muslimat menjalankan iba-
dah puasa. Lebih dari itu yang dilakukan orang khususnya di Mesir.
Pesta diadakan seiring dengan ibadah puasa…….”
B. Pola Rincian
Terlepas dari bentuk lead yang akan dipakai, maka penyusunan
tubuh karangan dilihat dari pola rinciannya bisa memakai
metode sebagai berikut.
1. Susunan Alamiah (susunan waktu). Susunan ini dapat dikatakan
sederhana sekali sebab rincian bahan karangan dilakukan secara
berurutan atau kronologis. Contoh: Mungkin ini petunjuk zaman,
namun setiap pelaut yang berjalan melewati kantor Pos Pusat pagi
ini mungkin tertawa terbahak-bahak. Pukul 07.00 satpam Paijo,
yang baru saja bangun tapi masih dengan perasaan mengantuk,
melangkah gontai menuju tiang bendera, mengikatkan sang saka
pada tali dan mengerek setiang penuh. Sejam lalu Paijo berlari
terbirit-birit ke tiang bendera dan memandang sang Saka dengan
perasaan terheran-heran: bendera dikibarkan sungsang. “Kupikir
aku masih mengantuk,” kata Paijo sambil tertawa tersipu-sipu. “Aku
mengetahui ada sesuatu yang keliru tatkala seorang Tamtama TNI
AL meneleponku menanyakan apakah kantor pos karam”. Bendera
yang dikibarkan sungsang mengisyaratkan kapal berada dalam
keadaan bahaya.
2. Susunan Logis. Susunan Klimaks : Susunan penulisan tubuh feature
ini mengikuti jalan pikiran bahwa penempatan sesuatu di belakang
memberikan penekanan yang paling banyak. Susunan dari Umum
ke khusus susunan ini dimulai dengaan alur pikiran generalisasi
atau umum (deduksi) menuju alur pikiran ke hal-hal yang khusus
(induksi).
107
Jadi karangan dimulai dengan pernyataan yang bersifat umum
yang boleh jadi benar atau salah.
Susunan dari Khusus ke Umum: demikian sebaliknya, karangan
dimulai dari alur pikiran tentang yang khusus menuju ke alur
pikiran tentang yang umum. Metode ini paling banyak dilakukan
penulis karangan khas. Contohnya: saat Du dayi mengetahui
dirinya berpenyakit lepra, petani berperawakan pendek dan ber-
bicara lembut dari desa Salaksi China itu merasa risau memikirkan
tetangganya dan dirinya sendiri. Empat puluh tahun silam, pen-
duduk desa membakar hidup-hidup penyandang penyakit lepra
dalam usaha mereka memusnahkan penyakit itu.
C. PERALIHAN
Biasa juga disebut sebagai tali sendi yang mengikat unsur-unsur
yang memperkuat penulisan Karangan Khas. Peralihan ini seakan-
akan memberi aba-aba akan munculnya bahan baru namun masih ber-
kaitan dengan tema karangan. Peralihan itu dapat berbentuk kata,
frasa, kalimat maupun paragraf. Fungsi peralihan ini pertama, untuk
memberi tahu pembaca bahwa penuturan cerita sedang beralih ke
bahan baru; kedua untuk menyusun bahan baru dalam perspektif
atau sudut pandang yang tepat.
Majalah Tempo menyebut peralihan ini dengan istilah ‘Tran-
sisi” yang bisa berwujud satu kata, rangkaian kata, kalimat atau juga
paragraf. Kata yang biasa dipakai sebagai transisi misalnya ….Kemu-
dian, Di dekat, Selama, tapi, Sebelum, namun , beberapa meter dari,
dan sebagainya.
D. PENULISAN ENDING ATAU PENUTUP
Kebanyakan karangan Khas mutlak memiliki penutup, yaitu akhir
dari suatu karangan menurut logika. Mengapa sebuah feature mem-
butuhkan ending atau penutup? Ada dua alasan mengapa sebuah
feature memiliki penutup. Pertama, menghadapi sebuah feature
108
tak ada alasan untuk terburu-buru mengerjakannya dibandingkan
penulisan berita. Justru ending atau penutup diperlukan agar tulisan
menjadi lebih menarik. Kedua, ending bukan muncul tiba-tiba, dia
yaitu hasil proses penuturan unsur di atasnya yang mengalir.
Penutup tidak sekedar layak tapi mutlak perlu bagi kebanyakan
feature.
Ada beberapa jenis penutup yang sering dipakai wartawan
untuk mengakhiri tulisan khasnya. Di antaranya yaitu :
1. Penutup Ringkasan. Penutup ini bersifat ikhtisar, yang meringkas
dan mencoba mengikat ujung-ujung bagian cerita yang lepas-lepas
dan menunjuk kembali ke lead. Contoh:
Lead: Keadaan hidup segan mati pun enggan menimpa perajin per-
ak di seluruh tanah air sekarang……
Penutup: Kesulitan memperoleh bahan baku bagi perajin perak
akhirnya memiliki akibat ganda. Sentra perajin terancam gulung
tikar di satu pihak, dan di lain pihak toko cindera mata akan tutup
pula….
2. Penutup Klimaks: penutup yang menimbulkan kejutan, kenangan,
kengerian dan sebagainya. Penutup jenis ini biasa juga sebagai
penutup penyengat yang bisa mengagetkan dan membuat pem-
baca seolah-olah terlonjak. Penulis hanya memakai tubuh
cerita untuk menyiapkan pembaca pada kesimpulan yang tidak
terduga-duga.
Contoh:
Lead: Keadaan hidup segan mati tak mau tengah menimpa perajin
perak di seluruh tanah air sekarang.
Penutup: Menghadapi kenyataan getir akan langkanya bahan baku
perak, perajin perak di Jawa Tengah tidak kehabisan akal dengan
menjadikan alumunium sebagai bahan baku pengganti.
3. Tak Ada Penyelesaian. Penulis dengan sengaja mengakhiri cerita
dengan menekankan pada sebuah pertanyaan pokok yang tidak
109
terjawab. Penulis sengaja mengakhiri cerita tanpa memberi tahu
hasil akhirnya dan semuanya diserahkan kepada pembaca untuk
menafsirkannya.
Contoh:
Lead: keadaan hidup segan mati pun enggan menimpa perajin perak
di tanah air sekarang.
Penutup: Apakah keadaan hidup segan mati tak mau yang menimpa
perajin perak di tanah air pertanda awal akan punahnya warisan
budaya bangsa?
Contoh Feature media popular
JANGAN BIARKAN ANAK ANDA BERMAIN GAME GTA
Oleh: Indiwan Seto Wahju Wibowo
Membiarkan anak bermain “game” sendirian tak aman, apalagi bagi
orang tua yang lebih banyak berada di luar rumah, demikian badan
pemeringkat perangkat lunak permainan video mengingatkan.Tidak
semua game yang dimainkan anak-anak itu mendidik, bahkan ada
game yang dikenal sebab kekerasan dan tayangan “seks bebasnya”,
seperti “Grand Theft Auto” (GTA).
Game berlabel M, alias “mature” atau untuk usia di atas 17
tahun. Di negara asalnya, game itu memang bukan ditujukan untuk
anak-anak. Game itu ditujukan kepada mereka yang berusia 17 tahun,
atau orang yang sudah bisa membedakan yang baik mana dengan
yang buruk dan menyadri GTA yaitu karya fiksi, bukan fakta
yang layak dicontoh.
Presiden ESRB, badan pemeringkat perangkat lunak permainan
video, Patricia Vance mengatakan, permainan itu biasanya diminati
mereka yang berusia 30 tahun bukan para remaja, sebab isinya me-
mang tidak sesuai untuk remaja.
110
Menurut pendiri “National Institute On Media and The Family”
David Walsh Phd, GTA IV banyak berisi kekerasan, penuh pertumpah-
an darah, para tokohnya sering berbahasa kasar, dan memperlihatkan
isi yang mengarah pada seks, agak memunculkan ketelanjangan, dan
menampilkan secara terbuka penggunaan alkhohol dan minuman
keras. kasus nya, apakah di Indonesia katagori game berlabel M
ini bisa dipantau?
Apakah orang tua di Indonesia sadar bahwa anaknya kurang
cukup umur untuk menyaksikan bahkan memainkan tokoh-tokoh
yang aktif dalam “game” yang dikatagorikan oleh Softpedia (www.
softpedia.com) dengan nilai 9,5 atau terpuji itu “game” untuk dewasa?
Menurut Patricia dan David Walsh, organisasi mereka men-
dukung dan memberikan informasi kepada orang tua sebelum membeli
game yang berlabel M. “Seharusnya orang tua mencari rating ESRB
yang ada di kotak ’game’, yang menyediakan informasi apakah ’game’
ini sesuai dengan usia anaknya atau tidak, sebab rating ESRB sendiri
sudah menjelaskan isi dari game ini secara rinci,” ujar Patricia.
Kebanyakan di Amerika, GTA memang diminati oleh mereka
yang berusia di atas 30 tahun, dan dalam banyak hal kurang cocok
bagi anak-anak yang berusia di bawah 17 tahun. Selain itu, GTA juga
bermasalah di mana-mana. GTA menjadi perhatian publik Inggris
sesudah seorang pria di Inggris kaget bukan kepalang saat membeli
“game” ini untuk anak tercintanya.
sesudah ia membuka box GTA ternyata ia menemukan empat
butir ekstasi dalam kaset ini . Demikian dilansir Softpedia,
Kamis, minggu lalu. “saat saya membuka plastik bungkus ’game’
ini dan membukanya, saya kaget dan tak percaya mendapati
empat buah ekstasi. Sulit dibayangkan jika dua anak saya yang me-
nemukannya,” ujar pria ini .
111
sesudah itu, pria ini langsung melaporkan temuannya
kepada polisi untuk menyelidiki barang ini . Polisi langsung
memeriksa dan meminta keterangan pemilik “GameStation”, tempat
pria ini membeli ’game’. Pengelola “GameStation” itu menya-
takan tak mengetahui ada pil ekstasi dalam produk yang dijualnya.
Efek agresivitas
Jauh sebelumnya, distributor “game” asal Thailand menghentikan
penjualan video game GTA sesudah seorang remaja lokal mencoba
melakukan perampokan dan mengamuk dengan meniru cara-cara di
“video game” itu.
Remaja berumur 18 tahun ini sekarang berada dalam
pengawasan ketat pihak berwenang. Dia telah merampok seorang
supir taksi dan mencuri mobilnya, serta menabrak pengemudi lainnya
yang berumur 54 tahun.
Remaja ini mengungkapkan kepada polisi yang menang-
kapnya bahwa ia melakukan hal gila ini disebab kan ia ingin
mengetahui apakah merampok sebuah taksi di dunia nyata semudah
merampok taksi di video.
Distributor “New Era Interactive” (NEI) telah menghentikan
penjualan video game GTA, dan menurut laporan Reuters, outlet dan
toko di Thailand mulai menarik keluar video GTA dari peredaran.
namun tidak benar pihak NEI menarik semua serial GTA, serial ter-
akhir yaitu “Grand Theft Auto: IV” tetap menjadi fokus utama peru-
sahaan itu. GTA memang menarik, sebab tampilannya yang seperti
nyata.
Pada edisi awalnya, “Grand Teft Auto versi San Andreas”, per-
mainan itu tampak menyenangkan untuk dimainkan sebab inovatif
dan memberikan kebebasan pada pemainnya untuk bereksplorasi,
termasuk kebebasan melakukan kekerasan.
