�صْا َ َّالل َّنِإ
7مٍشِاهَ يِنَب نْمِ يِناَفطَصْاوَ مٍشِاهَ يِنَب شٍيْرَُق
Artinya:
“Sesungguhnya Allah telah memilih (atau menyaring)
suku kinanah dari Bani Ismail, dan memilih Quraisy
dari Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari Quraisy,
lali memilih aku dari Bani Hasyim. Maka akuini adalah
hasil pilihan dari pilihan,” (HR. Muslim).
Demikian pula sabda Nabi Saw., “Dahulukanlah kaum
Quraisy dan janganlah mendahuli mereka.”
Syafi’I dan sebagian besar sahabatnya
meriwayatkan bahwa kafaah dalam nasab berlaku
antar mereka. Berdasarkan qiyas kepada orang-orang
Arab.Mereka ditimpa aib apabila seorang perempuan
di antara mereka menikah dengan seorang laki-laki
yang nasabnya lebih rendah. Karena itu, hokum
mereka sama dengan hukum orang-orang Arab
karena illatnya adalah sama.
Mazhab Maliki tidak mengganggap nasab
dalam kafaah, karena keistimewan Islam yang inti
adalah seruan kepada persamaan dan memerangi
deskriminasi ras. Lain halnya dengan seruan orang-
orang jahiliyah sebelum Islam yang membangga-
banggakan kabilah dan nasab mereka. Deklarasi haji
wada menjelaskan bahwa semua manusia adalah
keturunan Adam, dan orang Arab tidak memiliki
keistimewaan atas orang ‘ajam kecuali dengan
ketakwaan.
Rasulullah saw mengawinkan kedua putrinya
dengan Usman bin Affan dan mengawinkan Abu al-
Ash bin Rabi’ kepada Zaenab, yang keduanya berasal
dari bani Abdu Syams. Demikian pula yang dilakukan
oleh Ali bin Abi Thalib mengawinkan putrinya ummu
Kalsum kepada Umar bin Khattab yang berasal dari
bani Adiy. Usamah bin Zaid juga mengawini Fathimah
binti Qais yang merupakan perempuan Qurais.8
4. Segi Kekayaan.
Kekayaan yang dimaksud di sini adalah
kemampuan seseorang untuk membayar mahar
dan memenuhi nafkah. Mazhab Hanafi dan Hambali
mensyaratkan kekayaan sebagai unsur kafaah,
dengan berdasar kepada hadis Nabi Saw dalam hadis
riwayat Fatimah binti Qais yang dilamar oleh tiga
laki-laki sekaligus yaitu: Muawiyah, Abu Jahm dan
Usamah bin Zaid. Kemudian Rasul Saw bersabda:
9ُهَل لَامَ لَا كٌوُلعْصَُف ُةَيوِاَعمُ ا َّمَأوَ … سٍيَْق تِنِْب َةمَطِاَف نْعَ
Artinya:
“Dari Fatimah binti Qais … Adapun Mu’awiyah adalah
seorang laki-laki yang miskin, Nikahilah Usamah bin
Zid. (HR. Muslim).
Berdasarkan hadis tersebut dijelaskan bahwa Muawi-
yah adalah orang yang tidak memiliki harta, kemudian
Rasulullah menyuruh Fatimah binti Qais untuk mener-
ima lamaran Usamah bin Zaid yang lebih banyak har-
tanya. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu unsur
dari kafaah adalah dari segi harta atau kekayaan.Oleh
karena itu, wanita yang kaya tidak sekufu dengan
laki-laki yang tidak berharta.Perempuan punya hak
untuk membatalkan perkawinan akibat kesulitannya
untuk memberikan nafkah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan
manusia terdapat stratifikasi sosial, di antara mereka
ada yang kaya dan ada yang miskin. Walaupun kualitas
seseorang terletak pada dirinya sendiri dan amalnya,
namun kebanyakan manusia merasa bangga dengan
nasab dan bertumpuknya harta. Oleh karena itu sebagian
fuqaha’ memandang perlu memasukkan unsur kekayaan
sebagai faktor kafa’ah dalam perkawinan. Selain itu, jika
seorang fakir mengawini perempuan yang sudah terbiasa
hidup dalam kemewahan harta, dikhawatirkan perempuan
tersebut nantinya akan melecehkan suaminya yang tak
berharta itu, dan yang demikian itu akan membuat retaknya
hubungan perkawinan mereka.
Mazhab Syafi’i dan mazhab Maliki berpendapat
bahwa kekayaan/ harta tidak masuk dalam unsur kafaah,
karena harta adalah sesuatu yang bisa hilang dan tidak
menjadi kebanggaan bagi orang-orang yang zuhud. Bahkan
kemiskinan bagi mereka adalah sebuah kemuliaan di dalam
agama, sebagaimana sabda Rasul Saw.
Artinya:
“Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin,
dan matikanlah aku dalam keadaan miskin.”
73
5. Segi Pekerjaan/ Profesi.
Pekerjaan yang dimaksud di sini adalah
berkenaan dengan segala sarana maupun prasarana
yang dapat dijadikan sumber penghidupan baik
di bidang pemerintahan, perusahaan maupun
yang lainnya. Profesi atau pekerjaan seseorang
adakalanya menimbulkan perasaan kebanggaan
ataupun kehinaan pada dirinya. Jadi apabila ada
seorang wanita yang berasal dari kalangan orang
yang mempunyai pekerjaan tetap dan terhormat,
maka dianggap tidak sekufu’ dengan orang yang
rendah penghasilannya.
Jumhur fuqaha selain mazhab Maliki
memasukkan profesi ke dalam unsur kafaah,
yaitu dengan menjadikan profesi suami atau
keluarganya sebanding dan setaraf dengan profesi
isteri dan keluarganya. Oleh sebab itu, orang yang
pekerjaannya rendah seperti tukang sapu, tukang
sampah dan penggembala tidak setara dengan
anak perempuan pemilik pabrik yang merupakan
orang yang elit dan lain sebagainya.10Yang dijadikan
landasan untuk mengklasifikasi pekerjaan adalah
tradisi. Hal ini berbeda dengan berbedanya zaman
dan tempat.
6. Segi Bebas dari Cacat/ Kesempurnaan Anggota Tubuh
Cacat yang dimaksudkan adalah keadaan yang
dapat memungkinkan seseorang untuk dapat menuntut
faskh. Karena orang cacat dianggap tidak sekufu’
dengan orang yang tidak cacat. Adapun cacat yang
dimaksud adalah meliputi semua bentuk cacat baik fisik
maupun psikis yang meliputi penyakit gila, kusta atau
lepra.
Sebagai kriteria kafa’ah, segi ini hanya diakui oleh
ulama Malikiyah tapi dikalangan sahabat Imam Syafi’i
ada juga yang mengakuinya. Sementara dalam Mazhab
Hanafi maupun Hanbali, keberadaan cacat tersebut
tidak menghalani kufu’nya seseorang. Walaupun cacat
tersebut dapat menghalangi kesekufu’an seseorang,
namun tidak berarti dapat membatalkan perkawinan.
Karena keabsahan bebas dari cacat sebagai kriteria
kafa’ah hanya diakui manakala pihak wanita tidak
menerima. Akan tetapi, jika terjadi kasus penipuan
atau pengingkaran misalnya sebelum perkawinan
dikatakan orang tersebut sehat tapi ternyata memiliki
cacat maka kenyataan tersebut dapat dijadikan alasan
untuk menuntut fasakh.
D. KEDUDUKAN KAFAAH DALAM AKAD NIKAH
Fuqaha’ berbeda pendapat tentang apakah kafa’ah
merupakan syarat keabsahan sebuah aqad pernikahan
atau tidak, antara lain:11
1. Al-Tsauri, Hasan Basri, dan Karakhi berpendapat
bahwa kafa’ah bukan merupakan syarat keabsahan
sebuah pernikahan, dan bukan pula syarat
luzumnya.12Sebuah pernikahan yang dilangsungkan
oleh suami istri yang tidak sekufu’ adalah sah dan
luzum (mengikat dan tidak terdapat peluang khiyar).
Dasar hukum yang mereka pakai adalah;
a. Beberapa ayat dan hadits yang menerangkan
bahwa kedudukan semua manusia sama kecuali
orang yang bertaqwa, diantaranya : Hadits
riwayat Ibn Lail;
“Manusia itu pada prinsipnya sama,
sebagaimana rata gigi sisir. Tiada kelebihan
bagi seorang Arab atas orang ‘ajam( luar arab),
kecuali aspek taqwanya”.
Hadis ini menjelaskan persamaan mutlak, serta
tidak disyaratkan adanya kesetaraan.
11 Wahbah Zuhaely, al- Fiqh al- Islam wa- Adillatuhu, h. 236.
12 Luzum sebuah ‘aqad pernikahan artinya pernikahan itu telah
mengikat sehingga istri atau walinya tidak diberi lagi kesempatan
khiyar. Yang dimaksud dengan kesempatan khiyar adalah kesempatan
untuk memilih antara meneruskan pernikahan atau membatalkannya
disebabkan alasan-alasan yang telah ditentukan.
b. Beberapa hadits yang menerangkan terjadinya
peristiwa pernikahan antara seorang perempuan
merdeka dengan seorang laki-laki bekas budak,
diantaranya: Ketika Bilal bin Rabbah meminang
seorang perempuan Anshar dan perempuan
itu menolaknya, maka Rasul menyuruh Bilal
agar menyampaikan kepada perempuan
itu bahwa Rasul yang memerintahkan agar
mengawininnya. Begitu, juga, hadits yang
menerangkan bahwa Rasul memerintahkan
Fatimah binti Qais agar menikahi Usamah anak
Zaid (bekas budak Rasul). Bahkan, sepupu
Rasul sendiri, Zainal binti Jassy, juga menikah
dengan Zaid ayah Usamah.
2. Jumhur Fuqaha’ berpendapat bahwa, kafa’ah
merupakan syarat luzum sebuah pernikahan, bukan
syarat sah. Alasan yang mereka kemukakan adalah:13
a. Beberapa hadits yang memerintahkan wali agar
menikahkan anak perempuannya dengan laki-
laki yang sekufu’, diantarannya : Hadits yang
diriwayatkan dari ‘Aisyah.
