Biksu Budha 22

 



4. asamsagga kathà―ucapan tentang hidup dalam pengasingan,

5. viriyarambaha kathà―ucapan tentang usaha,

6. sãla kathà―ucapan tentang moralitas,

7. samàdhi kathà―ucapan tentang semadi,

8. pa¤¤Ã  kathà―ucapan tentang Pandangan Cerah Vipassanà dan 

pengetahuan mengenai Jalan,

9. vimutti kathà―ucapan tentang Buah (Pembebasan), dan 

10. vimutti ¤Ã Ãµadassana―ucapan tentang Paccavekkhanà Kathà 

¥Ã Ãµa, Pengetahuan Perenungan Jalan dan Buahnya.

Singkatnya, orang yang memakai   ucapan yang berhubungan 

dengan Pembebasan dari penderitaan saÿsara akan membawa 

lima manfaat seperti mendengarkan Dhamma yang belum pernah 

didengar sebelumnya, dan seterusnya, teman yang baik yang 

dapat membantu orang lain agar maju dalam lima kualitas seperti 

keyakinan, moralitas, belajar, kedermawanan, dan kebijaksanaan, 

seorang yang demikian disebut upanissaya gocara, lingkungan 

yang memberi   kondisi yang cukup kuat untuk pengembangan 

kualitas-kualitas baik seperti moralitas, dan sebagainya.

Perhatian (sati) yang menjaga pikiran disebut àrakkha gocara. 

(àrakkha―yang menjaga batin; gocara―sati, perhatian.) (Seorang 

bhikkhu, yang berdiam dalam perhatian murni, pergi menerima 

persembahan di desa dan kota, dengan mata menatap ke bawah, 

melihat sejauh panjang bajak sawah dan menjaga indrianya. Ia 

bepergian dengan tidak melihat barisan pasukan gajah, atau 

prajurit berkuda, atau pasukan kereta, atau prajurit berjalan kaki, 

atau melihat perempuan atau laki-laki. Ia tidak melihat ke atas atau 

ke bawah, atau ke delapan penjuru dan terus berjalan. Seorang 

3299

 1

bhikkhu yang tidak memiliki perhatian murni, àrakkha gocara, saat 

pergi mengumpulkan dàna makanan di kota dan desa, melihat ke 

sana kemari, ke segala arah bagaikan burung gagak yang dikurung 

dalam keranjang. Dengan demikian, perhatian yaitu   lingkungan 

yang menjaga pikiran seorang bhikkhu agar bebas dari bahaya 

pikiran jahat.

sebab   Perenungan Empat Landasan Perhatian Murni (Satipaññhàna 

Kamaññhàna) yaitu   lingkungan yang mengikat pikiran, maka 

disebut upanibandha gocara. (Upanibanda = di mana pikiran diikat; 

gocara = lingkungan.)

Seorang bhikkhu yang ingin agar dapat menjalani Pàtimokkha 

Saÿvara Sãla secara benar-benar murni harus memiliki perbuatan 

benar, lingkungan yang baik, dan menganggap cacat sekecil apa 

pun sebagai bahaya besar.

(b) Indriyasaÿvara Sãla

Menjaga indria disebut indriyasaÿvara sãla. 

Enam landasan, yaitu mata, telinga, hidung, lidah, badan, dan 

pikiran disebut indriya.) Indriya artinya mengatur. Dalam melihat 

sebuah pemandangan, mata (cakkhu pasàda) mengatur organ. Jika 

mata rusak, maka mata tidak dapat melihat objek (kesadaran-mata 

tidak muncul); oleh sebab   itu Buddha mengatakan bahwa mata 

disebut cakkhundriya. Demikian pula, dalam mendengar suara, 

telinga (sota pasàda) mengatur organ. Jika telinga rusak, maka 

telinga tidak dapat mendengar suara (kesadaran-telinga tidak 

muncul); oleh sebab   itu telinga disebut sotindriya. Dalam mencium 

bau-bauan, hidung (ghàna pasàda) mengatur organ; jika hidung 

rusak, maka hidung tidak dapat mencium bau-bauan (kesadaran-

hidung tidak muncul); oleh sebab   itu hidung disebut ghànindriya. 

Dalam mengecap rasa, lidah (jivhà pasàda) mengatur organ. Jika 

lidah rusak, lidah tidak dapat mengecap rasa (kesadaran-lidah 

tidak muncul); oleh sebab   itu, lidah disebut jivhindriya. Dalam 

menyentuh objek-objek sentuhan, badan (kàya pasàda) mengatur 

organ, jika badan rusak, badan tidak dapat merasakan benda-benda 

3300


yang tersentuh (kesadaran-badan tidak muncul); oleh sebab   itu 

badan disebut kàtindriya. Dalam mengenali objek pikiran, pikiran 

(mana) mengatur organ. Tanpa adanya pikiran, tidak akan muncul 

kesadaran-pikiran; oleh sebab   itu pikiran disebut manindriya. 

Dengan demikian, menjaga enam indria (indriya) ini disebut 

indriyasaÿvara sãla.

Berikut ini yaitu   bagaimana menjaga enam indria: saat   melihat 

suatu objek terlihat dengan mata, seseorang harus sadar bahwa 

itu hanyalah sebuah objek yang terlihat; seseorang tidak boleh 

menanggapinya bahkan secara umum dari apa yang terlihat, 

misalnya “Ini perempuan,” “Ini laki-laki,” “Ini indah,” yang akan 

menyebabkan munculnya kotoran. Juga tidak boleh memerhatikan 

rincian (anubya¤jana) sehubungan dengan tanda atau bayangan 

dari perempuan, atau laki-laki, dan sebagainya itu, seperti bentuk 

tangan, kaki, dan sebagainya, cara tersenyum, tertawa, berbicara, 

melihat ke samping, dan sebagainya yang dapat memunculkan 

kotoran yang berulang-ulang.

Contoh Thera Mahà Tissa

Sehubungan dengan pengendalian indria mata, Thera Mahà Tissa 

yang tinggal di puncak gunung Cetiya dapat dijadikan teladan. Suatu 

hari Thera Mahà Tissa pergi ke Anuràdha untuk mengumpulkan 

dàna makanan. Pada hari itu seorang perempuan yang sedang 

bertengkar dengan suaminya meninggalkan rumahnya dan kembali 

ke rumah orangtuanya; ia mengenakan pakaian yang baik. Melihat 

Thera Mahà Tissa yang sedang datang dengan pengendalian 

indrianya, ia tertawa keras dan berpikir, “Aku akan menjadikannya 

suamiku sesudah   merayunya.” Thera Mahà Tissa melihat ke atas 

untuk mengetahui apa itu. Melihat giginya, ia mengembangkan 

persepsi kejijikan (asubha sa¤¤Ã ), dan saat merenungkan hal itu, ia 

mencapai kesucian Arahatta.

Sang suami yang sedang mengejar istrinya melihat Thera dan 

bertanya:

“Yang Mulia, apakah engkau melihat seorang perempuan dalam 

3301

 1

perjalanan?”

“Nàbhijànàmi itthi và, puriso và ito gato, 

api ca aññhisamghato, gacchatesa mahàpathe.”

“Dàyakà, aku tidak memerhatikan apakah ia laki-laki atau 

perempuan yang lewat.

Aku hanya melihat tulang-belulang yang melewati jalan ini.”

Meskipun Thera melihat seorang perempuan, ia hanya sekadar 

melihatnya, tetapi tidak mengetahui apakah orang itu perempuan; 

sebaliknya, ia mengembangkan meditasi dan menjadi seorang 

Arahanta, peristiwa ini harus dijadikan teladan yang baik.

Tanpa mengendalikan indria penglihatan, saat   seorang bhikkhu 

melihat sebuah objek yang menyenangkan, keserakahan (abhijjhà) 

akan muncul dalam dirinya; jika ia melihat objek yang tidak 

menyenangkan, ketidak-senangan, kekecewaan (domanassa) akan 

muncul dalam dirinya. Oleh sebab   itu seseorang harus melatih 

pengendalian terhadap penglihatannya melalui perhatian muni 

untuk mencegah munculnya kondisi batin yang buruk.

Sehubungan dengan pintu-pintu indria lainnya, pengendalian yang 

sama harus dijaga sehingga tidak ada kotoran yang muncul saat 

mendengar suara, mencium bau-bauan, mengecap rasa, menyentuh 

objek-objek sentuhan atau mengenali objek-objek pikiran.

(c) âjãvapàrisuddhi Sãla

âjãvapàrisuddhi sãla, moralitas kesucian penghidupan, artinya 

yaitu   menghindari enam jenis penghidupan salah yang dilarang 

oleh Vinaya dan menghindari segala jenis penghidupan salah. Enam 

sikkhàpada yang ditetapkan oleh Buddha sehubungan dengan 

penghidupan yaitu  :

(1) memiliki keinginan jahat dan dikuasai oleh keinginan ini  , 

jika seorang bhikkhu membual tentang pencapaian Jhàna, Magga, 

3302


Phala yang tidak ada dalam dirinya, dan tidak pernah ada 

sebelumnya, ia bersalah atas pelanggaran Pàràjika âpatti.

(2) Demi penghidupannya, jika ia melakukan perbuatan sebagai 

perantara dalam suatu pernikahan, ia bersalah atas pelanggaran 

Saÿghàdisesa âpatti.

