Siva hadir secara sederhana. Warna putih merupakan lambing 

kesucian dan keadilan. Secara ilmiah warna putih merupakan gabungan seluruh sinar￾sinar yang ada. Pengikut Sivaisme beralasan bahwa seluruh kekuatan dewa-dewa lain 

menyatu dalam diri Siva. Dia yaitu   penegak hukum karma, dengan dampingan dua

Sakti, yaitu Parvati dan Durga. Kedua Sakti ini  memiliki peran yang berbeda untuk 

Siva. Dewi Parvati dipersonifikasikan sebagai dewi yang lemah lembut, cantik, dan 

pemaaf, sedangkan Dewi Durga sosok dewi menyeramkan yang menjulurkan lidahnya. 

Sejatinya wajah hanyalah perbedaan pemikiran orang yang memandangnya. Wajah 

hakim yang sama, bisa dipandang berbeda oleh orang baik dan orang jahat. Seorang guru 

memiliki roman muka yang sama, namun dapat memiliki ekspresi berbeda dikala 

memarahi atau memuji muridnya. Dari Siva umat Hindu belajar banyak tentang 

kehidupan akan Kembali ke muasalnya. Lembu Nandini sebagai wahana Siva, sedangkan 

Dewi Durga berwahana Singa. Kedua Binatang ini  menunjukkan karakter berbeda. 

Di leher Siva melilit ular kobra, yang senantiasa dekat dengan wahana Dewa Ganesha, 

tikus. Sementara itu burung merak yaitu   wahana dewa Karttikeya. Semua yang berada 

dalam keluarga besar dewa Siva menampakkan karakter yang berbeda, namun mereka 

hidup dengan damai, malah bertentangan dari segi ukuran dunia. Mereka menghargai 

perbedaan, Bersatu dalam kebhinekaan. Ini yaitu   contoh terbaik untuk umat Hindu

pelajari, cinta kasih lahir dari kebhinekaan. Cinta menjadi dasar dari Karma Yoga, 

pelayanan tanpa pamrih. Pelayanan akan memurnikan hati, dan kemurnian hati 

membangkitkan sifat-sifat kedewataan dalam diri. Demikian adanya prinsip unity-purity￾divinity (kesatuan, kemurnian dan ketuhanan) yang wajib dibangun pada diri setiap umat 

manusia. 

Demikianlah jika   umat Hindu yakin kepada Tuhan maka dapat memahami￾Nya dengan beranalogi dan merefleksi diri pada alam. Para saintifis banyak dikenal 

sebab  menemukan Hukum alam (Rta). Selanjutnya, para insinyur mewujudkan hukum

ini  menjadi teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Keberadaan alam 

dari Tingkat atomik menuju makrokosmos menjadi sedemikian teraturnya sehingga dapat 

memanfaatkannya untuk hidup semata-mata sebab  ada kekuatan mahadahsyat di balik 

semua itu. Dialah Sang Penari Kosmis, Siva Nataraja  sebagaimana 

disabdakan oleh Sri Krsna dalam Bhagawadgita IX.8. “Seluruh susunan dari alam 

semesta ini berada dibawah-Ku, atas kehendak-Ku ia diwujudkan berulang kali, dan atas 

kehendak-Ku pula ia akan dihancurkan pada akhirnya.”

Dalam perspektif agama Tuhan diasumsikan sebagai puncak spiritual tertinggi, 

Aristoteles mengasumsikan Tuhan sebagai eksistensi dari Sang Penggerak, segala sesuatu 

yang ada diantara ada yang ada  Perspektif Tuhan oleh Aristoteles 

berkorelasi dengan paham Hindu Dalam Atharva Veda secara tegas dijelaskan, pada sloka 

yang berbunyi “Wyapi Wyapaka ta SarvaGhata” yang artinya “tuhan ada dimana mana 

dan beliau meresapi semua ciptaanya 4. Memahami Atman Lewat Sains.

