k. Akan tetapi, gajah gila
Nà ëà gãri telah dijinakkan oleh Buddha tanpa memakai tongkat
atau senjata apa pun.
(J) Kesempurnaan Ketenangseimbangan (Upekkhà Pà ramã)
Terjemahan secara harfiah dari bahasa Pà ëi upekkhà yaitu
‘mengambil pandangan seimbang’ yang artinya memelihara posisi
netral antara dua ekstrem penderitaan dan kebahagiaan. Para
terpelajar Myanmar mengartikannya sebagai ‘Tidak berbeda.’
Jika makna dari terjemahan ini tidak dipahami benar, mereka akan
secara keliru mengartikannya sebagai ‘Tidak peduli’, ‘lalai.’ Tetapi
upekkhà bukanlah tidak peduli atau lalai. Upekkhà memerhatikan
objek tetapi hanya dengan cara seimbang dengan perasaan netral
saat menemui objek penderitaan atau objek kebahagiaan.
Pengembangan UpekkhÃ
Pengembangan upekkhà yaitu sama dengan pengembangan mettÃ
yang dijelaskan dalam pañisambhidà magga. Seperti disebutkan di
atas, cara yang digunakan dalam mengembangkan mettà ada 528
sebab ada empat cara dasar. Akan tetapi, dalam mengembangkan
upekkhà hanya ada satu cara yaitu kammassakà yang artinya “semua
makhluk memiliki perbuatan, kamma (yang mereka lakukan),
sebagai harta mereka.” Oleh sebab itu jumlah cara dalam kasus
ini menjadi seperempat dari 528 yaitu 132.
Seperti halnya dalam mengembangkan mettà ada dua belas
kelompok makhluk: lima anodhisa (tidak ditentukan) dan tujuh
3465
1
odhisa (ditentukan). sebab hanya ada satu cara, kita memiliki hanya
dua belas metode yang dapat digunakan sebelum melakukannya
ke sepuluh penjuru.
(1) sabbe sattà kammassakà (semua makhluk memiliki kamma
sebagai harta mereka sendiri);
(2) sabbe paõà kammassakà (semua benda hidup memiliki kamma
sebagai harta mereka sendiri);
(3) sabbe bhåtà kammassakà (semua makhluk yang telah ada
memiliki kamma sebagai harta mereka sendiri);
(4) sabbe puggalà kammassakà (semua makhluk atau individu
memiliki kamma sebagai harta mereka sendiri);
(5) sabbe attabhà vapariyà pannà kammassakà (semua makhluk
yang telah terlahir memiliki kamma sebagai harta mereka
sendiri);
(6) sabbe itthiyo kammassakà (semua perempuan memiliki kamma
sebagai harta mereka sendiri);
(7) sabbe purisà kammassakà (semua laki-laki memiliki kamma
sebagai harta mereka sendiri);
(8) sabbe ariyà kammassakà (semua makhluk mulia memiliki
kamma sebagai harta mereka sendiri);
(9) sabbe anariyà kammassakà (semua makhluk yang belum
mencapai kesucian memiliki kamma sebagai harta mereka
sendiri);
(10) sabbe devà kammassakà (semua dewa memiliki kamma sebagai
harta mereka sendiri);
(11) sabbe manussà kammassakà (semua manusia memiliki kamma
sebagai harta mereka sendiri);
(12) sabbe vinipà tikà kammassakà (semua peta di alam sengsara
memiliki kamma sebagai harta mereka sendiri).
Jika dua belas ini diarahkan ke sepuluh penjuru maka seluruhnya
yaitu 120. lalu ditambahkan dua belas metode yang tidak
ditentukan arahnya maka seluruhnya menjadi 132 metode. Satu
dari metode-metode ini dapat digunakan untuk mengembangkan
upekkhà tetapi jangan dianggap bahwa metode lainnya tidak dapat
dilakukan.
3466
Untuk lebih jelas: seperti halnya pada mettà , seseorang dapat
mengembangkan upekkhà dengan memakai kata makhluk
dan orang jika diinginkan. Kata kammassakà juga dapat digantikan
dengan kata Pà ëi lain yang memiliki makna yang sama, yang
disebutkan dalam Abhiõha Sutta, Nãvaraõa Vagga, Pa¤caka Nipà ta
dari Aïguttara Nikà ya. Di sana dikatakan:
sabbe sattà kammassakà , kammadà yà dà , kammayonã,
kammabandhå, kammapañissaraõà .
(1) kammassakà , memiliki kamma sebagai harta;
(2) kammadà yà dà , memiliki kamma sebagai warisan;
(3) kammayonã, memiliki kamma sebagai asal mula seseorang;
(4) kammabandhå, memiliki kamma sebagai teman;
(5) kammapañissaraõà , memiliki kamma sebagai perlindungan.
sebab semua kata Pà ëi ini memiliki satu makna dan sama
pentingnya, seseorang dapat mengembangkan upekkhà dengan
menggantikan ‘sabbe sattà kammassakà ’ dengan salah satu dari
empat kalimat berikut yang disukai atau dipahami benar.
sabbe sattà kammadà yà dà ,
sabbe sattà kammayonã,
sabbe sattà kammabandhå,
sabbe sattà kammapañissaraõà .
Hal yang Patut Dipertimbangkan
Hal yang patut dipertimbangkan yaitu : jelas bahwa mettà yaitu
suatu Kesempurnaan yang harus dipenuhi demi kesejahteraan
makhluk-makhluk hidup dan sebab itu layak dipertimbangkan
sebagai suatu Kesempurnaan mulia. Di pihak lain, walaupun
upekkhà yaitu suatu Kesempurnaan yang harus dipenuhi,
ini yaitu watak batin yang menganggap bahwa ‘kebahagiaan
atau penderitaan yaitu bagian dari kehidupan seseorang; jika
seseorang memiliki perbuatan baik yang menghasilkan kebahagiaan,
maka ia akan berbahagia. Jika ia memiliki perbuatan jahat yang
menghasilkan penderitaan, maka ia akan menderita. Aku tidak
3467
1
dapat melakukan apa pun untuk mengubah kamma makhluk
lain.” Bukankah sulit untuk menyebut watak demikian itu mulia?
Apakah salah jika seseorang mengatakan bahwa upekkhà yaitu
watak batin yang tidak peduli terhadap kesejahteraan makhluk
lain dan yang tetap apatis terhadap mereka? sebab itu, yaitu
penting mempertimbangkan mengapa upekkhà diurutkan sebagai
Kesempurnaan termulia.
Dalam urusan-urusan duniawi maupun spiritual, yaitu wajar jika
sesuatu yang sulit diperoleh bernilai tinggi dan sesuatu yang mudah
diperoleh bernilai rendah. sebab itu, sudah menjadi pengetahuan
umum bahwa di dunia ini, benda-benda yang mudah diperoleh
seperti kerikil dan pasir berharga murah; dan emas, perak, batu
delima, dan permata lainnya yang sulit diperoleh berharga mahal.
Demikian pula dalam hal spiritual, keserakahan, kebencian, dan
kondisi batin yang buruk lainnya dapat muncul dengan mudah;
sebab itu tidak bernilai. Tidak memerlukan usaha khusus untuk
memunculkannya. Sesungguhnya, yang sulit yaitu mencegahnya
agar tidak muncul dengan cara yang tidak terkendali. Hal-hal
buruk itu bagaikan rumput liar yang tidak berguna. Sebaliknya,
dà na, sãla dan perbuatan baik lainnya tidak akan muncul tanpa
mengerahkan usaha; hal-hal baik ini tidak terjadi secara otomatis.
Satu dari perbuatan baik ini yaitu pengembangan mettÃ
sejati yang lebih mulia daripada dà na dan sãla. Cinta kasih sejati ini
sesungguhnya sulit dikembangkan.
Terdapat tiga jenis pribadi: verã-puggala (musuh), majjhatta-puggala
(bukan musuh juga bukan teman), dan piya-puggala (teman).
yaitu sulit memancarkan mettà kepada seorang veri-puggala,
tidak terlalu sulit untuk memancarkan kepada seorang majjhima-
puggala; sebaliknya, yaitu mudah memancarkan mettà kepada
seorang piya-puggala. Mettà yang objeknya yaitu bukan verã dan
bukan majjhatta tetapi hanya piya-puggala yaitu mettà yang tidak
bernilai, tidak peduli seberapa pun seringnya hal itu dikembangkan,
sebab perbuatan ini yaitu tugas yang mudah.
Jika seseorang ingin memenuhi Mettà Pà ramã dengan benar, ia
3468
harus mengembangkan mettà kepada diri sendiri terlebih dahulu.
sebab pengembangan ini demi kepentingan diri sendiri, mettà akan
muncul dengan mudah dan pasti berhasil. Mettà ini yang sempurna
sebab dikembangkan kepada diri sendiri harus dijadikan contoh.
sebab itu mettà harus diarahkan kepada diri sendiri terlebih
dahulu.
Jika mettà diarahkan kepada verã, majjhatta, dan piya, ia harus
melakukannya secara sama tanpa diskriminasi, seperti saat
ia memancarkannya kepada diri sendiri. Apakah ini mudah
dilakukan? Tidak. Sesungguhnya, yaitu sulit memancarkan mettÃ
bahkan kepada teman sendiri seperti kepada diri sendiri, apalagi
kepada seorang musuh atau orang yang netral, seperti yang telah
diinstruksikan oleh Buddha, attasamaÿ pemaÿ n’atthi, tidak ada
orang seperti diri sendiri yang ia cintai. Hanya jika mettà yang sulit
dikembangkan ke arah teman dapat dikembangkan bukan hanya
kepada teman tetapi juga kepada dua jenis orang yang lain dengan
cara yang sama seperti kepada diri sendiri dan tanpa sedikit pun
perbedaan, maka ini yaitu Mettà Pà ramã yang sejati.
Hal ini menyiratkan betap sulitnya mengembangkan mettà sejati dan
betapa besar nilainya. Sehubungan dengan pengembangan mettÃ
jenis ini, seperti telah dijelaskan di atas, Suvaõõa Sà ma dicintai oleh
binatang-binatang buas seperti macan dan singa, dan sebagainya.
Bahkan lebih sulit lagi mengembangkan upekkhà sebagai suatu
pemenuhan Kesempurnaan daripada mengembangkan mettà untuk
tujuan yang sama.
Tidaklah mudah mengembangkan upekkhà bahkan kepada orang
yang netral dari tiga jenis makhluk. Orang-orang akan berkata, “Aku
tetap seimbang sehubungan dengannya sekarang” atau “Dalam hal
ini aku bersikap kammassakà ,” dan sebagainya. sebab kata-kata
demikian menyiratkan ketidakpedulian dan ketidak-tertarikan,
upekkhà menjadi kurang bernilai. Kenyataannya upekkhÃ
mengisyaratkan untuk memerhatikan dan mementingkan objek
perenungan (tetapi sebagai pengamat netral).
Seperti mudahnya mengembangkan mettà kepada seorang
3469
1
teman, demikian pula mudahnya mengembangkan upekkhÃ
kepada orang yang netral. sebab seseorang tidak mencintai
ataupun membencinya, yaitu mudah menjaga sikap seseorang
tetap seimbang terhadapnya tanpa keinginan untuk melihatnya
bahagia atau melihatnya menderita. Tetapi yaitu lebih sulit untuk
mengembangkan upekkhà kepada seorang musuh. sebab seseorang
membencinya, ia dengan mudah merasa gembira saat ia jatuh dan
ia merasa iri hati saat melihat musuhnya makmur. yaitu sulit
mencegah munculnya kedua kondisi batin ini ; jika salah satu
kondisi itu muncul bahkan dalam bentuk yang terkecilpun, maka
ia gagal mempertahankan upekkhà .
Juga yaitu lebih sulit mengembangkan upekkhà kepada seorang
teman daripada kepada seorang musuh. sebab seseorang yang
telah terlanjur melekat kepada seorang teman akan gembira saat
ia makmur atau berduka saat kemalangan menimpanya. yaitu
sulit untuk mencegah munculnya kegembiraan dan kesusahan dari
dalam dirinya.
Hanya jika seseorang dapat mempertahankan keseimbangan dengan
sikap yang sama kepada tiga jenis makhluk atau kepada diri sendiri
tanpa kesulitan yang disebutkan di atas, maka pengembangan
upekkhà mungkin dapat dilakukan. Selama masih ada sikap
memihak kepada tiga jenis makhluk ini maka upekkhà masih jauh
dari berhasil.
Seperti telah disebutkan, pengembangan upekkhà bukanlah sikap
tidak peduli atau lalai; sebaliknya, upekkhà memerhatikan dan
menganggap penting (objek perenungan). Dalam melakukan hal
itu, seseorang mengatakan kepada dirinya sendiri, “Tidak ada yang
dapat dilakukan untuk membuat makhluk-makhluk termasuk diriku
menjadi bahagia atau tidak bahagia. Mereka yang memiliki kamma
baik akan berbahagia dan mereka yang memiliki kamma buruk
akan tidak berbahagia. sebab kebahagiaan dan ketidak-bahagiaan
mereka berhubungan dengan perbuatan masa lampau mereka,
tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubahnya.” Hanya
dengan perenungan mendalam dengan cara ini dengan makhluk
hidup sebagai objek perenungan yang merupakan upekkhà sejati.
3470
sebab tidak melibatkan kegelisahan, maka upekkhà ini yaitu
mulia, tenang, dan damai. Semakin tinggi dari mettà , semakin tinggi
tingkat spiritualitasnya.
Seperti halnya mettà , upekkhà juga yaitu salah satu dari
empat puluh objeks meditasi Samatha dan satu dari Sepuluh
Kesempurnaan. Seseorang yang ingin bermeditasi dengan objek
upekkhà menurut metode samatha melakukan hal ini untuk
mencapai Jhà na tertinggi dan bukan untuk yang lebih rendah.
Mereka yang lebih lambat untuk menggenggam, mencapai tingkat
Jhà na tertinggi hanya sesudah memperolehnya lima kali. Bagi
mereka, Buddha telah mengajarkan lima Jhà na yang disebut metode
pa¤caka (metode lima). Jhà na yang dicapai pertama kali disebut
Jhà na pertama, yang dicapai kedua kali yaitu Jhà na kedua dan
seterusnya hingga Jhà na kelima. Demikianlah ada lima Jhà na bagi
mereka yang tumpul.
Akan tetapi, bagi yang cerdas, dapat mencapai Jhà na tertinggi
sesudah mencapainya empat kali. sebab Buddha telah mengajarkan
empat Jhà na yang disebut metode catukka (metode empat). Jhà na
yang dicapai pertama kali disebut Jhà na pertama, dan seterusnya.
Demikianlah ada empat Jhà na bagi mereka yang cerdas.
Mereka yang belum mencpai Jhà na dalam dua cara ini sebaiknya
tidak mencoba untuk bermeditasi dengan objek upekkhà untuk
mencapai Jhà na tingkat tertinggi. Upekkhà sebagai ojek meditasi
yaitu untuk mencapai Jhà na kelima dalam metode pa¤caka
dan Jhà na keempat dalam metode catukka. Mereka yang bodoh
dapat bermeditasi dengan objek upekkhà hanya jika mereka telah
mencapai Jhà na keempat dan mereka yang cerdas hanya sesudah
mencapai tiga Jhà na yang pertama melalui subjek samatha lainnya.
sebab , seperti telah dijelaskan, upekkhà halus, tenang dan mulia
dan dengan demikian hanya digunakan untuk mencapai Jhà na
tertinggi dan bukan untuk yang lebih rendah.
Di pihak lain, mettà digunakan untuk mencapai empat atau tiga
Jhà na yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan fakta bahwa upekkhÃ
lebih tinggi daripada mettà . Jika upekkhà bukan dimaksudkan
3471
1
sebagai objek meditasi tetapi dimaksudkan sebagai Kesempurnaan
yang harus dipenuhi, maka dapat dikembangkan setiap saat.
Mahà Lomahaÿsa Cariya
Sehubungan dengan Kesempurnaan Keseimbangan, kisah
tumbuhnya rambut Bodhisatta, usaha keras dalam memenuhi
Upekkhà Pà ramã akan dikutipkan di sini dari Komentar CariyÃ
Piñaka.
Suatu saat Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga kaya dan
berstatus tinggi. saat tiba waktunya beliau untuk menuntut
ilmu, beliau pergi ke seorang guru terkenal. sesudah menyelesaikan
pendidikannya ia pulang ke rumah orangtuanya untuk merawat
mereka. Saat orangtuanya meninggal dunia, sanak saudaranya
mendesaknya agar menjaga dan meningkatkan kekayaan yang ia
warisi.
Akan tetapi, Bodhisatta telah mengembangkan rasa takut terhadap
semua alam kehidupan dan ketakutannya berdasarkan atas sifat
ketidakkekalan dari semua hal berkondisi. Beliau juga melihat
kejijikan dari jasmani dan sama sekali tidak berkeinginan untuk
terjebak dalam belukar kotoran yang berhubungan dengan
kehidupan rumah tangga. Sebenarnya, keinginannya untuk keluar
dari alam indria telah berkembang sejak lama. Demikianlah beliau
berkeinginan untuk melepaskan keduniawian sesudah melepaskan
kekayaannya. “Tetapi sebab suara puji-pujian, kepergianku
melepaskan keduniawian akan membuatku terkenal,” beliau
berpikir. sebab beliau tidak menyukai kemasyhuran, pendapatan,
dan penghormatan terhadap dirinya, beliau tidak pergi melepaskan
keduniawian. Untuk menguji dirinya apakah ia dapat tetap tidak
tergoyahkan dalam menghadapi perubahan dalam kehidupan
seperti memperoleh dan tidak memperoleh (kekayaan) dan
sebagainya, dengan mengenakan pakaian biasa ia meninggalkan
rumah. Keinginan khususnya yaitu untuk memenuhi bentuk
tertinggi dari Upekkhà Pà ramã dengan menahankan perlakuan
jahat dari orang lain. Dengan menjalani hidup mulia yang keras,
beliau dianggap oleh banyak orang sebagai seorang eksentrik
3472
yang mengalami keterbelakangan mental, seseorang yang tidak
pernah marah kepada orang lain. Dianggap sebagai orang yang
tidak perlu diperlakukan dengan hormat tetapi dengan cara yang
kurang ajar, beliau bepergian dari desa ke desa, kota, besar dan kecil,
melewatkan hanya satu malam di setiap tempat. Tetapi beliau akan
menetap lebih lama jika beliau menerima penghinaan hebat. saat
pakaiannya usang beliau berusaha menutupi tubuhnya dengan
potongan-potongan yang masih tersisa. Dan jika potongan-potongan
itu robek, beliau tidak menerima pakaian apa pun dari siapa pun
tetapi berusaha menutupi tubuhnya dengan apa pun yang tersedia
dan terus berjalan.
sesudah menjalani kehidupan demikian selama beberapa waktu,
beliau tiba di sebuah desa. Anak-anak di desa itu memiliki sifat yang
agresif. Beberapa anak para janda dan teman-teman dari kelompok
penguasa bersifat sembrono, angkuh, berpendirian tidak tetap,
banyak bicara, dan senang bergosip. Mereka berjalan-jalan, selalu
mempermainkan orang lain. saat mereka melihat orang tua dan
miskin sedang berjalan, mereka mengikutinya dan melemparkan
tanah ke punggungnya. Mereka mencoba untuk meletakkan daun
ketaki di ketiak orang-orang tua (hanya untuk membuat mereka
merasa tidak nyaman). saat si orang tua berbalik untuk melihat
mereka, mereka akan melakukan gerakan membungkuk, menekuk
kaki, berpura-pura bodoh, dan sebagainya, dan tertawa-tawa
gembira.
saat Bodhisatta melihat anak-anak yang susah diatur itu,
ia bepikir, “Sekarang aku menemukan alat yang baik untuk
mendukung pemenuhan Kesempurnaan Keseimbangan,” dan
menetap di desa itu. Melihat dirinya, anak-anak nakal itu mencoba
mempermainkannya; beliau berpura-pura solah-olah beliau tidak
tahan dan merasa takut terhadap mereka dan melarikan diri. Anak-
anak itu terus mengikutinya ke mana pun ia pergi.
Bodhisatta dalam pelarian itu tiba di sebuah tanah pekuburan dan
berpikir, “Ini yaitu tempat di mana tak seorang pun yang akan
mencegah anak-anak nakal ini melakukan perbuatan jahat. Sekarang
aku memiliki kesempatan untuk memenuhi Upekkhà Pà ramã
3473
1
hingga tingkat yang tinggi.” Beliau masuk ke tanah pekuburan dan
tidur di sana memakai tengkorak sebagai bantal. Mendapat
kesempatan untuk bersenang-senang dalam tindakan kenakalan,
anak-anak bodoh itu mendatangi Bodhisatta yang sedang tidur dan
menghinanya dalam berbagai cara, meludahinya, dan melakukan
berbagai kenakalan dan pergi. Demikianlah mereka melakukan
kejahatan terhadap Bodhisatta setiap hari.
