Biksu Budha 11

 



begitu, aku akan memohon agar engkau menetap di taman 

istana sebagai petapa sehingga aku dapat menjumpaimu siang atau 

malam.” Bàvarã mengabulkan permohonan itu, lalu   ia dan 

pengikutnya yang berjumlah enam belas murid senior beserta enam 

belas ribu pengikutnya menetap di taman istana sebagai petapa. Raja 

menyediakan empat kebutuhan kepada mereka dan secara rutin 

memberi hormat setiap pagi dan sore kepada gurunya.

sesudah   beberapa lama, murid-muridnya berkata kepada guru 

mereka, “Guru, tinggal di dekat kota membuat kehidupan 

pertapaan menjadi tidak memuaskan sebab   banyak gangguan. 

Tempat yang cocok bagi seorang petapa yaitu   tempat yang jauh 

dari kota; marilah kita pindah dari sini.” Sang guru terpaksa 

menyetujui. Ia memberitahukan hal itu kepada raja tetapi raja 

tidak mengizinkannya pergi. Tiga kali Bàvari mendesak raja agar 

mengabulkan permohonannya. Akhirnya raja terpaksa mengabulkan 

keinginannya. Ia memerintahkan dua orang menterinya membawa 

dua ratus ribu keping uang dan pergi menyertai Bàvarã dan para 

pengikutnya untuk mencari tempat yang sesuai untuk pertapaan 

mereka, dan membangun gubuk-gubuk pertapaan untuk mereka.

Petapa Bàvarã dan 16.016 murid petapa di bawah pengawasan kedua 

menteri pergi ke arah selatan Sàvatthã. saat   mereka tiba di luar 

JambÃ¥dãpa, di suatu tempat yang terletak di antara dua kerajaan 

2828


Assaka dan Aëaka yang merupakan sebuah pulau besar di mana 

dua anak Sungai Godhàvarã bercabang, sebuah hutan buah-buahan 

yang luasnya tiga yojanà, Bàvarã berkata kepada murid-muridnya, 

“Ini yaitu   tempat parapetapa pada masa lampau menetap. Cocok 

bagi para petapa. Sesungguhnya, ini yaitu   hutan tempat para 

petapa terkenal, seperti Sarabhaïga, menetap.

Menteri raja itu membayar seratus ribu keping perak kepada masing-

masing Raja Assaka dan Raja Aëaka untuk membeli tanah itu. 

Kedua penguasa itu dengan senang hati menyerahkan tanah itu dan 

menambahkan dua yojanà tanah yang bersebelahan dengan hutan 

itu, sehingga totalnya menjadi lima yojanà. Kedua menteri dari 

Sàvatthã itu membangun tempat-tempat tinggal di sana. Mereka juga 

membeli bahan-bahan yang diperlukan dari Sàvatthã dan mendirikan 

sebuah pedesaan besar untuk para petapa itu mengumpulkan dàna 

makanan. sesudah   tugas-tugas mereka selesai, mereka kembali 

ke Sàvatthã. (Kisah di atas dikutip dari Komentar Sutta Nipàta. 

Komentar Aïguttara Nikàya menceritakan kisah selanjutnya dari 

Petapa Bàvarã yang akan dijelaskan berikut.) Pada hari, sesudah   dua 

menteri itu kembali ke Sàvatthã, datanglah seorang laki-laki yang 

meminta izin untuk mendirikan rumah sebagai tempat tinggalnya 

di sana. Ia mendapat izin untuk melakukan hal itu. Segera keluarga-

keluarga lainnya mengikuti sehingga akhirnya terdapat seratus 

rumah di sana. Dan dengan keramahan Petapa Bàvarã, komunitas 

perumah tangga itu berkembang, sehingga menjadi sumber dàna 

makanan bagi para petapa, yang juga memperoleh makanan setiap 

hari dari buah-buahan.

Persembahan Tahunan Bernilai Seratus Ribu

 

Desa di pertapaan itu menjadi makmur. Penghasilan dari pertanian 

dan kegiatan lainnya berjumlah seratus ribu setiap tahun yang 

dibayarkan para warga   kepada Raja Assaka. Tetapi Raja Assaka 

berkata kepada mereka bahwa penghasilan ini   harus dibayarkan 

kepada Petapa Bàvarã. saat   mereka membawa uang itu kepada 

Bàvarã, petapa itu berkata, “Mengapa kalian membawa uang itu?” 

Para warga   berkata, “Yang Mulia, kami membayar sejumlah ini 

sebagai ungkapan terima kasih kami sebab   diperbolehkan menetap 

2829

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

di tanahmu.” Bàvarã berkata, “Jika aku menginginkan uang, aku 

tidak akan menjadi seorang petapa. Ambil kembali uang kalian.” 

“Tetapi, Yang Mulia,” para warga   berkata, “Kami tidak dapat 

mengambil kembali apa yang telah diberikan kepadamu. Kami akan 

membayar sejumlah seratus ribu setiap tahun kepadamu. Kami 

dengan rendah hati menyarankan agar engkau menerima upeti 

tahunan dari kami dan engkau dapat mendanakannya sesukamu.” 

Bàvarã setuju. Dan setiap tahun terjadi persembahan besar-besaran 

oleh para petapa baik itu demi kesejahteraan para kaum miskin, 

petani, pengembara, dan pengemis. Berita tentang perbuatan mulia 

ini   menyebar ke seluruh JambÃ¥dãpa.

Ancaman Seorang Brahmana Palsu

Pada suatu kegiatan tahunan itu, sewaktu Bàvarã sedang bersuka-ria 

dalam kebajikannya di tempat tinggalnya, ia terbangun dari tidurnya 

oleh teriakan parau seseorang yang meminta, “Brahmana Bàvarã, 

berikan sesuatu padaku sebagai dàna. Berikan, sesuatu sebagai 

dàna.” Itu yaitu   suara seorang brahmana palsu yang merupakan 

keturunan dari JÃ¥jakà (dari kisah Jàtaka Vessantara) yang datang 

dari Desa Brahmana Dunniviñtha di Kerajaan Kaliïga. Ia datang 

atas perintah istrinya yang berkata kepadanya, “Tidakkah engkau 

tahu bahwa Brahmana Bàvarã memberi   dàna secara bebas? 

Pergi dan mintalah emas dan perak darinya.” Brahmana palsu itu 

yaitu   seorang suami yang takut kepada istrinya. Ia tidak mampu 

membantah perintah istrinya.

Bàvarã berkata kepadanya, “O Brahmana, engkau terlambat. Aku 

telah memberi   seluruhnya kepada mereka yang datang meminta. 

Aku tidak memiliki sekeping uang pun sekarang.” “O Bàvarã, aku 

tidak meminta banyak. Engkau yang memberi   begitu banyak, 

tidak mungkin tidak memiliki sekeping pun seperti yang engkau 

katakan. Berikan aku lima ratus saja.” “Aku tidak mempunyai 

lima ratus. Engkau akan mendapatkannya tahun depan.” “Apakah 

aku harus menunggu sampai tahun depan?” Ia marah sewaktu 

mengucapkan kata-kata itu. Ia mengucapkan kutukan-kutukan 

dengan cara sebagai berikut. Ia mengambil kotoran sapi, bunga-

bunga merah, dan rumput ke dalam gubuk itu, dan menebarkannya 

2830


di lantai di jalan masuk ke dalam gubuk Bàvarã. lalu   ia 

mencuci kaki kirinya dengan air yang diambil dari kendi air yang 

ia bawa, berjalan tujuh langkah di atas lantai, sambil menepuk 

kaki (kiri)nya dengan tangannya, ia mengucapkan kutukan seperti 

seorang suci membacakan mantra:

Sace me yàcamànassa, bhavaÿ nànupadassati. 

Sattame divase tuyhaÿ, muddhà phalatu sattadhà.

Jika engkau tidak memberiku uang yang kuminta—semoga 

kepalamu pecah menjadi tujuh keping pada hari ketujuh dari 

sekarang.”

Bàvarã sangat terganggu, “Mungkin kutukannya akan terjadi,” 

ia merenungkan saat ia berbaring. lalu   ibu Bàvarã pada 

kehidupan lampaunya yang sekarang menjadi dewi penjaga 

pertapaan itu, melihat kekhawatiran mantan anaknya itu, berkata:

Na so muddhaÿ pajànàti, kuhako so dhanatthiko, 

Muddhani muddhapàte và, ¥Ã Ãµaÿ, tassa na vijjati.

“(Anakku,) Brahmana itu tidak tahu apa yang disebut kepala. 

Ia hanyalah seorang brahmana palsu yang gagal mendapatkan 

uangmu. Ia tidak tahu arti ‘kepala’ (muddhà) juga faktor-faktor 

yang dapat menyebabkan ‘kepala’ menjadi hancur berkeping-keping 

(muddhàdhipàta).”

lalu   Bàvarã berkata, “O Ibu, jika engkau tahu apa yang 

dimaksudkan dengan kepala dan faktor-faktor yang dapat 

menyebabkan ‘kepala’, sudilah memberitahuku.”

Dewi itu menjawab, “Anakku, aku tidak mengetahui kedua hal ini. 

Hanya para Buddha yang mengetahuinya.” “Siapakah di dunia 

ini yang mengenalnya? Mohon antarkan aku kepada orang itu.” 

“Buddha Yang Maha Mengetahui, Raja Tiga Alam.” saat   kata 

‘Buddha’ terdengar olehnya, Bàvarã menjadi sangat gembira dan 

semua kekhawatiran lenyap. “Di manakah Buddha sekarang?” 

“Buddha menetap di Vihàra Jetavana di Sàvatthã.”

2831

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Keesokan paginya, Bàvarã mengumpulkan enam belas muridnya 

dan berkata, “O murid-muridku, Buddha dikatakan telah muncul di 

dunia ini. Pergi dan periksalah fakta ini dan beritahukan kepadaku, 

aku bermaksud pergi menemui Buddha sendiri tetapi dalam usiaku 

yang telah lanjut, aku dapat meninggal dunia kapan saja. Pergi dan 

temuilah Buddha dan ajukanlah tujuh pertanyaan ini kepada Beliau.” 

Pertanyaan-pertanyaan yang diatur dalam syair yang dikenal sebagai 

muddha Phàlana (juga dikenal sebagai muddhàdhipàta) lalu   

diajarkan kepada mereka secara terperinci.

Catatan: bahwa pada tahun kedelapan Bàvarã menetap di tepi Sungai 

Gohàvarã, Buddha muncul di dunia―Komentar Sutta Nipàta, Vol. 2.

lalu   Bàvarã merenungkan, “Enam belas muridku yaitu   

orang-orang yang bijaksana. Jika mereka mencapai tujuan tertinggi 

dari kebhikkhuan (yaitu Kearahattaan) mereka mungkin kembali 

padaku, mungkin juga tidak.” Dan sebab   itu ia berkata kepada 

Piïgiya, keponakannya, “Keponakan Piïgiya, engkau harus kembali 

ke sini. Beritahukan kepadaku manfaat dari Lokuttara saat engkau 

telah mencapainya.”

lalu   enam belas ribu pengikut Bàvarã di bawah pimpinan Ajita 

(satu dari enam belas murid), bersama enam belas guru mereka, 

bersujud kepada Bàvarã dan meninggalkan pertapaan itu menuju 

ke arah utara.

Dalam perjalanan itu mereka melewati Màhissati yang merupakan 

kota kerajaan Aëaka, Ujjenã, Gonaddha, Vedisa, Pavana, Kosambã, 

Sàketa, Sàvatthã, Setabya, Kapilavatthu, Kusinàrà, Pàvà, Bhoga, Vesàlã, 

dan Ràjagaha yang terletak di Negeri Magadha. Perjalanan panjang 

sejauh banyak yojanà.

Sewaktu mereka melewati kota, orang-orang akan bertanya ke 

mana tujuan mereka dan saat mereka menjawab bahwa mereka 

akan menemui Buddha untuk menanyakan permasalahan, banyak 

orang yang bergabung bersama mereka. Saat mereka melewati 

Kosambã dan sampai di Sàketa, panjang barisan itu sudah enam 

2832


yojanà. Buddha mengetahui kedatangan para petapa, murid-murid 

Bàvarã, dan bahwa mereka disertai oleh banyak orang dalam 

perjalanan itu. Tetapi mengetahui bahwa indria para petapa itu 

masih belum cukup matang, Buddha tidak menunggu di Sàvatthã 

untuk menerima mereka, melihat bahwa tempat yang tepat bagi 

Pencerahan mereka yaitu   Cetiya Pàsàõaka di Magadha. sebab   

harus melewati banyak kota lagi untuk sampai ke tempat itu, 

jumlah barisan itu akan semakin banyak dan mereka semua akan 

mendapatkan manfaat dari khotbah-Nya di sana, yaitu, mencapai 

Pengetahuan Empat Kebenaran Mulia. Mempertimbangkan hal 

ini, Buddha meninggalkan Sàvatthã dan pergi ke arah Ràjagaha 

mendahului barisan para petapa itu.

saat   barisan itu tiba di Sàvatthã, mereka masuk ke vihàra dan 

bertanya di mana Buddha berada. Di pintu masuk ke kamar Buddha, 

Kuñã Harum, mereka melihat jejak kaki Buddha (yang ditinggalkan 

di sana oleh Buddha dan tidak terusik hingga mereka tiba). Mereka 

mampu membaca jejak kaki segala jenis individu, bahwa:

Rattassa hi ukkuñikaÿ padaÿ bhave, 

duññhassa hoti avakaóóhitaÿ padaÿ, 

Måëhassa hoti saha sànu ànupãëitaÿ, 

vivañacchadassa ida mãdisaÿ padaÿ.

