LARANGAN PERKAWINAN
Menurut fitrahnya, manusia dilengkapi Tuhan dengan kecenderungan
seks (libido seksualitas). Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang
manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan lakilaki memiliki daya tarik satu sama lainnya untuk hidup bersama. Dalam
Ilmu Alam, dikemukakan bahwa segala sesuatu terdiri dari dua pasangan.Air yang kita minum (terdiri dari oksigen dan hydrogen), listrik, ada positif
dan negatifnya.1
Islam yaitu agama yang fitrah,2 Tuhan menyediakan
wadah yang legal untuk terselenggaranya penyaluran ini yang sesuai
dengan derajat manusia.3
Perkawinan mempunyai tujuan yang bersifat jangka panjang,
sebagaimana keinginan dari manusia itu sendiri dalam rangka membina
kehidupan yang rukun, tenteram dan bahagia dalam suasana cinta kasih dari
dua jenis mahluk ciptaan Allah SWT, yaitu terpeliharanya lima aspek alMaqâshid al-Khamsah atau al-Maqâsid al-Syarî’ah, yaitu memelihara (1)
agama (hifz al-dîn), (2) jiwa (hifz al-nafs), (3) akal (hifz al-‘aql), (4)
keturunan (hifz al-nasâb), dan (5) harta (hifz al-mâl), yang (kemudian)
disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya.
4 Bahkan menurur Azhar
Basyar, seseorang dilarang untuk membujang. 5
Seperti halnya pembatalan perkawinan,6
larangan perkawinan
ternyata membawa konsekuensi yang tidak jauh berbeda dengan masalah
pembatalan perkawinan, dalam kaitannya dengan perkawinan antara dua
orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai
pada derajat tertentu yaitu suatu hal yang bisa mengancam kelangsungan
perkawinannya. Maka artikel ini akan mengkaji tentang ‚Larangan
Perkawinan Perspektif Fikih dan Relevansinya dengan Peraturan Hukum
Perkawinan di Indonesia‛.
Indonesia yaitu negara yang memiliki ragam suku bangsa dan aneka
budayanya. Ketika Islam datang dan menyebar di negeri ini, ajaran Islam
telah mengalami penyesuaian dengan budaya lokal, sehingga membentuk
karakteristik Islam tersendiri. Indonesia yaitu negara yang berpenduduk
muslim terbesar di dunia,7
terwujudnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengalami proses sejarah panjang yang melatar belakanginya. Namun demikian, tidak
dipungkiri bahwa proses negosiasi politik juga termasuk peran penting yang
menjadi salah satu faktor terbentuknya. Permasalahan yang kemudian
menjadi menarik untuk dikaji yaitu bahwa, masih ada kesenjangan antara
yang sebenarnya dan senyatanya, yaitu antara idealis-normatif dengan
historis-impiris, bahwa UU Perkawinan di Indonesia telah berusia 43
Tahun, UU perkawinan dan KHI dibuat pada era Pemerintahan Orde Baru.
Dengan banyaknya corak, etnis serta kultur warga Indonesia
yang beragam yang menjadi pertanyaan yaitu bahwa relevankah peraturan
perundang-undangan di Indonesia dengan fikih (pendapat para ulama fikih)?
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis undang-undang perkawinan di
Indonesia relevansinya dengan fikih. Sebuah penelitian literatur (library
research), yang berbicara tentang aspek-aspek larangan perkawinan yang
relevan dengan fikih, dan tentang aspek-aspek larangan perkawinan yang
tidak relevan dengan fikih.
B. Aspek-Aspek Larangan Perkawinan yang Relevan
Para ulama klasik sepakat bahwa yang dimaksud dengan larangan
dalam perkawinan ialah larangan untuk kawin antara seorang pria dengan
seorang wanita, sedangkan menurut syarâ’, larangan ini dibagi dua,
yaitu halangan abadi (haram ta’bîd) dan halangan sementara (haram gairu
ta’bîd/ ta’qít). Wanita yang terlarang untuk dikawini itu disebut mahram.
Diantara larangan-larangan ada yang telah disepakati dan ada yang masih
diperselisihkan.
1. Mahram Ta’bîd yaitu orang-orang yang selamanya haram dikawin.
Larangan yang telah disepakati ada tiga, yaitu:
a. Nasab (keturunan), dalam perspektif fikih, wanita-wanita yang haram
dinikahi untuk selamanya (ta’bîd) sebab pertalian nasab yaitu ; 1)
Ibu Kandung, perempuan yang ada hubungan darah dalam garis
keturunan garis keatas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah
maupun ibu dan seterusnya keatas), 2) Anak perempuan kandung,
wanita yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus kebawah,
yakni anak perempuan, cucu perempuan, baik dari anak laki-laki
maupun perempuan dan seterusnya kebawah, 3) Saudara perempuan,
baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja, 4) Bibi, yaitu
saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung ayah atau
ibu dan seterusnya keatas, 5) Kemenakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau perempuan dan
seterusnya.8
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8,
bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang; 1) Berhubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun keatas, 2)
Bergaris keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara orang dengan saudara
neneknya.9
Sedangkan dalam KHI Bab IV tentang Larangan Perkawinan
Pasal 39 menyebut, dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita disebabkan sebab pertalian
nasab; a) dengan orang yang melahirkan atau yang menurunkannya
atau keturunannya, b) dengan seorang wanita keturunan ayah atau
ibu, c) dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. 10
Dari uraian di atas, dapat difahami bahwa nasab menjadi
keharaman dalam perkawinan, hal ini relevan dengan UU Perkawinan
dan juga KHI, kalimat yang digunakan sangat singkat akan tetapi
sangat tegas. Hal ini yang menjadi maqâsid al-syarî’ah yaitu menjaga
nasab (hifz al-nasl), menjaga dari memikirkan syahwat terhadap
perempuan-perempuan yang diharamkannya. Orang yang merasakan
syahwat terhadap ibunya atau berfikir untuk bersenang-senang
dengannya, sebab cinta kasih yang terjalin, pemberian yang mulia
yang dibawa dalam hati anak laki-laki terhadap ibunya dari segi
fitrah yang bersih. Semua itu mencegah anak laki-laki untuk
mengarah pada pandangan yang salah, didasarkan pada ketetapan
pernikahan kerabat-kerabat ini dari bertentangan hak-hak,
memenuhi kewajiban-kewajiban. Tentang keharaman menikahi ibu,
dikatakan dalam ketetapan keharaman perempuan-perempuan
berdasar keturunan nasab.11
b. Persusuan (radhā’ah), menurut pandangan para ulama, bahwa
larangan kawin sebab hubungan sesusuan yaitu sampainya air susu wanita ke dalam perut anak yang belum mencapai usia dua tahun
Hijriyah dengan metode tertentu.12
Wanita atau laki-laki yang mempunyai mahram dari jalur susu
mempunyai keistimewaan dan kekebalan hukum sebagaimana
mahram yang terbentuk dari jalur nasab. Yaitu antara laki-laki dan
wanita yang terikat dalam mahram radâ’ tidak boleh saling
mengawini.
