begitu, aku akan memohon agar engkau menetap di taman
istana sebagai petapa sehingga aku dapat menjumpaimu siang atau
malam.” Bà varã mengabulkan permohonan itu, lalu ia dan
pengikutnya yang berjumlah enam belas murid senior beserta enam
belas ribu pengikutnya menetap di taman istana sebagai petapa. Raja
menyediakan empat kebutuhan kepada mereka dan secara rutin
memberi hormat setiap pagi dan sore kepada gurunya.
sesudah beberapa lama, murid-muridnya berkata kepada guru
mereka, “Guru, tinggal di dekat kota membuat kehidupan
pertapaan menjadi tidak memuaskan sebab banyak gangguan.
Tempat yang cocok bagi seorang petapa yaitu tempat yang jauh
dari kota; marilah kita pindah dari sini.” Sang guru terpaksa
menyetujui. Ia memberitahukan hal itu kepada raja tetapi raja
tidak mengizinkannya pergi. Tiga kali BÃ vari mendesak raja agar
mengabulkan permohonannya. Akhirnya raja terpaksa mengabulkan
keinginannya. Ia memerintahkan dua orang menterinya membawa
dua ratus ribu keping uang dan pergi menyertai Bà varã dan para
pengikutnya untuk mencari tempat yang sesuai untuk pertapaan
mereka, dan membangun gubuk-gubuk pertapaan untuk mereka.
Petapa Bà varã dan 16.016 murid petapa di bawah pengawasan kedua
menteri pergi ke arah selatan Sà vatthã. saat mereka tiba di luar
Jambådãpa, di suatu tempat yang terletak di antara dua kerajaan
2828
Assaka dan Aëaka yang merupakan sebuah pulau besar di mana
dua anak Sungai Godhà varã bercabang, sebuah hutan buah-buahan
yang luasnya tiga yojanà , Bà varã berkata kepada murid-muridnya,
“Ini yaitu tempat parapetapa pada masa lampau menetap. Cocok
bagi para petapa. Sesungguhnya, ini yaitu hutan tempat para
petapa terkenal, seperti Sarabhaïga, menetap.
Menteri raja itu membayar seratus ribu keping perak kepada masing-
masing Raja Assaka dan Raja Aëaka untuk membeli tanah itu.
Kedua penguasa itu dengan senang hati menyerahkan tanah itu dan
menambahkan dua yojanà tanah yang bersebelahan dengan hutan
itu, sehingga totalnya menjadi lima yojanà . Kedua menteri dari
Sà vatthã itu membangun tempat-tempat tinggal di sana. Mereka juga
membeli bahan-bahan yang diperlukan dari Sà vatthã dan mendirikan
sebuah pedesaan besar untuk para petapa itu mengumpulkan dà na
makanan. sesudah tugas-tugas mereka selesai, mereka kembali
ke Sà vatthã. (Kisah di atas dikutip dari Komentar Sutta Nipà ta.
Komentar Aïguttara Nikà ya menceritakan kisah selanjutnya dari
Petapa Bà varã yang akan dijelaskan berikut.) Pada hari, sesudah dua
menteri itu kembali ke Sà vatthã, datanglah seorang laki-laki yang
meminta izin untuk mendirikan rumah sebagai tempat tinggalnya
di sana. Ia mendapat izin untuk melakukan hal itu. Segera keluarga-
keluarga lainnya mengikuti sehingga akhirnya terdapat seratus
rumah di sana. Dan dengan keramahan Petapa Bà varã, komunitas
perumah tangga itu berkembang, sehingga menjadi sumber dà na
makanan bagi para petapa, yang juga memperoleh makanan setiap
hari dari buah-buahan.
Persembahan Tahunan Bernilai Seratus Ribu
Desa di pertapaan itu menjadi makmur. Penghasilan dari pertanian
dan kegiatan lainnya berjumlah seratus ribu setiap tahun yang
dibayarkan para warga kepada Raja Assaka. Tetapi Raja Assaka
berkata kepada mereka bahwa penghasilan ini harus dibayarkan
kepada Petapa Bà varã. saat mereka membawa uang itu kepada
Bà varã, petapa itu berkata, “Mengapa kalian membawa uang itu?”
Para warga berkata, “Yang Mulia, kami membayar sejumlah ini
sebagai ungkapan terima kasih kami sebab diperbolehkan menetap
2829
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
di tanahmu.” Bà varã berkata, “Jika aku menginginkan uang, aku
tidak akan menjadi seorang petapa. Ambil kembali uang kalian.”
“Tetapi, Yang Mulia,” para warga berkata, “Kami tidak dapat
mengambil kembali apa yang telah diberikan kepadamu. Kami akan
membayar sejumlah seratus ribu setiap tahun kepadamu. Kami
dengan rendah hati menyarankan agar engkau menerima upeti
tahunan dari kami dan engkau dapat mendanakannya sesukamu.”
Bà varã setuju. Dan setiap tahun terjadi persembahan besar-besaran
oleh para petapa baik itu demi kesejahteraan para kaum miskin,
petani, pengembara, dan pengemis. Berita tentang perbuatan mulia
ini menyebar ke seluruh Jambådãpa.
Ancaman Seorang Brahmana Palsu
Pada suatu kegiatan tahunan itu, sewaktu Bà varã sedang bersuka-ria
dalam kebajikannya di tempat tinggalnya, ia terbangun dari tidurnya
oleh teriakan parau seseorang yang meminta, “Brahmana Bà varã,
berikan sesuatu padaku sebagai dà na. Berikan, sesuatu sebagai
dà na.” Itu yaitu suara seorang brahmana palsu yang merupakan
keturunan dari Jåjakà (dari kisah Jà taka Vessantara) yang datang
dari Desa Brahmana Dunniviñtha di Kerajaan Kaliïga. Ia datang
atas perintah istrinya yang berkata kepadanya, “Tidakkah engkau
tahu bahwa Brahmana Bà varã memberi dà na secara bebas?
Pergi dan mintalah emas dan perak darinya.” Brahmana palsu itu
yaitu seorang suami yang takut kepada istrinya. Ia tidak mampu
membantah perintah istrinya.
Bà varã berkata kepadanya, “O Brahmana, engkau terlambat. Aku
telah memberi seluruhnya kepada mereka yang datang meminta.
Aku tidak memiliki sekeping uang pun sekarang.” “O Bà varã, aku
tidak meminta banyak. Engkau yang memberi begitu banyak,
tidak mungkin tidak memiliki sekeping pun seperti yang engkau
katakan. Berikan aku lima ratus saja.” “Aku tidak mempunyai
lima ratus. Engkau akan mendapatkannya tahun depan.” “Apakah
aku harus menunggu sampai tahun depan?” Ia marah sewaktu
mengucapkan kata-kata itu. Ia mengucapkan kutukan-kutukan
dengan cara sebagai berikut. Ia mengambil kotoran sapi, bunga-
bunga merah, dan rumput ke dalam gubuk itu, dan menebarkannya
2830
di lantai di jalan masuk ke dalam gubuk Bà varã. lalu ia
mencuci kaki kirinya dengan air yang diambil dari kendi air yang
ia bawa, berjalan tujuh langkah di atas lantai, sambil menepuk
kaki (kiri)nya dengan tangannya, ia mengucapkan kutukan seperti
seorang suci membacakan mantra:
Sace me yà camà nassa, bhavaÿ nà nupadassati.
Sattame divase tuyhaÿ, muddhà phalatu sattadhà .
Jika engkau tidak memberiku uang yang kuminta—semoga
kepalamu pecah menjadi tujuh keping pada hari ketujuh dari
sekarang.”
Bà varã sangat terganggu, “Mungkin kutukannya akan terjadi,”
ia merenungkan saat ia berbaring. lalu ibu Bà varã pada
kehidupan lampaunya yang sekarang menjadi dewi penjaga
pertapaan itu, melihat kekhawatiran mantan anaknya itu, berkata:
Na so muddhaÿ pajà nà ti, kuhako so dhanatthiko,
Muddhani muddhapà te và , ¥Ã õaÿ, tassa na vijjati.
“(Anakku,) Brahmana itu tidak tahu apa yang disebut kepala.
Ia hanyalah seorang brahmana palsu yang gagal mendapatkan
uangmu. Ia tidak tahu arti ‘kepala’ (muddhà ) juga faktor-faktor
yang dapat menyebabkan ‘kepala’ menjadi hancur berkeping-keping
(muddhà dhipà ta).”
lalu Bà varã berkata, “O Ibu, jika engkau tahu apa yang
dimaksudkan dengan kepala dan faktor-faktor yang dapat
menyebabkan ‘kepala’, sudilah memberitahuku.”
Dewi itu menjawab, “Anakku, aku tidak mengetahui kedua hal ini.
Hanya para Buddha yang mengetahuinya.” “Siapakah di dunia
ini yang mengenalnya? Mohon antarkan aku kepada orang itu.”
“Buddha Yang Maha Mengetahui, Raja Tiga Alam.” saat kata
‘Buddha’ terdengar olehnya, Bà varã menjadi sangat gembira dan
semua kekhawatiran lenyap. “Di manakah Buddha sekarang?”
“Buddha menetap di Vihà ra Jetavana di Sà vatthã.”
2831
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Keesokan paginya, Bà varã mengumpulkan enam belas muridnya
dan berkata, “O murid-muridku, Buddha dikatakan telah muncul di
dunia ini. Pergi dan periksalah fakta ini dan beritahukan kepadaku,
aku bermaksud pergi menemui Buddha sendiri tetapi dalam usiaku
yang telah lanjut, aku dapat meninggal dunia kapan saja. Pergi dan
temuilah Buddha dan ajukanlah tujuh pertanyaan ini kepada Beliau.”
Pertanyaan-pertanyaan yang diatur dalam syair yang dikenal sebagai
muddha Phà lana (juga dikenal sebagai muddhà dhipà ta) lalu
diajarkan kepada mereka secara terperinci.
Catatan: bahwa pada tahun kedelapan Bà varã menetap di tepi Sungai
Gohà varã, Buddha muncul di dunia―Komentar Sutta Nipà ta, Vol. 2.
lalu Bà varã merenungkan, “Enam belas muridku yaitu
orang-orang yang bijaksana. Jika mereka mencapai tujuan tertinggi
dari kebhikkhuan (yaitu Kearahattaan) mereka mungkin kembali
padaku, mungkin juga tidak.” Dan sebab itu ia berkata kepada
Piïgiya, keponakannya, “Keponakan Piïgiya, engkau harus kembali
ke sini. Beritahukan kepadaku manfaat dari Lokuttara saat engkau
telah mencapainya.”
lalu enam belas ribu pengikut Bà varã di bawah pimpinan Ajita
(satu dari enam belas murid), bersama enam belas guru mereka,
bersujud kepada Bà varã dan meninggalkan pertapaan itu menuju
ke arah utara.
Dalam perjalanan itu mereka melewati MÃ hissati yang merupakan
kota kerajaan Aëaka, Ujjenã, Gonaddha, Vedisa, Pavana, Kosambã,
Sà keta, Sà vatthã, Setabya, Kapilavatthu, Kusinà rà , Pà và , Bhoga, Vesà lã,
dan RÃ jagaha yang terletak di Negeri Magadha. Perjalanan panjang
sejauh banyak yojanà .
Sewaktu mereka melewati kota, orang-orang akan bertanya ke
mana tujuan mereka dan saat mereka menjawab bahwa mereka
akan menemui Buddha untuk menanyakan permasalahan, banyak
orang yang bergabung bersama mereka. Saat mereka melewati
Kosambã dan sampai di Sà keta, panjang barisan itu sudah enam
2832
yojanà . Buddha mengetahui kedatangan para petapa, murid-murid
Bà varã, dan bahwa mereka disertai oleh banyak orang dalam
perjalanan itu. Tetapi mengetahui bahwa indria para petapa itu
masih belum cukup matang, Buddha tidak menunggu di Sà vatthã
untuk menerima mereka, melihat bahwa tempat yang tepat bagi
Pencerahan mereka yaitu Cetiya Pà sà õaka di Magadha. sebab
harus melewati banyak kota lagi untuk sampai ke tempat itu,
jumlah barisan itu akan semakin banyak dan mereka semua akan
mendapatkan manfaat dari khotbah-Nya di sana, yaitu, mencapai
Pengetahuan Empat Kebenaran Mulia. Mempertimbangkan hal
ini, Buddha meninggalkan Sà vatthã dan pergi ke arah Rà jagaha
mendahului barisan para petapa itu.
saat barisan itu tiba di Sà vatthã, mereka masuk ke vihà ra dan
bertanya di mana Buddha berada. Di pintu masuk ke kamar Buddha,
Kuñã Harum, mereka melihat jejak kaki Buddha (yang ditinggalkan
di sana oleh Buddha dan tidak terusik hingga mereka tiba). Mereka
mampu membaca jejak kaki segala jenis individu, bahwa:
Rattassa hi ukkuñikaÿ padaÿ bhave,
duññhassa hoti avakaóóhitaÿ padaÿ,
Måëhassa hoti saha sà nu à nupãëitaÿ,
vivañacchadassa ida mãdisaÿ padaÿ.