“Seorang yang penuh nafsu, jejak kakinya berlubang di 

tengahnya;

Seorang yang penuh kebencian, jejak kakinya condong ke 

belakang;

Seorang yang dungu, jejak kakinya menekan pada bagian jemari 

dan tumit;

Jejak kaki ini pasti milik Buddha Yang Maha Mengetahui yang telah 

menghancurkan semua kotoran.”

Dengan pengetahuan itu, para petapa itu yakin bahwa mereka telah 

menemukan jejak kaki Buddha.

Buddha berjalan melalui Setabya, Kapilavatthu, dan seterusnya, dan 

tiba di Cetiya Pàsàõaka di dekat Ràjagaha, diikuti oleh sejumlah 

2833

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

besar orang. Para petapa lalu   meninggalkan Sàvatthã segera 

sesudah   mereka yakin telah menemukan jejak kaki Buddha, dan 

berjalan melalui Setabya dan Kapilavatthu, dan seterusnya, dan tiba 

di Cetiya Pàsàõaka di dekat Ràjagaha.

(Cetiya Pàsàõaka yaitu   tempat pemujaan sebelum munculnya 

Buddha. Dibangun di atas batu untuk menghormati dewa di sana. 

saat   Buddha muncul, para warga   membangun sebuah vihàra 

baru dan dipersembahkan untuk digunakan oleh para umat. Tetapi 

nama lama itu tetap dipertahankan.)

Sakka telah menyiapkan tempat yang cukup luas untuk menampung 

kerumunan itu di Cetiya Pàsàõaka. Para petapa itu berusaha keras 

untuk menyusul Buddha sepanjang pagi dan malam. saat   mereka 

melihat Cetiya Pàsànaka, tujuan mereka, mereka menjadi sangat 

bahagia bagaikan orang yang kehausan melihat air, atau bagaikan 

seorang pedagang yang mendapat keuntungan, atau bagaikan 

pengembara yang kelelahan melihat tempat teduh. Mereka bergegas 

ke cetiya itu.

Mereka melihat Buddha sedang membabarkan khotbah kepada 

banyak bhikkhu dengan suara yang mengingatkan seseorang 

kepada auman singa. Ajita, pemimpin para brahmana itu, sangat 

gembira melihat Buddha yang memancarkan sinar enam warna, 

sedang membabarkan Dhamma dan terdorong oleh kata-kata ramah 

Buddha seperti, “Bagaimana cuaca di sini? Apakah cukup nyaman 

bagi kalian (dan sebagainya)?” Duduk di tempat yang semestinya, 

ia mengajukan pertanyaan pertama kepada Buddha tanpa bersuara 

tetapi dengan mengarahkan pikirannya pada syair yang diajarkan 

oleh gurunya Bàvarã, sebagai berikut:

âdissa jammanaÿ brÃ¥hi, gottaÿ brÃ¥hi salakkhaõaÿ; 

Mantesu Pàramãÿ bråhi, kati vàceti Bràhmaõo.

“Katakanlah (1) Berapa usia guru kami (Bàvarã)? (2) Tanda-tanda 

fisik apakah yang dimiliki oleh guru kami? (3) Apakah silsilahnya? 

(4) Bagaimanakah penguasaannya dalam tiga Veda? (5) berapa 

banyak murid yang memelajari Veda darinya?”

2834


Bàvarã telah menginstruksikan Ajita untuk mengajukan pertanyaan 

ini melalui pikiran. Ia melakukannya sesuai instruksi. Buddha, 

seperti yang diharapkan oleh Bàvarã, mengetahui pertanyaan Ajita 

dan memberi   jawaban berikut (dalam dua bait syair):

Vãsaÿ vassasataÿ àyu, so ca gottena Bàvarã; 

Tãõissa lakkhaõà gatte, tiõõaÿ vedàna pàragÃ¥. 

 

Lakkhaõe itihàse ca, sanighaõóu sakeñubhe; 

Pa¤ca satàni vàceti, sadhamme Pàramãÿ gato.

“(Ajita,) (1) Gurumu berusia seratus dua puluh tahun. (2) Ia berasal 

dari suku Bàvarã. (3) Ia memiliki tiga tanda manusia luar biasa. (4) 

Ia menguasai tiga Veda; “Ia menguasai Nighaõóu (Abhidhàna), 

Keñubha (puisi), Lakkhaõa (ciri-ciri manusia luar biasa), Itihàsa 

(cerita dongeng), (5) Ia mengajarkan tiga Veda kepada lima ratus 

murid yang malas dan dungu.”

Ajita yang ingin mengetahui tiga ciri yang dimiliki oleh gurunya 

sehubungan dengan jawaban ketiga di atas, mengajukan pertanyaan 

berikut melalui pikiran:

Lakkhaõànaÿ pavicayaÿ, Bàvarissa naruttama; 

Kaïkhacchida pakàsehi, mà no kaïkhàyitaÿ ahu.

“O Manusia Agung yang memiliki kualitas dalam menyingkirkan 

keraguan semua makhluk, sebutkanlah secara terperinci tanda-

tanda manusia luar biasa yang dimiliki oleh Bàvarã. Jangan biarkan 

kami dalam keraguan.”

Buddha memberi   jawaban berikut:

Mukhaÿ jãvhàya chàdeti, uõõassa bhamukantare, 

Kosohitaÿ vatthaguyhaÿ, evaÿ jànàhi màõava.

“(Ajita,) (1) Gurumu Bàvarã dapat menutupi wajahnya dengan 

lidahnya; (2) terdapat rambut berbentuk spiral di antara kedua alis 

2835

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

matanya; (3) organ kelaminnya terselubung (bagaikan organ kelamin 

gajah Chaddanta). Ajita, perhatikanlah tiga tanda-tanda manusia 

luar biasa ini dalam dirinya.”

Buddha menjawab secara tepat. lalu   para hadirin yang 

menempati tempat seluas dua belas yojanà itu menjadi heran, sebab   

mereka tidak mendengarkan pertanyaan yang diajukan oleh siapa 

pun, hanya Buddha yang memberi   jawaban. Merangkapkan 

tangan di atas kepala mereka, mereka berseru, “Siapakah yang 

bertanya? Apakah dewa atau brahmà, atau Sakka suami tercinta 

dari Sujàtà?”

Mendengar jawaban atas lima pertanyaannya, Ajita selanjutnya 

mengajukan dua pertanyaan yang diajukan melalui pikiran:

Muddhaÿ muddhàdhipàta¤ ca, Bàvarã paripucchati; 

Taÿ vyàkarohi Bhagavà, kaïkhaÿ vinaya no ise.

“O Yang Mulia, guru kami ingin menanyakan dua persoalan: 

pertama, apa yang dimaksudkan dengan ‘kepala’ (muddha)? Kedua, 

apakah faktor yang dapat memecahkan ‘kepala’ (muddhàadhipàta)? 

Sudilah menjawab dua pertanyaan ini dan melenyapkan keraguan 

kami.”

Atas pertanyaan pikiran Ajita ini, Buddha mengucapkan jawaban 

sebagai berikut:

Avijjaÿ muddhà ti jànàhi, vijjà muddhàdhipàtinã; 

Saddhà sati samàhãhi, chandaviriyena saÿyutà.

“(Ajita,) kebodohan (avijjà) terhadap Empat Kebenaran Mulia 

yaitu   kepala (muddha) dari kelahiran kembali yang berulang-

ulang (saÿsàra). Pengetahuan akan Jalan Mulia (muddhàdhipàtinã) 

yang berhubungan dengan keyakinan (saddhà), perhatian (sati), 

konsentrasi (samàdhi), keinginan kuat (chanda), dan usaha (viriya) 

yaitu   faktor yang dapat memecahkan kepala. Demikianlah yang 

harus engkau ketahui.”

2836


Mendengar jawaban ini  , Ajita gembira. Dan, meletakkan kulit 

rusa di bahu kirinya, ia menyentuh kaki Buddha dengan kepalanya. 

lalu   ia berseru:

Bàvarã Bràhmaõo bhoto, 

saha sissehi màrisa; Udaggacitto sumano, 

pade vandati Cakkhuma.

“Yang Mulia yang telah mengakhiri dukkha, memiliki Mata 

Pengetahuan, Brahmana Bàvarã, bersama murid-muridnya yang 

berjumlah enam belas ribu, bersujud di kaki-Mu!”

Murid-murid Bàvarã lainnya bergabung dengan Ajita dalam 

mengucapkan kata-kata pujian ini dan bersujud kepada Buddha. 

Buddha, demi welas asih-Nya kepada Ajita, memberi   berkah-

Nya kepadanya agar sejahtera:

Sukhito Bàvarã hotu, saha sissehi bràhmaõo; Tva¤ cà pi sukhito 

hohi, 

ciraÿ jãvàhi màõava.

“Semoga Bàvarã dan murid-muridnya bahagia dan sejahtera. 

Brahmana muda, semoga engkau juga bahagia dan sejahtera. 

Semoga engkau berumur panjang.”

lalu   Buddha berkata:

Bàvarissa ca tuyhaÿ và, sabbesaÿ sabbasaÿsayaÿ; 

Katàvakàsà pucchavho, yaÿ ki¤ci manasicchatha.

“Jika Bàvarã atau engkau sendiri Ajita, atau siapa pun dari kalian 

yang ingin menanyakan persoalan yang muncul dalam pikiran 

kalian, Aku mengizinkan kalian untuk bertanya.”

Itu yaitu   kebiasan dari para Buddha untuk mengundang 

pertanyaan.

saat   kesempatan ini diberikan kepada mereka, semua brahmana 

2837

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

duduk dan bersujud kepada Buddha, bergiliran mengajukan 

pertanyaan. Ajita yaitu   yang pertama melakukan hal itu. Buddha 

menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan jawaban-jawaban 

itu memuncak pada pencapaian Kearahattaan. Ajita dan seribu 

muridnya mencapai Kearahattaan pada akhir khotbah ini  ; 

ribuan lainnya mencapai Magga-Phala dalam berbagai tingkat. 

Segera sesudah   Ajita dan para muridnya mencapai Kearahattaan, 

mereka dipanggil oleh Buddha dan menjadi bhikkhu sehingga 

mereka sesaat   berubah dalam wujud para bhikkhu yang telah 

bergabung dalam Saÿgha selama enam puluh tahun, lengkap 

dengan perlengkapan bhikkhu yang muncul dengan kekuatan batin 

Buddha. Mereka semua duduk di depan Buddha dalam postur 

memberi hormat. (murid Bàvarã lainnya mengajukan pertanyaan 

mereka kepada Buddha, lengkapnya dapat dibaca dalam Sutta 

Nipàta. Kita akan melanjukan dengan apa yang berhubungan 

dengan Yang Mulia Mogharàja dan Bàvarã.)

Murid-murid Bàvarã mengajukan pertanyaan bergiliran dan Buddha 

memberi   jawaban yang berakhir pada pencapaian Kearahattaan 

oleh si penanya dan seribu muridnya, semua mereka menjadi 

bhikkhu sesudah   dipanggil oleh Buddha.

