Biksu Budha 21

 



k, dan sebagainya selain faktor 

batin tiga pengendalian (viratã).

(4) Moralitas terdiri dari dua jenis: nissita sãla dan anissita sãla.

(a) Nissita sãla yaitu   moralitas yang dilatih yang bergantung 

3257

 1

pada keserakahan atau pada pandangan salah. Jika seseorang 

melaksanakan sãla dengan tujuan untuk mencapai kehidupan yang 

baik pada masa depan, memiliki harta kekayaan yang berlimpah, 

sãla orang itu disebut moralitas yang bergantung pada keserakahan. 

Pelaksanaan sãla atau ritual (seperti meniru sapi atau anjing) sebab   

pandangan salah bahwa perbuatan ini   dapat membantu dalam 

usaha penyucian spiritual disebut moralitas yang bergantung pada 

pandangan salah.

(Mereka yang menganut ajaran Buddha tidak mungkin melatih 

moralitas yang bergantung pada pandangan salah; namun mereka 

harus berhati-hati agar tidak melatih moralitas yang bergantung 

pada pandangan salah yang mungkin mereka lakukan).

(b) Anissita sãla yaitu   moralitas yang dilatih tanpa bergantung pada 

keserakahan maupun pada pandangan salah, namun dengan tujuan 

tunggal untuk melatih praktik mulia. Ini berarti praktik moralitas 

lokiya yang merupakan prasyarat bagi moralitas Lokuttara.

(5) Moralitas terdiri dari dua jenis: kàlapariyanta sãla dan 

àpàõakoñika sãla.

(a) Kàlapariyanta sãla yaitu   moralitas yang dilaksanakan selama 

waktu yang terbatas.

(b) âpàõakotika sãla yaitu   moralitas yang dilaksanakan seumur 

hidup.

Dalam menjelaskan kàlapariyanta sãla, Visuddhimagga menyebutkan 

hanya secara umum jangka waktu pelaksanaan (kàlaparicchedaÿ 

katvà sammàdinnam sãlaÿ). Tetapi òãkà secara lebih terperinci 

menjelaskan rentang waktu ini  : sehari penuh atau semalam, 

dan sebagainya, (kàlaparicchedaÿ katvà ti ima¤ ca rattiÿ ima¤ ca 

divan ti àdinà viya kàlavasena paricchedam katvà).

Sekarang ini, banyak orang menjalani sãla tanpa menyebutkan 

rentang waktunya; sehingga seolah-olah dilaksanakan seumur 

hidup. Tetapi sebab   niatnya yaitu   melaksanakan sãla selama 

3258


satu hari atau selama waktu tertentu saja, maka pasti merupakan 

moralitas sementara. Sebagai rumusan seperti yang terdapat 

dalam Komentar dan Subkomentar, dalam mengucapkan janji 

melaksanakan sãla yang dijelaskan di atas, memerlukan penyebutan 

rentang waktu pelaksanaan, seseorang harus menyebutkan rentang 

waktu berapa lama ia akan melaksanakan sãla. Akan tetapi, jika tidak 

menyebutkannya juga bukan merupakan pelanggaran; akan tetap 

merupakan praktik moralitas sementara.

Kehendak, meskipun tidak diucapkan biasanya dianggap sebagai 

selama sehari penuh, atau semalam penuh, atau sehari semalam. 

Tetapi juga tidak harus demikian menurut Komentar Pañisambhida 

Magga yang menyebutkan bahwa seseorang dapat melaksanakan 

sãla selama satu kali duduk, seperti para umat awam yang, sesudah   

menyatakan berlindung kepada Tiga Permata, melaksanakan 

sekelompok sãla sewaktu memberi   persembahan kepada seorang 

bhikkhu yang diundang ke rumah. Mereka melaksanakan sãla 

hanya selama Ritual   persembahan ini   berlangsung. Atau 

mereka melaksanakan sekelompok sãla selama mereka berkunjung 

ke vihàra selama satu atau dua hari. Semua ini yaitu   pelaksanaan 

moralitas sementara.

Demikianlah menurut Komentar ini, yaitu   bermanfaat untuk dapat 

menjalani sãla bahkan selama rentang waktu yang sangat singkat. 

Oleh sebab   itu guru-guru menjelaskan bahwa yaitu   penting untuk 

mendorong agar anak-anak yang tidak terbiasa tidak makan sore 

agar menjalani Delapan Sãla pada hari uposatha hanya selama pagi 

hari saja. Seseorang akan selalu memperoleh jasa dalam melakukan 

kebajikan melaksanakan sãla, seberapa singkat pun rentang waktu 

pelaksanaan itu.

Dua kisah dalam Cuëa Vagga dari Peta Vatthu menggambarkan hal 

ini. Pada masa kehidupan Buddha, di Ràjagaha terdapat seorang 

pemburu yang mencari nafkah dengan berburu rusa siang dan 

malam. Ia memiliki seorang teman yang yaitu   siswa Buddha 

yang telah menerima Tiga Perlindungan. Sang teman menasihati si 

pemburu agar menghindari pembunuhan terhadap hewan-hewan 

buruan. Tetapi nasihat itu hanya masuk ke telinga yang tuli. Ia 

3259

 1

mendesak agar si pemburu menghindari pembunuhan minimal 

pada malam hari dan menjalani kebajikan melaksanakan sãla. Si 

pemburu akhirnya menyanggupi bujukan yang terus-menerus 

dilakukan temannya, dan meninggalkan kegiatan mempersiapkan 

pembunuhan pada malam hari, dan ia melewatkan malam hari 

dengan melaksanakan sãla.

sesudah   meninggal dunia, si pemburu terlahir kembali di dekat 

Ràjagaha sebagai Vemànika peta, yang mengalami penderitaan 

pada siang hari, namun hidup penuh kebahagiaan pada malam 

hari menikmati kenikmatan indria.

Yang Mulia Thera Nàrada, berjumpa dengan peta ini dalam 

pengembaraannya, bertanya kepadanya, kebajikan apa yang telah 

ia lakukan dalam kehidupan lampaunya. Peta itu menceritakan 

kisah hidupnya sebagai pemburu, bagaimana ia mencari nafkah 

dengan membunuh, bagaimana temannya yang telah menerima Tiga 

Perlindungan menasihatinya agar meninggalkan penghidupannya 

yang salah, bagaimana ia pada mulanya menolak nasihat baik 

temannya namun akhirnya mengalah pada bujukan temannya 

dengan setengah hati dan tidak berburu pada malam hari. Akibat 

kejahatannya pada siang hari, ia mengalami penderitaan hebat 

selama siang hari sedangkan pada malam hari ia hidup bahagia, 

bagaikan para dewa.

Kisah peta kedua juga serupa, tetapi mengisahkan tentang seorang 

kaya yang berburu rusa siang dan malam sekadar untuk bersenang-

senang bukan untuk mencari nafkah. Ia juga mengabaikan nasihat 

baik temannya. Akhirnya, ia terpengaruh oleh seorang Arahanta 

yang datang ke rumah temannya untuk menerima dàna makanan, 

Arahanta menginstruksikannya agar melakukan kebajikan paling 

sedikit selama malam hari, bukannya berburu sepanjang waktu. 

sesudah   meninggal dunia, ia mengalami penderitaan yang sama 

seperti si pemburu pada kisah sebelumnya.

Kita mengetahui dari kedua kisah ini bahwa kita akan memperoleh 

manfaat dari perbuatan baik yang kita lakukan bahkan jika hanya 

dilakukan selama rentang waktu yang singkat pada malam hari. 

3260


Demikianlah, kita harus berusaha melaksanakan sãla selama waktu 

yang dapat kita lakukan seberapa singkat pun itu.

(6) Moralitas terdiri dari dua jenis: sapariyanta sãla dan apariyanta 

sãla

(a) Sapariyanta sãla yaitu   moralitas, yang pelaksanaannya berakhir 

sebelum rentang waktu yang telah ditentukan sebab   alasan tertentu 

seperti tergoda oleh tawaran kekayaan atau pelayan sehingga 

melanggar pelaksanaan sãla atau sebab   mendapat ancaman 

terhadap kehidupannya atau bagian-bagian tubuhnya atau sanak 

saudaranya menyuruhnya demikian. Dalam sãla jenis ini, harus 

dimengerti bahwa meskipun pelaksanaannya berakhir sebab   

pengaruh luar, namun demikian, jasa telah diperoleh sesuai dengan 

sãla yang ia laksanakan. Sãla yang telah dilaksanakan sebelumnya 

tidak menjadi tidak berguna dengan pengakhirannya.

(b) Apariyanta sãla yaitu   moralitas, yang pelaksanaannya tidak 

berakhir sebab   pengaruh luar, namun tetap dijaga hingga akhir 

rentang waktu yang telah ditentukan.

(7) Moralitas terdiri dari dua jenis: lokiya sãla dan lokuttara sãla.

(a) Lokiya sãla yaitu   moralitas yang disertai oleh kotoran batin 

(àsava) seperti nafsu indria, keinginan akan kelahiran kembali, 

pandangan salah, dan kebodohan.

(b) Lokuttara sãla yaitu   moralitas yang tidak disertai oleh kotoran 

batin.

Lokiya sãla berguna untuk mencapai kelahiran kembali di alam 

berbahagia (sebagai manusia atau dewa) dan merupakan prasyarat 

untuk membebaskan diri dari lingkaran kelahiran kembali. Lokuttara 

sãla menghasilkan kebebasan dari saÿsara. Juga merupakan objek 

perenungan dengan Pengetahuan Perenungan (Paccavekkhanà 

¥Ã Ãµa) 

3261

 1

Kelompok Tiga dari Moralitas

(1) Moralitas terdiri dari tiga jenis:

(a) hãna sãla,

(b) majjhima sãla, dan 

(c) paõãta sãla.

Jika empat unsur—kehendak (chanda), usaha (viriya), kesadaran 

(citta), dan pengetahuan penyelidikan (vãmaÿsa)—dengan sãla yang 

dilaksanakan memiliki kualitas yang rendah, maka disebut hãna sãla; 

(b) jika memiliki kualitas menengah, maka disebut majjhima sãla; 

dan (c) jika memiliki kualitas tinggi, maka disebut paõãta sãla.

(a) Jika moralitas dilaksanakan sebab   keinginan untuk memperoleh 

kemasyhuran, maka itu yaitu   hãna sãla. Pelaksanaan demikian 

yaitu   tindakan munafik, pertunjukan tipuan, pura-pura baik, tanpa 

disertai kehendak murni untuk melakukan kebajikan. sebab   itu 

disebut rendah (hãna).

(b) Pelaksanaan moralitas sebab   keinginan agar terlahir di alam 

bahagia, tidak diragukan pasti disertai keserakahan dalam tingkatan 

tertentu, namun itu yaitu   kehendak yang baik untuk memperoleh 

manfaat baik dari perbuatan baik yang ia lakukan dan disertai oleh 

kehendak dan keyakinan. Oleh sebab   itu lebih mulia daripada yang 

dilakukan demi kemasyhuran. Sebaliknya, sebab   dorongannya di 

sini masih dinodai oleh harapan akan akibat baik dari perbuatan 

baiknya, maka tidak dikelompokkan dalam kelompok tertinggi, 

hanya dalam kelompok menengah (majjhima).

(c) Moralitas yang dilaksanakan bukan demi kemasyhuran juga 

bukan demi memperoleh akibat baik dari perbuatan baik ini  , 

tetapi sebab   pemahaman bahwa pelaksanaan sãla yaitu   praktik 

mulia untuk menjalani hidup suci dan melalui penembusan bahwa 

seseorang sesungguhnya harus melatih praktik ini, hanya demi 

kemuliaan mereka, ini disebut moralitas mayor. Hanya moralitas 

demikian yang termasuk dalam kelompok berkualitas tinggi yang 

dilaksanakan dengan kehendak baik yang murni tidak terpengaruh 

oleh keserakahan dalam bentuk apa pun yang dikenal sebagai 

3262


Kesempurnaan Moralitas (Sãla Pàramã).

(saat   Bodhisatta terlahir sebagai nàga, dalam dua kehidupannya 

sebagai Nàga Campeyya dan Nàga BhÃ¥ridatta, Beliau tidak dapat 

melakukan moralitas yang berkualitas tinggi, tetapi melaksanakan 

sãla hanya dengan harapan agar memperoleh kelahiran kembali 

sebagai seorang manusia. Dalam kasus ini, moralitas yang Beliau 

laksanakan yaitu   berkualitas menengah. Namun demikian, sebab   

Ia tidak melanggar sãla dan tetap menjalani sãla bahkan dengan 

taruhan nyawa-Nya, usaha-Nya dapat dianggap sebagai pemenuhan 

terhadap Kesempurnaan Moralitas.)

