endi, kendi itu
menjadi penuh lagi.
Baru lalu para bhikkhunã mengetahui bahwa Therã Soõà telah
mencapai Kearahattaan. Para bhikkhunã yang lebih junior daripada
Therã Soõà bersujud dengan lima titik sentuhan, dan berkata, “Yang
mulia, kami sungguh bodoh telah bersikap tidak hormat kepadamu
dan mengganggumu. Atas semua kesalahan itu, kami mohon maaf.”
2913
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
Para bhikkhunã yang lebih senior daripada Therã Soõà , berlutut dan
berkata, “Yang mulia, maafkan kesalahan kami.”
(c) Menjadi bhikkhunã terbaik
Therã Soõà menjadi teladan bagaimana mereka yang terlambat
mengenal Dhamma, juga dapat menjadi seorang Arahanta berkat
usaha yang tekun. Pada suatu kesempatan saat Buddha duduk di
tengah-tengah pertemuan para bhikkhu di Vihà ra Jetavana untuk
menganugerahkan gelar bhikkhunã terbaik, Beliau menyatakan:
“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang tekun
dan berusaha sungguh-sungguh, Bhikkhunã Soõà yaitu yang
terbaik.”
Demikianlah kisah Therã Soõà .
(8) Therã SakulÃ
(Therã Sakulà disebut dengan nama Bakulà dalam Komentar
Aïguttara Nikà ya dalam versi tertulis dari Sidang Keenam,
sedangkan dalam versi Sri Lanka, namanya disebut Sakulà . Dalam
Komentar Therãgà thà dari versi Sidang Keenam juga muncul
sebagai Sakulà . sebab itu kami memilih nama Sakulà , yang sesuai
dengan penjelasan yang terdapat pada Komentar Therãgà thà yang
memberi penjelasan yang lengkap.)
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Therã Sakulà terlahir dalam sebuah keluarga kerabat Raja
ânanda di Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara.
Ia yaitu adik tiri Buddha Padumuttara dan bernama Putri Nanda.
saat ia mendengarkan khotbah Buddha, ia menyaksikan seorang
bhikkhunã yang dinyatakan oleh Buddha sebagai bhikkhunã terbaik
dalam hal kekuatan batin mata-dewa (juga termasuk pengetahuan
akan kehidupan lampau). Ia bercita-cita untuk dapat menjadi
seperti bhikkhunã ini . Ia memberi persembahan besar dan
mengungkapkan cita-citanya di hadapan Buddha Padumuttara.
2914
Buddha Padumuttara meramalkan bahwa cita-citanya akan
tercapai dalam masa ajaran Buddha Gotama. (Baca Therã SakulÃ
Apadà na.)
Kehidupan Lampaunya Sebagai Petapa Pengembara Perempuan
Putri Nanda melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya, dan
sesudah meninggal dunia, ia terlahir kembali di alam dewa. Dari
sana, ia mengembara hanya di alam manusia dan alam dewa saja.
Pada masa Buddha Kassapa, ia terlahir kembali dalam sebuah
keluarga brahmana. Ia menjadi petapa dan menjalani kehidupan
sebagai petapa pengembara. sesudah Buddha Kassapa meninggal
dunia, relik-relik-Nya disemayamkan dalam sebuah stupa besar.
Petapa yang yaitu bakal Therã Sakulà suatu hari menerima dà na
minyak. Dengan minyak itu ia memberi persembahan pelita
sepanjang malam itu di stupa tempat relik-relik Buddha Kassapa
disemayamkan.
(b) Menjadi bhikkhunã dalam kehidupan terakhir
Petapa pengembara itu meninggal dunia dan terlahir kembali di
Alam Dewa Tà vatiÿsa sebagai dewa yang memiliki indria mata
yang istimewa. Selama waktu antara munculnya dua Buddha, ia
hanya mengembara di alam dewa saja. Pada masa Buddha Gotama,
ia terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana di Sà vatthã bernama
Sakulà . Ia menghadiri Ritual persembahan Vihà ra Jetavana
(oleh Anà thapiõóika) kepada Buddha dan sesudah mendengarkan
khotbah Buddha, ia menjadi seorang umat awam Buddha. Pada
lalu hari ia mendengarkan khotbah dari seorang Arahanta
yang membangkitkan semangat religiusnya yang mengakibatkan
ia menjadi seorang bhikkhunã. Ia berlatih dengan tekun di dalam
praktik mulia Kesucian dan segera mencapai Kearahattaan.
(c) Menjadi bhikkhunã terbaik
sesudah mencapai Arahatta-Phala, Therã Sakulà , sebagai akibat dari
cita-cita masa lampaunya, memiliki kekuatan batin mata-dewa,
dan terampil dalam memakai nya. Pada suatu kesempatan
2915
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
saat Buddha menganugerahkan gelar bhikkhunã terbaik di Vihà ra
Jetavana, Beliau menyatakan:
“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang terampil
dalam hal kekuatan batin mata-dewa, Therã Sakulà yaitu yang
terbaik.”
(9) Therã KuõóalakesÃ
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Therã Kuõóalakesà terlahir dalam sebuah keluarga seorang
kaya di Kota Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara.
saat ia mendengarkan khotbah Buddha, ia kebetulan menyaksikan
Therã Subhà dinyatakan sebagai bhikkhunã terbaik dalam hal
mencapai Kearahattaan dengan Pandangan Cerah tercepat. Ia
sangat berkeinginan untuk dinyatakan sebagai bhikkhunã terbaik
seperti itu, dan sesudah memberi persembahan besar, ia bercita-
cita untuk mencapai gelar terbaik ini . Buddha Padumuttara
mengucapkan ramalan bahwa cita-citanya akan tercapai dalam
masa ajaran Buddha Gotama.
Kehidupan Lampaunya Sebagai Putri Raja Bà rà õasã
sesudah mengembara selama seratus ribu siklus dunia di alam dewa
dan alam manusia, putri orang kaya ini terlahir lagi sebagai
putri keempat dari tujuh putri Raja Kikã dari Bà rà õasã, ia bernama
Bhikkhadà yikà . Dalam kehidupan itu, ia seperti juga saudari-
saudari lainnya, tetap menjadi perawan seumur hidupnya selama
dua puluh ribu tahun, dan menjalani Sepuluh Sãla. Ia juga turut
bersama saudari-saudarinya menyumbangkan sebuah kompleks
vihà ra besar kepada Saÿgha.
(b) Menjadi bhikkhunã dalam kehidupan terakhir
Putri Bhikkhadà yikà mengembara hanya di alam dewa dan alam
manusia selama seluruh siklus dunia antara munculnya dua Buddha.
Pada masa Buddha Gotama ia terlahir sebagai putri seorang kaya
2916
di RÃ jagaha bernama Bhadda. Pada hari yang sama juga lahir anak
penasihat raja di RÃ jagaha. Pada saat lahirnya putra penasihat raja,
semua senjata yang ada di seluruh kota dimulai dari yang terdapat
di istana raja berkilauan secara ajaib.
Penasihat raja menghadap raja pagi-pagi dan bertanya, “Tuanku,
apakah tidurmu lelap?” Raja menjawab, “Guru, bagaimana aku
dapat tidur lelap? Semua senjata di istana berkilauan secara ajaib
sepanjang malam membuatku gugup.” “Tuanku,” penasihat itu
berkata, “Jangan takut. Senjata yang berkilauan tadi malam tidak
saja terjadi di istana tetapi juga di seluruh kota.”
“Mengapa, Guru, apa yang terjadi?”
“Tuanku, tadi malam putraku lahir yang saat kelahirannya bersamaan
dengan pengaruh planet-planet tertentu yang menunjukkan
karakter dari bayi yang baru lahir, dan sebab pengaruh planet-
planet itu, putraku akan tumbuh menjadi perampok yang tidak
dapat diampuni, musuh bagi seluruh kota. Tetapi, Tuanku. Apakah
engkau ingin aku membunuhnya?”
“Selama tidak membahayakan aku, tidak ada alasan untuk
membunuh anak itu.”
Penasihat itu menamai anaknya Sattuka (musuh jahat) untuk
mengingatkan akan kualitas terpendam anak itu yang diperoleh dari
pengaruh bintang pada saat kelahirannya. Seperti halnya putri si
orang kaya tumbuh besar demikian pula Sattuka muda juga tumbuh
besar. Bahkan saat ia masih sangat muda berusia dua atau tiga tahun,
ke mana pun ia pergi, ia akan mengambil benda apa pun yang dapat
ia jangkau dan membawanya pulang. Ayahnya menasihatinya agar
tidak melakukan hal itu, tetapi ia tidak mendengarkan.
Sattuka, Kutukan Bagi RÃ jagaha
saat Sattuka menginjak usia remaja, ayahnya, melihat bahwa
putranya sudah tidak dapat diperbaiki lagi, meninggalkannya. Ia
memberi dua helai baju hitam (untuk digunakan saat melakukan
2917
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
pekerjaan malamnya), sebuah alat untuk mendobrak tembok dan
pagar dan sebuah tangga tali kepada putranya, ia berkata, “Ambillah
benda-benda ini, hiduplah dengan merampok. Lalu, pergilah!”
Anak terlantar itu terbukti menjadi seorang perampok hebat.
memakai alat pembobol rumah dan tangga tali, ia akan
membobol rumah dengan rapi dan merampok semua rumah
orang kaya. Dalam waktu singkat seluruh rumah di kota itu sudah
dirampoknya dengan meninggalkan lubang di dinding.
saat raja sedang berkeliling kota mengendarai kereta, lubang-
lubang ini memberi pemandangan aneh bagi raja yang bertanya
kepada kusir tentang lubang-lubang itu. Diberitahu oleh kusir bahwa
semua lubang-lubang itu yaitu perbuatan Sattuka si perampok, raja
memanggil walikota dan bertanya mengapa perampok itu tidak
ditangkap. Walikota menjelaskan bahwa tidak seorang pun yang
pernah menangkap basah pelaku perampokan itu dan sebab itu
belum ditangkap. Raja memerintahkan, “Tangkap perampok itu
hari ini, kalau tidak nyawamu akan melayang!”
Dengan nyawanya menjadi taruhan, si walikota menugaskan
orang-orangnya untuk melakukan penyelidikan dengan menyamar
untuk menangkap basah si perampok itu. Sattuka tertangkap dan
dibawa menghadap raja yang memerintahkan, “Bawa Sattuka ke
luar kota melalui gerbang selatan dan eksekusi dia.” (Catatan:
peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Ajà tasattu.) si
walikota melaksanakan perintah raja. Ia membawa Sattuka ke semua
persimpangan jalan di dalam kota dan di masing-masing tempat itu
seribu cambukan dijatuhkan pada dirinya. Demikianlah ia dibawa
melalui gerbang selatan, tangannya terikat di belakang.
Kasih Sayang Bhaddà , Putri Orang Kaya
Pada saat itu, kegemparan yang ditimbulkan oleh para warga
yang melihat perampok itu dihukum membangkitkan rasa ingin
tahu dalam diri Bhaddà , putri si orang kaya. Ia melihat melalui
jendela. saat ia melihat Sattuka yang terikat dan dicambuk secara
kejam (sebab cinta kasih yang pernah muncul dalam kehidupan
2918
lampau mereka,) Bhaddà merasa kasihan terhadap perampok itu.
Ia merasa sangat tidak senang. Ia masuk ke kamarnya dengan
tangan berada di pangkuannya untuk menahankan penderitaan
batinnya dan berbaring menelungkup di atas tempat tidur. Sebagai
anak satu-satunya si orang kaya, Bhaddà sangat diperhatikan oleh
keluarga. Sedikit saja terjadi perubahan air mukanya, orangtuanya
akan menjadi cemas.
Ibunya mendatanginya dan bertanya mengapa ia bersedih. Sang
putri tidak menyembunyikan perasaannya melainkan membuka
hatinya kepada sang ibu bahwa ia sangat mencintai Sattuka sehingga
ia tidak akan dapat bertahan hidup jika tidak menikahi laki-laki itu.