Umat Hindu pada umumnya memiliki dasar keyakinan atau Sradhha yang 

digunakan sebagai pijakan dari upaya menganal Tuhan secara menyeluruh. Ajaran ini 

secara mendalam tertuang dalam konsep Pañca Śraddā. Dua diantara kelima bagian dari 

Sraddha ini  yaitu   meyakini keberadaan Tuhan atau Brahman (Widhi Śraddhā) dan 

percaya akan adanya Ātma sebagai sumber yang menghidupi diri manusia. Ātma yang 

berada dalam diri manusia biasanya dikelan dengan istilah jiwatman. Konsep mengenai 

ātma pada dasarnya telah tertuang dalam berbagai pustaka suci Hindu yang secara 

keseluruhan pada dasarnya menguraikan bahwa asal dari pada ātma sesungguhnya yaitu   

Brahman itu sendiri. Sebagai bagian yang berasal dari Brahman tentunya suatu saat ātma 

harus kembali pada Brahman. Hal inilah yang sesungguhnya dapat dikatakan sebagai 

tugas utama manusia untuk dapat menghantarkan ātma menyatu dengan Brahman. Ātma 

sebagai bagian dari Tuhan yang murni tentunya memiliki kemurnian yang berbeda 

dengan badan kasar manusia, ātma yang berada dalam diri manusia sesungguhnya tidak 

terpengaruh terhadap segala keinginan indriaindria manusia walaupun pada dasarnya 

ātma merasakan segalanya dan memahami segala yang dilakukan oleh manusia. Dalam 

sudut pandang teologi hal ini tertuang dalam Chāndogya Upanisad VIII.7.1 yang 

menjelaskan sebagai berikut: 

Ya ātma apahata pātmā vijaro vimrtyur visako vijighatso ‘pipāsah satya kāmah, 

satya samkalpah, so ‘nvestavyah, so vijijñāsitavyah sa sarvāms ca lokān āpnoti 

sarvāms ca kāmān. Yas tam ātmānam anuvidya vijañati. Iti ha prajāpatir uvāca

(Chāndogya Upanisad VIII.7.1)

Terjemahan: 

Ātma bebas dari kejahatan, bebas dari tua, bebas dari kematian, bebas dari 

kesdihan, bebas dari lapar dan haus. Yang keinginannya yaitu   kebenaran. Ia 

dapat dicari, padanya seseorang dapat berkeinginan untuk memahaminya. 

Seseorang yang telah menemukannya dan memahaminya, ia mendapatkan dunia, 

seluruhnya. Demikian Prajapati berkata 

Kutipan Chāndogya Upanisad VIII.7.1 di atas memberikan pemahaman bahwa 

ātma yang berada dalam diri manusia tidak mendapat pengaruh pada apa yang terjadi 

dengan indria-indria manusia, dan juga menguraikan betapa pentingnya memahami 

keberadaan ātma yang berada dalam diri manusia sehingga mempu mencapai kesadaran 

yang tertinggi dan mampu menyatukan diri dengan sang pencipta. Penyatuan ātma 

dengan Brahman akan mengakhiri penderitaan terlahir berkali-kali sebagai makhluk yang 

berbeda di alam semesta ini, sehingga yaitu   kewajiban bagi setiap makhluk untuk 

memahami keberadaan ātma yang merupakan Brahman itu sendiri. Kata Ātma menurut 

S. Radhakrishnan dalam buku yang berjudul “Panca Dhātu, Atom, Atma, dan Animisme” 

karangan I Ketut Donder berasal dari akar kata bahasa sanskerta “An” yang berarti 

bernafas, dia yaitu   nafas yang hidup, jiwa, diri atau oknum dari perseorangan 

Sehingga jelas bahwa ātma sebagai bagian yang berada didalam diri manusia yang 

memberikan kehidupan pada semua makhluk pada alam semesta ini. Pernyataan bahwa 

ātma merupakan bagian dari kehidupan setiap makhluk dikuatkan secara teologi dengan 

beberapa sumber yang menjelaskan bahwa ātma/ Brahman itu sendiri yaitu   yang 

memberikan kehidupan yang posisinya tidak lain yaitu   terletak dalam diri setiap 

makhluk itu sendiri. Hal ini tertuang dalam pustaka suci Bhagavadgita dan Athavaveda

yang menyampaikan sebagai berikut: 

Aham ātmā gudākeśa Sarva-bhūtāśaya-sthitaḥ Aham ādiś ca madhayaṁ ca 

Bhūtānām anta eva ca (Bhagavad Gitā X.20) Terjemahan: 

