tkan
dirinya, ia mengajak kedua anak-anak lelaki, Man dan Manu, untuk
bergabung dan ngobrol dengannya.
sesudah kami berdiam selama beberapa hari, kelompok ini mulai tidak
bisa tenang. Pada hari pertama tenang-tenang saja: tidak seorang pun
yang berani berbicara, karena mereka takut harimau dan gajah yang
banyak berkeliaran di dataran tinggi itu. Pada hari ke lima, persediaan
beras kami habis dan kami segera turun dari dataran tinggi.
~ 164 ~
sesudah kami sampai di dasar, kami berhenti sejenak untuk beristirahat.
Seseorang yang bekerja untuk orang barat melihat kedatangan kami
dan ia membentang tikar untuk aku duduk. Aku tidak menerima
tawarannya, kemudian ia mengundang Phra Palat Sri untuk duduk di
tikar, dan ia menerimanya. Tak beberapa lama kemudian terdengar
suara guntur, padahal langit cerah, kemudian sesudah itu ranting pohon
terdekat jatuh hampir menimpa kepala Phra Palat Sri. Phra Palat Sri
mukanya pucat, ia meloncat dari tempat duduknya. Aku berkata
kepadanya, “Itulah yang terjadi pada orang-orang tidak melakukan
pengendalian diri.” Sejak saat itu Phra Palat Sri menjadi orang yang
pendiam.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan dan bermalam di sekolah
dekat Phaa Nok Khao. Para pengikutku sudah kelelahan. Saat malam
telah larut, dalam keheningan, aku mendengar bunyi orang menyelinap
masuk ke dalam hutan, maka keesokan paginya, aku bertanya
kepada para bhikkhu apa yang mereka lakukan kemarin malam, dan
diberitahu, “kami mengambil gula aren bhante. Kami telah membawa
sepanjang hari, tetapi belum pernah meminumnya, maka semalam
kami merebusnya dengan air dan minum sampai habis.”
Selesai menyantap makanan, kami berangkat menembus hutan rimba.
Sebelum berangkat, aku bertekad, “aku akan mengendarai kendaraanku
sendiri menuju daerah Chumphae,” yang berjarak delapan puluh
kilometer. “Aku tidak akan menerima ajakan naik mobil atau truk. Aku
akan mencari kesunyian di dalam hutan.” Beberapa menit kemudian,
sesudah kami berjalan sejauh beberapa kilometer, deruman suara
mobil mendekat dan berhenti sekitar dua ratus meter di depan kami.
Seorang wanita datang ke arah kami dan berkata, “bhante, mohon ikut
menumpang mobil. Kami baru saja membelinya.”
~ 165 ~
Aku melihat muka para pengikutku. Mereka semua ingin menumpang
mobil, tetapi aku tidak setuju. Wanita itu terus memohon, tetapi aku
tetap tidak menerimanya.
Kami berjalan terus – mangkuk patta dan payung tergantung di pundak
kami – menembus panas dan matahari. sesudah berjalan sekitar empat
kilometer, aku melihat kuil pemujaan di depan, dan memutuskan
untuk beristirahat dan menjelajahi gua-gua di sana. Seorang wanita
datang dengan seorang anak kecil dalam pelukannya dan tiga ekor
kadal tergantung di pundaknya, yang dia letakan dekat tempat aku
beristirahat. Aku berniat untuk meminta seekor kadal, tetapi tidak
berani untuk mengatakannya.
sesudah aku beristirahat sebentar, truk pengirim barang dari Loei
melewati, dengan Nai Man dan Phra Palat Sri duduk di dalamnya.
Supirnya berhenti, loncat turun dari truk dan lari menuju aku. “Aku
melihat bhante jalan kaki sepanjang jalan ini selama beberapa hari,”
ia berkata. “Mohon ikut denganku.” Ia membujukku selama beberapa
menit, dengan berkata, “aku tidak akan meminta ongkos, begitu juga
dengan anak-anak itu.” Salah satu pengikutku telah menaiki; yang
satunya siap-siap naik. “Terima kasih,” jawabku “tetapi kami tidak
bisa menerima ajakan Anda.” Maka pengikutku yang sudah berada di
dalam truk harus turun.
Kami berjalan memasuki hutan Laan, area yang merupakan hutan
perawan. Sekitar pukul 5.00 sore, Phra Palat Sri terserang sakit disentri,
maka aku mengijinkan ia untuk naik mobil dan menunggu kami di
Chumphae. Nai Man tidak bisa berjalan lagi – ia berjalan terseok-
seok – maka aku mengijinkannya untuk menumpang kendaraan ke
Chumphae dan menunggu kami di sana juga. Jadi hanya tinggal kami
bertiga, yaitu aku, Phra Juum dan Nai Manu, seorang anak lelaki dari
Uttaradit.
~ 166 ~
Kami mencapai lokasi peristirahatan– desa yang bernama Baan Krathum
– malam, sekitar pukul 8.00. Kami kesulitan mencari tempat tinggal,
dan akhirnya kami berkemah di dalam hutan kecil dekat dengan air.
Besok paginya, kami berpindapatta di desa tersebut, Selesai makan,
kami melanjutkan perjalanan.
sesudah kami berjalan sekitar satu kilometer, matahari bersinar sangat
terik sehingga kami berhenti sebentar untuk beristirahat di keteduhan.
Pada sekitar pukul 5.00 sore langit menjadi gelap dan membahayakan.
Sepertinya akan hujan. Nai Manu tidak ingin bermalam di dalam hutan,
Maka ia minta naik mobil ke Khon Kaen, tetapi saat ia melambaikan
tangan untuk menghentikan kendaraan, tidak ada seorang pun yang
menghentikan kendaraan. Tidak lama kemudian badai menerjang,
dengan angin kencang dan hujan. Anak laki-laki itu mencari rumah
terdekat untuk berlindung. Kemudian malamnya atap rumah itu
terbang oleh hembusan angin kencang.
Sementara itu, Phra Juum dan aku berjalan terus, mencari tempat
berlindung di sepanjang jalan. Aku melihat pondok dengan luas satu
kali dua setengah meter, dan tertutup rerumputan. Hujan sangat deras
dan angin bertiup kencang mematahkan ranting-ranting pohon, maka
aku memanggil Phra Juum dan kami berlindung di dalam pondok. Phra
Juum membuka tenda payungnya dan beristirahat separuh bagian
atap. Aku juga beristirahat separuhnya. Hembusan angin kencang
menerjang atap di mana Phra Juum beristirahat, terbang ke tengah-
tengah sawah. Tidak lama kemudian sebatang pohon tumbang. Phra
Juum berlari menuju separuh pondokku. Melihat kami tidak bisa tinggal
lebih lama lagi, kami berlari menuju rimbunan semak-semak yang
memberikan kami cukup tempat untuk menundukan badan, menggigil
dan kedinginan, selama sekitar satu jam sampai hujan berhenti dan
angin berhenti berhembus. Jubah dan barang-barang kami basah
~ 167 ~
kuyub. Kami berjalan dan menemukan pondok lain, menyalakan api
dan bermalam di sana. Malamnya hujan turun lagi.
Keesokan harinya, anak laki-laki itu tidak mampu berjalan lagi, jadi
kami menyuruhnya menumpang kendaraan dan menunggu kami di
Chumphae, meninggalkan kami berdua, Phra Juum dan aku melanjutkan
berjalan kaki. Sekitar pukul 5.00 sore, kami tiba Chumphae. Penyakit
disentri Phra Palat Sri belum sembuh – mukanya pucat pasi – karena
itu kami menetap di Chumphae hingga ia sembuh.
Aku menerima kabar bahwa tanggal upacara kremasi jenazah Somdet
telah ditetapkan dan akan segera dilangsungkan, maka aku naik kereta
api cepat dari Khon Kaen ke Bangkok. Waktu itu bulan Juni tahun
1956.
~ 168 ~
Setibanya di Wat Boromnivasa, aku mendengar bahwa pihak vihara
telah berkonsultasi mengenai upacara kremasi jenazah Somdet. Pada
hari itu, dilangsungkan pertemuan sebelas orang bhikkhu senior untuk
menunjuk panitia upacara kremasi, sesudah itu mereka melanjutkan
pertemuan dengan Perkumpulan Isaan di Green Hall. Sekitar seratus
orang anggota perkumpulan hadir, dipimpin oleh Nai Lyan Buasuwan.
Ketika aku sampai di Green Hall, aku melihat Chao Khun Dhammapitok
dan Chao Khun Dhammatilok turut ambil bagian dalam pertemuan
itu, tetapi mereka diam seribu bahasa. Yang aku dengar hanya suara
Dokter Fon Saengsingkaew. Aku berdiri dan mendengarkan dari luar,
tetapi tidak suka dengan yang apa aku dengar. Mereka merencanakan
penggalangan dana atas nama Somdet untuk membangun rumah sakit
jiwa bagi Dokter Fon di Ubon.
Kemudian aku masuk ke dalam ruang pertemuan, duduk dan memohon
diri untuk berpendapat, “permasalahan yang sedang kalian diskusikan
sungguh menyedihkan aku. Aku merawat Somdet selama tiga tahun,
dan sekarang sudah lebih dari seratus hari sejak beliau meninggal,
namun dengan semua ajaan dan anggota perkumpulan yang berada
di sini, aku belum mendengar ada yang menyebutkan rencana
upacara kremasi. Aku paham kalian menganggarkan tujuh ratus ribu
Baht untuk rumah sakit, tetapi aku belum mendengar juga ada yang
Bagian 21
~ 169 ~
mengatur anggaran untuk Somdet. Hal ini membuat aku benar-benar
sedih, inilah penyebab aku mohon ijin untuk berbicara.”
sesudah aku selesai, Dokter Fon langsung berkata, “aku telah menemui
Panglima Tertinggi Phin untuk memberitahukan bahwa kita tidak
punya cukup uang untuk membangun rumah sakit, dan oleh karena
itu aku berniat menggalang dana sehubungan dengan upacara
kremasi tersebut, sehingga dana yang diterima akan meningkat. Ia
menyetujuinya, dan berdana sebesar sepuluh ribu Baht sendiri. Itulah
alasan aku membawa permasalahan ini ke dalam pertemuan.”
Kemudian aku menjawab, “aku tidak tahu urusan itu. Yang aku tahu
kita ada di sini bukan untuk membahas rumah sakit. Kita bertemu
untuk membahas masalah jenazah.”
Mendengar ini, Dokter Fon bangun dan ke luar dari ruang pertemuan.
Nai Lyan duduk diam sejenak, kemudian berkata, “mengenai masalah
ini. Apa yang ajaan-ajaan sarankan?” Chao Khun Dhammatilok, Chao
Khun Nyanarakkhit dan yang lainnya semua duduk terdiam. Nai Lyan
bertanya sekali lagi, “Apa yang ajaan-ajaan sarankan agar dapat kami
lakukan?”
Kemudian aku menjawab, “sesungguhnya aku tidak menentang
pembangunan rumah sakit, tetapi aku merasa pembahasan mengenai
rumah sakit dibahas sesudah kremasi, karena jasad Somdet masih
terbaring dan mengeluarkan aroma tidak sedap ke seluruh ruangan,
dan karena itu harus diperhatikan terlebih dahulu.”
sesudah aku menyelesaikan kata-kataku, Khun Nai Tun mengangkat
tangan tanda persetujuan dari belakang.
Akhirnya kami meminta sekretaris untuk mencatat tiga point hasil
~ 170 ~
pertemuan:
Penggalangan dana digunakan untuk upacara kremasi, sampai 1)
panitia yang bertanggung jawab merasa cukup.
Jika ada kelebihan uang, panitia akan mempertimbangkan untuk 2)
memberikan kelebihan tersebut untuk rumah sakit.
Jika panitia melihatnya tidak pantas, maka uang itu tidak perlu 3)
diberikan pada rumah sakit.
Ketika ketiga point tersebut dicatat, seseorang bertanya, “siapa yang
akan melaksanakan upacara kremasi?”
Tidak ada satu pun dari para bhikkhu yang menjawab, kemudian aku
menjawab mewakili mereka, “para bbhikkhu dari Wat Borom.”
MahaWichien, yang bekerja di Departemen Kebudayaan, berkata.
“bhante-bhante sekalian. Jika bhante melaksanakan upacara kremasi,
bagaimana nanti bhante mengurus keuangan?”
Aku menjawab, “aku memiliki banyak tangan. Aku hanya khawatir
dana yang terkumpul tidak mencukupi. Aku tidak mengerti bagaimana
cara mengurus keuangan, tetapi aku memiliki pengikut yang dapat
melakukannya.”
Jawaban tersebut membuat MahaWichien terdiam.
Pada akhirnya kami memutuskan untuk membubarkan panitia
sebelumnya dan membentuk panitia baru dipimpin oleh Chao Khun
Dhammapitok. Pertemuan kemudian ditangguhkan.
Keesokan paginya aku melewati kamar Chao Khun Dhammapitok
dan ia memanggilku masuk ke kamarnya. “Ada beberapa hal yang
ingin aku katakan kepada bhante perihal Somdet.” Ia berkata. “Aku
~ 171 ~
merahasiakannya dan tidak memberitahukan orang lain.” Lalu
ia melanjutkan, “sebelum meninggal Somdet berpesan: aku yang
bertanggung jawab pada upacara kremasi sesudah beliau meninggal;
menyerahkan semua barang kepunyaannya kepadaku; dan
memberitahu kepadaku untuk membantu mengurus para bhikkhu dan
samanera di Wat Borom.”
Aku berkata kepadanya, “senang mendengarnya.” sesudah itu kami
mengadakan pertemuan diantara para bhikkhu di Wat Borom, dimana
pesan Somdet diumumkan. Kemudian Chao Khun Dhammapitok
menerima tanggung jawab menjalankan upacara kremasi dan
mengurus vihara secara keseluruhan.
Sebelum meninggalkan pertemuan, aku bicara terus terang. “Aku
mohon maaf, tetapi kemarin aku sangat kecewa sehingga aku tidak
dapat menahannya. Ketika Somdet masih hidup tidak seorang pun yang
membicarakan soal rumah sakit beliau; sesudah beliau meninggal tidak
seorang pun membicarakan soal kremasi beliau – malah berbicara soal
rumah sakit. Jika apa yang aku katakan tidak pantas atau salah atau
menyebabkan sakit hati, aku mohon pamit dari vihara ini dan tidak
terlibat dalam upacara kremasi.”
Chao Khun Dhammapitok memohon kepadaku untuk tidak pergi dan
berkata kepadaku, “tidak ada yang salah dengan apa yang bhante
kemukakan.” Kemudian aku ikut serta dan membantu upacara kremasi
sampai selesai.
Tidak lama kemudian, upacara kremasi dilaksanakan di Wat Phra Sri
Mahadhatu, daerah Bang Khen, Bangkok. Somdet yaitu kepala vihara
pertama sejak vihara tersebut dibangun oleh pemerintah. sesudah
upacara kremasi, aku melewatkan masa vassa di Naa Mae Khao, yang
sekarang disebut Wat Asokaram.
~ 172 ~
Tempat di mana Wat Asokaram dibangun dulunya merupakan sawah
bernama WhiteMother. Pemiliknya, Sumet dan Kimhong Kraikaan,
mendonasikan sekitar dua puluh dua hektar selama periode dua tahun
– 1954 dan 1955 – dengan tujuan pembangungan vihara. Kemudian
kami membangun kamar dan dan meminta salah satu pengikutku,
Phra Khru Baitika That, untuk merawat tempat tersebut selama
ketidakhadiranku bersama dengan lima orang bhikkhu lainnya.
Demikianlah ketika vihara itu diresmikan pertama kali, sudah ada
enam orang bhikkhu yang tinggal di sana.
Pada tahun 1956, sesudah kremasi Somdet, aku pergi ke sana untuk
melewatkan masa vassa. Selama masa ini, aku mulai merencanakan
peringatan dua puluh lima abad Buddhisme pada tahun 1957 (2500
BE.). Sebenarnya aku telah merencanakannya sejak lama, sejak aku
meninggalkan hutan di Baan Phaa Daen Saen Kandaan, Chieng Mai.
Selama tahun itu, aku memikirkan peringatan dua puluh lima abad
Buddhisme, aku mengembara ke beberapa tempat. Suatu malam,
saat menetap di Gua Phra Sabai, di daerah Mae Tha, Lampang, aku
masuk ke dalam gua di belakang gua Phra Sabai dan menyalakan
serangkaian lentera minyak tanah yang aku letakan berbaris di
depan rupang Buddha. Tepat di depan rupang ada papan kayu.
Sedangkan aku, duduk di atas batu besar dan menghadap dinding
Bagian 22
~ 173 ~
gua. Aku membiarkan lentera-lentera itu menyala sepanjang malam.
Aku bertekad, “peringatan ini harus menjadi peringatan besar, tetapi
aku tidak memiliki sumber daya. Haruskah aku melanjutkannya atau
tidak? Semoga Dhamma mengilhami jawaban yang muncul dari dalam
pikiranku. Atau semoga para dewa yang menjaga negara, ajaran, dan
raja, dan para dewa yang menjaga Vihara Emerald Buddha – yang
terletak di jantung negara ini – membantu menunjukan jalan.”
Malam itu sekitar pukul 2.00 pagi, selagi pikiranku sedang beristirahat
dan tenang, terjadi peristiwa: terdengar suara gemerincing di depan
rupang Buddha. Bukan suara, suara jatuhan batu, tetapi suara pecahan
gelas. Aku diam sejenak, lalu bangun untuk melihatnya. Aku berjalan
mengelilingi sekitar tiga sampai empat meter dari tempat aku duduk.
Seluruh gua diterangi oleh cahaya – gua kecil, dengan lebar tidak
lebih dari delapan sampai sembilan meter, tingginya sepuluh sampai
lima belas meter, dan dengan lubang di atas gua mengarah ke udara
terbuka. sesudah jalan berkeliling memeriksa seluruh bagian dan tidak
melihat apa-apa, aku kembali ke tempatku semula dan melanjutkan
duduk bermeditasi.
