Larangan nikah muslim

 



LARANGAN PERKAWINAN 



Menurut fitrahnya, manusia dilengkapi Tuhan dengan kecenderungan 

seks (libido seksualitas). Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang 

manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan laki￾laki memiliki daya tarik satu sama lainnya untuk hidup bersama. Dalam 

Ilmu Alam, dikemukakan bahwa segala sesuatu terdiri dari dua pasangan.Air yang kita minum (terdiri dari oksigen dan hydrogen), listrik, ada positif 

dan negatifnya.1

Islam yaitu  agama yang fitrah,2 Tuhan menyediakan 

wadah yang legal untuk terselenggaranya penyaluran ini  yang sesuai 

dengan derajat manusia.3

Perkawinan mempunyai tujuan yang bersifat jangka panjang,

sebagaimana keinginan dari manusia itu sendiri dalam rangka membina 

kehidupan yang rukun, tenteram dan bahagia dalam suasana cinta kasih dari 

dua jenis mahluk ciptaan Allah SWT, yaitu terpeliharanya lima aspek al￾Maqâshid al-Khamsah atau al-Maqâsid al-Syarî’ah, yaitu memelihara (1) 

agama (hifz al-dîn), (2) jiwa (hifz al-nafs), (3) akal (hifz al-‘aql), (4) 

keturunan (hifz al-nasâb), dan (5) harta (hifz al-mâl), yang (kemudian) 

disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya.

4 Bahkan menurur Azhar 

Basyar, seseorang dilarang untuk membujang. 5

Seperti halnya pembatalan perkawinan,6

larangan perkawinan 

ternyata membawa konsekuensi yang tidak jauh berbeda dengan masalah 

pembatalan perkawinan, dalam kaitannya dengan perkawinan antara dua 

orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai 

pada derajat tertentu yaitu  suatu hal yang bisa mengancam kelangsungan 

perkawinannya. Maka artikel ini akan mengkaji tentang ‚Larangan 

Perkawinan Perspektif Fikih dan Relevansinya dengan Peraturan Hukum 

Perkawinan di Indonesia‛.

Indonesia yaitu  negara yang memiliki ragam suku bangsa dan aneka 

budayanya. Ketika Islam datang dan menyebar di negeri ini, ajaran Islam 

telah mengalami penyesuaian dengan budaya lokal, sehingga membentuk 

karakteristik Islam tersendiri. Indonesia yaitu  negara yang berpenduduk 

muslim terbesar di dunia,7

terwujudnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 

Tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengalami proses sejarah panjang yang melatar belakanginya. Namun demikian, tidak 

dipungkiri bahwa proses negosiasi politik juga termasuk peran penting yang 

menjadi salah satu faktor terbentuknya. Permasalahan yang kemudian 

menjadi menarik untuk dikaji yaitu  bahwa, masih ada kesenjangan antara 

yang sebenarnya dan senyatanya, yaitu antara idealis-normatif dengan 

historis-impiris, bahwa UU Perkawinan di Indonesia telah berusia 43 

Tahun, UU perkawinan dan KHI dibuat pada era Pemerintahan Orde Baru. 

Dengan banyaknya corak, etnis serta kultur warga  Indonesia 

yang beragam yang menjadi pertanyaan yaitu  bahwa relevankah peraturan 

perundang-undangan di Indonesia dengan fikih (pendapat para ulama fikih)? 

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis undang-undang perkawinan di 

Indonesia relevansinya dengan fikih. Sebuah penelitian literatur (library

research), yang berbicara tentang aspek-aspek larangan perkawinan yang 

relevan dengan fikih, dan tentang aspek-aspek larangan perkawinan yang 

tidak relevan dengan fikih.

B. Aspek-Aspek Larangan Perkawinan yang Relevan 

Para ulama klasik sepakat bahwa yang dimaksud dengan larangan 

dalam perkawinan ialah larangan untuk kawin antara seorang pria dengan 

seorang wanita, sedangkan menurut syarâ’, larangan ini  dibagi dua, 

yaitu halangan abadi (haram ta’bîd) dan halangan sementara (haram gairu 

ta’bîd/ ta’qít). Wanita yang terlarang untuk dikawini itu disebut mahram.

Diantara larangan-larangan ada yang telah disepakati dan ada yang masih 

diperselisihkan. 

1. Mahram Ta’bîd yaitu  orang-orang yang selamanya haram dikawin. 

Larangan yang telah disepakati ada tiga, yaitu: 

a. Nasab (keturunan), dalam perspektif fikih, wanita-wanita yang haram 

dinikahi untuk selamanya (ta’bîd) sebab  pertalian nasab yaitu ; 1) 

Ibu Kandung, perempuan yang ada hubungan darah dalam garis 

keturunan garis keatas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah 

maupun ibu dan seterusnya keatas), 2) Anak perempuan kandung, 

wanita yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus kebawah, 

yakni anak perempuan, cucu perempuan, baik dari anak laki-laki 

maupun perempuan dan seterusnya kebawah, 3) Saudara perempuan, 

baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja, 4) Bibi, yaitu  

saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung ayah atau 

ibu dan seterusnya keatas, 5) Kemenakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau perempuan dan 

seterusnya.8

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8, 

bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang; 1) Berhubungan 

darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun keatas, 2) 

Bergaris keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang 

dengan saudara orang tua dan antara orang dengan saudara 

neneknya.9

Sedangkan dalam KHI Bab IV tentang Larangan Perkawinan 

Pasal 39 menyebut, dilarang melangsungkan perkawinan antara 

seorang pria dengan seorang wanita disebabkan sebab  pertalian 

nasab; a) dengan orang yang melahirkan atau yang menurunkannya 

atau keturunannya, b) dengan seorang wanita keturunan ayah atau 

ibu, c) dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. 10

Dari uraian di atas, dapat difahami bahwa nasab menjadi 

keharaman dalam perkawinan, hal ini relevan dengan UU Perkawinan 

dan juga KHI, kalimat yang digunakan sangat singkat akan tetapi 

sangat tegas. Hal ini yang menjadi maqâsid al-syarî’ah yaitu menjaga 

nasab (hifz al-nasl), menjaga dari memikirkan syahwat terhadap 

perempuan-perempuan yang diharamkannya. Orang yang merasakan 

syahwat terhadap ibunya atau berfikir untuk bersenang-senang 

dengannya, sebab  cinta kasih yang terjalin, pemberian yang mulia 

yang dibawa dalam hati anak laki-laki terhadap ibunya dari segi 

fitrah yang bersih. Semua itu mencegah anak laki-laki untuk 

mengarah pada pandangan yang salah, didasarkan pada ketetapan 

pernikahan kerabat-kerabat ini  dari bertentangan hak-hak, 

memenuhi kewajiban-kewajiban. Tentang keharaman menikahi ibu, 

dikatakan dalam ketetapan keharaman perempuan-perempuan 

berdasar  keturunan nasab.11

b. Persusuan (radhā’ah), menurut pandangan para ulama, bahwa 

larangan kawin sebab  hubungan sesusuan yaitu  sampainya air susu wanita ke dalam perut anak yang belum mencapai usia dua tahun 

Hijriyah dengan metode tertentu.12

Wanita atau laki-laki yang mempunyai mahram dari jalur susu 

mempunyai keistimewaan dan kekebalan hukum sebagaimana 

mahram yang terbentuk dari jalur nasab. Yaitu antara laki-laki dan 

wanita yang terikat dalam mahram radâ’ tidak boleh saling 

mengawini.