Juga:

(a) saat   moralitas dikotori oleh pikiran-pikiran tidak baik 

keangkuhan dan meremehkan orang lain, seperti, ‘aku orang baik, 

orang lain tidak baik dan lebih rendah daripada aku’, maka itu 

yaitu   moralitas minor.

(b) Moralitas yang tidak dinodai oleh kotoran demikian namun 

merupakan sãla lokiya, maka itu yaitu   moralitas menengah.

(c) saat   moralitas bebas dari segala noda dan disertai Jalan dan 

Buah Lokuttara, maka dikelompokkan sebagai moralitas mayor.

Juga:

(a) Moralitas minor yaitu   moralitas yang dilaksanakan dengan 

pandangan agar mencapai kelahiran kembali yang lebih baik.

(b) Moralitas menengah yaitu   jika seseorang berlatih untuk 

mencapai Pembebasan diri dari lingkaran kelahiran kembali seperti 

yang dipraktikkan oleh para calon siswa biasa Buddha atau Bakal 

Pacceka Buddha.

(c) Paõãta sãla dilaksanakan oleh para Bodhisatta dengan tujuan 

untuk membebaskan semua makhluk dari lingkaran kelahiran 

kembali dan memenuhi syarat sebagai Kesempurnaan Moralitas 

3263

 1

(Sãla Pàramã). (Pernyataan komentar ini dibuat dengan merujuk 

pada jenis moralitas yang paling mulia. Tetapi ini bukan berarti 

bahwa hanya moralitas yang dilaksanakan oleh para Bodhisatta saja 

yang memenuhi kualitas demikian; moralitas yang dilaksanakan 

oleh para Pacceka Buddha dan para Siswa Buddha, meskipun 

bukan jenis yang paling mulia, juga dapat dikelompokkan sebagai 

Kesempurnaan Moralitas.

(2) Moralitas terdiri dari tiga jenis:

(a) attadhãpateyya sãla,

(b) lokàdhipateyya sãla, dan

(c) dhammàdhipateyya sãla.

(a) Attàdhãpateyya sãla yaitu   moralitas yang dilaksanakan sebab   

penghormatan terhadap diri sendiri dan untuk memuaskan 

kesadaran diri dengan meninggalkan apa yang tidak sesuai dan 

tidak bermanfaat.

(b) Lokàdhipateyya sãla yaitu   moralitas yang dilaksanakan sebab   

penghargaan terhadap dunia dan untuk mencegah celaan orang 

lain.

(c) Dhammàdhipateyya sãla yaitu   moralitas yang dilaksanakan 

sebagai penghormatan terhadap ajaran Buddha. Seseorang yang 

melatih sãla ini yakin bahwa khotbah Buddha mengenai Jalan 

dan Buahnya, Nibbàna, sungguh menunjukkan jalan menuju 

Pembebasan dari lingkaran kelahiran dan yaitu   satu-satunya jalan 

untuk menghormati Dhamma, dan menghormati Dhamma yaitu   

melalui pelaksanaan sãla.

 (3) Moralitas terdiri dari tiga jenis:

(a) paràmaññha sãla,

(b) aparàmaññha sãla, dan

(c) pañippassaddhà sãla.

(a) Paràmaññha sãla yaitu   sama dengan nissita sãla (keempat dari 

kelompok dua); dilaksanakan dengan ketaatan pada kemelekatan 

atau pandangan salah. sebab   kemelekatan, seseorang menjadi 

3264


merasa gembira dengan pikiran bahwa moralitas akan berakibat 

pada kelahiran kembali di alam bahagia yang memang ia inginkan 

dan bahwa moralitasnya lebih tinggi dari orang lain. sebab   

pandangan salah, ia menganggap bahwa moralitasnya yaitu   ‘diri 

atau inti’. Dalam kedua kasus ini  , moralitas ini   termasuk 

dalam kelompok paràmattha sãla.

(Bahkan selama melatihnya, moralitas membakar dengan api 

keserakahan dan pandangan salah. Api keserakahan dan pandangan 

salah tidak hanya membakar pada saat menikmati kenikmatan 

indria, tetapi juga sewaktu mempraktikkan kedermawanan dan 

moralitas. Hanya saat   mempraktikkan kebajikan hingga mencapai 

kondisi meditasi, maka ia menjadi kebal terhadap serangan api ini. 

Dengan melatih (meditasi Vipassanà) hingga ia menyadari bahwa 

diri ini bukan aku, bukan pribadi namun hanya fenomena jasmani 

dan batin, seseorang dapat terbebas dari api kepercayaan salah 

tentang aku (sakkaya diññhi).

(b) Aparàmaññha sãla yaitu   moralitas yang dilaksanakan oleh 

seorang umat awam yang baik (kalyàna puthujjana) yang telah 

menerima Tiga Permata dan yang telah mulai melatih Jalan Mulia 

Berfaktor Delapan dengan pandangan untuk mencapai Jalan dan 

Buahnya. Ini juga yaitu   moralitas seorang siswa yang masih dalam 

tahap belajar (sekkha) yang, melalui latihan Jalan Mulia Berfaktor 

Delapan, telah mencapai satu dari Empat Jalan atau Tiga Buah yang 

pertama tetapi masih harus berjuang untuk mencapai tujuan akhir, 

yakni Buah Keempat.

(c) Pañippassaddhà sãla yaitu   moralitas yang menjadi tenang 

saat mencapai Empat Buah (Sotàpatti, Sakadàgàmã, Anàgàmã, dan 

Arahatta).

(5) Moralitas terdiri dari tiga jenis:

(a) visuddha sãla,

(b) avisuddha sãla, dan 

(c) vematika sãla.

(a) Visuddha sãla yaitu   moralitas seorang bhikkhu yang belum 

3265

 1

pernah melakukan satu pun pelanggaran (terhadap peraturan 

Vinaya) atau seseorang yang telah melakukan penebusan sesudah   

melakukan suatu pelanggaran.

(b) Avisuddha sãla yaitu   moralitas seorang bhikkhu yang telah 

melakukan suatu pelanggaran dan belum melakukan penebusan 

sesudah   melakukan pelanggaran ini  .

(c) Vematika sãla yaitu   moralitas seorang bhikkhu yang merasa 

ragu-ragu terhadap persembahan makanan yang ia terima (apakah 

makanan ini   yaitu   daging beruang yang tidak diperbolehkan 

atau daging babi yang diperbolehkan baginya); yang merasa ragu-

ragu terhadap pelanggaran yang ia lakukan (apakah pelanggaran 

itu yaitu   pàcittiya àpatti atau dukkata àpatti) dan yang merasa 

ragu apakah perbuatan yang ia lakukan yaitu   pelanggaran atau 

bukan.

(Seorang bhikkhu yang sedang bermeditasi harus berusaha 

memurnikan sãla jika masih belum murni. Jika ia bersalah atas suatu 

pelanggaran ringan (yaitu satu dari sembilan puluh dua pelanggaran 

pàcittiya), ia harus menebusnya dengan mengakui pelanggarannya 

kepada seorang bhikkhu dan dengan demikian memurnikan sãla-

nya. Jika ia bersalah atas suatu pelanggaran berat (yaitu satu dari 

tiga belas pelanggaran sanghàdisesa), ia harus menjumpai Saÿgha 

dan mengakui pelanggarannya. lalu   sesuai perintah Saÿgha, 

ia pertama-tama harus melaksanakan hukuman parivasa* dan 

lalu   menjalani hukuman mànatta**. sesudah   itu baru sãla-nya 

menjadi murni dan ia dapat berlatih meditasi. Jika ia merasa ragu 

terhadap persembahan makanan yang ia terima atau perbuatan 

apa pun yang ia lakukan, ia harus memeriksanya dengan hati-hati 

atau berkonsultasi dengan ahli Vinaya yang menguasai peraturan-

peraturan Vinaya dan dengan demikian melenyapkan keraguannya 

dan memurnikan sãla-nya.

(*Catatan: Parivàsa yaitu   hukuman atas suatu pelanggaran 

Saÿghàdisesa yang mengharuskan seseorang tinggal di luar 

komunitas Saÿgha selama jumlah hari yang sama dengan jumlah 

hari ia menyembunyikan pelanggaran itu. Pada akhir pelaksanaan 

3266


parivàsa, ia harus menjalani periode hukuman selanjutnya, yaitu 

mànatta.)

(**Catatan: Mànatta yaitu   suatu periode yang berlangsung selama 

enam hari untuk mendapatkan penerimaan dari Saÿgha, sesudah   itu 

ia memohon Saÿgha untuk menerimanya kembali untuk bergabung 

dengan Saÿgha.)

(6) Moralitas terdiri dari tiga jenis:

(a) sekkha sãla,

(b) asekkha sãla, dan

(c) nevasekkha nàsekkha sãla.

(a) Sekkha sãla yaitu   moralitas yang dijalani oleh seseorang yang 

masih menjalani latihan. Ini yaitu   moralitas yang dilaksanakan 

oleh mereka yang telah mencapai Empat Jalan dan Tiga Buah yang 

pertama.

(b) Asekkha sãla yaitu   moralitas yang dijalani seseorang yang sudah 

tidak memerlukan latihan. Ini yaitu   moralitas yang dilaksanakan 

oleh ia yang telah mencapai tingkat Buah Arahatta.

(c) Kelompok sãla lokiya yang tidak termasuk kelompok (a) dan 

(b) yaitu   nevasekkha-nàsekkha sãla. Ini yaitu   moralitas yang 

dilaksanakan oleh seseorang yang masih belajar atau yang tidak 

belajar; ini yaitu   moralitas seorang umat awam biasa.

Kelompok Empat dari Moralitas

(1) Moralitas terdiri dari empat jenis:

(a) hànabhàgiya sãla, 

(b) ñhitibhàgiya sãla, 

(c) visesabhàgiya sãla, dan

(d) nibbedhabhàgiya sãla.

(a) Moralitas yang cenderung melemah disebut hànabhàgiya 

sãla. (Seorang bhikkhu yang bergaul dengan orang-orang yang 

tidak bermoral dan tidak bergaul dengan orang-orang baik; ia 

3267

 1

tidak mengetahui atau melihat kesalahan dari melakukan suatu 

pelanggaran, ia sering memiliki pikiran buruk dan tidak menjaga 

indrianya. Moralitas bhikkhu demikian tidak akan mengalami 

kemajuan, sebaliknya akan mengalami kemunduran hari demi 

hari.)

(b) Moralitas yang tidak bergerak (mandek) disebut ñhitibhàgiya 

sãla. (Seorang bhikkhu yang merasa puas dengan moralitas yang ia 

miliki dan tidak berkeinginan untuk melatih meditasi lebih jauh lagi 

untuk kemajuannya. Ia cukup puas dengan moralitasnya dan tidak 

berusaha untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi; moralitasnya 

tidak akan mengalami kemajuan atau kemunduran, hanya diam 

di tempat.)

(c) Moralitas yang dapat menghasilkan manfaat khusus disebut 

visesabhàgiya sãla. (Seorang bhikkhu, sesudah   memantapkan dirinya 

dalam moralitas, tidak merasa puas hanya dengan moralitas, namun 

berjuang untuk mencapai konsentrasi pikiran. Moralitas bhikkhu 

ini   disebut visesabhàgiya sãla atau moralitas yang dapat 

menghasilkan manfaat khusus konsentrasi pikiran.)

(d) Moralitas yang menembus dan menaklukkan kegelapan 

kotoran yaitu   nibbedhabhàgiya sãla. (Seorang bhikkhu tidak puas 

hanya dengan moralitas namun berjuang keras, melalui meditasi 

Vipassanà, Pandangan Cerah Vipassanà yang kuat (Balavavipassanà 

¥Ã Ãµa) yang merupakan pengetahun akan kejijikan atas penderitaan 

terhadap lingkaran kelahiran. Moralitas bhikkhu ini   yaitu   

moralitas yang menembus dan menaklukkan kegelapan kotoran 

melalui Jalan dan Buahnya.)

(2) Moralitas terdiri dari empat jenis:

(a) bhikkhu sãla,

(b) bhikkhunã sãla,

(c) anupasampanna sãla, dan

(d) gahaññha sãla.

(a) Aturan disiplin yang ditetapkan oleh Buddha kepada para 

bhikkhu dan yang juga harus dilaksanakan oleh para bhikkhu 

3268


meskipun ditetapkan untuk para bhikkhunã disebut bhikkhu sãla.

(b) Aturan disiplin yang ditetapkan oleh Buddha kepada para 

bhikkhunã dan yang juga harus dilaksanakan oleh para bhikkhunã 

meskipun ditetapkan untuk para bhikkhu disebut bhikkhunã sãla.