112
Kekerasan dalam “game” ini dibuat seolah-olah sebagai
suatu yang menyenangkan dan memberikan efek ketagihan. Semakin
sering pemain melakukan kekerasan, semakin banyak kebrutalan
yang bisa dimainkan.
Bukan hanya diizinkan mencuri mobil, menabrak polisi, atau
melanggar aturan lalulintas, pada bagian bonusnya, sang pemain
akan dihampiri oleh seorang gadis dan mereka akhirnya bisa pergi
ke suatu tempat dan melakukan seks bebas.
Bagian itu yang lalu dikeluhkan banyak orang tua, sebab
anak-anak akan melihat kegiatan dalam permainan itu sebagai
sesuatu yang boleh dicontoh.
Itu sejalan dengan pernyataan pakar Albert Bandura, yang
menyatakan, agresi sebagai efek komunikasi massa yang secara per-
lahan merasuk kedalam benak pikiran anak-anak.
Teori yang diangkat paka itu disebut sebagai teori belajar
sosial yang relevan bila dikaitkan dengan pengaruh GTA bagi perkem-
bangan anak-anak. Menurut teori belajar sosial dari Bandura, orang,
termasuk anak-anak dan remaja, cenderung meniru perilaku yang
diamatinya.
Dengan kata lain rangsangan, baik yang sifatnya verbal apalagi
visual dari televisi dan “game”, bisa menjadi teladan untuk perilaku
anak-anak yang melihatnya.
Pakar ilmu komunikasi Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya
“Psikologi Komunikasi” bahkan melihat bahwa teori itu menarik bila
dikaitkan dengan konteks Indonesia.
Menurut dia, orang bisa belajar berbahasa yang baik, atau
bahkan yang buruk, sebab mengamati setiap hari acara televisi yang
ditampilkan oleh tokoh-tokoh yang mereka sukai. Proses meniru
113
terhadap tindakan agresif seperti itu yang bisa terjadi pada anak-
anak yang sering memainkan GTA.
Dimuat di Kompas.com Jumat, 12 Juni 2009 | 22.46 WIB:
http://www.tekno.kompas.com/read/2009/06/12/22460067/
kekerasan.quotgamequot.gta.perlu.diwaspadai
114
BAB X
ANALISIS ISI TEKS MEDIA
Adakah media massa di era Reformasi ini yang benar-benar netral?
Benar-benar menyuguhkan kebenaran di atas segala-galanya? Men-
yuguhkan fakta yang benar-benar murni dan bukan hasil rekayasa?
Masih adakah media massa yang benar-benar peduli kepada nilai-nilai
hakiki yang diperjuangkan oleh manusia dari jaman ke jaman, dari ke
abad?
Pertanyaan-pertanyaan di atas memang teramat sulit untuk
dijawab. Dan kalaupun dijawab belum tentu memberi kepuasan yang
berarti dan menyuguhkan semua kebenaran yang memang betul-betul
ada.
Beberapa tahun yang lalu harian Republika memuat sebuah
berita besar di halaman pertama menyangkut GAM dan TNI. Judul
yang diusung cukup ‘seram’ dan dinilai amat menyudutkan posisi TNI,
sebab ada kata-kata berbunyi: “TNI SIAPKAN LADANG PEMBANTAIAN
BUAT GAM “.
Kata-kata ladang pembantaian yang dipakai Republika
membuat bulu kuduk kita berdiri, sebab teringat kasus ‘the killing
field’ saat segerombolan orang membunuh ribuan orang yang dianggap-
nya anti revolusi dan lawan dari gerombolan komunis.
Pertanyaan kita yaitu , apakah tepat penggunaan istilah
Ladang Pembantaian dalam konteks kasus Aceh? Apakah benar sudah
115
terjadi pembunuhan terhadap ribuan warga Aceh yang tidak berdosa.
Yang menjadi pertanyaan lagi, apakah dalam menumpas GAM
yang jelas-jelas tidak mengakui kedaulatan Republik Indonesia dan
ingin mendirikan Negara merdeka TNI harus memperdulikan HAM?
Bagaimana hukum internasional terhadap penumpasan para teroris
yang merongrong kedaulatan sebuah Negara yang berdaulat?
Pertanyaan lainnya, sebenarnya bagaimana dan di mana posisi
Republika di sini? Apakah dia berpihak kepada RI yang sah -yang jelas-
jelas akan mempertahankan Aceh sebagai suatu bagian integral bagi
Indonesia dan akan menumpas segala upaya pemberontakan dan ma-
kar- atau kepada Gerakan Aceh Merdeka yang memang ingin sekali
melepaskan diri dari Republik Indonesia?
Dari contoh di atas, ternyata sebuah teks berita bisa menjadi
bahan kajian yang komprehensif tergantung dari sudut mana kita me-
lihatnya.
Apakah dilihat dari sudut kepentingan warga , kepenting-
an Negara atau kepentingan pihak lain yang turut bermain dalam
pelontaran opini publik?
Sebuah berita yang muncul di sebuah surat kabar seringkali
diandaikan sebagai sesuatu kebenaran yang factual sebab harus ber-
dasarkan fakta.
Padahal tidak semua berita itu memang benar-benar ‘netral’.
Isi media banyak dipengaruhi oleh berbagai hal, diantaranya ‘ideologi’
si wartawan, pandangan politik organisasi media, kepentingan pe-
megang saham atau pemilik media dan system politik Negara.
Sulit sekali menemukan sebuah teks berita benar-benar
‘netral’ dan tidak punya ‘bias’ atau kecenderungan berpihak pada
kepentingan-kepentingan tertentu di luar teks.
116
Bahkan kaum penganut aliran media kritis melihat bahwa
adakalanya media massa yaitu cerminan dari kekuatan-kekuatan
besar yang tengah bertarung, media sering dijadikan alat-alat bagi
kekuasaan entah mayoritas atau minoritas untuk menciptakan
public opini yang sesuai dengan kepentingan tertentu.
Kalau anda beranggapan bahwa semua berita yaitu semua
kebenaran, mungkin anda terlalu yakin terhadap ‘fungsi & peranan’
ideal sebuah media massa yang punya fungsi mendidik, mencerdas-
kan kehidupan bangsa dan menjunjung tinggi etika professionalism.
Tapi dalam banyak hal, dalam banyak kasus, Terkadang soal
kebenaran isi media massa masing sangat ‘debatable’. Masih sangat
mungkin diperdebatkan kebenarannya.
beberapa ahli Komunikasi seperti Gans (1979) dan Gitlin
(1980) mengelompokkan beberapa pendekatan terhadap isi media.
Di antaranya yaitu :
a. Isi yaitu refleksi dari kenyataan sosial dengan sedikit bahkan
dengan tidak adanya distorsi. Ini disebut juga sebagai pendekatan
‘cermin’ (the mirror approach) yang mengasumsikan bahwa apa
yang dihasilkan oleh media (isi media) yaitu cerminan kenyata-
an atau fakta sosial yang ada di tengah warga nya. Ini bisa
diartikan bahwa untuk melihat apa yang tengah terjadi dan sedang
‘in’ di tengah warga , lihat saja apa yang disiarkan di televisi,
apa yang tengah diramaikan dalam debat-debat di radio atau ter-
cetak dalam iklan serta berita surat kabar.
b. Isi media dipengaruhi oleh pengalaman dan wawasan sosial para
pekerja media dan sikap-sikap mereka.
c. Isi media sangat dipengaruhi oleh kebiasaan wartawan dalam
menulis berita atau cara kerja ‘style book’ organisasi media. Istilah
yang umum dalam kajian Komunikasi yaitu ‘media routines’.
Pendekatan organizational routines berargumen bahwa isi media
117
dipengaruhi oleh cara-cara bagaimana pekerja media dan perusa-
haan media mengorganisasikan pekerjaan mereka. Sebagai contoh,
gaya penulisan Kompas tentu saja berbeda dengan gaya penulisan
Rakyat Merdeka atau Lampu Merah.
d. Isi media dipengaruhi oleh institusi sosial yang lain dan kekuatan-
kekuatan di luar media massa. Pendekatan ini melihat bahwa media
massa sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal atau
faktor-faktor lain di luar organisasi media seperti kekuatan
ekonomi & politik, serta pengaruh audiens. Pendekatan market
misalnya, yaitu upaya komunikator yang berupaya menyesuaikan
isi medianya dengan apa yang dibutuhkan (sesuai kondisi pasar)
oleh audiens yang jadi pelanggan, pembaca atau pemirsanya.
e. Isi media sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dianut atau
menguasai warga di sekitar media ini berada. Misalnya,
media massa yang hidup di tengah Negara yang otoriter dan sangat
ketat dalam pengawasan media akan berbeda dalam menyajikan
isi berita atau penampilannya. Ini terlihat di era Orde baru, yang
sangat menjunjung tinggi kekuasaan Negara dan militer membuat
beberapa media massa berhati-hati dalam menulis berita-berita
yang terkait dengan ‘Cendana’, ABRI dan penguasa lainnya. saat
Orde Baru runtuh dan diganti dengan zaman Reformasi yang hingga
kini tak jelas juntrungannya, media massa begitu bebasnya menyu-
arakan apa saja hingga akhirnya tak ada lagi sesuatu yang diang-
gap tabu dan terlarang untuk disuarakan.25
Mengapa penting buat kita mempelajari atau menganalisa
isi media? Apa faedah nyata bagi mereka yang meluangkan waktu,
menganalisis Judul, lead dan makna di baliknya?
A. MENGAPA ISI MEDIA PENTING?
25 Bisa dibaca dalam buku Mediating The Message Karya Pamela J.Shoemaker & Stephen D Reese, 1996
halaman 6-8
118
Isi media yaitu dasar dari pengaruh yang kuat dari media massa.
Isi media -sebagian terbesar- yaitu bagian yang terbuka dan
layak dipelajari dalam sebuah proses Komunikasi massa.
Isi media massa tidak hanya menarik perhatian mengingat
siapa yang ada di balik penguasaan saham dan kepemilikannya namun
juga apa saja yang ada dibalik tampilan isi berita, ideologi apa yang
dominant dan latarbelakang politis, konteks actual di balik penampi-
lan fisik sebuah berita di media massa.
Mempelajari Isi media banyak menolong kita untuk mempre-
diksi bagaimana pengaruhnya (isi media, red) terhadap khalayaknya.
Para peneliti efek media seringkali mempergunakan hasil kajian
analisis isi ini untuk menunjang penelitian soal pengaruh media
massa kepada khalayak pembaca atau pemirsanya.
Analisis isi yaitu teknik untuk mengetahui isi secara reliabel.
Isi teks (misalnya berita) memang bisa diterka-terka saat kita
membaca halaman suratkabar atau menonton televisi. namun agar
terpercaya, diperlukan sebuah teknik untuk mengetahui isi media.
Dari hasil Analisi isi memungkinkan diambil kesimpulan yang baku
dan ditarik generalisasi.
Analisis isi bisa diterapkan pada semua bentuk teks. Misalnya
berita suratkabar, kartun, surat, iklan, dokumen prospektus, pidato
dan semua bentuk teks lain.
Asal terdokumentasi, semua bentuk teks bisa dianalisis lewat
analisis isi. Analisis isi berguna bukan hanya untuk studi komunikasi
atau studi media. Semua bidang bisa memanfaatkan analisis isi.
Orang kedokteran bisa memakai analisis isi untuk mengetahui
secara cermat masalah kesehatan yang paling ditakuti warga .
119
Caranya mengidentifikasi lewat berita-berita kesehatan yang
diberitakan media. Analisi isi bisa dipakai untuk melihat bagaimana
masalah diberitakan oleh media. Misalnya ingin mengetahui kesala-
han yang sering dilakukan anggota polisi. Caranya mengidentifikasi
lewat berita media.