“Seorang yang penuh nafsu, jejak kakinya berlubang di
tengahnya;
Seorang yang penuh kebencian, jejak kakinya condong ke
belakang;
Seorang yang dungu, jejak kakinya menekan pada bagian jemari
dan tumit;
Jejak kaki ini pasti milik Buddha Yang Maha Mengetahui yang telah
menghancurkan semua kotoran.”
Dengan pengetahuan itu, para petapa itu yakin bahwa mereka telah
menemukan jejak kaki Buddha.
Buddha berjalan melalui Setabya, Kapilavatthu, dan seterusnya, dan
tiba di Cetiya Pà sà õaka di dekat Rà jagaha, diikuti oleh sejumlah
2833
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
besar orang. Para petapa lalu meninggalkan Sà vatthã segera
sesudah mereka yakin telah menemukan jejak kaki Buddha, dan
berjalan melalui Setabya dan Kapilavatthu, dan seterusnya, dan tiba
di Cetiya Pà sà õaka di dekat Rà jagaha.
(Cetiya Pà sà õaka yaitu tempat pemujaan sebelum munculnya
Buddha. Dibangun di atas batu untuk menghormati dewa di sana.
saat Buddha muncul, para warga membangun sebuah vihà ra
baru dan dipersembahkan untuk digunakan oleh para umat. Tetapi
nama lama itu tetap dipertahankan.)
Sakka telah menyiapkan tempat yang cukup luas untuk menampung
kerumunan itu di Cetiya Pà sà õaka. Para petapa itu berusaha keras
untuk menyusul Buddha sepanjang pagi dan malam. saat mereka
melihat Cetiya Pà sà naka, tujuan mereka, mereka menjadi sangat
bahagia bagaikan orang yang kehausan melihat air, atau bagaikan
seorang pedagang yang mendapat keuntungan, atau bagaikan
pengembara yang kelelahan melihat tempat teduh. Mereka bergegas
ke cetiya itu.
Mereka melihat Buddha sedang membabarkan khotbah kepada
banyak bhikkhu dengan suara yang mengingatkan seseorang
kepada auman singa. Ajita, pemimpin para brahmana itu, sangat
gembira melihat Buddha yang memancarkan sinar enam warna,
sedang membabarkan Dhamma dan terdorong oleh kata-kata ramah
Buddha seperti, “Bagaimana cuaca di sini? Apakah cukup nyaman
bagi kalian (dan sebagainya)?” Duduk di tempat yang semestinya,
ia mengajukan pertanyaan pertama kepada Buddha tanpa bersuara
tetapi dengan mengarahkan pikirannya pada syair yang diajarkan
oleh gurunya Bà varã, sebagai berikut:
âdissa jammanaÿ bråhi, gottaÿ bråhi salakkhaõaÿ;
Mantesu Pà ramãÿ bråhi, kati và ceti Brà hmaõo.
“Katakanlah (1) Berapa usia guru kami (Bà varã)? (2) Tanda-tanda
fisik apakah yang dimiliki oleh guru kami? (3) Apakah silsilahnya?
(4) Bagaimanakah penguasaannya dalam tiga Veda? (5) berapa
banyak murid yang memelajari Veda darinya?”
2834
Bà varã telah menginstruksikan Ajita untuk mengajukan pertanyaan
ini melalui pikiran. Ia melakukannya sesuai instruksi. Buddha,
seperti yang diharapkan oleh Bà varã, mengetahui pertanyaan Ajita
dan memberi jawaban berikut (dalam dua bait syair):
Vãsaÿ vassasataÿ à yu, so ca gottena Bà varã;
Tãõissa lakkhaõà gatte, tiõõaÿ vedà na pà ragå.
Lakkhaõe itihà se ca, sanighaõóu sakeñubhe;
Pa¤ca satà ni và ceti, sadhamme Pà ramãÿ gato.
“(Ajita,) (1) Gurumu berusia seratus dua puluh tahun. (2) Ia berasal
dari suku Bà varã. (3) Ia memiliki tiga tanda manusia luar biasa. (4)
Ia menguasai tiga Veda; “Ia menguasai Nighaõóu (Abhidhà na),
Keñubha (puisi), Lakkhaõa (ciri-ciri manusia luar biasa), Itihà sa
(cerita dongeng), (5) Ia mengajarkan tiga Veda kepada lima ratus
murid yang malas dan dungu.”
Ajita yang ingin mengetahui tiga ciri yang dimiliki oleh gurunya
sehubungan dengan jawaban ketiga di atas, mengajukan pertanyaan
berikut melalui pikiran:
Lakkhaõà naÿ pavicayaÿ, Bà varissa naruttama;
Kaïkhacchida pakà sehi, mà no kaïkhà yitaÿ ahu.
“O Manusia Agung yang memiliki kualitas dalam menyingkirkan
keraguan semua makhluk, sebutkanlah secara terperinci tanda-
tanda manusia luar biasa yang dimiliki oleh Bà varã. Jangan biarkan
kami dalam keraguan.”
Buddha memberi jawaban berikut:
Mukhaÿ jãvhà ya chà deti, uõõassa bhamukantare,
Kosohitaÿ vatthaguyhaÿ, evaÿ jà nà hi mà õava.
“(Ajita,) (1) Gurumu Bà varã dapat menutupi wajahnya dengan
lidahnya; (2) terdapat rambut berbentuk spiral di antara kedua alis
2835
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
matanya; (3) organ kelaminnya terselubung (bagaikan organ kelamin
gajah Chaddanta). Ajita, perhatikanlah tiga tanda-tanda manusia
luar biasa ini dalam dirinya.”
Buddha menjawab secara tepat. lalu para hadirin yang
menempati tempat seluas dua belas yojanà itu menjadi heran, sebab
mereka tidak mendengarkan pertanyaan yang diajukan oleh siapa
pun, hanya Buddha yang memberi jawaban. Merangkapkan
tangan di atas kepala mereka, mereka berseru, “Siapakah yang
bertanya? Apakah dewa atau brahmà , atau Sakka suami tercinta
dari Sujà tà ?”
Mendengar jawaban atas lima pertanyaannya, Ajita selanjutnya
mengajukan dua pertanyaan yang diajukan melalui pikiran:
Muddhaÿ muddhà dhipà ta¤ ca, Bà varã paripucchati;
Taÿ vyà karohi Bhagavà , kaïkhaÿ vinaya no ise.
“O Yang Mulia, guru kami ingin menanyakan dua persoalan:
pertama, apa yang dimaksudkan dengan ‘kepala’ (muddha)? Kedua,
apakah faktor yang dapat memecahkan ‘kepala’ (muddhà adhipà ta)?
Sudilah menjawab dua pertanyaan ini dan melenyapkan keraguan
kami.”
Atas pertanyaan pikiran Ajita ini, Buddha mengucapkan jawaban
sebagai berikut:
Avijjaÿ muddhà ti jà nà hi, vijjà muddhà dhipà tinã;
Saddhà sati samà hãhi, chandaviriyena saÿyutà .
“(Ajita,) kebodohan (avijjà ) terhadap Empat Kebenaran Mulia
yaitu kepala (muddha) dari kelahiran kembali yang berulang-
ulang (saÿsà ra). Pengetahuan akan Jalan Mulia (muddhà dhipà tinã)
yang berhubungan dengan keyakinan (saddhà ), perhatian (sati),
konsentrasi (samà dhi), keinginan kuat (chanda), dan usaha (viriya)
yaitu faktor yang dapat memecahkan kepala. Demikianlah yang
harus engkau ketahui.”
2836
Mendengar jawaban ini , Ajita gembira. Dan, meletakkan kulit
rusa di bahu kirinya, ia menyentuh kaki Buddha dengan kepalanya.
lalu ia berseru:
Bà varã Brà hmaõo bhoto,
saha sissehi mà risa; Udaggacitto sumano,
pade vandati Cakkhuma.
“Yang Mulia yang telah mengakhiri dukkha, memiliki Mata
Pengetahuan, Brahmana Bà varã, bersama murid-muridnya yang
berjumlah enam belas ribu, bersujud di kaki-Mu!”
Murid-murid Bà varã lainnya bergabung dengan Ajita dalam
mengucapkan kata-kata pujian ini dan bersujud kepada Buddha.
Buddha, demi welas asih-Nya kepada Ajita, memberi berkah-
Nya kepadanya agar sejahtera:
Sukhito Bà varã hotu, saha sissehi brà hmaõo; Tva¤ cà pi sukhito
hohi,
ciraÿ jãvà hi mà õava.
“Semoga Bà varã dan murid-muridnya bahagia dan sejahtera.
Brahmana muda, semoga engkau juga bahagia dan sejahtera.
Semoga engkau berumur panjang.”
lalu Buddha berkata:
Bà varissa ca tuyhaÿ và , sabbesaÿ sabbasaÿsayaÿ;
Katà vakà sà pucchavho, yaÿ ki¤ci manasicchatha.
“Jika Bà varã atau engkau sendiri Ajita, atau siapa pun dari kalian
yang ingin menanyakan persoalan yang muncul dalam pikiran
kalian, Aku mengizinkan kalian untuk bertanya.”
Itu yaitu kebiasan dari para Buddha untuk mengundang
pertanyaan.
saat kesempatan ini diberikan kepada mereka, semua brahmana
2837
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
duduk dan bersujud kepada Buddha, bergiliran mengajukan
pertanyaan. Ajita yaitu yang pertama melakukan hal itu. Buddha
menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan jawaban-jawaban
itu memuncak pada pencapaian Kearahattaan. Ajita dan seribu
muridnya mencapai Kearahattaan pada akhir khotbah ini ;
ribuan lainnya mencapai Magga-Phala dalam berbagai tingkat.
Segera sesudah Ajita dan para muridnya mencapai Kearahattaan,
mereka dipanggil oleh Buddha dan menjadi bhikkhu sehingga
mereka sesaat berubah dalam wujud para bhikkhu yang telah
bergabung dalam Saÿgha selama enam puluh tahun, lengkap
dengan perlengkapan bhikkhu yang muncul dengan kekuatan batin
Buddha. Mereka semua duduk di depan Buddha dalam postur
memberi hormat. (murid Bà varã lainnya mengajukan pertanyaan
mereka kepada Buddha, lengkapnya dapat dibaca dalam Sutta
Nipà ta. Kita akan melanjukan dengan apa yang berhubungan
dengan Yang Mulia Mogharà ja dan Bà varã.)
Murid-murid Bà varã mengajukan pertanyaan bergiliran dan Buddha
memberi jawaban yang berakhir pada pencapaian Kearahattaan
oleh si penanya dan seribu muridnya, semua mereka menjadi
bhikkhu sesudah dipanggil oleh Buddha.