Saat duduk, aku tertidur dan bermimpi. Sesosok dewa datang
menemuiku dan berkata, “anda tidak perlu khawatir akan perayaan
tersebut, tetapi anda harus menundanya sementara waktu. Kapan pun
anda akan melaksanakannya, perayaan tersebut akan berhasil.” sesudah
itu aku tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Aku terus menetap
di sana mengasingkan diri beberapa waktu. Kemudian sebelum aku
meninggalkan tempat itu, aku memberitahu bhikkhu-bhikkhu yang
ada di sana bahwa aku ingin mencari tiga pohon Bodhi untuk ditanam
di depan gua.
sesudah itu aku kembali ke Lopburi dan menetap di Wat Khao
~ 174 ~
Phra Ngaam. Aku tiba di sana tepat perayaan Magha Puja, dan aku
memimpin sekelompok umat awam dari Bangkok dan Lopburi untuk
upacara selama tiga hari. Aku mengajar Dhamma kepada sekelompok
prajurit berjumlah tiga ratus orang, memimpin prosesi membawa
lilin mengelilingi rupang Buddha besar, dan kemudian kami duduk
bermeditasi. Aku bertekad, “mengenai perayaan dua puluh lima abad
Buddhisme, aku tidak tahu mengapa pikiranku tetap memikirkan
perayaan tersebut.” Kemudian aku bertekad untuk memberikan seluruh
hidupku pada saat bulan purnama – tidak makan; dan memberikan
mataku; – dengan tidak tidur. Tetapi kendati aku telah berusaha, tidak
ada apa pun yang terjadi hingga langit terang.
Sekitar pukul 5.00 pagi, aku tertidur sebentar dan bermimpi: bumi
terbelah di bawah kakiku, dan memperlihatkan pecahan batu bata
bertebaran di bawah tanah. Muncul perkataan dalam diriku, “disini
lokasi relik Sang Buddha pernah disimpan, tetapi kuil tersebut hanya
tinggal pecahan batu bata. Oleh karena itu, kamu harus membantu
membangun stupa untuk menyimpan relik Sang Buddha sesudah
perayaan dua puluh lima abad Buddhisme. Jika tidak kamma lampaumu
tidak akan selesai.”
Mimpi tersebut juga diikuti dengan mimpi yang lain. Di masa lalu,
Sangha merencanakan suatu pesamuan penting di India, tetapi sesudah
kami semua setuju dengan tanggal pesamuan, aku tidak bergabung
dalam pesamuan itu. Pesamuan itu berkaitan dengan upacara perayaan
relik Sang Buddha. Perayaan ini sangatlah penting, tetapi aku tidak
bergabung di dalamnya. Jadi teman-temanku memberikan hukuman
kepadaku: “di masa depan Anda harus mengumpulkan relik-relik Sang
Buddha dan menempatkannya di stupa pada satu tempat atau tempat
yang lain, untuk kepentingan perkembangan umat Buddha di masa
yang akan datang.” Dengan mimpi itu, pemikiranku untuk merayakan
~ 175 ~
dua puluh lima abad Buddhisme semakin menguat.
Pada hari berikutnya, saat keremangan cahaya sebelum fajar, aku
bertekad, “bila upacara perayaan dua puluh lima abad Buddhisme
yang akan dilaksanakan oleh aku berhasil, semoga jumlah relik yang
ada bersamaku bertambah menjadi delapan puluh relik, sama dengan
umur Sang Buddha.” (Saat aku bertekad, relik yang ada hanya enam
puluh.) Ketika aku selesai bertekad, saat dinihari. sesudah menyantap
makananku, aku mengambil kantongku, mengeluarkan isinya dan
menghitung: Jumlahnya tepat delapan puluh relik.
Pada malam berikutnya, aku mendaki lereng gunung untuk duduk
bermeditasi di bawah rupang Buddha besar. Aku tetap terjaga
sepanjang malam, duduk bersamadhi dan melakukan meditasi jalan
mengelilingi rupang. Aku menyiapkan baki beserta bunga, lilin, dan
dupa, dan bertekad, “jika perayaan dua puluh lima abad Buddhisme
akan berlangsung sukses, semoga relik Sang Buddha datang– dari
mana saja.” Saat dinihari sekitar sepuluh relik muncul dan bercampur
dengan batu permata merah. Dengan segera aku menaruhnya dalam
kotak. Aku tidak memberitahu siapa pun, dan berpikir perayaan itu
mungkin akan berhasil.
Tahun itu – 1956 – aku kembali melewatkan masa vassa di Wat Asokaram.
sesudah masa vassa selesai, aku menerima berita bahwa tiga pohon
Bodhi sudah tumbuh di depan Gua Phra Sabai, di Lampang. Saat itu
pohon-pohon tersebut sudah setinggi empat meter dan menakjubkan
– tumbuh di atas batu.
~ 178 ~
Perencanaan perayaan dua puluh lima abad Buddhisme menjadi
semakin digiatkan selama masa vassa di Wat Asokaram pada tahun
1956. Sampai saat itu, aku belum memutuskan lokasi perayaan, karena
peristiwa ini yaitu perayaan besar, tetapi sesudah melihat-lihat aku
memutuskan, “kita harus merayakannya di sini, Wat Asokaram.”
Ada dua perayaan yang akan dijalankan, yang pertama, aku bersama
dengan umat Buddha dan yang ke dua, aku melakukannya untuk
diriku sendiri. Perayaan yang dilakukan bersama dengan umat Buddha
akan berhasil pada salah satu dari tiga tingkatan, yaitu tingkatan
rendah, menengah, atau tinggi. Pemikiran ini tidak aku beritahu siapa
pun, hanya pengamatan yang aku lakukan sendiri. sesudah perayaan
selesai, kesuksesan yang dicapai hanya pada tingkat menengah. Untuk
tingkatan tinggi, aku akan membuat perayaan payung untuk rupang
Buddha di Khao Phra Ngaam.
Perayaan yang aku laksanakan sendiri. Merayakan untuk diri sendiri
yaitu sangat baik, tetapi tidak memberikan manfaat bagi orang
banyak. Perayaan ini dapat dilakukan salah satu dari tiga cara:Tingkatan
yang paling rendah: dengan melepaskan diri dari hal-hal duniawi dan
mengasingkan diri di dalam hutan rimba selama tiga tahun sebelum
kembali ke masyarakat.
Tingkat menengah: pergi ke dalam hutan sendirian dan bermeditasi a)
Bagian 23
~ 179 ~
dengan tekun selama tiga bulan tanpa adanya kekhawatiran atau
tanggung jawab.
Tingkatan yang paling tinggi yaitu mengikat kain merah di b)
leherku selama tujuh hari. Dengan kata lain, dalam tujuh hari aku
akan mencoba untuk berbuat baik melalui salah satu jalan dari
dua jalan: (1) mencapai semua delapan ketrampilan teori (vijja)
untuk digunakan sebagai alat penyebaran Dhamma Sang Buddha.
(2) Jika aku tidak berhasil pada bagian (1), semoga pada hari ke
tujuh aku dapat melepaskan keduniawian dan tidak akan kembali
lagi. Hanya dengan cara ini aku dapat menyelesaikan kammaku
yang aku impikan dulu bersama teman-temanku.
Pada akhir tahun 1956, saat perayaan sudah mendekat, tetapi aku
telah melakukan persiapan lebih lanjut, seperti membuat amulet daun
Bodhi Sang Buddha, ditiru dari rupang yang aku lihat di Benares saat
aku melakukan perjalanan ke India. Aku mengumpulkan bahan-bahan
dasarnya dari beberapa tempat, tanah dari tempat-tempat suci Sang
Buddha di India, serpihan-serpihan relik yang didapatkan dari stupa
tua, didanakan oleh para pengikut dari berbagai propinsi – Lopburi,
Phitsanuloke, Phijit, Sukhothai, Suphanburi, Ayutthaya, Phetchabun,
Songkhla, Ubon Ratchathani, daerah Thaad Phanom, dan Bangkok. Aku
memiliki serpihan-serpihan rupang Buddha tua dari Prajinburi dan
air parita kuno yang dibuat oleh para bijaksanawan di masa lampau.
Aku mencampur semuanya menjadi satu dalam bentuk pasta bersama
dengan bubuk bunga-bunga kering dan abu kertas yang dibakar di
mana sutta-sutta Dhamma ditulis.
Menggunakan pasta ini, kami mencetak dengan dua cara (1)
memasukan pasta ke dalam cetakan, lalu membiarkannya kering; (2)
mencampur pasta dengan tanah liat, memasukannya ke dalam cetakan
dan membakarnya di dalam oven pengering. Aku berpikir, “kita harus
~ 180 ~
membuat minimal satu juta amulet.” sesudah kami menyelesaikannya
pada akhir masa vassa, tahun 1956, kami menghitung berapa banyak
yang telah dibuat. Semuanya berjumlah lebih dari satu juta seratus
amulet.
Dikeheningan larut malam, suatu gambaran aneh nampak di
hadapanku. Aku sedang duduk memasukan amulet Buddha ke dalam
cetakan ketika relik Sang Buddha datang dan memberikan petunjuk
di atas tempat tidurku. Bentuknya sama dengan amulet daun Bodhi
yang aku buat, tetapi amulet yang aku buat menggambarkan Sang
Buddha sedang membabarkan khotbah Dhammacakka – dengan kedua
tangan terangkat. Tetapi dalam gambaran, Sang Buddha meletakkan
kedua tangan di pangkuan-Nya. Aku membuat cetakan baru berpola
mengikuti gambaran dan menamakannya “Bodhicakka.” Aku masih
memiliki relik ini, dan belum disimpan untuk puja. Kemudian relik
lain berbentuk Sang Buddha sedang duduk bermeditasi juga datang.
Relik ini juga masih ada padaku.
Pada saat yang lain, ketika aku duduk bermeditasi di Lopburi saat
dikeheningan sebelum dinihari, relik Sang Buddha lain muncul; dan
pada pukul 5.00 pagi sebuah patung kecil Raja Asoka yang terbuat
dari kaca merah muda pucat gelap jatuh di hadapanku, kemudian aku
mensketsa bentuknya. Patung ini masih ada padaku.
sesudah beberapa peristiwa aneh ini terjadi, aku mengumpulkan para
bhikkhu yang merupakan murid terdekatku dan mengumumkan, “kita
akan melaksanakan upacara perayaan dua puluh lima abad Buddhisme
di sini, Wat Asokaram.” Aku mengambil keputusan terakhir ini pada
pertengahan masa vassa tahun 1956.
sesudah mengambil keputusan, aku memeriksa keuangan yang tersedia.
Jumlahnya sangat sedikit tidak lebih dari dua ratus Baht. Namun,
~ 181 ~
aku memerintahkan untuk memulai pembangunan: membangun
tenda sementara, pembuatan payung-payung upacara, dan lain-
lain. Segera sesudah kami mulai bekerja, dana mulai masuk. Ketika
kami telah menyelesaikan dua tenda, uang kami habis. Saat itu, aku
pergi ke Chanthaburi. Ketika aku kembali ke Wat Asokaram, Kolonel
Polisi Luang Wiraded Kamhaeng datang memberitahu aku, “Ajaan,
kita hampir kehabisan uang. Dari mana kita mendapatkan tambahan
lagi?”
Aku memaparkan rencana-rencana berikut untuk perayaan:
I. Tujuan-tujuan perayaan:
A.
Membuat sembilan ratus dua belas ribu lima ratus amulet Buddha •
(sesuai dengan jumlah hari dalam dua ribu lima ratus tahun) dan
meningkatkan jumlahnya hingga mencapai sejuta amulet, setiap
amulet tingginya satu inci dan terbuat dari plesteran semen atau
tanah liat bakar, akan dibagi-bagikan secara gratis kepada semua
orang yang datang dan bergabung dalam perayaan. Amulet apa
saja yang tersisa akan ditanam sebagai pondasi pembangunan
stupa.
Membuat lima rupang besar yang menggambarkan saat Sang •
Buddha mencapai pencerahan, membabarkan Dhamma pertama
(Dhammacakka), membabarkan Dhamma terakhir sebelum
parinibbana, dan saat duduk bermeditasi. (Rupang terakhir ini
akan menjadi rupang utama di aula penahbisan.)
Membuat lima ratus rupang kecil yang masing-masing terbuat •
dari perak, emas, dan kuningan, beratnya masing-masing sekitar
empat gram, yang akan ditempatkan di dalam stupa sebagai
persembahan untuk anak cucu kita.
~ 182 ~
Membiayai pengerjaan lengkap Buddhis kanon – Sutta-sutta, B.
Vinaya dan Abhidhamma –diterjemahkan ke dalam bahasa Thai
Menahbiskan delapan puluh orang bhikkhu, delapan puluh orang C.
samanera, delapan puluh orang upasaka (umat awam laki-laki
yang memakai pakaian putih dan menjalankan delapan sila),
dan delapan puluh orang anagarini (umat awam wanita yang
memakai pakaian putih dan menjalankan delapan sila). Jika
jumlah orang yang ditahbiskan melebihi jumlah tersebut, akan
lebih baik. Masing-masing orang ditahbiskan paling sedikit tujuh
hari. Upacara penahbisan akan diselenggarakan dari tanggal 12
Mei sampai dengan 20 Mei tahun 1957. Siapa saja yang berminat
untuk ditahbiskan harus memberikan informasi berikut kepada
panitia penahbisan: nama, alamat, usia, tanggal lahir, dan
kesanggupan pendaftar menyediakan keperluan-keperluan untuk
dirinya sendiri. Panitia akan membantu mencari keperluan-
keperluan tersebut bagi mereka yang tidak sanggup memenuhi
kebutuhannya sendiri. Siapa saja yang berniat untuk membantu
penahbisandipersilahkan memberitahu panitia. Biaya keperluan-
keperluan tersebut sebagai berikut: untuk upasaka dan anagarini
sebesar seratus Baht; untuk samanera sebesar seratus lima puluh
Baht; untuk bhikkhu sebesar tiga ratus Baht. Bagi mereka yang
ingin ditahbiskan dapat mendaftar di Wat sampai dengan tanggal
15 April 1957.
Ketika perayaan selesai, ada satu tujuan lagi: membangun stupa D.
sebagai peringatan keikutsertaan kita dalam perayaan penting
ini, dan untuk menempatkan relik Sang Buddha, rupang-rupang
Buddha, salinan Tipitaka dan obyek-obyek lain berhubungan
dengan Buddhisme. Stupa ini bergugus tiga belas menara yang
dibangun terdiri dari tiga tingkat, empat menara pada masing-
masing tingkat, dengan satu menara utama di tingkat paling
~ 183 ~
atas. Menara utama akan menjadi yang terbesar – lebar enam
meter persegi dan tinggi dua puluh enam meter. Menara-menara
disekeliling akan lebih kecil. Peletakan pondasi pembangunan
stupa akan dimulai sebelum perayaan dimulai. Lokasi stupa berada
di Wat Asokaram, Samut Prakaan, yang direncanakan menjadi
pusat pelatihan meditasi untuk para bhikkhu, samanera, upasaka
dan anagarini pada tahun-tahun mendatang.
II. Upacara pelimpahan jasa dilangsungkan selama perayaan.
Para bhikkhu akan membaca parita, delapan bhikkhu setiap hari A.
selama tujuh hari. Para bhikkhu duduk bersamadhi memimpin
upacara pemujaan benda-benda suci, delapan bhikkhu setiap hari
selama tujuh hari.
Lima khotbah mengenai sejarah Sangha akan dibabarkan, satu B.
khotbah per hari. Kotbah ini akan dibacakan oleh empat puluh
orang bhikkhu. Upacara ini merupakan pelimpahan jasa kepada
sanak saudara dan nenek moyang yang sudah meninggal dunia.
Makanan akan didanakan kepada lima ratus bhikkhu dan C.
samanera yang diundang untuk ikut serta dalam tujuh hari
pertama perayaan. sesudah itu, makanan akan didanakan kepada
para bhikkhu dan samanera sampai dua minggu hingga perayaan
selesai. Minggu ke dua kira-kira tiga ratus bhikkhu dan samanera
akan menerima dana makanan setiap hari.
Selama tujuh hari pertama akan diadakan prosesi lilin setiap D.
malam.
Saat Visakha Puja – 13 Mei 1957 – perayaaan akan dilaksanakan E.
untuk menempatkan objek-objek suci di pondasi stupa.
Upacara Mahayana juga akan diselenggarakan, yaitu tiga hari F.
kong tek (pelimpahan jasa kepada orang meninggal) dan khotbah-
khotbah yang searah dengan keyakinan umat Mahayana.
~ 184 ~
Akan diadakan juga upacara pelimpahan jasa sebagai tambahan kepada
mereka yang tercatat di sini.
Sebagai tambahan, tempat tinggal sementara untuk para bhikkhu dan
samanera, juga untuk para upasaka dan anagarini akan dibangun,
bersama dapur yang digunakan selama perayaan berlangsung.”
sesudah aku menulis program tersebut, kami mulai menerapkan
perencanaan setahap demi setahap. Aku menunjukkan rencana itu
kepada beberapa pengikutku. Mereka semua menggeleng-gelengkan
kepala dan berkata, “ajaan, bagaimana ajaan mendapat uang untuk
perayaan besar seperti ini?” Tetapi aku berpikir, “kita melakukan hal
baik. Orang-orang yang berhati baik pasti datang dan memberikan
bantuan. Kita tidak perlu berkeliling meminta dukungan dana.”
Ketika aku kembali dari Chanthaburi dan tanggal perayaan semakin
mendekat, rombongan orang datang untuk berdana uang. Keseluruhan
kami menerima dana mencapai seratus ribu Baht. Seseorang yang
bernama Dr. Yut Saeng-uthai, khawatir kami tidak akan mampu
menjalankan rencana-rencana itu dan atas inisiatif sendiri meminta
bantuan kepada pemerintah. Ia berbicara dengan Menteri Kebudayaan,
Jenderal Luang Sawat, yang pada saat itu tidak mengenal aku, tetapi
cukup baik hati dengan berkata, “jika bhante memerlukan uang, aku
akan mengaturnya.” Khun Ying Waad Lekhawanit-Dhammawithak
datang menceritakan hal ini. Aku menanggapinya dengan berkata,
“kami tidak memerlukan uang tersebut.”
Pekerjaan pembangunan terus berjalan dan bantuan dana terus
mengalir tanpa harus mengeluarkan permohonan dana. Yang kami
lakukan yaitu mencetak selebaran agar para pengikutku mengetahui
rencana-rencana tersebut dan jadwal perayaan.