Sebelum membahas mengenai teknik analisis isi media, perlu
diuraikan terlebih dahulu peta analisis isi media. Secara umum, ada
dua bentuk aliran (paradigma) dalam studi isi media. Pertama, aliran
transmisi.
Aliran transmisi melihat komunikasi sebagai bentuk pengi-
riman pesan. Komunikasi di sini dilihat sebagai proses yang statis.
Proses dilihat secara linear dari pengirim ke penerima. Asumsi dari
aliran ini yaitu adanya hubungan satu arah dari media kepada kha-
layak. Peranan dalam menyampaikan pesan digambarkan sebagai
yang satu aktif, dan yang lain pasif. Kedua, aliran produksi dan per-
tukaran makna.Kalau aliran transmisi melihat komunikasi sebagai
proses penyebaran (pengiriman dan penerimaan pesan), maka ali-
ran ini melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna.
Yang menjadi titik perhatian bukan bagaimana seseorang mengirim-
kan pesan, namun bagaimana masing-masing pihak dalam lalu lintas
komunikasi saling memproduksi dan mempertukarkan makna. Di
sini tidak ada pesan dalam arti yang statis yang saling dipertukarkan
dan disebarkan. Pesan itu sendiri dibentuk secara bersama-sama
antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi.
Mengapa setiap media massa punya kecenderungan berbeda-
beda dalam menyajikan suatu fakta atau peristiwa yang sama?
Mengapa Republika dan harian Kompas berbeda menggambarkan
bagaimana AS melakukan aksi penumpasan Sadam Husein di Irak?
Pertanyaan ini mengacu pada ‘pelapisan-pelapisan’ yang melingkupi
institusi media.
Pamela Shoemaker & Stephen D.Reese ( 1996: 105-107)
120
membuat model ‘Hierarchy of influence’ yang menjelaskan ada
hiraki pengaruh terhadap teks berita yang dihasilkan oleh wartawan.
Pengaruh pertama yaitu pengaruh dari individu-individu
pekerja media ( wartawan-wartawan atau pekerja pers).
Sebuah teks berita muncul dipengaruhi oleh kharakteristik
pekerja Komunikasi, latar belakang professional dan personal. Artinya,
seorang wartawan yang beragama Islam tentu berbeda dengan war-
tawan yang beragama Kristen saat meliput bentrokan antara massa
Islam dan Kristen di Ambon. Latar belakang pribadi si wartawan akan
mempengaruhi Sudut pandangnya dalam menulis berita, pemilihan
Judul, Lead dan bahkan pemilihan nara sumber yang sesuai dengan
keyakinannya.
Maka dari itu, jangan salahkan bila kita sulit mengharap-
kan objektivitas berita dalam sebuah liputan konflik, sebab bias
bisa saja terjadi.
Begitu juga, Pendidikan serta latarbelakang social politik serta
ekonomi si wartawan akan sangat mempengaruhi berita yang
dihasilkannya.
Pengaruh lain yang juga penting yaitu pengaruh dari ‘Organi-
sasi Media’ dan pengaruh nilai-nilai atau ideologi yang dianut oleh
organisasi media massa dan warga yang ada di sekitar media.
Artinya, mengapa Republika melihat kasus penyerangan
AS ke Irak berbeda dengan Kompas atau Suara pembaruan ini bisa
dijelaskan dengan satu kata: Ideologi mereka berbeda.
Ideologi di sini bukan berarti bahwa Republika identik dengan
Islam sedang Kompas dengan Katholik atau Suara Pembaruan
dengan Kristen sehingga mereka berbeda-beda dalam memotret
sebuah kejadian atau peristiwa.
121
Ideologi dalam pandangan Magnis Suseno yaitu sebuah ke-
sadaran palsu dan berkonotasi negative sebagai klaim yang tidak
wajar atau sebagai teori yang tidak berorientasi pada kebenaran,
melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya.
Minimal ideologi dianggap sebagai system berpikir yang su-
dah terkena distorsi entah disadari atau tidak. Biasanya ideologi
sekaligus dilihat sebagai sarana ‘kelas’ atau ‘gerombolan’ yang berkua-
sa untuk melegitimasikan kekuasaannya secara tidak wajar.
Ideologi di sini yaitu apa saja yang diyakini oleh gerombolan
tertentu atau nilai-nilai yang dianut oleh media massa dalam mem-
posisikan dirinya.
Lebih jauh lagi, Althusser melihat bahwa ideologi terkadang
menekankan bagaimana kekuasaan gerombolan dominan dalam men-
gontrol gerombolan lain. Ideologi yaitu hasil rumusan dari indivi-
du-individu tertentu mengenai suatu hal.
Maka jangan aneh mengapa Republika begitu mati-matian
membela Sadam Husein dan begitu kerasnya memberi labelisasi ke-
pada Amerika yang dianggap sebagai ‘agresor’, agak berbeda dengan
Suara Pembaruan yang kerap memilih berita-berita yang relative
menyudutkan pihak Sadam Husein yang sama-sama bejadnya den-
gan George Bush yang menyerang Irak Meski tidak direstui PBB dan
ditentang Negara-negara lainnya.
Ideologi yang dianut Suara pembaruan jelas berbeda dengan
ideologi yang dianut oleh Media-media bernafaskan Islam atau di-
duga bernafaskan Islam seperti Republika, Pelita atau majalah Sabili
dan Panji warga .
Dengan memahami apa yang ada di balik media massa dan fak-
tor-faktor apa yang mempengaruhi isi media kita bisa mengambil sikap,
memilih informasi sekaligus memilahnya sesuai kepentingan kita.
122
B. ANALISIS ISI
Ada beberapa cara atau metode menelaah isi teks media, salah satunya
dan yang masih banyak dilakukan dalam penelitian mahasiswa S1
dan S2 Jurnalisme yaitu analisis isi kuantitatif.
Meski begitu ada juga analisa lainnya yang tak kalah popu-
lernya yakni analisis Wacana framing dan analisis Semiotikaa.
Analisis isi kuantitatif seringkali disebut juga analisis isi tra-
disional atau konvensional. Analisis isi melihat teks berita sebagai
kumpulan stumulus psikologis dengan makna yang dapat diidentifi-
kasi secara objektif.
sedang analisis wacana yaitu bentuk analisis teks
media yang relative baru yang berkembang terutama sejak tahun
1970-an, seiring dengan studi mengenai struktur, fungsi dan pros-
es dari suatu teks. Analisis wacana yaitu salah satu alternative
dari analisis isi kuantitatif yang masih dipraktekan secara luas di ka-
langan akademisi.
Karakteristik analisis isi kuantitatif, mengikuti Berelson ada-
lah Teknik penelitian untuk menguraikan secara objektif, sistematik
dan kuantitatif isi Komunikasi. Pendekatan dasar dalam menerapkan
analisis isi jelas berbeda dari analisa wacana.
Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam teknik penelitian
analisis isi yaitu :
1. memilih sample dari populasi yang pada akhirnya nanti dipakai
untuk menggeneralisir hasil penelitian
2. menetapkan kerangka konsep dan kategori yang akan diteliti.
Misalnya bila anda ingin meneliti seberapa besar berita-berita ke-
kerasan terhadap wanita , perlu didefinisikan terlebih dahulu
apa itu kekerasan dan apa itu berita kekerasan wanita ? Atau
123
kalau meneliti ada tidaknya demokratisasi dalam pemberitaan
bisa dijelaskan dulu apa itu demokratisasi, apa ukuran dan vari-
able untuk mengukurnya
3. memilih unit analisis yang akan dipakai dalam analisis. Apakah
yang akan diteliti kalimat, pemakaian Judul, Lead, tubuh berita
atau cover serta foto/gambar yang ada di media yang akan kita
teliti
4. menyesuaikan isi dengan kerangka katagori, per satuan nit yang
dipilih
5. mengungkapkan distribusi menyeluruh dari frekuensi yang
telah didapat dalam penelitian. Ini umumnya ditandai dengan
adanya tabulasi hasil penelitian menurut distribusi dan variable
yang akan diteliti.
Analisis Isi ini didasarkan pada paling tidak dua asumsi utama.
Pertama bahwa teks berita itu sendiri dipandang sebagai sesuatu
yang objektif, dan dapat menangkap fakta sehingga tidak menim-
bulkan kemenduaan arti.
Kedua, frekuensi atau pengukuran atas teks yang dipilih terse-
but juga dapat mengungkapkan arti yang sebenarnya secara objektif.
Analisis isi kuantitatif biasanya bersifat kuantitatif dan berbeda
dengan analisis wacana yang bersifat kualitatif. Analisis wacana lebih
memperhitungkan pemaknaan teks dari pada penjumlahan unit
katagori seperti dalam analisis isi kuantitatif.
Dasar analisis wacana yaitu interpretasi sebab analisis wa-
cana yaitu bagian dari metode interpretative yang mengandal-
kan intepretasi & penafsiran peneliti.
Oleh sebab itu dalam proses kerjanya, analisis wacana tidak
memerlukan lembaran koding yang mengambil Beberapa item dan
124
turunan dari konsep tertentu.26
Dalam analisis wacana, isi dipandang bukan sebagai sesuatu
yang memiliki penafsiran yang sama atas suatu teks.
Justru yang terjadi sebaliknya, setiap teks pada dasarnya bisa
dimaknai secara berbeda, dapat ditafsirkan beraneka ragam. Singkat
kata, penelitian analisis isi lebih bersifat empiris sedang peneli-
tian analisis wacana lebih bersifat interpretative.
Analisis isi kuantitatif pada umumnya hanya dapat dipakai
untuk membedah muatan teks Komunikasi yang bersifat nyata (man-
ifest).
sedang analisis wacana justru berpretensi memfokuskan
pada pesan yang tersembunyi (latent).
Sebagai contoh, sebuah gambar iklan dimana ada seorang
wanita tengah bersandar di bahu laki-laki, dalam analisis isi, teks itu
dipahami dari apa yang terlihat, sementara bila memakai analisis
wacana, yang lebih dilihat yaitu suasana dalam, makna yang tersem-
bunyi yang bisa didapatkan kalau kita menafsirkan teks ini .
Gambar ini misalnya bisa ditafsirkan sebagai bentuk
dominasi laki-laki terhadap wanita , teks itu juga menjelaskan
bias patriarchal bahwa laki-laki kuat dan berperan sebagai pelindung,
sementara wanita terlihat lemah gemulai.
Bahwa analisis isi hanya dapat melihat apa yang terlihat, tidak
terlepas dari metode yang dipakai yaitu kuantitatif yang mementing-
kan objektifitas, validitas dan reliabilitas. Dalam analisis isi kuanti-
tatif tidak boleh ada penafsiran dari peneliti. Peneliti hanya boleh
membaca apa yang disajikan dalam teks, dalam ini yang terlihat
26 Baca di Analisis Wacana , karya Eriyanto (2001)
125
dalam teks. Siapa sumber berita, ukuran berita, letak atau posisi ber-
ita yaitu contoh dari elemen-elemen yang terlihat nyata ada dalam
teks media.
Sebaliknya dalam analisis wacana, unsur penting dalam analisis
yaitu penafsiran. Tanda dan elemen yang ada di dalam teks dapat
ditafsirkan secara mendalam oleh peneliti.
Selain itu analisis isi kuantitatif hanya dapat mempertim-
bangkan ‘apa yang dikatakan’ (what), namun tidak dapat menyelidiki
‘bagaimana ia dikatakan’ (how).