Orangtua dan sanak saudaranya berusaha untuk mengembalikan
akal sehatnya tetapi tidak berhasil. Akhirnya mereka menyerah pada
kehendaknya dengan kesimpulan, “(memberi putri mereka
kepada penjahat) masih lebih baik daripada kematiannya.”
Orang kaya itu menghadap walikota, dengan uang senilai seribu
keping, ia menyuap si walikota agar mau membebaskan perampok
itu, menjelaskan kepada si walikota bahwa putrinya jatuh cinta
kepada si perampok. Si walikota mau bekerja sama. Ia menunda
eksekusi hingga matahari terbenam. lalu ia menukar Sattuka
dengan penjahat lainnya. Sattuka diam-diam dibawa ke rumah si
orang kaya. Penjahat lain itu dibawa keluar kota melalui gerbang
selatan dan dieksekusi (sebagai pengganti Sattuka).
Cinta Kasih Orangtua
saat orang kaya itu diam-diam menerima Sattuka dari para
petugas walikota, ia memutuskan untuk menyenangkan putri
mereka dengan memanjakan si perampok. Sattuka dimandikan
dengan air harum, diberi pakaian yang mewah, dia diantarkan ke
istana putrinya. Bhaddà sangat bahagia mendapatkan hadiahnya.
Ia menghias dirinya secantik mungkin dan melayani Sattuka.
Rencana Jahat Sattuka
Sattuka yang jahat ingin menguasai perhiasan yang dipakai oleh
2919
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
Bhaddà . Ia memikirkan rencana jahat dan dua atau tiga hari
lalu ia berkata kepada Bhaddà , “Aku ingin mengatakan
sesuatu padamu.”
“Katakanlah, Suamiku,” Bhadda berkata, mengharapkan kata-kata
yang menyenangkan.
“Engkau pasti berpikir bahwa engkau telah menyelamatkan aku,”
Sattuka berkata. “Sesungguhnya, aku berhutang nyawa pada dewa
penjaga Gunung Corapapà ta. Aku berjanji untuk memberi
persembahan untuknya jika aku selamat. Sekarang aku harus
memenuhi janjiku untuk memberi persembahan kepada dewa
ini . Buatlah persiapan.”
Bhaddà yang tulus dan penuh cinta, menyanggupi keinginan
suaminya. Ia mempersiapkan persembahan, menghias dirinya dan
mengendarai kereta bersama Sattuka. Di kaki Gunung Corapapà ta,
ia turun dari kereta dan bersiap untuk mendaki gunung, disertai
para pelayannya. Sattuka, menyembunyikan rencana jahatnya,
membujuk Bhaddà agar mendaki gunung sendirian, sebab ia tidak
boleh ditemani. Bhaddà membawa persembahan di kepalanya dan
naik ke gunung bersama Sattuka.
Rencana Jahat Sattuka Terungkap
Begitu mereka sendirian mendaki gunung itu, nada suara Sattuka
berubah dalam percakapannya dengan Bhaddà . Bhaddà cukup
cerdas untuk mengukur rencana jahat suaminya. saat mereka
tiba di puncak gunung, Sattuka memerintahkan dengan kasar,
“Sekarang Bhaddà lepaskan semua perhiasanmu dan bungkuslah
dengan pakaian luarmu.”
Bhaddà berpura-pura tidak mengetahui rencana jahat Sattuka,
menjawab, “Kesalahan apa yang kulakukan terhadapmu,
Suamiku?”
“Gadis bodoh, apakah engkau pikir aku datang untuk memberi
persembahan kepada dewa gunung? Aku bahkan berani mencopot
2920
jantung dewa gunung ini. Aku membawamu ke sini sendirian untuk
merampok perhiasanmu.”
Kebijaksanaan Bhaddà Dalam Menghadapi Situasi
Sekarang, sesudah warna sesungguhnya dari Sattuka telah terungkap,
Bhaddà memakai akalnya untuk menyelamatkan diri. Dengan
sopan ia berkata, “Tetapi, suamiku, perhiasan siapakah semua ini?
Milik siapakah diriku ini?”
“Aku tidak mengerti apa yang engkau maksudkan. Aku hanya
tahu bahwa harta kekayaanmu yaitu milikmu, dan tidak ada
hubungannya denganku.”
“Baiklah, suamiku. Tetapi aku memohon agar aku diperbolehkan
untuk menunjukkan cintaku padamu sebelum aku melepaskan
perhiasanku (dan membuat diriku tidak cantik di hadapanmu).
Izinkan aku memelukmu dari depan, dari samping, dan dari
belakang,” ia memohon dengan nada berharap.
“Baiklah,” jawab Sattuka tanpa curiga.
Bhaddà segera merangkul Sattuka dari depan, dan lalu
pergi ke belakangnya, berpura-pura hendak memeluknya tetapi
mendorongnya dengan keras dari puncak gunung. Ia jatuh ke jurang
yang dalam, tubuhnya hancur berkeping-keping.
(Sekarang kita menganalisis batin Bhaddà saat melakukan tindakan
bela diri. Saat ia mendorong penjahat itu dari puncak gunung,
batinnya dikuasai oleh kebencian dan didominasi oleh kelompok
batin kehendak untuk membunuh. Namun, impuls pikiran
membunuh itu segera diikuti oleh pikiran bijak berjenis mulia
dari kesadaran moral (atau kesadaran luhur), Upà ya-kosalla ¥Ã õa
yang didominasi oleh keahlian dalam menyusun strategi untuk
menyelamatkan diri dari bahaya.)
2921
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
Dewa-dewa Gunung Bersorak Memuji Kecerdikan BhaddÃ
Para dewa gunung yang menyaksikan akal cerdik dan keberanian
Bhaddà , menyanyikan dua bait syair memuji kebijaksanaan dan
kecerdikannya sebagai berikut:
(1) ‘Orang bijaksana’ tidak selalu harus laki-laki. Seorang perempuan
yang berakal cerdik dalam menghadapi situasi demikian juga
membuktikan bahwa ia juga orang yang bijaksana.
(2) ‘Orang bijaksana’ tidak selalu harus laki-laki. Seorang perempuan
yang dapat dengan cepat memilih solusi atas suatu persoalan juga
dapat menjadi orang bijaksana.
sesudah apa yang terjadi kepadanya, Bhaddà tidak lagi berkeinginan
untuk pulang ke rumah. Ia meninggalkan gunung itu dan tidak tahu
ke mana ia akan pergi, ia berjalan dengan pikiran ingin menjadi
seorang petapa. Ia kebetulan sampai di tempat beberapa petapa
(perempuan), dan memohon agar mereka memperbolehkannya
bergabung. Mereka bertanya kepadanya, “Cara penahbisan apa
yang engkau sukai? Yang rendah atau yang mulia?” Sebagai seorang
yang memiliki jalan hidup untuk mengakhiri lingkaran kehidupan,
ia menjawab, “Tahbiskan aku dengan cara penahbisan yang paling
mulia.”
Nama ‘Kuõóalakesà ’
“Baiklah,” si pemimpin petapa perempuan itu berkata, dan mereka
mencabut rambut Bhaddà sehelai demi sehelai memakai
sepasang batok kelapa. Tentu saja, mencukur kepala dengan cara
ini yaitu cara yang paling menyakitkan, tetapi sudah menjadi
kepercayaan para petapa itu bahwa mencukur rambut dengan
memakai pisau cukur yaitu cara penahbisan yang rendah,
dan bahwa mencabut rambut sehelai demi sehelai yaitu cara yang
mulia. saat rambut-rambut baru tumbuh lagi, rambut-rambut
itu membentuk cincin kecil yang menyerupai giwang. sebab
itu Bhaddà menjadi dikenal dengan nama barunya Kuõóalakesà ,
seorang yang memiliki ‘cincin rambut berbentuk giwang kecil.”
2922
Kuõóalakesà Sebagai Petapa Dogmatis
Kuõóalakesà mengetahui bahwa semua guru petapa itu tidak mampu
lagi mengajarnya dan, sebagai seorang yang memiliki kebijaksanaan
tersembunyi, ia memutuskan bahwa tidak ada lagi pelajaran mulia
yang dapat ia peroleh dari mereka. Maka ia meninggalkan mereka
dan mengembara di seluruh negeri untuk mencari pelajaran yang
lebih tinggi. Ia belajar dari berbagai guru. Seiring berjalannya waktu,
ia menjadi menguasai berbagai ajaran yang ia peroleh dari berbagai
tempat, ia tidak ada tandingannya dalam membabarkan ajaran. Ia
akan pergi dari suatu tempat ke tempat lain untuk mencari lawan
dalam membabarkan ajaran. Sebagai tantangan terbuka, ia akan
membuat gundukan pasir di gerbang kota atau desa, dan di atasnya
ia menanam ranting pohon jambu. Ia akan memberitahu anak-anak
di dekat sana untuk memberitahukan kepada orang-orang lain
bahwa siapa pun yang dapat mengalahkannya dalam menjelaskan
ajaran boleh menjawab tantangannya dengan menghancurkan
ranting pohon jambu ini . Jika sesudah tujuh hari tidak ada
penantang yang muncul, ia akan mencabut ranting ini dalam
kemenangan dan pergi ke tempat lain.
Yang Mulia Sà riputta Menaklukkan KuõóalakesÃ
Pada saat itu Buddha Gotama telah muncul di dunia dan sedang
menetap di Vihà ra Jetavana di Sà vatthã. Si petapa pengembara
Kuõóalakesà , yang hanya mengenakan satu jubah, sesudah
mengembara di kota-kota dan desa-desa, datang ke Sà vatthã. Di
gerbang kota ia membuat lambang tantangan, tumpukan pasir
dengan ranting pohon jambu di atasnya. sesudah berpesan kepada
anak-anak di sana tentang maksud dari penanaman ranting pohon
jambu itu, ia memasuki kota.
Pada waktu itu, Yang Mulia SÃ riputta, Jenderal Dhamma, sedang
berada di kota untuk mengumpulkan dà na makanan. Ia berjalan
sendirian sesudah semua bhikkhu lainnya telah memasuki kota untuk
mengumpulkan dà na makanan sebab ia harus menyelesaikan
tugas-tugasnya di vihà ra seperti: merapikan tempat-tempat tidur
dan barang-barang lain yang digunakan oleh para bhikkhu, mengisi
2923
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
kendi-kendi air, menyapu halaman, merawat bhikkhu yang sakit,
dan sebagainya. saat ia melihat ranting pohon jambu yang
ditanam di atas tumpukan pasir, ia bertanya kepada anak-anak di
sana, apa maksud dari ranting ini . Anak-anak itu menjelaskan
kepadanya tentang pesan Kuõóalakesà . Selanjutnya Yang Mulia
SÃ riputta meminta mereka untuk menghancurkan ranting pohon
jambu ini . Beberapa anak tidak berani melakukannya tetapi
beberapa anak lainnya yang berani, menginjak-injak ranting pohon
jambu itu sampai berkeping-keping.
saat Kuõóalakesà keluar dari kota sesudah selesai makan, ia melihat
ranting pohon jambu itu telah hancur dan bertanya kepada anak-
anak di sana siapa yang melakukannya. Mereka memberitahunya
bahwa mereka melakukannya atas perintah Yang Mulia SÃ riputta.
Kuõóalakesà merenungkan, “Seseorang yang tidak mengetahui
kemampuanku tidak akan berani menantangku. Bhikkhu ini
pastilah seseorang yang memiliki kebajikan dan kemuliaan tinggi.
Sekarang aku akan mengumumkan kepada semua warga
bahwa aku akan berdebat dengan Yang Mulia SÃ riputta, Jenderal
Dhamma, dan membentuk para pengikut sebelum menjumpainya.”
Ia menyebarkan berita kepada para warga dan dalam waktu
singkat seluruh kota yang terdiri dari delapan puluh ribu rumah
itu mengetahui peristiwa itu.
Yang Mulia SÃ riputta, sesudah selesai makan, duduk di bawah
pohon, dan menunggu kedatangan Kuõóalakesà . lalu ia
datang diringi kerumunan besar di belakangnya. sesudah saling
bertukar sapa dengan Yang Mulia SÃ riputta, ia duduk di tempat
yang semestinya dan berkata:
“Yang Mulia, apakah engkau menyuruh anak-anak menghancurkan
ranting pohon jambu yang kutanam?”