Menyaksikan perbuatan jahat yang dilakukan anak-anak nakal ini,
beberapa orang bijaksana menghentikan mereka. Dengan anggapan
bahwa “dia sesungguhnya yaitu seorang petapa suci yang sakti”,
mereka semua bersujud kepadanya dengan penuh hormat.
Bodhisatta mempertahankan sikap yang sama kepada anak-
anak bodoh itu dan kepada orang-orang bijaksana. Ia tidak
memperlihatkan cinta kepada orang-orang bijaksana juga tidak
memperlihatkan kebencian kepada anak-anak nakal yang
menghinanya. Sebaliknya, ia berdiri di posisi netral antara cinta
dan benci di antara kedua kelompok itu. Demikianlah, ia memenuhi
Kesempurnaan Keseimbangan.
(Walaupun kisah ini disebut Mahà Lomahaÿsa Jataka, MahÃ
Lomahaÿsa bukanlah Bodhisatta. Nama itu hanya merujuk
kepada mereka yang datang untuk melihat bagaimana praktik
yang dijalankan oleh Bodhisatta; cerita yang mengerikan ini dapat
membuat bulu badan mereka berdiri; itulah sebabnya kisah ini
disebut Mahà Lomahaÿsa).
Pemenuhan UpekkhÃ
Padamnya kebencian dan cinta kasih yaitu pemenuhan upekkhà .
(Upekkhà Pà ramã berarti diamnya kedua kondisi batin ini. Tidak
ada Kesempurnaan Keseimbangan jika kedua kondisi ini tidak
ditenangkan.)
Dalam hal-hal tertentu, tetap dalam kondisi lalai tidak tertarik
terhadap apa pun mengarah pada perusakan upekkhà . Sikap
demikian tidak dapat disebut upekkhà . Itu hanyalah tidak
3474
menyadari yang merupakan pikiran salah.
Upekkhà sejati bukanlah ketidakacuhan atau tidak menyadari.
Upekkhà sejati melihat baik dan buruk yang mengarah kepada
kebahagiaan dan penderitaan. Tetapi ia yang melaksanakan upekkhÃ
merenungkan dengan jelas, “Aku tidak ada hubungannya dengan
kebahagiaan dan penderitaan ini; itu yaitu akibat dari perbuatan
baik dan jahat mereka sendiri.”
Dalam Komentar Netti disebutkan, “Kelalaian ekstrem terlihat
sebagai ketidakacuhan dengan anggapan bahwa berbagai objek
indria yang baik maupun buruk yaitu tipuan. (Kebodohan, moha,
dalam samaran sebagai upekkhà yaitu tipuan). Keengganan
untuk melakukan perbuatan baik juga cenderung menipu
dengan menampilkan wujud cara mulia melaksanakan upekkhà .
(Kelambanan, kosajjhà , dalam melakukan perbuatan baik juga
dapat berpura-pura menjadi upekkhà .) Oleh sebab itu, kita harus
berhati-hati agar tidak tertipu oleh kebodohan atau kelambanan
yang cenderung berperilaku seperti upekkhà .
Inti UpekkhÃ
Upekkhà dalam pengertian mutlak yaitu sebuah entitas terpisah.
Ini yaitu faktor batin (cetasika) yang disebut tatramajjhattatÃ
(posisi tengah). Tetapi semua faktor batin tatramajjhattatà secara
keseluruhan tidak dapat disebut Upekkhà Pà ramã. TatramajjhattatÃ
yaitu faktor batin yang berhubungan dengan semua sobhana citta
(kesadaran ‘indah’); ia menyertai setiap munculnya sobhana citta.
Tatramajjhattatà yang dapat dianggap sebagai Upekkhà Pà ramã sejati
memerhatikan makhluk-makhluk dan merenungkan, “Kebahagiaan
dan penderitaan makhluk-makhluk dikondisikan oleh kamma
mereka yang tidak dapat diubah oleh siapa pun. Mereka memiliki
kamma sebagai harta dan pemicu .” Tatramajjhattatà yang muncul
dari perenungan bukan terhadap makhluk-makhluk melainkan
terhadap Tiga Permata, memberi persembahan dan pelaksanaan
sãla bukan merupakan Upekkhà Pà ramã.
Jika keseimbangan dipertahankan dalam merenungkan kebahagiaan
3475
1
dan penderitaan makhluk-makhluk, tatramajjhattatà tidak muncul
sendirian, tetapi semua kesadaran dan faktor batin yang berhubungan
muncul bersamaan dengannya. Walaupun objek tatramajjhattatà dan
objek-objek dari penyertanya yaitu hanya satu dan sama untuk
semuanya, keseimbangan sehubungan dengan kebahagiaan dan
penderitaan makhluk-makhluk yaitu fungsi utamanya. Oleh
sebab itu tatramajjhattatà ini disebut Upekkhà Pà ramã. Kesadaran
dan faktor-faktor batin yang menyertainya juga termasuk dalam
Upekkhà Paramã; tatramajjhattatà memainkan peranan utama dan
ini yaitu satu-satunya perbedaan antara tatramajjhattatà dan yang
menyertainya.
Sepuluh Jenis UpekkhÃ
Ada jenis lain dari upekkhà yang tidak termasuk dalam UpekkhÃ
Pà ramã walaupun masing-masing merupakan realitas mutlak.
Visuddhimagga dan Aññhasà linã menyebutkan sepuluh upekkhÃ
ini:
(1) chaëaïg’upekkhà ,
(2) brahmà vihà r’upekkhà ,
(3) bojjhaïg’upekkhà ,
(4) viriy’upekkhà ,
(5) saïkhà r’upekkhà ,
(6) vedan’upekkhà ,
(7) vipassan’upekkhà ,
(8) tatramajjhatt’upekkhà ,
(9) jhà n’upekkhà ,
(10) pà risuddh’upekkhà .
1. Terdapat enam objek indria baik dan buruk yang muncul di enam
pintu indria. Para Arahanta tidak bergembira saat objek-objek
indria ini menyenangkan dan tidak kecewa jika objek-objek ini
tidak menyenangkan. Selalu menjaga perhatian dan pemahaman,
mereka menerimanya dengan keseimbangan, mempertahankan
kemurnian alami batin mereka. Jenis ketenangseimbangan ini
disebut chaëang’upekkhà . (Yaitu, upekkhà dengan enam faktor,
yakni, enam pintu dan enam objek.)
3476
2. Keseimbangan dengan pandangan bahwa kebahagiaan dan
penderitaan makhluk-makhluk terjadi menurut kamma mereka
yaitu brahmà vihà r’upekkhà . (Keseimbangan dengan hidup luhur.
Upekkhà Pà ramã yaitu upekkhà jenis ini.)
3. Jika usaha dilakukan untuk mencapai Jalan dan Buah, jika
beberapa faktor lemah dan faktor lainnya kuat, yang lemah harus
diperkuat dan yang kuat harus diperlemah; tetapi saat faktor-
fakor Jalan ini mencapai status Bojjhaïga, faktor-faktor Pencerahan
Sempurna, faktor-faktor yang menyertainya memiliki kekuatan yang
sama. Upekkhà yang dilaksanakan secara sama terhadap faktor-
faktor ini disebut bojjhaïg’upekkhà .
4. Dalam usaha untuk mencapai Jalan dan Buah, usaha yang
dikerahkan dalam jumlah secukupnya, tidak terlalu berlebih dan
tidak kekurangan, yaitu viriy’upekkhà .
5. Dalam usaha untuk mencapai konsentrasi, Jalan dan Buah,
tetap tidak terikat dengan saïkhà radhamma, hal-hal berkondisi,
seperti nãvaraõa, rintangan, dan lain-lain, yang harus dilenyapkan
dengan Jhà na pertama, dan seterusnya, disebut saïkhà r’upekkhà .
(Saïkhà r’upekkhà ini muncul saat kebijaksanaan matang.
Sebelum matang, seseorang harus berusaha untuk melenyapkan
saïkhà radhamma. Tetapi begitu kematangan dicapai, tidak lagi
diperlukan usaha khusus untuk melenyapkannya. Hanya sikap tidak
membeda-bedakan yang diperlukan untuk tujuan itu.)
6. Perasaan yang mengalami secara netral tanpa merasa gembira
atau kecewa saat menerima suatu objek indria disebut
vedan’upekkhà .
7. Mempertahankan ketenangseimbangan dalam mengembangkan
Pandangan Cerah terhadap sifat ketidakkekalan dan karakteristik
la innya dar i kelompok-kelompok kehidupan disebut
vipassan’upekkhà . (Makna singkat dari Vipassanà akan dijelaskan di
sini. Vi artinya ‘istimewa’ dan passanà ‘melihat’; sebab itu VipassanÃ
yaitu ‘Pandangan Cerah’. Melihat bahwa ada benda-benda nyata
3477
1
seperti laki-laki, perempuan, dan sebagainya yaitu pengetahuan
biasa yang umum bagi kita semua. Itu yaitu pemahaman yang
berdasarkan atas persepsi tetapi bukan pemahaman khusus
berdasarkan kebijaksanaan mendalam. Pandangan Cerah VipassanÃ
yaitu , “Dalam kenyataannya tidak ada yang disebut ‘aku’ atau ‘dia’.
Apa yang disebut ‘aku’ atau ‘dia’ hanyalah sekelompok jasmani dan
batin yang akan mengalami kehancuran dan lenyap. Kelompok-
kelompok ini terus-menerus rusak tanpa terputus. Tidak terlihat
tanda-tanda kerusakan sebab setiap objek yang rusak akan segera
digantikan tanpa terputus oleh objek berkondisi yang baru.)
8. Upekkhà yang dilaksanakan tanpa mengerahkan usaha untuk
mempertahankan netralitas terhadap Dhamma yang saling
berhubungan ini yang seimbang dalam fungsinya masing-masing
disebut tatramajjhattat’upekkhà .
9. Dalam mengembangkan Jhà na, tanpa memedulikan kebahagiaan
luhur yang muncul di Jhà na ketiga disebut jhà n’upekkhà . (Ini yaitu
upekkhà yang hanya dicapai di Jhà na terakhir.)
10. Dimurnikan dari semua faktor yang berlawanan dan
tidak memerlukan usaha untuk menenangkannya disebut
pà risuddh’upekkhà . (Ini yaitu keseimbangan di Jhà na keempat
yang bebas dari semua faktor yang berlawanan.)
Dari sepuluh ini, enam di antaranya, yaitu, chaëaïg’upekkhà ,
brahmà vihà r’upekkhà , bojjhaïg’upekkhà , tatramajjhatt’upekkhà ,
jhà n’ upekkhà , dan pà risuddh’upekkhà , yaitu sama dalam
pengertian mutlak. Semuanya yaitu tatramajjhattatà cetasika.
Mengapa diuraikan dalam enam jenis? sebab masing-masing
berbeda dalam hal waktu kemunculannya. Sebuah perumpamaan
disajikan dalam kutipan Komentar di atas untuk menjelaskan hal ini.
Seseorang pada masa kanak-kanak disebut kumà ra, ‘anak’; saat
ia menjadi seorang remaja, ia dipanggil yuva, ‘pemuda’; lalu
saat ia bertambah dewasa, ia disebut vuóóha, ‘dewasa’, senà pati,
‘jenderal’, rà ja, ‘raja’, dan seterusnya. Demikianlah seseorang
dipanggil menurut tingkat kehidupannya.
3478
Untuk lebih jelasnya, perbedaan ini sebab adanya perbedaan dalam
fungsinya, yaitu:
(1) Seperti telah disebutkan sebelumnya, untuk merenungkan
seluruh enam objek baik dan buruk dengan seimbang yaitu
fungsi dari chaëaïg’upekkhà .
(2) Untuk merenungkan kebahagiaan dan pender itaan
makhluk-makhluk dengan seimbang yaitu fungsi dari
brahmà vihà r’upekkhà .
(3) Untuk berusaha mencapai Jhà na, Jalan dan Buah, untuk
merenungkan dengan seimbang rintangan-rintangan yang
harus dilenyapkan yaitu fungsi dari Jalan dan Buah, untuk
merenungkan dengan seimbang rintangan-rintangan yang
harus dilenyapkan yaitu fungsi dari bojjhaïg’upekkhà .
(4) Untuk mengembangkan usaha agar tidak berlebihan dan
tidak kekurangan dari yang dibutuhkan yaitu fungsi dari
viriy’upekkhà .
(5) Untuk merenungkan dengan seimbang semua faktor-faktor yang
saling berhubungan tanpa memperkuat atau memperlemah
yaitu fungsi dari saïkhà r’upekkhà .
(6) Untuk merenungkan perasaan dengan seimbang yaitu fungsi
dari vedan’upekkhà .
(7) Untuk merenungkan dengan seimbang tiga karakteristik (anicca,
dukkha, dan anatta) yaitu fungsi dari vipassan’upekkhà .
(8) Untuk merenungkan dengan seimbang faktor-faktor
yang menyertai yang telah seimbang yaitu fungsi dari
tatramajjhattatà .
(9) Untuk merenungkan dengan seimbang kebahagiaan luhur
Jhà na yaitu fungsi dari jhà n’upekkhà .
(10) Untuk merenungkan dengan seimbang yang dimurnikan
dari semua faktor yang berlawanan yaitu fungsi dari
pà risuddh’upekkhà .
Demikianlah, bukan hanya perbedaan fungsi tetapi juga perbedaan
objek-objek indria juga harus dimengerti. Viriy’upekkhà yaitu
viriya cetasika dan vedan’upekkhà yaitu vedanà cetasika; kedua
upekkhà ini terpisah dari cetasika lainnya dalam hal Dhamma.
3479
1
Saïkà r’upekkhà dan viriy’upekkhà keduanya yaitu pa¤¤Ã
cetasika. Tetapi keduanya memiliki dua fungsi yang berbeda sebagai
berikut:
Merenungkan tanpa mengerahkan usaha khusus terhadap tiga
karakteristik objek berkondisi (saïkhà ra) yaitu vipassan’upekkhà ;
keseimbangan saat merenungkan objek-objek berkondisi (saïkhà ra)
tanpa takut yaitu saïkhà ra’upekkhà .
Upekkhà Sebagai Kesempurnaan dan Sepuluh UpekkhÃ
Daftar sepuluh upekkhà ini yang disebutkan oleh para komentator
tidak secara langsung memasukkan Pà ramã Upekkhà , upekkhÃ
sebagai Kesempurnaan. Seseorang mungkin akan menjadi gelisah
mengetahui: Apakah pengeluaran ini yaitu sebab fakta bahwa
upekkhà sebagai Kesempurnaan tidak berhubungan dengan
salah satu di antara sepuluh ini atau apakah ini kekeliruan para
komentator? Tidak dapat dikatakan bahwa para komentator
begitu lalai sehingga mengeluarkannya dari daftar mereka. Ini
yaitu sebab anggapan bahwa Pà ramã Upekkhà terdapat dalam
brahmà vihà r’upekkhà .
Akan tetapi , beberapa pendapat menyatakan bahwa
brahmà vihà r’upekkhà dan Pà ramã Upekkhà yaitu dua hal yang
berbeda. Menurut mereka, bersikap sama kepada musuh dan teman
yaitu Pà ramã Upekkhà ; bersikap sama terhadap kebahagiaan
dan penderitaan makhluk-makhluk dengan pikiran bahwa kedua
kondisi ini yaitu akibat dari perbuatan mereka sendiri yaitu
brahmà vihà r’upekkhà .
Ini berarti bahwa, Upekkhà Pà ramã, yaitu merenungkan kebahagiaan
dan penderitaan makhluk-makhluk bukanlah PÃ rami UpekkhÃ
melainkan yaitu brahmà vihà r’upekkhà .
Akan tetapi, sifat dari Upekkhà Pà ramã yang dijelaskan dalam
Buddhavaÿsa yaitu :
Tath’eva tvam pi sukhadukkhe
3480
tulà bhåto sadà bhava
upekkhà pà ramitaÿ gantvÃ
sambodhiÿ pà puõissati.
Dalam syair ini, sukhadukkhe tulà bhÃ¥to artinya ‘dalam kebahagiaan
dan penderitaan, jadilah timbangan yang seimbang’.
Demikianlah perenungan kebahagiaan dan penderitaan diajarkan
sebagai landasan dari Upekkhà Pà ramã juga dalam Mahà Lomahaÿsa
Cariya dari Cariyà Piñaka. Dikatakan:
Ye me dukkhaÿ upadahanti
ye ca denti sukhaÿ mama
sabbesaÿ samako homi.
Juga berdasarkan dua tahap kehidupan, diajarkan, ’beberapa
orang melakukan kejahatan sedangkan orang lain memberi
kesejahteraan. Sikapku terhadap hal-hal ini yaitu sama’.
Sukhadukkhe tulà bhÃ¥to yasesu ayasesu ca, ’apakah dalam
kebahagiaan dan penderitaan, atau dalam kemasyhuran dan
ketercemaran, aku bagaikan timbangan yang seimbang’.
Dalam Aññhasà linã dan Komentar Pà tha Jà taka yang disebutkan di
atas, penjelasan diberikan juga berdasarkan atas dua kondisi batin
itu: kebahagiaan dan penderitaan. Walaupun anak-anak desa itu
menyakiti (meludahi, dan sebagainya) yang biasanya menyebabkan
penderitaan dan para warga lain menghormatinya dengan
bunga, dupa, dan sebagainya yang biasanya menyebabkan
kebahagiaan, Bodhisatta memandang keduanya dengan sikap
batin yang sama. Upekkhà Bodhisatta yang tidak menyimpang dari
posisi seimbang yaitu Kesempurnaan Keseimbangan Tertinggi,
Paramattha Upekkhà Pà ramã.
Selain itu, Visuddhimagga dan Aññhasà lini menjelaskan karakteristik,
dan sebagainya dari brahmà vihà r’upekkhà , dikatakan: sattesu
majjhattà kà ralakkhaõà upekkhà , ’Upekkhà memiliki karakteristik
memandang hal-hal dengan seimbang’, satta, ‘makhluk-makhluk’,
di sini digunakan sebagai istilah umum; maksudnya, mereka
3481
1
yang menyakiti dan mereka yang menunjukkan kebaikan kepada
seseorang, atau mereka yang berbahagia dan mereka yang
menderita. Oleh sebab itu bersikap netral terhadap musuh dan
teman jelas yaitu brahmà vihà r’upekkhà . Oleh sebab itu, hal
ini jelas menunjukkan bahwa Pà ramã Upekkhà termasuk dalam
brahmà vihà r’upekkhà .
3482
3483
2
55
2
Seruan Mengumumkan Kemunculan Buddha
Lima Kolà hala
Kolà hala artinya seruan verbal yang dimulai oleh beberapa orang
yang mengatakan, “Ini akan terjadi.” Sebelum peristiwa sebenarnya
terjadi, muncul di antara orang-orang yang berkumpul dan berbicara
mengenai hal-hal yang akan terjadi dalam bahasa yang sama dan
suara yang bulat.
Kolà hala tepatnya yaitu seruan-seruan yang dilakukan dengan
penuh kegembiraan oleh banyak orang sebagai suatu pertanda
sebelum hal sebenarnya terjadi. Bukan berarti, seperti kegemparan
yang terjadi di kota-kota atau di desa-desa yang meramalkan sesuatu
yang tidak benar misalnya suatu kejadian yang mustahil seperti
“Pangeran Setkya akan kembali!”
Di Burma, Pangeran Setkya yaitu putra satu-satunya dan pewaris
tahta dari Raja Bagyidaw (1819-1837). Ia di bunuh oleh saudara
Bagyidaw, Raja Tharrawady, yang lalu merebut tahta di tahun
1837, pembunuhan ini terjadi di bulan April 1838.
Ada lima jenis Kolà hala di dunia ini:
(1) kappa-kolà hala
3484
(2) cakkavati-kolà hala
(3) buddha-kolà hala
(4) maïgala-kolà hala
(5) moneyya-kolà hala
(1) Kappa-kolà hala
Kolà hala yang mengingatkan umat manusia akan hancurnya
dunia disebut kappa-kolà hala. saat saat hancurnya dunia sudah
mendekat, dewa bernama Lokavyåha dari alam kenikmatan indria
(kamà vacara-dewa), dengan mengenakan pakaian merah, dan
rambut tergerai, mengusap air matanya, menyusuri jalan-jalan
yang digunakan oleh manusia dan berteriak dengan keras hingga
terdengar oleh umat manusia di segala penjuru, seratus tahun
sebelum peristiwa sebenarnya terjadi.
“Teman-teman, seratus tahun sejak hari ini, dunia akan hancur!
Samudra raya akan mengering! Bumi, Gunung Meru, semuanya
akan terbakar dan hancur (jika dunia akan hancur oleh api), akan
terjadi banjir besar dan hancur (jika dunia hancur oleh air), akan
tertiup oleh badai angin dan hancur (jika dunia hancur oleh angin),
dunia akan hancur dimulai dari bumi dengan Gunung Meru dan
samudra hingga alam brahmà ! Teman-teman, kembangkan cinta
kasih (mettà ), kembangkan welas asih (karuõà ), kembangkan
rasa bahagia atas kebahagiaan orang lain (mudità ), kembangkan
ketenangseimbangan (upekkhà ) yang merupakan sifat brahmà !