Dalam kenyataannya, yang penting bukan apa yang dikatakan
oleh media, namun bagaimana dan dengan cara apa pesan disam-
paikan.
Kenapa dalam analisa wacana perlu adanya penafsiran?
Menurut John B Thomson (Eriyanto 2001:339), kalau kita hendak
melakukan analisis terdalam dari suatu isi, maka kita harus melaku-
kan penafsiran (interpretasi), sebab interpretasi selalu berhubungan
dengan apa yang tidak nyata kita lihat.
Makna yang terdalam dari teks media, baru akan kita keta-
hui bila kita melakukan analisis mendalam dengan mengkaitkan
struktur berita dengan konteks sosial yang melingkupi teks media,
dan proses menangkap makna terdalam dari teks itu tidak bisa hanya
dengan melihat wujud fisik berita yang bersangkutan melainkan ha-
rus lewat penafsiran-penafsiran.
Analisis wacana berbeda dengan analisis isi kuantitatif, dia ti-
dak berpretensi melakukan generalisasi.
ini berbeda dengan analisis isi yang memang bertujuan
melakukan generalisasi, bahkan melakukan prediksi. Artinya, pada
126
saat mengambil sample, uji statistic yang biasa dilakukan dalam anal-
isis isi secara tidak langsung memang bertujuan agar hasil penelitian
yang dilakukan dapat menggambarkan fenomena keseluruhan dari
suatu isu atau peristiwa.
Kalau keadaan dan kondisi yang kita teliti sama maka akan
menghasilkan kajian yang sama pula.
C. ANALISIS FRAMING
Salah satu analisis wacana yang kini tengah naik daun yaitu analisis
Framing sebagai suatu alternative studi isi media. Analisis framing
yaitu perkembangan terbaru yang lahir dari elaborasi terus
menerus terhadap pendekatan analisis wacana, khususnya untuk
menghasilkan suatu metode terbaru untuk memahami fenomena-
fenomena media mutakhir.
Analisis wacana framing yaitu suatu tradisi dalam ranah
studi ilmu Komunikasi yang menonjolkan pendekatan multidisipliner
dalam menganalisis pesan-pesan tertulis maupun lisan.
Konsep framing sendiri bukan berasal dari ranah ilmu Komu-
nikasi melainkan berasal dari konsep ilmu psikologis kognitif. Dalam
prakteknya, analisis framing juga memungkinkan disertakannya
konsep-konsep sosiologis, politik dan cultural untuk menganalisis
fenomena-fenomena Komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat
benar-benar dipahami dan diapresiasi berdasar konteks sosio-
logis, politis atau cultural yang melingkupinya.
Ide tentang framing pertama kali dilontarkan oleh Baterson
pada 1955.
Pada awalnya frame dimaknai sebagai struktur konseptual
atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik,
127
kebijakan dan wacana dan menyediakan katagori-katagori standar
untuk mengapresiasi fakta.
Konsep ini lalu dikembangkan oleh Goffman (1974)
yang mengandaikan frame sebagai kepingan perilaku yang mem-
bimbing individu dalam membaca fakta.
Contoh aktual terkait dengan framing, yaitu saat kita
membaca berita seputar aksi 11 september 2001 di Amerika Serikat
yang lebih dikenal sebagai tragedi Gedung WTC di kawasan Manhattan
New York. Hampir semua media massa di dunia termasuk di Indonesia
menempatkan peristiwa ini beserta dampak ikutannya sebagai
sebuah headline . Tapi apakah Judul-judul harian di Indonesia seragam?
Tentu tidak, peristiwa ini ditanggapi amat berbeda oleh sejum-
lah media massa di Indonesia. Misalnya Pikiran Rakyat malah men-
gangkat AS Gelar Serangan Kedua, Osama Bin laden: Amerika Tidak
Akan pernah Merasa Aman”.
Lalu bagaimana teknik framing itu dilakukan? Secara teknis
tidak mungkin bagi seorang wartawan melakukan framing seluruh
bagian berita, tentunya mereka akan memilih bagian-bagian terpent-
ing dari suatu berita yang paling menonjol. Paling tidak ada empat
cara kita melakukan framing.
Pertama ‘Problem indentification’ atau menidentifikasikan
masalah yaitu bagaimana peristiwa dilihat, Kedua Causal Interpre-
tation atau melihat siapa yang menjadi penyebab masalah. Ketiga,
treatment recommendation yaitu menawarkan cara penanganan
masalah dan kadang kala memprediksikan hasilnya, Keempat evaluasi
moral yaitu penilaian atas penyebab masalah.
sedang Abrar (2000:73) menyebutkan ada empat teknik
memframing berita yang dipakai wartawan yaitu:
(1) Cognitive dissonance (ketidaksesuaian antara sikap dan perilaku)
128
(2) empati (membentuk pribadi khayal)
(3) Packing (daya tarik yang melahirkan ketidakberdayaan dan
(4) asosiasi (menggabungkan kondisi, kebijakan, dan objek yang
sedang aktual dengan fokus berita.
Sebagai contoh, jika misalnya seorang wartawan ingin melakukan
framing berita kekerasan terhadap wanita dengan berempati
dengan korban, tidak berarti dia harus melupakan kaidah Jurnalisme
dasar seperti nilai berita, layak berita dan bias berita.
Artinya aturan-aturan itu harus dipatuhi baru lalu
melakukan framing. Paling tidak ada tiga bagian berita yang bisa
menjadi objek framing seorang wartawan yakni judul berita, fokus
berita dan penutup berita.
Judul berita diframing dengan memakai teknik empati
yaitu menciptakan pribadi khayal dalam diri khalayak, sementara
khalayak diangankan menempatkan diri mereka seperti korban
kekerasan atau keluarga dari korban kekerasan, sehingga mereka
bisa merasakan kepedihan yang luar biasa. lalu fokus berita
(lead) diframing dengan melakukan teknik asosiasi yaitu mengga-
bungkan kebijakan aktual dengan fokus berita.
Kebijakan di sini yaitu penghormatan terhadap wanita .
Dengan menggabungkan kebijakan itu, khalayak akan memperoleh
kesadaran bahwa masih ada kekerasan terhadap wanita , sekali-
pun sudah banyak usaha menguranginya.
Kesadaran ini diharapkan bisa memicu khalayak agar mereka
bisa berperan serta dalam mengurangi kekerasan terhadap perem-
puan.
Penutup berita diframing dengan memakai teknik pack-
ing, yaitu menjadikan khalayak tidak berdaya untuk menolak ajakan
129
yang dikandung berita. Apapun inti ajakan, khalayak akan menerima
sepenuhnya.
Untuk kepentingan analisis perlu dipakai sebuah kerangka
yang sesuai diantaranya memakai kerangka framing Pan dan
Kosicki.27
Untuk menganalisis teks media, perlu dilihat empat struktur
sesuai dengan perangkat framing dan unit yang dianalisis.
Pada tahapan Sintaksis atau bagaimana cara wartawan menyu-
sun fakta, yang diteliti yaitu skema berita sebagai perangkat fram-
ingnya sedang unit analisisnya headlline, lead, latar belakang
informasi, kutipan, sumber, penyataan dan penutup.
Pada Struktur Skrip (atau bagaimana cara wartawan mengi-
sahkan fakta) perangkat framingnya yaitu kelengkapan berita.
sedang unit yang diamati yaitu 5 W+1H (unsur Who, what,
when, where, why dan How).
Pada tataran Tematik (atau bagaimana cara wartawan menu-
lis fakta) yang diangkat sebagai perangkat framing yaitu detail,
maksud kalimat, nominalisasi antar kalimat, koherensi, bentuk ka-
limat dan kata ganti. sedang unit yang diamati yaitu paragraph
dan preposisi.
Pada tataran retoris (atau bagaimana cara wartawan me-
nekankan fakta) yang diangkat sebagai perangkat framing yaitu
leksikon, grafis, metaphor, pengandaian sedang unit yang diamati
yaitu kata, idiom, gambar, foto dan grafik.
27 Baca lebih jelas pada buku Analisis Teks Media, Eriyanto (2001) halaman 176-177
130
D. SEMIOTIKA
Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial mema-
hami dunia sebagai suatu sistem hubungan yang memiliki unit dasar
dengan ‘tanda’. Maka dari itu, Semiotika mempelajari hakikat tentang
keberadaan suatu tanda. Ahli Semiotika, Umberto Eco menyebut tanda
sebagai suatu ‘kebohongan’ dan dalam tanda ada sesuatu yang
tersembunyi di baliknya dan bukan yaitu tanda itu sendiri.
Saat memahami teks media, seringkali kita dihadapkan pada
tanda-tanda semacam ini, yang perlu diinterpretasikan dan dikaji
ada apa di balik tanda-tanda itu.
Tanda itu yaitu cerminan dari fakta, yang dikon-
struksikan lewat kata-kata. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan
kita tentang fakta, dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda
lain yang dipakai dalam konteks sosial.
Bila dikaitkan dengan perilaku media massa, konsep kebe-
naran yang dianut oleh media massa bukanlah kebenaran sejati, namun
sesuatu yang dianggap warga sebagai suatu kebenaran.
Tanpa memahami konteksnya, bisa saja ‘kebenaran’ semu
yang ditampilkan media massa seolah sebagai kebenaran sejati,
padahal bisa saja kebenaran itu subjektif atau paling tidak dianggap
benar oleh wartawan hingga diangkat sebagai sebuah berita di hala-
man medianya.
Lewat konteks pemberitaan inilah, pembaca bisa menyadari
bahwa wartawan terkadang menghidangkan ‘madu’ dalam menu
beritanya, kadang juga menanamkan ‘racun’ tanpa disadari oleh
pembacanya.
Lewat cara ini, pembaca akhirnya mengerti bahwa berita yang
buruk bisa dibungkus dengan bahasa yang manis sehingga tampak
samar-samar dan menyenangkan begitu sebaliknya fakta yang sebe-
tulnya biasa-biasa saja bisa ditulis sebegitu mencekam, begitu mena-
kutkan lewat penggunaan kata-kata yang meresahkan.
Pekerjaan media dan wartawan pada hakikatnya yaitu
pekerjaan mengkonstruksikan fakta. Isi media yaitu hasil para
pekerja media mengkonstruksikan berbagai fakta yang dipilihnya,
diantaranya fakta politik.
Dan dalam proses rekonstruksi itu, bahasa yaitu perangkat
dasarnya. Bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan fakta
namun juga bahasa bisa menentukan ‘relief’ seperti apa yang akan
diciptakan oleh bahasa tentang fakta ini .
Pekerjaan utama wartawan yaitu mengisahkan hasil repor-
tasenya kepada khalayak. Dengan demikian, mereka selalu terlibat
dengan usaha-usaha mengkonstruksikan fakta yakni menyusun
fakta yang dikumpulkan ke dalam sebuah bentuk laporan Jurnalisme
berupa berita, feature atau gabungan keduanya.
Dan disinilah seringkali peran wartawan memanfaatkan
bahasa sebagai alat untuk melakukan ‘eufemisme’ atau juga ‘defem-
isme’. Kata-kata ‘penyesuaian harga’ sebagai ganti kenaikan harga,
wanita tuna susila sebagai ganti ‘pelacur’, kata kesalahan prosedur
sebagai ganti kesalahan bertindak hingga menimbulkan korban jiwa.
Itu disebut sebagai kekerasan simbolik, manakala konstruk
media massa berbeda dengan fakta yang ada di tengah warga .