Para ulama klasik sepakat bahwa wanita yang haram dinikahi
sebab hubungan sesusuan yaitu segala macam susuan yang dapat
menjadi sebab haramnya perkawinan, yaitu dimana anak menyusu
tetek dengan menyedot air susunya, dan tidak berhenti dari menyusui
kecuali dengan kemaunnya sendiri tanpa paksaan. 13
Hubungan sesusuan yang diharamkan yaitu ; 1) Ibu susuan
(Ibu radâ’/ murdî’ah/ wanita yang menyusui), yaitu ibu yang
menyusui, maksudnya seorang wanita yang pernah menyusui seorang
anak, dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui itu sehingga
haram melakukan perkawinan. 2) Nenek susuan, yaitu ibu dari yang
pernah menyusui atau ibu dari suami yang menyusui itu, suami dari
ibu yang menyusui itu dipandang seperti ayah bagi anak susuan
sehingga haram melakukan perkawinan. 3) Bibi susuan, yakni saudara
perempuan ibu susuan atau saudara perempuan suami dari ibu susuan
dan seterusnya keatas. 4) Kemenakan susuan perempuan; anak
perempuan saudara ibu susuan. 5) Saudara susuan perempuan,
saudara seayah kandung maupun seibu.
Sebagai penjelasan hubungan persusuan ini dapat dikemukakan
beberapa hal, susuan yang mengakibatkan keharaman perkawinan
ialah susuan yang diberikan pada anak yang masih memperoleh
makanan dari air susu, mengenai beberapa kali seorang ibu bayi
menyusui pada seorang ibu yang menimbulkan keharaman
perkawinan seperti keharaman hubungan nasab sebagaimana ini
dalam hadis diatas, dengan melihat dalil yang kuat, ialah yang tidak dibatasi jumlahnya, asal seorang bayi telah menyusu dan kenyang
pada perempuan itu menyebabkan keharaman perkawinan. Demikian
pendapat Hanafi dan Maliki. Menurut Syafi’i, sekurang-kurangnya
lima kali susuan dan mengenyangkan. Adapun pendapat Tsawr Abu
Ubaid, Daud Ibnu Ali al-Zahiriy dan Ibnu Muzakkir, sedikitnya tiga
kali susuan yang mengenyangkan.
Di dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, dalam pasal 8
huruf d, dijelaskan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang
berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan.14
Sedangkan dalam KHI Pasal 39 ayat 3 dijelaskan pula tentang
larang perkawinan sebab persusuan, dinyatakan bahwa dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita disebabkan; sebab pertalian sesusuan; 1) dengan wanita yang
menyusuinya dan seterusnya menurut garis keturunan keatas, 2)
dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus
kebawah, 3) dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan
sesusuan kebawah, 4) dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek
bibi sesusuan keatas, 5) dengan anak yang disusui oleh istrinya dan
keturunannya.15
Dari uraian di atas dapat dianalisa bahwa UU Perkawinan dan
KHI relevan dengn fikih klasik, hanya saja dalam UU Perkawinan dan
KHI tidak secara detail membahas tentang jumlah persusuan, hanya
membahas secara umum tentang keharaman perkawinan sebab
nasab.
c. Wanita yang haram dinikahi sebab hubungan masaharah atau
perkawinan kerabat semenda, keharaman ini disebutkan dalam surat
al-Nisâ’ ayat 23. Jika diperinci ini ; 1) Mertua perempuan, nenek
perempuan istri dan seterusnya keatas, baik dari garis ibu atau ayah.
2) Anak tiri, dengan syarat kalau telah terjadi hubungan kelamin
dengan ibu anak ini . 3) Menantu, yakni istri anak, istri cucu dan
seterusnya kebawah. 4) Ibu tiri, yakni bekas istri ayah, untuk kali ini
tidak disyaratkan harus adanya hubungan seksual antara ibu dengan
ayah. Persoalan dalam hubungan musaharah yaitu keharaman ini disebabkan sebab semata-mata akad (perkawinan) yang sah, atau
dapat juga disebab kan perzinahan.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa larangan perkawinan sebab
musaharah hanya disebabkan oleh semata-mata akad saja, tidak bisa
sebab perzinaan, dengan alasan tidak layak perzinaan yang dicela itu
disamakan dengan hubungan musaharah. Sebaliknya, Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa larangan perkawinan sebab musaharah,
disamping disebabkan akad yang sah, bisa juga disebabkan sebab
perzinaan.
Para Imam Madzhab sepakat jika ibu dari seorang
perempuan yang dinikahi dan telah dicampuri maka anak perempuan
itu tidak boleh dinikahi oleh orang yang menikahi ibunya, meskipun
anak perempuan itu tidak berada dalam asuhannya. Daud berkata:
‚Jika anak perempuan ini tidak berada dibawah kekuasaannya
maka ia boleh dinikahi‛.
Keharaman perempuan musaharah, yaitu mahram sebab
hubungan perbesanan, bergantung pada terjadinya percampuran pada
kemaluannya, tapi dengan dorongan syahwat. Menurut Imam Hanafi,
hal demikian dapat mengakibatkan keharamannya. Bahkan
menurutnya, melihat kemaluan sama dengan bercampur dalam hal
keharaman mengawini musaharah.
Istri ayah (ibu tiri) haram dikawin, hal ini menjadi kesepakatan
para ulama atas dasar semata-mata akad walaupun tidak disetubuhi.
Kalau sudah terjadi akad nikah, baik sudah disetubuhi atau belum
namanya yaitu ‚istri ayah‛ (zaujat al-abi).
