Biksu Budha 5

 



ajJhàna, yaitu, RÃ¥pàvacara-Jhàna termasuk bentuk-bentuk 

yang diciptakan melalui pikiran, ia mampu menciptakan banyak 

tubuh dari satu tubuh atau satu tubuh dari banyak tubuh dan juga 

memiliki kemampuan sejenis lainnya. Selain itu, ia juga menguasai 

Tiga Piñaka dan memiliki enam kekuatan batin. (keterampilan ini 

disebut Maggasiddha-pariyatti dan Maggasiddha-Abhi¤¤Ã , tanpa 

memelajari dan melatihnya secara khusus, seseorang dapat menjadi 

terpelajar dalam hal Piñaka dan memiliki kekuatan batin segera 

sesudah   ia mencapai Arahatta-Magga. Pengetahuan dan kekuatan 

itu terjadi berkat kekuatan Magga.)

Keesokan harinya, terlihat Buddha mengunjungi rumah Dokter 

Jãvaka bersama 499 bhikkhu dan duduk untuk menerima 

persembahan makanan. Thera Cåëapanthaka tidak turut pergi 

sebab   kakaknya Thera Mahàpanthaka tidak menerima undangan 

untuknya. Dokter Jãvaka pertama-tama mempersembahkan bubur. 

Buddha tidak menerima bubur itu melainkan menutup mangkuk-

Nya dengan tangan-Nya. Jãvaka bertanya, “Buddha Yang Agung, 

mengapa Engkau tidak menerima bubur ini?” “Masih ada seorang 

bhikkhu di vihàra,” jawab Buddha.

Selanjutnya Jãvaka mengutus orangnya, “Pergilah, teman! Jemput 

bhikkhu yang masih tertinggal di vihàra.” Sebelum kedatangan orang 

itu, Thera Cåëapanthaka dengan kekuatan batinnya menciptakan 

seribu bhikkhu, yang berbeda satu dengan yang lainnya yang 

2583

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

masing-masing sedang melakukan aktivitas yang berbeda, seperti 

menjahit jubah, dan lain-lain.

sebab   orang yang diutus oleh Jãvaka melihat begitu banyak bhikkhu 

di vihàra, (ia tidak berani mengundang mereka semua, sebab   ia 

diperintahkan oleh Jãvaka untuk menjemput hanya satu orang. Maka 

ia kembali dan berkata kepada majikannya, “Tuan Jãvaka, bhikkhu 

yang ada di vihàra jauh lebih banyak daripada semua bhikkhu yang 

berada di rumahmu. Aku tidak tahu siapa yang harus kujemput.” 

Jãvaka bertanya kepada Buddha, “Siapakah nama Thera yang masih 

tertinggal di vihàra? Buddha Yang Agung” saat   Buddha berkata, 

“Dia yaitu   Cåëapanthaka,” Jãvaka mengutus orangnya lagi dengan 

berkata, “Pergilah lagi, teman! Tanyakan ‘Siapakah Thera mulia yang 

bernama Cåëapanthaka?’ dan jemputlah dia.”

Orang itu pergi ke vihàra dan bertanya, “Siapakah Thera mulia yang 

bernama Cåëapanthaka?” “Cåëàpanthaka yaitu   aku! Cåëàpanthaka 

yaitu   aku!” jawab seluruh seribu bhikkhu itu. Orang itu pulang 

lagi dan berkata kepada Jãvaka, “Tuan, seluruh seribu bhikkhu itu 

menjawab ‘Cåëàpanthaka yaitu   aku! Cåëàpanthaka yaitu   aku!’ 

aku bingung siapakah yang harus kuundang, aku tidak dapat 

mengenalinya” sebab   Dokter Jãvaka yaitu   seorang penyumbang 

Ariya yang telah menembus Empat Kebenaran, saat orang itu 

memberitahunya, ia mengetahui bahwa orang yang tertinggal 

di vihàra yaitu   orang yang memiliki kekuatan batin. “Pergilah, 

teman!” Jãvaka berkata, “Katakan kepada yang pertama menjawab, 

katakan kepadanya bahwa Buddha memanggilnya dan jemputlah 

dia dengan memegang pinggir jubahnya.” Dengan kata-kata itu, 

Jãvaka mengutus orangnya sekali lagi. Orang itu pergi lagi dan 

melakukan sesuai perintah majikannya. Sesaat   seribu bhikkhu itu 

lenyap. Baru lalu   orang itu dapat menjemput Cåëapanthaka. 

sesudah   itu Buddha menerima bubur dan memakannya.

sesudah   kembali ke vihàra sesudah   makan, terjadi diskusi di antara 

para bhikkhu, “Para Buddha sungguh mulia. Beliau dapat membantu 

seorang bhikkhu, yang tidak mampu menghafalkan satu syair, 

menjadi seorang yang sakti!” Mengetahui pikiran para bhikkhu, 

Buddha datang ke pertemuan itu dan duduk di tempat yang telah 

2584


disediakan untuk-Nya. lalu   Beliau bertanya, “Para bhikkhu, 

apakah yang sedang kalian bicarakan?” saat   para bhikkhu 

menjawab, “Buddha Yang Agung, kami sedang membicarakan 

tentang kemuliaan-Mu!” Buddha berkata, “Para bhikkhu, menerima 

warisan Lokuttara dari-Ku sekarang ini dengan mengikuti 

nasihat-Ku bukanlah suatu hal yang menakjubkan. Sewaktu 

kebijaksanaannya masih belum matang jauh pada masa lampau, 

Cåëapanthaka juga menerima warisan Lokiya dengan mengikuti 

nasihat-Ku.” “Kapankah itu terjadi, Buddha Yang Agung?” tanya 

para bhikkhu. Dan atas permohonan mereka, Buddha menceritakan 

Cåëaseññhi Jàtaka sebagai berikut:

Cåëaseññhi Jàtaka 

Para bhikkhu, pada masa lampau, pada masa Raja Brahmadatta 

memerintah Kota Bàràõasã. Pada masa itu seorang pedagang 

bijaksana yang bernama Cåëaseññhi yaitu   seorang yang ahli 

dalam membaca pertanda. Suatu hari dalam perjalanannya ke 

istana untuk melayani raja, ia melihat seekor tikus mati dan sesudah   

mengamati dan merenungkan posisi planet di langit, ia membaca 

pertanda bahwa, “Orang bijaksana yang memungut tikus mati ini 

akan mampu memelihara keluarganya dan menjalani usahanya.” 

Seorang miskin yang tidak terkenal, mendengar kata-kata pedagang 

bijaksana itu dan mengetahui bahwa pedagang bijaksana itu tidak 

akan mengucapkan kata-kata itu tanpa memahaminya, ia memungut 

tikus mati itu, pergi ke pasar dan menjualnya sebagai makanan 

kucing dan mendapatkan uang. Dengan uang itu, ia membeli 

gula merah dan membawa sekendi air minum. Melihat beberapa 

penjual bunga yang pulang dari hutan sesudah   memetik bunga, ia 

memberi   sedikit gula merah dan secangkir air bersih untuk 

mereka menyegarkan diri. Sebagai terima kasih, masing-masing 

penjual bunga itu memberi   segenggam bunga kepada orang 

miskin itu.

(Selanjutnya, si orang miskin akan disebut ‘murid berbakat’ sebab   

ia memang berbakat dan sebab   ia yaitu   seorang murid yang 

menerima instruksi yang diberikan oleh si pedagang bijaksana, 

Cåëaseññhi.) dengan bunga-bunga itu, ia membeli lebih banyak 

2585

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

gula merah sebanyak yang dapat ia beli dari uang hasil penjualan 

bunga dan pergi ke taman membawa gula merah itu dan sekendi 

air minum. Pada hari itu, para penjual bunga membagi rata bunga-

bunga dengannya, lalu   mereka pergi. Demikianlah si murid 

berbakat itu dengan cepat mendapatkan delapan keping uang 

perak.

Pada suatu hari, badai menyerang, si murid berbakat pergi ke 

sebuah taman tua dan sewaktu menumpuk dahan dan ranting 

yang patah sebab   angin kencang, untuk dijadikan kayu bakar, 

ia menerima enam belas keping uang dari pengrajin tembikar 

kerajaan. Ditambah delapan keping uang yang ia peroleh dari para 

penjual bunga, sekarang ia memiliki dua puluh empat keping uang, 

ia berpikir, “Aku memiliki pekerjaan untuk mendapatkan uang: 

menjadi penyumbang air bagi para pemotong rumput.” Dengan 

pikiran demikian, ia meletakkan kendi air di tempat yang tidak 

terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dari gerbang kota. lalu   

ia memberi   air minum gratis kepada lima ratus pemotong 

rumput yang datang dari luar kota. Para pemotong rumput berkata 

kepadanya, “Teman, engkau memberi   pelayanan besar kepada 

kami. Apa yang dapat kami lakukan untukmu?” Si murid berbakat 

menjawab, “Jika waktunya telah tiba, kalian dapat membantuku.” 

sesudah   mengucapkan kata-kata itu, orang itu mengembara dan 

berteman dengan pejabat-pejabat yang bertugas di jalan darat dan 

pejabat yang bertugas di jalan air.

Suatu hari pejabat yang bertugas di jalan darat memberitahunya 

bahwa seorang pedagang kuda akan berkunjung ke Kota Bàràõasã, 

membawa lima ratus ekor kuda. Mendengar berita itu, si murid 

berbakat menyampaikannya kepada para pemotong rumput dan 

meminta mereka untuk membawa masing-masing seikat rumput 

lebih banyak dari apa yang mereka bawa pada hari-hari sebelumnya. 

saat   kuda-kuda itu datang, si murid berbakat menumpuk seribu 

ikat rumput itu di dekat gerbang kota sehingga rumput-rumput itu 

terlihat oleh si pedagang kuda, sesudah   itu ia duduk. Si pedagang 

kuda itu tidak berhasil mendapatkan makanan kuda walaupun 

ia telah mencarinya di seluruh kota. Maka ia memberi   seribu 

keping uang itu kepada si murid berbakat dan mengambil seribu 

2586


ikat rumput itu.

Dua atau tiga hari berikutnya, temannya (yang lain), pejabat 

yang bertugas di jalan air, memberinya informasi bahwa sebuah 

kapal barang besar sedang berlabuh di pelabuhan. Ia berpikir, 

“Kesempatan untuk mendapatkan uang datang lagi!,” maka ia 

menyewa sebuah kereta lengkap senilai delapan keping perak dan 

pergi ke pelabuhan. Ia memberi   sebuah cincin kepada si kapten 

kapal sebagai uang muka. Di suatu tempat di dekat pelabuhan, ia 

menggantung tirai sehingga menyerupai toko. Duduk di sana, ia 

memerintahkan orang-orangnya, “Jika para pedagang lain datang 

mencariku, beritahukan kepadaku melalui tiga tahap. (Ada tiga 

tempat yang harus dilalui informasi itu.)

Mendengar kedatangan kapal barang itu, para pedagang berjumlah 

seratus orang, bergegas dari Kota Bàràõasã ke pelabuhan dengan 

tujuan untuk membeli barang-barang dagangan. Pelayan si murid 

berbakat yang telah berada di sana sebelum para pedagang itu 

berkata kepada mereka, “Kalian tidak akan mendapat barang apa 

pun, sebab   pedagang yang duduk di sana telah membayar uang 

muka untuk seluruh barang itu.” Mendengar kata-kata itu, seratus 

pedagang Bàràõasã mendatangi si murid berbakat (yang dipanggil 

‘pedagang besar’).

Para pelayan si murid berbakat dengan hormat menginformasikan 

kepadanya tentang kedatangan para pedagang melalui tiga tahap 

seperti yang telah diinstruksikan sebelumnya untuk memperbesar 

keuntungannya. Masing-masing dari seratus pedagang itu 

memberinya seribu keping uang untuk diizinkan menjadi pemegang 

saham dalam perdagangan itu. lalu   lagi masing-masing dari 

mereka memberi   seribu keping uang lagi kepadanya sebagai 

keuntungan agar mereka (membuatnya mengundurkan diri dari 

perdagangan itu dan) memonopoli seluruh barang dagangan yang 

ada di kapal itu. Si murid berbakat mendapatkan dua ratus ribu 

keping uang dalam sekali duduk dan membawa uang itu ke Bàrànasã 

dan berpikir “Aku harus melakukan sesuatu sebagai ungkapan 

terima kasih,” ia membawa seratus ribu keping uang dan pergi ke 

rumah si pedagang bijaksana Cåëaseññhi.