(c) Sepuluh Sãla yang dilaksanakan oleh, sàmaõera dan 

sàmaõerã, disebut anupasampanna Sãla. (Bukan-bhikkhu disebut 

Anupasampanna. Meskipun umat awam juga yaitu   Anupasampanna 

menurut definisi ini, namun mereka dikelompokkan secara terpisah 

dalam gahattha dan sebab   itu tidak dikelompokkan di sini. Hanya 

sàmaõera dan sàmaõerã yang dianggap anupasampanna oleh 

komentator. Ada jenis lain lagi yang disebut sikkhamàna. sebab   

sikkhamàna yaitu   sàmaõerã senior yang menjalani latihan khusus 

agar dapat diterima sebagai bhikkhunã, mereka tidak dikelompokkan 

di sini secara terpisah, tetapi dianggap sebagai sàmaõerã.)

(d) Moralitas yang dilaksanakan oleh umat awam disebut gahaññha 

sãla.

Sehubungan dengan gahaññha sãla, Visuddhimagga menjelaskan:

“Upasaka upàsikànaÿ niccasãlavasena pa¤casikkhàpadàni sati và 

ussàhe dasa uposathaïga vasena aññhàti idaÿ gahaññha-sãlam.”

“Lima Sãla sebagai sãla yang dilaksanakan secara tetap, Sepuluh Sãla 

jika memungkinkan, dan Delapan Sãla sebagai pelaksanaan khusus 

pada hari uposatha, termasuk dalam kelompok gahaññha sãla yang 

harus dilaksanakan oleh umat awam laki-laki dan perempuan.”

Terdapat beberapa pandangan yang berbeda tentang makna kata Pàëi 

“sati và ussàhe”―’jika memungkinkan’, dalam Visuddhimagga.

Beberapa guru menganggap bahwa bukan hanya Lima Sãla, tetapi 

juga Sepuluh Sãla harus dilaksanakan sebagai sãla permanen. Mereka 

secara keliru menempatkan atribut nicca sãla pada Sepuluh Sãla, ‘sãla 

permanen’ yang hanya dimaksudkan pada Lima Sãla.

3269

 1

Menurut para guru ini, “untuk melaksanakan Lima Sãla tidak perlu 

mempertimbangkan apakah seseorang memiliki kemampuan; ia 

harus melaksanakan Lima Sãla selamanya. Sehubungan dengan 

Sepuluh Sãla, walaupun dianjurkan bahwa Sepuluh Sãla seharusnya 

dilaksanakan secara permanen, namun hanya orang-orang yang 

memiliki kemampuan yang harus melaksanakannya. Kemampuan 

maksudnya yaitu   kemampuan untuk melepaskan hartanya 

berupa emas dan perak dengan tanpa kemelekatan terhadap harta 

ini  ; untuk melepaskan hartanya dengan cara demikian, ia harus 

melaksanakan Sepuluh Sãla seumur hidupnya, bukan saja selama 

beberapa hari atau bulan. Jika ia bermaksud untuk menghindari 

memegang emas dan perak selama masa pelaksanaan sãla saja dan 

bermaksud memakai  nya lagi sesudah  nya, maka ia tidak harus 

melaksanakannya sama sekali.

Beberapa orang secara keliru berpikir, “yaitu   sulit bagi orang-

orang untuk melepaskan harta emas dan perak miliknya; sebab   itu 

umat awam tidak cocok untuk melaksanakan Sepuluh Sãla.” Juga 

menurut Visuddhimagga Mahàñãkà, istilah ‘dasa’, ‘sepuluh’ harus 

diartikan sebagai Sepuluh Sãla Sàmaõera. Dijelaskan lebih lanjut 

bahwa sãla di sini maksudnya yaitu   sãla yang dilaksanakan oleh 

Ghañãkàra si pembuat tembikar dan orang-orang lainnya. Pernyataan 

komentar ini menimbulkan kebingungan dalam pandangan yang 

sudah terlanjur keliru dari orang-orang ini. Mereka berpandangan 

ekstrem bahwa tidaklah cukup jika orang-orang hanya menghindari 

dan tidak menerima harta kekayaan baru; mereka juga harus 

mampu melepaskan semua harta yang telah mereka miliki seperti 

Ghatikàra dalam Ghañãkàra Sutta (Ràjavagga Majjhimapaõõàsa) 

yang menghindari diri dari memakai   emas dan perak seumur 

hidupnya. Dan hanya jika mereka seperti Ghañãkàra dalam hal 

ini, mereka dapat melaksanakan Sepuluh Sãla dengan sempurna. 

Dengan demikian mereka membuat pernyataan yang berlebihan.

Penjelasan: mereka berpandangan bahwa hanya jika seseorang 

mampu “melepaskan harta emas dan peraknya dengan tanpa 

kemelekatan” maka ia seharusnya melaksanakan Sepuluh Sãla. Ini 

keliru sebab   pandangan ini muncul sehubungan dengan jàtarÃ¥pa 

sikkhàpada dari Sepuluh Sãla. Menurut penafsiran ini, hanya jika 

3270


seseorang mampu melepaskan harta kekayaan yang mereka miliki, 

tanpa kemelekatan sama sekali, mereka akan sempurna dalam sãla. 

Ghañãkàra yaitu   seorang Anàgàmã, seorang Yang Tak Kembali, yang 

memang telah meninggalkan semua hartanya tanpa kemelekatan 

sama sekali. Pada masa sekarang ini, meskipun para umat awam 

tidak mendapatkan harta baru pada hari pelaksanaan Sepuluh Sãla, 

mereka telah menyimpan di rumah atau di suatu tempat semua 

harta kekayaan yang telah mereka miliki sebelumnya dan sebab   

itu bertentangan dengan jàtarÃ¥pa sikkhàpada. sebab   itu mereka 

seharusnya tidak melaksanakan Sepuluh Sãla jika mereka tidak 

melepaskan semua harta mereka dengan tanpa kemelekatan. Bahkan 

jika mereka ingin melaksanakan Sepuluh Sãla, mereka tidak akan 

berhasil melaksanakannya.

Penafsiran para guru ini tidak dapat dipertahankan, sebab   

ada rÃ¥piyasikkhàpada bagi para bhikkhu, sehubungan dengan 

penggunaan dan pemilikan uang yang lebih halus dan lebih 

mulia daripada jàtarÃ¥pa sikkhàpada bagi umat awam. Menurut 

sikkhàpada itu, seorang bhikkhu tidak boleh menerima uang atau 

membiarkan orang lain melakukannya untuk dirinya; jika diletakkan 

di dekatnya tanpa kehadiran orang lain untuk menerimanya, ia tidak 

boleh merasa senang namun harus menolak dengan mengatakan, 

“Emas dan perak tidak diperbolehkan bagi para bhikkhu, kami tidak 

akan menerimanya.” Jika ia tidak menolak, maka ia melakukan 

pelanggaran; dan emas dan perak itu harus dilepaskan juga olehnya. 

Ini yaitu   peraturan disiplin yang ditetapkan oleh Buddha.

Jika seorang dàyakà mendatangi seorang bhikkhu dan memberi   

uang meskipun si bhikkhu, mengikuti peraturan Vinaya, melarang 

dan menolak untuk menerimanya; ia akan meninggalkannya dan 

pergi; jika dàyakà lainnya datang dan si bhikkhu memberitahunya 

tentang uang dan si dàyakà berkata, “Kalau begitu, tunjukkan 

kepadaku tempat yang aman untuk menyimpan uang ini,” si 

bhikkhu boleh naik ke tingkat ke tujuh vihàranya, mengajak dàyakà 

bersamanya, dan berkata, “Di sini tempat yang aman,” tetapi ia tidak 

boleh mengatakan, “Simpan di sini.” Akan tetapi, saat   si dàyakà 

pergi sesudah   menyimpan uang ini   dengan aman di tempat 

yang ditunjukkan oleh bhikkhu ini  , si bhikkhu dapat menutup 

3271

 1

pintu dan menjaganya. Dalam melakukan hal itu, si bhikkhu tidak 

melakukan pelanggaran, dijelaskan oleh Komentar dengan jelas 

mengenai råpiya sikkhàpada.

Jika memiliki emas dan perak tidak diperbolehkan bagi para umat 

awam yang melaksanakan jàtarÃ¥pa sikkhàpada, maka hal ini   

juga tidak diperbolehkan bagi para bhikkhu yang melaksanakan 

sãla yang lebih halus dan lebih mulia dalam hal menyimpan emas 

dan perak. Dengan demikian, jika bhikkhu bebas dari pelanggaran, 

maka demikian pula umat awam juga tidak melakukan pelanggaran 

dalam pelaksanaan jàtarÃ¥pa sikkhàpada dengan memiliki harta yang 

tersimpan aman di suatu tempat.

Dalam Visuddhimagga Mahàñãkà, mengikuti teladan Ghañãkàra 

si pembuat kendi, bukan disebutkan dalam arti bahwa “umat 

awam harus melaksanakan Sepuluh Sãla hanya jika mereka dapat 

melepaskan seluruh harta mereka dengan tanpa kemelekatan sama 

sekali seperti halnya Ghañãkàra. Sesungguhnya, teladan Ghañãkàra, 

pelaksana Sepuluh Sãla yang tinggi, disebutkan hanya untuk 

menasihati orang agar jangan merasa puas dengan pelaksanaan 

Sepuluh Sãla yang biasa, tetapi mereka harus berusaha agar menjadi 

pelaksana yang lebih tinggi mengikuti teladan Ghañãkàra. Meskipun 

mereka tidak dapat menyamainya, kutipan ini dibuat untuk 

menganjurkan mereka agar meniru Ghañikara semampu mereka.

Sumber dari penjelasan ini yaitu  : sãlamayanti niccasãla uposatha 

niyamàdivasena pa¤ca aññha dasa và sãlàni samàdiyantassa seperti 

yang terdapat dalam Itivuttaka Aññhakathà oleh Thera Acariya 

Dhammapàla, penulis Visuddhimagga Mahàñãkà. Komentar 

menyebutkan tiga jenis moralitas, yaitu, (i) Lima Sãla yang 

dilaksanakan secara permanen (nicca sãla), (ii) Delapan Sãla yang 

dilaksanakan pada hari uposatha (uposatha sãla), dan (iii) Sepuluh 

Sãla yang dilaksanakan pada saat-saat tertentu (niyama sãla). Jelas 

bahwa, menurut Komentar ini, Sepuluh Sãla tidak dilaksanakan 

secara permanen, hanya dilaksanakan pada saat-saat tertentu.

Juga, dalam Sagàthàvagga Saÿyutta Pàëi, Sakka Saÿyutta, kita dapat 

menemukan kisah berikut, Sakka, raja para dewa, turun dari Istana 

3272


Vejayanta dan pergi ke taman kerajaan; saat   ia hendak naik ke atas 

keretanya ia memberi hormat ke delapan penjuru. lalu   Dewa 

Màtali berkata, “Kepada siapa engkau memberi hormat, Tuan?”

Sakka berkata:

“Ye gahaññhà pu㤤akarà, 

sãlavanto upasakà, 

dhammena dàraÿ posenti, 

te namassàmi Màtali.”

“Màtali, banyak orang melakukan perbuatan baik; mereka juga 

memiliki moralitas; mereka berlindung kepada Tiga Permata, 

Buddha, Dhamma, dan Saÿgha, dan mereka menyokong istri dan 

anak-anak mereka dengan baik. Kepada mereka aku memberi 

hormat.”

Istilah ‘sãlavanto’ dalam jawaban Sakka dijelaskan oleh komentator 

sebagai: Sãlavanto ti upàsakatthe patiññhàya pa¤cahi pi dasahi pi sãlehi 

samannàgatà. Mereka yang memiliki moralitas maksudnya yaitu   

mereka yang berlindung dalam Tiga Permata dan melaksanakan 

Lima Sãla dan Sepuluh Sãla.” (Menurut komentar ini, jelas bahwa 

orang-orang yang diberi hormat oleh Sakka, raja para dewa yaitu   

orang-orang yang hidup bersama keluarga, dan melaksanakan Lima 

Sãla dan Sepuluh Sãla).

Juga dalam Subkomentar Saÿyutta, disebutkan: niccasãlavasena 

pa¤cahi niyamavasena dasahi, ‘Lima Sãla harus dianggap sebagai 

nicca sãla, dan Sepuluh Sãla sebagai niyama sãla.’

Niyama Sãla

Dalam kamus Magadha, syair 444, makna niyama sãla dijelaskan 

secara singkat sebagai, “Moralitas yang harus dilaksanakan 

selamanya yaitu   yama sãla. Moralitas yang tidak dilaksanakan 

selamanya tetapi hanya pada saat-saat tertentu disebut niyama sãla. 

Ungkapan, yama sãla dan niyama sãla, berasal dari Brahmanisme. 

