Kualitas hadist

 


Tulisan ini mencoba menguraikan beberapa pandangan Imam al-Tirmi}dzi yang berhubungan 

dengan teori kualitas hadis yang terdapat dalam kitab al-Jâmi al-Şahîh al-Sunan al-Tirmîdzī, 

tulisan ini merupakan penelitian kepustakaan dengan pendekatan deskriptif yang menghasilkan 

kesimpulan bahwa Imam al-Tirmidizi mempunyai konsep yang berbeda dengan pakar ilmu hadis 

dalam mendeskripsikan hadis sahih, hasan dan daif. Dalam persoalan hadis sahih, teori yang 

digunakan imam al-Tirmdizi hampir sama dengan pakar hadis lainnya yaitu hadis s}ahih adalah 

hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit, sedangkan 

dalam teori hadis hasan, Tirmidzi punya konsep yang unik, dia membagi hasan menjadi tiga yaitu 

hasan sahih (hadis hasan yang mendekati sahih), hasan (hadis yang ada diantara hasan sahih 

dan gharib) dan hasan gharib adalah hadis yang mendekati hadis daif. Kemudian, teori dhaifnya 

Imam al-Tirmidzi sama dengan ulama hadis yang lain yaitu hadis yang tidak memenuhi syarah 

sahih dan hasan serta ketersambungan sanadnya dipertanyakan.

Salah satu kitab hadis yang mempunyai 

dua penamaan adalah kitab karya al￾Tirmîdzi , Al-Khatib al-Baghdadî (w. 483 H) 

menyebutnya dengan al-Jâmi al-Sâhîh al-Sunan 

al-Tirmîdzi,

1 sedangkan Al-Ĥakim (w. 408 

H) menyebutnya dengan sunan al-Tirmîdzi .Penyebutan nama-nama tersebut menimbul 

kontroversi di kalangan ulama hadis, sebagian 

mengatakan bahwa penamaan al-Jâmi al-Şâhîh 

al-Sunan al-Tirmîdzi berlebihan. Adapun 

alasan mereka sebagaimana disebutkan Ibn 

Katsir (w. 774 H) yang dikutip oleh Hasan 

Su’aidi, karena kandungan hadis yang terdapat 

dalam kitab hadis karya al-Tirmîdzi setelah 

dilakukan seleksi oleh ulama terdapat hadis 

mauqûf, maqtû’, dha’īf, mu’alal serta munkar.3

Sedangkan penyebutan sunan para ulama tidak 

banyak mempermasalahkan, bahkan sebagian 

menyetujui karena hadis-hadis yang terdapat 

di dalam kitab tersebut disusun berdasarkan 

skema fiqih. 4

Ajaj al-Khatib mengkategorikan kitab 

hadis karya al-Tirmîdzi termasuk kitab yang 

memenuhi standart ilmiah, karena tema-tema 

hadis yang terdapat dalam kitab tersebut dibahas 

dengan tuntas. Selain itu, al-Tirmîdzi juga 

menyertakan penjelasan tentang kualitas hadis￾hadisnya. 5

 Pujian yang sama pernah diberikan 

oleh Ibnu Rusyaid sebagaimana dikutip oleh 

Nuruddin ‘Itr yang mengatakan, kitab al￾Tirmîdzi disusun berdasarkan bab-bab yang 

runtut disertai dengan penjelasan yang rinci, 

memuat illat-illat hadis yang mencakup hadis 

s{ahih dan dhaif, memuat penjelasan orang￾orang yang pernah bertemu langsung dengan 

Nabi Muhammad SAW dan orang yang tidak 

pernah bertemu dan memuat penjelasan tentang 

sanad.6

Penjelasan yang terdapat dalam karya 

al-Tirmîdzi ini, dianggap baru dibandingkan 

dengan para pendahuluanya, salah satunya al￾Tirmîdzi membagi hadis menjadi tiga kategori 

yaitu sahih, hasan dan dhaif padahal sebelumnya 

hanya dikenal dengan istilah hasan dan dhaif 

saja. Menurut Nurudin Itr pada dasarnya istilah 

penyebutan hadis hasan sudah ada sebelum 

dipopulerkan oleh Imam al-Tirmîdzi bahkan 

pada masa Imam al-Syafi’i istilah hasan juga 

pernah disebutkan, tetapi tidak sepopuler pada masa al-Tirmîdzi .7

 Pandangan ini tidak 

sejalan dengan pendapatnya Abu Ghuddah 

yang menjelaskan bahwa al-Tirmîdzi -lah yang 

pertama kali menyebutkan istilah hadis hasan.8

Sejalan dengan pendapat ini, Imam al-Nawawî 

dan Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh 

Ahmad Sutarmadi mengatakan orang yang 

memashurkan tiga istilah dalam penilaian hadis 

adalah al-Tirmîdzi .9

 

Hadis hasan merupakan istilah untuk 

menyebutkan hadis yang kualitas berada 

diantara dhaif dan sahih. Dalam kitabnya al￾Tirmîdzi terkadang menyebutkan dengan 

beberapa istilah ada hasan, hasan sahih dan 

hasan gharib. Penyebutan istilah-istilah ini 

tentunya mempunyai alasan tertentu, meskipun 

sebagian ulama ahli hadis tidak memberikan 

komentar yang mendalam tentang istilah 

tersebut. Walaupun demikian, para ulama 

menilai bahwa hadis-hadis yang dimasukan 

oleh at-Tirmidzi ke dalam kitabnya dari 3. 956 

hadis yang sahih hanya 158 sedangkan sisanya 

kualitasnya hasan dan dhaif. 10 Penilaian ini 

menunjukkan bahwa mayoritas hadis yang 

ada di dalam kitab al-Jâmi al-Şâhîh al-Sunan 

al-Tirmîdzi kualitasnya tidak sahih. Namun, 

pastinya Imam al-Tirmîdzi mempunyai cara 

tersendiri untuk mengukur tingkat keakuratan 

hadis yang dimasukan ke dalam karyanya. Dari 

disinilah kemudian lahirlah rumusan masalah 

terkait dengan penelitian ini yaitu bagaimana 

teori kualitas hadis Imam at-Tirmidzi?. 