(3) Tanpa menyebutkan secara langsung, “Aku yaitu   Arahanta,” 

jika ia mengatakan, demi penghidupannya, ‘Seorang bhikkhu 

tertentu yang tinggal di vihàramu, bhikkhu ini   yaitu   

seorang Arahanta’ dan jika si penyumbang memahami apa yang ia 

maksudkan, ia bersalah atas pelanggaran Thullaccaya âpatti.

(4) Demi penghidupannya, jika ia meminta makanan-makanan 

lezat dan mewah, dalam keadaan tidak sakit, maka ia bersalah atas 

pelanggaran Pàcittiya âpatti.

(5) Demi penghidupannya, jika seorang bhikkhunã meminta 

makanan-makanan lezat dan mewah, dalam keadaan tidak sakit, 

maka ia bersalah atas pelanggaran Pàtidesaniya âpatti.

(6) Demi penghidupannya, jika seorang bhikkhu meminta nasi 

kari, dalam keadaan tidak sakit, maka ia bersalah atas pelanggaran 

Dukkaña âpatti.

Jenis-jenis lainnya dari penghidupan salah, sebagai tambahan 

dari enam di atas yaitu  : (1) kuhana, kemunafikan, (2) lapana, 

banyak bicara, (3) nemittikatà, memberi isyarat, (4) nippesikatà, 

meremehkan, (5) làbhena làbhaÿ nijigãsanatà, mencari pendapatan 

dengan pendapatan.

(a) Kuhana, kemunafikan, terdiri dari tiga jenis:

1. Kemunafikan dalam penggunaan barang-barang kebutuhan 

(paccaya pañisevana).

2. Kemunafikan dalam membicarakan tentang pencapaian Jalan 

dan Buahnya (samanta jappanà).

3. Kemunafikan dalam perubahan postur untuk menipu umat 

3303

 1

awam (iriyàpatha saõñhapana)

(i) saat   umat awam mempersembahkan jubah, dan sebagainya 

kepada seorang bhikkhu, meskipun ia menginginkannya, sebab   

berkeinginan jahat untuk berpura-pura dan berlagak seolah-olah ia 

hanyalah seorang yang tidak berarti, ia berkata untuk mendapatkan 

(jubah) lebih banyak lagi, “Apalah gunanya jubah yang mahal ini 

bagi seorang bhikkhu? Hanya jubah pamsukÃ¥lika yang terbuat dari 

potongan-potongan kain yang tidak berguna yang cocok baginya; 

(untuk makanan) ia berkata, “Apalah gunanya makanan yang mahal 

ini bagi seorang bhikkhu? Hanya makanan yang diperoleh dari 

berkeliling mengumpulkan dàna makanan yang cocok bagi seorang 

bhikkhu.’ (Untuk tempat tinggal) ia berkata, “Apalah gunanya 

tempat tinggal yang nyaman bagi seorang bhikkhu? Hanya tempat 

tinggal di bawah pohon yang cocok baginya’; (untuk obat-obatan) 

ia berkata, “Apalah gunanya obat yang mahal ini bagi seorang 

bhikkhu? Air kencing sapi atau seporsi buah kering cukup baik 

untuknya sebagai obat.”

Selanjutnya, untuk mempraktikkan apa yang ia khotbahkan, ia 

mengenakan jubah kasar, tempat tinggal, dan obat-obatan sederhana. 

Umat-umat awam akan memandang tinggi dirinya, “Yang Mulia ini 

memiliki sedikit kebutuhan, ia mudah merasa puas; ia bebas dari 

keinginan terhadap materi dan kenikmatan indria; ia tidak bergaul 

dengan umat awam; ia juga sangat tekun (dalam mempraktikkan 

Dhamma).” lalu   mereka mengundangnya untuk menerima 

lebih banyak dan lebih banyak lagi benda-benda kebutuhan. 

lalu   bhikkhu yang berkeinginan jahat itu membual, “Dayaka, 

jika tiga hal ini ada, yaitu: keyakinan, benda-benda, dan orang yang 

akan menerimanya, maka orang-orang berbudi yang berkeyakinan 

dapat memperoleh jasa. Di sini, engkau pasti memiliki keyakinan; 

engkau memiliki benda-benda untuk dipersembahkan; dan 

aku yaitu   penerima persembahan. Jika aku tidak menerima 

persembahanmu, maka jasamu akan berkurang. sebab   itu, demi 

welas asih terhadapmu, aku harus menerima persembahan ini 

meskipun aku tidak memerlukannya.” Dengan berkata demikian, 

ia menerima banyak jubah dan makanan, banyak tempat tinggal, 

dan banyak obat-obatan. Dengan demikian, walaupun ia serakah, 

3304


ia berpura-pura memiliki sedikit kebutuhan, dan memakai   

barang-barang kasar dan sederhana agar orang lain memandang 

tinggi dirinya. Ini disebut paccayapañisevana kuhana, kemunafikan 

dalam penggunaan benda-benda kebutuhan.

(ii) Tanpa mengatakannya secara langsung, “Aku telah mencapai 

Jhàna, Magga, dan Phala,” ia membuat orang-orang lain 

menganggap bahwa ia telah mencapainya dengan menyinggung 

secara tidak langsung, “Bhikkhu yang mengenakan jubah itu sangat 

sakti, bhikkhu yang membawa mangkuk itu, saringan air itu, sabuk 

pinggang itu, sandal itu, sangat sakti.” Ini disebut sàmanta jappanà, 

kemunafikan dalam berbicara tentang pencapaian Jhàna, Magga, 

dan Phala.

(iii) Untuk mendapatkan pujian dan penghormatan dari umat 

awam, si bhikkhu berpikir, “Jika aku berbicara seperti ini, orang-

orang akan memujiku dan menganggap tinggi diriku,” dan ia 

berusaha meniru penampilan seperti seorang mulia dalam hal 

berjalan, berdiri, duduk, dan berbaring. Ini disebut iriyàpatha 

saõñhapana, kemunafikan dalam mengubah postur untuk menipu 

umat awam.

(2) Lapana artinya berbicara dengan tujuan jahat. saat   si bhikkhu 

melihat orang-orang datang ke vihàra, ia akan berkata kepada 

mereka, “Dayaka, untuk apa engkau datang ke sini? Apakah 

engkau datang untuk mengundang para bhikkhu? Jika demikian, 

silakan jalan duluan, aku akan mengikutimu dengan membawa 

mangkukku;” atau ia akan berkata, “Aku yaitu   Thera Tissa. 

Raja menghormatiku. Menteri menghormatiku,” dan seterusnya, 

saat berbicara dengan orang-orang ini, ia berhati-hati agar jangan 

sampai membantah mereka, atau membosankan mereka, dengan 

demikian menghindari ketidaksenangan mereka. Ia menyanjung 

mereka dengan memanggil mereka ‘Bankir besar’, ‘Bos besar’, 

dan sebagainya. Berbicara demikian dalam berbagai cara untuk 

memancing persembahan dari umat awam disebut lapana.

(3) Nemittikatà artinya memberi isyarat dengan membuat tanda-

tanda atau memberi   petunjuk dengan tujuan jahat untuk 

3305

 1

mengumpulkan dàna. Misalnya, melihat seseorang membawa 

makanan, ia memberi   petunjuk bahwa ia juga membutuhkan 

makanan dengan berkata, “Apakah engkau sudah makan? Di mana 

engkau mendapatkannya? Bagaimana caranya engkau mendapatkan 

makanan?,” dan sebagainya. Melihat penggembala, ia menunjuk 

ke kerumunan ternak dan berkata, “Apakah ternak ini dibesarkan 

dengan susu atau air?” Si penggembala menjawab, “Yang Mulia, 

ternak ini dibesarkan dengan susu.” “Kurasa tidak. Jika ternak 

mendapat susu, para bhikkhu pasti akan mendapatkannya juga,” 

dan seterusnya. Dengan demikian ia mengirim pesan kepada 

orangtua mereka untuk mempersembahkan susu kepada bhikkhu 

ini  . memberi   isyarat untuk mengumpulkan dàna disebut 

nemittikatà.

Bentuk-bentuk ucapan yang memberi   petunjuk yang langsung 

dan jelas atas apa yang ia butuhkan disebut sàmanta jappa, 

nemittikatà, dan sàmanta jappa, jenis lain dari lapana, yaitu   sifat 

jahat.

Dalam menjelaskan jenis ucapan samanta jappa yang mengisyaratkan 

objek yang diinginkan, Visuddhimagga menceritakan kisah Bhikkhu 

KulÃ¥paka, seorang bhikkhu yang memiliki kebiasaan mengunjungi 

umat awam.

Kisah Bhikkhu Kulåpaka

sebab   menginginkan makanan seorang bhikkhu yang memiliki 

kebiasaan mengunjungi umat-umat awam, memasuki rumah dan 

duduk di tempat duduk meskipun tidak diundang. Melihat bhikkhu 

ini   dan tidak ingin memberi   makanan untuknya, seorang 

perempuan di rumah itu menggerutu, “Aku tidak punya nasi,” ia 

keluar seolah-olah hendak mencari makanan tetapi sebenarnya 

masuk ke rumah tetangganya. Si bhikkhu diam-diam masuk ke 

ruang dalam dan melihat ke sana-sini, ia melihat tebu di pojok di 

balik pintu, sebongkah gula merah di dalam mangkuk, sepotong 

ikan kering di dalam keranjang, nasi di dalam panci, dan mentega 

di dalam kendi. Selanjutnya ia kembali ke tempat duduknya dan 

duduk seperti sebelummya.

