Ajaan Lee Dhammadharo 3

 .


Di sana aku tinggal di Wat Sra 

Pathum sebelum kembali melewatkan masa vassa seperti biasanya, di 

Chanthaburi. 

~ 109 ~

Secara Keseluruhan, aku telah melewatkan empat belas masa vassa di 

Chanthaburi sampai pada suatu titik di mana aku menganggap daerah 

itu bagaikan rumahku. Ada sebelas vihara yang ada  di propinsi 

itu, yaitu: 

Vihara Wat Paa Khlawng Kung, di daerah Chanthaburi; 1) 

Vihara Wat Sai Ngam, Baan Nawng Bua, di daerah Chanthaburi; 2) 

Vihara Wat Khao Kaew , di daerah Chanthaburi; 3) 

Vihara Wat Khao Noi, Thaa Chalaeb; 4) 

Vihara Wat Yang Rahong, di daerah Thaa Mai; 5) 

Vihara Wat Khao Noi, di daerah Thaa Mai; 6) 

Vihara Wat Khao Jam Han, di daerah Laem Singh; 7) 

Vihara Wat Laem Yang , di daerah Laem Singh; 8) 

Vihara Wat Mai Damrong Tham, di daerah Khlung; 9) 

Vihara Wat Baan Imang, di daerah Khlung; dan 10) 

Vihara Samnak Song Saam Yaek di Stasiun Pengembangan Budaya 11) 

Tanaman dekat air terjun di Gunung Sra Baab. 

Di semua vihara ini ada beberapa bhikkhu yang tinggal dalam 

kehidupan vihara seperti biasanya. Beberapa di antaranya vihara yang 

digunakan untuk kebaktian, dan sisanya merupakan tempat tinggal 

para bhikkhu. 

Bagian 12

~ 110 ~


Pada tahun 1941, perang dengan Prancis dan Perang Dunia ke dua 

terjadi. Selama peperangan dan sesudah  peperangan, aku mengembara 

ke berbagai propinsi pada tahun 1949. Karena perang akhirnya usai, 

aku berpikir akan pergi lagi ke India. Jadi pada bulan November tahun 

itu, aku bersiap untuk mengajukan paspor yang baru. 

Pergi ke India saat itu ternyata tidaklah mudah karena perang baru 

saja usai. Ketika aku siap berangkat memohon pasporku, aku bertanya 

kepada orang yang mengatur keuanganku, yaitu Khun Amnaad, 

berapa banyak uang yang ada. Jawabnya, “tujuh puluh Baht.” Tapi 

biaya permohonan paspor baru sebesar seratus dua puluh Baht. Hal 

ini menyebabkan umat awam yang mengetahui rencana kepergianku 

datang dan meminta aku untuk tidak pergi, tetapi aku berkata kepada 

mereka, “aku harus pergi.” 

“Tetapi tujuh puluh Baht tidak cukup untuk perjalanan!” 

“Uang bukan yang terutama,” aku mengatakan kepada mereka. “Aku 

yang terutama.” 

Akhirnya para pengikutku mengerti bahwa aku benar-benar 

harus pergi, dan mereka mulai mengumpulkan dana untuk biaya 

perjalananku. Suatu hari Phraya Latphli Thamprakhan, beserta Nai 

Chamnaan Lyyprasoed datang untuk menetap di vihara. Ketika mereka 

mendengar bahwa aku akan pergi ke India, kami saling bertanya dan 

menjawab. Phraya Latphli memberikan dua pertanyaan kepada aku: 

“1) Mengapa harus pergi? Masing-masing dari kita telah mengenal 

Dhamma dengan baik. 2) Apakah bhante mengerti bahasa mereka?” 

Aku menjawab, “orang Myanmar dan India yaitu  orang-orang 

yang sama seperti aku. Adakah orang-orang di dunia ini yang tidak 

mengetahui bahasa dari orang-orang lain?” 

~ 111 ~


Phraya Latphli bertanya, “bagaimana bhante akan pergi? Apakah 

bhante memiliki  cukup uang?” 

Aku menjawab, “selalu cukup.” 

Phraya Latphli bertanya, “apa yang akan bhante lakukan jika uang itu 

habis?” 

“Kemungkinan aku akan menjual jubahku. Apakah bhante pikir aku 

akan mengetahuinya sebelum uang itu habis?” 

Phraya Latphli bertanya, “apakah bhante mengerti bahasa Inggris?” 

“Aku sudah berusia empat puluh tahun. Jika aku belajar bahasa Inggris 

atau Hindi, aku bertaruh aku dapat berbahasa Inggris atau Hindi lebih 

baik dari pada anak-anak.” 

Kita hentikan pembicaraan ini. Kemudian Phraya Latphli menambahkan, 

“aku hanya menguji bhante.” 

Aku berkata kepadanya, “jangan tersinggung, tetapi aku harus 

berbicara seperti itu.” 

Tidak lama kemudian, sesudah  para umat awam, bhikkhu dan samanera 

mengumpulkan dana dan terkumpul sebesar sepuluh ribu Baht untuk 

membantu biaya perjalananku, aku meninggalkan Chanthaburi menuju 

Bangkok, di sana aku berdiam di Wat Boromnivasa. Dengan bantuan 

dari beberapa orang pengikutku yang merupakan polisi – dipimpin 

oleh Kolonel Polisi Sudsa-nguan Tansathit – aku memohon paspor dan 

visa. 

Sangat sulit untuk menukar uang di pasaran saat itu, dan hampir tidak 

berhasil karena pada waktu itu kurs mata uang Poundsterling telah 

~ 112 ~


naik menjadi lima puluh Baht di pasar gelap, saat itu kurs resmi yaitu  

tiga puluh lima Baht. Kami di-ping-pong sana sini dan segala sesuatu 

menjadi semakin sulit hingga kami mulai menyerah. Kemudian aku 

bertekad, “aku akan mengunjungi para sahabat dan lokasi di mana 

Sang Buddha pernah berdiam. Pada saat perjalanan terakhirku, segala 

sesuatu belum jelas, jadi aku ingin pergi sekali lagi. Jika aku bisa pergi 

kali ini, semoga seseorang datang dan membantu dalam hal penukaran 

mata uang asing.” 

Empat hari sesudah  aku bertekad, Nai Bunchuay Suphasi (sekarang 

sudah menjadi Letnan Polisi Berkuda) muncul dan bertanya kepadaku, 

“bhante, apakah bhante telah menukar uang?” 

“Belum.” 

“Kalau begitu aku akan mengurusnya untuk bhante.” 

sesudah  satu minggu, ia menghubungi Departemen Keuangan, 

Departemen Pendidikan, dan Departemen Dalam Negeri. Ia menerima 

surat rekomendasi dari para sahabatnya dan surat jaminan dari Wakil 

Menteri Dalam Negeri, yaitu Lieng Chayakaan, saat itu sebagai seorang 

anggota DPRD, mewakili propinsi Ubon Ratchathani. Kemudian ia 

pergi ke Bank Nasional, di sana ia diberitahu tentang kasusku “tidak 

memenuhi persyaratan untuk menukar dengan kurs mata uang 

resmi.” Lalu ia pergi menemui Nai Jarat Taengnoi dan Nai Sompong 

Janthrakun yang bekerja di Bank Nasional. Akhirnya aku diberi ijin 

untuk menukar dengan kurs resmi atas rekomendasi Nai Jarat, yang 

mendukung permohonanku untuk keperluan penyebaran ajaran 

Buddha ke luar negeri, yang merupakan kepentingan negara dan ajaran 

Buddha sendiri. Kemudian aku menukar semua uangku dan mendapat 

uang sejumlah sembilan ratus delapan puluh Poundsterling. 

~ 113 ~


Kemudian dengan uang yang telah ditukarkan, aku mengajukan 

permohonan paspor dan visa. Di Kantor Departemen Luar Negeri, Nai 

Prachaa Osathanon, kepala bagian paspor, mengurus segalanya untuk 

aku, termasuk menghubungi temannya di kedutaan Thailand yang 

berada di Myanmar dan India. Aku lalu mengajukan permohonan visa 

di Kedutaan Inggris. Segala sesuatu telah siap bagiku untuk pergi. 

Pada bulan Februari tahun 1950, aku meninggalkan Thailand 

menggunakan pesawat. Nang Praphaa, salah satu pengikutku yang 

bekerja di Thai Airways membantuku mendapatkan tiket dengan 

potongan harga hingga lima puluh persen. Pesawat meninggalkan 

Bandara Don Muang pada pukul 8.00 pagi. Dalam perjalanan ini, aku 

pergi bersama seorang bhikkhu yang bernama Phra Samut dan seorang 

umat awam yang bernama Nai Thammanun. Pada pukul 11.00 pagi, 

pesawat tiba di Bandara Rangoon, di sana aku disambut oleh pejabat 

kedutaan Thai, diantaranya yaitu  ML. Piikthip Malakun, Nai Supan 

Sawedmaan, dan Nai Sanan. Mereka mengantar aku tinggal di kuil 

yang berdekatan dengan Pagoda Schwe Dagon. Aku tinggal di Myanmar 

selama lima belas hari, melihat-lihat kota Rangoon – meskipun di sana 

sini masih terlihat beberapa bagian yang habis kena bom. Perang 

dengan suku Karen sedang berkobar dekat Mandalay. 

Pada suatu hari, kami pergi ke Pegu untuk memberikan penghormatan 

kepada rupang Buddha tidur di kotamadya yang berada dekat sana. 

Kami bertemu dengan pasukan Myanmar yang sedang menjaga daerah 

itu. Mereka sangat membantu kami: ke mana saja kami pergi, satu 

pasukan yang terdiri dari dua belas orang prajurit mengawal kami. 

Ketika kami berhenti untuk bermalam, mereka menjaga kami. Kami 

bermalam di Cetiya Mutao, yang puncak stupanya patah. Semalam 

suntuk kami mendengar suara tembakan senapan mesin. Kemudian aku 

bertanya kepada salah seorang prajurit, “apa yang mereka tembak?” 

~ 114 ~


“Mereka menembak untuk menakut-nakuti kaum komunis,” 

jawabnya. 

Keesokan paginya, dua orang wanita Myanmar datang berbicara 

dengan kami, dan mengundang kami untuk makan di rumah mereka. 

sesudah  aku berjalan-jalan mengelilingi Rangoon, aku memutuskan 

untuk siap berangkat ke India. 

Saat aku berada di Rangoon, aku bertemu dengan orang Thailand 

yang bernama Saiyut, yang telah ditahbiskan sebagai seorang bhikkhu 

di Myanmar. Ia membawaku ke istana tua untuk bertemu dengan 

seorang Putri Myanmar yang berusia tujuh puluh tujuh tahun, 

putri Raja Thibaw di Mandalay. Kami duduk dan bercakap-cakap 

sebentar. Aku menjelaskan kebudayaan Thailand kepadanya dan dia 

menjelaskan kebudayaan Myanmar kepadaku. Pada saat perbincangan, 

dia memberitahu, “aku yaitu  orang Thailand,” dan kemudian dia 

bertanya kepadaku dalam Bahasa Thailand, “apakah bhante suka 

khanom tom?” tetapi dia tidak ingin berkata lebih lanjut lagi. Dari apa 

yang dia katakan, aku menyimpulkan bahwa nenek moyangnya diusir 

dari Thailand ketika Myanmar menjatuhkan Kerajaan Ayutthaya. 

Namanya Sudanta Chandadevi. 

Kemudian dia meminta bantuanku. “Saat ini aku tidak memiliki  

pendapatan,” dia berkata. Semuanya ini karena pemerintah baru 

memotong gaji para anggota kerajaan. “Kasihani aku. Kita sama-

sama orang Thailand. Akan lebih baik jika bhante menyampaikan 

perkataanku ini di Kedutaan Besar Thailand.” 

“Jangan khawatir, aku akan membantu Anda.”

Kemudian aku menceritakan masalah ini kepada M.L. Piikthip Malakun. 

~ 115 ~


Ia dan istrinya orang baik. M.L. Piikthip mengajakku untuk menemui 

Phra Mahiddha, Duta Besar Thailand untuk Myanmar saat itu. Bertemu 

dengannya bagaikan berjumpa dengan sahabat lama. Seluruh staf 

kedutaan sangat membantu. Sebelum aku berangkat menuju India aku 

merekomendasikan agar mereka membantu putri itu, baik sebagai 

seorang petugas maupun secara pribadi.

Pada bulan Maret tahun 1950, aku meninggalkan Rangoon dengan 

pesawat terbang, tiba di Bandara Calcutta sekitar pukul empat sore. 

Kapten penerbangan itu ternyata yaitu  salah seorang teman lamaku 

– ia telah meninggal karena kecelakaan pesawat di Hong Kong. Ketika 

kami terbang, ia menyombongkan dirinya bawah ia bisa menerbangkan 

pesawat sesukanya – terbang tinggi, rendah, atau bergoyang-goyang. 

Ia berkata bahwa ia akan membawa aku mencapai ketinggian sepuluh 

ribu kaki. Kami mengalami turbulensi di dekat pegunungan Himalaya, 

dan udara sangat dingin, hingga aku harus meninggalkan kokpit, 

kembali ke tempat duduk dan mengenakan selimut.