Para ulama klasik sepakat bahwa wanita yang haram dinikahi 

sebab  hubungan sesusuan yaitu  segala macam susuan yang dapat 

menjadi sebab haramnya perkawinan, yaitu dimana anak menyusu 

tetek dengan menyedot air susunya, dan tidak berhenti dari menyusui 

kecuali dengan kemaunnya sendiri tanpa paksaan. 13

Hubungan sesusuan yang diharamkan yaitu ; 1) Ibu susuan 

(Ibu radâ’/ murdî’ah/ wanita yang menyusui), yaitu ibu yang 

menyusui, maksudnya seorang wanita yang pernah menyusui seorang 

anak, dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui itu sehingga 

haram melakukan perkawinan. 2) Nenek susuan, yaitu ibu dari yang 

pernah menyusui atau ibu dari suami yang menyusui itu, suami dari 

ibu yang menyusui itu dipandang seperti ayah bagi anak susuan 

sehingga haram melakukan perkawinan. 3) Bibi susuan, yakni saudara 

perempuan ibu susuan atau saudara perempuan suami dari ibu susuan 

dan seterusnya keatas. 4) Kemenakan susuan perempuan; anak 

perempuan saudara ibu susuan. 5) Saudara susuan perempuan, 

saudara seayah kandung maupun seibu.

Sebagai penjelasan hubungan persusuan ini dapat dikemukakan 

beberapa hal, susuan yang mengakibatkan keharaman perkawinan 

ialah susuan yang diberikan pada anak yang masih memperoleh 

makanan dari air susu, mengenai beberapa kali seorang ibu bayi 

menyusui pada seorang ibu yang menimbulkan keharaman 

perkawinan seperti keharaman hubungan nasab sebagaimana ini  

dalam hadis diatas, dengan melihat dalil yang kuat, ialah yang tidak dibatasi jumlahnya, asal seorang bayi telah menyusu dan kenyang 

pada perempuan itu menyebabkan keharaman perkawinan. Demikian 

pendapat Hanafi dan Maliki. Menurut Syafi’i, sekurang-kurangnya 

lima kali susuan dan mengenyangkan. Adapun pendapat Tsawr Abu 

Ubaid, Daud Ibnu Ali al-Zahiriy dan Ibnu Muzakkir, sedikitnya tiga 

kali susuan yang mengenyangkan.

Di dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, dalam pasal 8 

huruf d, dijelaskan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang 

berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara 

susuan dan bibi/paman susuan.14

Sedangkan dalam KHI Pasal 39 ayat 3 dijelaskan pula tentang 

larang perkawinan sebab  persusuan, dinyatakan bahwa dilarang 

melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang 

wanita disebabkan; sebab  pertalian sesusuan; 1) dengan wanita yang 

menyusuinya dan seterusnya menurut garis keturunan keatas, 2) 

dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus 

kebawah, 3) dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan 

sesusuan kebawah, 4) dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek 

bibi sesusuan keatas, 5) dengan anak yang disusui oleh istrinya dan 

keturunannya.15

Dari uraian di atas dapat dianalisa bahwa UU Perkawinan dan 

KHI relevan dengn fikih klasik, hanya saja dalam UU Perkawinan dan 

KHI tidak secara detail membahas tentang jumlah persusuan, hanya 

membahas secara umum tentang keharaman perkawinan sebab  

nasab.

c. Wanita yang haram dinikahi sebab  hubungan masaharah atau 

perkawinan kerabat semenda, keharaman ini disebutkan dalam surat 

al-Nisâ’ ayat 23. Jika diperinci ini ; 1) Mertua perempuan, nenek 

perempuan istri dan seterusnya keatas, baik dari garis ibu atau ayah. 

2) Anak tiri, dengan syarat kalau telah terjadi hubungan kelamin 

dengan ibu anak ini . 3) Menantu, yakni istri anak, istri cucu dan 

seterusnya kebawah. 4) Ibu tiri, yakni bekas istri ayah, untuk kali ini 

tidak disyaratkan harus adanya hubungan seksual antara ibu dengan 

ayah. Persoalan dalam hubungan musaharah yaitu  keharaman ini disebabkan sebab  semata-mata akad (perkawinan) yang sah, atau 

dapat juga disebab kan perzinahan.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa larangan perkawinan sebab  

musaharah hanya disebabkan oleh semata-mata akad saja, tidak bisa 

sebab  perzinaan, dengan alasan tidak layak perzinaan yang dicela itu 

disamakan dengan hubungan musaharah. Sebaliknya, Imam Abu 

Hanifah berpendapat bahwa larangan perkawinan sebab  musaharah, 

disamping disebabkan akad yang sah, bisa juga disebabkan sebab  

perzinaan.

Para Imam Madzhab sepakat jika  ibu dari seorang 

perempuan yang dinikahi dan telah dicampuri maka anak perempuan 

itu tidak boleh dinikahi oleh orang yang menikahi ibunya, meskipun 

anak perempuan itu tidak berada dalam asuhannya. Daud berkata: 

‚Jika anak perempuan ini  tidak berada dibawah kekuasaannya 

maka ia boleh dinikahi‛.

Keharaman perempuan musaharah, yaitu mahram sebab  

hubungan perbesanan, bergantung pada terjadinya percampuran pada 

kemaluannya, tapi dengan dorongan syahwat. Menurut Imam Hanafi,

hal demikian dapat mengakibatkan keharamannya. Bahkan

menurutnya, melihat kemaluan sama dengan bercampur dalam hal 

keharaman mengawini musaharah.

Istri ayah (ibu tiri) haram dikawin, hal ini menjadi kesepakatan

para ulama atas dasar semata-mata akad walaupun tidak disetubuhi. 

Kalau sudah terjadi akad nikah, baik sudah disetubuhi atau belum 

namanya yaitu  ‚istri ayah‛ (zaujat al-abi).