Mogharàja yaitu   seorang yang sangat sombong yang menganggap 

dirinya sebagai yang paling cerdas di antara enam belas murid 

Bàvarã. Ia berpikir bahwa ia layak mengajukan pertanyaan sesudah   

Ajita sebab   Ajita yaitu   murid tertua. Maka sesudah   Ajita selesai, 

ia berdiri untuk mengajukan pertanyaannya. Tetapi, Buddha 

mengetahui bahwa Mogharàja yaitu   orang yang angkuh dan 

belum matang untuk mencapai Pencerahan dan membutuhkan 

teguran. Maka Buddha berkata kepadanya, “Mogharàja, tunggu 

sampai yang lainnya selesai dengan pertanyaan mereka.” Mogharàja 

merenungkan, “Aku selalu menganggap bahwa diriku yaitu   orang 

yang paling bijaksana. Tetapi Buddha Maha Mengetahui. Beliau pasti 

telah memutuskan bahwa giliranku untuk mengajukan pertanyaan 

belum tiba.” Ia duduk kembali dengan tenang.

lalu   sesudah   delapan murid Bàvarã, yaitu, (1) Ajita, (2) Tissa 

Metteyya, (3) Puõõaka, (4) MettagÃ¥, (5) Dhotaka, (6) Upasãva, (7) 

2838


Nanda, dan (8) Hemaka telah menyelesaikan giliran mereka, ia 

menjadi tidak sabar dan berdiri. Sekali lagi, Buddha melihat bahwa ia 

masih belum matang untuk mencapai Pencerahan dan memintanya 

untuk menunggu. Mogharàja menerimanya dengan tenang. Tetapi 

sesudah   empat belas murid Bàvarã, yaitu sesudah  : (9) Todeyya, (10) 

Kappa, (11) Jatukaõõã, (12) Bhadràvudha, (13) Udaya, dan (14) Posàla 

telah menyelesaikan giliran mereka, Mogharàja cemas memikirkan 

bahwa ia akan menjadi bhikkhu paling junior di antara murid-

murid Bàvari, ia mengambil giliran kelima belas. Dan sekarang 

indria Mogharàja telah cukup matang, Buddha mengizinkannya, 

Mogharàja memulai dengan mengucapkan:

Dvàhaÿ sakkaÿ apucchissaÿ, 

na me vyàkàsi cakkhumà; 

Yàvatatiya¤ ca devãsi, 

vyàkarotã ti me sutaÿ.

Dua kali aku mengajukan pertanyaan kepada Buddha, keturunan 

Sakya, tetapi Pemilik Lima Mata tidak menjawabku. Aku mendengar 

bahwa demi welas asih, Buddha akan menjawab pada kali yang 

ketiga.

Ayaÿ loko paro loko, 

Brahmà loko sadevako; 

diññhiÿ te nàbhijànàti, 

Gommassa yasassino.

Tidak di alam manusia atau alam dewa dan brahmà yang memahami 

pandangan yang dianut oleh Buddha Gotama yang termasyhur 

sebagai berikut:

Evaÿ abhikkantadassàviÿ, aññhi pa¤hena àgamaÿ; 

kathaÿ lokaÿ avekkhantaÿ, maccuràjà na passati.

(Kepada ‘Ia yang melihat Dhamma yang sempurna’ (yaitu, Pengenal 

kecenderungan-kecenderungan tersembunyi (àsaya), Pembebasan 

tertinggi (adhimutti), alam kelahiran kembali (gati) dan Nibbàna 

(pàràyana) dan lain-lain, dari dunia makhluk-makhluk, kami 

2839

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

datang untuk mengajukan pertanyaan: ”Bagaimanakah seseorang 

memandang dunia ini sehingga Màra tidak dapat melihatnya (lagi)?” 

(Dengan cara bagaimanakah melihat dunia berkondisi, seseorang 

dapat mencapai Kearahattaan yang bebas dari kematian?)

Terhadap pertanyaan yang terdapat dalam paruh kedua dari tiga 

bait syair Mogharàja di atas, Buddha menjawab:

Su¤¤ato lokaÿ avekkhassu, 

Mogharàja sadà sato. 

Attànudiññhiÿ Ã¥hacca, 

evaÿ maccutaro siyà. 

Evaÿ lokaÿ avekkhantaÿ, 

maccuràjà na passati.

“Mogharàja, dengan selalu penuh perhatian setiap waktu, dan 

melenyapkan pandangan salah sehubungan dengan lima kelompok 

kehidupan, yaitu, kebodohan tentang diri, melihat dunia ini (hidup 

atau mati) sebagai kosong. Dengan melihat demikian, seseorang 

dapat terbebas dari Màra (Kematian). Seseorang yang memandang 

dunia dengan cara demikian tidak dapat dilihat oleh Màra.”  (Sutta 

Nipàta, v.1126.)

(Pandangan salah tentang identitas sebagai ‘diri’ yang yaitu   

konsep keliru terhadap tubuh, sakkàyadiññhi, harus disingkirkan 

dan semua fenomena berkondisi harus dipandang sebagai tanpa-diri 

dan bukan-aku (anatta), dan dalam kebenaran dan kenyataannya 

hanyalah kosong. Saat persepsi ini memukul akarnya, kematian 

ditaklukkan. saat   Arahatta-Phala dicapai, Arahanta melampaui 

kekuasaan kematian (Màra). Melampaui kekuasaan kematian yaitu   

perumpamaan yang artinya yaitu   pencapaian Kearahattaan. Syair 

ini memiliki tujuan utama yaitu pencapaian Kearahattaan.)

sesudah   mendengarkan syair ini yang memuncak pada Arahatta-

Phala, Mogharàja dan seribu pengikutnya mencapai Kearahattaan 

seperti murid-murid Bàvarã sebelumnya. Mereka “dipanggil menjadi 

bhikkhu”. Ribuan pendengar lainnya mencapai Magga-Phala dalam 

berbagai tingkatan.

2840


(c) Gelar Etadagga

Sejak ia menjadi seorang bhikkhu dengan cara dipanggil oleh 

Buddha, Yang Mulia Mogharàja memiliki kebiasaan mengenakan 

jubah-jubah yang berkualitas rendah atau jubah rendah dalam hal 

jubah itu dijahit dari kain-kain kasar, dicelup dengan tidak baik 

hanya sekadar untuk mematuhi aturan Vinaya, dan dijahit dengan 

memakai   benang yang berkualitas rendah. sebab   itu, dalam 

suatu kesempatan saat   Buddha mengadakan pertemuan para 

bhikkhu di Vihàra Jetavana, Beliau menyatakan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ 

lÃ¥khacãvaradharànaÿ yadidaÿ Mogharàjà,” “Para bhikkhu, di 

antara para bhikkhu siswa-Ku, yang selalu mengenakan jubah 

kasar (rendah bahan, rendah celup, dan rendah benang) Bhikkhu 

Mogharàja yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Thera Mogharàja.

Tambahan: Bàvarã, Guru Brahmana (Lanjutan)

Dari enam belas murid Petapa Bàvarã, lima belas yang pertama, yaitu 

hingga Mogharàja, sesudah   mengajukan pertanyaan mereka kepada 

Buddha dan menerima jawaban, mencapai Kearahattaan bersama 

dengan murid mereka yang masing-masing berjumlah seribu orang. 

Semua “dipanggil menjadi bhikkhu oleh Buddha.” Piïgiya, murid 

keenam belas dan keponakan Bàvarã, yang telah berusia 120 tahun, 

mengajukan pertanyaan berikut kepada Buddha:

Jiõõohamasmi abalo vãtavaõõo, 

nettà na suddhà savanaÿ na phàsu. 

Màham nassaÿ momuho antaràva, 

àcikkha dhammaÿ yam ahaÿ vija¤¤aÿ. 

Jàtijaràya idha vippahànaÿ.

“(Yang Mulia,) aku telah tua, lemah dan memudar. Mata dan 

telingaku telah merosot. Aku tidak ingin mati dalam kebodohan 

sebelum mendapatkan manfaat dari ajaran-Mu. sebab   itu mohon 

2841

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

tunjukkanlah kepadaku, di sini, di hadapan-Mu, Dhamma Lokuttara 

yang dapat melenyapkan kelahiran kembali dan usia tua.”

Piïgiya sangat mengkhawatirkan kemerosotan fisiknya, ia melekat 

pada tubuhnya. Untuk mendapatkan pandangan tidak melekat 

terhadap badan jasmani, Buddha mengajarkannya sebagai 

berikut:

Disvàna rÃ¥pesu viha¤¤amàne, 

ruppanti rÃ¥pesu janà pamattà. 

Tasmà tuvaÿ Piïgiya appamatto, 

jahassu råpaÿ apunabbhavàya.

“(Piïgiya,) banyak makhluk yang lengah yang terbawa kehancuran 

sebab   jasmani. sesudah   melihat dirimu sendiri, bagaimana badan 

jasmani menjadi pemicu   penderitaan pada mereka yang lengah, 

waspyaitu   (dengan penuh perhatian) dan singkirkan kemelekatan 

terhadap badan jasmani sehingga kehidupan yang baru tidak 

muncul.”

(Buddha menjelaskan praktik yang diperlukan (pañipatti) yang 

mengarahkan seseorang menuju Kearahattaan dengan ungkapan 

“sehingga kehidupan baru (apunabbhava) tidak muncul”). Tetapi 

si pendengar Piïgiya, sebab   sudah tua dan lamban batinnya, tidak 

dapat mencapai Pencerahan pada saat itu. Ia mengajukan pertanyaan 

lainnya dalam syair berikut; memuji kebijaksanaan Buddha:

Disà catasso vidisà catasso, 

uddhaÿ adho dasa disà imàyo. 

Na tuyhaÿ adiññhaÿ asutaÿ amutaÿ, 

atho avi¤¤Ã taÿ ki¤canamatthi loke. 

âcikkha dhammaÿ yamahaÿ vija¤¤aÿ, 

jàtijaràya idha vippahànaÿ.

“(Yang Mulia,) dalam seluruh empat arah utama, dalam seluruh 

empat arah di antaranya, di atas, di bawah, dalam seluruh sepuluh 

penjuru, tidak ada apa pun di dunia ini yang tidak terlihat, tidak 

terdengar, tidak diketahui atau dipahami oleh Bhagavà. Tunjukkanlah 

2842


kepadaku, di sini, di hadapan-Mu, Dhamma Lokuttara yang dapat 

melenyapkan kelahiran kembali dan usia tua.”

Sekali lagi Buddha menunjukkan praktik yang diperlukan yang 

mengarah menuju Nibbàna sebagai berikut:

Taõhàdhipanne manuje pekkhamàno, 

santàpajàte jarasà parete. 

Tasmà tuvaÿ Piïgiya appamatto, 

jahassu tanhaÿ apunabbhavàya.

“(Piïgiya,) banyak makhluk yang tertindas oleh keserakahan mereka 

sendiri. sesudah   melihat dirimu sendiri bagaimana menjadi tua dan 

hancur oleh proses ketuaan yang tanpa welas asih, waspyaitu   

(penuh perhatian) dan lenyapkan keserakahan (terhadap kenikmatan 

indria, terhadap kelahiran kembali, dan terhadap ketidaklahiran 

sehingga kehidupan baru tidak muncul).”

Pada akhir khotbah ini   yang diarahkan menuju Arahatta-

Phala, Piïgiya mencapai Anàgàmã Magga, Pengetahuan Jalan 

ketiga. Sewaktu mendengarkan khotbah itu, pikiran Piïgiya 

mengembara, ia merasa menyesal terhadap pamannya Bàvarã yang 

tidak berkesempatan mendengarkan penjelasan yang dalam itu, 

sebab   itu ia gagal mencapai Kearahattaan. Seribu muridnya berhasil 

menjadi Arahanta. Mereka semua, Piïgiya sebagai Anàgàmã dan 

murid-muridnya sebagai Arahanta, dipanggil sebagai bhikkhu 

oleh Buddha.

(Pertanyaan yang diajukan oleh masing-masing dari enam belas 

murid Bàvarã dan jawaban-jawaban yang diberikan oleh Buddha 

kepada mereka dihimpun dalam Sutta-Sutta yang terpisah oleh 

para pembaca dalam sidang, seperti Ajita Sutta, dan lain-lain. 

Kisah yang melatarbelakangi dan enam belas sutta itu diberi judul 

Pàràyana Sutta sebab   mengarah menuju pantai seberang (Nibbàna) 

dari saÿsàra.)

Pada akhir Pàràyana Sutta, 16.016 petapa mencapai Kearahattaan, 

mereka semua kecuali Piïgiya menjadi Arahanta. Empat belas crore 

2843

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

pendengar lainnya juga mencapai Magga-Phala dalam berbagai 

tingkatan Pengetahuan Jalan, sesudah   memahami Empat Kebenaran 

Mulia.

Para pendengar pada kesempatan pembabaran Pàràyana Sutta 

yang datang dari berbagai tempat sesaat   berada di rumah mereka 

masing-masing pada akhir khotbah ini  , berkat kekuatan 

Buddha. Buddha kembali ke Sàvatthã disertai oleh ribuan siswa 

Arahanta (kecuali Yang Mulia Piïgiya).

Khotbah Piïgiya kepada Bàvarã

Yang Mulia Piïgiya tidak menyertai Buddha pergi ke Sàvatthã 

sebab   ia harus melaksanakan tugas melaporkan pengalamannya 

kepada pamannya. Ia meminta izin dari Buddha untuk pulang ke 

tempat tinggalnya dan Buddha mengizinkannya. Ia pergi ke tepi 

Sungai Godhàvarã melalui angkasa, dan lalu   berjalan kaki 

ke tempat tinggalnya.