~ 185 ~
Persiapan-persiapan di dalam vihara hampir selesai. Suni
Changkhamanon, Sawn Achakun, Thawngsuk, dan Mae Kimhong
Kraikaan bertanggung jawab dalam pembangunan sala yang akan
digunakan untuk perayaan. Melihat tempat ini kurang luas, kami
menambahkan atap jerami di empat sisi bangunan, Kolonel Luang
Wiraded bersama-sama dengan para bhikkhu dan samanera turut
membantu pembangunan. Sebagai tambahan, kami membangun
dapur sementara dan beberapa tenda sementara. Dapur berukuran
panjang tiga puluh meter dan lebar enam meter, serta beratap jerami.
ada lima tenda untuk para bhikkhu dan samanera, masing-
masing lima tenda untuk para upasaka dan anagarini. Tiap tenda
panjangnya delapan puluh meter dan lebarnya sepuluh meter dengan
beratap dan berdinding jerami. Biaya pembangunan tenda lebih dari
seratus ribu Baht; pembangunan sala, seratus enam puluh lima ribu
Baht; perbaikan jalan di sekitar vihara – dibiayai oleh Khun Ying Waad
– enam puluh ribu Baht. Total biaya pembangunan lebih dari tiga ratus
ribu Baht, dan masih banyak lagi keperluan yang harus dibeli. Uang
kami hampir habis, tetapi pada saat yang bersamaan bantuan dana
terus mengalir.10
~ 186 ~
Di bulan April, persiapan-persiapan dilakukan dengan cepat. Bhikkkhu,
samanera, dan umat awam dalam jumlah besar mulai berdatangan dari
berbagai propinsi. Jumlah orang yang mendaftar untuk penahbisan –
pria dan wanita – meningkat melebihi target yang kami tetapkan.
Pada tanggal 11 Mei 1957, kami memulai upacara penahbisan. Untuk
menahbiskan para bhikkhu, kami mengundang sejumlah penahbis:
Somdet Mahawirawong (Juan), dari Wat Makut Kasatriyaram;
Phra Phrommuni, dari Wat Bovornives; Phra Sasanasophon, dari
Wat Rajadhivasa; Phra Dhammatilok, dari Wat Boromnivasa; Phra
Dhammapitok, dari Wat Phra Sri Mahadhatu; dan Phra Nyanarakkhit,
dari Wat Boromnivasa. Sebagai tambahan, kami juga mengundang
penahbis yang merupakan sahabat lamaku atau para murid seniorku.
Upacara penahbisan ternyata menjadi acara yang sangat besar, maka
aku memberikan seluruh program itu kepada Ajaan Daeng, yang akan
membimbing bhikkhu baru sepanjang perayaan dan juga bertindak
sebagai penahbis. Sebagai tambahan, Phra Khru Wiriyang dari
Chanthaburi dan Ajaan Sila dari Sakon Nakhorn membantu menjadi
penahbis yang mempersiapkan bhikkhu baru dan mengatur keperluan-
keperluan mereka sampai akhir perayaan.
Secara keseluruhan, begitu banyak orang datang membantu keuangan
untuk upacara penahbisan, sehingga kami tidak perlu menggunakan
Bagian 24
~ 187 ~
dana vihara yang diperuntukan pada upacara penahbisan – kami
kehabisan para bhikkhu baru yang akan disokong oleh donator. Kami
harus mengumumkan lewat pengeras suara bahwa kami tidak bisa
lagi menerima dana dari para donatur untuk menyokong upacara
penahbisan.
Dana yang terkumpul dari para donatur untuk upacara penahbisan
sebesar seratus tiga puluh delapan ribu Baht. Penahbisan berlangsung
dari tanggal 11 sampai dengan tanggal 29 di bulan Mei, dan mereka yang
ditahbiskan pada tiap kategori sebagai berikut enam ratus tiga puluh
tujuh orang bhikkkhu, seratus empat puluh empat orang samanera,
seribu dua ratus empat puluh orang bhikkhuni, tiga ratus empat puluh
orang anagarini (wanita yang memakai pakaian putih, menjalankan
delapan sila, tetapi tidak mencukur rambut mereka), tiga puluh empat
orang upasaka (pria yang memakai pakaian putih, mencukur rambut
mereka dan menjalankan delapan sila), dan dua belas orang anagarika
(pria yang memakai pakaian putih, menjalankan delapan sila, tetapi
tidak mencukur rambut mereka). Seluruhnya dua ribu empat ratus
tujuh orang ditahbiskan.
Jadwal harian sepanjang perayaan berlangsung sebagai berikut: “pagi
hari: sesudah makan, 1) membaca parita penghormatan kepada relik
Sang Buddha; 2) membaca parita pemberkahan; 3) meditasi duduk.
Sore hari: 1) membaca parita penghormatan kepada relik Sang Buddha
2) membaca parita perayaan; 3) meditasi duduk atau khotbah Dhamma.
Pukul 4:00 sore istirahat. Pukul 5:00 sore berkumpul di sala; membaca
parita penghormatan kepada relik Sang Buddha; prosesi lilin; parita
penahbisan; parita untuk perayaan; meditasi duduk sampai tengah
malam. Inilah jadwal yang diikuti sampai akhir perayaan.”
~ 188 ~
Bagian 25
Selama berlangsungnya perayaan, timbul pikiran, kita harus berdana
phaa paa ke Vihara Emerald Buddha, sebagai pengganti salah satu
rencanaku yang tidak terlaksana: diawal aku mendapatkan ide untuk
pengadaan dana terpusat pada Sangha Thai, dan menyiapkan proposal
yang aku serahkan kepada Somdet Phra Mahawirawong (Juan) dari Wat
Makut. Inti proposal yaitu kami meminta setiap bhikkhu senior di
Thailand agar sukarela menyalurkan pendapatan dananya selama satu
bulan untuk membentuk pusat dana bagi Sangha Thai, sebagai tanda
mata bahwa kita telah merayakan dua puluh lima abad Buddhisme. Aku
sendiri yang akan mengumpulkan bantuan-bantuan dana tambahan
tersebut. Aku memohon kepada Somdet untuk membahasnya di Dewan
Eksekutif Sangha untuk melihat apakah mereka setuju atau tidak.
Aku sangat gembira dengan tanggapan cepat Somdet: “dengan senang
hati aku mendanakan pendapatan danaku selama sebulan. Jika ada
hal lain yang bhante perlukan untuk kepentingan perayaan, dengan
senang hati aku akan membantu.”
Aku berpikir, “inilah semangat.”
Somdet sangat menyetujui proposal tersebut dan membahasnya di
dewan eksekutif. Kemudian, aku mendengar ada sejumlah anggota
keberatan, dan akhirnya proposal ini gagal.
~ 189 ~
Oleh karena itu, aku memutuskan, lebih baik kita mendonasikan
phaa paa kepada Vihara Emerald Buddha. Aku menghubungi Puteri
Pradisathasari, dan memohon kepadanya untuk menjadi sponsor
enam belas phaa paas, salah satunya akan dipersembahkan kepada
Vihara Emerald Buddha. Dia berkata, dengan senang hati dia akan
membantu. Dia membantu kami dalam hal apa pun, bukan hanya
anggota keluarganya tetapi juga kaum bangsawan lain – termasuk
anggota Dewan Penasehat Kerajaan – juga ikut memberikan bantuan
penuh proyek phaa paas.
Maka kami bersama-sama mengumpulkan dana lebih dari tiga puluh
ribu Baht, dengan menggunakan dana tiga ratus Baht untuk setiap
phaa paas dari lima belas seluruhnya. Sisa – dua puluh empat ribu
seratus dua puluh dua koma tiga puluh Baht – kami danakan kepada
Vihara Emerald Buddha atas nama, Dana untuk perayaan dua ribu lima
ratus tahun, didanakan oleh pengikut Ajaan Lee, Wat Asokaram. Bunga dari
dana itu dapat membantu perawatan Vihara Emerald Buddha. sesudah
itu kami menerima bantuan tambahan yang kami tambahkan ke dalam
dana, total dana yang kami berikan mencapai lebih dari lima puluh
ribu Baht.
Pada tanggal 20 Mei, kami memulai prosesi perayaan, membawa
rupang Buddha, relik Sang Buddha, dan enam belas phaa paas dari
Wat Asokaram ke Vihara Emerald Buddha. Puteri Pradisathasari telah
menitahkan pejabat Rumah Tangga Kerajaan untuk menyambut kami.
sesudah prosesi mengelilingi aula penahbisan sebanyak tiga kali, Puteri
dan anggota Dewan Penasehat Kerajaan tiba untuk menerima phaa
paas. Dia memerintahkan dapur istana untuk menyiapkan makanan
bagi lima belas orang bhikkhu senior yang diundang menerima phaa
paas. Kebanyakan para bhikkhu itu berasal dari vihara-vihara yang
pernah disokong oleh Rama IV. sesudah mempersembahkan makan
~ 190 ~
siang kepada para bhikkhu, Puteri mempersembahkan lima belas phaa
paas kepada mereka.
sesudah upacara selesai, kami memulai arak-arakkan dari Vihara
Emerald Buddha ke Wat Phra Sri Mahadhatu di daerah Bang Khen
untuk menerima tunas pohon MahaBodhi di India, yang telah kami
mohon dan disetujui oleh pemerintah. Setibanya di Wat Phra Sri
Mahadhatu, kami menyelenggarakan upacara penerimaan dua tunas
pohon dan membawanya mengelilingi aula penahbisan sebanyak tiga
putaran. Lalu kami mengarahkan arak-arakkan ke Taman Buddharaksa
di Bang Bua Thawng, Nonthaburi, di sana kami melakukan upacara
penghormatan relik Sang Buddha dan pohon Bodhi.
Saat pagi hari berikutnya, tanggal 21 Mei, sesudah makan, kami
membawa rupang-rupang Buddha, relik-relik Sang Buddha, dan pohon
Bodhi dalam arak-arakan perahu dari kota GoldLotus melewati Sungai
Chao Phraya menuju dermaga dekat Kantor Propinsi di Samut Prakaan.
Di sana kami mendapatkan sambutan selamat datang yang meriah oleh
rombongan dari Wat Asokaram, beserta gubernur propinsi, karyawan
sipil dan umat Buddha lainnya.
Arak-arakkan kami berangkat dari Kantor Propinsi kembali menuju
ke Wat Asokaram, tiba di sore hari, kami diterima oleh rombongan
yang dipimpin oleh Chao Khun Amornmuni, kepala vihara propinsi
Chanthaburi. Kami memutari sala sebanyak tiga kali lalu masuk ke
tempat upacara pentahbisan dilaksanakan. sesudah bernamaskhara
kepada rupang Sang Buddha, relik Sang Buddha, pohon Bodhi dan
stupa, kami beristirahat sejenak. Pada pukul 6 sore, kami membunyikan
gong dan berkumpul di dalam sala untuk membaca parita perayaan,
parita penahbisan, dan prosesi lilin. Orang dalam jumlah yang luar
biasa banyak ikut serta pada perayaan ini.
~ 191 ~
Pagi berikutnya, tanggal 22 Mei, kami melakukan upacara penanaman
empat pohon Bodhi di Wat Asokaram – dua pohon yang kami terima dari
Wat Phra Sri Mahadhatu dan dua pohon berasal dari India. Kemudian,
pengikutku kembali dari India dengan membawa tambahan dua pohon
Bodhi yang didanakan oleh mereka kepada Wat. Seluruhnya ada enam
pohon MahaBodhi yang tumbuh di Wat Asokaram.
~ 192 ~
Perayaan terus berjalan. Pada suatu hari dana hampir habis, karena
itu panitia perayaan mengadakan pertemuan. Nang Kimrien Kingthien
dan Khun Nai Tun Kosalyawit menyiapkan surat permohonan bantuan
kepada pemerintah. Mereka membawa suratnya dan membaca dengan
suara keras. Intisarinya mereka akan meminta kepada Perdana
Menteri, Panglima Tertinggi Phibunsongkhram untuk membantu dana
lima puluh ribu Baht. Sebelum mereka selesai membaca surat, aku
menyuruh mereka melemparkan surat itu ke dalam api segera. “Jika
terjadi kekurangan makan dalam perayaan ini,” aku memberitahu
mereka, “aku bersedia kelaparan.” Kenyataannya, dana terus mengalir
dan keuangan kami tidak pernah habis.
Masyarakat berdatangan untuk menyediakan makanan bagi para
bhikkhu selama perayaan – kadang tiga hari sekali, kadang tujuh hari.
Beberapa orang membawa makanan Thai; yang lainnya membawa
makanan China. Upacara penahbisan berlangsung selama lima belas
hari, dengan Mayor Jenderal Phong Punnakan, Kepalah Bidang
Transportasi Angkatan Darat, bertindak sebagai donatur sepanjang
perayaan. Khun Ying Waad Lekhawanit-Dhammawithak mengatur
transportasi dan bingkisan untuk sepuluh orang bhikkhu China
yang datang membacakan parita selama tiga hari, dan menyediakan
makanan untuk tiga ratus lima puluh lima orang bhikkhu selama tujuh
Bagian 26
~ 193 ~
hari. Ada dua khotbah Mahayana, dan pelayanan kong tek untuk tiga
malam. Juga ada upacara loi krathong dan undian. Khun Nai Thawngsuk
Chumpairoad menyediakan makanan untuk tiga ratus orang bhikkhu
selama tujuh hari. Sebagai tambahan, beberapa orang China datang
dan membantu menyediakan makanan vegetarian untuk beberapa
hari. Masyarakat berbondong-bondong datang untuk berdana,
keseluruhannya, sebelas kali pengundangan kembali Sangha dan
donasi yang dihasilkan sebesar lima ribu Baht tiap kali pengundangan
For the most part, the kitchen didn’t have to buy much. Most things
were provided by donors. As a result, the kitchen spent no more than
5,000 baht for food each day. My followers all helped to the full extent
of their abilities.
Diatas semuanya, orang-orang berdatangan mendanakan gelas,
piring dan cawan, beras, kayu bakar, arang kayu – semuanya – ke
dapur perayaan. Keseluruhan, dapur tidak perlu membeli macam-
macam. Kebanyakan telah disediakan oleh donatur. Hasilnya, dapur
menghabiskan tidak lebih dari lima ribu Baht untuk makanan setiap
hari. Semua pengikutku membantu dengan segala kemampuan yang
mereka miliki.
Di bagian kesehatan, kami menerima bantuan dari Jenderal Thanawm
Upathamphanon, Kepala dokter Angkatan Darat, dan istrinya, Khun
Ying Sutjai, yang mengirimkan para dokter dan perawat selama
perayaan dengan menyediakan perawatan medis bagi mereka yang
memerlukannya. Dan untuk bagian keamanan, Kolonel Polisi Sudsa-
nguan Tansathit, Kepala Departeman Kepolisian, mengirim polisi
lalu lintas dan satu unit mobil pemadam kebakaran untuk membantu
selama perayaan.
Waktu terus berlalu dan segala sesuatu berjalan dengan baik.
~ 194 ~
Keuangan tidak menjadi masalah, jadwal harian berlangsung sesuai
dengan rencana, upacara penahbisan berlangsung setiap hari, dan
cuaca juga mendukung. Tidak terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak
menguntungkan, kecuali beberapa kejadian-kejadian kecil yang tidak
perlu disebutkan.
Pada tanggal 13 Mei, saat Visakha Puja, beberapa donaturdonatur
mencetak empat rupang Buddha, masing-masing lebarnya delapan
puluh cm. Khun Ying Waad mencetak dua rupang; Phraya Lekhawanit-
Dhammawithak, satu rupang; dan Colonel Luang Wiraded Kamhaeng
beserta istrinya, Khun Nai Noi, satu rupang – dengan biaya per rupang
enam ribu tujuh ratus Sembilan puluh Baht. Nai Kuanghang Sae Hia,
beserta istri dan anak-anaknya, berdana rupang ke lima yang mereka
cetak pada saat Magha Puja dengan biaya tiga puluh empat ribu Baht,
termasuk biaya perayaan. Wat tidak perlu mengeluarkan uang untuk
mencetak rupang-rupang ini. Para donaturdonatur menutup semua
biaya-biayanya, dengan total lima rupang sebesar enam puluh satu
ribu seratus enam puluh Baht.
Untuk acara hiburan selama perayaan, tidak ada satu pun yang
memerhatikannya karena kebanyakan orang-orang datang untuk
ambil bagian dalam kegiatan keagamaan. Sekelompok pengikutku yang
beretnik China membawa kelompok opera China untuk melakukan
pertunjukan selama tiga malam. Wari Chayakun dari Haad Yai
membawa kelompok drama tarian Manora dan pertunjukan boneka
sepanjang perayaan, Dua layar tancap telah disiapkan, dan kelompok
penyanyi maw lam dari timur laut datang melakukan pertunjukan
semalam dan kemudian harus menghentikan pertunjukannya karena
tidak ada yang tertarik. Tidak satu pun pertunjukan tersebut dibayar
oleh kami, karena sekelompok pengikutku telah menyokong atas
inisiatif mereka sendiri.
~ 195 ~
Kami melanjutkan merayakan upacara dengan membaca parita, prosesi
lilin, latihan meditasi dan khotbah. Kami mengundang sejumlah
pemimpin vihara senior, seperti Somdet Mahawirawong dari Wat
Makut dan Phra Sasanasophon, untuk berkhotbah Dhamma. Sebagai
tambahan, kami juga menyiapkan khotbah Dhamma, sebagian olehku,
dan beberapa oleh Ajaan Tyy. Kegiatan ini berlanjut sampai tanggal 29
Mei 1957.
Pada akhir perayaan, pembukuan yang tertera sebagai berikut:
Total pendapatan : 840.340.49 Baht
Total biaya : 533.326.75 Baht
Sisa pendapatan : 307.013.74 Baht
Semua uang ini berasal dari mereka yang berdana atas inisiatif
mereka sendiri. Sebagai tambahan, kami juga menerima dana tidak
langsung – seperti donatur penahbisan yang menyediakan keperluan
pribadi mereka sendiri – yang ditangani oleh panitia bagian keuangan.
Pemanggilan kembali Sangha, dana makanan kepada para bhikkhu,
bingkisan untuk para bhikkhu yang membacakan parita, pencetakan
rupang Buddha, pembangunan sala, perbaikan jalan menuju Wat,
pelayanan Sangha Mahayana: semuanya ini yaitu dana tidak
langsung, secara keseluruhan, perkiraan kasar kami sejumlah lebih
dari tiga ratus ribu Baht.