Ibu istri (mertua) tergolong didalamnya nenek dari istri dan ibu 

dari ayah istri hingga keatas. Mereka digolongkan dalam ummahat al￾nisâ’i (ibu-ibu istri). Anak istri (anak tiri) dengan syarat 

keharamannya sebab  telah menyetubuhi ibunya; artinya kalau 

seorang pria dan seorang wanita baru terikat dengan hanya semata 

akad (belum terjadi persetubuhan) maka mengawini anaknya tidak 

haram (boleh).

Sebagian ulama berpendapat, ini berlaku pula secara timbal 

balik ibu istri (mertua), artinya, haram pula mengawini ibu istri 

(mertua) hukumnya tidak haram sedangkan yang lainnya (jumhúr) 

berpendapat, syarat persetubuhan itu hanya berlaku bagi anak tiri, 

tidak berlaku bagi mertua. Jumhur ulama melihat persyaratan persetubuhan itu hanya 

berlaku untuk anak tiri saja, tidak untuk ibu istri (mertua), sebab  

sifat itu kembali kepada maushuf yang terdekat saja. Sebaliknya, 

syarat persetubuhan itu berlaku pada dua maushuf (yang disifati), 

yaitu anak tiri dan ibu isteri.16

Dalam UU No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 8 huruf 

c, bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan 

semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. 17

Dalam KHI Pasal 39 ayat 2, dilarang melangsungkan 

perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan 

sebab  pertalian kerabat semenda; a) dengan seorang wanita yang 

melahirkan istrinya atau bekas istrinya. b) dengan seorang wanita 

bekas istri orang yang menurunkannya. c) dengan seorang wanita 

keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan 

perkawinan dengan bekas istrinya itu qobla al-dukhûl. d) dengan 

seorang wanita bekas istri keturunannya.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa UU Perkawinan dan 

Kompilasi Hukum Islam relevan dengan fikih klasik.

Selain bentuk larangan perkawinan ini  di atas, yang berkaitan

dengan nasab, persusuan dan musaharah, ada beberapa larangan yang 

diperselisihkan, yaitu:

a. Zina (Perzinaan)

Kawin dengan pezina, baik antara laki-laki baik-baik dengan 

perempuan pelacur atau perempuan baik-baik dengan laki-laki pezina, 

tidak dihalalkan, kecuali sesudah   masing-masing mengatakan 

bertaubat.

Firman Allah SWT., dalam surat al-Nûr ayat 3, jika  pezina 

benar-benar bertaubat, mohon ampun kepada Allah, menyesali 

perbuatannya di masa lampau dan berjanji tidak akan kembali lagi 

berbuat zina, diikuti dengan ketaatan menjalankan aturan-aturan 

Allah SWT.

Sehubungan dengan perkawinan laki-laki dengan perempuan 

pezina, akan diarahkan pada masalah perkawinan perempuan hamil sebab  hubungan zina, baik dengan laki-laki yang mengakibatkan 

kehamilan atau laki-laki lain.18

Kebanyakan fuqaha’ berpendapat bahwa perkawinan laki-laki 

dengan wanita zina dibolehkan, sebab ia tidak tersangkut kepada hak 

orang lain, bukan istri dan bukan pula orang yang menjalani ‘iddah. 

Ada lagi sebagian fuqaha’ yang berpendapat lain, wanita zina tidak 

boleh dikawini.

Untuk lebih jelas dapat diadakan perincian kemungkinan￾kemungkinan sebagai berikut:

1) Wanita zina kawin dengan laki-laki kawan berzinanya sebelum 

nampak hamil akibat zina yang dilakukan.

2) Wanita zina kawin dengan laki-laki kawan berzinanya dalam 

keadaan hamil akibat zina yang dilakukan.

Dalam dua macam kemungkinan ini , menurut pendapat 

kebanyakan fuqaha’, laki-laki kawan berzina boleh mengawininya 

seketika, tanpa menanti ada atau tidaknya tanda-tanda kehamilan 

pada kemungkinan pertama, dan tanpa menanti kelahiran anak 

pada kemungkinan kedua; suami dibolehkan mengadakan 

persetubuhan sesudah akad.

3) Wanita zina kawin dengan laki-laki lain, bukan kawan 

berzinanya, padahal ia dalam keadaan hamil dari zina. 19

4) Wanita zina kawin dengan leleki bukan pezinanya, tetapi tidak 

dalam keadaan hamil.20

Para Imam Madzhab sepakat bahwa, jika  seorang 

perempuan berbuat zina maka pernikahannya tidak batal. Namun, diriwayatkan dari Ali ra. dan Hasan al-Basri bahwa dalam hal 

demikian, pernikahan itu menjadi batal. jika  seorang pezina, maka 

suaminya boleh langsung mencampuri tanpa iddah, akan tetapi jika ia 

hamil maka makrûh menyetubuhinya hingga ia melahirkan, menurut 

Hanafi dan Syafi’i.

Menurut Maliki dan Hanbali, diwajibkan atasnya menunggu 

masa iddah dan diharamkan atas suaminya menyetubuhinya hingga 

habis masa iddah-nya. Menurut Abu Yusuf, jika  perempuan itu 

hamil maka haram menikahinya hingga ia melahirkan. Sedangkan jika 

tidak hamil maka tidak haram menikahinya dan tidak perlu menunggu 

masa iddah. Sedangkan dalam hal menikahi anak sendiri dari hasil 

perzinaan, menurut Hanafi dan Hanbali, tidak halal menikahi anak 

sendiri dari hasil perzinaan. Sedangkan menurut Syafi’i, Boleh tetapi 

makruh. Dari Maliki diperoleh dua pendapat yaitu tidak boleh dan

boleh.

UU No 1 Tahun 1974 Pasal 8 huruf f, dijelaskan bahwa 

perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan 

yang oleh agamanya atau pereturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Dalam KHI Bab VIII tentang Kawin Hamil, Pasal 53 menerangkan 

bahwa; 1) Seorang wanita hamil diluar nikah dapat dinikahkan 

dengan pria yang menghamilinya. 2) Perkawinan dengan wanita hamil 

yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu 

lebih dahulu kelahiran anaknya. 3) Dengan dilangsungkannya 

perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan 

ulang sesudah   anak yang dikandung lahir.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa UU Perkawinan relevan 

dengan fikih klasik, dengan tegas menjelaskan tentang wanita zina. 