Ketika kami mendarat, kami berpisah karena bagi awak penerbangan 

memiliki hak tersendiri, tidak seperti para penumpang biasa. Bagi 

diriku, setiap barangku diperiksa, begitu juga dengan surat keterangan 

kesehatan – tetapi saat aku akan masuk ruangan gelap, mereka 

memberikan perlakukan khusus kepadaku. Di dalam ruangan gelap, 

setiap orang harus melepaskan pakaian hingga telanjang agar para 

petugas dapat memeriksanya. Tetapi sungguh beruntung ada seorang 

Sikh yang melihat aku masuk ke ruangan itu, tersenyum pada aku 

sebagai tanda bahwa ia akan menolongku ke luar. Sebagai hasilnya, 

aku tidak perlu diperiksa. 

Kami menunggu di bandara sampai matahari terbenam, Ketika 

orang barat datang dan dengan sopan berkata kepada kami bahwa 

~ 116 ~


mobil perusahaan akan datang dan menjemput kami. Beberapa saat 

kemudian, kami menaikan barang-barang kami ke dalam mobil. Kami 

menempuh perjalanan jauh ke Calcutta dan menetap di the Maha Bodhi 

Society. Setibanya di sana, sekretaris eksekutif, yang merupakan kawan 

lamaku, tidak berada di sana. Ia sedang bepergian membawa beberapa 

relik Sang Buddha untuk satu perayaan di New Delhi, lalu melanjutkan 

lagi Kashmir. Para bhikkhu yang berdiam di sana sangat membantuku, 

karena aku pernah bergabung dalam perkumpulan selama bertahun-

tahun. Mereka menyiapkan tempat tinggal untuk kami di lantai tiga.

Di sana, kami melewatkan waktu selama beberapa hari untuk 

menghubungi petugas imigrasi sebelum visa kami keluar. Aku berdiam 

di the Maha Bodhi Societyhingga mendekati masa vassa. Saat itu aku 

berencana untuk pergi ke Srilanka. Aku membawa surat weselku ke 

bank, tetapi bank yang mengeluarkan surat wesel itu tidak memiliki 

cabang di India. Oleh karena itu pihak bank tidak dapat menerima surat 

weselku. Mereka memberitahu bila aku ingin menukar surat wesel itu, 

aku harus pergi ke London. Peristiwa ini merupakan permulaan yang 

tidak baik bagi diriku. Aku mengecek keuangan kami – Nai Thammanun 

memiliki  uang seratus Rupee yang tersisa, dengan jumlah sebesar 

itu sulit untuk bepergian. Namun pada waktu yang sama, kami masih 

memiliki  uang lebih dari delapan ratus Poundsterling yang ditolak 

oleh Bank India karena terjadi perasaan anti Inggris pada waktu itu. 

Mereka tidak ingin menggunakan uang Poundsterling, dan juga tidak 

ingin berbicara bahasa Inggris, kecuali jika terpaksa. Karena itu, kami 

tidak jadi bepergian dan melewatkan masa vassa di sana.

Akhirnya aku memutuskan untuk membaca parita, bermeditasi dan 

bertekad: semoga aku menerima bantuan untuk mengatasi masalah 

keuanganku. Dan pada suatu hari, sekitar pukul lima sore, Nai Thanat 

Nawanukhraw, seorang atase perdagangan konsulat Thailand, datang 

~ 117 ~


mengunjungi aku dan bertanya, “Bhante, apakah bhante memiliki  

uang?” 

Aku menjawabnya, “masih ada, tetapi tidak banyak.”

Kemudian ia mengeluarkan dompet dan mendanakan uang senilai dua 

ribu Rupee. Kemudian pada sore harinya, sahabatku yang menjabat 

sebagai sekretaris eksekutif di the Maha Bodhi Society kembali dan 

mengundang aku ke kamarnya untuk bercakap-cakap. Ia memberi 

sambutan hangat dan berbicara dalam bahasa Pali. “Apakah bhante 

punya uang?” ia bertanya. “Jangan malu-malu. bhante dapat meminta 

apa yang bhante inginkan setiap saat.” 

Aku menjawab dalam bahasa Inggris, “terima kasih banyak,” dan ia 

tersenyum menanggapinya. Sejak hari itu semuanya berjalan lancar. 

Sesaat masa vassa hampir dimulai, seorang bhikkhu yang juga 

merupakan sahabat baikku – ia bertugas di Sarnath dan bernama 

Sangharatana – mengundang kami melewatkan masa vassa di sana, 

dan aku menerima undangannya. Keesokan paginya, ia berangkat 

duluan, dan kemudian dua hari sebelum memasuki masa vassa kami 

berangkat menyusul. Pada keesokan sore hari, kami tiba di viharanya. 

Para sahabatku telah menyiapkan tempat. Jadi aku melewatkan masa 

vassa di Sarnath. 

Berbagai peristiwa yang menyenangkan terjadi pada saat masa vassa 

ini. Para sahabat yang aku kenal pada saat perjalanan pertamaku masih 

ada di sana. Perihal makan juga menyenangkan. Setiap pagi, mereka 

membawa Ovaltine dan tiga atau empat roti India ke kamar kami, dan 

semuanya itu cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Siangnya, 

mereka menyiapkan makanan dengan kacang, wijen dan nasi – tanpa 

daging. Kami menyantap makanan vegetarian, terkadang kami juga 

makan daging ikan. 

~ 118 ~


Pada masa vassa dilakukan pembacaan parita setiap sore. Mereka 

membaca parita seperti yang kami baca di Thailand, hanya dengan 

tempo yang lebih cepat. Selesai membaca parita, aku pergi untuk 

memberikan penghormatan di reruntuhan peninggalan cetiya di 

sebelah Utara vihara. Adakalanya aku pergi ke Benares untuk melihat 

kuil Hindu, vihara Tibet, vihara Myanmar, vihara Singhala, dan lain-

lain. Saat masa vassa menjelang usai, di malam bulan purnama, aku 

duduk sendirian di depan vihara sesudah  kami selesai membaca parita. 

Aku duduk bermeditasi di tengah-tengah terangnya malam bulan 

purnama, memusatkan perhatian pada puncak cetiya dan berpikir 

tentang Raja Asoka, yang telah banyak membantu perkembangan 

ajaran Buddha. sesudah  beberapa saat aku memusatkan perhatian 

pada cetiya itu, cahaya terang menyilaukan berkelap-kelip menerangi 

sekitar pohon-pohon dan cetiya itu. Aku berpikir, “relik Sang Buddha 

mungkin nyata adanya.” 

Suatu hari, saat masa vassa hampir usai, pejabat dari the Maha Bodhi 

Society mengundang kami pergi ke bandara untuk menjemput pesawat 

terbang yang membawa relik Phra Moggallana dan Phra Sariputta yang 

dalam perjalanan kembali dari perayaan diorganisir oleh Pemerintah 

India di New Delhi. Maka kami semua pergi ke bandara. Ketika pesawat 

mendarat sekitar pukul sebelas lewat dikit, mereka meminta kami 

untuk naik ke dalam pesawat untuk menerima cetiya perunggu kecil 

yang berisi relik. Kemudian kami membawa relik itu ke the Sarnath 

Maha Bodhi Society. Aku tidak meminta kesempatan untuk melihat relik 

karena aku tidak tertarik. sesudah  itu mereka menyimpan relik itu di 

kantor Calcutta, dan aku tidak pernah melihatnya. 

sesudah  masa vassa usai, aku menerima surat-surat – beberapa 

diantaranya kilat khusus, yang lainnya biasa – yang berasal dari 

Thailand dan Myanmar. Intisari dari semua surat itu yaitu  mereka 

~ 119 ~


menginginkan aku untuk segera kembali ke Rangoon karena Putri 

Sudanta Chandadevi telah menerima gaji dan sangat gembira. Anak-

anaknya beserta kawan-kawannya merencanakan untuk membangun 

vihara di Rangoon, karena itu aku dimohon segera datang dan 

membantu persiapannya.

Mengetahui kabar ini, aku segera kembali ke Calcutta untuk mengambil 

dokumen perjalananku dan terbang ke Rangoon. Di bandara aku 

disambut oleh panitia pembangunan vihara. Mereka membawaku 

langsung ke istana putri, di sana telah berkumpul tiga puluh orang atau 

lebih anggota pantia untuk melakukan suatu pertemuan. Panitia itu – 

terdiri dari anggota kerajaan, pejabat, pedagang, dan perumahtangga – 

sedang membicarakan rencana pembelian tanah untuk pembangunan 

vihara: seluas tujuh hektar terletak di atas bukit. Pemilik tanah tersebut 

akan menjual tanah itu dengan uang sejumlah tiga puluh ribu Rupee. 

sesudah  mempelajari garis besar proposal mereka secara umum, aku 

kembali berdiam di Schwe Dagon seperti masa sebelumnya. 

Aku meminta nasehat kepada kedutaan besar Thailand mengenai 

rencana itu. Pada waktu itu, Phra Mahiddha telah dipindahkan ke 

negara lain, meninggalkan M.L. Piikthip Malakun yang menggantikan 

kedudukannya. Ia memberitahu bahwa lebih baik bila menangani 

masalah itu melalui jalur resmi, sehingga kedutaan dapat membantu 

sepenuhnya. Sementara panitia vihara itu, mereka mencari bantuan 

dari Thailand karena tujuan mereka yaitu  membangun vihara Thai 

dengan segala cara. Ketua panitianya yaitu  seorang pria tua yang 

berusia sekitar tujuh puluh tahun, Ia merupakan seorang politikus 

yang dihormati. Ia yaitu  penasihat U Nu, perdana menteri Myanmar. 

Sepertinya rencana ini berjalan dengan baik. Aku diminta menghubungi 

sejumlah orang Thailand di Rangoon dan setiap orang nampak antusias 

dengan proyek itu.

~ 120 ~


Tidak beberapa lama kemudian, aku sering menerima surat-surat 

dari Bangkok yang isinya bukan berita baik, sebagian dari berita itu 

tentang Nai Bunchuay Suphasi, maka aku memutuskan untuk kembali 

ke Thailand dan menghubungi pemerintah Thailand dan Sangha serta 

memberitahukan mereka tentang proposalku sendiri. 

Pada bulan Desember tahun 1950, aku berangkat dengan pesawat 

terbang dari Rangoon menuju Bangkok – bhikkhu yang menemani aku 

ke India telah lama pulang. Di Bangkok aku berdiam di tempat Somdet 

Phra Mahawirawong (Uan), di Wat Boromnivasa. Aku memberitahu 

Somdet mengenai rencana untuk membangun vihara di Rangoon. 

Ia berpikir tentang rencana itu selama beberapa hari dan sesudah  ia 

akan memberikan ijin kepadaku untuk terbang kembali ke Myanmar, 

aku dihadapkan pada perselisihan. Beberapa orang bhikkhu, sesudah  

terdengar berita bahwa ada vihara yang akan dibangun di Rangoon, 

mulai bertindak, dengan mengatakan Ajaan Lee tidak akan berhasil 

tanpa bantuan mereka. Mereka berkata, telah menerima surat-surat 

tersebut dari Rangoon. Aku tidak mengerti bagaimana mereka bisa 

mengetahui hal itu. Bhikkhu-bhikkhu tersebut merupakan bhikkhu-

bhikkhu berkedudukan tinggi di Bangkok.

Ketika mendengar hal demikian, aku mengenyampingkan semua 

permasalahan dan tidak terlibat lebih jauh. Aku mengirim surat ke 

kedutaan besar Thailand di Myanmar, untuk membatalkan proposal 

permohonan. Sampai hari ini, aku tidak melihat siapa pun yang 

membangun vihara. 

Hal ini benar terjadi, aku meninggalkan Wat Boromnivasa dan 

kembali mengunjungi para pengikutku di Chanthaburi. Selama masa 

itu, ada beberapa orang yang marah dan iri kepadaku, mencoba 

untuk menjelekkan namaku dalam setiap kesempatan, tetapi lebih 

~ 121 ~


baik aku tidak menyebutkan nama mereka, karena aku yakin mereka 

membantuku semakin bertekad lebih kuat.

~ 122 ~

Saat menjelang masa vassa, aku meninggalkan Chanthaburi untuk 

kembali ke Wat Boromnivasa, dan kemudian mengajar meditasi 

kepada para umat awam di Wat Saneha, propinsi Nakhorn Pathom. Di 

sana aku berdiam di Wat Prachumnari, di propinsi Ratchaburi, atas 

permohonan Chao Jawm Sapwattana, kepala vihara. Aku berdiam di 

sana selama beberapa hari, dan selama di tempat itu banyak terjadi 

kejadian aneh. 

Suatu pagi, seorang wanita berusia sekitar dua puluh tahun datang 

dan duduk di hadapan kursi duduk ceramah. Tidak beberapa lama 

kemudian dia sawan. Lalu aku membuat air parita dan memercikinya. 

Aku mulai menanyainya dan mendengar bahwa ada makhluk halus – 

pria yang meninggal secara menggenaskan di daerah itu, dan merasuki 

orang, menyebabkan mereka terkena penyakit gatal berbintik merah 

dan bengkak seukuran ibu jari. sesudah  mendengarnya, aku tidak 

punya obat untuk diberikan kepada dia, tetapi aku sedang mengunyah 

kacang-kacangan pohon pinang, kemudian aku mengeluarkan sisa 

kunyahan itu dan meletakan disampingnya dan memintanya untuk 

makan. Bengkak-bengkak di kulit menghilang. Peristiwa ini terjadi 

tiga kali dan disaksikan oleh orang banyak.

