Biksu Budha 12

 



dup ada dan juga tidak ada sesudah   

2871

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

kematian?”

“Tuanku, Buddha tidak mengatakan bahwa makhluk hidup ada 

dan juga tidak ada sesudah   kematian.”

“Yang Mulia, apakah makhluk hidup tidak ada atau tidak tidak-ada 

sesudah   kematian?”

“Tuanku, Buddha tidak mengatakan bahwa makhluk hidup tidak-

ada atau tidak tidak-ada sesudah   kematian.”

Raja tidak dapat berkata apa-apa lagi. Ia mengajukan pertanyaan 

lagi yang dijawab sebagai berikut:

“Yang Mulia, saat   aku bertanya ‘apakah makhluk hidup tetap 

ada sesudah   kematian?’ engkau menjawab, ‘Tuanku, Buddha tidak 

mengatakan bahwa makhluk hidup tetap ada sesudah   kematian!’ (1). 

saat   aku bertanya, ‘Kalau begitu, Yang Mulia, apakah makhluk 

hidup tidak ada sesudah   kematian?’ engkau menjawab, ‘Tuanku, 

Buddha tidak mengatakan bahwa makhluk hidup tidak ada sesudah   

kematian.’ (2) saat   aku bertanya, ‘Yang Mulia, apakah makhluk 

hidup ada dan juga tidak ada sesudah   kematian?’, engkau menjawab, 

‘Tuanku, Buddha tidak mengatakan bahwa makhluk hidup ada 

dan juga tidak ada sesudah   kematian.’ (3) saat   aku bertanya, 

‘Yang Mulia, apakah makhluk hidup tidak ada dan juga tidak 

tidak-ada sesudah   kematian?’, engkau menjawab, ‘Tuanku, Buddha 

tidak mengatakan bahwa makhluk hidup tidak ada dan juga tidak 

tidak-ada sesudah   kematian.’ (4) Sekarang, Yang Mulia, mengapa 

Buddha tidak mengatakan apa pun sehubungan dengan empat 

pertanyaan ini? Apakah alasan Buddha menolak menjawab empat 

pertanyaan ini?”

Therã Khemà lalu   berkata, “Tuanku, izinkan aku mengajukan 

satu pertanyaan kepadamu. Engkau boleh menjawabnya sesukamu. 

Bagaimana menurutmu tentang apa yang akan kukatakan ini? 

Apakah di dalam kekuasaanmu engkau memiliki seorang ahli 

berhitung yang dapat menyebutkan, ‘Terdapat sekian banyak 

butir-butir pasir di Sungai Gaïgà. Atau seseorang yang dapat 

2872


menyebutkan, ‘Terdapat sekian ratus, sekian ribu, sekian ratus ribu 

butir pasir di Sungai Gaïgà?”

“Tidak ada, Yang Mulia, tidak ada seorang pun.”

“Tuanku, apakah engkau memiliki seorang yang ahli berhitung 

yang dapat menyebutkan, ‘Terdapat sekian banyak kendi atau 

mangkuk air di lautan.’ Atau seseorang yang dapat menyebutkan, 

‘Terdapat sekian ratus, sekian ribu, sekian ratus ribu mangkuk air 

di lautan?”

“Tidak, Yang Mulia, hal itu sebab   lautan terlalu dalam, mustahil 

untuk diukur.”

“Demikian pula, Tuanku. Buddha telah meninggalkan materi 

(jasmani) yang dianggap sebagai makhluk hidup, Beliau telah 

melenyapkannya secara total. Beliau telah mencabutnya bagaikan 

mencabut pohon kelapa sehingga tidak dapat hidup kembali, dan 

tidak mampu tumbuh lagi pada masa depan.

Buddha yang telah bebas dari apa yang disebut kelompok jasmani 

atau fenomena materi memiliki kemuliaan dan watak atau kehendak 

yang luasnya bagaikan lautan, mustahil diukur, tidak dapat dipahami. 

Bagi Buddha, pernyataan, ‘Makhluk hidup ada sesudah   kematian’ 

yaitu   pernyataan yang tidak relevan. Pernyataan ‘Makhluk hidup 

tidak ada sesudah   kematian’ juga tidak relevan; pernyataan ‘Makhluk 

hidup ada dan juga tidak ada sesudah   kematian’ juga tidak relevan; 

pernyataan, ‘Makhluk hidup tidak ada dan juga tidak tidak-ada 

sesudah   kematian’ juga tidak relevan.”)

(Tidaklah tepat jika Buddha mengatakan bahwa makhluk hidup ada 

sesudah   kematian; atau makhluk hidup tidak ada sesudah   kematian; 

atau bahwa makhluk ada dan juga tidak ada sesudah   kematian, atau 

bahwa makhluk hidup tidak ada dan juga tidak tidak-ada sesudah   

kematian. Ini yaitu   topik yang sangat dalam.)

Buddha telah meninggalkan perasaan … pencerapan … aktivitas 

kehendak … kesadaran yang dianggap sebagai makkhluk hidup; 

2873

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

telah melenyapkannya secara total, telah membuatnya seperti 

tunggul pohon kelapa yang tidak dapat hidup lagi, dan telah 

membuatnya tidak dapat tumbuh lagi pada masa depan.

Buddha yang telah bebas dari sebutan kelompok kesadaran atau 

fenomena kesadaran memiliki kemuliaan dan watak atau kehendak 

yang luasnya seperti lautan, mustahil diukur, tidak dapat dipahami. 

Bagi Buddha, pernyataan, ‘Makhluk hidup ada sesudah   kematian’ 

yaitu   pernyataan yang tidak relevan. … Pernyataan ‘makhluk 

hidup tidak ada dan juga tidak tidak-ada sesudah   kematian’ juga 

tidak relevan.”

(Demikianlah diskusi yang terjadi antara Raja Kosala dengan Therã 

Khemà. )

Raja Pasenadi dari Kosala gembira mendengar kata-kata Therã 

Khemà. Ia bersujud kepadanya dan meninggalkan tempat itu 

dengan penuh hormat. Pada lalu   hari, raja mengunjungi 

Buddha dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama seperti 

yang ia ajukan kepada Therã Khemà. Buddha menjawab persis 

seperti yang dijawab oleh Therã Khemà.

saat   Raja mengetahui bahwa jawaban Buddha dan jawaban Therã 

Khemà yaitu   persis sama, hingga ke huruf-hurufnya, ia menjadi 

takjub dan berseru, “Sungguh menakjubkan, Yang Mulia! Sungguh 

mengherankan! Penjelasan Buddha sama persis dengan penjelasan 

Siswa Buddha, baik dalam makna maupun kata-katanya. Selaras 

tanpa ada penyimpangan. Yang Mulia, aku pernah mengajukan 

pertanyaan-pertanyaan ini kepada Therã Khemà dan ia menjawab 

dengan cara yang persis sama baik dalam makna maupun 

kata-katanya. Sungguh menakjubkan, Yang Mulia!, sungguh 

mengagumkan! Penjelasan Buddha sama persis dengan penjelasan 

Siswa Buddha, baik dalam makna maupun kata-katanya. Selaras 

tanpa ada penyimpangan.” lalu   ia pamit kepada Buddha 

untuk meninggalkan tempat itu. ia sangat gembira mendengar 

jawaban Buddha. Ia bangkit, bersujud kepada Buddha dan dengan 

penuh hormat meninggalkan tempat itu.

2874


Demikianlah inti dari Khemà Sutta.

Penjelasan:

Mengapa Buddha tidak memberi   jawaban atas pernyataan-

pernyataan yang begitu mendasar, ‘Makhluk hidup ada sesudah   

kematian’, ‘Makhluk hidup tidak ada sesudah   kematian’, ‘Makhluk 

hidup ada dan juga tidak ada sesudah   kematian’, ‘Makhluk hidup 

tidak ada dan juga tidak tidak-ada sesudah   kematian’?

1. Sesungguhnya tidak ada apa pun di dunia ini selain lima kelompok 

kehidupan. Tidak ada apa pun dalam makna tertinggi suatu benda 

yang disebut makhluk hidup. sebab   itu apakah ‘makhluk hidup’ 

ada atau tidak bukanlah suatu hal yang akan disabdakan oleh 

Buddha. (Abyàkata Saÿyutta, Sutta ketiga).

2. Hanya mereka yang tidak memahami sifat dari lima kelompok 

kehidupan sesuai Empat Kebenaran Mulia yang mempermasalahkan 

apakah makhluk hidup itu ada atau tidak ada, dalam empat 

pertanyaan itu, yang muncul akibat Pandangan Salah. Bagi mereka 

yang memahami Empat Kebenaran Mulia, tidak ada Pandangan 

Salah yang mempermasalahkan empat pertanyaan itu. sebab   

Buddha memiliki pemahaman lengkap atas Empat Kebenaran, 

maka Beliau tidak mempermasalahkan empat pertanyaan itu. Itulah 

sebabnya Beliau tidak mengatakan apa pun sehubungan dengan 

pertanyaan-pertanyaan itu. (Abyàkata Saÿyutta, Sutta keempat.)

3. Pertanyaan-pertanyaan demikian, yang berdasarkan pandangan 

salah muncul hanya pada mereka yang belum meninggalkan 

kemelekatan atau keterikatan terhadap lima kelompok kehidupan. 

Bagi mereka yang tidak memiliki keterikatan terhadap lima 

kelompok kehidupan, pertanyaan-pertanyaan itu tidak muncul. 

Buddha yang telah meninggalkan keterikatan terhadap lima 

kelompok kehidupan beserta semua jejak kebiasaan tidak memiliki 

konsep salah ini  . Oleh sebab   itu, Beliau akan tetap diam 

jika pertanyaan-pertanyaan itu diajukan kepada Beliau. (Abyàkata 

Saÿyutta, Sutta kelima). (Sutta keenam dari Saÿyutta yang sama, 

empat pertanyaan ini   dibahas dengan cukup terperinci.)

2875

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

Dalam Khemà Sutta, jawaban Therã Khemà agak berbeda; jawaban 

itu menyinggung-nyinggung Buddha. Hal ini sebab   ia mengetahui 

bahwa si penanya (Raja Kosala) juga menyiratkan Buddha dalam 

empat pertanyaan yang ia ajukan. sebab   itu Therã Khemà 

memberi   jawaban yang intinya yaitu   sebagai berikut:

Buddha telah, (sesudah   meninggalkan pemicu   dari lima kelompok 

kehidupan) meninggalkan lima kelompok kehidupan sehingga apa 

yang biasanya disebut ‘makhluk hidup’ tidak lagi muncul sesudah   

kematian. Beliau telah bebas dari lima kelompok kehidupan pada 

masa depan, sebab   itu tidak ada apa pun yang disebut makhluk 

atau diri. sebab   Buddha mengetahui hal ini, ‘makhluk hidup’ 

sesudah   ‘kematian’ tidaklah relevan untuk dibicarakan. sebab   itu 

Beliau akan tetap diam menjawab empat pertanyaan ini  .

Seseorang mungkin akan memperdebatkan: sebab   Buddha 

tidak akan mendapatkan lima kelompok kehidupan yang baru, 

dapat dipahami mengapa Beliau menolak menjawab pertanyaan 

pertama (‘Apakah makhluk hidup ada sesudah   kematian?’). Tetapi 

mengapa Buddha menolak menjawab pertanyaan kedua: ‘Apakah 

makhluk hidup tidak ada sesudah   kematian?’ Mengapa Buddha 

tidak menjawab, ‘Tidak’? Buddha menolak menjawab pertanyaan ini 

sebab   ‘makhluk hidup’ bukanlah hal yang nyata dalam pengertian 

tertinggi. (Ini yaitu   penjelasan yang terdapat dalam Komentar.) 

Therã Khemà Sutta yaitu   Dhamma yang mendalam. Yang akan 

dipelajari lebih lanjut oleh mereka yang bajik.)

(c) Therã Khemà sebagai bhikkhunã terbaik

Khotbah kepada Raja Kosala di Toraõa yaitu   pemicu   langsung 

atas penunjukan Therã Khemà oleh Buddha sebagai bhikkhunã 

terbaik dalam hal memiliki Pengetahuan yang luas. Pada suatu 

kesempatan, saat   Buddha sedang menetap di Vihàra Jetavana, 

dalam pertemuan penganugerahan gelar bhikkhunã terbaik dalam 

bidangnya, Buddha menyatakan:

“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang memiliki 

2876


pengetahuan yang dalam, Therã Khemà yaitu   yang terbaik.”