“Pilihlah perempuan untuk air sperma kalian dan
nikahilah orang yang setra”
b. Beberapa hadits yang memberikan hak khiyar
bagi istri dan suaminya tidak sekufu’, diantaranya:
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Ahmad,
dan An-Nasa’i;
Artinya:
“Telah datang seorang perempuan muda kepada
Rasul, lalu dia berkata: Ayahku telah menikahkan
aku dengan anak paman(saudara ayah) untuk
mengangkat derajatnya dengan perantaraan
(pernikahanku). Perawi berkata: Lalu Rasul
menyerahkan perkara itu kepada perempuan
tersebut. Kemudian perempuan itu berkata:
Sesungguhnya aku membolehkan perbuatan
ayahku, tetapi aku hanya ingin memberitahukan
kepada para perempuan bahwa para ayah tidak
mempunyai hak perintah sedikitpun”.
Selain itu, ada hadits lain yang menceritakan
tentang seorang budak perempuan yang baru
dimerdekakan sedangkan suaminya masih
berstatus budak, lalu Rasul memberikan hak
khiyar kepadanya.
c. Alasan Nalar.
Pernikahan mesti didasarkan pada kemaslahatan
bersama, suami-istri. Untuk mencapai
kemaslahatan itu tidaklah mudah. Banyak hal
yang harus dilakukan diantaranya suami-istri harus
sekufu’, akal sehat siapa pun akan membenarkan
asumsi ini.
Menurut jumhur ulama, syarat kafa’ah menjadi
gugur dengan ridhanya para pihak yang berhak. Se-
lanjutnya, mereka berpendapat bahwa syarat kafa’ah
hanya diberlakukan terhadap laki-laki saja, tidak
diberlakukan terhadap perempuan. Artinya, perem-
puan yang kaya, perempuan yang keturunan bang-
sawan, atau perempuan yang shalih harus menikah
dengan laki-laki yang sekufu’ dengannya. Jika dia
menikah dengan laki-laki yang miskin, laki-laki yang
bukan keturunan bangsawan atau laki-laki yang fasiq,
maka wali berhak mengajukan gugatan agar pernika-
han itu difasakhkan menurut Hanafiyah dan hak ijbar
ayah terhadap anak gadisnya menjadi gugur menurut
syafi’iyah.Berbeda dengan laki-laki. Hal ini disyaratkan
QS. An-Nuur/24: 26.
تِاَبِّيَّطللِ نَوُبِّيَّطلاوَ نَيِبِّيَّطللِ تُاَبِّيَّطلاوَ ۖ تِاَثيِبخَلْلِ نَوُثيِبخَلْاوَ نَيِثيِبخَلْلِ تُاَثيِبخَلْا
Terjemahnya:
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang
keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita
yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah
untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah
untuk wanita-wanita yang baik (pula)...”
Kebijakan pemerintah dalam hal kafaah/kesepadan
dalam hal ini, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 61
menyatakan bahwa:
79
“Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk
mencegah perkwinan, kecuali tidak sekufu karena
perbedaan Agama atau ikhtilaafu al-diin.”14
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan
bahwa kafaah/kesepadan bukan suatu keharusan dalam
sebuah pernikahan, dalam artian bahwa pernikahan
syah, meskipun tanpa kafaah. Tekanan dalam hal kafa’ah
adalah keseimbangan, keharmonisan, dan keserasian,
terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab
kalau kafa’ah diartikan persamaan dalam hal harta atau
kebangsawanan maka akan berarti terbentuknya kasta.
Sedangkan dalam Islam tidak dibenarkan adanya kasta,
karena manusia di hadapan Allah adalah sama, hanya
ketakwaanlah yang membedakannya.
Kafa’ah (equality) dalam pernikahan merupakan
faktor yang dapat mendorong terpeliharanya keharmonisan
rumah tangga. Jika antara suami dan istri terdapat
kesepadanan, maka akan lebih berkurang munculnya
persoalan-persoalan penyebab perceraian.
Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih
calon suami/ istri, tetapi tidak menentukan sah atau
tidaknya perkawinan. Kafa’ah adalah hak bagi wanita atau
walinya. Karena suatu perkawinan yang tidak seimbang
akan menimbulkan problema berkelanjutan dan besar
kemungkinan menyebabkan terjadinya percekcokan dalam
rumah tangga.
MAHAR DAN UANG
PENAIK
Kata “mahar” berasal dari bahasa Arab dan telah
menjadi bahasa Indonesia. Istilah mahar dalam bahasa
Arab disebut dengan delapan nama yaitu: mahar, shadaq,
nihlah, faridhah, hiba’, ujr, ‘uqar, dan alaiq. Keseluruhan kata
tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan
dari suatu yang diterima.
Mahar atau maskawin dalam Kamus Bahasa
Indonesia diartikan sebagai pemberian wajib berupa uang
atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.1Pengertian
mahar secara etimologi berarti maskawin. Sedangkan
pengertian mahar menurut terminologi: pemberian yang
wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan
hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih
bagi seorang istri kepada calon suaminya dalam kaitannya
dengan pernikahan.2
Mahar menjadi hak milik pribadi istri. Orang lain,
termasuk wali atau suaminya sendiri, tidak berhak memiliki
barang yang dijadikan mahar itu dan tidak boleh pula
mempergunakannya kecuali dengan izin istri.3Ulama fiqh
memberikan definisi dengan rumusan yang tidak berbeda
secara substansial.
1
Mazhab Hanafi mendefinisikannya sebagai sesuatu
yang didapatkan seorang perempuan akibat akad pernikahan
ataupun persetubuhan. Mahar dalam mazhab Hambali
adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebagai
imbalan persetubuhan dengannya. Sementara itu, mazhab
Syafi’i mendefinisikannya sebagai sesuatu yang diwajibkan
sebab pernikahan atau persetubuhan. Adapun mazhab
Hambali mendefinisikannya sebagai pengganti dalam akad
pernikahan, baik mahar ditentukan di dalam akad atau
ditetapkan setelahnya dengan keridaan kedua belah pihak.4
B. Landasan Hukum Mahar
1. Al- Qur’an Q.S. An- Nisa’/4:4 dan ayat 24
… ةَلحِن َّنهِِت َٰقُدصَ ءَاسَِّنلٱْاوُتاءَوَ
Terjemahnya:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan….”5
ةضَيرَِف َّنهُرَوجُُأَّنهُوُتأَ َف َّنهُنمِ ۦِهِب مُتعَتمَتسٱ امََف…
4
Terjemahnya:
“ …Maka istri-istri yang Telah kamu nikmati
campuri) di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban....”6
2. Hadis-hadis Rasulullah Saw.
Ada beberapa hadis Rasulullah saw.
mengenai jenis-jenis mahar, diantaranya: Mahar
dengan sebuah cicin dari besi, sepasang sandal,
Mahar dengan hapalan ayat-ayat al-Qur’an.
7…دٍيدِحَ نْمِ امًَتاخَ وَْلوَ سْمَِتلْا لَاَق اًئيْشَ ُدجَِأ امَ لَاَق …
Artinya: “…carilah sesuatu walaupun cincin dari
cincin besi
8ُهزَاجََأَف لَاَق مَْعَن تَْلاَق نِيَْلعَْنِب كِلِامَوَ كِسِفَْن نْمِ تِيضِرََأ…
Artinya:
”…Apakah kamu rela dari dirimu dan hartamu dengan
sepasang dua sandal? Wanita itu menjawab, “Ya aku
rela” maka beliau memperbolehkannya”
6
اهَكَُتحْكَنَْأ دَْقَف بْهَذْا لَاَق اَذكَ ُةرَوسُوَ اَذكَ ُةرَوسُ يعِمَ لَاَق ءٌيْشَ نِآرُْقلْا نْمِ كََعمَ لْهَ…
9نِآرُْقلْا نْمِ كََعمَ امَِب
Artinya:
“…Rasulullah Saw.bertanya, “Apa yang kau hafal dari Al-
Qur’an?” “Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya.
Rasulullah bersabda pergilah, sungguh aku telah
menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar
berupa surah-surah Al-Qur`an yang engkau hafal”.
Demikian juga tidak ada keterangan dari Nabi Saw.
bahwa beliau meninggalkan mahar pada suatu pernikahan.
Andaikata mahar tidak wajib tentu Nabi Saw pernah
meninggalkannya walaupun sekali dalam hidupnya yang
menunjukkan tidak wajib. Akan tetapi, beliau tidak pernah
meninggalkannya, hal ini menunjukkan kewajibannya.10Ibnu
Abbas mengisahkan,
يْدِنْعِ امَ :لاقف ,اًئيْشَ اهَطِعَْأ :ملسو هيلع ىلص الله لوسر لاق َةمِطِاَف يّلِعَ جَ َّوزََت ا َّمَل
.ُهاَّيِا اهَطِعَْأَف :لاق ,يدِنْعِ يَهِ :لاق ؟ُةَّيمِطَحُلا كَعُرْدِ نَيَْا :لاق ,ءٍيشَ نمِ
Artinya:
“Ketika Ali ibn Abi Thalib menikahi Fathimah,
Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Berilah
ia sesuatu (mahar)”, Ali menjawab: “Aku tidak
memiliki apa-apa”, Rasulullah SAW bertanya: “Mana
baju besimu?”, Ali menjawab: Ada padaku”, maka
Rasulullah SAW bersabda: “Berikan itu kepadanya”.
(HR. Abu Dawud dan Nasa’i.)
Berdasarkan ayat-ayat di atas dan perintah Nabi untuk
memberikan mahar itu, maka ulama sepakat menetapkan
hukum wajibnya memberi mahar kepada isteri.Tidak
ditemukan dalam literature ulama yang menempatkannya
sebagai rukun. Mereka sepakat menempatkannya sebagai
syarat sah bagi suatu pernikahan, dalam arti pernikahan
yang tidak pakai mahar adalah tidak sah. Bahkan ulama
Zhahiriyah sebagaimana dikutip Amir Syarifuddin bahwa bila
dalam keadaan akad nikah dipersyaratkan tidak pakai mahar,
maka pernikahan tersebut dapat dibatalkan.11Meskipun
demikian mahar tidak mesti disebutkan dan diserahkan
ketika akad nikah itu berlangsung.
Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa apa saja
yang bernilai material, walaupun sedikit syah dijadikan
mahar. Tidak ada ketentuan mahar harus berupa barang
tertentu. Bahkan mengajarkan surah-surah Al-Qur`an dapat
dijadikan mahar, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits
yang telah disebutkan diatas.
Mahar dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur
dalam Bab V Pasal 30-38. Pasal 30 dinyatakan bahwa:
calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada
calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya
disepakati oleh kedua belah pihak. Selanjutnya dalam pasal
31 dinyatakan bahwa: penentuan mahar berdasarkan atas
kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran
Islam.