Beberapa hari kemudian selagi aku ingin pergi, seorang wanita yang 

bernama Nang Samawn kemenakan perempuan dari Nang Ngek di 

Bagian 13

~ 123 ~


Bangkok, datang mengunjungiku. Dia pernah ditahbiskan sebagai 

ayya, tetapi kemudian lepas jubah dan menjalani kehidupan umat 

awam dan menikah dengan mantan hakim daerah di Ratchaburi. Dia 

berusia sekitar empat puluh tahun, dan memiliki  seorang putra 

yang berusia lima belas tahun. Dia sangat menghormatiku: setiap kali 

aku datang ke Bangkok, dia akan mengunjungiku. Hari itu sekitar 

pukul 5.00 sore, dia datang membawa persembahan bunga, lilin dan 

dupa. Kemudian aku bertanya kepadanya, “Apa yang bisa aku lakukan 

untuk Anda, Nyonya Samawn?” 

Dia menjawab, “aku datang untuk memohon seorang anak.” 

Mendengar perkataannya, aku merasa gelisah karena hanya ada sedikit 

orang dan ia berbicara kepadaku dengan berbisik. Maka aku berkata 

denga suara yang keras, “tunggu sampai lebih banyak orang hadir.” 

Aku berpikir ke depan – bila dia benar-benar hamil lagi, aku akan 

disorot. Maka aku ingin masalah ini diketahui oleh orang banyak. 

Malam itu, sekitar pukul 7.00 malam, sekitar seratus orang datang 

dan berkumpul di aula pertemuan. Nang Samawn duduk sangat dekat 

dengan tempat duduk ceramah. sesudah  aku berkhotbah Dhamma, 

mengajar mereka bermeditasi agar dapat mengembangkan kebajikan 

dan menyempurnakan karakter mereka, Nyonya Samawn berbicara 

lantang dengan suara keras, “aku tidak menginginkan hal-hal itu, aku 

hanya menginginkan seorang anak. Tolong beri saya seorang anak, 

Luang Phaw.” 

Aku berkata kepadanya, “baiklah, aku akan memberi Anda seorang 

anak.” Aku menjawab ini karena aku teringat sejumlah kejadian di teks 

kuno. Aku lalu berkata dengan bergurau, “pusatkan pkiranmu dalam 

meditasi malam ini. Aku akan meminta kepada para dewa dan dewi 

untuk memberikanmu seorang anak.” 

~ 124 ~


Kemudian sesudah  menyelesaikan meditasinya, dia datang dan berkata 

kepadaku, “aku merasa benar-benar bahagia dan tenang. Aku sering 

bermeditasi sebelumnya, tetapi tidak pernah seperti ini.” 

Aku berkata kepadanya, “Benar, Anda akan mendapatkan yang Anda 

inginkan.”

Besok paginya, aku meninggalkan Ratchaburi, naik kereta api menuju 

Prajuab Khirikhan. Khun Thatsanawiphaag berangkat bersamaku 

sebagai pengikutku. Kami bermalam di kuburan dekat stasiun Pranburi. 

Keesokan paginya, Khun That pergi membeli tiket kereta api dengan 

membawa uang senilai seratus dua puluh Baht di dompetnya. Saat itu 

perang baru usai, mereka menggunakan uang kertas yang dicetak di 

Amerika. Uang seratus Baht dan uang dua puluh Baht terlihat mirip. 

Khun That kembali dengan tiket, tetapi tanpa uang seratus Bath. Ia 

salah mengeluarkan uang untuk membeli tiket di agen penjualan. Ia 

membayar tiket senilai dua puluh Baht dengan uang seratus Baht. Ia 

bersiap untuk kembali ke setasiun untuk meminta uang kembali, tetapi 

aku menghentikannya dengan berkata, “akan sangat memalukan jika 

kamu pergi.” Ia merasa tidak enak hati sehingga ia memutuskan untuk 

kembali pulang ke rumah. Kemudian aku menghiburnya. 

Kuburan tempat kami berdiam berada di lereng gunung. Mereka 

berkata kepada kami bahwa tidak ada seorang pun yang bisa tidur 

di sana karena ada makhluk halus yang menakutkan, tetapi kami 

bermalam di sana tanpa mengalami peristiwa apa pun. 

Dari sana, kami naik kereta api menuju Surat Thani dan berdiam di 

lereng bukit dekat stasiun kereta. Ketika malam tiba, orang-orang 

datang untuk berbicara dengan kami. Aku bertemu dengan dua orang 

yang bernama Nai Phuang dan Nai Phaad. Mereka datang bersama-

sama dan Nai Phuang menceritakan rahasia mereka kepadaku. 

~ 125 ~


Ia berkata, “rumahku di propinsi Nakhorn Pathom. Sebelumnya aku 

yaitu  seorang penjahat besar dan telah membunuh banyak orang. 

Orang yang terakhir aku bunuh yaitu  seorang nenek tua. Seseorang 

berkata kepadaku bahwa dia memiliki uang tunai sejumlah empat ribu 

Baht di bawah bantalnya, lalu aku menyelinap masuk ke dalam kamar 

dan menikam lehernya. Tetapi ketika aku hanya menemukan empat 

puluh Baht di bawah bantalnya. Sejak itu, aku merasa kacau balau, 

aku memutuskan untuk tidak melakukan kejahatan lagi. Meskipun 

demikian, aku masih merasa ketakutan setiap kali mendengar suara 

tembakan. bisakah Luang Phaw, memberikanku sesuatu yang dapat 

melindungi diriku dari peluru?” 

Aku berkata kepadanya, “jika Anda benar-benar sudah meninggalkan 

kejahatan, aku akan memberi Anda sesuatu yang akan memastikan 

dirimu untuk tidak mati oleh peluru.” 

Ia bersumpah, “Aku tidak akan berbuat jahat lagi, aku akan melakukan 

kebaikan,” maka aku menuliskan satu gatha untuk dia lafalkan. 

Keesokan harinya, ia kembali dan berkata kepadaku bahwa adik laki-

lakinya, bersama dengan satu kelompok yang terdiri dari sembilan 

orang sedang melarikan diri dari kejaran polisi di suatu daerah terpencil. 

Polisi telah menangkap sebagian dari kelompok itu, tetapi adiknya 

masih bebas dan belum tertangkap. Ia ketakutan kalau namanya akan 

terseret dalam urusan itu, lalu apa yang harus ia lakukan? Aku berkata 

kepadanya untuk menghadap polisi dan membawa mereka ke adiknya. 

Ia melakukan apa yang aku katakan dan beberapa hari kemudian 

seluruh kelompok penjahat itu menyerahkan diri. Nai Phuang 

membebaskan adiknya dengan jaminan. Pada akhirnya, keputusan 

pengadilan menyatakan mereka bersalah dan menghukum mereka 

ke penjara, tetapi karena mereka mengakui kesalahan mereka, maka 

masa hukumannya dipotong menjadi setengah.

~ 126 ~


Aku merasa sangat tidak nyaman tinggal di Surat karena banyak 

orang yang bersifat tidak baik yang datang mengunjungiku. Aku tidak 

melakukan yang buruk, hanya melakukan kebaikan saja, tetapi aku 

khawatir kalau orang lain mulai berpikir bahwa aku memberikan 

bantuan kepada para penjahat, kemudian aku pergi ke Thung Song dan 

memberikan penghormatan terhadap relik Sang Buddha di Nakhorn 

Sri Thammarat. Pada saat itu, Khun That pamit untuk pulang ke 

rumahnya di Bangkok. Ia membelikanku tiket, mengantarku ke kereta 

api, lalu aku menempuh perjalanan sendirian. 

Pada sore hari, aku tiba di cetiya yang besar di Nakhorn Sri Thammarat 

dan berdiam di vihara yang berdekatan dengan cetiya itu. Beberapa 

orang di sana – termasuk seorang bhikkhu yang juga sahabatku tinggal 

di vihara –  tertarik dengan meditasi, karena itu aku menetap, dan 

mengajarkan mereka meditasi. Aku lalu meninggalkan tempat itu 

dan pergi menuju ke propinsi Songkhla. Tiba Haad Yai, aku berdiam 

di kuburan Pak Kim, tempat itu menjadi lebih baik dan sangat 

tenang. Beberapa hari kemudian sahabatku, Phra MahaKaew, datang 

mencariku, dan menemukan aku di kuburan. Kami tinggal sebentar, 

lalu pergi mengembara dari kotamadya ke kotamadya. 

~ 127 ~

Tahun itu aku melewatkan masa vassa di Wat Khuan Miid. Aku 

berkhotbah Dhamma dan mengajar meditasi kepada para bhikkhu, 

samanera, dan umat awam setiap malam. sesudah  masa vassa usai dan 

kami menerima dana kathina, aku kembali berdiam di gunung Khuan 

Jong, suatu desa kecil dekat Terusan Rien. 

Pada suatu hari, aku melihat orang dalam jumlah yang sangat besar 

sedang berjalan. Peristiwa ini sudah terjadi beberapa hari yang lalu, 

lalu aku bertanya apakah yang terjadi. Mereka berkata  kepadaku 

bahwa ada ular raksasa yang telah melilit seorang wanita di gunung 

Khuan Jong. Rumor berkembang, ada seekor ular raksasa dengan 

kepala yang berwarna merah melilit seorang wanita di puncak 

gunung, dan apa bila waktunya belum tiba maka wanita itu tidak akan 

dilepaskan. Dikarenakan mendengar cerita aneh ini, orang-orang 

datang dalam jumlah banyak, berbondong-bondong ke lokasi dekat 

kami berdiam. Tetapi di desa Khuan Jong sendiri, tidak ada seorang 

pun yang mendengar kisah itu sama sekali. Keseluruhan cerita yang 

menggelikan. 

sesudah  kami tinggal di desa itu sebentar, kami melanjutkan perjalanan 

untuk tinggal di Baan Thung Pha, Talaat Khlawng Ngae dan daerah 

Sadao. Pada waktu itu, kepala polisi di Sadao telah tertembak dan 

dibunuh pada suatu bentrokan dengan teroris komunis China. Saat 

Bagian 14

~ 128 ~


kami berada di sana, banyak orang datang mengunjungi kami sepanjang 

hari. Tetapi bila sore tiba, mereka pulang secepatnya ke rumah, 

mereka takut bila komunis akan menyerang. Lalu aku berkata kepada 

mereka, “aku menghendaki kalian semua datang untuk mendengarkan 

Dhamma malam ini. Aku berjanji tidak akan ada serangan.” Tepat 

malam tiba – sekitar pukul 8.00 – orang-orang datang dan memenuhi 

aula penahbisan di mana kami tinggal. Kemudian aku berkhotbah 

Dhamma dan mengajarkan meditasi kepada mereka. 

Beberapa hari sesudah  itu, kami kembali ke kuburan Pak Kim di Haad 

Yai. Sekarang banyak penduduk Haad Yai datang tiap malam untuk 

menerima sila, mendengarkan Dhamma, dan berlatih meditasi. 

Dari sana, kami kembali ke Nakhorn Sri Thammarat, singgah sebentar 

di vihara meditasi yang terletak di daerah Rawn Phibun, dan lalu 

langsung tinggal di Thung Song. Nai Sangwed, seorang karyawan 

di Depertemen Pendidikan, mengikuti aku sebagai muridku. Kami 

tinggal sebentar di gua Tham Thalu, lalu meneruskan perjalanan 

ke Chumphorn. Dari Chumphorn, kami naik kereta api ke Phetburi. 

Di sini, aku mendengar Somdet Mahawirawong telah mengirimkan 

surat untukku memohonku untuk kembali ke Bangkok, kemudian aku 

melanjutkan ke Ratchaburi dan tinggal di Wat Prachumnari. Luang 

Att, gubernur propinsi Ratchaburi, dan pejabat daerah kota Ratchaburi 

datang menemuiku, memohon kepadaku untuk kembali ke Bangkok 

karena Somdet di Wat Borom ingin menemuiku. 

Saat aku menetap di Wat Prachumnari, seorang bhikkhu di Khao 

Kaen Jan ditangkap oleh pihak berwajib. Aku mendengar empat atau 

lima orang ayya dari Baan Pong yang merupakan para pengikutnya 

ingin datang menemuiku, tetapi tidak berani karena ada kegaduhan 

atas peristiwa tersebut. Meskipun kejadian itu tidak melibatkan 

~ 129 ~


aku, dikatakan bahwa bhikkhu itu mengatakan kepada para ayya 

bahwa kakinya sakit karena duduk lama bermeditasi dan berkhotbah 

Dhamma, maka ia meminta mereka untuk memijat kakinya – dan 

mereka memijitnya. Inilah awal dari kegaduhan itu. Pihak berwajib 

memelajari masalah itu dan menemukan bahwa bhikkhu itu tidak 

punya dokumen jati diri sehingga mereka memaksa dia untuk lepas 

jubah. 