Penelitian merupakan penelitian kepustakaan 

dengan pendekatan deskriptif. Ada beberapa 

penelitian yang mengakaji tentang teori 

kesahihan hadis seperti yang ditulis oleh Eko 

Zulfikar dengan judul “metode menentukan 

kesahihan hadis: teori dan aplikasi Al-Hakim 

dalam kitab al-Mustadrak ala shahihain” artikel 

ini menghasilkan kesimpulan bahwa al-Hakim 

mengklasifikasikan kualitas hadis menjadi 

dua bagian yaitu sahih dan dhaif, kemudian 

menerapkan dua standart dalam menentukan 

kesahihan hadis yaitu tasyaddud (ketat) dalam hadis yang berubungan dengan akidah 

dan syariah dan tasyahhul (longgar) dalam 

hadis yang berhubungan dengan keutamaan 

ibadah sehari-hari.11 Selanjutnya, artikel 

karya Siti Mujibatun dengan judul “pradigma 

ulama dalam menetukan kualitas hadis dan 

implikasinya dalam kehidupan umat Islam” 

tulisan ini menyimpulkan bahwa terdapat empat 

madhab dalam menentukan kualitas hadis yaitu 

mutasyaddid (ketat), muta’ānut (berlebihan), 

mutawāsiṭ ( moderat) dan mutasaḥḥil, madhab 

pertama dan kedua dalam menghukumi hadis 

yang berhubungan dengan keutamaan amalan 

ibadah sehari-hadis dan akhlak condong 

menggunakan hadis dengan kualitas dhaif.12

Dua artikel sebagai sampel pembanding 

dengan kajian teori kualitas hadis yang ingin 

penulis uraikan dalam tulisan ini. artikel 

tersebut menunjukan bahwa ada perbedaan 

dan persamaan dalam kajian teori kualitas 

hadis, persamaannya adalah mengkaji teori 

kualitas hadis dan perbedaanya terletak pada 

fokus penelitiannya. Adapun fokus penelitian 

ini ingin mengungkapkan teori kualitas hadis 

Imam al-Tirmîdi yang terdapat dalam al-Jâmi 

al-Şahîh al-Sunan al-Tirmîdzi. 

Sketsa Biografi Imam al-Tirmîdzi 

Penyusun kitab sunan al-Tirmîdzi 

mempunyai nama lengkap Abu Isâ Muhammad 

bin Isâ bin Tsaurah bin as-Sakan al-Salimy 

al-Bugiy al-Tirmîdzi atau populer dengan 

sebutan Tirmîdzi karena dinisbatkan pada kota 

kelahirannya. Al-Tirmîdzi dilahirkan di kota 

Turmuzi pada tahun 209 H/824 M. 13 dan wafat 

pada Ahad Malam tanggal 13 Rajab 279 H di 

sebuah kampung yang bernama Bug dekat 

kota Turmuz dalam keadaan tidak bisa melihat 

(buta) sehingga Ahmad Muhammad Syakir 

sebagaimana dikutip oleh Ahmad Umar Hasyim 

menambahkan pada nama al-Tirmîdzi dengan 

al-Darîr. Sejak beranjak remaja, Abu Isâ al￾Tirmîdzi mempunyai hasrat untuk rihlah ilmiah 

menuntut ilmu ke berbagai tempat di wilayah 

Jazirah Arab antara lain: Hijaz, Khurusan, Irak 

dan lain-lain. Perjalanannnya menuntut ilmu ke 

berbagai Negara mempertemukannya dengan 

beberapa gururnya antara lain: Quthaibah 

bin Said al-Madanî, Ishaq bin Rahawaih 

(Khurusan), Muhammad bin ‘Amru as-Sawwaq 

al-Balkî (Naysabur), Muhammad Ibn Gîlan, 

Ismâil bin Mûsa al-Farazî, Abû Hâmid Ahmad 

Ibn Abdullah Ibn Dâud al-Marwazî al-Tajir, 

Hamad bin Syâkir dan lain-lain. Dari beberapa 

guru inilah kecintaan Imam al-Tirmîdzi untuk 

mengkaji dan meneliti kualitas dan kuatitas 

hadis semakin meningkat, sehingga pada 

akhirnya beliau dikenal sebagai ahli dalam 

bidang hadis.15

Keahlian yang dimiliki oleh Imam al￾Tirmîdzi membuat banyak orang ingin belajar 

kepadanya, diantara murid-muridnya antara 

lain: Abû Hâmid Ahmad bin Abd Allah bin Daw 

al-Mahruz dan lain-lain.16 Kealiman dalam 

bidang hadis tidak diragukan lagi, sehingga 

para ulama menilainya tsiqah, ada beberapa 

penilaian ulama terhadap Imam al-Tirmîdzi 

sebagai berikut: 

1. Al-Khalili menyebutnya dengan 

penilaian bahwa al-Tirmîdzi adalah 

orang yang tsiqah muttafaq ‘alaih 

(kesepakatan Bukhari dan Muslim). 17

2. Al-Ĥakim mempunyai penilaian 

bahwa ulama hadis pasca wafat Imam 

al-Bukharî dan Muslim, tidak ada 

ulama yang mempunyai keahlian 

dalam bidang hadis dan orangnya 

wara’ kecuali Abû Isâ al-Tirmîdzi. 18

3. Ibn Hibban menilai bahwa al-Tirmîdzi 

adalah seorang penghimpung dan 

pengarang kitab hadis. 