Aku yaitu   sang diri yang ada dalam hati setiap makhluk, wahai Gudākeśa, aku 

yaitu   permulaan, pertengah dan akhir dari mahkluk semua 

Akāmo dhiro amṛtaḥ svayaṁbhū rasena tṛpto na kutaścanonaḥ, tameva vidyān na 

bibhāya mṛtyorātmānaṁ dhiramajaraṁ yuvānam (Atharvaveda X.8.44) 

Terjemahan: 

Terbebas dari hawa nafsu keinginan, memiliki sifat bijaksana (dhira), terbebas 

dari kematian, dapat mengendalikan dirinya sendiri, mengenyangkan dirinya 

dengan persembahan berupa sari buah, tidak kekurangan suatu apapun dengan 

pencapaian kebijaksanaan itu, ia tidak takut lagi akan kematian dan senantiasa 

muda dan tidak lapuk usia 

Selain kutipan sloka di atas, tentu masi banyak pustaka suci yang menjelaskan 

tentang keberadaan dari ātma yang merupakan bagian dari Tuhan yang memberikan 

kehidupan bagi setiap makhluk. Kemurnian ātma sebagai jiwa individual tidak memiliki 

nafsu, kekal, bijaksana dan sempurna dalam berbagai hal. Secara sederhana dari kutipan 

sloka Bhagavadgita X.20 dan Atharvaveda X.8.44 umat Hindu dapat memahami bahwa 

ātma sebagai percikan terkecil dari Tuhan yaitu   Tuhan itu sendiri. Dalam upaya 

memperkuat keyakinan terhadap ātma dan Brahman, perlu dipahami pula bahwa Tuhan 

berada di dalam dan diluar makhluk hidup sifatnya sangat halus sehingga manusia dengan 

penuh keterbatasan tidak memiliki kemampuan untuk mencapai hal ini  dengan 

mudah. Jika dikaji lebih mendalam dalam pandangan filsafat yang memerlukan 

penjelasan konkrit mengenai asal muasal dari ātma maupun Brahman tentunya tidak 

dapat dipungkiri bahwa ada kekuatan diluar nalar manusia yang disebut dengan Tuhan 

sebagai sumber dari segala yang ada maupun akan ada. Alam semesta dan kehidupan 

yang ada pada bumi ini tentunya tidak mungkin dilakukan oleh mahkluk biasa seperti 

manusia dan lainnya, tentunya ini semua terjadi melalui proses penciptaan yang 

melibatkan campur tangan Tuhan yang memiliki kemahakuasaan yang tinggi.

Menurut konteks Hindu, pengetahuan berkembang bersumber dari proses-proses 

kejiwaan yang melibatkan interaksi dan koordinasi dari dunia objek, indera manusia, 

manah, budhi, atman, dan jiwatman . Dunia objek menyumbangkan 

stimulasi kepada manah melalui perantara indera. Manah memiliki kesaktian untuk 

mengembangkan pengetahuannya yang terikat pada sifat-sifat guna. Budhi

mengendalikan pengetahuan atau kesadaran dari manah dan memberikan sifat-sifat 

reflektif dan kesadaran moral. Refleksi akan sangat berguna bagi manusia untuk 

mempertimbangkan langkah selanjutnya dari suatu renungan suci akan fenomena dirinya 

maupun alam semesta. Semua kesadaran ini dapat terjadi sebab  manusia memiliki atman 

sebagai sumber kesadaran yang sesungguhnya berasal dari kesadaran Brahman. 

Sinergisitas pengembangan pengetahuan ini menjadikan pengetahuan manusia sangat 

kompleks dan berdimensi ganda. Pengetahuan berkembang melalui proses-proses 

inderawi, emosional, intelektual, moral dan sosial, reflektif, dan proses-proses spiritual. 

Inilah kecerdasan ganda menurut Hindu. Pendidikan dan pembelajaran haruslah mampu 

memberdayakan proses-proses ini  sehingga diharapkan mencapai pengembangan 

manusia dengan kecerdasan seutuhnya. 