Selama berdiam di Ratchaburi, Mae Samawn datang menemuiku. Dia 

berkata, “aku sudah hamil dua bulan. Aku berniat menyerahkan anak 

ini kepada bhante sekarang, karena anak ini yaitu  anakmu, dan bukan 

anak suamiku.” Dia nampak serius dengan apa yang dia katakan. Aku 

tidak menanggapinya, tetapi aku benar-benar terkejut. Dia sudah tidak 

memiliki  anak selama lima belas tahun, bagaimana bisa terjadi? 

Dari sana, aku kembali ke Bangkok dan tinggal di Wat Boromnivasa. 

Aku tiba saat Somdet sedang sakit. Lalu aku merawat beliau. 

~ 130 ~

Saat aku berada di Wat Boromnivasa, banyak orang dari Bangkok, 

Thonburi, dan Lopburi datang berlatih meditasi. Suatu hari ada 

peristiwa aneh. Seorang wanita bernama Mae Khawm, yang berasal 

dari Lopburi, datang dan mempersembahkan padaku tiga relik Sang 

Buddha. 

Aku bertanya kepadanya, “di mana Anda mendapatkannya?”

Dia berkata kepadaku, “aku meminta tiga relik ini dari rupang Buddha 

yang berada di atas bantal bhante.” Rupang Buddha itu milik Nai Udom 

yang dibawa dari Keng Tung saat Perang Dunia ke 2. Dari apa yang 

dia katakan kepadaku, tampaknya telah terjadi banyak kejadian yang 

aneh berhubungan dengan rupang ini.

Aku akan menceritakan sejarah rupang tersebut. Sebenarnya Nai 

Udom yaitu  seseorang yang tidak pernah menghormati para 

bhikkhu. Ia yaitu  pejabat pemerintah yang bekerja di Departemen 

Komunikasi Divisi Radio.  Saat Perang Dunia ke 2, ia pergi bersama-

sama dengan angkatan bersenjata Thailand dipimpin oleh Jenderal 

Praphan ke Keng Tung. Suatu hari ia bersama dengan sekelompok 

calon perwira mendirikan tenda di vihara tua. Sore itu, selagi 

berbaring, sebelum tidur, ia melihat suatu cahaya terang memancar 

dari rak di atas bantalnya, kemudian ia bangun untuk melihat apakah 

Bagian 15

~ 131 ~


itu gerangan. Saat itu, meskipun ia berada di tempat yang ada benda 

suci, ia tidak pernah menunjukkan sikap hormat. Tetapi waktu itu, ia 

ingin tahu. Ia melongokkan kepalanya untuk melihat ada apa di atas 

rak, dan di sana ia menemukan rupang Buddha berlapis emas dengan 

tingginya sekitar delapan inci dan lebarnya tiga inci, hitam mengkilap 

seolah-olah disemir setiap hari. Melihat benda itu, ia mengambil dan 

memasukannya dalam kopornya. Sejak saat itu, keberuntungannya 

meningkat pesat. Orang-orang membantunya, dan ia memiliki  uang 

banyak. Ia mendapat uang dari penduduk di sekitar daerah itu.

Ketika perang usai, ia kembali ke Thailand. Dalam perjalanan kembali, 

ia bermalam di tepi sungai Mae Jan. Pada malam itu, ia bermimpi 

rupang Buddha tersebut, “wahai orang jahat, kamu akan membawaku 

ke seberang sungai, tetapi aku tidak mengijinkannya.” 

Nai Udom tidak menggubris mimpi tadi. Ia berpikir, “kekuatan apakah 

yang dimiliki rupang Buddha dari logam itu?” Kemudian ia membawa 

rupang Buddha itu kembali ke Chanthaburi. Lalu ia pensun dari kantor 

pemerintah dan beralih profesi sebagai seorang pedagang. Pada masa 

itu, ia terlihat tak sehat dan lesu. Hidupnya semakin menderita.

Kemudian istri dan anak-anaknya mulai jatuh sakit satu demi satu. 

Tidak ada yang bisa menyembuhkannya. Ia bermimpi akan “Luang 

Phaw” lagi. “Aku ada berada di sini bersamamu bertentangan dengan 

keinginanku. Kamu harus mengembalikan aku ke tempat asalku!” 

Pada saat peristiwa itu terjadi, aku sedang mengembara di propinsi 

Prajinburi dan tinggal di Gunung Pemuda Teguh. Sekitar bulan April, 

aku menyeberangi daerah liar dan kembali ke Chanthaburi. Saat berada 

di sana, Nai Udom mendengar bahwa aku telah kembali, ia datang 

berlari menemuiku. “Aku kacau balau, Bhante. Anak dan isteriku 

~ 132 ~


sakit. Aku tidak memiliki  uang, dan sekarang rupang Buddha ini 

masuk dalam mimpiku dan mengatakan padaku untuk membawanya 

kembali ke Keng Tung tempat di mana aku menemukannya. Apa yang 

sebaiknya aku lakukan?”

Aku menjawabnya, “Luang Phaw yaitu  Buddha hutan. Ia suka di 

tempat tenang dan sunyi. Jika boleh, biarlah rupang ini bersamaku.” 

Kemudian Nai Udom membawa rupang Buddha itu dan menyerahkannya 

kepadaku – apakah ia benar-benar memberikannya kepadaku atau 

hanya meninggalkannya, aku tidak mengetahuinya dengan pasti. Aku 

menjaga dan menghormatinya. Sejak hari itu, semua penyakit yang 

menyerang keluarganya lenyap, dan pada tahun 1952, ia pindah ke 

Bangkok. Ada berbagai peristiwa terjadi kaitannya dengan rupang 

Buddha ini tetapi hanya inilah yang dapat aku katakan.

sesudah  peristiwa dengan Mae Khawm aku menjadi ingin tahu mengenai 

relik Sang Buddha dan bagaimana relik itu bisa ada. Selama hidup 

sebagai seorang bhikkhu, aku tidak pernah tertarik dengan relik, tetapi 

aku menerima relik dari Mae Khawm dan memperlakukannya dengan 

rasa hormat. Kemudian aku mendengar bahwa dia telah menerima 

banyak relik. Kemudian aku menaruh rupang Buddha tersebut di Raam 

Khae, di Wat Boromnivasa. Lalu aku pamit pada Somdet dan pergi ke 

propinsi Lopburi. 

Pada tahun itu, aku merayakan Visakha Puja di Wat Manichalakhan, 

di Lopburi. Pada hari itu aku merenung, “jika aku tidak melihat 

relik Sang Buddha muncul di hadapan mataku sendiri, aku tidak 

akan memercayainya, karena aku tidak bisa menduga keaslian relik 

itu.” Aku bertekad dengan duduk bermeditasi sampai dinihari. Aku 

mempersiapkan empat mangkok dan mengundang: “1) Semoga 

relik Sang Buddha – dari telinga, mata, hidung dan mulut-Nya, yang 

~ 133 ~


merupakan sumber kemuliaan Beliau – jika relik itu benar-benar ada, 

datanglah ke altar pada malam ini. 2) Semoga relik Phra Sariputta 

yang merupakan salah satu murid utama Sang Buddha, juga datang. 3) 

Semoga relik Phra Moggallana yang memiliki kekuatan batin hampir 

menyamai Sang Buddha, juga datang. 4) Semoga relik Phra Sivali, 

seorang bhikkhu yang selalu beruntung di mana saja ia berada, juga 

datang. Jika relik ini benar-benar ada, semoga semuanya datang dan 

muncul. Jika aku tidak melihat apa pun muncul pada malam ini, maka 

aku akan membagikan semua relik yang telah dipersembahkan umat 

kepadaku.” 

Malam itu aku tidak tidur dan duduk bermeditasi sampai dinihari. 

Pada sekitar pukul 4.00 dinihari. Aku merasa ada suatu cahaya merah 

terang memancar dari mangkuk. Paginya, aku menemukan relik di 

setiap mangkuk. Ruangan di mana mangkuk itu ditempatkan telah 

dikunci sejak semalam –tidak seorang pun yang bisa masuk, dan 

aku juga tidak bisa masuk. Aku merasa benar-benar terkejut. Inilah 

keajaiban pertama yang terjadi seumur hidupku. Dengan cepat aku 

membungkus relik itu dengan kapas, lalu menempatkannya dalam 

kantong dan menyimpannya. Seluruhnya aku menerima tiga relik 

Phra Sariputta, tiga relik Phra Sivali, dua relik Phra Moggallana, dan 

tujuh relik Sang Buddha. Sebagian berwarna kristal susu, sebagian 

berwarna hitam, ada beberapa yang berwarna kuning abu-abu gelap. 

Relik yang diberikan Mae Khawm kepadaku berwarna mutiara. Aku 

membawa semuanya menuju utara. Hari demi hari berlalu, beberapa 

hal lain terjadi tetapi lebih baik aku tidak menceritakannya saat ini.

~ 134 ~

Ketika menjelang masa vassa, aku pergi berdiam di daerah Mae 

Rim, propinsi Chieng Mai. Aku berencana masuk ke dalam hutan, 

aku meninggalkan Mae Rim, lalu aku pergi ke Baan Paa Tyng, yang 

menghabiskan satu hari berjalan. Dari sana aku masuk ke dalam alam 

liar dan pegunungan yang tinggi, lalu mencapai tujuanku pada pukul 

4.00 sore. Salah satu muridku pernah melewatkan masa vassa di sini, 

dan di tahun itu aku melewatkan masa vassa di sana.

Tempat itu yaitu  desa dari suku Karen dan Yang dengan sekitar 

enam atau tujuh rumah tangga. Tidak ada tanah yang rata, yang ada 

hanyalah pegunungan dan bukit-bukit. Tempat di mana aku tinggal 

yaitu  di kaki bukit yang berjarak sekitar satu kilometer dari desa dan 

berada dekat dengan aliran sungai. Cuaca di tempat itu sangat dingin 

siang dan malam. Aku tiba di sana sebelum perayaan Asalha Puja. Dan 

di hari aku bertekad untuk melewatkan masa vassa di tempat ini, aku 

terserang penyakit demam. 

Tempat ini benar-benar primitif. Penduduk di sana yaitu  orang-orang 

pegunungan dan makananku pada masa vassa itu, nasi campur garam 

dan lada. Tidak ada ikan atau daging. Diakhir pertengahan bulan Juli, 

aku mengalami sakit serius. Beberapa hari aku hampir kehilangan 

kesadaran. 

Bagian 16

~ 135 ~


Suatu Pagi, saat fajar menyingsing, aku mencoba untuk bangun 

berpindapatta, tetapi aku tidak bisa. Aku merasa pusing, dan kemudian 

pingsan, dan menggigil hingga gubukku bergoncang. Aku sendirian – 

para bhikkhu yang ikut bersamaku sudah berangkat berpindapatta. 

Kemudian aku menghangatkan diriku dekat perapian dan mulai 

merasa sedikit lebih baik. 

Aku menderita sakit selama masa vassa itu. Aku dengan susah payah 

menyantap makanan. Selama tiga bulan itu, aku makan tidak lebih 

dari sepuluh suap makanan dalam satu hari. Beberapa hari bahkan 

aku tidak bisa makan apa pun. Tetapi pikiran dan tubuhku merasakan 

tenang – tidak terganggu sedikit pun dengan penyakitku. 

Gejala penyakitku menjadi lebih serius pada tanggal 29 Juli. Aku 

demam tinggi dan hampir jatuh pingsan – sekujur tubuhku mati rasa. 

Aku ragu bisa bertahan. Lalu aku bangun dan mengeluarkan kantong 

yang berisikan relik, membungkusnya dengan kain pundak dan 

menempatkannya di atas rak. Lalu aku bertekad, “jika semua relik ini 

benar-benar suci, berikan aku tanda. Jika aku akan mati di sini, aku 

menghendaki semua relik ini lenyap.” Aku lalu masuk ke tenda payung 

dan bermeditasi.

Pada pagi hari berikutnya, aku menemukan kantong dan kain pundak 

pada posisi yang berlawanan dari ruangan kamar, tetapi tidak satu 

pun relik itu yang hilang. Semua masih berada di sana, tersebar di rak 

yang aku tempatkan. Sepertinya aku tidak akan meninggal tahun ini, 

tetapi masih tetap sakit untuk masa yang lebih panjang. 

Pada suatu hari aku sedang merenungkan kejadian di masa lalu dan 

mulai merasa jijik. Maka aku membuat tekad, “aku ingin memiliki 

sesuatu yang dapat menjadi sumber-sumber kebajikan di masa yang 

akan datang.  Jika aku tidak memperolehnya, maka aku tidak akan 

~ 136 ~


meninggalkan hutan. 1) Aku ingin mendapatkan kekuatan abhina. 

Jika aku tidak bisa, semoga aku dapat mengetahuinya dalam waktu 

tujuh hari. Bahkan jika hidupku berakhir dalam tujuh hari, aku akan 

memberinya sebagai persembahan. 2) Di mana pun ada  lokasi 

yang baik, dan tenang, semoga para dewa membimbingku ke sana.” 

sesudah  bertekad, aku duduk bermeditasi. Suatu penampakan muncul 

berupa cahaya terang dan ada gua yang menembus gunung. Terlintas 

dalam pikiranku, “jika aku masuk gua ini, aku mungkin menemukan 

jalannya.” Kemudian aku memutuskan untuk pergi ke sana. Tetapi 

ketika aku bangun, aku merasa pusing sampai-sampai tubuhku lunglai. 