Kekerasan simbolik tak hanya beroperasi lewat bahasa, namun juga
terjadi pada isi bahasa itu sendiri yakni pada apa yang diucapkan,
disampaikan atau diekspresikan.
Semiotika dipakai sebagai pendekatan untuk menganalisis
media dengan asumsi bahwa media itu sendiri dikomunikasikan
132
melalui seperangkat tanda. Teks media yang tersusun atas seperang-
kat tanda itu tidak pernah membawa makna tunggal.
Kenyataannya teks media memiliki ideologi atau kepentingan
tertentu, memiliki ideologi dominan yang terbentuk melalui tanda
ini .
ini menunjukkan bahwa teks media membawa kepentingan-
kepentingan tertentu dan juga kesalahan-kesalahan tertentu yang
lebih luas dan kompleks.
Semua media pada dasarnya membawa bias-bias tertentu
dan setiap wartawan yang memasuki sebuah lingkungan media akan
menyerap bias-bias media itu sebagai bagian dari kerjanya bahkan
mengambilnya sebagai bagian dari ‘corporate culture’nya dia.
PENGERTIAN SEMIOTIKA
Secara etimologis, istilah Semiotika berasal dari kata yunani Semeion
yang berarti tanda.
Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu -yang atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya- dapat dianggap me-
wakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu
hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya asap menandai
adanya api, sirene mobil yang keras meraung-raung menandai adanya
kebakaran di sudut kota.
Secara terminologis, Semiotika dapat diidentifikasikan sebagai
ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peris-
tiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.
Batasan Semiotika yang lebih jelas dikemukakan Preminger
(2001: 89). Menurut dia, Semiotika yaitu ilmu tentang tanda-tanda.
133
Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/warga dan
kebudayaan itu yaitu tanda-tanda. Semiotika mempelajari
sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkin-
kan tanda-tanda itu memperoleh arti.
Pada dasarnya, analisis Semiotika memang yaitu sebuah
ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu
dipertanyakan lebih lanjut-saat kita membaca teks atau narasi/
wacana tertentu.
Analisisnya bersifat paradigmatic dalam arti berupaya
menemukan makna termasuk dari hal-hal yang tersembunyi di
balik sebuah teks (Berger, 1982:30). Maka orang sering mengatakan
Semiotika yaitu upaya menemukan makna ‘berita di balik berita’.
Dengan memakai Semiotika dalam studi media massa
kita dapat mengajukan berbagai pertanyaan: Mengapa misalnya sebuah
media X selalu -untuk tidak mengatakan terus menerus- menggu-
nakan frase, istilah, kalimat atau frame tertentu manakala menggam-
barkan seseorang atau segerombolan orang?
Apa yang sebenarnya menjadi sebab, alasan, pertimbangan,
latar belakang dan tujuan media ini mengambil langkah terse-
but.
Sebagai contoh, saat Habibie berkuasa Harian Kompas, dan
Media Indonesia nampak sekali tidak ‘mendukung’ kepemimpinan
pengganti Soeharto ini, berbeda sekali dengan Harian Republika
yang seakan menjadi corong dari Habibie menyuarakan pandangan
serta kebijakannya.
Penggunaan kata-kata rezim, pemerintahan sementara, Habibie
tidak legitimate yaitu ‘tanda’ yang paling jelas bagaimana
sikap media massa tertentu.
Saat Reformasi bergulir, dan Habibie akhirnya mengalah dan
Gus Dur naik menjadi presiden, kini berbalik. Republika lewat
serangkaian berita dan tulisannya nampak sekali sikapnya yang
kurang mendukung kepemimpinan Kiai pentolan NU ini. Bila dirunut
kebelakang, melihat ada apa di balik berita terbukalah fakta bahwa
memang sejak awal ada friksi di antara Gus Dur dengan ICMI yang
membidani kelahiran Republika. Gus Dur yaitu tokoh Islam
yang tidak setuju dibentuknya ICMI yang yaitu upaya peme-
rintah Soeharto merangkul Islam dalam pemerintahan.
Metode semiosis yang paling mudah dipakai yaitu untuk
menganalisis ‘penjulukan’ atau labeling yang dilakukan oleh media.
Teori ini menjelaskan, sekali seseorang dicap buruk maka cap
buruk ini sulit hilang begitu saja sebab tertanam begitu dalam
di benak warga .
Proses penjulukan ini dapat sedemikian hebatnya sehingga
korban misinterpretasi tidak dapat menahan pengaruhnya, sebab
berondongan julukan yang bertentangan dengan pandangan mereka
sendiri, citra diri asli mereka sirna, digantikan citra diri baru yang
diberikan oleh orang lain.
Labeling mirip eufemisme namun ada perbedaan yang menonjol.
bila eufemisme yaitu istilah inofensif sebagai pengganti
istilah yang tidak menarik (misalnya memakai kata ‘usaha pen-
gendalian dan rehabilitasi ‘untuk pengganti kata pengucilan), labeling
yaitu penerapan kata-kata offensive kepada individu, gerombolan
atau kegiatan. (Dan Nimmo, 1993:108).
Upaya menganalisis praktek-praktek penjulukan ini pernah
dilakukan oleh farrel Corcoran terhadap liputan-liputan beberapa
majalah yang terbit di Amerika Serikat yakni Time, Newsweek dan
US News and World Report, saat meliput insiden penembakan pe-
sawat komersial Korea Selatan oleh tentara Soviet pada tahun 1993.
135
Insiden ini akhirnya menewaskan seluruh penumpang Korean
Airlines bernomor penerbangan 007 ini .
Corcoran dalam penelitian itu menemukan bahwa ketiga majalah
secara Semiotika telah menggambarkan atau lebih tepatnya menju-
luki Uni Soviet sebagai bangsa yang barbar, bodoh, tiranik & kacau
dan sensitive secara politik (Ignorant, drab, politically sensitive,
Tyranical dan Barbaric).
Kejadian ini dimanfaatkan media Amerika untuk meng-
hadirkan citra Uni Soviet sebagai bangsa yang jahat. sedang seba-
liknya, media-media ini mengklaim diri mereka sebagai wakil
publik (warga ) Amerika, dan menjadikan diri mereka sebagai
agen virtual dari pemerintah Amerika untuk menghadapkan dua
ideologi kebaikan dan kejahatan melalui tulisan-tulisan.
Tentu saja kebaikan yang dimaksud yaitu Amerika Serikat
sementara yang mewakili kejahatan yaitu Uni Soviet.
Jauh-jauh sebelumnya di jaman Jerman Nazi, golongan elit
yang berkuasa memberi label pada golongan Yahudi dengan kata-
kata ‘parasit’, binatang pengganggu dan baksil atau kuman dan dengan
adanya kata-kata itu, mereka menetapkan golongan Yahudi bukan
sebagai manusia melainkan sebagai hama untuk dibasmi dengan
sedikit atau tanpa rasa berdosa.
Di era saat ini, saat Amerika begitu kuat. Upaya-upaya negara
Muslim yang tidak setuju terhadap keinginan Amerika dianggap
sebagai fundamentalis, ekstrimis bahkan bisa disebut sebagai pen-
dukung terorisme, sementara mereka yang mendukung kebijakan
Amerika di Timur Tengah dianggap sebagai negara Islam yang mod-
erat.
Begitu juga dalam kasus Palestina, setiap upaya pemerintah
mengajukan usulan maka disebut sebagai usulan perdamaian, lain
136
halnya bila pihak Palestina atau negara Arab mengajukan usulan
yang senada dan memperjuangkan kepentingan Palestina maka
dianggap sebagai ‘penolakan’.
Kata-kata berikutnya yaitu terorisme. Terorisme pada
mulanya berarti tindakan kekerasan disertai dengan sadisme yang
dimaksudkan untuk menakut-nakuti lawan.
Dalam kamus adikuasa Amerika Serikat, terorisme bisa
diartikan tindakan protes yang dilakukan negara-negara atau kelom-
pok kecil terhadap usulan AS. Pembunuhan tiga orang Israel di
Lanarca yaitu terorisme, namun pembantaian Rakyat Irak yang tak
berdosa dalam perang Irak 2003 lalu bukan disebut sebagai aksi
terorisme namun aksi menggulingkan pemerintahan sadam atau
upaya membebaskan Rakyat Irak terhadap rezim lalim.
Di Indonesia sendiri, rezim Orde Baru ditandai dengan ban-
yaknya melakukan aksi penjulukan terhadap pihak-pihak yang tidak
dikehendaki atau tidak mereka sukai atau mereka yang dianggap
bakal mengganggu status quo. Maka berhamburanlah julukan-julu-
kan seperti OTB (Organisasi tanpa Bentuk), Komunis, anti pancasila,
GPK, subversive, Bonek, ekstrem kanan, fundamentalis, Islam radikal,
provokator.
KERANGKA SEMIOTIKA
Sebelum berbicara mengenai model Semiotika yang bisa dilakukan
dalam menelaah teks media, perlu diketahui juga perbedaan men-
dasar antara analisis isi kuantitatif dengan analisis Semiotika.
Analisis isi dan analisis Semiotika memiliki perbedaan
sebagaiberikut: pertama, analisisi isi memakai pendekatan
kuantitatif untuk menganalisis isi manifest dari teks media, sementara
itu Semiotika justru melihat teks media sebagai suatu struktur
137
keseluruhan dan mencari makna yang laten atau tersembunyi dari
sebuah teks berita.
Dalam Semiotika, tidak ada alasan bahwa item yang paling
sering muncul yaitu yang paling penting atau paling signifikan,
namun harus dilihat secara keseluruhan.
Analisis isi kuantitatif terlalu banyak memberikan penekanan
pada pengulangan dari tanda (yakni frekuensi kemunculan) dan
hanya sedikit memberi perhatian pada signifikasinya bagi khalayak.
Bila pembaca tidak memahami ada apa di balik teks, pengu-
langan atau kasus beberapa kali sesuatu muncul dalam system
pesan maka repetisi menjadi tidak relevan lagi. Dengan kata lain, bu-
kanlah signifikasi suatu repetisi yang penting melainkan repetisi dari
signifikasi yang penting.
Perbedaan Kedua, analisis isi tidak mampu menangkap kon-
teks makna di mana sebuah teks tertulis memiliki makna. Dalam hal
ini, konteks dapat didefinisikan sebagai alur narasi (plot), lingkun-
gan semantic (maknawi yang paling dekat) gaya bahasa yang berlaku
dan kaitan antara teks dan pengalaman atau pengetahuan.
Banyak sebenarnya Kerangka analisis Semiotika namun untuk
lebih mudahnya bisa dipakai kerangka analisis Semiotika sosial
yang ditawarkan oleh Haliday dan Hassan.28
Metode penelitian yang dipakai dalam Semiotika yaitu
interpretative. Secara metodelogis, kritisme yang terkandung dalam
teori-teori interpretative memicu cara berpikir mazhab kritis
terbawa pula dalam kajian Semiotika ini. Aliran Frankfurt terkenal
kritis dengan kasus lambang atau symbol yang dipakai sebagai
alat persekongkolan atau hegemoni.
Kekuasaan hegemonic yaitu kekuasaan dari satu gerombolan
warga yang diterima atau dianggap sah oleh gerombolan-kelom-
pok warga lainnya.
Sesuai dengan paradigma kritis, maka analisis Semiotika ber-
sifat kualitatif. Jenis penelitian ini memberi peluang yang besar bagi
dibuatnya interpretasi-interpretasi alternative.
Seperti halnya dalam analisis wacana, pada umumnya ada tiga
jenis masalah yang hendak diulas dalam analisis Semiotika.