(Tidak menyakiti, tidak berbohong, tidak mencuri, tidak melakukan 

3273

 1

hubungan seksual yang salah, tidak menerima persembahan 

makanan—lima ini yaitu   yama sãla yang harus dilaksanakan 

selamanya; menyucikan, mudah puas, menyiksa diri, membaca 

Veda, merenungkan Brahmà—Lima ini yaitu   niyama sãla yang 

harus dilaksanakan pada saat-saat tertentu (Amarakosa Bràhmana 

Vagga, v.49).

Menurut Saÿyutta Pàëi dan Komentarnya, jelas bahwa bahkan 

orang-orang yang menyokong keluarganya dengan penghidupan 

benar dapat melaksanakan Sepuluh Sãla. sebab   itu pandangan, 

“Orang-orang harus melaksanakan Sepuluh Sãla hanya jika mereka 

dapat melepaskan harta mereka emas dan perak tanpa kemelekatan 

sama sekali seperti halnya Ghañãkàra, si pembuat tembikar” tidaklah 

benar; hanya suatu pernyataan yang berlebihan.

Terlebih lagi, dari sepuluh kewajiban seorang raja, seperti disebutkan 

dalam Mahàhaÿsa Jàtaka dari Asãti Nipàta, Komentar mengatakan 

bahwa istilah ‘sãla’ berarti Lima dan Sepuluh Sãla. Oleh sebab   itu, 

jelas bahwa raja juga melaksanakan Sepuluh Sãla sebagai (satu) 

dari kewajiban-kewajibannya. Jika dianggap bahwa ‘Sepuluh Sãla 

harus dilaksanakan hanya jika mereka mampu melaksanakannya 

selamanya’ maka para raja yang memiliki permaisuri, selir, dan 

pelayan dan gudang harta yang berisi emas dan perak tidak akan 

dapat melaksanakan Sepuluh Sãla sebab   abrahmacariya dan 

jàtarÃ¥pa sikkhàpada. Jika tidak mungkin bagi para raja untuk 

melaksanakannya, maka komentator tidak akan mencantumkan 

Sepuluh Sãla dalam sepuluh kewajiban raja. Akan tetapi komentator 

jelas menyebutkannya dalam komentarnya. Oleh sebab   itu Sepuluh 

Sãla bukanlah nicca sãla; Sepuluh Sãla yaitu   moralitas yang 

dilaksanakan pada saat seseorang mampu melakukannya.

Terlebih lagi, Komentar Khuddakapàñha menjelaskan bagaimana 

Delapan Sãla diturunkan dari sepuluh sikkhàpada, “Dari Sepuluh 

Sãla*, dua yang pertama, pànàtipàta sikkhàpada dan adinnàdànà 

sikkhàpada, dilaksanakan oleh umat awam atau sàmaõera sebagai 

nicca sãla. (Sãla ketiga, abrahmacariya sikkhàpada, tidak disebutkan 

sebagai nicca sãla bagi umat awam. Ini yaitu   sãla yang dilaksanakan 

hanya jika seseorang mampu melakukannya.) Dari Sepuluh Sãla, 

3274


sãla ketujuh, yaitu, naccagita sikkhàpada dan kedelapan, yaitu, 

màlàgandha sikkhàpada, bergabung menjadi satu faktor, jàtarÃ¥pa 

sikkhàpada terakhir tidak termasuk.

(*Catatan: Sepuluh Sãla, Dasa Sikkhàpada, (1) pàõàtipàta, (2) 

adinnàdàna, (3) abrahmacariya, (4) musàvàda, (5) suràmeraya, (6) 

vikàlabhikana, (7) nacca gãta vàdita visÃ¥kadassana, (8) màlàgandha 

vilepana dhàrana maõóana vibbÃ¥sanatthàna, (9) uccàsayana 

mahàsayana, dan (10) jàtaråpa rajata patiggahana.)

Sehubungan dengan Komentar ini juga, dari Sepuluh Sãla, yang 

harus dilaksanakan oleh umat awam secara permanen ada empat, 

yaitu, menghindari membunuh, mencuri, berbohong, dan meminum 

minuman keras. Umat awam tidak selalu dapat melaksanakan 

abrahmacariya sikkhapada. Mereka juga tidak dapat melaksanakan 

secara permanen sãla vikàlabhojana, naccagãta, dan sebagainya. 

Dengan demikian, jelas bahwa Sepuluh Sãla ini yaitu   sãla jenis 

niyama yang dilaksanakan hanya di saat-saat mampu.

Meskipun disebutkan dalam Komentar Khuddaka Pàñha bahwa 

jàtarÃ¥pa sikkhàpada. yaitu   sãla khusus bagi para sàmaõera, 

melanggarnya tidak akan membuat mereka jatuh dari status mereka 

sebagai sàmaõera. sebab   dalam Mahàkhandhaka dari Vinaya 

Mahà Vagga Pàëi, Buddha menetapkan sepuluh liïga (faktor) yang 

dapat menyebabkan sàmaõera jatuh dari status mereka sebagai 

sàmaõera, hanya lima pertama dari Sepuluh Sãla yang termasuk 

dalam sepuluh liïga ini  . Lima terakhir tidak termasuk. Oleh 

sebab   itu, meskipun melanggar satu dari lima faktor terakhir, 

sàmaõera tidak akan jatuh dari status mereka sebagai sàmaõera; 

mereka hanya bersalah melanggar sãla yang menyebabkan mereka 

menerima hukuman. Jika mereka mendapat hukuman dari guru 

mereka dalam bentuk mengangkat pasir, air, dan sebagainya, mereka 

akan kembali menjadi sàmaõera yang baik, bebas dari kesalahan.

Demikianlah, bahkan para sàmaõera yang wajib melaksanakan 

Sepuluh Sãla tidak akan jatuh dari status mereka sebagai sàmaõera 

meskipun melanggar jàtarÃ¥pa sikkhàpada. Oleh sebab   itu, jelas 

bahwa dari Sepuluh Sãla, lima yang terakhir tidaklah begitu 

3275

 1

penting seperti halnya Lima Sãla pertama bagi sàmaõera. Dengan 

demikian, tidaklah tepat jika dengan serius mengatakan bahwa 

jàtarÃ¥pa sikkhàpada. harus dilaksanakan secara ketat bagi umat 

awam padahal sãla ini   tidak dianggap sangat penting bahkan 

bagi para sàmaõera.

Bisa diterima bahwa Visuddhimagga dan Komentar Khuddakapàñha, 

keduanya ditulis oleh Yang Mulia Mahà Buddhaghosa. sebab   kedua 

buku ini   ditulis oleh seorang penulis yang sama, penjelasannya 

juga tidak akan berbeda. Kalimat dari Visuddhimagga, “Upàsàkanaÿ 

nicsãlavasena pa¤ca sikkhàpadàni sati và ussàhe dasa,” “Sepuluh Sãla 

bukan merupakan nicca sãla bagi umat awam; tetapi yaitu   niyama 

sãla yang dilaksanakan hanya bila memungkinkan” harap dipahami 

bahwa penjelasan ini serupa dengan yang terdapat dalam Komentar 

Khuddakapàñha dan Itivuttaka.

Sehubungan dengan pelanggaran sãla, Komentar Khuddakapatha 

sesudah   membahas beberapa hal yang berhubungan dengan 

sàmaõera menyebutkan, “Sedangkan, dalam kasus umat awam, 

sesudah   mengucapkan janji untuk melaksanakan Lima Sãla, jika salah 

satunya dilanggar, maka hanya satu sãla itu yang cacat; dan jika sãla 

itu dilaksanakan lagi dengan mengucapkan janji yang baru, maka 

Lima Sãla ini   menjadi lengkap kembali. Tetapi beberapa guru 

(apare) berpendapat bahwa: ‘Jika Lima Sãla diambil secara terpisah, 

yaitu satu demi satu, melanggar satu sãla tidak akan menyebabkan 

sãla lainnya menjadi cacat.’ Akan tetapi, jika mereka, saat mengambil 

sãla mengucapkan, “pa¤caïga samannàgataÿ sãlaÿ samàdiyàmi’, 

“Aku berjanji untuk melaksanakan Lima Sãla secara lengkap,” 

maka, jika salah satunya dilanggar, maka semuanya menjadi cacat; 

sebab   janji diucapkan untuk melaksanakan seluruh sãla secara 

bersama-sama. Sebagai akibat dari pelanggaran sãla, masing-

masing pelanggaran akan menimbulkan akibatnya sendiri, tidak 

mempengaruhi sãla lainnya.

Tetapi beberapa guru merasionalkan pandangan ini dengan 

mengatakan bahwa sesudah   mengucapkan janji untuk melaksanakan 

Lima Sãla secara lengkap, jika salah satunya dilanggar, yang lain tidak 

menjadi cacat, tidak terpengaruh. Jika kita menerima rasionalisasi 

3276


ini, maka tidak ada perbedaan sama sekali dalam pandangan 

mereka. Sehubungan dengan hal ini, Sikkhàpada Vibhaïga dari 

Sammohavinodanã menyebutkan:

“Gahaññhà yaÿ yaÿ vitikkamanti, taÿ tadeva khandhaÿ hoti 

bhijjati, avasesaÿ na bhijjati, kasmà gahaññhà hi anibaddhasilà honti, 

yam yam sakkonti,tam tadeva gopenti”―sesudah   mengambil sãla; 

jika seorang umat awam melanggar salah satu sãla, hanya sãla itu 

yang menjadi cacat; sãla lainnya tidak menjadi cacat. sebab   bagi 

umat awam, tidak ada sãla wajib yang harus dilaksanakan secara 

permanen seperti halnya sàmaõera. Dari Lima Sãla, mereka boleh 

melaksanakan yang mana pun yang mampu mereka laksanakan; 

satu, dua atau tiga, namun tidak harus seluruhnya. Kita tidak 

boleh mengatakan bahwa sebab   mereka hanya melaksanakan 

sebagian dan bukan Lima Sãla secara lengkap, maka itu berarti 

tidak melaksanakan sãla dan mereka tidak akan mendapatkan jasa 

apa pun.”

Harus dimengerti bahwa meskipun umat awam tidak dapat 

melaksanakan keseluruhan Lima Sãla, tetapi hanya sebanyak 

yang mereka mampu, mereka tetap akan memperoleh jasa dan 

sãla mereka tetap benar. Sehubungan dengan hal ini, Komentar 

Pañisambhidàmagga menjelaskan tentang pariyanta pàrisuddhi sãla 

(Moralitas ini dijelaskan secara lengkap pada bagian moralitas dalam 

kelompok lima). Terdapat dua jenis batasan sehubungan dengan sãla, 

yaitu, batasan terhadap jumlah sãla yang dilaksanakan dan batasan 

waktu pelaksanaan. Umat awam dapat melaksanakan satu sãla, dua, 

tiga, empat, lima, delapan atau Sepuluh Sãla. Tetapi para sàmaõera 

dan sàmaõerã harus melaksanakan Sepuluh Sãla secara keseluruhan. 

Ini yaitu   batasan jumlah sãla yang dilaksanakan.

Makna penting di sini: Jika umat awam melaksanakan satu dua, 

tiga, empat, lima, delapan, atau sepuluh sãla dan melaksanakannya 

dengan benar, maka moralitasnya akan menjadi sikkhàpada 

pariyanta pàrisuddhi sãla, yang murni dengan batasan dalam jumlah 

sãla.

Oleh sebab   itu, meskipun dalam praktiknya seseorang tidak 

3277

 1

mengucapkan janji untuk melaksanakan satu, dua, tiga, atau 

empat, tetapi seluruh Lima Sãla, yaitu   wajib untuk dilaksanakan 

seluruhnya. Jika mereka mampu melaksanakan hanya satu sãla, 

maka mereka harus melaksanakan sãla itu. Jika mereka mampu 

melaksanakan hanya dua sãla, maka mereka harus melaksanakan 

kedua sãla itu; dan seterusnya.

Akan muncul pertanyaan jika umat awam berhak melaksanakan 

berapa pun jumlah sãla yang mereka inginkan, mengapa Lima Sãla 

itu dinyatakan dalam Visuddhimagga sebagai: ‘Upàsakopàsikànaÿ 

niccasãlavasena pa¤¤ca sikkhàpadàni?’

Jawabannya yaitu   bahwa Komentar itu di sini ditujukan terutama 

untuk menegaskan prinsip moralitas, yang menuntut agar seluruh 

Lima Sãla harus dilaksanakan secara permanen, “niccasãlavasena 

pa¤ca sikkhàpadàni.” Kita tidak berhak melalaikan sãla yang kita 

tidak ingin laksanakan. yaitu   suatu kesalahan jika melanggar salah 

satu dari Lima Sãla ini  . Bukan hanya di Visuddhimagga tetapi 

juga di kitab-kitab lainnya Lima Sãla disebutkan sebagai nicca sãla 

dalam hal prinsip moralitas.