UU Perkawinan tidak membahas tentang larangan nikah sebab  zina 

atau nikah dengan pezina. Sedangkan dalam KHI hanya membahas 

tentang nikah dengan wanita hamil (wanita hamil yang dimaksud 

yaitu  hamil sebab  zina), jadi dalam satu sisi KHI relevan, yaitu 

nikah dengan wanita zina/ wanita yang telah dizinai. Akan tetapi sisi 

lain tidak relevan, sebab  tidak membahas tentang larangan nikah 

dengan wanita pezina. 

b. Sumpah li’an

Li’an yaitu perceraian yang terjadi sebab  tuduh-menuduh 

antara suami istri tentang zina dimana suami mengatakan bahwa istrinya berzina dan anak yang dalam kandungannya terjadi dari zina, 

sedangkan istrinya menolak tuduhan ini  dan keduanya tetap 

berpegang pada pendiriannya, dimana suami menguatkan tuduhannya 

sedangkan istrinya menguatkan bantahannya. Maka cerailah antara 

suami dan istri ini , untuk selamanya.

Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina tanpa 

mendatangkan empat orang saksi, maka suami diharuskan bersumpah 

empat kali dan yang kelima kali dilanjutkan dengan menyatakan 

bersedia menerima laknat Allah jika  tindakannya itu dusta. Istri 

yang mendapat tuduhan itu bebas dari hukuman zina kalau mau 

bersumpah seperti suami diatas empat kali dan yang kelima kalinya 

diteruskan bersedia mendapat laknat Allah bila tuduhan suami itu 

benar. Sumpah demikian disebut sumpah li’an. Jika terjadi sumpah 

li’an antara suami istri maka putuslah hubungan perkawinan 

keduanya untuk selamanya. 

Keharaman ini didasarkan firman Allah dalam surat al-Nûr 

ayat 6-9. Pelaksanaan hukum li’an sangat memberatkan dan menekan 

perasaan, baik bagi suami maupun bagi istri yang dalam perkara li’an

ini. Bahkan dapat mempengaruhi jiwa masing-masing, terutama 

sesudah   mereka berada dalam ketenangan berfikir dan perasaan 

kembali. Hal ini tidak lain yaitu ; 1) sebab  bilangan sumpah li’an, 

2) sebab  tempat paling mulia untuk berli’an. 3) sebab  masa yang 

paling penting untuk li’an, 4) sebab  sumpah itu dilakukan 

dihadapan jama’ah (manusia banyak).

Pengaruh li’an yaitu  terjadinya perceraian antara suami istri. 

Bagi suami, maka istri menjadi haram untuk selamanya. Ia tidak 

boleh rujuk atau nikah lagi dengan akad baru. Bila istrinya 

melahirkan anak yang dikandungnya, maka anak itu dihukumkan 

bukan keturunan suaminya.

Akibat hukum dari sumpah li’an yang berdampak pada suami 

istri, yaitu li’an menimbulkan pula perubahan pada ketentuan hukum 

yang mestinya dapat berlaku bagi salah satu pihak (suami istri). 

Perubahan itu antara lain yaitu  sebagai berikut; 1) Gugur had atas 

istri sebagai had zina, 2) Wajib had atas istri sebagai had zina, 3) 

Suami istri bercerai untuk selamanya, 4) Diterapkan berdasar  

pengakuan suami, bahwa dia tidak mencampuri istrinya, 5) Bila ada 

anak, tidak dapat diakui suami sebagai anaknya. Sebaliknya istri dapat menggugurkan had atas dirinya dengan membela li’an

suaminya dengan li’an-nya pula atas suaminya.

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bagian 

keenam tentang Akibat Li’an, Pasal 162. Bilamana li’an terjadi maka 

perkawinan putus untuk selamanya dan anak yang dikandung 

dinasabkan kepada ibunya, sedangkan suaminya terbebas dari 

kewajiban memberi nafkah.

Di dalam KHI Pasal 163 dijelaskan, bilamana li’an terjadi 

maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang 

dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari 

kewajiban memberi nafkah. Dari uraian ini  di atas jelaslah 

bahwa UU Perkawinan dan KHI relevan dengan fikih klasik, yang 

mana telah melarang perkawinan sebab  sumpah li’an.

2. Haram Gairu Ta’bíd, maksudnya yaitu  orang yang haram dikawin untuk 

masa tertentu (selama masih ada hal-hal yang mengharamkannya) dan 

saat hal yang menjadi penghalang sudah tidak ada, maka halal untuk 

dikawini. Seperti pertalian mahram antara laki-laki dengan perempuan 

iparnya (saudara perempuan istri), antara laki-laki dengan bibi istri dan 

seterusnya. Wanita-wanita yang haram dinikah tidak untuk selamanya 

(bersifat sementara) yaitu  sebagai berikut:

a. Halangan bilangan, yaitu mengawini wanita lebih dari empat. Para 

ulama sepakat mengharamkan hal ini . jika  ada orang yang 

baru masuk Islam, mempunyai istri lebih dari empat orang, maka

harus memilih empat orang diantara mereka untuk dijadikan istri 

tetapnya. Jika diantara istri-istri ada yang bersaudara (kakak beradik), 

maka harus menceraikan salah satunya, demikian menurut pendapat 

Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali. Imam Hanbali 

berpendapat, jika pernikahan lebih dari empat istri ini  terjadi 

dalam satu keadaan, maka akad pernikahannya batal. Sedangkan jika 

terjadi dalam beberapa akad,maka sah pernikahannya dengan empat 

orang istri yang pertama.

Dalam UU Perkawinan Bab VIII Pasal 40 tentang peristrian 

lebih dari empat, dijelaskan bahwa seorang suami yang bermaksud 

untuk beristri lebih dari seorang maka wajib mengajukan permohonan 

secara tertulis kepada Pengadilan. Pasal 41, Pengadilan kemudian 

memeriksa mengenai; 1) Ada atau tidaknya alasan yang 

memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah; a) Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, b) Bahwa istri 

mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak disembuhkan, c) 

Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan. 2) Ada atau tidaknya 

persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan amaupun tertulis, jika  

persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus 

diucapkan didepan sidang pengadilan. Ada atau tidak adanya 

kemampuan suami untuk menjamin ketercukupan hidup istri-istri dan 

anak-anak, dengan memperlihatkan; a) Surat keterangan mengenai 

penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat 

bekerja; atau, b) Surat keterangan pajak penghasilan; atau, c) Surat 

keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadialan.

Pasal 42, 1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal 

pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar 

istri yang bersangkutan, 2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu 

dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari 

sesudah   diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.

Pasal 43, jika  Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan 

bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan 

memberikan putusannya yang tanpa izin untuk beristri lebih dari 

seorang. Pasal 44, Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan 

pencatatan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang 

sebelum adanya ijin seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.