Semua bhikkhu dan umat awam yang bergabung dalam perayaan
berasal dari empat puluh lima propinsi.
Dengan demikian, perayaan dua puluh lima abad Buddhisme selesai.
sesudah itu, sebelum masa vassa, donatur lain – Nai Thanabuun
Kimanon, beserta istri dan anak-anaknya – mencetak rupang Buddha
~ 196 ~
dan didonasikan kepada Wat untuk merayakan dua ribu lima ratus
tahun B.E, dengan biaya tujuh puluh lima ribu Baht. Rupang itu setinggi
dua meter. Mereka juga membangun podium untuk menyelenggarakan
upacara-upacara perayaan, ditambah biaya pembuatan rupang, total
semuanya lebih dari seratus lima puluh ribu Baht.
Beberapa bhikkhu, samanera, dan ayya yang ditahbiskan selama
perayaan menetap untuk menjalankan masa vassa, melanjutkan
memelajari Dhamma bersama-sama. diakhir masa vassa banyak di
antara mereka pulang ke rumah, walaupun ada beberapa dari mereka
yang masih ditahbiskan. Sedangkan aku, sesudah masa vassa usai,
aku mengunjungi tempat-tempat sahabat dan pengikutku yang ikut
berpartisipasi dalam perayaan.
Kemudian aku pergi ke Lampang, dengan harapan membangun
stupa di gua Phra Sabai. (harapan ini timbul ketika aku melihat tiga
pohon Bodhi yang tumbuh di sana, dan membuat aku sangat gembira.
Sekarang pohon-pohon tersebut sudah tinggi.) Chao Mae Suk dari
Kerajaan Lampang, beserta Khun Nai Kimrien Kingthien, Mae Liengtao
Janwiroad dan rombongan umat awam pria dan wanita bahu membahu
bersama dengan sekelompok pengikutku – umat awam dan para
bhikkhu – membangun stupa. Kemudian kami menempatkan relik
sang Buddha yang ada di dalam gua ke dalam stupa, dan membawa
satu pohon Bodhi India untuk ditanam di depan pintu masuk gua.
Dari sana aku melanjutkan perjalanan ke Chieng Mai, Uttaradit,
Phitsanuloke, Nakhorn Sawan, dan Lopburi.
~ 197 ~
Bagian 27
Aku mengembara selama musim kemarau setiap tahun. Aku melakukan
ini karena aku merasa jika seorang bhikkhu menetap di sebuah vihara
seperti kereta api yang tidak bergerak di stasiun HuaLampong –
dan semua orang tahu nilai kereta api yang tidak bergerak. Jadi aku
tidak mungkin menetap di satu tempat. Aku harus selalu bepergian
sepanjang hidupku, sejak aku ditahbis.
Beberapa rekanku mengkritik aku karena melakukan hal ini, sedangkan
yang lain memuji aku, tetapi aku sendiri merasa apa yang aku lakukan
baik. Aku memelajari negeri, peristiwa, adat istiadat, dan praktik
keagamaan dari berbagai tempat yang berbeda. Di beberapa tempat
mungkin aku lebih tidak mengetahui dibanding orang-orang yang
berada di sana; tetapi di beberapa tempat lain dan dengan kelompok-
kelompok lain, mungkin saja aku lebih mengetahui dibanding mereka,
oleh sebab itu tidak ada yang salah dengan berkelana. Meskipun aku
duduk sendirian di dalam hutan, aku memperoleh manfaat. Di mana
saja aku bertemu dengan orang-orang yang kurang tahu dibanding aku,
aku dapat menjadi guru mereka. Tetapi bila aku menemukan kelompok
lain yang lebih mengetahui dibanding aku, aku bersedia menjadi murid
mereka. Dengan cara ini aku akan mendapatkan keuntungan.
Pada saat yang sama, tinggal di dalam hutan seperti yang aku sukai 1)
memberikan aku banyak waktu berpikir.Merupakan kebiasaan
~ 198 ~
Sang Buddha. Beliau dilahirkan di dalam hutan, mencapai
Penerangan Sempurna di dalam hutan, dan mencapai Nibbana
sempurna di dalam hutan – dan juga di waktu yang sama, Beliau
dapat memberikan kualitas-kualitas baik, seperti ketika Beliau
menyebarkan Dhamma, termasuk kepada Raja Bimbisara dari
Rajagaha.
Seperti yang aku lihat, lebih baik mengelak daripada bertarung. 2)
Karena aku bukanlah manusia super, kulitku tidak bisa
menghindari pisau, peluru, dan tombak. Aku akan lebih baik tidak
tinggal di tengah-tengah kehidupan manusia. Inilah alasannya
kenapa aku merasa lebih baik mengelak daripada bertarung.
Orang yang tahu bagaimana caranya untuk menghindar berkata: “untuk
mengelak yaitu sayap-sayap dan untuk menghindar yaitu ekor.”
Maksudnya yaitu seekor anak ayam kecil, baru menetas, jika tahu
bagaimana caranya mengelak, tidak akan mati. Anak ayam tersebut
akan memiliki kesempatan untuk tumbuh buluh dan sayap dan dapat
mempertahankan diri di masa akan datang. “Untuk menghindari
yaitu ekor” ini mengacu pada buntut (kemudi) perahu. Jika seseorang
memegang kemudi perahu tahu cara mengendalikan perahu, ia akan
mampu menghindari batang kayu dan gundukan pasir. Sebuah perahu
untuk dapat menghindari supaya tidak terdampar bergantung pada
kemudi. Karena aku memandangnya seperti itu, maka aku lebih
menyukai tinggal di hutan.
Aku mengetahui sifat-sifat dasar alam: suatu tempat yang tenang, 3)
di mana Anda dapat meneliti pengaruh-pengaruh lingkungan.
Hewan liar, contohnya, cara tidurnya berbeda dengan hewan
jinak. Hal ini bisa menjadi sebuah pelajaran yang baik. atau
ambil contoh ayam hutan. Matanya bergerak cepat, bulu ekornya
jarang, sayap-sayapnya kuat dan kokoknya pendek. Ia dapat
~ 199 ~
berlari cepat dan terbang jauh. Dari mana karakteristik ini
muncul? Aku memelajarinya sendiri. Ayam jago dan ayam-ayam
hutan berasal dari jenis yang sama, tetapi sayap-sayap ayam
jago lemah, kokoknya panjang dan buluh ekornya lebat, tindak
tanduknya berbeda dengan ayam hutan. Ayam hutan, tidak dapat
bergantung pada penjagaan. Ayam hutan harus selalu siap siaga,
karena bahaya selalu mengancam dalam hutan. Jika ayam hutan
berkeliaran seperti ayam jago, maka ular cobra dan luwak akan
segera menerkamnya tanpa buang waktu. Maka ketika makan,
tidur, membuka, dan menutup matanya, ayam hutan harus gesit
dan kuat agar dapat bertahan hidup.
Begitu pula dengan kita. Jika kita menghabiskan waktu dengan
berkubang di tengah-tengah kumpulan masyarakat, kita seperti pisau
atau cangkul yang terbenam di dalam tanah, mudah berkarat. Tetapi
jika terus menerus diasah dengan batu atau kikir, karat tidak akan
terjadi. Oleh sebab itu, kita harus selalu siap siaga. Inilah alasan kenapa
aku suka tinggal di dalam hutan. Aku mendapatkan manfaat dengan
cara itu dan belajar banyak pelajaran.
Aku memelajari untuk merefleksikan apa yang diajarkan Sang 4)
Buddha pertama kali kepada para bhikkhu yang baru ditahbiskan.
Mereka dibangkitkan pikirannya. Beliau mengajar Dhamma
terlebih dulu, kemudian Vinaya. Beliau memulainya dengan
kualitas-kualitas Buddha, Dhamma dan Sangha, diikuti oleh lima
dasar obyek meditasi: rambut kepala, rambut tubuh, kuku, gigi,
dan kulit. Lalu Beliau membabarkan khotbah dengan empat poin-
poin utama:
Melaksanakan pindapatta. Menjadi peminta, tetapi bukan •
pengemis. Puaslah dengan apa yang sudah diberikan.
~ 200 ~
Menetap di tempat tenang, seperti rumah yang telah •
ditinggalkan, di bawah karang yang menonjol, dan di dalam
gua. Orang-orang bertanya apakah Sang Buddha memiliki
pertimbangan atas ajaran-ajaran ini, tetapi aku selalu yakin
bahwa bila tidak ada manfaat-manfaat yang diperoleh dari
tempat-tempat ini, Beliau tidak akan merekomendasikannya.
Tetap saja, aku bertanya-tanya apa saja manfaat tersebut,
itulah sebabnya aku tertarik pada urusan ini.
Sang Buddha mengajar para bhikkhu untuk membuat jubah •
dari kain bekas – bahkan membuatnya dari kain bekas
pembungkus jenazah. Ajaran ini membuat aku merenungkan
tentang kematian. Apa manfaat yang didapat dengan memakai
kain bekas pembungkus jenazah? Jawabannya sederhana yaitu
pikir sesaat mengenai jenazah: Mereka tidak menarik bagi
siapa pun. Tidak ada seorang pun yang menginginkan mereka
– karena itu mereka tidak berbahaya. Dalam hal ini sangat
mudah untuk melihat bahwa Sang Buddha mengajar kita untuk
tidak sombong akan kepemilikan kita.
Sang Buddha mengajarkan kita untuk menggunakan obat-•
obatan yang ada di sekitar kita, seperti tumbuhan obat yang
diawetkan dalam air seni.
Ajaran-ajaran Sang Buddha, saat aku mendengar pertama kali,
memicu rasa ingin tahuku. Apakah Bermanfaat atau tidak bagiku
mengikuti ajaran-ajaran tersebut, ada satu hal yang aku yakini: bahwa
Sang Buddha bukanlah orang yang memegang sesuatu secara membuta,
dan Beliau tidak akan mengajarkan sesuatu tanpa alasan yang benar.
Jadi walaupun aku tidak secara total yakin akan ajaran Beliau, paling
tidak aku menghormati ajaran-ajaran beliau. Atau jika aku tidak yakin
dengan kemampuan guruku, aku berhutang budi padanya dan kepada
tradisi Sangha untuk memberikan ajaran-ajaran Beliau untuk dicoba.
~ 201 ~
Aku teringat dengan ucapan MahaKassapa, yang meminta ijin untuk
menjalankan kehidupan petapa dengan tinggal di dalam hutan, makan
satu kali satu hari (berpindapatta) dan memakai jubah yang terbuat
dari serpihan kain bekas selama masa kehidupan beliau. Sang Buddha
menanyainya, “kamu telah melenyapkan kemelekatan. Apa lagi yang
kamu kejar?”
MahaKassapa menjawab, “aku ingin memelajari latihan-latihan ini,
bukan untuk kepentingan diri sendiri, tetapi untuk kepentingan mereka
yang akan datang. Jika aku tidak mengikuti latihan-latihan ini, siapa
yang akan mereka jadikan panutan? Jika seseorang mengajar dengan
contoh, para siswa akan belajar lebih mudah, seperti ketika seseorang
mengajar para siswa bagaimana cara membaca: jika ia memiliki gambar
dengan tulisan, para siswa akan belajar lebih cepat. Pengamatanku
akan ajaran-ajaran ini sama dengan pelatihan tersebut.”
Saat aku memikirkan kata-kata ini, aku bersimpati kepada MahaKassapa,
membuat dirinya menghadapi berbagai macam penderitaan. Jika Anda
mengaitkannya pada pola-pola keduniawian, Anda dapat katakan
bahwa beliau yaitu seorang jutawan besar yang patut mendapatkan
tempat tidur yang lembut dan makanan enak, tetapi sebaliknya beliau
tidur dan makan di tanah, dan hanya menyantap makanan tidak
enak. Memikirkan kisahnya, aku menjadi malu karena hanya mencari
enaknya saja. Bagi MahaKassapa, beliau dapat saja makan makanan
enak dan tinggal di rumah yang indah tanpa adanya bahaya pikiran
melekat. Tetapi – dan tidak mengejutkan – beliau lebih memerhatikan
memberikan manfaat kepada mereka yang akan datang.
Semua hal ini memberikan aku makanan pikiran sejak pertama kali
aku ditahbiskan.
Berbicara mengenai tinggal di hutan, aku sudah memelajari banyak
~ 202 ~
pelajaran yang tidak biasa di sana. Kadang-kadang aku melihat
kematian dari dekat dan belajar banyak pelajaran – kadang-kadang
dengan melihat tindak tandu hewan-hewan, kadang-kadang dari
berbicara dengan penduduk yang hidup di sana.
Pada suatu saat ada orang tua yang memberitahu aku, suatu waktu
ia pergi bersama istrinya untuk menyadap getah pohon di dalam
hutan lebat. Mereka bertemu seekor beruang dan terjadi kegaduhan.
Istrinya mampu memanjat pohon dengan segera dan berteriak kepada
suaminya, “jika kamu tidak bisa melawannya, berbaring dan pura-pura
mati. Jangan bergerak.”
Ketika suaminya mendengar ini, timbul kesadaran dan menjatuhkan
diri ke tanah, berbaring dengan tenang. Melihat hal ini, beruang
mengangkanginya, tetapi kemudian melepaskannya dan hanya
melihat orang tua itu saja. Pria tua tersebut berbaring, bermeditasi
dengan kata, “buddho, buddho,” dan berpikir, “aku tidak akan mati. Aku
tidak akan mati.” Beruang itu mendorong kakinya, kepalanya, dan
menggunakan moncongnya mendorong ke kiri dan ke kanan. Orang tua
itu tetap berdiam diri dan tidak bereaksi sedikit pun. sesudah beruang
memutuskan bahwa lelaki itu sudah mati, kemudian pergi. Beberapa
saat kemudian lelaki itu bangun dan berjalan pulang ke rumah bersama
istrinya. Kepalanya memar dan berdarah, tetapi ia tidak mati.
sesudah ia selesai menceritakan kisahnya, ia menambahkan lagi,
“begitulah cara yang harus dilakukan bila bertemu hewan hutan. Jika
Anda tidak bisa melawannya, maka Anda harus berpura-pura mati.”
Mendengar ini, muncul pemikiran, “tidak seorang pun yang tertarik
dengan orang mati. Karena aku hidup dalam hutan, maka aku harus
berpura-pura mati. Siapa pun yang memuja atau menyerang aku, aku
harus diam – tenang dalam pikiran, ucapan dan perbuatan – bila aku
~ 203 ~
ingin bertahan hidup.” Hal ini dapat juga menjadi pengingat baik di
dalam Dhamma: untuk membebaskan diri Anda dari kematian, Anda
harus berpura-pura mati. Inilah pelajaran yang baik dalam maranassati,
menjaga kematian dalam pikiran.
Di waktu yang lain, saat pagi, ketika aku sedang menetap di
tengah-tengah hutan rimba, aku mengajak para pengikutku untuk
berpindapatta. Saat itu kami sedang melewati hutan, aku mendengar
suara seekor induk ayam berseru, “Kataak! Kataak!” Karena ayam tidak
bisa terbang, aku mengira induk ayam itu bersama beberapa ekor anak
ayam, lalu aku menyuruh anak-anak lelaki untuk berlari dan melihat.
Tindakan ini menakutkan induk ayam dan terbang naik ke atas pohon.
Mereka melihat anak-anak ayam berlarian, tetapi sebelum mereka
bisa menangkap anak-anak ayam tersebut, anak-anak ayam dengan
tunggang langgang berlari cepat masuk ke dalam gundukan besar
rontokan dedaunan. Di sana, anak-anak ayam tersebut bersembunyi
dan diam. Anak-anak lelaki itu mengambil tongkat dan mengubek-ubek
dedaunan, tetapi anak-anak ayam itu tidak bergerak. Bahkan mereka
tidak bersuara. Walaupun mereka terus mencari, mereka tidak dapat
menemukan seekor pun anak ayam. Aku tahu bahwa anak-anak ayam
itu tidak pergi ke mana-mana. Mereka hanya berpura-pura menjadi
rontokan dedaunan. Kenyataannya, seluruh anak-anak ayam itu, tidak
satu pun yang dapat ditangkap oleh kami.
Memikirkan hal ini, aku tercengang dengan insting mereka untuk
mempertahankan diri, dan betapa pandainya mereka: mereka hanya
berdiam tenang di gundukan rontokan dedaunan. Dan kemudian aku
membandingkannya dengan diriku: “ketika Anda berada di hutan, dan
jika Anda dapat mempertahankan pikiran Anda dengan tenang seperti
anak-anak ayam tersebut, dipastikan Anda akan aman dan bebas dari
kematian.” Ini merupakan sebuah pelajaran baik lagi.
~ 204 ~
Sebagai tambahan selain hewan-hewan. ada aspek alami lainnya
– seperti pepohonan dan tanaman merambat – yang dapat dijadikan
bahan pertimbangan. Contohnya, tanaman merambat. Ada beberapa
dahannya yang tidak bengkok, tetapi hanya lurus. Mengamati hal ini,
aku menjadikannya sebagai pelajaran untuk diriku. “Jika Anda ingin
membawa pikiran Anda kepada kebenaran sempurna, Anda harus
bertindak seperti tanaman merambat: contohnya, selalu mengacu
kepada kebenaran kata-kata Sang Buddha, “Kaya-kammam, vaca-
kammam, mano-kammam padakkhinam” – selalu berpikiran benar,
perkataan benar dan perbuatan benar. Anda harus selalu benar –
dengan mempertahankan diri Anda sendiri di atas kemelekatan yang
membakar dan merusak pikiran Anda. Kalau tidak Anda tidak akan
sebanding dengan tanaman merambat.”
Beberapa jenis pohon tertentu membuatnya tenang dengan cara
yang dapat kita lihat: kita dapat katakan bahwa mereka “tidur.” Pada
malam hari, pohon-pohon itu melipat daun-daun mereka. Jika Anda
merebahkan diri Anda di bawah pohon-pohon itu, Anda akan dapat
melihat jelas bintang-bintang di angkasa pada malam hari. Tetapi saat
pagi hari, pohon-pohon itu akan membentangkan daun-daun mereka
dan memberikan naungan yang rindang. Hal ini memberikan pelajaran
yang baik bagi pikiran: ketika Anda duduk bermeditasi, tutup hanya
mata Anda. Tetap pertahankan pikiran Anda waspada dan terang,
seperti sebatang pohon yang melipat dedaunannya dan oleh karena
itu tidak mengganggu pandangan kita melihat bintang-bintang.