Ibu istri (mertua) tergolong didalamnya nenek dari istri dan ibu
dari ayah istri hingga keatas. Mereka digolongkan dalam ummahat alnisâ’i (ibu-ibu istri). Anak istri (anak tiri) dengan syarat
keharamannya sebab telah menyetubuhi ibunya; artinya kalau
seorang pria dan seorang wanita baru terikat dengan hanya semata
akad (belum terjadi persetubuhan) maka mengawini anaknya tidak
haram (boleh).
Sebagian ulama berpendapat, ini berlaku pula secara timbal
balik ibu istri (mertua), artinya, haram pula mengawini ibu istri
(mertua) hukumnya tidak haram sedangkan yang lainnya (jumhúr)
berpendapat, syarat persetubuhan itu hanya berlaku bagi anak tiri,
tidak berlaku bagi mertua. Jumhur ulama melihat persyaratan persetubuhan itu hanya
berlaku untuk anak tiri saja, tidak untuk ibu istri (mertua), sebab
sifat itu kembali kepada maushuf yang terdekat saja. Sebaliknya,
syarat persetubuhan itu berlaku pada dua maushuf (yang disifati),
yaitu anak tiri dan ibu isteri.16
Dalam UU No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 8 huruf
c, bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan
semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. 17
Dalam KHI Pasal 39 ayat 2, dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan
sebab pertalian kerabat semenda; a) dengan seorang wanita yang
melahirkan istrinya atau bekas istrinya. b) dengan seorang wanita
bekas istri orang yang menurunkannya. c) dengan seorang wanita
keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan
perkawinan dengan bekas istrinya itu qobla al-dukhûl. d) dengan
seorang wanita bekas istri keturunannya.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa UU Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam relevan dengan fikih klasik.
Selain bentuk larangan perkawinan ini di atas, yang berkaitan
dengan nasab, persusuan dan musaharah, ada beberapa larangan yang
diperselisihkan, yaitu:
a. Zina (Perzinaan)
Kawin dengan pezina, baik antara laki-laki baik-baik dengan
perempuan pelacur atau perempuan baik-baik dengan laki-laki pezina,
tidak dihalalkan, kecuali sesudah masing-masing mengatakan
bertaubat.
Firman Allah SWT., dalam surat al-Nûr ayat 3, jika pezina
benar-benar bertaubat, mohon ampun kepada Allah, menyesali
perbuatannya di masa lampau dan berjanji tidak akan kembali lagi
berbuat zina, diikuti dengan ketaatan menjalankan aturan-aturan
Allah SWT.
Sehubungan dengan perkawinan laki-laki dengan perempuan
pezina, akan diarahkan pada masalah perkawinan perempuan hamil sebab hubungan zina, baik dengan laki-laki yang mengakibatkan
kehamilan atau laki-laki lain.18
Kebanyakan fuqaha’ berpendapat bahwa perkawinan laki-laki
dengan wanita zina dibolehkan, sebab ia tidak tersangkut kepada hak
orang lain, bukan istri dan bukan pula orang yang menjalani ‘iddah.
Ada lagi sebagian fuqaha’ yang berpendapat lain, wanita zina tidak
boleh dikawini.
Untuk lebih jelas dapat diadakan perincian kemungkinankemungkinan sebagai berikut:
1) Wanita zina kawin dengan laki-laki kawan berzinanya sebelum
nampak hamil akibat zina yang dilakukan.
2) Wanita zina kawin dengan laki-laki kawan berzinanya dalam
keadaan hamil akibat zina yang dilakukan.
Dalam dua macam kemungkinan ini , menurut pendapat
kebanyakan fuqaha’, laki-laki kawan berzina boleh mengawininya
seketika, tanpa menanti ada atau tidaknya tanda-tanda kehamilan
pada kemungkinan pertama, dan tanpa menanti kelahiran anak
pada kemungkinan kedua; suami dibolehkan mengadakan
persetubuhan sesudah akad.
3) Wanita zina kawin dengan laki-laki lain, bukan kawan
berzinanya, padahal ia dalam keadaan hamil dari zina. 19
4) Wanita zina kawin dengan leleki bukan pezinanya, tetapi tidak
dalam keadaan hamil.20
Para Imam Madzhab sepakat bahwa, jika seorang
perempuan berbuat zina maka pernikahannya tidak batal. Namun, diriwayatkan dari Ali ra. dan Hasan al-Basri bahwa dalam hal
demikian, pernikahan itu menjadi batal. jika seorang pezina, maka
suaminya boleh langsung mencampuri tanpa iddah, akan tetapi jika ia
hamil maka makrûh menyetubuhinya hingga ia melahirkan, menurut
Hanafi dan Syafi’i.
Menurut Maliki dan Hanbali, diwajibkan atasnya menunggu
masa iddah dan diharamkan atas suaminya menyetubuhinya hingga
habis masa iddah-nya. Menurut Abu Yusuf, jika perempuan itu
hamil maka haram menikahinya hingga ia melahirkan. Sedangkan jika
tidak hamil maka tidak haram menikahinya dan tidak perlu menunggu
masa iddah. Sedangkan dalam hal menikahi anak sendiri dari hasil
perzinaan, menurut Hanafi dan Hanbali, tidak halal menikahi anak
sendiri dari hasil perzinaan. Sedangkan menurut Syafi’i, Boleh tetapi
makruh. Dari Maliki diperoleh dua pendapat yaitu tidak boleh dan
boleh.
UU No 1 Tahun 1974 Pasal 8 huruf f, dijelaskan bahwa
perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan
yang oleh agamanya atau pereturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Dalam KHI Bab VIII tentang Kawin Hamil, Pasal 53 menerangkan
bahwa; 1) Seorang wanita hamil diluar nikah dapat dinikahkan
dengan pria yang menghamilinya. 2) Perkawinan dengan wanita hamil
yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu
lebih dahulu kelahiran anaknya. 3) Dengan dilangsungkannya
perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang sesudah anak yang dikandung lahir.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa UU Perkawinan relevan
dengan fikih klasik, dengan tegas menjelaskan tentang wanita zina.