Penunjukan ini yang dilakukan oleh Buddha juga diterima dan 

diakui oleh Therã Khemà dalam syair berikut yang terdapat dalam 

riwayat hidupnya:

1. “sesudah   aku menjadi seorang bhikkhunã, aku telah menjelaskan 

kepada Raja Pasenadi dari Kosala sesuai Dhamma dalam menjawab 

pertanyaan-pertanyaan yang mendalam yang ia ajukan kepadaku 

di suatu tempat yang disebut Toraõa (yang terletak antara Sàvatthã 

dan Sàketa.)”

2. “lalu   raja datang dan mengajukan pertanyaan itu kepada 

Buddha, dan Buddha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang 

mendalam itu persis seperti apa yang telah kujawab.”

3. “Penakluk lima Màra, yang teragung di antara semua manusia, 

sebab   puas dengan kemampuanku dalam menjelaskan Dhamma, 

telah menunjukku sebagai bhikkhunã terbaik di antara para 

bijaksana.”

Demikianlah kisah Therã Khemà.

(3) Kisah Therã Uppalavaõõa

(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Therã Uppalavaõõa terlahir dalam sebuah keluarga kaya 

di Kota Haÿsàvatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. 

Pada suatu kesempatan saat ia mendengarkan khotbah Buddha, ia 

melihat Buddha menyatakan seorang bhikkhunã sebagai bhikkhunã 

terbaik di antara mereka yang memiliki kekuatan batin. Ia bercita-

cita untuk dapat menjadi seperti bhikkhunã ini   pada masa 

depan. Ia memberi   persembahan besar kepada Buddha dan 

Saÿgha selama tujuh hari. Di akhir tujuh hari itu ia meletakkan 

tujuh ikat bunga teratai di kaki Buddha sebagai penghormatan dan 

mengungkapkan cita-citanya untuk mencapai gelar bhikkhunã 

2877

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

terbaik di antara mereka yang memiliki kekuatan batin. Buddha 

Padumuttara meramalkan bahwa cita-citanya akan tercapai.

Mempersembahkan Bunga Teratai Kepada Seorang Pacceka 

Buddha

sesudah   meninggal dunia dari kehidupan itu yang ia tandai dengan 

pengabdian kepada Buddha dan Saÿgha seumur hidupnya, ia 

terlahir kembali di Alam Dewa Tàvatiÿsa. Selanjutnya ia terlahir 

kembali di alam manusia dan mempersembahkan bunga teratai 

kepada seorang Pacceka Buddha.

Kehidupan Sebagai Putri Seorang Kaya

sesudah   meninggal dunia dari kehidupan itu yang juga ia penuhi 

dengan banyak melakukan kebajikan, si putri orang kaya itu 

terlahir kembali sebagai dewa, dan selanjutnya ia terlahir kembali 

hanya di alam dewa dan alam manusia silih berganti. Pada masa 

Buddha Kassapa, pada siklus dunia sekarang ini, ia terlahir 

sebagai putri kedua dari tujuh putri Raja Kikã di Bàràõasã bernama 

Putri Samaõaguttà. Dalam kehidupannya itu, ia, seperti halnya 

kakak tertuanya, bakal Therã Khemà, tetap menjadi seorang 

perawan seumur hidupnya selama dua puluh ribu tahun. Mereka 

mempersembahkan sebuah kompleks vihàra kepada Saÿgha. Saat 

meninggal dunia ia terlahir di alam dewa lagi.

Kehidupannya Sebagai Ummàdantã

sesudah   meninggal dunia dari alam dewa itu, ia terlahir kembali 

dalam sebuah keluarga kaya di alam manusia. Dalam kehidupannya 

itu, ia mempersembahkan sehelai kain berwarna keemasan kepada 

seorang Arahanta, siswa bhikkhu Buddha Kassapa. (penjelasan 

tentang peristiwa ini, baca Ummadantã Jàtaka.)

sesudah   meninggal dunia dari kehidupan itu, ia terlahir kembali 

sebagai Ummàdantã, putri yang sangat cantik dari seorang brahmana 

kaya bernama Tiriñivaccha di Ariññhapura, Provinsi Sivi. (Baca 

Ummàdantã Jàtaka, Paõõàsa Nipàta.)

2878


Kehidupannya Sebagai Perempuan Penjaga Sawah

Kehidupannya selanjutnya yaitu   sebagai putri seorang petani 

di sebuah desa kecil. Suatu pagi, sewaktu ia pergi ke rumah 

pertanian, ia menemukan sebuah kolam dengan bunga teratai 

yang sedang mekar. Ia mendatangi kolam itu dan memetiknya. Di 

rumah pertanian, ia mengumpulkan beberapa tangkai padi dan 

memanggangnya sehingga menjadi beras bakar yang ia hitung 

berjumlah lima ratus. Ia meletakkan beras bakar itu di atas daun 

teratai yang ia ambil dari kolam.

Pada saat itu, seorang Pacceka Buddha, sesudah   bangun dari 

pencerapan penghentian di dalam tempat tinggalnya, datang 

melalui angkasa dan berdiri tidak jauh dari si putri petani. Gadis itu 

melihatnya, pergi ke rumah pertaniannya untuk mengambil beras 

bakar dan daun teratai, dan lalu   ia meletakkan beras bakar 

itu ke dalam mangkuk Pacceka Buddha, menutupinya dengan daun 

teratai, dan mempersembahkannya kepada Pacceka Buddha.

Tidak lama sesudah   si Pacceka Buddha pergi, ia berpikir, 

“Seorang Pacceka Buddha tidak memerlukan bunga; lebih baik 

aku mengambilnya kembali dan memakainya sebagai hiasan.” 

Ia mendatangi Pacceka Buddha dan meminta kembali bunga 

teratai itu. Tetapi lalu   merenungkan. “Jika Pacceka Buddha 

tidak menginginkan persembahan bunga ini, ia pasti tidak akan 

menerimanya. Sekarang ia mengizinkan aku meletakkannya ke 

dalam mangkuknya, ia pasti menyukai persembahan itu.” Dengan 

pikiran demikian, ia meletakkan kembali bunga itu ke dalam 

mangkuk itu. (sebab   tindakan ragu-ragu itu, dalam kehidupan 

selanjutnya, seperti yang akan kita bahas, ditandai dengan jalan 

hidup yang campur aduk.)

sesudah   memberi   persembahan bunga teratai itu sekali lagi, 

dan mengakui kesalahannya sebab   mengambil kembali, ia 

mengungkapkan cita-citanya, “Yang Mulia, dengan persembahan 

beras bakar ini, semoga aku terberkahi dengan lima ratus putra 

dalam kehidupanku pada masa depan, sesuai jumlah beras bakar 

yang kupersembahkan.

2879

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

Lebih jauh lagi, dengan persembahan bunga teratai ini, semoga 

bunga-bunga teratai tumbuh dari tanah untuk menerima setiap 

langkahku pada masa depan!”

(Menurut riwayat hidup Uppalavaõõà, sewaktu putri petani itu 

memberi   persembahan kepada Pacceka Buddha, lima ratus 

pekerja di sawah itu mempersembahkan madu kepada Pacceka 

Buddha dan bercita-cita untuk terlahir kembali sebagai putra 

(seluruhnya lima ratus orang) gadis itu pada masa depan.)

Pacceka Buddha lalu   terbang ke angkasa dengan disaksikan 

oleh gadis itu dan kembali ke Gunung Gandamàdana. Di sana ia 

meletakkan bunga-bunga teratai itu di pintu masuk Gua NandamÃ¥la 

untuk digunakan sebagai keset kaki bagi para Pacceka Buddha.

Kehidupannya Sebagai Ratu Padumadevã

Sebagai akibat dari perbuatan baiknya, saat meninggal dunia gadis 

itu terlahir kembali, melalui kelahiran yang langsung dewasa, 

sebagai dewa. Dalam kehidupannya itu, muncul bunga teratai 

dari tanah pada setiap langkah kakinya ke mana pun ia berjalan. 

saat   meninggal dunia dari alam dewa, ia terlahir kembali di 

alam manusia dari sekuntum bunga teratai di sebuah danau besar 

di kaki sebuah gunung. Seorang petapa bertempat tinggal di dekat 

danau itu. Suatu pagi ia pergi ke danau untuk mencuci muka dan 

melihat bunga teratai yang masih kuncup yang berukuran lebih 

besar daripada kuncup lainnya, tetapi kuncup lainnya sudah mekar, 

kuncup yang satu ini tidak mekar. Ia berpikir hal itu aneh maka ia 

masuk ke air dan memetiknya.

Di tangannya kuncup itu membuka dan di dalamnya ia melihat 

seorang bayi perempuan berbaring. Ia merasakan timbulnya kasih 

sayang sebagai orangtua terhadap anaknya. Ia membawanya ke 

pertapaannya bersama bunga teratai itu, dan meletakkannya di atas 

selimut kecil. Berkat jasa masa lampau gadis kecil itu, susu menetes 

dari ibu jari petapa itu yang digunakan untuk menyusui bayi itu. 

saat   bunga teratai pertama di mana ia berbaring telah menjadi 

2880


layu, bunga teratai baru muncul di bawahnya.

saat   gadis kecil itu sudah dapat berjalan dan berlompatan, 

muncullah dari dalam tanah bunga-bunga teratai di bawah kakinya 

ke mana pun ia berjalan. Ia memiliki kulit berwarna jingga. 

Penampilan fisiknya tidak seperti manusia biasa dan hampir 

menyerupai bidadari surga. sebab   ia muncul dari bunga teratai, 

ayah pengasuhnya, si petapa, menamainya Padumavatã (Nona 

Teratai). saat   petapa itu pergi mencari buah-buahan, ia ditinggal 

sendirian di pertapaan itu.

Padumavatã Menjadi Seorang Ratu

saat   Padumavatã telah dewasa, suatu hari saat si petapa sedang 

pergi mengumpulkan buah-buahan, seorang pemburu yang 

kebetulan datang ke pertapaan itu melihatnya dan berpikir, “Tidak 

ada manusia di dunia ini yang secantik gadis ini. Aku harus mencari 

tahu siapakah dia itu.” Maka ia menunggu kembalinya petapa 

itu. saat   petapa kembali, gadis itu menyambutnya, mengambil 

gandar (yang penuh dengan buah-buahan) dan kendi air dari petapa 

itu, menyediakan tempat duduk untuk ayah pengasuhnya, dan 

melayaninya dengan penuh kasih sayang.

Pemburu itu yakin bahwa gadis itu yaitu   seorang manusia, dan 

sesudah   memberi hormat kepada petapa itu ia duduk di sana. Petapa 

itu memberinya buah-buahan dan air, lalu   bertanya, “Apakah 

engkau akan tinggal di hutan atau pulang ke rumahmu?”

Pemburu itu berkata, “Aku tidak mempunyai urusan lagi di hutan, 

aku akan kembali ke rumahku.”

“Dapatkan engkau merahasiakan pertemuanmu dengan gadis itu 

dan tidak memberitahukan kepada orang lain?”

“Jika engkau tidak ingin orang lain tahu, mengapa aku harus 

memberitahukan kepada orang lain?” Tetapi ia berkata begitu 

hanya untuk menyenangkan tuan rumahnya yang baik itu. Dalam 

perjalanannya kembali sesudah   memberi hormat kepada petapa itu, 

2881

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

ia dengan saksama menandai pohon-pohon dan menata dahan-

dahan pohon sepanjang jalan menuju pertapaan itu agar ia dapat 

mengenali jalan itu.

Dan sesampainya di kota, ia pergi menghadap raja yang menanyakan 

maksud kunjungannya. Ia berkata, “Tuanku, aku hanyalah 

pelayanmu yang rendah, seorang pemburu. Aku datang untuk 

melaporkan adanya seorang yang perempuan yang sangat cantik di 

dalam hutan di kaki gunung yang tentu akan menjadi aset berharga 

bagi Tuanku.” Ia menjelaskan pertemuannya itu kepada raja. Raja 

menjadi sangat tertarik. Ia segera pergi ke kaki gunung itu. sesudah   

mendirikan kemah tidak jauh dari pertapaan itu, ia menunggu 

hingga si petapa telah selesai makan dan menghadap petapa itu 

dengan disertai beberapa menterinya. Petapa itu sedang duduk di 

pertapaannya saat raja menyapanya, sesudah   saling bertukar sapa, 

raja duduk di tempat yang semestinya.