2587

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

lalu   si pedagang bijaksana bertanya kepada si murid berbakat, 

“Anakku, bagaimana engkau mendapatkan begitu banyak uang?” 

si murid berbakat menceritakan seluruh kisahnya, “Menuruti 

nasihat yang engkau berikan saat melihat seekor tikus mati, aku 

menjadi kaya memiliki dua ratus ribu dua puluh empat keping 

uang.” Si pedagang bijaksana mempertimbangkan, “Seorang 

pemuda yang sangat berbakat ini tidak boleh menjadi milik orang 

lain, ia harus menjadi milikku.” Maka ia menyerahkan putrinya, 

yang telah dewasa, kepada si murid berbakat, untuk dinikahi dan 

membantunya menjadi kepala keluarga. Saat si pedagang bijaksana 

meninggal dunia, ia mewarisi posisi si pedagang itu dan hidup 

hingga akhir umur kehidupan saat itu dan terlahir kembali sesuai 

perbuatannya.

sesudah   menceritakan kisah saat ini dan masa lampau, Buddha 

mengucapkan kata-kata sehubungan dengan dua kisah itu dan 

mengucapkan syair berikut:

Appakenapi medhàvã pàbhatena vicakkhaõo, 

Samuññhàpeti attànaÿ, aõuÿ aggiÿ va sandhamaÿ.

O anak-anak-Ku, para bhikkhu! Bagaikan seorang bijaksana yang 

menyiramkan minyak ke api yang kecil dan berusaha terus-

menerus meniupnya, akan menghasilkan api yang berkobar 

besar, demikian pula seorang bijaksana yang memandang jauh ke 

depan dan retrospektif, yang hati-hati dan selalu merenungkan, 

dapat memperoleh kekayaan besar dari investasi kecil dan dapat 

meningkatkan statusnya dari seorang kaya menjadi seorang 

jutawan.

Demikianlah Buddha menceritakan kisah hidup ini kepada para 

bhikkhu di Dhammasala.

(c) Gelar Etadagga

Selanjutnya, saat Buddha duduk di atas Singgasana Dhamma 

dikelilingi oleh para bhikkhu dalam pertemuan penganugerahan 

2588


gelar etadagga, Beliau memuji Thera Cåëapanthaka sebagai 

berikut:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ 

manomayaÿ kàyaÿ abhinimminantànaÿ yadidaÿ 

Cåëapanthako (1) cetovivañña kusalànaÿ yadidaÿ Cåëapanthako 

(2).” “Para bhikkhu, di antara para siswa-Ku yang mampu 

menciptakan tubuh melalui kekuatan batin, Cåëapanthaka 

yaitu   yang terbaik (1); di antara para siswa-Ku yang terampil 

dalam pencapaian RÃ¥pàvacara-Jhàna, Cåëapanthaka yaitu   

yang terbaik (2).”

Demikianlah Buddha menganugerahkan gelar etadagga ganda 

kepada Thera Cåëapanthaka.

Sedangkan kepada Thera Mahàpanthaka, Buddha memujinya 

sebagai berikut:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ 

sa¤¤Ã vivañña-kusalànaÿ yadidaÿ Mahàpanthako.” “Para 

bhikkhu, di antara para siswa-Ku yang terampil dalam 

pencapaian ArÃ¥pàvacara-Jhàna, Mahàpanthaka yaitu   yang 

terbaik.”

Dengan kata-kata pujian ini Buddha menganugerahkan gelar 

etadagga kepada Thera Mahàpanthaka dalam hal sa¤¤Ã  vivañña-

kusala “Terampil dalam membebaskan diri dari kesadaran.”

(saat   para bhikkhu lain mencipatkan tubuh melalui kekuatan 

batin, mereka hanya mampu menciptakan sedikit, tiga atau empat, 

dan sebagainya, mereka tidak mampu menciptakan tubuh-tubuh 

dalam jumlah besar. Dan saat   mereka melakukannya, mereka 

hanya mampu menciptakan tubuh yang sama dengan diri mereka 

dan dalam hal aktivitas, tubuh ciptaan itu akan melakukan aktivitas 

yang sama. Tetapi Cåëapanthaka, mampu menciptakan seribu tubuh 

dalam satu proses kesadaran. Tubuh-tubuh ciptaan itu memiliki 

bentuk yang berbeda-beda, itulah sebabnya ia mendapatkan gelar 

etadagga dalam hal menciptakan tubuh melalui pikiran. Khotbah-

2589

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

khotbah sehubungan dengan dua bhikkhu ini dapat dibaca dalam 

Apadàna, Theragàthà, Dhammapada, Udàna, dan Komentarnya 

masing-masing.)

Demikianlah kisah dua Panthaka bersaudara

(13) Thera Subhåti

(a) Cita-cita masa lampau

Yang Mulia Thera SubhÃ¥ti, seorang baik, terlahir dalam keluarga 

brahmana perumah tangga sebelum munculnya Buddha 

Padumuttara, seratus ribu kappa yang lalu, bernama Nanda.

Pemuda Nanda, memelajari tiga Veda tetapi sebab   ia tidak 

menemukan manfaat penting dalam Veda, ia menjadi petapa 

bersama pemuda lainnya berjumlah empat puluh empat ribu orang 

di kaki Gunung Nisabha dan mencapai lima kemampuan bahin dan 

mencapai delapan pencapaian Lokiya. Ia juga membantu empat 

puluh empat ribu rekan petapanya, mencapai kemampuan batin 

dan Jhàna.

Pada saat itu Buddha Padumuttara muncul di dunia ini dan sewaktu 

ia berkunjung ke Kota Kerajaan Haÿsàvatã, ia memeriksa dunia 

makhluk-makhluk hidup pada suatu pagi dan melihat potensi 

murid-murid Nanda, empat puluh empat ribu petapa, yang dapat 

mencapai Kearahattaan. Sedangkan Nanda sendiri, Buddha 

mengetahui bahwa ia akan bercita-cita untuk menjadi seorang 

Siswa Besar yang memiliki dua kehormatan. sebab   itu, suatu pagi 

Beliau mandi dan pergi menuju pertapaan Nanda, membawa sendiri 

mangkuk dan jubah-Nya seperti dalam kisah Thera Sàriputta. 

Persembahan buah-buahan, persembahan tempat duduk bunga, dan 

Nirodha Samàpatti yang terjadi di pertapaan itu juga sama seperti 

yang diceritakan dalam kisah Thera Sàriputta.

Yang berbeda di sini yaitu   saat   Buddha bangun dari Nirodha 

Samàpatti, Beliau berkata kepada seorang siswa Thera, yang 

memiliki dua kehormatan: (1) hidup bebas dari kotoran batin 

2590


dan penuh kebahagiaan, dan (2) layak menerima persembahan-

persembahan yang baik, “Anak-Ku, babarkanlah khotbah 

penghargaan kepada seluruh petapa atas persembahan tempat 

duduk bunga ini!” dari tempat duduknya, Thera membabarkan 

khotbah, dengan merenungkan Tiga Piñaka. sesudah   khotbah itu 

berakhir, Buddha Padumuttara sendiri juga membabarkan khotbah. 

sesudah   Buddha selesai dengan khotbah-Nya, seluruh empat puluh 

empat ribu petapa itu mencapai kesucian Arahatta. Sedangkan guru 

mereka, Petapa Nanda, ia tidak dapat mengikuti khotbah Buddha, 

sebab   ia terpesona melihat sosok bhikkhu yang berkhotbah 

sebelumnya itu. (sebab   ia lebih tertarik pada pengkhotbah itu, 

ia tidak memerhatikan khotbah Buddha.) Sambil merentangkan 

tangan-Nya ke arah empat puluh empat ribu murid, Beliau berkata, 

‘Etha bhikkhavo, Datanglah, Bhikkhu!’ Mereka semua sesaat   

kehilangan rambut dan janggut mereka dan memiliki perlengkapan 

yang diciptakan dengan kekuatan batin, dan berubah menjadi para 

bhikkhu dengan indria yang terkendali bagaikan para Thera yang 

telah menjadi bhikkhu selama enam puluh tahun dan berusia 

delapan puluh tahun.

sesudah   memberi hormat kepada Buddha, Petapa Nanda berdiri 

di hadapan Beliau dan bertanya, “Yang Mulia, siapakah bhikkhu 

yang membabarkan khotbah penghargaan atas persembahan tempat 

duduk bunga ini?” “Bhikkhu itu,” jawab Buddha, “yaitu   seorang 

yang memiliki gelar etadagga sebab   kemuliaan hidup bahagia 

bebas dari kotoran moral dan yang layak menerima persembahan 

yang baik dalam masa pengajaran-Ku.” “Aku tidak menginginkan 

kenikmatan manusiawi atau surgawi sebagai hasil dari adhikàra 

ini yang kulakukan selama tujuh hari. Sesungguhnya, aku bercita-

cita untuk menjadi seorang yang mendapatkan gelar etadagga 

lengkap dengan dua kemuliaan itu pada masa pengajaran Buddha 

mendatang seperti Thera yang memberi   khotbah penghargaan 

tadi.” Si Petapa Nanda berkata. Mengetahui bahwa cita-citanya 

akan tercapai tanpa rintangan, Buddha mengucapkan ramalan dan 

pergi dari tempat itu. sebab   Nanda selalu mendengarkan khotbah 

Dhamma yang disampaikan oleh Buddha dan selalu menjaga 

Jhàna agar tidak merosot, ia terlahir kembali di alam brahmà saat 

meninggal dunia. (Ini yaitu   tekad Thera SubhÃ¥ti dan kebajikan 

2591

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

yang dilakukan pada masa lampau. Kebajikan-kebajikannya yang 

dilakukan selama kurun waktu seratus ribu kappa tidak dijelaskan 

dalam Komentar.)

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

saat   seratus ribu kappa berlalu dan saat   Buddha kita muncul, 

si orang baik yang kelak menjadi Thera SubhÃ¥ti terlahir kembali 

sebagai putra Sumanà, si pedagang kaya (adik Anàthapiõóika) 

di Kota Sàvatthã, ia bernama SubhÃ¥ti. Saat Buddha kita muncul 

dan menetap di Ràjagaha, Anàthapiõóika si pedagang tiba di 

rumah temannya (yang juga yaitu   adik iparnya) si pedagang 

Ràjagaha, dengan membawa barang-barang dagangan dari Sàvatthã. 

Sesampainya di sana, ia mendengar akan kemunculan Buddha. 

sesudah   mengunjungi Buddha yang saat itu menetap di Hutan 

Sãtavana, ia mencapai Sotàpatti-Phala pada pertemuan pertama. 

(sesudah   menjadi seorang Sotàpanna mulia) ia memohon Buddha 

untuk berkunjung ke Sàvatthã. Ia membangun tempat-tempat 

peristirahatan dalam jarak setiap satu yojanà, sepanjang perjalanan 

sejauh empat puluh lima yojanà antara Sàvatthã dan Ràjagaha, 

dengan menghabiskan biaya seratus ribu keping uang. Ia juga 

membeli taman milik Pangeran Jeta seluas delapan pai, yang dibayar 

dengan menutupi seluruh tanah itu dengan keping-keping uang 

emas. lalu   di taman itu, ia membangun Vihàra Jetavana dan 

mempersembahkannya kepada Buddha.

Pada hari Ritual   persembahan vihàra, SubhÃ¥ti pergi bersama 

kakaknya dan mendengarkan Dhamma. Keyakinannya tumbuh 

begitu kuat sehingga ia menjalani kehidupan sebagai bhikkhu. 

sesudah   menjadi seorang bhikkhu, ia memelajari dan menguasai 

Dve Màtikà, selanjutnya ia memelajari meditasi dan berusaha 

mempraktikkan latihan pertapaan. Semua ini mengantarkannya 

menuju Kearahattaan melalui pengembangan Vipassanà yang 

berlandaskan pada Mettà-Jhàna (Meditasi Cina-Kasih).