UU Perkawinan tidak membahas tentang larangan nikah sebab zina
atau nikah dengan pezina. Sedangkan dalam KHI hanya membahas
tentang nikah dengan wanita hamil (wanita hamil yang dimaksud
yaitu hamil sebab zina), jadi dalam satu sisi KHI relevan, yaitu
nikah dengan wanita zina/ wanita yang telah dizinai. Akan tetapi sisi
lain tidak relevan, sebab tidak membahas tentang larangan nikah
dengan wanita pezina.
b. Sumpah li’an
Li’an yaitu perceraian yang terjadi sebab tuduh-menuduh
antara suami istri tentang zina dimana suami mengatakan bahwa istrinya berzina dan anak yang dalam kandungannya terjadi dari zina,
sedangkan istrinya menolak tuduhan ini dan keduanya tetap
berpegang pada pendiriannya, dimana suami menguatkan tuduhannya
sedangkan istrinya menguatkan bantahannya. Maka cerailah antara
suami dan istri ini , untuk selamanya.
Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina tanpa
mendatangkan empat orang saksi, maka suami diharuskan bersumpah
empat kali dan yang kelima kali dilanjutkan dengan menyatakan
bersedia menerima laknat Allah jika tindakannya itu dusta. Istri
yang mendapat tuduhan itu bebas dari hukuman zina kalau mau
bersumpah seperti suami diatas empat kali dan yang kelima kalinya
diteruskan bersedia mendapat laknat Allah bila tuduhan suami itu
benar. Sumpah demikian disebut sumpah li’an. Jika terjadi sumpah
li’an antara suami istri maka putuslah hubungan perkawinan
keduanya untuk selamanya.
Keharaman ini didasarkan firman Allah dalam surat al-Nûr
ayat 6-9. Pelaksanaan hukum li’an sangat memberatkan dan menekan
perasaan, baik bagi suami maupun bagi istri yang dalam perkara li’an
ini. Bahkan dapat mempengaruhi jiwa masing-masing, terutama
sesudah mereka berada dalam ketenangan berfikir dan perasaan
kembali. Hal ini tidak lain yaitu ; 1) sebab bilangan sumpah li’an,
2) sebab tempat paling mulia untuk berli’an. 3) sebab masa yang
paling penting untuk li’an, 4) sebab sumpah itu dilakukan
dihadapan jama’ah (manusia banyak).
Pengaruh li’an yaitu terjadinya perceraian antara suami istri.
Bagi suami, maka istri menjadi haram untuk selamanya. Ia tidak
boleh rujuk atau nikah lagi dengan akad baru. Bila istrinya
melahirkan anak yang dikandungnya, maka anak itu dihukumkan
bukan keturunan suaminya.
Akibat hukum dari sumpah li’an yang berdampak pada suami
istri, yaitu li’an menimbulkan pula perubahan pada ketentuan hukum
yang mestinya dapat berlaku bagi salah satu pihak (suami istri).
Perubahan itu antara lain yaitu sebagai berikut; 1) Gugur had atas
istri sebagai had zina, 2) Wajib had atas istri sebagai had zina, 3)
Suami istri bercerai untuk selamanya, 4) Diterapkan berdasar
pengakuan suami, bahwa dia tidak mencampuri istrinya, 5) Bila ada
anak, tidak dapat diakui suami sebagai anaknya. Sebaliknya istri dapat menggugurkan had atas dirinya dengan membela li’an
suaminya dengan li’an-nya pula atas suaminya.
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bagian
keenam tentang Akibat Li’an, Pasal 162. Bilamana li’an terjadi maka
perkawinan putus untuk selamanya dan anak yang dikandung
dinasabkan kepada ibunya, sedangkan suaminya terbebas dari
kewajiban memberi nafkah.
Di dalam KHI Pasal 163 dijelaskan, bilamana li’an terjadi
maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang
dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari
kewajiban memberi nafkah. Dari uraian ini di atas jelaslah
bahwa UU Perkawinan dan KHI relevan dengan fikih klasik, yang
mana telah melarang perkawinan sebab sumpah li’an.
2. Haram Gairu Ta’bíd, maksudnya yaitu orang yang haram dikawin untuk
masa tertentu (selama masih ada hal-hal yang mengharamkannya) dan
saat hal yang menjadi penghalang sudah tidak ada, maka halal untuk
dikawini. Seperti pertalian mahram antara laki-laki dengan perempuan
iparnya (saudara perempuan istri), antara laki-laki dengan bibi istri dan
seterusnya. Wanita-wanita yang haram dinikah tidak untuk selamanya
(bersifat sementara) yaitu sebagai berikut:
a. Halangan bilangan, yaitu mengawini wanita lebih dari empat. Para
ulama sepakat mengharamkan hal ini . jika ada orang yang
baru masuk Islam, mempunyai istri lebih dari empat orang, maka
harus memilih empat orang diantara mereka untuk dijadikan istri
tetapnya. Jika diantara istri-istri ada yang bersaudara (kakak beradik),
maka harus menceraikan salah satunya, demikian menurut pendapat
Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali. Imam Hanbali
berpendapat, jika pernikahan lebih dari empat istri ini terjadi
dalam satu keadaan, maka akad pernikahannya batal. Sedangkan jika
terjadi dalam beberapa akad,maka sah pernikahannya dengan empat
orang istri yang pertama.
Dalam UU Perkawinan Bab VIII Pasal 40 tentang peristrian
lebih dari empat, dijelaskan bahwa seorang suami yang bermaksud
untuk beristri lebih dari seorang maka wajib mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Pengadilan. Pasal 41, Pengadilan kemudian
memeriksa mengenai; 1) Ada atau tidaknya alasan yang
memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah; a) Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, b) Bahwa istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak disembuhkan, c)
Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan. 2) Ada atau tidaknya
persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan amaupun tertulis, jika
persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus
diucapkan didepan sidang pengadilan. Ada atau tidak adanya
kemampuan suami untuk menjamin ketercukupan hidup istri-istri dan
anak-anak, dengan memperlihatkan; a) Surat keterangan mengenai
penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat
bekerja; atau, b) Surat keterangan pajak penghasilan; atau, c) Surat
keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadialan.
Pasal 42, 1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal
pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar
istri yang bersangkutan, 2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu
dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sesudah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43, jika Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan
bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan
memberikan putusannya yang tanpa izin untuk beristri lebih dari
seorang. Pasal 44, Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan
pencatatan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
sebelum adanya ijin seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.
Hal ini sebagaimana dikutip juga dalam KHI Bab IX Tentang
Beristri Lebih Dari Satu Orang, yaitu Pasal 55, yaitu; 1) Beristri lebih
dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat
orang istri. 2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus
mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. 3) jika
syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi,
suami dilarang beristri lebih dari seorang.