Layani orangtuamu dengan penuh hormat! Berbuatlah kebajikan!
Jangan gegabah!”
Seruan ini yang dilakukan sambil menangis keras disebut kappa-
kolà hala.
(2) Cakkavatti-kolà hala
Kolà hala yang muncul di alam manusia yang menyerukan bahwa
“Seorang raja dunia akan muncul” yang memerintah seluruh alam
manusia di empat benua besar termasuk pulau-pulau kecil di
sekelilingnya yang berjumlah dua ribu, disebut cakkavatti-kolà hala.
3485
2
Dewa penjaga dunia (lokapà la), dari Alam Dewa Kà mà vacara, yang
telah mengetahui terlebih dahulu akan munculnya seorang raja
dunia, menyerukan di jalan-jalan dan tempat-tempat umum dan
meneriakkan kepada umat manusia di segala penjuru mengenai
peristiwa yang akan terjadi seratus tahun mendatang.
“Teman-teman, seratus tahun sejak hari ini, seorang raja dunia akan
muncul di dunia ini!”
Seruan ini yang dilakukan sambil berteriak keras disebut cakkavatti-
kolà hala.
(3) Buddha-kolà hala
Kolà hala yang memberitahukan kepada umat manusia di dunia
bahwa, “Seorang Buddha akan muncul,” disebut Buddha-
kolà hala. Para brahmà dari Alam Suddhà và sa, mengetahui terlebih
dahulu mengenai peristiwa munculnya Buddha Yang Mahatahu,
mengenakan pakaian brahmà , perhiasan, dan mahkota, dengan
gembira menyusuri jalan-jalan dan tempat-tempat umum dan
menyerukan kepada umat manusia di segala penjuru.
“Teman-teman, seribu tahun dari hari ini, seorang Buddha Yang
Mahatahu akan muncul di dunia ini!”
Seruan ini yang dilakukan sambil berteriak keras disebut Buddha-
kolà hala.
(Pernyataan bahwa Buddha-kolà hala terjadi seribu tahun sebelum
munculnya seorang Buddha, harus mempertimbangkan umur
kehidupan Buddha ini . Bodhisatta Dãpankara, Konda¤¤a,
Maïgala, dan lain-lain yang berumur panjang, menikmati
kehidupan istana selama sepuluh ribu tahun atau lebih, melepaskan
keduniawian, mempraktikkan dukkaracariya dan menjadi Buddha.
Buddha-kolà hala terjadi di alam surga, dan sebab kolà hala ini ,
para dewa dan brahmà di seluruh sepuluh ribu alam semesta
mendatangi Bodhisatta dewa dan mengajukan permohonan. sesudah
permohonan disetujui barulah Brahmà Suddhà vasa turun ke alam
3486
manusia, menyusuri tempat-tempat umum dan menyerukan
ramalan ini. Oleh sebab itu, bisa lebih dari seribu tahun, atau lebih
dari lima ribu tahun, mungkin sembilan atau sepuluh ribu tahun
sesudah Buddha-kolà hala ini baru seorang Buddha yang berumur
panjang muncul. Jadi, harus dipahami, bahwa pernyataan “Buddha-
kolà hala terjadi seribu tahun sebelum kemunculan Buddha” tidak
berlaku untuk semua Buddha. Namun hanya berlaku untuk Buddha-
Buddha yang berumur pendek seperti Buddha Gotama.
(4) Maïgala-kolà hala
sebab keraguan akan arti dari Maïgala (berkah), umat manusia
berkumpul dan mengartikan dengan caranya masing-masing,
dan mengatakan “Ini disebut Maïgala!,” “Ini disebut Maïgala!,”
sehingga menimbulkan keributan, “Mereka bilang ini Maïgala.”
Suara-suara perdebatan ini disebut Maïgala-kolà hala. BrahmÃ
Suddhà và sa yang telah mengetahui sebelumnya bahwa Buddha
akan memberi khotbah yang menjelaskan tentang Maïgala,
mengetahui pikiran umat manusia yang mencari kebenaran mengenai
berkah, menyusuri tempat-tempat umum dan menyerukan kepada
umat manusia di segala penjuru dua belas tahun sebelum Buddha
memberi khotbah-Nya.
“Teman-teman, dua belas tahun sejak hari ini, Buddha akan
memberi khotbah Maïgala!”
Seruan ini yang dilakukan sambil berteriak keras disebut Maïgala-
kolà hala.
(5) Moneyya-kolà hala
Kolà hala sehubungan dengan praktik pertapaan moneyya (latihan
mulia) disebut moneyya-kolà hala (Penjelasan mengenai praktik
moneyya terdapat dalam kisah Thera Nà laka.) Brahmà Suddhà và sa
yang telah mengetahui sebelumnya bahwa seorang bhikkhu di
alam manusia akan mendatangi Buddha untuk menanyakan
mengenai pertapaan moneyya, menyusuri tempat-tempat umum
dan menyerukan kepada umat manusia di segala penjuru tujuh
3487
2
tahun sebelum Buddha mengajarkan.
“Teman-teman, tujuh tahun sejak hari ini, seorang bhikkhu
akan mendatangi Buddha dan menanyakan mengenai Dhamma
moneyya!”
Seruan ini yang dilakukan sambil berteriak keras disebut moneyya-
kolà hala.
Demikianlah lima kolà hala. Penjelasan lengkap dari lima ini terdapat
dalam Aññhakathà dari Buddhavaÿsa, Jà taka, Kosala, Saÿyutta,
Kuddaka-Pà ñha, dan Jinà laïåkà ra.
Permohonan Kepada Bodhisatta Dewa
Lima Pertanda (Pubba-nimitta) yang Meramalkan Kematian
Para Dewa
Lima pubba-nimitta yaitu :
(1) bunga-bunga surgawi menjadi layu,
(2) pakaian dan perhiasan surgawi menjadi kotor,
(3) keringat bercucuran dari ketiak,
(4) kecantikan fisik memudar,
(5) merasa tidak nyaman berada di rumah di surga.
(1) Bunga-bunga surgawi menjadi layu: bunga-bunga yang
bermekaran yang muncul sebagai penghias sejak hari dewa
ini dilahirkan di alam dewa, mulai mengering. Bunga-
bunga yang muncul dari tubuhnya bersamaan dengan
terlahirnya dewa tidak pernah layu sepanjang kehidupan
mereka. Bunga-bunga ini mulai layu sejak tujuh hari sebelum
akhir hidup mereka (tujuh hari menurut perhitungan kalendar
manusia). (Bunga-bunga milik Bodhisatta Dewa Setaketu tidak
pernah mengering selama dewa ini hidup di alam Surga
Tusita, yaitu, selama lima puluh tujuh crore enam juta tahun
menurut perhitungan kalendar surgawi. Bunga-bunga ini mulai
mengering sejak tujuh hari manusia sebelum ia meninggal
dunia.)
3488
(2) Pakaian dan perhiasan surgawi menjadi kotor: sama seperti
kasus sebelumnya, pakaian dan perhiasan surgawi tidak pernah
kotor; namun tujuh hari menjelang kematian dewa, pakaian dan
perhiasan ini menjadi kotor.
(3) Keringat bercucuran dari ketiak: alam surga tidak seperti alam
manusia, tidak ada perubahan cuaca seperti panas dan dingin.
Tetapi tujuh hari menjelang kematian dewa, butir-butir keringat
mengucur dari seluruh tubuhnya (terutama dari ketiak).
(4) Kecantikan fisik memudar: tanda-tanda usia tua, seperti gigi
yang mulai tanggal, rambut memutih, kulit mulai keriput dan
tanda-tanda ketuaan lainnya yang memperlihatkan rusaknya
tubuh tidak pernah terjadi; dewi-dewi selalu terlihat seperti
berumur enam belas tahun dan dewa-dewa selalu terlihat
seperti berumur dua puluh tahun, mereka selalu terlihat
muda dan segar, cerah, memiliki warna-warni yang indah;
namun keindahan tubuh ini mulai melemah dan memudar saat
menjelang meninggal dunia.
(5) Merasa tidak nyaman berada di rumah di surga: mereka tidak
pernah mengalami ketidakbahagiaan di dalam istana surga
sepanjang kehidupan mereka; mereka mulai merasa tidak
nyaman dan kehilangan kebahagiaan berada di dalam tempat
tinggal mereka saat mereka akan meninggal dunia.
Lima Pubba-nimitta Tidak Terjadi Pada Semua Dewa
Meskipun lima pubba-nimitta muncul pada dewa yang sedang
sekarat seperti yang dijelaskan sebelumnya, harus dimengerti bahwa
hal ini tidak terjadi pada semua makhluk dewa. Seperti halnya di
alam manusia, pertanda-pertanda seperti jatuhnya meteor, gempa
bumi, gerhana bulan dan matahari, dan sejenisnya berhubungan
dengan raja atau menteri yang mahakuasa, dan lain-lain, demikian
pula di alam dewa, pubba-nimitta ini hanya terjadi pada dewa atau
dewi yang maha agung, namun tidak terjadi pada dewa yang tidak
memiliki kekuasaan dan keagungan yang besar.
3489
2
Seperti halnya, pertanda baik atau buruk yang muncul di alam
manusia hanya dipahami oleh orang-orang terpelajar, demikian pula
pertanda-pertanda, baik atau buruk, yang meramalkan peristiwa
yang terjadi di alam dewa, hanya dipahami oleh para dewa yang
bijaksana.
saat pertanda ini muncul pada dewa yang tidak pernah
melakukan kebajikan, mereka menjadi ketakutan, “Siapa yang
tahu di mana aku akan dilahirkan?” Sedangkan mereka yang
banyak melakukan kebajikan, tidak merasa khawatir sama sekali,
mengetahui bahwa, “Kita akan menikmati kebahagiaan yang
lebih tinggi di alam dewa yang lebih tinggi sebab jasa yang kita
peroleh dari dà na, sãla, dan meditasi yang kita lakukan.” (Penjelasan
Mahà padà na Sutta, Sutta Mahà Vagga Aññhakathà .)
Bodhisatta Memasuki Rahim, Kehamilan Pada Tahap Kedua
Kehidupan
Akan muncul pertanyaan sehubungan dengan mengapa Ratu
Maya mengandung Bodhisatta hanya pada periode ketiga pada
tahap kedua hidupnya. Jawabannya yaitu : nafsu indria dalam
diri manusia dalam tahap pertama kehidupan biasanya sangat
kuat. Sehingga, perempuan yang hamil pada tahap ini, cenderung
tidak mampu menjaga kehamilannya. Ketidakmampuan ini
menyebabkan berbagai bentuk kecelakaan dan kesukaran dalam
masa kehamilan.
Tahap pertengahan yaitu tahap kedua dari tiga tahap dibagi lagi
dalam tiga periode yang sama. saat seorang perempuan berada
dalam periode yang ketiga, rahimnya bersih dan murni. Bayi yang
dikandung dalam rahim yang bersih dan murni ini akan sehat, dan
bebas dari penyakit.
Ibu seorang Bodhisatta dalam kehidupan terakhirnya menikmati
kenikmatan dalam tahap pertama kehidupannya, dan biasanya ia
akan meninggal sesudah melahirkan Bodhisatta selama periode ketiga
dari tahap kedua hidupnya. (Juga merupakan sebuah fenomena yang
3490
lazim bahwa ia akan meninggal dunia tujuh hari sesudah melahirkan
Bodhisatta. Ia meninggal bukan sebab melahirkan. Sebenarnya,
(Bodhisatta) dewa turun ke alam manusia, sesudah melihat bahwa
calon ibunya hanya akan hidup selama sepuluh bulan tujuh hari lagi
sesudah ia memasuki rahimnya, seperti yang dijelaskan dalam kisah
Lima Penyelidikan yang dilakukan oleh Bodhisatta dewa. Jadi, jelas
bahwa kematiannya bukan disebabkan oleh kelahiran anak, namun
sebab waktunya telah habis.) (Dãgha Nikà ya Aññhakathà .)
Perjalanan Ratu Mahà -Mà yà dari Kapilavatthu Menuju
Devadaha
Kisah mengenai kunjungan Ratu Mahà mà yà dari Kapilavatthu
menuju Devadaha tertulis dalam Jinattha Pakà sanã sebagai
berikut:
“sesudah membersihkan dan meratakan jalan sepanjang lima yojanÃ
antara Devadaha dan Kapilavatthu hingga seperti tanah yang
keras….”
Dalam Tathà gata Udà na Dãpanã, tertulis sebagai berikut:
“sesudah memperbaiki jalan sepanjang tiga puluh yojanà dari
Kapilavatthu sampai Devadaha dengan menimbun lubang-lubang,
memperluas sehingga nyaman untuk dilalui....”
Dua Tulisan yang Berbeda
Dalam buku ini, kami mengikuti apa yang tertulis dalam AññhakathÃ
dari Buddhavaÿsa dan Jà taka di mana jarak kedua kerajaan ini,
Kapilavatthu dan Devadaha tidak disebutkan, Komentar ini hanya
menjelaskan mengenai perbaikan jalan saja.
Kendaraan yang digunakan oleh Ratu Mahà mà yà dalam buku ini
disebutkan yaitu tandu emas, sesuai dengan yang tertulis dalam
Komentar yang sama. (Tidak perlu heran mengenai bagaimana
tandu ini dapat diangkat oleh seribu orang laki-laki, sama halnya
dengan yang tertulis dalam kalimat, “Bodhisatta disusui oleh dua
3491
2
ratus empat puluh pengasuh,” ini tentu saja dilakukan secara
bergiliran, atau mungkin juga, tandu ini ditarik oleh mereka secara
bersamaan dengan memakai tali kain yang panjang.)
Dalam Tathà gata Udà na Dãpanã, dijelaskan sebagai berikut:
“Jalan itu yang sepanjang tiga puluh yojanà , diperbaiki, dihias
dengan indah dan megah, ratu mengendarai kereta istana yang
ditarik oleh delapan kuda berwarna putih teratai dari jenis Valà haka
Sindhã; Raja Suddhodana turut menyertainya, menemaninya hingga
sejauh setengah yojanà ; dari sana ia turun dan kembali sesudah
menerima penghormatan dari ratu dan mengucapkan kata-kata
dukungan. Kuda-kuda putih itu dengan gembira menarik kereta,
berpikir, “Pelayanan kita dengan menarik Ratu Mahà mà yà dengan
Bodhisatta yang sedang dikandungnya akan membuahkan jasa yang
dapat membawa menuju Nibbà na.”
Aññhakathà dari Buddhavaÿsa dan Jà taka serta Jinà laïåkà ra TãkÃ
tidak menyebutkan hal ini. Yang disebutkan hanya bahwa perjalanan
itu dilakukan dengan mengendarai tandu emas.
Hutan Sala Lumbinã
Sehubungan dengan Hutan Sala Lumbinã, dua versi—satu dari
Buddhavaÿsa Aññhakathà dan yang lain dari Jà taka Aññhakathà ―
dituliskan di sini. Kalimat “…berloncatan ke sana kemari menikmati
sari makanan untuk mereka dan membawakannya untuk yang lain”
yaitu sesuai dengan tulisan Ngakhon Sayadaw. Terlihat dalam
komentar dari buku Sayadaw ini berisi “anubhuttasa¤jà rà hi”.
Dalam Komentar-Komentar, bahkan yang bersumber dari edisi
Chaññha Saïgà yanà , terdapat “anubhuttasa¤jà rà hi”. Kamus
mengartikan panjara yang terdapat dalam Komentar sebagai
‘sangkar’, namun ‘sangkar’ tidaklah tepat.
Juga, parabhata-madhukara-vadhÃ¥di diterjemahkan “dengan
lebah-lebah betina yang membawakan (makanan) untuk lebah-
lebah lain juga.” Walaupun parabhata memiliki kicauan seperti
dalam arti dalam abhidhà na, arti ini tidak sesuai di sini, tidak
3492
pada tempatnya. Oleh sebab itu, Ngakhon Sayadaw menyebutkan
“membawakan untuk yang lain” dalam terjemahannya.
Mempertimbangkan terjemahan secara rasional, kita dapat melihat
pembagian tugas antara lebah-lebah ini: (1) ada lebah-lebah (betina)
yang membawa berbagai jenis makanan yang tersedia dari empat
penjuru, (2) lebah-lebah betina yang menunggu di sarangnya dan
mengolah berbagai rasa makanan tadi menjadi madu yang manis.
Di sini dalam Buddhavaÿsa Aññhakathà , yang dimaksudkan yaitu
lebah betina (pekerja). Oleh sebab itu “parabhata-madhukara-
vadhÃ¥di” harus diterjemahkan “lebah-lebah betina mengolah
makanan menjadi madu dari berbagai jenis dan rasa makanan yang
dibawa oleh lebah-lebah lain (lebah pembawa makanan)”. Sehingga
dapat diterima jika kalimat ini yaitu sebagai berikut: ”Lebah-
lebah betina mengolah makanan menjadi madu dari berbagai jenis
dan rasa makanan yang dibawa oleh lebah-lebah pembawa makanan
yang beterbangan ke sana-kemari di antara pohon-pohon besar dan
kecil untuk mengambil makanan.”
Kelahiran Bodhisatta
Sehubungan dengan kelahiran Bodhisatta, Tathà gata Udà na
Dãpanã dan beberapa tulisan dalam bahasa Myanmar mengenai
Buddhavaÿsa menyebutkan, “saat mendekati waktunya bagi
Ratu Mahà mà yà untuk melahirkan, adiknya, Pajà pati Gotamã,
memberi bantuan dengan menyanggahnya dari sebelah kiri; ia
melahirkan dengan dibantu oleh para pelayannya di sekelilingnya.”
Dalam Buddhavaÿsa Aññhakathà , Jà taka Aññhakathà dan Jinà laïåkà ra
Tãkà , disebutkan bahwa saat waktu kelahiran hampir tiba sesudah
ia merasakan desakan dari rahimnya yang mendorong kelahiran,
mereka yang melakukan perjalanan bersamanya membuat tirai dan
lalu pergi menjauhinya; saat sedang sendirian itulah, ratu
melahirkan Bodhisatta. Karya ini sesuai dengan apa yang dituliskan
dalam komentar-komentar ini .
Pernyataan mengenai dua aliran air, hangat dan dingin, yang
memungkinkan (ibu dan anak) menyesuaikan suhu tubuh
3493
2
mereka segera sesudah kelahiran yaitu berdasarkan penjelasan
dari Mahà padà na Sutta, Buddhavaÿsa Aññhakatha, dan Jà taka
Aññhakatha.
Apa yang secara khusus tertulis dalam Sutta Mahà Vagga Aññhakathà ,
dari dua aliran air ini, yang dingin mengalir masuk ke dalam kendi
emas dan yang hangat mengalir masuk ke dalam kendi perak.
Dua aliran air ini yang turun dari langit itu dimaksudkan untuk
digunakan oleh anak dan ibu, yang tidak dinodai oleh kotoran
tanah, untuk diminum atau sekadar bermain-main, tidak untuk
orang-orang lain. Selain air hangat dan dingin yang turun dari langit
dan masuk ke dalam kendi emas dan perak, air dari Danau Haÿsa,
dan lain-lain tersedia dalam jumlah yang tidak terbatas. Inilah hal
khusus yang perlu menjadi perhatian.
Riwayat KÃ ladevila, Sang Petapa
(Nama petapa ini yaitu Devala dalam versi Sinhala, dalam bahasa
Myanmar disebut Devila.) Kisah Devila dikutip dari Sutta Nipà ta
Aññhakathà , Vol. II.
Devila sang petapa yaitu penasihat dari Raja Sãhahanu, Raja
Kapilavatthu dan ayah dari Raja Suddhodana. sebab kulitnya
yang hitam, sang brahmana petapa dipanggil dengan nama Asita.
Dia yaitu guru istana dan penasihat yang melayani Raja Sãhahanu
dengan memberi nasihat-nasihat sehingga raja dapat mengatasi
semua situasi, baik itu urusan politik, administrasi, maupun hal-hal
lain yang dihadapi.
Selama pemerintahan Raja Sãhahanu, ia yaitu guru dan pengawal
bagi Pangeran Suddhodana yang masih sebagai pangeran dan
belum naik tahta. Devila mengajarkan berbagai tata karma istana
dan peraturan-peratuan kerajaan dan mendidiknya dalam hal
ketatanegaraan serta melatih banyak keahlian.
saat Pangeran Suddhodana mewarisi tahta, dan dilantik
menjadi raja sesudah Raja Sãhahanu, ia tetap menjadi penasihat Raja
Suddhodana.
3494
sesudah naik tahta, Raja Suddhodana tidak menunujukkan
penghormatan yang tinggi kepada gurunya seperti sewaktu ia
masih menjadi seorang pangeran muda; dalam suatu persidangan,
ia hanya mengangkat kedua tangannya untuk memberi hormat
sesuai tradisi seorang raja Sakya.
sebab tidak mendapatkan penghormatan dari raja seperti
sebelumnya, sebab keangkuhannya, sebagai seorang yang berasal
dari kasta brahmana dan seorang guru, ia menjadi tidak bahagia,
tidak puas, dan merasa bosan akan kewajibannya untuk datang ke
istana, ia memohon restu dari sang raja untuk menjadi petapa.