Saat Bàvarã menanti kembalinya keponakannya, duduk dan melihat 

jalan raya, ia melihat Yang Mulia Piïgiya dalam wujud seorang 

bhikkhu, bukannya seperti sebelumnya sebagai seorang petapa 

dengan perlengkapannya. Ia menebak dengan tepat bahwa Buddha 

sungguh telah muncul di dunia. saat   Yang Mulia Piïgiya tiba 

di hadapannya, ia bertanya, “Bagaimana? Apakah Buddha telah 

muncul?” “Benar, Brahmana, Buddha telah muncul di dunia. Buddha 

membabarkan khotbah kepada kami sewaktu berada di Cetiya 

Pàsaõaka. Aku akan menyampaikan Dhamma itu kepadamu.” 

Mendengar kata-kata itu, Bàvarã dan lima ratus muridnya 

menyediakan tempat duduk khusus untuk Yang Mulia Piïgiya 

dengan penuh hormat. lalu   Yang Mulia Piïgiya duduk dan 

membabarkan khotbah yang terdiri dari lima belas bait syair kepada 

Bàvarã yang dikenal sebagai Pàràyanànugãti. (Sutta Nipàta)

Yang Mulia Piïgiya membabarkan sebagai berikut:

“(1) Aku akan mencoba untuk mengulang kembali Khotbah Buddha 

yang disebut Pàràyana:

2844


“Buddha yang yaitu   seorang Aharat yang tidak ternoda oleh 

kotoran (kebodohan), memiliki pengetahuan yang sangat luas 

melebihi luasnya bumi ini, terbebas dari nafsu indria, hutan gundul 

kotoran, membabarkan Dhamma seperti yang Beliau pahami. 

Mengapa Buddha harus mengatakan sesuatu yang tidak benar?”

“(2) Datanglah, sekarang, aku akan menyanyikan puji-pujian 

terhadap Buddha, Beliau yang suci dari debu kebodohan (moha), 

Beliau yang telah melenyapkan keangkuhan (màna), dan rasa tidak 

berterima kasih (makkha).”

“(3) Brahmana, Buddha telah melenyapkan kegelapan kotoran. 

Beliau memiliki Mata Yang Maha Melihat. Beliau telah mencapai 

ujung dunia. Beliau telah melampaui segala bentuk kehidupan. 

Beliau bebas dari segala noda moral. Beliau telah memadamkan 

segala dukkha. Beliau disebut ‘Yang Sadar.’ Orang ini, Brahmana, 

yaitu   orang yang kudatangi.”

“(4) Brahmana, bagaikan seekor burung yang meninggalkan semak 

belukar yang rendah dan berbuah jarang, dan pergi ke hutan penuh 

buah-buahan, demikian pula aku telah meninggalkan teman-teman 

yang berpikiran sempit, dan bagaikan seekor angsa emas, sampai 

di danau kebijaksanaan.”

“(5) Brahmana, sebelum masa ajaran Buddha Gotama, para 

guru religius menyatakan pandangan mereka kepadaku dengan 

berkata, ‘Demikianlah hal ini telah terjadi, dan demikianlah hal 

itu akan terjadi.’ Mereka hanya memiliki pengetahuan takhayul 

yang berdasarkan tradisi turun-temurun. Hanya menjadi sumber 

bagi spekulasi tidak baik yang melahirkan nafsu indria, dan 

seterusnya.’”

“(6) Brahmana, Buddha Gotama yang kuikuti yaitu   tidak ada 

tandingannya. Beliau telah melenyapkan kegelapan. Beliau 

juga memiliki lingkaran cahaya di sekeliling tubuh-Nya dan 

memancarkan sinar pengetahuan ke segala penjuru. Guruku Buddha 

Gotama memiliki kebijaksanaan yang menakjubkan. Kecerdasannya 

2845

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

tidak terbatas bagaikan bumi ini.”

“(7) Brahmana, Buddha membabarkan Dhamma kepadaku yang 

telah Beliau temukan sendiri, yang hasilnya tidak tertunda, yang 

mengarah kepada berakhirnya keserakahan, dan kepada Keselamatan 

(Nibbàna). Buddha itu guruku, tidak ada bandingnya.”

(8-9) Selanjutnya Bàvarã bertanya kepada Piïgiya, “Piïgiya, jika 

Buddha membabarkan Dhamma kepadamu yang telah Beliau 

temukan sendiri, yang hasilnya tidak tertunda, yang mengarah 

kepada berakhirnya keserakahan dan keamanan dari segala kotoran 

dan, jika Buddha tidak ada bandingnya; memiliki kebijaksanaan 

yang menakjubkan, dan kecerdasan tidak terbatas bagaikan bumi 

ini, tetapi mengapa engkau meninggalkan-Nya?” (Bàvarã memarahi 

keponakannya sebab   tidak berada di dekat Buddha).

“(10-11) Brahmana, Buddha, guruku, membabarkan Dhamma 

kepadaku yang telah Beliau temukan sendiri, yang hasilnya tidak 

tertunda, yang mengarah kepada berakhirnya keserakahan dan 

keamanan dari segala kotoran. Buddha memiliki kebijaksanaan 

yang menakjubkan, dan kecerdasan tidak terbatas bagaikan bumi 

ini. Sesungguhnya, aku tidak berada jauh dari-Nya bahkan sesaat 

pun.”

“(12) Brahmana, dengan penuh perhatian aku melihat Buddha 

melalui batinku sejelas melalui mataku, aku melihat Beliau siang 

dan malam. Saat malam aku selalu mengingat kemuliaan-Nya 

dengan penuh penghormatan. Itulah sebabnya aku tidak pernah 

menganggap diriku jauh dari Buddha bahkan sesaat pun.”

“(13) Brahmana, keyakinanku, kegembiraan dan kepuasanku, serta 

perhatianku, tidak pernah meninggalkan ajaran Buddha Gotama. 

Ke mana pun Buddha, yang memiliki Kebijaksanaan tidak terbatas, 

pergi, aku bersujud (melalui batinku) ke arah itu dengan penuh 

hormat.”

“(14) Brahmana, sebab   usiaku yang telah lanjut yang membuatku 

tidak dapat berada di dekat Buddha secara fisik. Tetapi aku selalu 

2846


pergi bersama Beliau dalam pikiranku. Beliau selalu hadir dalam 

batinku.”

“(15) Brahmana, aku telah menyingkirkan lumpur nafsu indria, 

yang mengacau sepanjang waktu, sewaktu hanyut dari satu pulau 

ke pulau lainnya, yaitu, berlindung dari satu guru sekarang dan 

ke guru lainnya lalu  . Sekarang aku telah bertemu (melihat) 

guru, (di Cetiya Pàsànaka) yang bebas dari noda moral, yang telah 

menyeberangi banjir saÿsàra.”

(Catatan: Bahwa Yang Mulia Piïgiya sesudah   menjadi seorang Ariya, 

memanggil pamannya dengan ‘Brahmana’, dan bukan ‘paman.’ 

Sedangkan Bàvarã, ia memang terbiasa memanggil keponakannya 

‘Piïgiya’ dan bukan dengan maksud tidak hormat kepada bhikkhu 

ini   dengan memanggil namanya.)

Buddha Mengirimkan Sinar dan Membabarkan Khotbah

Pada akhir lima belas bait syair di atas, Buddha mengetahui bahwa 

Yang Mulia Piïgiya dan pamannya Bàvarã telah cukup matang untuk 

menerima Pengetahuan yang lebih tinggi, indria mereka (yaitu, 

keyakinan (saddhà), usaha (viriya), perhatian (sati), konsentrasi 

(samàdhi), dan kebijaksanaan (pa¤¤Ã )) telah matang, dan Beliau 

mengirimkan sinar Buddha kepada mereka saat Beliau berada di 

Vihàra Jetavana di Sàvatthã. Sinar keemasan itu muncul di hadapan 

mereka. saat   Yang Mulia Piïgiya sedang menjelaskan kualitas 

mulia Buddha kepada pamannya, ia melihat berkas sinar keemasan 

dan, sesudah   memerhatikannya dengan saksama, ia melihat 

kedatangan Buddha seolah-olah Buddha berdiri di depannya, “Lihat! 

Buddha telah datang!” ia berseru keheranan.

lalu   Bàvarã berdiri dan memberi hormat kepada Buddha 

dengan kedua tangan dirangkapkan di keningnya. Buddha 

lalu   meningkatkan sinar-Nya dan memperlihatkan diri-Nya 

kepada Bàvarã. lalu   Beliau membabarkan khotbah yang sesuai 

bagi Bàvarã dan keponakannya, tetapi menunjukannya kepada Yang 

Mulia Piïgiya:

2847

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Yathà ahÃ¥ Vakkali muttasaddho, 

bhadràvudho âëavi Gotamo ca. 

Evameva tvampi pamu¤cassu saddhàÿ, 

gamissasi tvaÿ Piïgiya maccudheyyassa pàraÿ.

“Piïgiya, ada beberapa bhikkhu yang mencapai Kearahattaan 

melalui sedikit usaha keyakinan terhadap Tiga Permata, seperti: 

Vakkali, Bhadràvudha (satu dari enam belas murid Bàvarã), Gotama 

dari âëavã. Demikian pula, engkau harus berkeyakinan terhadap Tiga 

Permata dan mengarahkan keyakinan itu ke Nibbàna, menyeberang 

ke pantai seberang (Nibbàna) dari saÿsàra yang merupakan wilayah 

kekuasaan kematian.”

Pada akhir khotbah ini   Yang Mulia Piïgiya mencapai 

Kearahattaan. Bàvarã mencapai Anàgàmã-Phala dan lima ratus 

muridnya mencapai Sotàpatti-Phala.

Yang Mulia Piïgiya menjawab nasihat Buddha di atas sebagai 

berikut:

Esa bhiyyo pasãdàmi, 

sutvàna munino vaco. 

Vivaññacchado Sambuddho, 

akhilo pañibhànavà. (1) 

 

A dhideve Abhi¤¤Ã ya, 

sabbaÿ vedi varovaraÿ. 

Pa¤hànantakaro Satthà, 

kaïkhãnaÿ pañijànataÿ. (2)

“Yang Mulia, kata-kata Petapa Besar (Mahàmuni), Buddha, 

membuatku merasa sangat puas. Keyakinanku terhadap Tiga 

Permata bertambah. Buddha telah mencabut akar saÿsàra. Beliau 

bebas dari anak panah kotoran. Beliau memiliki Pengetahuan 

Analitis yang lengkap. (1)

“Yang Telah Mencapai Pencerahan Sempurna, yang memecahkan 

semua masalah dan yang menjadi guru bagi mereka yang secara 

2848


keliru mengaku bebas dari keraguan, mengetahui Yang Suci yang 

lebih mulia dari manusia dan para dewa, telah memahami melalui 

kebijaksanaan yang luar biasa, semua faktor yang mengarah menuju 

kesucian. (2)

Asaÿhãraÿ asaÿkuppaÿ, 

yassa natthi upamà kvaci. 

Addhà gamissàmi na mettha kaïkhà, 

evaÿ maÿ dhàrehi adhimuttacittaÿ. (3)

“(O Petapa Besar,) tidak tergoyahkan, kekal, dan di luar perbandingan, 

Nibbàna yang tidak memiliki jejak kelahiran yang tersisa, dan aku 

tidak memiliki keraguan bahwa aku akan menuju ke Nibbàna. 

Sudilah Bhagavà mengakui aku sebagai seorang yang telah 

mengarahkan keyakinannya menuju Nibbàna, yang batinnya bebas 

dari segala kotoran.” (3)

Demikianlah kisah tambahan Bàvarã.

2849

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

50

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

   

(1) Kisah Therã Mahàpajàpatã Gotamã

(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Mahàpajàpatã Gotamã terlahir dalam sebuah keluarga kaya 

di Kota Haÿsàvatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. 

Pada suatu saat   saat ia mendengarkan khotbah yang sedang 

disampaikan oleh Buddha, ia menyaksikan seorang bhikkhunã 

yang dinyatakan oleh Buddha sebagai yang terbaik di antara para 

bhikkhunã yang mencapai Pencerahan paling dahulu (Ratta¤¤Ã¥ 

Puggala, ini yaitu   istilah teknis yang artinya seorang bhikkhu 

yang paling senior dalam Saügha, juga berarti bhikkhu yang paling 

dulu memahami Empat Kebenaran Mulia, juga berarti bhikkhu 

yang paling dulu mencapai Kearahattaan). Sehingga ia bercita-cita 

untuk mencapai gelar yang sama dalam kehidupan mendatang. 

sebab   itu ia memberi   persembahan besar kepada Buddha 

dan mengungkapkan cita-citanya itu di hadapan Buddha. Buddha 

meramalkan bahwa cita-citanya itu akan tercapai.