(c) Gelar Etadagga

saat   membabarkan khotbah, Thera SubhÃ¥ti melakukannya secara 

2592


objektif (dhammàdiññhàna) yaitu dengan berkonsentrasi hanya pada 

Dhamma (tanpa merujuk individu tertentu, puggalàdiññhàna) seperti 

yang dilakukan oleh Buddha. (Ini menyebabkan ia mendapatkan 

gelar etadagga sebab   hidup bahagia, bebas dari kotoran batin, 

Araõa-vihàrã).

saat   Thera mengumpulkan dàna makanan, ia berpikir bahwa, 

“Jika aku menjalani metode ini, penyumbang akan menerima 

manfaat besar,” di setiap rumah, ia akan berdiam dalam Màtta-Jhàna 

sebelum menerima persembahan makanan. (Ini menyebabkan ia 

mendapatkan gelar etadagga sebab   layak menerima persembahan 

yang baik (Dakkhiõeyya)).

sebab   itu, pada saat Buddha mengadakan pertemuan untuk 

menganugerahkan gelar etadagga, Buddha memuji Yang Mulia 

Subhåti dan menganugerahkan dua gelar:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ 

araõavihàrãnaÿ yadidaÿ SubhÃ¥ti (1), dakkhiõeyyànaÿ 

yadidaÿ SubhÃ¥ti (2),” “Para bhikkhu, di antara para siswa-Ku 

yang hidup bahagia, sebab   bebas dari kotoran, SubhÃ¥ti yaitu   

yang terbaik (1), dan ia juga yang terbaik di antara mereka yang 

layak menerima persembahan terbaik. (2)”

((1) Sehubungan dengan Araõa-vihàrã etadagga, kotoran moral 

seperti ràga, nafsu, dan lain-lain disebut raõa (sebab   mengarah 

kepada kesedihan). Para Arahanta yang hidup menikmati 

kebahagiaan sebab   mereka jauh dari kotoran moral disebut individu 

Araõavihàrã. Selain Thera SubhÃ¥ti, ada para Arahanta lain yang 

juga menikmati kehidupan itu. Tetapi saat mereka membabarkan 

khotbah, mereka memakai   metode dengan merujuk pada orang 

tertentu (puggalàdiññhàna Dhamma-desanà); mereka memuji atau 

mencela orang itu. Tetapi Thera SubhÃ¥ti memakai   metode 

hanya membicarakan Dhamma sebagai objek (Dhammàdiññhàna), 

Dhamma yang diajarkan oleh Buddha. Itulah sebabnya ia mendapat 

gelar etadagga di antara para bhikkhu Araõa-vihàrã.

(Upari-paõõàsa Pàëi berisi Araõa-vibhaïga Sutta yang menjelaskan 

2593

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

enam faktor Araõa-vihàra, ‘hidup dalam kebahagiaan’, sebagai 

berikut: (1) Mengikuti Jalan Tengah (Majjhima Pañipadà) yang 

menghindari dua ekstrem. (2) Menurut dhammàdiññhàna, seseorang 

mengatakan “Ini yaitu   hal yang layak dipuji” “Ini yaitu   hal 

tercela,” jika menuruti metode puggalàdiññhàna, jika seseorang 

mengatakan “Ia yaitu   orang yang terpuji” akan mengarah pada 

sanjungan; dan jika seseorang mengatakan “Ia yaitu   orang 

yang tercela” akan mengarah pada penghinaan. sebab   itu, ia 

seharusnya menghindari sanjungan dan hinaan. (3) Pengembangan 

kebahagiaan internal (ajjhatta-sukha) sesudah   memadamkan dua 

jenis kebahagiaan; kebahagiaan internal yang berasal dari Meditasi 

Samatha (Ketenangan) dan Vipassanà (Pandangan Cerah) dan 

kebahagiaan eksternal (bahiddha-sukha) yang berasal dari lima 

indria. (4) membicarakan orang lain baik di depan atau di belakang 

orang itu hanya jika pembicaraan itu benar dan bermanfaat. (5) 

Berbicara atau berkhotbah tidak terburu-buru tetapi dengan lemah 

lembut, dan (6) Berdebat tidak di negeri orang tentang bahasa orang 

lain (walaupun bahasa itu berbeda).

(Sehubungan dengan (2) Dakkhiõeyya etadagga, para Arahanta 

lain juga layak menerima persembahan yang baik. Tetapi saat 

menerima makanan dari rumah-rumah, ia menyadari bahwa ‘jika 

aku melakukan hal ini, penyumbang akan menerima manfaat besar’; 

ia akan pertama-tama bermeditasi cinta kasih, lalu   sesudah   

bangun dari meditasi itu ia menerima makanan itu. sebab   itu, ia 

mendapat gelar etadagga dalam hal Dakkhineyya.)

(Sehubungan dengan hal ini, (harus disebutkan bahwa) Jenderal 

Dhamma, Thera Sàriputta, melakukan pembersihan objek-

objek. “Membersihkan objek artinya membersihkan diri sendiri 

sehingga layak menerima persembahan dan penyempurnaan 

hasilnya sehubungan dengan hal ini dapat dikatakan bahwa Thera 

Sàriputta, Jenderal Dhamma, selalu membersihkan objek, (dan 

yang dimaksud dengan ‘objek’ yaitu   diri Thera sehingga menjadi 

layak menerima persembahan dan bahwa penyempurnaan hasil 

melalui kebiasaan berdiam dalam Nirodha Samàpatti.) Tetapi Thera 

SubhÃ¥ti, menyucikan perbuatan memberi (dan yang dimaksud 

dengan ‘perbuatan memberi’ yaitu   bahwa: saat   Thera berdiam 

2594


di dalam meditasi Mettà, si penyumbang akan bereaksi terhadap 

meditasi yang dilakukan oleh Thera; batinnya menjadi semakin 

lembut dan penghormatannya meningkat sebelum memberi   

persembahan. sebab   itu, penyucian dari perbuatan memberi 

dan pengembangan hasilnya terjadi juga melalui si penyumbang 

sebab   si penyumbang dikendalikan oleh kelembutan batinnya 

dan penghormatan yang tinggi.) Penjelasan: saat   Thera Sàriputta 

pergi mengumpulkan dàna makanan, ia akan berdiri di depan 

pintu dan berdiam dalam meditasi Mettà selama beberapa saat 

hingga si penyumbang keluar membawa makanan. Hanya saat   

si penyumbang keluar, baru ia bangun dari meditasinya dan 

menerima makanan. Thera SubhÃ¥ti, berdiam dalam meditasi cinta 

kasih dan saat   si penyumbang menghampirinya, ia akan bangun 

dari meditasinya dan menerima persembahan. Para pembaca 

dapat membaca Penjelasan Araõavibhaïga Sutta dalam Komentar 

Uparipaõõàsa untuk penjelasan lebih lanjut.)

Khotbah sehubungan dengan Yang Mulia Thera SubhÃ¥ti dapat 

dibaca dari Apadàna dan Komentarnya, dan lain-lain.)

 

Demikianlah kisah Thera Subhåti.

(14) Khadiravaniya Thera Revata

(a) Cita-cita masa lampau

(Nama asli Thera ini yaitu   Revata. Ia yaitu   adik Thera Sàriputta. 

sebab   ia menetap di sebuah Hutan Akasia yang tanahnya tidak 

rata dan berbatu-batu, ia dikenal juga sebagai Khadiravaniya Revata, 

“Revata penghuni Hutan Akasia.” Dalam kisah ini akan digunakan 

nama Revata untuk memudahkan.)

Sang Thera yaitu   warga   Haÿsàvatã dan merupakan seorang 

yang baik pada masa kehidupan Buddha Padumuttara seratus ribu 

kappa yang lalu. Ia sedang menjalani sebuah kapal penyeberangan di 

pelabuhan Payàga di Sungai Gaïgà. lalu   Buddha Padumuttara 

bersama seratus ribu bhikkhu datang ke pelabuhan itu (untuk 

menyeberangi sungai).

2595

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Melihat Buddha, Revata yang baik berpikir, “Tidak mungkin aku 

dapat terus-menerus bertemu dengan Buddha. Sekarang Buddha 

datang ke sini, ini yaitu   kesempatan baik bagiku untuk melakukan 

kebajikan.” Maka ia membuat sebuah tongkang besar (yang terdiri 

dari susunan perahu) dengan atap putih dan menggantung bunga-

bunga harum. Di lantainya ia menebarkan alas yang terbuat dari 

serat berkualitas baik. lalu   ia menyeberangkan Buddha dan 

seratus ribu bhikkhu dengan tongkang ini  .

Pada saat itu, Buddha menganugerahkan gelar etadagga kepada 

seorang bhikkhu sebagai seorang âra¤¤aka, “Penghuni hutan.” 

Melihat hal itu, si tukang perahu berpikir, “Aku juga harus menjadi 

seorang yang mendapatkan gelar itu dalam masa pengajaran Buddha 

mendatang.” sebab   itu ia mengundang Buddha dan melakukan 

Dàna besar kepada Beliau dan dengan bersujud di kaki Buddha, 

ia mengungkapkan cita-citanya, “Buddha Yang Agung, seperti 

halnya bhikkhu yang Engkau anugerahi gelar etadagga, aku juga 

bercita-cita untuk menjadi yang terbaik di antara mereka yang 

menetap di dalam hutan dalam pengajaran Buddha mendatang.” 

Melihat bahwa cita-citanya akan tercapai tanpa halangan, Buddha 

mengucapkan ramalan, “Pada masa depan, dalam masa pengajaran 

Buddha Gotama, engkau akan menjadi yang penghuni hutan yang 

terbaik!” lalu   Buddha pergi. (Kebajikan-kebajikan Thera 

selama selang waktu seratus ribu kappa tidak disebutkan dalam 

Mahà-Aññhakathà.)

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

sesudah   melakukan banyak kebajikan, si tukang perahu baik itu 

mengembara di alam surga dan alam manusia (tanpa pernah 

terlahir di alam sengsara) dan akhirnya dikandung dalam rahim 

ibunya, RÃ¥pasàri, seorang brahmana perempuan, di Desa Brahmana 

Nàlaka di Magadha. Ia yaitu   yang termuda dari anak-anak yang 

terdiri dari tiga saudara, Upatissa, Cunda, dan Upasena dan tiga 

saudari Càlà, Upacàlà, dan SãsÃ¥pacàlà selain dirinya, dan ia sendiri 

bernama Revata.

2596


Selanjutnya orangtua Revata berdiskusi dan sepakat, “Anak-anak 

kita, sesudah   dewasa, akan pergi dan ditahbiskan menjadi sàmaõera 

oleh para bhikkhu, putra Buddha. Mari kita mengikatnya dengan 

belenggu kehidupan rumah tangga selagi ia masih muda (sebelum 

ia menjadi sàmaõera.)”

(sesudah   menjadi seorang petapa, Thera Sàriputta menahbiskan tiga 

saudarinya—Càlà, Upacàlà, dan SãsÃ¥pacàlà—dan dua saudaranya—

Cunda dan Upasena. Hanya Revata yang masih kanak-kanak yang 

tidak ditahbiskan. Itulah alasan diskusi kedua orangtua itu.)

sesudah   berdiskusi dan sepakat, orangtua itu membawa seorang 

pengantin perempuan dari keluarga yang berstatus sama dalam 

hal kelahiran, kekayaan, dan kehormatan dan memberi   berkah 

mereka dengan mengatakan, “Anakku, semoga engkau hidup lebih 

lama daripada nenekmu!”

(Orangtua itu memberi   berkah itu sebab   mereka menginginkan 

usia panjang bagi si pengantin. Pada waktu itu si nenek tua itu 

berumur 120 tahun dengan rambut memutih, gigi tanggal, kulit 

keriput; seluruh tubuhnya ditutupi oleh bintik kehitaman (tahi lalat) 

dan punggungnya sangat bongkok bagaikan kasau rumah.)

Batin Revata Tergerak

Mendengar berkah yang diucapkan oleh orangtuanya, Revata 

berpikir, “Perempuan ini masih muda, masih berada dalam tahap 

pertama umur kehidupannya. Penampilan yang begitu muda, 

dikatakan, akan menjadi bongkok dan tua seperti nenekku! Aku 

akan menanyakan apa maksud orangtuaku.” lalu   ia berkata, 

“Apa maksudmu berkata seperti itu?” Orangtuanya menjawab, 

“Anakku, kami berharap gadis ini, istrimu, dapat berumur panjang 

seperti nenekmu. Itulah maksud berkah yang kami berikan.” “O ibu 

dan ayah!” Revata melanjutkan sebab   ia masih belum mengerti, 

“Apakah penampilan muda gadis ini akan menjadi tua seperti 

penampilan nenek?” “Apa yang engkau katakan, Anakku? Hanya 

mereka yang memiliki banyak jasa, seperti nenekmu, yang dapat 

menikmati umur panjang.” Demikianlah orangtuanya mencoba 

2597

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

menjelaskan kepadanya.