“Ya,” jawab Yang Mulia SÃ riputta.
“Yang mulia, kalau begitu, bisakah kita memulai perdebatan?”
“Baiklah, petapa perempuan muda.”
2924
“Siapakah yang akan memulai mengajukan pertanyaan?”
“Aku berhak untuk mengajukan pertanyaan lebih dulu. Tetapi,
silakan engkau memulai dengan pertanyaanmu.”
sesudah ia mendapat izin untuk mengajukan pertanyaan, KuõóalakesÃ
bertanya kepada Yang Mulia SÃ riputta tentang semua ajaran yang
ia ketahui. Yang Mulia menjawab semua pertanyaan. lalu
ia berkata, “Petapa perempuan muda, aku telah menjawab semua
pertanyaanmu. Sekarang aku akan bertanya kepadamu.”
“Silakan, Yang Mulia.”
“Ekaÿ nà ma kiÿ? Apakah satu faktor (yang harus dipahami
benar)?”
“Yang Mulia, aku tidak mengetahuinya.”
“Petapa perempuan muda, engkau tidak mengetahui apa yang
diketahui oleh sà maõera muda dalam Dhamma kami, apa lagi yang
engkau ketahui?”
Kuõóalakesà , sebagai seorang yang memiliki jasa masa lampau,
mengetahui kemuliaan lawannya. Ia berkata, “Sudilah Yang Mulia
menjadi pelindungku!”
“Kuõóalakesà ,” Yang Mulia Sà riputta berkata, “Engkau tidak perlu
memohon perlindungan dariku. Buddha, Yang Teragung di tiga
alam, sekarang menetap di Vihà ra Jetavana, di dalam kuñã-Nya.
Pergilah dan berlindunglah di dalam Buddha.”
“Baiklah, Yang Mulia, aku menuruti nasihatmu,” ia berkata. Malam
harinya ia pergi ke Vihà ra Jetavana dan melihat Buddha sedang
membabarkan khotbah. Ia bersujud kepada Buddha dengan lima
titik menyentuh tanah dan duduk di tempat yang semestinya.
Buddha, mengetahui bahwa ia sudah cukup matang untuk mencapai
Pencerahan, mengucapkan syair berikut:
2925
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
“Daripada seribu bait syair yang tidak berguna, yang tidak
memberi kemajuan, lebih baik satu bait (seperti, ‘kewaspadaan
yaitu jalan menuju keabadian’) yang dengan mendengarnya
seseorang dapat menjadi tenteram.” Dhammapada, v.101
Pada akhir syair ini , Kuõóalakesà mencapai Kearahattaan
lengkap dengan Empat Pengetahuan Diskriminatif. Ia memohon
kepada Buddha agar menahbiskannya sebagai bhikkhunã. Buddha
menyanggupi. Ia pergi ke vihà ra bhikkhunã dan ditahbiskan menjadi
seorang bhikkhunã.
(c) Menjadi bhikkhunã terbaik
saat Buddha duduk di tengah-tengah empat jenis kelompok yang
sedang berdiskusi membicarakan bagaimana Therã KuõóalakesÃ
mencapai Kearahattaan dengan cara yang sangat menakjubkan
hanya dengan mendengarkan satu bait syair. Buddha, dengan
merujuk pada topik ini , menyatakan:
“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang mencapai
Pengetahuan Jalan dengan cepat, Bhikkhunã Bhaddà yang dikenal
dengan Kuõóalakesà yaitu yang terbaik.”
Demikianlah kisah Therã Kuõóalakesà .
(10) Therã Bhaddà kà pilà nã
(Kisah Therã Bhaddà kà pilà nã berhubungan dengan kisah Yang
Mulia Mahà Kassapa yang telah diceritakan pada bab sebelumnya.
Komentar hanya memberi kisah singkat Therã ini, untuk lebih
jelasnya, pembaca dapat membaca kembali bab sebelumnya.)
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Bhaddà kà pilà nã terlahir sebagai istri Vedeha, orang kaya
di Kota Haÿsà vatã, pada masa kehidupan Buddha Padumuttara.
saat ia mendengarkan khotbah Buddha, ia menyaksikan seorang
2926
bhikkhunã yang dinyatakan sebagai bhikkhunã terbaik dalam
hal kekuatan batin mengingat kehidupan lampau. Ia bercita-cita
untuk mendapatkan gelar yang sama, dan sesudah memberi
persembahan besar, ia mengungkapkan cita-citanya di hadapan
Buddha.
Kehidupannya Sebagai Istri Perumah Tangga
sesudah meninggal dunia dari kehidupannya sebagai istri si orang
kaya, ia terlahir kembali di alam dewa; lalu ia mengembara
hanya di alam manusia dan alam dewa selama seratus ribu siklus
dunia. lalu ia terlahir kembali sebagai istri seorang perumah
tangga di Bà rà õasã. Suatu hari saat ia sedang bertengkar
dengan adik perempuan suaminya, seorang Pacceka Buddha
datang untuk mengumpulkan dà na makanan. Si adik suami
itu mempersembahkan makanan kepada Pacceka Buddha dan
mengucapkan keinginannya yang tidak menyenangkan sang istri.
Sang istri lalu menjadi marah, mengambil mangkuk itu dari
Pacceka Buddha, dan membuang makanan yang ada di dalam
mangkuk itu. Lebih jauh lagi, ia mengisi mangkuk ini dengan
lumpur dan mempersembahkannya kepada Pacceka Buddha. Hanya
sesudah orang-orang lain terheran-heran melihatnya membuatnya
kembali ke akal sehatnya. Ia membuang lumpur itu dari mangkuk
Pacceka Buddha, mencucinya, dan membubuhi bubuk harum dan
mengisinya dengan empat jenis nutrisi, catu madhu; di atasnya,
ia menambahkan mentega yang telah dimurnikan yang berwarna
putih, bagaikan lapisan dalam bunga teratai, akibatnya makanan
yang ia persembahkan itu berkilauan dalam mangkuk itu. Dalam
mempersembahkan makanan itu kepada Pacceka Buddha ia
mengucapkan keras-keras cita-citanya bahwa seperti halnya
makanan persembahan itu yang berkilauan, semoga ia memiliki
kulit berkilauan. Semua peristiwa ini dapat dibaca dalam kisah Yang
Mulia Mahà Kassapa.)
(b) Menjadi bhikkhunã dalam kehidupan terakhir
Layak untuk dicatat bahwa suami dan istri itu melepaskan
keduniawian bersama-sama. Sang suami, bakal Yang Mulia MahÃ
2927
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
Kassapa, mengambil jalan ke arah kanan sedangkan sang istri,
Bhaddà kà pilà nã berjalan ke arah kiri di sebuah persimpangan, bakal
Yang Mulia Mahà Kassapa bertemu dengan Buddha yang sedang
duduk di bawah pohon banyan yang dikenal sebagai Bahuputtaka.
Pada saat itu perempuan belum diterima dalam Saÿgha, maka
Bhaddà kà pilà nã menjalani lima tahun sebagai petapa pengembara.
Fakta ini diceritakan oleh dirinya sendiri dalam riwayat hidupnya,
“pa¤ca vassà ni nivasiÿ paribbà javate ahaÿ.”)
(c) Menjadi bhikkhunã terbaik
Berkat cita-cita masa lampaunya, Therã Bhaddà kà pilà nã sesudah
mencapai Kearahattaan, sangat terampil dalam mengingat
kehidupan lampau. Oleh sebab itu pada lalu hari saat
Buddha sedang berada di Vihà ra Jetavana dan menganugerahkan
gelar bhikkhunã terbaik, Beliau menyatakan:
“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang mampu
mengingat kehidupan lampau, Bhaddà yang sekarang dipanggil
Kà pilà nã yaitu yang terbaik.”
(Kà pilà nã yaitu nama keluarga suami Bhaddà , Pippali.)
Demikianlah kisah Bhaddà kà pilà nã Therã
(11) Therã Bhaddhakaccà nà (Yasodharà )
(Seperti pepatah Myanmar mengatakan, “air mengikuti gelombang”.
Demikian pula kisah Therã Bhaddhà Kaccà nà (Yasodharà ) tidak
dapat dipisahkan dari kisah Buddha. Komentar hanya menjelaskan
secara singkat kisahnya.)
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Bhaddhakaccà nà (Yasodharà ) terlahir dalam keluarga kaya
di Kota Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara.
saat ia mendengarkan khotbah Buddha ia menyaksikan seorang
bhikkhunã yang dinyatakan oleh Buddha sebagai bhikkhunã terbaik
2928
dalam hal mencapai kekuatan batin. Ia mengungkapkan cita-citanya
untuk mencapai gelar ini sesudah memberi persembahan
besar.
(b) Menjalani kehidupan sebagai bhikkhunã dalam kehidupan
terakhir
Putri orang kaya ini mengembara hanya di alam dewa
dan alam manusia selama seratus ribu siklus dunia. pada masa
Buddha Gotama, ia terlahir kembali sebagai putri Pangeran
Sakya Suppabuddha yang yaitu paman Buddha. Ia diberi nama
Bhaddakaccà nà .
sesudah dewasa ia menikah dengan Pangeran Siddhattha dan menjadi
permaisuri Beliau. Ia melahirkan Pangeran RÃ hula. Pada malam ia
melahirkan RÃ hula, Pangeran Siddhattha meninggalkan kehidupan
rumah tangga dan sesudah mencapai Pencerahan Sempurna di bawah
pohon Mahà bodhi, Buddha mempertimbangkan kesejahteraan
spiritual makhluk-makhluk di dunia. Beliau melakukan perjalanan
menuju Kapilavatthu dan mencerahkan sanak saudara-Nya.
Selama masa vassa kelima, ayah Beliau mencapai Kearahattaan
sewaktu masih menjabat menjadi raja dan meninggal dunia pada
hari yang sama. lalu Ratu Mahà pà japati Gotamã dan lima
ratus Putri Sakya yang suami-suaminya telah menjadi bhikkhu
(pada peristiwa menjelang pembabaran Mahà samaya Sutta) menjadi
bhikkhunã dalam ajaran Buddha. Pada saat itu Ratu Yasodharà dan
Putri Janapadakalyà õã menjadi bhikkhunã dengan Mahà pajà patã
Gotamã sebagai Therã penahbis.
Yasodharà sebagai seorang bhikkhunã dikenal dengan nama Therã
Bhaddakaccà nà . Ia berusaha untuk mencapai Pandangan Cerah dan
akhirnya berhasil mencapai Kearahattaan.
(c) Therã Bhaddakaccà nà sebagai bhikkhunã terbaik
Therã Bhaddakaccà nà , sesudah mencapai Kearahattaan, sangat
terampil dalam memakai kekuatan batin. Dalam sekali duduk,
2929
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
dalam satu kali mengarahkan pikiran (Ã vajjana), ia mampu mengingat
seluruh kehidupan lampaunya selama lebih dari satu asaïkhyeyya
dan seratus ribu kappa. Keterampilan luar biasa ini menjadi
bahan pembicaraan para bhikkhu. Dengan mempertimbangkan
reputasinya itu, Buddha, dalam pertemuan penganugerahan gelar
bhikkhunã terbaik di Vihà ra Jetavana menyatakan:
“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang memiliki
kekuatan batin tinggi, Bhikkhunã Bhaddakaccà nà yaitu yang
terbaik.”
(Catatan: Bahwa hanya terdapat empat siswa terbaik dalam ajaran
Buddha yang memiliki kekuatan batin tinggi. Mereka memiliki
kemampuan luar biasa dalam mengingat kehidupan lampau hingga
lebih dari satu asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa sedangkan para
siswa lainnya hanya mampu mengingat kehidupan lampau hingga
lebih dari seratus ribu kappa saja. Empat Siswa terbaik ini yaitu
Dua Siswa Besar, Thera Bà kula, dan Therã Bhaddakaccà nà .
Nama asli bhikkhunã ini yaitu Bhaddhakaccà na, tetapi sebab ia
berkulit keemasan, ia juga dikenal dengan nama Bhaddaka¤canà .)