C. Kadar (Jumlah) dan Syarat-Syarat Mahar
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan
jumlah maksimum dari mahar/maskawin. Ukuran mahar
diserahkan kepada kemampuan suami, hal ini disebabkan
oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam
memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan
untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya
kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada
yang hampir tidak mampu memberinya.12 Oleh karena itu,
pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang
bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-
masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan
jumlahnya.
Demikian pula tidak ada ketentuan mahar harus berupa
barang/ benda tertentu. Bahkan mengajarkan surah-surah
Al-Qur`an dapat dijadikan mahar, sebagaimana ditunjukkan
dalam hadits di atas. Tidak ada dalam syara’ suatu dalil yang
membatasi batas maksimal mahar, sebagaimana firman
Allah Swt dalam QS. An-Nisa/4: 20:
ۚ اًئيْشَ ُهنْمِ اوُذخُْأَت لََف ارًاطَنِْق َّنهُاَدحِْإ مُْتيَْتآوَ ٍجوْزَ نَاكَمَ ٍجوْزَ لَاَدبِْتسْا مُُتدْرََأ نِْإوَ
اًنيِبمُ امًْثِإوَ اًناَتهُْب ُهَنوُذخُْأَتَأ
Terjemahnya:
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan
isteri yang lain, sedang kamu Telah memberikan
kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali
dari padanya barang sedikitpun…”13
Menurut Quraish Shihab Kata ( اراطنق ) diterjemahkan
dengan harta yang banyak. Dari ayat ini pula dipahami bah-
wa tidak ada batas maksimal dari mahar atau mas kawin.14
Umar bin Khattab ketika hendak mencegah manusia
berlebih-lebihan dalam mahar dan melarangnya lebih dari
400 dirham di hadapan manusia, Ia berkata:
”Ingatlah, jangan berlebihan dalam mahar wanita,
maka sesungguhnya jika ia dimuliakan di dunia
atau ditakwakan di akhirat, maka orang yang paling
berhak untuk mendapatkannya daripada kalian
adalah Rasulullah. Beliau sama sekali tidak pernah
menetapkan mahar untuk para istrinya maupun
anak-anak perempuannya yang melebihi 12 uqiyah.
Maka barang siapa yang mendapatkan mahar lebih
dari 400, hendaknya dia berikan kelebihannya
kepada baitul maal. Lantas ada seorang wanita dari
Qurais berkata: “Bukan demikian hai Umar.” Sahut
Umar: “mengapa tidak…” wanita berkata: “karena
Allah berfirman:Sedang kamu Telah memberikan
kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali
dari padanya barang sedikitpun (QS. Al-Nisa/4:20).
Beliau berkata: “Allah maaf, Umar bersalah dan benar
wanita ini.” Selanjutnya beliau berkata: “dulu aku
mencegah kamu melebihi 400 dirham untuk mahar
wanita, barang siapa yang berkehendak berilah dari
hartanya yang disukai.”15
Sekalipun fuqaha sepakat bahwa tidak ada batas
maksimal dalam mahar, tetapi seyogyanya tidak berlebihan,
khususnya di era sekarang. Sebagaimana hadis yang diri-
wayatkan dari Rasulullah saw. bersabda:
16هرسيأ قادصل ريخ ملس و هيلع الله ىلص الله لوسر لاقو
Artinya: “ …sebaik-baik mahar adalah yang paling
mudah”
17ناجوزلا هب ىضارت ام قادصلا : لاق هنع الله يضر ايلع نأ هيبأ نع
Artinya:”…mahar itu keridhaan antara suami isteri”
Mahar tidak disukai bila berlebih-lebihan sehingga
memberatkan pihak laki-laki dan menghambat pernikahan.
Karena mematok mahar yang tinggi, menjadikan banyak
wanita memasuki usia tua tanpa sempat menikah. Bagaimana
tidak, setiap lelaki yang datang ditolak dengan alasan tidak
mampu memberikan mahar yang tinggi, atau lelaki itu yang
mundur teratur karena tidak bisa memenuhi tuntutan yang ada.
Hikmah dari pencegahan menetapkan mahar
yangtinggi adalah jelas, yaitu memudahkan anak muda untuk
kawin sehingga mereka tidak menghindari pernikahan, yang
membuat timbulnya berbagai kerusakan moral dan sosial.18
Oleh krena itu, sunnahnya menurut syara’tidak berlebih-
lebihan dalam mahar, karena hal itu akan mendatangkan
orang berpaling dari nikah yang diikuti kerusakan secara
umum.
Meskipun mahar tidak memiliki ukuran atau jumlah
yang pasti, sebagai lambang kesanggupan dan kesediaan
suami untuk memberikan nafkah lahir kepada isteri, agar
mahar dipandang sah harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Mahar harus sesuatu yang ada harga dan bisa diambil
manfaatnya. Meskipun sedikit, tetapi ada harga dan
manfaatnya.
2. Mahar harus suci. Tidak sah mahar dengan seuatu yang
haram, seperti kahamar, babi dan darah.
3. Mahar harus milik pribadi calon suami, bukan barang
ghasab.19
4. Mahar harus jelas serta diketahui bentuk dan jumlahnya.20
Pada dasarnya, agama menganjurkan agar mahar
berupa sesuatu yang bersifat materi.Akan tetapi, jika calon
suami betul-betul tidak memilki materi, mahar boleh berupa
jasa, sebagaimana hadis-hadis di atas.
D. Macam-macam Mahar
1. Mahar Musamma
Mahar musamma, yaitu mahar yang sudah
disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika
akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya
pada waktu akad nikah. Ulama fikih sepakat bahwa,
dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus
diberikan secara penuh apabila:
a. Telah bercampur (bersenggama). Seperti yang
dijelaskan dalam QS. An-Nisa/4: 20:
ُهنْمِ اوُذخُْأَت لَف ًاراطنِْق َّنهُادحِْإ مُْتيَْتآ وَ ٍجوْزَ نَاكمَ ٍجوْزَ لَادبِْتسْا مُُتدْرََأ نِْإ وَ
ً ائيْشَ
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri
yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada
seseorang di antara mereka harta yang banyak,
maka janganlah kamu mengambil kembali sedikitpun
darinya.”
b. Salah satu dari suami-istri meninggal.
c. Mahar musamma wajib dibayar seluruhnya
apabila suami telah bercampur dengan istri, dan
ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu,
seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau
dikira perawan ternyata janda, atau hamil
dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri
dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar
setengahnya, berdasarkan firman Allah swt
dalam QS al-Baqarah/2: 237.
امَ فُصِْنَف ًةضَيرَِف َّنهَُل مُْتضْرََف دَْقوَ َّنهُوُّسمََت نَأ لِبَْق نمِ َّنهُومُُتقَّْلطَ نِإوَ
مُْتضْرََف
“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum
kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah
menentukan maharnya, maka (bayarlah)
seperdua dari yang telah kamu tentukan”.
2. Mahar Mitsli (Sepadan)
Mahar mitsli yaitu mahar yang tidak disebut besar
kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi
pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan)
dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga
terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya,
dengan memerhatikan status sosial, kecantikan dan
sebagainya.
Pembarian Mahar mitsli terjadi dalam keadaan
sebagai berikut.
a. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan
besarnya ketika berlangsung akad nikah,
kemudian suami telah bercampur dengan istri,
atau meninggal sebelum bercampur.
b. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan
suami telah bercampur dengan istri dan ternyata
nikahnya tidak sah.21
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan
maharnya disebut nikah tafwid, hal ini menurut jumhur
ulama dibolehkan, sebagaimana terdapat dalam QS Al-
Baqarah/2:236.
ًةضَيرَِف َّنهَُل اوضُرِفَْت وَْأ َّنهُوُّسمََت مَْل امَ ءَاسَِّنلا مُُتقَّْلطَ نِْإ مْكُيَْلعَ حَاَنجُ لَ
Terjemahnya:
“Tidak ada sesuatu pun (mahar)atas kamu, jika kamu
menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur
dengan mereka dan sebelum menentukan maharnya.
E. Sompa dan Dui’ Menre’ dalam Tradisi Masyarakat
Bugis.
1. Makna dan Kedudukan Sompa (mahar) dan Dui’
Menre’ (uang naik) dalam Tradisi Pernikahan Bugis.
Tradisi pernikahan masyarakat Bugis
merupakan suatu pernikahan yang pelaksanaannya
banyak diwarnai oleh kebiasaan masyarakat Bugis
yang sudah menjadi tradisi. Salah satu kegiatan
yang wajib dipenuhi dan dilakukan dalam tradisi
pernikahan masyarakat Bugis adalah pemberian uang
sebagai dui’menre’ atau uang belanja dan sompa
atau mahar.
Terdapat dua istilah pemberian dari pihak
calon mempelai laki-laki kepada pihak calon mempelai
perempuan dalam tradisi pernikahan Bugis, yaitu
sompa dan dui’ menre.’ Dui’ menre’ atau dui’ belanca
(uang belanja) adalah uang pemberian dari pihak
mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan
untuk dipakai sebagai ongkos pesta pernikahan di
rumah kediaman mempelai perempuan. Uang belanja
ini diserahkan ke orang tua mempelai perempuan
untuk keperluan pesta pernikahan.
Sedangkan sompa (mahar) pemberian harta
atau barang dari tangan mempelai laki-laki kepada
tangan mempelai perempuan secara lansung.Mahar
merupakan syarat dari ajaran agama, sedangkan
dui’ menre’ merupakan pensyaratan dalam tradisi
pernikahan Bugis di Kec.Baranti.22
Dui’ Menre’(uang belanja) bermakna
pemberian uang dari pihak keluarga calon mempelai
laki-laki kepada keluarga calon mempelai wanita
dengan tujuan sebagai penghormatan dan tanda
cinta. Penghormatan yang dimaksudkan disini adalah
rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon
mempelai pria kepada wanita yang ingin dinikahinya
dengan memberikan pesta yang megah untuk
pernikahannya melalui Dui’ Menre’(uang belanja).
Secara keseluruhan dui’menre’ (uang belanja)
merupakan hadiah yang diberikan calon mempelai la-
ki-laki kepada calon istrinya untuk memenuhi keper-
luan pesta pernikahan (walimah), sedangkan sompa
(mahar) pemberian mempelai laki-laki kepada mem-
pelai perempuan untuk dimilikinya secara peribadi.
Pentingnya makna dan kedudukan dui’ menre’
dalam tradisi pernikahan masyarakat Bugis di Kec.