Pasal 56, yaitu 1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu
orang harus mendapat ijin dari Pengadilan Agama. 2) Pengajuan
permohonan ijin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab VIII PP No 9 Tahun 1975. 3)
Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat
tanpa ijin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57, Pengadilan Agama hanya memberikan ijin kepada
seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang jika ; a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b) Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58 juga menyebutkan, 1) selain syarat utama yang
disebut pada pasal 55 ayat (2), maka untuk memperoleh ijin
Pengadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan
pada pasal 5 UU No 1 Tahun 1974 yaitu; a) adanya persetujuan istri,
b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka. 2) Dengan tidak mengurangi
ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975,
persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau
dengan lisan, tapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,
persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang
Pengadilan Agama. 3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a
tidak diperlukan bagi seorang suami jika istri atau istri-istrinya
tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi
pihak dalam perjanjian atau jika tidak ada kabar dari istri atau
istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau sebab sebab lain yang
perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59, dalam hasil istri tidak mau memberikan persetujuan,
dan permohonan ijin untuk beristri lebih dari satu orang berdasar
atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57,
Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin sesudah
memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan
Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat
mengajukan banding atau kasasi.21
Dari penjelasan ini dapat difahami bahwa UU Perkawinan
tidak membahas secara tegas tentang pembatasan perkawinan dan
KHI relevan dengan fikih klasik, yang mana peristrian hanya dibatasi
empat saja, kecuali salah satu dari empat istri ini ada yang
diceraikan sebab alasan tertentu, maka halallah bagi laki-laki
ini untuk menikah lagi.
b. Halangan mengumpulkan, yaitu dua orang perempuan bersaudara
haram dikawini oleh seorang laki-laki dalam waktu bersamaan;
maksudnya mereka haram dimadu dalam waktu yang bersamaan. jika mengawini mereka berganti-ganti, seperti seorang laki-laki
mengawini seorang wanita, kemudian wanita ini meninggal atau
dicerai, maka laki-laki itu boleh mengawini adik atau kakak
perempuan dari wanita yang telah meninggal dunia ini .
c. Keharaman mengumpulkan dua wanita dalam satu waktu perkawinan
itu disebutkan dalam surat al-Nisá’ ayat 23. Keharaman
mengumpulkan dua wanita dalam satu perkawinan ini juga
diberlakukan terhadap dua orang yang mempunyai hubungan keluarga
bibi dan kemenakan. Para Imam Madzhab sepakat tentang keharaman
mengumpulkan dua perempuan bersaudara untuk dinikahi dalam satu
masa. Diharamkan juga menikahi seorang perempuan beserta bibinya,
baik bibinya dari pihak bapak maupun dari pihak ibu. 22
Demikian juga, diharamkan menyetubuhi dua perempuan
kakak beradik yang dimiliki dalam perbudakan. Daud berpendapat,
tidak diharamkan mengumpulkan dua bersaudara perempuan yang
dimiliki dengan jalan perbudakan untuk dicampuri. Imam Hanafi
berpendapat, sah menikahi seorang perempuan sesudah menikahi
saudaranya. Namun, tidak dihalalkan menyetubuhinya sebelum
mengharamkan persenggamaan dengan saudaranya yang telah
dinikahi terlebih dahulu.23 Yaitu; 1) Wanita yang terikat perkawinan
dengan laki-laki lain haram dinikah oleh seorang laki-laki.
Keharaman ini disebutkan dalam surat al-Nisá’ ayat 24, 2) Wanita
yang sedang dalam iddah, baik dalam iddah cerai maupun iddah
ditinggal mati berdasar firman Allah surat al-Baqarah ayat 228
dan 234.
UU No 1 Tahun 1974 tidak menjelaskan hal ini, akan tetapi
dalam KHI pasal 41 ayat (1) sebagai berikut; 1) Seorang pria dilarang
memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan
pertalian nasab atau susuan dengan istrinya; a) Saudara kandung,
seayah atau seibu serta keturunannya. b) Wanita dengan bibinya atau
kemenakannya.
Dari penjelasan di atas maka dapat difahami bahwa UU
Perkawinan tidak membahas tentang hal ini , akan tetapi KHI
justru dapat melengkapi UU Perkawinan ini , dan relevan dengan
fikih klasik, bahwa seorang laki-laki tidak dapat menikahi dua orang
wanita dalam waktu bersamaan, tapi jika wanita ini dicerai atau
meninggal maka laki-laki ini dapat menikahi saudara wanita
ini .
d. Halangan kafir, yaitu wanita musyrik haram dinikah. Maksud wanita
musyrik ialah yang menyembah selain Allah. Tidak halal bagi
seorang muslim dan tidak sah pernikahannya atas orang kafir dan
orang murtad sebab ia telah keluar pada aqidah dan petunjuk yang
benar.
Dalil atas keharamannya yaitu firman Allah SWT, al-Baqarah
ayat 24. Dalam hal jika salah seorang dari istri keluar dari agama
Islam (murtad) maka secepatnya bercerai secara mutlak. Baik
murtad-nya sebelum bercampur maupun sesudahnya. Demikian
menurut pendapat Imam Hanafi dan Imam Maliki. Imam Syafi’i dan
Imam Hanbali berpendapat, jika nikahnya sebelum terjadi bercampur,
harus secepatnya bercerai. Namun, jika murtad-nya sesudah
bercampur, hendaknya ditunggu hingga iddah-nya selesai. jika
suami istri itu sama-sama murtad maka hukumnya seperti ketika
terjadi murtad salah satu di antara mereka, yaitu terjadi keduanya
bercerai. Sedangkan Hanafi berpendapat tidak harus cerai.
Hal ini diuraikan juga dalam KHI Pasal 75, bahwa keputusan
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap; a) Perkawinan
yang batal sebab salah satu suami atau istri ada yang murtad.
Adapun wanita ahli kitab, yakni wanita Nasrani, Allah berfirman
dalam surat al-Mâidah ayat 5 dijelaskan, seorang laki-laki muslim
dihalalkan menikah dengan seorang wanita ahlul kitab, akan tetapi
seorang wanita muslimah dilarang menikah dengan seorang laki-laki
ahlul kitab, sebab jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita
ahlul kitab ada harapan untuk dapat mengarahkan wanita ini
masuk Islam, akan tetapi jika wanita muslimah dinikahi laki-laki
ahlul kitab akan banyak mudharat-nya sehingga hal itu dilarang.
Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali berpendapat
bahwa pernikahan orang kafir dengan orang kafir yaitu sah,
pernikahannya tergantung pada hukum-hukum yang berkaitan dengan
hukum-hukum yang berlaku bagi kaum muslim. Sedangkan Imam
Maliki berpendapat, pernikahannya batal. Dalam Undang-undang Perkawinan dijelaskan dalam Pasal 8 huruf f, perkawinan dilarang
antara dua orang yang: f). mempunyai hubungan yang oleh agamanya
atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Dalam KHI Pasal
44 menjelaskan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa dalam fikih
klasik, orang non muslim dibagi menjadi dua, kafir dan ahlul kitab,
secara mutlak semua Imam Mazhab sepakat bahwa seorang laki-laki
dilarang menikahi seorang wanita kafir, akan tetapi dibolehkan
menikah dengan wanita ahlul kitab. Sedangkan dalam UU
Perkawinan di Indonesia tidak relevan dengan fikih klasik, sebab
tidak membahas hal pernikahan dengan non muslim. KHI
menjelaskan dengan tegas bahwa seorang laki-laki muslim dilarang
menikah dengan wanita non muslim.
e. Halangan ihrám, yaitu wanita yang sedang melakukan ihram, baik
ihram umrah maupun ihram haji tidak boleh dikawini. Dalam riwayat
Tirmidzi tidak disebutkan adanya kalimat ‚tidak boleh meminang‛.
Kata tirmidzi hadíth ini Hasan Shahíh. Sebagian para sahabat
mengamalkan hadítsini, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam Ishaq
berpendapat demikian pula. Mereka menganggap kawinnya orang
sedang ihram tidak sah dan jika dilaksanakan juga hukumnya bathil.
Akan tetapi, ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi
Muhammad SAW, kawin dengan Maimunah ketika beliau ihrâm.
Hadîth ini dipertentangkan oleh riwayat Muslim yang
menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW, kawin dengan Maimunah
itu diwaktu halah haji (selesai menunaikan haji). 24
Dalam UU Perkawinan tidak membahas tentang larangan
perkawinan sebab ihrám, maka bisa difahami bahwa UU Perkawinan
tidak relevan dengan fikih. Akan tetapi dalam KHI dijelaskan dalam
Bab VIII tentang kawin hamil pasal 54 yaitu; 1) Selama seorang
masih dalam keadaan ihrâm, tidak boleh melangsungkan perkawinan
dan juga tidak boleh betindak sebagai wali nikah. 2) jika terjadi
perkawinan dalam keadaan ihrâm, ihrâm perkawinannya tidak sah.
Dari uraian di atas maka dapat di fahami bahwa KHI justru
lebih relevan dari pada UU No 1 Tahun 1974 dan memang KHI merupakan fikih kontemporer bagi umat Islam Indonesia, yang
membahas hal-hal kekinian dalam warga Islam.
f. Halangan iddah
25, yaitu wanita yang sedang dalam iddah, baik iddah
cerai maupun iddah ditinggal mati.26 Perceraian hidup dan dalam
keadaan hamil, dijelaskan dalam surat al-Thalaq ayat 4. Perceraian
hidup, tidak hamil, belum haid atau putus haid (menopause), iddahnya selama tiga bulan. Dijelaskan dalam Surat al-Thalaq ayat 4,
bahwa Perceraian hidup, sudah dukhul dan masih haid, lamanya iddah
tiga kali quru’ (haid atau suci). Dijelaskan dalam Surat al-Baqarah
ayat 228, bahwa cerai mati masa iddah-nya empat bulan sepuluh hari.
Sebagaimana juga dijelaskan Surat al-Baqarah ayat 234.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Bab
Keempat tentang Perkawinan ayat 34, bahwa seorang perempuan
tidak diperbolehkan kawin lagi, melainkan sesudah lewat waktu tiga
ratus hari semenjak perkawinan terakhir dibubarkan. 27
UU No 1 Tahun 1974 menjelaskan pula dalam Bab VII Pasal
39, bahwa; 1). Waktu tunggu bagi seorang janda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang ditentukan
sebagai berikut; a) jika perkawinannya putus sebab kematian,
waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari, b) jika
perkawinannya putus sebab perceraian, waktu tunggu bagi yang
masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurangkurangnya 90 (Sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang
bulan ditetapkan 90 (Sembilan puluh) hari; c) jika perkawinan
putus sedang janda ini dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan. 2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda
yang putus perkawinan sebab perceraian sedang antara janda
ini dengan bekas suaminya belum pernah terjadi persetubuhan.
3) Bagi perkawinan yang putus sebab perceraian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus sebab
kematian, tentang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
Dalam KHI Bagian Kedua Tentang Waktu Tunggu dijelaskan
dalam Pasal 153, yaitu; 1) Bagi seorang istri yang putus
perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah kecuali qobla aldukhul dan perkawinannya putus bukan sebab kematian suami. 2)
Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut; a)
jika perkawinan putus sebab kematian, walaupun qobla aldukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari, b)
jika perkawinan putus sebab perceraian waktu tunggu bagi yang
masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya
90 (Sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90
(Sembilan puluh) hari, c) jika perkawinan putus sebab perceraian
sedang janda ini dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan
sampai melahirkan, d) jika perkawinan putus sebab kematian,
sedang janda ini dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan
sampai melahirkan. 3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus
perkawinan sebab perceraian sedang antara janda ini dengan
bekas suaminya qabla al-dukhul. 4) Bagi perkawinan yang putus
sebab perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya
putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap,
sedangkan bagi perkawinan yang putus sebab kematian, tenggang
waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. 5) Waktu tunggu bagi
istri yang pernah haid sedang dalam waktu menjalani iddah tidak haid
sebab menyusui, maka iddah-nya tiga kali waktu suci. 6) Dalam hal
keadaan pada ayat (5) bukan sebab menyusui, maka iddah-nya
selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun ini
ia ber-haid kembali, maka iddah-nya menjadi tiga kali waktu suci.