Hal ini sebagaimana dikutip juga dalam KHI Bab IX Tentang 

Beristri Lebih Dari Satu Orang, yaitu Pasal 55, yaitu; 1) Beristri lebih 

dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat 

orang istri. 2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus 

mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. 3) jika  

syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, 

suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Pasal 56, yaitu 1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu 

orang harus mendapat ijin dari Pengadilan Agama. 2) Pengajuan 

permohonan ijin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara 

sebagaimana diatur dalam Bab VIII PP No 9 Tahun 1975. 3) 

Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat 

tanpa ijin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57, Pengadilan Agama hanya memberikan ijin kepada 

seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang jika ; a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b) Istri 

mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 

c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58 juga menyebutkan, 1) selain syarat utama yang 

disebut pada pasal 55 ayat (2), maka untuk memperoleh ijin 

Pengadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan 

pada pasal 5 UU No 1 Tahun 1974 yaitu; a) adanya persetujuan istri, 

b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup 

istri-istri dan anak-anak mereka. 2) Dengan tidak mengurangi 

ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, 

persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau 

dengan lisan, tapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, 

persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang 

Pengadilan Agama. 3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a 

tidak diperlukan bagi seorang suami jika  istri atau istri-istrinya 

tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi 

pihak dalam perjanjian atau jika  tidak ada kabar dari istri atau 

istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau sebab  sebab lain yang 

perlu mendapat penilaian Hakim.

Pasal 59, dalam hasil istri tidak mau memberikan persetujuan, 

dan permohonan ijin untuk beristri lebih dari satu orang berdasar  

atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, 

Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin sesudah   

memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan 

Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat 

mengajukan banding atau kasasi.21

Dari penjelasan ini  dapat difahami bahwa UU Perkawinan 

tidak membahas secara tegas tentang pembatasan perkawinan dan 

KHI relevan dengan fikih klasik, yang mana peristrian hanya dibatasi 

empat saja, kecuali salah satu dari empat istri ini  ada yang 

diceraikan sebab  alasan tertentu, maka halallah bagi laki-laki 

ini  untuk menikah lagi.

b. Halangan mengumpulkan, yaitu dua orang perempuan bersaudara 

haram dikawini oleh seorang laki-laki dalam waktu bersamaan; 

maksudnya mereka haram dimadu dalam waktu yang bersamaan. jika  mengawini mereka berganti-ganti, seperti seorang laki-laki 

mengawini seorang wanita, kemudian wanita ini  meninggal atau 

dicerai, maka laki-laki itu boleh mengawini adik atau kakak 

perempuan dari wanita yang telah meninggal dunia ini .

c. Keharaman mengumpulkan dua wanita dalam satu waktu perkawinan 

itu disebutkan dalam surat al-Nisá’ ayat 23. Keharaman 

mengumpulkan dua wanita dalam satu perkawinan ini juga 

diberlakukan terhadap dua orang yang mempunyai hubungan keluarga 

bibi dan kemenakan. Para Imam Madzhab sepakat tentang keharaman 

mengumpulkan dua perempuan bersaudara untuk dinikahi dalam satu 

masa. Diharamkan juga menikahi seorang perempuan beserta bibinya, 

baik bibinya dari pihak bapak maupun dari pihak ibu. 22

 

Demikian juga, diharamkan menyetubuhi dua perempuan 

kakak beradik yang dimiliki dalam perbudakan. Daud berpendapat, 

tidak diharamkan mengumpulkan dua bersaudara perempuan yang 

dimiliki dengan jalan perbudakan untuk dicampuri. Imam Hanafi 

berpendapat, sah menikahi seorang perempuan sesudah menikahi 

saudaranya. Namun, tidak dihalalkan menyetubuhinya sebelum 

mengharamkan persenggamaan dengan saudaranya yang telah 

dinikahi terlebih dahulu.23 Yaitu; 1) Wanita yang terikat perkawinan 

dengan laki-laki lain haram dinikah oleh seorang laki-laki. 

Keharaman ini disebutkan dalam surat al-Nisá’ ayat 24, 2) Wanita 

yang sedang dalam iddah, baik dalam iddah cerai maupun iddah

ditinggal mati berdasar  firman Allah surat al-Baqarah ayat 228

dan 234.

UU No 1 Tahun 1974 tidak menjelaskan hal ini, akan tetapi 

dalam KHI pasal 41 ayat (1) sebagai berikut; 1) Seorang pria dilarang 

memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan 

pertalian nasab atau susuan dengan istrinya; a) Saudara kandung, 

seayah atau seibu serta keturunannya. b) Wanita dengan bibinya atau 

kemenakannya.

Dari penjelasan di atas maka dapat difahami bahwa UU 

Perkawinan tidak membahas tentang hal ini , akan tetapi KHI

justru dapat melengkapi UU Perkawinan ini , dan relevan dengan 

fikih klasik, bahwa seorang laki-laki tidak dapat menikahi dua orang 

wanita dalam waktu bersamaan, tapi jika wanita ini  dicerai atau 

meninggal maka laki-laki ini  dapat menikahi saudara wanita 

ini .

d. Halangan kafir, yaitu wanita musyrik haram dinikah. Maksud wanita 

musyrik ialah yang menyembah selain Allah. Tidak halal bagi 

seorang muslim dan tidak sah pernikahannya atas orang kafir dan 

orang murtad sebab  ia telah keluar pada aqidah dan petunjuk yang 

benar.

Dalil atas keharamannya yaitu  firman Allah SWT, al-Baqarah 

ayat 24. Dalam hal jika salah seorang dari istri keluar dari agama 

Islam (murtad) maka secepatnya bercerai secara mutlak. Baik 

murtad-nya sebelum bercampur maupun sesudahnya. Demikian 

menurut pendapat Imam Hanafi dan Imam Maliki. Imam Syafi’i dan 

Imam Hanbali berpendapat, jika nikahnya sebelum terjadi bercampur, 

harus secepatnya bercerai. Namun, jika murtad-nya sesudah   

bercampur, hendaknya ditunggu hingga iddah-nya selesai. jika  

suami istri itu sama-sama murtad maka hukumnya seperti ketika 

terjadi murtad salah satu di antara mereka, yaitu terjadi keduanya 

bercerai. Sedangkan Hanafi berpendapat tidak harus cerai.

Hal ini diuraikan juga dalam KHI Pasal 75, bahwa keputusan 

pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap; a) Perkawinan 

yang batal sebab  salah satu suami atau istri ada yang murtad. 

Adapun wanita ahli kitab, yakni wanita Nasrani, Allah berfirman 

dalam surat al-Mâidah ayat 5 dijelaskan, seorang laki-laki muslim 

dihalalkan menikah dengan seorang wanita ahlul kitab, akan tetapi 

seorang wanita muslimah dilarang menikah dengan seorang laki-laki 

ahlul kitab, sebab  jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita 

ahlul kitab ada harapan untuk dapat mengarahkan wanita ini  

masuk Islam, akan tetapi jika wanita muslimah dinikahi laki-laki 

ahlul kitab akan banyak mudharat-nya sehingga hal itu dilarang.

Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali berpendapat 

bahwa pernikahan orang kafir dengan orang kafir yaitu  sah, 

pernikahannya tergantung pada hukum-hukum yang berkaitan dengan 

hukum-hukum yang berlaku bagi kaum muslim. Sedangkan Imam 

Maliki berpendapat, pernikahannya batal. Dalam Undang-undang Perkawinan dijelaskan dalam Pasal 8 huruf f, perkawinan dilarang 

antara dua orang yang: f). mempunyai hubungan yang oleh agamanya 

atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Dalam KHI Pasal 

44 menjelaskan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan 

perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa dalam fikih 

klasik, orang non muslim dibagi menjadi dua, kafir dan ahlul kitab, 

secara mutlak semua Imam Mazhab sepakat bahwa seorang laki-laki 

dilarang menikahi seorang wanita kafir, akan tetapi dibolehkan 

menikah dengan wanita ahlul kitab. Sedangkan dalam UU 

Perkawinan di Indonesia tidak relevan dengan fikih klasik, sebab  

tidak membahas hal pernikahan dengan non muslim. KHI 

menjelaskan dengan tegas bahwa seorang laki-laki muslim dilarang 

menikah dengan wanita non muslim.

e. Halangan ihrám, yaitu wanita yang sedang melakukan ihram, baik 

ihram umrah maupun ihram haji tidak boleh dikawini. Dalam riwayat 

Tirmidzi tidak disebutkan adanya kalimat ‚tidak boleh meminang‛. 

Kata tirmidzi hadíth ini Hasan Shahíh. Sebagian para sahabat 

mengamalkan hadítsini, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam Ishaq 

berpendapat demikian pula. Mereka menganggap kawinnya orang 

sedang ihram tidak sah dan jika dilaksanakan juga hukumnya bathil. 

Akan tetapi, ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi 

Muhammad SAW, kawin dengan Maimunah ketika beliau ihrâm. 

Hadîth ini  dipertentangkan oleh riwayat Muslim yang 

menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW, kawin dengan Maimunah 

itu diwaktu halah haji (selesai menunaikan haji). 24

Dalam UU Perkawinan tidak membahas tentang larangan 

perkawinan sebab  ihrám, maka bisa difahami bahwa UU Perkawinan 

tidak relevan dengan fikih. Akan tetapi dalam KHI dijelaskan dalam 

Bab VIII tentang kawin hamil pasal 54 yaitu; 1) Selama seorang 

masih dalam keadaan ihrâm, tidak boleh melangsungkan perkawinan 

dan juga tidak boleh betindak sebagai wali nikah. 2) jika  terjadi 

perkawinan dalam keadaan ihrâm, ihrâm perkawinannya tidak sah.

Dari uraian di atas maka dapat di fahami bahwa KHI justru 

lebih relevan dari pada UU No 1 Tahun 1974 dan memang KHI merupakan fikih kontemporer bagi umat Islam Indonesia, yang 

membahas hal-hal kekinian dalam warga  Islam.

f. Halangan iddah

25, yaitu wanita yang sedang dalam iddah, baik iddah

cerai maupun iddah ditinggal mati.26 Perceraian hidup dan dalam 

keadaan hamil, dijelaskan dalam surat al-Thalaq ayat 4. Perceraian 

hidup, tidak hamil, belum haid atau putus haid (menopause), iddah￾nya selama tiga bulan. Dijelaskan dalam Surat al-Thalaq ayat 4, 

bahwa Perceraian hidup, sudah dukhul dan masih haid, lamanya iddah 

tiga kali quru’ (haid atau suci). Dijelaskan dalam Surat al-Baqarah 

ayat 228, bahwa cerai mati masa iddah-nya empat bulan sepuluh hari. 

Sebagaimana juga dijelaskan Surat al-Baqarah ayat 234.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Bab 

Keempat tentang Perkawinan ayat 34, bahwa seorang perempuan 

tidak diperbolehkan kawin lagi, melainkan sesudah   lewat waktu tiga 

ratus hari semenjak perkawinan terakhir dibubarkan. 27

UU No 1 Tahun 1974 menjelaskan pula dalam Bab VII Pasal 

39, bahwa; 1). Waktu tunggu bagi seorang janda sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang ditentukan 

sebagai berikut; a) jika  perkawinannya putus sebab  kematian, 

waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari, b) jika  

perkawinannya putus sebab  perceraian, waktu tunggu bagi yang 

masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang￾kurangnya 90 (Sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang 

bulan ditetapkan 90 (Sembilan puluh) hari; c) jika  perkawinan 

putus sedang janda ini  dalam keadaan hamil, waktu tunggu 

ditetapkan sampai melahirkan. 2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda 

yang putus perkawinan sebab  perceraian sedang antara janda 

ini  dengan bekas suaminya belum pernah terjadi persetubuhan. 

3) Bagi perkawinan yang putus sebab  perceraian, tenggang waktu 

tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus sebab  

kematian, tentang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

Dalam KHI Bagian Kedua Tentang Waktu Tunggu dijelaskan 

dalam Pasal 153, yaitu; 1) Bagi seorang istri yang putus 

perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah kecuali qobla al￾dukhul dan perkawinannya putus bukan sebab  kematian suami. 2) 

Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut; a) 

jika  perkawinan putus sebab  kematian, walaupun qobla al￾dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari, b) 

jika  perkawinan putus sebab  perceraian waktu tunggu bagi yang 

masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 

90 (Sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 

(Sembilan puluh) hari, c) jika  perkawinan putus sebab  perceraian 

sedang janda ini  dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan 

sampai melahirkan, d) jika  perkawinan putus sebab  kematian, 

sedang janda ini  dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan 

sampai melahirkan. 3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus 

perkawinan sebab  perceraian sedang antara janda ini  dengan 

bekas suaminya qabla al-dukhul. 4) Bagi perkawinan yang putus 

sebab  perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya 

putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, 

sedangkan bagi perkawinan yang putus sebab  kematian, tenggang 

waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. 5) Waktu tunggu bagi 

istri yang pernah haid sedang dalam waktu menjalani iddah tidak haid

sebab  menyusui, maka iddah-nya tiga kali waktu suci. 6) Dalam hal 

keadaan pada ayat (5) bukan sebab  menyusui, maka iddah-nya 

selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun ini  

ia ber-haid kembali, maka iddah-nya menjadi tiga kali waktu suci.