Aku harus berpegangan kuat pada tiang di dalam gubuk.

sesudah  kejadian itu, penyakitku mulai sembuh. Suatu hari, aku 

mengajak seorang pengikutku mencari kayu untuk membuat api 

unggun supaya di malam hari aku dapat menghangatkan tubuhku. Hari 

berikutnya, seorang anak laki-laki dari desa berkata kepadaku, “orang 

sakit tidak baik pergi mencari kayu bakar. Para sesepuh berkata bila 

orang sakit mencari kayu bakar maka ia sedang mencari kayu untuk 

tumpukan bahan bakar kremasinya.” Nama anak laki-laki itu bernama 

Teng, dan anak itu sedikit gila. Ia melanjutkan, “aku benar-benar sakit. 

Tiap malam setan datang, menarik kakiku dan tidak mengijinkan aku 

untuk tidur.” Aku tidak memerhatikannya.

Pada suatu malam, saat suasana sunyi, aku sakit, lalu aku menyalakan 

api. sesudah  aku tertidur sebentar, seorang wanita berpakaian putih, 

diikuti oleh dua anak perempuan membawa bendera putih yang 

bertuliskan aksara China datang ke arahku dan berkata, “aku yaitu  

ratu dari para dewa. Jika Anda tinggal di sini, anda harus membungkuk 

kepadaku.” Aku tidak ingin membungkuk, karena aku yaitu  seorang 

bhikkhu. Meski demikian, dia terus mendesak. Kami saling beradu 

pendapat, tetapi aku tetap kukuh. Akhirnya dia meninggalkan gubuk, 

~ 137 ~


menaiki bukit dan menghilang. Aku bermeditasi dalam keheningan 

malam.  

Di hari yang lain – tanggal 16 September –kepalaku pusing luar biasa. 

Aku tidak sanggup untuk keluar dari gubuk, dan tidak bisa makan 

makanan. Sekitar pukul satu siang, aku bangun dan duduk dekat 

jendela. Gubuk ini berada di kaki bukit, dan sungai mengalir tepat di 

sebelah jendela. Halaman sekitar gubuk bersih – setiap hari disapu 

Banyak sekali kejadian pada hari itu: 1) Ada bau busuk yang belum 

pernah aku cium sebelumnya. 2) Lalat hijau besar datang dan hinggap 

di mukaku. Lalat itu melihatku seolah-olah aku akan mati. Aku duduk 

bermeditasi hingga lalat itu terbang dan bau busuk lenyap. Aku mulai 

meragukan kelangsungan hidupku, lalu aku bertekad, “jika aku akan 

mati, aku menghendaki isyarat kematianku. Jika aku dapat hidup terus, 

aku juga menginginkan isyarat.”

sesudah  aku selesai bertekad, aku duduk menghadap barat, melihat 

keluar melalui jendela dengan pikiran terkendali. Sesaat kemudian 

dua ekor burung merpati hinggap di jendela. Yang pertama, burung 

merpati jantan datang dari selatan, bersuara jernih. Tak beberapa 

lama kemudian burung merpati betina datang dari utara. Mereka 

mengepakan sayapnya dan saling mendekur satu sama lain. Mereka 

nampak gembira dan senang. Dan kemudian, awan-awan yang tadinya 

menyelubungi langit terbelah dan cahaya matahari terang benderang 

bersinar. Sejak awal musim hujan, matahari tidak pernah bersinar 

bahkan tiga puluh menit saja dalam sehari. Selama tiga bulan, langit 

gelap tertutup oleh awan dan kabut. Namun sekarang matahari 

bersinar dengan terang dan indah. Suara kicauan burung-burung 

terdengar jelas dari hutan. Pikiranku tenang. Aku berkesimpulan, 

“aku tidak akan mati.” 

~ 138 ~


Pada suatu malam sesudah  peristiwa itu, saat masa vassa hampir 

berakhir, aku melakukan meditasi jalan ke arah selatan gubukku dan 

penglihatan muncul pada diriku. Aku melihat diriku dan seekor gajah 

bergulat di dalam air. Kadang-kadang aku berada di atas gajah, kadang-

kadang gajah itu berada di atasku. Kemudian, sesudah  itu, masih pada 

penglihatan yang sama, bantalan duduk untuk berkhotbah Dhamma 

terbang ke angkasa, kira-kira enam meter di atas tanah. Bantalan itu 

berwarna merah gelap dibungkus dengan kain berbahan sutera India 

bersulam emas. Penglihatan itu berkata, “naiklah ke bantalan itu. 

Semua cita-citamu akan terpenuhi.” Tetapi tidak ada seorang pun 

dalam penglihatan tersebut. Aku berpikir, “ini bukan saatnya utk 

kebohongan,” Kemudian gambaran itu menghilang. 

Tepat di akhir masa vassa, aku berlatih meditasi jalan dengan 

mengelilingi kaki bukit, tetapi aku lelah dan lemas. Telingaku 

berdengung dan hampir pingsan. Jika begitu, aku tidak akan dapat 

meninggalkan pegunungan sesudah  masa vassa selesai. Kemudian aku 

bertekad: jika aku hidup dan tetap berhubungan dengan manusia, 

semoga aku dapat keluar dari gunung ini. Tetapi jika keterlibatanku 

sudah selesai, maka aku akan menulis surat wasiat.

Sehari sesudah  masa vassa berakhir, penyakitku rupanya sudah sembuh. 

Gejala-gejala penyakitku bahkan tidak sampai dua puluh persen dari 

sebelumnya. Besoknya, penduduk desa pegunungan mengantar kami 

meninggalkan hutan, membantu membawakan perlengkapan kami, 

sambil menangis pilu.  

Lokasi tersebut merupakan lokasi yang lembab, bersuhu dingin. 

Bahkan garam, jika Anda tidak menutup rapat tempat penyimpanannya 

akan larut. Kami menyantap makanan pegunungan sepanjang masa 

vassa. Mereka makan rebung, daun-daun calledium dan akar umbi, 

~ 139 ~


merebusnya hingga lunak, lalu ditambah garam, beras dan ulekan 

cabe rawit – daun, batang, dan semuanya – dimasak jadi satu di dalam 

bejana. Inilah makanan yang kami makan. Selama bertahun-tahun 

sejak penahbisanku, dalam hal makanan, makanan pada masa vassa 

kali ini yaitu  makanan yang paling primitif. Bahkan lada mereka 

terasa aneh, ketika Anda menelannya, pedasnya sampai ke usus. 

Namun orang-orang gunung itu berbadan besar dan pendek. Aku pikir 

mereka berkulit hitam gelap, tetapi ternyata mereka berkulit cerah 

dan bertubuh sintal. Kebudayaan mereka sangan mengagumkan, 

tidak ada cekcok, dan tidak ada seorang pun yang berteriak. Mereka 

menolak menggunakan barang yang dijual di pasar. Kebanyakan 

mereka menggunakan barang yang dibuat sendiri. Hasil panen mereka 

yaitu  sayur-mayur dan padi-padian liar. Karena di sana tidak ada 

lahan untuk menanam beras putih.

sesudah  masa vassa, aku kembali ke Mae Rim dan lalu masuk ke kota 

Chieng Mai. Satu-satunya gejala penyakitku yang tersisa yaitu  denyut 

jantung yang tidak beraturan. Umat awam yang paling memerhatikan 

kondisiku dan terus mengirim persediaan dari Chieng Mai ke tempat 

aku berdiam di dalam hutan – Khun Nai Chusri dan Mae Kaew Run 

– mengantarkan obat-obatan alami untuk menghilangkan pusingku. 

sesudah  menetap di Chieng Mai, di Wat Santidham beberapa lama, aku 

pergi ke gua Phra Sabai di Lampang, di mana salah seorang muridku 

melewatkan masa vassa di sana.

Saat berada di sana, aku merasa, aku harus kembali ke Bangkok. 

Somdet sakit keras dan aku harus tinggal bersamanya. Tetapi sebagian 

dari diriku tidak ingin pergi. Pada suatu malam, aku bertekad untuk 

mendapatkan jawaban mengenai kepastian aku pergi atau tidak. Aku 

duduk bermeditasi sampai dinihari. Pada sekitar pukul 4.00 dinihari. 

Aku merasakan seolah-olah kepalaku dipenggal, hatiku tenang dan 

tidak ada rasa takut. sesudah  itu penyakitku lenyap semuanya. Aku 

~ 140 ~


kembali ke Bangkok dan tinggal di Wat Boromnivasa. Pada waktu itu, 

Somdet sakit keras dan berpesan kepadaku, “Anda harus tinggal di sini 

hingga aku meninggal. Selama aku masih hidup, aku tidak mau Anda 

meninggalkanku. Aku tidak peduli Anda datang untuk mengurusku 

atau tidak. Aku hanya ingin Anda berada di dekatku.” Lalu aku 

berjanji untuk tinggal. Kadang-kadang aku berpikir kamma apa yang 

telah aku lakukan hingga aku terkurung seperti ini, akan tetapi aku 

teringat burung merpati berada di dalam sangkar saat aku bermimpi 

di Chanthaburi. Itulah sebabnya, aku harus tinggal di sini. 

~ 141 ~

sesudah  aku memastikan untuk tinggal. Somdet meminta aku datang 

dan mengajarnya bermeditasi setiap hari. Aku mengajarkannya 

meditasi anapanasati – memerhatikan nafas. Kami berdiskusi segala hal 

selagi ia duduk bermeditasi. 

Suatu hari ia berkata, “aku tidak pernah bermimpi bahwa duduk 

bermeditasi akan sangat bermanfaat, tetapi ada satu hal yang 

menggangguku. Membuat pikiran kokoh dan membawanya pada 

bhavanga. Apakah ini yaitu  inti dari pembentukan dan kelahiran?” 

“itulah arti Samadhi, ”aku memberitahukannya, “pembentukan dan 

kelahiran.” 

“Tetapi Dhamma yang diajarkan kepada kita yaitu  untuk melatih 

melepaskan dari pembentukan dan kelahiran. Lalu apa yang harus 

dilakukan sehingga terjadi pembentukan dan kelahiran?” 

“Jika pikiran Anda tidak mengerti akan pembentukan, maka tidak 

akan timbul pengetahuan, karena pengetahuan itu harus datang dari 

pembentukan jika ingin mengerti mengenai pembentukan. Ini yaitu  

pembentukan dalam ukuran kecil – uppatika bhava – yang terakhir dari 

kondisi batin tunggal. Sama dengan kebenaran mengenai kelahiran. 

Untuk mengokohkan pikiran agar Samadhi timbul untuk kondisi batin 

Bagian 17

~ 142 ~


berkepanjangan yaitu  kelahiran. Katakan kita duduk memusatkan 

pikiran dalam jangka waktu yang lama hingga pikiran menghasilkan 

lima faktor jhana inilah kelahiran. Jika Anda tidak melakukan hal ini 

dengan pikiran Anda, maka pengetahuan tidak akan muncul dalam 

diri Anda sendiri. Dan ketika pengetahuan tidak muncul, bagaimana 

Anda dapat melepaskan diri dari ketidaksadaran? Sangat sukar untuk 

dihadapi. 

“Seperti yang aku lihat,” aku melanjutkan, “kebanyakan orang yang 

belajar Dhamma salah menanggapi hal itu. Apa pun yang timbul, 

mereka mencoba untuk memotong dan menghapuskannya. Bagiku, 

hal demikian yaitu  salah. Seperti orang yang makan telur. Beberapa 

orang tidak tahu bentuk seekor ayam: ini yaitu  ketidaksadaran. 

sesudah  mereka memegang sebutir telur, mereka memecahkannya 

dan memakannya. Tetapi katakan mereka tahu bagaimana cara 

menginkubasi telur dengan benar. Mereka memiliki sepuluh butir 

telur, mereka memakan lima butir telur, lalu sisanya diinkubasi. 

Ketika telur-telur itu sedang diinkubasi, itulah “pembentukan.” Ketika 

anak ayam menetas, itulah “kelahiran.” Jika semua lima ekor anak 

ayam dapat bertahan hidup, maka beberapa tahun kemudian, orang 

yang sebelumnya harus membeli telur ayam akan mulai mendapatkan 

keuntungan dari ayam miliknya. Ia akan memiliki telur-telur untuk 

dimakan tanpa harus membayarnya, dan jika ia memiliki  lebih dari 

yang ia makan, maka ia dapat menjual telur-telur itu. Pada akhirnya, 

ia akan terbebaskan dari kemiskinan. 

“Demikian juga dengan melaksanakan Samadhi: jika Anda ingin 

melepaskan diri Anda dari pembentukan, Anda harus hidup dalam 

pembentukan. Jika Anda ingin melepaskan diri dari kelahiran, Anda 

harus mengetahui semuanya mengenai kelahiran Anda.” 

~ 143 ~


sesudah  aku berkata demikian, ia memahami dan mulai berseri-seri. 

Ia nampak senang dan terkesan. Ia berkata, “cara bhante mengatakan 

sesuatu, sungguh berbeda dari cara bhikkhu pemeditasi lainnya. 