3306


Perempuan itu pulang sambil menggerutu, “Aku tidak mendapatkan 

nasi.” Si bhikkhu lalu   berkata, “Dayika, pagi ini aku melihat 

pertanda yang menyiratkan bahwa aku tidak akan mendapatkan 

makanan untuk dimakan.” “Pertanda apakah, Yang Mulia?” 

“Sewaktu aku datang ke rumah ini untuk menerima dàna makanan, 

dalam perjalanan aku melihat seekor ular sebesar sebatang tebu yang 

ada di balik pintu. Untuk mengusirnya, aku mencari sesuatu dan 

menemukan batu sebesar sebongkah gula merah di mangkukmu. 

Sewaktu aku melempar batu itu ke arah ular itu, kepalanya 

mengembang hingga sebesar sepotong ikan kering di keranjangmu. 

saat   ular itu membuka mulutnya untuk menggigit batu itu, aku 

melihat gigi dan taringnya yang seperti bulir-bulir nasi di pancimu. 

Air liur yang berbusa yang bercampur bisa ular yang marah itu 

terlihat seperti mentega di kendimu.” Terjebak dalam jaring kata-

kata yang menyiratkan keinginannya, perempuan itu berpikir, 

“Tidak mungkin membohongi para bhikkhu!” Dan dia dengan 

enggan mengambil tebu, nasi, dan mempersembahkan kepadanya 

lengkap dengan mentega, gula merah, dan ikan kering.

(4) Nippesikatà, bentuk lain kejahatan yang berarti mengejar 

pendapatan dengan mencela kualitas baik umat awam seperti 

menghasilkan wewangian dengan cara menggilas benda-benda 

harum. Pengejaran ini   dilakukan dalam berbagai cara: 

memakai   kata-kata kasar untuk memaksa seseorang agar 

memberi; mencela dengan mengatakan, “Engkau tidak memiliki 

keyakinan sama sekali,” “Engkau tidak seperti umat lainnya;” 

menyindir mereka yang tidak memberi dengan mengatakan, “Oh, 

dasar penyumbang! Oh, dasar penyumbang besar;” mengejek 

seseorang yang tidak memberi di tengah-tengah banyak orang 

dengan mengatakan, “Mengapa engkau mengatakan bahwa orang 

ini tidak mempersembahkan apa pun? Ia selalu memberi   kata-

kata ‘Aku tidak punya apa-apa’ kepada siapa pun yang datang untuk 

menerima dàna.” Pengejaran keuntungan demikian dengan cara 

meremehkan kualitas baik umat awam disebut nippesikatà.

(5) Làbhena làbhaÿ nijigãsanatà artinya mengejar pendapatan 

dengan pendapatan yang dilandasi oleh keserakahan. Misalnya, 

3307

 1

sesudah   menerima makanan yang dipersembahkan di rumah seorang 

dayaka, seorang bhikkhu memberi  nya kepada anak-anak di 

sekitar rumah itu. Ia melakukannya agar keluarga anak-anak itu 

memberi   kepadanya lebih banyak lagi sebagai ungkapan terima 

kasih dan kegembiraan mereka (sebab   ketertarikannya terhadap 

anak-anak mereka). Singkatnya, mencari lebih banyak dàna lagi dari 

rumah yang lain dengan memberi   sedikit persembahan yang 

telah ia terima disebut làbhena làbham nijigãsanatà.

Lima jenis penghidupan salah, seperti kuhana, dan seterusnya, 

seperti yang telah dijelaskan di atas, berbeda satu sama lain dalam 

hal cara mendapatkannya, namun sama-sama menipu umat awam 

untuk melakukan pemberian meskipun dengan enggan.

Demikianlah, hidup dari benda-benda yang diperoleh dengan 

melanggar enam sikkhàpada yang ditetapkan oleh Buddha 

sehubungan dengan penghidupan seperti yang telah dijelaskan 

di atas dan juga hidup dari benda-benda yang diperoleh melalui 

perbuatan-perbuatan jahat kuhana, lapana, nemittikatà, nippesikatà, 

dan làbhena làbhaÿ nijigãsanatà disebut micchàjiva (penghidupan 

salah). Menghindari semua bentuk penghidupan salah dan menjadi 

murni dalam penghidupan disebut àjãvapàrisuddhi sãla.

(d) Paccayasannissita Sãla

Moralitas yang dipenuhi dengan bergantung pada empat kebutuhan 

disebut paccayasannissita sãla.

Empat kebutuhan yaitu   jubah, makanan, tempat tinggal, dan 

obat-obatan. Kebutuhan ini sangat diperlukan; hidup yaitu   tidak 

mungkin tanpa adanya kebutuhan ini. Tetapi saat memakai  nya, 

seseorang harus merenungkan sifat dari kebutuhan ini   

sehingga kejahatan seperti keserakahan, kebencian, dan sebagainya 

tidak muncul.

Caranya seseorang merenungkan: (sewaktu mengenakan jubah) 

tanpa menganggapnya sebagai perhiasan (yang akan menyebabkan 

timbulnya pikiran buruk) seseorang merenungkan dengan bijaksana, 

3308


“Dengan tujuan agar terlindung dari dingin aku mengenakan 

jubah ini; dengan tujuan agar terlindung dari terik matahari 

aku mengenakan jubah ini; dengan tujuan agar terlindung dari 

sengatan nyamuk, lalat, angin, sinar matahari, ular, kalajengking, 

kutu, dan sebagainya, aku mengenakan jubah ini; dengan tujuan 

untuk menutupi bagian-bagian yang pribadi dari tubuh ini aku 

mengenakan jubah ini.”

(Sewaktu memakan persembahan makanan) seseorang merenungkan 

dengan bijaksana, “Aku makan bukan untuk kenikmatan seperti 

yang dilakukan anak-anak; aku makan bukan untuk keperkasaan 

sebagai seorang laki-laki, aku makan bukan untuk mengembangkan 

kecantikan tubuh; aku makan bukan untuk mendapatkan kulit 

yang bersih. Aku makan hanya untuk memelihara tubuh dan 

untuk bertahan hidup; aku makan untuk mengusir serangan lapar; 

aku makan untuk mendukung latihan mulia. Dengan memakan 

makanan ini, penderitaan sebab   lapar dan haus yang diderita akan 

dapat diatasi; aku juga mengatasi penderitaan yang akan datang 

yang berbentuk masalah pencernaan yang disebabkan sebab   

makan terlalu banyak, dan sebagainya. Dengan makan secukupnya, 

penderitaan lama yaitu lapar dan haus serta penderitaan baru yaitu 

masalah pencernaan sebab   kelebihan makanan tidak akan muncul, 

dan tubuhku akan terpelihara dengan baik. Dàna makanan ini 

diperoleh dengan cara yang benar dan dimakan dengan cara yang 

tanpa cacat dan dengan memakan secukupnya aku akan hidup 

dengan nyaman.”

Sehubungan dengan hidup dalam kenyamanan dengan makan 

secukupnya, Buddha menjelaskan:

Cattàro pa¤ca àlope, 

abhutvà udakaÿ pive. 

alaÿ phàsuviharàya, 

pahitattassa bhikkhuno.

“Jika dengan empat atau lima suap lagi dan seorang bhikkhu akan 

menyelesaikan makannya dengan meminum air. Ini cukup untuk 

hidup dalam kenyamanan bagi seorang bhikkhu yang bertekad 

3309

 1

untuk bermeditasi.”

Meskipun khotbah ini dibabarkan oleh Buddha terutama ditujukan 

kepada para yogi yang berlatih meditasi, namun khotbah ini juga 

bermanfaat bagi non-meditator. Dengan mengikuti instruksi ini, 

mereka dapat hidup dengan nyaman, bebas dari ketidak-nyamanan 

sebab   makan yang tidak sesuai porsinya.

(Sewaktu memakai   tempat tinggal) seseorang merenungkan, 

“Aku memakai   tempat tinggal ini dengan tujuan untuk 

melindungi diri dari dingin; aku memakai   tempat tinggal ini 

dengan tujuan untuk melindungi diri dari panas matahari; aku 

memakai   tempat tinggal ini dengan tujuan untuk melindungi 

diri dari nyamuk, serangga pengganggu, angin, panas matahari, 

ular, kalajengking, kutu, dan sebagainya. Aku melihat tempat tinggal 

ini sebagai tempat untuk menyingkirkan bahaya iklim yang buruk 

dan untuk menikmati (hidup sunyi).”

(Sewaktu memakai   obat-obatan) seseorang merenungkan, 

“Aku meminum obat ini dengan tujuan untuk melawan penyakit, 

untuk melindungi hidup, dan agar kebal dari penyakit yang telah 

muncul atau yang akan muncul.”

Demikianlah penjelasan mengenai cara perenungan yang disebut 

mahà paccavekkhaõà.

Bagaimana memenuhi empat jenis sãla ini.

Dari empat jenis ini, Pàtimokkha Saÿvara Sãla harus dipenuhi 

dengan penuh keyakinan dan kepercayaan diri (saddhà): keyakinan 

dan kepercayaan diri terhadap Buddha sebagai berikut, “Buddha 

yang telah menetapkan sikkhàpada yaitu   Buddha sejati yang telah 

menembus hukum-hukum alam tanpa kecuali, (yaitu memiliki 

pandangan jernih terhadap Buddha); keyakinan dan kepercayaan 

diri terhadap Dhamma sebagai berikut, “Sikkhàpada yang harus 

dilatih oleh Saÿgha yaitu   sungguh ditetapkan oleh Buddha.” 