Megetahui keinginan yang kuat dari guru, Suddhodana memohon,
“Engkau boleh menjadi petapa. Tetapi sesudah menjadi petapa,
mohon agar tidak pergi jauh. Sudilah engkau menetap di tamanku
agar aku dapat dengan mudah menemuimu.” sesudah menyanggupi
permohonan raja dengan mengatakan, “Baiklah,” dan menjadi
petapa serta menerima perlakuan yang menyenangkan dari raja
ia menetap di taman kerajaan, terus-menerus bermeditasi dengan
objek kasiõa hingga ia mencapai lima kekuatan batin. sesudah
memperoleh kekuatan batin ini, ia biasanya makan setiap hari di
istana Raja Suddhodana, lalu berkunjung ke Pegunungan
Himà laya, Alam Catumahà rà jika, Alam Tà vatiÿsa, dan tempat-
tempat lain untuk melewatkan hari-harinya.
Silsilah Bodhisatta Secara Singkat
Sehubungan dengan penyelidikan Bodhisatta mengenai keluarga
di mana ia akan dilahirkan (kula olokana), sejarah raja-raja Sakya,
akan dijelaskan sebagai berikut. Penjelasan ini dimaksudkan
untuk memahami ciri-ciri dari tingginya derajat Bodhisatta sebab
kelahirannya (jà timahatta-guõa).
Dalam periode pertama dari banyak kappa yang tidak terhitung
lamanya (vivaññathà yã asaïkhyeyya kappa), raja pertama umat
manusia di awal terbentuknya dunia yaitu Bodhisatta kita. Waktu
itu Beliau bernama Manu.
3495
2
Bodhisatta Manu terlihat lebih tampan, lebih menyenangkan dilihat,
lebih dihormati, agung, dan berbudi luhur dibanding siapa pun di
dunia ini pada masa-masa awal dunia.
Pada masa itu, umat manusia memiliki moral yang suci, namun
lambat laun muncul orang-orang yang mulai melakukan tindak
kejahatan seperti mencuri, dan lain-lain. Agar dapat hidup bebas
dari bahaya ini dan agar dapat hidup dalam damai, orang-orang
pada masa itu berdiskusi dan memutuskan untuk memilih seseorang
yang dapat memimpin mereka dengan adil.
Mereka juga setuju bahwa Manu, Bodhisatta, yaitu yang terbaik
untuk memimpin mereka, sebab ia memenuhi semua persyaratan
yang diperlukan. lalu mereka semua mendatanginya
dan mengajukan permohonan agar ia sudi menjadi pemimpin
mereka.
Sewaktu Manu menjalani kewajibannya sebagai pemimpin, para
warga di bawah kepemimpinannya menghormatinya dengan
membayar pajak, sebagai imbalan atas jasanya sebagai pemimpin,
yang berjumlah sepersepuluh dari panen yang mereka hasilkan.
Mendapat Tiga Gelar
1. Para warga secara bulat mengakui kepemimpinan
Bodhisatta, tidak ada yang keberatan sama sekali, sebagai
seorang yang mampu memimpin mereka dengan kebajikan,
sehingga penghargaan diberikan dalam bentuk membayar
pajak. Oleh sebab itu ia mendapat gelar mahà sammata.
2. Tidak ada perselisihan atau pertengkaran sehubungan dengan
kepemilikan tanah. (Jika ada) Yang Mulia Manu dengan
kekuasaannya akan memutuskan dengan adil. Oleh sebab itu
ia mendapat gelar khattiya.
3. sebab ia dipilih oleh para warga untuk menjalani tugas-
tugas kerajaan, ia mendapat gelar ketiga, rà jà .
3496
Dalam bhadda kappa ini, Manu, sang Bodhisatta yaitu yang
pertama dari semua raja yang memperoleh tiga gelar ini,
mahà sammata, khattiya, dan rà jà .
Bagaikan matahari yang memiliki seribu berkas cahaya dan
memberi sinarnya kepada semua makhluk sehingga dapat
melihat berbagai bentuk dan warna, demikian pula Manu sang
Bodhisatta, bagaikan mata umat manusia pada masa itu yang
memiliki banyak ciri mulia, bersinar terang, seolah-olah ia yaitu
matahari kedua, sehingga ia juga disebut keturunan à diccavaÿsa
(keturunan matahari).
(Sehubungan dengan mahà sammata pada masa awal dunia,
dan juga sehubungan dengan antara kappa yang sekarang yang
merupakan yang keempat dari enam puluh empat pembagian
kondisi Vivattatthà yã dari asaïkhyeyya kappa yang merupakan
seperempat dari bhadda kappa ini, beberapa penulis terpelajar
menulis secara berbeda. Dalam “Kronologi Istana Kaca” yang
ditulis oleh beberapa bhikkhu terpelajar dan beberapa menteri yang
berkumpul dan mendiskusikan selama tiga tahun di dalam istana
kaca dalam masa pemerintahan Raja Bagyidaw, pendiri keempat
dari Kota Ratanapura, dan dalam Kappa Vinicchaya PÃ tha Nissaya
yang ditulis sebagai penyelesaian dari perdebatan, oleh MohtÃ
Thathanabaing Sayadaw, berjudul Sujà tà bhisirãdhajadhipatipavara
Mahà dhamma-Rajà dhirà jaguru, atas permintaan Raja Mindon, yang
memimpin sidang Sangha kelima, diputuskan untuk memberi
bukti-bukti yang kuat dan cukup banyak dari Tipiñaka, Komentar,
dan Subkomentar, bahwa hanya ada satu Bodhisatta Mahà sammata
dan antara kappa sekarang yaitu yang keempat.
(Khususnya di Kappavinicchaya terdapat bagian khusus (visesa
kaõda) yang berisi pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban
(codanà dan sodanà ) yang memberi kesimpulan dan keputusan
atas topik-topik yang diperdebatkan seperti sebelas antara kappa,
sebelas mahà sammata, antara kappa kedua belas, antara kappa
kesembilan belas, dan berbagai diskusi yang menjelaskan dengan
bukti-bukti yang kuat sehingga semua pihak, bhikkhu dan umat
3497
2
awam menjadi bebas dari keraguan.
(Berikut ini yaitu urutan raja-raja (rà jakkama) seperti mahà sammata
dan seterusnya, yang bersumber dari Mahà vaÿsa dan Mahà sutakà rã
Maghadeva Laïkà :
(1) pertama, Manu Mahà sammata,
(2) putranya, Raja Roca,
(3) putranya, Raja Vara-roca,
(4) putranya, Raja Kañyà na,
(5) putranya, Raja Vara-Kañyà na,
(6) putranya, Raja Uposattha,
(7) putranya, Raja Mandhà tu (Bodhisatta),
(8) putranya, Raja Vara,
(9) putranya, Raja Upavara,
(10) putranya, Raja Cetiya,
(11) putranya, Raja Mucala,
(12) putranya, Raja Mahà mucala,
(13) putranya, Raja Mucalinda,
(14) putranya, Raja SÃ gara,
(15) putranya, Raja SÃ garadeva,
(16) putranya, Raja Bharata,
(17) putranya, Raja Aïågira,
(18) putranya, Raja Ruci,
(19) putranya, Raja Suruci (juga disebut Mahà ruci),
(20) putranya, Raja Patà pa,
(21) putranya, Raja Mahà patà pa,
(22) putranya, Raja Panà da,
(23) putranya, Raja Mahà panà da,
(24) putranya, Raja Sudassana,
(25) putranya, Raja Mahà sudassana,
(26) putranya, Raja Neru,
(27) putranya, Raja Mahà Neru, dan
(28) putranya, Raja Accima.
(a) Dua puluh delapan raja ini yaitu manusia yang berumur
sangat panjang hingga asaïkhyeyya. Dua puluh tujuh raja
sesudah Mahà sammata yaitu keturunannya. Beberapa dari
3498
dua puluh delapan raja ini memerintah di Kota Kusavatã, yang
lainnya di Rà jagaha dan Mithilà .
(b) Raja Accima, yang terakhir dari dua puluh delapan raja,
mendirikan kembali Kota Kusavati dan memerintah di sana;
keturunannya persis berjumlah seratus orang. (Dãpavaÿsa
menyebutkan bahwa mereka tinggal di Kapilavatthu.)
(Berdasarkan sumber dari Mahà Sutakà rã Magha Deva Laïåka yang
mengurutkan raja-raja (a) dan (b) seluruhnya berjumlah seratus dua
puluh delapan raja.)
(c) Dari seratus raja keturunan Raja Accima, yang terakhir bernama
Raja Arindama. Putranya mendirikan Kota Ayujjhapura
dan memerintah di sana; dia dan keturunannya seluruhnya
berjumlah lima puluh enam.
(d) Raja terakhir dari lima puluh enam ini bernama Duppasaha.
Putranya membangun Kota Bà rà õasi dan memerintah di sana;
dia dan keturunannya di kota itu berjumlah enam puluh.
(e) Raja terakhir dari enam puluh raja ini bernama Ajita. Putranya
membangun Kota Kambala; dia dan keturunannya di kota itu
seluruhnya berjumlah delapan puluh empat ribu.
(f) Raja terakhir dari delapan puluh empat ribu raja ini bernama
Brahmadatta. Putranya membangun Kota Hatthipura dan
memerintah di sana; dia dan keturunannya di kota itu
seluruhnya berjumlah tiga puluh enam.
(Menurut sumber Laïåka yang sama yang mengurutkan raja-raja
(c), (d), (e), dan (f) seluruhnya berjumlah 84.152.)
(g) Raja terakhir dari tiga puluh enam raja ini bernama Kambala-
vaÿsa. Ia membangun Kota Ekacakkhu dan memerintah di
sana; dia dan keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah
tiga puluh dua.
(h) Raja terakhir dari tiga puluh dua raja ini bernama Purindeva
(Surindeva atau Munindeva dalam versi lainnya). Putranya
membangun Vajiramutti dan memerintah di sana; dia dan
keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah dua puluh
delapan.
3499
2
(i) Raja terakhir dari dua puluh delapan raja ini bernama SÃ dhina.
Putranya membangun Mathura dan memerintah di sana; dia
dan keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah dua puluh
dua.
(j) Raja terakhir dari dua puluh dua raja ini bernama Dhammagutta.
Putranya membangun Ariññhapura dan memerintah di sana; dia
dan keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah delapan
belas.
(k) Raja terakhir dari delapan belas raja ini bernama Sippi. Putranya
membangun Indapattha-nagara dan memerintah di sana; dia
dan keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah dua puluh
dua.
(Menurut sumber Laïåka yang sama yang menggabungkan (g), (h),
(i), (j), dan (k) seluruhnya berjumlah seratus tujuh belas.)
(l) Raja terakhir dari seratus tujuh belas raja ini yaitu Brahmà deva.
Putranya juga memerintah di Ekacakkhu, ia dan keturunannya
di kota itu seluruhnya berjumlah lima belas.
(m) Raja terakhir dari lima belas raja ini yaitu Baladatta. Putranya
membangun Kosambi dan memerintah di sana; ia dan
keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah empat belas.
(n) Raja terakhir dari empat belas raja ini yaitu Hatthideva.
Putranya membangun Kannagocchi dan memerintah di
sana; ia dan keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah
sembilan
(o) Raja terakhir dari sembilan raja ini yaitu Naradeva. Putranya
membangun Rocana dan memerintah di sana; ia dan
keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah tujuh
(p) Raja terakhir dari tujuh raja ini yaitu Mahinda. Putranya
membangun Campà dan memerintah di sana; ia dan
keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah dua belas.
(Menurut sumber Laïåka yang sama yang menggabungkan lima
paragraf di atas seluruhnya berjumlah lima puluh tujuh raja.)
(q) Raja terakhir dari lima puluh tujuh raja ini yaitu NÃ gadeva.
Putranya membangun Mithilà dan memerintah di sana; ia dan
3500
keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah dua puluh
lima.
(r) Raja terakhir dari dua puluh lima raja ini yaitu Samuddadatta.
Putranya kembali memerintah di RÃ jagaha; ia dan keturunannya
di kota itu seluruhnya berjumlah dua puluh lima.
(s) Raja terakhir dari dua puluh lima raja ini yaitu Tidhaïåkara.
Putranya membangun Takkasilà dan memerintah di sana; ia dan
keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah dua belas.
(t) Raja terakhir dari dua belas raja ini yaitu TÃ lissara. Putranya
membangun Kusinà ra dan memerintah di sana; ia dan
keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah dua belas.
(u) Raja terakhir dari dua belas raja ini yaitu Purinda. Putranya
membangun TÃ malitthiya dan memerintah di sana; ia dan
keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah dua belas.
(Menurut sumber Laïåka yang sama yang menggabungkan lima
paragraf di atas seluruhnya berjumlah delapan puluh tiga raja.)
(v) Dari delapan puluh tiga raja yang disebutkan di lima paragraf
di atas. Raja terrakhir bernama SÃ garadeva. Putranya yaitu
Maghadeva (Magghadeva). Ia dan putranya memerintah di
Mithilà hingga jumlahnya mencapai delapan puluh empat ribu
raja.
(w) Raja terakhir dari delapan puluh empat ribu raja ini bernama
Nimi, Bodhisatta. Putranya bernama Kalà rajanaka, yang
memiliki putra bernama Samaïåkara, yang putranya bernama
Asoca (atau Asoka). Keturunan mereka yang berjumlah 84.003
membangun kembali Bà rà õasã dan memerintah di sana.
(x) Raja terakhir dari 84.003 raja ini bernama Sãhappati.
a. putra Raja Sãhappati yaitu Raja Vijitasena,
b. putra Raja Vijitasena yaitu Raja Dhammasena,
c. putra Raja Dhammasena yaitu Raja NÃ gasena,
d. putra Raja NÃ gasena yaitu Raja Samiddha,
e. putra Raja Samiddha yaitu Raja Disampati,
f. putra Raja Disampati yaitu Raja Reõu,
g. putra Raja Reõu yaitu Raja Kusa,
h. putra Raja Kusa yaitu Raja Mahà kusa,
i. putra Raja Mahà kusa yaitu Raja Navaraññha,
3501
2
j. putra Raja Navaraññha yaitu Raja Dasaraññha,
k. putra Raja Dasaraññha yaitu Raja Rà ma,
l. putra Raja Rà ma yaitu Raja Vilaraññha,
m. putra Raja Vilaraññha yaitu Raja Cittaraÿsa,
n. putra Raja Cittaraÿsa yaitu Raja Ambaraÿsã,
o. putra Raja Ambaraÿsã yaitu Raja Sujà ta,
p. putra Raja Sujà ta yaitu Raja Okkà ka.
Enam belas raja ini semuanya memerintah di Bà rà nasã.
Ada 252.556 keturunan sejak Mahà sammata Bodhisatta di awal
dunia hingga Raja Okkaka.
(Sumber Maghadeva Laïka melakukan penjumlahan 84.003 dari
(w), dan 16 dari (x) serta dari sumber-sumber lain, sehingga total
seluruhnya menjadi 252.556 dimulai dari Mahà sammata hingga
Raja Okkà ka.)
(Di sini, berhubung penjelasan dari Ambaññha Sutta dari
Sãlakkhandha Aññhakathà dan Muni Sutta dari Sutta Nipà ta
Aññhakathà menyebutkan bahwa “sesudah delapan puluh empat raja
dari silsilah Maghadeva, terdapat tiga raja berturut-turut dengan
nama yang sama Okkà ka” dan bahwa “Okkà ka ketiga memiliki lima
ratu, masing-masing ratu memiliki lima ratus pelayan perempuan.”
Pangeran-pangeran Sakya diperkirakan yaitu keturunan dari
Okkà ka III, dan raja terakhir dari 252.556 raja ini yaitu Okkà ka
III.)
Riwayat Raja Okkà ka
Istri-istri dari Raja Okkà ka, raja terakhir dari 252.556 raja, yaitu
Hatthà , Città , Jantu, Jèlinã, dan Visà kha. Masing-masing dari mereka
memiliki lima ratus pelayan perempuan.
(Sang raja diberi nama Okkà ka, sebab saat ia berbicara, dari
mulutnya terpancar sinar seolah-olah berasal dari bintang (dikutip
dari penjelasan Ambaññha Sutta). Layak untuk diketahui bahwa
dalam sejarah Myanmar, Raja Kyansittha, Raja Manåhà , juga
3502
memancarkan sinar yang cemerlang dari mulutnya.)
(Juga jangan beranggapan bahwa kota Raja Okkà ka yaitu Bà rà nasã.
sebab pada Komentar Ambaññha Sutta disebutkan bahwa putrinya,
Piyà , menikah dengan Raja Rà ma dari Bà rà nasã. (Kota Raja Okkà ka
(ketiga) bisa kota apa pun kecuali Bà rà nasã.)
Dari kelima ratu, yang tertua, Hatthà melahirkan empat putra,
bernama, Ukkà mukha, Karakaõóu, Hatthinika, Sinisåra, dan lima
putri, bernama, Piyà , Suppiyà , ânandà , Vijità , dan Vijitasenà .
saat Ratu Hatthà wafat sesudah melahirkan anak-anaknya, Raja
Okkà ka mengangkat seorang putri yang muda dan cantik sebagai
permaisurinya; ia melahirkan seorang putra bernama Jantu. Pada
hari kelima sesudah melahirkan, sang ratu mengenakan pakaian dan
perhiasan yang lengkap dan menunjukkan putranya kepada sang
raja. Raja sangat gembira sehingga ia menganugerahkan sebuah
permintaan kepada sang ratu, dengan berkata, “Ambillah apa pun
yang engkau inginkan!”
sesudah berunding dengan sanak saudaranya, sang ratu meminta
agar putranya, Jantu, dijadikan raja. Raja menolak dan memarahinya,
“Engkau jahat, engkau ingin mencelakai putra-putraku!” Dalam
setiap saat-saat gembira, ratu mencoba membujuk raja dan berkata,
“Baginda, seorang raja tidak boleh mengingkari janjinya. Engkau
harus menepati janji.” Demikianlah, ia terus-menerus menuntut agar
kerajaan dilimpahkan kepada putranya. Raja lalu memanggil
putra-putranya, Ukkà mukha dan lain-lainnya dan berkata dengan
sedih:
“Anak-anakku, sebab gembira melihat adik kalian, aku menjanjikan
anugerah kepada ibu Jantu. Sekarang ibu Jantu ingin agar putranya
menjadi raja. Selain gajah, kuda dan kereta istana, bawalah gajah,
kuda, dan kereta sebanyak yang kalian inginkan, lalu pergilah
menetap di suatu tempat yang jauh dari kota ini sampai aku mati.
sesudah kematianku kembalilah dan ambil alih kerajaan ini.”
sesudah berkata demikian, Raja memberangkatkan putra-putranya
3503
2
bersama dengan delapan menteri.
Ukkà mukha dan saudara-saudaranya merasa sangat sedih dan
menangis. Mereka bersujud kepada ayah mereka dan berkata,
“Ayah, maafkan kesalahan kami.” Mereka juga meminta maaf
kepada para pelayan. Lima putri memohon kepada raja, “Ayah,
izinkan kami pergi bersama saudara kami,” dan lalu mereka
keluar dari kota, mereka melakukan perjalanan bersama saudara-
saudara laki-laki mereka yang diiringi oleh delapan menteri
dan pasukan yang terdiri dari empat lapis prajurit (gajah, kuda,
kereta, dan berjalan kaki) keluar dari kota. Sejumlah besar laki-laki
mengikuti para pangeran, dengan pikiran, “Putra-putra raja ini,
pasti kembali dan memerintah sesudah kematian ayahnya. Kami
harus melayani mereka sejak sekarang.”
Jumlah pengikut bertambah dari satu yojanà pada hari pertama
menjadi dua yojanà pada hari kedua, dan tiga yojanà pada hari
ketiga. Mereka berunding, “Kekuatan pasukan kita sangatlah besar;
jika kita menghendaki berperang untuk merebut kerajaan lain di
sekitar sini dengan kekuatan kita ini; tidak akan ada raja yang berani
melawan. Tetapi apa gunanya merebut paksa kerajaan lain dengan
kekerasan. Sama sekali tidak bermanfaat! Jambådãpa ini sangat luas.
Kita akan mendirikan kota baru di wilayah hutan yang masih bebas.”
sesudah sepakat demikian, mereka menuju Pegunungan Himalaya
dan mencari sebuah wilayah untuk mendirikan kota.