Mogharà ja yaitu seorang yang sangat sombong yang menganggap
dirinya sebagai yang paling cerdas di antara enam belas murid
Bà varã. Ia berpikir bahwa ia layak mengajukan pertanyaan sesudah
Ajita sebab Ajita yaitu murid tertua. Maka sesudah Ajita selesai,
ia berdiri untuk mengajukan pertanyaannya. Tetapi, Buddha
mengetahui bahwa Mogharà ja yaitu orang yang angkuh dan
belum matang untuk mencapai Pencerahan dan membutuhkan
teguran. Maka Buddha berkata kepadanya, “Mogharà ja, tunggu
sampai yang lainnya selesai dengan pertanyaan mereka.” Mogharà ja
merenungkan, “Aku selalu menganggap bahwa diriku yaitu orang
yang paling bijaksana. Tetapi Buddha Maha Mengetahui. Beliau pasti
telah memutuskan bahwa giliranku untuk mengajukan pertanyaan
belum tiba.” Ia duduk kembali dengan tenang.
lalu sesudah delapan murid Bà varã, yaitu, (1) Ajita, (2) Tissa
Metteyya, (3) Puõõaka, (4) Mettagå, (5) Dhotaka, (6) Upasãva, (7)
2838
Nanda, dan (8) Hemaka telah menyelesaikan giliran mereka, ia
menjadi tidak sabar dan berdiri. Sekali lagi, Buddha melihat bahwa ia
masih belum matang untuk mencapai Pencerahan dan memintanya
untuk menunggu. Mogharà ja menerimanya dengan tenang. Tetapi
sesudah empat belas murid Bà varã, yaitu sesudah : (9) Todeyya, (10)
Kappa, (11) Jatukaõõã, (12) Bhadrà vudha, (13) Udaya, dan (14) Posà la
telah menyelesaikan giliran mereka, Mogharà ja cemas memikirkan
bahwa ia akan menjadi bhikkhu paling junior di antara murid-
murid BÃ vari, ia mengambil giliran kelima belas. Dan sekarang
indria Mogharà ja telah cukup matang, Buddha mengizinkannya,
Mogharà ja memulai dengan mengucapkan:
Dvà haÿ sakkaÿ apucchissaÿ,
na me vyà kà si cakkhumà ;
Yà vatatiya¤ ca devãsi,
vyà karotã ti me sutaÿ.
Dua kali aku mengajukan pertanyaan kepada Buddha, keturunan
Sakya, tetapi Pemilik Lima Mata tidak menjawabku. Aku mendengar
bahwa demi welas asih, Buddha akan menjawab pada kali yang
ketiga.
Ayaÿ loko paro loko,
Brahmà loko sadevako;
diññhiÿ te nà bhijà nà ti,
Gommassa yasassino.
Tidak di alam manusia atau alam dewa dan brahmà yang memahami
pandangan yang dianut oleh Buddha Gotama yang termasyhur
sebagai berikut:
Evaÿ abhikkantadassà viÿ, aññhi pa¤hena à gamaÿ;
kathaÿ lokaÿ avekkhantaÿ, maccurà jà na passati.
(Kepada ‘Ia yang melihat Dhamma yang sempurna’ (yaitu, Pengenal
kecenderungan-kecenderungan tersembunyi (Ã saya), Pembebasan
tertinggi (adhimutti), alam kelahiran kembali (gati) dan Nibbà na
(pà rà yana) dan lain-lain, dari dunia makhluk-makhluk, kami
2839
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
datang untuk mengajukan pertanyaan: ”Bagaimanakah seseorang
memandang dunia ini sehingga MÃ ra tidak dapat melihatnya (lagi)?”
(Dengan cara bagaimanakah melihat dunia berkondisi, seseorang
dapat mencapai Kearahattaan yang bebas dari kematian?)
Terhadap pertanyaan yang terdapat dalam paruh kedua dari tiga
bait syair Mogharà ja di atas, Buddha menjawab:
Su¤¤ato lokaÿ avekkhassu,
Mogharà ja sadà sato.
Attà nudiññhiÿ åhacca,
evaÿ maccutaro siyà .
Evaÿ lokaÿ avekkhantaÿ,
maccurà jà na passati.
“Mogharà ja, dengan selalu penuh perhatian setiap waktu, dan
melenyapkan pandangan salah sehubungan dengan lima kelompok
kehidupan, yaitu, kebodohan tentang diri, melihat dunia ini (hidup
atau mati) sebagai kosong. Dengan melihat demikian, seseorang
dapat terbebas dari MÃ ra (Kematian). Seseorang yang memandang
dunia dengan cara demikian tidak dapat dilihat oleh MÃ ra.” (Sutta
Nipà ta, v.1126.)
(Pandangan salah tentang identitas sebagai ‘diri’ yang yaitu
konsep keliru terhadap tubuh, sakkà yadiññhi, harus disingkirkan
dan semua fenomena berkondisi harus dipandang sebagai tanpa-diri
dan bukan-aku (anatta), dan dalam kebenaran dan kenyataannya
hanyalah kosong. Saat persepsi ini memukul akarnya, kematian
ditaklukkan. saat Arahatta-Phala dicapai, Arahanta melampaui
kekuasaan kematian (MÃ ra). Melampaui kekuasaan kematian yaitu
perumpamaan yang artinya yaitu pencapaian Kearahattaan. Syair
ini memiliki tujuan utama yaitu pencapaian Kearahattaan.)
sesudah mendengarkan syair ini yang memuncak pada Arahatta-
Phala, Mogharà ja dan seribu pengikutnya mencapai Kearahattaan
seperti murid-murid Bà varã sebelumnya. Mereka “dipanggil menjadi
bhikkhu”. Ribuan pendengar lainnya mencapai Magga-Phala dalam
berbagai tingkatan.
2840
(c) Gelar Etadagga
Sejak ia menjadi seorang bhikkhu dengan cara dipanggil oleh
Buddha, Yang Mulia Mogharà ja memiliki kebiasaan mengenakan
jubah-jubah yang berkualitas rendah atau jubah rendah dalam hal
jubah itu dijahit dari kain-kain kasar, dicelup dengan tidak baik
hanya sekadar untuk mematuhi aturan Vinaya, dan dijahit dengan
memakai benang yang berkualitas rendah. sebab itu, dalam
suatu kesempatan saat Buddha mengadakan pertemuan para
bhikkhu di Vihà ra Jetavana, Beliau menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
lÃ¥khacãvaradharà naÿ yadidaÿ Mogharà jà ,” “Para bhikkhu, di
antara para bhikkhu siswa-Ku, yang selalu mengenakan jubah
kasar (rendah bahan, rendah celup, dan rendah benang) Bhikkhu
Mogharà ja yaitu yang terbaik.”
Demikianlah kisah Thera Mogharà ja.
Tambahan: Bà varã, Guru Brahmana (Lanjutan)
Dari enam belas murid Petapa Bà varã, lima belas yang pertama, yaitu
hingga Mogharà ja, sesudah mengajukan pertanyaan mereka kepada
Buddha dan menerima jawaban, mencapai Kearahattaan bersama
dengan murid mereka yang masing-masing berjumlah seribu orang.
Semua “dipanggil menjadi bhikkhu oleh Buddha.” Piïgiya, murid
keenam belas dan keponakan Bà varã, yang telah berusia 120 tahun,
mengajukan pertanyaan berikut kepada Buddha:
Jiõõohamasmi abalo vãtavaõõo,
nettà na suddhà savanaÿ na phà su.
Mà ham nassaÿ momuho antarà va,
à cikkha dhammaÿ yam ahaÿ vija¤¤aÿ.
Jà tijarà ya idha vippahà naÿ.
“(Yang Mulia,) aku telah tua, lemah dan memudar. Mata dan
telingaku telah merosot. Aku tidak ingin mati dalam kebodohan
sebelum mendapatkan manfaat dari ajaran-Mu. sebab itu mohon
2841
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
tunjukkanlah kepadaku, di sini, di hadapan-Mu, Dhamma Lokuttara
yang dapat melenyapkan kelahiran kembali dan usia tua.”
Piïgiya sangat mengkhawatirkan kemerosotan fisiknya, ia melekat
pada tubuhnya. Untuk mendapatkan pandangan tidak melekat
terhadap badan jasmani, Buddha mengajarkannya sebagai
berikut:
Disvà na rÃ¥pesu viha¤¤amà ne,
ruppanti råpesu janà pamattà .
Tasmà tuvaÿ Piïgiya appamatto,
jahassu råpaÿ apunabbhavà ya.
“(Piïgiya,) banyak makhluk yang lengah yang terbawa kehancuran
sebab jasmani. sesudah melihat dirimu sendiri, bagaimana badan
jasmani menjadi pemicu penderitaan pada mereka yang lengah,
waspyaitu (dengan penuh perhatian) dan singkirkan kemelekatan
terhadap badan jasmani sehingga kehidupan yang baru tidak
muncul.”
(Buddha menjelaskan praktik yang diperlukan (pañipatti) yang
mengarahkan seseorang menuju Kearahattaan dengan ungkapan
“sehingga kehidupan baru (apunabbhava) tidak muncul”). Tetapi
si pendengar Piïgiya, sebab sudah tua dan lamban batinnya, tidak
dapat mencapai Pencerahan pada saat itu. Ia mengajukan pertanyaan
lainnya dalam syair berikut; memuji kebijaksanaan Buddha:
Disà catasso vidisà catasso,
uddhaÿ adho dasa disà imà yo.
Na tuyhaÿ adiññhaÿ asutaÿ amutaÿ,
atho avi¤¤Ã taÿ ki¤canamatthi loke.
âcikkha dhammaÿ yamahaÿ vija¤¤aÿ,
jà tijarà ya idha vippahà naÿ.
“(Yang Mulia,) dalam seluruh empat arah utama, dalam seluruh
empat arah di antaranya, di atas, di bawah, dalam seluruh sepuluh
penjuru, tidak ada apa pun di dunia ini yang tidak terlihat, tidak
terdengar, tidak diketahui atau dipahami oleh Bhagavà . Tunjukkanlah
2842
kepadaku, di sini, di hadapan-Mu, Dhamma Lokuttara yang dapat
melenyapkan kelahiran kembali dan usia tua.”
Sekali lagi Buddha menunjukkan praktik yang diperlukan yang
mengarah menuju Nibbà na sebagai berikut:
Taõhà dhipanne manuje pekkhamà no,
santà pajà te jarasà parete.
Tasmà tuvaÿ Piïgiya appamatto,
jahassu tanhaÿ apunabbhavà ya.
“(Piïgiya,) banyak makhluk yang tertindas oleh keserakahan mereka
sendiri. sesudah melihat dirimu sendiri bagaimana menjadi tua dan
hancur oleh proses ketuaan yang tanpa welas asih, waspyaitu
(penuh perhatian) dan lenyapkan keserakahan (terhadap kenikmatan
indria, terhadap kelahiran kembali, dan terhadap ketidaklahiran
sehingga kehidupan baru tidak muncul).”
Pada akhir khotbah ini yang diarahkan menuju Arahatta-
Phala, Piïgiya mencapai Anà gà mã Magga, Pengetahuan Jalan
ketiga. Sewaktu mendengarkan khotbah itu, pikiran Piïgiya
mengembara, ia merasa menyesal terhadap pamannya Bà varã yang
tidak berkesempatan mendengarkan penjelasan yang dalam itu,
sebab itu ia gagal mencapai Kearahattaan. Seribu muridnya berhasil
menjadi Arahanta. Mereka semua, Piïgiya sebagai Anà gà mã dan
murid-muridnya sebagai Arahanta, dipanggil sebagai bhikkhu
oleh Buddha.
(Pertanyaan yang diajukan oleh masing-masing dari enam belas
murid Bà varã dan jawaban-jawaban yang diberikan oleh Buddha
kepada mereka dihimpun dalam Sutta-Sutta yang terpisah oleh
para pembaca dalam sidang, seperti Ajita Sutta, dan lain-lain.
Kisah yang melatarbelakangi dan enam belas sutta itu diberi judul
Pà rà yana Sutta sebab mengarah menuju pantai seberang (Nibbà na)
dari saÿsà ra.)
Pada akhir Pà rà yana Sutta, 16.016 petapa mencapai Kearahattaan,
mereka semua kecuali Piïgiya menjadi Arahanta. Empat belas crore
2843
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
pendengar lainnya juga mencapai Magga-Phala dalam berbagai
tingkatan Pengetahuan Jalan, sesudah memahami Empat Kebenaran
Mulia.
Para pendengar pada kesempatan pembabaran Pà rà yana Sutta
yang datang dari berbagai tempat sesaat berada di rumah mereka
masing-masing pada akhir khotbah ini , berkat kekuatan
Buddha. Buddha kembali ke Sà vatthã disertai oleh ribuan siswa
Arahanta (kecuali Yang Mulia Piïgiya).
Khotbah Piïgiya kepada Bà varã
Yang Mulia Piïgiya tidak menyertai Buddha pergi ke Sà vatthã
sebab ia harus melaksanakan tugas melaporkan pengalamannya
kepada pamannya. Ia meminta izin dari Buddha untuk pulang ke
tempat tinggalnya dan Buddha mengizinkannya. Ia pergi ke tepi
Sungai Godhà varã melalui angkasa, dan lalu berjalan kaki
ke tempat tinggalnya.