Baranti seakan sebagai rukun dan syarat yang harus
dipenuhi untuk melangsungkan acara pernikahan. Jika
uang belanja tersebut tidak terpenuhi atau tidak sesuai
dengan ukuran yang ditetapkan oleh pihak keluarga
perempuan maka pernikahan itu dapat saja tertunda
atau dibatalkan.
Hal ini terlihat ketika sebelum terjadi prosesi
akad nikah/ijab qabul antara calon mempelai laki-laki
dan wali perempuan, bapak penghulu yang memimpin
acara prosesi tersebut bertanya kepada pihak keluarga
perempuan apakah sudah dibereskan semuanya,
bahkan penyerahan uang belanja tersebut dilakukan
di depan para undangan sebelum acara prosesi akad
nikah.
Jika dianalisa lebih mendalam masalah dui’
menre’ lewat teori maqāṣid al-syari‘ah,maka tata
urutannya adalah: akad nikah/ pernikahan itu sendiri
kebutuhan dharuriyat (primer), walimah/ pesta
pernikahan masuk dalam kategori hajiyat dan dui’
menre’ masuk dalam kebutuhan tahsiniyat. Maksudnya
unsur yang paling pokok yang harus terpenuhi dalam
pernikahan adalah akad nikah/ pernikahan, sementara
dui’ menre’ dan walimah itu hanya sekedar pelengkap
dari pernikahan tersebut. Artinya meskipun dui’
menre’ tinggi dan pesta pernikahan sangat meriah
dan mewah jika tidak terjadi akad nikah, maka dui’
menre’ yang tingi dan pesta pernikahan yang meriah
dan mewah itu tidak ada artinya.
Atau dengan kata lain tidak terjadi suatu
pernikahan. Padahal yang semestinya, meskipun
tidak ada dui’ menre’/ uang belanja, pernikahan
tetap dinyatakan syah, asalkan syarat dan rukunnya
terpenuhi sebagaimana yang telah ditetapkan oleh
syariat agama Islam.
Dui’ menre’ yang sebenarnya merupakan
unsur tahsiniyat/pelengkap yang bertujuan untuk
memperlancar proses jalannya suatu pernikahan,
justeru dalam tradisi masyarakat Kec. Baranti
dijadikan sebagai unsur dharuriyat/ pokok. Oleh sebab
itu, jika tidak terpenuhi tuntutan dui’ menre’/ uang
belanja sebagaimana yang dipatok oleh pihak kelurga
perempuan, maka sudah dipastikan pernikahan itu
tidak akan pernah terwujud. Padahal jika kita kembali
mengkaji ulang syarat dan rukun pernikahan dalam
Islam, tidak ditemukan istilah uang belanja, yang ada
hanya mahar, sebagaimana hadis yang diriwayatkan
dari Rasulullah saw.
هرسيأ قادصل ريخ ملس و هيلع الله ىلص الله لوسر لاقو
Artinya: “ …sebaik-baik mahar adalah yang paling
mudah” (HR. Baihaqi).
ناجوزلا هب ىضارت ام قادصلا : لاق هنع الله يضر ايلع نأ هيبأ نع
Artinya:”…mahar itu keridhaan antara suami istri”
(HR. Daraqutni)
Maksud kedua hadis tersebut anjuran untuk
mempermudah mahar, begitupula tidaklah disukai bila
mahar itu berlebih-lebihan sehingga memberatkan pihak
laki-laki dan menghambat pernikahan. Dari sini jelas,
bahwa mahar saja yang merupakan syarat syahnya sebuah
pernikahan, oleh Rasul Saw dianjurkan kepada keluarga
pihak mempelai perempuan untuk mempermudah dan tidak
berlebih-lebihan dalam penentuan jumlah mahar, karena itu
akan mempersulit terlaksananya pernikahan, apatah lagi
yang namanya dui’ menre’/ uang belanja yang sama sekali
bukan merupakan rukun apalagi salah satu syarat syahnya
perkawinan.
Dui’ menre’/ uang belanja merupakan suatu tradisi
pernikahan dalam masyarakat Bugis Kec. Baranti dan
seakan merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi.
Syariat Islam memberikan kesempatan untuk menetapkan
ketentuan hukum yang sesuai tradisi/ adat (‘urf) setempat,
dalam qa’idah fiqhiyah disebutkan,ٌةمََّكحَمُ ُةَداَعلا artinya adat
kebiasaan dapat dijadikan dasar(pertimbangan) hukum,
akan tetapi tidak semua tradisi/ adat (‘urf) manusia dapat
dijadikan dasar hukum. Tradisi/adat (‘urf) yang dapat
dijadikan dasar hukum harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. Tidak bertentangan dengan nash baik Al-Quran
maupun Al-hadis.
b. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak
kehilangan kemaslahatan termasuk di dalamnya tidak
memberikan kesempitan dan kesulitan.
c. Berlaku pada umumnya kaum muslimin dalam arti
bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa
orang saja.
d. Dan tidak berlaku di dalam masalah ibadah mahdah.
Tradisi/ adat kebiasaan yang dapat dijadikan sebagai
pertimbangan hukum, selama tidak bertentangan dengan
hukum Islam dan dinilai baik oleh masyarakat umum,
sebagaimana kaedah fikih:
يعرش ليل دب تباث فرعلاب تباثلا
Artinya: “Diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan
‘urf sama dengan diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan
dalil syar’i”.
Hukum-hukum yang didasarkan atas urf (tradisi) itu
dapat berubah menurut perubahan tradisi pada suatu zaman
dan perubahan asalnya. Tradisi merupakan kesepakatan dari
manusia untuk manusia, yang bisa mengalami perubahan.
Manakala tradisi dipahami sebagai sebuah kesepakatan,
keniscayaan musyawarah adalah konsekuensinya.
Ini artinya tradisi dui’ menre’/ uang belanja yang
jumlahnya cukup tinggi dan memberatkan serta mempersulit
bagi pihak keluarga calon mempelai laki-laki, masih
dapat dimusyawarahkan. Tradisi inipun pada dasarnya
bertentangan dengan sunah Rasul dan para sahabat
sebagaimana hadis-hadis tentang anjuran mempermudah
mahar yang seperti tersebut di atas.
Dui’ menre’/ uang belanja bertujuan untuk membiayai
pesta pernikahan mempelai perempuan. Menurut beberapa
informan bahwa, indikator besar kecilnya uang belanja/
uang naik bisa dilihat dari kemewahan pesta pernikahan,
semakin tinggi uang belanjanya semakin meriah pula pesta
pernikahannya.
Persaingan yang terjadi dalam mengangkat derajat
sosial di masyarakat dan terfokus pada bagaimana
memeriahkan walimah dengan pemberian dui’menre’/
uang belanja yang dijadikan syarat mutlak untuk dapat
terlaksananya suatu pernikahan sehingga seakan
melupakan hakikat dan tujuan serta hikmah pernikahan
itu sendiri. Jika ada pernikahan, maka yang seringkali jadi
buah bibir utama adalah berapa Dui’ menre’ (uang naik/
uang belanjanya)? Pada hal pelaksanaan walimah/ pesta
pernikahan sebagaimana yang dicotohkan dan dianjurkan
oleh Nabi Muhammad saw dengan penuh kesederhanaan,
sebagaimana sabda Rasul saw:
ةاشَِب وَْلوَ مْلِوَْأ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ لَاَق
Artinya: adakanlah walimah meskipun dengan seekor
kambing (H.R Imam Bukhari).
Walimah al-urusy (pesta pernikahan) pada hakikatnya
bertujuan sebagai perhelatan dalam rangka mensyukuri
nikmat Allah atas telah terlaksananya akad pernikahan
dengan menghidangkan makanan kepada para tamu
undangan sesuai dengan kesanggupan/keadaan yang
mengadakan pernikahan. Akan tetapi tampaknya, yang
terjadi di sebahagian masyarakat dalam menyelenggarakan
walimah/ pesta pernikahan sangat meriah dan megah,
meskipun terkadang memaksakan diri bahkan setelah pesta
selesai mereka menanggung hutang akibat dari kemeriahan
pesta di luar dari kemampuannya.
Dui’ menre’/ uang belanja tetaplah menjadi prestise
hampir di setiap kalangan masyarakat Bugis di Kec. Baranti.
Jumlah dui’ menre’/ uang belanja menjadi simbol bentuk
upaya mempertahankan kelas sosial. Meskipun masih ada
keluarga Bugis di Kec. Baranti yang tidak menilai pernikahan
dari jumlah uang dui’ menre’/ uang belanja dan meriahnya
pesta, apalagi sampai mematok/ menentukan sebuah
harga untuk anak gadisnya, karena mereka berkeyakinan
bahwa perkawinan adalah sebuah perjanjian suci mitzaqan
ghaliidzan yang tidak semestinya dinodai dengan hal-hal
yang bertentagan dengan aturan Ilahi.
2. Kadar (jumlah) Uang Penaik dalam budaya Bugis.
Tinggi rendahnya nilai sompa (mahar) dan dui’
menre’ (uang belanja) merupakan bahasan yang paling
mendapatkan perhatian dalam tradisi pernikahan Bugis di
Kec. Baranti Kab. Sidarap, sehingga akan menjadi rahasia
umum dan menjadi buah bibir di kalangan keluarga dan
handai tolan di masyarakat.
Berdasarkan beberapa wawancara di lapangan
diketahui bahwa yang menjadi faktor tinggi rendahnya
mahar dan uang belanja di Kec. Baranti Kab. Sidrap adalah
faktor status sosial orang tua dan perempuan tersebut
seperti:
1. Faktor kekayaan: karena orang tuanya kaya,
perempuan sudah berhaji ataukah perempuan
tersebut sudah mapan seperti perempuan tersebut
sudah punya rumah atau pekerjaan.
2. Faktor status kelurga: keluarga bangsawan (arung,
ana’ bau, petta, andi dan puang) ada istilah di
masyarakat mellikotu petta.
3. Faktor tingginya pendidikan
4. Dan faktor karena kecantikannya.
Kemampuan ekonomi, keturunan kebangsawanan,
Tingkat pendidikan yang dienyam dan kecantikan paras
menjadi variabel berubahnya nilai mahar si wanita. Makin
tinggi tingkatan variabel yang disebutkan di atas yang
dimiliki oleh seorang wanita, maka akan semakin tinggi nilai
mahar yang ditetapkan oleh keluarganya.