Pasal 154 menjelaskan, jika  istri tertalak raj’i kemudian 

dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf 

b. ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, ditinggal mati oleh suaminya, maka 

iddah-nya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari, terhitung saat 

matinya bekas suaminya. Sedangkan Pasal 155 menjelaskan, bahwa 

waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya sebab  khuluk, 

fasakh dan li’an berlaku iddah talak.28 Dari uraian di atas jelaslah bahwa wanita yang masih dalam masa iddah dilarang melangsungkan 

perkawinan dengan laki-laki lain, sampai habis masa iddah-nya. Hal 

ini relavan dengan UU Perkawinan dan KHI.

g. Halangan perceraian tiga kali, yaitu wanita yang ditalak tiga haram 

kawin lagi dengan bekas suaminya, kecuali kalau sudah kawin lagi 

dengan orang lain dan telah berhubungan badan serta dicerai oleh 

suami terakhir itu dan telah habis masa idah-nya,

29 hal ini 

berdasar  surat al-Baqarah ayat 229. Seorang perempuan yang 

ditalak tiga menikah lagi dengan orang lain, dengan maksud untuk 

menghalalkan pernikahan dengan mantan suaminya yang pertama, 

dengan memakai syarat jika  terjadi persetubuhan dengannya maka 

jatuh talak, maka pernikahan semacam ini yaitu  sah. Namun 

syaratnya gugur. Demikian menurut pendapat Imam Hanafi. 

Sedangkan menurut pendapat Imam Maliki, tidak halal bagi 

suami pertama menikahi mantan istrinya, kecuali ia telah melakukan

pernikahan yang sah yang dilakukan atas dasar kesenangan dengan 

orang lain, bukan bertujuan untuk menghalalkan pernikahan dengan 

mantan suami pertama, dan telah disetubuhi suami kedua dalam 

keadaan suci, tidak dalam keadaan haid. Jika pernikahan itu 

dimaksudkan untuk menghalalkan atau disyaratkan demikian maka 

akadnya rusak dan tidak halal bagi suami yang kedua. Imam Syafi’i 

dalam masalah ini mempunyai dua pendapat, dan yang paling shahih 

bahwa pernikahannya tidak sah. Hanbali berpendapat, tidak sah 

secara mutlak.

Adapun, pernikahan tanpa menyaratkan demikian, hanya 

bercita-cita saja, maka nikahnya sah. Demikian menurut pendapat 

Imam Hanafi. Menurut pendapat Imam Syafi’i, sah, tetapi makruh. 

Sedangkan menurut pendapat Imam Maliki dan Imam Hanbali, tidak 

sah.

Demikian dengan syarat jangan dimadu atau jangan pindah dari 

negerinya atau dari rumahnya atau jangan diajak berkelana, maka 

pernikahannya yaitu  sah dan semua syaratnya itu tidak wajib 

dipenuhi. Selain itu, perempuan ini  berhak memperoleh mahar 

mitsl, sebab  syarat ini  mengharamkan yang halal, demikian 

menurut pendapat Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Syafi’i. Sementara Imam Hanbali berpendapat, bahwa pernikahannya yaitu  

sah, dan syaratnya harus dipenuhi. Jika ia menyalahi syaratnya, maka 

istri boleh memilih untuk menceraikan dirinya.30

Dalam UU No 1 Tahun 1974 tidak membahas akan hal ini, 

akan tetapi dalam KHI pasal 43, berbunyi; 1) Dilarang 

melangsungkan perkawinan antara seorang pria; a) Dengan seorang 

wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali, b) Dengan seorang 

wanita bekas istrinya yang dili’an. 2) Larangan ini  pada ayat (1) 

huruf a gugur, kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain, 

kemudian perkawinan ini  putus ba’da dukhul dan telah habis 

masa iddah-nya.

Dari uaraian di atas jelaslah bahwa UU Perkawinan tidak 

membahas hal ini , akan tetapi KHI relevan dengan fikih klasik, 

bahwa seorang wanita yang telah ditalak tiga (ba’in), tidak boleh 

dinikahi sampai ia menikah dengan pria lain dan pernikahan itu 

terputus tanpa disengaja (tidak sebab  muhallil) dan ba’da al-dukhul.

h. Halangan peristrian, yaitu wanita yang terikat perkawinan dengan 

laki-laki lain (wanita yang terpelihara), maka haram dinikahi.31

Perempuan yang terpelihara maksudnya yaitu  wanita yang

bersuami. Sehingga boleh dinikahi jika sudah menjadi janda dan habis 

masa iddah-nya.

32

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 9 yang menyatakan; 

Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak 

dapat kawin lagi kecuali dalam hal yang ini  pada Pasal 3 ayat 

(2) dan Pasal 4 Undang-Undang ini.

Sedangkan dalam KHI Pasal 40, dilarang melangsungkan 

perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sebab  

keadaan tertentu; a) sebab  wanita yang bersangkutan masih terikat 

satu perkawinan dengan pria lain, b) seorang wanita yang masih 

berada dalam masa iddah dengan pria lain, c) seorang wanita yang 

tidak beragama Islam.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa UU Perkawinan dan KHI 

relevan dengan fikih, yang menjelaskan tentang larangan perkawinan 

bagi seorang wanita yang dalam ikatan perkawinan dengan pria lain.

C. Aspek-Aspek Larangan Yang Tidak Relevan 

Dalam fikih klasik, halangan kehambaan merupakan salah satu hal 

yang menjadikan larangan dalam perkawinan, barang siapa yang menikahi 

perempuan merdeka tidak boleh baginya untuk menikahi budak perempuan 

hingga istri merdeka diceraikan dan habis masa iddah-nya. Hal ini  

dapat menyakiti istri (perempuan merdeka). sebab  dalam menikahi budak 

perempuan atas perempuan merdeka hal itu menyakitkan sebab  

merendahkannya, dan itu tidak diperbolehkan.33

Jika seorang budak laki-laki menikah dengan majikannya, maka 

nikahnya tidak dibenarkan, sebab  adanya pertentangan hukum perbudakan 

dan nikah dalam hal pemberian nafkah dan bepergian, dimana seorang 

budak berhak mendapatkan nafkah dari majikannya, sedangkan dalam 

hukum pernikahan seorang istri berhak mendapatkan nafkah dari suaminya. 

Selain itu, menurut hukum perbudakan, seorang wanita boleh mengajak 

budaknya bepergian kemana saja ia suka, sedangkan dalam hukum 

pernikahan, sang istri tergantung pada suaminya. berdasar  hal ini , 

maka nikah seorang budak dengan majikannya yang perempuan sama sekali 

tidak sah. Dan jika ada seorang laki-laki menikah dengan seorang 

perempuan merdeka, kemudian ia menjadikannya sebagai budak, maka 

nikahnya pun tidak sah, sebab  hukum pemilikan budak itu lebih kuat 

daripada nikah.34

Bolehnya seorang laki-laki merdeka menikahi budak perempuan 

dengan dua syarat; 1) Takut terjerumus kedalam perzinaan, 2) tidak ada 

kesanggupan untuk menikahi perempuan merdeka. Demikian menurut 

pendapat Imam Safi’i, Imam Maliki dan Imam Hanbali. Sedangkan Imam 

Hanafi berpendapat, bolehnya tidak bergantung pada dua syarat ini . 