Raja memberi   persembahan benda-benda kebutuhan kepada 

petapa itu. Dan lalu   ia berkata, “Yang Mulia, apa gunanya 

hidup di sini? Marilah kita pergi ke kota.” “Aku tidak akan pergi, 

Tuanku,” jawab petapa itu, “Engkau boleh pergi,” selanjutnya raja 

berkata, “Baiklah, Yang Mulia, tetapi aku mengetahui bahwa ada 

seorang perempuan yang tinggal bersamamu. Tidaklah baik bagi 

seorang perempuan tinggal bersama seorang petapa. Aku memohon 

agar perempuan itu diizinkan pergi bersamaku.”

Atas permohonan langsung yang diajukan oleh raja itu, si petapa 

menjawab, “Tidaklah mudah untuk menyenangkan banyak orang. 

Bagaimana mungkin putriku dapat menjalani kehidupan istana 

dengan banyak ratu dan perempuan yang melayani?”

Raja menenangkan petapa itu dengan berkata, “Yang Mulia, jika 

aku (diizinkan untuk menikahinya) telah memberi   cintaku 

kepadanya aku akan mengangkatnya menjadi permaisuriku.”

Selanjutnya si petapa memanggil anaknya, dengan panggilan 

seperti yang biasa ia gunakan sejak saat ia masih kecil, “Padumavatã, 

Anakku!” Padumavatã segera menjawab, ia keluar dari pertapaan 

2882


dan, memberi hormat kepada ayahnya dan berdiri di depan ayahnya. 

Sang ayah berkata, “Anakku, engkau telah dewasa. Sejak pertama 

raja melihatmu, engkau tidak dapat lagi menetap di sini. Pergilah 

bersama raja, Anakku.”

“Baiklah, ayah,” ia berkata, menangis sambil masih tetap berdiri.

Raja Bàràõasã, ingin membuktikan ketulusannya, memberi   emas, 

perak, dan perhiasan lainnya kepada Padumavatã dan sejak saat itu 

mengangkatnya menjadi permaisuri.

Ratu Padumavatã Menguasai Hati Raja dan Menjadi Korban 

Muslihat Istana

Di istana Bàràõasã, hati raja begitu terpikat oleh permaisuri 

sehingga sejak kedatangannya, semua ratu lainnya dan para 

pelayannya diabaikan oleh raja. Para perempuan itu menjadi gundah 

dan mencoba untuk meruntuhkan kasih sayang raja terhadap 

permaisuri. Mereka berkata, “Tuanku, Padumavatã bukan manusia. 

Di manakah engkau pernah melihat seorang manusia yang dalam 

setiap langkahnya muncul bunga teratai dari dalam tanah? Ia yaitu   

siluman, pasti begitu. Ia berbahaya. Ia harus dilenyapkan segera!” 

Raja tidak mengatakan apa-apa.

Pada saat lainnya, saat   raja pergi dalam tugasnya memadamkan 

pemberontakan di wilayah yang jauh, ia terpaksa meninggalkan 

Padumavatã di istana, sebab   tahu ia sedang hamil. Para perempuan 

di istana itu mendapat kesempatan untuk membalas. Mereka 

menyuap pelayan Padumavatã untuk turut dalam rencana jahat 

mereka. Ia diperintahkan untuk menyingkirkan bayi yang akan 

dilahirkan oleh permaisuri dan menggantinya dengan sepotong 

kayu yang dilumuri darah.

saat   Padumavatã melahirkan anaknya, Pangeran Mahàpaduma 

yaitu   anak sebenarnya yang ia lahirkan sebab   ia yaitu   satu-

satunya yang dikandung dalam rahimnya. Anak-anak lainnya, 

empat ratus sembilan puluh sembilan bayi lainnya, muncul dari 

tetesan darah yang memercik saat kelahiran anaknya itu. Pelayan itu 

2883

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

menjalani apa yang diperintahkan kepadanya dan memberitahukan 

berita kelahiran itu kepada ratu lainnya. Lima ratus perempuan di 

istana itu masing-masing mencuri satu anak sewaktu ibu masih 

tertidur. lalu   mereka memerintahkan pembuatan lima 

ratus peti kayu untuk meletakkan masing-masing bayi. Mereka 

memasukkan bayi-bayi itu ke dalam peti itu dan menyegelnya.

saat   Ratu Padumavatã bangun dan bertanya kepada pelayannya 

tentang anaknya, si pelayan menjawab, “Di mana engkau 

melahirkan bayi? Inilah yang engkau lahirkan,” dan menunjukkan 

sepotong kayu yang berlumuran darah. Ratu menjadi tidak 

senang dan menyuruhnya segera membuangnya. Pelayan itu 

segera melakukannya seolah-olah melindungi kehormatan ratu, ia 

menghancurkan kayu itu dan melemparkannya ke dalam tungku 

api di dapur.

Raja kembali dari ekspedisinya dan berkemah di luar kota menunggu 

waktu yang baik menurut perhitungan peramal. Para perempuan 

pergi menyambut raja di sana dan mengajukan kasus untuk mengusir 

Ratu Padumavatã. “Tuanku, engkau tidak akan memercayai kata-kata 

kami tentang sang permaisuri. Tetapi tanyakanlah kepada pelayan 

Permaisuri Padumavatã, ia telah melahirkan sepotong kayu!” Raja, 

tanpa melakukan penyelidikan, memercayai bahwa Padumavatã 

yaitu   siluman dan mengusirnya.

Bintang Padumavatã sekarang mulai meredup. Sejak ia diusir dari 

istana, tidak ada bunga teratai yang muncul dari bawah kakinya. 

Penampilannya yang rupawan meninggalkannya. Ia berjalan di jalan 

raya, merasa sedih. saat   seorang perempuan tua melihatnya, ia 

merasa kasihan terhadapnya dan berkata, “Ke manakah engkau akan 

pergi, Anakku?” Padumavatã menjawab. “O Ibu, aku sedang mencari 

tempat berteduh.” Perempuan tua itu berkata, “Kalau begitu, 

Anakku, ikutlah aku ke rumahku,” dan ia membawa Padumavatã 

pulang ke rumahnya dan memberinya makan.

Muslihat Istana Mulai Terungkap

Saat Padumavatã berada di rumah perempuan tua itu, para 

2884


perempuan istana sepakat berkata kepada raja, “O Tuanku, saat   

engkau sedang dalam ekspedisi militer, kami memanggil para dewa 

penjaga Sungai Gaïgà demi keberhasilanmu dan berjanji untuk 

memberi   persembahan saat engkau kembali dengan selamat. 

sebab   itu marilah kita pergi ke Sungai Gaïgà untuk memberi   

persembahan kepada dewa sungai dan bersenang-senang mandi 

di sungai,” raja dengan gembira menyetujui dan mereka semua 

pergi ke sungai.

Lima ratus perempuan istana itu diam-diam membawa peti-peti 

berisi bayi dan masuk ke air dengan pakaian lengkap untuk 

menyembunyikan peti-peti itu. sesudah   berada di air, mereka 

menghanyutkan peti-peti itu ke dalam air. Lima ratus peti itu 

berkumpul bersama dalam aliran air, mengapung bersama, dan 

tertangkap oleh jala nelayan di hilir. sesudah   raja selesai mandi di 

sungai, si nelayan mengangkat jalanya dari air dan terkejut melihat 

lima ratus peti itu, yang diserahkan kepada raja. Raja bertanya, 

“Apakah isi peti itu?” dan mereka menjawab, “Kami tidak tahu 

apa isinya, Tuanku, kami hanya yakin bahwa isinya pasti sesuatu 

yang aneh.” saat   lima ratus peti itu dibuka atas perintah raja, peti 

pertama yang dibuka kebetulan berisi Pangeran Mahàpaduma.

Jasa masa lampau lima ratus pangeran itu mengakibatkan sejak 

mereka berada di dalam peti itu, susu mengalir dari ibu jari mereka 

untuk memberi makan mereka. Sakka juga turut melenyapkan 

keraguan raja dengan menuliskan pesan dalam peti yang 

bertuliskan:

“Bayi-bayi ini dilahirkan oleh Ratu Padumavatã dan yaitu   putra-

putra Raja Bàràõasã. Mereka dimasukkan ke dalam peti oleh lima 

ratus ratu dan komplotannya yang dendam terhadap permaisuri dan 

dibuang ke sungai. Semoga Raja Bàràõasã mengetahui fakta ini.”

Sang raja, yang telah menjadi jelas, membawa Pangeran Mahàpaduma, 

dan memerintahkan, “O pengawal, siapkan kereta dan cepat hias 

kuda! Aku akan pergi ke kota dan menunjukkan cintaku kepada 

seorang perempuan.” sesudah   berkata demikian, ia bergegas masuk 

ke kota, masuk ke istananya, dan memerintahkan agar disiapkan 

2885

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

gajah istana untuk melakukan perjalanan dengan (sebuah tas 

beludru berisi) seribu keping uang yang diikatkan di leher gajah 

itu, dan memerintahkan agar mengumumkan kepada seluruh 

warga   bahwa siapa pun yang melihat Ratu Padumavatã boleh 

mengambil hadiah dari raja berupa seribu keping uang.

Padumavatã, mendengar pengumuman itu, berkata kepada si 

perempuan tua, “Ibu, ambillah seribu keping uang itu dari leher 

gajah istana itu!” perempuan itu berkata, “O Anakku, aku tidak 

berani melakukannya.” Padumavatã mendesaknya dua kali, tiga 

kali untuk melakukannya. Akhirnya perempuan tua itu berkata, 

“O Anakku, apa yang harus kukatakan untuk mengambil hadiah 

itu?” “Katakan saja, ibu, ‘Aku telah melihat Ratu Padumavatã.’” 

Perempuan tua itu memberanikan dirinya menuntut hadiah itu.

Pengawal raja bertanya kepadanya, “Apakah engkau sungguh 

melihat Ratu Padumavatã?” “Aku tidak melihatnya sendiri,” ia 

berkata, “tetapi anakku yang melihatnya.”

“Di manakah anakmu sekarang?” para pengawal bertanya. Dan 

mereka diajak ke rumah perempuan tua itu. Mereka mengenali 

ratu mereka dan berlutut di hadapannya, si perempuan tua, 

mengetahui identitas sebenarnya dari si perempuan muda itu, 

menegurnya, “Perempuan mulia ini sungguh sembrono. Bukannya 

mempertahankan posisinya sebagai permaisuri, ia malah memilih 

hidup tanpa dilayani di tempat kumuh ini.”

Para pengawal raja memagari rumah sederhana itu dengan kain 

putih, menempatkan penjaga dan melaporkan penemuan mereka 

kepada raja. Raja mengirimkan tandu emas untuk menjemputnya. 

Tetapi Padumavatã memaksa bahwa ia layak mendapatkan Ritual   

yang lebih megah untuk kembali ke istana. Ia mendesak agar 

dibuatkan jalan setapak yang beratap dan berhiaskan bintang-

bintang emas menuju istana dan beralaskan karpet yang indah. 

Ia juga menuntut agar perhiasan istana dikirim kepadanya. “Aku 

akan berjalan kaki ke sana,” ia berkata, “agar kemuliaanku terlihat 

oleh seluruh warga  .” Raja memenuhi semua keinginan 

permaisurinya. lalu   Ratu Padumavatã, berhiaskan perhiasan 

2886


lengkap, mengumumkan, “Sekarang aku akan pergi ke istana.” 

Dan selanjutnya, dalam setiap langkahnya, muncul bunga teratai 

dari dalam tanah menembus karpet indah itu. Para warga   

menyaksikan kemuliaannya, ia memasuki istana. sesudah   itu, ia 

memberi   karpet indah itu kepada si perempuan tua sebagai 

tanda terima kasih.

Kedermawanan Ratu Padumavatã

Raja memanggil lima ratus perempuan istana dan berkata kepada 

Ratu Padumavatã, “Ratuku, aku menyerahkan lima ratus perempuan 

ini sebagai budakmu.” Ratu berkata, “O Tuanku, umumkanlah 

ke seluruh kota mengenai pemberian lima ratus perempuan ini 

kepadaku.” Raja mengumumkan fakta penyerahan lima ratus 

perempuan itu kepada Ratu Padumavatã ke seluruh kota diiringi 

dengan tabuhan genderang. sesudah   puas dengan pengumuman itu, 

Ratu Padumavatã berkata kepada raja, “Tuanku, apakah aku berhak 

membebaskan budak-budakku?” Raja menjawab, “O Ratu, engkau 

berhak melakukan apa pun terhadap mereka.” “Kalau begitu, 

Tuanku,” ia berkata, “Umumkanlah sekali lagi bahwa seluruh lima 

ratus budak yang diserahkan kepada Ratu Padumavatã diberikan 

kebebasan oleh ratu.” lalu   ratu mempercayakan 499 pangeran 

untuk diasuh oleh masing-masing budak yang telah bebas itu, ia 

sendiri mengasuh Pangeran Mahàpaduma.