Mendirikan Kapilavatthu
Pada waktu itu, Bakal Buddha kita yaitu seorang brahmana
bernama Kapila yang kaya raya yang berasal dari keluarga yang
sangat kaya raya. sesudah meninggalkan semua harta kekayaannya,
ia menjalani kehidupan sebagai petapa dan tinggal di sebuah gubuk
dari daun-daunan yang ia dirikan di dekat sebuah danau yang jernih
airnya di dalam hutan jati di lereng Pegunungan Himalaya.
sebab menguasai ilmu pengetahuan mengenai tanah (pelajaran
mengenai tanda-tanda dari tanah), yang disebut Bhåmijà la, Kapila
sang petapa dan Bakal Buddha mengetahui keunggulan dan
3504
keburukan dari tanah sampai delapan puluh lengan di bawah dan
delapan puluh lengan di atas tanah. Di sekitar tempat di mana gubuk
daun kapila berada, rumput-rumputan, pohon-pohonan, dan semak
belukar tumbuh dengan subur, dengan tunas-tunas yang tumbuh
menghadap ke timur. Selain itu, binatang-binatang pemangsa seperti
singa dan macan yang sedang memburu mangsanya seperti rusa
dan babi yang merupakan santapan mereka, atau saat ular dan
kucing yang sedang memburu katak dan tikus, sampai di tempat
ini, mereka tidak dapat menangkap buruannya, malah sebaliknya
mereka akan lari berbalik, sebab ketakutan akan sikap bermusuhan
yang ditunjukkan oleh calon mangsanya masing-masing. Melihat
hal ini, Kapila menyimpulkan, “Tempat ini yaitu tempat terbaik
di mana musuh-musuh dapat ditaklukkan.”
saat para pangeran yang dipimpin oleh Ukkà mukha sedang
mencari tempat yang tepat untuk dijadikan kota, mereka tiba
di gubuk daun sang petapa. Menanyakan kepada sang petapa
mengenai maksud mereka, mereka menceritakan rencana mereka.
Mengetahui permasalahannya, Kapila, sang petapa dan Bakal
Buddha merasa sedih dan berkata:
“Pangeran, kota yang didirikan di pertapaanku ini, akan menjadi
kota yang terbaik di seluruh Jambudãpa. Di antara semua orang
yang dilahirkan di kota ini, salah satunya akan mampu mengatasi
yang lain yang berjumlah ratusan bahkan ribuan. Oleh sebab itu,
bangunlah sebuah kota baru di sini, di pertapaanku. Bangunlah
sebuah istana di lokasi gubukku ini. Aku akan mengatakan
kepadamu keunggulan tempat ini, bahkan seorang yang dilahirkan
dari kasta rendah, dengan dukungan yang didapat dari tanah ini
akan menjadi seorang yang memiliki kekuasaan bagaikan seorang
raja dunia.”
saat para pangeran bertanya, “Yang Mulia Petapa, bukankah
tempat ini masih dipakai dan ditempati oleh engkau? Kapila
menjawab, “Jangan khawatir, jangan pikirkan bahwa tempat ini
yaitu milikku. Dirikan sebuah pertapaan buatku di tempat yang
terpencil, dan dirikanlah sebuah kota untuk kalian tempati seperti
yang telah kutunjukkan, dan namailah kota ini Kapilavatthu.”
3505
2
Seperti yang telah ditunjukkan oleh Kapila, sang petapa, empat
pangeran yang dipimpin oleh Ukkà mukha, dan para menterinya
serta para prajurit membangun sebuah kota beserta istana kerajaan,
mereka menamai kota itu Kapilavatthu dan menetap di sana.
Asal Mula Sakya
Selagi menetap di sana, para pangeran tumbuh dewasa dan sudah
waktunya untuk menikah. lalu para menteri berunding dan
berkata, “Tuan, para pangeran telah dewasa. Jika mereka berada di
dekat ayah mereka, Raja Okkà ka, ia pasti akan menikahkan para
pangeran dan putri, sekarang tanggung jawab ini jatuh pada kita.”
sesudah berunding, mereka berdiskusi dengan para pangeran.
Para pangeran menjawab, “O Menteri, tidak ada putri di sini yang
sederajat dengan kami. Juga tidak ada pangeran dari kasta yang
sama untuk adik-adik putri kami. Jika kasta yang tidak sama ini
saling menikah, keturunannya akan menjadi tidak murni baik
dari pihak ayah maupun pihak ibu; hal ini akan menyebabkan
bercampurnya kasta-kasta dan rusaknya tatanan kasta (jà ti-
sambheda). Oleh sebab itu, sebaiknya kita menunjuk putri tertua,
sebagai ibu kami, dan masing-masing kami, empat pangeran dan
empat putri, saling menikahi untuk mencegah rusaknya silsilah.”
lalu sesudah sepakat demikian, mereka memilih Putri Pãya
sebagai ibu mereka dan para pangeran menikahi adik-adik putri
mereka sehingga menjadi empat pasang untuk menghindari
ketidakmurnian keturunan mereka.
Seiring berjalannya waktu, masing-masing dari empat pasang anak-
anak Okkà ka tumbuh berkembang. saat sang raja mendengar
mengenai Kapilavatthu yang didirikan oleh anak-anaknya yang
dipimpin oleh Pangeran Ukkamukha, mengenai perkawainan
mereka dengan keluarga sendiri dan bukan dari keluarga lain dan
kesejahteraan yang mereka peroleh dari perkawinan kakak-adik
yang dilahirkan oleh orangtua yang sama, raja sangat gembira
sehingga ia mengucapkan pujian terhadap anak-anakanya di tengah-
tengah para menteri dan lainnya:
3506
“Sakyà vata bho kumà rà (sungguh piawai putra dan putriku, O
menteri!).” “Paramà sakyà vata bhoi kumà rà ” (sungguh mulia dan
piawai putra dan putriku).”
sebab raja mengucapkan kaya ‘sakyà vata’, ‘sungguh piawai’, untuk
memuji mereka, sebab kata ‘sakyà ’ ini yang artinya ’piawai’, nama
sakya diberikan kepada keturunan dari pangeran dan putri yang
dipimpin oleh Ukkamukha dan menjadi terkenal.
Demikianlah kisah kemunculan para pangeran Sakya.
Mendirikan Koliya
lalu , pada suatu hari, si putri tertua, yang paling tua di
antara para pangeran dan putri, terserang penyakit lepra, di seluruh
tubuhnya timbul bisul-bisul bagaikan bunga-bunga sà limuggala
atau parijà ta.
Para pangeran berdiskusi, “Jika kita harus tinggal dan makan
bersama-sama dengan kakak kita yang menderita penyakit kulit
yang sangat mengerikan, kita juga akan tertular.” Suatu hari,
mereka berpura-pura akan pergi bersenang-senang di taman dan
membawa kakak di dalam kereta. saat tiba di sebuah lapangan
di tengah hutan, mereka menggali lubang yang cukup luas untuk
seseorang dalam berbagai postur, berdiri, duduk, berbaring, dan
berjalan. Dalam lubang itu yang dibuat mirip sebuah kamar,
mereka meletakkan banyak makanan dan minuman, lalu
menempatkan sang kakak di dalamnya. Mereka juga menutupi
lubang itu dengan kayu dan papan sebagai perlindungan dari
bahaya dan membuat hutan di sekeliling pagar papan itu yang juga
berfungsi sebagai atap yang ditutupi oleh tanah, lalu mereka
pulang ke Kapilavatthu.
Kira-kira pada waktu yang sama, raja Bà rà nasã yang bernama Rà ma
menderita penyakit lepra dan para pelayan perempuan dan menteri-
menterinya serta pengawalnya merasa jijik dan takut. Ia menyadari
keadaannya dan memasuki hutan sesudah menyerahkan kerajaannya
3507
2
kepada putra tertuanya. Ia membangun sendiri sebuah gubuk daun-
daunan sebagai tempat tinggalnya. sebab memakan buah-buahan
dan akar-akaran, penyakit kulitnya menjadi hilang dan ia sekarang
memiliki kulit yang keemasan. saat sedang berjalan-jalan, ia tiba
di sebuah pohon raksasa yang memiliki batang yang sangat besar
dengan lubang di tengahnya. Ia membuat sebuah kamar yang luas,
enam belas lengan ukurannya di dalam batang pohon ini . Ia
membuat pintu masuk, jendela dan tangga. Kamar ini seperti kamar
istana di mana ia tinggal sebelumnya.
Pada malam hari RÃ ma membuat api dan mengamati suara-suara
rusa, babi hutan, dan binatang lainnya yang berasal dari tempat lain
sebelum pergi tidur. Pagi harinya, ia mendatangi sumber suara yang
ia dengar malam sebelumnya untuk mencari serpihan daging rusa,
babi hutan, dan lain-lain yang tersisa dari makanan singa, macan
dan lain-lain. Ia mengumpulkan daging ini lalu memasaknya
sebagai makanan baginya. Demikianlah caranya bertahan hidup.
Suatu hari, seekor macan, mencium bau tubuh putri yang keluar
dari kamar bawah tanah yang tidak jauh dari tempat tinggal RÃ ma.
saat si macan mengais atap kayu itu dan mencoba membukanya,
sang putri sangat ketakutan sehingga ia berteriak sangat keras.
Saat itu menjelang pagi dan RÃ ma mendengar teriakan itu sesudah
membuat api dan menyiapkan panci. Mendengar teriakan itu
dan mengetahui bahwa itu yaitu teriakan seorang perempuan,
ia berlari menuju sumber teriakan itu pagi harinya dan bertanya,
“Siapakah yang tinggal di bawah tanah ini?” saat ia mendapat
jawaban, “Saya seorang perempuan,” ia bertanya lagi, “Dari keluarga
mana?” “Tuan, saya yaitu putri dari Raja Okkà ka.” “Keluarlah,”
raja berkata. “Tuan, saya tidak bisa keluar,” “Mengapa?” “Saya
menderita lepra.” Raja lalu menanyakan permasalahannya
dan mengetahui bahwa putri tidak keluar sebab ia bangga akan
status kebangsawanannya, raja memberitahukan bahwa ia sendiri
yaitu seorang raja dengan mengatakan, “Aku juga seorang
bangsawan.” Ia menarik putri keluar dari kamar bawah tanah dan
membawanya ke tempatnya. Ia memberi obat-obatan yang sama
dengan yang ia gunakan. Sang putri memakannya dan penyakitnya
berangsur-angsur berkurang hingga akhirnya lenyap. Kulit sang
3508
putri kembali menjadi berwarna keemasan. Dengan persetujuan
bersama, dua orang ini hidup bersama sebagai suami-istri.
Seiring berjalannya waktu, Permaisuri Piyà melahirkan putra
kembar sebanyak enam belas kali sehingga seluruhnya berjumlah
tiga puluh dua putra. sesudah usia mereka mencukupi, sang ayah,
Raja Rèma, mengirimkan mereka untuk belajar sebagai seorang
pangeran.
Suatu hari, seorang pemburu dari negara asal raja, Bà rà nasã, saat
datang ke hutan di dekat Pegunungan Himà laya, untuk mencari
harta, bertemu dengan RÃ ma, sebab mengenalinya sang pemburu
berkata, “Tuan, aku mengenalimu dengan baik.” Sang raja lalu
menanyakan segala hal mengenai kerajaannya dan selagi mereka
berbincang-bincang, tiga puluh dua anaknya pulang. Melihat anak-
anak ini, si pemburu bertanya, “Raja, siapakah anak-anak ini?”
“Mereka yaitu anakku,” jawab raja. sesudah bertanya lebih lebih
lanjut, ia mengetahui siapa ibu mereka dan berpikir, “Aku sekarang
memiliki informasi yang dapat kuberikan sebagai hadiah kepada
penguasa Và rà õasã.” Dengan pikiran demikian, ia kembali ke kota
dan menceritakan kisahnya.
Raja Bà rà õasi yang pada waktu itu yaitu putra Rà ma merasa sangat
gembira dan untuk membawa kembali ayahnya, ia datang disertai
oleh empat lapis pasukan. Ia memberi hormat kepada ayahnya dan
memohon, “Ayah, terimalah kembali kerajaan Bà rà õasã” “Anakku,”
jawab RÃ ma, “Aku tidak lagi memiliki keinginan untuk menjadi
raja Bà rà nasã. Aku tidak akan kembali ke kota. Tebanglah pohon ini
dan dirikan sebuah tempat tinggal dan sebuah kota baru untukku
di tempat ini juga di pohon kola ini.” Atas perintah ini, putranya,
raja Bà rà nasã mendirikan sebuah kota baru.
sesudah kota baru ini dibangun sesudah menebang pohon kola
di tempat tinggal ayahnya, kota itu dinamai Koliya, sebab kota
ini terletak di jalur yang sering dilalui oleh macan, kota ini disebut
juga Vyagghapajja. sesudah memberi nama kota ini, sang putra, raja
Bà rà nasã, memberi hormat kepada ayahnya lalu pulang.
3509
2
Sewaktu Raja RÃ ma dan permaisurinya menetap di kota baru Koliya,
Pãya suatu hari berkata kepada putra-putranya yang telah dewasa.
“Anakku, paman-pamanmu, para pangeran Sakya, memerintah di
Kota Kapilavatthu. Putri-putri dari pamanmu berpakaian seperti
ini, rambutnya seperti ini, gaya berjalannya dan tingkah lakunya
seperti ini. saat mereka mendatangi pemandian untuk mandi,
tangkaplah putri yang engkau suka dan bawalah kemari.”
Sesuai petunjuk ibu mereka, para pangeran mendatangi pemandian
para putri dari paman mereka, para pangeran Sakya, di Kapilavatthu
dan sesudah mengamati dan memilih, masing-masing membawa
putri yang mereka pilih, sesudah memperkenalkan diri dan
membawa mereka selagi mereka berjemur untuk mengeringkan
rambut mereka.
Mendengar peristiwa ini, para pangeran Sakya berunding,
“Saudaraku, biarkanlah hal ini terjadi. Para pangeran Koliya ini
yaitu keturunan kakak tertua kita, jadi mereka masih keponakan
kita, kerabat dekat kita.” Mereka tidak menyalahkan para pangeran
Koliya, dan sebab merasa gembira, mereka mendiamkan hal ini.
Dari perkawinan antara Sakya dan Koliya ini, silsilah turun temurun
tanpa terputus hingga masa Buddha.
Demikianlah, perkembangan keturunan Sakya terjadi dengan murni
sebab bercampur hanya dengan kerabat-kerabat dekat. sebab
tidak pernah terputus sejak Raja Okkà ka, sumber dari suku Sakya,
berlanjut hingga Pangeran Siddhattha, Bakal Buddha, mereka tercatat
dalam sejarah dengan reputasi yang baik sebagai “asambhinna
khattiya” silsilah (kesatria yang tak terputus).
Mendirikan Devadaha
Para pangeran Sakya yang tinggal di Kapilavatthu memiliki
kebiasaan pergi ke danau yang besar, indah, dan menyenangkan
untuk bersenang-senang bermain air. sebab danau ini digunakan
sebagai tempat olahraga bagi para penghuni istana, sehingga dikenal
3510
sebagai Devadaha. (Deva untuk menyebutkan para pangeran Sakya
dan daha berarti danau untuk bermain air.)
Suatu saat , para pangeran Sakya ini datang ke danau untuk
bersenang-senang namun tidak kembali lagi ke Kapilavatthu tetapi
membangun pondok peristirahatan di dekat danau; seiring dengan
berjalannya waktu, wilayah itu berkembang dan menjadi kota
sendiri; yang dikenal dengan nama Devadaha.
Para pangeran Sakya yang tinggal di kota itu juga disebut Sakya
Devadaha sesuai nama kota itu.
(Dikutip dari penjelasan Devadaha Sutta, Uparipaõõà sa
Aññhakathà ).
Keturunan Ukkà mukha, Raja Sakya
Raja-raja Kapilavatthu yaitu sebagai berikut:
(1) pendiri, Raja Ukkà mukha (saat raja berbicara, seberkas cahaya
terang keluar dari mulutnya, tanda keberkuasaan, seperti
ayahnya Raja Okkà ka),
(2) putranya Raja Nipuõa,
(3) putranya Raja Candimà ,
(4) putranya Raja Candamukha,
(5) putranya Raja Sivi,
(6) putranya Raja Si¤jaya,
(7) putranya Raja Vessantara, Bodhisatta,
(8) putranya Raja JÃ li,
(9) putranya Raja Sãhavahana,
(10) putranya Raja Sãhassara.
Sepuluh raja Sakya ini dan keturunan Raja Sãhassara hingga
Jeyyasena, seluruhnya berjumlah delapan puluh ribu, berturut-turut
memerintah Kerajaan Sakya Kapilavatthu.
Yang terakhir dari delapan puluh dua ribu sepuluh raja, Jeyyasena,
memiliki seorang putra dan seorang putri yang bernama Sãhahanu
3511
2
dan Yasodharà .
Pada waktu itu Raja Ukkà sakka dan Ratu Yasavatã dari Devadaha
(juga) memiliki seorang putra dan seorang putri, bernama A¤jana
dan Ka¤canà .
Dari perkawinan Pangeran Sãhahanu, putra Raja Jeyyasena dari
Kapilavatthu dan Putri Ka¤canà , Putri Ukkà sakka dari Devadaha,
terlahir lima putra bernama (1) Suddhodana, (2) Amitodana,
(3) Dhotodana, (4) Sakkodana, dan (5) Sukkodana (dikutip dari
penjelasan Sammà paribbà janiya Sutta, Suttanipà ta Aññhakatthà , Vol.
2), dan dua putri bernama (1) Amitta dan (2) Pà lità .
Dari perkawinan Pangeran A¤jana, putra Raja Ukkà sakka dari
Devadaha, dan Putri Yasodhara, putri Raja Jeyyasena dari
Kapilavatthu, terlahir dua putra dan dua putri. (Di sini, nama Raja
A¤jana juga dikenal dengan nama Mahà Suppabuddha.) kedua putra
yaitu Pangeran Suppabuddha dan Pangeran Dandà pani. Kedua
putri yaitu Siri Mahà mà yà dan Pajà pati Gotamã.
Pangeran Suddhodana, putra Raja Sãhahanu, menikah dengan
kedua putri Raja A¤jana: Putri Siri Mahà mà yà dan Putri Pajà pati
Gotamã. Putri tertua melahirkan seorang putra bernama Pangeran
Siddhattha dan putri kedua melahirkan Putri RÃ¥pananda dan
Pangeran Nanda.
Dari penjelasan ini, ada sepuluh raja keturunan dari Raja
Ukkà mukha, pendiri Kapilavatthu.
Terdapat delapan puluh dua ribu raja keturunan dari Raja Sãhassara
hingga Jeyyasena.
lalu dari putra Raja Jeyyasena, Raja Sãhahanu:
(1) putranya, Raja Suddhodana, dan
(2) putranya, Pangeran Siddhattha, Bakal Buddha.
Menjumlahkan seluruhnya dari tiga kelompok ini, terdapat 82.013
raja yang semuanya yaitu Raja Sakya Asabhi¤¤Ã dan memerintah
3512
Kota Kapilavatthu.
Jika angka 82.013 ini sejak Raja Ukkà mukha hingga Pangeran
Siddhattha, Bodhisatta, ditambahkan dengan angka sebelumnya
252.556 jumlah raja-raja di awal dunia dari Mahà sammata hingga
Okkà ka, hasilnya yaitu 334.569.
Dari perkawinan pangeran Suppabuddha, putra Raja A¤jana dan
Putri Amittà , putri Raja Sãhahanu, terlahir Putri Bhadda Ka¤canÃ
atau Yasodhara dan Pangeran Devadatta.
Dari perkawinan Pangeran Siddhattha, Bakal Buddha, putra Raja
Suddhodana dari Kapilavatthu dan Ratu Siri Mahà mà yà , dengan
putri Bhadda Ka¤canà atau Yasodharà , putri dari Raja Suppabuddha
dari Devadaha dan Ratu Amitta, terlahir RÃ hula.
(Pangeran Siddhattha Bakal Buddha hanya memiliki satu anak,
Pangeran RÃ hula; tidak memiliki anak lain lagi. Dalam riwayat
Buddha dari sumber lain terdapat kisah yang dibuat-buat yang
menceritakan bahwa selir Pangeran Siddhattha melahirkan anak-
anak yang lain. Tetapi tidak ada bukti mengenai pernyataan ini
dalam naskah-naskah lain dalam literatur Buddhis. Oleh sebab
itu, kita harus penuh keyakinan menganggap bahwa hanya ada satu
putra dan tidak ada putra lain selain RÃ hula.)
Raja A¤jana, Kakek Buddha, Mengakhiri Era
Raja A¤jana dari Devadaha, kakek Buddha (ibu Siri Mahà mà yà )
mengakhiri Era Goza yang berlaku pada waktu itu. Ia membatalkan
8.649 tahun bulan baru, hari Sabtu di bulan Phagguna (Februari-
Maret); dan sebagai penggantinya ia memperkenalkan era yang lain
yang dimulai dari bulan Citta (Maret-April). (Ia membuat era baru
yang digunakan sejak saat itu.) Era ini kelak disebut Mahà Era.
Penghapusan suatu era yaitu tradisi duniawi yang kerap terjadi
pada dunia sejarah. Tidak pernah terjadi dalam kasus penolakan
terhadap suatu era atau penggunaan istilah Sakkaraj dan ungkapan
Koza atau Goza dalam buku-buku Buddhis. Semua ini hanya
3513
2
tercantum dalam kitab-kitab duniawi mengenai astrologi dan sejarah.