4. Al-Idri mengatakan Imam Tirmîdzi 

adalah ulama yang meneruskan jejaknya ulama sebelumnya dalam 

pengembangan ulum al-hadis. 

5. Ibn Hazm menilai bahwa al-Tirmîdzi 

termasuk periwayat yang majhul. 19

Dari beberapa penilaian ulama penulis 

dapat mengambil benang merahnya bahwa 

dari lima ulama yang menilai, empat diantara 

memberikan nilai bahwa al-Tirmîdzi termasuk 

periwayat hadis yang tsiqah, namun satu 

pendapat mengatakan majhūl. Pendapat yang 

kelima ini dibantah oleh beberapa ulama seperti 

Ibnu Hajar yang mengatakan “suatu kebodohan 

apabila Ibn Hazm menilai al-Tirmîdzi majhūl, 

padahal beberapa ulama memberikan penilaian 

yang positif terhadap kealimannya dan 

krebibilitasnya dalam meriwayatkan hadis, 

sehingga layak apabila Ibn Hajar menilai dengan 

tsiqah hafidh. Sejalan dengan pendapat Ibn 

Hajar, al-Dzahabi berpendapat penilaian yang 

diberikan oleh Ibn Hazm terhadap al-Tirmîdzi 

tidak objektif karena dia tidak mempelajari 

tentang biografi dan tidak membaca dengan 

detail karya al-Tirmîdzi . Diakui pada masa 

hidupnya Ibn Hazm karya Imam al-Tirmîdzi 

belum populer di Negeri Andulus, tempat 

tinggalnya Ibn Hazm. 20

Karya-Karya Imam al-Tirmîdzi banyak 

dalam bidang hadis dan ilmu pengetahuan 

antara lain: 

1. Kitab al-Jâmi al-Şahih yang populer 

dengan sebutan al-Jâmi Şahih Sunan 

al-Tirmîdzi. 

2. Kitab al-‘Ilal al-Şaghīr.

3. Kitab al-Tarīkh. 

4. Kitab Asmâ wa al-Kunya. 

5. Kitab al-‘ Asmâ wa al-Şahabah. 

6. Kitab al-Atsâr al-Muwâqufah

7. Kitab al-Zuhud. 

8. Kitab al-‘Ilal al-Mufrâd atau al-Ilal 

Kabîr. 

9. Kitab al-Syamāil al-Muhammadiyah.Gambaran Umum Tentang Kitab Jâmi’ 

Sunan al-Tirmîdzi 

Sub bab ini akan mendeskripsikan 

tentang gambaran umum kitab al-jaâmi al-

şahih al-sunan al-Tirmîdzi yang menguraikan 

tentang beberapa penilaian ulama terhadap 

kitab tersebut, kemudian isi yang berhubungan 

dengan kitab tersebut. hal ini yang penulis 

jadikan sebagai landasan teori untuk melangkah 

ke pembahsan tentang teori kualitas yang 

terdapat dalam kitab suan al-Tirmîdzi . 

Kitab sunan al-Tirmîdzi merupakan 

alah satu kitab hadis yang memuat berbagai 

persoalan agama, seperti : al- aqâid (tauhid), 

al-ahkām (hukum), al-riqaq (budi luhur), adab 

(etika), al-tafsīr (tafsir al-Qur’an), al-tārikh 

wa al-siyar (sejarah), al-syamā’il, al-fitan 

(peristiwa fitnah), serta al-manāqib wa al￾masālib (biografi sahabat dan tabi’in) adalah 

kitab karya al-Tirmîdzi sehingga dikenal 

dengan sebutan al-Jâmi’.21

Al-Imam Majdu al-Din Ibn al-Atsir 

menilai dengan memuji isi yang terkandung 

dalam kitab hadis karya al-Tirmîdzi dengan 

mengatakan bahwa, kitab sahih karya al￾Tirmîdzi merupakan karya yang didalamnya 

berisi tentang kandungan-kandungan ajaran 

Islam yang sangat bermutu, mengandung 

banyak faedah-faedah yang bisa dimabil 

pelajaran, kitab tersebut disusun dengan 

mengunakan sistematika yang baik dan sedikit 

pengulangan isinya. Selain itu, kitab ini menjadi 

bagus karena di dalamnya disertakan dengan 

pandangan-pandangan ulama fiqih lintas 

madhab yang menjelaskan tentang hukum 

fiqih masing-masing madhab, cara istidlal serta 

penjelasan tentang kualitas hadis yaitu saḥiḥ, 

hasan dan gharīb yang dilengkapi dengan jarh 

dan ta’dīl-nya. 22

Pujian yang sama disampaikan oleh 

Abu Suhbah dalam kitab fi rihab al-sunnah

menyebutkan bahwa sunan al-Tirmîdzi 

merupakan eksiklopedi hadis yang isinya 

tidak di muat dalam kitab jami’ kecuali sudah 

diamalkan oleh para ahli fikih dan telah dipakai sebagai dalil dalam berfatwa atau menjadi 

hujjah serta telah diamalkan oleh orang-orang 

yang mengamalkan.23

Penilaian lain, disampaikan oleh Subhi 

Saleh dengan menyatakan bahwa siapa saja yang 

ingin mendalami dan memperluas cakrawala 

dalam bidang hadis, hendaknya membaca dan 

menelaah kitab jâmi’ sunan al-Tirmîdzi . 24

Ajaj al-Khatib menilai sama dengan 

yang disampaikan oleh Subhî Saleh sesuai 

dengan pernyataannya bahwa kitab hadis 

yang banyak mamfaat dan memilki kekhasan 

yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab lainnya 

serta bermanfaat bagi ulama hadis yang 

mendalami kualitas kesahihan hadis dalam 

rangka mengungkapkan illat hadis, sandaran 

hukumnya (istibath hukum) dan mengetahui 

ketsiqahan rawi yang tertinggal, kemudian 

kekhasan lainnya terdapat dalam sistematika 

serta penerapan istilah-istilah ilmu hadis. 25

Sedangkan, Muhammad Asyakir 

memperinci kekhasan sunan al-Tirmîdzi 

sebagai berikut: 