Demikianlah kisah Therã Bhaddakaccà nà .
(12) Therã Kisà gotamã
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Therã Kisà gotamã terlahir dalam sebuah keluarga yang
tidak dikenal di Kota Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha
Padumuttara. saat ia mendengarkan khotbah yang disampaikan
oleh Buddha, ia menyaksikan seorang bhikkhunã yang dianugerahi
gelar bhikkhunã terbaik di antara para bhikkhunã yang mengenakan
jubah yang kasar dan rendah mutunya. Ia bercita-cita untuk
mendapatkan gelar yang sama pada masa depan dan sesudah
memberi persembahan besar, ia mengungkapkan cita-citanya
di hadapan Buddha. Buddha meramalkan bahwa cita-citanya akan
tercapai pada masa Buddha Gotama.
2930
Kehidupan Sebagai Putri Raja Kikã
Perempuan itu mengembara hanya di alam bahagia, tidak pernah
jatuh ke alam sengsara, selama masa seratus ribu siklus dunia. Pada
masa Buddha Kassapa, ia terlahir kembali sebagai putri kelima dari
Raja Kikã dari Bà rà õasã. Ia bernama Dhammà . Sepanjang hidupnya
yang dua puluh ribu tahun, ia menjalani kehidupan suci, menjalani
Sepuluh Sãla.
(b) Menjalani kehidupan sebagai bhikkhunã dalam kehidupan
terakhir
Putri Dhammà terlahir kembali di Alam Dewa Tà vatiÿsà . Dalam
kehidupan terakhirnya ia terlahir kembali dalam keluarga seorang
kaya yang keberuntungannya telah berkurang dan menjadi miskin.
Nama aslinya yaitu Gotamã tetapi sebab tubuhnya yang kurus,
ia dipanggil Kisà gotamã, Gotamã yang kurus.”
(Bagaimana Kisà gotamã menjadi menantu seorang kaya
akan diceritakan seperti yang terdapat dalam Komentar
Dhammapada.)
“Habisnya kamma baik menyebabkan kemiskinan.”
Yadà kammakkhayo hoti, sabbametaÿ vinassati:
“saat kamma baik habis, segalanya akan lenyap. Demikianlah
disabdakan oleh Buddha dalam Nidhikaõóa Sutta. Ada seorang
kaya di Sà vatthã yang semua harta kekayaannya secara ajaib berubah
menjadi arang, sebab habisnya kamma baiknya. Orang itu menjadi
sangat sedih. Ia kehilangan nafsu makan dan hanya berbaring di
atas dipan. Seorang temannya datang ke rumahnya dan memberi
hiburan. Ia juga memberi jalan keluar dari kemiskinan yang
melanda si mantan orang kaya itu.
Nasihatnya yaitu sebagai berikut:
“Teman, hamparkan sehelai karpet di depan rumahmu seperti yang
2931
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
biasa dilakukan di pasar. Engkau akan menjual timbunan arang
yang sekarang yaitu hartamu satu-satunya. Orang-orang yang
berlalu-lalang akan berkata, ‘Oh, orang-orang lain menjual minyak,
madu, gula dan lain-lain, tetapi engkau, orang kaya, menjual arang.’
Dan engkau akan harus menjawab, ‘Orang menjual harta miliknya.
Apakah yang salah dengan hal itu?’”
Orang-orang itu yaitu orang biasa yang tidak memiliki jasa masa
lampau.
“Seseorang akan datang dan berkata kepadamu, ‘Ah, orang-orang
lain menjual minyak, madu, gula dan lain-lain, tetapi engkau, orang
kaya, menjual emas dan perak!’ Kepada orang itu, engkau harus
berkata ‘Di manakah emas dan perak itu?’”
“lalu orang itu akan menunjuk tumpukan arang itu dan
berkata, ‘Itu di sana.’ lalu engkau harus berkata, ‘Bawakan
kepadaku,’ dan terimalah dengan tanganmu apa yang diserahkan
oleh orang itu (yang diambil dari tumpukan arang itu) kepadamu
dari tangannya. sebab orang itu memiliki jasa masa lampau yang
besar, apa pun yang ia pegang dan ia serahkan kepadamu akan
berubah menjadi emas dan perak, seperti semula.”
“Aku harus mengatakan syaratnya. Jika orang itu, yang menyebutkan
emas dan perak (dan mengubahnya kembali menjadi emas dan perak)
yaitu seorang perempuan muda, engkau harus menikahkannya
dengan putramu, mempercayakan semua hartamu yang bernilai
empat puluh crore kepadanya dan biarkan menantumu mengatur
rumah tanggamu. Jika orang itu yaitu seorang laki-laki muda,
engkau harus menikahkannya dengan putrimu, dan mempercayakan
hartamu yang bernilai empat puluh crore kepadanya dan biarkan
menantumu mengatur rumah tanggamu.”
Kisà gotamã yang Memiliki Jasa Masa Lampau yang Besar
Orang kaya malang itu menuruti nasihat temannya. Ia duduk
seperti seorang pedagang kaki lima di depan rumahnya dan orang
yang berlalu-lalang dapat melihatnya duduk di sana menjual arang.
2932
Orang-orang berkata kepadanya, “Ah, orang-orang lain menjual
minyak, madu, gula dan lain-lain, tetapi engkau, menjual arang.”
Dan ia menjawab, “Orang menjual harta miliknya. Apakah yang
salah dengan hal itu?”
Suatu hari Kisà gotamã sendiri, putri seorang kaya malang yang
lain mendatangi pedagang arang itu. Ia berkata, “O bapak, orang-
orang lain menjual minyak, madu, gula dan lain-lain, tetapi engkau
menjual emas dan perak!” orang kaya malang itu berkata, “Di
manakah emas dan perak itu?”
“Bukankah engkau sedang memperjualkannya di sini?”
“Bawakan kepadaku emas dan perak itu, putriku!”
Kisà gotamã mengambil segenggam barang dagangan orang itu dan
menyerahkannya ke tangannya dan semuanya berubah menjadi
emas dan perak seperti semula!
Kisà gotamã Menjadi Menantu Orang Kaya
Orang kaya itu bertanya kepada Kisà gotamã, “Apakah nama
keluargamu?”
“Kisà gotamã,” ia menjawab. Orang kaya itu lalu mengetahui
bahwa ia belum menikah. Ia mengumpulkan harta kekayaannya di
tempat itu, membawa Kisà gotamã ke rumahnya dan menikahkannya
dengan putranya. lalu semua emas dan peraknya telah
kembali seperti semula. (Ini menurut Komentar Dhammapada.)
Seiring berjalannya waktu, Kisà gotamã melahirkan seorang putra.
Sejak saat itu, ia diperlakukan dengan penuh hormat dan cinta
dari keluarga si orang kaya itu (awalnya ia diremehkan oleh
mereka sebab ia hanyalah putri seorang miskin). saat anak itu
mulai bisa bermain dan berlompatan, ia meninggal. Kisà gotamã
yang belum pernah kehilangan anak menjadi sangat berduka. Ia
menganggap anaknya sebagai berkah yang memperbaiki status dan
kesejahteraannya. Keberuntungannya meningkat sejak kelahiran
2933
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
anaknya. Ia tidak menerima kenyataan bahwa anaknya yang mati
harus dibuang di pemakaman. sebab itu ia menggendong jasad
anaknya dan meratap, “O tolong berikan obat untuk menghidupkan
anakku kembali!” ia mendatangi rumah-rumah warga .
sebab ia berperilaku yang tidak wajar meskipun dengan cara
yang sangat mengharukan, orang-orang tidak merasa kasihan
terhadapnya, menjentikkan jari mereka, “Di mana engkau pernah
melihat obat yang dapat menghidupkan orang mati?” Kata-kata yang
kasar namun benar itu tidak dapat mengembalikan akal sehatnya.
Beberapa orang yang bijaksana mempertimbangkan, “Perempuan
muda ini kehilangan akal sehatnya sebab kematian anaknya. Obat
yang tepat untuknya hanya dapat diberikan oleh Buddha,” mereka
berkata kepadanya, “Anakku, obat yang dapat menghidupkan
kembali anakmu hanya diketahui oleh Buddha dan bukan oleh orang
lain. Buddha, manusia termulia di antara manusia dan dewa sedang
menetap di Vihà ra Jetavana. Pergi dan mohonlah kepada-Nya.”
Strategi Buddha untuk Meredam Kesedihan Kisà gotamã
Kisà gotamã menganggap nasihat orang itu cukup bijaksana.
Langsung ia pergi ke vihà ra Buddha, sambil menggendong anaknya.
Pada saat itu Buddha sedang duduk di atas singgasana di tengah-
tengah para hadirin hendak memulai khotbah-Nya. Perempuan
muda yang putus asa itu berteriak kepada Buddha, “Yang Mulia,
berikan padaku obat yang dapat menghidupkan kembali anakku!”
Buddha melihat bahwa ia memiliki jasa masa lampau yang cukup
baginya untuk mencapai Pencerahan dan berkata kepadanya, “O
Gotamã, engkau melakukan hal yang tepat dengan datang ke tempat
ini meminta obat untuk menghidupkan kembali anakmu. Sekarang,
pergilah ke setiap rumah di Sà vatthã dan mintalah sedikit biji lada
dari rumah yang belum pernah terjadi kematian, dan bawakan
kepada-Ku.”
(Strategi Buddha harus dimengerti, Buddha hanya mengatakan agar
Kisà gotamã membawakan sedikit biji lada dari rumah yang belum
pernah terjadi kematian, Beliau tidak mengatakan bahwa Beliau
akan menghidupkan kembali anak itu dengan biji ini . Tujuan
2934
Buddha yaitu untuk menyadarkan sang ibu bahwa kehilangan
anak bukanlah pengalaman yang unik melainkan setiap orang pasti
mengalami penderitaan yang sama sebab kematian.)
Kisà gotamã berpikir bahwa jika ia mendapatkan biji lada, anaknya
akan hidup kembali. Ia mendatangi rumah pertama dan berkata,
“Buddha menyuruhku untuk meminta sedikit biji lada sebagai obat
untuk menghidupkan kembali anakku yang telah mati. Mohon
berikan sedikit biji lada kepadaku.”
“Ini, ambillah,” si perumah tangga itu berkata dan menyerahkan
sedikit biji lada.
“Tetapi, tuan,” ia berkata, “Aku harus mengetahui satu hal;
pernahkah orang meninggal dunia di rumah ini?”
“Pertanyaan apa itu? Siapa yang dapat mengingat berapa banyak
orang yang sudah mati di rumah ini?”
“Kalau begitu, aku tidak jadi menerima biji ini,” ia berkata dan
pergi ke rumah berikutnya. Ia mendapatkan jawaban yang sama.
Di rumah ketiga ia juga mendapatkan jawaban yang sama. Sekarang
kebenaran mulai muncul. Tidak mungkin ada rumah di kota ini di
mana kematian tidak pernah terjadi. Tentu saja, Buddha, penyelamat
dunia, mengetahui hal ini. Suatu semangat religius muncul dalam
dirinya. Ia pergi ke luar kota dan meninggalkan jasad anaknya
di sana, ia berkata, “Anakku sayang, sebagai seorang ibu, aku
telah keliru menganggap bahwa kematian hanya terjadi padamu
seorang. Tetapi sesungguhnya, kematian yaitu hal biasa bagi
semua orang.”
lalu , sambil bergumam sendirian (yang artinya akan
dijelaskan nanti), ia mendatangi Buddha:
Na gà madhammo no nigamassa dhammo
Na cà piyaÿ ekakulassa dhammo
Sabbassa lokassa sadevakassa
Eseva dhammo yadidaÿ aniccatÃ
2935
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
Ia menghadap Buddha yang bertanya kepadanya, “Sudahkah
engkau mendapatkan biji lada?”
“Aku tidak memerlukan biji lada, Yang Mulia, mohon berikan
aku landasan yang kokoh untukku berdiri, berikan aku tempat
berpijak!”