Ketika Anda dapat berpikir dengan cara ini, Anda melihat nilai dari
kehidupan dalam hutan. Pikiran menjadi yakin. Dhamma yang sudah
Anda pelajari – atau bahkan yang belum dipelajari – akan menjadi
jelas dengan sendirinya, karena alam yang menjadi guru. Seperti ilmu
pengetahuan-ilmu pengetahuan di dunia, yang digunakan oleh setiap
~ 205 ~
negara untuk mengembangkan tenaga dahsyat. Tidak satu pun hasil
ciptaan atau penemuan-penemuan yang datang dari buku. Pengetahun
itu datang karena para ilmuwan belajar prinsip-prinsip alam,
semuanya muncul di sini, di bumi. Begitu juga Dhamma, sama halnya
dengan ilmu pengetahuan: berada di alam. Ketika aku menyadari hal
ini, aku tidak lagi dikhawatirkan dengan memelajari kitab suci, dan
aku teringat tentang Sang Buddha dan siswanya: mereka belajar dari
prinsip-prinsip alam. Tak satu pun dari mereka yang mengikuti buku.
Karena pertimbangan ini, aku bersedia menjadi bodoh jika berkaitan
dengan teks dan kitab suci. Beberapa jenis pohon tidur di malam hari
dan bangun di siang hari. Yang lainnya, tidur siang hari dan bangun di
malam hari. Hal yang sama berlaku pada hewan-hewan hutan.
Tinggal di dalam hutan, Anda juga dapat belajar dari uap air yang
menetes dari tumbuh-tumbuhan. Beberapa jenis tumbuhan baik untuk
kesehatan Anda, beberapa yang lain tidak baik. Terkadang, sebagai
contoh, ketika aku demam, aku duduk di bawah pohon-pohon tertentu
dan demamku sembuh. Terkadang saat aku sedang merasa baik-baik
saja, kemudian aku duduk di bawah pohon-pohon tertentu, bagian-
bagian dalam tubuhku menjadi terganggu. Terkadang aku merasa haus
dan lapar, tetapi seketika aku duduk di bawah pohon-pohon tertentu,
lapar dan hausku menghilang. Belajar dari pohon-pohon dengan cara
ini menyebabkan aku berpikir tentang tabib yang meletakan patung
petapa di altar-altar mereka. Petapa-petapa itu tidak pernah belajar
buku teks medis, tetapi mereka mampu mengajar obat-obatan yang
dapat menyembuhkan penyakit, karena mereka memelajari alam
dengan melatih pikiran mereka dengan cara yang sama seperti yang
kami lakukan.
Pelajaran-pelajaran yang serupa dapat dipelajari dari air, bumi, dan
~ 206 ~
udara. Menyadari hal ini, aku tidak berbahagia dengan obat-obatan
yang dapat menyembuhkan penyakit, karena aku merasa obat-
obatan baik ada di mana-mana. Yang terpenting yaitu apakah kita
mengetahui obat-obatan tersebut, dan hal ini bergantung pada kita.
Sebagai tambahan, ada kualitas lain yang kita perlukan untuk merawat
diri kita: kekuatan pikiran. Jika kita mampu menjaga ketenangan
pikiran, maka kemampuan untuk menyembuhkan penyakit sepuluh
kali lipat lebih kuat daripada obat mana pun juga. Ini disebut dhamma-
osatha: obat Dhamma.
Secara keseluruhan, terlihat dengan jelas olehku bahwa aku
memperoleh manfaat tinggal di dalam hutan dan tempat sunyi lainnya
untuk melatih pikiran. Satu demi satu aku mampu memotong keraguan-
keraguanku terhadap ajaran Sang Buddha. Dengan demikian, untuk
alasan ini, aku bersedia mempersembahkan diriku untuk mengajarkan
meditasi sampai saat akhir hayatku.
Manfaat yang dihasilkan dari pelatihan pikiran, jika aku menguraikannya
secara terperinci, maka tiada habisnya, tetapi aku menyudahi uraian
pendek ini sampai di sini.
~ 207 ~
Bagian 28
Saat ini, aku menjadikan Wat Asokaram sebagai vihara tetap untuk
orang-orang yang akan datang. Pada tanggal 5 Desember 1956, saat
menetap di Wat Asokaram, aku diberi peringkat dan gelar – Phra Khru
untuk pertama kali, dengan gelar “Phra Khru Suddhidhammacariya”
– tanpa sepengetahuanku atau terpikirkan sebelumnya. Pada bulan
Desember tahun 1957, sekali lagi, tanpa pemberitahuan, aku diberi
peringkat Chao Khun, dengan gelar, “Phra Suddhidhammaransi
Gambhiramedhacariya.” Kemudian aku memutuskan untuk
melewatkan masa vassa di Wat Asokaram sejak saat itu.
Pada tahun 1959, aku mulai merasa sakit di pertengahan masa vassa.
Memikirkan penyakitku, aku mulai khawatir dapat bertahan hidup.
Pernah beberapa kali, aku berpikir untuk memisahkan diri dari para
pengikutku dan hanya ingin sendirian saja: aku ingin mencari tempat
tenang, di mana aku dapat menemukan ketenangan dan kesunyian
yang merupakan wujud tertinggi kebahagiaan. Kadang-kadang rasa
sakitku mereda, kadang-kadang aku sakit semalam suntuk, tetapi aku
sanggup bertahan. Aku merasakan nyeri luar biasa dalam perutku,
dan, pernah suatu hari aku terkena demam tinggi selama beberapa
jam. Maka ketika masa vassa selesai, aku harus beristirahat di Rumah
Sakit Somdet Phra Pin Klao.
Aku menjalani rawat inap pertama kali selama tiga hari – tanggal
2-5 November 1959 – tetapi sesudah kembali ke Wat, penyakitku
~ 208 ~
kambuh kembali, karena itu aku masuk rumah sakit kembali pada hari
Selasa, tanggal 10 November. Sejak itu penyakitku berangsur-angsur
sembuh.
Pada suatu hari, selagi berbaring di tempat tidur, aku berpikir, “aku
ingin kelahiranku dapat bermanfaat baik bagi diriku sendiri dan
juga yang lain. Bahkan jika aku terlahir ke dunia di mana tidak ada
penderitaan, aku ingin berguna bagi dunia dan bagi ajaran Sang
Buddha seumur hidupku. Tetapi sekarang aku sakit, aku ingin sakitku
dapat bermanfaat bagi diriku dan yang lainnya.” Dengan pemikiran
ini, aku menulis surat berikut:
Mengenai makananku, aku tidak menghendaki siapa pun untuk khawatir.
Rumah sakit memiliki segala hal yang aku inginkan. Jika ada yang ingin
membawa makanan, aku meminta kepada mereka untuk membawa uang
senilai makanan tersebut ke sini, dan menggunakan uang itu untuk melakukan
kebaikan dengan cara lain, seperti mengganti biaya pengobatan rumah
sakitku atau, jika ada uang tersisa, digunakan untuk membantu membayar
kaum miskin yang memerlukan pengobatan di rumah sakit. Bukankah
pemikiran tersebut lebih baik?
Bangunan tempat aku menginap yaitu bangunan khusus. Belum dibuka
untuk pasien lain. Para dokter memberikan aku perawatan dan perhatian
terbaik, tanpa meminta sedikit pun uang. Oleh karena itu, siapa pun yang
berniat baik perlu memikirkan hal ini.
Kesimpulannya, aku berniat berdana beberapa tempat tidur untuk rumah
sakit sebagai cindera mata. Siapa pun yang berniat membantu dapat
menghubungi aku atau Direktur dan Asisten Direktur Rumah Sakit Somdet
Phra Pin Klao.
Phra Ajaan Lee
~ 209 ~
Ruangan Khusus
Rumah Sakit Somdet Phra Pin Klao
(Rumah sakit angkatan laut di Puggalo)
(Pada tanggal 11 Nopember 1959, Rumah Sakit Angkatan Laut di
Puggalo menerima permohonan ijin dari Departemen Pertahanan
untuk mengubah namanya menjadi Rumah Sakit Somdet Phra Pin
Klao, satu hari sesudah aku diijinkan kembali.)
Ketika aku menyelesaikan surat ini, aku berpikir, “paling sedikit kami
memerlukan tiga puluh ribu Baht untuk membantu rumah sakit.”
Maka aku berniat untuk mengumumkan kepada para pengikutku, dan
mulai hari itu juga orang-orang mulai berdana uang.
Pada tanggal 16 November, sekelompok orang dari Samut Prakaan
datang mengunjungiku di rumah sakit untuk memberitahu: (a) telah
terjadi lagi tabrakan mobil di “Tikungan Maut” di Jalan Sukhumvit,
Bang Ping dan (b) beberapa orang telah melihat hantu-hantu
menakutkan gentayangan di tikungan tersebut. Aku memutuskan
merupakan gagasan baik untuk berbuat baik dan melimpahkannya
kepada orang-orang yang mati kecelakaan di sepanjang jalan itu.
Aku pergi menemui wakil gubernur Samut Prakaan dan sekelompok
pengikutku, dan kami sepakat untuk melakukan pelimpahan jasa.
Prosesi dimulai pada tanggal 18 Desember malam. Sekelompok bhikkhu
membacakan parita di anjungan sementara yang dibangun di pinggir
Jalan Sukhumvit, dekat Kantor Pekerjaan Umum Samut Prakaan. Lima
puluh phaa paas dipersembahkan dan nama-nama tikungan tersebut
diubah sebagai berikut:
Tikungan Pohon Bodhi dinamai kembali Tikungan Bodhisattva.
Tikungan maut dinamai kembali Tikungan Kehidupan.
~ 210 ~
Tikungan Mido dinamai kembali Tikungan Kemenangan.
Selesai kegiatan ini, aku kembali ke rumah sakit pada sore harinya, dan
sejak saat itu aku tinggal hampir satu bulan. Para dokter dan perawat
banyak membantu dan penuh perhatian. Sebagai contoh, Laksamana
Sanit Posakritsana, direktur rumah sakit, sangat penuh perhatian,
ia membawa makanan untuk dana makanan pagi dan merawat aku
seolah-olah ia yaitu salah satu pengikutku.
Selama periode ini, aku menulis sebuah buku, Penuntun Pembebasan
Penderitaan, untuk dibagi-bagikan gratis. Aku tidak kesulitan dalam
hal penerbitan. Dua orang pengikutku membantu mencetak sebanyak
dua ribu buku: Khun Nai Lamai Amnueysongkram sebanyak seribu
buku; dan Letnan Angkatan Laut Ayut Bunyaritraksa sebanyak seribu
buku. Tampaknya tujuan-tujuanku telah terlaksana dengan cukup
baik. Sebagai contoh, aku ingin mengumpulkan dana untuk membantu
rumah sakit, dan hari ini – 10 Januari 1960 – saat aku meninggalkan
rumah sakit sesudah menginap selama empat puluh lima hari, kami
sudah mengumpulkan tiga puluh satu ribu lima ratus tiga puluh lima
Baht, yang menunjukan bahkan saat sedang sakit pun, aku dapat
berguna.
Bahkan ketika aku meninggal, aku ingin tetap berguna bagi mereka
yang masih hidup. Aku pernah melihat satu contoh, Khru Baa Sri
Wichai, yang dikagumi oleh masyarakat di utara. Ia merencanakan
untuk membangun jembatan yang menyeberangi Sungai Mae Ping,
tetapi beliau meninggal sebelum jembatan itu selesai. Maka sebagian
pengikutnya membawa dan meletakkan jenazah beliau di dalam peti
jenazah dekat jembatan yang belum selesai, dengan pemberitahuan
bahwa siapa pun yang ingin membantu pemakaman, dimohon
bantuannya untuk menyelesaikan jembatan terlebih dulu. Pada
~ 211 ~
akhirnya, meskipun ia membusuk, Khru Baa Sri Wichai bisa berguna
bagi orang-orang.
Dengan demikian di dalam hidupku, aku mengarahkan diriku untuk
berguna sepanjang hidupku, sejak aku pertama melakukan latihan
meditasi pada tahun 1926 sampai saat ini. Aku mengajar para siswa
di beberapa propinsi dan membantu menyiapkan vihara-vihara untuk
kepentingan umat Buddha secara umum. Dalam mempersiapkan
vihara-vihara seperti ini, aku membantu dengan dua cara:
Ketika para pengikutku menyiapkan vihara-vihara di tempat 1)
mereka sendiri, tetapi masih kekurangan di beberapa bagian, aku
menawarkan bantuan dan menyemangati.
Ketika sahabat-sahabatku membangun vihara tetapi belum 2)
menyelesaikannya, jika mereka memerlukan bhikkhu, aku
akan mengutus beberapa pengikutku untuk menetap di sana.
Mengenai vihara yang dibangun oleh guru-guruku saat aku dalam
pengembaraan, aku selalu mengunjungi dan membantu melatih
orang-orang yang berada di sana.
Di Chanthaburi, ada sebelas vihara yang aku bantu
mempersiapkannya. Di Nakhorn Ratchasima ada dua atau tiga
vihara. satu vihara di Srisaket, dan lebih dari satu vihara di Surin. Di
Ubon Ratchathani ada beberapa tempat. Di Nakhorn Phanom, Khon
Kaen, Loei, Chaiyaphum, Phetchabun, Prajinburi, Rayong, Trat, Lopburi,
Chainat, Tak, Nakhorn Sawan, Phitsanuloke merupakan vihara-vihara
di mana aku pernah mengajar sementara, yang bukan dipersiapkan
oleh diriku sendiri. Di Saraburia aku membantu mempersiapkan satu
vihara. Uttaradit yaitu tempat di mana aku melatih orang-orang
di sana saat berkunjung. Lampang, Chieng Rai, Chieng Mai, Nakhorn
Nayok, Nakhorn Pathom, dan Ratchaburi yaitu tempat-tempat yang
~ 212 ~
aku kunjungi dan mengajarkan orang-orang di sana, tetapi aku tidak
mempersiapkan vihara-vihara di sana. Di Prajuab, beberapa sahabatku
sudah mulai mempersiapkan sebuah vihara di daerah Hua Hin. Di
Chumporn, aku membantu mempersiapkan dua atau tiga vihara.
Aku melewati Surat Thani, tetapi tidak membangun vihara di sana.
Di Nakhorn Sri Thammarat, aku menetap sementara dan membantu
pembangunan sebuah vihara sesudah sebelumnya kosong melompong.
Di Phattalung, pernah dikunjungi oleh pengikutku, tetapi tidak ada
vihara di sana. Di Songkhla ada banyak vihara-vihara hutan. Di
Yala, beberapa pengikutku memulai pembangunan vihara, dan aku
sendiri pernah ke sana dua kali.
Selama musim kemarau, aku selalu pergi mengunjungi para siswa tua
dari para guruku. Kadang-kadang aku pergi bermeditasi sendirian.
sesudah aku ditahbiskan kembali dalam Sekte Dhammayut pada
tahun 1927, aku melewatkan masa vassa pertamaku di propinsi Ubon
Ratchathani. Kemudian aku melewatkan tiga masa vassa di Wat Sra
Pathum, Bangkok , lalu satu masa vassa di Chieng Mai, dua masa vassa
di Nakhorn Ratchasima dan satu masa vassa di Prajinburi. sesudah itu,
aku membangun vihara di Chanthaburi dan melewatkan empat belas
masa vassa di sana. Dari sana aku pergi ke India, dan melewatkan satu
masa vassa di sana. Kembali dari India, aku melewati Myanmar dan
melewatkan masa vassa di Wat Khuan Miid, propinsi Songkhla. sesudah
itu aku kembali ke Chieng Mai untuk melewatkan satu masa vassa di
sana, dan kemudian melewatkan tiga masa vassa di Wat Boromnivasa.
Karena Somdet Mahawirawong (Uan) meninggal, aku melewatkan
empat masa vassa di Wat Asokaram, masa vassa yang ke empat pada
tahun 1959.
Saat aku mendiktekan ini, aku sedang berbaring di atas tempat tidur
Rumah Sakit Somdet Phra Pin Klao, Thonburi.
~ SELESAI ~
~ 214 ~
Epilogue
Tiga puluh tiga stupa yang disebutkan oleh Ajaan Lee dalam perencanaan
beliau untuk perayaan peringatan dua puluh lima abad Buddhisme tidak
dibangun pada masa kehidupan beliau. Tidak lama sesudah perayaan,
para pengikutnya – khawatir beliau akan meninggalkan Bangkok dan
kembali ke hutan sesudah pembangunan stupa selesai – mendesak
kalau Wat Asokaram perlu aula penahbisan sebelum membangun
stupa, dan kemudian mengatur untuk membangun aula penahbisan
terlebih dahulu. sesudah aula penahbisan selesai dibangun pada bulan
Mei tahun 1960, Ajaan Lee mengadakan pertemuan dengan sebagian
pendukung utamanya untuk membahas rencana pembangunan stupa,
Lagi mereka memberikan alasan untuk tidak melanjutkan proyek
pembangunan tersebut.
Sementara itu, kesehatan Ajaan Lee memburuk. sesudah akhir masa
vassa, beliau kembali masuk Rumah Sakit Somdet Phra Pin Klao,
tetapi menyadari bahwa para dokter tidak dapat menyembuhkan
penyakitnya, beliau keluar dari rumah sakit di awal bulan April tahun
1961. Tidak lama kemudian, pada tanggal 25-26 April malam, beliau
meninggal di dalam gubuknya di Wat Asokaram. Dianogsa para dokter
menyatakan beliau terkena serangan jantung.
sesudah upacara pemakaman selesai, para pengikutnya memutuskan
untuk menunda upacara kremasi sampai mereka selesai membangun
~ 215 ~
stupa sebagai persembahan terakhir kepada beliau – sama seperti
kisah Khru Ba Sri Wichai, yang disebutkan Ajaan Lee pada bagian akhir
otobiografi. Tetapi, sesudah stupa selesai dibangun pada tahun 1965,
mayoritas suara para pengikut Ajaan Lee tidak menginginkan beliau
dikremasikan, kemudian tubuhnya disimpan di Wat Asokaram, saat
ini diabadikan di altar megah dengan rancangan indah yang selesai
dibangun pada tahun 1987. Sampai saat ini, banyak orang yang datang
berkunjung dan memberikan penghormatan secara teratur pada
beliau.