(yaitu memiliki pandangan jernih terhadap Dhamma); keyakinan 

dan kepercayaan diri terhadap Saÿgha sebagai berikut, “Anggota 

3310


Saÿgha yaitu   para siswa Buddha, yang semuanya mempraktikkan 

dengan benar seluruh sikkhàpada ini (yaitu, memiliki pandangan 

jernih terhadap Saÿgha.)”

Dengan demikian, jika seseorang memiliki keyakinan dan 

kepercayaan diri terhadap Buddha, Dhamma, dan Saÿgha, 

seseorang akan dapat memenuhi Pàtimokkha Saÿvara Sãla.

Oleh sebab   itu, sikkhàpada yang ditetapkan oleh Buddha harus 

dilaksanakan tanpa kecuali, dengan keyakinan dan kepercayaan 

diri dan harus dipenuhi bahkan dengan taruhan nyawanya. Buddha 

telah membabarkan sebagai berikut, “Kikã va andaÿ càmarãva 

vàladhiÿ, dan seterusnya,” bagaikan burung betina yang menjaga 

telur-telurnya bahkan dengan mempertaruhkan nyawanya, bagaikan 

yak (càmarã) yang menjaga ekornya bahkan dengan mengorbankan 

nyawanya, bagaikan perumah tangga yang menjaga anak tunggalnya 

dengan penuh cinta kasih, bagaikan seseorang yang matanya buta 

sebelah menjaga mata satu-satunya dengan penuh kehati-hatian, 

demikian pula si pelaksana moralitas dalam semua tahap usia 

harus menjunjung tinggi sãla, dan menjaganya dengan penuh cinta 

kasih.”

Kisah Para Bhikkhu yang Memenuhi Pàtimokkhasaÿvara Sãla 

Dengan Taruhan Nyawa

Di Hutan Mahàvattani di Sri Lanka, sekelompok perampok 

menangkap seorang Thera dan mengikatnya dengan memakai   

tanaman rambat dan memaksanya berbaring. Meskipun ia dapat 

membebaskan dirinya jika ia menginginkannya, namun ia takut 

usahanya akan menyebabkan tanaman rambat ini   menjadi 

putus dan ia akan bersalah atas pelanggaran ‘bhÃ¥tagàma pàcittiya 

àpatti’. sebab   itu ia mengembangkan Pandangan Cerah Vipassanà 

dengan bermeditasi selama tujuh hari dalam postur berbaring, dan 

mencapai Anàgàmã-Phala, tingkat Buah Yang Tak Kembali, dan 

meninggal dunia di tempat itu juga; ia terlahir kembali di alam 

brahmà.

Masih di Sri Lanka, seorang Thera lainnya ditangkap oleh para 

3311

 1

perampok dengan cara yang serupa. Pada waktu itu terjadi kebakaran 

hutan. Meskipun ia mampu membebaskan diri, ia takut bahwa 

ia akan bersalah melakukan pelanggaran ‘bhÃ¥tagàma pàcittiya 

àpatti’. Dengan mengembangkan Pandangan Cerah Vipassanà 

tanpa memotong tanaman rambat itu, ia menjadi seorang Samasisi 

Arahanta, yang kotoran batinnya dan kehidupannya berakhir pada 

waktu yang sama, dan mencapai Mahà Parinibbàna. lalu   

Thera Abhaya, yang membacakan Dãgha Nikàya bersama lima 

ratus bhikkhu, tiba di tempat itu. Melihat jasad Thera, melakukan 

Ritual   kremasi yang layak dan membangun pagoda. sebab   itu, 

dalam Komentar disebutkan:

Pàtimokkhaÿ visodhento, 

appeva jãvitam jahe. 

pa¤¤Ã ttaÿ Lokanàthena, 

na bhinde sãla saÿvaraÿ.

“Seorang baik yang menjaga kemurnian Pàtimokkha Saÿvara Sãla 

akan memilih mengorbankan hidupnya daripada melanggar sãla 

yang ditetapkan oleh Buddha.”

Seperti halnya Pàtimokkha Saÿvara Sãla yang dipenuhi dengan penuh 

keyakinan dan kepercayaan diri, demikian pula indriyasaÿvara sãla 

harus dipenuhi dengan penuh perhatian. Hanya jika indriyasaÿvara 

sãla telah terkendali dengan baik oleh perhatian, maka Pàtimokkha 

Saÿvara Sãla akan dapat bertahan lama. Jika indriyasaÿvara sãla 

cacat, maka Pàtimokkha Saÿvara Sãla juga akan cacat.

Pada masa Buddha, seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan, Yang 

Mulia Vaïgãsa, sewaktu berjalan mengumpulkan dàna makanan, 

melanggar indriyasaÿvara sãla, kehilangan pengendalian indrianya 

dan dikuasai oleh nafsu saat melihat seorang perempuan. Ia berkata 

kepada Thera ânanda, “Yang Mulia ânanda, aku terbakar oleh 

api nafsu indria, pikiranku termakan oleh api nafsu. Demi welas 

asihmu, mohon ajarkan aku Dhamma untuk memadamkan api 

yang membakar ini.”

lalu   Yang Mulia ânanda menjawab, “sebab   engkau melihat 

3312


dengan cara yang salah, api yang membakar memakan pikiranmu. 

Singkirkan persepsi menyenangkan dari apa yang engkau lihat. 

sebab   hal itu akan mengarah kepada nafsu; lihatlah kejijikan di 

sana untuk memurnikan pikiranmu.” Yang Mulia Vaïgãsa mengikuti 

nasihat Thera dan api nafsu yang membakar pun padam.

Ada dua contoh yang sebaiknya diikuti oleh seseorang yang ingin 

memenuhi indriyasaÿvara sãla.

Kisah Thera Cittagutta

Dalam sebuah gua besar Kurandaka di Sri Lanka, terdapat sebuah 

lukisan indah yang menggambarkan kisah tujuh Buddha melepaskan 

keduniawian seperti Buddha Vipassã, dan lain-lain; sejumlah 

bhikkhu tamu berkeliling tempat itu dan melihat lukisan itu dan 

berkata, “Yang Mulia, betapa indah lukisan di guamu ini!” Thera 

menjawab, “Selama lebih dari enam puluh tahun, teman-teman, aku 

menetap di gua ini, dan aku tidak tahu apakah ada lukisan atau 

tidak. Hari ini, aku mengetahuinya melalui kalian yang memiliki 

pandangan yang tajam.” (Meskipun Thera telah menetap di sana 

selama lebih dari enam puluh tahun, ia tidak pernah sekalipun 

menatap gua itu. Dan di depan pintu gua itu terdapat sebatang 

pohon kayu besi besar. Thera tidak pernah melihat pohon itu juga. 

Tetapi dengan melihat kuntum-kuntum bunga yang berguguran di 

atas tanah setiap tahun, ia tahu saat itu yaitu   musim semi.)

Mendengar tentang pelaksanaan indriyasaÿvara sãla yang ketat oleh 

Thera, Raja Mahàgama mengirim utusan tiga kali, berkeinginan 

untuk memberi hormat kepadanya. saat   Thera tidak datang, raja 

memerintahkan agar semua payudara dari semua perempuan di 

desa yang memiliki bayi dibungkus dan diikat, dengan bersabda, 

“Selama Thera tidak datang, biarlah anak-anak tidak mendapat 

susu.” Berkat welas asihnya terhadap anak-anak, Thera mendatangi 

Mahàgama.

Diberitahu bahwa Thera telah datang, raja berkata, ”Pergi dan 

antarkan Thera ke istana. Aku ingin memohon sãla darinya.” 

Di kamar dalam, raja memberi hormat kepada Thera dan 

3313

 1

mempersembahkan makanan, sesudah   itu ia berkata, “Yang Mulia, 

aku tidak dapat menerima sãla hari ini. Aku akan melakukannya 

besok.” Sambil membawa mangkuk Thera, ia mengikutinya hingga 

jarak yang dekat dan bersama ratu memberi hormat. Entah itu yaitu   

raja atau ratu yang memberi hormat kepadanya, Thera memberi   

berkah, “Semoga Raja berbahagia!” Tujuh hari berlalu dengan 

peristiwa yang sama.

Teman-teman bhikkhu bertanya kepadanya, “Yang Mulia, mengapa, 

apakah raja atau ratu yang memberi hormat kepadamu, engkau 

selalu berkata, ‘Semoga Raja berbahagia?’” Thera menjawab, 

“Teman-teman, aku tidak memerhatikan apakah itu yaitu   raja atau 

ratu.” Pada akhir tujuh hari, saat   raja mengetahui bahwa Thera 

tidak bahagia tinggal di sana, ia memperbolehkan Thera pergi. Ia 

kembali ke gua besar di Kurandaka. Saat malam hari ia keluar dan 

berjalan-jalan.

Dewa yang menetap di pohon kayu besi berdiri di sana memegang 

obor. Thera bermeditasi dengan begitu murni dan cemerlang 

sehingga menggembirakannya. Segera sesudah   lewat jaga pertengahan 

ia mencapai kesucian Arahatta, menyebabkan seluruh gunung 

ini   bergemuruh.

(Kisah ini memberi   contoh baik mengenai bagaimana 

indriyasaÿvara harus dilaksanakan.)

Kisah Thera Mahà Mitta

Ibu Thera Mahà Mitta sedang menderita penyakit tumor payudara. 