Meskipun aku belum bisa melaksanakan apa yang bhante katakan ke 

dalam latihan, aku dapat memahami petunjuk bhante dengan jelas 

dan tanpa keraguan-keraguan bahwa apa yang bhante katakan yaitu  

benar. Aku terbiasa berada dekat dengan Ajaan Mun dan Ajaan Sao, 

tetapi aku tidak mendapatkan manfaat sebagaimana aku mendapatkan 

manfaat dari kebersamaan dengan bhante. Banyak terjadi hal-hal 

mengejutkan saat aku duduk bermeditasi.” 

sesudah  itu, ia menjadi tertarik untuk bermeditasi dalam waktu lama 

– kadang-kadang selama dua jam. Selagi ia bermeditasi, ia memohon 

padaku untuk membicarakan Dhamma. Segera sesudah  pikirannya 

tenang dan kokoh, aku mulai berbicara – dan pikirannya sejalan 

dengan apa yang aku katakan. Suatu hari ia berkata, “aku telah lama 

ditahbiskan, tetapi aku belum pernah merasakan seperti ini.” 

Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi memberikan dia pembicaraan-

pembicaraan panjang. Cukup dengan mengatakan sepatah atau 

dua patah kata, ia sudah mengerti maksudku. Aku bahagia. Suatu 

hari ia berkata, “mereka yang belajar dan mempraktikkan Dhamma 

terperangkap pada pandangan-pandangannya sendiri, itulah sebabnya 

mereka tidak berkembang. Jika setiap orang memahaminya dengan 

benar, tidak akan ada hal-hal yang mustahil mengenai mempraktikan 

Dhamma.”

Saat aku melewatkan masa vassa bersama dengan Somdet di sana, 

pikiranku dalam kondisi tenang untuk menjelaskan berbagai hal yang 

menarik perhatiannya. Ia berkata kepadaku, “dulu, aku tidak pernah 

berpikir bahwa bermeditasi sangat diperlukan.” Lalu ia menambahkan, 

~ 144 ~


“para bhikkhu dan samanera – dan juga para umat awam – belum 

mendapatkan cukup manfaat selama bhante berada di sini. Jika bhante 

setuju, aku ingin bhante dapat meluangkan waktu untuk mengajar 

mereka juga.” 

Ia lalu memberi tahu bhikhhu sesepuh di vihara mengenai niatnya, 

dan sejak saat itu dimulai pelatihan meditasi di Aula Uruphong. Pada 

tahun pertama, 1953, sejumlah bhikkhu, samanera, dan umat awam 

dari vihara-vihara lain datang dan bergabung dalam sesi latihan 

meditasi. Thao Satyanurak datang dan berdiam di Rumah Nekkhamma, 

rumah khusus untuk para ayya di vihara, dan bermeditasi dengan hasil 

yang baik. Pikirannya menghasilkan pencapaian yang tidak biasa. 

Kemudian dia memutuskan untuk terus berdiam di Wat Boromnivasa 

sampai akhir hayat. 

Pada akhir masa vassa, aku mohon diri kepada Somdet untuk 

mengembara dari satu propinsi ke propinsi lainnya. Penyakitnya telah 

berkurang banyak. Tahun itu, aku kembali ke Wat Boromnivasa untuk 

perayaan Visakha Puja. 

Malam itu, aku duduk bermeditasi di dalam aula penahbisan, dan 

terjadi satu peristiwa: aku melihat relik Sang Buddha datang dan 

muncul. Sebelumnya, muncul pemikiran dalam diriku, “mataku kecil. 

Aku menginginkan mata besar hingga mampu melihat jauh sampai 

bermil-mil. Telingaku kecil. Aku menginginkan telinga besar hingga 

mampu mendengar seluruh dunia. Mulutku kecil. Aku menginginkan 

mulut lebar hingga mampu berkhotbah Dhamma yang bergema 

selama lima hari siang dan malam.” Dengan berpikir demikian, aku 

memutuskan untuk melaksanakan tiga bentuk latihan, yaitu: 1) Untuk 

mulut lebar, tidak makan berlebihan atau berbicara berlebihan di 

hari-hari penting. 2) Untuk telinga besar, tidak mendengarkan apa 

pun yang tidak penting. 3) Untuk mata besar, tidak tidur. 

~ 145 ~


Kemudian dengan berpikir demikian, aku memutuskan untuk tidak 

tidur selama Visakha Puja. Sekitra pukul 5.00 pagi, relik Sang Buddha 

dalam jumlah banyak datang kepadaku di aula penahbisan.

Aku kembali melewatkan masa vassa dengan Somdet. Pada tahun 

itu, para umat awam yang ikut dalam sesi latihan meditasi berjumlah 

lebih banyak dibanding tahun sebelumnya. Sejumlah kejadian tidak 

baik muncul, karena sebagian dari para bhikkhu menjadi iri dan mulai 

mencari cara untuk memperburuk keadaan. Aku lebih baik tidak 

menyebutkan namanya. Siapa saja  yang ingin tahu lebih banyak dapat 

menanyai Thao Satyanurak atau Somdet. 

Suatu malam sekitar pukul 7.00 malam, seorang bhikkhu bernama 

Phra Khru Palat Thien datang ke kamarku dan berkata dengan suara 

kecil, “aku harap ajaan tidak marah. Aku mendukung ajaan.” 

“Baiklah, aku senang mendengarnya, tetapi aku tidak tahu bagian 

mana yang dapat membuat aku marah. Katakan ada apa.”

Kemudian ia menceritakan secara terperinci dan menambahkan, 

“desas desus telah sampai ke Somdet. Jika ia ragu-ragu terhadap ajaan, 

ia mungkin akan memanggil ajaan ke kamarnya untuk bertanya. Jika 

ia benar-benar memanggil ajaan, beritahu aku. Aku akan berpihak 

kepada ajaan.” Nyatanya, Somdet tidak pernah berkata apa pun 

mengenai hal itu, dan tidak pernah bertanya satu pun kepadaku. Kami 

hanya berdiskusi Dhamma sebagaimana biasanya. 

Kemudian surat kaleng beredar: 

Prilaku sehari-hari Phra Khru Dhammasaan yaitu  menulis.  

Ajaan Lee sedang melatih teman wanitanya yang berusia muda. 

Si tua beruban MahaPrem menginginkan menjadi pemimpin vihara, 

~ 146 ~


sementara Luang Ta Paan meracau tiada akhir. 

Phra Khru Dhammasaan diperiksa dengan teliti dikarenakan 

surat tersebut – orang menduga ia menulis surat tersebut untuk 

menyerang aku. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi. Rupanya 

ada beberapa bhikkhu yang bertindak tidak patut, tetapi aku tidak 

memerhatikannya. 

Sehari sesudah  masa vassa usai, MahaNarong datang menemui Somdet, 

meminta ijin untuk menyalin informasi surat jati diriku. sesudah  

selesai, ia kembali ke Somdet dan berkata kepadanya bahwa Dewan 

Direksi Universitas Buddha Mahamakut meminta informasi supaya 

mereka dapat mengatur pemberian gelar Phra Khru kepadaku. 

Somdet mengirimnya untukku. Ia berkata, “mereka telah mengatakan 

demikian. Apa yang akan bhante katakan?” 

“Aku yaitu  seorang bhikkhu biasa, jika tidak diperlukan, tidak 

menginginkan apa pun mengenai hal ini. Apa pun yang aku lakukan 

yaitu  untuk kepentingan bersama.” 

Kemudian ia berkata kepadaku, “aku akan menjawab mereka sendiri.” 

Kemudian ia menambahkan, “aku akan mengatakan, “Phra Ajaan Lee 

datang berdiam di sini atas permintaanku dan ia tinggal karena rasa 

hormatnya padaku. Jika Anda ingin memberikan gelar kepadanya, 

aku melihatnya yaitu  untuk menjauhkan ia dariku.”” Itulah yang 

dikatakan oleh Somdet untuk menjawab pertanyaan mereka.

“Bagus,” jawabku. Akhirnya seluruh gagasan itu diabaikan untuk 

sementara waktu.

~ 147 ~

Waktu berlalu, kesehatan Somdet membaik. Kemudian aku pamit 

untuk menyendiri sesuai dengan kebiasaanku

Tahun itu yaitu  tahun yang ke seratus berdirinya Wat Supatwanaram, 

vihara Dhammayut pertama di timur laut. Somdet berkata kepadaku, 

“Aku menghendaki bhante membantu perayaan terebut. Aku akan 

memberi mereka relik yang diberikan bhante kepadaku sebagai 

cinderamata dari Wat Boromnivasa.” sesudah  berkata demikian, ia 

berjalan ke tempat relik diletakan di atas altar, dan menemukan lebih 

dari empat puluh relik dalam bejana kaca. Aku berkata, aku akan 

memberikan semua kepadanya. Ia berkata “aneh sekali. Peristiwa ini 

belum pernah kualami dalam kehidupanku sebagai seorang bhikkhu.” 

Ia berkata bahwa ia akan mengirimkan semua relik ke Wat Supat, 

dan memintaku memilih mana yang akan diberikan atas namaku, 

dan mana yang diberikan atas namanya. Ketika ia berkata hal ini, aku 

memutuskan untuk membantu perayaan sebagai bentuk penghargaan 

atas kebaikannya. 

Perayaan di Wat Supat berubah menjadi peristiwa penting. Pemerintah 

mendanakan uang dalam jumlah yang besar untuk membantu,dan 

mengumumkan bagi penduduk di Bangkok yang ingin pergi akan 

berangkat bersama-sama pada tanggal 18 Maret. Pengumuman ini 

ditandatangani oleh Panglima Phin Chunhawan, Menteri Pertanian, 

Bagian 18

~ 148 ~


dan Jenderal Luang Sawat, Menteri Kebudayaan. 

Pada suatu hari, ketika aku berada di Lopburi, aku mendengar ada 

perubahan rencana, oleh karena itu aku segera kembali ke Bangkok. 

Setibanya di sana, Somdet memberitahuku, “mereka merubah jadwal. 

Aku menghendaki bhante pergi bersama mereka. Aku akan memberi 

reliknya. relik-relik terebut menjadi tanggung jawab bhante.” 

Aku tidak berkata apa pun, tetapi sesudah  aku kembali ke kamarku 

dan memikirkannya, aku menyadari bahwa aku tidak bisa mengikuti 

perintah Somdet. Aku pergi menemuinya. 

Aku berkata kepadanya, “aku tidak bisa pergi. Pengumuman yang 

disebarkan pemerintah menyatakan bahwa pada tanggal 17, relik akan 

dipamerkan di Wat Boromnivasa. Sekarang, rencananya berubah. 

Aku sudah menyebarkan pengumuman, dan pada tanggal 17, orang 

berbondong-bondong akan datang. Jika aku pergi lebih dulu, maka 

aku akan mendapatkan banyak kritik. Itulah sebabnya aku tidak bisa 

pergi.” 

Kelihatannya tidak ada satu pun bhikkhu sesepuh yang pergi. 

Permasalahan ini disebabkan oleh Nai Chao. Panglima Phin telah 

menyebutkan bahwa ia akan berangkat satu hari sebelumnya dan 

singgah bermalam di Nakhorn Ratchasima, mengabarkan para prajurit, 

polisi, pejabat dan orang-orang untuk memberikan penghormatan 

kepada relik. Nai Chao tidak memberitahu kepala vihara, dan karena 

alasan inilah telah terjadi kekeliruan dalam jadwal yang telah dicetak. 

Karena alasan itulah, aku tidak naik kereta pertama, karena Somdet 

telah berkata kepadaku, “tetap di sini. Jika ada yang datang. Ambil 

relik dan pajang di Aula Utama.” Aku setuju melaksanakan apa yang ia 

katakan. Malam itu, aku menempatkan tiga relik yang berukuran lebih 

~ 149 ~


besar dari biji selada dan berwarna mutiara, di dalam gelas kaca, dan 

memajangnya di Aula Uruphong. Orang berdatangan ingin melihat 

relik karena belum pernah melihat sebelumnya. Ketika aku membuka 

kain penutupnya, mereka melihat tiga relik, orang ini mengaduk-aduk 

relik, orang itu mengambilnya – dengan demikian dua relik hilang, 

tersisa hanya satu relik. 

Hari berikutnya, aku naik kereta api cepat menuju Ubon bersama 

dengan kelompok lain yang berjumlah empat belas orang. Setibanya 

di Ubon, kami membantu perayaan ulang tahun, diantaranya yaitu  

membantu peletakan batu fondasi untuk Gedung Mahathera yang 

akan dibangun di Wat Supat. 

Suatu malam sekitar pukul 10.00 muncul suatu kejadian. Kelompok 

kami yang terdiri dari lima puluh orang sedang duduk bermeditasi di 

dalam aula penahbisan ketika seberkas cahaya muncul, berpijar kedap-

kedip seperti bohlam. Kami semua membuka mata, dua atau tiga orang 

menemukan relik di depan mereka. Tidak beberapa lama kemudian 

semakin banyak relik bermunculan. Orang-orang yang berada di luar 

dan di dalam aula penahbisan menjadi bingung dan saling curiga 

adanya penipuan. Ketika sudah semakin kisruh, kami menghentikan 

kegiatan. 

Desas-desus menyebar ke seluruh penjuru kota. Seorang lelaki yang 

belum pernah menginjakan kaki di vihara datang dan bercerita 

bahwa malam sebelumnya, ia bermimpi banyak bintang berjatuhan 

di Wat Supat. Aku berpikir, “jika memang ada  benda suci yang 

berkaitan dengan Buddhisme, aku menghendaki benda-beda suci itu 

menunjukkan diri mereka.” 