Cara perhitungan dan ungkapan yang terdapat dalam karya-karya
astrologi dan sejarah diambil dari orang-orang terpelajar selama
periode Bagan, Pinya dan seterusnya di Myanmar untuk kemudahan
dalam mencatat tanggal dan tahun dari suatu peristiwa.
Ejaan Sakkarà j, Sakarà j, dan Koza, Goza
Banyak tulisan mengenai Sakkarà j, Sakarà j, Kozs, dan Goza oleh
Monywe Zetawun Sayadaw dalam karyanya Samanta-Cakhu
Dãpanã, Vol. 2. Pendapat Sayadaw mengenai hal ini yaitu sebagai
berikut:
”Banyak cara ditemui dalam menuliskan istilah ini, yang hanya
berguna dalam mencatat dan menghitung jumlah tahun. Kesalahan
ejaan tidak berpengaruh pada hal-hal duniawi; ejaan yang tepat
juga tidak dapat membantu mendapatkan kebebasan dari saÿsà ra
sebab tidak memiliki indra untuk memperoleh Pandangan Cerah
dan pandangan benar. sebab alasan ini, semua bantuk penulisan
ini memiliki manfaat masing-masing dan dapat diterima.”
Pernyataan demikian tentu tidak memuaskan.
Singkatnya, disebut Sakkaraj sebab , tata cara penulisan secara
kronologis yang dihitung sejak suatu tanggal tertentu, yang
ditentukan oleh raja yang mampu melindungi rakyatnya; disebut
Sakaraj sebab , dilakukan oleh Raja Sakka. Koza dan Goza
menunjukkan suatu rentang waktu yang ditandai oleh pergerakan
matahari dan bulan. (Sakkarà j berasal dari kata Sakkaraj, sakka
artinya ‘mampu’ dan rà ja yaitu ‘raja’; oleh sebab itu Sakkaraj
ditentukan oleh raja, yang mampu memberi perlindungan
kepada subjeknya. Sakaraj berasal dari Sakarà jà , Saka yaitu nama
seseorang dan rà jà yaitu ‘raja’; sebab Sakarà jà yaitu suatu
era yang dibuat oleh Raja Saka. Sedangkan Koza dan Goza, ko
yaitu matahari dan go yaitu sebuah istilah untuk menyebutkan
matahari dan bulan; za digunakan untuk menyatakan sesuatu
yang bergerak. Waktu yang dibutuhkan dalam satu siklus zodiak
penuh oleh matahari dan bulan disebut tahun Koza atau Goza.
3514
Juga tertulis Gocar.)
Istilah Kali-yug dan Sakkarà j
Dalam sebuah kalimat “Tahun Kali-yug Sakkarà j ini dan itu” dengan
memakai istilah Kali-yug sebagai kata sifat sebelum Sakkarà j,
Kali-yug dan Sakkarà j memiliki arti yang berbeda. Kalimat ini
memiliki makna “tahun dari suatu era selama rentang waktu yang
dimulai dari Kali-yug”, akan dijelaskan secara singkat sebagai
berikut.
Di antara kappa pembentukan dan penghancuran yang disebut
antara kappa, satu kappa pembentukan terdiri dari empat masa:
kata-yuga, tetra-yuga, dvà para-yuga, dan kali-yuga. Masing-masing
memiliki periode kemajuan dan periode kemunduran. saat periode
ini berulang hingga enam puluh kali, sebuah kappa pembentukan
berakhir. Demikian pula halnya dengan kappa penghancuran,
menurut sumber-sumber ilmiah. Dari keempat yuga, yang pertama,
kata-yuga, berlangsung selama 1.728.000 tahun. lalu tetra-
yuga selama 1.296.000 tahun. Diikuti oleh dvà para-yuga selama
864.000 tahun. Akhirnya kali-yuga selama 432.000 tahun. (Catatan:
jumlah tahun dvà para-yuga yaitu dua kali kali-yuga, tetra-yuga
yaitu tiga kali kali-yuga, dan kata-yuga yaitu empat kali kali-
yuga.). Total dari empat yuga ini yaitu 4.320.000.
Selama masa kata-yuga semua manusia di seluruh empat penjuru
(semua manusia) menjalani kebajikan seolah-olah mereka berdiri
di atas empat kaki. Selama masa tetra-yuga semua manusia di tiga
penjuru menjalani kebajikan seolah-olah mereka berdiri di atas tiga
kaki, sedangkan satu penjuru tidak menjalani kebajikan. Selama
masa dvà para-yuga semua manusia di dua penjuru (setengah)
menjalani kebajikan, sedangkan dua penjuru yang lain tidak
menjalani kebajikan. Selama masa kali-yuga hanya manusia di
satu penjuru menjalani kebajikan, sedangkan tiga penjuru lainnya
tidak.
Guru kita, Buddha Gotama, muncul dalam tahun ke 2.570 kali-yuga,
seperti yang tertulis pada Gotama Purà õa. Dalam Kaõóa (bab)
3515
2
pertama tertulis:
Kalerà rabbhato su¤¤a satta pa¤caduke gate
saÿvacchare babhuva ve Dhammavido Gotamà bhidho.
“Dua ribu lima ratus tujuh puluh tahun sesudah dimulainya kali-
yuga. Muncullah Gotama yang memahami Dhamma.”
Jika Anda ingin mengetahui tahun SÃ sana sekarang dan tahun
kali-yuga sekarang, ambillah tahun sekarang (Era Myanmar) dan
tambahkan 1.182 tahun; hasilnya yaitu tahun Era SÃ sana (Era
Buddhis).
Untuk mendapatkan tahun kali-yuga yaitu tahun SÃ sana sekarang
ditambah 2.570; hasilnya yaitu tahun kali-yuga sekarang.
Secara singkat, saat seseorang menulis “dalam tahun kali-yuga
Sakkarà j x“, yang dimaksudkan yaitu tahun x dari Sakkarà j dalam
masa kali-yuga. Masa kali-yuga berlangsung selama 432.000 tahun
seperti yang dijelaskan sebelumnya. Sakkarà j yaitu perhitungan
tahun yang ditetapkan oleh raja.
Ciri-Ciri Suara yang Memiliki Delapan Kualitas Bagaikan
BrahmÃ
Merdunya Suara Burung Karavãka dan Kisah AsandhimittÃ
Istri Raja Dhammà soka, Asandhimità , bertanya kepada Saÿgha
(sehubungan dengan suara Buddha yang merdu), “Adakah di
dunia ini yang suaranya mirip dengan suara Buddha?” Jawaban
yang diberikan oleh Saÿgha yaitu , “Suara burung karavãka mirip
dengan suara Buddha.” Sang ratu bertanya lagi, “Di manakah burung
ini tinggal?” Saÿgha menjawab, “Mereka hidup di Himavanta.”
Sang ratu lalu berkata kepada Raja Asoka, “Aku ingin melihat
burung karavãka.” Raja mengirimkan sangkar emas dengan perintah,
“Seekor burung karavãka harus datang dalam sangkar ini!” Sangkar
ini lalu melayang terbang dan berhenti persis di depan
3516
seekor burung karavãka. Mempertimbangkan, “Sangkar ini datang
atas perintah raja; aku tidak dalam posisi untuk tetap tinggal di sini
dan melawan perintah raja,” burung itu masuk ke dalam sangkar,
yang segera terbang kembali dan berhenti di depan raja.
Meskipun mereka sekarang telah memiliki burung itu, tak seorang
pun yang dapat membuat burung itu bersuara. Sang raja berkata,
“O Menteri, bagaimana kita membuatnya bersuara?” Para menteri
menjawab, “Burung karavãka ini bersuara, O Raja, saat mereka
melihat teman-teman burung mereka.” Asoka lalu meletakkan
banyak cermin di sekeliling burung ini .
saat burung ini melihat bayangannya sendiri di dalam kaca,
berpikir bahwa teman-temannya telah datang, ia mengeluarkan
suara perlahan namun menyenangkan bagaikan alunan musik yang
dihasilkan oleh seruling dari batu delima. Mabuk oleh suara raja
burung karavãka, Ratu Asandhimittà dan para warga Pà ñaliputta
kegirangan, mereka menari-nari gembira.
lalu ratu merenungkan, “Bahkan suara burung karavãka
ini, yang hanya seekor binatang, begitu merdunya. Apalagi
suara Buddha, yang teragung. Kemerduan suaranya pasti tidak
terbatas!”
Dengan membayangkan Buddha, ratu menjadi sangat gembira
(pãti), dengan kegembiraan yang tanpa henti, ia mengembangkan
Pandangan Cerah Vipassanà , tahap demi tahap, bersama-sama
dengan tujuh ratus pelayan wanitanya, ia mencapai Buah
Sotà patti.
Penjelasan Tiga Puluh Dua Tanda-Tanda Besar
Perbuatan yang Menyebabkan Tiga Puluh Dua Tanda Besar
sebab disebutkan dalam Jinà laïåkà ra Tãkà bahwa hanya penjelasan
yang berhubungan dengan empat hal, yaitu (1) kamma, (2) kamma-
sarikkhaka, (3) lakkhaõa, dan (4) lakkhaõà nisamsa, dari masing-
masing tiga puluh dua tanda-tanda utama yang dijelaskan dengan
3517
2
baik, makna dari empat hal inilah yang akan dijelaskan berikut
ini.
Dari empat hal ini, (1) kamma artinya unsur kebajikan yang
dilakukan pada masa lampau yang bertujuan untuk mencapai
Kebuddhaan, yang menyebabkan munculnya tanda-tanda utama
ini ; (2) kamma-sarikkhaka artinya kekuatan dari tanda-tanda
ini sehubungan dengan kammanya; (3) lakkhaõa artinya
masing-masing dari tiga puluh dua tanda ini seperti telapak kaki
yang rata dan seratus delapan gambar pada telapak kaki, dan lain-lain
yang diperoleh dalam kehidupan terakhirnya sehubungan dengan
kebajikan masa lampau; dan (4) lakkhaõà nisamsa artinya akibat
tidak langsung dari kebajikan masa lampau yang menyebabkan
munculnya tanda-tanda utama ini .
(Misalnya, Bodhisatta mengumpulkan jasa-jasa kebajikan selama
kehidupan-kehidupan lampaunya dengan teguh dan mantap yang
tidak dapat dihalang-halangi atau dihancurkan oleh makhluk
lain. sebab kumpulan jasa ini, ia menikmati kenikmatan surgawi
yang melebihi makhluk-makhluk lain dalam sepuluh hal. saat
ia terlahir sebagai manusia, ia memperoleh tanda berupa telapak
kaki yang rata bagaikan telapak sepatu emas. Dengan telapak kaki
seperti ini, ia dapat berdiri dan berjalan dengan mantap; tidak
seorang pun, apakah dewa atau manusia atau brahmà yang dapat
menggoyahkannya. Kebajikan ini juga memberi akibat lain: ia
tidak tergoyahkan oleh kotoran-kotoran batin seperti keserakahan,
kebencian, dan kebodohan dan juga oleh dua jenis kotoran eksternal:
yang melawannya secara terang-terangan dan yang melawannya
secara sembunyi-sembunyi.)
Di sini, kelompok kebajikan masa lalu yang ia lakukan dengan teguh
dan mantap yang tidak dapat dihalang-halangi atau dihancurkan
oleh makhluk lain yaitu (1) kamma. Telapak kaki yang rata
sebagai tanda dari kebajikan-kebajikannya pada masa lampau
yaitu (3) lakkhaõa. Kemampuannya untuk berdiri dan berjalan
dengan mantap yaitu (2) kamma-sarikkhaka. Kemampuan yang
melekat pada tanda ini, yang membentuk akibat, dengan kekuatan
yang melekat pada kebajikan yang bertindak sebagai pemicu ;
3518
sifat yang melekat ini disebut kamma-sarikkhaka (sifat yang sesuai
dengan kamma). Bagaikan membawa sebuah kendi yang penuh
berisi air sama dengan membawa air di dalam kendi, demikian
pula membicarakan mengenai tanda-tanda dan kekuatannya
sama dengan membicarakan kekuatan ini . Oleh sebab itu
penjelasan dari lakkhaõa dan penjelasan dari kamma-sarikkhaka
terlihat mirip satu sama lain dalam Komentar Lakkhaõà Sutta
dari Pà thika Vagga Aññhakathà . Usaha yang teguh dan mantap,
yang diterapkan pada tindakan melakukan perbuatan baik di
kehidupan lampau, menyebabkan Bodhisatta tidak hanya memiliki
telapak kaki yang rata, tetapi juga menyebabkan akibat-akibat tidak
langsung lainnya, yaitu kemampuan untuk mempertahankan diri
dari serangan musuh-musuhnya dari dalam maupun dari luar
dirinya; akibat-akibat langsung maupun tidak langsung ini yaitu
(4) lakkhaõà saÿasa
(Sekarang, sehubungan dengan tanda-tanda utama Bodhisatta,
perbuatan-perbuatan pada masa lampau yang menjadi pemicu
dan hal-hal lainnya akan dijelaskan secara singkat yang dikutip dari
Lakkhaõa Sutta, Tipiñaka, dan sumber-sumber lain dalam bahasa
yang mudah dimengerti.)
Telapak Kaki yang Rata
(1) Bodhisatta telah melakukan kebajikan-kebajikan selama
kehidupan-kehidupan lampau-Nya dengan teguh dan mantap
yang tidak dapat dihalang-halangi atau dihancurkan oleh makhluk
lain. sebab jasa-jasa ini, Ia menikmati kenikmatan surgawi yang
melebihi makhluk-makhluk lain dalam sepuluh hal: umur panjang,
kecantikan, kebahagiaan, kekuasaan, pengikut, objek indra yang
berlimpah di alam surga seperti pemandangan indah, suara
merdu, wangi-wangian, rasa lezat, dan sentuhan-sentuhan yang
menyenangkan; di alam manusia, Ia memperoleh tanda berupa
‘telapak kaki yang rata bagaikan sepatu emas’. sebab Ia memiliki
tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga Ia
akan menjadi raja dunia (cakkavatti) yang memiliki tujuh pusaka
dan memerintah di empat benua seperti pada waktu terlahir sebagai
Mahà sudassana Cakkavatti; dan sebagai akibat tidak langsungnya,
3519
2
Ia akan terbebas dari bahaya yang berasal dari musuh-musuh-Nya.
Jika Ia melepaskan keduniawian, seperti pada kelahiran terakhir-
Nya sebagai Pangeran Siddhattha, Ia mencapai Kemahatahuan dan
mencapai Pencerahan Sempurna, Raja Tiga Alam; dan akibat tidak
langsungnya yaitu akibat ini tidak dapat dihentikan atau diancam
oleh musuh-musuh internal kotoran batin seperti keserakahan,
kebencian, dan kebodohan, dan oleh musuh eksternal seperti petapa,
brahmana, dewa, Mà ra atau brahmà yang menentang-Nya secara
terang-terangan atau secara sembunyi-sembunyi.
Seratus Delapan Lingkaran Bergambar di Telapak Kaki
(2) Selama banyak kehidupan pada masa lampau, Bodhisatta telah
melayani makhluk-makhluk lain demi kesejahteraan mereka. Ia
melenyapkan rasa takut dari mereka yang ketakutan. Ia melakukan
dà na beserta pemberian-pemberian lainnya. (Misalnya, sewaktu
Ia mendanakan jubah dan pakaian Ia juga sekaligus mendanakan
makanan sebagai dà na tambahan kepada penerima dà na-Nya; Ia
juga mempersilakan mereka duduk, menghormati dengan bunga
dan wangi-wangian dan menyajikan minuman. lalu , Ia
mengucapkan tekad untuk menjalani sãla dan bertekad untuk
mencapai Kemahatahuan. sesudah itu, barulah Ia menyerahkan
jubah dan pakaian dengan penuh hormat. Demikianlah Bodhisatta
memberi dà na utama dan dà na tambahan.) Sebagai akibat dari
kebajikan itu, Ia menikmati kebahagiaan surgawi yang melebihi
semua dewa-dewa lain dalam sepuluh hal seperti yang telah
dijelaskan di atas; terlahir di alam manusia Ia memiliki tanda nomor
2 berupa seratus delapan lingkaran bergambar di telapak kaki-Nya.
sebab Ia memiliki tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap sebagai
perumah tangga, Ia akan menjadi raja dunia; dan sebagai akibat
tidak langsungnya, Ia juga akan memiliki banyak pengikut yang
terdiri dari para brahmana, orang-orang kaya, dan lain-lain; jika Ia
melepaskan keduniawian saat menjadi Pangeran Siddhattha, Ia akan
menjadi seorang Buddha Yang Mahatahu; dan sebagai akibat tidak
langsungnya, Ia memiliki banyak pengikut yang terdiri dari para
bhikkhu, bhikkhunã, siswa-siswa awam laki-laki dan perempuan,
para dewa, manusia, asura, nà ga dan gandhabba.
3520
Di sini, perbuatan dà na yang disertai pemberian tambahan dalam
banyak kehidupan lampaunya yaitu (1) kamma. Kemampuan
gambar pada telapak kaki yang sempurna seolah-olah menunjukkan,
“Agar dewa dan manusia mengetahui bahwa Bodhisatta telah
melakukan kebajikan dà na yang disertai dengan dà na tambahan”
yaitu (2) kamma-sarikkhaka. Tanda pada telapak kaki yaitu (3)
lakkhaõa. Pengikut yang banyak (4) lakkhaõà nisaÿsa.
Tumit yang Menonjol, Jari-jemari Tangan dan Kaki yang
Panjang dan Tubuh yang Tegak
(3) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta menjauhkan
diri dari pembunuhan. Tidak pernah Ia memegang senjata dengan
tujuan untuk membunuh. Ia hidup dalam cinta kasih dan welas
asih, memelihara kesejahteraan makhluk lain. Sebagai akibat dari
kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi yang melebihi
semua dewa-dewa lain dalam sepuluh hal; terlahir sebagai manusia,
Ia memiliki tiga tanda utama; no. 3 tanda tumit-Nya yang menonjol,
no. 4 jari-jemari tangan dan kaki yang panjang, no. 5 tubuh yang
tegak, jika Ia memilih untuk tetap sebagai perumah tangga, Ia
akan menjadi raja dunia; dan sebagai akibat tidak langsungnya,
Ia akan berumur panjang hingga akhir umur kehidupan manusia
pada waktu itu; tidak seorang pun yang dapat melukai-Nya (atau
membunuh-Nya). Jika melepaskan keduniawian seperti pada
kelahiran terakhir-Nya sebagai Pangeran Siddhattha, Ia akan
menjadi seorang Buddha Yang Mahatahu; dan sebagai akibat tidak
langsungnya, Ia akan hidup hingga empat perlima dari umur
kehidupan manusia waktu itu; tidak satu makhluk pun, baik
petapa, brahmana, dewa, Mà ra, atau brahmà , mampu mengancam
kehidupan-Nya (atau membunuh-Nya).
Empat Harta Buddha yang Tidak Dapat Diganggu
Ada empat harta seorang Buddha yang tidak dapat diganggu oleh
makhluk lain, yaitu:
(1) empat kebutuhan yang diperuntukkan dan dibawa untuk-
Nya,
(2) kehidupan-Nya,
3521
2
(3) tanda-tanda-Nya, dan
(4) cahaya-Nya
(Buddhavaÿsa Aññhakathà Vol. 2).
atau,
(1) segala benda yang berhubungan dengan empat kebutuhan yang
dibawa untuk-Nya,
(2) kehidupan-Nya,
(3) delapan puluh tanda-tanda kecil dan cahaya tubuh-Nya, (cahaya
bulan, matahari, dewa, dan brahmà tidak mampu menandingi
cahaya tubuh Buddha), dan
(4) kemahatahuan-Nya
(Vinaya Pà rà jika-kaõóa Aññhakathà , Vol. 1)
Kamma, Kamma-sarikkhaka, dan Lain-lain dari Tanda-tanda di
Atas
Sehubungan dengan tiga tanda-tanda yang telah dijelaskan di atas,
(1) kamma yaitu menjauhkan diri dari pembunuhan, (2) kamma-
sarikkhaka yaitu kemampuan dari bentuk dan panjang dari
tumit, jari-jemari tangan dan kaki serta tubuh yang tegak untuk
menjelaskan makna dari tanda ini. Penjelasannya: mereka yang
melakukan pembunuhan biasanya mendekati korbannya dengan
berjingkat-jingkat agar langkah kakinya tidak terdengar. Akibatnya,
saat terlahir sebaga manusia, beberapa dari mereka memiliki kaki
yang melengkung ke dalam seperti busur, beberapa melengkung
keluar, beberapa memiliki telapak yang melengkung, beberapa
memiliki jari-jemari kaki yang bengkok, dan yang lain lagi memiliki
tumit yang bengkok; seolah-olah tanda-tanda ketidaksempurnaan
ini mengatakan, “Biar semua orang tahu perbuatan membunuh yang
kulakukan dengan berjingkat-jingkat,” tetapi Bodhisatta memiliki
tanda berupa tumit yang bulat dan panjang seolah-olah mengatakan
“Biar semua orang tahu bahwa aku tidak pernah membunuh yang
dilakukan sambil berjingkat-jingkat.” Demikian pula, mereka yang
ingin membunuh mendekati korbannya dengan membungkuk-
bungkuk agar tidak terlihat oleh orang lain. Sebagai akibatnya,
sewaktu mereka terlahir kembali sebagai manusia, beberapa
3522
memiliki tubuh yang bungkuk, beberapa pendek dan gemuk,
beberapa pincang, seolah-olah tanda-tanda ketidaksempurnaan
ini mengatakan, “Biar semua orang tahu perbuatan membunuh
yang kulakukan dengan membungkuk-bungkuk.” Bodhisatta
memiliki tubuh yang tegak sempurna seperti brahmà , sebuah
tanda manusia luar biasa; seolah-olah mengatakan, “Biar semua
orang tahu bahwa aku tidak pernah membunuh, yang dilakukan
sambil membungkuk-bungkuk.” Demikian pula, mereka yang ingin
membunuh, memegang senjata, misalnya sebuah pentungan, dan
memukul korbannya sampai mati. Akibatnya, sewaktu menjadi
manusia, mereka memiliki lengan yang pendek, jari-jemari yang
bengkok dan tidak terlihat jelas sebab jari-jemari tangannya saling
menempel satu sama lain serta rata dengan telapak tangannya
seolah-olah mengatakan, “Biar semua orang tahu kejahatan mereka.”