Dui’ menre’/ uang belanja yang diberikan oleh calon
suami jumlahnya lebih banyak daripada sompa/ mahar.
Menurut beberapa informan bahwa, saat ini nominal Dui’
menre’ (uang naik/ uang belanja) yang termasuk rata-rata
(standar) berkisar antara 30 sampai 50 juta rupiah. Bahkan
untuk golongan tertentu bisa sampai 75 juta hingga ratusan
juta. Sementara doi sompa/ mahar berkisar antara 3 gram
emas dan seperangkat alat shalat.
Tingginya standarisasi jumlah dui’ menre’/ uang
belanja dalam tradisi pernikahan masyarakat Bugis di Kec.
Baranti mempunyai dua dampak yang ditimbulkan yaitu
dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya
adalah memotivasi para pemuda untuk bekerja keras dalam
mempersiapkan diri menghadapi pernikahan. Selain itu, ada
pula anggapan bahwa tingginya dui’ menre’/ uang belanja
dapat mengurangi tingkat perceraian dalam rumah tangga
karena tentu seorang suami akan berpikir sepuluh kali
untuk menikah lagi dengan pertimbangan jumlah uang dui’
menre’/ uang belanja yang sangat tinggi.
Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan dari
tingginya jumlah dui’ menre’/ uang belanja dalam tradisi
pernikahan masyarakat Bugis di Kec. Baranti diantaranya:
• Ada beberapa laki-laki yang gagal menikah akibat
ketidakmampuannya memenuhi jumlah dui’
menre’/uang belanja yang dipatok oleh keluarga
perempuan. Baik laki-laki itu telah menjalin
hubungan serius dengan si gadis yang dilamarnya
maupun laki-laki yang tidak menjalin hubungan
serius dengan si gadis yang dilamarnya.
• Setelah pesta pernikahan selesai ada beberapa
keluarga khususnya dari pihak mempelai laki-
laki menanggung hutang akibat memaksakan diri
dalam memeriahkan pesta itu, Karena disamping
harus membiayai pesta perempuan dalam hal ini
dui’ menre’, juga mengadakan pesta dirumahnya.
Tingginya jumlah dui’ menre’/ uang belanja dalam
masyarakat bila ditinjau dari sisi maqāṣid al-syari‘ah, hal
ini bisa mendatangkan mashlahat/ manfaat dan sekaligus
mudharat/ bahaya. Dari sisi mashlahat/ manfaatnya karena
dapat memotivasi para pemuda untuk terus giat bekerja dan
memiliki penghasilan yang layak sebelum berani mengambil
keputusan untuk berkeluarga. Selain itu, ada pula anggapan
bahwa tingginya dui’ menre’/uang belanja dapat mengurangi
tingkat perceraian dalam rumah tangga karena tentu seorang
suami akan berpikir sepuluh kali untuk menikah lagi dengan
pertimbangan jumlah uang dui’ menre’/uang belanja yang
sangat tinggi. Selain itu, tingginya dui’ menre’/ uang belanja
merupakan simbol mulianya kedudukan seorang wanita
sehingga perlu upaya lebih bagi seorang lelaki untuk dapat
menyuntingnya.
Di sisi lain tingginya dui’ menre’/ uang belanja
mendatangkan beberapa kemungkinan mudharat/ bahaya
bagi masyarakat, diantaranya:
• Ada beberapa laki-laki yang gagal menikah akibat
ketidakmampuannya memenuhi jumlah dui’
menre’/ uang belanja yang dipatok oleh keluarga
perempuan. Persoalannya tidak hanya sampai
disitu, pemuda yang lamarannya ditolak tentu
akan merasa malu dan harga dirinya direndahkan
begitupula dengan keluarganya.
• Menyebabkan terbukanya pintu-pintu
kemaksiatan, misalnya si gadis hamil diluar nikah
yang membuat orang tua si gadis suka atau tidak
suka, harus menyetujui pernikahan mereka, nikah
sirih, kawin lari, dan lambatnya usia pernikahan
serta bertambahnya jumlah orang yang lebih
memilih membujang karena biaya perkawinan
yang sangat mahal.
Dengan mencermati beberpa kemungkinan mudharat
yang akan ditimbulkan dengan tingginya dui’menre’/
uang belanja, maka alangkah bijaksananya jika sekiranya
masyarakat terutama dalam hal ini pihak keluarga perempuan
tidak mematuk/ menentukan harga terlalu tinggi untuk biaya
dui’ menre’ tapi diserahkan kepada pihak kelurga laki-laki
berapa kemanpuannya yang ia sanggupi.
WANITA-WANITA YANG
HARAM DINIKAHI
Al-Qur’an sangat ketat dan jelas merinci siapa-
siapa yang tidak boleh dinikahi, akan tetapi berdasarkan
beberapa ayat Al-Qur’an, orang-orang yang tidak boleh
dinikahi setidaknya disebabkan oleh beberapa sebab.
Fukqaha mengklasifikasi sebab-sebab pengharaman
orang tidak boleh dinikahi kedalam dua sebab, yaitu;
sebab yang bersifat abadi atau selamanya (al-muharramat
al-muabbadah), dan sebab yang bersifat sementara (al-
muharramat al-muaqqatah).1Berikut ini akan dijelaskan
lebih rinci wanita-wanita yang haram dinikahi.
A. Al-Muharramat al-Muabbadah (sebab yang
bersifat abadi)
Al-Muharramat al-Muabbadah (sebab yang bersifat
abadi) adalah sebab yang menghalangi seorang laki-laki
menikahi seorang perempuan selamanya karena sebab
tersebut tidak bisa hilang atau dihilangkan, ia akan terus
melekat pada diri masing-masing, baik laki-laki maupun
perempuan. Yang termasuk dalam kategori ini, yaitu;
1. Diharamkan karena adanya hubungan kekeluargaan
(nasab)
Dasar hukum dari ketentuan ini adalah firman
Allah tepatnya pada QS. An-Nisa’/4: 23.
1
ِخَلْا تُاَنَبوَ مْكُُتلَاخَوَ مْكُُتا َّمعَوَ مْكُُتاوَخََأوَ مْكُُتاَنَبوَ مْكُُتاهَ َّمُأ مْكُيَْلعَ تْمَ ِرّحُ
... تِخُْلْا تُاَنَبوَ
Terjemahanya:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan; saudara-saudara bapakmu
yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan...”2
Berdasarkan ayat tersebut dipahami bahwa yang
termasuk tidak boleh dinikahi karena sebab kekeluargaan
ada tujuh golongan, yaitu; ibu ke atas,3anak ke bawah,4
saudara perempuan,5 tante baik dari bapak maupun ibu,6
serta anak saudara (keponakan) baik dari saudara laki-laki
2 Kementerian Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, h. 105.
3 Yang dimaksud dengan ibu ke atas adalah ibu, nenek dan
seterusnya.Kata al-umm dalam bahasa Arab dipahami sebagai asal
sehingga semua yang menjadi asal laki-laki (dalam hal ini ibu,
nenek dan seterusnya) termasuk haram dinikahi.
4 Yang dimaksud anak ke bawah adalah anak, anaknya anak (cucu)
dan seterusnya.Karena mereka merupakan keturunan seorang laki-
laki (ayah) sehingga mereka haram dinikahi oleh orang tuanya.
5 Termasuk saudara perempuan adalah saudara kandung (sebapak
seibu), atau saudara perempuan sebapak saja atau seibu saja.
6 Tante dari pihak ayah disebut dengan istilah ‘ammah, sedangkan
tante dari pihak ibu disebut dengan istilah khalah. Akan tetapi,
tante baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, baik saudara
kandungnya orang tua atau saudara sebapak atau seibunya tetap
termasuk orang yang tidak boleh dinikahi.
maupun saudara perempuan.
Alasan atau ‘illah pengharaman ini tidak diketahui
secara pasti, namun di antara ulama ada yang mencoba
mengkajinya lebih jauh. Sehingga ada yang berpandangan
bahwa pelarangan menikahi seorang wanita karena
sebab kekeluargaan dilatarbelakangi oleh dampak yang
dapat ditimbulkan dari hubungan tersebut, yaitu dapat
melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan ruhani.
Itulah sebabnya ‘Umar ibn al-Khattab mengingatkan untuk
menikahi wanita asing (yang bukan keluarga) agar anak
yang lahir dari hubungan tersebut tidak kurus dan lemah.7
Di sisi lain ulama berpandangan bahwa setiap
orang diharuskan menjaga hubungan kekerabatan
agar tidak menimbulkan perselisihan atau perceraian
sebagaimana yang dapat terjadi antara suami isteri.8 M.
Quraish Shihab menambahkan bahwa ketujuh golongan
yang disebutkan itu kesemuanya harus dilindungi dari
rasa birahi, ia pun menegaskan bahwa ada ulama yang
berpandangan larangan pernikahan antara kerabat sebagai
upaya Al-Qur’an memperluas hubungan antarkeluarga lain
7 Sayyid Sabiq, Fikh Sunnah,jil. II, h. 86.Ini sejalan dengan hadis
nabi yang dikutip oleh al-Sya’arawiy dalam kitab tafsirnya;
ايواض قلخي دلولا نإف ةبيرقلا ةبارقلا اوحكنت لا
“Jangan nikahi keluarga dekat karena anak yang lahir dari
hubungan tersebut akan menjadi kurus (lemah)”.
dalam rangka mengukuhkan satu masyarakat.
2. Diharamkan karena adanya hubungan kekerabatan
melalui pernikahan (musaharah).
Musaharah adalah orang yang awalnya
tidak termasuk keluarga atau kerabat dekat, namun
setelah terjadi pernikahan di salah satu anggota
keluarganya menyebabkan mereka tergolong
kerabat. Termasuk dalam golongan ini adalah isteri
bapak (ibu tiri), isteri anak (menantu), ibu isteri
(mertua), dan anak isteri. Hanya saja khusus untuk
yang keempat ini, yaitu anak isteri, ia termasuk haram
dinikahi apabila ibunya (isteri) telah disetubuhi oleh
suami (ayah tirinya). Apabila isteri belum disetubuhi
lalu ia berpisah oleh suaminya, baik pisah karena
talak atau karena isteri tersebut meninggal dunia
maka anaknya itu (anak tiri suami) tidak lagi haram
bagi suami ibunya.
Ketentuan ini didasari oleh firman Allah Swt
dalam QS al-Nisa’/4: 22 & 23.