Kehidupan Lampau Sebagai Pembawa Air

Perempuan kaya itu menjalani kehidupan dengan penuh 

kedermawanan dan menjalani sãla, di akhir hidupnya ia terlahir 

kembali di alam dewa. saat   meninggal dunia dari alam dewa, 

2850


selama masa antara, ia terlahir kembali dalam kasta budak sebagai 

pemimpin pembawa air.

lalu   menjelang masa vassa, lima Pacceka Buddha yang 

menetap di Gua NandamÃ¥ turun ke Hutan Migadàvana di dekat 

Bàràõasã melalui perjalanan angkasa dan pergi ke kota untuk 

mengumpulkan dàna makanan. Mereka berdiam di Hutan Isipatana 

Migadàvana sesudah   menerima dàna makanan dan berdiskusi 

tentang gagasan mencari bantuan untuk membangun tempat tinggal 

sederhana untuk digunakan selama masa vassa.

(Seorang bhikkhu yang bersumpah untuk menetap di tempat yang 

ia pilih selama masa vassa diharuskan oleh peraturan Vinaya untuk 

menetap dalam tempat tinggal yang memiliki atap (terbuat dari batu, 

atau keramik, atau semen, atau rumput atau daun-daunan.) dan 

memiliki pintu. Peraturan ini tidak ada kecualinya bahkan kepada 

para bhikkhu yang bersumpah untuk menjalani praktik keras seperti 

praktik Nàlaka atau praktik Moneyya. Jika tempat tinggal itu tidak 

dipersembahkan dalam keadaan siap pakai, mereka harus mencari 

bantuan untuk membangunnya. Tempat tinggal ini yaitu   tempat 

yang harus mereka tinggali selama tiga bulan masa vassa, dan 

penting bagi mereka untuk melakukan sumpah ini.)

Lima Pacceka Buddha yang harus mempersiapkan tempat tinggal 

selama masa vassa membetulkan jubah mereka dan pada sore hari 

mereka masuk ke Kota Bàràõasã untuk mencari bantuan. Perjalanan 

mereka memasuki kota diperhatikan oleh pemimpin pembawa air. 

Para Pacceka Buddha itu berdiri di depan pintu rumah seorang kaya 

Bàràõasã tetapi saat   mereka memberitahukan keperluan mereka, 

orang kaya itu berkata, “Kami tidak dapat membantu. Silakan Yang 

Mulia pergi mencarinya di tempat lain.”

Pemimpin pembawa air itu bertemu dengan para Pacceka Buddha 

saat mereka keluar dari kota melalui gerbang kota, ia menurunkan 

kendi air dan bersujud. lalu   ia menanyakan maksud 

kedatangan para mulia itu ke kota dan keluar lagi. Para Pacceka 

Buddha itu memberitahukan bahwa mereka sedang mencari 

bantuan untuk membangun tempat tinggal sederhana untuk 

2851

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

digunakan selama masa vassa. Dan pada pertanyaan selanjutnya, ia 

mengetahui bahwa mereka belum berhasil mendapatkan bantuan. 

sebab   itu ia bertanya, “Apakah tempat tinggal ini hanya boleh 

dipersembahkan oleh para dermawan mulia? Atau bolehkah seorang 

budak sepertiku mempersembahkan tempat tinggal itu?”

“Siapa saja boleh melakukannya, umat perempuan,” mereka 

menjawab.

“Baiklah Yang Mulia, kami akan mempersembahkan tempat tinggal 

besok, sementara itu, sudilah para mulia menerima persembahan 

makanan dariku besok.”

sesudah   mengajukan undangan, ia mengangkat kembali kendi airnya 

dan, bukannya kembali ke kota, ia berjalan kembali ke sumber air 

dan mengumpulkan teman-teman pembawa air di sana. lalu   

ia berkata, “Sekarang teman-teman, apakah kalian ingin menjadi 

budak orang lain selamanya? Atau apakah kalian ingin bebas dari 

perbudakan?”

Mereka menjawab, “Kami ingin bebas dari perbudakan!”

“Kalau begitu, aku telah mengundang lima Pacceka Buddha 

untuk menerima persembahan makanan besok. Mereka sedang 

membutuhkan tempat tinggal. Mintalah suami kalian untuk 

membantu mereka selama satu hari besok.”

“Baiklah,” jawab mereka. Mereka memberitahu suami mereka 

pada malam hari sesudah   para suami itu pulang dari pekerjaan 

mereka di hutan. Semua laki-laki itu sepakat untuk membantu dan 

menghadap kepala budak laki-laki. Saat mereka berkumpul di sana, 

si pemimpin pembawa air mendesak mereka untuk membantu 

dalam membangun tempat tinggal untuk lima Pacceka Buddha itu 

yang akan digunakan selama masa vassa, memuji manfaat yang akan 

dihasilkan dari bantuan itu. Beberapa orang yang pada mulanya 

tidak bersedia membantu dinasihati olehnya dan dibujuk untuk 

turut membantu.

2852


Keesokan paginya, si pemimpin pembawa air mempersembahkan 

makanan kepada lima Pacceka Buddha itu. sesudah   itu, ia memberi 

isyarat kepada lima ratus budak laki-laki untuk mulai bekerja. 

Mereka segera pergi ke hutan, menebang pohon, dan masing-

masing kelompok yang terdiri dari seratus orang membangun 

sebuah tempat tinggal sederhana untuk seorang Pacceka Buddha. 

Mereka mempersembahkan semua tempat tinggal itu kepada para 

Pacceka Buddha, memohon agar mereka menetap di sana selama 

masa vassa, mendapat persetujuan dari para mulia, dan mereka 

bergantian mempersembahkan makanan setiap hari kepada para 

Pacceka Buddha itu.

Jika ada pembawa air yang miskin yang tidak mampu menyediakan 

makanan untuk lima Pacceka Buddha itu saat tiba gilirannya, si 

pemimpin pembawa air itu akan memberi   bahan-bahan yang 

diperlukan. Demikianlah tiga bulan masa vassa berlalu. Menjelang 

akhir vassa ini   si pemimpin pembawa air meminta masing-

masing dari lima ratus perempuan itu untuk membawa sehelai 

kain kasar. Lima ratus helai kain yang terkumpul itu ditukarkan 

dengan lima perangkat jubah baik untuk dipersembahkan kepada 

lima Pacceka Buddha ini  . Para Pacceka Buddha, sesudah   

menerima persembahan itu, terbang ke angkasa dengan dilihat 

oleh para penyumbang mereka dan pergi ke arah Pegunungan 

Gandhamàdana.

Kehidupan Lampau Sebagai Kepala Penenun

Para budak perempuan pembawa air itu melakukan banyak 

kebajikan seumur hidup mereka. Saat meninggal dunia, mereka 

terlahir kembali di alam dewa. Pemimpin dewa perempuan itu, saat 

meninggal dunia, terlahir kembali dalam sebuah keluarga kepala 

penenun di desa penenun di dekat Bàràõasã. Suatu hari lima ratus 

putra Ratu Paduma Devã, semuanya Pacceka Buddha, pergi ke 

istana raja di Bàràõasi dalam suatu undangan. Tetapi tidak seorang 

pun yang melayani mereka, menyediakan tempat duduk atau 

mempersembahkan makanan. Mereka pulang kembali ke tempat 

tinggal mereka. Saat mereka meninggalkan kota dan berada di desa 

penenun, si kepala penenun yang sangat berbakti terhadap mereka, 

2853

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

bersujud kepada mereka dan mempersembahkan makanan. Para 

Pacceka Buddha itu menerima persembahan makanan itu, dan 

sesudah   memakan makanan itu, mereka kembali ke Pegunungan 

Gandamàdana.

(b) Menjalani kehidupan bhikkhunã dalam kehidupan terakhir

Si pemimpin penenun itu melakukan banyak kebajikan seumur 

hidupnya. Saat meninggal dunia dari kehidupan itu, ia terlahir 

kembali di alam dewa dan alam manusia bergantian. Menjelang 

munculnya Buddha Gotama, ia terlahir kembali dalam keluarga 

Sakya sebagai putri dari Raja Mahàsuppabuddha di Devadaha. 

Ia diberi nama Gotamã dan menjadi adik Putri Mahàmàyà. Para 

peramal istana yang menguasai Veda dan ahli dalam membaca 

tanda-tanda fisik manusia dan membaca garis telapak tangan, 

sesudah   memeriksa tanda-tanda fisik kedua putri itu meramalkan 

bahwa putra yang dilahirkan oleh kedua putri itu akan menjadi 

raja dunia.

saat   dua bersaudari itu dewasa, mereka dinikahkan dengan 

Raja Suddhodana dan mereka dibawa ke Kapilavatthu di mana 

Putri Mahàmàyà menjadi permaisuri. Kelak, sesudah   Bakal Buddha 

meninggal dunia dari Alam Dewa Tusita, Beliau dikandung dalam 

rahim Ratu Mahàmàyà. sesudah   ratu melahirkan putranya (pada 

malam purnama bulan Kason (Mei) tahun 68 Mahà Era), pada hari 

ketujuh sesudah   itu, ia meninggal dunia dan terlahir kembali di 

Alam Dewa Tusita dengan nama Santusita. sesudah   Ratu Mahàmàyà 

meninggal dunia, Raja Suddhodana mengangkat adiknya Ratu 

Gotamã menjadi permaisuri.

sesudah   Ratu Mahàmàyà melahirkan Pangeran Siddhattha, dua 

atau tiga hari lalu   Ratu Mahàpajàpatã Gotamã, ibu pengasuh 

Pangeran Siddhattha, melahirkan Pangeran Nanda. Jadi, saat Ratu 

Mahàmàyà meninggal dunia, Pangeran Siddhattha baru berusia 

tujuh hari sedangkan Pangeran Nanda berusia empat atau lima 

hari. Ratu Mahàpajàpatã Gotamã, mengasuh anak tirinya Pangeran 

Siddhattha, sedangkan putra kandungnya Pangeran Nanda diasuh 

oleh para perawat. Ia mengabdikan seluruh perhatiannya untuk 

2854


mengasuh keponakannya, Bakal Buddha.

Kelak, sesudah   Bakal Buddha melepaskan keduniawian, mencapai 

Pencerahan Sempurna dan menjadi Buddha Yang Maha Mengetahui, 

Beliau menjalani misinya untuk menyejahterakan dunia, Beliau 

melakukan kunjungan pertama ke Kapilavatthu. Sehari sesudah   

Beliau tiba di sana, Beliau masuk ke kota untuk mengumpulkan 

dàna makanan. Ayah-Nya, Raja Suddhodana berkesempatan 

mendengarkan khotbah Buddha saat Beliau sedang mengumpulkan 

dàna makanan dan berhasil mencapai kesucian sebagai Pemenang 

Arus. lalu   pada hari kedua Pangeran Nanda ditahbiskan 

menjadi anggota Saÿgha. Pada hari ketujuh, putra Buddha, Ràhula 

ditahbiskan menjadi seorang sàmaõera.

Buddha melewatkan masa vassa kelima di Vihàra Kåñagàra di Hutan 

Mahàvana di dekat Vesàlã. Pada saat itu Raja Suddhodana mencapai 

Kearahattaan di bawah payung putih kerajaan di Istana Kapilavatthu 

dan meninggal dunia pada hari yang sama. lalu   Ratu 

Mahàpajàpatã Gotamã berkeinginan untuk melepaskan keduniawian 

dan menjadi seorang bhikkhunã. lalu   lima ratus istri dari 

lima ratus pangeran Sakya yang menjadi bhikkhu pada suatu 

peristiwa yang melatarbelakangi pembabaran Mahàsamaya Sutta, 

memutuskan untuk menjadi bhikkhunã. Mereka menunjuk Ratu 

Mahàpajàpatã Gotamã menjadi juru bicara mereka untuk memohon 

kepada Buddha agar ditahbiskan menjadi anggota Saÿgha. Usaha 

pertama oleh ratu, ibu tiri Buddha, gagal. lalu   ia dan lima 

ratus putri Sakya, mencukur kepala mereka, mengenakan jubah 

celup, dan berjalan kaki dari Kapilavatthu menuju Vesàlã. Mereka 

memohon kepada Yang Mulia ânanda agar mendukung penahbisan 

mereka. Akhirnya Buddha mengizinkan mereka ditahbiskan 

sebagai bhikkhunã atau bhikkhu perempuan. Mahàpajàpatã Gotamã 

ditahbiskan dengan mengucapkan sumpah Garuka Dhamma, 

Delapan Sãla yang harus dipatuhi. Lima ratus putri Sakya itu 

ditahbiskan oleh sekelompok bhikkhu. (Catatan: dalam prosedur 

normal, seorang bhikkhunã harus ditahbiskan oleh sekelompok 

bhikkhunã juga.) 