Sebaliknya, Bodhisatta memiliki lengan yang panjang dan jari-jemari
yang indah, sebuah tanda seorang manusia luar biasa, seolah-olah
mengatakan, “Biar semua dewa dan manusia tahu bahwa ia tidak
pernah membunuh dengan pentungan dalam genggaman tangan-
Nya.” Kemampuan tanda-tanda ini untuk menjelaskan makna umur
panjang disebut kamma-sarikkhaka. Tiga tanda utama ini—tumit
yang panjang, jari-jemari tangan dan kaki yang panjang dan tubuh
yang tegak—yaitu (3) lakkhaõa. Hidup selama umur kehidupan
pada waktu itu yaitu (4) lakkhaõà nisamsa.
Daging yang Penuh di Tujuh Bagian Tubuh-Nya
(4) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta memberi
makanan-makanan lezat seperti kue-kue, mentega, nasi susu, dan
lain-lain. Sebagai akibat dari kebajikan ini, ia menikmati kebahagiaan
surgawi seperti sebelumnya; saat terlahir sebagai manusia ia
memiliki tanda utama no. 16 yaitu daging yang penuh di tujuh
bagian dari tubuhnya, yaitu kedua kura-kura kaki, kedua punggung
tangan, kedua bahu dan leher. sebab Ia memiliki tanda ini, jika Ia
memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia akan menjadi raja
dunia. Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan menjadi Buddha
Yang Mahatahu. Dan sebagai akibat tidak langsungnya, Ia akan
menerima banyak makanan lezat baik dalam bentuk padat maupun
cair untuk dinikmati, dimakan ataupun diminum.
3523
2
Di sini, kebajikan memberi makanan lezat selama masa lebih dari
seratus ribu kappa yaitu (1) kamma. Kemampuan dari tanda berupa
daging yang penuh dan padat di tujuh bagian tubuh-Nya seolah-olah
mengatakan, “Biar dewa dan manusia tahu bahwa Bodhisatta telah
melakukan kebajikan memberi makanan-makanan lezat, dan
lain-lain dalam kehidupan-kehidupan lampau-Nya yang menjadi
pemicu dari apa yang Ia miliki dalam kehidupan sekarang,” yaitu
(2) kamma-sarikkhaka. Daging yang penuh di tujuh bagian tubuh-
Nya yaitu (3) lakkhaõa. Menerima banyak makanan lezat yaitu
(4) lakkhaõà nisaÿsa.
Tangan dan Kaki yang Halus dan Lembut Mirip Jaring Emas
(5) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta banyak
membantu makhluk-makhluk lain dengan empat objek pendukung
(Saïgahavatthu). Kepada mereka yang senang akan benda-benda, ia
membantu mereka dengan memberi (dà na); kepada mereka yang
memerlukan kata-kata hiburan, ia membantu dengan memberi
kata-kata yang manis (piyavà cà ) sebuah Saïgahavatthu yang lain;
kepada mereka yang memerlukan naiahat-nasihat, ia membantu
dengan memberi nasihat-nasihat atau tindakan (atthacariyà ),
Saïgahavatthu (ketiga), dengan mengatakan, “Inilah yang harus
dilakukan,” “Hal ini tidak boleh dilakukan,” “Orang-orang seperti
ini harus bergaul dengan…,” “Orang seperti ini tidak boleh bergaul
dengan…,” dan seterusnya. Mereka yang senang diperlakukan sama
baik dalam hal kemakmuran maupun kemiskinan, Ia membantu
dengan memperlakukan mereka dengan sederajat (samà nattatà ),
Saïgahavatthu (keempat). Sebagai akibat dari kebajikan ini, Ia
menikmati kebahagiaan surgawi seperti sebelumnya; saat terlahir
sebagai manusia ia memiliki tanda utama no. 5 yaitu tangan dan kaki
yang halus dan lembut serta tanda utama no. 6 yaitu tangan dan
kaki itu mirip jaring emas. sebab Ia memiliki dua tanda ini, jika Ia
memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia akan menjadi raja
dunia. Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan menjadi Buddha
Yang Mahatahu. Dan sebagai akibat tidak langsungnya, Ia memiliki
sekelompok pengikut yang siap melayani-Nya bagaikan tergenggam
erat dalam genggaman-Nya.
3524
Di sini, kebajikan dalam hal membantu banyak makhluk dengan
empat saïgahavatthu dalam banyak kehidupan lampaunya yaitu
(1) kamma. Mereka yang tidak melakukan kebajikan ini memiliki
tangan dan kaki yang kasar dan jari-jemari yang tidak sama panjang.
Bodhisatta, memiliki tangan dan kaki yang halus dan lembut; jari-
jemari tangan dan kaki-Nya rata dan sama panjang bagaikan jaring
emas seolah-olah untuk memberitahukan dewa dan manusia bahwa
Ia telah memberi bantuan kepada banyak makhluk dengan empat
Saïgahavatthu dalam banyak kehidupan lampaunya. Kemampuan
kualitas kehalusan dan kelembutan tangan dan kaki ini dan kerataan
jari-jemari ini untuk menjelaskan yaitu (2) kamma-sarikkhaka.
Kehalusan dan kelembutan tangan dan kaki ini dan jari-jemari yang
rata dan sama panjang yaitu (3) lakkhaõa. Memiliki sekelompok
pengikut yang siap melayani-Nya bagaikan tergenggam erat dalam
genggaman-Nya yaitu (4) lakkhaõà nisaÿsa
Pergelangan Kaki yang Agak Tinggi dan Bulu Badan yang
Bergelung ke Atas
(6) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta telah
menjauhkan diri dari ucapan-ucapan yang tidak bermanfaat; Ia
hanya mengucapkan kata-kata yang sopan dan bermanfaat untuk
saat ini dan masa-masa mendatang. Ia hanya memberi khotbah
Dhamma yang berhubungan dengan Sepuluh Perbuatan Baik yang
membawa menuju Pembebasan saÿsà ra. Dengan memberi
khotbah-khotbah keagamaan kepada banyak orang untuk
meningkatkan kemakmuran mereka dengan sepuluh kebajikan, Ia
memberi dà na Dhamma. Sebagai akibat dari kebajikan ini, Ia
menikmati kebahagiaan surgawi seperti sebelumnya; saat terlahir
sebagai manusia Ia memiliki tanda utama no. 7 yaitu pergelangan
kaki yang agak tinggi dan bebas debu dan tanda utama no. 4 yaitu
bulu badan yang bergelung ke arah atas. sebab ia memiliki dua
tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga,
Ia akan menjadi raja dunia. Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia
akan menjadi Buddha Yang Mahatahu. Dan sebagai akibat tidak
langsungnya, Ia mencapai tingkat tertinggi mengalahkan semua
makhluk lainnya dalam hal kemasyhuran dan keunggulan.
3525
2
Di sini, kebajikan memberi khotbah Dhamma yang membawa
ke tingkat yang lebih tinggi yaitu (1) kamma. Mereka yang tidak
melakukan kebajikan ini memiliki pergelangan kaki yang rendah dan
bulu badan yang mengarah ke bawah solah-olah mengatakan, “Biar
orang-orang tahu tentang kegagalan mereka dalam memberi
kata-kata Dhamma.” Tetapi, Bodhisatta memiliki dua tanda ini
yaitu, pergelangan kaki yang agak tinggi dan bulu badan yang
bergelung dan menghadap ke atas, seolah-olah mengatakan, “Biar
dewa dan manusia tahu bahwa Ia telah memberi khotbah yang
dapat mengangkat mereka ke tingkat spiritual yang lebih tinggi.”
Oleh sebab itu kemampuan dari dua tanda untuk menunjukkan
hal demikian yaitu (2) kamma-sarikkhaka. Dua tanda itu yaitu
(3) lakkhaõa. Bodhisatta yang melebihi semua makhluk lainnya
yaitu (4) lakkhaõà nisaÿsa.
Kaki yang Mirip Kaki Eõã
(7) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta dengan
sungguh-sungguh mengajarkan dan menganjurkan murid-murid-
Nya yang belajar kepada-Nya. Ia memberi pelajaran sedemikian
sehingga murid-murid-Nya dapat belajar dan berlatih dengan cepat
dan tanpa kesulitan; Ia mengajari berbagai ilmu dan keahlian, dalam
berbagai aturan moralitas (caraõa) seperti Lima Sãla, Sepuluh Sãla
dan Pà timokkha Sãla, serta ajaran-ajaran seperti kammasakatÃ
(kebenaran bahwa setiap makhluk memiliki kammanya sendiri).
Dalam setiap pelajarannya, Ia tidak pernah merahasiakan atau
menyimpan sesuatu untuk diri-Nya sendiri. Sebagai akibat dari
kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi seperti sebelumnya;
saat terlahir sebagai manusia Ia memiliki tanda utama no. 8 yaitu
kaki yang bulat penuh, panjang dan elok, bagaikan kaki rusa, yang
disebut eõã (atau bulir padi).
sebab Ia memiliki tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi
perumah tangga, Ia akan menjadi raja dunia, sebagai akibat tidak
langsungnya, Ia dengan mudah memperoleh kebutuhan-kebutuhan
seorang raja baik yang hidup maupun yang mati. Jika Ia melepaskan
keduniawian, Ia akan menjadi Buddha Yang Mahatahu. Dan sebagai
3526
akibat tidak langsungnya, Ia dengan mudah dapat memperoleh
kebutuhan untuk menjadi bhikkhu dengan cepat dan lengkap.
Di sini, kebajikan dalam memberi berbagai pelajaran dengan
sungguh-sungguh dalam banyak kehidupan lampaunya yaitu
(1) kamma. Mereka yang tidak mengajar murid-muridnya dengan
sungguh-sungguh namun membuang waktu mereka dengan
menyuruh mereka melayaninya dengan hormat, akan menyebabkan
betis mereka membesar seolah-olah dipindahkan dari kaki bagian
depannya. Sebaliknya, betis Bodhisatta bulat dan tinggi seolah-olah
mengatakan, “Biar dewa dan manusia tahu akan kesungguhan-Nya
dalam memberi pelajaran tanpa merahasiakan apa pun untuk
dirinya sendiri.” Kemampuan tanda ini untuk menunjukkan hal
demikian yaitu (2) kamma-sarikkhaka. Betis yang indah yaitu
(3) lakkhaõa. Dapat memperoleh kebutuhannya dengan mudah dan
cepat yaitu (4) lakkhaõà nisaÿsa.
Kulit yang Halus
(8) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta banyak bergaul
dengan para petapa dan brahmana dan berdiskusi dan bertanya,
“Yang Mulia, apakah kebajikan itu?”, “Apakah kejahatan itu?”,
“Apakah cacat?”, “Apakah yang bukan cacat?”, “Apakah yang harus
diikuti?”, “Apakah yang tidak boleh diikuti?”, dan “Apakah itu yang
jika dilakukan akan mengakibatkan kebahagiaan dalam waktu yang
lama?” Sebagai akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan
surgawi seperti sebelumnya; saat terlahir sebagai manusia Ia
memiliki tanda utama no. 12 yaitu kulit yang halus. sebab Ia
memiliki tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah
tangga, Ia akan menjadi raja dunia yang bijaksana, di antara mereka
yang menikmati kenikmatan indra, tidak ada orang yang dapat
menandingi apalagi melebihinya dalam hal kebijaksanaan. Jika Ia
melepaskan keduniawian seperti pada kelahiran terakhirnya sebagai
Pangeran Siddhattha, Ia akan menjadi Buddha Yang Mahatahu dan
Mahabijaksana; Ia memiliki puthu-pa¤¤Ã , pengetahuan mengenai
indra, unsur-unsur dan lain-lain; hà sa-pa¤¤Ã , pengetahuan yang
timbul bersamaan dengan semangat dan kegembiraan, javana-
pa¤¤Ã , pengetahuan akan peristiwa-peristiwa yang muncul
3527
2
dengan cepat, tikha-pa¤¤Ã , pengetahuan yang dengan cepat dapat
melenyapkan kotoran, dan nibbedhika-pa¤¤Ã , pengetahun yang
menembus keserakahan, kebencian, dan kebodohan yang sulit
ditembus; sebagai akibat tidak langsungnya, Ia memiliki kecerdasan
yang lebih tinggi daripada makhluk lainnya.
Kulit yang Kuning Cerah Bagaikan Emas
(9) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta sangat jarang
marah. Jika Ia sampai marah, ia dengan segera memadamkannya.
Ia juga sangat jarang gelisah. Walaupun seseorang marah kepada-
Nya, Ia tidak pernah merasa gusar, benci, marah, terganggu atau
dendam. Selain itu, Ia malah akan memberi pakaian yang baik,
jubah dan alas tidur kepada mereka. Sebagai akibat dari kebajikan
ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi seperti sebelumnya; saat
terlahir sebagai manusia Ia memiliki tanda utama no. 11 yaitu, kulit
yang kuning cerah bagaikan emas murni siïågã-nikkha. sebab Ia
memiliki tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah
tangga, Ia akan menjadi raja dunia. Jika Ia melepaskan keduniawian,
Ia akan menjadi Buddha Yang Mahatahu, sebagai akibat tidak
langsungnya, Ia dengan mudah memperoleh pakaian yang baik,
jubah, dan alas tidur.
Di sini, keadaan yang bebas dari kemarahan dan tindakan
memberi pakaian yang baik, jubah dan alas tidur dalam banyak
kehidupan lampaunya yaitu (1) kamma. Wajah seorang yang
sedang marah dan tidak tenang, yaitu sangat buruk sekali. Tidak
ada hiasan yang lebih baik daripada pakaian yang baik dan indah.
Oleh sebab itu, mereka yang tidak dapat menahan kemarahan
dan tidak pernah memberi pakaian yang baik, jubah, dan alas
tidur tidak akan memiliki wajah yang enak dipandang seolah-olah
memberitahukan tentang kemarahan mereka pada masa lalu.
Wajah dari orang yang tidak pernah atau jarang marah terlihat enak
dipandang, wajahnya tenang. Ada empat cara untuk memperoleh
kecantikan:
(1) memberi dà na makanan di kehidupan lampau,
(2) memberi dà na pakaian di kehidupan lampau,
3528
(3) memberi bantuan dengan menyapu,
(4) tidak marah-marah.
Dari semua persyaratan ini, Bodhisatta telah memenuhi semuanya
dalam banyak kehidupan lampaunya. Oleh sebab itu Bodhisatta
memperoleh tanda utama no. 11 yaitu kulit kuning cerah bagaikan
emas murni siïågi-nikkha yang memberitahukan kepada para
dewa dan manusia bahwa Ia telah memenuhi empat persyaratan
ini, hal ini yaitu (2) kamma-sarikkhaka. Kulit keemasan yaitu (3)
lakkhaõa. Memperoleh pakaian yang baik dengan mudah yaitu
(4) lakkhaõà nisaÿsa.
Organ Kelamin yang Tersembunyi
(10) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta membina
hubungan yang sangat baik antara sanak saudara dan teman-teman
yang terpisah jauh; Ia menciptakan hubungan yang harmonis antara
ibu dan anak yang tidak akrab; antara ayah dan anak yang tidak
berkecocokan, antara saudara (laki-laki dan perempuan) yang saling
bermusuhan. Ia bergembira di dalam keharmonisan yang Ia ciptakan.
Sebagai akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi
seperti sebelumnya; saat terlahir sebagai manusia Ia memiliki tanda
utama no. 10 yaitu, organ kelaminnya tersembunyi di balik kulit
seperti organ kelamin Raja Gajah Chaddanta. sebab Ia memiliki
tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia
akan menjadi raja dunia, sebagai akibat tidak langsungnya, Ia akan
memiliki banyak keturunan yang mampu menghancurkan bala
tentara musuh. Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan menjadi
Buddha Yang Mahatahu. Dan sebagai akibat tidak langsungnya,
Ia memiliki banyak anak yaitu siswa-siswa mulia yang mampu
menghancurkan musuh kotoran batin.
Di sini, tindakan kebajikan menciptakan persatuan antara sanak
saudara dalam banyak kehidupan lampaunya yaitu (1) kamma.
saat sanak saudara rukun, mereka saling melupakan kesalahan
pihak lainnya. Bahkan saat mereka bertengkar, mereka akan
menjaga agar orang lain tidak sampai mengetahui kesalahan yang
dilakukan oleh saudaranya. Jika ada orang yang mengatakan,
3529
2
“Ini yaitu kesalahannya,” mereka akan mengangkat tangan dan
menyangkal, “Siapa yang melihat hal itu? Siapa yang mendengar
hal itu? Tidak ada di antara kami yang melakukan kesalahan itu!”
Demikianlah mereka saling menutupi kesalahan saudaranya. Dapat
dikatakan bahwa Bodhisatta tidak memedulikan kesalahan semacam
itu dan dengan cara demikian Ia membawa keharmonisan bagi sanak
saudara dan teman-teman-Nya dengan menutupi kesalahan mereka
agar jangan sampai terlihat sehingga mereka dapat hidup dalam
kebahagiaan. Hal ini yaitu (2) kamma-sarikkhaka. Organ kelamin
yang tersembunyi di balik kulit yaitu (3) lakkhaõa. Memiliki ribuan
siswa mulia yang seperti anaknya yaitu (4) lakkhaõà nisaÿsa.
Tubuh yang Simetris dan Proporsional dan Telapak Tangan
Panjang yang Dapat Menyentuh Lutut Tanpa Membungkukkan
Badan
(11) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta sangat
menghormati pelayan-pelayan-Nya sesudah secara pribadi
mengevaluasi perbuatan-perbuatan dan kualitas mereka. Hanya
sesudah Ia mengetahui kualifikasi mereka, Ia menunjukkan
penghargaan yang sesuai dengan jasa mereka dan memutuskan,
“Orang ini layak mendapat penghargaan ini,” “Orang ini layak
mendapat hadiah sebanyak ini.” Jika Anda membayarkan setengah
dari jumlah yang harus diberikan kepada mereka yang selayaknya
mendapatkan secara penuh, itu artinya Anda menghancurkan
setengah dari milik si penerima. Jika Anda memberi dua
kepada mereka yang selayaknya mendapatkan satu, artinya Anda
menghilangkan satu dari milik Anda. Dengan tidak melakukan
kedua hal ini (memberi lebih ataupun kurang) Bodhisatta
memberi penghargaan kepada pelayan-pelayan-Nya dengan
memberi sesuai dengan apa yang layak mereka terima. Sebagai
akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi seperti
sebelumnya; saat terlahir sebagai manusia Ia memiliki tanda utama
no. 19 yaitu tubuh yang simetris dan proporsional (bulat dan indah)
bagaikan pohon banyan dan tanda utama no. 9 yaitu telapak tangan
yang panjang yang dapat menyentuh lutut tanpa membungkukkan
badan. sebab Ia memiliki kedua tanda ini, jika Ia memilih untuk
tetap menjadi perumah tangga, Ia akan menjadi raja dunia, sebagai
3530
akibat tidak langsungnya, Ia akan memiliki berkah kekayaan seperti
permata, emas, perak, dan benda-benda berharga lainnya, gudang
harta dan lumbung. Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan
menjadi Buddha Mahatahu. Dan sebagai akibat tidak langsungnya,
Ia memiliki kekayaan spiritual: keyakinan (saddhà ), moralitas (sãla),
pengetahuan (suta), pengorbanan (cà ga), kebijaksanaan (pa¤¤Ã ), rasa
malu (hiri) dan rasa takut (ottappa) akan perbuatan jahat.