Lima Ratus Pangeran Menjadi Pacceka Buddha

saat   lima ratus pangeran itu sudah memasuki usia bermain-main, 

raja menyediakan segala benda di taman kerajaan sebagai tempat 

bermain bagi anak-anak itu. saat   mereka berusia enam belas 

tahun, suatu hari mereka bermain di danau istana, di mana tumbuh 

banyak bunga teratai paduma, mereka mengamati mekarnya bunga-

bunga teratai itu, menjadi layu dan berguguran. Berkat jasa mereka, 

pemandangan itu mengetuk hati mereka sebagai fenomena yang 

layak direnungkan. Dan beginilah mereka merenungkannya:

“Bahkan bunga-bunga teratai ini yang hanya bergantung pada suhu 

dan nutrisi juga akan mengalami usia tua, bagaimana mungkin 

2887

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

jasmani kita, yang bergantung pada empat faktor (kamma, batin, 

suhu, dan nutrisi) dapat menghindar dari takdir ini. (kami juga akan 

mengalami hal yang sama, usia tua dan kematian.)”

Mereka merenungkan dalam-dalam fenomena ini   

(ketidakkekalan dari kehidupan yang berkondisi), mencapai 

Pandangan Cerah terhadap sifat batin dan jasmani, dan mencapai 

Pencerahan oleh diri mereka sendiri, tanpa diajari oleh siapa 

pun. Ini disebut Paccekabodhi ¥Ã Ãµa yang mengarah pada empat 

Pengetahuan Jalan Ariya. Dengan kata lain, mereka menjadi Pacceka 

Buddha. lalu   mereka bangkit dari tempat duduk mereka, 

masing-masing duduk bersila di atas bunga teratai dengan kekuatan 

batin mereka.

Saat malam telah larut, para pelayan dari pangeran-pangeran itu 

mengingatkan mereka, “O tuanku, sudah waktunya pulang.” Lima 

ratus Pacceka Buddha itu tidak mengatakan apa-apa. sebab   itu 

mereka pergi ke istana dan melaporkan hal itu kepada raja—bahwa 

para pangeran tetap diam, semuanya duduk di atas bunga teratai. 

Raja hanya mengucapkan, “Biarkan putra-putraku melakukan apa 

yang mereka suka.”

Lima ratus Pacceka Buddha itu dijaga sepanjang malam, saat 

mereka duduk di atas bunga teratai. Hari telah subuh. Dan para 

pelayan mendatangi mereka dan berkata, “O Pangeran, sudah 

waktunya untuk pulang.” lalu   para pangeran yang sekarang 

telah menjadi para Pacceka Buddha itu berkata, “Kami bukan lagi 

pangeran, kami disebut Pacceka Buddha.” Para pelayan itu tidak 

percaya dan berkata, “Kata-kata kalian tidak beralasan. Para Pacceka 

Buddha tidak seperti kalian, mereka hanya memiliki rambut dan 

kumis atau janggut sepanjang lebar dua jari, mereka memiliki 

perlengkapan petapa. Tetapi kalian mengenakan pakaian seperti 

pangeran, berambut dan kumis panjang, dan memakai perhiasan 

istana. Bagaimana mungkin kalian mengatakan bahwa kalian yaitu   

para Pacceka Buddha?” (Para pelayan itu menjelaskan ciri-ciri 

Pacceka Buddha sesuai apa yang mereka ketahui.) selanjutnya para 

pangeran itu mengusap kepala mereka, dan sesaat   penampilan 

mereka berubah menjadi para Pacceka Buddha lengkap dengan 

2888


delapan perlengkapan seorang bhikkhu (Pacceka Buddha). Dan 

dengan disaksikan oleh para pelayan, mereka terbang ke angkasa 

menuju arah Gunung Gandamàdana.

Bakal Therã Uppalavaõõà Dalam Kehidupan Terakhirnya 

Sebagai Buruh Tani

Ratu Padumavatã, sesudah   menikmati kepuasan mendapatkan 

kembali lima ratus putranya, tiba-tiba terkejut sebab   mendadak 

kehilangan anak-anak muda yang ia sayangi. Ia meninggal dunia 

sebab   terkejut. sesudah   meninggal dunia dari kehidupannya 

itu, ia terlahir kembali dalam sebuah keluarga pekerja di sebuah 

desa di dekat gerbang Kota Ràjagaha. Ia menikah dan menetap 

di rumah keluarga suaminya. Suatu hari sewaktu ia membawa 

bubur untuk suaminya yang sedang bekerja di sawah, ia melihat 

delapan dari lima ratus Pacceka Buddha terbang di angkasa. Ia 

segera mendatangi suaminya dan berkata, “O suamiku, lihatlah 

para Pacceka Buddha itu! marilah kita mengundang mereka untuk 

menerima persembahan makanan.” Tetapi suaminya yaitu   seorang 

yang bodoh yang tidak mengetahui apa itu Pacceka Buddha. Ia 

berkata kepada istrinya, “Istriku, mereka disebut bhikkhu terbang 

(bhikkhu-burung). Mereka juga ada beterbangan di tempat-tempat 

lain (pada masa yang lain juga. Versi Srã Laïka). Mereka bukan 

Pacceka Buddha, mereka hanya burung (aneh).”

Selagi pasangan itu sedang mendiskusikan hal itu, delapan 

Pacceka Buddha itu turun tidak jauh dari mereka. Sang istri 

mempersembahkan jatah makanannya kepada delapan Pacceka 

Buddha itu dan mengundang mereka untuk menerima persembahan 

keesokan harinya. Para Pacceka Buddha itu berkata, “Baiklah, umat 

perempuan, siapkanlah persembahan untuk delapan penerima saja. 

Dan juga siapkan akomodasi untuk delapan undangan saja. Saat 

engkau melihat lebih banyak Pacceka Buddha selain kami, baktimu 

akan tumbuh semakin besar.” Dan perempuan itu (yang yaitu   ibu 

para Pacceka Buddha itu pada kehidupannya yang sebelumnya,) 

mempersiapkan delapan tempat duduk dan mempersiapkan 

persembahan untuk delapan Pacceka Buddha.

2889

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

Delapan undangan itu berkata kepada para Pacceka Buddha 

lainnya, “Jangan pergi ke tempat lain untuk mengumpulkan dàna 

makanan, tetapi limpahkanlah berkah demi kesejahteraan ibu kita 

dalam kehidupannya sebelumnya. Para Pacceka Buddha itu setuju, 

dan seluruh lima ratus Pacceka Buddha itu pergi melalui angkasa 

ke rumah mantan ibu mereka. Sang ibu yang telah berfirasat akan 

menjumpai seluruh lima ratus putranya yang sekarang menjadi 

Pacceka Buddha, tidak mengkhawatirkan kurangnya persembahan 

itu. Ia mengundang seluruh lima ratus Pacceka Buddha itu ke 

rumahnya dan menyediakan delapan tempat duduk. saat   Pacceka 

Buddha kedelapan telah duduk, Pacceka Buddha kesembilan dengan 

kekuatan batinnya menciptakan delapan tempat duduk lagi dan 

duduk di sana; demikianlah seterusnya hingga Pacceka Buddha 

terakhir duduk, rumah itu juga diperluas dengan kekuatan batin 

mereka.

Si buruh tani, sang ibu dalam kehidupan sebelumnya, yang telah 

mempersiapkan makanan untuk delapan penerima terus melayani 

seluruh lima ratus Pacceka Buddha itu sebanyak yang mereka 

butuhkan. lalu   ia membawa delapan tangkai bunga teratai, 

dan meletakkannya di depan delapan undangan yang pertama, 

mempersembahkannya kepada mereka, dan berkata, “Yang Mulia, 

dengan jasa kebajikan ini, semoga aku terlahir dengan kulit yang 

berwarna seperti warna bagian dalam bunga teratai cokelat ini.” 

Lima ratus Pacceka Buddha itu mengucapkan kata-kata pujian 

atas kebajikannya, dan kembali ke Gunung Gandamàdana melalui 

angkasa.

(b) Menjadi seorang bhikkhunã dalam kehidupan terakhir

Si buruh tani melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya dan 

di akhir hidupnya ia terlahir kembali di alam dewa. Pada masa 

Buddha Gotama, ia terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Sàvatthã. 

Ia terlahir dengan kulit bagaikan bagian dalam bunga teratai 

cokelat dan sebab   itu dinamai Uppalavaõõà. saat   ia dewasa, 

semua keluarga kaya—orang-orang kaya dan para pangeran dari 

seluruh Benua Selatan meminta pada ayahnya agar memberi   

Uppalavaõõà untuk dinikahkan dengan putra mereka.

2890


Orang kaya itu menjadi kebingungan, ia tidak tahu bagaimana harus 

memberi   jawaban atas banyaknya lamaran dari orang-orang kaya 

itu. Ia tidak ingin mengecewakan mereka. sebab   itu, sebagai jalan 

keluar dari masalah itu, ia bertanya kepada putrinya, “Anakku, 

apakah engkau ingin menjadi seorang bhikkhunã?” Sekarang, 

Uppalavaõõà, yang memikul beban kehidupan terakhirnya, sangat 

gembira mendengar kata-kata ayahnya, bagaikan minyak harum 

yang dimurnikan seratus kali disiramkan ke atas kepalanya, “Ya, 

ayah, aku ingin menjadi seorang bhikkhunã,” ia menjawab dengan 

gembira.

Orang kaya itu mengirim putrinya Uppalavaõõa ke vihàra bhikkhunã 

sesudah   memberi   penghormatan kepadanya. Uppalavaõõà 

menjadi seorang bhikkhunã. Tidak lama sesudah   ia mendapat 

giliran untuk merapikan vihàra dan menyalakan pelita di luar 

simà, aula pertemuan. Di sana ia mengamati api yang menyala di 

pelita sebagai subjek meditasi. Ia berkonsentrasi pada unsur panas 

dalam api ini  , dan mencapai konsentrasi (Jhàna). Berdasarkan 

pada konsentrasi ini   sebagai objek Meditasi Pandangan Cerah, 

(melalui perenungan terhadap tiga corak fenomena jasmani dan 

batin, ia mencapai Pandangan Cerah ke dalam fenomena berkondisi) 

dan segera mencapai Kearahattaan. Sebagai akibat dari cita-cita 

masa lampaunya untuk menjadi yang terbaik dalam hal kekuatan 

batin, ia menjadi memiliki kemampuan dalam praktik Jhàna yang 

merupakan aset penting dalam kekuatan batin.

(c) Therã Uppalavaõõà sebagai bhikkhunã terbaik

Suatu hari saat   Therã Uppalavaõõà memperlihatkan kekuatan 

gaibnya pada tahun ketujuh sesudah   Buddha mencapai Pencerahan 

Sempurna. Sebelum melakukannya, ia terlebih dahulu berkata 

kepada Buddha, “Yang Mulia, sudilah Bhagavà memperbolehkan 

aku mendemonstrasikan kesaktianku.” Sehubungan dengan hal ini, 

Buddha, pada kesempatan lainnya saat   menganugerahkan gelar 

bhikkhunã terbaik, menyatakan:

“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang memiliki 

2891

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

kekuatan batin, Bhikkhunã Uppalavaõõà yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Therã Uppalavaõõà

(4) Therã Pañàcàrà

(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Therã Pañàcàrà terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota 

Haÿsàvatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. Suatu hari 

ia mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Buddha dan 

menyaksikan seorang bhikkhunã yang dinyatakan oleh Buddha 

sebagai bhikkhunã terbaik di antara mereka yang menguasai 

peraturan Vinaya. Ia bercita-cita untuk mencapai posisi yang 

sama pada masa depan dan sesudah   memberi   persembahan 

besar kepada Buddha, ia mengungkapkan cita-citanya untuk 

menjadi bhikkhunã terbaik dalam hal Vinaya. Buddha Padumuttara 

meramalkan bahwa cita-citanya akan tercapai.