Revata lalu   merenungkan, “Dikatakan bahwa penampilan 

cantik dan muda gadis ini akan memudar seperti nenekku; ia akan 

berambut putih, giginya tanggal, dan kulitnya keriput. Apa gunanya 

menginginkan kecantikan jasmani yang pasti akan mengalami 

ketuaan dan menjadi bongkok. Tentu tidak ada gunanya sama sekali! 

Aku akan mengikuti jejak kakak-kakakku.” Maka ia berpura-pura 

bermain seperti biasa yang dilakukan anak seusianya, ia memanggil 

teman-teman sebayanya dan berkata, “Ayo teman-teman, mari 

kita bermain kejar-dan-tangkap.” Orangtuanya melarang dengan 

berkata, “Jangan pergi keluar rumah pada hari pernikahanmu!” 

Namun demikian, Revata tetap berpura-pura bermain dengan 

teman-temannya. saat   tiba gilirannya untuk berlari, ia hanya 

berlari sebentar dan menunda kembalinya seolah-olah ia harus 

menjawab panggilan alam. Saat kedua kali ia mendapat giliran untuk 

lari, ia berlari dan kembali lagi lebih cepat. Tetapi, saat ketiga kalinya, 

ia mempertimbangkan bahwa itu yaitu   kesempatan terbaiknya 

untuk melarikan diri demi kebaikannya dan ia berlari sekuat tenaga 

hingga akhirnya tiba di tempat tinggal beberapa bhikkhu hutan 

yang menjalani bentuk paÿsukÃ¥lika dari pertapaan (dhutaïga). Ia 

memberi hormat dan memohon kepada mereka untuk ditahbiskan 

menjadi sàmaõera.

Para Thera itu menolak permohonannya dengan berkata, “O anak 

baik, kami tidak mengetahui engkau anak siapa. Dan engkau datang 

dengan memakai perhiasan lengkap. Siapa yang berani menahbiskan 

engkau menjadi sàmaõera. Tidak seorang pun yang berani,” Revata 

mengangkat kedua tangannya dan berteriak, “Aku dirampok! Aku 

dirampok!”

Para bhikkhu lain berdatangan dan berkata, “O anak baik, tidak 

seorang pun yang merampok perhiasan atau pakaianmu. Tetapi 

engkau berteriak bahwa engkau sedang dirampok! Apa yang 

engkau maksudkan?” Revata lalu   berkata,

“Yang Mulia, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa pakaian 

atau perhiasanku dirampok. Sesungguhnya yang dirampok 

2598


dariku yaitu   tiga kebahagiaan alam manusia, dewa, dan Nibbàna 

(sebab   permohonanku untuk mendapatkan penahbisan ditolak.) 

(Pernyataan tiga kebahagiaan manusia, dewa, dan Nibbàna didengar 

dari pernyataan orang lain.) Yang kumaksudkan yaitu   perampokan 

atas tiga kebahagiaan itu. Biarlah tetap demikian jika kalian tidak 

mau menahbiskan aku. Akan tetapi, apakah kalian mengenal kakak 

tertuaku?” “Siapakah nama kakak tertuamu?” tanya para bhikkhu 

itu, “Kakak tertuaku bernama Upatissa sewaktu masih menjadi 

orang awam,” jawab Revata. “Sekarang ia bernama Sàriputta sebagai 

seorang Thera. Demikianlah mereka mengatakan, Yang Mulia.”

lalu   para bhikkhu berdiskusi, “Teman-teman, kalau begitu, 

anak muda ini ternyata yaitu   adik kita! Saudara tua kita Sàriputta, 

Jenderal Dhamma, dulu berpesan kepada kita, ‘Sanak saudaraku 

semuanya berpandangan salah. Jika ada orang yang datang dan 

mengaku sebagai sanak saudara kita, tahbiskanlah ia.’ Anak 

ini yaitu   adik dari saudara kita Sàriputta, Jenderal Dhamma. 

sebab   itu marilah kita menahbiskannya!” sebab   itu mereka 

memberi   subjek meditasi tacapa¤caka dan menahbiskannya 

sebagai sàmaõera. Kelak saat ia berusia dua puluh tahun, mereka 

menahbiskannya sebagai seorang bhikkhu dan mendesaknya untuk 

berusaha keras dalam meditasi.

sesudah   mendapatkan subjek meditasi, Thera Revata masuk ke Hutan 

Akasia yang bertanah kasar dan berbatu, yang terletak tidak terlalu 

jauh dan tidak terlalu dekat dari para penahbisnya. Di sana ia melatih 

praktik kebhikkhuan. Dengan tekad, “Aku tidak akan menjumpai 

Buddha atau kakakku Thera sebelum aku mencapai Arahatta-

Phala.” Revata berlatih meditasi dengan tekun dan tanpa terasa 

tiga bulan telah berlalu. Sebagai seorang yang lemah lembut (cucu 

dari orang kaya) makanan yang ia makan terasa kasar pikirannya 

bingung bagaikan kulit yang keriput. (Pikirannya tidak dapat 

menjadi lunak dan tenang, menurut versi Sinhala.) Meditasi yang 

ia latih tidak dapat berakhir. Tetapi Revata tidak patah semangat, 

saat tiga bulan berlalu, ia menjalani Pavàraõà; ia tidak pergi ke 

tempat lain sesudah   vassa berakhir melainkan tetap di sana, di hutan 

yang sama dan melanjutkan latihannya. Semakin ia berlatih keras 

dengan usaha dan ketekunan, semakin pikirannya menjadi terpusat. 

2599

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

saat   Thera melanjutkan dengan Vipassanà, ia berhasil mencapai 

kesucian Arahatta.

Kunjungan Buddha Bersama Banyak Bhikkhu

Saat Sàriputta mendengar berita tentang penahbisan adiknya, Revata, 

ia berkata kepada Buddha, “Buddha Yang Agung, dikatakan bahwa 

adikku Revata, telah ditahbiskan. Ia mungkin bahagia atau tidak 

bahagia dalam pengajaran-Mu. Izinkan aku pergi menjumpainya.” 

Saat itu Revata sedang berlatih keras dalam meditasi Vipassanà 

dan mengetahui hal itu, Buddha dua kali melarang kepergiannya. 

saat   Sàriputta mengajukan permohonan untuk ketiga kalinya, 

mengetahui bahwa Revata telah menjadi Arahanta, Buddha berkata, 

“Aku akan pergi bersamamu, anak-Ku, Sàriputta. Beritahukanlah 

kepada para bhikkhu!”

sesudah   mengumpulkan para bhikkhu, Thera Sàriputta mengajak 

mereka semua dengan berkata, “Teman-teman, Buddha akan 

melakukan perjalanan. Mereka yang ingin pergi bersama Beliau 

boleh turut serta!” Dan saat   Buddha pergi, para bhikkhu yang 

tidak turut serta sangat sedikit. “Kita akan dapat melihat sosok 

keemasan Buddha terus-menerus dan juga mendengarkan khotbah-

Nya!” dengan harapan demikian, banyak bhikkhu yang ingin 

mengikuti Buddha. Demikianlah Buddha meninggalkan vihàra 

bersama banyak bhikkhu dengan tujuan, “Aku akan menjumpai 

Revata.”

Kekuatan Batin Thera Sãvali

Dalam perjalanan mereka, Thera ânanda bertanya saat mereka 

tiba di persimpangan jalan, “Buddha Yang Agung, kita berada di 

persimpangan jalan. Jalan yang mana yang ingin Engkau tempuh?” 

“Anak-Ku ânanda, dari dua jalan ini, yang manakah yang lurus?” 

tanya Buddha. “Buddha Yang Agung, yang lurus (jalan pintas) 

jauhnya tiga puluh yojanà, yaitu   wilayah para siluman, sulit 

mendapatkan makanan dan agak berbahaya. Jalan yang berbelok-

belok, jauhnya enam puluh yojanà dan tersedia banyak makanan,” 

jawab ânanda. lalu   Buddha bertanya apakah Thera Sãvali 

2600


turut bersama mereka, Thera ânanda menjawab membenarkan. 

“Kalau begitu, ânanda,” Buddha berkata, “Biarlah Saÿgha 

mengambil jalan lurus yang penuh bahaya dan sulit makanan. Kita 

akan menguji kekuatan batinnya yang dibangun di atas jasa masa 

lampaunya.”

sesudah   berkata demikian, Buddha menempuh jalan penuh bahaya 

dan sedikit makanan di dalam hutan. Sejak mereka memutuskan 

untuk mengambil jalan itu, para dewa menciptakan kota-kota besar 

pada setiap yojanà sebagai tempat tinggal Saÿgha yang dipimpin 

oleh Buddha. Di setiap tempat tinggal yang dihuni oleh para 

bhikkhu, para dewa yang menyamar sebagai pekerja yang diutus 

oleh raja kota itu, membawakan nasi, yang keras dan lunak, dan 

lain-lain, dan bertanya, “Di manakah Yang Mulia Sãvali? Di manakah 

Yang Mulia Sãvali?” Thera mengumpulkan semua persembahan 

itu dan mengantarkannya kepada Buddha. Bersama para bhikkhu, 

Buddha memakan makanan yang terdiri dari berbagai jenis yang 

dipersembahkan kepada Thera Sãvali oleh para dewa.

Dengan mendapatkan persembahan demikian, Buddha menempuh 

perjalanan satu yojanà setiap hari dan berhasil melewati tiga puluh 

yojanà yang penuh kesulitan dalam satu bulan, dan tiba di tempat 

tinggal yang dipersiapkan sebelumnya oleh Revata di dalam Hutan 

Akasia. sebab   sebelumnya ia telah mengetahui akan kunjungan 

Buddha, Thera Revata dengan kekuatan batinnya mengubah Hutan 

Akasia itu menjadi tempat tinggal yang layak bagi para bhikkhu 

yang dipimpin oleh Buddha. Untuk Buddha, ia menciptakan 

Kuñã Harum, sebagai tempat tinggal pada siang dan malam hari. 

lalu   ia menyambut Buddha, yang berjalan menuju tempat 

tinggal-Nya melalui jalan yang telah dihias indah. Selanjutnya Beliau 

memasuki Kuñã Harum. Dan selanjutnya para bhikkhu lainnya 

mengambil tempat-tempat tidur sesuai urutan senioritas mereka 

dalam kebhikkhuan. Mengetahui bahwa “Saat ini bukan waktu yang 

tepat untuk makan,” para dewa mempersembahkan delapan jenis 

sari buah kepada para bhikkhu. Buddha menikmati persembahan 

seperti itu dan tanpa terasa setengah bulan telah berlalu.

2601

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Kesalahpahaman Para Bhikkhu yang Gelisah

Pada saat itu beberapa bhikkhu yang gelisah berkumpul di suatu 

tempat, dan bergunjing, “Buddha Yang Agung, guru manusia 

dan para dewa, datang untuk menemui seseorang yang mengaku 

sebagai adik Siswa Utama, tetapi hanya membuang-buang waktunya 

melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak biasa. Untuk apakah 

Jetavana, Veëuvana, dan vihàra lainnya yang ada di sekitar tempat 

tinggal Revata? Bhikkhu Revata ini hanyalah seorang yang sibuk 

dengan hal-hal yang tidak penting. Praktik pertapaan apakah yang 

dijalankan oleh orang sibuk ini  ? Tentu tidak ada.”

lalu   Buddha mempertimbangkan, “Jika Aku menetap di sini 

lebih lama, tempat ini akan ramai oleh pengunjung yang terdiri dari 

empat kelompok. Para penghuni hutan menyukai kesunyian, jika 

Aku menetap lama, Revata akan menjadi tidak tenang.” Maka Beliau 

mendatangi gubuk Revata. Yang Mulia Revata melihat kedatangan 

Buddha; ia melihat dari jauh di mana ia duduk sendirian di atas batu 

datar dan bersandar pada sandaran kayu di ujung jalan setapak. 

lalu   ia menyambut Buddha dan bersujud dengan penuh 

hormat.

Buddha bertanya, “Anak-Ku Revata, tempat ini dihuni oleh binatang-

binatang buas seperti singa dan macan. Apa yang engkau lakukan 

saat engkau mendengar suara gajah liar, kuda liar, dan lain-lain?” 