Di sini, penghargaan yang Ia berikan atas jasa seseorang yaitu
(1) kamma. Panjang rentang kedua tangan-Nya yang sama dengan
tinggi badan-Nya dan panjang yang sama antara bagian tubuh
atas dengan bagian tubuh bawah-Nya sebagai akibat dari tindakan
itu yaitu (2) kamma-sarikkhaka. Tubuh-Nya yang seperti pohon
banyan, dan panjang yang sama antara bagian tubuh atas dengan
bagian tubuh bawah-Nya yaitu (3) lakkhaõa. Memiliki tujuh
kekayaan spiritual yaitu (4) lakkhaõà nisaÿsa.
Tubuh yang Sempurna, Tidak Terlihat Kerutan Ruas Tulang
Belakang di Punggung dan di Leher-Nya
(12) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta selalu
menginginkan kesejahteraan banyak makhluk. Ia menginginkan
keamanan bagi empat kebahagiaan yang dimiliki oleh umat
manusia. Ia merenungkan, “Bagaimana agar makhluk ini
memperoleh kemakmuran melalui saddhà ?” “Bagaimana agar
mereka memperoleh kemakmuran melalui sãla, menjalani lima
peraturan atau sepuluh peraturan?” “Bagaimana agar mereka
memperoleh kemakmuran melalui suta dan mengikuti nasihat-
nasihat para bijaksana?” “Bagaimana agar mereka memperoleh
kemakmuran melalui caga, dengan mengorbankan (melepaskan)
apa yang mereka miliki?” “Bagaimana agar mereka memperoleh
kemakmuran melalui panna?” “kebenaran dan pengetahuan bahwa
semua makhluk memiliki kammanya sendiri?” “Bagaimana mereka
mendapat kemajuan dalam hal kekayaan dan padi, tanah dan ladang,
binatang-binatang berkaki dua dan berkaki empat, anak-anak dan
istri, pelayan dan pekerja, sanak saudara dan teman-teman?” Sebagai
akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi seperti
sebelumnya; saat terlahir sebagai manusia Ia memiliki tanda utama
3531
2
no. 17 yaitu tubuh yang sempurna bagaikan bagian depan dari
seekor singa, tanda utama no. 18 yaitu punggung yang sempurna
dari pinggang sampai leher bagaikan lempengan emas, tidak terlihat
kerutan sebab ruas tulang punggung-Nya, tanda utama no. 20 yaitu
leher yang bundar dan proporsional. sebab Ia memiliki ketiga
tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia
akan menjadi raja dunia, sebagai akibat tidak langsungnya, Ia akan
memperoleh banyak perhiasaan kerajaan dan kemewahan-Nya tidak
akan berkurang. Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan menjadi
Buddha Mahatahu; dan sebagai akibat tidak langsungnya, kebajikan
duniawi dan non-duniawinya seperti saddhà , sãla, suta, cà ga, pa¤¤Ã ,
dan lain-lain, tidak pernah menurun.
Di sini, keinginan-Nya untuk menyejahterakan banyak makhluk
yaitu (1) kamma. Kesempurnaan bentuk tubuh-Nya yang
menunjukkan keinginan-Nya untuk menyejahterakan makhluk-
makhluk lain yaitu (2) kamma-sarikkhaka. Tubuh yang sempurna,
leher yang bundar, dan punggung yang tanpa kerutan yaitu (30
lakkhaõa. Kekayaan duniawi dan non-duniawi yang tidak pernah
berkurang yaitu (4) lakkhaõisaÿsa.
Tujuh Ribu Pembuluh Darah di Tenggorokan
(13) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta tidak pernah
menyakiti makhluk lain dengan kedua tangan-Nya, dengan
memakai batu, tongkat, pedang atau senjata apa pun. Sebagai
akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi seperti
sebelumnya; saat terlahir sebagai manusia Ia memiliki tanda utama
no. 21 yaitu, “Tujuh ribu pembuluh darah di tenggorokan-Nya dan
menyebarkan rasa makanan ke seluruh tubuh-Nya bahkan yang
sekecil biji wijen sekalipun.” sebab Ia memiliki tanda ini, jika Ia
memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia akan menjadi
raja dunia, Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan menjadi
Buddha Mahatahu; dan sebagai akibat tidak langsungnya, Ia jarang
menderita penyakit.
Di sini, kebajikannya yang tidak menyakiti makhluk lain yaitu
(1) kamma. Ia yang melukai orang lain dengan memakai
3532
kedua tangan, dan lain-lain, biasanya memiliki luka, darah yang
menggumpal di bagian tubuh korban yang dipukul yang akan
menyebabkan kesakitan yang lebih lanjut. Sedangkan Bodhisatta,
seolah-olah memberitahukan bahwa dalam kehidupan-kehidupan
lampaunya Ia tidak pernah melakukan kekerasan kepada makhluk
lain, sebuah kebajikan yang mengakibatkan kesehatan yang baik,
Ia memperoleh tanda berupa pembuluh darah di tenggorokan-
Nya, hal ini yaitu (2) kamma-sarikkhaka. Pembuluh-pembuluh
darah ini yaitu (3) lakkhaõa. Kesehatan-Nya yang baik yaitu (4)
lakkhaõà nisaÿsa.
Mata yang Biru Jernih dan Bulu Mata yang Lentik
(14) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta tidak pernah
menatap marah dengan mata melotot kepada orang lain bagaikan
mata udang. Tidak pernah Ia mendelik marah kepada orang lain.
Jika orang lain menatap marah kepada-Nya, Ia hanya menutup
mata. Hanya jika orang lain menatap-Nya tanpa kemarahan, Ia
akan menatap kembali dengan penuh cinta kasih dan ketenangan,
tidak pernah dengan kebencian. Sebagai akibat dari kebajikan ini,
Ia menikmati kebahagiaan surgawi seperti sebelumnya; saat terlahir
sebagai manusia Ia memiliki tanda utama no. 29 yaitu mata yang biru
jernih dan tanda utama no. 30 yaitu bulu mata yang lentik bagaikan
bulu mata anak sapi yang baru lahir. sebab Ia memiliki kedua
tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia
akan menjadi raja dunia, jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan
menjadi Buddha Mahatahu; dan sebagai akibat tidak langsungnya,
Ia diperhatikan dan dijaga oleh para manusia, dewa, dan brahmÃ
dengan penuh kepercayaan dan cinta kasih.
Di sini, Ia menatap orang lain dengan pandangan penuh cinta kasih
dalam banyak kehidupan lampaunya yaitu (1) kamma. Mereka
yang sering mendelik sambil mengerutkan dahi dalam menatap
orang lain, matanya cenderung terlihat demikian. Mereka yang
menatap orang lain dengan tatapan penuh kasih sayang dan penuh
hormat akan memiliki mata yang tenang dan dihiasi oleh lima
kecantikan. Bodhisatta memiliki mata yang biru jernih, bulu mata-
Nya lentik dan melengkung ke atas seolah-olah memberitahukan
3533
2
tentang tatapan mata-Nya yang penuh kasih sayang dan penuh
hormat pada masa lampau: semua ini yaitu (2) kamma-sarikkhaka.
Mata yang sangat biru jernih dan bulu mata yang sangat lentik
melengkung ke atas yaitu (3) lakkhaõa. Diperhatikan dan dijaga
dengan penuh hormat oleh makhluk-makhluk lain yaitu (4)
lakkhaõà nisaÿsa.
Lapisan Daging Tipis di Kening-Nya
(15) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta selalu
memimpin sekelompok orang dalam melakukan perbuatan-
perbuatan baik, ucapan-ucapan yang baik, pikiran-pikiran yang
baik, dà na, moralitas yang baik, berpuasa, melayani orang tua, dan
lain-lain. Sebagai akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan
surgawi seperti sebelumnya; saat terlahir sebagai manusia Ia
memiliki tanda utama no. 32 yaitu, “Lapisan daging tipis yang
terlihat seperti ikat kepala emas di kening-Nya.” sebab Ia memiliki
tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia
akan menjadi raja dunia, Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan
menjadi Buddha Mahatahu; dan sebagai akibat tidak langsungnya,
Ia akan memiliki banyak makhluk sebagai pengikut-Nya atau Ia
menjadi pemimpin dari banyak makhluk.
Di sini, tindakan-Nya memimpin sekelompok orang dalam
melakukan kebajikan yaitu (1) kamma; Ia yang memimpin
orang-orang lain untuk melakukan kebajikan seperti dà na, dan
lain-lain, tidak pernah terlihat sedih dalam sebuah perkumpulan;
sebaliknya Ia akan mondar-mandir di antara orang-orang dengan
kepala tegak tanpa rasa takut, namun dengan gembira dan perasaan
puas. Ia juga memiliki banyak pengikut. Bodhisatta dalam banyak
kelahiran lampau-Nya telah melakukan tindakan bajik ini. Untuk
memberitahukan para dewa dan manusia akan hal ini, Bodhisatta
lahir dengan daging tipis di kening-Nya (di sekeliling kepala-Nya);
oleh sebab itu, kemampuan daging tipis ini untuk memberitahukan
kepada makhluk lain tentang kebajikan masa lampau-Nya yaitu
(2) kamma-sarikkhaka; daging tipis ini (di sekeliling kepala-Nya)
yaitu (3) lakkhaõa. Banyaknya makhluk yang menjadi pengikut-
Nya yaitu (4) lakkhaõnisaÿsa.
3534
Bulu Badan dan Rambut di Antara Alis Mata-Nya
(16) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta menjauhkan
diri dari kata-kata dusta (musà và da); Ia mengatakan apa yang benar;
(tanpa disertai dusta), kata-kata benar yang Ia ucapkan dipercayai
hingga akhir; Ia memiliki kata-kata yang sungguh-sungguh dan
tegas; Ia mengucapkan kata-kata yang dapat dipercaya dan menjadi
pegangan bagi banyak orang. Sebagai akibat dari kebajikan ini, Ia
menikmati kebahagiaan surgawi seperti sebelumnya; saat terlahir
sebagai manusia Ia memiliki tanda utama no. 13 yaitu bulu badan,
masing-masing sehelai di setiap pori-pori tubuh-Nya dan tanda
utama no. 31 yaitu rambut di antara kedua alis mata-Nya. sebab
Ia memiliki kedua tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi
perumah tangga, Ia akan menjadi raja dunia, Jika Ia melepaskan
keduniawian, Ia akan menjadi Buddha Mahatahu; dan sebagai
akibat tidak langsungnya, semua kemauan-Nya dipenuhi oleh
banyak makhluk.
Di sini, kebajikan-Nya dalam mengucapkan hanya kata-kata yang
benar dalam banyak kehidupan lampau-Nya yaitu (1) kamma.
Kemampuan bulu badan-Nya, yang masing-masing sehelai di
setiap pori-pori tubuh-Nya dan rambut yang tumbuh di kening-Nya
untuk memberitahukan tentang kebajikan-Nya dalam berkata-kata
benar yaitu (2) kamma-sarikkhaka. Bulu badan dan rambut di
antara kedua alis mata yaitu (3) lakkhaõa. Kemauan-Nya yang
dilaksanakan oleh orang lain yaitu (4) lakkhaõisaÿsa.
Empat Puluh Gigi yang Saling Bersentuhan Satu Sama Lain
(17) Dalam banyak kehidupan lampau-Nya, Bodhisatta menjauhkan
diri dari ucapan-ucapan yang menghasut yang dapat menyebabkan
hilangnya rasa persahabatan di antara orang banyak; Ia sebaliknya
membawa keharmonisan kepada mereka yang terpisah; Ia menjaga
keutuhan hubungan mereka yang berhubungan baik; Ia merasa
gembira di antara orang-orang yang bersahabat baik; Ia sangat
senang melihat atau mendengar mereka yang bersatu padu; Ia
hanya mengucapkan kata-kata yang dapat membangkitkan rasa
persatuan di antara teman-teman. Sebagai akibat dari kebajikan
3535
2
ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi seperti sebelumnya; saat
terlahir sebagai manusia Ia memiliki tanda utama no. 23 yaitu gigi
yang berjumlah persis empat puluh, dan tanda utama no. 25 yaitu
gigi-gigi yang saling bersentuhan satu sama lain sehingga tidak
ada celah di antaranya. sebab Ia memiliki kedua tanda ini, jika Ia
memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia akan menjadi raja
dunia, jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan menjadi Buddha
Mahatahu; dan sebagai akibat tidak langsungnya, Ia diikuti para
pengikut yang bersatu padu yang tidak dapat dipisahkan oleh
makhluk lain.
Di sini, menjauhkan diri dari ucapan-ucapan menghasut selama
banyak kehidupan lampau yaitu (1) kamma. Mereka yang sering
menghasut, tidak memiliki gigi lengkap berjumlah empat puluh,
dan di antara gigi-gigi mereka terdapat celah, sebab mereka
membubarkan persatuan orang-orang lain dan memisahkan mereka.
Bodhisatta, sebaliknya, memiliki empat puluh gigi dan saling
bersentuhan satu sama lain, seolah-olah memberitahukan kepada
dewa dan manusia akan perbuatan-Nya yaitu tidak mengucapkan
kata-kata hasutan dalam banyak kehidupan lampau-Nya dalam
saÿsà ra. Jadi, kemampuan gigi-gigi itu dalam menyatakan tentang
perbuatan-Nya itu yaitu (2) kamma-sarikkhaka. Gigi yang lengkap
berjumlah empat puluh dan tidak terdapat celah di antaranya yaitu
(3) lakkhaõa. Memiliki pengikut yang bersatu padu dan tidak dapat
dipisahkan oleh makhluk lain yaitu (4) lakkhaõà nisaÿsa.
Lidah yang Panjang dan Suara yang Memiliki Kualitas
Bagaikan Suara BrahmÃ
(18) Dalam banyak kehidupan lampau-Nya, Bodhisatta menjauhkan
diri dari kata-kata kasar dan menghina; Ia selalu berkata-kata sopan,
tanpa cela, menyenangkan, dan menarik hati banyak orang. Sebagai
akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi seperti
sebelumnya; saat terlahir sebagai manusia Ia memiliki tanda utama
no. 27 yaitu, “Lidah yang panjang, rata dan lembut” dan tanda utama
no. 28 yaitu suara-Nya yang memiliki delapan kualitas bagaikan
brahmà . sebab Ia memiliki kedua tanda ini, jika Ia memilih untuk
tetap menjadi perumah tangga, Ia akan menjadi raja dunia. Jika
3536
Ia melepaskan keduniawian, Ia akan menjadi Buddha Mahatahu;
dan sebagai akibat tidak langsungnya, kata-kata-Nya sangat efektif,
berpengaruh, dan penuh kuasa.
Di sini, tindakan menjauhkan diri dari kata-kata kasar dan menghina
(pharusa-và cà ) dan hanya berkata-kata yang manis, menyenangkan
dan sopan dalam banyak kehidupan lampau-Nya dalam saÿsà ra
yaitu (1) kamma. Mereka yang sering mengucapkan kata-kata kasar
dan menghina memiliki lidah yang cacat, buruk, tebal, memiliki
belahan di tengah sehingga orang lain akan mengetahui bahwa
mereka yaitu orang yang sering mengucapkan kata-kata yang tidak
baik dengan memelintir lidahnya. Sebaliknya Bodhisatta memiliki
lidah yang panjang, rata, dan lembut seolah-olah memberitahukan
para dewa dan manusia bahwa Ia tidak pernah mengucapkan kata-
kata yang tidak baik melainkan kata-kata yang manis, merdu, dan
sopan. Mereka yang sering berkata-kata kasar memiliki suara yang
pecah, kasar, dan tidak menyenangkan dalam berbagai hal sehingga
orang banyak akan mengetahui sumpah serapah yang mereka
ucapkan dengan suara yang pecah dan parau. Bodhisatta memiliki
suara dengan delapan kualitas seolah-olah mengatakan, “Biar para
dewa dan manusia tahu akan ucapan-ucapan-Nya dalam banyak
kehidupan lampau yang tidak pernah mengucapkan kata-kata kasar,
mengutuk yang menyebabkan suara menjadi kasar dan parau.”
Jadi, lidah yang panjang, rata, dan lembut dan delapan kualitas
yaitu yang menjelaskan kebajikan-Nya dalam berkata-kata yaitu
(2) kamma-sarikkhaka. Lidah yang panjang, rata dan lembut dan
suara dengan delapan kualitas yaitu (3) lakkhaõa. Kepatuhan yang
ditunjukkan oleh para dewa dan manusia, dan kata-katanya yang
efektif, berpengaruh dan berkuasa yaitu (4) lakkhaõà nisaÿsa
Dagu yang Seperti Dagu Singa
(19) Dalam banyak kehidupan lampau-Nya, Bodhisatta menjauhkan
diri dari kata-kata yang tidak bermanfaat yang bagaikan tanaman
padi yang kekurangan pupuk dan gagal berbuah. Ia hanya
mengatakan apa yang benar dan tepat sesuai peristiwa yang sedang
berlangsung; Ia mengucapkan kata-kata yang bermanfaat, jujur,
dan berhubungan dengan Dhamma, dan memberi nasihat-
3537
2
nasihat serupa kepada murid-murid-Nya; Ia mengucapkan dengan
sungguh-sungguh apa yang bermanfaat yang disertai bukti-bukti
bagaikan di dalam suatu pengadilan, yang layak diperhatikan oleh
para pendengar-Nya. Sebagai akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati
kebahagiaan surgawi seperti sebelumnya; saat terlahir sebagai
manusia Ia memiliki tanda utama no. 22 yaitu dagu yang sempurna
(seperti hendak tersenyum) bagaikan dagu singa. sebab Ia memiliki
tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia
akan menjadi raja dunia. Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan
menjadi Buddha Mahatahu; dan sebagai akibat tidak langsungnya,
Ia tidak akan dapat dicelakai oleh musuh-musuhnya baik dari dalam
maupun dari luar.
Di sini, tidak mengucapkan kata-kata yang tidak bermanfaat
(sampha-palapa) yaitu (1) kamma. Mereka yang sering
mengucapkan kata-kata yang tidak bermanfaat memiliki dagu
yang melengkung, bengkok atau bentuk-bentuk lainnya yang
tidak indah dilihat sehingga orang lain akan mengetahui bahwa
mereka telah mengucapkan kata-kata yang tidak bermanfaat.
Bodhisatta, sebaliknya memiliki rahang yang sempurna seolah-olah
memberitahukan dewa dan manusia bahwa Ia tidak mengucapkan
kata-kata yang tidak bermanfaat dan hanya mengucapkan kata-kata
yang bermanfaat bagi pendengar-Nya. Kemampuan bentuk rahang
yang sempurna ini untuk memberitahukan tentang kata-kata yang Ia
ucapkan pada masa lampau yaitu (2) kamma-sarikkhaka. Rahang
yang sempurna dengan kemampuannya itu yaitu (3) lakkhaõa.
Kekebalan-Nya dalam menghadapi serangan musuh-musuh-Nya
baik dari dalam maupun dari luar yaitu (4) lakkhaõà nisaÿsa.
Gigi yang Proporsioanal dan Empat Gigi Taring yang Putih
(20) Dalam banyak kehidupan lampau-Nya, Bodhisatta telah
menjauhkan diri dari penghidupan salah dan memiliki mata
pencaharian yang bersih; Ia tidak melakukan berbagai bentuk
kecurangan seperti menipu dalam hal timbangan, menipu dalam
hal keranjang, menipu dalam hal uang; menerima suap, membujuk
dengan cara menipu; menipu dengan barang-barang palsu;
melakukan tindakan kekerasan seperti memotong tangan dan kaki,
3538
membunuh, mengikat, merampas, menghancurkan kota-kota dan
desa. Sebagai akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan
surgawi seperti sebelumnya; saat terlahir sebagai manusia Ia
memiliki tanda utama no. 24 yaitu gigi yang proporsional dan
tanda utama no. 26 yaitu gigi taring-Nya putih cemerlang bagaikan
bintang pagi. sebab Ia memiliki kedua tanda ini, jika Ia memilih
untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia akan menjadi raja dunia.
Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan menjadi Buddha Mahatahu;
dan sebagai akibat tidak langsungnya, Ia memiliki banyak pengikut
dan pelayan.
Di sini, penghidupan yang bersih dalam banyak kehidupan lampau-
Nya yaitu (1) kamma. Mereka yang memiliki penghidupan yang
tidak bersih tidak memiliki gigi yang proporsional, baik bagian atas
maupun bagian bawah, dalam maupun luar, dan gigi taringnya
terlihat kotor seolah-olah memberitahukan orang lain mengenai
kecurangan mereka. Sebaliknya, Bodhisatta memiliki gigi yang rata
dan gigi taring-Nya putih cemerlang seolah-olah mengatakan, “Biar
dewa dan manusia tahu akan penghidupan-Nya yang bersih yang
Ia lakukan dalam banyak kehidupan lampau-Nya dalam saÿsà ra.”
Jadi, kerapian gigi-Nya yang memberitahukan tentang kemurnian
penghidupan-Nya dalam kehidupan lampau yang tidak terhitung
banyaknya dalam saÿsà ra yaitu (2) kamma-sarikkhaka. Gigi yang
rata dan taring yang putih yaitu (3) lakkhaõa. Banyaknya pengikut
dan pelayan yaitu (4) lakkhaõà nisaÿsa
Demikianlah
“”
.jpeg)