Kehidupannya Sebagai Satu dari Tujuh Putri Raja Kikã

Putri orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur 

hidupnya. Saat meninggal dunia ia terlahir kembali di alam dewa 

dan di alam manusia silih berganti. Pada masa Buddha Kassapa, ia 

terlahir kembali sebagai putri ketiga dari tujuh putri terkenal Raja 

Kikã (dari Bàràõasã) seperti yang telah disebutkan sebelumnya; ia 

bernama Bhikkhunã, ia dan enam saudarinya tetap menjadi perawan, 

menjalani hidup suci seumur hidup mereka selama dua puluh 

ribu tahun, dan mereka bersama-sama mempersembahkan sebuah 

kompleks vihàra yang besar.

(b) Menjadi bhikkhunã dalam kehidupan terakhir

Putri raja itu, sesudah   meninggal dunia dari kehidupannya itu, 

terlahir kembali di alam dewa. Selama tahun-tahun yang tidak 

terhingga lamanya antara munculnya dua Buddha, ia hanya 

menikmati kenikmatan surgawi. Pada masa Buddha Gotama, ia 

terlahir kembali sebagai putri seorang kaya dari Sàvatthã.

2892


sesudah   dewasa ia jatuh cinta dengan seorang pelayan ayahnya. 

saat   orangtuanya mempersiapkan pernikahannya dengan putra 

seorang kaya yang lain, ia memperingatkan kekasihnya sehari 

sebelum hari pernikahan bahwa jika ia tidak segera menikahinya, 

hubungan cinta mereka akan berakhir. Pelayan itu juga sungguh 

mencintainya. Ia menikahinya, dengan membawa sedikit tabungan 

yang ia miliki, kedua kekasih itu diam-diam melarikan diri dan tiba 

di sebuah desa kecil, tiga atau empat yojanà jauhnya dari Sàvatthã.

Seiring berjalannya waktu, putri orang kaya itu hamil dan berkata 

kepada suaminya, “Suamiku, tempat ini terlalu terpencil bagi 

kita untuk melahirkan anak. Marilah kita kembali ke rumah 

ayahku.” Sang suami yaitu   orang yang penakut. Ia tidak berani 

menghadapi konsekuensi jika kembali ke rumah majikannya 

sehingga ia menunda-nunda. Sang istri lalu   memutuskan 

bahwa suaminya tidak akan mengantarkannya pulang ke rumah 

ayahnya dan memilih hari di mana suaminya tidak berada di rumah, 

ia berjalan sendirian ke rumah ayahnya.

saat   suami pulang dan mengetahui bahwa istrinya telah pulang 

ke rumah orangtuanya, ia merasa kasihan, “Ia harus menderita 

sebab   aku,” ia menyesal dan segera menyusul istrinya. Ia berhasil 

menyusulnya dalam perjalanan tetapi sang istri telah melahirkan 

anaknya. lalu   mereka sepakat bahwa berhubung tujuannya 

pulang ke rumah orangtuanya yaitu   agar dapat melahirkan anak 

dengan selamat, dan bahwa sekarang anak itu telah dilahirkan 

dengan selamat, tidak ada gunanya lagi mereka pulang ke rumah 

orangtuanya. Maka mereka pulang ke rumah mereka di desa 

kecil.

Menjelang kelahiran anak berikutnya, sang istri meminta agar 

suaminya membawanya ke rumah orangtuanya. Sang suami 

menunda-nunda seperti sebelumnya, dan sebab   tidak sabar, sang 

istri pergi sendirian. Dalam perjalanan itu ia melahirkan anak 

keduanya dengan selamat saat   suaminya berhasil menyusulnya. 

Pada waktu itu turun hujan lebat di empat penjuru. Sang istri 

meminta suaminya untuk mendirikan tempat berteduh dari hujan. 

2893

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

Ia membangun sebuah gubuk darurat dari kayu yang ia temukan. 

lalu   ia pergi mencari rumput untuk membangun tanggul di 

sekeliling gubuk kecil itu. Ia mencabut rumput dari tanah tanpa 

memerhatikan keadaan sekelilingnya.

Seekor ular kobra yang sedang berbaring di dalam tanah merasa 

terganggu dan mematuk orang itu yang mati sesaat   itu juga. Sang 

istri yang menunggu di dalam gubuk darurat itu, sesudah   menunggu 

semalam suntuk, berpikir bahwa suaminya telah meninggalkannya. 

Ia pergi mencarinya dan menemukan suaminya telah berbaring mati 

di tanah. “Oh, suamiku mati sebab   aku!” ia menangis. Dan sambil 

memegang tangan anak pertamanya dan menggendong bayinya, ia 

berjalan menuju Sàvatthã. Di depan, ia harus menyeberangi sungai 

yang dangkal (yang terlihat dalam). Ia berpikir bahwa ia tidak akan 

dapat menyeberanginya dengan membawa kedua anak sekaligus. 

Maka ia meninggalkan anak pertamanya di tepi sungai dan sesudah   

menyeberanginya sambil menggendong bayinya, ia meletakkan 

bayinya di tepi seberang, membungkusnya agar tetap hangat. 

Ia menyeberang kembali untuk menjemput anak pertamanya. 

Tetapi saat ia masih berada di tengah, seekor burung elang besar 

menyambar bayinya sebab   menganggapnya sebagai mangsanya. 

Sang ibu terkejut dan mencoba untuk mengusir burung itu tetapi 

isyarat tangannya disalahartikan oleh anak pertamanya sebagai 

panggilan untuk memasuki air. Ia terpeleset dan hanyut terbawa 

arus. Sebelum sang ibu berhasil mendatangi bayinya, burung itu 

telah menangkap bayi itu dan terbang menghilang. Ia meratapi 

nasibnya dalam setengah bait syair berikut:

“Kedua anakku telah mati!

Dan suamiku juga telah mati dalam perjalanan!”

Sambil meratap, ia melanjutkan perjalanannya menuju Sàvatthã. 

Setibanya di Sàvatthã, ia tidak dapat menemukan rumah orangtuanya. 

Hal itu mungkin sebab   kesedihannya, tetapi juga ada alasan lain 

yang menyebabkan kegagalannya menemukan rumah orangtua itu. 

sebab   sewaktu ia bertanya kepada para warga   di mana rumah 

orangtua itu yang dulunya terletak di sana, mereka menjawab, “Apa 

gunanya engkau mencari rumah itu? Rumah itu telah dihancurkan 

2894


oleh badai tadi malam. Semua penghuni rumah itu mati di dalam 

rumah yang runtuh. Mereka semua dikremasikan dalam satu 

tumpukan. Dan itu yaitu   tempat pemakaman mereka,” para 

warga   menunjukan asap tipis sisa pembakaran itu.

“Apa? Apa yang kalian katakan?” Hanya itulah yang mampu 

ia ucapkan dan jatuh pingsan. saat   sadar, ia kehilangan akal 

sehatnya. Ia tidak memedulikan kesopanan, tanpa mengenakan 

pakaian, dengan tangan terangkat liar, ia mendatangi tumpukan 

kayu sisa pembakaran itu dan meratap:

“Kedua anakku telah mati!

Dan suamiku juga telah mati dalam perjalanan!

Ibuku, ayahku, dan saudaraku, (telah tewas bersama,)

Telah dikremasi dalam satu tumpukan.”

Arti Kata ‘Pañàcàrà’

Putri orang kaya itu berkeliaran di kota dengan telanjang. saat   para 

warga   mencoba menutupi tubuhnya, ia merobek pakaian itu. 

Demikianlah ke mana pun ia pergi, ia dikelilingi oleh kerumunan 

orang yang keheranan. Ia lalu   dijuluki sebagai ‘Perempuan 

telanjang’ Pañàcàrà. (Atau dalam pengertian lain dari kata Pàëi 

artinya ‘perempuan tidak tahu malu’). Saat ia yang kehilangan akal 

sehatnya, meratapi peristiwa tragis itu, para warga   akan berkata, 

“Hei pergilah perempuan gila!” Beberapa orang akan melemparkan 

kotoran dan sampah ke atas kepalanya, beberapa orang bahkan 

melempar batu.

Pañàcàrà Menemukan Kedamaian

Buddha melihat Pañàcàrà berjalan tanpa arah sewaktu Beliau sedang 

membabarkan khotbah kepada para hadirin di Vihàra Jetavana. 

Melihat bahwa indrianya telah matang, Buddha berkehendak agar 

Pañàcàrà mendatangi-Nya di vihàra. Para warga   mencoba untuk 

mencegahnya datang ke vihàra tetapi Buddha berkata, “Jangan 

mencegahnya.” saat   ia medekat, Buddha berkata kepadanya, 

“Pañàcàrà, sadarlah!”

2895

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

Segera sesudah   mendengar kata-kata Buddha, berkat kekuatan Buddha, 

akal sehat Pañàcàra pulih kembali. Mengetahui ketelanjangnnya, ia 

duduk memeluk lutut sambil membungkuk, dan berusaha menutupi 

ketelanjangannya dengan kedua tangannya. lalu   seseorang 

melemparkan pakaian kepadanya yang segera ia pakai dengan cara 

menyelimuti dirinya. Ia mendekati Buddha. Dalam posisi bersujud, 

ia menceritakan kisah tragisnya sebagai berikut:

“Yang Mulia, sudilah Engkau menjadi pelindungku! Anak keduaku 

diterkam burung elang besar. Anak pertamaku hanyut di sungai. 

Suamiku mati dalam perjalanan. Orangtuaku dan saudara-saudaraku 

tewas dalam rumah yang runtuh dan mereka dikremasikan dalam 

satu tumpukan.”

Buddha berkata kepadanya, “Pañàcàrà jangan ragu. Engkau telah 

datang kepada siapa engkau dapat berlindung. Seperti engkau telah 

meneteskan air mata sebab   kehilangan anak-anakmu, suamimu, 

ayah dan ibumu, demikian pula engkau telah meneteskan banyak 

air mata, yang bahkan lebih banyak daripada air di empat samudra, 

selama berada dalam lingkaran kehidupan yang tidak berawal.” 

Bhagavà juga mengucapkan syair berikut:

“Pañàcàrà, air di empat samudra masih lebih sedikit jika dibandingkan 

dengan jumlah air mata yang telah diteteskan seseorang sebab   

kesedihan yang ditimbulkan oleh kehilangan orang yang ia sayangi. 

Sekarang, anak-Ku, mengapa engkau begitu lalai? Waspyaitu  .”

Mendengar khotbah Buddha yang berisikan perspektif saÿsàra, 

kesedihan dalam batin Pañàcàra berkurang. Bhagavà, mengetahui 

bahwa Pañàcàrà telah dapat menguasai kesedihannya, membabarkan 

lebih lanjut sebagai berikut, “Pàñàcàrà, anak atau suami tidak dapat 

melindungi seseorang dalam perjalanan sesudah   kematian, mereka 

bukanlah perlindungan bagi seseorang. Oleh sebab   itu, walaupun 

anak atau suami masih hidup, mereka sama seperti tidak ada bagi 

seorang pengembara di dalam saÿsàra. Seorang bijaksana harus 

menyucikan moralitasnya dan menjalani praktik mulia yang 

mengarah menuju Nibbàna.”

2896


lalu   Buddha mengucapkan syair berikut:

“Pañàcàrà, saat   seseorang jatuh menjadi korban kematian, anak 

atau orang tua atau saudara tidak dapat melindunginya; sanak 

saudara seseorang tidak mampu memberi   perlindungan.”―

Dhammapada, v.288.

“Mengetahui tidak adanya perlindungan terhadap kematian, 

orang bijaksana yang terkendali moralitasnya harus bergegas 

membersihkan Jalan Ariya yang mengarah menuju Nibbàna.”

Pada akhir khotbah itu Pañàcàrà membakar kotorannya yang tidak 

terhingga melalui Pengetahuan Pemenang Arus dan mencapai 

Sotàpatti-Magga.

sesudah   menjadi seorang Pemenang Arus, Pañàcàrà memohon 

agar Buddha menahbiskannya menjadi bhikkhunã. Buddha 

menyerahkannya kepada para bhikkhunã dan ia ditahbiskan menjadi 

seorang bhikkhunã.

Bagaimana Pañàcàrà Mencapai Kearahattaan

Suatu hari Bhikkhunã Pañàcàrà sedang mencuci kakinya. Sewaktu 

ia menyiramkan air ke kakinya, air mengalir sebentar lalu   

berhenti. saat   gayung kedua disiramkan, air itu mengalir sedikit 

lebih jauh dari air pertama lalu   berhenti. saat   gayung ketiga 

disiramkan, air itu mengalir sedikit lebih jauh dari gayung kedua. 