Ia berkata kepada putrinya, yang juga telah menjadi seorang 

bhikkhunã, “Pergilah temui kakakmu. Katakan kepadanya tentang 

penyakitku dan bawakan obat.” Ia pergi dan memberitahunya, yang 

berkata, “Aku tidak tahu tentang bagaimana mencari tanaman-

tanaman obat dan meramu obat-obatan. Tetapi aku akan memberimu 

sejenis obat: ‘Sejak aku menjadi seorang petapa, aku belum pernah 

melanggar indriyasaÿvara sãla dengan melihat bentuk tubuh lawan 

jenis dengan pikiran penuh nafsu.’ Berkat kebenaran pernyataan 

ini semoga ibuku sembuh. Pulang dan ulangi kata-kata kebenaran 

3314


yang baru saja kuucapkan dan usaplah tubuhnya.” Ia pulang dan 

melaporkan kepada ibunya apa yang dikatakan oleh kakaknya dan 

melakukan sesuai apa yang diinstruksikan. Saat itu juga, tumor yang 

diderita oleh ibu lenyap bagaikan segumpal buih yang pecah. Ia 

bangkit dan mengucapkan kegembiraan, “Jika Buddha masih hidup, 

mengapa ia tidak menepuk kepala seorang bhikkhu seperti putraku 

dengan tangannya yang berhiaskan jaring-jaring!”

Cara Thera Mahà Mitta mengendalikan indria agak berbeda dengan 

Thera sebelumnya, Cittagutta. Thera Cittagutta mengendalikan 

indrianya dengan mata menatap ke bawah sehingga tidak melihat 

objek apa pun bahkan secara tidak sengaja. Sedangkan Thera Mahà 

Mitta tidak dengan mata menatap ke bawah. Ia melihat benda-

benda sebagaimana adanya. Bahkan saat ia melihat lawan jenis, 

ia mengendalikan indria matanya untuk mencegah munculnya 

nafsu.

Cara Yang Mulia Thera Cittagutta mengendalikan indrianya yaitu   

bagaikan menutup pintu rumah rapat-rapat sehingga pencuri tidak 

bisa masuk. Cara yang Mulia Thera Mahà Mitta tidak menutup 

pintu, namun menjaga agar para pencuri tidak bisa masuk. Kedua 

jenis ini sungguh luar biasa dan layak ditiru.

Jika pengendalian indria harus dilakukan dengan perhatian murni 

(sati), pemurnian penghidupan harus dilakukan dengan usaha 

(viriya). Hal ini sebab   seseorang hanya dapat meninggalkan 

penghidupan salah dengan usaha yang benar. Oleh sebab   itu 

menghindari ketidak-layakan, cara-cara yang tidak benar, pemurnian 

penghidupan harus dilakukan dengan jenis pencarian yang benar 

seperti berkeliling mengumpulkan dàna makanan dengan usaha.

Tidak ada isyarat, basa-basi, petunjuk, atau ucapan bersahabat 

yang diperbolehkan untuk mendapatkan benda-benda kebutuhan 

seperti jubah dan makanan. Akan tetapi sehubungan dengan 

perolehan tempat tinggal, hanya ucapan-ucapan bersahabat yang 

diperbolehkan.

‘Isyarat’: saat   seorang bhikkhu yang sedang mempersiapkan 

3315

 1

tanah, dan sebagainya, seolah-olah hendak membangun sebuah 

tempat tinggal ditanya, “Apa yang sedang dilakukan, Yang 

Mulia? Siapakah yang sedang melakukannya?” dan ia menjawab, 

“Tidak ada;” jawabannya ini yaitu   ‘isyarat’ (yang menyiratkan 

bahwa belum ada penyumbang untuk tempat tinggal itu). Semua 

perbuatannya yang menyiratkan kebutuhannya akan tempat tinggal 

juga merupakan ‘isyarat’.

‘Basa-basi’: seorang bhikkhu bertanya kepada umat awam, ‘Rumah 

seperti apakah yang engkau tinggali?” “Istana, Yang Mulia.” “Tetapi, 

Dàyakà, apakah istana tidak diperbolehkan bagi para bhikkhu?” ini 

dan ucapan serupa yaitu   ‘basa-basi’.

‘Petunjuk’, “Tempat tinggal ini terlalu kecil untuk komunitas para 

bhikkhu” atau ucapan-ucapan serupa yaitu   ‘petunjuk’.

Semua bentuk ucapan seperti isyarat, dan sebagainya hanya 

diperbolehkan untuk mendapatkan obat-obatan. Tetapi jika penyakit 

telah disembuhkan, apakah diperbolehkan atau tidak memakai   

obat-obatan yang diperoleh dengan cara ini? Di sini, para ahli 

Vinaya mengatakan, bahwa sebab   Buddha telah membuka jalan 

untuk memakai  nya, maka itu diperbolehkan. Tetapi para 

ahli Suttanta berpendapat bahwa meskipun bukan merupakan 

pelanggaran, akan tetapi kesucian penghidupan telah ternoda; 

oleh sebab   itu tidak diperbolehkan. Tetapi seseorang yang ingin 

menjalani hidup mulia dengan kemurnian yang sempurna tidak 

boleh memakai   isyarat, basa-basi, petunjuk atau ucapan-

ucapan bersahabat, meskipun diperbolehkan oleh Buddha. sebab   

memiliki kualitas istimewa seperti sedikit kebutuhan, dan sebagaiya, 

ia harus mampu memakai   hanya benda-benda kebutuhan 

yang diperoleh dengan cara selain melalui isyarat, dan seterusnya, 

bahkan jika harus mempertaruhkan nyawanya. Orang demikian 

disebut seorang yang luar biasa mulia, berlatih keras seperti Yang 

Mulia Sàriputta.

Kisah Yang Mulia Sàriputta

Suatu saat   Yang Mulia Sàriputta, ingin melaksanakan hidup suci, 

3316


menetap di tempat sunyi di dalam suatu hutan bersama Yang Mulia 

Moggàllana. Suatu hari ia menderita sakit perut yang membuatnya 

sangat menderita. Malam harinya, Thera Moggallàna datang 

menjumpainya dan melihatnya sedang berbaring. Ia bertanya, 

“Ada apa?” saat   Yang Mulia Sàriputta menjelaskan, ia bertanya 

lagi, “Apa yang menyembuhkanmu pada masa lalu?” Yang Mulia 

Sàriputta berkata, “Sewaktu aku masih menjadi umat awam, 

temanku, ibuku memberiku bubur yang dicampur mentega, madu, 

gula, dan sebagainya. Itu biasanya menyembuhkanku.” lalu   

Yang Mulia Thera Moggallàna berkata, “Kalau begitu, temanku, 

jika engkau atau aku memiliki jasa yang cukup, mungkin besok kita 

akan mendapatkannya.”

Sekarang, dewa yang menetap di sebuah pohon di ujung jalan 

setapak mendengar pembicaraan itu. Ia berpikir, “Aku akan 

mendapatkan bubur untuk Thera besok,” ia segera pergi ke 

sebuah rumah yang merupakan penyokong Thera Moggallàna dan 

merasuki tubuh putra sulung untuk membuatnya sakit. lalu   

ia berkata kepada keluarga anak itu yang telah berkumpul bahwa 

jika mereka menyiapkan bubur lengkap dengan campurannya besok 

untuk Thera, ia akan membebaskan anak itu. Mereka menjawab, 

“Bahkan tanpa engkau beritahu, kami secara rutin memberi   

persembahan makanan kepada Thera.” Keesokan harinya mereka 

mempersiapkan bubur.

Thera Moggallàna mendatangi Thera Sàriputta pagi harinya 

dan berkata, “Tetaplah di sini, temanku, hingga aku kembali 

dari mengumpulkan dàna makanan.” lalu   ia pergi ke 

desa. Orang-orang menjumpainya, mengambil mangkuknya 

dan mengisinya dengan bubur yang telah dipersiapkan dan 

mengembalikan kepadanya. saat   Thera hendak pergi, mereka 

berkata, “Makanlah, Yang Mulia, kami akan memberi   lagi.” 

sesudah   Thera selesai makan, mereka memberi   lagi semangkuk 

penuh. Thera pergi dengan membawa dàna makanan itu kepada 

Yang Mulia Sàriputta, dan mempersilakannya untuk makan. saat   

Yang Mulia Sàriputta melihatnya, ia berpikir, “Bubur ini sangat 

lezat. Bagaimana mendapatkannya?” Ia lalu   merenungkan 

dan melihat bagaimana bubur itu diperoleh, ia berkata, “Temanku, 

3317

 1

makanan ini tidak layak dimakan.” Bukannya merasa tersinggung 

dan berpikir, “Ia tidak mau memakan makanan yang dibawakan 

oleh seseorang sepertiku,” Thera Moggallàna mengambil mangkuk 

itu dan membalikkannya. (Bukan sebab   ia marah.)

Sewaktu bubur itu jatuh ke tanah, penyakit yang diderita Yang Mulia 

Sàriputta lenyap. (Dan tidak pernah kambuh lagi selama empat 

puluh lima tahun sisa hidupnya.) lalu   ia berkata kepada Yang 

Mulia Moggallàna, “Temanku, bahkan jika mangkuk seseorang jatuh 

dan seluruh isinya tumpah ke tanah, dalam keadaan lapar tidaklah 

layak memakan makanan yang diperoleh melalui isyarat ucapan.”