Sore itu, Nai Phit, petugas biro perikanan membawa seorang teman, 

seorang guru perempuan untuk datang dan menemuiku. Guru itu mulai 

~ 150 ~


bertanya berbagai macam pertanyaan aneh dan akhirnya menyatakan 

dia akan meninggalkan suaminya dan mengikutiku, karena Dhamma 

yang aku ajarkan sangat mengagumkan. Suaminya, Nai Prasong, 

bekerja di Bank Pemerintah kantor cabang Ubon, dan beragama 

Kristen. Ia berpikir bahwa istrinya sedang terganggu jiwanya, maka ia 

melakukan kebiasaan untuk mengikuti kemana saja dia pergi. Orang-

orang akan bertanya kepadanya, “jika Anda beragama Kristen, apakah 

yang Anda lakukan di aula penahbisan buddhis?” 

Guru itu menjadi ceroboh dan tidak sopan, dan duduk hanya berjarak 

satu meter dari aku. Aku duduk di kursi dan suaminya duduk berjarak 

tiga meter dari sisinya. Keseluruhan sekitar lima puluh orang 

berkumpul di aula ini. Kemudian aku bertekad, “saat ini, semoga 

kekuatan benda-benda suci datang dan menolongku karena beredar 

desas-desus yang mengatakan aku menipu orang mengenai relik Sang 

Buddha. Dengan berita-berita seperti itu, aku tidak dapat membalikkan 

keadaan, kecuali para dewa dan benda suci dapat membantuku. Jika 

tidak Buddhisme akan mendapatkan penghinaan dan ejekkan.” Pada 

waktu itu, Chao Khun Ariyagunadhara sedang duduk di depan Rupang 

Buddha utama. Semua bhikkhu telah pergi karena sudah larut. 

Kemudian aku meminta setiap orang duduk bermeditasi dan 

menambahkan, “siapa saja yang tidak percaya, dipersilahkan duduk 

dan melihat.” sesudah  beberapa saat, aku merasakan benda-benda suci 

itu telah datang dan sedang berputar-putar, lalu aku meminta setiap 

orang untuk membuka mata dan berkata kepada Nai Prasong, “buka 

matamu dan lihat aku. Aku akan berdiri.” Kemudian aku berdiri dan 

mengibaskan jubahku dan kain duduk agar dapat dilihat olehnya, pada 

saat yang sama aku berpikir, “semoga para dewa menolongku sehingga 

ia tidak menghina ajaran Buddha.” Lalu aku berkata dengan suara 

nyaring, “Relik Sang Buddha telah datang. Orang-orang yang duduk di 

~ 151 ~


hadapan aku akan menerimanya. Tetapi ketika Anda membuka mata 

Anda, jangan bergerak. Aku sendiri tidak akan bergerak.” 

sesudah  aku menyelesaikan perkataanku, ada suara benda kecil jatuh di 

lantai ruangan. Seorang wanita bergegas mengambilnya, tetapi benda 

itu melenting dari genggamannya dan mendekati tempatku duduk. 

Orang lain berlarian mengejarnya, tetapi aku memerintahkannya 

untuk berhenti. Akhirnya benda itu berhenti di hadapan guru itu lalu 

aku berkata kepadanya, “Nai Prasong, relik suci itu milikmu rawatlah 

dengan baik.” Guru itu memungutnya. Benda itu berbentuk bulat dan 

sangat indah – relik itu merupakan relik yang pernah dipakai dalam 

penghormatan relik Sang Buddha.

sesudah  waktu berlalu, guru itu masih duduk di sana, kadang-

kadang dengan mata tertutup, kadang-kadang dengan mata terbuka, 

kemudian ia berkata, “Luang Phaw, sudah membawa aku duduk di 

puncak gunung.” “Semua yang aku lihat yaitu  tulang kerangkaku 

sendiri, tetapi bagaimana mungkin bisa terjadi? aku masih hidup?” 

“Meskipun aku berpenghasilan lima ratur Baht per bulan, aku belum 

pernah merasakan kebahagiaan seperti sekarang ini.” Perkataan yang 

diucapkan semakin tidak karuan. 

Pada akhirnya, kurang dari sepuluh orang menerima relik Sang 

Buddha pada malam itu. Semua orang yang berada di sana membuka 

mata mereka dan tempat itu terang benderang. Tepat sebelum fajar, 

Nai Phae datang menemuiku. Ia menggenggam relik di tangannya, lalu 

ia memberikannya kepadaku dengan berkata bahwa ia mendapatkan 

relik itu kemarin malam. Aku menyerahkan semua relik itu ke Wat 

Supat. 

Perayaan berlangsung selama lima hari penuh. Suatu hari, mereka 

mengundi pendanaan jubah bagi para bhikkhu yang datang dan 

~ 152 ~


bergabung dalam perayaan. Masih banyak orang di Ubon yang 

mencurigaiku, tetapi tidak satu pun yang terbuka mengenai hal itu. 

Salah seorang yang terbuka yaitu  Mae Thawngmuan Siasakun. Dia 

bertekad dengan berkata, “jika ajaan ini tulus dan jujur, semoga 

beliau mendapatkan undian dana seperangkat jubah yang telah 

kupersiapkan.” Ketika undian ditarik, aku mendapatkan seperangkat 

jubah persembahannya.

~ 153 ~

sesudah  perayaan selesai, aku kembali ke Bangkok dan pergi 

mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Ketika tiba waktunya 

untuk masa vassa, seperti biasa aku kembali bersama Somdet. Pada 

masa vassa itu penyakitnya bertambah parah. Ia tidak dapat duduk 

bermeditasi. Ia hanya dapat meditasi dengan berbaring. sesudah  masa 

vassa, ia meninggal dunia. 

Selama masa vassa, ia sakit berat. Sakit asmanya kambuh dan ia 

tidak dapat tidur. Suatu malam kira-kira pukul 2.00 dinihari, seorang 

bhikkhu berlari menghampiriku. Para bhikkhu dan samanera ramai 

karena Somdet meminta mereka untuk mencari dokter, tetapi sudah 

larut malam – bagaimana mereka mencari dokter? Chao Khun Sumedhi 

meminta seorang bhikkhu untuk memanggilku supaya aku dapat 

meyakinkan Somdet, karena Somdet tidak akan mendengarkan siapa 

pun. 

Kemudian aku menemui Somdet dan bertanya, “obat apa yang Somdet 

makan hari ini? Berapa banyak tablet? Berapa kali?” 

Ia menjawab, “aku tidak bisa bernafas.”

Aku memegang tubuhnya. Suhu badannya tinggi. Aku mengetahui, ia 

kelebihan makan obat. Dokter memberitahu untuk makan satu tablet 

Bagian 19

~ 154 ~


dua kali sehari, tetapi ia merasa tidak ada perkembangan, maka ia 

makan dua tablet sekaligus. Sekarang perutnya terasa panas, dan sulit 

bernafas. Aku berkata kepadanya, “aku pernah melihat hal semacam 

ini sebelumnya. Tidak apa-apa. Sekitar lima belas menit akan hilang.” 

Kemudian ia memejamkan matanya dan memasuki samadhi. Para 

bhikkhu dan samanera duduk di sekelilingnya. Sesaat kemudian ia 

berkata, “aku sudah membaik sekarang. Kalian tidak perlu memanggil 

dokter.” 

Saat masa vassa, penyakit asmanya kambuh lagi. Suatu pagi, ia 

mengirim seorang samanera untuk memanggilku. Pada saat itu, aku 

sedang ada tamu, jadi samanera itu hanya berkata lalu pergi. Somdet 

kemudian bertanya kepadanya, “apakah Ajaan Lee masih berada di 

vihara ini?” 

“Masih.” 

“Kalau begitu ia tidak perlu datang. Pikiranku sedang tenang. Jika ia 

meninggalkan vihara, cari, dan mohon ia kembali.

Pada pukul 5.00 sore, ia mengirim seorang samanera untuk mencariku. 

Samanera itu tidak berkata sedikit pun kepadaku karena aku sedang 

duduk bermeditasi. Ia kembali ke Somdet dan berkata, “Ajaan Lee ada 

di dalam vihara.” Tak beberapa lama kemudian, sekitar pukul 6.00 sore, 

ia datang lagi menemuiku. Kali ini aku bergegas menemui Somdet. Ia 

memberikan pengarahan mengenai vihara, dan kembali berbaring. 

Aku turun ke lantai bawah sebentar. 

Kemudian terjadi kegaduhan di lantai atas, aku bergegas naik. Bersama 

Somdet di dalam ruangan itu ada seorang bhikkhu yang merawatnya 

dan Chao Khun Dhammapitok. Melihat keadaan Somdet, aku tahu ia 

~ 155 ~


tidak akan bertahan. Para bhikkhu dan samanera berjalan kacau balau 

di sekitar tempat itu, dan para dokter marah. Salah satu diantara mereka 

memasukkan jarinya ke tenggorokan Somdet untuk mengeluarkan 

lendir, tetapi tidak berhasil. Ketika aku melihat tidak ada harapan lagi, 

aku memerintahkan dokter untuk berhenti, “jangan sentuh beliau.” 

Dan tidak beberapa lama kemudian Somdet menghembuskan nafasnya 

yang terakhir. 

sesudah  kami selesai memandikan jenazah, kami mengadakan 

pertemuan, dan pada hari berikutnya kami mempersiapkan upacara 

pemandian jenazah. 

Panitia vihara mulai melakukan upacara pelimpahan jasa. Mereka 

memintaku untuk bertugas di bagian dapur, dan aku menyetujuinya. 

Khun Nai Tun Kosalyawit sebagai asistenku. Selama tujuh hari pertama 

kami sama sekali tidak menggunakan uang vihara karena banyak orang 

datang dan berdana sukarela. Upacara pelimpahan jasa berlangsung 

selama lima puluh hari. Selama masa itu kami terus mengumpulkan 

dana untuk vihara. sesudah  selesai lima puluh hari, aku memutuskan 

untuk beristirahat. 

~ 156 ~

Pada tanggal 10 April, aku pergi ke Lampang untuk membantu Upacara 

pembatasan Sima* di Wat Samraan Nivasa yang berlangsung selama 

beberapa hari. sesudah  upacara selesai aku pergi menetap di Gua Phra 

Sabai. Penyakit perut lamaku kambuh lagi: aku terserang diare akut 

dan sakit perut luar biasa. Berita keadaanku tersebar sampai kota 

Lampang bahwa kondisiku parah. 

Pada suatu hari, aku beristirahat di dalam gua. Aku melihat batu yang 

melekat di mulut gua, dengan ketinggian 20 meter dari atas tanah. 

Muncul pikiran, aku berniat membangun stupa di dalam gua. Aku 

memanggil umat awam yang tinggal bersamaku untuk membantu 

mendorong batu keluar gua, Kami lalu menggali lubang hingga pukul 

1.00 siang sampai mobil tiba. Orang-orang di dalam mobil berkata bahwa 

mereka datang untuk membawaku ke rumah sakit, tetapi aku telah 

sembuh dari penyakitku tanpa disadari. Aku berkata kepada mereka 

bahwa kami akan membangun stupa. Sebelum meninggalkan gua, aku 

berdiri di mulut gua dan melihat ke barat daya, ke arah hamparan 

pepohonan di pegunungan. Melihat segarnya hijau pepohonan, aku 

teringat pada pohon Bodhi, dan akan lebih baik bila menanam tiga 

pohon Bodhi di depan mulut gua. Aku mengutarakan hal ini kepada 

para bhikkhu dan samanera, dan kemudian kembali ke Lampang. 

* Sima: aula penahbisan bhikkhu, dalam membangun sebuah Sima, para bhikkhu melakukan up-

acara untuk menetapkan batas-batas wilayah yang akan dijadikan sima, untuk membatalkan 

sima yang lama, kalau mungkin sebelumnya sudah pernah ada sima di lokasi yang sama dan 

menetapkan batas wilayah untuk sima baru. 

Bagian 20

~ 157 ~


Dari sana aku melanjutkan perjalanan ke Uttaradit, karena seorang 

umat awam datang mencariku, dan memohon agar kembali ke Uttaradit 

karena ada seorang perempuan tua –salah satu muridku – meracau tidak 

karuan belakangan ini. Aku menetap di Uttaradit beberapa saat untuk 

menyembuhkan wanita itu, dan kemudian melanjutkan perjalanan ke 

Phitsanuloke, di sana aku tinggal di Wat Raadburana, dekat dengan 

rumah seorang wanita yang merupakan “anak angkatku”. Kisah 

mengenai anak angkat ini baik untuk diceritakan, meskipun terjadi 

pada saat aku melewatkan masa vassa bersama dengan masyarakat 

pegunungan di Baan Phaa Daen Saen Kandaan, Chieng Mai. 

Nama wanita itu Fyyn; suaminya MahaNawm. Suatu hari aku 

pergi mengajar meditasi di Wat Aranyik, yang terletak di dalam 

hutan berjarak enam kilometer dari Phitsanuloke. Banyak pejabat 

pemerintahan, pedagang, dan masyarakat umum datang untuk berlatih 

samadhi, termasuk kepala polisi, Luang Samrit; Luang Chyyn, Khun 

Kasem, Kapten Phaew – mereka semua bersungguh-sungguh ingin 

berlatih meditasi. Kami sedang duduk, berdiskusi Dhamma, ketika 

seseorang datang dan berkata kepadaku, “Bhante, mohon datang dan 

menjenguk orang sakit di rumahku.” Aku setuju untuk pergi. Kepala 

polisi mengantar kami menggunakan mobilnya. 