Pañàcàrà yang telah menjadi seorang Pemenang Arus, bermeditasi 

pada fenomena tiga aliran air ini  , dan menerapkannya dalam 

tiga periode kehidupan sebagai berikut:

“Seperti halnya aliran pertama akan berhenti di tempat yang dekat, 

makhluk-makhluk hidup dapat mengalami kematian dalam periode 

pertama kehidupan mereka. Seperti halnya aliran kedua yang 

mengalir lebih jauh daripada aliran pertama dan berhenti, demikian 

pula makhluk-makhluk hidup dapat mengalami kematian dalam 

periode menengah kehidupan mereka.

2897

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

Dan seperti halnya aliran ketiga yang mengalir lebih jauh daripada 

aliran kedua dan berhenti, demikian pula makhluk-makhluk hidup 

dapat mengalami kematian dalam periode terakhir kehidupan 

mereka.”

Lebih jauh lagi ia merenungkan bahwa seperti halnya tiga aliran air 

yang harus berhenti dan lenyap, demikian pula makhluk-makhluk 

hidup harus menghentikan kehidupannya dan binasa. Demikianlah 

ketidakkekalan dari segala sesuatu membangkitkan Pandangan 

Cerah ke dalam semua fenomena berkondisi. Dari Pandangan Cerah 

atas ketidakkekalan itu, corak penderitaan (dukkha) dari semua 

fenomena berkondisi terbit dalam batinnya yang berkondisi; dan 

selanjutnya tanpa-diri, kekosongan dari segela fenomena berkondisi 

juga terlihat.

Merenungkan dalam-dalam tiga corak ini, ia masuk ke dalam kutinya 

untuk mendapatkan kenyamanan suhu. Di sana ia meletakkan 

lampu minyak di tempat biasanya dan untuk memadamkannya, ia 

menarik turun sumbunya dengan memakai   jarum.

Tepat pada saat itu, Buddha yang sedang duduk di dalam kuñã-Nya 

mengirimkan Cahaya-Buddha kepada Pañàcàrà, memperlihatkan 

diri-Nya dan berkata:

“Pañàcàrà, engkau berpikir benar; semua makhluk hidup pasti 

mengalami kematian. Oleh sebab   itu, sia-sialah hidup selama 

seratus tahun tanpa persepsi benar tentang lima kelompok 

kehidupan, tentang muncul dan lenyapnya; lebih baik hidup selama 

satu hari dengan penuh pemahaman terhadap lima kelompok 

kehidupan.”

Buddha menegaskan hal ini melalui syair sebagai berikut:

“Pañàcàrà, bahkan jika seseorang hidup selama seratus tahun 

tanpa melihat (melalui Pandangan Cerah) muncul dan lenyapnya 

fenomena berkondisi (yaitu, batin-dan-jasmani), yaitu   lebih baik 

hidup selama satu hari bagi seseorang yang melihat muncul dan 

2898


lenyapnya batin-dan-jasmani.” (Dhammapada, v.13)

Pada akhir khotbah itu, Pañàcàrà mencapai Kearahattaan lengkap 

dengan Empat Pengetahuan Diskriminatif.

(c) Pañàcàrà sebagai bhikkhunã terbaik

sesudah   mencapai Kearahattaan, Pañàcàrà memelajari Vinaya dari 

Buddha secara mendalam dan memberi   penilaian bijaksana 

atas segala permasalahan yang berhubungan dengan Vinaya. Oleh 

sebab   itu, pada suatu kesempatan saat   Buddha berada dalam 

suatu pertemuan di Vihàra Jetavana untuk menganugerahkan gelar 

bhikkhunã terbaik, Beliau menyatakan:

“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang bijaksana 

(terampil) dalam Vinaya, Bhikkhunã Pañàcàrà yaitu   yang 

terbaik.”

Demikianlah kisah Therã Pañàcàrà.

(5) Therã Dhammadinnà

(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Therã Dhammadinnà terlahir dalam sebuah keluarga miskin 

berkasta rendah di Kota Haÿsàvatã pada masa kehidupan Buddha 

Padumuttara. Ia yaitu   orang yang bijaksana dan bajik. Suatu hari 

Yang Mulia Sujàta, Siswa Utama Buddha Padumuttara, datang untuk 

mengumpulkan dàna makanan. Ia bertemu Yang Mulia Sujàta saat ia 

sedang membawa air dan mempersembahkan kue yang merupakan 

bekalnya. Yang Mulia Sujàta, sebagai penghargaan atas baktinya, dan 

ingin melimpahkan berkah atas kebajikannya, duduk dan memakan 

kue itu saat itu juga.

Yang Mulia Sujàta yang baru bangun dari pencapaian Penghentian, 

kondisi yang mendukung akibat yang langsung berbuah dari suatu 

kebajikan.

2899

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

Rasa bakti perempuan pekerja itu tumbuh begitu cepat sehingga ia 

memotong rambutnya (yang indah) dan menjualnya dengan harga 

murah. Dengan uang yang sedikit namun diperoleh dengan cara 

yang benar, ia membeli makanan untuk dipersembahkan kepada 

Yang Mulia Sujàta di rumahnya. saat   majikannya mengetahui 

perbuatan mulia itu, ia begitu gembira sehingga ia menikahkannya 

dengan putranya dan ia menjadi menantu si orang kaya.

Suatu hari, menantu orang kaya itu berkunjung ke vihàra Buddha 

bersama ibu mertuanya. saat   ia sedang mendengarkan khotbah 

Buddha, ia melihat Buddha menunjuk seorang bhikkhunã 

sebagai yang terbaik dalam hal menjelaskan Dhamma. Ia sangat 

berkeinginan untuk mencapai gelar yang sama pada masa depan. Ia 

memberi   persembahan besar kepada Buddha dan Saÿgha dan 

bercita-cita untuk mencapai posisi ini  . Buddha Padumuttara 

meramalkan bahwa cita-citanya akan tercapai dalam masa ajaran 

Buddha Gotama.

Kehidupannya Sebagai Penjaga Harta Istana

Menantu orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur 

hidupnya dan sesudah   umur kehidupannya berakhir, ia meninggal 

dunia dan terlahir kembali di alam dewa. Selanjutnya ia mengembara 

hanya di alam manusia dan alam dewa. Sembilan puluh dua siklus 

dunia sebelum siklus dunia sekarang, ia terlahir kembali sebagai istri 

seorang kaya yang menjadi pejabat penjaga harta istana bagi tiga 

pangeran yang merupakan adik tiri Buddha. Ia sangat dermawan 

sehingga jika seseorang meminta satu, ia akan memberi   dua. 

(Sehubungan dengan kisah si petugas penjaga harta dan istrinya, 

baca bab terdahulu.)

Kehidupannya Sebagai Salah Satu dari Tujuh Putri Raja Kikã

Istri orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya, 

sesudah   umur kehidupannya berakhir, ia meninggal dunia dan 

terlahir kembali di alam dewa. Pada masa Buddha Kassapa, ia 

terlahir kembali sebagai Putri Sudhammà, putri keenam dari 

tujuh putri Raja Kikã dari Bàràõasã, seperti yang telah disebutkan 

2900


sebelumnya. Bersama saudari-saudarinya ia tetap menjadi perawan, 

menjalani kehidupan suci seumur hidupnya selama dua puluh 

ribu tahun, dan menjadi salah satu penyumbang bersama saudari-

saudarinya yang mempersembahkan sebuah kompleks vihàra besar 

kepada Saÿgha.

(b) Menjadi bhikkhunã dalam kehidupan terakhirnya

Putri Sudhammà melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya 

dan saat meninggal dunia, ia terlahir kembali di alam dewa. Dari 

sana, ia mengembara hanya di alam dewa dan alam manusia 

selama tahun-tahun yang tidak terhingga lamanya. Pada masa 

Buddha Gotama, ia terlahir kembali dalam sebuah keluarga kaya 

di Ràjagaha. Saat ia menginjak usia menikah, ia menikah dengan 

seorang kaya bernama Visàkha dan dikenal oleh orang-orang sebagai 

Dhammadinnà, istri si orang kaya.

Visàkha dan Dhammadinnà, sembilan puluh dua siklus dunia 

sebelumnya, juga merupakan pasangan kaya sebagai Penjaga 

Harta istana dan istrinya pada masa Buddha Phussa yang layak 

dicatat dalam perjalanan kebebasan mereka. Visàkha si orang kaya 

yaitu   salah satu dari seratus satu siswa Buddha yang mencapai 

Pengetahuan Pemenang Arus pada hari Buddha tiba di Ràjagaha 

(pada hari purnama di bulan Pyatho (Januari) tahun 103 Mahà Era). 

Ia yaitu   sahabat Raja Bimbisàra.

sesudah   menjadi seorang Ariya sebagai Pemenang Arus, Visàkha 

pada lalu   hari mendengarkan khotbah Buddha dan mencapai 

Sakadàgàmã-Phala (Yang Sekali Kembali) dan lalu   ia mencapai 

Anàgàmã-Phala, (Yang Tak Kembali). Begitu ia menjadi seorang 

Yang Tak Kembali, penampilan dan sikapnya berubah secara drastis. 

Jika ia pulang ke rumah berharap untuk melihat istrinya, wajahnya 

penuh dengan senyuman, penampilannya tenang, air mukanya 

cerah dan pikirannya damai.

Istrinya, Dhammadinnà, seperti biasanya, melihat melalui jendela 

yang berhiaskan ukiran menunggu kepulangan suaminya. saat   

ia melihat penampilan tenang suaminya berjalan pulang, ia 

2901

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

merasa aneh, “Apa yang terjadi?” ia berpikir. Ia menuruni tangga 

dan merentangkan tangannya menyambut suaminya. Walaupun 

sudah menjadi kebiasaan untuk menggenggam tangan istrinya 

dan berjalan menaiki tangga (sambil berbincang-bincang), pada 

hari itu, ia menarik tangannya dan tidak merangkul istrinya. 

“Mungkin aku akan mengetahuinya nanti di meja makan,” pikir 

sang istri. Tetapi saat makan pagi, sang suami tidak makan bersama 

istrinya, melainkan makan sendirian dan berdiam diri bagaikan 

seorang bhikkhu yang sedang bermeditasi. “Mungkin aku akan 

mengetahuinya nanti malam,” ia berpikir.

Tetapi malam harinya, Visàkha tidak memasuki kamar mereka. 

Melainkan menyiapkan sebuah kamar terpisah sebagai kamar 

tidurnya dan tidur sendirian. Sang istri mulai cemas, “Apakah 

suamiku berselingkuh? Atau apakah orang lain telah menyebabkan 

kesalahpahaman antara kami? Atau apakah ia melihat cacat dalam 

diriku?” Spekulasi-spekulasi yang tidak berdasar ini menggerogoti 

batinnya. sesudah   dua atau tiga hari ia tidak tahan lagi melihat 

sikap sang suami. Ia berdiri, dan dengan merangkapkan tangannya 

menghormati suaminya, ia menunggu reaksinya. lalu   sang 

suami berkata:

“Mengapa engkau mendatangiku pada saat yang tidak tepat ini?”

“Saat yang tidak tepat, ya, suamiku. Tetapi engkau sudah berubah 

sekarang. Ada apa denganmu? Apakah ada perempuan lain selain 

diriku?”

“Tidak, Dhammadinnà, tidak ada perempuan lain.”

“Kalau begitu, apakah seseorang telah mengadu-domba kita?”

“Tidak, tidak ada hal seperti itu.”

“Kalau begitu, apakah engkau melihat cacat dalam diriku?”

“Tidak, Dhammadinnà, engkau tidak memiliki cacat apa pun.”

2902


“Kalau begitu, mengapa engkau menjauhiku seolah-olah kita yaitu   

orang asing satu sama lain dan bukannya suami istri? Engkau tidak 

banyak berbicara denganku beberapa hari terakhir ini.”

Ditanya demikian oleh istrinya, Visàkha merenungkan, “Dhamma 

spiritual yaitu   hal yang sangat mendalam, tidak mudah 

menjelaskannya seperti hal-hal duniawi. Kalau memungkinkan, 

lebih baik aku menyimpannya sendiri. Tetapi sekarang, jika aku 

tidak menjelaskan, Dhammadinnà pasti akan beranggapan keliru 

dan menjadi patah hati.”