Saat Bà varã menanti kembalinya keponakannya, duduk dan melihat
jalan raya, ia melihat Yang Mulia Piïgiya dalam wujud seorang
bhikkhu, bukannya seperti sebelumnya sebagai seorang petapa
dengan perlengkapannya. Ia menebak dengan tepat bahwa Buddha
sungguh telah muncul di dunia. saat Yang Mulia Piïgiya tiba
di hadapannya, ia bertanya, “Bagaimana? Apakah Buddha telah
muncul?” “Benar, Brahmana, Buddha telah muncul di dunia. Buddha
membabarkan khotbah kepada kami sewaktu berada di Cetiya
Pà saõaka. Aku akan menyampaikan Dhamma itu kepadamu.”
Mendengar kata-kata itu, Bà varã dan lima ratus muridnya
menyediakan tempat duduk khusus untuk Yang Mulia Piïgiya
dengan penuh hormat. lalu Yang Mulia Piïgiya duduk dan
membabarkan khotbah yang terdiri dari lima belas bait syair kepada
Bà varã yang dikenal sebagai Pà rà yanà nugãti. (Sutta Nipà ta)
Yang Mulia Piïgiya membabarkan sebagai berikut:
“(1) Aku akan mencoba untuk mengulang kembali Khotbah Buddha
yang disebut Pà rà yana:
2844
“Buddha yang yaitu seorang Aharat yang tidak ternoda oleh
kotoran (kebodohan), memiliki pengetahuan yang sangat luas
melebihi luasnya bumi ini, terbebas dari nafsu indria, hutan gundul
kotoran, membabarkan Dhamma seperti yang Beliau pahami.
Mengapa Buddha harus mengatakan sesuatu yang tidak benar?”
“(2) Datanglah, sekarang, aku akan menyanyikan puji-pujian
terhadap Buddha, Beliau yang suci dari debu kebodohan (moha),
Beliau yang telah melenyapkan keangkuhan (mà na), dan rasa tidak
berterima kasih (makkha).”
“(3) Brahmana, Buddha telah melenyapkan kegelapan kotoran.
Beliau memiliki Mata Yang Maha Melihat. Beliau telah mencapai
ujung dunia. Beliau telah melampaui segala bentuk kehidupan.
Beliau bebas dari segala noda moral. Beliau telah memadamkan
segala dukkha. Beliau disebut ‘Yang Sadar.’ Orang ini, Brahmana,
yaitu orang yang kudatangi.”
“(4) Brahmana, bagaikan seekor burung yang meninggalkan semak
belukar yang rendah dan berbuah jarang, dan pergi ke hutan penuh
buah-buahan, demikian pula aku telah meninggalkan teman-teman
yang berpikiran sempit, dan bagaikan seekor angsa emas, sampai
di danau kebijaksanaan.”
“(5) Brahmana, sebelum masa ajaran Buddha Gotama, para
guru religius menyatakan pandangan mereka kepadaku dengan
berkata, ‘Demikianlah hal ini telah terjadi, dan demikianlah hal
itu akan terjadi.’ Mereka hanya memiliki pengetahuan takhayul
yang berdasarkan tradisi turun-temurun. Hanya menjadi sumber
bagi spekulasi tidak baik yang melahirkan nafsu indria, dan
seterusnya.’”
“(6) Brahmana, Buddha Gotama yang kuikuti yaitu tidak ada
tandingannya. Beliau telah melenyapkan kegelapan. Beliau
juga memiliki lingkaran cahaya di sekeliling tubuh-Nya dan
memancarkan sinar pengetahuan ke segala penjuru. Guruku Buddha
Gotama memiliki kebijaksanaan yang menakjubkan. Kecerdasannya
2845
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
tidak terbatas bagaikan bumi ini.”
“(7) Brahmana, Buddha membabarkan Dhamma kepadaku yang
telah Beliau temukan sendiri, yang hasilnya tidak tertunda, yang
mengarah kepada berakhirnya keserakahan, dan kepada Keselamatan
(Nibbà na). Buddha itu guruku, tidak ada bandingnya.”
(8-9) Selanjutnya Bà varã bertanya kepada Piïgiya, “Piïgiya, jika
Buddha membabarkan Dhamma kepadamu yang telah Beliau
temukan sendiri, yang hasilnya tidak tertunda, yang mengarah
kepada berakhirnya keserakahan dan keamanan dari segala kotoran
dan, jika Buddha tidak ada bandingnya; memiliki kebijaksanaan
yang menakjubkan, dan kecerdasan tidak terbatas bagaikan bumi
ini, tetapi mengapa engkau meninggalkan-Nya?” (Bà varã memarahi
keponakannya sebab tidak berada di dekat Buddha).
“(10-11) Brahmana, Buddha, guruku, membabarkan Dhamma
kepadaku yang telah Beliau temukan sendiri, yang hasilnya tidak
tertunda, yang mengarah kepada berakhirnya keserakahan dan
keamanan dari segala kotoran. Buddha memiliki kebijaksanaan
yang menakjubkan, dan kecerdasan tidak terbatas bagaikan bumi
ini. Sesungguhnya, aku tidak berada jauh dari-Nya bahkan sesaat
pun.”
“(12) Brahmana, dengan penuh perhatian aku melihat Buddha
melalui batinku sejelas melalui mataku, aku melihat Beliau siang
dan malam. Saat malam aku selalu mengingat kemuliaan-Nya
dengan penuh penghormatan. Itulah sebabnya aku tidak pernah
menganggap diriku jauh dari Buddha bahkan sesaat pun.”
“(13) Brahmana, keyakinanku, kegembiraan dan kepuasanku, serta
perhatianku, tidak pernah meninggalkan ajaran Buddha Gotama.
Ke mana pun Buddha, yang memiliki Kebijaksanaan tidak terbatas,
pergi, aku bersujud (melalui batinku) ke arah itu dengan penuh
hormat.”
“(14) Brahmana, sebab usiaku yang telah lanjut yang membuatku
tidak dapat berada di dekat Buddha secara fisik. Tetapi aku selalu
2846
pergi bersama Beliau dalam pikiranku. Beliau selalu hadir dalam
batinku.”
“(15) Brahmana, aku telah menyingkirkan lumpur nafsu indria,
yang mengacau sepanjang waktu, sewaktu hanyut dari satu pulau
ke pulau lainnya, yaitu, berlindung dari satu guru sekarang dan
ke guru lainnya lalu . Sekarang aku telah bertemu (melihat)
guru, (di Cetiya Pà sà naka) yang bebas dari noda moral, yang telah
menyeberangi banjir saÿsà ra.”
(Catatan: Bahwa Yang Mulia Piïgiya sesudah menjadi seorang Ariya,
memanggil pamannya dengan ‘Brahmana’, dan bukan ‘paman.’
Sedangkan Bà varã, ia memang terbiasa memanggil keponakannya
‘Piïgiya’ dan bukan dengan maksud tidak hormat kepada bhikkhu
ini dengan memanggil namanya.)
Buddha Mengirimkan Sinar dan Membabarkan Khotbah
Pada akhir lima belas bait syair di atas, Buddha mengetahui bahwa
Yang Mulia Piïgiya dan pamannya Bà varã telah cukup matang untuk
menerima Pengetahuan yang lebih tinggi, indria mereka (yaitu,
keyakinan (saddhà ), usaha (viriya), perhatian (sati), konsentrasi
(samà dhi), dan kebijaksanaan (pa¤¤Ã )) telah matang, dan Beliau
mengirimkan sinar Buddha kepada mereka saat Beliau berada di
Vihà ra Jetavana di Sà vatthã. Sinar keemasan itu muncul di hadapan
mereka. saat Yang Mulia Piïgiya sedang menjelaskan kualitas
mulia Buddha kepada pamannya, ia melihat berkas sinar keemasan
dan, sesudah memerhatikannya dengan saksama, ia melihat
kedatangan Buddha seolah-olah Buddha berdiri di depannya, “Lihat!
Buddha telah datang!” ia berseru keheranan.
lalu Bà varã berdiri dan memberi hormat kepada Buddha
dengan kedua tangan dirangkapkan di keningnya. Buddha
lalu meningkatkan sinar-Nya dan memperlihatkan diri-Nya
kepada Bà varã. lalu Beliau membabarkan khotbah yang sesuai
bagi Bà varã dan keponakannya, tetapi menunjukannya kepada Yang
Mulia Piïgiya:
2847
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Yathà ahå Vakkali muttasaddho,
bhadrà vudho âëavi Gotamo ca.
Evameva tvampi pamu¤cassu saddhà ÿ,
gamissasi tvaÿ Piïgiya maccudheyyassa pà raÿ.
“Piïgiya, ada beberapa bhikkhu yang mencapai Kearahattaan
melalui sedikit usaha keyakinan terhadap Tiga Permata, seperti:
Vakkali, Bhadrà vudha (satu dari enam belas murid Bà varã), Gotama
dari âëavã. Demikian pula, engkau harus berkeyakinan terhadap Tiga
Permata dan mengarahkan keyakinan itu ke Nibbà na, menyeberang
ke pantai seberang (Nibbà na) dari saÿsà ra yang merupakan wilayah
kekuasaan kematian.”
Pada akhir khotbah ini Yang Mulia Piïgiya mencapai
Kearahattaan. Bà varã mencapai Anà gà mã-Phala dan lima ratus
muridnya mencapai Sotà patti-Phala.
Yang Mulia Piïgiya menjawab nasihat Buddha di atas sebagai
berikut:
Esa bhiyyo pasãdà mi,
sutvà na munino vaco.
Vivaññacchado Sambuddho,
akhilo pañibhà navà . (1)
A dhideve Abhi¤¤Ã ya,
sabbaÿ vedi varovaraÿ.
Pa¤hà nantakaro Satthà ,
kaïkhãnaÿ pañijà nataÿ. (2)
“Yang Mulia, kata-kata Petapa Besar (Mahà muni), Buddha,
membuatku merasa sangat puas. Keyakinanku terhadap Tiga
Permata bertambah. Buddha telah mencabut akar saÿsà ra. Beliau
bebas dari anak panah kotoran. Beliau memiliki Pengetahuan
Analitis yang lengkap. (1)
“Yang Telah Mencapai Pencerahan Sempurna, yang memecahkan
semua masalah dan yang menjadi guru bagi mereka yang secara
2848
keliru mengaku bebas dari keraguan, mengetahui Yang Suci yang
lebih mulia dari manusia dan para dewa, telah memahami melalui
kebijaksanaan yang luar biasa, semua faktor yang mengarah menuju
kesucian. (2)
Asaÿhãraÿ asaÿkuppaÿ,
yassa natthi upamà kvaci.
Addhà gamissà mi na mettha kaïkhà ,
evaÿ maÿ dhà rehi adhimuttacittaÿ. (3)
“(O Petapa Besar,) tidak tergoyahkan, kekal, dan di luar perbandingan,
Nibbà na yang tidak memiliki jejak kelahiran yang tersisa, dan aku
tidak memiliki keraguan bahwa aku akan menuju ke Nibbà na.
Sudilah Bhagavà mengakui aku sebagai seorang yang telah
mengarahkan keyakinannya menuju Nibbà na, yang batinnya bebas
dari segala kotoran.” (3)
Demikianlah kisah tambahan Bà varã.
2849
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
50
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
(1) Kisah Therã Mahà pajà patã Gotamã
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Mahà pajà patã Gotamã terlahir dalam sebuah keluarga kaya
di Kota Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara.
Pada suatu saat saat ia mendengarkan khotbah yang sedang
disampaikan oleh Buddha, ia menyaksikan seorang bhikkhunã
yang dinyatakan oleh Buddha sebagai yang terbaik di antara para
bhikkhunã yang mencapai Pencerahan paling dahulu (Ratta¤¤Ã¥
Puggala, ini yaitu istilah teknis yang artinya seorang bhikkhu
yang paling senior dalam Saügha, juga berarti bhikkhu yang paling
dulu memahami Empat Kebenaran Mulia, juga berarti bhikkhu
yang paling dulu mencapai Kearahattaan). Sehingga ia bercita-cita
untuk mencapai gelar yang sama dalam kehidupan mendatang.
sebab itu ia memberi persembahan besar kepada Buddha
dan mengungkapkan cita-citanya itu di hadapan Buddha. Buddha
meramalkan bahwa cita-citanya itu akan tercapai.