Brahmacariya Pa¤cama Sãla

Sebagai tambahan dari Lima, Delapan dan Sepuluh Sãla, juga 

ada Brahmacariya Pa¤cama Sãla yang dilaksanakan oleh umat 

awam. Namun, dalam kenyataannya Brahmacariya Pa¤cama 

Sãla sesungguhnya yaitu   Lima Sãla. Untuk melaksanakan 

Brahmacariya Pa¤cama Sãla, sãla ketiga dari Lima Sãla, “Kàmesu 

micchà càrà veramaõi sikkhapadaÿ samàdiyàmi” diganti menjadi 

“Abrahmacariyà veramaõi sikkhàpadaÿ samàdiyàmi.”

Brahmacariya Pa¤cama Sãla dilaksanakan pada masa Buddha 

Kassapa oleh Gavesi Upàsaka. (Aïguttara Nipàta, Pa¤caka Nipàta, 

3. Upàsaka Vagga, 13. Gavesi Sutta.) Pada masa Buddha Gotama, 

sãla ini dilaksanakan oleh Ugga seorang bankir dari Vesàlã dan 

Ugga seorang bankir dari Hatthigàma, Negeri Vajji. (Aïguttara 

Nikàya, Aññhaka Nipàta, 3. Gahapati Vagga, 1 Sutta dan 2 Sutta.) 

kedua Ugga menerima Brahmacariya Pa¤cama Sãla dari Buddha 

3278


dan tetap melaksanakannya; dari empat istri yang masing-masing 

mereka miliki, yang tertua diberikan kesempatan untuk menikah 

dengan orang yang ia cintai dan istri-istri lainnya juga dilepaskan 

dengan cara yang sama dan sesudah   itu mereka hidup sendiri; mereka 

yaitu   umat awam Yang Tak Kembali. Jangan menyalahartikan 

bahwa orang-orang yang telah menikah yang ingin melaksanakan 

Brahmacariya Sãla pada masa sekarang ini harus melepaskan istri 

mereka tanpa kemelekatan sama sekali. Dengan kata lain, jangan 

menganggap bahwa mereka tidak dapat melaksanakan sãla ini, jika 

mereka belum siap untuk meninggalkan istri mereka. sebab   dalam 

Komentar Khuddakapàñha yang disebutkan di atas, dari Sepuluh 

Sãla hanya empat, yaitu pànàtipàta, adinnàdànà, musàvàda, dan 

suràmeraya, yang dianggap sebagai nicca sãla. Dengan demikian 

berarti bahwa abrahmacariya sikkhàpada dan sãla lainnya seperti 

vikàlabhijana dan seterusnya bukan merupakan nicca sãla, tetapi 

merupakan niyama sãla yang hanya dilaksanakan pada saat-saat 

tertentu. Bahkan meskipun mereka tidak mampu melaksanakan 

sãla seperti halnya Ghañãkàra si pembuat tembikar, mereka masih 

dapat melaksanakannya sejauh kemampuan mereka. Demikian 

pula, sehubungan dengan Brahmacariya Pa¤cama Sãla, kedua Ugga, 

sebagai Yang Tak Kembali, meninggalkan istri-istri mereka tanpa 

kemelekatan sama sekali, dan melaksanakan sãla seumur hidup 

mereka, baik sekali jika orang-orang lain mampu mengikuti teladan 

mereka dan melaksanakan sãla ini ; tetapi jika mereka tidak mampu 

meneladani mereka sepenuhnya, mereka harus melaksanakan sãla 

sesuai kemampuan mereka.

Brahmacariya Pa¤cama Ekabhattika Sãla

Lebih jauh lagi, ada Brahmacariya Pa¤cama Ekabhattika Sãla (atau 

Ekabhattika Sãla). Ekabhattika artinya makan hanya satu kali pada 

pagi hari. Jadi, jika umat awam ingin melaksanakan sãla ini, mereka 

dapat melakukan dengan terlebih dahulu mengucapkan janji untuk 

melaksanakan Brahmacariya Pa¤cama Sãla, lalu   mengambil 

satu lagi sãla dengan mengucapkan “Vikàlabhojanà veramaõi 

sikkhàpadaÿ samàdiyàmi” atau jika mereka ingin mengucapkan 

seluruh janji ini   sekaligus, mereka dapat melakukannya 

dengan mengucapkan “Brahmacariya pa¤cama ekabhattikasãlaÿ 

3279

 1

samàdiyàmi.” sãla ini dilaksanakan oleh Upàsaka Dhammika dan 

Upàsikà Nandamatà, dan lain-lain, pada masa Buddha Gotama 

menurut Dhammika Sutta dari Komentar Suttanipàta. Pada masa 

Buddha Kassapa, Upàsaka Gavesi juga melaksanakan sãla ini; 

demikian pula lima ratus umat awam lainnya. (Aïguttara Nikàya 

Pa¤caka Nipàta, 3. Upàsaka Vagga, 10 Gavesi Sutta.)

Aññhaïga Uposatha Sãla

Akan muncul pertanyaan, mengapa untuk Lima Sãla, hanya 

digunakan istilah ‘pa¤ca’, dan sehubungan dengan Sepuluh Sãla, 

digunakan istilah ‘dasa’, sedangkan dalam menjelaskan Delapan 

Sãla bukan saja digunakan istilah ‘attha’ tetapi juga digunakan 

istilah ‘uposatha’?

Istilah uposatha memiliki lima makna. Yaitu:

(a) pembacaan Pàtimokkha,

(b) nama yang baik bagi orang atau binatang,

(c) pelaksanaan,

(d) sãla yang harus dilaksanakan, dan

(e) hari untuk melaksanakan sãla.

Dari kelima ini, makna pertama (a) hanya berlaku untuk bhikkhu; 

dan makna kedua (b), dipakai sebagai nama (misalnya Pangeran 

Uposatha) atau nama seekor gajah (misalnya, Gajah Uposatha), dan 

sebagainya, yang tidak ada hubungannya dengan sãla; hanya tiga 

makna terakhir yang akan dibahas di sini.

Tiga makna terakhir ini diturunkan dari kata Pàëi ‘Upavasa’ yang 

artinya melaksanakan atau memenuhi sãla. Makna ketiga (c) yaitu   

tindakan melaksanakan sãla. Makna keempat (d) yaitu   sãla-sãla, 

yang harus dilaksanakan. Makna kelima (e) yaitu   hari pelaksanaan 

sãla.

Tidak ada hari khusus bagi orang baik pada masa lampau dalam 

melaksanakan Lima Sãla dan Sepuluh Sãla; hanya Delapan Sãla yang 

dilaksanakan pada hari yang khusus. Demikianlah makna khusus 

uposatha dari Delapan Sãla ini.

3280


Ada hal lain yang patut dipertimbangkan. Lima Sãla tidaklah sebanyak 

Delapan Sãla dan sebab   dapat dilaksanakan setiap hari maka tidak 

ada hari khusus untuk menyebutkan hari pelaksanaannya. Tetapi 

sebab   Sepuluh Sãla lebih tinggi daripada Delapan Sãla dan orang-

orang baik pada masa lampau seharusnya memiliki hari khusus 

untuk melaksanakannya; namun mengapa Sepuluh Sãla juga 

tidak memiliki hari khusus? Alasan yang mungkin yaitu   bahwa 

Delapan Sãla khususnya cocok untuk dilaksanakan oleh umat awam 

sedangkan Sepuluh Sãla tidak. Menurut Visuddhimagga, Sepuluh 

Sãla hanya untuk dilaksanakan oleh para sàmaõera dan sàmaõerã; 

Komentar Khuddakapañha juga menyebutkan bahwa sãla terakhir, 

jàtarÃ¥pa sikkhàpada, dari Sepuluh Sãla, yaitu   sãla khusus bagi 

para sàmaõera. Oleh sebab   itu, yaitu   bukti bahwa Sepuluh Sãla 

hanya untuk dilaksanakan oleh para sàmaõera, bukan untuk umat 

awam.

Oleh sebab   itu, orang-orang baik dan terpelajar pada masa lampau, 

dari dua jenis sãla yang berlaku bagi mereka, Delapan Sãla yang 

merupakan bentuk yang lebih tinggi, dilaksanakan pada hari khusus 

tertentu. Oleh sebab   itu, hanya Delapan Sãla yang disebut uposatha 

seperti yang dijelaskan dalam Visuddhimagga.

Orang-orang baik tidak cukup puas hanya dengan melaksanakan 

sãla; mereka juga ingin melakukan kebajikan melalui berdana yang 

memerlukan usaha untuk mendapatkan, membeli, berbelanja benda-

benda yang akan dipersembahkan. Oleh sebab   itu, mereka tidak 

dapat melaksanakan jàtarÃ¥pa-rajata sikkhàpada dengan sepenuhnya. 

Oleh sebab   itu, orang-orang masa lampau menetapkan satu hari 

khusus untuk melaksanakan Delapan Sãla.

Navaïga Uposatha

Dalam Aïguttara Nikàya (Navaka Nipàta, 2. Sihanàda Vagga, 

8. Sutta) sebuah penjelasan mengenai Navaïga Uposatha Sãla 

diberikan dengan pendahuluan: Sembilan Sãla yaitu   bermanfaat, 

menguntungkan, dan berkekuatan.” Dalam menjelaskannya, 

Buddha membabarkan Delapan Sãla dari pàõàtipàta sikkhàpada 

3281

 1

hingga uccàsayana-mahàsayana sikkhàpada, tetapi diakhiri dengan 

formula praktik cinta kasih sebagai berikut: mettà sahagatena cetasà 

ekaÿ disaÿ pharitvà viharàmi, “Aku berdiam dengan pikiran cinta 

kasih yang diarahkan kepada makhluk-makhluk di satu arah.”

Menurut khotbah ini  , untuk melaksanakan Navaïga 

Uposatha Sãla, sesudah   mengambil Delapan Sãla biasa, seseorang 

harus terus-menerus mengembangkan cinta kasih. Seseorang 

yang melaksanakan Delapan Sãla tanpa cacat dan terus-menerus 

mengembangkan cinta kasih disebut seorang yang melaksanakan 

Sembilan Sãla. Cinta kasih harus dikembangkan sedangkan sãla 

harus dilaksanakan. Oleh sebab   itu untuk mempraktikkan 

Sembilan Sãla seseorang tidak perlu membacakan Sembilan Sãla 

sewaktu mengucapkan janji. Cukup dengan mengucapkan Delapan 

Sãla biasa dan mengembangkan cinta kasih sebanyak mungkin; 

lalu   orang itu dikatakan sedang mempraktikkan Sembilan 

Sãla (Navaïga Uposatha Sãla).

Sehubungan dengan cinta kasih, sebab   Buddha secara khusus 

menyebutkan ‘ekaÿ disaÿ’, memancarkan cinta kasih ke satu arah 

yaitu   lebih efektif daripada melakukannya tanpa memedulikan 

arah. Seseorang harus mengarahkan pikirannya kepada makhluk-

makhluk di sepuluh arah (empat arah utama, empat arah di 

antaranya, ditambah ke atas dan ke bawah) satu demi satu dimulai 

dari arah mana pun yang ia suka.

Meskipun ada empat kondisi batin yang luhur*, Buddha hanya 

menyebutkan cinta kasih dan menambahkannya ke Delapan Sãla, 

menjadikannya Sembilan Sãla sebab   cinta kasih memiliki kekuatan 

besar. Itulah sebabnya mengapa Buddha membabarkan Mettà Sutta 

dalam Khuddakapàñha dan Suttanipàta.

(*Catatan: Empat kondisi batin batin luhur: cinta kasih (mettà), welas 

asih (karuõà), kegembiraan akan kebahagiaan orang lain (mudità) 

dan ketenangseimbangan (upekkhà).

Juga, dalam Aïguttara Nikàya, (Ekàdasaka Nipàta, 1. Anussati 

Vagga, 5. Sutta) dijelaskan mengenai sebelas manfaat yang dihasilkan 

3282


oleh mereka yang mengembangkan cinta kasih.

1. Ia tidur dengan tenang,

2. Ia bangun dengan tenang dan segar,

3. Ia tidak bermimpi buruk,

4. Ia disayangi oleh manusia,

5. Ia disayangi oleh makhluk-makhluk bukan-manusia (raksasa 

dan peta)

6. Ia dilindungi oleh para dewa,

7. Ia tidak akan terluka oleh api, racun, dan senjata,

8. Pikirannya mudah dikonsentrasikan,

9. Wajahnya tenang dan jernih,

10. Ia meninggal dunia dengan tenang, dan

11. Jika ia belum menembus Dhamma yang lebih tinggi, Arahatta-

Magga dan Phala, dalam kehidupan ini, ia akan terlahir kembali 

di alam brahmà.

Oleh sebab   itu, jelas bahwa cinta kasih lebih kuat dibandingkan 

tiga kondisi batin luhur lainnya.