“Buddha Yang Agung,” Revata menjawab, “Bagiku suara-suara gajah 

liar, kuda liar dan lain-lain, memberi   kegembiraan di dalam 

hutan ini (ara¤¤a-rati).” Buddha membabarkan khotbah kepada 

Revata tentang manfaat bertempat tinggal di hutan dalam lima ratus 

bait syair. Keesokan harinya, Beliau mengumpulkan dàna makanan 

di sekitar hutan itu dan (tanpa kembali ke tempat tinggal Revata di 

dalam Hutan Akasia) Buddha membiarkan Revata pulang; selain 

itu, dengan kekuatan batin-Nya, Beliau membuat para bhikkhu yang 

gelisah itu, yang berkata-kata buruk terhadap Revata, lupa membawa 

tongkat, alas kaki, botol obat, dan payung mereka.

Para bhikkhu gelisah itu kembali ke tempat tinggal Revata untuk 

mengambil barang-barang mereka; meskipun mereka mengambil 

2602


jalan dari arah mereka datang, mereka tidak dapat mengingat 

tempat mereka itu. Sebenarnya, pada hari sebelumnya para bhikkhu 

itu berjalan melalui jalan yang dihias (secara gaib) dan pada hari 

mereka melakukan perjalanan kembali, mereka melewati jalan 

yang (alami) tidak rata dan mereka banyak beristirahat di sana-sini 

(sebab   mereka sangat letih). Di beberapa tempat mereka terpaksa 

merangkak. Dengan kesulitan demikian, mereka sering menginjak 

tanaman-tanaman kecil, semak, dan duri. Saat mereka tiba di suatu 

tempat yang menyerupai tempat tinggal mereka, mereka melihat 

payung-payung mereka, alas kaki, botol obat dan tongkat, beberapa 

tergantung dan beberapa terletak di atas tunggul pohon akasia di 

sana-sini. Para bhikkhu gelisah itu menyadari bahwa, “Bhikkhu 

Revata sungguh yaitu   seoang yang memiliki kemampuan batin 

tinggi!” sesudah   mendapatkan kembali perlengkapan mereka, 

mereka berdiskusi dalam keheranan sebelum mereka berangkat ke 

Sàvatthã, “Oh, sungguh menakjubkan penghormatan yang diberikan 

kepada Buddha.”

Si penyumbang vihàra, Nyonya Visàkhà mengundang para bhikkhu 

yang tiba terlebih dahulu di Sàvatthã sebab   mereka berangkat lebih 

dulu, dan saat   mereka duduk, Visàkhà bertanya, “Yang Mulia, 

apakah tempat tinggal Thera Revata menyenangkan?” Para bhikkhu 

menjawab, “Ya, penyumbang, tempat tinggal Thera Revata sungguh 

menyenangkan dan indah. Bagaikan taman surgawi Nandavana 

dan Cittalatà.” Selanjutnya ia bertanya kepada kelompok para 

bhikkhu gelisah yang datang terlambat, “Yang Mulia, apakah tempat 

tinggal Thera Revata menyenangkan?” Jawaban yang diberikan oleh 

para bhikkhu itu yaitu  , “Jangan bertanya kepada kami, nyonya 

penyumbang. Tempat tinggal Revata tidak layak dibicarakan. Selain 

terletak di dataran tinggi yang gundul, tempatnya yaitu   hutan 

akasia yang lebat dengan tanah yang tidak rata dan berbatu. Di sana 

Revata hidup dengan penuh penderitaan.” Demikianlah mereka 

menceritakan pengalaman yang baru mereka alami.

Memerhatikan dua jawaban yang berbeda—yang diberikan para 

bhikkhu kelompok pertama dan kelompok kedua—dan ingin 

mengetahui jawaban yang benar, ia berkunjung kepada Buddha, 

membawa persembahan bunga. sesudah   duduk di tempat yang 

2603

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

semestinya, ia bertanya kepada Buddha, “Buddha Yang Mulia, 

beberapa bhikkhu memuji tempat tinggal Yang Mulia Revata 

sedangkan yang lainnya mencelanya. Mengapa dua jawaban itu 

bertentangan satu dengan lainnya, Buddha Yang Agung?” lalu   

Buddha berkata, “Visàkhà, tempat tinggal para mulia yang batinnya 

berbahagia yaitu   menyenangkan, tidak peduli apakah tempat itu 

menyenangkan atau tidak menyenangkan menurut istilah duniawi.” 

lalu   Buddha mengucapkan syair berikut:

“Gàme và yadi và ra¤¤e, 

ninne và yadi và thale; 

Yatthà Arahanto vihàranti 

tam bhÃ¥miràmaõeyyakam.”

“Visàkhà, penyumbang Pubbàràma dan ibu Migàra (Migàra-màtà)! 

Apakah tempat itu yaitu   sebuah desa yang dikelilingi oleh lima 

kenikmatan duniawi, atau hutan yang jauh dari kenikmatan itu, atau 

lembah hijau yang dialiri oleh sungai dengan tempat tinggal yang 

nyaman yang selaras dengan empat posisi tubuh, tempat tinggal para 

Arahanta itu sungguh merupakan tempat yang indah di permukaan 

bumi ini.” (Dikutip dari Komentar Aïguttara.)

(c) Gelar Etadagga

Selanjutnya, pada Ritual   penganugerahan gelar, Buddha 

menganugerahkan gelar etadagga kepada Thera Revata dalam 

bidang “penghuni-hutan” dengan memujinya sebagai berikut:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ àra¤¤akànaÿ 

yadidaÿ Revato Khadiravaniyo,” “Para bhikkhu, di antara para 

siswa-Ku yang bertempat tinggal di hutan, Revata, penghuni Hutan 

Akasia yaitu   yang terbaik!”

(Meskipun para Thera lain juga bertempat tinggal di hutan, mereka 

melakukannya hanya sesudah   memelajari kelayakan tempat itu, 

kelayakan air, dan kelayakan desa sebagai sumber dàna makanan. 

Tetapi Thera Revata mengabaikan kondisi ini   dan menetap di 

Hutan Akasia di daratan tinggi yang gundul dengan tanah yang 

2604


tidak rata dan berbatu. sebab   itu, ia layak menerima gelar itu sebab   

praktik menetap di hutan.)

Khotbah-khotbah yang berhubungan dengan Yang Mulia Revata 

Khadiravaniya dapat dibaca dalam Apadàna dan Komentarnya, 

Komentar Dhammapada, dan lain-lain.

Demikianlah kisah Thera Revata Khadiravaniya

(15) Thera Kaïkhà Revata

(a) Cita-cita masa lampau

Seratus ribu kappa yang lalu, pada masa kehidupan Buddha 

Padumuttara, bakal Thera Kaïkha Revata pergi ke vihàra bersama 

banyak orang lainnya seperti halnya para bakal Thera lainnya 

pada masa lampau. Dan saat berdiri di belakang para hadirin 

mendengarkan khotbah, ia melihat Buddha menganugerahkan gelar 

etadagga kepada bhikkhu tertentu sebagai yang terbaik di antara 

mereka yang berdiam dalam meditasi. Ia berpikir, “Aku juga harus 

menjadi seperti bhikkhu ini,” ia mengundang Buddha pada akhir 

khotbah ini   dan memberi   Dàna besar-besaran kepada 

Buddha selama tujuh hari dan memohon, “Buddha Yang Mulia, aku 

tidak menginginkan kebahagiaan lain sebagai hasil dari perbuatan 

baik adhikàra ini. Sesungguhnya, aku bercita-cita untuk mencapai 

gelar etadagga di antara mereka yang berdiam dalam meditasi pada 

masa pengajaran Buddha pada masa depan seperti yang dicapai 

oleh seorang bhikkhu tujuh hari yang lalu.”

saat   Buddha Padumuttara melihat ke masa depan, ia mengetahu 

bahwa cita-cita orang itu akan tercapai, maka sebelum pergi Beliau 

mengucapkan ramalan, “Di akhir seratus ribu kappa mendatang, 

akan muncul Buddha Gotama. Dalam masa pengajaran Buddha 

itu, engkau akan mencapai gelar etadagga, di antara mereka yang 

berdiam dalam meditasi!”

2605

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

sesudah   melakukan banyak kebajikan sepanjang hidupnya, orang itu 

mengembara di alam dewa dan manusia dan pada masa kehidupan 

Buddha kita, ia terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Sàvatthã 

dan bernama Revata. Suatu sore, putra si orang kaya, Revata pergi 

bersama banyak orang lainnya ke Jetavana. Saat berdiri di belakang 

kerumunan itu dan mendengarkan khotbah Buddha, muncullah 

keyakinan dalam dirinya sehingga ditahbiskan menjadi seorang 

bhikkhu yang memenuhi tugas-tugas kebhikkhuannya. sesudah   

menerima subjek meditasi dari Buddha, saat ia mempersiapkan 

dirinya untuk mengkonsentrasikan pikirannya, ia berhasil mencapai 

Lokiya Jhàna. Dengan memakai   Jhàna itu sebagai landasan, 

ia melanjutkan dengan meditasi Vipassanà dan berhasil mencapai 

kesucian Arahatta.

(c) Gelar Etadagga

Yang Mulia Revata mampu tercerap dalam berbagai bentuk meditasi 

seperti yang dilakukan oleh Buddha, kecuali dalam beberapa hal, 

siang dan malam. Selanjutnya pada suatu pertemuan di mana 

Buddha menganugerahkan gelar kepada para bhikkhu, Thera 

Kaïkhà Revata mendapatkan gelar etadagga dalam bidang meditasi, 

Buddha memujinya sebagai berikut:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkÃ¥naÿ jhàyãnaÿ 

yadidaÿ Kaïkhà-Revato,” “Para bhikkhu, di antara para siswa-Ku 

yang memiliki kebiasaan berdiam dalam meditasi, Bhikkhu Kaïkhà 

Revata yaitu   yang terbaik.”

Latar Belakang Nama Kaïkhà Revata

Suatu saat   saat Buddha melakukan perjalanan dari Sàvatthã ke 

Ràjagaha, dalam perjalanan itu, Revata memasuki sebuah gubuk 

tempat pembuatan gula merah. Melihat bahwa gula merah itu 

dicampur dengan adonan dan sekam (sebagai bagian dari proses 

yang diperlukan untuk mengeraskan gula merah ini  ), ia 

menjadi ragu terhadap kelayakan gula merah keras ini   dengan 

2606


dua bahan lainnya, sebab   kedua bahan itu kasar (àmisa). Ia berkata, 

“gula merah dengan (bahan) kasar yaitu   tidak layak sebab   

mengandung adonan dan sekam yang kasar; tidak dibenarkan 

mengkonsumsi gula merah pada sore hari.” Ia dan pengikutnya 

tidak mengkonsumsi gula merah yang telah dibentuk menjadi 

gumpalan-gumpalan.

Tidak ada satu pun bhikkhu yang memercayai dan mempraktikkan 

gagasan Thera. Para bhikkhu lain melaporkan hal itu kepada 

Buddha. Buddha bertanya, “Para bhikkhu, mengapa orang 

mencampur adonan dan sekam ke dalam gula merah?” “Untuk 

mengeraskannya, Buddha Yang Agung,” jawab para bhikkhu. “Para 

bhikkhu, jika adonan dan sekam dicampur ke dalam gula merah 

untuk mengeraskannya, maka adonan dan sekam yang dimasukkan 

ke dalam gula merah itu dapat dianggap sebagai gula merah. Para 

bhikkhu, Aku mengizinkan kalian untuk mengkonsumsi gula 

merah; kapan pun kalian inginkan,” Buddha menetapkan sebuah 

peraturan (anu¤¤Ã ta-sikkhàpada).

Dalam sebuah perjalanan, Revata melihat sebutir kacang hijau yang 

bertunas terletak dalam kotoran manusia dan berkata, “Kacang hijau 

yaitu   tidak layak (dikonsumsi), sebab   kacang hijau yang telah 

dimasak juga dapat bertunas.” Para bhikkhu yang mempercayainya 

tidak memakan kacang hijau. Masalah itu dilaporkan kepada Buddha 

yang lalu   menetapkan peraturan lain yang mengizinkan 

konsumsi kacang itu kapan pun diinginkan. (Kisah ini terdapat 

dalam Bhesajjakkhandhaka dalam Vinaya Mahà Vagga.)

Demikianlah Revata meragukan segala hal bahkan hal-hal yang 

diizinkan; sebab   ia selalu memiliki keraguan sehubungan dengan 

Vinaya, ia dikenal sebagai Kaïkhà Revata, ‘Revata, si peragu.’

Ajaran-ajaran sehubungan dengan Kaïkhà Revata dapat dibaca dari 

Apadàna dan Komentarnya, Komentar Theragàthà, dan lain-lain.