Saat terakhir di rumah sakit, Ajaan Lee mendiktekan sepenggal tema
Dhamma – dan diri seseorang – perlindungan seseorang dengan
mempraktikkan Empat Landasan Perhatian: sama dengan khotbah
Sang Buddha di tahun terakhir kehidupan Beliau. Karena ini merupakan
rekaman khotbah terakhir Ajaan Lee, tepat rasanya untuk dijadikan
sebagai kesimpulan terakhir kisah hidup beliau.
~ 220 ~
Suatu Perlindungan
dalam Pencerahan
Ye keci buddham saranam gatase
Na te gamissanti apaya-bhumim
Pahaya manusam deham
Deva-kayam paripuressantiti
“Mereka yang berlindung kepada Sang Buddha
tidak akan jatuh ke alam rendah.
Saat lepas jasmani,
Mereka akan masuk dalam jajaran para dewa.”
Sekarang aku akan menjelaskan syair ini, sehingga Anda dapat
berlatih ke arah pencapaian tertinggi, mampu menghapuskan
semua penderitaan dan ketakutan-ketakutan Anda, serta mencapai
perlindungan dalam kedamaian.
Kita terlahir ke dalam dunia ini tanpa suatu perlindungan mendasar.
Tidak ada – disamping Buddha, Dhamma, dan Sangha – yang akan
menjadi perlindungan kita pada kehidupan selanjutnya. Ketiga inilah
satu-satunya yang dapat kita jadikan perlindungan baik di kehidupan
saat ini maupun kehidupan yang akan datang.
Ada dua tingkatan bagi orang-orang yang berlindung pada tiga
permata. Sebagian orang berlindung secara kias, hanya pada tingkat
Suatu Perlindungan dalam Pencerahan
~ 221 ~
individu, sedangkan yang lainnya berlindung pada level kualitas batin,
dengan mengembangkan latihan ke arah dalam diri sendiri.
I. Pada tingkat Individu.
BuddhaA. . Para Buddha yaitu manusia yang sudah mencapai
kemurnian pikiran. Ada empat jenis:
Sammasambuddha:1) mereka yang mencapai Pencerahan atas usaha
sendiri, tanpa bantuan dari siapa pun, dan mendirikan suatu
kelompok keagamaan.
Pacceka Buddha:2) mereka yang sudah mencapai Pencerahan
tanpa mendirikan suatu kelompok keagamaan. Dalam mencapai
pencerahan, mereka berusaha sendiri.
Arahat:3) mereka yang berlatih sejalan dengan ajaran-ajaran Sang
Buddha hingga mencapai Pencerahan.
Siswa-siswi Buddha:4) mereka yang berlatih secara terperinci dan
mengikuti ajaran-ajaran hingga mencapai tujuan.
Keempat jenis ini yaitu manusia individu, maka berlindung kepada
mereka merupakan berlindung pada level individu. Mereka hanya
memberikan perlindungan sedikit dan tidak secara mendasar.
Meskipun berlindung pada tingkatan ini dapat menguntungkan bagi
kita, perlindungan tersebut hanya dapat membantu kita pada level
dunia dan hanya dapat memberikan perlindungan sementara dari
jatuh ke alam rendah. Jika kita kehilangan keyakinan pada individu-
individu ini, pikiran kita akan berubah ke tingkat yang lebih rendah
– seluruh individu tersebut tidak lepas dari hukum perubahan: mereka
tidak tetap dan berubah, menjadi pokok penekanan, dan bukan diri –
contoh mereka tidak lepas dari kematian.
Maka jika Anda berlindung kepada Sang Buddha pada level individu,
~ 222 ~
maka hanya ada dua macam hasil yang akan Anda dapatkan: Pertama,
kegembiraan, kemudian kesedihan bila saat berpisah tiba – merupakan
sifat alami dari semua makhluk di dunia ini, mereka lahir, tua, sakit,
dan mati. Para petapa yang paling bijaksana dan orang-orang biasa
yaitu sama dalam hal ini. Dhamma. Kebanyakan dari kita, ajaran
yang oleh kita dijadikan perlindungan juga berada pada level individu.
Mengapa? Karena kita melihatnya sebagai perkataan dari orang-orang
tertentu.
Para bijaksana di masa lampau telah membagi ajaran yang ada dalam
canon Buddhist ke dalam empat bagian:
Perkataan-perkataan dari Sang Buddha. 1)
Perkataan-perkataan dari para siswa Beliau.2)
Perkataan-perkataan dari makhluk surgawi3) . ada beberapa
kesempatan ketika makhluk surgawi, datang untuk menghormati
Sang Buddha, menyatakan kebenaran.
Perkataan-perkataan dari para petapa.4) Beberapa petapa dan yogi-
yogi menyatakan kebenaran-kebenaran yang bermanfaat bagi
umat Buddha.
Semua perkataan ini diatur ke dalam tiga bagian Buddhis Canon:
sutta-sutta, vinaya, dan Abhidhamma. Jika kita berlindung pada
Dhamma dalam tingkatan ini, perlindungan ini menjadi objek: sesuatu
yang dapat kita ingat. Tetapi ingatan tidak tetap dan tidak dapat
menyediakan perlindungan yang memadai, dan dapat diandalkan.
Yang terbaik, hanya dapat membantu kita pada level keduniawian
karena kita bergantung secara kias pada individu, pada objek, sebagai
perlindungan kita.
SanghaB. . Ada dua macam Sangha.
Suatu Perlindungan dalam Pencerahan
~ 223 ~
Sangha pada umumnya1) : orang-orang biasa yang ditahbiskan dan
menjalankan kehidupan tanpa rumah. Sangha semacam ini terdiri
atas empat jenis:
Upajivikaa) yaitu mereka yang ditahbiskan hanya untuk kepuasan
hidup. Mereka dapat bergantung pada orang lain untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka dan dengan demikian mereka
mendapat kepuasan diri, puas dengan status penahbisan mereka,
tanpa mencari bentuk kebaikan lain yang lebih baik.
Upadusikab) yaitu mereka yang ditahbiskan menghancurkan
ajaran Sang Buddha melalui perilaku mereka – tidak melepaskan
hal-hal yang seharusnya dilepaskan, tidak melakukan hal-hal
yang seharusnya mereka lakukan, menghancurkan kapasitas
kebaikan diri mereka sendiri dan orang lain, menjadi perusak,
meninggalkan ajaran-ajaran Sang Buddha.
Upamuyhikac) yaitu mereka yang ditahbiskan, membutakan diri
sendiri dan bodoh, mereka tidak mencari jalan yang membawa
perilaku mereka sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Mereka tidak
menarik diri mereka ke luar dari jalan yang tidak berguna dan
tetap teperdaya
Upanisaranikad) yaitu mereka yang ditahbiskan, bersungguh-
sungguh belajar dan mempraktikkan sejalan dengan apa yang
mereka pelajari, mereka berusaha mencari perlindungan aman,
dan tidak membiarkan diri mereka lalai atau puas. Apa pun yang
dikatakan Sang Buddha yaitu baik, mereka bertindak sesuai
ajaran. Mencapai atau tidak kebaikan tersebut, mereka terus
berusaha.
Keempat jenis Sangha tersebut termasuk di level individu.
Sangha Mulia.2) Sangha ini memiliki empat tingkatan: mereka
~ 224 ~
yang melaksanakan ajaran-ajaran Sang Buddha hingga mencapai
tingkatan Sotapana, Sakadagami, Anagami, atau Arahat. Keempat
tingkat ini masih berada pada level individu, karena mereka orang
yang telah mencapai tingkatan tertentu. Misalnya, kita katakan
bahwa Aññakondañña seorang Sotapanna, Sariputta seorang
Sakadagami, Moggallana seorang Anagami, dan Ananda seorang
Arahat. Keempatnya merupakan individu dalam nama dan rupa.
Berlindung pada mereka berarti berlindung pada tingkat individu
– dan sebagai individu mereka tidak stabil dan berubah-ubah.
Tubuh, panca indria dan batin mereka secara alami mengalami
penuaan, sakit, dan mati. Dengan kata lain, mereka mengalami
anicca, yaitu tidak kekal dan dapat berubah; dukkha yaitu mereka
mengalami pada perubahan dan penderitaan; dan anatta, yaitu
mereka sendiri tidak bisa mencegah sifat alami perubahan dalam
diri mereka sendiri.
Dalam kasus ini, siapa pun yang mencoba untuk berlindung kepada
mereka akan mengalami perubahan juga. Kita dapat bergantung pada
mereka hanya sesaat saja, tetapi mereka tidak dapat menyediakan
perlindungan yang benar bagi kita. Mereka tidak dapat menjaga kita
terperosok ke alam rendah. Yang terbaik, berlindung pada mereka
dapat memberikan hasil bagi kita pada tingkatan duniawi – dan
tingkatan duniawi terus berubah sepanjang waktu.
Inilah akhir dari pembahasan tiga perlindungan pada tingkat
individu.
II. Pada tingkatan kualitas batin
Berlindung dalam Buddha, Dhamma, dan Sangha pada tingkat kualitas
batin berarti mencapai tiga permata dalam pikiran melalui latihan.
Suatu Perlindungan dalam Pencerahan
~ 225 ~
Untuk mencapai Kebuddhaan pada kualitas batin, pertama kali Anda
harus mengetahui kualitas-kualitas Sang Buddha, yang terbagi atas dua
bagian: sebab dan akibat. Sebab Pencerahan Beliau yaitu kesadaran
penuh dan kewaspadaan. AKibat Pencerahan Beliau yaitu terlepas
dari kemelekatan dan bentukan-bentukan batin.
Jadi kita harus mengembangkan kualitas-kualitas tersebut di dalam
diri kita sendiri. Buddha-sati – kesadaran penuh seperti Sang Buddha
– merupakan apa yang membangunkan kita. Kewaspadaan penuh
merupakan apa yang membuat kita menyadari sebab dan akibat
secara benar. Cara untuk mengembangkan kualitas ini yaitu berlatih
sesuai dengan empat landasan perhatian. Cara ini akan membuat kita
mencapai KeBuddhaan pada tingkat kualitas batin.
Perenungan pada tubuh sebagai salah satu landasan perhatian.a)
Maksudnya yaitu perhatian penuh pada tubuh, menggunakan
perhatian penuh untuk membangun tubuh dan pikiran, siang dan
malam – duduk, berdiri, berjalan, atau berbaring. Kita menggunakan
kesadaran penuh dan kewaspadaan untuk menyadari sepenuhnya
tubuh ini. Inilah sebab pencapaian Kebuddhaan pada tingkat
kualitas batin – mencapai Kebuddhaan oleh diri sendiri, tanpa
harus bergantung pada siapa pun. Saat Anda bergantung pada diri
sendiri, saat itulah Anda berada pada jalur yang benar.
Sebelum memusatkan kesadaran penuh pada tubuh untuk membangun
diri, pertama kali Anda harus mengetahui dua cara memerhatikan
tubuh:
Tubuh, terdiri dari empat unsur dasar yang tersusun menjadi satu 1)
satu objek fisik: unsur tanah, atau aspek padat, unsur air, atau
aspek cair, unsur api, atau aspek hangat, dan unsur angin; seperti
~ 226 ~
napas keluar-masuk. Ketika semua unsur ini selaras, mereka akan
menyatu dan membentuk satu kumpulan atau objek yang kita
sebut tubuh.
Bagian tubuh itu sendiri – yaitu salah satu dari empat unsur. 2)
Sebagai contoh, kita dapat menggunakan unsur angin. Pusatkan
kesadaran penuh dan kewaspadaan hanya pada unsur angin dan
pertahankan perhatian tersebut. Anda tidak perlu memusingkan
unsur lain. Inilah yang disebut dengan bagian tubuh itu sendiri.
Dari sana Anda dapat merasakan angin pada tubuh itu sendiri. Ada
enam aspek unsur angin: energy napas yang mengalir dari kepala
menuju ke bagian antara jari kaki dan jempol kaki; energy napas yang
mengalir dari bagian antara jari kaki dan jempol kaki mengalir ke
atas menuju kepala; energy napas di dalam perut; energy napas dalam
usus besar; dan napas keluar-masuk. Enam aspek ini yang membentuk
unsur angin di dalam tubuh.
Ketika Anda memusatkan perhatian pada angin itu sendiri, pusatkan
perhatian hanya pada salah satu aspek – seperti napas keluar-masuk –
tanpa mengkhawatirkan aspek-aspek napas lainnya. Ini dapat disebut
pemusatan perhatian pada unsur angin itu sendiri. Prinsip yang sama
juga diterapkan pada unsur tanah, air, dan api.
Ketika Anda mengembangkan kesadaran dan kewaspadaan terus
menerus di dalam tubuh itu sendiri, angin, api, tanah, atau – yang
terlihat paling mudah dan nyaman – Pertahankan sedapat mungkin.
Ketika Anda melakukan ini tubuh akan bangun, karena Anda tidak
membiarkan hanya mengikuti jalan alami. Dengan mengembangkan
kesadaran ke dalam tubuh akan membantu kewaspadaan. Tubuh
akan terasa semakin ringan saat kita mempertahankan pikiran.
Kewaspadaan merupakan hal yang membuat kita menyadari tubuh
Suatu Perlindungan dalam Pencerahan
~ 227 ~
secara keseluruhan. Ketika dua kualitas pikiran ini masuk ke dalam
tubuh, maka tubuh akan tangkas, ulet, dan ringan. Dalam bahasa pali
disebut kaya-lahuta. Pikiran akan selalu terjaga dan menghasilkan
pengetahuan di dalam diri sendiri melalui latihan “sanditthiko” – orang
yang berlatih akan melihat hasil untuk dirinya saat ini juga.
Orang yang bangun tidur dapat melihat dan mengetahui berbagai hal.
Hal serupa terjadi pada orang yang mempraktikkan perhatian penuh
pada tubuh sebagai salah satu landasan perhatian: mereka pasti melihat
kebenaran alami tubuh mereka sendiri. Untuk menembus, mengetahui,
dan melihat jalan ini, yaitu untuk mencapai KeBuddhaan, Dhamma,
dan Sangha – yang berbeda hanya pada sebutan, tetapi yaitu satu dan
pada hakekatnya sama.
Siapa pun yang tidak berlatih dengan cara ini, ia tertidur, pada tubuh
dan pikiran. Seorang yang tidur tidak dapat melihat atau mengetahui
apa pun, karena itulah mengapa kita dapat mengatakan orang-orang
seperti ini belum mencapai Kebuddhaan pada level kualitas batin.
Perenungan pada perasaan sebagai salah satu landasan perhatian.b)
Perhatian penuh pada perasaan saat timbul dari dalam diri Anda.
Perasaan merupakan hasil yang timbul dari pengalaman masa
lampau dan saat ini. ada tiga jenis perasaan:
Perasaan senang 1)
Perasaan menderita2)
Perasaan seimbang3)
Untuk berlatih perenungan pada perasaan, perhatikan segala
macam jenis perasaan yang timbul dari tubuh dan pikiran. Contoh,
kadang menyenangkan secara fisik tetapi menderita secara batin;
kadang menderita secara fisik tetapi menyenangkan secara batin;
~ 228 ~
kadang menyenangkan pada fisik dan batin; kadang menderita
secara fisik dan batin. Pemusatan perhatian pada perasaan yang
timbul. Menyelidikinya dengan seksama. Inilah yang disebut dengan
perenungan pada perasaan.
Pada perasaan itu sendiri, berarti pemusatan perhatian pada salah satu
jenis perasaan. Contohnya, ketika timbul perasaan menyenangkan,
pusatkan pada perasaan menyenangkan tersebut. Pusatkan perhatian
hanya pada satu titik. Anda tidak perlu terlibat pada perasaan sakit
atau seimbang. Jika Anda ingin memusatkan perhatian pada perasaan
menyenangkan, perhatikan saja pada perasaan tersebut. Atau, jika
Anda menginginkan, Anda dapat memusatkan perhatian pada perasaan
seimbang tanpa harus terlibat pada perasaan menyenangkan atau
kesakitan. Jangan biarkan pikiran lari kepada keasyikan yang timbul
dan mengganggu. Pertahankan perhatian pada perasaan yang Anda
pilih sampai Anda mengetahui sifat alaminya melalui kesadaran Anda
sendiri.
Apa pun jenis perasaan yang mudah Anda perhatikan, pertahankan
perhatian penuh dan kewaspadaan di sana sedapat mungkin. Hal ini
akan membuat Anda bangun dari perasaan di dalam Anda. Siapa saja
yang menjalankan kualitas ini berarti sedang mengembangkan kualitas
batin “Sang Buddha” yang merupakan sebab timbulnya pencerahan.
Perenungan pada pikiran sebagai salah satu landasan perhatian.c)
Pemusatan pada kondisi pikiran sehingga Anda sadar dari
khayalan. Ketika pikiran Anda sadar, pikiran akan dapat melihat
dan mengetahui berbagai hal yang timbul pada saat ini. Hal
ini dapat fokus pada faktor-faktor konsentrasi dan jhana, atau
pencerapan batin, yang membawa pada ketajaman, kesadaran
terlatih, dan pelepasan.
Suatu Perlindungan dalam Pencerahan
~ 229 ~
ada tiga kondisi dasar pikiran yang dapat Anda jadikan
perhatian:
Hasrat:1) pikiran mengejar objek menyenangkan, membuat pikiran
terbuai akan objek tersebut. Hal ini mencegah pengalaman kondisi
pikiran cerah dan bersih.
Kebencian:2) pikiran pada suatu waktu jengkel dan marah,
menyebabkan kebaikan apa pun menjadi merosot. Kebencian
merupakan cara untuk menghancurkan pikiran itu sendiri.
Khayalan:3) kebodohan, kelupaan, kegelapan batin,
kesalahpengertian.
Ketiga kondisi pikiran ini timbul dari hal-hal yang kita sukai dan tidak
kita sukai. Jika Anda memiliki perhatian penuh yang memerhatikan
pikiran Anda setiap saat, akan membuat pikiran sadar dan berkembang,
untuk mengetahui kebenaran itu sendiri.