1. Menyebutkan pendapat para ahli fiqih 

dalam persoalan yang terkait dengan 

kajian fiqih dan menjelaskan argumentasi 

mereka serta menyertakan hadis-hadis 

yang kontradiktif dalam masalah yang 

dibahas. Metode ini menjadi penting 

karena ingin mengungkapkan apa yang 

diinginkan oleh ulum al-hadis yaitu 

memilih hadis yang sahih dalam rangka 

kepentingan menjadi sandaran hukum 

dan mengamalkannya. 

2. Menjadikn ta’lîl hadis sebagai fokos 

kajiannya dalam rangka ingin menilai 

tingkatan kesahihan dan kedaifan serta 

menjelaskan pendapat ulama tentang 

ta’lîl dan rijâl hadis dengan jelas.26

Adapun Moh Zuhri dalam bukunya 

menjelaskan tentang kandungan yang terdapat

dalam kitab sunan al-Tirmîdzi bahwa kitab 

tersebut dikenal dengan Sunan al-Tirmîdzi 

karena di dalamnya terdapat beragam tema 

seperti ibadah, adab, muamalah, tafsir, ‘aqidah, 

biografi Nabi dan para sahabat-sahabatnya. 

Kitab tersebut memuat sekitar 3.956 hadis 

yang terdiri dari hadis yang kualitasnya sahih, 

hasan dan dhaif sehingga kitab tersebut disebut 

dengan al-Jami’. 27

Hasan Suaidi menilai bahwa “al￾Tirmîdzi merupakan salah satu penulis kitab 

hadis yang mengikuti metode pendahulunya 

khusunya Imam Mûslim” seperti diketahui 

bahwa metode penulisan kitab dari awal abad 

satu Hijriah mengalami perubahan.awal mula 

penulisan kitab hadis berdasarkan susunan 

nama para perawi ditingkat sahabat disusun 

berdasarkan abjad atau yang dikenal dengan 

musnad. Sitematika yang seperti ini penulisan 

hadis didasarkan kepada pengelompokan yang 

disesuaikan dengan rangkaian nama isnād atau 

rangkian perawi hadisnya tanpa dibatasi dengan 

materi hadis yang ada, sehingga yang terjadi 

ada beberapa hadis salat berdampingan dengan 

hadis zakat. 28

Seiring dengan berkembangnya ilmu 

pengetahuan metode penulisan kitab hadis 

mengalami perubahan dengan tujuan agar 

pembaca tidak bigung dalam mencari hadis 

sehingga para ulama mengumpulkan sesuai 

dengan tema (tematik). Generasi ini lahir sekitar 

abad ketiga hijriah diantaranya: Muhammad 

Ismāil al-Bukharî, Abū Dawud, al-Nasa’i, 

Ibn Mājah, Mslim dan Abû ‘Isa Al-Tirmîdzi. 

Mereka berusaha menghadirkan penyajian hadis 

yang simpel dan baru. Metode yang digunakan 

mereka adalah dengan menurutkan berdasarkan 

bab. Rifat Fauzy Abd Muthalib membagi 

metode penulisan kitab hadis pada beberapa 

metode antara lain: al-Muwatta’, al-Masānid, 

al-Jamī’, al-Sunan, al-Abwāb wal ajza’, al￾Mustadrāk. Berikut ini akan ditampilkan kitab 

(bagian pembahasannya) yang terdapat dalam 

sunan al-Tirmidîzi, sehingga akan ditemukan 

kategorisasi dari kitab tersebut.Dengan berdasarkan penejelasan diatas 

penulis dapat menyimpulkan tentang tujuan al￾Tirmîdzi mengumpulkan hadis :

1. Mengumpulkan hadis secara 

sistematis.

2. Mendiskusikan beberapa hadis 

disesuaikan dengan pendapat 

para imam madzhab yang empat. 

Sehingga Imam al-Tirmdzi hanya 

mengumpulkan hadis-hadis yang 

menjadi landasan hukum.

3. Mendiskusikan tingkat kualitas hadis￾hadis yang dicamtumkan dalam 

kitabnya, kemudian menjelaskan 

tentang illat (cacat), kelemahan, 

kekurangan dari hadis tersebut. Penulis dalam sub bab ini akan 

menjelaskan tentang kriteria hadis yang masuk 

hadis dalam kategori sahih, hasan dan dhaif 

menurut Imam al-Tirmîdzi dalam kitab hadis 

yang berjudul “ al-Jâmi al-Şahih al-Sunan al￾Tirmîdzi”. Imam al-Tirmîdzi tidak memberikan 

kriteria penilaian yang spesifik, dia hanya 

menyebutkan bahwa hadis ini adalah hadis 

sahih atau hasan tanpa memberikan komentar 

apapun yang berhubungan dengan definisi hadis 

sahih, hasan dan dhaif. Oleh karena itu, penulis 

akan menguraikan lebih detail bagaimana 

konsep atau teori tentang hadis sahih, hasan dan 

daif menurut Imam al-Tirmîdzi. Penulis akan 

memulai penjelasan ini dengan menguraikan 

definisi dan kriteria sahih dalam kitab al-Jâmi 

al-Şahih al-Sunan al-Tirmîdzi kemudian 

dilanjutkan dengan hadis hasan dan dhaif. 