Ibu tiri Buddha, Therã Mahàpajàpatã Gotamã, mencapai Kearahattaan 

2855

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

sesudah   mendengarkan Saÿkhitta Sutta. Lima ratus bhikkhunã 

lainnya mencapai kesucian dalam berbagai tingkatan sesudah   

mendengarkan Nandakovàda Sutta.

(c) Therã Mahàpajàpatã Gotamã sebagai bhikkhunã terbaik

Pada lalu   hari, saat   Buddha sedang berada di Vihàra 

Jetavana dan menganugerahkan gelar bhikkhunã terbaik, Buddha 

menyatakan:

“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang telah lama 

bergabung dalam Saÿgha, Mahàpajàpatã Gotamã yaitu   yang 

terbaik.”

(Nama ‘Gotamã’ menunjukkan suku Gotama. ‘Mahàpajàpatã’ yaitu   

gelar yang artinya ‘ibu dari anak luar biasa.’ Gelar ini diberikan 

berdasarkan ramalan yang menyatakan bahwa ia akan menjadi ibu 

dari seorang raja dunia, jika ia melahirkan anak laki-laki, atau ibu 

dari istri raja dunia jika ia melahirkan anak perempuan.) Komentar 

Majja.

Therã Gotamã Wafat

saat   Therã Gotamã berusia 120 tahun, saat ia sedang menetap 

di sebuah vihàra bhikkhunã di Kota Vesàlã, (sesuai peraturan, 

vihàra bhikkhunã harus terletak di dalam kota atau desa), Buddha 

sedang menetap di Vihàra Mahàvana di dekat Vesàlã. Suatu pagi, 

sesudah   mengumpulkan dàna makanan di kota dan menyelesaikan 

makannya, Therã Gotamã masuk ke dalam pencerapan Arahatta-

Phala selama waktu yang telah ditentukan. sesudah   keluar dari 

pencapaian Jhàna itu, ia mengingat panjangnya waktu yang ia 

tempuh dalam melakukan kebajikan dalam kehidupan-kehidupan 

lampaunya dan merasa sangat bahagia. lalu   ia meninjau umur 

kehidupannya. Ia melihat bahwa umurnya segera akan berakhir. Ia 

berpikir bahwa seharusnya ia memberitahukan kepada Buddha 

di Hutan Mahàvana tentang kematiannya yang mendekat, serta 

mengucapkan selamat tinggal kepada teman-temannya yang telah 

menjadi sumber inspirasi baginya seperti Dua Siswa Utama dan 

2856


para Ariya lainnya. Baru lalu   ia akan kembali ke vihàra dan 

meninggal dunia. Gagasan yang sama muncul dalam diri lima ratus 

bhikkhunã putri Sakya lainnya.

(Peristiwa mengharukan sehubungan dengan kematian Therã 

Gotamã akan dikisahkan berdasarkan pada: (1) Chiddapidhànanã 

(Vol. 1, Bab 12) oleh Mahàvisuddhàràma Sayadaw, dan Apadàna, 

Khuddaka Nikàya, IV. Namun hanya pokok dari naskah itu yang 

akan disajikan di sini.)

Ibu tiri Buddha, Therã Gotamã berpikir, “Aku tidak dapat hidup 

melihat anakku, Buddha, meninggal dunia, juga kedua Siswa 

Utama, juga cucuku Ràhula, juga keponakanku ânanda. Aku akan 

meninggal dunia terlebih dulu. Aku akan meminta izin untuk 

meninggal dunia kepada anakku Buddha sekarang. Pikiran yang 

sama terlintas dalam benak lima ratus bhikkhunã putri Sakya.

Pada saat itu terjadi gempa bumi yang dahsyat. Hujan yang bukan 

musimnya turun dari langit. Para dewa penjaga vihàra bhikkhunã 

menangis. Lima ratus bhikkhunã itu mendatangi Therã Gotamã 

dan menceritakan tentang tangisan para dewa penjaga dan Therã 

Gotamã menceritakan rencananya untuk meninggal dunia. Lima 

ratus bhikkhunã itu juga memiliki rencana yang sama. Mereka semua 

meminta maaf kepada para dewa penjaga vihàra atas kesalahan yang 

pernah mereka melakukan (jika ada). lalu  , sambil menatap 

vihàra itu untuk terakhir kalinya, Therã Gotamã mengucapkan syair 

berikut:

“Sekarang aku akan menuju (Nibbàna) yang tidak berkondisi 

di mana tidak ada usia tua atau kematian, tidak berhubungan 

dengan makhluk-makhluk atau benda-benda yang tidak disukai, 

tidak berpisah dari makhluk-makhluk atau benda-benda yang 

disukai.”

Di antara mereka yang mendengar kata-kata itu, mereka yang belum 

melenyapkan kemelekatan, baik dewa maupun manusia, menangis 

sedih. (Pemandangan mengharukan dari kesedihan mereka ini 

dilukiskan dengan jelas dalam Kitab Pàëi.)

2857

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

saat   para bhikkhunã keluar dari vihàra dan berjalan di jalan 

raya, para umat keluar dari rumah mereka, dan berlutut di depan 

Therã Gotamã, mengungkapkan kesedihan mereka. Ibu tiri Buddha, 

Gotamã Theri mengucapkan kata-kata untuk menghibur mereka. 

(kata-katanya yang kaya akan Dhamma dapat dibaca dalam Kitab 

Pàëi. Catatan ini juga berlaku untuk syair-syair lainnya yang ia 

ucapkan lalu  ). Ia mengucapkan sembilan setengah bait syair 

untuk meredam kesedihan para warga   Vesàlã. saat   ia tiba 

di hadapan Buddha, ia memberitahukan kepada Buddha tentang 

kematiannya yang semakin dekat dan memohon izin Buddha untuk 

melepaskan proses pikiran pendukung kehidupan dalam syair, 

seluruhnya ada enam belas bait, yang dimulai dengan kata-kata: 

Ahaÿ sugata te màtà tvaÿ ca vãra pità mama. Buddha memberi   

izin dalam satu bait syair. sesudah   itu ia mengucapkan lima bait syair 

pujian kepada Bhagavà.

lalu   ia meminta izin dari Saÿgha, Yang Mulia Ràhula, Yang 

Mulia ânanda, dan Yang Mulia Nanda, untuk mengizinkannya 

meninggal dunia yang diucapkan dalam dua bait syair (yang 

dimulai dengan kata-kata àsãvisàlayasame) yang menjelaskan 

susahnya kehidupan. Yang Mulia Nanda dan Ràhula yang yaitu   

Arahanta menganggap kata-kata Therã mulia ini   sebagai 

inspirasi religius; tetapi bagi Yang Mulia ânanda yang masih berlatih 

untuk mencapai Kearahattaan, kata-kata itu menambah kesedihan 

dan dukacita, dan mengungkapkan kesedihannya dalam sebait 

syair yang dimulai dengan, “hà santiÿ Gotamã yà it.” Therã mulia 

menghibur keponakannya dengan kata-kata kebijaksanaan.

Selanjutnya Buddha berkata kepada Therã Gotamã dalam syair 

berikut agar ia memperlihatkan kesaktiannya:

“Gotamã, demi mereka yang dungu dan ragu-ragu terhadap pengikut 

perempuan yang mencapai Pencerahan di dalam ajaran-Ku, untuk 

melenyapkan keraguan mereka, perlihatkanlah kesaktianmu.”

Bhikkhunã tua berusia seratus dua puluh tahun itu menyanggupi 

untuk memperlihatkan kesaktiannya seperti yang tercatat dalam 

2858


naskah kekuatan batin seperti: dari satu menjadi banyak, dari 

banyak menjadi satu, dari terlihat menjadi tidak terlihat, menembus 

tembok atau gunung, dan lain-lain. lalu   ia berjalan di atas 

udara sambil memegang Gunung Meru sebagai penopang bumi 

ini menyerupai payung, dan membalikkan payung gaib ini. Ia 

menciptakan atmosfer asap dupa seolah-olah seperti enam matahari 

yang terbit bersamaan, dan lain-lain. sesudah   memenuhi permintaan 

Buddha, ia duduk dan bersujud kepada Bhagavà, duduk di tempat 

yang semestinya, ia berkata, “Yang Mulia Putraku, aku, ibu tiri-Mu, 

berusia 120 tahun. Aku sudah tua. Aku sudah hidup cukup lama. 

Mohon izinkan aku untuk meninggal dunia.”

Para hadirin, terpesona oleh kesaktian yang diperlihatkan oleh Therã 

Gotamã, bertanya, “Yang Mulia, jasa kebajikan apakah yang telah 

engkau lakukan, sehingga memiliki kekuatan dan kesaktian itu?” 

Therã Gotamã menceritakan kepada mereka kebajikan-kebajikan 

yang telah ia lakukan sejak masa Buddha Padumuttara hingga ke 

kehidupan terakhirnya. Peristiwa-peristiwa itu diceritakan dalam 

banyak bait syair.

lalu   lima ratus bhikkhunã terbang ke angkasa bagaikan 

sekelompok bintang, menarik perhatian para hadirin, mereka 

memperlihatkan kesaktian mereka, dan sesudah   mendapatkan izin 

dari Buddha untuk mengakhiri pertunjukan kesaktian itu, mereka 

bersujud kepada Bhagavà dan duduk di tempat yang semestinya. 

Mereka menceritakan kepada Bhagavà bagaimana mereka berhutang 

budi pada Therã Gotamã. lalu   mereka meminta izin Buddha 

untuk meninggal dunia.

Bhagavà berkata, “Para bhikkhunã, kalian tahu waktunya untuk 

meninggal dunia.” Demikianlah sesudah   mendapatkan izin dari 

Buddha, mereka bersujud kepada Buddha dan kembali ke vihàra 

mereka. Buddha disertai oleh banyak umat, mengantarkan Therã 

Gotamã sampai gerbang masuk ke hutan itu. Di sana, Therã Gotamã 

dan lima ratus bhikkhunã bersujud untuk terakhir kalinya kepada 

Buddha. lalu   lima ratus bhikkhunã itu memasuki kota dan 

duduk bersila di kutinya masing-masing di vihàra.

2859

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

Pada waktu itu, banyak siswa awam Buddha, laki-laki dan 

perempuan, mengetahui saat terakhir untuk melihat para mulia, 

berkumpul untuk memberi   penghormatan terakhir, memukul 

dada mereka dengan sedih. Mereka menjatuhkan diri ke atas tanah 

bagaikan pohon yang tercabut. Therã Gotamã menepuk kepala 

seorang umat perempuan yang paling tua dan mengucapkan syair 

berikut:

“Anakku, kesedihan hanya mengarah menuju kekuasaan Màra 

dan sebab   itu sia-sia. Segala sesuatu yang berkondisi yaitu   tidak 

kekal, dan akan berakhir dengan perpisahan, dan menyebabkan 

kegelisahan yang tidak pernah berakhir.”

lalu   ia menyuruh mereka pulang ke rumah mereka masing-

masing. sesudah   sendirian, ia masuk ke Jhàna Pertama dari alam 

bentuk dan naik, setahap demi setahap, hingga Jhàna Bukan Persepsi 

Pun Bukan Nonpersepsi, dan lalu   turun, setahap demi 

setahap, hingga Jhàna Pertama dari alam bentuk. Demikianlah naik 

dan turun ia berdiam dalam delapan Lokiya Jhàna. lalu   ia 

berdiam dalam pencapaian Jhàna dari Jhàna Pertama hingga Jhàna 

Keempat. Keluar dari Jhàna ini  , ia mencapai penghentian total 

dari kelompok-kelompok kehidupan bagaikan pelita yang kehabisan 

minyak dan sumbunya padam. Lima ratus bhikkhunã lainnya juga 

mencapai penghentian total.

Pada saat itu bumi berguncang keras. Meteor berjatuhan dari langit. 

Langit bergemuruh. Makhluk-makhluk surga menangis. Turun 

hujan bunga-bunga surga dari langit. Gunung Meru berayun 

bagaikan penari. Samudra raya bergelombang seolah-olah kesusahan. 

Banyak nàga, asurà, dewa, dan brahmà mengungkapkan semangat 

religius mereka dalam ucapan-ucapan seperti, “Segala sesuatu yang 

berkondisi yaitu   tidak kekal; semuanya akan lenyap.”