Kehidupan Lampau Sebagai Pembawa Air
Perempuan kaya itu menjalani kehidupan dengan penuh
kedermawanan dan menjalani sãla, di akhir hidupnya ia terlahir
kembali di alam dewa. saat meninggal dunia dari alam dewa,
2850
selama masa antara, ia terlahir kembali dalam kasta budak sebagai
pemimpin pembawa air.
lalu menjelang masa vassa, lima Pacceka Buddha yang
menetap di Gua Nandamå turun ke Hutan Migadà vana di dekat
Bà rà õasã melalui perjalanan angkasa dan pergi ke kota untuk
mengumpulkan dà na makanan. Mereka berdiam di Hutan Isipatana
Migadà vana sesudah menerima dà na makanan dan berdiskusi
tentang gagasan mencari bantuan untuk membangun tempat tinggal
sederhana untuk digunakan selama masa vassa.
(Seorang bhikkhu yang bersumpah untuk menetap di tempat yang
ia pilih selama masa vassa diharuskan oleh peraturan Vinaya untuk
menetap dalam tempat tinggal yang memiliki atap (terbuat dari batu,
atau keramik, atau semen, atau rumput atau daun-daunan.) dan
memiliki pintu. Peraturan ini tidak ada kecualinya bahkan kepada
para bhikkhu yang bersumpah untuk menjalani praktik keras seperti
praktik NÃ laka atau praktik Moneyya. Jika tempat tinggal itu tidak
dipersembahkan dalam keadaan siap pakai, mereka harus mencari
bantuan untuk membangunnya. Tempat tinggal ini yaitu tempat
yang harus mereka tinggali selama tiga bulan masa vassa, dan
penting bagi mereka untuk melakukan sumpah ini.)
Lima Pacceka Buddha yang harus mempersiapkan tempat tinggal
selama masa vassa membetulkan jubah mereka dan pada sore hari
mereka masuk ke Kota Bà rà õasã untuk mencari bantuan. Perjalanan
mereka memasuki kota diperhatikan oleh pemimpin pembawa air.
Para Pacceka Buddha itu berdiri di depan pintu rumah seorang kaya
Bà rà õasã tetapi saat mereka memberitahukan keperluan mereka,
orang kaya itu berkata, “Kami tidak dapat membantu. Silakan Yang
Mulia pergi mencarinya di tempat lain.”
Pemimpin pembawa air itu bertemu dengan para Pacceka Buddha
saat mereka keluar dari kota melalui gerbang kota, ia menurunkan
kendi air dan bersujud. lalu ia menanyakan maksud
kedatangan para mulia itu ke kota dan keluar lagi. Para Pacceka
Buddha itu memberitahukan bahwa mereka sedang mencari
bantuan untuk membangun tempat tinggal sederhana untuk
2851
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
digunakan selama masa vassa. Dan pada pertanyaan selanjutnya, ia
mengetahui bahwa mereka belum berhasil mendapatkan bantuan.
sebab itu ia bertanya, “Apakah tempat tinggal ini hanya boleh
dipersembahkan oleh para dermawan mulia? Atau bolehkah seorang
budak sepertiku mempersembahkan tempat tinggal itu?”
“Siapa saja boleh melakukannya, umat perempuan,” mereka
menjawab.
“Baiklah Yang Mulia, kami akan mempersembahkan tempat tinggal
besok, sementara itu, sudilah para mulia menerima persembahan
makanan dariku besok.”
sesudah mengajukan undangan, ia mengangkat kembali kendi airnya
dan, bukannya kembali ke kota, ia berjalan kembali ke sumber air
dan mengumpulkan teman-teman pembawa air di sana. lalu
ia berkata, “Sekarang teman-teman, apakah kalian ingin menjadi
budak orang lain selamanya? Atau apakah kalian ingin bebas dari
perbudakan?”
Mereka menjawab, “Kami ingin bebas dari perbudakan!”
“Kalau begitu, aku telah mengundang lima Pacceka Buddha
untuk menerima persembahan makanan besok. Mereka sedang
membutuhkan tempat tinggal. Mintalah suami kalian untuk
membantu mereka selama satu hari besok.”
“Baiklah,” jawab mereka. Mereka memberitahu suami mereka
pada malam hari sesudah para suami itu pulang dari pekerjaan
mereka di hutan. Semua laki-laki itu sepakat untuk membantu dan
menghadap kepala budak laki-laki. Saat mereka berkumpul di sana,
si pemimpin pembawa air mendesak mereka untuk membantu
dalam membangun tempat tinggal untuk lima Pacceka Buddha itu
yang akan digunakan selama masa vassa, memuji manfaat yang akan
dihasilkan dari bantuan itu. Beberapa orang yang pada mulanya
tidak bersedia membantu dinasihati olehnya dan dibujuk untuk
turut membantu.
2852
Keesokan paginya, si pemimpin pembawa air mempersembahkan
makanan kepada lima Pacceka Buddha itu. sesudah itu, ia memberi
isyarat kepada lima ratus budak laki-laki untuk mulai bekerja.
Mereka segera pergi ke hutan, menebang pohon, dan masing-
masing kelompok yang terdiri dari seratus orang membangun
sebuah tempat tinggal sederhana untuk seorang Pacceka Buddha.
Mereka mempersembahkan semua tempat tinggal itu kepada para
Pacceka Buddha, memohon agar mereka menetap di sana selama
masa vassa, mendapat persetujuan dari para mulia, dan mereka
bergantian mempersembahkan makanan setiap hari kepada para
Pacceka Buddha itu.
Jika ada pembawa air yang miskin yang tidak mampu menyediakan
makanan untuk lima Pacceka Buddha itu saat tiba gilirannya, si
pemimpin pembawa air itu akan memberi bahan-bahan yang
diperlukan. Demikianlah tiga bulan masa vassa berlalu. Menjelang
akhir vassa ini si pemimpin pembawa air meminta masing-
masing dari lima ratus perempuan itu untuk membawa sehelai
kain kasar. Lima ratus helai kain yang terkumpul itu ditukarkan
dengan lima perangkat jubah baik untuk dipersembahkan kepada
lima Pacceka Buddha ini . Para Pacceka Buddha, sesudah
menerima persembahan itu, terbang ke angkasa dengan dilihat
oleh para penyumbang mereka dan pergi ke arah Pegunungan
Gandhamà dana.
Kehidupan Lampau Sebagai Kepala Penenun
Para budak perempuan pembawa air itu melakukan banyak
kebajikan seumur hidup mereka. Saat meninggal dunia, mereka
terlahir kembali di alam dewa. Pemimpin dewa perempuan itu, saat
meninggal dunia, terlahir kembali dalam sebuah keluarga kepala
penenun di desa penenun di dekat Bà rà õasã. Suatu hari lima ratus
putra Ratu Paduma Devã, semuanya Pacceka Buddha, pergi ke
istana raja di Bà rà õasi dalam suatu undangan. Tetapi tidak seorang
pun yang melayani mereka, menyediakan tempat duduk atau
mempersembahkan makanan. Mereka pulang kembali ke tempat
tinggal mereka. Saat mereka meninggalkan kota dan berada di desa
penenun, si kepala penenun yang sangat berbakti terhadap mereka,
2853
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
bersujud kepada mereka dan mempersembahkan makanan. Para
Pacceka Buddha itu menerima persembahan makanan itu, dan
sesudah memakan makanan itu, mereka kembali ke Pegunungan
Gandamà dana.
(b) Menjalani kehidupan bhikkhunã dalam kehidupan terakhir
Si pemimpin penenun itu melakukan banyak kebajikan seumur
hidupnya. Saat meninggal dunia dari kehidupan itu, ia terlahir
kembali di alam dewa dan alam manusia bergantian. Menjelang
munculnya Buddha Gotama, ia terlahir kembali dalam keluarga
Sakya sebagai putri dari Raja Mahà suppabuddha di Devadaha.
Ia diberi nama Gotamã dan menjadi adik Putri Mahà mà yà . Para
peramal istana yang menguasai Veda dan ahli dalam membaca
tanda-tanda fisik manusia dan membaca garis telapak tangan,
sesudah memeriksa tanda-tanda fisik kedua putri itu meramalkan
bahwa putra yang dilahirkan oleh kedua putri itu akan menjadi
raja dunia.
saat dua bersaudari itu dewasa, mereka dinikahkan dengan
Raja Suddhodana dan mereka dibawa ke Kapilavatthu di mana
Putri Mahà mà yà menjadi permaisuri. Kelak, sesudah Bakal Buddha
meninggal dunia dari Alam Dewa Tusita, Beliau dikandung dalam
rahim Ratu Mahà mà yà . sesudah ratu melahirkan putranya (pada
malam purnama bulan Kason (Mei) tahun 68 Mahà Era), pada hari
ketujuh sesudah itu, ia meninggal dunia dan terlahir kembali di
Alam Dewa Tusita dengan nama Santusita. sesudah Ratu Mahà mà yÃ
meninggal dunia, Raja Suddhodana mengangkat adiknya Ratu
Gotamã menjadi permaisuri.
sesudah Ratu Mahà mà yà melahirkan Pangeran Siddhattha, dua
atau tiga hari lalu Ratu Mahà pajà patã Gotamã, ibu pengasuh
Pangeran Siddhattha, melahirkan Pangeran Nanda. Jadi, saat Ratu
Mahà mà yà meninggal dunia, Pangeran Siddhattha baru berusia
tujuh hari sedangkan Pangeran Nanda berusia empat atau lima
hari. Ratu Mahà pajà patã Gotamã, mengasuh anak tirinya Pangeran
Siddhattha, sedangkan putra kandungnya Pangeran Nanda diasuh
oleh para perawat. Ia mengabdikan seluruh perhatiannya untuk
2854
mengasuh keponakannya, Bakal Buddha.
Kelak, sesudah Bakal Buddha melepaskan keduniawian, mencapai
Pencerahan Sempurna dan menjadi Buddha Yang Maha Mengetahui,
Beliau menjalani misinya untuk menyejahterakan dunia, Beliau
melakukan kunjungan pertama ke Kapilavatthu. Sehari sesudah
Beliau tiba di sana, Beliau masuk ke kota untuk mengumpulkan
dà na makanan. Ayah-Nya, Raja Suddhodana berkesempatan
mendengarkan khotbah Buddha saat Beliau sedang mengumpulkan
dà na makanan dan berhasil mencapai kesucian sebagai Pemenang
Arus. lalu pada hari kedua Pangeran Nanda ditahbiskan
menjadi anggota Saÿgha. Pada hari ketujuh, putra Buddha, Rà hula
ditahbiskan menjadi seorang sà maõera.
Buddha melewatkan masa vassa kelima di Vihà ra Kåñagà ra di Hutan
Mahà vana di dekat Vesà lã. Pada saat itu Raja Suddhodana mencapai
Kearahattaan di bawah payung putih kerajaan di Istana Kapilavatthu
dan meninggal dunia pada hari yang sama. lalu Ratu
Mahà pajà patã Gotamã berkeinginan untuk melepaskan keduniawian
dan menjadi seorang bhikkhunã. lalu lima ratus istri dari
lima ratus pangeran Sakya yang menjadi bhikkhu pada suatu
peristiwa yang melatarbelakangi pembabaran Mahà samaya Sutta,
memutuskan untuk menjadi bhikkhunã. Mereka menunjuk Ratu
Mahà pajà patã Gotamã menjadi juru bicara mereka untuk memohon
kepada Buddha agar ditahbiskan menjadi anggota Saÿgha. Usaha
pertama oleh ratu, ibu tiri Buddha, gagal. lalu ia dan lima
ratus putri Sakya, mencukur kepala mereka, mengenakan jubah
celup, dan berjalan kaki dari Kapilavatthu menuju Vesà lã. Mereka
memohon kepada Yang Mulia ânanda agar mendukung penahbisan
mereka. Akhirnya Buddha mengizinkan mereka ditahbiskan
sebagai bhikkhunã atau bhikkhu perempuan. Mahà pajà patã Gotamã
ditahbiskan dengan mengucapkan sumpah Garuka Dhamma,
Delapan Sãla yang harus dipatuhi. Lima ratus putri Sakya itu
ditahbiskan oleh sekelompok bhikkhu. (Catatan: dalam prosedur
normal, seorang bhikkhunã harus ditahbiskan oleh sekelompok
bhikkhunã juga.)
Ibu tiri Buddha, Therã Mahà pajà patã Gotamã, mencapai Kearahattaan
2855
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
sesudah mendengarkan Saÿkhitta Sutta. Lima ratus bhikkhunã
lainnya mencapai kesucian dalam berbagai tingkatan sesudah
mendengarkan Nandakovà da Sutta.