Pertama yaitu masalah makna (the problem of meaning)
bagaimana orang memahami pesan? Informasi apa yang terkandung
dalam struktur sebuah pesan?
Kedua, masalah tindakan atau pengetahuan tentang bagaimana
memperoleh sesuatu melalui pembicaraan. Ketiga masalah kohe-
rensi yang menggambarkan bagaimana membentuk pola pembica-
raan masuk akal dan logis dan dapat dimengerti.
kasus bagaimana perlakuan tertentu atas fakta diantaranya
bisa diamati dalam analisis wacana (Semiotika sosial) dari Halliday
dan Hassan.
Menurut mereka, dalam Semiotika sosial ada tiga unsur yang
menjadi pusat perhatian penafsiran teks secara kontekstual yaitu:
1. Medan Wacana (field of discourse) menunjuk pada hal yang terjadi:
apa yang dijadikan wacana oleh pelaku (media massa) mengenai
sesuatu yang sedang terjadi di lapangan peristiwa
2. Pelibat wacana (tenor of discourse) menunjuk pada orang-orang
yang dicantumkan dalam teks (berita); sifat orang-orang itu,
kedudukan dan peranan mereka. Dengan kata lain, siapa saja yang
Dikutip dan bagaimana sumber itu digambarkan sifatnya.
3. Sarana wacana (mode of discourse) menunjuk pada bagian yang
diperankan oleh bahasa: bagaimana komunikator (media massa
memakai gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi)
dan pelibat (orang yang dikutip) misalnya apakah memakai
bahasa yang vulgar atau malah memakai bahasa yang diperhalus
atau hiperbolik atau eufemistik.
sesudah anda mengerti seluk beluk Semiotika dan kerangka
analisis Semiotika serta bisa menggambarkan perbedaan yang ada
antara analisis teks media kuantitatif dan Semiotika maka langkah
selanjutnya yaitu berani mencoba menganalisa teks media di era
Reformasi ini. Bahan-bahan melimpah ruah, tinggal kemauan dan
keuletan anda saja.
CONTOH ARTIKEL ILMIAH POPULER
PEMIMPIN, KOMUNIKASI POLITIK
DAN PENGARUH SOSIAL MEDIA
Oleh
Indiwan seto wahyu wibowo
Menjadi seorang pemimpin di era reformasi ini memang gam-
pang-gampang susah. Ibarat berpakaian, pemimpin itu nampakn-
ya harus sedap dipandang baik dari belakang, depan maupun dari
sudut-sudut yang tak terlihat. Apalagi terkait dengan peran media
massa, sepak terjang sang pemimpin akan menjadi sorotan empuk
media massa.
Contoh yang paling jelas dan masih baru yaitu kasus yang
menimpa Wakil Ketua Ombudsman RI, Azlaini Agus. Dia akhirnya
dibebastugaskan sementara dari jabatannya sebagai Wakil Ketua
Ombudsman RI terhitung sejak Rabu (30/10/2013). ini terkait
laporan polisi terhadap Azlaini oleh Yana Novia yang mengaku staf
maskapai penerbangan Garuda Indonesia. “Tidak memberi penu-
gasan kepada Azlaini terkait tugas-tugas Ombudsman terhitung sejak
keputusan Rapat Pleno ini sampai ada rapat yang menentukan kepu-
tusan lain,” ujar anggota Ombudsman Bidang Penyelesaian Laporan
atau Pengaduan, Budi Santoso, di kantornya, Rabu (30/10/2013).
Ombudsman meminta Azlaini untuk fokus menghadapi ka-
sus hukumnya. Azlaini dilaporkan oleh Yana ke Polsek Bukit Raya,
Pekanbaru. Yana merasa ditampar oleh Azlaini. Ombudsman RI juga
telah membentuk Majelis Kehormatan untuk memeriksa dugaan pe-
langgaran kode etiknya. (www.kompas.com, 31 oktober 2013).
Sebagai figur publik, Azlaini tak bisa mengelak menjadi ba-
han sorotan media massa mengingat fungsinya sebagai tolok ukur
bagaimana pemerintahan ini bekerja. artikel ini hendak mengangkat
kasus terkait dengan kepemimpinan dan komunikasi politik,
khususnya terkait dengan penggunaan dan pengaruh media baru
dan sosial media.
ini terkait dengan komunikasi politik yang dilakukan oleh
para petinggi dan pemangku kepentingan. Komunikasi politik ada-
lah pembicaraan untuk mempengaruhi dalam kehidupan bernegara,
Komunikasi politik dapat juga yaitu seni mendesain apa yang
mungkin dan bahkan dapat yaitu seni mendesain yang tidak
mungkin menjadi mungkin (Arifin, 2011:1).
Jauh sebelumnya, pemimpin atau paling tidak publik figur
sudah dan sering memanfaatkan sosial media sebagai sarana komu-
nikasi politik mereka. Contohnya Presiden SBY, memiliki akun face-
book yang bisa menampilkan sosok presiden yang non formal dan
tidak resmi kendati sering juga menyampaikan informasi formal.
Paling tidak, akan sulit sekali didapatkan di media formal sua-
sana keluarga SBY sehari-hari yang mungkin bisa ditolak oleh reda-
ktur media massa sebab tidak memiliki unsur nilai-nilai berita sep-
erti significancy, magnitude atau important. Sebagai contoh, dalam
akun facebooknya, SBY menampilkan suasana non formal saat men-
yambut pemimpin Rusia yang sedang berulang tahun. Di Facebook
ini nampak jelas, SBY menyanyikan lagu selamat ulang tahun
sambil memainkan gitar.
Gambar.1 Ulang Tahun Putin, SBY bermain gitar
Pencitraan yang coba dilakukan oleh Presiden SBY, seakan
membuka mata bahwa seperti itulah kehidupan sosial seorang pres-
iden yang bisa meningkatkan posisi sosial di tengah warga .
Tokoh-tokoh politik yang lain seperti Prabowo, Wiranto
(keduanya mencoba mencalonkan diri sebagai Capres pada 2014),
Gubernur Joko Widodo juga amat sering muncul di sosial media, dan
memiliki pengikut yang cukup banyak.
Salah satu peserta Konvensi partai Demokrat, Pramono
Edhi bahkan lalu membuat sebuah akun twitter melengkapi
keiktsertaannya maju sebagai calon presiden untuk 2014. Twitter se-
bagai salah satu media sosial dianggap bisa menjadi jembatan antara
dirinya dengan para konstituen yang bakal memilihnya nanti.
Bahkan dia siap menerima perlakuan tidak menyenangkan
sebab ‘kenekadannya’ terjun memanfaatkan sosial media.
144
“..Kalau sudah masuk hutan rimba itu ya saya harus siap. Jangan
sampai kata-kata saya berakibat buruk ke orang lain. Andai kata
saya dapat kata-kata buruk, itu saya terima sebagai kritik dan
akan lebih hati-hati,” kata Pramono usai peluncuran akun twitter
@edhiewibowo_55 di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat,
Rabu (30/10/2013). Pramono mengakui dirinya yaitu pengguna
baru media sosial. ini sebab waktu masih menjabat sebagai
KSAD, Pramono berpikir aktivitasnya di dunia maya bisa mem-
pengaruhi putusannya sebagai petinggi militer. “Terus terang, ini
pengalaman pertama memakai twitter sesudah saya tidak di
militer. Saya berpendapat dulu kalau memakai twitter, saat
mengambil keputusan itu tidak mudah. Tapi satu, hutan rimba itu
bukan satu yang menakutkan. Kalau kita berpikir positif, tentu
akan positif,” ujar ipar SBY ini.” (www.detik.com)
KERANGKA PEMIKIRAN
Kegiatan para pemimpin politik tidak bisa dilepaskan dari kegiatan
berpolitik. Disamping itu, para pemimpin itu memanfaatkan segala
jenis media massa baik media tradisional maupun media baru (sosial
media) seperti twitter, facebook, youtube .
Kata politik memang mengandung banyak arti, begitupu-
la konsep komunikasi politik. Paling tidak kita sependapat dengan
Lasswell (1963) yang erumuskan formula bahwa politik yaitu siapa
memperoleh apa,kapan dan bagaimana caranya (who gets what,when
how). Artinya siapa yang melakukan aktivitas politik dengan maksud
mencapai tujuan bersama pada waktu tertentu dengan cara meman-
faatkan pengaruh (influenze), wewenang, kekuasaan atau kekuatan.
Politik juga dipahami sebagai pembagian nilai-nilai oleh yang
berwenang, berkuasa atau para pemegang kekuasaan. sedang
pembicaraan politik menurut Bell , yaitu
pembicaraan tentang kekuasaan,pembicaraan tentang pengaruh
dan pembicaraan tentang otoritas. sedang Dan Nimmo
menambahkan satu lagi soal pembicaraan politik yaitu pembic-
araan tentang konflik, sebab melalui pembicaraan para komunika-
tor politik menyelesaikan perselisihan mereka kendatipun tidak
menyeluruh.
Sementara itu, Komunikasi politik sendiri memiliki multi-
makna dan multidefinisi, tergantung dari sudut mana kita melihat-
nya. Ilmuwan komunikasi A.Muis (1990) memberi penekanan ko-
munikasi politik pada pesan sebagai objek formalnya sehingga titik
berat konsepnya terletak pada komunikasi dan bukan pada politik.
sedang , mengartikan komunikasi politik se-
bagai suatu komunikasi yang diarahkan pada pencapaian pengaruh
sedemikian rupa sehingga masalah yang dibahas dapat mengikat
semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh
lembaga-lembaga politik. Dengan begitu, melalui kegiatan komuni-
kasi politik terjadi pembicaraan untuk mempengaruhi kehidupan
bernegara.
kasus nya yaitu di era saat ini, beragam media komuni-
kasi bisa dipakai untuk menyampaikan pesan-pesan politik, ter-
masuk di dalamnya media baru dengan teknologi internet sebagai
motornya. Kemudahan akses internet di tanah air, dan makin terjang-
kaunya harga alat-alat komunikasi (handphone, tab dan notebook)
memungkinkan sosial media berperan besar dalam proses pembic-
araan politik. Sebenarnya, apa peranan penting dari sosial media
bagi pencitraan pemimpin politik? Merujuk pada beberapa konsep
tentang peranan sosial media, paling tidak sosial media bisa menjadi
sarana penyebar informasi sebagaimana diungkapkan oleh Ingmar
De lange di bawah ini.
Sosial media selain bisa menjadi alat penyampaian informasi,
bisa juga menjadi alat yang ampuh untuk melakukan promosi dan
distribusi ‘citra’ yang menjadi ‘jualan’ para komunikator politik.
“…New media technologies impact our life culture by offering
new lifestyles, creating new jobs and eliminating others, demanding
regulations and presenting unique new social issues … ”) Pernyataan Straubhaar ini sangat menjelaskan bahwa te-
knologi media baru yang biasa disebut sebagai sosial media sangat
penting. Sosial media amat berpengaruh pada kehidupan budaya
kita (dalam ini berlaku juga dalam bidang politik). Budaya politik
berubah gara-gara teknologi new media, sekarang orang tak lagi ter-
gantung pada media-media tradisional. Semua orang sudah terbiasa
men (KELANJUTANNYA? TERIMA KASIH)
PEMBAHASAN
Menjadi pemimpin di era sekarang dimana sosial media sangat ber-
peran dalam proses penciptaan image membutuhkan kepiawaian
para komunikator politik mengendalikan teknologi internet.