Tiga Jenis Uposatha Sãla

Uposatha Sãla ada tiga jenis:

(1) gopàla uposatha―uposatha penggembala sapi

(2) nigaõñha uposatha―uposatha petapa telanjang

(3) ariya uposatha―uposatha para mulia

Seperti yang dijelaskan oleh Buddha dalam Aïguttara Nikàya (Tika 

Nipàta, 2. Mahà Vagga, 10. Visakhuposatha Sutta.) makna intinya 

yaitu  :

(1) Uposatha sãla dilaksanakan dengan pikiran seorang penggembala 

sapi disebut gopàla uposatha. sesudah   menggembalakan ternaknya 

sehari penuh, si penggembala mengembalikannya kepada 

pemiliknya pada sore hari. Saat sampai di rumah, ia hanya berpikir, 

“Hari ini, aku telah menggembalakan ternak ke tempat-tempat itu 

dan membawa mereka ke air di tempat-tempat itu. Besok aku akan 

membawa mereka ke tempat-tempat itu untuk makan dan ke tempat-

3283

 1

tempat itu untuk minum.” Demikian pula, pelaksana Uposatha 

Sãla yang dengan serakah memikirkan makanan, berpikir, “Hari 

ini aku telah memakan makanan ini. Besok, aku akan memakan 

makanan itu.” Jika ia melewatkan hari seperti itu seperti halnya si 

penggembala. Uposatha-nya disebut gopàla uposatha.

(2) Uposatha sãla yang dilaksanakan oleh seorang petapa telanjang 

yang menganut pandangan salah disebut nigantha uposatha. 

Misalnya, menurut praktik mereka sehubungan dengan sãla 

pànàtipàta, membunuh makhluk-makhluk hidup yang berada 

pada jarak yang lebih jauh dari seratus yojanà ke arah timur, barat, 

utara, dan selatan tidak boleh dilakukan. Di dalam jarak-jarak 

tertentu membunuh diperbolehkan, dengan demikian memberi   

kesempatan untuk melakukan kejahatan. Dengan membedakan 

tempat-tempat yang terlarang dan tempat-tempat yang tidak 

terlarang dalam melakukan kejahatan mereka mempraktikkan 

uposatha mereka. Uposatha yang dipraktikkan oleh para penganut 

pandangan demikian disebut nigantha uposatha.

(3) Jika uposatha dilaksanakan sesudah   menyucikan batin dari 

kotoran melalui perenungan sifat-sifat istimewa Buddha, dan 

seterusnya, ini disebut Ariya Uposatha. Ariya Uposatha terdiri dari 

enam jenis:

(a) Brahmuposatha―uposatha mulia (di sini brahmà merujuk pada 

Buddha, makhluk yang paling mulia)

(b) Dhammuposatha―uposatha Dhamma

(c) Saÿghuposatha―uposatha Saÿgha

(d) Sãluposatha―uposatha sãla

(e) Devatuposatha―uposatha dewata

(f) Aññhaïguposatha―uposatha dengan Delapan Sãla

(a) Uposatha yang dijalankan dengan melaksanakan Delapan Sãla 

dan terus-menerus merenungkan sifat-sifat istimewa Buddha seperti 

Arahaÿ, dan seterusnya disebut Brahmuposatha.

(b) Uposatha yang dijalankan dengan melaksanakan Delapan Sãla 

dan terus-menerus merenungkan sifat-sifat istimewa Dhamma 

disebut Dhammuposatha.

3284


(c) Uposatha yang dijalankan dengan melaksanakan Delapan Sãla 

dan terus-menerus merenungkan sifat-sifat istimewa Saÿgha 

disebut Saÿghuposatha.

(d) Uposatha yang dijalankan dengan melaksanakan Delapan Sãla 

tanpa cacat sama sekali dan terus-menerus merenungkan sifat-sifat 

istimewa dari sãla disebut Siluposatha.

(e) Dengan merenungkan bahwa “terdapat di dunia para dewa 

dan brahmà yang memiliki kualitas-kualitas mulia seperti 

keyakinan murni, moralitas murni, senang belajar, dermawan, 

dan kebijaksanaan dalam kehidupan lampau mereka dan sebagai 

akibatnya sekarang mereka terlahir di alam dewa dan brahmà; 

kualitas-kualitas mulia itu juga ada dalam diriku”, seseorang 

melaksanakan uposatha dengan membandingkan dirinya dengan 

dewata. Uposatha demikian disebut devatuposatha. (Di sini dewata 

bermakna para dewa dan brahmà.)

(f) sesudah   menerima Delapan Sãla, seseorang merenungkan, 

“Bagaikan para Arahanta yang tidak pernah membunuh atau 

menyakiti makhluk apa pun juga dan selalu berwelas asih kepada 

mereka, demikian pula aku tidak akan membunuh atau menyakiti 

makhluk apa pun juga dan selalu berwelas asih kepada mereka; 

dengan mempraktikkan hal ini, aku mengikuti jalan para Arahanta.” 

Uposatha yang dilaksanakan dengan cara ini, merenungkan masing-

masing sãla dari Delapan Sãla disebut Aññhaïguposatha.

Harus dimengerti bahwa pembagian Uposatha menjadi tiga 

dan enam jenis yaitu   dalam hubungannya dengan cara 

melaksanakannya. Namun, sãla yang dilaksanakan terdiri dari 

hanya dua jenis, Atthaïga Uposatha Sãla dan Navaïga Uposatha 

Sãla seperti telah dijelaskan di atas.

Tiga Jenis Hari Uposatha

(1) pakati uposatha,

(2) pañijagara uposatha, dan

3285

 1

(3) pàñihàriya uposatha.

Klasifikasi ini berdasarkan kutipan dari Aïguttara Nikàya (Tika 

Nipàta, 4. Devadutadvagga, 7. Raja Sutta, dan sebagainya), yang 

menyebutkan uposatham upavasanti patijagaronti, càtuddasim 

pancaddasim, yà ca pakkhassa atthami, pàtihàriya pakkha¤ ca, 

atthanga susamàgatam.

(1) Pakati uposatha, hari uposatha biasa

Dalam syair Pàëi di atas, pada baris “càtuddasim pancaddasim, yà ca 

pakkhassa atthami”, merujuk pada hari uposatha biasa. Menuruti 

hal ini, setiap dua minggu tiap-tiap bulan, ada tiga hari uposatha, 

yaitu, hari kedelapan, keempat belas, dan kelima belas, jadi ada 

enam hari uposatha dalam sebulan, yang disebut hari uposatha 

biasa. Akan tetapi dalam Komentar ini, paruh pertama dalam setiap 

bulan memiliki empat hari uposatha, yaitu, hari kelima, kedelapan, 

keempat belas dan kelima belas; paruh kedua setiap bulan memiliki 

empat hari uposatha juga, yaitu, hari kelima, kedelapan, keempat 

belas, dan kelima belas, seluruhnya menjadi delapan hari uposatha 

dalam sebulan. Delapan hari ini yaitu   hari uposatha biasa yang 

biasanya dijalankan oleh umat awam.

(Pada masa sekarang ini, umat awam melaksanakan hanya empat 

hari uposatha setiap bulan, yaitu hari paruh pertama pada hari 

kedelapan, dan hari purnama, paruh kedua, pada hari kedelapan, 

dan hari bulan baru.)

(2) Pañijàgara uposatha, hari sebelum dan sesudah uposatha

Pañijàgara uposatha artinya yaitu   delapan hari uposatha biasa 

yang dilaksanakan dengan satu hari tambahan sebelum dan satu 

hari sesudah masing-masing hari uposatha ini  . (Pañi artinya 

‘berulang’; jàgara artinya ‘bangun’. Jadi pañijàgara sãla dapat diartikan 

sebagai moralitas yang bangun berulang-ulang dari tidur kotoran) 

untuk menghitung jumlah hari: hari uposatha kelima didahului oleh 

hari keempat dan diikuti oleh hari keenam; hari uposatha kedelapan 

didahului oleh hari ketujuh dan diikuti oleh hari kesembilan; hari 

3286


keempat belas didahului oleh hari ketiga belas (tetapi tidak ada hari 

uposatha yang mengikuti); hari purnama tidak didahului oleh hari 

uposatha tetapi diikuti oleh hari uposatha pertama paruh kedua. 

Dengan demikian, berturut-turut, hari keempat, kelima, keenam, 

ketujuh, kedelapan, kesembilan, ketiga belas, keempat belas, hari 

purnama, dan hari pertama paruh kedua. Seluruhnya ada sepuluh 

hari dalam paruh pertama dan sepuluh hari dalam paruh kedua 

setiap bulan, sehingga seluruhnya berjumlah delapan hari pakati 

uposatha dan dua belas hari pañijàgara uposatha dalam setiap 

bulan.

(3) Pañihàriya uposatha

Uposatha yang lebih berkekuatan daripada pañijàgara disebut 

pàñihàriya. Pañijàgara uposatha memiliki hari-hari perantara 

dalam dua minggu paruh pertama dan dua minggu paruh kedua. 

Pàñihàriya uposatha tidak memiliki hari perantara, sãla dilaksanakan 

secara terus menerus setiap hari.

Jika umat awam ingin melaksanakan Pàtihariya uposatha, mereka 

dapat melakukannya selama tiga bulan vassa tanpa henti. Jika 

mereka tidak mampu melaksanakannya selama keseluruhan tiga 

bulan, mereka dapat melakukannya selama satu bulan yang dimulai 

dari hari purnama di bulan Thadingyut (Oktober) hingga hari 

purnama bulan Tazaungmon (November). Jika mereka tidak mampu 

melaksanakannya selama satu bulan, mereka dapat melakukannya 

selama lima belas hari yang dimulai dari hari purnama hingga hari 

bulan baru di bulan Thadingyut. Ini dijelaskan dalam Komentar 

Aïguttara Nikàya.

Akan tetapi, menurut Sutta Nipàta Aññhakhatha (Dhammika Sutta 

dari Cåëà Vagga), uposatha yang dilaksanakan selama lima bulan 

(Waso, Wagoung, Tawthalin, Thadingyut, Tazaungmon) tanpa 

terputus yaitu   pàñihariya uposatha; sedangkan guru-guru lain 

mengatakan bahwa uposatha yang dilaksanakan selama tiga bulan: 

Wasa, Tazaungmon, dan Tabaung tanpa terputus disebut pàñihàriya 

uposatha. Guru-guru lain lagi mengatakan bahwa, menurut Kitab 

Pàëi, ada tiga hari pakati uposatha, yaitu, hari kedelapan, empat 

3287

 1

belas, dan lima belas pada setiap dua minggu dalam sebulan. 

Jika, sebagai tambahan atas tiga hari Pakati uposatha. Empat hari 

tambahan, yaitu, hari ketujuh sebelum hari kedelapan dan hari 

kesembilan sesudah   hari kedelapan, hari ketiga belas sebelum hari 

keempat belas dan hari pertama paruh kedua (sesudah   hari kelima 

belas) juga dijalankan, maka uposatha demikian disebut pàñihàriya 

uposatha. Komentator menjelaskan bahwa demi manfaat bagi 

orang-orang berbudi yang ingin memperoleh jasa, semua jenis sãla 

dijelaskan untuk membantu mereka dalam menjalani jenis mana 

pun yang mereka inginkan.

Dari tiga pandangan yang ditunjukkan dalam Suttanipàta 

Aññhakatha, pandangan pribadi komentator, “Uposatha yang 

dilaksanakan selama lima bulan yaitu   pàñihàriya uposatha,” 

sesuai dalam intinya dengan Komentar Aïguttara, di mana periode 

pelaksanaan tanpa terputus yaitu   tiga bulan; sedangkan dalam 

Komentar Sutta Nipàta, periodenya yaitu   lima bulan. Demikianlah 

perbedaannya.

Pandangan ketiga dari Komentar Sutta Nipàta yaitu   sesuai dengan 

apa yang terdapat dalam Komentar Nemi Jàtaka, Vimànavatthu 

(Uttara Vimànavatthu), Theragàthà, dan Suruci Jàtaka dari Pakinnaka 

Nipàta.

Akan tetapi, menurut Sagathavagga dari Saÿyutta Aññhakathà 

(Indaka Vagga, 5. Sutta), hari pàtihàriya uposatha dalam setiap bulan 

yaitu   hari ketujuh, kesembilan, ketiga belas dan hari pertama 

pada paruh pertama atau paruh kedua sesudah   hari kelima belas 

dan setengah bulan sesudah   vassa, yaitu, dari hari pertama bulan 

baru di bulan Thadingyut.

Di sini, ada satu hal yang patut dipertimbangkan: meskipun 

Komentar Aïguttara, Sutta Nipàta, Jàtaka dan Saÿyutta ditulis 

oleh komentator yang sama, yaitu Yang Mulia Mahà Buddhaghosa, 

mengapa terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya dalam 

hal hari uposatha?