(c) Therã Mahà pajà patã Gotamã sebagai bhikkhunã terbaik
Pada lalu hari, saat Buddha sedang berada di Vihà ra
Jetavana dan menganugerahkan gelar bhikkhunã terbaik, Buddha
menyatakan:
“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang telah lama
bergabung dalam Saÿgha, Mahà pajà patã Gotamã yaitu yang
terbaik.”
(Nama ‘Gotamã’ menunjukkan suku Gotama. ‘Mahà pajà patã’ yaitu
gelar yang artinya ‘ibu dari anak luar biasa.’ Gelar ini diberikan
berdasarkan ramalan yang menyatakan bahwa ia akan menjadi ibu
dari seorang raja dunia, jika ia melahirkan anak laki-laki, atau ibu
dari istri raja dunia jika ia melahirkan anak perempuan.) Komentar
Majja.
Therã Gotamã Wafat
saat Therã Gotamã berusia 120 tahun, saat ia sedang menetap
di sebuah vihà ra bhikkhunã di Kota Vesà lã, (sesuai peraturan,
vihà ra bhikkhunã harus terletak di dalam kota atau desa), Buddha
sedang menetap di Vihà ra Mahà vana di dekat Vesà lã. Suatu pagi,
sesudah mengumpulkan dà na makanan di kota dan menyelesaikan
makannya, Therã Gotamã masuk ke dalam pencerapan Arahatta-
Phala selama waktu yang telah ditentukan. sesudah keluar dari
pencapaian Jhà na itu, ia mengingat panjangnya waktu yang ia
tempuh dalam melakukan kebajikan dalam kehidupan-kehidupan
lampaunya dan merasa sangat bahagia. lalu ia meninjau umur
kehidupannya. Ia melihat bahwa umurnya segera akan berakhir. Ia
berpikir bahwa seharusnya ia memberitahukan kepada Buddha
di Hutan Mahà vana tentang kematiannya yang mendekat, serta
mengucapkan selamat tinggal kepada teman-temannya yang telah
menjadi sumber inspirasi baginya seperti Dua Siswa Utama dan
2856
para Ariya lainnya. Baru lalu ia akan kembali ke vihà ra dan
meninggal dunia. Gagasan yang sama muncul dalam diri lima ratus
bhikkhunã putri Sakya lainnya.
(Peristiwa mengharukan sehubungan dengan kematian Therã
Gotamã akan dikisahkan berdasarkan pada: (1) Chiddapidhà nanã
(Vol. 1, Bab 12) oleh Mahà visuddhà rà ma Sayadaw, dan Apadà na,
Khuddaka Nikà ya, IV. Namun hanya pokok dari naskah itu yang
akan disajikan di sini.)
Ibu tiri Buddha, Therã Gotamã berpikir, “Aku tidak dapat hidup
melihat anakku, Buddha, meninggal dunia, juga kedua Siswa
Utama, juga cucuku Rà hula, juga keponakanku ânanda. Aku akan
meninggal dunia terlebih dulu. Aku akan meminta izin untuk
meninggal dunia kepada anakku Buddha sekarang. Pikiran yang
sama terlintas dalam benak lima ratus bhikkhunã putri Sakya.
Pada saat itu terjadi gempa bumi yang dahsyat. Hujan yang bukan
musimnya turun dari langit. Para dewa penjaga vihà ra bhikkhunã
menangis. Lima ratus bhikkhunã itu mendatangi Therã Gotamã
dan menceritakan tentang tangisan para dewa penjaga dan Therã
Gotamã menceritakan rencananya untuk meninggal dunia. Lima
ratus bhikkhunã itu juga memiliki rencana yang sama. Mereka semua
meminta maaf kepada para dewa penjaga vihà ra atas kesalahan yang
pernah mereka melakukan (jika ada). lalu , sambil menatap
vihà ra itu untuk terakhir kalinya, Therã Gotamã mengucapkan syair
berikut:
“Sekarang aku akan menuju (Nibbà na) yang tidak berkondisi
di mana tidak ada usia tua atau kematian, tidak berhubungan
dengan makhluk-makhluk atau benda-benda yang tidak disukai,
tidak berpisah dari makhluk-makhluk atau benda-benda yang
disukai.”
Di antara mereka yang mendengar kata-kata itu, mereka yang belum
melenyapkan kemelekatan, baik dewa maupun manusia, menangis
sedih. (Pemandangan mengharukan dari kesedihan mereka ini
dilukiskan dengan jelas dalam Kitab Pà ëi.)
2857
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
saat para bhikkhunã keluar dari vihà ra dan berjalan di jalan
raya, para umat keluar dari rumah mereka, dan berlutut di depan
Therã Gotamã, mengungkapkan kesedihan mereka. Ibu tiri Buddha,
Gotamã Theri mengucapkan kata-kata untuk menghibur mereka.
(kata-katanya yang kaya akan Dhamma dapat dibaca dalam Kitab
Pà ëi. Catatan ini juga berlaku untuk syair-syair lainnya yang ia
ucapkan lalu ). Ia mengucapkan sembilan setengah bait syair
untuk meredam kesedihan para warga Vesà lã. saat ia tiba
di hadapan Buddha, ia memberitahukan kepada Buddha tentang
kematiannya yang semakin dekat dan memohon izin Buddha untuk
melepaskan proses pikiran pendukung kehidupan dalam syair,
seluruhnya ada enam belas bait, yang dimulai dengan kata-kata:
Ahaÿ sugata te mà tà tvaÿ ca vãra pità mama. Buddha memberi
izin dalam satu bait syair. sesudah itu ia mengucapkan lima bait syair
pujian kepada Bhagavà .
lalu ia meminta izin dari Saÿgha, Yang Mulia Rà hula, Yang
Mulia ânanda, dan Yang Mulia Nanda, untuk mengizinkannya
meninggal dunia yang diucapkan dalam dua bait syair (yang
dimulai dengan kata-kata à sãvisà layasame) yang menjelaskan
susahnya kehidupan. Yang Mulia Nanda dan RÃ hula yang yaitu
Arahanta menganggap kata-kata Therã mulia ini sebagai
inspirasi religius; tetapi bagi Yang Mulia ânanda yang masih berlatih
untuk mencapai Kearahattaan, kata-kata itu menambah kesedihan
dan dukacita, dan mengungkapkan kesedihannya dalam sebait
syair yang dimulai dengan, “hà santiÿ Gotamã yà it.” Therã mulia
menghibur keponakannya dengan kata-kata kebijaksanaan.
Selanjutnya Buddha berkata kepada Therã Gotamã dalam syair
berikut agar ia memperlihatkan kesaktiannya:
“Gotamã, demi mereka yang dungu dan ragu-ragu terhadap pengikut
perempuan yang mencapai Pencerahan di dalam ajaran-Ku, untuk
melenyapkan keraguan mereka, perlihatkanlah kesaktianmu.”
Bhikkhunã tua berusia seratus dua puluh tahun itu menyanggupi
untuk memperlihatkan kesaktiannya seperti yang tercatat dalam
2858
naskah kekuatan batin seperti: dari satu menjadi banyak, dari
banyak menjadi satu, dari terlihat menjadi tidak terlihat, menembus
tembok atau gunung, dan lain-lain. lalu ia berjalan di atas
udara sambil memegang Gunung Meru sebagai penopang bumi
ini menyerupai payung, dan membalikkan payung gaib ini. Ia
menciptakan atmosfer asap dupa seolah-olah seperti enam matahari
yang terbit bersamaan, dan lain-lain. sesudah memenuhi permintaan
Buddha, ia duduk dan bersujud kepada Bhagavà , duduk di tempat
yang semestinya, ia berkata, “Yang Mulia Putraku, aku, ibu tiri-Mu,
berusia 120 tahun. Aku sudah tua. Aku sudah hidup cukup lama.
Mohon izinkan aku untuk meninggal dunia.”
Para hadirin, terpesona oleh kesaktian yang diperlihatkan oleh Therã
Gotamã, bertanya, “Yang Mulia, jasa kebajikan apakah yang telah
engkau lakukan, sehingga memiliki kekuatan dan kesaktian itu?”
Therã Gotamã menceritakan kepada mereka kebajikan-kebajikan
yang telah ia lakukan sejak masa Buddha Padumuttara hingga ke
kehidupan terakhirnya. Peristiwa-peristiwa itu diceritakan dalam
banyak bait syair.
lalu lima ratus bhikkhunã terbang ke angkasa bagaikan
sekelompok bintang, menarik perhatian para hadirin, mereka
memperlihatkan kesaktian mereka, dan sesudah mendapatkan izin
dari Buddha untuk mengakhiri pertunjukan kesaktian itu, mereka
bersujud kepada Bhagavà dan duduk di tempat yang semestinya.
Mereka menceritakan kepada Bhagavà bagaimana mereka berhutang
budi pada Therã Gotamã. lalu mereka meminta izin Buddha
untuk meninggal dunia.
Bhagavà berkata, “Para bhikkhunã, kalian tahu waktunya untuk
meninggal dunia.” Demikianlah sesudah mendapatkan izin dari
Buddha, mereka bersujud kepada Buddha dan kembali ke vihà ra
mereka. Buddha disertai oleh banyak umat, mengantarkan Therã
Gotamã sampai gerbang masuk ke hutan itu. Di sana, Therã Gotamã
dan lima ratus bhikkhunã bersujud untuk terakhir kalinya kepada
Buddha. lalu lima ratus bhikkhunã itu memasuki kota dan
duduk bersila di kutinya masing-masing di vihà ra.
2859
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
Pada waktu itu, banyak siswa awam Buddha, laki-laki dan
perempuan, mengetahui saat terakhir untuk melihat para mulia,
berkumpul untuk memberi penghormatan terakhir, memukul
dada mereka dengan sedih. Mereka menjatuhkan diri ke atas tanah
bagaikan pohon yang tercabut. Therã Gotamã menepuk kepala
seorang umat perempuan yang paling tua dan mengucapkan syair
berikut:
“Anakku, kesedihan hanya mengarah menuju kekuasaan MÃ ra
dan sebab itu sia-sia. Segala sesuatu yang berkondisi yaitu tidak
kekal, dan akan berakhir dengan perpisahan, dan menyebabkan
kegelisahan yang tidak pernah berakhir.”
lalu ia menyuruh mereka pulang ke rumah mereka masing-
masing. sesudah sendirian, ia masuk ke Jhà na Pertama dari alam
bentuk dan naik, setahap demi setahap, hingga Jhà na Bukan Persepsi
Pun Bukan Nonpersepsi, dan lalu turun, setahap demi
setahap, hingga Jhà na Pertama dari alam bentuk. Demikianlah naik
dan turun ia berdiam dalam delapan Lokiya Jhà na. lalu ia
berdiam dalam pencapaian Jhà na dari Jhà na Pertama hingga Jhà na
Keempat. Keluar dari Jhà na ini , ia mencapai penghentian total
dari kelompok-kelompok kehidupan bagaikan pelita yang kehabisan
minyak dan sumbunya padam. Lima ratus bhikkhunã lainnya juga
mencapai penghentian total.
Pada saat itu bumi berguncang keras. Meteor berjatuhan dari langit.
Langit bergemuruh. Makhluk-makhluk surga menangis. Turun
hujan bunga-bunga surga dari langit. Gunung Meru berayun
bagaikan penari. Samudra raya bergelombang seolah-olah kesusahan.
Banyak nà ga, asurà , dewa, dan brahmà mengungkapkan semangat
religius mereka dalam ucapan-ucapan seperti, “Segala sesuatu yang
berkondisi yaitu tidak kekal; semuanya akan lenyap.”