Di sini, harus dimengerti: Buddha hanya melarang isyarat ucapan 

dalam hal makanan. Yang Mulia Sàriputta tidak memakai   

isyarat ucapan untuk mendapatkan makanan. saat   Thera 

Moggallàna ingin mengetahui apa yang menyembuhkannya 

sebelumnya, ia hanya menceritakan kesembuhannya melalui bubur 

pada masa lampau. Akan tetapi, ia tidak senang dengan kenyataan 

bahwa isyarat ucapan telah dilakukan dan tidak menerima bubur 

ini  .

Kisah Ambakhadaka Thera Mahà Tissa

Jangankan seorang Thera mulia seperti Yang Mulia Sàriputta yang 

hidup pada masa kehidupan Buddha, bahkan Thera Mahà Tissa di 

Ciragumba, Sri Lanka yang tidak terkenal, lama sesudah   kemangkatan 

Buddha juga dengan ketat melaksanakan sãla. Suatu saat   Mahà 

Tissa, dalam perjalanannya melewati suatu daerah yang mengalami 

bencana kelaparan, ia menjadi sangat lelah dan lemah sebab   kurang 

makan dan perjalanan yang jauh. sebab   itu ia berbaring di bawah 

sebatang pohon mangga yang berbuah banyak. Beberapa mangga 

jatuh ke tanah di sana-sini di dekatnya. Tetapi ia tidak berpikir untuk 

memungutnya untuk dimakan meskipun ia sangat lapar.

Pada saat itu, seorang tua datang mendekat dan melihatnya dalam 

kondisi yang sangat lemah, menyiapkan sari buah mangga dan 

mempersembahkannya kepada Thera. lalu   ia menggendong 

Thera di punggungnya, orang itu membawanya pergi ke tempat 

3318


yang tuju. Sewaktu digendong demikian, Thera berpikir, “Orang 

ini bukan ayahku, atau ibuku, atau sanak saudaraku. Namun ia 

menggendongku di punggungnya; ini pasti sebab   moralitas yang 

kumiliki.” Sambil merenungkan demikian ia menasihati dirinya 

sendiri untuk mempertahankan moralitas dan konsentrasinya tanpa 

cacat. lalu   ia mengembangkan Pandangan Cerah Vipassanà. 

Dan selagi masih digendong di punggung orang itu, ia mencapai 

kesucian Arahatta melalui tingkat-tingkat Jalan berturut-turut.

Thera ini yaitu   orang mulia yang tidak berlebihan dalam hal 

makanan, suatu teladan yang layak ditiru.

Jika penyucian penghidupan (àjãvapàrisuddhi sãla) harus dilatih 

dengan usaha (viriya), moralitas yang bergantung pada empat 

kebutuhan (paccaya sannissita sãla) harus dipenuhi dengan 

kebijaksanaan (pa¤¤Ã ). sebab   hanya orang yang memiliki 

kebijaksanaan yang dapat melihat manfaat dan bahaya dari 

empat kebutuhan. Paccaya sannissita sãla yaitu   moralitas yang 

dipenuhi melalui kebijaksanaan. Oleh sebab   itu seseorang harus 

memakai   empat kebutuhan, yang diperoleh dengan benar, 

tanpa kemelekatan dan sesudah   merenungkan melalui kebijaksanaan 

dengan cara seperti yang telah dijelaskan.

Dua Jenis Perenungan (Paccavekkhaõà)

Ada dua jenis perenungan (paccavekkhaõà) terhadap empat 

kebutuhan: (1) perenungan pada waktu menerima, dan (2) 

perenungan pada waktu memakai  . Bukan hanya pada saat 

memakai   benda-benda kebutuhan tetapi juga pada saat 

menerimanya, seseorang harus merenungkannya (a) sebagai hanya 

sekadar unsur-unsur (dhàtu paccavekkhaõà), atau (b) sebagai benda-

benda menjijikkan (patikÃ¥la paccavekkhaõà) dan menyimpannya 

untuk digunakan lalu  .

1. Perenungan sebagai unsur-unsur: jubah ini (dan sebagainya) 

hanyalah sekadar kumpulan dari delapan unsur yang muncul 

jika kondisinya mendukung. Demikian pula orang yang 

memakai  nya.

3319

 1

2. Perenungan sebagai objek menjijikkan: perenungan terhadap 

makanan seperti dalam meditasi dengan objek persepsi kejijikan 

dalam makanan (ahare patikÃ¥la sa¤¤Ã ); dan perenungan atas 

jubah, dan sebagainya sebagai berikut, “Semua jubah ini, dan 

sebagainya, yang tidak memiliki inti, sangat menjijikkan dan 

lebih menjijikkan lagi saat bergabung dengan badan yang 

menjijikkan ini.”

(Sebagai kesimpulan, perenungan seluruhnya terdiri dari tiga 

jenis: (1) mahà paccavekkhaõà seperti yang telah dijelaskan secara 

terperinci sehubungan dengan penggunaan empat kebutuhan secara 

umum, (2) dhàtu paccavekkhaõà, merenungkan empat kebutuhan 

sebagai hanya sekadar unsur-unsur, dan (3) patikÃ¥lamanasikàra 

paccavekkhaõà, merenungkannya sebagai objek-objek menjijikkan 

dalam sifatnya sendiri maupun saat digunakan.)

Jika seorang bhikkhu merenungkan jubah, dan sebagainya, 

pada saat menerimanya dan jika ia melakukannya lagi pada 

saat memakai  nya, berarti ia memakai   benda-benda 

kebutuhannya dengan tanpa cacat dari awal hingga akhir.

Empat Jenis Penggunaan

Untuk melenyapkan keraguan mengenai penggunaan kebutuhan, 

seseorang harus memahami empat jenis penggunaan:

(a) Penggunaan bagaikan tindakan mencuri (theyya paribhoga): 

penggunaan barang-barang kebutuhan oleh orang yang tidak 

bermoral bahkan di antara Saÿgha disebut theyya paribhoga.

(Buddha hanya mengizinkan penggunaan empat barang kebutuhan 

oleh orang-orang yang memiliki moralitas. Umat awam juga 

memberi   persembahan kepada orang-orang baik dengan 

mengharapkan jasa atas kebajikan mereka. Oleh sebab   itu orang-

orang yang tidak bermoral tidak berhak memakai   barang-

barang kebutuhan. Dengan demikian, penggunaan oleh orang-orang 

yang tidak bermoral dan tidak berhak yaitu   seperti perbuatan 

mencuri. Visuddhimagga Mahàñãkà.)

3320


(b) Penggunaan bagaikan tindakan berhutang (ina paribhoga): 

penggunaan barang-barang kebutuhan oleh orang yang bermoral 

tanpa perenungan yaitu   seperti berhutang. Seseorang harus 

merenungkan pada setiap saat mengenakan jubah; pada setiap 

suap makanan yang dimakan. Lalai melakukannya pada saat 

memakai  nya, seseorang harus merenungkannya pada pagi 

hari, pada petang hari, selama jaga pertama, jaga pertengahan, 

dan jaga terakhir malam hari. Jika pagi hari tiba tanpa melakukan 

perenungan demikian, maka ia berada dalam posisi seseorang yang 

berhutang.

Setiap kali ia berjalan melewati bawah atap untuk memasuki 

tempat tinggal dan sesudah   memasukinya, setiap kali ia duduk, 

setiap kali ia berbaring, ia harus melakukan perenungan. Jika ia 

melakukan perenungan saat menerima dan lalai melakukannya saat 

memakai  , maka ia melakukan pelanggaran. Sebaliknya, bahkan 

jika ia lalai melakukannya saat menerima namun melakukannya 

saat memakai  nya, maka bebas dari pelanggaran.

Empat Jenis Penyucian Sãla

Jika seorang bhikkhu melakukan suatu pelanggaran, ia harus 

melakukan penebusan dengan salah satu dari empat jenis penyucian 

moralitas sebagai berikut:

1. Penyucian dengan pengakuan kesalahan (desanà suddhi): 

Pàtimokkha Saÿvara Sãla disucikan dengan cara pernyataan 

terbuka atas pelanggaran yang dilakukan.

2. Penyucian dengan pengendalian (saÿvarasuddhi) : 

indriyasaÿvara sãla disucikan dengan bertekad, “Aku tidak 

akan melakukannya lagi.”

3. Penyucian dengan mencari (pariyetthi suddhi) àjãvapàrisuddhi 

sãla disucikan dengan meninggalkan pencarian salah dan 

mencari barang-barang kebutuhan dengan cara yang benar.

4. Penyucian dengan perenungan (paccavekkhanà suddhi): 

paccayasannissita sãla disucikan dengan perenungan seperti 

yang telah dijelaskan di atas.

3321

 1

(c) Penggunaan seperti mendapatkan warisan (dàyajja paribhoga): 

penggunaan barang-barang kebutuhan oleh tujuh jenis pelajar 

(sekkha, termasuk para mulia yang telah mencapai tiga Jalan dan 

Buah yang lebih rendah dan Jalan Kearahattaan). Tujuh jenis pelajar 

ini yaitu   putra-putra Buddha. Bagaikan seorang putra yang yaitu   

pewaris ayahnya, para mulia ini sebagai pewaris memakai   

barang-barang kebutuhan yang diperbolehkan oleh Buddha. 

(Walaupun pada praktiknya barang-barang kebutuhan ini diberikan 

oleh umat awam, tetapi sebab   diperbolehkan oleh Buddha maka 

dianggap sebagai barang-barang kebutuhan Buddha.)