Tak bisa lagi seorang pemimpin ‘bersembunyi’ dari kebenaran
publik sebab semua orang berpeluang mendapatkan informasi dari
berbagai pihak termasuk dari jurnalisme warga. Kemudahan perang-
kat handphne mengambil gambar, merekam kejadian pada saat keja-
dian bisa mengubah siapa saja menjadi pelapor jurnalisme warga.
Sebagai contoh dalam kasus penamparan terhadap staf lapangan di
bandara, kendati Wakil Ketua Ombudsman RI , Azlaini Agus mem-
bantah bahwa dirinya menampar, adanya foto yang memperlihatkan
bekas tamparan di pipi Yana (korban penamparan) tak bisa
dipungkiri.
Sebagai pemimpin politik atau komunikator bisa saja ‘men-
yulap’ kebenaran lewat siaran berita atau bantahan yang dilakukan
lewat media formal, tapi dalam kasus Azlaini Agus, bantahan
ini jadi tak bermakna apa-apa saat warga luas bisa
mendapatkan informasi langsung dari lapangan, sebagai konsekuensi
adanya kemudahan berkomunikasi memakai handphone
“smart” yang dilengkapi kamera dan internet.
emikian pula, SBY sebagai aktivist sosial media, tak bisa lagi
membatasi apakah semua kirimannya lewat page atau halaman face-
book harus ditanggapi serius atau positif oleh user yang lain. Dalam
banyak kasus, kiriman atau status yang dilontarkan SBY mendapat-
kan kritikan dan kecaman dari banyak user, meski banyak juga yang
melakukan pembelaan secara langsung pula.
Tampak dari gambar dibawah ini, betapa meningkatnya jumlah user
facebook di Indonesia dari tahun ke tahun.
Dengan begitu banyaknya pengguna facebook, demikian pula
pengguna twitter, semakin cepat berita tersebar dan mendapatkan
tanggapan dan sebab sifatnya interaktif, bisa saja berita atau infor-
masi ini diperbaiki, dikritik dan dilengkapi.
Dengan demikian para pemimpin politik, para komunikator
politik di Indonesia harus memperhitungkan peranan media sosial
yangada, bahkan harus bisa mengendalikan informasi yang disam-
paikan lewat cara-cara yang non formal dan dekat dengan user lainnya.
CONTOH ARTIKEL
MITOS wanita PERKASA
DALAM FILM INDONESIA
wanita dalam banyak hal dianggap sebagai gula-gula, juga di
dunia hiburan. Kehadiran sang pemanis cerita ini umum terlihat da-
lam film-film Indonesia sejak orde lama hingga orde baru bahkan
hingga saat ini. Dari asal-usul panjangnya, wanita memang dita-
kdirkan sebagai pemanis dalam sebuah film. Bahkan dalam sebuah
film horror sekalipun sebagaimana nampak dalam deretan film hor-
ror di Indonesia sejak tahun 1934-an.
Film horor yang pertama
kali diproduksi di Indonesia, yakni Doea
Siloeman Oeler Poeti en Item, memiliki
tokoh utama wanita dan seluruh
bangunan ceritanya berpusat pada
wanita . Film ini diproduksi pada
tahun 1934 oleh The Teng Cun ini san-
gat dipengaruhi legenda dari Tiongkok
yang berkisah tentang siluman ular pu-
tih yang keluar dari gua pertapaannya
dan lalu menyamar menjadi seo-
rang wanita cantik .
Dalam perjalanan hidupnya, sang siluman ular lalu
jatuh cinta pada seorang pria, lalu keduanya melangsungkan per-
kawinan. Pada tahun 1970-an, saat genre horor mulai laku di pasa-
ran film Indonesia, sosok wanita mulai menampakkan dominasi
yang jelas.
Satu nama wanita yang tak bisa dilepaskan dari kisah
film horor tahun 1970-an yaitu Suzanna. Artis bernama lengkap
Suzanna Martha Frederika van Osch ini yaitu figur yang dijuluki
sebagai “Ratu Film Horor Indonesia” sebab keterlibatannya dalam
beberapa produksi film bertema hantu yang bisa dibilang menuai
sukses di pasaran sebagai film yang laku di jual.
Sejak membintangi Beranak dalam Kubur tahun 1971, nama
Suzanna memang melambung dalam jagat film horor Indonesia. Ada
sekitar 14 film horor yang dibintanginya yang menangguk sukses
besar. Bahkan, beberapa bulan sebelum meninggal pada 15 Oktober
2008 lalu, Suzanna masih membintangi sebuah film horor dengan
judul Hantu Ambulance yang dirilis pada februari 2008. Nama Su-
zanna – wanita yang dianggap ratu dalam film-film horror mele-
gendaris dalam jagat film hantu Indonesia. Ini membuktikan betapa
sosok wanita memang lebih familiar dengan film horor.
Bahkan, di Indonesia hanya mengenal Suzanna sebagai “Ratu
Film Horor Indonesia”, tanpa pernah ribut siapa yang seharusnya
menyandang gelar “Raja Film Horor Indonesia”. Kenyataan ini mer-
upakan bukti tak terbantahkan betapa sosok wanita memang
lebih akrab dengan dunia film horror dibandingkan laki-laki dalam
film Indonesia.
sesudah dekade tahun 1970-an, artis wanita masih terus
menjadi tokoh utama dalam film-film horor. Kisah-kisah film horor
Indonesia pada tahun-tahun berikutnya terus-menerus menjadikan
wanita sebagai pokok utama cerita. Tengok saja beberapa judul
film horor tahun 1980-an yang jelas-jelas menampilkan wanita
sebagai tokoh utama, seperti Nyi Blorong (1982), Perkawinan Nyi
Blorong (1983), Petualangan Cinta Nyi Blorong (1986), Ratu Buaya
Putih (1988), Pembalasan Ratu Laut Selatan (1989) dan beberapa
film lain, yang juga film horror.
Pada tahun 1990-an, beberapa film seperti Misteri Permain-
an Terlarang (1992), Kembalinya Si Janda Kembang (1992), Misteri
di Malam Pengantin (1993), Gairah Malam (1993), Si Manis Jem-
batan Ancol (1994), dan beberapa judul lain juga menampilkan kisah
horor dengan wanita sebagai unsur utama. Memasuki dekade
2000, memang film horor tak lagi selalu memakai wanita
sebagai pusat kisah, seperti Jelangkung (2002) dan Kafir (2002), tapi
tetap ada film yang memanfaatkan wanita sebagai unsur domi-
nan kisah.
Trend Baru film wanita Indonesia?
wanita seringkali digambarkan secara stereotype sebagai pi-
hak yang lemah, pihak yang diatur dan dikendalikan oleh laki-laki.
Biasanya Pengungkapan masalah wanita dengan memakai
perspektif gender sering mengalami polemik pro dan kontra tidak
hanya oleh laki-laki tapi bahkan wanita itu sendiri.
Hubungan antara film dan warga memiliki asal-usul yang
panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Oey Hong Lee misalnya
menyebutkan “film sebagai alat komunikasi massa yang kedua mun-
cul di dunia, memiliki masa pertumbuhannya pada akhir abad ke-
19, dengan perkataan lain pada waktu unsur-unsur yang merintangi
perkembangan surat kabar sudah dibikin lenyap.
Ini berarti bahwa dari permulaan asal-usul nya film dengan
lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, sebab ia ti-
dak mengalami unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan de-
mografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertum-
buhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad ke-19”.
Film, kata Oey Hong Lee mencapai puncaknya diantara perang
dunia I dan perang dunia II, namun lalu merosot tajam sesudah
tahun 1945 seiring dengan munculnya medium televisi. Film selalu
mempengaruhi dan membentuk warga berdasar muatan
pesan (message) di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik
yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bah-
wa film yaitu potret dari warga di mana film itu dibuat.
Film selalu merekam fakta yang tumbuh dan berkembang
dalam warga , dan lalu memproyeksikannya ke atas layar.
Graeme Turner menolak perspektif yang melihat film sebagai reflek-
si warga . Makna film sebagai representasi dari fakta mas-
yarakat, bagi turner berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi
dari fakta. Sebagai refleksi dari fakta, film sekedar “memindah”
fakta ke layar tanpa mengubah fakta itu.
Sementara itu, sebagai representasi dari fakta, film mem-
bentuk dan “menghadirkan kembali” fakta berdasar ko-
de-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya. Lalu
bagaimana penggambara fakta wanita dalam film-film Indo-
nesia? Sebelum bicara film Indonesia, ada fenomena menarik dari
penggambaran wanita dalam film-film Amerika dalam dasawar-
sa ini.
Danarto- seorang seniman mengatakan, ada trend baru da-
lam Film Amerika yang mempertontonkan ketegaran wanita .
Paling tidak dalam satu dasawarsa ini, Hollywood mengembangkan
kharakter wanita yang lebih adil terhadap wanita .
Kondisi itu dimulai dengan film Fatal Attraction yang berceri-
ta tentang pemberontakan seorang wanita mengenai perlakuan
terhadap wanita yang hanya dijadikan objek seks laki-laki.
Menurut Danarto, film ini cukup mengejutkan yang berupaya
mengingatkan laki-laki untuk berhati-hati terhadap WIL (wanita
idaman lain). Lalu disusul film ’Basic Instinc’, dimana tokoh perem-
puannya bisa melakukan pembunuhan terhadap teman kencannya.
Sedang dalam Film ’Disclosure’ tokoh wanita nya memperkosa
karyawan pria bawahannya. lalu dalam Film ’Sleepless in Se-
attle yang lebih romantis, tokoh wanitanya mampu menyelamatkan
rumahtangga seorang ayah dengan anak laki-lakinya.
Disusul film While You’re Sleeping yang juga romantis, dima-
na si wanita buruh kereta api sanggup memilih lelaki idealnya
yang berbeda dari pilihannya semula. Dan juga dalam film The Net
yang tegang yang mengokohkan seorang wanita ahli komput-
er yang diburu penjahat yang sama keahliannya, dan sang tokoh ini
mampu menang.
Sampai lalu muncul film tentang wanita yang cuk-
up berpengaruh di Amerika dan di dunia ’Dangerous Minds’ karya
John Smith. Film ini kisah nyata seorang guru Lounanne Johnson di
sebuah SMA di Amerika yang siswanya berandalan dan tak mau dia-
tur. Guru yang tegar itu dimainkan oleh Michele Pfeiffer yang digam-
barkan bisa mengendalikan keadaan lewat barisan puisi.
Lalu Bagaimana dalam konteks Film Indonesia? Film di era
Orde Baru banyak ditempatkan dalam konteks budaya patriarki, per-
empuan ditempatkan dalam posisi lemah sebagai objek permainan
laki-laki khususnya dalam hal seksual. Dan film terus menerus men-
jadi lahan perjuangan kesetaraan gender khususnya di era reformasi.
Ada yang menganggap bahwa perjuangan kesetaraan gender
membuat sulit posisi laki-laki. Beberapa anggapan menerka bahwa
ini yaitu tanggapan atau reaksi dan penjajahan atas peran
dan kedudukan laki-laki yang selama ini selalu kuat. Padahal pema-
haman wacana gender tidak sesederhana itu.
Kesetaraan gender memiliki definisi yang jamak, tergantung
pada setiap pribadi yang memaknainya sesuai tujuan dan kasusnya.
Kesetaraan bukanlah mengambil posisi suami sebagai kepala rumah
tangga, kesetaraan bukan pula memposisikan wanita berada di
atas laki-laki. Kesetaraan bukan bicara ambisi perebutan kekuasaan,
kesetaraan gender mengupas mengenai hak sebagai manusia. Sayan-
gnya ini tidak muncul dalam sinetron-sinetron di Indonesia.