Ketika kami tiba, mereka memberitahu aku bahwa seorang bhikkhu 

dhutanga telah datang dari utara, membuat air parita untuk mereka 

dan kemudian memberitahu mereka, “aku khawatir, aku tidak bisa 

menyembuhkan Anda, tetapi akan segera datang seorang bhikkhu 

yang dapat menyembuhkannya.” Kemudian bhikkhu itu pergi dan 

melanjutkan perjalanan. Segera sesudah  MahaNawm mendengar 

keberadaanku di daerah ini, ia langsung datang mencariku. sesudah  

berbicara dengannya, aku mengetahui bawah isterinya, Mae Fyyn telah 

sakit selama tiga tahun, sejak dia mengalami pendarahan hebat sesudah  

~ 158 ~


melahirkan. Mereka telah menghabiskan uang sekitar delapan ribu 

Baht untuk biaya pengobatan, tetapi tidak sembuh juga. Yang dapat 

dia lakukan selama tiga tahun terakhir ini yaitu  hanya berbaring 

saja: dia tidak dapat bangun sama sekali. Tahun-tahun belakangan ini, 

dia tidak mampu berbicara.bahkan tidak bisa bergerak. Mendengar 

ini, aku berkata kepada MahaNawm bahwa aku akan menjenguknya. 

sesudah  aku sampai di depan pintu, aku melihat wanita itu mengangkat 

tangannya dengan lemah dalam posisi anjali. Aku tidak memerhatikan 

keadaannya, hanya duduk bersamadhi. Mae Fyyn berkata dua atau tiga 

kata, bergerak sedikit, memberi hormat dengan sikap anjali, duduk 

dan berlutut di bantalnya. Aku berkata kepadanya, “sembuhlah, semua 

penyakit ini karena kamma buruk masa lampaumu.” 

Hari itu, aku memintanya untuk mengambil korek api dan menyalakan 

sebatang rokok untukku, dan dia mampu melakukannya. Aku 

mengatakan kepada orang-orang di rumahnya untuk tidak menyuapi 

makanan pada hari berikutnya, hanya meletakan nasi dan kari di 

sebelahnya. Dia dapat memakannya sendiri. 

Keesokan hari, suaminya datang ke vihara untuk berdana makanan 

kepadaku. Ketika ia pulang, ia melihat isterinya telah menyelesaikan 

sarapannya, mencuci peralatan makan dan mampu bangun dan 

merangkak. Aku menjenguknya sore itu, tetapi menemukan bahwa 

tetangga-tetangga di sekitar rumah membawa kendi dan pot untuk 

mendapatkan “air parita ajaib.” Melihat hal ini, aku merasa tidak 

nyaman dan segera kembali ke Bangkok. 

Kami tetap berhubungan dengan surat. Sebulan sesudah  itu, Mae Fyyn 

sudah mampu bangun dan berjalan. Tahun ke dua, dia sudah mampu 

pergi ke vihara terdekat dan berdana makanan kepada para bhikkhu. 

Tahun ke tiga, dia datang untuk menetap di Wat Boromnivasa – 

~ 159 ~


berjalan dari stasiun kereta api HuaLampong menuju Wat Borom 

dan berjalan setiap hari dari tempat menetapnya untuk mendengar 

khotbah Dhamma di aula meditasi, sembuh total. Peristiwa ini sangat 

mengagumkan.

Dari Phitsanuloke aku melanjutkan perjalanan ke Phetchabun untuk 

mengunjungi seorang siswa yang telah membangun sebuah vihara 

di daerah Lom Kao dengan bantuan dari Petugas Daerah Pin. sesudah  

tinggal menyepi sejenak, aku berangkat bersama yang lain ke dalam 

hutan.

Kami melewati pegunungan dan menyeberangi sungai-sungai selama 

berhari-hari dan kemudian beristirahat di lereng bukit. Dari sana 

kami mengikuti lereng rendah bukit-bukit sampai kami mencapai 

gunung tinggi yang tertutup hutan belantara. Dari kejauhan aku bisa 

melihat Puncak Gunung Haw Mountain menjulang tinggi. Mereka yang 

bersamaku berjalan di depan, aku mengikuti di belakang. Memikirkan 

Gunung Haw, pikiranku damai. Aku memikirkan sesuatu berharga yang 

berada di luar kemampuanku: “aku ingin melayang ke angkasa menuju 

puncak Gunung Haw.” Aku berdiri diam sejenak, mangkuk pattaku 

tergantung di dalam kain bahuku, dan membayangkan awan datang 

dari angkasa kemudian disaat yang bersamaan terdengar bisikan, 

“jangan memikirkan hal itu. Kalau waktunya sudah tepat maka akan 

terjadi dengan sendirinya. Kemudian khayalanku lenyap.

Dalam perjalanan ini aku benar-benar kehausan. Di sisi-sisi sepanjang 

jalan hanya ada sisa-sisa makanan rubah, karena kami berada jauh 

dari perkampungan. Kami terus berjalan dan singgah sebentar di desa 

Baan Wang Naam Sai. Kemudian kami berjalan menembus hutan rimba 

dan menyeberangi sungai, dan sesudah  keluar dari hutan, kami tiba di 

wilayah Phaa Bing, tempat yang pernah ditinggali Ajaan Mun. Tempat 

~ 160 ~


ini terdiri dari gua-gua dan bukit-bukit kecil. Kami menghabiskan 

beberapa hari di sana.

Pada suatu malam, ketika suasana hening, aku duduk bermeditasi 

hampir tertidur, dan tiba-tiba terjadi suatu peristiwa. Aku melihat 

puncak gunung tertutup dengan pepohonan di bagian barat dari Phuu 

Kradyng. Seorang manusia raksasa, memakai kain berwarna kuning 

gelap terikat pada pinggangnya, berdiri di atas gunung dan menopang 

langit dengan tangannya. Aku berdiri di tangannya. Ia berkata, “di 

masa yang akan datang, kehidupan umat manusia akan sulit. Mereka 

akan mati karena air beracun. Air tersebut dibagi menjadi dua jenis: 

Kabut dan embun akan merusak hasil panen dalam bentuk apa pun. 

Orang-orang yang makan hasil panen itu bisa sakit. 

Hujan. Jika Anda menjumpai air hujan aneh, seperti: 1) 

a. air hujan berwarna kemerahan, atau

b. air hujan berwarna kekuningan dengan rasa aneh.

Jangan meminumnya. Jika Anda minum, Anda akan terkena diare dan 

kudis. Jika Anda minum dalam jumlah banyak, Anda akan mati.” 

Inilah pokok bahasan pertama yang ia katakan. Pokok bahasan ke dua. 

Ia menunjuk ke timur laut. Aku melihat mata air raksasa menyembur 

keluar dari tanah. Ke mana saja airnya mengalir, orang-orang jatuh 

sakit. Jika mereka menggunakan air ini untuk mengairi pohon buah-

buahan maka pohon-pohon itu akan layu. Umur manusia akan semakin 

pendek. 

Pokok bahasan ke tiga: terjadi keanehan pada puncak gunung. 

Kemanapun ia membentangkan tangannya, pepohonan akan menjadi 

sama tinggi. “Apa maksudnya ini?” Aku bertanya. 

~ 161 ~


“Orang dewasa yang tidak bermoral akan menderita di masa depan.” 

“Apakah semua kejadian ini dapat dicegah?” 

“Penyakit yang disebabkan oleh air, jika tidak ditangani dengan serius 

akan dapat menyebabkan kematian dalam tiga, lima atau sembilan 

hari.” 

“Akankah aku menderita?” 

“Tidak akan, karena Anda menghormati kualitas-kualitas sesepuhmu. 

Aku akan memberikan cara membuat obatnya. Jika Anda mendengar 

semua penyakit-penyakit ini terjadi, cepat pergi tolong mereka.” 

Aku bertanya kepadanya, “apakah Anda tidak bisa mengatakan cara 

penyembuhan itu kepada mereka sendiri?”

Ia berkata, “aku bisa, akan tetapi tidak akan berhasil dengan baik. 

Anda harus membuat obat itu sendiri. Ambil buah-buahan asam 

jawa, kupas kulitnya dan rendam dalam larutan garam. Kemudian 

tuang airnya dan berikan kepada orang-orang yang sakit – atau suruh 

mereka minum larutan garam dari bawang putih yang diawetkan. 

Penyakit akan sembuh – tetapi Anda harus membuat obatnya sendiri.” 

Ia melanjutkan menyebut namanya Sancicco Devaputta. 

Peristiwa itu terjadi pada tahun 1956. 

sesudah  kami meninggalkan Wilayah Phaa Bing dan menetap di kotamadya 

terdekat, masyarakat di sana berdatangan untuk menceritakan kisah 

aneh. Pada malam sebelumnya, kabut tebal melewati ladang tembakau 

dan daun-daun pohon tembakau itu berguguran. Di waktu yang lain, 

aku mendengar di daerah Thoen, propinsi Lampang, penduduk desa 

meminum air hujan berwarna teh, dan lebih dari sepuluh orang mati. 

~ 162 ~


Kedua kisah ini terdengar ajaib karena sesuai dengan mimpiku. 

Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke daerah Wang Saphung 

lalu mendaki Dataran Tinggi Phuu Kradyng, sesudah  bermalam di kaki 

dataran tinggi. Kami berlima, dua orang anak laki-laki dan tiga orang 

bhikkhu. Kami mendaki dataran tinggi dan tiba di puncak sekitar pukul 

7.00 malam. Dari sana kami berjalan menuju ke lokasi perkemahan 

yang berjarak lebih dari tiga mil. Udara di dataran tinggi dingin, dan 

seluruh daerah itu dipenuhi dengan pohon cemara. Setibanya kami di 

puncak, hujan turun, jadi kami semua mencari tempat berteduh. Aku 

melihat pohon pinus tumbang dan berada di atas rerumputan tinggi 

maka aku memanjat dan berbaring di atas batang kayu. Yang lainnya 

berlarian mencari tempat perlindungan di tempat lain. Malam itu 

angin dan hujan begitu hebat sehingga aku tidak dapat tidur semalam 

suntuk. 

Saat fajar menyingsing kami saling mencari satu sama lainnya, dan 

kemudian mencari tempat untuk menetap. Kami menemukan gua 

kecil dengan pinggiran batu-batuan yang indah dan sumur kecil berisi 

air hujan semalam. Di sana kami menyepi. 

Dataran tinggi tersebut cukup luas, tujuh kilometer persegi. Begitu 

Anda berada di atas sana, Anda merasa seolah-olah berada di 

permukaan tanah. Dataran tinggi itu dipenuhi dengan pohon cemara 

dan rerumputan tinggi – tanpa ada satu pun jenis pohon lain, walaupun 

ada  banyak jenis pepohonan di lereng yang lebih rendah. Ini, dapat 

aku simpulkan, karena puncak dataran tinggi yaitu  bebatuan. Anda 

dapat melihatnya dari pohon pinus yang tumbang: akarnya menjalar 

di celah-celah retakan batu. 

Tempat ini nyaman untuk beristirahat, tenang untuk ditinggali. Setiap 

hari pukul 5.00 sore, apabila tidak hujan, kami duduk meditasi bersama 

~ 163 ~


di tumpukan batu karang. Aku berpikir tentang diriku, “aku tidak ingin 

kembali ke dalam kehidupan manusia. Aku ingin tinggal di hutan rimba 

seperti ini. Bila memungkinkan, aku ingin memiliki kekuatan abhinna 

atau, jika aku tidak mendapatkannya, semoga aku mati dalam tujuh 

hari, memasuki nibbana pada hari ke tujuh. Jika tidak, semoga para 

dewa membawaku pergi hidup menyendiri, jauh dari kaum manusia 

untuk sedikitnya tiga tahun.” Setiap kali aku mulai berpikir seperti ini, 

hujan turun, dan kami harus kembali ke dalam gua. 

Salah seorang bhikkhu yang ikut bersama kami, bernama Phra Palat 

Sri, belum pernah masuk ke dalam hutan sebelumnya. Sepanjang jalan 

ia berbicara seperti seorang salesman, yang menggangguku. Dengan 

kata lain, ia suka membicarakan hal-hal duniawi. Setiap kali kami tiba 

di pedesaan yang tampak miskin, ia selalu menceritakan “Lopburi 

menghasilkan banyak ikan” kepada penduduk. Ia memberitahu mereka 

bahwa ikan asin dari Lopburi terjual sampai ke provinsi Chaiyaphum. 

Hal ini sangat menggangguku. Kami mencari ketenangan, bukan 

menjual ikan asin. Aku harus mengingatkannya, tetapi ia menjalankan 

kehidupan sebagai bhikkhu lebih lama dibandingkan dengan diriku. 

Ketika kami berdiam di puncak gunung, ia suka membuat api unggun 

untuk menghangatkan dirinya – ketika aku tidur. Ia tidak berani 

melakukannya ketika aku bangun9. Saat ia sedang menghanga