Hindu memandang Veda sebagai sebuah sumber pengetahuan (vidya). Oleh 

sebab nya. Veda memberikan segala macam pengetahuan. Apa yang ingin diketahui dari 

Veda, maka, ia memberikannya dengan tulus hati. Begitu juga ketika ingin memahami 

mengenai alam semesta dalam Hindu. Umat akan menemukan satu keilmuan mengenai 

alam semesta dalam Veda. Yakni Kosmologi Hindu. Kosmologi yaitu   ilmu pengetahuan 

yang mempelajari tentang seluk beluk alam semesta. Istilah kosmologi dalam Agama 

Hindu dapat disejajarkan dengan istilah Virat vidya, sebab  virat sama artinya dengan kosmos atau alam semesta, dan vidya yaitu   artinya pengetahuan . Berbicara mengenai hubungan sains dan agama dalam hal penciptaan alam 

semesta umat Hindu ambil dalam satu teori penciptaan alam semesta kaitan antara teori 

big bang dan teori penciptaan alam semesta dalam Bhagawata Purana. Secara Ilmiah 

munculnya alam semesta dari pori-pori Tuhan dalam wujud Karanodakasayi Visnu ini 

diistilahkan dengan White Hole (Lubang Putih). Fenomena white hole sempat diamati 

oleh beberapa ilmuan yang merupakan area tempat terjadinya perubahan dari Energi 

menjadi Materi. Kenyataan ini dibenarkan dalam sloka Rgveda bab II.72.4 disebutkan 

“Aditer dakso ajayata, daksad uaditih pari” artinya: Dari aditi (materi) asalnya daksa

(energi) dan dari daksa (energi) asalnya aditi (materi). Perubahan dari energi menjadi 

materi diistilahkan dengan White Hole, Dalam konsep penciptaan Veda, perubahan ini 

dapat diistilahkan dengan Black Hole yang juga sangat sesuai dengan penemuan para 

ilmuan saat ini. 

Setelah terjadinya dentuman besar (big bang) Tuhan mengatur alam semesta lewat 

hukum alam (Rta), mencakup empat gaya dasar fisikan, yaitu: 1) gaya elektromagnetik 

yang mengendalikan perilaku Cahaya dan partikel bermuatan, 2) gaya nuklir lemah yang 

mengendalikan peluruhan radioaktif, 3) gaya nuklir kuat yang mengikat proton dan 

neutron dalam inti atom, dan 4) gaya gravitasi yang bekerja antarmassa dari suatu jarak 

tertentu. Keempat hukum itulah yang terus diburu, dirumuskan, dan dimanfaatkan oleh 

ilmuwan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.

Dentuman besar ini yaitu   alasan mengapa roh yang menjelma menjadi seorang 

anak bisa lupa dengan kehidupannya terdahulu. Menurut Garbha Upanisad dan Tutur 

Kanda Pat Rare. Kehidupan ini dimulai dari persaaan cinta dan kasih akan suatu 

kelahiran, yaitu pembuahan sel telur (kama bang) oleh sel sperma (kame petak), dengan 

berlandaskan hukum probabilitas. Roh akan merasuk didalamnya pada saat terbenturnya 

sperma dengan sel telur . Bagi objek yang sedemikian kecil, dampak yang 

disebabkan oleh benturan itu sangat dahsyat. Wajarlah menimbulkan kelupaan, seperti 

keadaan amnesia pada seseorang setelah mengalami benturan (kecelakaan). 

jika   atma yang merasuk dalam tubuh makhluk hidup yaitu   sama, namun

perilaku setiap individu justru berbeda. Untuk menjawab masalah ini , Karmavasana

dapat dijadikan dasar rasional penyebabnya. Atma yang diliputi oleh hasil perbuatannya 

di masa lalu, sebagai fungsi pengalaman dan kemelekatan, dinamakan roh. Kualitas roh 

itulah yang berbeda-beda, sehingga menampilkan watak dan prilaku berbeda oada tatanan 

individu. 