Para dewa dan brahmà melaporkan kematian Therã Gotamã dan 

lima ratus bhikkhunã kepada Buddha. Buddha mengutus Yang 

Mulia ânanda untuk memberitahukan hal itu kepada para 

bhikkhu. lalu  , dengan disertai oleh banyak bhikkhu, Buddha 

melakukan prosesi pemakaman dengan urutan sebagai berikut: (1) 

2860


manusia, dewa, nàga, asurà, dan brahmà berbaris di depan, diikuti 

oleh, (2) lima ratus kereta jenazah berkubah tingkat yang diciptakan 

oleh Dewa Visukamma yang di dalamnya terletak jenazah para 

bhikkhunã beralaskan selimut mereka, dan kereta-kereta ini ditarik 

oleh para dewa; (3) lalu   diikuti oleh kereta jenazah Therã 

Gotamã, ibu tiri Buddha, yang ditarik oleh empat raja dewa; (4) 

lalu   diikuti oleh Saÿgha dan Buddha. Seluruh jalan dari 

vihàra ke tanah pemakaman dipasangi kanopi dan sepanjang jalan 

itu dihiasi dengan spanduk dan panji, sedangkan tanah pemakaman 

itu ditaburi bunga-bunga. Hujan bunga teratai surgawi turun dengan 

lebatnya terlihat seperti tergantung dari langit. Segala jenis bunga 

dan wewangian melayang di angkasa. Segala jenis musik, nyanyian, 

dan tarian dilakukan untuk menghormati para Arahanta mulia yang 

meninggal dunia itu.

Selama prosesi pemakaman itu berlangsung, matahari dan bulan 

terlihat oleh orang-orang. Bintang-bintang juga bersinar di langit. 

Bahkan pada siang hari itu, cahaya mahatari terasa sejuk bagaikan 

cahaya bulan. Bahkan, peristiwa pemakaman Therã Gotamã bahkan 

terlihat lebih menakjubkan daripada peristiwa pemakaman Buddha 

sendiri. Pada peristiwa pemakaman Buddha, tidak ada Buddha atau 

Yang Mulia Sàriputta atau para bhikkhu senior yang mengawasi 

jalannya pemakaman sedangkan pada peristiwa pemakaman 

Therã Gotamã, Buddha dan para bhikkhu senior seperti Yang Mulia 

Sàriputta mengawasi jalannya pemakaman itu.

Di tanah pemakaman itu sesudah   jenazah Therã Gotamã dibakar, Yang 

Mulia ânanda memungut relik-relik dan mengucapkan syair ini:

“Gotamã sekarang telah pergi. Jenazahnya telah habis terbakar. 

Dan segera meninggal dunianya Buddha, peristiwa yang sangat 

ditakutkan, akan terjadi.”

Yang Mulia ânanda mengumpulkan relik-relik itu dan meletakkannya 

di dalam mangkuk makan yang biasanya digunakan oleh Therã 

Gotamã dan menyerahkannya kepada Buddha. Selanjutnya Buddha 

mengangkat relik-relik ibu tirinya itu agar dapat dilihat oleh para 

hadirin dan mengucapkan kata-kata berikut kepada kumpulan 

2861

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

manusia, dewa, dan brahmà:

“Bagaikan sebatang pohon besar yang terdiri dari inti kayu yang 

keras dan berdiri kokoh memiliki batang yang besar, dan batang 

yang besar itu, sebab   memiliki sifat tidak kekal, akan tumbang, 

demikian pula Gotamã yang bagaikan batang pohon besar bagi 

Saÿgha Bhikkhunã telah damai (telah memasuki Nibbàna.)”

Buddha selanjutnya mengucapkan sepuluh bait syair demi 

kedamaian para hadirin dalam peristiwa yang bersejarah ini  . 

(Sepuluh bait syair ini dan terjemahan kata per kata dapat dibaca 

dalam Chiddapidhànã.)

(2) Kisah Therã Khemà

(Kisah Therã Khemà dijelaskan secara singkat dalam Komentar 

Aïguttara Nikàya, Komentar Therãgàthà, dan Komentar 

Dhammapada. Dalam Apadàna Pàëi, Therã mulia menceritakan 

sendiri tentang dirinya. Kutipan berikut ini lebih banyak bersumber 

dari Apadàna dengan beberapa bagian yang bersumber dari tiga 

Komentar tadi.)

(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Therã Khemà terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota 

Haÿsàvatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara, seratus 

ribu siklus dunia sebelum siklus dunia sekarang. Suatu hari ia 

berkesempatan mendengarkan khotbah Buddha dan menjadi umat 

Buddha yang berlindung di dalam Tiga Perlindungan.

lalu   ia mendapat izin dari orangtuanya untuk memberi   

persembahan makan secara besar-besaran kepada Buddha dan 

Saÿgha. Di akhir Ritual   persembahan yang berlangsung selama 

tujuh hari itu, ia melihat Therã Sujàtà yang dinyatakan oleh 

Buddha sebagai bhikkhunã yang terbaik dalam hal Pengetahuan. Ia 

terinspirasi oleh bhikkhunã ini  . Ia memberi   persembahan 

besar lagi sebelum mengungkapkan cita-citanya untuk menjadi 

2862


bhikkhunã terbaik pada masa depan. Buddha Padumuttara 

meramalkan bahwa seratus ribu siklus dunia lalu   ia akan 

menjadi bhikkhunã terbaik dalam hal pengetahuan dalam masa 

pengajaran Buddha Gotama.

Kehidupan Berulang-ulang Sebagai Ratu Dewa Atau Ratu 

Manusia

Putri orang kaya itu, saat meninggal dunia, terlahir kembali 

berulang-ulang hanya di lima alam dewa, yaitu, Tàvatiÿsa, Yàmà, 

Tusità, Nimmànarati, Paranimmitavasavatã berturut-turut menjadi 

ratu para dewa. saat   meninggal dunia dari sana ia terlahir kembali 

sebagai permaisuri raja dunia atau sebagai ratu dari raja besar. 

Demikianlah, di mana pun ia dilahirkan, ia selalu terlahir menjadi 

ratu. Ia menikmati kemuliaan di alam dewa dan di alam manusia 

selama banyak siklus dunia.

Kehidupan Sebagai Bhikkhunã yang Menjalani Hidup Suci

sesudah   mengembara hanya di alam bahagia, pada masa Buddha 

Vipassã, sembilan puluh satu siklus dunia sebelum siklus 

dunia sekarang, ia terlahir kembali di sebuah keluarga kaya. Ia 

berkesempatan mendengarkan Dhamma Buddha dan bertekad 

untuk menjalani kehidupan suci dan menjadi seorang bhikkhunã. Ia 

memelajari Dhamma, menguasai Pengetahuan Pañiccasamuppàda, 

unsur penting dari Empat Kebenaran Mulia, menjadi seorang 

penceramah yang ahli, selain menjadi seorang yang tekun dalam 

mempraktikkan Dhamma. Demikianlah ia menjadi teladan bagi 

mereka yang menjalani Tiga Latihan dalam ajaran Buddha. Ia 

menjalani kehidupan suci seumur hidupnya yang lamanya sepuluh 

ribu tahun.

Saat meninggal dunia, ia terlahir kembali di Alam Dewa Tusità. 

sesudah   itu, di mana pun ia dilahirkan, jasa besar yang ia 

hasilkan dari kehidupannya pada masa ajaran Buddha Vipassã, 

memberi   segalanya yang terbaik baginya dalam kehidupannya 

itu, membuatnya memiliki bakat, kesucian moral, dilayani oleh 

pengikut-pengikut yang bijaksana, selalu dalam keadaan nyaman 

2863

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

dan tenteram. Lebih jauh lagi, praktik religius yang ia jalankan 

dalam kehidupan lampaunya itu, memberi   status sosial yang 

tinggi kepadanya, ia menjadi ratu, baik di alam dewa maupun di 

alam manusia, disayangi dan dihormati oleh raja.

Kehidupannya Sebagai Penyumbang Vihàra

Pada masa Buddha Koõàgamaõa, dalam siklus dunia sekarang ini, 

ia terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Bàràõasã, dan bersama 

dua perempuan kaya lainnya yaitu Dhana¤jànã dan Sumedhà 

(namanya tidak dikenal tetapi dapat disebut Khemà), membangun 

sebuah kompleks vihàra untuk digunakan oleh Saÿgha. Saat mereka 

meninggal dunia, mereka terlahir kembali di Alam Dewa Tàvatiÿsa, 

dan sesudah   kehidupan itu, mereka terlahir kembali di alam manusia 

dan dewa menikmati status sosial mereka yang tinggi.

Kehidupannya Sebagai Putri Tertua dari Tujuh Putri Raja Kikã

Pada masa Buddha Kassapa, dalam siklus dunia sekarang ini, Raja 

Kikã dari Bàràõasã, di Provinsi Kàsi, yaitu   seorang penyokong 

Buddha dan bergaul akrab dengan Buddha. Ia memiliki tujuh putri 

yang bernama: (1) Putri Samaõã (2) Putri Samaõaguttà (3) Putri 

Bhikkhunã (4) Putri Bhikkhadàyikà (5) Putri Dhammà (6) Putri 

Sudhammà (7) Putri Saÿghadàyikà―yang kelak, pada masa Buddha 

Gotama menjadi:

(1) Therã Khemà, (2) Therã Uppalavaõõà, (3) Therã Pañàcàrà, (4) Therã 

Kuõóalakesã, (5) Therã Kisàgotamã, (6) Therã Dhammadinnà, dan (7) 

Visàkhà, penyumbang Vihàra Pubbàràma.

Bakal Therã Khemà, Putri Samaõã, saat mendengarkan khotbah 

Buddha Kassapa, menjadi berkeinginan untuk menjadi seorang 

bhikkhunã tetapi ayahnya tidak mengizinkannya. Maka ia sebagai 

putri tertua dari tujuh putri itu bertekad untuk tidak menikah dan 

tetap menjadi seorang perawan seumur hidup mereka yang lamanya 

dua puluh ribu tahun. Mereka menyokong Buddha Kassapa dengan 

menyediakan empat kebutuhan bhikkhu seumur hidup mereka.

2864


Pada suatu saat   Buddha membabarkan khotbah yang luar biasa 

yang berjudul Mahànidàna Sutta, (yang tercatat sebagai Sutta kedua 

dalam Mahà Vagga, Dãgha Nikàya). Putri Samaõã begitu tercerap 

saat mendengarkannya sehingga ia menghafalkannya, dan sering 

membacakannya.

Sebagai akibat dari perbuatan baiknya, saat meninggal dunia, ia 

menjadi permaisuri (Sakka) di Tàvatiÿsa.

(b) Menjadi bhikkhunã dalam kehidupan terakhir

Pada masa Buddha Gotama, ia terlahir kembali untuk terakhir 

kalinya sebagai putri Raja Maddaràja dari Sàgala. sebab   

kelahirannya membawa kedamaian bagi negeri itu, ia diberi nama 

‘Khemà’ (damai). saat   telah berusia dewasa, ia menjadi ratu dari 

Raja Bimbisàra dan sangat disayangi oleh suaminya. Ia bangga akan 

kecantikannya.

Saat itu Buddha sedang berdiam di Vihàra Veëuvana di Ràjagaha. 

Ratu Khemà telah mendengar orang-orang mengatakan bahwa 

Buddha selalu membabarkan khotbah yang mencela kecantikan 

fisik, sebab   itu ia tidak pernah mendatangi Buddha sebab   khawatir 

kecantikannya akan dicela oleh Buddha.

Siasat Cerdas Raja Bimbisàra

Raja Bimbisàra berpikir, “sebab   aku yaitu   umat penyokong 

yang paling penting bagi Buddha, tidak masuk akal jika ratuku 

tidak pernah mengunjungi Buddha.” Ia menyusun rencana, ia 

menginstruksikan seorang penyair ahli untuk menggubah sebuah 

lagu yang memuji Vihàra Veëuvana dan menyanyikannya di dekat 

ratu.

Empat Bait Pujian Terhadap Vihàra Veëuvana

1. Seseorang yang tidak beruntung dapat melihat Vihàra Veëuvana, 

Hutan Bambu tempat kediaman Buddha, kami menganggapnya 

sebagai orang yang belum pernah melihat Taman Nandavana di 

2865

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

alam surga.

2. Ia yang telah melihat Hutan Veëuvana yang sangat dibanggakan 

oleh Raja Bimbisàra dari Ràjagaha, penguasa kesayangan rakyat, 

pusat perhatian seluruh dunia, berarti telah melihat Taman 

Nandavana, tempat kesukaan Sakka, raja para dewa.

3. Banyak para Dewa Tàvatiÿsa, sesudah   meninggalkan Taman 

Nandavana dan turun ke alam bumi (di Benua Selatan) dan melihat 

Hutan Veëuvana, menjadi terpesona dan semua kegelisahan mereka 

terlupakan, mereka tidak puas-puasnya melihatnya.

4. Hutan Veëuvana itu muncul berkat jasa masa lampau raja dan 

dihiasi oleh keagungan Buddha, penyair manakah yang mampu 

menggambarkan dengan lengkap kemuliaannya yang tidak 

terhingga?”

saat   Ratu Khemà mendengar lagu itu, walaupun ia dulu sekali 

pernah bersenang-senang di sana bersama raja, ingatannya tentang 

hutan itu menjadi segar kembali. Ia sangat ingin mengunjungi 

tempat itu lagi. Ia memohon izin sang raja untuk pergi ke sana, 

ia pergi dalam rombongan besar. Ia memilih waktu yang ia pikir 

Buddha tidak berada di sana, yaitu pada pagi hari saat   Buddha 

biasanya pergi ke kota untuk mengumpulkan dàna makanan. 