Pasal 154 menjelaskan, jika istri tertalak raj’i kemudian
dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf
b. ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, ditinggal mati oleh suaminya, maka
iddah-nya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari, terhitung saat
matinya bekas suaminya. Sedangkan Pasal 155 menjelaskan, bahwa
waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya sebab khuluk,
fasakh dan li’an berlaku iddah talak.28 Dari uraian di atas jelaslah bahwa wanita yang masih dalam masa iddah dilarang melangsungkan
perkawinan dengan laki-laki lain, sampai habis masa iddah-nya. Hal
ini relavan dengan UU Perkawinan dan KHI.
g. Halangan perceraian tiga kali, yaitu wanita yang ditalak tiga haram
kawin lagi dengan bekas suaminya, kecuali kalau sudah kawin lagi
dengan orang lain dan telah berhubungan badan serta dicerai oleh
suami terakhir itu dan telah habis masa idah-nya,
29 hal ini
berdasar surat al-Baqarah ayat 229. Seorang perempuan yang
ditalak tiga menikah lagi dengan orang lain, dengan maksud untuk
menghalalkan pernikahan dengan mantan suaminya yang pertama,
dengan memakai syarat jika terjadi persetubuhan dengannya maka
jatuh talak, maka pernikahan semacam ini yaitu sah. Namun
syaratnya gugur. Demikian menurut pendapat Imam Hanafi.
Sedangkan menurut pendapat Imam Maliki, tidak halal bagi
suami pertama menikahi mantan istrinya, kecuali ia telah melakukan
pernikahan yang sah yang dilakukan atas dasar kesenangan dengan
orang lain, bukan bertujuan untuk menghalalkan pernikahan dengan
mantan suami pertama, dan telah disetubuhi suami kedua dalam
keadaan suci, tidak dalam keadaan haid. Jika pernikahan itu
dimaksudkan untuk menghalalkan atau disyaratkan demikian maka
akadnya rusak dan tidak halal bagi suami yang kedua. Imam Syafi’i
dalam masalah ini mempunyai dua pendapat, dan yang paling shahih
bahwa pernikahannya tidak sah. Hanbali berpendapat, tidak sah
secara mutlak.
Adapun, pernikahan tanpa menyaratkan demikian, hanya
bercita-cita saja, maka nikahnya sah. Demikian menurut pendapat
Imam Hanafi. Menurut pendapat Imam Syafi’i, sah, tetapi makruh.
Sedangkan menurut pendapat Imam Maliki dan Imam Hanbali, tidak
sah.
Demikian dengan syarat jangan dimadu atau jangan pindah dari
negerinya atau dari rumahnya atau jangan diajak berkelana, maka
pernikahannya yaitu sah dan semua syaratnya itu tidak wajib
dipenuhi. Selain itu, perempuan ini berhak memperoleh mahar
mitsl, sebab syarat ini mengharamkan yang halal, demikian
menurut pendapat Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Syafi’i. Sementara Imam Hanbali berpendapat, bahwa pernikahannya yaitu
sah, dan syaratnya harus dipenuhi. Jika ia menyalahi syaratnya, maka
istri boleh memilih untuk menceraikan dirinya.30
Dalam UU No 1 Tahun 1974 tidak membahas akan hal ini,
akan tetapi dalam KHI pasal 43, berbunyi; 1) Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria; a) Dengan seorang
wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali, b) Dengan seorang
wanita bekas istrinya yang dili’an. 2) Larangan ini pada ayat (1)
huruf a gugur, kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain,
kemudian perkawinan ini putus ba’da dukhul dan telah habis
masa iddah-nya.
Dari uaraian di atas jelaslah bahwa UU Perkawinan tidak
membahas hal ini , akan tetapi KHI relevan dengan fikih klasik,
bahwa seorang wanita yang telah ditalak tiga (ba’in), tidak boleh
dinikahi sampai ia menikah dengan pria lain dan pernikahan itu
terputus tanpa disengaja (tidak sebab muhallil) dan ba’da al-dukhul.
h. Halangan peristrian, yaitu wanita yang terikat perkawinan dengan
laki-laki lain (wanita yang terpelihara), maka haram dinikahi.31
Perempuan yang terpelihara maksudnya yaitu wanita yang
bersuami. Sehingga boleh dinikahi jika sudah menjadi janda dan habis
masa iddah-nya.
32
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 9 yang menyatakan;
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi kecuali dalam hal yang ini pada Pasal 3 ayat
(2) dan Pasal 4 Undang-Undang ini.
Sedangkan dalam KHI Pasal 40, dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sebab
keadaan tertentu; a) sebab wanita yang bersangkutan masih terikat
satu perkawinan dengan pria lain, b) seorang wanita yang masih
berada dalam masa iddah dengan pria lain, c) seorang wanita yang
tidak beragama Islam.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa UU Perkawinan dan KHI
relevan dengan fikih, yang menjelaskan tentang larangan perkawinan
bagi seorang wanita yang dalam ikatan perkawinan dengan pria lain.
C. Aspek-Aspek Larangan Yang Tidak Relevan
Dalam fikih klasik, halangan kehambaan merupakan salah satu hal
yang menjadikan larangan dalam perkawinan, barang siapa yang menikahi
perempuan merdeka tidak boleh baginya untuk menikahi budak perempuan
hingga istri merdeka diceraikan dan habis masa iddah-nya. Hal ini
dapat menyakiti istri (perempuan merdeka). sebab dalam menikahi budak
perempuan atas perempuan merdeka hal itu menyakitkan sebab
merendahkannya, dan itu tidak diperbolehkan.33
Jika seorang budak laki-laki menikah dengan majikannya, maka
nikahnya tidak dibenarkan, sebab adanya pertentangan hukum perbudakan
dan nikah dalam hal pemberian nafkah dan bepergian, dimana seorang
budak berhak mendapatkan nafkah dari majikannya, sedangkan dalam
hukum pernikahan seorang istri berhak mendapatkan nafkah dari suaminya.
Selain itu, menurut hukum perbudakan, seorang wanita boleh mengajak
budaknya bepergian kemana saja ia suka, sedangkan dalam hukum
pernikahan, sang istri tergantung pada suaminya. berdasar hal ini ,
maka nikah seorang budak dengan majikannya yang perempuan sama sekali
tidak sah. Dan jika ada seorang laki-laki menikah dengan seorang
perempuan merdeka, kemudian ia menjadikannya sebagai budak, maka
nikahnya pun tidak sah, sebab hukum pemilikan budak itu lebih kuat
daripada nikah.34
Bolehnya seorang laki-laki merdeka menikahi budak perempuan
dengan dua syarat; 1) Takut terjerumus kedalam perzinaan, 2) tidak ada
kesanggupan untuk menikahi perempuan merdeka. Demikian menurut
pendapat Imam Safi’i, Imam Maliki dan Imam Hanbali. Sedangkan Imam
Hanafi berpendapat, bolehnya tidak bergantung pada dua syarat ini .