Bhagavà , mengucapkan syair ini kepadanya: (terjemahannya)
“Gotamã, seseorang yang dimabukkan oleh anak dan hartanya
(terjemahan secara harfiah, ‘anak-anak sapi’) dan melekat pada
miliknya (lama dan baru), akan terbawa oleh kematian bagaikan
sebuah desa yang sedang tidur dihanyutkan oleh banjir besar.”
(Dhammapada, v.287)
Pada akhir khotbah ini Kisà gotamã mencapai Buah Pengetahuan
Pemenang Arus.
(Demikianlah menurut Komentar Aïguttara Nikà ya.)
Dalam riwayat hidup Kisà gotamã, saat Kisà gotamã kembali
dari mencari biji lada, Buddha berkata kepadanya dalam dua bait
syair:
Bait pertama dimulai dengan “Yo ca vassasataÿ jãve, apassaÿ
udayabbayaÿ” (Dhammapada, v.113) yang artinya telah dijelaskan
dalam kisah Pañà cà rà di atas, dan bait kedua yaitu sebagai
berikut:
“(Gotamã,) ketidakkekalan dari segala sesuatu yang berkondisi
bukanlah fenomena aneh yang terjadi dalam sebuah desa, atau
kota, atau keluarga, tetapi fakta yang tidak dapat dihindari yang
akan dialami oleh semua makhluk hidup termasuk manusia, para
dewa, dan brahmà .”
sesudah mendengarkan dua bait ini Kisà gotamã mencapai tingkat
Pemenang Arus. Ini yaitu riwayat hidup Therã Kisà gotamã seperti
2936
yang terdapat dalam Apadà na Pà ëi.
sesudah mencapai Sotà patti-Phala. Kisà gotamã memohon kepada
Buddha agar diperbolehkan untuk menjadi seorang bhikkhunã.
Buddha menyanggupi. Kisà gotamã meninggalkan Bhagavà sesudah
mengelilingi Beliau tiga kali ke arah kanan, dan pergi ke vihà ra
bhikkhunã, dan ditahbiskan menjadi seorang bhikkhunã. lalu
ia dikenal dengan nama Therã Kisà gotamã.
Pencapaian Kearahattaan
Therã Kisà gotamã berusaha dengan tekun untuk mencapai
Pandangan Cerah. Suatu hari, ia mendapat giliran untuk menjaga
pelita di dalam dan di sekitar Dhammasala. Sewaktu melihat api
pelita, ia memiliki persepsi api sebagai suatu fenomena muncul
dan lenyap (mati) yang terjadi berturut-turut. lalu ia melihat
bahwa semua makhluk hidup datang dan pergi, yaitu, dilahirkan
hanya untuk mati; dan bahwa hanya ia yang telah mencapai Nibbà na
yang tidak akan mengalami proses muncul dan lenyap ini.
Pikiran yang muncul dalam batin Kisà gotamã ini diketahui oleh
Buddha yang sedang duduk di Kuñã Harum di Vihà ra Jetavana,
dan Buddha mengirimkan Sinar Buddha kepadanya, membuatnya
melihat bahwa ia sedang duduk di hadapan Buddha, dan berkata,
“Gotamã, apa yang engkau pikirkan yaitu benar. Semua makhluk
hidup muncul dan lenyap bagaikan serangkaian nyala api; hanya
ia yang telah mencapai Nibbà na yang tidak mengalami proses
muncul dan lenyap ini. Hidup hanyalah kesia-siaan bagi mereka
yang hidup selama seratus tahu tanpa mencapai Nibbà na melalui
Pengetahuan Jalan dan Buahnya. Beliau menegaskan hal ini lebih
jauh lagi dalam syair berikut:
“(Gotamã,) Walaupun seseorang hidup selama seratus tahun tetapi
tidak melihat Keabadian (Nibbà na) melalui Pengetahuan Jalan, lebih
baik hidup satu hari bagi ia yang melihat Keabadian (Nibbà na)
melalui Pengetahuan Jalan.”
Pada akhir khotbah ini Therã Kisà gotamã mencapai Kearahattaan,
2937
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
sesudah memadamkan semua kotoran batin.
(c) Kisagotamã sebagai bhikkhunã terbaik
Seperti yang ia cita-citakan dalam kehidupan lampau, dalam
sepanjang kehidupannya sebagai seorang bhikkhunã, Kisà gotamã
puas dengan jubah yang rendah mutunya, yaitu, jubah yang
terbuat dari kain kasar, dijahit dengan benang berkualitas rendah,
dan dicelup dengan pewarna berkualitas rendah berwarna pucat.
sebab itu, pada lalu hari saat Buddha menganugerahkan
gelar bhikkhunã terbaik sewaktu berada di Vihà ra Jetavana, Beliau
menyatakan:
“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang puas
dengan jubah berkualitas rendah, Bhikkhunã Kisà gotamã yaitu
yang terbaik.”
Demikianlah kisah Kisà gotamã.
(13) Therã Siïgà lakamà tu
(Berikut ini yaitu rangkuman dari kisah Sãïgà lakamà thu Therã
yang bersumber dari Komentar Aïguttara Nikà ya dan riwayat hidup
bhikkhunã ini dalam Apadà na Pà ëi.)
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Therã Siïgà lakamà tu terlahir sebagai putri seorang pejabat
istana pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. Ia pergi ke vihà ra
dan sesudah mendengarkan Dhamma ia menjadi bhikkhunã dan
menjalani sãla tanpa cela yang terdiri dari empat jenis penyucian.
Ia memiliki keyakinan kuat terhadap Tiga Permata, senang
mendengarkan Dhamma, dan ia sangat senang bertemu dengan
Buddha. (Seperti halnya Bhikkhu Vakkali.)
Suatu hari ia melihat seorang bhikkhunã yang dinyatakan oleh
Buddha sebagai bhikkhunã yang terbaik dalam hal keyakinan,
saddhà . Ia bercita-cita untuk mencapai gelar ini dan
2938
melipat-gandakan usahanya dalam melatih Tiga Latihan. Buddha
membabarkan khotbah kepadanya dalam tiga bait syair yang
dimulai dengan “Yassa saddhà tathà gate… “ yang intinya berarti,
“Seseorang yang memiliki keyakinan dalam Tiga Permata, moralitas
dan pandangan lurus atau pengetahuan tidak disebut orang miskin,
dan sebab itu orang bijaksana harus mengembangkan keyakinan
terhadap Buddha, moralitas, keyakinan terhadap Dhamma dan
Saÿgha, dan persepsi atau Pandangan Cerah yang memungkinkan
seseorang untuk melihat Dhamma.” (Tiga bait syair ini dapat dibaca
dalam Apadà na Pà ëi. Vol. 2)
Mendengar khotbah itu, bhikkhunã muda itu menjadi sangat
bersemangat dan bertanya kepada Buddha apakah cita-citanya dapat
tercapai. Buddha Padumuttara meramalkan bahwa cita-citanya akan
tercapai pada masa Buddha Gotama. Ia gembira mendengar ramalan
itu dan melayani Buddha dengan penuh hormat dengan cara hidup
sesuai ajaran Buddha. (Harus dipahami bahwa menjalani praktik
mulia Dhamma dengan penuh keyakinan dan pikiran cinta kasih
terhadap Buddha berarti melayani Buddha.)
(b) Manjalankan kehidupan sebagai bhikkhunã dalam
kehidupan terakhirnya
Perempuan itu mengembara hanya di alam bahagia selama seratus
ribu siklus dunia. lalu pada masa Buddha Gotama ia terlahir
sebagai putri seorang kaya dari RÃ jagaha. saat dewasa, ia menikah
dengan putra seorang kaya dari suku yang sama dan menetap di
rumah suaminya. Ia melahirkan seorang anak bernama Siïgà laka.
Sehingga ia dikenal sebagai Siïgà lakamà tu, Ibu Siïgà laka.
Putranya Siïgà laka memiliki pandangan salah. Ia menyembah ke
delapan penjuru setiap hari. Suatu hari sewaktu Buddha sedang
memasuki kota untuk mengumpulkan dà na makanan ia melihat
Siïgà laka muda sedang menghadap ke delapan penjuru dalam posisi
menyembah. Buddha berdiri di jalan dan membabarkan khotbah
kepada pemuda itu. Pada kesempatan itu, dua crore pendengar,
laki-laki dan perempuan, melihat Empat Kebenaran. Siïgà lakamà tu
mencapai Pengetahuan Pemenang Arus dan menjadi bhikkhunã.
2939
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
Ia dikenal dengan nama Therã Siïgà lakamà tu. Berkat cita-cita
masa lampaunya, sejak ia menjadi bhikkhunã indria keyakinannya
menjadi sangat kuat. Setiap saat ia pergi ke vihà ra Buddha untuk
mendengarkan khotbah ia tidak dapat memalingkan tatapannya
dari sosok agung Buddha. Bhagavà mengetahui keyakinannya yang
sangat kuat terhadap Buddha, membabarkan khotbah kepadanya
untuk menyempurnakan keyakinannya. Dengan keyakinannya
sebagai batu loncatan, ia bermeditasi Pandangan Cerah dan mencapai
Kearahattaan. (Seorang Arahanta yang mencapai Pencerahan dengan
keyakinan sebagai faktor utama.)
(c) Siïgà lakamà tu dinyatakan sebagai bhikkhunã terbaik
Pada suatu kesempatan saat Buddha sedang berdiam di Vihà ra
Jetavana dan menganugerahkan gelar terbaik kepada para bhikkhunã
sesuai kebajikan mereka, Beliau menyatakan:
“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang memiliki
keyakinan kuat, Bhikkhunã Siïgà lakamà tu yaitu yang terbaik.”
Demikianlah kisah Therã Siïgà lakamà tu.
2940
2941
Riwayat Para Siswa Awam
51
Riwayat Para Siswa Awam
(1) Dua Bersaudara Tapussa dan Bhallika
(a) Cita-cita masa lampau
(Penjelasan berikut yaitu berdasarkan Komentar Aïguttara Nikà ya
dan Komentar Theragà thà , Ekaka nipà ta).
Bakal Tapussa dan bakal Bhallika terlahir dalam keluarga kaya di
Kota Haÿsà và ti dalam masa Buddha Padumuttara. saat mereka
mendengarkan khotbah Buddha, mereka melihat dua siswa yang
dinyatakan oleh Buddha sebagai siswa awam terbaik dari siswa-
siswa awam pertama Buddha yang menyatakan berlindung di dalam
Tiga Perlindungan. Dua bersaudara ini bercita-cita untuk mencapai
posisi ini dan sesudah memberi persembahan yang besar, mereka
bertekad untuk mencapai tujuan itu. (Komentar Aïguttara).
Kehidupan-kehidupan Lampau Selama Masa Antara
Dua bersaudara ini menjalani kehidupan dengan penuh kebajikan
dan saat meninggal dunia mereka tidak pernah terlahir kembali di
alam sengsara apà ya namun terlahir kembali hanya di alam dewa
dan alam manusia. Bakal Bhallika terlahir kembali, tiga puluh satu
siklus dunia sebelum dunia yang sekarang ini, dalam masa tidak
adanya ajaran Buddha, sebagai seorang yang mempersembahkan
2942
segala jenis buah-buahan kepada seorang Pacceka Buddha bernama
Sumanà . Sebagai akibat dari kebajikan ini, ia terlahir kembali hanya
di alam yang bahagia. Pada masa Buddha Sikhi, ia terlahir dalam
sebuah keluarga brahmana di Kota Aruõavatã. Ia mendengar berita
dari dua pedagang bersaudara, Ujita dan Ojita, yang berkesempatan
mempersembahkan dà na makanan pertama kepada Buddha Sikhi
yang saat itu baru bangun dari tujuh hari ke tujuh berdiam dalam
Penghentian dan akan memulai berdiam dalam tujuh hari ke delapan
dalam Penghentian. Ia mendatangi Buddha Sikhi bersama dengan
temannya, bakal Tapussa, dan sesudah memberi hormat, memohon
Buddha untuk menerima dà na makanan dari mereka keesokan
harinya. Pada hari berikutnya mereka membuat persembahan
makanan yang luar biasa dan berkata, “Yang Mulia, atas kebajikan
ini, semoga kami berdua mendapat kesempatan untuk menjadi
yang pertama dalam memberi dà na makanan kepada Buddha
pada masa depan.”