Dengan pikiran demikian, Visàkha berkata:

“Dhammadinnà, sesudah   aku mendengarkan khotbah Buddha, 

aku telah memahami Dhamma spiritual. Seseorang yang telah 

memahami spiritualitas akan melihat urusan duniawi menjadi 

tidak cocok baginya. Jika engkau mau, ada empat puluh crore 

harta yang diberikan oleh orangtuamu kepada kita, dan ada empat 

puluh crore lagi yang diberikan oleh orangtuaku kepada kita, harta 

kekayaan bernilai delapan puluh crore ini kuserahkan kepadamu, 

dan perlakukanlah aku seperti ibu atau kakakmu. Aku akan puas 

dengan cara apa pun engkau merawatku. Atau, engkau juga boleh, 

mengambil seluruh harta kekayaan itu dan pulang ke rumah 

orangtuamu. Jika engkau tidak dapat memberi   hatimu kepada 

laki-laki lain, aku akan merawatmu seperti adik atau anakku.”

Mendengar kata-kata jujur suaminya itu, Dhammadinnà merasa 

puas. Ia berpikir, “Tidak ada orang yang dapat mengatakan hal 

itu. Suamiku pasti sungguh telah memahami Dhamma spiritual. 

Tetapi, apakah spiritualitas hanya dapat dimiliki oleh para laki-laki? 

Mungkinkah seorang perempuan dapat memahaminya?” Dengan 

merenungkan demikian, ia bertanya kepada suaminya, “Suamiku, 

apakah Dhamma spiritual hanya milik kaum laki-laki? Apakah 

perempuan juga dapat memahaminya?”

“Mengapa, Dhammadinnà, siapa pun, laki-laki atau perempuan, 

yang mempraktikkan Dhamma sesuai dengan ajaran dengan tekun 

dapat menjadi pewaris Buddha dalam hal Dhamma. Jika seseorang 

2903

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

memiliki kondisi yang cukup, yaitu, jasa masa lampau, untuk 

mencapai Pengetahuan Jalan, Spiritualitas dapat dicapai.”

“Kalau beg itu, izinkahlah aku untuk menjadi seorang 

bhikkhunã.”

“Baiklah, istriku, aku senang engkau bercita-cita untuk mencapai 

spiritualitas. Aku tidak menyarankannya kepadamu sebab   aku 

tidak mengetahui tanggapanmu.”

Visàkha lalu   bergegas menghadap Raja Bimbisàra yang 

bertanya, “O orang kaya, apakah tujuanmu datang pada saat yang 

tidak tepat ini?”

“Tuanku,” Visàkha berkata, “Dhammadinnà ingin menjadi seorang 

bhikkhunã.”

“Apa yang harus kusediakan untuk Dhammadinnà?”

“Tuanku, aku hanya ingin memohon dua hal, tandu emas dan 

merapikan kota.”

Raja menyanggupi dua permohonan itu.

Perayaan Besar Saat Dhammadinnà Menjadi Seorang 

Bhikkhunã

Visàkha memandikan Dhammadinnà dengan air harum, 

memakaikan pakaian indah dan menuntunnya naik ke dalam 

tandu. lalu  , dengan dikelilingi oleh sanak saudaranya (dan 

sanak saudara suaminya), ia dibawa ke vihàra bhikkhunã melalui 

kota yang dihias dengan keharuman dupa dan bunga-bungaan. 

Di vihàra bhikkhunã, Visàkha diminta oleh para bhikkhunã untuk 

mengizinkan istrinya Dhammadinnà untuk menjadi seorang 

bhikkhunã. “O orang kaya,” mereka berkata, “maafkanlah jika ia 

pernah berbuat kesalahan sekali atau dua kali.” (Mereka berpikir 

si orang kaya itu mengabaikan istrinya.)

2904


“Yang Mulia,” orang kaya itu menjawab, “Istriku tidak melakukan 

kesalahan apa pun, ia menjalani kehidupan suci atas kemauannya 

sendiri.”

Selanjutnya, seorang bhikkhunã yang menguasai Vinaya memberi   

instruksi kepada Dhammadinnà untuk merenungkan kejijikan dari 

badan jasmani yang dimulai dari kelompok lima unsur, yaitu, 

rambut, bulu badan, kuku, gigi, dan kulit. lalu   ia mencukur 

rambut Dhammadinnà, memakaikan jubah. Visàkha lalu   

bersujud kepada Bhikkhunã Dhammadinnà dan berkata, “Yang 

Mulia, berbahagialah dalam kehidupan suci di dalam Dhamma. 

Buddha telah mengajarkan kepada kita Dhamma yang agung pada 

awal, pada pertengahan, dan pada akhir.” lalu   ia pulang ke 

rumahnya.

Sejak hari Dhammadinnà menjadi seorang bhikkhunã, ia menerima 

banyak penghormatan dan persembahan dari para warga  . 

Melihat banyaknya pengunjung, ia hanya memiliki sedikit waktu 

untuk bermeditasi. (Hanya sampai di sini kisah Dhammadinnà 

yang dikutip dari Komentar Majjhima Nikàya, MÃ¥la Paõnàsa, 

Cåëavedalla Sutta.)

Therã Dhammadinnà mempertimbangkan, “Visàkha telah 

mengakhiri dukkha bahkan selagi masih sebagai perumah tangga. 

Aku sebagai seorang bhikkhunã juga harus dapat mengakhiri 

dukkha.” Ia mendatangi penahbisnya dan berkata, “Yang Mulia, 

aku lelah hidup di tempat seperti ini yang penuh dengan lima 

kenikmatan indria, aku ingin pergi dan menetap di vihàra di sebuah 

desa kecil.” Si penahbis memahami bahwa keinginan Dhammadinnà 

tidak boleh diabaikan sebab   ia berasal dari keluarga mulia, dan 

sebab   itu ia membawanya ke sebuah vihàra di sebuah desa kecil.

Berkat latihan meditasi yang pernah ia lakukan dalam banyak 

kehidupan lampau dengan melihat menembus sifat dari fenomena 

berkondisi, Dhammadinnà tidak memerlukan waktu yang lama 

untuk mencapai Pandangan Cerah dan mencapai Kearahattaan 

lengkap dengan Empat Pengetahuan Diskriminatif. lalu   

sesudah   mengetahui pencapaiannya, ia mempertimbangkan di 

2905

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

manakah tempat yang cocok baginya untuk menolong orang lain 

untuk mencapai Pencerahan. Di sana tidak ada banyak kesempatan 

sebab   desa itu hanyalah sebuah desa kecil sedangkan di Ràjagaha 

ia akan dapat membantu sanak saudaranya. Maka ia memutuskan 

untuk kembali ke Ràjagaha dan, sesudah   memohon penahbisnya agar 

menyertainya, ia kembali ke Ràjagaha.

Pertanyaan-pertanyaan Visàkha Sehubungan Dengan Dhamma

saat   Visàkha mengetahui bahwa Therã Dhammadinnà telah 

kembali ke Ràjagaha, ia ingin mengetahui mengapa, sesudah   pergi 

menetap di sebuah desa kecil, bhikkhunã ini   kembali lagi 

begitu cepat. Ia pergi menemuinya tetapi ia tidak ingin mengajukan 

pertanyaan langsung apakah dalam menjalani kehidupan suci 

ia merasa betah seperti di rumah sendiri. Sebaliknya, ia akan 

mengajukan pertanyaan yang mendalam sehubungan dengan lima 

kelompok kehidupan yang menjadi objek kemelekatan (tentang 

sakkàyadiññhi), dan akan menilai batinnya dari jawaban-jawabannya. 

Maka sesudah   bersujud, ia duduk di tempat yang semestinya dan 

mengajukan pertanyaan-pertanyaan ajaran sehubungan dengan lima 

kelompok kehidupan yang menjadi objek kemelekatan. (pertanyaan-

pertanyaan dan jawaban ini dapat dibaca dari Målapaõõàsa, 5-

Cåëayamaka Vagga, 4-Cåëavedalla Sutta.)

Dhammadinnà menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh 

Visàkha dengan cepat bagaikan derap kaki kuda yang berlari dan 

dengan tepat bagaikan tangkai teratai yang dipotong dengan belati 

yang tajam. Visàkha mengetahui intelektualitas Dhammadinnà 

dan melanjutkan dari hal-hal yang berhubungan dengan (tiga) 

Pengetahuan Magga yang lebih rendah yang telah ia pahami. 

lalu   ia melanjutkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan 

Arahatta-Magga yang ia sendiri belum mencapainya tetapi hanya 

berdasarkan pengetahuan yang berasal dari apa yang ia dengar. 

Dhammadinnà mengetahui bahwa Visàkha mampu mengajukan 

pertanyaan yang berhubungan dengan Anàgàmã-Phala, dan bahwa 

ia telah melampaui pengetahuannya saat ia menanyakan:

“Yang Mulia, apakah pendamping Nibbàna?” Dhammadinnà 

2906


berkata, “Teman Visàkha, pertanyaanmu telah berlebihan; tidaklah 

mungkin bagimu untuk mencapai batas pertanyaan itu. (Tidaklah 

mungkin baginya untuk mencapai batas pertanyaan itu sebab   ia 

menanyakan pendamping Nibbàna, sedangkan Nibbàna itu unik 

dan tidak memiliki pendamping.) Sesungguhnya, teman Visàkaha, 

praktik mulia kesucian terdiri dari Tiga Latihan yang mengarah 

menuju Nibbàna, memiliki tujuan tertinggi Nibbàna, dan berakhir 

pada Nibbàna. Teman Visàkha, engkau boleh menghadap Bhagavà 

dan meminta Beliau untuk menjelaskan hal ini. Dan ingatlah 

penjelasan Bhagavà itu.”

lalu   Visàkha menghadap Buddha dan menceritakan kepada 

Beliau semua yang telah dikatakan antara dirinya dengan Therã 

Dhammadinnà. saat   Buddha mendengar seluruh pertanyaan 

dan jawaban yang terjadi antara Visàkha dan Dhammadinnà, Beliau 

berkata, “Bhikkhunã Dhammadinnà telah bebas dari segala bentuk 

kemelekatan baik terhadap kelompok-kelompok khandhà masa 

lampau, masa depan, atau masa sekarang.” lalu   Buddha 

mengucapkan syair berikut:

“(Visàkha,) ia yang tidak melekat pada kelompok-kelompok 

kehidupan pada masa lampau, masa depan atau masa sekarang, 

telah bebas dari noda-noda moral dan dari kemelekatan, ia Kusebut 

bràhmaõa (yaitu, Arahanta).” (Dhammapada, v.421)

Pada akhir khotbah ini   banyak pendengar yang mencapai 

Pencerahan dan Buahnya dalam berbagai tingkat.

lalu   Buddha memuji Dhammadinnà dan berkata, “Visàkha, 

umat awam, Bhikkhunã Dhammadinnà seorang bijaksana, 

Bhikkhunã Dhammadinnà memiliki pengetahuan luas. Visàkha, 

engkau meminta jawaban dari-Ku atas pertanyaan-pertanyaan 

itu, Aku juga akan menjawabnya dengan cara yang sama seperti 

jawaban Bhikkhunã Dhammadinnà. Inilah jawaban-jawaban atas 

pertanyaan-pertanyaan itu. Ingatlah jawaban yang diberikan oleh 

Dhammadinnà.” (Peristiwa ini melatarbelakangi Dhammadinnà 

dinyatakan sebagai bhikkhunã terbaik dalam menjelaskan 

Dhamma.)

2907

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

(Harus dimengerti bahwa khotbah yang dibabarkan oleh 

Dhammadinnà, saat   ditegaskan kembali oleh Buddha dalam 

kata-kata yang lebih jelas, menjadi khotbah Buddha sendiri. Seperti 

halnya pesan (yang ditulis oleh juru tulis) yang disahkan dan disegel 

dengan cap kerajaan, menjadi pesan raja. Khotbah-khotbah lainnya 

yang dibabarkan oleh para siswa lainnya yang telah disahkan oleh 

Buddha juga dianggap sebagai khotbah Buddha.)

(c) Menjadi bhikkhunã terbaik

Pada lalu   hari saat   Buddha berada di Vihàra Jetavana di 

Sàvatthã, dan menganugerahkan gelar bhikkhunã terbaik, Beliau 

menyatakan:

“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang terampil 

dalam membabarkan Dhamma, Bhikkhunã Dhammadinnà yaitu   

yang terbaik.”

Demikianlah kisah Therã Dhammadinnà.