Bahwa Buddha sesungguhnya menetapkan tiga jenis uposatha, 

3288


jelas terdapat dalam Visakh’uposath Sutta, namun tidak ada 

Sutta yang dibabarkan oleh Buddha yang meniadakan hari-hari 

tertentu, hari ketiga atau keenam, sebagai hari uposatha. Uposatha 

hari keempat belas, uposatha hari kelima belas, uposatha hari 

kedelapan, pàtihàriya uposatha yang dijelaskan sebelumnya 

bukan ditetapkan oleh Buddha sebagai hari pelaksanaan uposatha. 

Sesungguhnya, yaitu   Sakka, raja para dewa, yang berkata kepada 

para Dewa Tàvatiÿsa, “Orang-orang melaksanakan uposatha pada 

hari keempat belas, kelima belas, dan kedelapan. Pada hari-hari 

yang disebut pàñihàriya pun, mereka melaksanakan uposatha.” Ia 

mendapatkan informasi ini dari para Dewa Catumahàrajika yang 

berkeliling di alam manusia mempersiapkan daftar orang-orang 

berbudi. Buddha hanya mengulangi kata-kata Sakka. Klasifikasi 

uposatha hari keempat belas, kelima belas, dan kedelapan hanyalah 

sekadar pernyataan tentang hari-hari uposatha yang dilaksanakan 

oleh masyarakat tradisional. Tidak ada khotbah tertentu yang 

dibabarkan oleh Buddha yang menyatakan bahwa uposatha harus 

dilaksanakan pada hari-hari ini   atau tidak boleh dilaksanakan 

pada hari-hari lainnya.

Demikianlah, uposatha hari ke empatbelas, kelima belas, kedelapan 

yaitu   hari-hari uposatha yang ditetapkan oleh masyarakat pada 

masa lampau. Secara tradisional hanya ada tiga hari pakati uposatha, 

namun belakangan orang-orang juga melaksanakannya pada hari 

kelima, sehingga menjadi empat hari uposatha dalam setiap dua 

minggu. Demikianlah uposatha hari kelima disebutkan dalam 

Komentar. Sekarang ini, orang-orang melaksanakan hanya empat 

hari uposatha dalam sebulan.

Buddha tidak menetapkan hari uposatha tertentu sebab   umat 

manusia dapat melaksanakan sãla pada hari apa pun yang mereka 

sukai. Dalam menyebutkan hari-hari untuk melaksanakan uposatha 

pañijàgara dan pàñihàriya pada hari-hari tertentu, para komentator 

hanya mencatat berbagai kebiasaan umat manusia. Itulah sebabnya 

terdapat perbedaan dalam beberapa Komentar.

Lebih jauh lagi, Aïguttara, Suttanipàta, Saÿyutta, dan Jàtaka yang 

menjelaskan tentang sãla dikenal dengan sebutan Suttanta Desanà, 

3289

 1

ajaran dalam khotbah; juga dikenal dengan sebutan Vohàra Desanà, 

sebab   di dalam khotbah-khotbah Buddha, yang tiada bandingnya 

dalam hal penggunaan kata-kata, memakai   istilah-istilah dan 

ungkapan-ungkapan yang beredar di masyarakat yang tidak pernah 

sama. Dengan demikian, sehubungan dengan pengelompokan 

uposatha, sebab   semuanya bertujuan untuk mengembangkan 

kebajikan, maka tidak perlu kita memperdebatkan pandangan mana 

yang benar dan pandangan mana yang salah. Dalam Komentar 

Suttanipàta, tiga pandangan dijelaskan dan para pembaca boleh 

menerima mana pun yang disukai.

Para pelaksana sãla memilih hari-hari yang mereka sukai dan 

melaksanakan uposatha dalam berbagai cara. Dan semua 

pelaksanaan itu mengembangkan jasa; sebab   itu komentator menulis 

catatan tentang cara-cara yang digunakan oleh masyarakat. Dalam 

khotbah-khotbah, Suttanta Desanà, bahkan Buddha membabarkan 

sesuai kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Mengapa Buddha 

membabarkan dengan cara demikian? sebab   Beliau ingin agar 

orang banyak tidak melanggar kebiasaan tradisional mereka yang 

memang bukan suatu perbuatan buruk.

Tujuan utama Buddha hanyalah membabarkan realita mengenai 

batin dan jasmani (Nàma-RÃ¥pa Paramattha Dhamma) yang akan 

membantu dalam mencapai Jalan dan Buahnya, Nibbàna. Ajaran 

yang demikian mendalam akan bermanfaat bagi mereka yang 

memiliki persepsi benar. Tetapi bagi mereka yang tidak memiliki 

persepsi benar, hanya akan menyebabkan mereka melakukan 

perbuatan buruk yang dapat mengarahkan mereka kepada kelahiran 

kembali di empat alam rendah. Misalnya, mereka yang memiliki 

persepsi salah tentang Nàma-RÃ¥pa Dhamma akan berpikir, “Di 

dunia ini hanya ada nàma-rÃ¥pa; tidak ada ‘aku’ atau ‘orang lain’; 

jika tidak ada ‘orang lain’ berarti tidak apa-apa jika membunuh 

mereka; dan juga tidak ada ‘milikku’ atau ‘milik orang lain’; sebab   

itu tidak apa-apa jika mencuri benda-benda, melakukan hubungan 

seksual, dan seterusnya.” Dengan demikian, mereka akan dengan 

bebas melanggar norma-norma dalam masyarakat dan melakukan 

perbuatan jahat demikian akan menyebabkan kelahiran kembali di 

alam-alam rendah.

3290


Dalam hal kebenaran mutlak (Paramattha Sacca), tidak ada ‘aku’ atau 

‘orang lain’, tidak ada ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’, dan seterusnya 

hanya kelompok-kelompok nàma-rÃ¥pa (fenomena batin dan badan). 

Kepada mereka yang tidak mampu memahami istilah-istilah 

kebenaran mutlak, Buddha memakai   istilah-istilah kebenaran 

konvensional (Samuti Sacca) dalam membabarkan khotbah-khotbah-

Nya (Suttanta Desanà). Meskipun semuanya yaitu   kelompok 

nàma dan rÃ¥pa, namun secara konvensional untuk memudahkan 

pembedaan, digunakan istilah ‘aku’, ‘mereka’, ‘ibu’, ‘ayah’, dan lain-

lain. Jika orang-orang menyimpang dari kebiasaan konvensional, 

mereka akan ke sana ke mari melakukan perbuatan jahat. Untuk 

mencegah mereka agar tidak terjatuh ke alam rendah sebagai akibat 

dari perbuatan jahat mereka, maka Buddha membabarkan khotbah-

Nya memakai   istilah-istilah konvensional.

Akan tetapi, jika hanya khotbah-khotbah saja yang dibabarkan, 

orang-orang akan menganggap istilah-istilah seperti ‘aku’, ‘mereka’, 

‘anakku’, ‘istriku’, ‘hartaku’, dan sebagainya sebagai kebenaran 

mutlak dan kepercayaan mereka akan diri yang kekal (Sakkàya 

Diññhi) akan menjadi semakin kuat sehingga mereka tidak akan 

mencapai Magga dan Phala, Nibbàna.

Itulah sebabnya Buddha mengajarkan Nàma-RÃ¥pa Paramattha 

Dhamma.

Beberapa guru menulis, “Dalam Vinaya Piñaka, terdapat sebuah 

perintah bagi para bhikkhu untuk tidak melaksanakan ‘bhikkhu 

uposatha’ (membacakan sãla-sãla Pàtimokha) pada hari non-

uposatha; jika mereka melakukannya, mereka telah melakukan 

pelanggaran Dukkaña Apatti. Demikian pula, umat awam tidak boleh 

melaksanakan Delapan Sãla pada hari-hari non-uposatha.”

Tulisan-tulisan demikian menunjukkan bahwa mereka tidak 

memiliki pemahaman dalam menerjemahkan ajaran Buddha. Vinaya 

Desanà juga disebut ânàdesanà dalam literatur Buddhis; yang 

artinya perintah-perintah yang ditetapkan oleh Buddha. Jika seorang 

bhikkhu melakukan perbuatan yang dilarang meskipun dengan 

3291

 1

niat baik, ia tetap bersalah sebab   melanggar perintah Buddha 

dan melanggar peraturan Vinaya. Seandainya Vinaya ini   juga 

berlaku bagi umat awam dalam hal pelaksanaan uposatha, bahwa 

umat awam tidak boleh melaksanakan sãla pada hari-hari bukan 

uposatha dan jika melakukannya berarti pelanggaran, ini yaitu   

kekeliruan dalam mengartikan Desanà. Singkatnya, uposatha, 

sebagai pelaksanaan yang murni dan mulia dapat dilaksanakan 

pada hari apa pun. Semakin sering dilaksanakan, semakin besar 

manfaat baik yang akan diperoleh.

Oleh sebab   itu, Subkomentar Mahà Sudassana Sutta dari 

Mahà Vagga, Dãgha Nikàya, mengatakan, “Uposathaÿ vuccati 

atthaïgasamannàgataÿ sabbadivasesu gahaññhehi rakkhitabbaSãlaÿ―

uposatha dikatakan yaitu   sãla dengan delapan faktor yang dapat 

dilaksanakan oleh umat awam setiap hari. “ (Subkomentar ini 

ditulis oleh Yang Mulia Dhammapàla yang juga menulis Anuñãkà, 

Subkomentar MÃ¥lañãkà, Visuddhimagga Mahàñãkà, Itivuttaka 

Aññhakathà, dan sebagainya, dan Subkomentar-Subkomentar 

lainnya.)

(3) Moralitas terdiri dari empat jenis:

(a) pakati sãla,

(b) àcàra sãla,

(c) dhammatà sãla, dan

(d) pubbahetu sãla.

(a) Tidak melakukan pelanggaran terhadap Lima Sãla oleh para 

penghuni Benua Utara disebut pakati sãla. (Secara alamiah, 

para penghuni benua ini menghindari perbuatan jahat seperti 

membunuh, dan seterusnya, tanpa perlu mengucapkan janji untuk 

melaksanakan Lima Sãla.) tidak melanggar Lima Sãla oleh mereka 

bukanlah pengendalian diri melalui sebuah janji (Samadana-viratã), 

namun pengendalian alamiah bahkan saat pelanggaran memang 

diperlukan oleh situasi (Sampatta-viratã).

(b) Mengikuti praktik tradisi dari suatu keluarga, masyarakat atau 

aliran disebut àcàra sãla. (Menghindari kejahatan sebab   tindakan itu 

juga dilakukan oleh para leluhur disebut kula àcàra; menghindari 

3292


kejahatan sebab   hal itu biasa dilakukan oleh masyarakat setempat 

disebut desa àcàra; menghindari kejahatan sebab   hal itu biasa 

dilakukan oleh alirannya disebut pàsaõda sãla.)

(c) Jenis sãla yang dijalankan oleh ibu seorang Bodhisatta sejak 

mengandung putranya, sebab   kebajikannya yang mana ia tidak 

pernah memikirkan laki-laki, disebut dhammatà sãla. (Ibu seorang 

Bodhisatta biasanya secara rutin melaksanakan Lima Sãla dan 

tidak menginginkan laki-laki bahkan suaminya sendiri, sejak 

saat ia mengandung. Hal ini sebab   seorang bayi yang luar biasa 

mulia, Bodhisatta sedang berdiam di dalam rahimnya. sebab   sãla 

dijalankan sebagai sebuah sãla oleh ibu seorang Bodhisatta, maka 

disebut dhammatà sãla.)

(d) Pelaksanaan sãla oleh seorang yang murni seperti pemuda Pippali 

(yang kelak menjadi Mahà Kassapa) dan Bodhisatta seperti Raja 

Mahàsãlava melalui kecenderungan alamiah dan tanpa instruksi dari 

orang lain disebut pubbahetu sãla. (Sebagai akibat dari kebiasaannya 

melaksanakan sãla dalam kehidupan lampau, mereka akan secara 

alamiah cenderung untuk melaksanakan sãla dalam kehidupan 

ini.)

 (4) Moralitas terdiri dari empat jenis:

(a) Pàtimokkha Saÿvara Sãla, 

(b) indriyasaÿvara sãla, 

(c) àjãvapàrisuddhi sãla, dan

(d) paccayasannissita sãla

Empat jenis ini khusus untuk para bhikkhu, saat   Bodhisatta, 

Petapa Sumedha, merenungkan Kesempurnaan Moralitas, Beliau 

berkata kepada diri-Nya sendiri, “Tath’eva vam catÃ¥su bhÃ¥mãsu, 

sãlàni paripÃ¥raya,” “Demikian pula, engkau harus sempurna dalam 

empat bidang sãla.”