Demikianlah kisah Thera Kaïkhà Revata

2607

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

(16) Thera Soõa Koëivisa

(a) Cita-cita masa lampau

Orang baik yang kelak menjadi Thera Soõa Koëivisa, pada masa 

kehidupan Buddha Padumuttara terlahir dalam keluarga pedagang, 

ia bernama Sãrivaóóha. saat   Sãrivaóóha dewasa, seperti juga para 

Thera lainnya, ia pergi ke vihàra dan mendengarkan ajaran Buddha 

di belakang para hadirin. Melihat Buddha menganugerahkan gelar 

etadagga kepada seorang bhikkhu, yang terbaik di antara mereka 

yang berusaha keras (àraddha-viriya), ia bercita-cita, “Aku juga 

harus menjadi seperti bhikkhu ini pada masa mendatang!” saat   

khotbah ini   selesai, ia mengundang Buddha dan melakukan 

Mahàdana selama seminggu dan memohon seperti para Thera 

terdahulu. Mengetahui bahwa cita-cita putra pedagang ini   

akan tercapai, Buddha mengucapkan ramalan seperti sebelumnya 

dan lalu   kembali ke vihàra.

Kehidupan Sebagai warga   Bàràõasã

sesudah   melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya, Sãrivaódha, 

putra pedagang mengembara di alam dewa dan manusia. sesudah   

seratus ribu kappa berlalu, yaitu, saat   Buddha Kassapa mencapai 

Parinibbàna dalam Bhadda kappa ini dan sebelum Buddha kita 

muncul, Sãrivaóóha terlahir kembali dalam sebuah keluarga baik. 

Suatu hari ia sedang menikmati olahraga air bersama teman-

temannya di Sungai Gaïgà.

Seorang Pacceka Buddha berjubah usang, berpikir, “Aku akan 

melewatkan vassa dengan Bàràõasã sebagai sumber dàna makanan 

sesudah   membangun sebuah tempat tinggal di tepi Sungai Gaïgà,” 

ia mengumpulkan kayu dan ranting yang hanyut di Sungai Gaïgà. 

Pemuda itu bersama teman-temannya mendatangi Pacceka Buddha 

itu, memberi hormat kepadanya dan sambil berdiri, ia bertanya, 

“Apa yang engkau lakukan, Yang Mulia?” “Anak muda,” jawab 

Pacceka Buddha itu, “sebab   vassa hampir tiba, sebuah tempat 

tinggal diperlukan oleh seorang bhikkhu.”

2608


Pemuda itu lalu   berkata, “Yang Mulia, mohon tunggu selama 

satu hari. Besok kami akan membangun sebuah tempat tinggal 

dan mempersembahkannya kepadamu.” Pacceka Buddha berpikir, 

“Aku akan menolong pemuda baik ini,” yang memang merupakan 

tujuan dari kunjungannya itu, Pacceka Buddha menerima tawaran 

pemuda itu. Mengetahui bahwa Pacceka Buddha menerima 

tawarannya, pemuda itu pulang ke rumahnya. Keesokan harinya, 

ia mempersiapkan segala jenis persembahan dan menunggu 

kedatangan Pacceka Buddha sambil berdiri. Pacceka Buddha yang 

sedang memikirkan di mana ia dapat mengumpulkan makanan 

mengetahui pikiran pemuda itu dan pergi ke rumah pemuda itu.

Melihat kedatangan Pacceka Buddha, pemuda itu sangat gembira dan 

mengambil mangkuknya dan mempersembahkan makanan dalam 

mangkuk itu. Ia memohon, “Sudilah datang ke rumahku untuk 

menerima makanan selama tiga bulan vassa ini.” sesudah   berjanji 

dan saat   Pacceka Buddha itu pergi, bersama teman-temannya ia 

menyelesaikan pembangunan tempat tinggal lengkap dengan jalan 

setapak, sebagai tempat tinggal untuk siang dan malam bagi Pacceka 

Buddha dan mempersembahkannya kepada Pacceka Buddha.

Apa yang khusus dari pemuda ini yaitu  : saat   Pacceka Buddha 

memasuki tempat tinggal itu, si pemuda memiliki gagasan untuk 

tidak membiarkan kaki Pacceka Buddha menginjak lumpur di 

tanah yang telah ditebari dengan kotoran sapi, menghamparkan 

selimut merah yang ia kenakan yang bernilai seratus ribu keping 

uang. Melihat warna selimut merah yang menyatu dengan warna 

tubuh Pacceka Buddha, ia menjadi sangat gembira; maka ia 

berkata, “Seperti selimutku yang menjadi lebih indah saat engkau 

menginjaknya, demikian pula semoga warna tangan dan kakiku 

menjadi merah dan indah bagaikan warna bunga sepatu! Semoga 

sentuhan badanku bagaikan kain wol-katun yang digilling seratus 

kali!”

Pemuda itu melayani Pacceka Buddha selama tiga bulan vassa. 

saat   Pacceka Buddha mengadakan Ritual   Pavàraõà di akhir 

vassa, pemuda itu mempersembahkan jubah yang terdiri dari tiga 

potong kain. Lengkap dengan mangkuknya, lalu   Pacceka 

2609

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Buddha kembali ke Gunung Gandhamàdana.

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Tanpa pernah terlahir di alam sengsara, si pemuda mengembara di 

alam dewa dan manusia, dan akhirnya dikandung dalam keluarga 

Usabha di Kota Kàëacampà pada masa kehidupan Buddha kita. Sejak 

saat ia dikandung, ribuan hadiah mendatangi rumah pedagang 

itu. Pada hari kelahirannya juga, seluruh Kota Kàëacampà dibanjiri 

oleh hadiah dan persembahan. Pada hari pemberian nama, kedua 

orangtuanya berkata, “Putra kita telah memberi nama untuk dirinya 

sendiri. Kulitnya bagaikan sesuatu yang bermandikan cairan emas 

merah,” dan mereka memanggilnya Anak Soõa atau Soõa putra 

pedagang. (Nama yang diberikan yaitu   Soõa). Tetapi sebab   ia 

berasal dari suku Koëivisa, ia lebih dikenal dengan nama Soõa 

Koëivisa.) Enam puluh pengasuh ditunjuk untuk mengasuh anak 

itu yang dibesarkan penuh kebahagiaan seperti dewa.

Makanan untuk Si Putra Pedagang

Berikut ini yaitu   bagaimana mereka mempersiapkan makanan 

untuk si anak pedagang itu:

Pertama-tama lahan seluas 60 pai dibajak dan ditanami padi sàli dan 

disiram dengan (1) susu sapi, (2) air harum, dan (3) air biasa.

Di dalam aliran air di lahan itu dituangkan susu sapi dan air harum 

dari banyak kendi. saat   tangkai-tangkai padi itu telah menyerap 

susu itu, dan untuk mencegah padi itu dari bahaya dimakan oleh 

burung-burung dan serangga dan untuk menghasilkan beras yang 

lunak, tiang-tiang didirikan di lahan itu, dan diberi kasau untuk 

menopang atap dan di sudut-sudutnya ditempatkan penjaga.

saat   padi telah masak, lumbung akan direnovasi dengan 

menebarkan empat jenis salep (yaitu, kunyit, cengkeh, sejenis 

tumbuhan, dan kakkÃ¥ atau bubuk kamyin). Udara diharumkan 

dengan empat jenis salep di atas. lalu   para pekerja akan 

pergi ke lahan penanaman dan mengumpulkan panen itu dengan 

2610


saksama, mengikatnya dengan kawat dan menjemurnya. Lapisan 

salep akan ditebarkan di atas lantai lumbung; lalu   ikatan padi 

kering ditebarkan di atas lapisan salep itu. Demikianlah lapisan 

salep dan lapisan padi silih berganti sampai lumbung itu penuh. 

Pintu lumbung lalu   ditutup dan padi itu disimpan selama 

tiga tahun.

sesudah   tiga tahun, pintu lumbung dibuka. Dan keharumannya akan 

menyebar ke seluruh kota.

Saat padi sàli itu digiling, para pemabuk akan datang untuk membeli 

sekam. Beras-beras yang pecah, akan dibagikan kepada para pekerja 

dan pelayan. Hanya beras yang utuh yang disimpan untuk si anak 

pedagang.

Cara memasak beras itu yaitu   sebagai berikut: seluruh beras itu 

diletakkan di dalam sebuah keranjang yang terbuat dari benang 

emas untuk dicuci. sesudah   disaring seratus kali, beras itu direndam 

dalam air panas dan segera dikeluarkan lagi. (sebab   beras itu 

dimasak segera sesudah   dikeluarkan dari air) nasi yang dihasilkan 

bagaikan bunga melati.

lalu   nasi itu diletakkan di dalam mangkuk emas yang 

lalu   diletakkan lagi di dalam cangkir perak yang penuh 

dengan nasi susu matang yang manis dan bebas dari air dan dimasak 

(sehingga nasi itu tetap panas). Nasi itu lalu   diletakkan di 

depan si anak pedagang.

Si anak pedagang, Soõa-Koëivisa, selanjutnya memakan nasi sàli itu 

perlahan-lahan dan mencuci mulut dan tangan dan kakinya dengan 

air harum. lalu   ia diberi berbagai jenis tembakau dan sirih 

dan benda lainnya untuk mengharumkan mulutnya.

Ke mana pun ia pergi, karpet yang indah dan mahal akan 

dihamparkan. Telapak tangan dan kakinya merah bagaikan warna 

bunga sepatu. Sentuhannya sangat halus bagaikan kain wol-katun 

yang digiling seratus kali. Telapak kakinya ditutupi oleh rambut 

halus yang berwarna seperti benang teratai berbentuk spiral dan 

2611

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

yang seperti terdapat dalam giwang batu delima. Jika ia marah 

kepada seseorang, ia akan mengancam, “Engkau pikirkanlah lagi! 

Atau aku akan menginjakkan kakiku di atas tanah.” sesudah   ia 

dewasa, tiga istana dibangun untuknya (seperti pada kisah Yasa, 

si putra pedagang), untuk tiap-tiap musim. Ia juga disediakan 

(oleh orangtuanya) hiburan penari-penari perempuan. Menikmati 

kemewahan luar biasa, putra kaya itu hidup penuh kebahagiaan 

bagai dewa.

Pada waktu itu, Buddha kita telah mencapai Pencerahan Sempurna 

dan membabarkan Dhammacakka Sutta dan sekarang Beliau 

menetap di Ràjagaha. Saat itu, Raja Bimbisàra memanggil Soõa, 

putra pedagang kaya, dan mengutusnya untuk menyambut Buddha 

bersama delapan puluh orang lainnya. sesudah   mendengarkan 

khotbah Buddha, muncul keyakinan mendalam dalam dirinya, 

sehingga ia memohon kepada Buddha untuk ditahbiskan.

Buddha lalu   bertanya apakah ia telah mendapatkan izin. 

sebab   ia belum mendapatkan izin, Buddha menolaknya dengan 

berkata, “Anak-Ku Soõa, para Buddha tidak menahbiskan ia yang 

tidak diizinkan oleh orangtuanya” “Baiklah, Buddha Yang Agung,” 

Soõa berkata dan sesudah   bersujud, ia menghadap orangtuanya dan 

mendapatkan izin untuk ditahbiskan dan lalu   ia kembali 

menghadap Buddha. Atas perintah Buddha, ia ditahbiskan menjadi 

seorang bhikkhu. (Ini yaitu   kisah singkatnya. Kisah lengkapnya 

dapat dibaca dalam Cammakkhandhaka dari Vinaya Mahà 

Vagga.)

Sewaktu menetap di Ràjagaha sesudah   menjadi bhikkhu, sanak 

saudara dan teman-temannya memberi   persembahan untuk 

menghormatinya. Mereka memuji ketampanannya. Soõa berpikir, 

“Banyak orang mendatangiku. Jika mereka terus-menerus 

berdatangan, bagaimana aku dapat melatih Meditasi Ketenangan 

dan Pandangan Cerah? Aku tidak mungkin dapat melakukannya. 

Bagaimana jika sesudah   mendengarkan khotbah dari Buddha, aku 

pergi ke pekuburan di Sãtavana (Hutan Sãta) dan berusaha menjalani 

praktik pertapaan! Orang-orang tidak akan datang ke sana, sebab   

mereka tidak menyukai tanah pekuburan. sesudah   itu praktik 

2612


pertapaanku akan dapat mencapai puncaknya, yaitu Kearahattaan.” 

Demikianlah, ia mendengarkan khotbah dari Buddha dan pergi ke 

Sãtavana untuk memulai praktik pertapaannya.