(d) Penggunaan seperti seorang majikan oleh seorang Arahanta 

(sàmi paribhoga): kaum duniawi (puthujjana) dan para pelajar 

(sekkha) belum terbebas dari keserakahan dan sebab   itu mereka 

masih memiliki keserakahan dan penggunaan barang-barang 

kebutuhan oleh mereka bukanlah sebagai majikan melainkan 

sebagai budak keserakahan. Sebaliknya, para Arahanta telah 

terbebas dari pembudakan keserakahan dan penggunaan barang-

barang kebutuhan oleh mereka yaitu   bagaikan majikan yang 

memegang kendali atas keserakahan. Oleh sebab   itu mereka dapat 

memakai   barang-barang menjijikkan dengan merenungkan 

sifat-sifat yang tidak menjijikkan atau mereka dapat memakai   

barang-barang yang tidak menjijikkan dengan merenungkan 

sifat-sifat menjijikkan, atau mereka dapat memakai   dengan 

merenungkan sebagai barang-barang yang bukan menjijikkan atau 

bukan tidak menjijikkan.

Dari empat jenis penggunaan ini, penggunaan seperti majikan 

oleh Arahanta dan penggunaan seperti mendapatkan warisan 

diperbolehkan bagi semua. Di sini, seperti dijelaskan sebelumnya, 

penggunaan barang-barang kebutuhan seperti majikan hanya 

berlaku bagi para Arahanta; tetapi jika para sekkha dan puthujjana 

memakai   barang-barang kebutuhan dengan meninggalkan 

keserakahan melalui persepsi kejijikan bagaikan terbebas, maka 

hal ini berarti bebas pembudakan keserakahan; oleh sebab   itu 

penggunaan jenis ini juga dikelompokkan sebagai penggunaan 

seperti seorang majikan oleh Arahanta, sàmi paribhoga. Demikian 

3322


pula, Arahanta dan para puthujjana juga dapat dianggap sebagai 

pewaris Buddha.

Penggunaan bagaikan tindakan berhutang yaitu   tidak 

diperbolehkan, terlebih lagi penggunaan bagaikan tindakan mencuri 

juga tentu saja tidak diperbolehkan. Penggunaan barang-barang 

kebutuhan sesudah   perenungan oleh seseorang yang memiliki 

moralitas yaitu   kebalikan dari penggunaan bagaikan tindakan 

berhutang, ina paribhoga dan sebab   itu disebut penggunaan 

tanpa tindakan berhutang, ànaõya paribhoga. Pada saat yang 

sama para puthujjana yang memiliki moralitas yang memakai   

barang-barang kebutuhan sesudah   melakukan perenungan dapat 

dianggap sebagai sekkha, orang mulia. Oleh sebab   itu, penggunaan 

barang-barang kebutuhan sesudah   melakukan perenungan oleh para 

puthujjana yang memiliki moralitas juga dapat dianggap sebagai 

penggunaan bagaikan mendapatkan warisan.

Dari empat jenis penggunaan ini, penggunaan bagaikan seorang 

majikan oleh seorang Arahanta yaitu   yang paling mulia; seorang 

bhikkhu yang ingin memakai   barang-barang kebutuhan 

bagaikan seorang majikan harus memenuhi paccayasannissita sãla 

dengan memakai   empat kebutuhan hanya sesudah   melakukan 

perenungan.

Kelompok Lima dari Moralitas

Moralitas terdiri dari lima jenis:

(a) pariyanta pàrisuddhi sãla, 

(b) apariyanta pàrisuddhi sãla, 

(c) paripuõõa pàrisuddhi sãla, 

(d) aparàmaññha pàrisuddhi sãla, dan 

(e) patippassadhi pàrisuddhi sãla.

(a) Moralitas yang terdapat dalam penyucian terbatas (pariyanta 

pàrisuddhi sãla). Moralitas yang dilaksanakan oleh para umat awam 

dan sàmaõera disebut moralitas yang terdapat dalam penyucian 

terbatas.

3323

 1

(i) Batasan sehubungan dengan jumlah sãla yang dilaksanakan: 

ini merujuk pada jumlah sãla yang dilaksanakan umat awam 

secara tradisional, yaitu, satu, dua, tiga, empat, lima, delapan 

atau sepuluh sãla (berapa pun jumlah sãla yang mereka jalani). 

Sàmaõera dan sàmaõerã melaksanakan Sepuluh Sãla. Ini yaitu   

batasan sehubungan dengan jumlah sãla yang dilaksanakan.

(ii) Batasan sehubungan dengan lamanya pelaksanakan sãla: 

saat   umat awam melakukan Ritual   persembahan, mereka 

juga melaksanakan sãla selama Ritual   berlangsung; sewaktu 

mereka pergi ke vihàra juga, mereka melaksanakan peraturan 

sebelum pulang ke rumah, atau selama satu, dua, tiga hari 

atau lebih pada siang hari atau malam hari. Ini yaitu   batasan 

sehubungan lamanya pelaksanaan sãla.

(b) Moralitas tanpa batas (apariyanta pàrisuddhi sãla). Dve Màtika 

yang merupakan ringkasan dari Ubhato Vibhaïga menyebutkan 

sikkhàpada-sikkhàpada bagi anggota Saÿgha. Jika diuraikan, 

sikkhàpada-sikkhàpada ini berjumlah total sembilan ribu seratus 

delapan puluh crore, lima juta tiga puluh enam ribu. Peraturan-

peraturan disiplin ini ditetapkan oleh Buddha dan dicatat secara 

singkat oleh para anggota sidang pada Konsili Pertama. Keseluruhan 

peraturan-peraturan disiplin ini disebut apariyanta pàrisuddhi 

sãla.

Walaupun peraturan-peraturan disiplin ditetapkan oleh Buddha 

dalam jumlah tertentu, Saÿgha harus melaksanakan seluruhnya 

tanpa kecuali; lebih jauh lagi yaitu   mustahil meramalkan kapan 

berakhirnya pelaksanaan sãla melalui lima jenis penghancuran, yaitu, 

sebab   pendapatan, sebab   kemasyhuran, sebab   sanak saudara, 

sebab   tubuh yang melemah, sebab   kematian. Untuk alasan-alasan 

ini, peraturan-peraturan disiplin ini secara kolektif disebut sebab   

tubuh yang melemah, sebab   kematian. Untuk alasan-alasan ini, 

peraturan-peraturan disiplin ini secara kolektif disebut apariyanta 

pàrisuddhi sãla. Ini yaitu   jenis sãla yang dilaksanakan oleh Thera 

Mahà Tissa dari Ciragumba yang dijelaskan di atas.

(c) Moralitas yang disucikan secara total oleh kaum duniawi yang 

berusaha untuk mencapai kemajuan spiritual disebut paripuõõa 

3324


pàrisuddhi sãla. Moralitasnya sejak saat ia bergabung dalam Saÿgha 

telah benar-benar murni bagaikan batu delima yang dipotong 

dengan benar atau bagaikan emas yang dipoles dengan baik. Oleh 

sebab   itu tidak mengandung bahkan noda-noda pikiran buruk 

dan menjadi pemicu   langsung bagi Kearahattaan. sebab   itu 

disebut paripuõõa pàrisuddhi sãla. Thera Mahà Saÿgharakkhita dan 

keponakannya, Thera Saÿgharakkhita, yaitu   teladan mengenai 

bagaimana sãla ini dilaksanakan.

Kisah Thera Mahà Saÿgharakkhita

saat   Thera Mahà Saÿgharakkhita telah enam puluh tahun 

menjadi bhikkhu (berusia delapan puluh) sedang terbaring di 

atas ranjang kematiannya, para bhikkhu bertanya kepadanya, 

“Yang Mulia, apakah engkau telah mencapai kondisi Lokuttara?” 

Thera menjawab, “Aku belum mencapai apa-apa.” Pada saat itu 

seorang bhikkhu muda pelayan Thera berkata kepadanya, “Yang 

Mulia, orang-orang yang berdiam dalam jarak dua belas liga yang 

berkumpul di sini berpikir bahwa Yang Mulia akan memasuki 

Parinibbàna. Jika mereka mengetahui bahwa engkau meninggal 

dunia sebagai seorang duniawi biasa, mereka akan menjadi sangat 

kecewa.”

lalu   Thera berkata, “Teman, sebab   berpikir bahwa aku akan 

bertemu dengan Buddha Metteya yang akan datang. Aku tidak 

berusaha melatih Meditasi Pandangan Cerah Vipassanà. Jika itu 

akan mengecewakan banyak orang, bantu aku untuk duduk dan beri 

aku kesempatan untuk melakukan perenungan dengan perhatian 

murni.” Bhikkhu muda itu membantu Thera duduk dan keluar 

dari kamar. Segera sesudah   ia keluar dari kamar itu, Thera mencapai 

kesucian Arahatta dan memberi   isyarat dengan menjentikkan 

jarinya. Bhikkhu muda itu datang kembali dan membaringkannya 

seperti semula. Ia melaporkan hal itu kepada Saÿgha yang 

berkumpul di sana dan berkata kepada Thera. “Yang Mulia, engkau 

telah melakukan tugas yang sangat sulit untuk mencapai Lokuttara 

bahkan di saat-saat menjelang kematianmu.” Thera menjawab, 

“Teman-teman, tidaklah sulit bagiku untuk mencapai Kearahattaan 

di saat-saat menjelang kematian. Kukatakan kepada kalian, apa 

3325

 1

yang sulit untuk dilakukan. Teman-teman, aku melihat tidak 

ada perbuatan yang telah kulakukan tanpa perhatian murni dan 

pemahaman jernih sejak aku menjadi bhikkhu. Perbuatan demikian 

yang selalu disertai dengan perhatian murni dan pemahaman jernih 

yaitu   yang jauh lebih sulit untuk dilakukan.”