Para ulama hadis memberikan definisi 

tentang apa yang disebut dengan hadis sahih, 

Imam as-Sayuthî menyebutkan bahwa hadis 

sahih adalah hadis yang transmisi hadisnya 

berasambung sampai Rasulullah SAW, 

disampaikan oleh perawi yang dinilai adil 

dan dhabit serta tidak didapatkan adanya 

kejanggalan dan ‘illāt.

29 Senada dengan as￾Sayuthiî, Ibn Salah dalam kitab muqadimahnya 

menyebutkan bahwa hadis yang sanadnya 

bersambung dengan periwayat yang adil dan 

kuat hafalannya (dhabīt) yang berasal dari orang 

adil dan dhabit sampai pada akhir sanadnyaserta tidak ditemukan kejanggalan dan cacat 

disebut dengan hadis sahih.30

Dalam kitab ushul al-hadis, Ajaj al￾Khātib juga menjelaskan tentang hadis sahih 

yaitu hadis yang sanadnya bersambung dengan 

seorang perawi yang tsiqah dan mendapatkan 

hadis tersebut dari orang yang tsiqah (pula), 

mulai dari awal sanadnya sampai pada akhir 

sanad dengan tidak diesertai kejanggalan dan 

kecacatan di dalam hadis tersebut. 31

Kemudian, definisi yang diungkapkan 

oleh beberapa ulama di atas yang berhubungan 

dengan hadis sahih penjelasannya ditambahkan 

oleh Nuruddin Itr yaitu dengan membagi pada 

lima kadungan yang berhubungan dengan hadis 

sahih : 1). Bersambung tranmisi hadis yaitu 

perawi dari awal sampai akhir menerima secara 

langsung dan bersambung secara berurutan. 

Apabila salah seorang rawi dari rangkaian 

sanad hadis terputus baik disebabkan karena 

rawinya lemah (dha’īf) atau karena faktor 

lain, maka hadis tersebut tidak sahih. 2). 

Keadilan para rawi dalam sanad hadis yaitu 

keadilan periwayat hadis merupakan faktor 

penentu bagi diterimanya atau ditolaknya suatu 

riwayat, karena sifat adil merupakan sifat yang 

menyebabkan seseorang untuk bertakwa dan 

tidak melakukan perbuatan maksiat, dusta dan 

hal-hal lain yang menyebabkan kerusakan 

pada harga dirinya. Hal ini berarti bahwa hadis 

maudu’ dan hadis daif tidak termasuk bagian 

dari perawi yang adil, karena hakikatnya dua 

hadis tersebut disebabkan karena dusta muru’ah 

dan maksiat. 3). Kedabitan rawi hadis adalah 

kekuatan hafalan yang dimilikinya sehingga 

mereka bisa menguasai hafalannya dan mampu 

mengungkapkan kembali dengan redaksi yang 

persis dengan yang dihafal. 4). Tidak rancu 

artinya kerancuan merupakan keadaan yang 

mana seorang perawi dalam meriwayakan 

hadis berbeda dengan perawi yang lebih kuat 

hafalannya, sifat adilnya dan lebih banyak 

perawi yang bertentangan dengannya. Apabila 

yang terjadi seperti ini, maka perawi yang 

lain itu diunggulkan dan dia sendiri disebut 

syādz atau rancu, karena kerancuan maka 

timbullah penilaian negatif terhadap periwayat 

hadis. 5). Tidak ada cacat adalah bahwa hadis tersebut terbebas dari cacat yang menyebabkan 

hadis tersebut menjadi tidak sahih.walaupun 

terkadang hadis tersebut tidak menunjukan 

adanya cacat. Kriteria ini tidak mencakup hadis 

mu’allal. 32

Uraian di atas ini merupakan hasil 

pemikiran ulumul hadis yang lahir dari para 

intelektual pasca Imam al-Tirmîdzi , sedangkan 

dia tidak memberikan penjelasan yang utuh 

tentang kriteria hadis sahih. Namun, ketika 

melihat beberapa hadis yang diberi penilaian 

sahih oleh Tirmîdzi, maka akan ditemukan 

seperti apa konsep atau teori sahih menurut 

Imam al-Tirmîdzi sebagai berikut:33

Menceritakan kepada kami Ahmad bin 

Manîin telah menceritakan kepada kami 

‘Abîdah bin Humaid dari Yāzid bin 

Abu Ziyād dari Abd Allah bin al-Harîts 

dari Al-Abbās bin Abd al-Muthalib, dia 

berkata; wahai Rasulullah, ajarkan 

kepadaku sesuatu yang aku minta kepada 

Allah SWT, beliau bersabda “mintalah 

keselamatan kepada Allah” kemudian 

aku diam beberapa hari, kemudian aku 

datang mengatakan wahai Rasulullah 

ajarkan kepadaku sesuatu yang aku minta 

kepada Allah kemudian beliau berkata 

kepadaku “ Wahai Abbas, wahai paman 

Rasulullah, mintalah keselamatan kepada 

Allah di dunia dan akhirat”. 

Penulis akan menampil beberapa 

pendapat tentang perawi yang terdapat dalam 

hadis di atas ini :

Penilaian ini diambil dari kitab 

tahdzîb al-kamāl fî asmāi al-rijāl karya 

al-Mizzî dan al-tahdîb wa tahdîb karya 

Ibn Hājar. Dari beberpa periwayat di 

atas menunjukan bahwasanya semua 

perawi hadis dinilai sahih sedangkan 

ketersabungan sanadnya sangat kuat. 