Kedua sahabat menjalani banyak kehidupan dengan melakukan
kebajikan-kebajikan bersama-sama, menyebabkan mereka selalu
terlahir kembali di alam bahagia. Dalam masa Buddha Kassapa,
mereka terlahir dalam keluarga seorang pedagang sapi. Selama
bertahun-tahun kehidupan mereka yang berumur panjang, mereka
mempersembahkan makanan nasi susu kepada Saÿgha . (Peristiwa
ini dijelaskan dalam Theragà thà .)
(b) Menjadi siswa dalam kehidupan terakhir
Kedua sahabat menjalani kehidupan yang berbahagia selama
tahun-tahun yang tidak terhitung lamanya selama periode antara
munculnya dua Buddha. Dalam masa Buddha Gotama sebelum
mencapai Pencerahan Sempurna, mereka terlahir kembali sebagai
dua putra dari seorang pedagang yang membawa barang-barang
dagangan mereka dalam sebuah rombongan besar dari satu tempat
ke tempat lain. Kota asal mereka yaitu Asita¤jana (Komentar
Theragà thà menyebut kota ini Pokkharavatã). Sang kakak bernama
Tapussa dan adiknya Bhallika.
Mereka menjadi perumah tangga dan melanjutkan perdagangan itu
2943
Riwayat Para Siswa Awam
bersama-sama dalam rombongan yang terdiri dari lima ratus kereta.
Waktu itu Buddha Gotama telah mencapai Pencerahan Sempurna,
telah melewatkan tujuh kali tujuh hari berdiam dalam pencapaian
Penghentian, dan segera memasuki tujuh hari kedelapan berdiam
dalam Penghentian di bawah pohon ‘Linlun’ (Sapium baccatum).
Rombongan kedua bersaudara ini tidak jauh dari pohon ini .
Pada waktu itu, dewa yang merupakan ibu dari kedua pedagang
bersaudara ini dalam kehidupan sebelumnya, melihat bahwa Buddha
sangat memerlukan makanan, sesudah berdiam selama empat puluh
sembilan hari (terakhir Buddha hanya memakan empat puluh
sembilan suap nasi susu yang dipersembahkan oleh Sujatà ), hari itu
juga harus makan agar Beliau dapat tetap hidup. Dewa itu berpikir
bahwa baik sekali jika kedua putranya dapat mempersembahkan
makanan tepat pada waktunya. Dengan kesaktiannya, ia membuat
kereta-kereta itu tidak dapat bergerak.
Kedua bersaudara itu memeriksa kereta, sapi, dan segala sesuatu
yang mungkin menyebabkan kereta mereka tidak bisa bergerak.
Mereka tidak dapat menemukan pemicu nya. Dewa, sang ibu
dalam kehidupan sebelumnya, melihat mereka putus asa, merasuki
salah seorang yang berada dalam kereta dan berkata kepada mereka,
“Anakku, kalian tidak diganggu oleh siluman atau peta atau nà ga
tapi ini yaitu aku, dewa bumi, yang yaitu ibu kalian dalam
kehidupan yang lampau, yang menyebabkan hal ini. (Sekarang,
Anakku,) Buddha yang memiliki sepuluh kekuatan, sedang berdiam
di bawah pohon ‘Linlun.’ Pergi dan persembahkanlah dà na makanan
kepada Buddha yang akan menjadi makanan pertama yang Ia makan
sesudah mencapai Pencerahan Sempurna.”
Kedua bersaudara ini sangat gembira mendengar kata-kata
dewa ini . Dan berpikir bahwa jika mereka harus memasak
makanan lagi, akan membutuhkan waktu yang lama, mereka
mengambil beberapa makanan dari cadangan makanan mereka yang
terbaik, dengan memakai nampan emas mereka mendatangi
Buddha, mereka berkata, “Yang Mulia, berkat welas asih-Mu,
sudilah menerima makanan ini.” Buddha menganalisis situasi ini
dan merenungkan apa yang dilakukan Buddha-Buddha sebelumnya
2944
dalam situasi ini. Empat raja dewa mendatangi Buddha dan masing-
masing mempersembahkan sebuah mangkuk makanan yang terbuat
dari granit berwarna kehijauan. Buddha mempertimbangkan
manfaat yang akan dipeoleh keempat raja dewa itu, menerima
empat mangkuk ini , dan (dengan menumpuknya menjadi
satu) berkehendak agar empat mangkuk ini menjadi satu,
dan segera, empat mangkuk granit ini menjadi satu mangkuk
dengan empat sisi.
Kedua bersaudara ini meletakkan makanan ini ke dalam
mangkuk Buddha. (Buddha memakan makanan ini .) sesudah
Buddha selesai makan, kedua bersaudara itu mempersembahkan air
untuk minum dan mencuci mangkuk. lalu mereka bersujud
kepada Buddha dan duduk di tempat yang semestinya. Buddha
memberi khotbah dan pada akhir khotbah ini , kedua
bersaudra itu menyatakan berlindung dalam Dua Perlindungan
(kisah mengenai kedua bersaudara yang berlindung dalam
Dua Perlindungan (Dve Và cika Saraõagamaõa) telah dijelaskan
sebelumnya).
sesudah berlindung dalam Dua Perlindungan, sebelum pergi, kedua
bersaudara ini berkata kepada Buddha, “Yang Mulia, sudilah
Bhagavà , yang penuh welas asih, memberi kepada kami sesuatu
yang dapat kami puja setiap hari.” Buddha mengusap kepala-Nya
dengan tangan kanan-Nya dan memberi delapan relik rambut-
Nya kepada mereka. Kedua bersaudara menyimpan rambut itu
dalam sebuah peti emas dan membawanya pulang. Sekembalinya
ke kota mereka, mereka mendirikan sebuah cetiya di dekat pintu
gerbang Kota Asita¤jana di mana delapan relik para Buddha hidup
dipuja. Pada hari uposatha cetiya itu biasanya memancarkan cahaya
Buddha.
(c) Dua bersaudara menjadi siswa terbaik
Pada lalu hari, saat Buddha sedang berada di Vihà ra
Jetavana dan menganugerahkan gelar siswa terbaik sesuai jasa
mereka, Beliau menyatakan:
2945
Riwayat Para Siswa Awam
“Para bhikkhu, di antara para siswa awam-Ku yang paling awal
berlindung di dalam Buddha dan Dhamma, dua pedagang
bersaudara Tapussa dan Bhallika yaitu yang terbaik.”
Mencapai Pengetahuan Jalan
Tapussa dan Bhallika yaitu siswa pertama awam yang menyatakan
berlindung kepada Buddha dan Dhamma. lalu Buddha
memberi khotbah pertamanya, Dhammacakka di Hutan
Migadà vana di dekat Bà rà õasã. sesudah itu Ia pergi dan menetap
di RÃ jagaha. Kedua bersaudara ini tiba di RÃ jagaha dalam suatu
perjalanan dagang mereka, mereka mengunjungi Buddha, bersujud
dan duduk di tempat yang semestinya. Buddha memberi
khotbah kepada mereka, yang pada akhir khotbah ini , kakak
Tapussa mencapai tingkat Pengetahuan Pemenang Arus dan
Buahnya. Adiknya menjadi bhikkhu dan tidak lama lalu
mencapai tingkat kesucian Arahatta yang memiliki enam kekuatan
batin tinggi. (Komentar Theragà thà , Vol. 1).
(2) Orang Kaya Anà thapiõóika
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Anà thapiõóika terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota
Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. saat
mendengarkan khotbah Buddha, ia menyaksikan seorang siswa
awam yang dinyatakan sebagai siswa awam terbaik di antara mereka
yang senang berdana. Ia berkeinginan kuat untuk menjadi seperti
siswa ini dan sesudah memberi persembahan besar kepada
Buddha, ia mengungkapkan cita-citanya di hadapan Buddha.
(b) Kehidupan terakhir sebagai orang kaya
Orang kaya itu mengembara di alam-alam bahagia selama seratus
ribu siklus dunia dan pada masa Buddha Gotama, ia terlahir
kembali sebagai putra Sumanà , orang kaya dari Sà vatthã. Nama yang
diberikan oleh orangtuanya kepadanya yaitu Sudattha.
2946
Bagaimana Ia Dikenal Sebagai ‘Anà thapiõóika’
Seiring berjalannya waktu, Sudattha menjadi kepala keluarga. Ia
memiliki reputasi ‘seorang yang memberi makanan kepada
kaum papa’ yang dalam bahasa Pà ëi yaitu : anà tha (miskin) +
piõóika (pemberi nasi). Kisah mengenai Anà thapiõóika ini sudah
dibahas pada bab-bab terdahulu, di sini hanya diberikan gambaran
singkat seperti yang tertulis dalam Komentar Aïguttara Nikà ya.
Suatu hari Anà thapiõóika tiba di Rà jagaha dalam suatu urusan
perdagangan, ia mengunjungi temannya orang kaya di RÃ jagaha.
Di sana ia mendengar kabar luar biasa bahwa Buddha telah muncul
di dunia. Ia tidak dapat menunggu hingga gerbang Kota RÃ jagaha
dibuka keesokan paginya. Maka ia meninggalkan kota itu saat dini
hari dan para dewa membantunya membukakan pintu gerbang
kota untuk dilewatinya. Ia melihat Buddha, mendengarkan khotbah
Buddha, dan mencapai Buah Pengetahuan Pemenang Arus. Keesokan
harinya ia memberi persembahan besar kepada Buddha dan
Saÿgha dan mengundang Buddha untuk datang ke Sà vatthã.
Ia pulang ke Sà vatthã. Dalam perjalanan pulang, ia melakukan
pengaturan bersama teman-temannya, ia membayar satu lakh uang
di setiap tempat untuk membangun tempat peristirahat sementara
bagi Buddha dan para pengikut-Nya, dalam setiap jarak satu yojanà .
Jarak antara Rà jagaha dan Sà vatthã yaitu empat puluh lima yojanà ,
ia menghabiskan empat puluh lima lakh untuk membangun empat
puluh lima vihà ra singgah. Di Sà vatthã, ia membeli sebuah taman
yang luas, taman rekreasi milik Pangeran Jeta, yang nilainya sama
dengan keping-keping uang emas yang ditebarkan menutupi
seluruh permukaan tanah ini dan disusun saling bersentuhan.
Jumlah uang itu mencapai delapan belas crore. Di atas tanah itu, ia
membangun sebuah vihà ra (emas) dengan biaya delapan belas crore
lagi. Pada Ritual persembahan Vihà ra Jetavana (artinya vihà ra yang
dibangun di Taman Jeta) yang berlangsung selama tiga bulan (ada
yang mengatakan lima bulan, bahkan sembilan bulan), perayaan
yang meriah diadakan di mana para tamu dapat menikmati apa
yang mereka inginkan sejak pagi hingga malam hari. Perayaan dan
Ritual ini juga menghabiskan biaya delapan belas crore.
2947
Riwayat Para Siswa Awam
(c) Menjadi penyumbang terbaik
Untuk Vihà ra Jetavana sendiri nilainya lima puluh empat crore.
Persembahan rutin kepada Buddha dan Saÿgha terdiri dari
persembahan berikut:
- persembahan makanan kepada lima ratus bhikkhu setiap hari
memakai kupon makanan (salaka bhatta).
- persembahan makanan kepada lima ratus bhikkhu satu kali
pada bulan muda dan satu kali pada bulan tua.
- persembahan bubur kepada lima ratus bhikkhu setiap hari
memakai kupon makanan.
- persembahan bubur kepada lima ratus bhikkhu satu kali pada
bulan muda dan satu kali pada bulan tua.
- persembahan makanan setiap hari kepada:
(a) lima ratus bhikkhu yang baru tiba di Sà vatthã dan yang
belum terbiasa dengan rutinitas mengumpulkan dà na
makanan di sana.