اًتقْمَوَ ًةشَحِاَف نَاكَ ُهَّن ِإ فََلسَ دَْق امَ َّلاِإ ءِاسَِّنلا نَمِ مْكُؤُاَبآ حَكََن امَ اوحُكِنَْت لَاوَ
لًيِبسَ ءَاسَوَ
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang
telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa
yang lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat
keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh)”.10
مُْتلْخَدَ يِت َّللا مُكُِئاسَِن نْمِ مْكُرِوجُحُ يِف يِت َّللا مُكُُبِئاَبرَوَ مْكُِئاسَِن تُاهَ َّمُأوَ ...
نْمِ نَيذَِّلا مُكُِئاَنبَْأ لُِئلَحَوَ مْكُيَْلعَ حَاَنجُ لََف َّنهِِب مُْتلْخَدَ اوُنوكَُت مَْل نْإَِف َّنهِِب
... مْكُِبلَصَْأ
“... dan diharamkan pula bagimu (untuk dinikahi)
ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak isterimu yang
dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
istrimu itu (dan sudahkamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu)”...11
Terkait dengan ayat 22 di atas, ia merupakan
respon balik sekaligus solusi atas praktik yang terjadi
di tengah masyarakat khususnya ketika turunnya
Al-Qur’an yang menegaskan ketidakbolehan secara
mutlak seorang anak menikahi mendiang istri
ayahnya.
Sebab pernikahan sekalipun merupakan
ketetapan Ilahi sekaligus tuntunan nabi, namun
ternyata fakta masyarakat khususnya pada masa
jahiliyah dan awal-awal Islam menunjukkan adanya
praktik-praktik yang amat berbahaya dan melanggar
nilai-nilai kemanusiaan, seperti mewarisi secara
paksa isteri mendiang ayah (ibu tiri).
Sebab mereka berprinsip bahwa bila
seseorang (suami) meninggal dunia maka kerabatnya
itulah yang paling berhak “mewarisi” mendiang
isterinya. Bila ia ingin, maka ia bisa menikahinya
sekalipun secara paksa, atau ia bisa menikahkannya
dengan orang lain atau melarangnya untuk menikah
dengan orang lain.12 Hal inilah yang melatarbelakangi
turunnya ayat QS. An-Nisa’/4: 19.
... اهًرْكَ ءَاسَِّنلا اوُثرَِت نَْأ مْكَُل ُّلحَِي لَ اوُنمَآ نَيذَِّلا اهَُّيَأ اَي
Hai orang-orang beriman, tidak halal bagi kamu”
13...‘mempusakai wanita dengan jalan paksa
Ayat ini menegaskan bahwa seorang isteri
tidaklah sama dengan harta warisan, yang bisa
diwarisi dan diperlakukan sama dengan harta-harta
yang ditinggalkan oleh orang yang punya harta itu.
Demikian pula pada golongan ketiga
selanjutnya yang haram dinikahi, yaitu; mertua,
menantu, dan anak tiri. Sebagaimana yang disebutkan
pada ayat 23 di atas menunjukkan perhatian agama
(Al-Qur’an) yang begitu besar kaitannya dengan
kehidupan rumah tangga sekaligus menjaga nilai-
nilai kekerabatan itu. Karena itulah, pelarangan
menikahi mereka, ada yang memahami sebagai upaya
mencegah timbulnya perselisihan atau perceraian
seperti yang dapat terjadi pada pasangan suami
istri, apatah lagi status mereka sama dengan status
keluarga karena faktor nasab. Sehingga kesemuanya
itu harus dilindungi dari rasa birahi.14
Terkait dengan ayat 23 tersebut, ada dua
kata yangperlu diperjelas, yaitu; pertama, kalimat
wa rabaibukum al-latiy fi hujurikum min nisaikum
al-latiy dakhaltum bihinna (anak-anak istrimu yang
dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu
campuri). Kata rabaib merupakan bentuk jamak
(plural), yang kata tunggalnya adalah rabibah yang
berarti anak istri dari suaminya yang lain. Namun
pelarangan menikahi anak isteri tersebut memiliki
syarat, yaitu isteri (dalam hal ini ibunya anak itu)
telah disetubuhi (dukhul) oleh suaminya (ayah
tiri anak itu). Sehingga bila isteri belum di-dukhul
oleh suaminya maka anaknya itu bisa dinikahi oleh
mendiang ayah tirinya setelah ia (suami) berpisah
dengan isterinya.
3. Diharamkan karena sesusuan (rada’ah)
Dasar hukum untuk pelarangan menikahi
wanita karena faktor susuan adalah QS. al-Nisa’/4:
23.
... ةِعَاضَ َّرلا نَمِ مْكُُتاوَخََأوَ مْكَُنعْضَرَْأ يِت َّللا مُكُُتاهَ َّمُأوَ ...
dan diharamkan pula untuk dinikahi) ibu-ibumu) ...”
yang menyusui kamu; dan saudara perempuan
15...;sepersusuan
Para ulama tafsir sepakat menyatakan bahwa
berdasarkan ayat tersebut faktor sesusuan (rada’ah)
menjadi salah satu sebab seseorang haram dinikahi.
Hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai
ukuran atau kadar air susu yang diminum, batas
umur yang menyusu, dan cara menyusu.
Penegasan kalimat ummahatukum (ibu-
ibumu) dan ahkawatukum (saudara-saudaramu) pada
ayat tersebutdilakukan oleh Allah untuk menunjukkan
hikmah pelarangan menikahi seseorang karena faktor
susuan (rada’ah). Hal ini mengisyaratkan bahwa ibu
yang menyusui berkedudukan sama dengan ibu
kandung, demikian juga saudara sesusuan sama
dengan saudara kandung.16 Ini disebabkan oleh
karena seorang wanita bila menyusui seseorang bayi,
maka air susunya itu akan menjadi makanan dan
penguat bagi si bayi, selain itu air susu dari wanita
susuannya akan mengalir di tubuh bayi tersebut
dan berdampak pada pertumbuhannya.17 Sehingga
implikasi hukum dari ayat tersebut menyebabkan
semua kerabat ibu menyusui menjadi kerabat anak
susuannya. Ibu yang menyusui menjadi ibu bagi anak
yang menyusu, anak ibu menyusui menjadi saudara
anak yang menyusu, suami ibu yang menyusui
menjadi ayah bagi anak yang menyusu.18 Dengan
kata lain, semua kerabat ibu yang menyusui haram
dinikahi oleh anak susuannya sebab mereka telah
menjadi kerabatnya. Ini diperjelas oleh hadis nabi
yang diriwayatkan oleh sekelompok ulama hadis dari
‘Aisyah ra.
19ةدلولا نم مرحي ام عاضرلا نم مرحي
“Apa yang haram karena kelahiran (nasab) ia pun
haram karena susuan”.
Ketika menyebutkan pelarangan menikah
karena susuan, Al-Qur’an tidak menjelaskan secara
detail seluk beluk pelarangan tersebut. Sehingga
inilah yang menyebabkan munculnya keragaman
pendapat ulama mengenai tiga hal yang disebutkan
di atas, yaitu; ukuran air susu yang diminum, batas
usia yang menyusu, serta cara menyusu.
Ulama-ulama bermazhab Malikiy dan
Hanafiy menilai bahwa penyusuan secara mutlak
mengharamkan pernikahan. Sekelompok ulama dari
mazhab Hanabilah menganggap bahwa pengharaman
tersebut lahir penyusuan terjadi tidak kurang dari
tiga kali.20 Tetapi, mazhab Syafi’iyyah dan Hanafilah
bahwa dampak hukumnya baru terjadi bila penyusuan
itu terjadi sedikitnya lima kali penyusuan.21
Redaksi ayat di atas juga tidak menyebutkan
juga batas umur yang menyusu sehingga dapat
mencakup siapa pun yang menyusu sekalipun ia
telah dewasa. Namun, mayoritas ulama berpendapat
bahwa penyusuan yang berdampak hukum adalah
yang terjadi sebelum seorang anak mencapai uisa
dua tahun.22 Ini didasari oleh firman Allah tepatnya
QS. al-Baqarah/2: 233.
َّمِتُي نَْأ َدارََأ نْمَلِ نِيَْلمِاكَ نِيَْلوْحَ َّنهَُدلَاوَْأ نَعْضِرُْي تُاَدلِاوَلْاوَ
َةعَاضَ َّرلا ...
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan”.
Pemahaman terhadap ayat tersebut
didukung oleh hadis yang diriwayatkan oleh al-
Daruqutniy dari ibn ‘Abbas;
نيلوحلا يف ناك ام لاإ عاضر لا.
‘Tidaklah dianggap rada’ah kecuali dalam
dua tahun”.
Ulama kontemporer, Syekh Yusuf al-
Qaradawiy, menulis dalam kumpulan fatwanya
bahwa dasar keharaman yang diletakkan agama bagi
penyusuan adalah ummahat atau ibu yang menyusui
sebagai bunyi ayat 23 surah al-Nisa’ di atas. Keibuan
yang ditegaskan Al-Qur’an itu tidak mungkin terjadi
hanya dengan menerima/meminum air susunya,
tetapi dengan mengisap dan menempel sehingga
menjadi jelas kasih sayang ibu dan ketergantungan
anak yang menyusu.
Dengan kata lain, penyusuan yang dilakukan
adalah secara langsung tanpa melalui perantara dan
dalam kuantitas yang tidak sedikit. Selanjutnya Al-
Qaradawiy menegaskan bahwa merupakan keharusan
untuk merujuk kepada lafaz yang digunakan Al-
Qur’an, sedang makna lafaz yang digunakannya itu
dalam bahasa Al-Qur’an dan sunnah adalah jelas
dan tegas, bermakna mengisap tetek dan menelan
airnya secara perlahan, bukan sekedar makan atau
meminumnya dengan cara apa pun, walau atas
pertimbangan manfaat.
B. Al-Muharramat al-Muaqqatah (sebab yang
bersifat sementara).
Al-muharramat al-muaqqatah adalah
wanita-wanita yang haram dinikahi dalam jangka
waktu tertentu (sementara) disebabkan adanya
beberapa sebab. Apabila sebab itu sudah tiada maka
pelarangan tersebut pun juga terhapus. Sebab-sebab
yang dimaksud, yaitu;
1. Diharamkan karena status wanita yang sudah ditalak
tiga.
Pengharaman untuk menikahi wanita yang
sudah ditalak tiga atau dalam istilah fiqih adalah
talaq bain berlaku bagi mantan suami yang telah
menceraikannya. Hal ini didasari oleh firman Allah
swt dalam QS. al-Baqarah/2: 230.