Berusaha Keras

“Tubuhku terlalu lembut,” Thera Soõa berpikir, “Sebenarnya, aku 

tidak dalam posisi dapat mencapai kebahagiaan Jalan dan Buahnya 

dengan mudah. sebab   itu, aku harus mengerahkan tenaga dan 

membuat diriku lelah.” Dengan pikiran demikian, ia bermeditasi 

hanya dalam dua posisi berdiri dan berjalan (menolak melakukannya 

dalam posisi berbaring dan duduk). Sehingga muncullah bisul di 

telapak kakinya yang halus dan lembut dan seluruh jalan setapak 

itu menjadi merah saat bisulnya pecah. saat   ia tidak mampu 

lagi berjalan kaki, ia melanjutkan latihannya dengan merangkak 

memakai   siku dan lututnya yang menjadi luka sebab  nya dan 

seluruh jalan setapak menjadi dua kali lebih merah. Meskipun ia 

telah berusaha keras, ia tidak melihat tanda-tanda positif dari latihan 

meditasi yang ia lakukan. sebab   itu ia berpikir:

“Jika orang lain berusaha keras, ia juga akan sepertiku tetapi tidak 

akan melebihi apa yang telah kulakukan. Meskipun telah berusaha 

keras, aku tidak dapat mencapai Jalan dan Buahnya. Mungkin aku 

bukan seorang individu ugghañita¤¤Ã¥, vipa¤cita¤¤Ã¥ atau neyya. 

Mungkin aku hanyalah seorang individu padaparama. Kalau begitu, 

untuk apakah aku menjadi bhikkhu. Mungkin tidak ada gunanya. 

Aku akan kembali kepada kehidupan awam. Aku akan menikmati 

kenikmatan duniawi dan (sambil menikmati) aku akan melakukan 

kebajikan.”

Nasihat Buddha: Perumpamaan Sebuah Kecapi

Mengetahui pikiran Thera, Buddha datang pada suatu malam 

disertai oleh banyak bhikkhu ke tempat itu, dan melihat jalan setapak 

yang merah, Beliau bertanya, “Para bhikkhu, jalan setapak siapakah 

itu yang merah bagaikan rumah pemotongan hewan?” (Walaupun 

Beliau mengetahui, tetapi Beliau tetap bertanya, dengan tujuan 

untuk membabarkan khotbah). Para bhikkhu menjawab, “Buddha 

2613

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Yang Agung, telapak kaki Yang Mulia Soõa, yang berusaha keras 

berjalan dalam latihan meditasi, telah terluka. Jalan setapak ini 

menjadi merah bagaikan rumah pemotongan hewan yaitu   milik 

bhikkhu itu, Soõa.” Buddha berjalan menuju tempat meditasi Thera 

Soõa dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan.

Thera Soõa datang dan bersujud kepada Buddha dan duduk di 

tempat yang semestinya. saat   Buddha bertanya apakah benar ia 

memiliki pikiran seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Thera 

Soõa mengakui hal itu. Selanjutnya Buddha membabarkan khotbah, 

perumpamaan kecapi (vãõovàda), dawai kecapi tidak boleh terlalu 

kencang juga tidak boleh terlalu kendur.

Buddha, “Anak-Ku, bagaimanakah menurutmu mengenai 

pertanyaan yang akan Kuajukan ini? Engkau boleh menjawabnya 

sesukamu. Engkau terampil dalam bermain kecapi sewaktu masih 

menjadi seorang awam, bukan?”

Soõa, “Ya, Buddha Yang Agung.”

(saat   Yang Mulia Soõa masih muda, orangtuanya berpikir, “Jika 

putra kami memelajari keterampilan lain, ia akan menjadi lelah. 

Tetapi bermain kecapi yaitu   suatu hal yang dapat dipelajari sambil 

duduk dengan nyaman di suatu tempat.” Maka ia memelajari 

keterampilan bermain kecapi dan menjadi seorang pemain yang 

ahli.

(Buddha mengetahui bahwa “Bentuk meditasi lainnya tidak cocok 

untuk Bhikkhu Soõa. saat   masih menjadi seorang awam, ia terampil 

dalam bermain kecapi. Ia akan cepat mencapai pengetahuan spiritual 

jika Aku mengajarkannya dengan memanfaatkan keterampilannya 

itu.” Maka, sesudah   bertanya kepada Thera Soõa seperti di atas, 

Buddha memulai khotbah-Nya.)

Buddha, “Anak-Ku, Soõa, bagaimanakah menurutmu mengenai 

pertanyaan yang akan Kuajukan ini? Jika dawai kecapimu terlalu 

kencang, apakah kecapimu akan menghasilkan bunyi yang merdu? 

Apakah bunyinya akan bertahan lama?”

2614


Soõa, “Buddha Yang Agung, tidak mungkin. Kecapi itu tidak akan 

menghasilkan bunyi yang merdu juga tidak akan bertahan lama.”

Buddha, “AnakKu, Soõa, bagaimanakah menurutmu mengenai 

pertanyaan yang akan Kuajukan ini? Jika dawai kecapimu terlalu 

kendur, apakah kecapimu akan menghasilkan bunyi yang merdu? 

Apakah bunyinya akan bertahan lama?”

Soõa, “Buddha Yang Agung, tidak mungkin. Kecapi itu tidak akan 

menghasilkan bunyi yang merdu juga tidak akan bertahan lama.”

Buddha, “Anak-Ku, Soõa, bagaimanakah menurutmu mengenai 

pertanyaan yang akan Kuajukan ini? Jika dawai kecapimu tidak 

terlalu kencang juga tidak terlalu kendur, apakah kecapimu akan 

menghasilkan bunyi yang merdu? Apakah bunyinya akan bertahan 

lama?”

Soõa, “Ya, itu mungkin, Buddha Yang Agung, kecapi itu akan 

menghasilkan bunyi yang merdu dan akan bertahan lama.”

Buddha, “Demikian pula, anak-Ku Soõa, usaha yang berlebihan akan 

mengakibatkan kegelisahan (uddhacca). (Usaha yang berlebihan 

akan mengakibatkan kegelisahan.) Usaha yang terlalu kendur 

akan mengakibatkan kelambanan (kosajja) (Kurangnya usaha 

akan mengakibatkan kelambanan.) sebab   itu, anak-Ku Soõa, 

usaha (Viriya) dan konsentrasi (samàdhi) harus sama jumlahnya. 

(Usahakan agar usaha dan konsentrasi tetap seimbang.) Usahakan 

agar kemampuanmu seperti keyakinan (saddhà) juga dalam 

tingkat yang sama. (Usahakan agar lima indria seperti keyakinan 

(saddhà), usaha (Viriya), perhatian (sati), konsentrasi (samàdhi), 

dan kebijaksanaan (pa¤¤Ã ) juga dalam porsi yang sama.) saat 

semuanya seimbang, cobalah untuk mendapatkan ketenangan, 

dan lain-lain.”

Soõa, “Baiklah, Buddha Yang Agung.”

sesudah   menasihati Thera Soõa dengan memberi   perumpamaan 

2615

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

bermain kecapi dan sesudah   mengajarkan praktik meditasi yang 

melibatkan keseimbangan sempurna antara usaha dan konsentrasi, 

Buddha kembali ke vihàra di Bukit Gijjhakåña.

(c) Gelar Etadagga

Mempertimbangkan cara berlatih meditasi yang dilakukan oleh 

Yang Mulia Thera Soõa Koëivisa, kenyataan bahwa usaha orang lain 

harus ditingkatkan (sebab   masih belum mencukupi), bagi Thera 

Soõa Koëivisa, usahanya justru harus dikurangi (sebab   terlalu 

berlebihan). sebab   itu, saat diadakan Ritual   penganugerahan 

gelar etadagga, Buddha memujinya dan menganugerahkan gelar 

itu dalam hal usaha yang tinggi (àraddha-Viriya), dengan berkata 

sebagai berikut:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ àraddha-

viriyànaÿ yadidaÿ Soõa Koëiviso,” “Para bhikkhu, di antara para 

siswa-Ku yang berusaha keras, Soõa dari Suku Koëivisa yaitu   

yang terbaik.”

(17) Thera Soõa Kuñikaõõa

(Nama yang diberikan kepadanya oleh orangtuanya yaitu   Soõa. 

sebab   saat masih menjadi seorang awam ia selalu mengenakan 

anting yang bernilai satu crore, nama Kuñikaõõa ditambahkan. 

sebab   itu ia dikenal sebagai Thera Soõa Kuñikaõõa.)

(a) Cita-cita masa lampau

Si orang baik, bakal Thera Soõa Kuñikaõõa, juga, pada masa 

kehidupan Buddha Padumuttara, pergi bersama orang lainnya ke 

vihàra seperti yang telah diceritakan sebelumnya. Sewaktu berdiri 

di belakang para hadirin dan mendengarkan khotbah Buddha, ia 

melihat seorang bhikkhu yang mendapat gelar etadagga sebagai 

yang terbaik di antara mereka yang membabarkan ajaran dengan 

suara merdu. Orang itu berpikir, “Aku juga harus menerima 

anugerah gelar yang sama sebagai yang terbaik di antara mereka 

yang membabarkan ajaran dengan suara merdu pada masa 

2616


pengajaran Buddha mendatang.” Maka ia mengundang Buddha 

dan melakukan dàna besar selama tujuh hari dan berkata, “Buddha 

Yang Agung, tujuh hari yang lalu Engkau menganugerahkan gelar 

etadagga kepada seorang bhikkhu sebagai yang terbaik di antara 

mereka yang mengajar dengan suara merdu (kalyàõavakkaraõa). 

Aku juga bercita-cita untuk mendapatkan gelar ini   pada masa 

pengajaran Buddha mendatang sebagai hasil dari kebajikan yang 

kulakukan ini.” Mengetahui bahwa cita-cita orang itu akan tercapai 

tanpa rintangan, Buddha mengucapkan ramalan, “Kelak, pada masa 

pengajaran Buddha Gotama, engkau akan menerima gelar ini  .” 

sesudah   berkata demikian, Buddha meninggalkan tempat itu.

(b) Kebhikkhuan dalam kehidupan terakhir

sesudah   melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya, orang itu 

mengembara di alam dewa dan manusia (tanpa pernah terlahir 

di empat alam sengsara) dan dikandung dalam rahim seorang 

umat bernama Kàëã, istri seorang pedagang di Kota Kuraraghara di 

Negeri Avanti sebelum munculnya Buddha kita. saat   menjelang 

melahirkan, ia pulang ke rumah orangtuanya di Ràjagaha.

Pada saat itu Buddha kita telah mencapai Pencerahan Sempurna 

dan sedang membabarkan Dhammacakka Sutta di Taman Rusa 

Isipatana. (hari purnama bulan âsaëha, 103 Mahà Era.) pada saat 

pembabaran itu, para dewa dan brahmà dari seratus ribu alam 

semesta berkumpul di Taman Rusa itu. Pada kerumunan yang 

sedang mendengarkan khotbah Buddha itu, terdapat dua puluh 

delapan Jenderal Yakkha, dan satu di antaranya yaitu   Sàtàgira.

(Kisah lengkap mengenai dua Jenderal Yakkha ini dapat dibaca 

dalam bab terdahulu.)

(Kisah yang diceritakan dalam bab terdahulu yaitu   berdasarkan 

penjelasan Hemavata Sutta dari Komentar Sutta nipàta. Menurut 

penjelasan itu, sewaktu Sàtagira sedang mendengarkan khotbah 

Dhammacakka, ia teringat temannya Hemavata; sebab   itu ia 

tidak dapat memusatkan perhatian dan gagal menembus Jalan 

dan Buahnya; hanya sesudah   ia menjemput temannya dan kembali 

2617

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

bersama temannya, mereka berdua menjadi Sotàpanna mulia.)

(Apa yang dikutip dari Ekaka-nipàta atau Komentar Aïguttara 

dimulai dari pencapaian Sotàpatti sesudah   mendengarkan khotbah 

Dhammacakka. sesudah   itu ia menjemput Hemavata dan bertemu 

dengan temannya di angkasa di atas rumah Kàëã (dari Kuraraghara) 

di dekat Ràjagaha yang yaitu   putri seorang pedagang. Saat 

bertemu dengan Hemavata, ia ditanya oleh Hemavata mengenai 

sikap jasmani (Kàyasamàcàra), penghidupan (àjiva), dan sikap batin 

(manosamàcàra) dari Buddha, dan ia menjawab semua pertanyaan 

itu. Demikianlah saat terjadi tanya-jawab tentang kemuliaan Buddha 

seperti yang terdapat dalam Hemavata Sutta berakhir, Hemavata 

merenungkan kata-kata luhur temannya selangkah demi selangkah 

dan ia mencapai Sotàpatti-Phala. Perbedaan dua kisah ini disebabkan 

oleh perbedaan orang yang membacakan (bhàõaka).