Karmavasana yang menyelimuti roh yang menghidupkan bakal individu baru 

memperkuat teori konvergensi yang dikemukakan oleh William Stern. Menurut teori ini, 

pertumbuhan dan perkembangan individu dipengaruhi oleh bakat (hereditas) yang dibawa 

oleh manusia dari lahir dan juga lingkungan, atau oleh dasar, dan ajar. Selain dasar dan 

ajar, adanya perbedaan karakter bagi orang-orang yang terlahir kembar siam, dan 

dibesarkan dalam lingkungan yang sama, hanya dapat dijelaskan dengan ketidaksamaan 

roh yang merasuki tubuh-tubuh yang digunakan. Adanya kasus, Dimana Si kembar siam, 

malah kembar dempet, yang tetap tidak dipisahkan menampakkan karakter, bakat, dan 

kesenangan berbeda, hanya bisa dijelaskan dengan perbedaan roh yang menggerakkan

mereka. Singkatnya, karakter seseorang tergantung pada dasar, ajar, dan roh 

Atma ibaratkan energi Listrik yang dipergunakan di dalam rumah umat Hindu. 

Jika menghidupkan AC menimbulkan efek dingin, jika menghidupkan setrika akan 

menimbulkan efek panas, serta pesawat televisi akan memunculkan suara dan gambar 

yang menarik untu umat Hindu. Energi listriknya sama, namun efeknya tergantung pada 

peralatan yang dimasukinya. Demikian juga atma yang masuk dalam tumbuhan, hewan 

dan manusia, memiliki sifat sama, namun keadaan dari tiga kenis makhluk itu berbeda. Menurut Taittriya Upanisad II.2, di dalam tubuh manusia, atma diselubungi dan 

dibelenggu oleh lima lapisan, yang disebut sebagai Pancamayakosa. Kelima selubung 

ini  mulai dari luar ke dalam, secara urutan yaitu  : 1) badan fisik (gross body), yang 

asalnya dari zat makanan yang dikonsumsi tubuh tiap harinya (annamayakossa), 2) badan 

energi energy body), bersumber dari kalori hasil dari pencernaaan makanan yang 

dikonsumsi (pranamayakosa), 3) badan intelek (mental body) yang disebud sebagai 

(manomayakosa), 4) badan kebijaksanaan (wisdom body) yang disebut vijnana 

mayakosa, dan 5) badan penyebab (causal body) atau iantakarana sarira yang 

merupakan anandamayakosa. 

Walaupun atma yang merasuki semua makhluk hidup sama, namun tidak ada 

satupun makhluk hidup di dunia ini secara genotif dan fenotif sama. Kondisi ini 

disebabkan oleh kualitas badan kasar dan halus yang mewadahi atma-atma ini  tidak 

sama. Perbedaan kualitas wadanya berkaitan dengan karma.


Adapun kesimpulan yang dapat dipaparkan dalam pembahasan ini yaitu   jalan 

sains dan agama dapat bergandengan secara mesra dan bersahabat. Kebenaran dan Tuhan 

(Sat) tidak pernah menolak darimanapun umat Hindu mendekatinya. Apakah lewat jalan 

theistic atau scientific (ilmiah) jika itu dilakukan lewat prosedur yang benar, maka dia 

akan sampai pada kebenaran yang sama pula. Pengetahuan mengenai ātma dan Brahman

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan dapat dikaji dari ilmu sains inilah 

yang disebut dengan Advaita Brahmajñāna sebagai salah satu ajaran yang memberikan 

pemahaman kepada manusia untuk dapat menyadari bahwa dalam setiap makhluk 

terdapat sebuah ātma yang didalamnya memberikan kehidupan.







Tulisan ini menelusuri tentang bangunan pelinggih atau tempat suci 

yang ada di tengah pekarangan menurut kebudayaan Bali. Bangunan 

Bali memiliki struktur yang sangat kompleks dengan berbagai konsep 

serta filosofis lainnya. Surya natah merupakan unsur dari salah satu 

bangunan suci yang ada di tengah pekarangan yang mampu 

memberikan energi dalam setiap kehidupan manusia. Berdasarkan 

kajian ini terbentuk sebuah konsep kosmologi Hindu yang termuat 

dalam Lontar Asta Bhumi sebagai referensi atau acuan dalam 

membangun dan memposisikan sebuah pelinggih yang dapat 

memberikan kesejahteraan dan kemakmuran di dalam pekarangan 

rumah.