Para dewa dan brahmà melaporkan kematian Therã Gotamã dan
lima ratus bhikkhunã kepada Buddha. Buddha mengutus Yang
Mulia ânanda untuk memberitahukan hal itu kepada para
bhikkhu. lalu , dengan disertai oleh banyak bhikkhu, Buddha
melakukan prosesi pemakaman dengan urutan sebagai berikut: (1)
2860
manusia, dewa, nà ga, asurà , dan brahmà berbaris di depan, diikuti
oleh, (2) lima ratus kereta jenazah berkubah tingkat yang diciptakan
oleh Dewa Visukamma yang di dalamnya terletak jenazah para
bhikkhunã beralaskan selimut mereka, dan kereta-kereta ini ditarik
oleh para dewa; (3) lalu diikuti oleh kereta jenazah Therã
Gotamã, ibu tiri Buddha, yang ditarik oleh empat raja dewa; (4)
lalu diikuti oleh Saÿgha dan Buddha. Seluruh jalan dari
vihà ra ke tanah pemakaman dipasangi kanopi dan sepanjang jalan
itu dihiasi dengan spanduk dan panji, sedangkan tanah pemakaman
itu ditaburi bunga-bunga. Hujan bunga teratai surgawi turun dengan
lebatnya terlihat seperti tergantung dari langit. Segala jenis bunga
dan wewangian melayang di angkasa. Segala jenis musik, nyanyian,
dan tarian dilakukan untuk menghormati para Arahanta mulia yang
meninggal dunia itu.
Selama prosesi pemakaman itu berlangsung, matahari dan bulan
terlihat oleh orang-orang. Bintang-bintang juga bersinar di langit.
Bahkan pada siang hari itu, cahaya mahatari terasa sejuk bagaikan
cahaya bulan. Bahkan, peristiwa pemakaman Therã Gotamã bahkan
terlihat lebih menakjubkan daripada peristiwa pemakaman Buddha
sendiri. Pada peristiwa pemakaman Buddha, tidak ada Buddha atau
Yang Mulia SÃ riputta atau para bhikkhu senior yang mengawasi
jalannya pemakaman sedangkan pada peristiwa pemakaman
Therã Gotamã, Buddha dan para bhikkhu senior seperti Yang Mulia
SÃ riputta mengawasi jalannya pemakaman itu.
Di tanah pemakaman itu sesudah jenazah Therã Gotamã dibakar, Yang
Mulia ânanda memungut relik-relik dan mengucapkan syair ini:
“Gotamã sekarang telah pergi. Jenazahnya telah habis terbakar.
Dan segera meninggal dunianya Buddha, peristiwa yang sangat
ditakutkan, akan terjadi.”
Yang Mulia ânanda mengumpulkan relik-relik itu dan meletakkannya
di dalam mangkuk makan yang biasanya digunakan oleh Therã
Gotamã dan menyerahkannya kepada Buddha. Selanjutnya Buddha
mengangkat relik-relik ibu tirinya itu agar dapat dilihat oleh para
hadirin dan mengucapkan kata-kata berikut kepada kumpulan
2861
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
manusia, dewa, dan brahmà :
“Bagaikan sebatang pohon besar yang terdiri dari inti kayu yang
keras dan berdiri kokoh memiliki batang yang besar, dan batang
yang besar itu, sebab memiliki sifat tidak kekal, akan tumbang,
demikian pula Gotamã yang bagaikan batang pohon besar bagi
Saÿgha Bhikkhunã telah damai (telah memasuki Nibbà na.)”
Buddha selanjutnya mengucapkan sepuluh bait syair demi
kedamaian para hadirin dalam peristiwa yang bersejarah ini .
(Sepuluh bait syair ini dan terjemahan kata per kata dapat dibaca
dalam Chiddapidhà nã.)
(2) Kisah Therã KhemÃ
(Kisah Therã Khemà dijelaskan secara singkat dalam Komentar
Aïguttara Nikà ya, Komentar Therãgà thà , dan Komentar
Dhammapada. Dalam Apadà na Pà ëi, Therã mulia menceritakan
sendiri tentang dirinya. Kutipan berikut ini lebih banyak bersumber
dari Apadà na dengan beberapa bagian yang bersumber dari tiga
Komentar tadi.)
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Therã Khemà terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota
Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara, seratus
ribu siklus dunia sebelum siklus dunia sekarang. Suatu hari ia
berkesempatan mendengarkan khotbah Buddha dan menjadi umat
Buddha yang berlindung di dalam Tiga Perlindungan.
lalu ia mendapat izin dari orangtuanya untuk memberi
persembahan makan secara besar-besaran kepada Buddha dan
Saÿgha. Di akhir Ritual persembahan yang berlangsung selama
tujuh hari itu, ia melihat Therã Sujà tà yang dinyatakan oleh
Buddha sebagai bhikkhunã yang terbaik dalam hal Pengetahuan. Ia
terinspirasi oleh bhikkhunã ini . Ia memberi persembahan
besar lagi sebelum mengungkapkan cita-citanya untuk menjadi
2862
bhikkhunã terbaik pada masa depan. Buddha Padumuttara
meramalkan bahwa seratus ribu siklus dunia lalu ia akan
menjadi bhikkhunã terbaik dalam hal pengetahuan dalam masa
pengajaran Buddha Gotama.
Kehidupan Berulang-ulang Sebagai Ratu Dewa Atau Ratu
Manusia
Putri orang kaya itu, saat meninggal dunia, terlahir kembali
berulang-ulang hanya di lima alam dewa, yaitu, Tà vatiÿsa, Yà mà ,
Tusità , Nimmà narati, Paranimmitavasavatã berturut-turut menjadi
ratu para dewa. saat meninggal dunia dari sana ia terlahir kembali
sebagai permaisuri raja dunia atau sebagai ratu dari raja besar.
Demikianlah, di mana pun ia dilahirkan, ia selalu terlahir menjadi
ratu. Ia menikmati kemuliaan di alam dewa dan di alam manusia
selama banyak siklus dunia.
Kehidupan Sebagai Bhikkhunã yang Menjalani Hidup Suci
sesudah mengembara hanya di alam bahagia, pada masa Buddha
Vipassã, sembilan puluh satu siklus dunia sebelum siklus
dunia sekarang, ia terlahir kembali di sebuah keluarga kaya. Ia
berkesempatan mendengarkan Dhamma Buddha dan bertekad
untuk menjalani kehidupan suci dan menjadi seorang bhikkhunã. Ia
memelajari Dhamma, menguasai Pengetahuan Pañiccasamuppà da,
unsur penting dari Empat Kebenaran Mulia, menjadi seorang
penceramah yang ahli, selain menjadi seorang yang tekun dalam
mempraktikkan Dhamma. Demikianlah ia menjadi teladan bagi
mereka yang menjalani Tiga Latihan dalam ajaran Buddha. Ia
menjalani kehidupan suci seumur hidupnya yang lamanya sepuluh
ribu tahun.
Saat meninggal dunia, ia terlahir kembali di Alam Dewa Tusità .
sesudah itu, di mana pun ia dilahirkan, jasa besar yang ia
hasilkan dari kehidupannya pada masa ajaran Buddha Vipassã,
memberi segalanya yang terbaik baginya dalam kehidupannya
itu, membuatnya memiliki bakat, kesucian moral, dilayani oleh
pengikut-pengikut yang bijaksana, selalu dalam keadaan nyaman
2863
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
dan tenteram. Lebih jauh lagi, praktik religius yang ia jalankan
dalam kehidupan lampaunya itu, memberi status sosial yang
tinggi kepadanya, ia menjadi ratu, baik di alam dewa maupun di
alam manusia, disayangi dan dihormati oleh raja.
Kehidupannya Sebagai Penyumbang Vihà ra
Pada masa Buddha Koõà gamaõa, dalam siklus dunia sekarang ini,
ia terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Bà rà õasã, dan bersama
dua perempuan kaya lainnya yaitu Dhana¤jà nã dan SumedhÃ
(namanya tidak dikenal tetapi dapat disebut Khemà ), membangun
sebuah kompleks vihà ra untuk digunakan oleh Saÿgha. Saat mereka
meninggal dunia, mereka terlahir kembali di Alam Dewa Tà vatiÿsa,
dan sesudah kehidupan itu, mereka terlahir kembali di alam manusia
dan dewa menikmati status sosial mereka yang tinggi.
Kehidupannya Sebagai Putri Tertua dari Tujuh Putri Raja Kikã
Pada masa Buddha Kassapa, dalam siklus dunia sekarang ini, Raja
Kikã dari Bà rà õasã, di Provinsi Kà si, yaitu seorang penyokong
Buddha dan bergaul akrab dengan Buddha. Ia memiliki tujuh putri
yang bernama: (1) Putri Samaõã (2) Putri Samaõaguttà (3) Putri
Bhikkhunã (4) Putri Bhikkhadà yikà (5) Putri Dhammà (6) Putri
Sudhammà (7) Putri Saÿghadà yikà ―yang kelak, pada masa Buddha
Gotama menjadi:
(1) Therã Khemà , (2) Therã Uppalavaõõà , (3) Therã Pañà cà rà , (4) Therã
Kuõóalakesã, (5) Therã Kisà gotamã, (6) Therã Dhammadinnà , dan (7)
Visà khà , penyumbang Vihà ra Pubbà rà ma.
Bakal Therã Khemà , Putri Samaõã, saat mendengarkan khotbah
Buddha Kassapa, menjadi berkeinginan untuk menjadi seorang
bhikkhunã tetapi ayahnya tidak mengizinkannya. Maka ia sebagai
putri tertua dari tujuh putri itu bertekad untuk tidak menikah dan
tetap menjadi seorang perawan seumur hidup mereka yang lamanya
dua puluh ribu tahun. Mereka menyokong Buddha Kassapa dengan
menyediakan empat kebutuhan bhikkhu seumur hidup mereka.
2864
Pada suatu saat Buddha membabarkan khotbah yang luar biasa
yang berjudul Mahà nidà na Sutta, (yang tercatat sebagai Sutta kedua
dalam Mahà Vagga, Dãgha Nikà ya). Putri Samaõã begitu tercerap
saat mendengarkannya sehingga ia menghafalkannya, dan sering
membacakannya.
Sebagai akibat dari perbuatan baiknya, saat meninggal dunia, ia
menjadi permaisuri (Sakka) di Tà vatiÿsa.
(b) Menjadi bhikkhunã dalam kehidupan terakhir
Pada masa Buddha Gotama, ia terlahir kembali untuk terakhir
kalinya sebagai putri Raja Maddarà ja dari Sà gala. sebab
kelahirannya membawa kedamaian bagi negeri itu, ia diberi nama
‘Khemà ’ (damai). saat telah berusia dewasa, ia menjadi ratu dari
Raja Bimbisà ra dan sangat disayangi oleh suaminya. Ia bangga akan
kecantikannya.
Saat itu Buddha sedang berdiam di Vihà ra Veëuvana di Rà jagaha.
Ratu Khemà telah mendengar orang-orang mengatakan bahwa
Buddha selalu membabarkan khotbah yang mencela kecantikan
fisik, sebab itu ia tidak pernah mendatangi Buddha sebab khawatir
kecantikannya akan dicela oleh Buddha.
Siasat Cerdas Raja Bimbisà ra
Raja Bimbisà ra berpikir, “sebab aku yaitu umat penyokong
yang paling penting bagi Buddha, tidak masuk akal jika ratuku
tidak pernah mengunjungi Buddha.” Ia menyusun rencana, ia
menginstruksikan seorang penyair ahli untuk menggubah sebuah
lagu yang memuji Vihà ra Veëuvana dan menyanyikannya di dekat
ratu.
Empat Bait Pujian Terhadap Vihà ra Veëuvana
1. Seseorang yang tidak beruntung dapat melihat Vihà ra Veëuvana,
Hutan Bambu tempat kediaman Buddha, kami menganggapnya
sebagai orang yang belum pernah melihat Taman Nandavana di
2865
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
alam surga.
2. Ia yang telah melihat Hutan Veëuvana yang sangat dibanggakan
oleh Raja Bimbisà ra dari Rà jagaha, penguasa kesayangan rakyat,
pusat perhatian seluruh dunia, berarti telah melihat Taman
Nandavana, tempat kesukaan Sakka, raja para dewa.
3. Banyak para Dewa Tà vatiÿsa, sesudah meninggalkan Taman
Nandavana dan turun ke alam bumi (di Benua Selatan) dan melihat
Hutan Veëuvana, menjadi terpesona dan semua kegelisahan mereka
terlupakan, mereka tidak puas-puasnya melihatnya.
4. Hutan Veëuvana itu muncul berkat jasa masa lampau raja dan
dihiasi oleh keagungan Buddha, penyair manakah yang mampu
menggambarkan dengan lengkap kemuliaannya yang tidak
terhingga?”
saat Ratu Khemà mendengar lagu itu, walaupun ia dulu sekali
pernah bersenang-senang di sana bersama raja, ingatannya tentang
hutan itu menjadi segar kembali. Ia sangat ingin mengunjungi
tempat itu lagi. Ia memohon izin sang raja untuk pergi ke sana,
ia pergi dalam rombongan besar. Ia memilih waktu yang ia pikir
Buddha tidak berada di sana, yaitu pada pagi hari saat Buddha
biasanya pergi ke kota untuk mengumpulkan dà na makanan.