Tidak melihat temannya Hemavata pada saat pembabaran khotbah 

Dhammacakka, Sàtagira mendatanginya namun berpapasan di 

angkasa di atas rumah Kàëã. Dan terjadilah tanya-jawab tentang 

sikap jasmani Buddha, dan seterusnya.

saat   Sàtagira sedang membicarakan Dhamma dalam penjelasannya 

tentang sikap jasmani Buddha, Kàëã mendengarkan semua dan 

muncul keyakinan dalam dirinya pada Buddha tanpa pernah 

bertemu dengan Buddha sebelumnya dan ia mencapai Sotàpatti-

Phala bagaikan seseorang yang memakan makanan yang disediakan 

untuk orang lain. Ia yaitu   seorang Sotàpanna mulia pertama dan 

siswa pertama di antara para siswi.

sesudah   menjadi seorang Sotàpanna, Kàëã melahirkan seorang putra 

pada malam hari itu juga. Putra itu diberi nama Soõa. sesudah   

menetap bersama orangtuanya selama yang ia suka, Kàëi lalu   

kembali ke Kuraraghara. sebab   putra itu mengenakan satu giwang 

yang bernilai satu crore, ia dikenal juga sebagai Soõa Kuñikaõna.

Saÿvega dan Kebhikkhuannya

Pada saat itu Yang Mulia Mahà Kaccàyana sedang menetap di bukit 

2618


Papata (atau Pavatta atau Upavatta), bergantung pada Kuraraghara 

sebagai sumber dàna makanannya. Si umat awam Kàëi melayani 

Thera yang secara rutin mengunjungi rumahnya. Si anak, Soõa, 

juga selalu menyertai Thera dan berteman dengannya.

Kapan saja ia mempunyai waktu luang, Soõa akan mendatangi 

Thera untuk melayaninya. Thera juga selalu mengajarkan Dhamma 

kepadanya sebagai imbalan. sebab   itu si anak merasakan saÿvega 

dan menjadi tekun mempraktikkan Dhamma. Pada suatu saat  , ia 

melakukan perjalanan bersama serombongan pedagang ke Ujjenã 

untuk suatu urusan dagang dan sewaktu berkemah pada malam 

hari, ia menjadi takut untuk tetap bersama rombongan itu. Maka 

ia pindah ke tempat lain dan tidur. Rombongan itu melanjutkan 

perjalanan pada keesokan paginya. Tidak seorang pun yang teringat 

untuk membangunkannya sebelum mereka berangkat.

Pagi itu Soõa bangun dan tidak melihat siapa pun, ia bergegas 

mengejar rombongan itu di sepanjang jalan dan tiba di sebatang 

pohon banyan. Di pohon itu ia melihat sesosok peta laki-laki yang 

bertampang jelek dan bertubuh besar, memungut dan memakan 

serpihan dagingnya sendiri yang jatuh dari tulang-belulangnya. 

Soõa bertanya siapa dia dan peta itu menyebutkan identitasnya. Soõa 

bertanya lagi mengapa ia melakukan hal itu dan peta itu menjawab 

bahwa ia melakukan hal itu sebab   kamma masa lampaunya. Soõa 

lalu   memintanya untuk menjelaskan dan penjelasannya 

yaitu   sebagai berikut, “O Tuan, pada masa lampau, aku yaitu   

seorang pedagang jahat bernama Bhàrukaccha, mencari nafkah 

dengan menipu orang lain. Selain itu, aku juga menghina para 

bhikkhu yang datang untuk menerima dàna makanan dan berkata 

kepada mereka: ‘Makanlah dagingmu sendiri!’ sebagai akibat dari 

kejahatan itu, sekarang aku harus menjalani berbagai penderitaan 

seperti yang engkau saksikan,” mendengar penjelasan itu, Soõa 

terperanjat.

Ia melanjutkan perjalanannya dan bertemu dengan dua anak peta 

yang dari mulut mereka menetes darah kehitaman; ia bertanya 

seperti sebelumnya. Kepada Soõa, peta muda itu menceritakan 

perbuatan jahat yang mereka lakukan pada masa lampau dan 

2619

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

berikut ini yaitu   kisah mereka, “Sewaktu menjadi manusia, mereka 

berdagang wewangian untuk mencari nafkah. Dan pada suatu 

saat  , ibu mereka mengundang dan mempersembahkan makanan 

kepada para Arahanta. Saat pulang ke rumah, mereka mencela 

dan mengutuk, “O ibu, mengapa engkau memberi   milik kita 

kepada para bhikkhu? Semoga tetes-tetes darah kehitaman mengalir 

dari mulut mereka yang memakan makanan yang diberikan oleh 

ibu kami!” sebab   perbuatan jahat mereka, mereka mengalami 

penderitaan di neraka dan akibat tambahan dari kejahatan itu, 

mereka terlahir kembali di alam peta dan mengalami penderitaan 

dalam bentuk seperti yang mereka ceritakan kepada Soõa. 

Mendengar kisah mereka, ia menjadi terkejut lagi; sesungguhnya, 

efek kejutan ini bahkan lebih besar dari sebelumnya. (kisah saÿvega 

ini terdapat dalam Udàna Aññhakathà dan SàratthaDãpanã òãkà.)

Soõa tiba di Ujjenã dan kembali ke Kuraraghara sesudah   menyelesaikan 

urusannya; lalu   ia mendatangi Thera Kaccàyana dan 

menceritakan kisahnya. Thera memberi   khotbah kepada Soõa 

tentang kerugian dari mengembara di dalam lingkaran saÿsàra 

dan lingkaran penderitaan serta manfaat dari tidak terlahir dan 

terhentinya pengembaraan di lingkaran itu. sesudah   memberi 

hormat kepada Thera, Soõa pulang ke rumahnya, memakan makan 

malamnya, masuk ke kamarnya dan jatuh tertidur. Tiba-tiba ia 

terbangun dan mulai merenungkan khotbah yang ia dengar dari 

Thera dan sebab   teringat kondisi para peta, ia merasa ketakutan 

terhadap saÿsàra dan lingkaran penderitaannya. Ia sangat ingin 

menjadi seorang bhikkhu.

Pagi harinya, ia mandi dan mendatangi Thera Mahà Kaccàyana 

dan melaporkan apa yang ia pikirkan, “Yang Mulia, saat   aku 

merenungkan khotbah yang engkau sampaikan. Aku menemukan 

bahwa yaitu   sulit menjalani (tiga) latihan mulia ini yang bagaikan 

kulit kerang yang digosok halus yang sempurna dan murni.” Ia 

melanjutkan kata-katanya, “Aku ingin mencukur rambut dan 

janggutku, mengenakan jubah, dan meninggalkan kehidupan sosial 

untuk menjalani kebhikkhuan.” sesudah   mengucapkan keinginannya 

untuk menjadi bhikkhu, ia memohon, “sebab   itu, Yang Mulia, aku 

ingin agar engkau menahbiskan aku.”

2620


Yang Mulia Thera Mahà Kaccàyana lalu   menyelidiki apakah 

kebijaksanaan Soõa telah matang atau belum, ia mengetahui bahwa 

kebijaksanaannya belum matang. Ingin agar Soõa menunggu 

hingga kebijaksanaannya cukup matang, Thera berkata, “Sungguh 

sulit, Soõa, menjalani kehidupan suci, tidur sendirian dan makan 

sendirian. sebab   itu, Sona, aku ingin agar engkau melakukan hal 

ini: Sekali-sekali selagi masih menjadi orang awam, praktikkanlah 

latihan mulia tidur dan makan dalam kesunyian, (seperti pada 

hari uposatha, dan lain-lain) yang diajarkan oleh Buddha Yang 

Agung.”

lalu   keinginan Soõa untuk menjadi seorang bhikkhu lenyap 

sebab   indrianya masih belum cukup matang dan saÿvega-nya 

belum cukup mendalam. Meskipun keinginannya lenyap, ia 

tidak lengah tetapi terus mendengarkan ajaran Thera dan selalu 

mendatanginya untuk mendengarkan Dhamma. Seiring dengan 

berlalunya waktu, untuk kedua kalinya ia berkeinginan untuk 

menjadi seorang bhikkhu seperti sebelumnya; maka ia mengulangi 

permohonannya. Kali ini juga Thera mengucapkan kata-kata seperti 

sebelumnya.

saat   Soõa mengajukan permohonan untuk ketiga kalinya, 

Thera Mahà Kaccàyana berpikir bahwa saat itu yaitu   waktu 

yang tepat baginya untuk menahbiskannya sebab   kematangan 

kebijaksanaannya, maka Thera menahbiskannya sebagai seorang 

sàmaõera. Meskipun ia ingin menahbiskan Soõa sebagai seorang 

bhikkhu, penahbisan itu tidak dapat dilakukan sebab   hanya ada 

dua atau tiga bhikkhu yang menetap di Kuraraghara dan banyak 

yang menetap di Wilayah Tengah. Dan para bhikkhu itu bertempat 

tinggal di tempat yang berbeda-beda, satu di desa atau dua di kota. 

Dari sana Thera mengajak dua atau tiga bhikkhu untuk penahbisan 

Soõa, siswanya. Tetapi saat ia pergi untuk mengumpulkan bhikkhu 

lainnya, bhikkhu sebelumnya pergi ke tempat lain untuk urusan 

lainnya. sesudah   menunggu mereka kembali, ia pergi untuk 

mengajak kembali mereka yang telah pergi; dan yang lainnya yang 

telah berada di sana, pergi untuk urusan lain lagi.

2621

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

sebab   ia harus berulang-ulang mengumpulkan bhikkhu 

dengan cara ini, memerlukan waktu tiga tahun lebih untuk dapat 

mengumpulkan sepuluh orang bhikkhu. Sebuah penahbisan 

Upasampadà pada waktu itu dapat dilakukan hanya jika terdapat 

sepuluh orang bhikkhu berkumpul. Thera menetap sendiri. sebab   

itu hanya sesudah   tiga tahun yang sulit, ia dapat menahbiskan 

siswanya Sàmaõera Soõa dengan penuh kesulitan. (Dikutip dari 

Sàrattha òãkà.)

sesudah   menerima penahbisan, Sàmaõera Sona Kuñikaõna (sekarang 

bhikkhu) memelajari subjek meditasi, dan dengan tekun melatih 

meditasi Vipassanà dan berhasil mencapai kesucian Arahatta 

pada masa vassa pertamanya dan memelajari Sutta-Nipàta juga 

dari Thera. sesudah   melakukan Pavàraõà di akhir vassa, ia sangat 

ingin memberi hormat kepada Buddha dan memohon izin dari 

penahbisnya. (Permohonannya secara lengkap dapat dibaca dalam 

Vinaya Mahà Vagga.)

Sang Thera berkata, “Soõa, saat engkau tiba di sana, Buddha akan 

mengizinkan engkau menetap di Kuñã Harum yang sama dan 

akan memintamu untuk membabarkan khotbah. Engkau harus 

melakukan hal itu. sebab   senang dengan khotbahmu, Buddha 

akan memberi   hadiah. Terimalah hadiah itu. Sembahlah Buddha 

Yang Agung atas namaku!” Demikianlah Thera memberi   izin 

dengan sepenuh hati.

sesudah   mendapat izin dari penahbisnya, Thera Soõa Kuñikaõõa 

mendatangi tempat tinggal ibunya, Kàëã, istri pedagang, dan 

menceritakan rencananya. Sang ibu, Kàëã, si umat perempuan, 

berkata, “Baiklah, Anakku! Saat engkau menjumpai Buddha, 

ambillah selimut ini dan hamparkan di lantai Kuñã Harum sebagai 

persembahan!” ibu menyerahkan selimut itu kepadanya.

Dengan membawa selimut itu, Thera Soõa melipat alas tidurnya, 

dan melakukan perjalanan dan akhirnya tiba di Jetavana, Sàvatthã. 

Buddha saat itu sedang duduk di atas singgasana Dhamma, tempat 

duduk yang disediakan bagi seorang Buddha. Thera Soõa berdiri 

di tempat yang semestinya dan memberi hormat kepada Buddha. 

2622


sesudah   saling bertukar sapa de