Sehingga dapat disimpulkan hadis ini 

sahih menurut kriteria yang ditetapkan 

oleh Imam Bukhari dan Muslîm, hal ini 

menunjukan bahwa tidak ada perbedaan 

antara teori sahih Imam Bukharî, Muslim 

dan Tirmîdzi. 

Kemudian ada hadis sahih dalam 

sunan al Tirmîdzi tidak disahihkan oleh 

Imam Bukhāri

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah 

telah menceritakan kepada kami Syārik bin 

Abd Allah al-Nakhā’i dari Abû Ishaq dari 

Atha’ dari Rāfi bin Khādij bahwa Nabi SAW 

bersabda: “Barangsiapa yang bercocol 

tanam di ladang suatu kaum tanpa izin 

mereka maka ia tidak berhak atas tanaman itu 

sedikit pun namun ia berhak atas hasilnya.» 

Abû Isa berkata; Hadis ini hasan gharib 

tidak kami ketahui dari hadits Abu Ishaq 

kecuali dari jalur ini dari hadits Syarik bin 

Abd Allah. Hadis ini menjadi pedoman amal 

menurut sebagian ulama dan ini adalah 

pendapat Ahmad dan Ishāq. Aku bertanya 

kepada Muhammad bin Isma›il tentang 

hadits ini, maka ia menjawab; Itu adalah 

hadits hasan. Dan ia juga berkata; Aku tidak 

mengetahui dari hadits Abû Ishāq kecuali 

dari riwayat Syarik. Muhammad berkata; 

Telah menceritakan kepada kami Ma›qil bin 

Malik Al Bashri} telah menceritakan kepada 

kami Uqbah bin Al Asham dari ‹Atha` dari 

Rāfi› bin Khādij dari Nabi صلى الله عليه وسلم seperti itu.


Penilaian ini diambil dari kitab tahdzîb 

al-kamāl fî asmāi al-rijāl karya al-Mizzî dan 

al-tahdîb wa tahdîb karya Ibn Hājar, kemudian 

hadis ini dinilai hasan oleh Imam Bûkharî 

karena salah satu perawinya tidak mendengar 

lansung dari rawi sebelumnya yaitu Atha’bin 

Abû Rabah tidak mendengar langsung dari 

Rafi’i bin Khudaij, namun masih ada beberapa 

riwayat lain yang menjadi penguat terhadap 

hadis ini, selain itu, jarak masa hidup Syarîk 

bin Abd Allah al-Nakha’i dan Abû Ishaq


cukup jauh sehingga wajar apabila Imam 

Bûkhari menghukumi hadis ini adalah hasan, 

penghukuman ini terletak dalam pernyataan 

Imam Al-Tirmîdzi yang mengutip pendapat 

Imam Bûkhari. 

Dari dua hadis ini dapat disimpulkan 

tentang kriteria hadis sahih menurut Imam 

Tirmidzi yaitu: (1) teori hadis sahih yang 

digunakan oleh Imam al-Tirmîdzi tidak 

selamanya sejalan dengan Imam Bukhāri dan 

Muslim (2) al-Tirmîdzi menjadikan Imam 

Bukhāri dan Muslîm sebagai rujukan dalam 

menilai kesahihan hadis. 

Pembahsan berikutnya adalah hadis 

hasan, para ulama berbeda pendapat dalam 

menentukan definisi hadis hasan dengan 

beberapa pendapat sebagai berikut: 

Ibn Hājar al-Asqalânî mendefinisikan 

hadis hasan adalah “hadis ahad yang diambil 

dan diakses melalui perawi yang adil, sempurna 

ingatannya, bersambung sanadnya, tanpa ada 

cacat dan kejanggalan. Pengertian seperti ini, 

disebut dengan hadis sahih lidzātihi, akan tetapi 

jika kekuatan ingatannya kurang sempurna, 

maka disebut dengan hasan lidzātihi”. 

Al-Khattabî dalam kitab ma’limu sunan

menyebutkan: 

Artinya: Hadis hasan lidzātihi adalah 

hadis yang perawinya dapat diketahui dan 

populer di kalarangan perawi hadis.36

Sedangkan, Nuruddin Itr menjelaskan 

definisi hadis hasan sebagai berikut: 

Artinya: hadis hasan adalah hadis yang 

bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi 

yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya 

hafalannya, tidak rancu dan tidak bercacat.