Kapan pun hasrat timbul di dalam pikiran, pusatkan perhatian pada
pikiran itu sendiri. Jangan memusatkan perhatian pada objek hasrat.
Perhatikan pada kondisi saat ini, dan hasrat akan lenyap. Atau, jika
Anda menginginkan, Anda dapat menggunakan metode lain, dengan
merenungkan objek hasrat melalui cara tertentu. Contohnya, Anda
dapat merenungkan ketidaktertarikan pada tubuh, pertama pusatkan
perhatian pada bagian-bagian tubuh Anda, melihat bagian-bagian
tersebut sebagai kotor dan menjijikan. Pikiran Anda, yang telah melekat,
akan dapat melepaskan sendiri dari hasrat yang membenamkannya
kemudian menjadi berkembang dan terang.
Kapan pun kebencian timbul di dalam pikiran, pusatkan perhatian
hanya pada kondisi pikiran pada saat itu. Jangan memusatkan
perhatian pada objek luar atau orang yang memicu kemarahan
dan kebencian. Kemarahan dalam pikiran seperti api yang membakar.
~ 230 ~
Jika Anda tidak penuh perhatian dan waspada pada kondisi pikiran
Anda sendiri, malahan hanya memikirkan pada objek atau orang yang
memicu kemarahan, seperti menyiapkan api untuk Anda sendiri, dan
Anda akan terbakar. Oleh sebab itu, seharusnya Anda tidak terlena
pada objek luar. Sebaliknya, pusatkan perhatian dan sadar pada kondisi
kebencian di dalam pikiran. Ketika kesadaran mencapai kekuatan
penuh, kondisi kebencian akan segera lenyap.
Kebencian dan kemarahan seperti penutup yang menutupi api
membara, menyediakan panas tetapi tanpa cahaya. Jika kita membuka
penutupnya sama seperti melenyapkan kebencian, cahaya yang keluar
dari api dapat mencerahkan pikiran. “Cahaya” ini yaitu ketajaman
dan kesadaran terlatih.
Sebenarnya, tidak ada dimanapun juga kita mencari kebaikan selain
pada pikiran kita sendiri. Itulah bagaimana kita dapat mendapatkan
kebebasan dari penderitaan dan tekanan yang terpola dalam citta-
vimutti, pelepasan batin, pikiran diluar ketertarikan. Ini yaitu salah
satu cara kita mencapai Kebuddhaan, Dhamma, dan Sangha pada level
kualitas batin.
Pada kondisi khayalan, dimana pikian kita cenderung bodoh dan
lupa: hal ini datang dari banyaknya objek yang memenuhi pikiran.
Ketika ini terjadi, kita memusatkan pikiran pada satu titik dimana kita
dapat meningkatkan perhatian penuh dan kewaspadaan, sama halnya
dengan ketika kita mengambil lampu berpijar dan memusatkan pada
satu titik: kekuatan cahaya akan menjadi lebih terang. Sama seperti,
ketika kita secara terus menerus penuh perhatian pada pikiran dan
tidak membiarkannya terlibat dalam bermacam-macam persepsi luar
dan ketertarikan, perhatian penuh akan berkembang menjadi cahaya
kuat: kesadaran terlatih. Ketika kesadaran terlatih timbul dari dalam
Suatu Perlindungan dalam Pencerahan
~ 231 ~
diri kita, pikiran kita akan bersinar terang, dan kita akan bangun
dari ketidaksadaran. Kita akan mencapai kualitas yang aman untuk
berlindung pada batin kita sendiri. Kita akan mengetahuinya sendiri
dan melihatnya sendiri, dan inilah yang akan membuat kita mencapai
kualitas mulia.
Kualitas batin sebagai salah satu landasan perhatian.C. Perhatian penuh
pada kualitas mental yang timbul dari pikiran setiap saat. Kualitas
dasar batin terbagi menjadi dua, baik dan buruk.
Kualitas batin buruk, yang mengganggu pikiran untuk mencapai 1.
kebaikan tingkat atas, disebut Rintangan (nivarana), dan terbagi
menjadi lima.
Hasrat sensuala) : melekat pada objek-objek sensual – pandangan,
suara, aroma, rasa, sentuhan, dan ide yang Anda suka dan cari;
dan mengejar kesukaan sensual, seperti nafsu birahi, kemarahan,
kebencian, dan khayalan – mengasumsikan baik menjadi buruk
dan buruk menjadi baik, benar menjadi salah dan salah menjadi
benar. Melekat pada setiap hal-hal tersebut ada pada tingkatan
hasrat sensual.
Kedengkianb) : keinginan buruk pada orang atau objek, mengharapkan
mereka hancur atau berakhir buruk.
Kelambanan & kelesuanc) : kantuk, kelambanan, kejenuhan, dan
kemuraman.
Kekhawatiran & kekacauand) : menjadi marah karena kegagalan
mencapai tujuan, ketiadaan perhatian penuh untuk menghentikan
kekhawatiran dan kegelisahan Anda.
Ketidakpastian: kebimbangan; ragu-ragu mengenai bermacam-e)
macam hal atau kualitas yang Anda kerjakan untuk mengembangkan
latihan Anda.
~ 232 ~
Kelima rintangan ini yaitu kualitas batin buruk. Jika Anda jatuh ke
dalam salah satunya, Anda berada dalam kegelapan – seperti seseorang
berada di dasar sumur yang tidak dapat melihat permukaan tanah,
tidak dapat bergerak seperti yang ia inginkan, tidak dapat mendengar
perkataan orang yang berada di atas sumur, tidak dapat melihat cahaya
matahari dan bulan yang menyinari bumi. Hal yang sama, Rintangan
menghalangi kita untuk mengembangkan kebaikan dengan cara apa
pun. Rintangan-rintangan tersebut menutup telinga kita dan mata
kita, membuat kita berada dalam kegelapan, membuat kita tertidur.
Inilah mengapa kita harus berusaha untuk mengembangkan 2.
kualitas batin baik yang akan mencerahkan kita dari ketidaksadaran
kita. Contohnya, kita harus mengembangkan empat tingkat jhana
atau pencerapan batin, yang merupakan alat untuk menekan atau
menghapus semua rintangan-rintangan.
a) Tingkat jhana pertama memiliki lima faktor. Pikiran terarah: pilih
salah satu objek meditasi yang ada di dalam Anda, seperti
napas keluar-masuk. Pemusatan pada satu titik: pusatkan pikiran,
pertahankan pada objek, dan jangan biarkan pikiran lari ke yang
lain.Hal ini disebut kemanunggalan. Evaluasi: amati dengan
hati-hati objek meditasi sampai Anda melihat kebenaran. Ketika
Anda dengan cermat sadar pada objek – ini disebut kewaspadaan
– hasil yang timbul yaitu : kesukaan atau kesenangan; kegiuran –
kesempurnaan tubuh dan pikiran.
Ketika perhatian penuh memenuhi tubuh seperti ini, tubuh serasa
basah, seperti tanah dibasahi oleh air: apa pun yang Anda tanam akan
tetap hijau dan segar. Tanaman tumbuh subur. Burung-burung dan
hewan hutan lainnya dapat berteduh di bawah kerindangan. Ketika
hujan, tanah dapat menahan air bukannya mengalirkan. Seseorang yang
Suatu Perlindungan dalam Pencerahan
~ 233 ~
ahli di jhana pertama seperti tempat bernaungnya kebaikan bagi manusia
lain dan makhluk surgawi karena jhana dan konsentrasi dapat memiliki
pengaruh kesejukan tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk
orang lain.
Ketika perhatian penuh dan kewaspadaan tetap pada pikiran Anda,
pikiran serasa basah dan penuh oleh kemurnian dari kegiuran dan
kegembiraan setiap saat. Untuk kesukaan dan kesenangan yang datang
dari jhana tingkat pertama, keduanya memberikan rasa kebebasan
tanpa kekhawatiran atau keprihatinan terhadap orang lain atau apa
pun – seperti seseorang yang telah mencapai cukup kekayaan yang
membuat ia tidak lagi memiliki kekhawatiran atau prihatin akan
kehidupannya, dan dapat istirahat dengan damai.
Ketika Anda mencapai kesukaan dan kesenangan yang datang
dari jhana tingkat pertama, Anda terbebas dari rintangan keragu-
raguan dan kekhawatiran serta ganguan. Maka Anda harus
berusaha mengembangkan faktor-faktor ini di dalam pikiran Anda
sampai dapat bertahan dengan mantap dalam jhana. Pikiran Anda
kemudian akan berkembang dan terang, memicu cahaya yang
tajam, atau pandangan terang yang membebaskan. Dan, jika Anda
mengembangkan cukup kemampuan, kemudian pada saat mencapai
jhana tingkat pertama, anda dapat masuk lebih dalam. Beberapa orang,
dapat melanjutkan ke jhana tingkat ke dua.
b) Jhana tingkat ke dua memiliki tiga faktor: kegiuran, kesenangan,
dan kemanunggalan. Kekuatan pikiran bertambah kuat setahap
demi setahap, maka coba untuk mempertahankan pikiran Anda
pada kondisi tersebut, dengan hanya konsentrasi penuh dan
mempertahankan perhatian penuh dengan mantap mapan di sana.
Pikiran akan berkembang bahkan semakin kuat dan ini membawa
~ 234 ~
Anda pada jhana tingkat ke tiga.
c) Jhana tingkat ke tiga memiliki dua faktor: kesenangan dan
kemanunggalan. Terus pertahankan konsentrasi melalui
kekuatan perhatian penuh dan kewaspadaan, maka Anda akan
dapat melepaskan faktor kesenangan dan memasuki jhana tingkat
ke empat.
d) Jhana tingkat ke empat memiliki dua faktor: keseimbangan dan
kemanunggalan. Pada jhana tingkat ini, pikiran sangat kuat,
berdasarkan pada kekuatan konsentrasi bersamaan dengan
perhatian penuh dan kewaspadaan. Pikiran mantap dan tidak
bergerak – sangat sempurna tidak bergerak ke masa lampau
dan masa akan datang yang melepaskan keduanya pergi.
Mempertahankan hanya pada kondisi saat ini, mantap dan tidak
bergoyang seperti lentera yang tidak terkena angin. Ketika pikiran
mencapai jhana tingkat ke empat, akan memberikan kecemerlangan:
ketajaman dan kemampuan pembebasan pandangan terang.
Inilah yang dapat mengembangkan pengertian terhadap Empat
Kebenaran Mulia, dan kemudian dilanjutkan lebih dalam lagi –
perlindungan yang benar-benar aman.
Mereka yang telah mengalami pengalaman ini tidak ada yang lain
hanya batin terang dan kebahagiaan di dalam pikiran mereka, karena
mereka berdiam di dalam kualitas yang dikembangkan oleh diri mereka
sendiri. Mereka mencapai Kebuddhaan, Dhamma, dan Sangha pada
tingkat tertinggi, tingkat pelepasan atau pencapaian puncak, kualitas
yang bebas dari kemelekatan dan kekotoran batin.
Mereka yang melatih pikiran mereka dengan cara ini telah mencapai
Kebuddhaan, Dhamma, dan Sangha pada tingkat kualitas batin.
Dengan kata lain, mereka telah mencapai perlindungan di dalam
pikiran mereka sendiri. Mereka telah menutup total jalan menuju
Suatu Perlindungan dalam Pencerahan
~ 235 ~
ke alam rendah. Pada akhirnya, mereka sesudah kematian menuju ke
alam kebahagiaan yang lebih tinggi. Yang terbaik, mereka mencapai
nibbana. Keseluruhan pasti akan mencapai nibbana paling tidak tujuh
kehidupan, karena mereka telah mencapai kualitas batin yang mantap
dan pasti. Mereka tidak akan jatuh ke alam yang lebih rendah. Siapa
saja yang belum mencapai kualitas ini, masa depannya tidak dapat
dipastikan.
Maka jika kita menginginkan kedamaian dan keamanan yang telah
ditawarkan ajaran Sang Buddha, kita semua harus mencoba mencari
sendiri perlindungan yang dapat diandalkan. Jika Anda berlindung
pada tingkat kias, tingkatan individu, carilah seseorang yang bernilai
supaya keyakinan Anda di dalam mereka akan membawa Anda ke alam
bahagia. Sedangkan untuk berlindung pada tingkatan kualitas batin,
yang akan benar-benar bernilai untuk Anda, berlatihlah agar timbul
kualitas-kualitas tersebut di dalam diri Anda.
Untuk menyimpulkan: pada tingkatan kualitas batin, Buddha, Dhamma,
dan Sangha seluruhnya yaitu sama. Yang membedakan hanya pada
sebutannya saja.
Anda harus “opanayiko” – kembangkan kualitas-kualitas ini dalam
pikiran Anda. “Sanditthiko” – ketika Anda melaksanakan latihan, Anda
akan melihat kualitas-kualitas tersebut sendiri. “Paccattam” – Anda
mengenal mereka hanya dalam diri Anda. Hal-hal yang diketahui oleh
orang lain tidak aman.
Jika Anda menginginkan kedamaian dan perlindungan kokoh dan
pasti, Anda harus mengembangkannya di dalam pikiran Anda sendiri.
Hasilnya yaitu nibbana, kebebasan dari kekotoran batin, dari lahir, tua,
sakit, dan mati di dunia ini dan dunia mana pun yang akan datang.
~ 236 ~
nibbanam paramam sukham
“Nibbana yaitu kebahagiaan tertinggi.
Tidak ada kebahagiaan yang lebih tinggi lagi.”
Inilah “Buddha” pada tingkatan hasil: bebas dari tidur, pencerahan
sempurna.
Dan inilah akhir dari diskusi kita mengenai syair perlindungan.
~ 237 ~
Daftar Kata
Bagian 1: Gelar Pribadi
Masyarakat di Thailand jarang menyebut panggilan dengan nama.
Biasanya nama didahului oleh satu pola yang mengindikasikan
tingkatan seseorang, hubungannya dengan pembicara, atau perasaan
pembicara pada saat itu. Beberapa pola dibawah ini, banyak digunakan
di dalam buku ini.
Pada zaman kerajaan, pelayan tingkat tinggi dianugerahi gelar
bangsawan. Gelar yang diberikan kepada orang pada umumnya, dari
atas yaitu Khun, Luang, Phra, Phraya, dan Chao Phraya. Istri seorang
Khun, seorang Luang, atau seorang Phra disebut Khun Nai. Sedangkan
istri dari seorang Phraya atau seorang Chao Phraya disebut Khun Ying.
Ranking dan gelar lain yang dianugerahkan kepada anggota kerajaan
yang bekerja dalam pemerintahan, tetapi tidak satu pun disebutkan di
dalam buku.
Sistem penganugerahan rangking dan gelar yang sama dan masih
berlaku, dianugerahkan kepada para bhikkhu. Ranking yang paling
mendasar, dari atas yaitu Phra Khru dan Chao Khun, walaupun
tiap rangking tersebut memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan
yang tertinggi dari Chao Khun yaitu Somdet. Penerima gelar ini
juga diberikan nama baru yang akan dipakai menunjukan status dan
~ 238 ~
posisinya. Hal ini sangat penting karena mungkin saja seseorang
memiliki nama lahir “Dog”, “Grub” or “Pig”. Penganugerahan nama
dapat dipergunakan kembali. Contohnya, Somdet Wat Boromnivasa
yang disebutkan dalam buku ini memiliki nama lahir Uan (Fatty). Ketika
ia dianugerahi gelar Somdet, nama resminya yaitu Mahawirawong
(Mahaviravamsa – Pali: keturunan pahlawan besar). sesudah ia mangkat,
jabatan dan gelar Somdet Mahawirawong jatuh kepada kepala vihara
Wat Makut Kasatriyaram, yang nama lahirnya Juan (Almost). Secara
resmi, keduanya dibedakan dengan Somdet Phra Mahawirawong (Uan)
dan Somdet Phra Mahawirawong (Juan).
Gelar lain yang digunakan di dalam buku ini:
Chao Jawm:
Selir raja
Khun:
pola nama sopan yang terletak sebelum nama pria atau wanita
tanpa tingkatan tertentu. “Khun” ini dan “Khun” yang merupakan
tingkatan terendah dari gelar kebangsawanan (biasanya diberikan
kepada petugas daerah dan petugas militer berpangkat rendah)
dieja berbeda dalam bahasa Thailand dan diucapkan dengan
intonasi yang berbeda pula. Sayangnya, dalam bahasa Inggris tidak
ada cara untuk menandai perbedaan keduanya dengan tanda
intonasi khusus, tetapi pembaca tidak akan kesulitan membedakan
dari konteksnya.
Luang Phaw:
Bapak Yang Mulia. 1) prefix untuk nama seorang bhikkhu senior,
menunjukan rasa hormat dan cinta kasih. 2) prefix untuk rupang
Daftar Kata
~ 239 ~
buddha.
Luang Ta:
Kakek yang mulia bersifat keibuan. Prefix untuk nama seorang
bhikkhu yang sudah tua, menunjukan sedikit rasa hormat dan lebih
cinta kasih dibanding Luang Phaw, tetapi tidak secara istimewa,
diberikan kepada bhikkhu yang ditahbiskan pada usia tua.
Mae:
Ibu. Juga prefix untuk nama seorang wanita atau gadis, menunjukan
persahabatan dan rasa hormat.
Maha:
Prefix untuk nama seorang bhikkhu yang lulus ujian bahasa Pali
tingkat ke tiga. Prefix ini tetap ada walaupun bhikkhu tersebut lepas
jubah, tetapi jika ia tetap sebagai seorang bhikkhu dan dianugerahi
gelar kebhikkhuan, prefix tersebut hilang.
Nai:
Tuan. Digunakan sebelum nama seorang anak lelaki atau seorang
pria tanpa tingkatan tertentu.
Nang:
Nyonya.
Phra:
Yang Mulia. Digunakan sebagai prefix nama seorang bhikkhu,
seorang Chao Khun atau seorang bangsawan (lihat catatan pada gelar
kebangsawanan, di atas). Lagi, tidak ada kesulitan membedakan
~ 240 ~
dari konteksnya.
Thao:
Gelar untuk pelayan wanita dalam lingkungan kerajaan.
Than:
Yang Terhormat, Yang Mulia.
Than Phaw:
Ayah Yang Terhormat. Chanthaburi setara dengan Luang Phaw
(lihat di atas).