(b) lima ratus bhikkhu yang akan melakukan perjalanan
(c) lima ratus bhikkhu yang sedang sakit,
(d) lima ratus bhikkhu yang merawat bhikkhu yang sakit
- selalu tersedia lima ratus tempat duduk untuk lima ratus
bhikkhu setiap saat di rumah Anà thapiõóika.
sebab itu, pada suatu kesempatan, saat Buddha sedang berada di
Vihà ra Jetavana, Beliau menyatakan, “Para bhikkhu, di antara para
siswa awam-Ku yang senang memberi, Sudattha, si perumah tangga,
yang juga dikenal sebagai Anà thapiõóika yaitu yang terbaik.”
Anà thapiõóikovà da Sutta, Khotbah Kesukaan Anà thapiõóika
(Di sini hanya akan dibahas Anà thapiõóikovà da Sutta secara
seingkat, sebuah khotbah yang sangat disukai oleh Anà thapiõóika.
2948
Penjelasan lengkap khotbah ini terdapat dalam Uparipaõõà sa.)
Sewaktu Buddha sedang menetap di Vihà ra Jetavana di Sà vatthã,
Anà thapiõóika, si perumah tangga, sedang sakit, dan sangat
menderita. lalu Anà thapiõóika memanggil pelayannya dan
berkata, “Anakku, pergilah menghadap Bhagavà dan bersujud di
kaki-Nya sampaikan pesanku. Katakan kepada Bhagavà , ‘Yang
Mulia, Anà thapiõóika, si perumah tangga, sedang sakit, dan sangat
menderita. Ia memberi hormat kepada-Mu dengan kepalanya di kaki
Bhagavà .’ lalu pergilah menghadap Yang Mulia Sà riputta,
bersujud di kakinya dan sampaikan pesanku. Katakan kepada Yang
Mulia Sà riputta , ‘Yang Mulia, Anà thapiõóika, si perumah tangga,
sedang sakit, dan sangat menderita. Ia memberi hormat kepadamu
dengan kepalanya di kaki Yang Mulia SÃ riputta.’ Dan juga katakan,
‘Yang Mulia, sudilah Yang Mulia SÃ riputta, dengan welas asihnya,
datang ke rumah Anà thapiõóika.’
(saat Anà thapiõóika dalam keadaan sehat, ia biasanya
mengunjungi Buddha paling sedikit satu kali dalam sehari, dan dua
atau tiga kali jika situasi memungkinkan. Tetapi sekarang ia sedang
berada di atas ranjang kematiannya, maka ia mengirim seorang
pelayan sebagai utusannya.)
“Baiklah, Tuan,” jawab pelayan Anà thapiõóika, dan pergi
menghadap Bhagavà . Ia bersujud di kaki Bhagavà , dan berkata
kepada Bhagavà sesuai instruksi majikannya. Saat itu matahari
hampir terbenam. lalu ia menghadap Yang Mulia SÃ riputta,
bersujud di kakinya, dan berkata kepada Yang Mulia SÃ riputta sesuai
instruksi majikannya, memohon agar Yang Mulia SÃ riputta datang
ke rumah Anà thapiõóika. Yang Mulia Sà riputta menyanggupi
dengan berdiam diri.
lalu , Yang Mulia SÃ riputta, membetulkan jubahnya, membawa
mangkuk dan jubahnya, pergi ke rumah Anà thapiõóika, si perumah
tangga, disertai oleh Yang Mulia ânanda sebagai pelayannya
(menggantikan bhikkhu lain), dan di sana, sesudah duduk di tempat
yang telah disediakan untuknya, ia bertanya kapada Anà thapiõóika,
si perumah tangga, “Perumah tangga, apakah engkau baik-baik saja?
2949
Riwayat Para Siswa Awam
Apakah engkau merasa lebih baik? Apakah rasa sakitmu berkurang
dan tidak bertambah? Apakah sakitnya semakin berkurang dan
bukan bertambah?”
Anà thapiõóika, si perumah tangga, menjawab kepada Yang Mulia
SÃ riputta tentang bagaimana ia merasa tidak sehat, bagaimana ia
tidak merasa lebih baik, bagaimana rasa sakitnya bertambah dan
bukannya berkurang, dan bagaimana sakitnya semakin bertambah
dan bukan berkurang.
Yang Mulia SÃ riputta mengetahui bahwa penyakit si perumah
tangga itu tidak tertahankan dan hanya akan berakhir dengan
kematian. Maka ia mempertimbangkan bahwa penting baginya
untuk tidak membicarakan hal-hal lain tetapi memberi khotbah
yang akan bermanfaat baginya. Ia membabarkan khotbah berikut
secara terperinci. sebab tidak mungkin melawan penyakit yang
akan berakhir dengan kematian si penderita yang, masih berada
di bawah pengaruh keserakahan, keangkuhan, dan pandangan
salah, melekat pada enam pintu-indria, enam objek-indra, enam
jenis kesadaran, enam jenis kontak, enam jenis perasaan, dan lain-
lain. Ia berkata, “Perumah tangga, engkau harus mempraktikkan
sebagai berikut:
‘Aku tidak akan memiliki keterikatan, apakah melalui keserakahan
atau keangkuhan atau pandangan salah, terhadap mata, yang yaitu
badan jasmani dengan kepekaan melihat; lalu kesadaran yang
bergantung pada mata (melalui kegemaran halus nikanti taõha pada
mata) tidak akan muncul dalam diriku!’ Perumah tangga, engkau
harus mempraktikkan Tiga Latihan dengan cara demikian.”
(“Engkau harus mempraktikkan sebagai berikut: ‘Aku tidak
akan terikat pada mata’ yaitu untuk menasihati si perumah
tangga untuk memandang bahwa mata yaitu tidak kekal, penuh
penderitaan (dukkha) dan tanpa-diri. Hal ini sebab jika seseorang
memandang mata sebagai tidak kekal, maka keangkuhan tidak akan
memiliki tempat berpijak, tidak akan dapat muncul, jika seseorang
memandang mata sebagai penuh penderitaan (dukkha), maka
keserakahan pada mata sebagai ‘mataku’ tidak akan muncul, jika
2950
seseorang memandang mata sebagai tanpa-diri, maka Pandangan
Salah atas identitas diri atau ego sebagai ‘diriku’ tidak akan muncul.
sebab itu, untuk dapat bebas dari konsep salah sebab Keangkuhan,
Keserakahan dan Pandangan Salah, seseorang harus terus-menerus
memandang mata sebagai tidak kekal, penuh penderitaan (dukkha)
dan tanpa-diri.
Tiga konsep salah keangkuhan, keserakahan dan pandangan salah
yaitu kondisi batin yang kasar. Bahkan, meskipun tiga konsep
salah itu telah lenyap, masih ada kegemaran halus (nikanti) pada
mata ini yang cenderung hadir dalam diri seseorang. Yang
Mulia SÃ riputta menasihati si perumah tangga untuk menjaga
kesadarannya agar tetap bebas dari kegemaran halus ini.
Hal yang sama berlaku pada lima landasan indria lainnya seperti
telinga, hidung, dan lain-lain, dan juga pada objek-objek indria,
dan lain-lain.”)
sesudah menasihati Anà thapiõóika untuk melatih dirinya agar bebas
dari kemelekatan pada mata melalui keangkuhan, keserakahan dan
pandangan salah, dan juga agar tidak memiliki kegemaran yang
terus-menerus hadir pada mata, Yang Mulia SÃ riputta lebih jauh
lagi menasihatinya sebagai berikut:
“Oleh sebab itu, perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai
berikut, ‘Aku tidak akan terikat pada telinga … hidung … lidah …
pikiran, lanadasan-pikiran; (bahkan tidak dalam bentuk kegemaran
halus terhadap pikiran)’” (1)
“Oleh sebab itu, perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai
berikut, ‘Aku tidak akan terikat pada objek terlihat … suara … bau-
bauan … objek nyata … objek pikiran; (bahkan tidak dalam bentuk
kegemaran halus terhadap objek-pikiran)’” (2)
“Oleh sebab itu, perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai
berikut, ‘Aku tidak akan terikat pada kesadaran-mata … kesadaran-
telinga … kesadaran-hidung … kesadaran-badan … kesadaran-
pikiran; (bahkan tidak dalam bentuk kegemaran halus terhadap
2951
Riwayat Para Siswa Awam
kesadaran-pikiran)’” (3)
“Oleh sebab itu, perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai
berikut, ‘Aku tidak akan terikat pada kontak-mata … kontak-telinga
… kontak-hidung … kontak-lidah … kontak-badan … kontak-
pikiran; (bahkan tidak dalam bentuk kegemaran halus terhadap
kontak-pikiran)’” (4)
“Oleh sebab itu, perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai
berikut, ‘Aku tidak akan terikat pada perasaan yang muncul sebab
kontak-mata … perasaan yang muncul sebab kontak-telinga …
perasaan yang muncul sebab kontak-hidung … perasaan yang
muncul sebab kontak-lidah … perasaan yang muncul sebab
kontak-badan … perasaan yang muncul sebab kontak-pikiran;
(bahkan tidak dalam bentuk kegemaran halus terhadap perasaan
yang muncul sebab kontak-pikiran)’” (5)
“Oleh sebab itu, perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai
berikut, ‘Aku tidak akan terikat pada unsur padat … unsur
campuran … unsur panas … unsur gerak … unsur ruang … unsur
kesadaran (bahkan tidak dalam bentuk yang kegemaran halus
terhadap unsur kesadaran.)’” (6)
“Oleh sebab itu, perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai
berikut, ‘Aku tidak akan terikat pada badan jasmani … perasaan …
pencerapan … aktivitas kehendak … kesadaran (bahkan tidak dalam
bentuk yang kegemaran halus terhadap kesadaran.)’” (7)
“Oleh sebab itu, perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai
berikut, ‘Aku tidak akan terikat pada Jhà na ruang tidak terbatas
… Jhà na kesadaran tidak terbatas … Jhà na kekosongan … Jhà na
Bukan Persepsi Pun Bukan Nonpersepsi (bahkan tidak dalam bentuk
yang kegemaran halus terhadap Jhà na Bukan Persepsi Pun Bukan
Nonpersepsi).’” (8)
“Oleh sebab itu, perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai
berikut, ‘Aku tidak akan terikat pada kehidupan sekarang, maka
kesadaran yang bergantung pada kehidupan sekarang (melalui
2952
kegemaran halus terhadap kehidupan sekarang) tidak akan muncul
dalam diriku.’ Perumah tangga, engkau harus mempraktikkan Tiga
Latihan dengan cara demikian.”
“Oleh sebab itu, perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai
berikut, ‘Aku tidak akan terikat pada kehidupan sesudah kematian,
maka kesadaran yang bergantung pada kehidupan sesudah kematian
(melalui kegemaran halus terhadap kehidupan sesudah kematian)
tidak akan muncul dalam diriku.’ Perumah tangga, engkau harus
mempraktikkan Tiga Latihan dengan cara demikian.” (9)
(Dari delapan penjelasan pertama, yang dimaksud yaitu
makhluk-makhluk hidup. Dalam penjelasan terakhir (kesembilan),
‘kehidupan sekarang’ maksudnya yaitu aktivitas kehendak yang
berhubungan dengan tempat tinggal, makanan, pakaian, dan harta
lainnya, ‘kehidupan sesudah kematian’ maksudnya yaitu segala
bentuk kehidupan di luar kehidupan di alam manusia. Yang Mulia
SÃ riputta, dengan menyebutkan kehidupan sesudah kematian,
menjelaskan bahwa si perumah tangga tidak boleh serakah terhadap
istana besar, makanan dan pakaian mewah, dan sebagainya, dalam
kehidupan di alam dewa.)
lalu Yang Mulia SÃ riputta membabarkan khotbah yang luas
dalam sembilan pokok (dengan topik yang sama). Harus dimengerti
bahwa tiga akar, keserakahan, keangkuhan, dan pandangan salah,
dilenyapkan total pada saat pencapaian Arahatta-Phala. Dari tiga
ini, pandangan salah dilenyapkan saat Pengetahuan Pemenang
Arus dicapai. Yang Mulia SÃ riputta terus-menerus menasihati
Anà thapiõóika agar mempraktikkan demikian sehingga tidak ada
kemelekatan terhadap apa pun yang muncul dalam batinnya melalui
konsep keliru ini. Hal ini mengandung arti bahwa tujuan yang ingin
dicapai yaitu Arahatta-Phala. Topik-topik ini ia tekankan kepada si
perumah tangga dengan menjelaskan sembilan faktor, yaitu, pintu-
indria, objek-indria, kesadaran, kontak, perasaan, unsur (dhà tu),
kelompok-kelompok (khandha), Jhà na, alam tanpa bentuk, dan
segala hal yang diketahui, Sabba Dhamma, kehampaan, kekosongan,
kepalsuan dari semua fenomena ini dipahami oleh seseorang yang
mencapai Arahatta-Phala.)