Al-Tirmîdzi sebagaimana dikutip 

Mahmud Thahan, “hadis hasan adalah hadist



yang periwayatnya tidak ditemukan perawi 

yang diduga kuat berlaku bohong, tidak ada 

kejanggalan dalam riwayatnya, tetapi dari 

jalur lain ditemukan perawi lain yang dalam 

pernyataanya seimbang”38

Ibn Hajar al-Asqalanî juga memberikan 

definisi kembali bahwa hadis hasan adalah 

seakan-akan hadis sahih tetapi derakat perawinya 

lebih rendah dan lebih ringan, 39kemudian 

Mahmud Thahahn menjelaskan definisi yang 

diungkapkan oleh Ibn Hajar dengan mengatakan 

bahwa hadis hasan adalah hadis yang sanadnya 

bersambung yang diriwayatkan oleh rawi yang 

adil, yang derajat dhabitnya lebih ringan dari 

orang yang serupa hingga akhir sanad, tidak ada 

syuduz dan illat. 40

Beberapa definisi yang diungkap ulama 

termasuk Imam al-Tirmîdzi semuanya hampir 

sama walaupun dalam penggunaan bahasa 

berbeda tetapi esensinya sama yaitu hadis 

yang diriwayatkan oleh orang yang adil dan 

sanadnya tersambung, tetapi kekuatan hafalan 

perawinya lebih rendah dibandingkan denga 

hadis sahih. Walaupun, Imam al-Tirmîdzi 

memberikan definisi yang cukup jelas, namun 

dalam prakteknya Imam al-Tirmîdzi membagi 

hadis hasan menjadi tiga bagian sebagaimana 

akan diuraikan dalam pembahasan berikut ini:41

Artinya :menceritakan kepada kami Yûsuf Ibn 

Dinar dan Muhammad bin Aban, keduanya 

berkata menceritakan kepada kami Waki’ dari 

Isrāil dari Ibrahim bin Muhājir dari Yûsuf 

bin Mahak dari ibunya Musaikah dari ‘Aisyāh 

berkata; kami bertanya wahai Rasulullah 

tidak kah sebaiknya kami bangunkan rumah 

untukmu di Mîna (sebagai tempat berteduh)? 

Beliau menjadwab “ Tidak perlu karena mina 

adalah tempat singgah siapa yang lebih dahulu 

datang” Abû Isa berkata ini merupakan hadis 

hasan sahih. 

Setelah melihatnya hadis, kemudian 

penulis akan menguraikan komentar ulama 

terkait dengan perawi hadis ini dan ditamba 

tahun lahir dan kota tempat tinggal untuk 

mengetahui ketersambungan sanadnya. Penilaian ini diambil dari kitab tahdzîb 

al-kamāl fî asmāi al-rijāl karya al-Mizzî dan al￾tahdîb wa tahdîb karya Ibn Hājar. Dari hadis ini 

dapat penulis simpulkan bahwa kalau melihat 

komentar para ulama terkait dengan kualitas 

perawi hadis ada dua perawi yang tidak dikenal 

ketsiqahannya yaitu Ibrahim bin Muhājir bin 

Jābir dan Musaikah walaupun demikian ada 

ulama yang menilai ini tsiqah tapi hafalannya 

kurang sempurna. Penilaian ini menunjukan 

sama antara definisi hadis hasan yang 

diungkapkan oleh al-Tirmîdzi dengan praktek 

yang dia sampaikan dalam kitabnya.

Artinya: Telah menceritkan kepada kami 

Mahmûd bin Ghailan, menceritakan kepada 

kami Abû Dâud, mengabarkan kepada kami 

Syu’bah dari Simak berkata saya mendengar 

Alqâmah bin Wâil menceritakan dari ayahnya 

bahwa Nabi SAW menetapkan kepemilikan 

sebidang tanah di Hadramaut. Mahmûd berkata 

telah mengabarkan kepada kami an-Nadir dari 

Syu’bah dan dia menambhakan di dalamnya dan 

Nabi mengutus Muawiyah untuk menetapkan 

kepemilikannya. Abû Isa berkata hadis ini 

adalah hasan. 

Setelah melihatnya hadis, kemudian 

penulis akan menguraikan komentar ulama 

terkait dengan perawi hadis ini dan ditamba 

tahun lahir dan kota tempat tinggal untuk 

mengetahui ketersambungan sanadnya.

Dari hadis ini dapat penulis simpulkan 

bahwa kalau melihat komentar para ulama 

terkait dengan kualitas perawi hadis ada dua 

perwai yang dinilai jelek hafalannya dan shaduq

yaitu Simak bin Harb dan Alqâmah bin Wâil, 

dari dua orang ini menujukan bahwa antara 

hadis yang pertama dan hadis kedua ini ada 

perbedaan kalau yang hadis pertama menujukan 

adanya hafalan yang kurang kuat, namun di 

hadis yang kedua menujukan bahwa salah satu 

ada yang shaduq. Ini menujukan kualitas antara 

hadis yang pertama dan kedua lebih unggul 

yang pertama. 

Kemudian setelah mengetahui dua 

hadis yang berhubungan dengan hasan sahiih 

dan hasan berikut akan diuraikan hadis hasan

Artinya: telah menceritakan kepada kami 

Sufyan bin Waki’ telah menceritakan kepada 

kami ayahku dari al-Hasan bin Şalih dari Abû 

Rabi’ah al-Iyadî dari al-Hāsan dari Anas bin 

Mâlik, Rasulullah SAW bersabda sesungguhnya 

surga merindukan kepad tiga orang yait Ali, 

Amar dan Salmân, berkata Abû Isa hadis ini 

adalah hasan gharîb, kami tidak mengertahui 

kecuali dari al-Hasan bin Şalih. 

Setelah melihatnya hadis, kemudian 

penulis akan menguraikan komentar ulama 

terkait dengan perawi hadis ini dan ditambah 

tahun lahir dan kota tempat tinggal untuk 

mengetahui ketersambungan sanadnya. Penilaian ini diambil dari kitab tahdzîb 

al-kamāl fî asmāi al-rijāl karya al-Mizzî dan al￾tahdîb wa tahdîb karya Ibn Hājar. Dari hadis ini 

dapat penulis simpulkan bahwa kalau melihat 

komentar para ulama terkait dengan kualitas perawi hadis salah satunya adalah dhaif yaitu 

Sufyān bin Waki’Al-Jarrah, hal ini menujukab 

bahwa hadis yang ketiga ini kualitasnya lebih 

rendah dibanding dua hadis sebelumnya. 