اهََقَّلطَ نِْإَف ُهرَيْغَ اجًوْزَ حَكِنَْت ىَّتحَ ُدعَْب نْمِ ُهَل ُّلحَِت لََف اهََقَّلطَ نِْإَف
ِ َّالل َدوُدحُ امَيقُِي نَْأ اَّنظَ نِْإ اَعجَارََتَي نَْأ امَهِيَْلعَ حَاَنجُ لََف …
“Kemudian jika suaminya mentalaknya
(sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu
tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya
(bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah.”
Dari ayat tersebut dipahami bahwa seorang
suami bila telah mentalak tiga isterinya maka isterinya
yang sudah ditalak itu tidak halal lagi baginya.
Pengharaman ini tentunya memberi pelajaran
yang sangat pahit bagi suami isteri yang bercerai
untuk ketiga kalinya. Kalaulah perceraian pertama
terjadi, peristiwa itu kiranya menjadi pelajaran
bagi keduanya untuk introspeksi dan melakukan
perbaikan. Kalaupun masih terjadi perceraian untuk
kedua kalinya, kesempatan terakhir harus dapat
menjamin kelangsungan pernikahan, sebab kalau
tidak, dan perceraian itu terjadi lagi untuk ketiga
kalinya, tidak ada jalan lain untuk kembali menyatu,
kecuali memberi kesempatan kepada isteri untuk
kawin dengan pria lain.
2. Diharamkan karena status wanita yang terkait dengan
suaminya (baik sebagai isteri, maupun sementara
dalam keadaan iddah)
Perempuan yang berstatus isteri orang
lain termasuk orang yang tidak boleh dinikahi,
berdasarkan firman Allah swt. dalam QS. An-Nisa’/4:
24
بَاتَِك مْكُنُامَيَْأ تْكََلمَ امَ َّلِإ ءِاسَِّنلا نَمِ تُانَصَحْمُلْاو
مْكُيَْلعَ ِ َّالل ...
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini)
wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu”...
Turunnya ayat di atas dilatarbelakangi
oleh peristiwa Hunayn. Yang menurut penjelasan
ibn ‘Abbas sebagaimana yang diriwayatkan oleh
al-Tabraniy bahwa masyarakat muslim pada saat
itu mendapatkan wanita-wanita ahlul kitab yang
memiliki suami. Dan ternyata di antara mereka ada
yang menyukai wanita-wanita tersebut. Singkat
cerita, hal ini pun disampaikan kepada nabi, maka
turunlah ayat 24 dari surah An-Nisa’ menjelaskan.
Dari kandungan serta latar belakang
turunnya ayat tersebut, tampak jelas ketetapan Allah
yang mengharamkan menikahi wanita yang bersuami.
Dengan kata lain, jangan ada dua suami yang
menikah dengan seorang perempuan (poliandri).
Adapun mengenai wanita yang sementara
berada dalam masa iddah (istri yang berpisah
dengan suaminya) apakah karena ditalak atau karena
suaminya meninggal, ia juga termasuk orang yang
tidak boleh dinikahi oleh orang lain hingga berakhirnya
masa iddah tersebut, kecuali oleh suami yang telah
mentalaknya. Ini terkait dengan isteri yang ditalak
satu atau talak dua oleh suaminya- berdasarkan
firman Allah swt. dalam QS. al-Baqarah/2: 235.
مْكُسُِفنَْأ يِف مُْتنَْنكَْأ وَْأ ءِاسَِّنلا ةَِبطْخِ نْمِ هِِب مُْتضْ َّرعَ امَيِف مْكُيَْلعَ حَاَنجُ لَاوَ
اًفورُعْمَ لًاوَْق اوُلوُقَت نَْأ َّلاِإ ا ًّرسِ َّنهُوُدعِاوَُت لَا نْكَِلوَ َّنهَُنورُكُذَْتسَ مْكَُّنَأ ُ َّالل مَلِعَ
ُهَلجََأ بُاَتكِلْا غَُلبَْي ىَّتحَ ِحاكَِّنلا َةَدقْعُ اومُزِعَْت لَاوَ ...
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang
wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka)
dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah
kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada
mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah
kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah,
sebelum habis ‘iddahnya...
Ayat ini merupakan salah satu tuntunan dari
Allah bagi pria yang ingin menikah, yakni seorang
pria boleh-boleh saja meminang wanita yang telah
bercerai dengan suaminya dengan perceraian yang
bersifat bain, yakni yang telah putus hak bekas
suaminya untuk rujuk kepadanya kecuali dengan
akad nikah baru sesuai syarat-syarat yang telah
disebutkan di atas. Wanita tersebut diperbolehkan
untuk dipinang pada masa ‘iddah (masa tunggu)
mereka, dengan syarat pinangan itu disampaikan
dengan sindiran.
Kata ‘arradtum yang dimaknai kamu
menyindirnya dijelaskan oleh Wahbah al-Zuhailiy
dengan arti lawwahtum (kamu memberi isyarat),
sehingga sindiran yang dimaksud adalah sebuah
tanda atau isyarat yang disampaikan oleh seorang
pria kepada seorang wanita dan wanita tersebut pun
memahami maksud isyarat itu, sekalipun ia tidak
disampaikan secara jelas.
Ayat ini pun mengisyaratkan bahwa agama
melarang seorang pria meminang wanita yang
berada dalam masa ‘iddah, dengan perceraian yang
bersifat bain. Khusus untuk wanita yang ditalak
raji’iy oleh suaminya ia dilarang secara mutlak
untuk dipinang sebab status mereka masih dapat
dirujukoleh suaminya sehingga meminangnya, baik
sindiran apalagi terang-terangan, dapat berkesan di
hati mereka yang pada gilirannya dapat berdampak
negatif dalam kehidupan rumah tangga jika ternyata
suaminya rujuk kepadanya.
Terhadap wanita yang berpisah karena
wafat suaminya dan sedang dalam masa ‘iddah,
tidak juga diperkenankan untuk dipinang secara
terang-terangan, baik langsung maupun tidak,
karena wanita-wanita tersebut dituntut untuk
berkabung, sedangkan pernikahan adalah sebuah
kegembiraan. Bahkan ‘Umar ibn al-Khattab pernah
memisahkan antara pasangan Talihah al-Asadiyah
dengan suaminya Rasyid al-Saqafiy ketika Rasyid
menikahinya sementara ia (Talihah) masih berada
dalam masa ‘iddah.
3. Diharamkan karena beda agama dan keyakinan
(Pembahasan ini akan dijelaskan pada bab tersendiri).
4. Diharamkan karena status wanita tersebut sebagai
saudara atau keluarga dekat istri yang sedang
berjalan.
Seorang pria dilarang mengumpulkan dua
wanita bersaudara atau lebih dan dijadikan sebagai
istrinya. Hal ini didasari oleh firman Allah swt. dalam
QS al-Nisa’/4: 23.
... فََلسَ دَْق امَ َّلاِإ نِيَْتخُْلْأا نَيَْب اوُعمَجَْت نَْأوَ ...
“... dan (kamu juga diharamkan)
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada
masa lampau;...
Pada ayat di atas Allah menggunakan
kalimat an tajma’u bayna al-ukhtayni (menghimpun
dalam pernikahan dua perempuan yang bersaudara).
Penekanan kata al-ukhtayni tidak terbatas pada
dua perempuan bersaudara saja, namun ia juga
mencakup sekian orang yang termasuk keluarga
dekat. Dalam konteks ini, Rasulullah Saw menjelaskan
sebagaimana riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra.
اهَِتَلاخَ ىَلعَ َلاوَ اهَِت َّمعَ ىَلعَ ُةَأرْمَلْا حُكَنُْت َلا
“Tidak dibenarkan menghimpun dalam
pernikahan seorang wanita dengan saudara
perempuan bapaknya, tidak juga dengan saudara
perempuan ibunya.”Dalam riwayat yang lain
ditambahkan anak perempuan saudaranya yang lelaki
dan anak perempuan saudaranya yang perempuan.
Tentunya pelarangan ini dilatarbelakangi
oleh kekhawatiran putusnya hubungan kekeluargaan
yang dapat muncul akibat pernikahan itu. Bahkan
Rasulullah saw. sendiri menegaskan bahwa;
مكماحرأ متعطق كلذ متلعف نإ مكنإ
“Karena kalau itu kamu lakukan, kamu
memutus hubungan kekeluargaan kamu”.
Ayat di atas juga memberikan kejelasan
bahwa pernikahan seperti itu yang telah terjadi di
masa lampau dimaafkan oleh Allah, namun melarang
untuk dilanjutkan. Dengan kata lain, pernikahan
tersebut batal dengan sendirinya. Ini dipahami dari
penggalan ayat illa ma qad salaf (kecuali apa yang
telah lampau).
5. Diharamkan karena wanita tersebut akan menjadi
isteri kelima dalam waktu bersamaan.
Seorang pria tidak boleh menikahi seorang
wanita apabila wanita tersebut akan menjadi
isterinya yang kelima di saat isteri pertama sampai
isteri masih ada dan sementara berjalan. Dengan
kata lain, seorang pria dilarang poligami lebih dari
lima isteri.
Ketentuan ini didasari oleh firman Allah
dalam QS. An-Nisa’ (4) : 3.
عَاَبرُوَ ثَلَُثوَ ىَنْثمَ ءِاسَِّنلا نَمِ مْكَُل بَاطَ امَ اوحُكِنْاَف ...
“... Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat...
Dari batasan yang disebutkan Allah dalam
ayat tersebut sampai pada jumlah empat, maka nabi
saw. melarang menghimpun dalam saat yang sama
lebih dari empat orang istri bagi seorang pria. Ketika
turunnya ayat ini, Rasulullah memerintahkan semua
yang memiliki lebih dari empat orang isteri, agar
segera menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal
setiap orang hanya memperisterikan empat orang
wanita.
Hal itu dialami oleh Gaylan ibn Umayyah Al-
Saqafiy di saat ia memeluk Islam, ia memiliki sepuluh
orang isteri, maka nabi mengatakan;
نهرئاس قرافو اعبرأ نهنم رتخا
“Pilihlah dari mereka empat orang istri dan
ceraikan selebihnya.”
Larangan kawin seperti telah diuraikan
diatas dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI), secara rinci dalam Bab IV, sebagai berikut :
Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:
1. Karena pertalian nasab:
a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau
yang menurunkannya atau keturunannya.