Bagian II: pola-pola
Abhidhamma:
Bagian dari kanon buddhis, tujuh kitab membahas tentang analisa
kategori-kategori, pola dan kaitannya dengan batin.
Ajaan:
Guru; mentor.
Asalha Puja:
Hari suci Buddhis, pada bulan purnama penuh di bulan Juli,
memperingati pembabaran Dhamma pertama Sang Buddha dan
peristiwa-peristiwa disekelilingnya.
Bhikkhu:
Bhikkhu buddhis.
Daftar Kata
~ 241 ~
Chedi:
Stupa, berisi relik Sang Buddha, objek yang berhubungan dengan
Sang Buddha, atau salinan kitab suci buddhis.
Dhamma:
Ajaran Sang Buddha; latihan dari ajaran-ajaran tersebut; kebenaran
apa adanya.
Dhutanga:
1) Praktek pertapaan, seperti berpindapatta, makan satu kali sehari,
dll. 2) Bhikkhu pengembara.
Gatha:
Syair atau bagian pendek dalam bahasa Pali.
Jhana:
Pencerapan meditatif dalam sensasi atau pikiran
Karma (kamma):
Tindakan disengaja, dalam pikiran, perkataan atau perbuatan,
berpengaruh kepada pelaku tindakan tersebut
Kathina:
Persembahan jubah kepada kelompok bhikkhu yang melewatkan
masa vassa bersama-sama dalam satu lokasi.
Khanom tom:
Manisan Thailand dibuat dari tepung yang dibentuk menjadi bola-
~ 242 ~
bola berisi kelapa dan digulingkan dalam parutan kelapa.
Magha Puja:
Hari suci buddhis, pada bulan purnama penuh di bulan Februari
atau awal bulan Maret, memperingati pembabaran Dhamma Sang
Buddha “Ovada Patimokkha”, ringkasan dari ajaran Sang Buddha,
dibabarkan pada sore hari dengan dihadiri oleh 1.250 arahanta.
Naga:
Dewa berbentuk ular/naga besar, memiliki ilmu gaib dan kekuatan
besar.
Nibbana:
Kebebasan. Padamnya hasrat, kebencian, dan khayalan di dalam
pikiran, menghasilkan kebebasan sempurna dari penderitaan.
Parinibbana:
Pembebasan sempurna; mangkatnya Sang Buddha dan arahanta.
Phaa paa:
Persembahan kain dan keperluan lainnya diletakan di atas pohon
kecil dan dipersembahkan kepada seorang bhikkhu. Ini yaitu
peninggalan tradisi lama – saat itu ketika para bhikkhu tidak
diperbolehkan untuk menerima persembahan kain, dan hanya
dapat membuat jubah mereka dari kain yang sudah dibuang –
dimana donatur yang ingin mempersembahkan kain kepada para
bhikkhu akan “membuangnya” dengan meletakan di dahan pohon
dekat jalur yang biasa dilewati oleh para bhikkhu.
Daftar Kata
~ 243 ~
Sala:
1) aula pertemuan umum. 2) anjungan terbuka yang digunakan
untuk beristirahat oleh para pengembara.
Samadhi:
Konsentrasi. Pemusatan pikiran pada satu objek.
Tripitaka:
Kanon buddhis, berisi tiga “keranjang”: Vinaya (aturan disiplin),
Sutta-Sutta (sutta), dan Abhiddhamma (analisa batin dan pola-
polanya)
Vinaya:
Aturan disiplin para bhikkhu.
Visakha Puja:
Hari suci buddhis, pada bulan purnama di bulan Mei atau awal bulan
Juni, memperingati kelahiran Sang Buddha, Pencerahan Sempurna,
dan Parinibbana (lihat di atas).
Wai:
Posisi menghormati dimana kedua tangan dalam posisi anjali di
dada, di depan wajah seseorang atau, dalam kasus ekstrim, di atas
kepala seseorang.
Wat:
Vihara.
~ 244 ~
Catatan Kaki
Kebudayaan tradisional di Thailand untuk wanita yang baru 1.
melahirkan berbaring di sebelah perapian, untuk beberapa
hari sampai sebulan kemudian. Bagi rumah tangga yang lebih
sederhana: berbaring di sebelah perapian yang tetap menyala
siang dan malam. Bagi rumah tangga yang lebih rumit, perawatan
ditambah berendam dalam ramuan alami dan pijatan sebagai cara
untuk mengembalikan kesehatan wanita tersebut.
Para bhikkhu tidak diperbolehkan untuk makan dari siang sampai 2.
dengan dinihari keesokan harinya. Ada beberapa alasan berkaitan
dengan aturan ini, salah satunya agar para bhikkhu tidak menjadi
beban tambahan bagi pendukungnya.
Peristiwa utama di desa pedalaman Thailand pada akhir masa vassa 3.
yaitu memohon para bhikkhu untuk membacakan Mahachaad,
atau sutta “Kelahiran Besar”, kisah Sang Buddha pada kehidupan
terakhir Beliau sebagai Pangeran Vessantara, menceritakan
kesulitan yang dialami Beliau untuk hidup dalam prinsip-prinsip
kedermawanan dan buah keberhasilan yang diraih Beliau dengan
menjalankan prinsip-prinsip dengan benar. Pembacaan sutta ini
berlangsung sehari, dan dilaksanakan dalam tiga belas prosesi.
Masih ada beberapa pedesaan yang masih menjalankan
tradisi ini, tetapi dengan cepat ditinggalkan.
Chao Khun Upali Gunupamacariya (Jan Siricando), sahabat masa 4.
~ 245 ~
Catatan Kaki
kecil Ajaan Mun, merupakan salah satu bhikkhu senior di Thailand
pada masa-masa awal abad ini, meskipun beliau dicopot sementara
dari jabatannya dan ditahan dalam “penahanan vihara” karena
mengkritik secara terbuka permintaan Raja Rama VI agar para
bhikkhu menganjurkan umatnya untuk mendonasikan uangnya
dalam membantu pembuatan kapal perang the Royal Thai Navy.
Beliau juga merupakan guru dan penahbis Somdet Mahawirawong
(Tisso Uan) yang disebutkan pada bagian akhir buku ini.
Pelayanan kremasi di Thailand dapat memakan waktu berhari-5.
hari – bahkan bulan atau tahun – sebelum upacara kremasi
dilaksanakan.
Banyak kegiatan yang dilakukan kakek Phaa – memakai pakaian 6.
umat awam, menanam dan memetik buah, membeli dan menjual
barang – dilarang oleh vinaya.
Ada beberapa masyarakat di Asia Tenggara, seperti ayah dan gadis 7.
dalam peristiwa ini, menghormati bhikkhu-terpuji sebagai pemuda
ideal. Oleh sebab itu, keputusan berada pada bhikkhu tersebut
apakah ia ingin mencurahkan sepenuhnya untuk bermeditasi, dan
tetap hidup selibat, atau membantu orang seperti di atas dengan
menjadi pemuda ideal.
ada beberapa kasus dimana masyarakat yang dendam 8.
kepada seorang bhikkhu bersekongkol dengan seorang wanita
untuk mengunjunginya terus menerus, mengikuti kegiatan
sehari-harinya, dan menuduhnya melakukan pelecehan seksual.
Karena umat Buddha sangat memerhatikan hubungan antara
seorang bhikkhu dengan seorang wanita harus murni, dan
karena tuduhan demikian sulit untuk dibuktikan, tuduhan-
tuduhan tersebut sering dituding oleh masyarakat didasarkan
~ 246 ~
pada prasangka-prasangka daripada kenyataan sebenarnya yang
terjadi: wanita yang dilecehkan akan diasingkan, dan bhikkhu
yang tidak bersalah tersebut akan diusir dari kota. Inilah dasar
ketakutan Khun Nai Kimlang.
Menyalakan api unggun untuk menghangatkan tubuh seseorang 9.
– kecuali dengan alasan kesehatan – dilarang oleh vinaya, karena
api unggun sering diartikan sebagai undangan duduk-duduk
ngobrol daripada bermeditasi.
Masyarkat bertanya mengapa Ajaan Lee menceritakan banyak 10.
sekali tentang Festival perayaan dua puluh lima abad Buddhisme,
dan khususnya pada jumlah uang yang didonasikan dan dihabiskan.
Tiga alasan ini sepertinya sesuai: 1) Banyak orang yang terlibat
dalam perayaan ini masih hidup pada saat Ajaan Lee menulis buku
ini, perayaan ini masih hangat di dalam ingatan mereka. Mereka
senang melihat usaha mereka tidak dilupakan, dan saat yang
sama Ajaan Lee ingin mengingatkan mereka akan satu tujuan
perayaan yang belum sempat terpenuhi: membangun stupa di Wat
Asokaram. 2) keseluruhan pertanyaan mengenai penggalangan
dana – atau kekurangannya – untuk perayaan tersebut dapat
menjadi bacaan yang baik. Banyak pengikut beliau yang merasa
hanya dengan mengajukan permohonan dana kepada umum
dan kepada pemerintah, mereka dapat melaksanakan program
tersebut. Ajaan lee mendesak – dan pada akhirnya terbukti
benar – bahwa mereka dapat mengandalkan kemurnian niat
mereka sendiri. 3) beberapa kelompok lain, termasuk pemerintah
Thailand, mengadakan perayaan dua ribus lima ratus tahun B.E
pada waktu yang sama dengan perayaan yang diadakan Ajaan lee,
dan pada beberapa kasus – khususnya pemerintah – mereka tidak
dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan penggunaan aliran dana.
~ 247 ~
Catatan Kaki
Ajaan Lee ingin menunjukan dalam kasus beliau, paling tidak,
seluruh aliran dana tercatat dengan baik.
Jika dalam terjemahan ini ada kekeliruan atau menyesatkan, saya
memohon maaf kepada penulis dan pembaca atas ketidaksengajaan
tersebut. Dan apabila terjemahan ini tepat, aku harap pembaca dapat
menggunakan sebaik-baiknya, terjemahkanlah ke dalam pikiran, agar
dapat mencapai kebenaran sesungguhnya.
— Penerjemah
Gatha Pelimpahan Jasa Kebaikan
Sabbe satta sada hontu
avera sukha-jivino
katam puñña-phalam mayham
sabbe bhagi bhavantu te
Semoga semua mahluk selalu hidup berbahagia,
Bebas dari kebencian.
Semoga semua makhluk turut menikmati jasa yang berasal dari kebaikan
yang telah kuperbuat
~ 248 ~
Data dari Perpustakaan Nasional (Thailand)
(Penulis) Phramaha Dhiranat Aggadhiro
Judul buku: Yang Mulia Li Dhammadharo
Bhikkhu Ariya yang memiliki Kekuatan Batin
Bangkok: B Press 2550
496 halaman
Phra Suddhidhammarangsi Gambhiramedhacarya (Li Dhammadharo)
2449 – 2504 (1906 – 1961)
ISBN 978-974-7216-68-4
Sekilas Otobiografi Ajaan
Lee Dhammadharo
oleh
Bhante Sukhemo
~ 249 ~
Cetakan pertama: Desember 2550 (Desember 2007)
Jumlah: 10.000 jilid
(catatan: tahun kalender Masehi = tahun kalender Thailand – 543
Contoh: tahun kalender Thailand = 2550
Maka tahun kalender Masehi = 2550 – 543 = 2007)
Pada waktu Achan Li jalan dhutanga bersama Phra Cheuy, mereka
tinggal di daerah pekuburan yang luas. Di daerah itu banyak ada
bekas-bekas api kremasi; tulang belulang banyak berserakan. Phra
Cheuy bermalam di tempat lain sedangkan Achan Li bermalam di
tempat yang berjarak kira-kira 6 meter dari bekas api kremasi. Keesokan
harinya ada sejumlah penduduk desa datang membawa jasad untuk
dikremasi. Jasad itu tidak ditaruh dalam peti jenazah tetapi hanya
dibungkus dengan kain. Melihat jasad itu, achan Li berkata dalam hati;
“Wah, kali ini saya benar-benar susah.” Mau pergi menyingkir rasanya
malu, kalau tetap tinggal di sana rasanya takut. Wah, apa yang akan
dilakukan nih.
Penduduk desa memulai kremasi pukul 4 sore tidak jauh dari tempat
achan Li menetap sehingga ia dapat melihat jasad itu dengan jelas.
Tangan dan kakinya terangkat ke atas pada waktu jasad itu terbakar.
Tubuhnya sudah terpisah sebatas pinggang, warnanya masih hitam
terbakar. Penduduk kembali ke desa dan achan Li tinggal sendirian.
Achan Li cepat kembali ke kutinya yang terbuat dari daun pisang dan
bermeditasi, tidak membiarkan pikiran keluar mengembara, dengan
jasad sebagai obyek meditasi mengingatkan diri sendiri apabila batin
tidak terikat maka tubuh jasmani ini bagaikan bara api yang berwarna
hitam, apabila batin terikat dengan tanha (nafsu keinginan), upadana
~ 250 ~
(kemelekatan), ia bagaikan bara api yang berwarna merah. Kematian
bagaikan melepaskan pakaian dari tubuh dan membuangnya. Batin
bagaikan diri sendiri, badan jasmani bagaikan pakaian.
Achan Li menderita sakit jantung dan dirawat dengan sebaik-baiknya
lebih dari lima bulan oleh para dokter di rumah sakit Somdet Phra
Pinklao. sesudah para dokter memeriksa kesehatan beliau sudah baik,
maka mereka mengizinkan beliau kembali ke Wat Asokaram.
Hari Sabtu tanggal 15 April 2504 (1961) beliau menghadiri hari uposatha
bagi para bhikkhu dan kemudian memberikan pemberkahan kepada
umat pada hari Songkran (tahun baru rakyat Thailand). Umat merasa
gembira dan mengharapkan beliau dapat mengabdi pada Buddha
Sasana lebih lama lagi. Beliau mengatakan akan istirahat 10 hari di
wat, sesudah itu akan pergi retret.
Tanggal 22 April 2504 (1961), tiga hari sebelum beliau pergi retret
(yaitu tanggal 25 April dimana pada malam harinya beliau meninggal
dunia), beliau berjalan berkeliling wat menanyakan keadaan umat-
umat dan para bhikkhu murid-murid beliau, juga mengunjungi daerah
maechi (upasika yang melaksanakan 8 sila) yang sebelumnya tidak
pernah dikunjungi. Mereka gembira melihat beliau sehat, sepertinya
tidak menderita sakit apa-apa.
Pagi hari tanggal 26 April 2504 (1961) terjadilah peristiwa yang tidak
terduga. Sudah pukul 11 siang, tidak ada seorang pun yang melihat
achan Li keluar membuka pintu. sesudah menunggu lama akhirnya
para murid bhikkhu dan samanera membuka jendela untuk melihat
ke dalam kuti. Mereka melihat tubuh achan Li berbaring miring ke
kanan sudah tidak bernapas; beliau tidak mengenakan jubah, hanya
mengenakan sarung dan angsa (kaus). Beberapa penduduk murid
beliau berkata agar tidak menyentuh tubuh beliau, ada kemungkinan
~ 251 ~
beliau sedang meditasi mendalam yang disebut jhana dan akan sadar
serta bangun kembali. sesudah ditunggu berjam-jam beliau tidak
bangkit kembali, mereka yakin beliau sudah meninggal dunia.
Yang Mulia Somdet Phra mahawirawong (Chuan Utthayi, kemudian
hari menjadi Somdet Phrasangharaja) membuat keputusan agar jasad
Yang Mulia Bhikkhu Li tidak dikremasikan seperti yang terjadi pada
Yang Ariya Phra Mahakassapa Thera yang pada suatu hari di waktu
mendatang akan ada Phra Sri Ariya Maitreya melakukan kremasi jasad
Phra Mahakassapa Thera dengan terhormat.
Tentang jasad Yang Mulia Bhikkhu Li juga diperlakukan seperti ini
dengan harapan bahwa kelak di kemudian hari ada penduduk yang
memiliki hubungan karma dengan Yang Mulia Bhikkhu Li akan
melakukan upacara kremasi tubuh beliau dengan terhormat sesuai
pahlawan kammatthana dhamma yang memiliki kekuatan batin dari
tradisi Achan Man Bhuridatto.
Murid-murid achan Li sepakat jasad beliau tidak dikremasikan
sebelum chedi 7 stupa selesai dibangun di Wat Asokaram. Tetapi,
sesudah chedi selesai dibangun pada tahun 1965, sebagian besar murid-
murid beliau tetap menginginkan agar jasad beliau tidak dikremasikan
dan disemayamkan di dalam ruangan khusus yang selesai dibuat pada
tahun 1987. Sampai sekarang banyak penduduk berkunjung untuk
memberikan penghormatan kepada beliau.
Riwayat hidup Achan Li Dhammadharo
(catatan: Achan yaitu huruf Thai yang berasal dari huruf Sansekerta
Acharya, artinya: Guru atau Bapak dosen, panggilan kepada penduduk
yang dihormati)
~ 252 ~
Lahir di desa Bahn Nong Song Hong propinsi Ubon Ratchathani pada
tanggal 31 Januari 2449/1906
Diberi nama Chali
Ayah dan ibu bernama Pao dan Phuay Nariwong
6 Mei 1925 Ditahbiskan menjadi bhikkhu di Wat Bahn Nong Song
Hong, propinsi Ubon.
Upajjhaya: Lungpu Om
27 Mei 1927 Ditahbiskan ulang menjadi bhikkhu di Wat Burapha,
Ubon
Upajjhaya: Phra Pannyabhisara (nu), acariya: Achan
Pheng dan Achan Man
Vassa 1 – Di propinsi Ubon Ratchatani
Vassa 2, 3, 4 (3) – Di Wat Sra Pathum, Bangkok
Vassa 5 – Di Chieng Mai
Vassa 6, 7 (2) – Di Nakon Ratchasima
Vassa 8 – Di Prachinburi
Vassa 9 s/d 22 (14) – Di Chantaburi
Vassa 23 – Di India
Vassa 24 – Di propinsi Sangkhla
Vassa 25 – Di Chieng Mai
~ 253 ~
Vassa 26, 27, 28 (3) – Di Wat Boromnivasa, Bangkok
Vassa 29 sd 33 (5) – Di Wat Asokaram
26 April 1961/2504 – meninggal dunia Di Wat Asokaram
Usia 55 tahun 2 bulan 25 hari
%20(2).jpeg)