Penulis dapat memberikan gambaran 

tentang beberapa istilah hadis hasan yang 

disampaikan oleh Imam al-Tirmîdzi yaitu 

hasan sahih, hasan dan hasan gharib. Istilah ini 

walaupun sebagian ulama menyatakan bahwa 

tidak ada perbedaan diantara ketiganya karena 

posisinya sama-sama berada diantara sahih dan 

dhaif, namun bagi penulis ketiganya mempunyai 

ciri khas masing-masing yang mengambarkan 

poisisi hadis tersebut. hasan sahih kalau dilihat 

dari beberapa perawinya hampir mendekati 

pada sahih, hasan kalau dilihat posisi perawinya 

di atas hasan gharib dan hasan gharib ada satu 

atau dua perawinya yang dinilai dhaif oleh para 

pakar hadis. 

Uraian selanjutnya, adalah hadis dhaif, 

penulis akan menguraikan definisi yang 

berhubungan dengan hadis dhaif, namun perlu 

dijelaskan bahwa penulis akan mnejelaskannya 

hanya yang terkait dengan hadis dhaif secara 

umum artinya tidak menjelaskan macam￾macma hadis yang termasuk bagian dari hadis 

dhaif. 

Para ulama mendefinisikan hadis dhaif, 

tetapi mereka berbeda dalam pengungkapan 

bahasanya dan hakikatnya esensinya sama ingin 

mengatakan bahwa hadis dhaif adalah hadis 

yang lemah. Untuk mengetahui definisi yang 

diungkapakan ulama, penulis akan menguraikan 

pengertian dhaif sebagai berikut: 

Ajaj al-Khâtib mendefinisikan hadis dhaif 

adalah hadis yang didalamnya tidak terkumpul 

syarat hadis maqabul. Definisi ini esensinya 

sama dengan yang diungkapkan pendahulunya 

yaitu An-Nawawi yang memberikan pengertian 

bahwa hadis dhaif adalah hadis yang di dalamnya 

tidak ditemukan syarat yang wajid ada dalam 

hadis sahih dan hasan. Senada dengan Ajaj, 

Nuruddin Itr menyatakan bahwa hadis dhaif 

adalah hadis yang tidak ditemukan satu syarat 

yang terdapat dalam hadis maqbul. Dari definisi 

para ulama, penulis dapat menyimpulkan 

bahwa hadis dhaif adalah hadis yang satu syarat 

pun yang terdapata dalam hadis hasan tidak bisa 

terpenuhi. 

Definis di atas menjadi rujukan penulis

dalam menilai konsep dhaif yang ada dalam 

kitab sunan al-Tirmîdzi yang akan dijelaskan 

melalui satu hadis yang dinyatakan dhaif oleh 

Imam al-Tirmidîzi sebagaimana pembahasan 

berikut ini.44

Artinya: Telah menceritakan kepada kamu 

Humāid bin Masadah menceritakan kepada 

kami Muhammad bin Humrân dari Abî Said 

ia adalah Abd Allah bin Busr, ia berkata saya 

mendengar Abâ Kabsyah al-Ambarî berkata 

Kopiyah para sahabat Rasulullah adalah luas, 

Abû Isa berkata; ini adalah hadis munkar. Abd 

Allah bin Busr adalah dhaif menurut ahli hadis. 

Setelah melihatnya hadis, kemudian 

penulis akan menguraikan komentar ulama 

terkait dengan perawi hadis ini dan ditambah 

tahun lahir dan kota tempat tinggal untuk 

mengetahui ketersambungan sanadnya

Penilaian ini diambil dari kitab tahdzîb 

al-kamāl fî asmāi al-rijāl karya al-Mizzî dan al￾tahdîb wa tahdîb karya Ibn Hājar.. Dari hadis 

ini penulis dapat menyimpulkan bahwa hampir 

semua perawi dalam hadis ini tidak memenuhi


syarat untuk menjadi hadis hasan ataupun sahih 

karena perawi ada yang dhaif dan kekuatan 

hafalannya rendah sehingga hadis ini dihukumi 

dhaif. Kesimpulan yang diungkapan oleh Imam 

al-Tirmîdzi hampir sama dengan definisi yang 

diungkan oleh ulama hadis yaitu hadis dhaif 

adalah hadis yang tidak memenuhi syarat hadis 

maqbul. 

 

Penulis dapat menyimpulkan bahwa teori 

kualitas hadis menurut Imam al-Tirmîdzi sangat 

bervariasi, teori hadis sahih ada dua yaitu: (1) 

teori hadis sahih yang digunakan oleh Imam 

al-Tirmîdzi tidak selamanya sejalan dengan 

Imam Bukhārî dan Muslîm (2) Imam Tirmîdzi 

menjadikan Imam Bukhārî dan Muslîm sebagai 

rujukan dalam menilai keshahihan hadis, 

kemudian hadis hasan yang disampaikan oleh 

Imam al-Tirmîdzi yaitu hasan ṣahīh, hasan dan 

hasan ghārib. Istilah ini walaupun sebagian 

ulama menyatakan bahwa tidak ada perbedaan 

diantara ketiganya karena posisinya sama-sama 

berada diantara sahih dan dha’īf, namun dalam 

kitab sunan al-Tirmîdzi ketiganya mempunyai 

ciri khas masing-masing yang mengambarkan 

poisisi hadis tersebut. 

hasan sahih kalau dilihat dari beberapa 

perawinya hampir mendekati pada sahih, hasan 

kalau dilihat posisi perawinya di atas hasan 

gharib dan hasan gharib ada satu atau dua 

perawinya yang dinilai dhaif oleh para pakar 

hadis. Kemudian, terakhir adalah hadis dhaif 

dimana antara teori yang diungkap oleh Imam 

al-Tirmîdzi sama dengan pakar ilmu hadis yaitu 

hadis yang tidak memenuhi syarat maqbul