Yang menghalangi yaitu  adanya istri yang merdeka atau sedang dalam 

menunggu masa iddah.

Tidak halal bagi seorang muslim menikahi budak ahli kitab. 

Demikian menurut pendapat Imam Syafi’i, Imam Maliki dan Imam Hanbali. 

Sedangkan Imam Hanafi, berpendapat halal. Para Imam Madzhab,

bersepakat tentang tidak halalnya seorang muslim menyetubuhi budak -

budak ahli kitab yang diperoleh dengan jalan memilikinya.

Menurut Imam Abu Tsawr, halal menyetubuhi segala budak yang 

diperoleh dengan jalan pernikahan, walaupun beragama lain. Menurut 

pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, seorang yang merdeka tidak 

boleh menikahi seorang budak. Imam Hanafi dan Imam Maliki mengatakan, 

boleh menikahi hingga empat orang, sebagaimana bolehnya menikahi 

perempuan merdeka. Seorang budak hanya boleh beristri dua orang. 

Menurut pendapat Imam Syafi’i, Imam Hanafi dan Imam Hanbali. Imam 

Maliki berpendapat, boleh beristri lebih dari dua orang.

Seorang yang telah berzina dengan seorang budak boleh menikahinya 

dan menyetubuhinya tanpa penangguhan persenggamaan untuk mengetahui 

kekosongan rahim. (istibra’), demikian menurut pendapat Imam Syafi’i. 

Sedangkan Imam Hanafi berpendapat, bahwa tidak boleh disetubuhi 

sebelum istibra’ terlebih dahulu selama satu kali haidh atau sampai 

melahirkan jika ia hamil. Sedangkan Imam Maliki memakruhkan menikahi 

wanita pezina secara mutlak. Imam Hanbali berpendapat, tidak boleh 

menikahi perempuan yang telah dizinai kecuali dengan dua syarat; a) Telah 

taubat dari perbuatannya, b) Istibra’, yaitu hingga ia melahirkan jika hamil 

atau menunggu tiga kali haid jika ia tidak hamil.35

Dalam hal larangan menikah dengan seorang budak, baik KUHPer 

maupun UU No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan serta KHI tidaklah 

relevan dengan fikih klasik, sebab  Undang-Undang di Indonesia tidak 

mengatur tentang perbudakan, sehingga tidak relevan. Memang kenyataan 

di warga  Indonesia tidak ada praktek perbudakan sehingga memang 

tidak dibutuhkan Undang-Undang tentang Perbudakan.

Pada dasarnya bahwa secara filosofis, konstruksi larangan 

perkawinan dalam UU Perkawinan di Indonesia maupun KHI, secara prinsip 

relevan dengan fikih. sebab  disinyalir mengadopsi pendapat para ulama 

fikih, khususnya imam madzhab empat, sehingga hasil legislasi hukum 

positif di Indonesia khususnya undang-undang perkawinan tidak mengalami 

rekonstruksi apalagi mendeskonstruksi fikih. Hanya saja, sebab  secara 

konteks bahwa warga  Indonesia yang terdiri dari beragamnya budaya, 

etnis dan suku bangsa, sehingga secara sosial-kultural dan secara 

antropologis mengalami penyesuaian. Selain itu, disebab kan proses 

legislasi yang begitu panjang dan alur politik orde baru yang begitu deras dan kesan patrelinial yang mendominasi terwujudnya corak peraturan 

perundang-undangan ini . 

 

Kesimpulan dari larangan perkawinan dalam fikih serta relevansinya

dengan peraturan hukum perkawinan di Indonesia, bahwa tidak semua 

perempuan dapat dinikahi, tetapi syarat perempuan yang boleh dinikahi 

hendaknya bukan orang yang haram bagi laki-laki yang akan mengawininya. 

Larangan perkawinan mencakup halangan abadi (ta’bíd), yaitu tidak dapat 

dinikahi selamanya, disebab kan nasab, perkawinan dan persusuan. 

Larangan sementara (gairu ta’bíd) yaitu  orang yang haram dikawin untuk 

masa tertentu, seperti halangan bilangan, mengumpulkan, kehambaan, kafir, 

ihrám, iddah, perceraian tiga kali dan peristrian. Pada prinsipnya peraturan 

hukum perkawinan di Indonesia, baik UU No 1 Tahun 1974 tentang 

Perkawinan maupun KHI merupakan legeslasi hukum Islam. Pada 

prinsipnya, seluruh pasal dalam peraturan hukum perkawinan di Indonesia 

yang menyangkut tentang larangan perkawinan, releven dengan apa yang 

diutarakan dalam fikih, namun terdapat larangan perkawinan yang tidak 

terlegeslasikan dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, seperti 

larangan perkawinan dengan hamba, sedangkan pasal yang kontroversial,

yaitu pasal 40 huruf c. KHI dalam pasal ini  menjelaskan bahwa 

seorang laki-laki muslim dilarang melakukan perkawinan dengan wanita 

yang tidak beragama Islam, sebagaimana dalam fikih, yaitu mereka yang 

tidak beragama Islam, dalam arti musyrik, penganut Majusi, Nasrani, 

Yahudi dan Ahli kitab.




Larangan perkawinan perspektif fikih mencakup larangan abadi (ta’bíd); 

perempuan dilarang kawin dengan laki-laki sepanjang masa disebab kan hubungan 

nasab, perkawinan dan persusuan. larangan sementara (gairu ta’bíd) yaitu  wanita 

atau laki-laki yang haram kawin untuk masa tertentu disebab kan bilangan, 



mengumpulkan, kehambaan, kafir, ihrám, iddah, talak tiga dan peristrian. Yang 

diperselisihkan yaitu  zina dan sumpah li’an. Undang-Undang Perkawinan di 

Indonesia yaitu  hasil legislasi hukum normatif (fikih) dan tidak mengatur tentang 

larangan menikahi budak, Pasal yang kontroversial, yaitu pasal 40 huruf c, dalam 

pasal ini  ditentukan dengan jelas bahwa seorang laki-laki muslim dilarang 

melakukan perkawinan dengan wanita yang tidak beragama Islam. Dalam fikih, non 

muslim dibagi dua, yaitu musyrik/kafir yaitu  orang yang haram untuk dikawin 

sedangkan Nasrani/Yahudi yang disebut dengan ahlul kitab dapat di kawin