Film dan Sinetron yaitu media hiburan yang memiliki efek
kultivasi yang sangat kuat. Terlebih lagi daerah-daerah kecil di
Indonesia hanya bisa mengakses dua stasiun TV raksasa yang sangat
terkenal dengan “TV sinetron” nya itu. Dengan pertimbangan hampir
seluruh penduduk Indonesia banyak di daerah maka semakin ban-
yak terpengaruh oleh sinetron.
Begitulah media, sadar atau tidak sering kali penontonnya
dibius oleh konflik-konflik yang dianggap fakta sesungguhnya.
Cerita dalam sinetron ini menjadi ramai akan kisah poligami,
suami yang berselingkuh, wanita rumah tangga yang tidak pro-
duktif, wanita yang membawa masalah, wanita yang harus
menerima suaminya berselingkuh dan sebagainya
namun kondisi ketimpangan yang biasanya melekat dalam film
atau sinetron Indonesia ini tidak terlihat dalam film wanita ber-
kalung Sorban dan Sinetron Suami-Suami Takut Istri ini. Sitkom yang
digarap oleh rumah produksi Multivision Plus ini, disutradarai oleh
Sofyan De Surza.
Film wanita Berkalung Sorban ini berhasil mencuri per-
hatian Meutia Hatta. Menteri Pemberdayaan wanita (Meneg
PP) ini mengaku bangga dan mengutarakan apresiasinya terhadap
film yang menceritakan permasalahan yang dihadapi wanita
Indonesia ini . “Film yang sangat bagus, film ini perlu ditonton
apalagi akting para pemainnya yang sangat baik, rasanya tidak kalah
dengan film-film luar negeri,” ujar Meutia dalam konferensi pers usai
menyaksikan film bersama para aktivis wanita di Jakarta, awal
2009..
Film garapan sutradara Hanung Bramantyo ini diproduksi
oleh Starvision dan diangkat dari Novel karya Abidah Al Khalieqy
yang mengisahkan perjuangan dan pengorbanan seorang muslimah
bernama Annisa.
Meutia mengatakan film ini berhasil mengangkat kasus
riil warga di mana wanita tertindas dan mengalami
diskriminasi akibat penafsiran ajaran agama yang salah. “wanita
tidak boleh tertindas, sebab saat dia tertindas akan muncul berag-
am akibat yang sangat ekstrim,” kata Methia.
Dalam Film ini dikisahkan Anissa (Revalina S Temat) yaitu
putri Kyai Hanan (Joshua Pandelaky) dan hidup di lingkungan kelu-
arga pesantren Salafiyah Putri Al Huda, Jawa Timur, yang konserva-
tif. Dalam pandangan sang kyai, ilmu sejati yang benar hanyalah Al
Quran, Hadist, dan Sunnah sedang pengetahuan di luar ketiga itu
seperti keinginan mendapatkan pendidikan dan buku-buku bacaan
modern dianggap menyimpang.
Meutia mengatakan media film yaitu alat efektif untuk men-
yampaikan pesan-pesan positif tentang hubungan yang setara antara
laki-laki dan wanita . Ia berharap melalui film, isu dan persoa-
lan tentang wanita diperhatikan serius oleh banyak kalangan.
“Dari film ini kita bisa melihat apa yang salah untuk lalu kita
luruskan, supaya wanita Indonesia lebih maju da bisa bersaing
di tingkat internasional,” katanya.
Didukung oleh Otis Pamutih se-
bagai Sarmili (Pak RT), Aty Fathiyah se-
bagai Sarmila (Bu RT), Marissa sebagai
Sarmilila, Irvan Penyok sebagai Karyo,
Putty Noor sebagai Sheila, Yanda Djai-
tov sebagai Tigor, Asri Pramawati se-
bagai Welas, Ramdan Setia sebagai
Faisal, Melvy Noviza sebagai Deswita,
Epy Kusnandar sebagai Mang Dadang,
Desi Novitasari sebagai Pretty dan Ady
Irwandi sebagai Garry.
Suami-suami Takut Istri mengangkat fenomena suami-suami
yang tinggal di suatu area perumahan. Mereka semua memiliki kes-
amaan yaitu berada di bawah dominasi istri-istri mereka. Perasaan
‘senasib sepenanggungan’ ini tumbuh makin kuat, sehingga mereka
membentuk aliansi tidak resmi bagi suami-suami yang takut istri ini.
Bila ditarik lewat konsep-konsep komunikasi, film ini berupaya
menampilkan fakta sosial yang ada lalu dinterpretasi ulang
sebagai konstruksi media, khususnya media televisi. Terkait dengan
konsep Konstruksi fakta tidak terlepas dari pendapat Peter L Berg-
er soal itu.
KONTRUKSI fakta SOSIAL
Peter L. Berger dan Thomas Luckman memperkenalkan konsep
konstruksionisme melalui tesisnya tentang konstruksi atas fakta.
Teori konstruksi sosial Peter L. Berger menyatakan bahwa, fakta
kehidupan sehari-hari memiliki dimensi subjektif dan objektif. Ma-
nusia yaitu instrumen dalam menciptakan fakta sosial yang
objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia mempen-
garuhinya melalui proses internalisasi (yang mencerminkan reali-
tas subjektif). warga yaitu produk manusia dan manusia
yaitu produk warga . Baik manusia dan warga saling
berdialektika diantara keduanya. warga tidak pernah sebagai
produk akhir, namun tetap sebagai proses yang sedang terbentuk.
Menurut Berger dan Luckman konstruksi sosial yaitu pem-
bentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial.
fakta sosial menurut keduanya terbentuk secara sosial dan sosi-
ologi yaitu ilmu pengetahuan (sociology of knowlodge) untuk
menganalisa bagaimana proses terjadinya. Dalam ini pemahaman
“fakta” dan “pengetahuan” dipisahkan.
Mereka mengakui fakta objektif, dengan membatasi real-
itas sebagai “kualitas” yang berkaitan dengan fenomena yang kita
anggap berada diluar kemauan kita sebab fenomena ini tidak
bisa ditiadakan. sedang pengetahuan didefinisikan sebagai ke-
pastian bahwa fenomena yaitu riil adanya dan memiliki karakter-
istik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam kenyata-
anya, fakta sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran seseorang
baik di dalam maupun diluar fakta ini . fakta memiliki
makna saat fakta sosial ini dikonstruksi dan dimaknakan
secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan fakta
ini secara objektif.
Dari kedua film ini, sengaja hendak dikonstruksikan bahwa
kondisi wanita di Indonesia yaitu kuat dan berkuasa, padahal
dalam praktiknya kondisinya tidak seromantis itu. Kondisi di lapa-
ngan, masih banyak wanita yang mendapat perlakuan terlece-
hkan oleh laki-laki. Begitu juga dalam film wanita Berkalung
Sorban, banyak kekurangan dalam film itu yang dianggap tidak bisa
menggambarkan kondisi faktual yang ada di tengah warga .
Kedua film itu justru mengkonstruksi fakta semu- se-
buah utopia yang hendak ditanamkan di tengah warga bahwa
ada kekuatan terpendam dari wanita -wanita Indonesia
yang tidak bisa diabaikan begitu saja. wanita Indonesia dikon-
struksikan sebagai pihak yang mampu mengalahkan dominasi pria
sebagai mana ditunjukan oleh peran Anisa dan beberapa wanita
dalam Suami-Suami Takut Istri. Sebagai produk dagangan, dimana
ada kasus untung rugi –baca kapitalisme--, kasus kebutuhan
pasar bisa menjadi pertimbangan utama ketimbang idealisme. Saat
publik Indonesia mabuk dengan film-film yang bernafaskan Islami,
dan memfilmkan novel-novel Islami seperti Ayat-Ayat Cinta, maka
film wanita Berkalung Sorban ini muncul dan terbukti sukses.
Film ini cukup kontroversial sebab dianggap bertentangan dengan
dunia pesantren.
Apakah peristiwa yang menimpa tokoh Annisa di film perem-
puan berkalung sorban yaitu gambaran lazim kaum wanita
di lingkungan pesantren? Tentu tidak! sebab ini bukanlah
kondisi umum yang dapat ditemui di pesantren. Tokoh ayah (Josh-
ua Pandelaky) dalam film ini sangatlah berlebihan, sehingga
memberi keraguan pemirsa apakah orang seperti itu benar ada di
alam nyata?
Ayah Annisa dalam film ini , sama sekali bukan tipe seo-
rang ayah Islami yang di idamkan Islam. Seorang ayah Islami harus-
nya bertutur sapa dengan lembut terhadap anak-anaknya dan mem-
bimbing keluarganya, bukan malah menjerumuskan anaknya untuk
menikahi pemuda pemabuk yang rusak ahlak hanya demi kemajuan
pesantrennya. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, film wanita
berkalung sorban dalam beberapa dialog membawa dalih Islami se-
bagai jawaban terhadap protes Annisa, seperti masalah Poligami dan
hak wanita. Seolah-olah Islam menjustifikasi penindasan yang di ala-
mi Annisa dan kaum wanita secara umum.
Marshall Berman yang menyitir Marx, melukiskan bahwa da-
lam wacana kapitalisme ”semua yang padat melebur di udara” art-
inya, semua yang diproduksi oleh kapitalisme pada akhirnya akan
didekonstruksi oleh produksi baru berikutnya berdasar hukum
kemajuan dan kebaruan.
Namun kini dalam wacana kapitalisme mutakhir yang
didukung oleh Media, fakta-fakta diproduksi mengikuti mod-
el-model yang ditawarkan media. Film dan sinetron bahkan acara
televisi disarati oleh muatan-muatan ’makna ideologis-ideologis
tersembunyi’ yang menurut Theodore Adorno muncul semata-ma-
ta lewat acara atau suatu cerita memandang manusia. Pemirsa atau
penonton dalam ini diundang untuk melihat sebuah karakter
dengan cara yang sama ia melihat dirinya tanpa menyadari bahwa
sebenarnya telah terjadi indoktrinisasi. Sifat simulasi dalam film dan
sinetron telah mampu menyuntikan makna-makna yang seolah-olah
ada, walau sebenarnya hanya sebuah ’fantasi’ sebuah fakta
semu.
Bagi Guy Debord, wacana kapitalisme mutakhir telah mengu-
bah wajah dunia menjadi tak lebih dari sebuah ’panggung tontonan
raksasa’ yang dihuni oleh warga yang haus tontonan -mas-
yarakat tontonan-. Semua komoditas menjadi tontonan dan tontonan
menjadi komoditas. Rangkaian tontonan –tontonan yang disuguhkan
film– sebagai bagian dari media mass a kapitalis mutakhir, menurut
Baudrilard telah menyulap individu menjadi sekumpulan ’mayoritas
yang diam’.
Bagaikan sebuah kekuatan sihir yang sangat dhasyat, media
menjadikan massa yang diam ini menjadi layaknya sebuah layar rak-
sasa yang segala sesuatu termasuk juga tayangan kedua film ini
mengalir melalui mereka, segala sesuatu menarik mereka bagaikan
sebuah magnet namun tidak ada bekas, tidak meninggalkan nilai-
nilai luhur.
Film-film wanita Berkalung Sorban dan Film Suami-Sua-
mi takut istri akhirnya tak lebih dari tontonan yang menawarkan
pundi-pundi kejayaan bagi kapitalisme mutakhir, walau ada
nilai-nilai yang mereka coba suguhkan, namun realita ini bukan realita
sungguh-sungguh. Film menjadikan fenomena wanita perkasa
hanyalah mitos yang tidak benar-benar terjadi.