(6) Therã Nandà

(Nama lengkap Therã Nandà yaitu   Therã Janapadakalyàõã 

RÃ¥panandà. Kisahnya telah diceritakan sebelumnya pada bab 

yang menjelaskan tentang Vijaya Sutta. Dalam bab ini hanya kisah 

singkatnya yang akan dijelaskan seperti yang terdapat dalam 

Komentar Aïguttara Nikàya.)

(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Therã Nandà terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota 

Haÿsàvatã pada masa Buddha Padumuttara. saat   ia sedang 

mendengarkan khotbah Buddha, ia menyaksikan Buddha 

menganugerahkan gelar bhikkhunã terbaik di antara para 

bhikkhunã yang menikmati kebahagiaan Jhàna. Ia bercita-cita 

untuk mendapatkan gelar yang sama dan sesudah   memberi   

persembahan besar, ia mengungkapkan cita-citanya untuk menjadi 

2908


bhikkhunã terbaik pada masa depan dalam hal kebahagiaan Jhàna. 

Buddha meramalkan bahwa cita-citanya akan tercapai.

(b) Menjadi bhikkhunã dalam kehidupan terakhir

sesudah   meninggal dunia, ia mengembara hanya di alam bahagia 

selama seratus ribu siklus dunia. Dalam kehidupan terakhirnya, 

ia terlahir sebagai seorang Putri Sakya yang kelak dinikahkan 

dengan Pangeran Nanda. Ia juga dipanggil dengan nama Putri 

AbhirÃ¥panandà, dan sebab   kecantikannya, ia juga dipanggil 

dengan nama Putri Janapadakalyànã.

Terlahir dari Ratu Mahàpajàpatã Gotamã, Putri AbhirÃ¥panandà 

(Janapadakalyàõã) yaitu   calon pengantin yang telah dipersiapkan 

untuk Pangeran Nanda. Tetapi saat   Pangeran Nanda, Pangeran 

Ràhula, dan beberapa kerabat dekat Buddha telah ditahbiskan 

menjadi bhikkhu pada saat Buddha berkunjung ke Kapilavatthu, dan 

lalu   sesudah   Raja Suddhodana meninggal dunia, ibu-Nya Ratu 

Mahàpajàpatã Gotamã dan Ratu Yasodharà, ibu Pangeran Ràhula, 

juga bergabung dalam Saÿgha Bhikkhunã, Putri Janapadakalyàõã 

melihat bahwa tidak ada gunanya lagi ia tetap tinggal di istana. Ia 

bergabung dengan ibunya, Bhikkhunã Mahàpajapatã Gotamã, sebagai 

seorang bhikkhunã.

Sejak menjadi bhikkhunã, ia tidak pergi menghadap Buddha pada hari 

yang telah ditetapkan baginya untuk menerima nasihat dari Buddha 

seperti halnya para bhikkhunã lainnya, sebab   Buddha dikenal suka 

mencela kecantikan fisik seseorang. Ia mengirim bhikkhunã lain 

untuk menerima nasihat dari Buddha mewakilinya. Buddha tahu 

bahwa ia bangga akan kecantikan fisiknya dan memerintahkan 

agar bhikkhunã ini   harus datang sendiri menghadap Buddha 

untuk menrima nasihat dan bukannya mewakilkan kepada orang 

lain. Bhikkhunã AbhirÃ¥panandà harus mematuhi perintah ini   

dan terpaksa datang menghadap Buddha.

Buddha dengan kekuatan batin-Nya menciptakan seorang gadis 

yang sangat cantik berdiri di samping Beliau sedang mengipasi 

Beliau dengan kipas daun kelapa. saat   RÃ¥panandà melihat gadis 

2909

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

itu, kebanggaannya terhadap kecantikannya lenyap. “Mengapa,” 

ia berpikir. “Aku begitu menyombongkan kecantikanku! Sungguh 

memalukan! Di sini ada seorang gadis yang kecantikannya tidak 

dapat kutandingi, aku bahkan tidak menyamai 1/256 kecantikannya. 

Betapa bodohnya aku menjauhi Bhagavà.” Ia berdiri di sana 

terpesona melihat kecantikan gadis ciptaan yang berdiri di dekat 

Buddha.

Therã RÃ¥panandà memiliki kondisi yang cukup (dari jasa kebajikan 

yang terkumpul dalam kehidupan lamnpaunya) sehingga sesudah   

mendengarkan satu syair yang dimulai dengan:

“Aññhãnaÿ nagaraÿ kataÿ...” (Kejijikan badan jasmani; Dhammapada 

v.150) dan satu Sutta yang berjudul Vijaya Sutta yang dimulai 

dengan

“Caraÿ và yadi và tiññham nisinno uda và sayaÿ... “ (“Selagi berjalan, 

atau berdiri, atau duduk, atau berbaring... menjelaskan unsur-unsur 

badan jasmani yang pada dasarnya tidak berbeda dengan mayat; 

Sutta Nipàta, Vijaya Sutta)―ia bermeditasi dengan tekun dengan 

merenungkan kekosongan dari makhluk-makhluk hidup dan dalam 

dua atau tiga hari, ia mencapai Kearahattaan.

(c) Menjadi bhikkhunã terbaik

Sejak saat ia mencapai Kearahattaan, Therã RÃ¥panandà tidak ada 

tandingannya di antara para bhikkhunã dalam hal kebahagiaan 

Jhàna. sebab   itu, pada kesempatan penganugerahan gelar 

bhikkhunã terbaik saat Buddha berada di Vihàra Jetavana, Buddha 

menyatakan,

“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang mendapatkan 

kebahagiaan Jhàna, Bhikkhunã Nandà yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Therã Nandà.

2910


(7) Therã (Bahuputtika) Soõà

(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Therã Bahuputtika Soõà terlahir dalam sebuah keluarga 

kaya di Kota Haÿsàvatã pada masa Buddha Padumuttara. saat   ia 

sedang mendengarkan khotbah Buddha, ia menyaksikan seorang 

bhikkhunã yang dinyatakan sebagai bhikkhunã terbaik dalam hal 

usaha yang tekun. Ia bercita-cita untuk mendapatkan gelar yang 

sama pada masa depan. Ia memberi   persembahan besar dan 

mengungkapkan cita-citanya untuk mencapai gelar ini   pada 

masa depan. Buddha Padumuttara meramalkan bahwa cita-citanya 

akan tercapai.

(b) Menjadi bhikkhunã dalam kehidupan terakhir

Putri orang kaya itu mengembara hanya di alam bahagia selama 

seratus ribu siklus dunia dan pada masa Buddha Gotama ia terlahir 

dalam sebuah keluarga kaya di Sàvatthã. Ia menikah dengan putra 

orang kaya lainnya dan menetap di rumah suaminya. Ia melahirkan 

sepuluh anak dan dikenal dengan nama Soõa, si banyak anak.

saat   suaminya menjadi bhikkhu, ia mengatur pernikahan sepuluh 

anaknya dan mewariskan semua harta kekayaannya kepada mereka, 

tanpa menyisakan sedikit pun untuk dirinya sendiri. Anak-anak 

itu yaitu   anak yang tidak berbakti terhadap ibu mereka. Tidak 

satu pun dari mereka yang menerima ia untuk menetap di rumah 

mereka selama lebih dari dua atau tiga hari, sesudah   itu mereka akan 

memperlakukannya dengan tidak ramah.

Perempuan tua itu menjadi orang yang tidak diharapkan, ibu 

putus asa yang diabaikan oleh anak-anaknya sendiri. Memahami 

posisinya, ia memutuskan bahwa ia harus melepaskan keduniawian 

dan menjadi seorang bhikkhunã. sesudah   ia menjadi bhikkhunã, 

para bhikkhunã senior akan memarahinya atas kesalahan kecil 

yang ia lakukan. Sering kali ia harus menerima hukuman dari 

para seniornya. Jika anak-anaknya yang tidak berbakti melihatnya 

menjalani hukuman, bukannya merasa kasihan terhadap perempuan 

2911

Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta

tua itu, mereka akan menertawakannya dan berkata, “Perempuan 

tua ini masih belum memelajari disiplin.”

Kata-kata kasar yang dilontarkan oleh anak-anaknya itu 

membangkitkan semangat religius dalam dirinya. “Aku tidak 

hidup lama. Aku harus melindungi diriku dari alam-alam 

sengsara.” Dengan merenungkan demikian, ia tidak membuang-

buang waktu, apakah dalam keadaan duduk, atau berjalan, atau 

berdiri, atau berbaring, ia selalu merenungkan tiga puluh dua aspek 

(unsur-unsur) badan jasmani. Setiap ada waktu kosong sesudah   

menyelesaikan tugas-tugas Saÿgha, ia akan bermeditasi sepanjang 

malam. sebab   ia melihat bahwa pada usianya yang telah lanjut 

sebagai bhikkhunã, ia tidak boleh membuang waktu dengan lalai. 

Saat duduk bermeditasi pada malam hari ia akan berpegangan 

pada sebuah tiang di lantai dasar vihàra, dan tidak melepaskannya. 

Saat bermeditasi jalan pada malam hari, ia memegang tongkat 

di tangannya, sebab   khawatir ia dapat menabrak sesuatu dalam 

kegelapan. (Sesuai Komentar Therãgàthà.)

Nama Therã Soõà Selalu Dihubungkan Dengan Usaha 

Sungguh-sungguh

Saat pertama menjadi seorang bhikkhunã, ia dipanggil dengan 

nama Therã Bahuputtika Soõà. Tetapi lalu  , usahanya yang 

sungguh-sungguh dalam menjalani Tiga Latihan, mengakibatkan 

ia mendapat gelar ‘usaha sungguh-sungguh’ sehingga ia dikenal 

dengan nama Therã Soõà âraddha Viriya, Therã Soõà yang Berusaha 

Sungguh-sungguh.

Pencapaian Kearahattaan

Suatu hari saat   para bhikkhunã pergi ke Vihàra Jetavana untuk 

menerima nasihat dari Buddha, mereka menyuruh Therã Soõà 

âraddha Viriya memasak air untuk para bhikkhunã. Tetapi sebelum 

ia melakukan tugas itu, bhikkhunã tua itu berjalan mondar-mandir 

di dapur merenungkan tiga puluh dua aspek badan jasmani, dan 

menyuarakan masing-masing aspek. Buddha yang sedang duduk 

di kuñã-Nya di Vihàra Jetavana melihatnya dan mengirimkan Sinar 

2912


Buddha kepadanya, memperlihatkan diri-Nya kepada bhikkhunã 

itu, dan mengucapkan syair berikut:

“Daripada seseorang hidup selama seratus tahun tanpa melihat 

Dhamma tertinggi (yaitu, Dhamma Lokuttara yang terdiri dari 

sembilan faktor), lebih baik seseorang hidup satu hari dan melihat 

Dhamma tertinggi.”

sesudah   mendengarkan khotbah Buddha yang disampaikan melalui 

Sinar Buddha (yang membuatnya melihat Buddha secara langsung), 

Therã Soõà âraddha Viriya mencapai Kearahattaan. Ia berpikir, “Aku 

telah mencapai Arahatta-Phala. Mereka yang tidak mengetahui hal 

ini, saat kembali dari Vihàra Jetavana, akan memperlakukan aku 

secara tidak hormat (seperti biasa) dan dengan demikian mereka 

akan melakukan kejahatan. Aku harus memberitahu mereka tentang 

pencapaianku ini untuk mengingatkan mereka. Ia meletakkan 

kendi air untuk memasak di atas tungku tetapi tidak menyalakan 

apinya.

saat   para bhikkhunã kembali dari vihàra Buddha dan melihat 

tidak ada api di tungku, mereka mengeluh, “Kita menyuruh 

perempuan tua itu memasak air tetapi ia bahkan belum menyalakan 

api.” lalu   Therã Soõà berkata kepada mereka, “Teman-

teman, apa gunanya api? Siapa saja yang menginginkan air panas 

boleh mengambilnya dari kendi itu (di atas tungku yang tidak 

dinyalakan).” Para bhikkhunã itu terkejut mendengarkan kata-

kata aneh ini   tetapi mereka memahami bahwa pasti ada 

alasannya si bhikkhunã tua itu mengucapkan kata-kata itu. Mereka 

mendatangi kendi itu dan meraba air di dalamnya. Cukup panas. 

Mereka mengambil sebuah kendi kosong dan menuangkan air panas 

ini  . saat   mereka menuang air panas itu dari k