Ia berjalan-jalan di Hutan Bambu yang penuh dengan berbagai 

jenis bunga-bungaan dan buah-buahan, lebah dan kupu-kupu 

sibuk mengumpulkan madu, burung-burung bernyanyi dan 

merak merapikan bulu mereka dalam kesunyian hutan itu. Ia juga 

mengunjungi tempat-tempat tinggal para bhikkhu, aula pertemuan, 

rumah-rumah peristirahatan, dan jalan-jalan setapak.

Ia bertemu dengan seorang bhikkhu muda yang sedang duduk 

bermeditasi di bawah pohon dan berpikir bahwa anak muda yang 

tampan itu seharusnya menikmati kenikmatan hidup dan menjalani 

kehidupan religius hanya saat telah berusia lanjut. Yakin bahwa 

Buddha tidak berada di Kuñã Harum, ia mendekati Kuñã Harum 

ini  . Buddha mengetahui bahwa ratu akan datang dan sebab   

itu ia tetap berada di Kuñã Harum. Beliau dengan kekuatan batin-Nya 

2866


menciptakan seorang gadis muda yang kecantikannya melampaui 

Ratu Khemà. Perempuan itu sedang mengipasi Buddha.

saat   Ratu Khemà melihat gadis yang cantik itu, ia melepaskan 

kemelekatannya terhadap kecantikannya dan menjadi kagum 

dan tertarik pada kecantikan yang ada di depannya. Tetapi saat ia 

menatap gadis itu, berkat kekuatan Buddha, kecantikan gadis itu 

terlihat memudar dan dalam waktu singkat ia menjadi tua dan jompo 

dengan kulit keriput, rambut memutih, gigi tanggal, bintik hitam 

di seluruh kulitnya, buah dadanya terkulai, sendi-sendi menonjol, 

urat-urat bertautan dan napasnya tersengal-sengal, berusaha 

mempertahankan hidupnya; dan lalu   ia terengah-engah dan 

jatuh. Ia mati.

Pandangan yang jelas itu membangkitkan semangat religius, 

saÿvega, dalam diri Ratu Khemà, ia menyadari:

“Oh, bentuk (jasmani) ini tidak suci. Sungguh menjijikkan. 

Perempuan bodoh menyukai jasmani yang tidak suci dan 

menjijikkan ini.”

lalu   Buddha berkata kepada Ratu Khemà dalam syair 

berikut:

1. “Khemà, lihatlah jasad ini yang diserang oleh penyakit, kebusukan 

yang tidak murni, mengeluarkan kotoran ke atas dan ke bawah, 

orang bodoh manakah yang akan bergembira di dalamnya.”

2. “Latihlah konsentrasi pada objek meditasi, agar dapat melihat 

kejijikan dari jasmani ini. Dengan mengembangkan perhatian 

terhadap tiga puluh dua aspek (bagian-bagian) badan jasmani, 

bangkitkanlah kejemuan terhadapnya.”

3. “(Khemà), seperti halnya jasmani dari perempuan di samping-

Ku ini hancur, demikian pula jasmanimu juga akan hancur. Seperti 

halnya jasmanimu terlihat menarik sebelum engkau mati, demikian 

pula jasmani perempuan di samping-Ku ini juga terlihat menarik 

sebelum ia mati; (oleh sebab   itu) tinggalkanlah kemelekatan 

2867

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

terhadap jasmani baik jasmani diri sendiri maupun jasmani orang 

lain.”

4. “Kembangkanlah persepsi tanpa-diri dengan mencatat muncul 

lenyapnya fenomena. Tinggalkanlah gagasan tentang diri; dengan 

melakukan hal itu engkau akan menaklukkan sebelas api yang 

membakarmu dan mencapai Nibbàna.”

5. “Seperti halnya laba-laba mengikuti jaring yang ia buat sendiri, 

demikian pula makhluk-makhluk hidup yang memiliki kemelekatan 

mengikuti arus kotoran yang mereka buat sendiri. Orang bijaksana 

tidak memiliki keinginan terhadap kenikmatan indria, melainkan 

memotong arus kotoran dan pergi menuju Nibbàna.”

Buddha mengetahui bahwa sesudah   mendengarkan khotbah itu, 

batin Ratu Khemà telah menjadi gembira dan mau menerima, Beliau 

melanjutkan dengan khotbah lainnya yang berjudul Mahànidàna 

Sutta (Sutta yang sama yang didengar dan dipelajari dari Buddha 

Kassapa dalam kehidupan lampaunya sebagai Putri Samaõi). Ratu 

Khemà mengingat Sutta itu dan mencapai Pengetahuan Pemenang 

Arus sesaat   itu juga.

sesudah   menjadi seorang Ariya sebagai Pemenang Arus, ia ingin 

memperbaiki kebanggaannya yang keliru tentang kecantikannya. 

Ia bersujud di hadapan Buddha dan meminta maaf dengan 

mengucapkan lima syair berikut:

1. “Yang Maha Mengetahui, aku bersujud kepada-Mu. Perwujudan 

Welas asih, aku bersujud kepada-Mu. Buddha yang telah 

menyeberangi banjir saÿsàra, aku bersujud kepada-Mu. Pemberi 

Keabadian, aku bersujud kepada-Mu!”

2. “Aku telah dibingungkan dan dikacaukan oleh kemelekatan 

terhadap nafsu indria, dan dengan demikian aku telah melompat ke 

dalam belukar pandangan salah. Dengan siasat yang tepat, Engkau, 

Bhagavà, telah menjinakkan aku (yang sedang kebingungan) dan 

membuatku bahagia sebab   dijinakkan.”

2868


3. “sebab   tidak berkesempatan bertemu dengan orang mulia seperti 

Engkau, yang memiliki moralitas, konsentrasi, dan seterusnya, 

makhluk-makhluk hidup menderita dukkha yang hebat dalam 

lautan saÿsàra.”

4. “Walaupun Yang Tersuci yang telah mencapai Kesucian Nibbàna 

telah lama menetap di Vihàra Veëuvana. Aku tidak datang dan 

memberi hormat kepada Raja Tiga Alam. Kelalaian ini sekarang 

kuakui sebagai kesalahanku.”

5. “Aku telah memiliki gagasan keliru terhadap Penyelamat 

Mulia Tiga Alam, Pemberi Anugerah Tertinggi (Magga dan Phala, 

Nibbàna,) sebagai seorang yang suka mencari-cari kesalahan sebab   

aku sangat menyukai kecantikanku. Kelalaianku sebab   memiliki 

pikiran seperti itu dan kelalaianku untuk datang dan memberi 

hormat kepada-Mu lebih awal, aku (sekarang) mengakuinya sebagai 

kesalahanku.” 

Atas pengakuan Ratu Khemà atas kesalahan-kesalahannya, Buddha 

berkata, “Tidak apa-apa, anak-Ku Khemà,” yang menyejukkan 

hatinya seolah-olah air surgawi dituangkan kepadanya. lalu   

Ratu Khemà bersujud kepada Buddha dan dengan hormat 

meninggalkan tempat itu. Sesampainya di istana, ia melihat Raja 

Bimbisàra dan berkata:

1. “O penakluk agung berkulit keemasan, engkau telah memakai   

siasat yang cerdik untuk membujukku pergi berkunjung ke Vihàra 

Veëuvana. Sungguh menakjubkan gagasanmu itu! sebab   aku 

menjadi sangat ingin melihat Taman Veëuvana, (dengan akibat 

bahwa) aku telah melihat (dengan mata kepalaku dan mata 

kebijaksanaanku) Buddha, sang Bijaksana.

2. O Tuanku! Jika engkau menyetujui, aku ingin menjalani 

kebhikkhuan dalam Dhamma (yang dilengkapi dengan delapan 

keajaiban) Buddha yang memiliki kebijaksanaan yang tidak ada 

bandingnya, perwujudan kemuliaan tertinggi. Berkat kata-kata 

bijaksana Buddha, aku telah mencapai Pandangan Cerah ke dalam 

sifat membosankan dari jasmaniku.”

2869

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

Mendengar dua bait syair yang diucapkan oleh Ratu Khemà, Raja 

Bimbisàra yang mengetahui dari raut mukanya bahwa ia telah 

menjadi seorang Ariya, yang telah mencapai Pengetahuan Jalan, 

merangkapkan kedua tangannya di keningnya dan berkata kepada 

ratu, “Ratuku, aku mengizinkan engkau menjadi seorang bhikkhunã. 

Semoga cita-citamu dalam melepaskan keduniawian tercapai (yaitu, 

semoga engkau mencapai Kearahattaan). (Kata-kata ini diucapkan 

dalam setengah bait syair.) selanjutnya raja mendudukkan ratu 

di dalam sebuah tandu emas dan mengantarkannya ke vihàra 

bhikkhunã dengan segala kebesarannya.

Therã Khemà Mencapai Kearahattaan

Pada hari kelima belas kebhikkhuannya, Therã Khemà, sewaktu 

menjalani uposatha, merenungkan pelita di depannya, bagaimana 

api itu muncul dan bagaimana api itu padam. Semangat religius yang 

hebat muncul dalam batinnya. Mengembangkan Pandangan Cerah 

dalam sifat muncul dan lenyapnya api dan menerapkannya pada 

semua fenomena berkondisi, yaitu, gabungan batin-jasmani yang 

membentuk kehidupannya sekarang, ia mencapai Kearahattaan 

lengkap dengan Empat Pengetahuan Diskriminatif dan enam 

kekuatan batin. (Kisah pencapaian Kearahattaan oleh Therã Khemà 

bersumber dari Therã Khemà Apadàna Pàëi. Komentar Aïguttara 

Nikàya dan Komentar Dhammapada menceritakannya secara 

berbeda. Kami tidak mendiskusikannya agar tidak membingungkan 

pembaca.)

Therã Khemà tekun dalam belajar dan praktik Dhamma, sebab   itu 

ia menguasai tujuh tingkat Kesucian, dan tidak tertandingi dalam 

hal menjelaskan Sepuluh Topik Diskusi (Kathàvatthu), paling mahir 

dalam penerapan metode Abhidhammà, unggul dalam belajar 

maupun praktik. Kebenaran dari pernyataan ini dapat diukur 

dari Khemà Sutta, Sutta pertama dalam Abyàkata Saÿyutta dari 

Saëàyatana Saÿyutta.

2870


Therã Khemà membabarkan khotbah yang dalam kepada Raja 

Kosala

Pada suatu saat  , Buddha sedang berdiam di Vihàra Jetavana di 

Sàvatthã, Therã Khemà sedang melakukan perjalanan ke Negeri 

Kosala, dan singgah di Toraõa yang terletak antara Sàvatthã dan 

Sàketa. Pada malam itu Raja Pasenadi dari Kosala berkemah di 

Toraõa. lalu   raja itu berkata kepada pengawalnya, “Pengawal, 

tanyakanlah, di tempat ini, samaõa atau bràhmana manakah yang 

layak menjadi pembimbing spiritual bagiku untuk hari ini.” Para 

pengawal bertanya-tanya di tempat itu namun tidak menemukan 

samaõa atau bràhmaõa yang dapat menjadi pembimbing spiritual 

raja. Mereka hanya melihat Therã Khemà yang kebetulan sedang 

mampir di sana. Mereka kembali menghadap raja dan berkata,

“Tidak ada samaõa atau bràhmana di tempat ini. Tetapi ada 

seorang bhikkhunã bernama Therã Khemà, seorang siswa Buddha. 

Ia dikabarkan bijaksana, terampil, terpelajar, seorang pembabar 

Dhamma yang mengagumkan, memiliki kecerdasan yang 

menakjubkan. Aku menyarankan agar tuanku memohon nasihat 

dan bimbingan darinya.” Raja menerima nasihat itu dan pergi ke 

tempat di mana Therã Khemà berada. Ia bersujud kepadanya dan 

duduk di tempat yang semestinya, lalu   ia berkata kepada 

Therã Khemà sebagai berikut:

“Yang Mulia, apakah makhluk hidup tetap ada sesudah   

kematian?”

“Tuanku,” jawab Therã Khemà, “Buddha tidak mengatakan bahwa 

makhluk hidup tetap ada sesudah   kematian.”

“Kalau begitu, Yang Mulia, apakah makhluk hidup tidak ada sesudah   

kematian?”

“Tuanku, Buddha tidak mengatakan bahwa makhluk hidup tidak 

ada sesudah   kematian.”

“Yang Mulia, apakah makhluk hi