Yang menghalangi yaitu adanya istri yang merdeka atau sedang dalam
menunggu masa iddah.
Tidak halal bagi seorang muslim menikahi budak ahli kitab.
Demikian menurut pendapat Imam Syafi’i, Imam Maliki dan Imam Hanbali.
Sedangkan Imam Hanafi, berpendapat halal. Para Imam Madzhab,
bersepakat tentang tidak halalnya seorang muslim menyetubuhi budak -
budak ahli kitab yang diperoleh dengan jalan memilikinya.
Menurut Imam Abu Tsawr, halal menyetubuhi segala budak yang
diperoleh dengan jalan pernikahan, walaupun beragama lain. Menurut
pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, seorang yang merdeka tidak
boleh menikahi seorang budak. Imam Hanafi dan Imam Maliki mengatakan,
boleh menikahi hingga empat orang, sebagaimana bolehnya menikahi
perempuan merdeka. Seorang budak hanya boleh beristri dua orang.
Menurut pendapat Imam Syafi’i, Imam Hanafi dan Imam Hanbali. Imam
Maliki berpendapat, boleh beristri lebih dari dua orang.
Seorang yang telah berzina dengan seorang budak boleh menikahinya
dan menyetubuhinya tanpa penangguhan persenggamaan untuk mengetahui
kekosongan rahim. (istibra’), demikian menurut pendapat Imam Syafi’i.
Sedangkan Imam Hanafi berpendapat, bahwa tidak boleh disetubuhi
sebelum istibra’ terlebih dahulu selama satu kali haidh atau sampai
melahirkan jika ia hamil. Sedangkan Imam Maliki memakruhkan menikahi
wanita pezina secara mutlak. Imam Hanbali berpendapat, tidak boleh
menikahi perempuan yang telah dizinai kecuali dengan dua syarat; a) Telah
taubat dari perbuatannya, b) Istibra’, yaitu hingga ia melahirkan jika hamil
atau menunggu tiga kali haid jika ia tidak hamil.35
Dalam hal larangan menikah dengan seorang budak, baik KUHPer
maupun UU No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan serta KHI tidaklah
relevan dengan fikih klasik, sebab Undang-Undang di Indonesia tidak
mengatur tentang perbudakan, sehingga tidak relevan. Memang kenyataan
di warga Indonesia tidak ada praktek perbudakan sehingga memang
tidak dibutuhkan Undang-Undang tentang Perbudakan.
Pada dasarnya bahwa secara filosofis, konstruksi larangan
perkawinan dalam UU Perkawinan di Indonesia maupun KHI, secara prinsip
relevan dengan fikih. sebab disinyalir mengadopsi pendapat para ulama
fikih, khususnya imam madzhab empat, sehingga hasil legislasi hukum
positif di Indonesia khususnya undang-undang perkawinan tidak mengalami
rekonstruksi apalagi mendeskonstruksi fikih. Hanya saja, sebab secara
konteks bahwa warga Indonesia yang terdiri dari beragamnya budaya,
etnis dan suku bangsa, sehingga secara sosial-kultural dan secara
antropologis mengalami penyesuaian. Selain itu, disebab kan proses
legislasi yang begitu panjang dan alur politik orde baru yang begitu deras dan kesan patrelinial yang mendominasi terwujudnya corak peraturan
perundang-undangan ini .
Kesimpulan dari larangan perkawinan dalam fikih serta relevansinya
dengan peraturan hukum perkawinan di Indonesia, bahwa tidak semua
perempuan dapat dinikahi, tetapi syarat perempuan yang boleh dinikahi
hendaknya bukan orang yang haram bagi laki-laki yang akan mengawininya.
Larangan perkawinan mencakup halangan abadi (ta’bíd), yaitu tidak dapat
dinikahi selamanya, disebab kan nasab, perkawinan dan persusuan.
Larangan sementara (gairu ta’bíd) yaitu orang yang haram dikawin untuk
masa tertentu, seperti halangan bilangan, mengumpulkan, kehambaan, kafir,
ihrám, iddah, perceraian tiga kali dan peristrian. Pada prinsipnya peraturan
hukum perkawinan di Indonesia, baik UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan maupun KHI merupakan legeslasi hukum Islam. Pada
prinsipnya, seluruh pasal dalam peraturan hukum perkawinan di Indonesia
yang menyangkut tentang larangan perkawinan, releven dengan apa yang
diutarakan dalam fikih, namun terdapat larangan perkawinan yang tidak
terlegeslasikan dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, seperti
larangan perkawinan dengan hamba, sedangkan pasal yang kontroversial,
yaitu pasal 40 huruf c. KHI dalam pasal ini menjelaskan bahwa
seorang laki-laki muslim dilarang melakukan perkawinan dengan wanita
yang tidak beragama Islam, sebagaimana dalam fikih, yaitu mereka yang
tidak beragama Islam, dalam arti musyrik, penganut Majusi, Nasrani,
Yahudi dan Ahli kitab.
Larangan perkawinan perspektif fikih mencakup larangan abadi (ta’bíd);
perempuan dilarang kawin dengan laki-laki sepanjang masa disebab kan hubungan
nasab, perkawinan dan persusuan. larangan sementara (gairu ta’bíd) yaitu wanita
atau laki-laki yang haram kawin untuk masa tertentu disebab kan bilangan,
mengumpulkan, kehambaan, kafir, ihrám, iddah, talak tiga dan peristrian. Yang
diperselisihkan yaitu zina dan sumpah li’an. Undang-Undang Perkawinan di
Indonesia yaitu hasil legislasi hukum normatif (fikih) dan tidak mengatur tentang
larangan menikahi budak, Pasal yang kontroversial, yaitu pasal 40 huruf c, dalam
pasal ini ditentukan dengan jelas bahwa seorang laki-laki muslim dilarang
melakukan perkawinan dengan wanita yang tidak beragama Islam. Dalam fikih, non
muslim dibagi dua, yaitu musyrik/kafir yaitu orang yang haram untuk dikawin
sedangkan Nasrani/Yahudi yang disebut dengan ahlul kitab dapat di kawin
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)