2953
Riwayat Para Siswa Awam
saat khotbah itu berakhir, Anà thapiõóika si perumah tangga
menangis sedih. Yang Mulia ânanda berkata kepada Anà thapiõóika
si perumah tangga, “Perumah tangga, apakah engkau melekat
pada hartamu? Perumah tangga, apakah engkau meragukan
kebajikanmu?”
“Yang Mulia,” jawab Anà thapiõóika, “Aku tidak melekat pada
hartaku. Aku juga tidak ragu. Aku sudah lama melayani Bhagavà .
Aku juga telah lama melayani para bhikkhu yang layak dihormati.
Tetapi, aku belum pernah mendengar kata-kata Dhamma seperti
ini sebelumnya.”
“Perumah tangga, umat awam yang mengenakan jubah putih tidak
dapat memahami kata-kata Dhamma ini dengan jelas. (sebab bagi
umat awam, tidaklah mudah untuk menuruti nasihat meninggalkan
orang-orang yang mereka sayangi seperti istri dan anak-anak, dan
berbagai benda milik mereka seperti pelayan yang baik, lahan yang
subur, dan sebagainya.) Perumah tangga, kata-kata Dhamma ini
hanya dapat dipahami oleh para bhikkhu. (Hanya bhikkhu yang
dapat menghargai nasihat seperti ini.)”
“Yang Mulia SÃ riputta, aku mohon. Sudilah kata-kata Dhamma ini
dibabarkan kepada para umat awam yang mengenakan jubah putih.
Yang Mulia, banyak orang-orang baik yang pemahaman mereka
tidak tertutup oleh debu kotoran. Bagi mereka, yaitu kerugian besar
tidak melihat spiritualitas sebab tidak mendengarkan Dhamma.
Mereka yaitu orang-orang yang mampu memahami Dhamma dan
mencapai Kearahattaan hanya jika engkau membabarkan Dhamma
kepada mereka.”
(“Aku tidak pernah mendengarkan kata-kata Dhamma seperti ini
sebelumnya.” Kata-kata yang diucapkan oleh Anà thapiõóika ini
perlu dijelaskan. Bukan berarti bahwa si perumah tangga belum
pernah dinasihati oleh Buddha dengan kata-kata yang memiliki
makna yang sama dalamnya. Tetapi Dhamma yang mengarah
menuju Arahatta-Phala yang dijelaskan melalui urutan-urutan yang
melibatkan sembilan bagian yang berbeda seperti enam pintu-indria,
2954
enam objek-ibndria, enam jenis kesadaran, enam unsur, kelompok-
kelompok kehidupan, empat Jhà na tanpa bentuk, kehidupan
sekarang dan kehidupan sesudah kematian, melalui seluruh bentuk
pengenalannya, yaitu, melihat, mendengar, dan seterusnya, belum
pernah dibabarkan kepadanya sebelumnya.
Penjelasan lain: kedermawanan dan kegembiraan dalam memberi
yaitu ciri dan sifat Anà thapiõóika. Ia tidak pernah mengunjungi
Buddha ataupun para bhikkhu yang layak dihormati dengan tangan
kosong, pada pagi hari, ia akan membawa bubur dan makanan
lainnya kepada mereka, pada sore hari, ia membawa mentega, madu
atau gula merah, dan lain-lain. Bahkan pada beberapa kesempatan
yang jarang saat ia tidak mempersembahkan apa pun, ia akan
membawa pelayannya, membawa pasir untuk ditebarkan di halaman
vihà ra. Di vihà ra, ia akan memberi persembahan, menjalani sãla,
dan lalu pulang. Perilaku mulia yang ia lakukan menjadikan
ia memiliki reputasi sebagai seorang yang layak menjadi seorang
Bakal Buddha. Buddha, selama dua puluh empat tahun bergaul
dengan Anà thapiõóika, sering memuji kedermawanannya, “Aku
telah mempraktikkan kedermawanan selama empat asaïkhyeyya
dan seratus ribu kappa. Engkau mengikuti jejak-Ku.” Para siswa
besar seperti Yang Mulia SÃ riputta biasanya membabarkan khotbah
kepada Anà thapiõóika tentang manfaat dalam memberi dà na. Itulah
sebabnya Yang Mulia ânanda berkata kepadanya, “Perumah tangga,
umat awam yang mengenakan jubah putih tidak dapat memahami
kata-kata Dhamma ini secara jelas.” Dengan merujuk pada khotbah
yang baru disampaikan oleh Yang Mulia SÃ riputta.
Bukan berarti bahwa Buddha tidak pernah membabarkan kepada
Anà thapiõóika tentang bagaimana melatih Pandangan Cerah yang
mengarah menuju Pengetahuan Jalan dan Buahnya. Sesungguhnya,
si Perumah Tangga telah mendengar tentang pentingnya
mengembangkan Pandangan Cerah. Hanya saja, ia belum pernah
mendengarkan khotbah yang demikian jelas dalam sembilan
bagian seperti pada khotbah ini. Komentar Anà thapiõóikovada
menyebutkan, “Sesungguhnya, Bhagavà telah membabarkan
kepadanya (Anà thapiõóika) tentang topik pengembangan
Pandangan Cerah sebagai jalan lurus menuju pencapaian Jalan
2955
Riwayat Para Siswa Awam
Ariya.”)
Anà thapiõóika Meninggal Dunia dan Terlahir Kembali di
Alam Dewa TusitÃ
sesudah menasihati Anà thapiõóika si perumah tangga, Yang Mulia
Sà riputta dan Yang Mulia ânanda meninggalkan tempat itu. Tidak
lama lalu , Anà thapiõóika meninggal dunia dan terlahir
kembali di Alam Dewa Tusità .
lalu , saat tengah malam, Dewa Anà thapiõóika mendatangi
Buddha, bersujud kepada Bhagavà dan mengucapkan syair
berikut:
(Sebelum menjelaskan syair ini , terlebih dahulu harus
dimengerti alasan Dewa Anà thapiõóika mengunjungi Buddha.
Terlahir kembali di Alam Dewa Tusita, Anà thapiõóika merasa,
mengalami suatu hal yang luar biasa dan menyenangkan. Tubuhnya,
tiga gà vuta tingginya, bersinar bagaikan bongkahan emas.
Istananya, taman-taman rekreasi, pohon pengharapan tempat ia
dapat memperoleh apa pun hanya dengan berharap, dan lain-lain,
sungguh memikat. Dewa itu merenungkan kehidupan lampaunya
dan mengetahui bahwa pengabdiannya kepada Tiga Permata
yaitu pemicu dari kehidupannya yang gemerlapan itu. Ia
merenungkan kehidupan barunya sebagai dewa. Penuh kemudahan
dan kenyamanan yang dengan mudah dapat menghanyutkannya
dalam kenikmatan indria, dan melupakan Dhamma yang Baik. “
Aku harus pergi ke alam manusia dan menyanyikan pujian terhadap
Vihà ra Jetavana (jasa kebajikan lampauku), Saÿgha, Buddha, Jalan
Ariya, Yang Mulia SÃ riputta; dan sesudah kembali dari alam manusia,
baru akan mulai menikmati kehidupan baruku ini.” Demikianlah
ia memutuskan.)
Empat Bait Syair yang Ditujukan Kepada BhagavÃ
1. “(Yang Mulia,) Vihà ra Jetavana ini, yaitu tempat tinggal siang
dan malam hari bagi Saÿgha (yang terdiri dari para bhikkhu
yang telah menjadi Arahanta dan juga mereka yang masih berlatih
2956
untuk mencapai Kearahattaan.) ini yaitu tempat tinggal Bhagavà ,
Raja Dhamma. (Itulah sebabnya mengapa) ini menjadi sumber
kegembiraan bagiku.”
(Vihà ra Jetavana yaitu sebuah kompleks vihà ra yang terdiri dari
Kuñã (Harum) Buddha, vihà ra berkubah berbentuk persegi, sejumlah
kuñã-kuñã yang dihiasi dengan perhiasan-perhiasan indah dengan
pohon buah-buahan, bunga-bungaan dan semak belukar dan
tempat-tempat duduk untuk beristirahat. Sebuah tempat religius
yang sangat indah, menggembirakan para pengunjung. Tetapi, daya
tarik sesungguhnya dari Vihà ra Jetavana terletak pada penghuninya,
para Ariya yang tanpa noda seperti Buddha dan para Siswa Mulia.
Dan keindahan spiritual dari tempat itulah dan bukan daya tarik
indria yang memikat seorang Ariya seperti Anà thapiõóika.)
2. “Hanya melalui perbuatan (yaitu, aktivitas kehendak yang
berhubungan dengan Magga), Pengetahuan (yaitu, Pandangan Benar
dan Pemikiran benar), Dhamma (yaitu, Usaha Benar, Perhatian Benar
dan Pemusatan benar), dan Penghidupan Benar yang berdasarkan
pada moralitas (yaitu, Perkataan Benar, Perbuatan Benar, dan
Penghidupan Benar), makhluk-makhluk hidup menjadi suci, bukan
menjadi suci melalui kelahiran atau kekayaan.”
(Dalam syair ini, Anà thapiõóika memuji Jalan Mulia Berfaktor
Delapan)
3. “Oleh sebab itu, orang bijaksana, melihat kesejahteraannya
sendiri (yang memuncak pada Nibbà na), harus merenungkan
dengan persepsi benar tentang ketidakkekalan, penderitaan,
dan tanpa-diri dari lima kelompok kehidupan (tubuh ini) yang
merupakan objek kemelekatan, dengan merenungkan demikian,
orang itu akan disucikan melalui penembusan Empat Kebenaran
Mulia.”
(Tubuh ini, gabungan batin-jasmani yang dianggap sebagai diri,
jika dibawa ke analisis tertinggi melalui pengembangan Pandangan
Cerah, maka sifat sejatinya akan terungkap. Saat Pandangan Cerah
telah berkembang penuh menjadi Pengetahuan Jalan, Kebenaran
2957
Riwayat Para Siswa Awam
Tentang Dukkha atau penderitaan akan kelahiran yang berulang-
ulang, akan terlihat melalui pemahaman penuh atas fenomena.
Kebenaran Tentang pemicu Dukkha juga terlihat dan dihancurkan.
Kebenaran Tentang Lenyapnya Dukkha dipahami melalui
pengalaman langsung. Kebenaran Tentang Jalan dipahami dengan
mengembangkannya. lalu yogi akan bebas dari kotoran
dan kesucian tercapai. Dalam syair ini Anà thapiõóika memuji
pengembangan Pandangan Cerah dan pencapaian Pengetahuan
Jalan.)
4. “Bhikkhu tertentu mencapai pantai seberang (Nibbà na). Dalam hal
ini ia setara dengan SÃ riputta. Tetapi SÃ riputta dengan pengetahuan,
moralitas dan ketenangannya (pemadaman à sava) pa¤¤Ã , sãla,
upasamà yaitu yang termulia di antara para bhikkhu yang telah
mencapai pantai seberang (Nibbà na).”
(Dalam syair ini Anà thapiõóika memuji kemuliaan Yang Mulia
SÃ riputta.)
Dewa Anà thapiõóika mengucapkan empat bait syair ini
kepada Buddha. Buddha mendengarkannya tanpa memotongnya,
menunjukkan bahwa Beliau menyetujui. lalu Dewa
Anà thapiõóika dengan gembira berpikir, “Guru gembira
mendengarkan kata-kataku,” ia bersujud k
.jpeg)
.jpeg)