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau
ibu.
c. dengan seorang wanita saudara yang
melahirkannya
2. Karena pertalian kerabat semenda:
a. dengan seorang wanita yang melahirkan
istrinya atau bekas istrinya
b. dengan seorang wanita bekas istri orang yang
menurunkannya
c. dengan seorang wanita keturunan istri atau
bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan
perkawinan dan bekas istrinya itu qabla al-
dukhul
d. dengan seorang wanita bekas istri keturunnya
3. Karena pertalian sesusuan
a. dengan wanita yang menyusuinya dan
seterusnya menurut garis lurus ke atas.
b. dengan seorang wanita susuan dan seterusnya
menurut garis lurus ke bawah.
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan,
dan kemenakan sesusuan ke bawah.
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan bibi
nenek sesusuan ke atas.
e. dengan anak yang disusui oleh istrinya dan
keturunannya.
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria dan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih
terikat satu perkawinan dengan pria lain.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam
masa ‘iddah dengan pria lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 41
Seorang pria dilarang memadu istrinya
dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan
pertalian nasab atau sesusuan denganistrinya:
a. saudara kandung seayah atau seibu serta
keturunannya
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang
mempunyai empat orang istri, yang keempat-
empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih
dalam iddah talak raj’I ataupun salah seorang
di antara mereka masih terikat tali perkawinan
sedangkan yang lainnya dalam masa ‘iddah talak
raj’i.
Pasal 43
1. Dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria:
a. dengan seorang wanita bekas istrinya yang
ditalak 3 kali
b. dengan seorang wanita bekas istrinya yang
dili’an
2. larangan tersebut pada ayat (I) huruf a gugur
kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria
lain kemudian perkawinan tersebut putus ba’da
dukhul dan habis masa ‘iddahnya.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melasungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam.
WALIMAH
Kata walimah diambil dari kata walm yang berarti
pengumpulan karena suami dan istri berkumpul. Walimah
adalah makanan dalam pesta pernikahan secara khusus.
1Walimah artinya al-jam’u: kumpul, sebab antara suami
dan istri berkumpul, bahkan sanak saudara, kerabat dan
para tetangga. Walimah berasal dari kata Arab “alwalimu”
artinya makanan pengantin, maksudnya adalah makanan
yang disediakan khusus dalam acara pernikahan. Bisa juga
diartikan sebagai makanan untuk tamu undangan atau
lainnya. 2Lebih khusus walimah al-urusy diartikan dengan
perhelatan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah atas telah
terlaksananya akad pernikahan dengan menghidangkan
makanan.3
Tujuan walimah (pesta pernikahan) yang terpenting
adalah pengumuman atas adanya/telah berlangsungnya
sebuah perkawinan dan mengumpulkan kaum kerabat
serta teman-teman dan handai taulan. Sekaligus untuk
memasukkan kegembiraan dan kebahagiaan ke dalam
jiwa-jiwa mereka. Memperindah pelaksanaan walimah dan
menerima ucapan selamat dapat menambah kelembutan
serta kemesraan.
B. Landasan Hukum Walimah
Jumhur ulama sepakat bahwa hukum mengadakan
walimah adalah sunnah muakkad berdasarkan dali-dalil
berikut ini:
5ةٍاشَِب وَْلوَ مْلِوَْأ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ لَاَق …
“adakanlah walimah meskipun dengan seekor kambing…”
لُوسُرَ لَاَق لَاَق امَهُنْعَ ىَلاَعَت ُ َّالل يَضِرَ َةمَطِاَف ٌّيلِعَ بَطَخَ ا َّمَلَلاَق هِيِبَأ نْعَ َةَديْرَُب نِبْا نِعَ
6ةٍمَيلِوَ نْمِ سِرُْعلْلِ َّدُب لَا ُهَّنِإ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل
“Dari Buraidah ia berkata.” Ketika Ali melamar Fatimah,
Rasulullah saw. bersabda,”Sesungguhnya untuk pesta
pernikahan harus ada walimahnya.”
Berdasarkan hadis di atas walimah hukumnya
adalah sunah muakkadah bagi orang yang menikah dengan
sesuatu yang sanggup dia lakukan. Demikianlah yang
dilakukan Nabi Saw telah melakukan walimah untuk istri-
istrinya dan mendorong pada sahabat untuk mengadakan
walimah. Mengadakan walimah mengandung arti sunnah
5
mengundang khalayak ramai untuk menghadiri pesta itu dan
memberi makan para tamu yang datang. Tidak disyaratkan
menyembelih kambing atau yang lainnya dalam walimah,
akan tetapi sesuai dengan kemampuan suami, karena Nabi
Saw pun pernah pernah melakukan walimah untuk Shafiyah
dengan menyediakan hais) kurma yang bijinya dihilangkan
lalu dicampur dengan keju atau tepung).
Waktu pelaksanaan walimah adalah saat akad
atau setelah prosesi akad, atau saat percampuran dua
pengantin atau setelahnya. Hal ini merupakan perkara yang
dilapangkan waktunya sesuai dengan tradisi dan kebiasaan
setempat.7
Walimah yang dianjurkan Islam adalah bentuk
upacara yang tidak berlebih-lebihan dalam segala halnya.
Dalam walimah dianjurkan pada pihak yang berhajat
untuk mengadakan makan guna disajikan pada tamu
yang menghadiri walimah.Namun demikan, semua itu
harus disesuaikan dengan kemampuan kedua belah pihak.
Islam melarang upacara tersebut dilakukan, bila ternyata
mendatangkan kerugian bagi kedua mempelai maupun
kerugian dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dicontohkan
Rasul Saw, ketika mengadakan resepsi pernikahannya
dengan Siti Shafia, hadiah yang disediakan pada acara
walimah tersebut hanyalah kurma, keju serta minyak samin
dan para sahabat pun merasa puas/ kenyang dengan jamuan
hidangan tersebut.
7
Lalu bagaimana dengan budaya pelaksanaan pesta
pernikahan yang meriah dan mewah di masyarkat kita
dewasa ini?
Hasil research yang dilakukan penulis pada tahun
2016 tentang Budaya Dui’ Sompa dan Dui Menre’ di Kab.
Sidrap menghasilkan bahwa: Tradisi dui’ menre’/ uang
belanja yang jumlahnya cukup tinggi dan memberatkan
serta mempersulit bagi pihak keluarga calon mempelai
laki-laki. Apalagi dui’ menre’/ uang belanja termasuk uang
hangus yang besar.
Dui’ menre’/ uang belanja bertujuan untuk
membiayai pesta pernikahan mempelai perempuan.
Menurut beberapa informan bahwa, indikator besar kecilnya
uang belanja/ uang naik bisa dilihat dari kemewahan pesta
pernikahan, semakin tinggi Dui’ menre’/ uang belanjanya
semakin meriah pula pesta pernikahannya. Persaingan yang
terjadi dalam mengangkat derajat sosial di masyarakat dan
terfokus pada bagaimana memeriahkan walimah dengan
pemberian dui’ menre’/ uang belanja yang dijadikan
syarat mutlak untuk dapat terlaksananya suatu pernikahan
sehingga seakan melupakan hakikat dan tujuan serta
hikmah pernikahan itu sendiri. Jika ada pernikahan, maka
yang seringkali jadi buah bibir utama adalah berapa Dui’
menre’ (uang naik/ uang belanjanya).
Walimah al-urusy (pesta pernikahan) pada
hakikatnya bertujuan sebagai perhelatan dalam rangka
mensyukuri nikmat Allah atas telah terlaksananya akad
pernikahan dengan menghidangkan makanan kepada para
tamu undangan sesuai dengan kesanggupan/keadaan
yang mengadakan pernikahan. Tapi tampaknya, yang
terjadi di masyarakat Kec. Baranti Kab. Sidrap dalam
menyelenggarakan walimah/ pesta pernikahan sangat
meriah dan megah, meskipun terkadang memaksakan diri
bahkan setelah pesta selesai mereka menanggung hutang
akibat dari kemeriahan pesta di luar dari kemampuannya.
Dui’ menre’/ uang belanja menjadi prestise hampir
di setiap kalangan masyarakat Bugis di Kec. Baranti. Jumlah
dui’ menre’/ uang belanja menjadi simbol bentuk upaya
mempertahankan kelas sosial. Meskipun demikian, masih
ada keluarga Bugis di Kec. Baranti yang tidak menilai
pernikahan dari jumlah uang dui’ menre’/ uang belanja dan
meriahnya pesta, apalagi sampai mematok/ menentukan
sebuah harga untuk anak gadisnya, karena mereka
berkeyakinan bahwa perkawinan adalah sebuah perjanjian
suci mitzaqan ghaliidzan yang tidak semestinya dinodai
dengan hal-hal yang bertentangan dengan aturan Ilahi.8
Setelah akad acara nikah maupun walimah selesai,
dianjurkan bagi mempelai laki-laki untuk tinggal di rumah
mempelai wanita selama beberapa hari. Untuk mempelai
wanita yang masih perawan, pihak keluarga si wanita dapat
menahan menantunya selam tujuh hari berturut-turut.
Adapun bagi mempelai wanita yang janda, pihak keluarga
dapat menahan menantu laki-laki selama tiga hari berturut-
turut.
Makna dari anjuran agar mempelai laki-laki setelah
melangsungkan akad nikah tinggal selama seminggu di
rumah istrinya adalah untuk memberikan kesempatan si
istri dalam menyelam makna kehidupan berkeluarga. Selain
itu, anjuran tersebut juga dimaksudkan agar keluarga istri
mendapat kesempatan untuk berbagi rasa pada putrinya
yang sebentar lagi akan meninggalkan kedua orangtuanya
dan hidup bersama selamanya dengan laki-laki pilihannya.
C. Hukum Menghadiri Walimah
Imam Asy-Syafi’i dan Imam Hambali secara jelas
menyatakan bahwa menghadiri undangan walimatul ‘ursy
adalah wajib. Untuk menunjukkan perhatian, memerintahkan,
dan menggembirakan orang yang mengundang, maka orang
yang diundang walimah wajib mendatanginya.
Dasar hukum mendatangi undangan walimah adalah
dalam hadis Nabi Saw Dari Abdullah bin Umar bahwa
Rasulullah pernah bersabda,
10)هيلع قفتم( . اهتأيلف ةميلولا ىلإ مكدحأ يعد اذإ
“Jika salah seorang di antara kalian diundang
menghadiri walimah, maka hendaklah ia
menghadirinya”.
10 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, bab Haqqu Ijabatun Walimah
نَاكَ نْإَِف بْجُِيلَْف مْكُدُحََأ يَعِدُ اَذِإ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّ
.jpeg)