Ia berjalan-jalan di Hutan Bambu yang penuh dengan berbagai
jenis bunga-bungaan dan buah-buahan, lebah dan kupu-kupu
sibuk mengumpulkan madu, burung-burung bernyanyi dan
merak merapikan bulu mereka dalam kesunyian hutan itu. Ia juga
mengunjungi tempat-tempat tinggal para bhikkhu, aula pertemuan,
rumah-rumah peristirahatan, dan jalan-jalan setapak.
Ia bertemu dengan seorang bhikkhu muda yang sedang duduk
bermeditasi di bawah pohon dan berpikir bahwa anak muda yang
tampan itu seharusnya menikmati kenikmatan hidup dan menjalani
kehidupan religius hanya saat telah berusia lanjut. Yakin bahwa
Buddha tidak berada di Kuñã Harum, ia mendekati Kuñã Harum
ini . Buddha mengetahui bahwa ratu akan datang dan sebab
itu ia tetap berada di Kuñã Harum. Beliau dengan kekuatan batin-Nya
2866
menciptakan seorang gadis muda yang kecantikannya melampaui
Ratu Khemà . Perempuan itu sedang mengipasi Buddha.
saat Ratu Khemà melihat gadis yang cantik itu, ia melepaskan
kemelekatannya terhadap kecantikannya dan menjadi kagum
dan tertarik pada kecantikan yang ada di depannya. Tetapi saat ia
menatap gadis itu, berkat kekuatan Buddha, kecantikan gadis itu
terlihat memudar dan dalam waktu singkat ia menjadi tua dan jompo
dengan kulit keriput, rambut memutih, gigi tanggal, bintik hitam
di seluruh kulitnya, buah dadanya terkulai, sendi-sendi menonjol,
urat-urat bertautan dan napasnya tersengal-sengal, berusaha
mempertahankan hidupnya; dan lalu ia terengah-engah dan
jatuh. Ia mati.
Pandangan yang jelas itu membangkitkan semangat religius,
saÿvega, dalam diri Ratu Khemà , ia menyadari:
“Oh, bentuk (jasmani) ini tidak suci. Sungguh menjijikkan.
Perempuan bodoh menyukai jasmani yang tidak suci dan
menjijikkan ini.”
lalu Buddha berkata kepada Ratu Khemà dalam syair
berikut:
1. “Khemà , lihatlah jasad ini yang diserang oleh penyakit, kebusukan
yang tidak murni, mengeluarkan kotoran ke atas dan ke bawah,
orang bodoh manakah yang akan bergembira di dalamnya.”
2. “Latihlah konsentrasi pada objek meditasi, agar dapat melihat
kejijikan dari jasmani ini. Dengan mengembangkan perhatian
terhadap tiga puluh dua aspek (bagian-bagian) badan jasmani,
bangkitkanlah kejemuan terhadapnya.”
3. “(Khemà ), seperti halnya jasmani dari perempuan di samping-
Ku ini hancur, demikian pula jasmanimu juga akan hancur. Seperti
halnya jasmanimu terlihat menarik sebelum engkau mati, demikian
pula jasmani perempuan di samping-Ku ini juga terlihat menarik
sebelum ia mati; (oleh sebab itu) tinggalkanlah kemelekatan
2867
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
terhadap jasmani baik jasmani diri sendiri maupun jasmani orang
lain.”
4. “Kembangkanlah persepsi tanpa-diri dengan mencatat muncul
lenyapnya fenomena. Tinggalkanlah gagasan tentang diri; dengan
melakukan hal itu engkau akan menaklukkan sebelas api yang
membakarmu dan mencapai Nibbà na.”
5. “Seperti halnya laba-laba mengikuti jaring yang ia buat sendiri,
demikian pula makhluk-makhluk hidup yang memiliki kemelekatan
mengikuti arus kotoran yang mereka buat sendiri. Orang bijaksana
tidak memiliki keinginan terhadap kenikmatan indria, melainkan
memotong arus kotoran dan pergi menuju Nibbà na.”
Buddha mengetahui bahwa sesudah mendengarkan khotbah itu,
batin Ratu Khemà telah menjadi gembira dan mau menerima, Beliau
melanjutkan dengan khotbah lainnya yang berjudul Mahà nidà na
Sutta (Sutta yang sama yang didengar dan dipelajari dari Buddha
Kassapa dalam kehidupan lampaunya sebagai Putri Samaõi). Ratu
Khemà mengingat Sutta itu dan mencapai Pengetahuan Pemenang
Arus sesaat itu juga.
sesudah menjadi seorang Ariya sebagai Pemenang Arus, ia ingin
memperbaiki kebanggaannya yang keliru tentang kecantikannya.
Ia bersujud di hadapan Buddha dan meminta maaf dengan
mengucapkan lima syair berikut:
1. “Yang Maha Mengetahui, aku bersujud kepada-Mu. Perwujudan
Welas asih, aku bersujud kepada-Mu. Buddha yang telah
menyeberangi banjir saÿsà ra, aku bersujud kepada-Mu. Pemberi
Keabadian, aku bersujud kepada-Mu!”
2. “Aku telah dibingungkan dan dikacaukan oleh kemelekatan
terhadap nafsu indria, dan dengan demikian aku telah melompat ke
dalam belukar pandangan salah. Dengan siasat yang tepat, Engkau,
Bhagavà , telah menjinakkan aku (yang sedang kebingungan) dan
membuatku bahagia sebab dijinakkan.”
2868
3. “sebab tidak berkesempatan bertemu dengan orang mulia seperti
Engkau, yang memiliki moralitas, konsentrasi, dan seterusnya,
makhluk-makhluk hidup menderita dukkha yang hebat dalam
lautan saÿsà ra.”
4. “Walaupun Yang Tersuci yang telah mencapai Kesucian Nibbà na
telah lama menetap di Vihà ra Veëuvana. Aku tidak datang dan
memberi hormat kepada Raja Tiga Alam. Kelalaian ini sekarang
kuakui sebagai kesalahanku.”
5. “Aku telah memiliki gagasan keliru terhadap Penyelamat
Mulia Tiga Alam, Pemberi Anugerah Tertinggi (Magga dan Phala,
Nibbà na,) sebagai seorang yang suka mencari-cari kesalahan sebab
aku sangat menyukai kecantikanku. Kelalaianku sebab memiliki
pikiran seperti itu dan kelalaianku untuk datang dan memberi
hormat kepada-Mu lebih awal, aku (sekarang) mengakuinya sebagai
kesalahanku.”
Atas pengakuan Ratu Khemà atas kesalahan-kesalahannya, Buddha
berkata, “Tidak apa-apa, anak-Ku Khemà ,” yang menyejukkan
hatinya seolah-olah air surgawi dituangkan kepadanya. lalu
Ratu Khemà bersujud kepada Buddha dan dengan hormat
meninggalkan tempat itu. Sesampainya di istana, ia melihat Raja
Bimbisà ra dan berkata:
1. “O penakluk agung berkulit keemasan, engkau telah memakai
siasat yang cerdik untuk membujukku pergi berkunjung ke Vihà ra
Veëuvana. Sungguh menakjubkan gagasanmu itu! sebab aku
menjadi sangat ingin melihat Taman Veëuvana, (dengan akibat
bahwa) aku telah melihat (dengan mata kepalaku dan mata
kebijaksanaanku) Buddha, sang Bijaksana.
2. O Tuanku! Jika engkau menyetujui, aku ingin menjalani
kebhikkhuan dalam Dhamma (yang dilengkapi dengan delapan
keajaiban) Buddha yang memiliki kebijaksanaan yang tidak ada
bandingnya, perwujudan kemuliaan tertinggi. Berkat kata-kata
bijaksana Buddha, aku telah mencapai Pandangan Cerah ke dalam
sifat membosankan dari jasmaniku.”
2869
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
Mendengar dua bait syair yang diucapkan oleh Ratu Khemà , Raja
Bimbisà ra yang mengetahui dari raut mukanya bahwa ia telah
menjadi seorang Ariya, yang telah mencapai Pengetahuan Jalan,
merangkapkan kedua tangannya di keningnya dan berkata kepada
ratu, “Ratuku, aku mengizinkan engkau menjadi seorang bhikkhunã.
Semoga cita-citamu dalam melepaskan keduniawian tercapai (yaitu,
semoga engkau mencapai Kearahattaan). (Kata-kata ini diucapkan
dalam setengah bait syair.) selanjutnya raja mendudukkan ratu
di dalam sebuah tandu emas dan mengantarkannya ke vihà ra
bhikkhunã dengan segala kebesarannya.
Therã Khemà Mencapai Kearahattaan
Pada hari kelima belas kebhikkhuannya, Therã Khemà , sewaktu
menjalani uposatha, merenungkan pelita di depannya, bagaimana
api itu muncul dan bagaimana api itu padam. Semangat religius yang
hebat muncul dalam batinnya. Mengembangkan Pandangan Cerah
dalam sifat muncul dan lenyapnya api dan menerapkannya pada
semua fenomena berkondisi, yaitu, gabungan batin-jasmani yang
membentuk kehidupannya sekarang, ia mencapai Kearahattaan
lengkap dengan Empat Pengetahuan Diskriminatif dan enam
kekuatan batin. (Kisah pencapaian Kearahattaan oleh Therã KhemÃ
bersumber dari Therã Khemà Apadà na Pà ëi. Komentar Aïguttara
Nikà ya dan Komentar Dhammapada menceritakannya secara
berbeda. Kami tidak mendiskusikannya agar tidak membingungkan
pembaca.)
Therã Khemà tekun dalam belajar dan praktik Dhamma, sebab itu
ia menguasai tujuh tingkat Kesucian, dan tidak tertandingi dalam
hal menjelaskan Sepuluh Topik Diskusi (Kathà vatthu), paling mahir
dalam penerapan metode Abhidhammà , unggul dalam belajar
maupun praktik. Kebenaran dari pernyataan ini dapat diukur
dari Khemà Sutta, Sutta pertama dalam Abyà kata Saÿyutta dari
Saëà yatana Saÿyutta.
2870
Therã Khemà membabarkan khotbah yang dalam kepada Raja
Kosala
Pada suatu saat , Buddha sedang berdiam di Vihà ra Jetavana di
Sà vatthã, Therã Khemà sedang melakukan perjalanan ke Negeri
Kosala, dan singgah di Toraõa yang terletak antara Sà vatthã dan
SÃ keta. Pada malam itu Raja Pasenadi dari Kosala berkemah di
Toraõa. lalu raja itu berkata kepada pengawalnya, “Pengawal,
tanyakanlah, di tempat ini, samaõa atau brà hmana manakah yang
layak menjadi pembimbing spiritual bagiku untuk hari ini.” Para
pengawal bertanya-tanya di tempat itu namun tidak menemukan
samaõa atau brà hmaõa yang dapat menjadi pembimbing spiritual
raja. Mereka hanya melihat Therã Khemà yang kebetulan sedang
mampir di sana. Mereka kembali menghadap raja dan berkata,
“Tidak ada samaõa atau brà hmana di tempat ini. Tetapi ada
seorang bhikkhunã bernama Therã Khemà , seorang siswa Buddha.
Ia dikabarkan bijaksana, terampil, terpelajar, seorang pembabar
Dhamma yang mengagumkan, memiliki kecerdasan yang
menakjubkan. Aku menyarankan agar tuanku memohon nasihat
dan bimbingan darinya.” Raja menerima nasihat itu dan pergi ke
tempat di mana Therã Khemà berada. Ia bersujud kepadanya dan
duduk di tempat yang semestinya, lalu ia berkata kepada
Therã Khemà sebagai berikut:
“Yang Mulia, apakah makhluk hidup tetap ada sesudah
kematian?”
“Tuanku,” jawab Therã Khemà , “Buddha tidak mengatakan bahwa
makhluk hidup tetap ada sesudah kematian.”
“Kalau begitu, Yang Mulia, apakah makhluk hidup tidak ada sesudah
kematian?”
“Tuanku, Buddha tidak mengatakan bahwa makhluk hidup tidak
ada sesudah kematian.”
“Yang Mulia, apakah makhluk hi
.jpeg)
.jpeg)