(a) Pàtimokkha Saÿvara Sãla

Sãla yang membebaskan pelaksananya dari penderitaan di empat 

alam rendah ini disebut Pàtimokkha Saÿvara Sãla. (pàti-pelaksana; 

3293

 1

mokkha-membebaskan)

Pelaksana sãla ini: (i) harus bertingkah laku benar, (ii) harus memiliki 

lingkungan yang tanpa cacat, (iii) harus melihat bahaya besar 

dalam kejahatan sekecil apa pun; pelanggaran mungkin sekecil 

partikel debu namun ia harus dapat melihat bahaya di dalamnya 

sebesar Gunung Meru yang tingginya seratus enam puluh delapan 

yojàna ke atas dan ke bawah air, dan (iv) harus melaksanakan dan 

mempraktikkan sãla-sãla dengan benar.

Penjelasan lebih lanjut:

(i) Di dunia ini, ada àcàra Dhamma yang harus dilakukan, dan 

ada anàcàra Dhamma yang tidak boleh dilakukan. Tiga tindakan 

fisik yang salah (membunuh, mencuri, dan hubungan seksual yang 

salah) dan empat perkataan salah (berbohong, memfitnah, memaki, 

bergosip), seluruhnya merupakan tujuh perbuatan salah (duccarita), 

dan perbuatan lainnya yang menyebabkan pelanggaran sãla yaitu   

anàcàra.

Beberapa contoh perbuatan salah yang dapat menyebabkan 

pelanggaran sãla: di dunia ini beberapa bhikkhu mencari nafkah 

dengan membuat cinderamata dari bambu, daun, bunga, buah, 

sabun, tusuk gigi kepada umat awam; mereka merendahkan 

diri mereka dengan menyetujui perkataan salah umat awam, 

menyanjung mereka untuk mendapatkan bantuan, mengucapkan 

banyak kebohongan yang dicampur sedikit kebenaran bagaikan 

banyak kacang buncis yang belum dimasak dicampur dengan 

sedikit kacang buncis yang sudah dimasak di dalam panci. Mereka 

mengasuh anak-anak umat awam seperti pelayan pengasuh anak, 

merangkul mereka, memakaikan baju mereka, dan sebagainya; 

mereka menjadi kurir yang bisa diperintah oleh umat penyokong 

mereka; mereka memberi   perawatan medis kepada umat awam, 

menjaga harta mereka, saling bertukar makanan dan minuman 

dengan mereka. Penghidupan salah demikian dan semua cara-

cara penghidupan salah lainnya yang dicela oleh Buddha disebut 

anàcàra Dhamma.

3294


Tidaklah layak bagi para bhikkhu untuk memberi   bambu, 

daun-daun, dan sebagainya, bahkan jika umat awam datang dan 

memintanya; apalagi saat mereka tidak memintanya. Tindakan 

memberi seperti itu bukanlah urusan para bhikkhu. Jika mereka 

melakukannya, mereka dapat merusak keyakinan umat awam 

(kuladåsana) terhadap Vinaya.

Sehubungan dengan hal ini, akan dipertanyakan apakah keyakinan 

para umat awam tidak rusak jika bhikkhu tidak memberi   

apa yang mereka inginkan, atau apakah, jika bhikkhu ini   

memberi   apa yang mereka inginkan, keyakinan mereka akan 

berkembang dengan pikiran, “Bhikkhu ini memenuhi kebutuhan 

kami.” Keyakinan umat awam terhadap seorang bhikkhu sebagai 

siswa Buddha yaitu   murni bahkan sebelum menerima pemberian 

dari bhikkhu, sesudah   menerima, si umat awam akan memandangnya 

sebagai pemberi bambu, daun, dan sebagainya dan sebagai akibatnya 

kemelekatan akan muncul dalam dirinya. Oleh sebab   itu, keyakinan 

terhadap bhikkhu menjadi ternoda oleh kemelekatan. Keyakinan 

murni telah rusak. sebab   itu Buddha mencela para bhikkhu yang 

melakukan pemberian benda-benda, menyebut tindakan itu sebagai 

kuladÃ¥sana, ‘perusakan keyakinan umat’.

Semua tindakan yang berlawanan dengan anàcàra yang 

telah dijelaskan di atas yaitu   tindakan àcàra yang harus 

dikembangkan.

(ii) Lingkungan terdiri dari dua jenis, lingkungan buruk dan 

lingkungan baik.

Lingkungan buruk: beberapa bhikkhu dalam ajaran Buddha bergaul 

akrab dengan para pelacur, janda, perempuan-perempuan yang 

telah bercerai, perawan tua, orang-orang kasim, dan para bhikkhunã. 

Mereka sering mengunjungi kedai-kedai minuman keras yang 

tidak layak bagi seorang bhikkhu; mereka bergaul dengan raja-raja, 

menteri, para penganut pandangan salah dan pengikut mereka 

bagaikan umat awam biasa. Mereka bergaul dengan orang-orang 

yang tidak memiliki keyakinan dan yang menghina dan mengancam 

para siswa Buddha, yaitu para bhikkhu, bhikkhunã, dan siswa awam 

3295

 1

laki-laki dan perempuan, dan yang mengharapkan mereka celaka. 

Semua pergaulan para bhikkhu ini dan tempat-tempat yang sering 

mereka kunjungi ini yaitu   lingkungan buruk bagi para bhikkhu.

‘Lingkungan buruk’ di sini merujuk pada persahabatan dan 

pergaulan yang tidak bermanfaat dan tempat-tempat yang tidak 

layak dikunjungi oleh para bhikkhu. Tetapi jika seorang pelacur 

mengundang para bhikkhu untuk memberi   persembahan, 

mereka boleh pergi dan menerimanya dengan menjaga perhatian 

murni. Di sini, para pelacur, janda, perempuan yang telah bercerai, 

perawan tua, orang kasim, dan bhikkhunã dianggap sebagai 

lingkungan buruk, sebab   mereka membentuk landasan bagi 

lima kenikmatan indria. Rumah penjual minuman keras, kedai 

minuman, dan sebagainya, yaitu   berbahaya bagi mereka yang 

mempraktikkan Dhamma. Pergaulan dengan raja-raja dan menteri 

juga tidak bermanfaat; persembahan yang mereka berikan akan 

dapat merusak bagaikan sambaran petir. Dan rumah-rumah di mana 

tidak ada keyakinan, di mana orang-orang mencela dan mengancam 

yaitu   lingkungan buruk sebab   dapat melemahkan keyakinan dan 

menyebabkan ketakutan dalam diri para bhikkhu.

Orang-orang dan tempat-tempat yang berlawanan dengan apa yang 

dijelaskan di atas yaitu   merupakan lingkungan yang baik bagi para 

bhikkhu. Banyak umat awam yang memiliki keyakinan dalam Tiga 

Permata; mereka juga percaya pada kamma dan akibatnya; mereka 

bagaikan sumur atau danau di mana para bhikkhu dapat menikmati 

air yang tidak habis-habisnya. Rumah-rumah mereka gemerlap 

oleh warna jubah para bhikkhu yang sering mengunjunginya. 

Atmosfer di tempat-tempat itu penuh dengan angin yang disebabkan 

oleh gerakan para bhikkhu. Di sini, orang-orang mengharapkan 

kebahagiaan mereka, mengharapkan kesejahteraan para bhikkhu, 

para bhikkhunã, umat-umat awam laki-laki dan perempuan; rumah-

rumah demikian yaitu   lingkungan baik bagi para bhikkhu.

Penjelasan lebih lanjut: àcàra, anàcàra, dan gocara.

Anàcàra, Perbuatan yang Tidak Layak

3296


Ada dua jenis perbuatan tidak layak (anàcàra), yaitu, tindakan 

fisik yang tidak layak (kàyika anàcàra) dan ucapan yag tidak layak 

(vacasika anàcàra)

Tindakan fisik yang tidak layak:

sesudah   bergabung dalam Saÿgha, seorang bhikkhu bertindak 

tidak hormat kepada Saÿgha, ia berdiri berdesakan dengan 

mereka, duduk berdesakan dengan mereka, berdiri atau duduk di 

depan mereka, duduk di tempat yang lebih tinggi daripada senior, 

duduk dengan kepala tertutup jubah, berbicara sambil berdiri, 

menggerak-gerakkan tangan sambil berbicara, berjalan memakai 

alas kaki sedangkan seniornya berjalan dengan bertelanjang kaki, 

mengambil jalan yang lebih tinggi sedangkan senior berjalan di 

jalan yang lebih rendah, berjalan di jalan setapak sedangkan para 

senior berjalan di atas tanah, duduk mendorong para senior, berdiri 

mendorong para senior dan tidak memberi   tempat kepada para 

bhikkhu yang lebih muda; (di tempat pemandian) ia membakar 

kayu bakar tanpa meminta izin para bhikkhu senior dan menutup 

pintu; (di tempat pemandian) ia mendorong para bhikkhu senior 

dan masuk ke air mendahului mereka, berdesakan dengan mereka 

dan keluar sebelum para senior, dan berjalan mendahului para 

senior; ia bergegas masuk ke kamar-kamar di rumah para umat 

awam; ia menepuk kepala anak-anak mereka (bersikap suka kepada 

mereka). Tindakan-tindakan ini disebut tindakan fisik yang tidak 

layak (kàyika anàcàra).

Ucapan yang tidak layak:

sesudah   bergabung dalam Saÿgha, seorang bhikkhu bertindak tidak 

hormat kepada Saÿgha; ia membicarakan Dhamma tanpa meminta 

izin dari para senior, menjawab pertanyaan-pertanyaan, membaca 

Pàtimokkha tanpa izin; berbicara sambil berdiri, menggerak-

gerakkan tangan sambil berbicara. Sesampai di kota atau desa, tanpa 

pengendalian diri, ia berbicara kepada perempuan atau gadis-gadis 

muda, “Kamu begini-begitu dari keluarga yang begini-begitu, apa 

yang kamu miliki? Apakah kamu punya bubur? Apakah ada nasi? 

Adakah makanan keras? Apa yang dapat kami minum? Makanan 

3297

 1

apa yang dapat kami makan? Apa yang akan kamu persembahkan 

kepada kami?” dan sebagainya, ini disebut ucapan yang tidak layak 

(vacasika anàcàra).

âcàra, Perbuatan yang Benar

âcàra harus dipahami sebagai kebalikan dari anàcàra, perbuatan 

yang tidak layak, yang telah dijelaskan sebelumnya. Lebih jauh 

lagi, seorang bhikkhu selalu menunjukkan hormat, patuh, memiliki 

rasa malu dan kesadaran, mengenakan jubah bawahnya dengan 

benar, mengenakan jubah atasnya dengan benar, tingkah lakunya 

dapat membangkitkan semangat keyakinan dan hormat apakah ia 

bergerak maju atau mundur, melihat ke samping, membungkuk 

atau menegakkan badan, matanya menatap ke bawah, ia menjaga 

pintu-pintu indrianya; ia mengetahui ukuran yang tepat saat makan, 

berusaha agar selalu sadar, memiliki perhatian dengan pemahaman 

penuh, ia memiliki sedikit kebutuhan, mudah puas, ia bersungguh-

sungguh dalam melatih Dhamma yang baik, melaksanakan dengan 

sungguh-sunguh abhisamàcàrika sãla yang telah dijelaskan di atas. 

Ini semua disebut perbuatan yang benar (àcàra).

Gocara, lingkungan yang baik

Gocara terdiri dari tiga jenis: upanissaya gocara, lingkungan yang 

bertindak sebagai pendukung kuat bagi pengembangan moral 

seseorang; àrakkha gocara, lingkungan yang bertindak sebagai 

penjaga pikiran, dan upanibandha gocara, lingkungan yang 

bertindak sebagai pengikat bagi pikiran.

(1) Seorang teman baik yang selalu memakai   perkataan benar 

yang mendukung Pembebasan dari samsàra disebut upanissaya 

gocara. Dengan mengandalkan teman yang demikian, ia akan 

mendengar Dhamma yang belum pernah ia dengar sebelumnya, 

melenyapkan keraguan, memperbaiki pandangannya, mencapai 

batin yang bersih. Sebagai tambahan dari manfaat-manfaat ini, 

ia dapat mengembangkan keyakinan, moralitas, pembelajaran, 

kedermawanan, dan kebijaksanaan. sebab   itu teman yang 

baik disebut upanissaya gocara, pendukung yang kuat untuk 

3298


mengembangkan kualitas-kualitas baik seperti moralitas, dan 

sebagainya.

Sepuluh jenis ucapan yang mendukung Pembebasan:

1. appiccha kathà―ucapan tentang kebutuhan yang sedikit,

2. santuññhi kathà―ucapan tentang kepuasan dengan apa yang telah 

dimiliki,

3. paviveka kathà―ucapan tentang hidup menyepi,