Keponakan Thera juga mencapai kesucian Arahatta seperti dirinya 

saat ia telah lima puluh tahun menjadi bhikkhu.

(4) Moralitas yang tidak terpengaruh oleh pandangan salah dan 

dilaksanakan oleh sekkha, orang-orang mulia dan moralitas 

yang tidak ternoda oleh nafsu dan dilaksanakan oleh kaum 

duniawi disebut aparàmaññha pàrisuddhi sãla, jenis moralitas yang 

dilaksanakan oleh Thera Tissa, putra seorang perumah tangga.

Kisah Thera Tissa, Putra Seorang Perumah Tangga

Sebuah keluarga di Sri Lanka memiliki dua orang putra. sesudah   ayah 

mereka meninggal dunia, putra tertua, Tissa menyerahkan semua 

warisan kepada adiknya dan menjadi bhikkhu, melatih meditasi 

di sebuah vihàra hutan. lalu   istri si adik berpikir, “Sekarang 

kami telah mendapatkan semua kekayaan sebab   kakak ipar telah 

menjadi seorang bhikkhu. Jika ia memutuskan untuk kembali 

menjalani kehidupan umat awam, kami terpaksa mengembalikan 

setengah dari kekayaan ini. Tidak ada cara untuk mengetahui 

apakah ia akan melakukannya atau tidak. Kami baru bisa tenang 

jika ia mati.” Dengan pikiran ini ia menyewa beberapa orang untuk 

membunuh Thera.

Para pembunuh itu datang ke vihàra hutan dan menangkap Thera 

pada malam hari. Thera Tissa memberitahu mereka bahwa ia 

tidak memiliki apa pun yang mereka inginkan. Orang-orang itu 

menjelaskan, “Kami tidak datang untuk mendapatkan kekayaanmu. 

Kami datang untuk membunuhmu (atas perintah adik iparmu).” 

Thera berkata, “Aku memiliki sãla yang murni, tetapi aku belum 

mencapai kesucian Arahatta-Phala. sebab   aku ingin mencapai 

Kearahattaan dengan bergantung pada sãla yang murni, izinkan 

aku untuk melatih meditasi Vipassanà hingga fajar menyingsing.” 

3326


“Kami tidak dapat mengabulkan permohonanmu, jika engkau 

melarikan diri pada malam hari, kami akan kesulitan menangkapmu 

kembali.” Dengan berkata, “Aku tidak akan melarikan diri,” Thera 

meremukkan kedua lututnya dengan sebuah batu besar.

sesudah   kedua lututnya remuk, Thera berkata, “Sekarang engkau 

telah menyaksikan kondisiku. Tidak mungkin aku dapat melarikan 

diri dari kalian. Aku tidak suka mati sebagai seorang duniawi yang 

memiliki nafsu. Aku merasa malu sebab  nya.” Para pembunuh itu 

mengizinkannya untuk melatih meditasi. lalu   Thera dengan 

bergantung pada sãla-nya yang tidak ternoda oleh nafsu, berusaha 

semalam suntuk hingga fajar menyingsing saat ia berhasil mencapai 

kesucian Arahatta.

Kisah Seorang Thera

Suatu saat  , ada seorang Thera yang sedang sakit keras dan tidak 

dapat makan dengan tangannya sendiri. Ia berbaring dengan dikotori 

oleh air kencing dan kotorannya sendiri. Melihat kondisinya, seorang 

bhikkhu muda berseru, “Oh, betapa menyakitkan proses kehidupan 

ini!” Thera senior itu berkata, “Teman, jika aku mati sekarang aku 

pasti mencapai kebahagiaan surgawi. Aku tidak ragu akan hal itu. 

Kebahagiaan yang diperoleh dengan melanggar sãla (berarti mati 

sebelum mencapai kesucian Arahatta) bagaikan meninggalkan 

kebhikkhuan dan menjadi umat awam. Tetapi aku memutuskan 

untuk mati dengan sãla yang utuh (artinya wafat sesudah   mencapai 

kesucian Arahatta).” sesudah   berkata demikian, ia berbaring di 

tempat yang sama, merenungkan penyakit yang sama yang melekat 

pada lima kelompok batin dan jasmani dan mencapai kesucian 

Arahatta. (Sãla dari Thera mulia ini yaitu   aparàmaññha sãla.)

(e) Moralitas para Arahanta, Pacceka Buddha, dan Sammàsambuddha, 

yang disucikan melalui pemadaman api-api kotoran disebut 

pàñippassaddhi pàrisuddhi sãla.

(2) Moralitas terdiri dari lima jenis:

(a) pahàna sãla, 

(b) veramaõi sãla, 

3327

 1

(c) cetanà sãla, 

(d) saÿrata sãla, dan 

(e) avãtikkama sãla.

(a) Moralitas yang dilaksanakan dengan meninggalkan 

pembunuhan, dan seterusnya disebut moralitas meninggalkan 

(pahàna sãla). (Di sini, ‘dan seterusnya’, mencakup tidak hanya 

perbuatan salah mencuri, hubungan seksual yang salah dan 

seterusnya tetapi juga meninggalkan segalanya yang harus 

ditinggalkan melalui tahap-tahap perbuatan baik. Dalam istilah 

Abhidhammà, ‘meninggalkan’ (pahàna) berarti sekelompok 

kesadaran baik bersama-sama faktor-faktor batin yang ditandai 

oleh fungsi meninggalkan segalanya yang harus ditinggalkan 

jika diperlukan.)

(b) Moralitas yang dilaksanakan dengan menghindari pembunuhan, 

dan seterusnya disebut moralitas menghindari (veramaõi sãla). 

Dalam istilah Abhidhammà, ini yaitu   sekelompok kesadaran 

baik bersama fakor-faktor batin yang dipimpin oleh viratã 

cetasika.

(c) Moralitas yang dilaksanakan dengan kehendak yang 

berhubungan dengan tindakan menghindari, dan seterusnya 

dengan kesadaran disebut moralitas kehendak (cetanà sãla).

(d) Moralitas yang dilaksanakan dengan mencegah pikiran-pikiran 

perbuatan jahat seperti membunuh, dan seterusnya muncul 

mengotori pikiran disebut moralitas pengendalian (saÿvara 

sãla). Dalam istilah Abhidhammà, ini yaitu   sekelompok 

kesadaran baik bersama dengan faktor-faktor batin yang 

dipimpin oleh sati cetasika.

(e) Moralitas yang dilaksanakan dengan tidak melakukan 

perbuatan jahat seperti membunuh, dan seterusnya, disebut 

moralitas tidak melanggar (avãtikkama sãla). Dalam istilah 

Abhidhammà, ini yaitu   kesadaran baik bersama deangn 

faktor-faktor batinnya.

(Lima jenis moralitas ini dimulai dari pahàna sãla yaitu   tidak 

terpisahkan seperti kelompok sãla lainnya; pelaksanaan satu sãla, 

misalnya, pahàna sãla, dengan meninggalkan pembunuhan, dan 

seterusnya, berarti melaksanakan seluruh sãla lainnya juga.)

3328


Pengotoran dan Pemurnian Moralitas

(6) Apakah Pengotoran Moralitas?

(7) Apakah Pemurnian Moralitas?

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, pengotoran dan 

pemurnian moralitas harus dijelaskan bersama-sama.

Pengotoran moralitas maksudnya yaitu   perusakan moralitas; 

dan sebaliknya, bukan perusakan moralitas yaitu   pemurnian 

moralitas.

Perusakan moralitas dapat muncul melalui penghancuran sebab   

pendapatan, kemasyhuran, dan sebagainya melalui tujuh perbuatan 

seksual minor.

Penjelasan lebih lanjut:

Dari tujuh kelompok pelanggaran (àpatti*) jika satu sikkhàpada 

dari kelompok pertama atau kelompok terakhir rusak sebab   

keserakahan akan pendapatan, kemasyhuran, dan sebagainya, 

sãla bhikkhu dikatakan robek bagaikan kain yang digunting di 

tepinya. (*Catatan: (1) Pàrajika, (2) Saÿghàdisesa, (3) Thullaccaya, 

(4) Pàcittiya, (5) Pàñidesanãya, (6) Dukkata dan (7) Dubbhàsita.)

Jika satu sikkhàpada di kelompok tengah rusak, sãla-nya dikatakan 

koyak bagaikan kain yang berlubang di tengah.

Jika dua atau tiga sikkhàpada rusak secara berurutan, sãla-nya 

dikatakan berbintik bagaikan sapi yang memiliki bercak tidak 

beraturan berwarna cokelat, merah, dan warna lainnya di punggung 

atau perutnya.

Jika sikkhàpada rusak berselang-seling, sãla-nya dikatakan loreng 

bagaikan sapi yang memiliki bercak dalam warna-warna yang 

berbeda di tubuhnya.

3329

 1

Demikianlah rusaknya moralitas melalui robekan, koyakan, 

berbintik, loreng sebab   pendapatan, kemasyhuran, dan sebagainya 

disebut pengotoran moralitas.

Bahkan tanpa adanya perusakan moralitas melalui robekan, 

koyakan, berbintik atau loreng, juga dapat terjadi pengotoran 

moralitas melalui tujuh perbuatan seksual minor.

Tujuh perbuatan seksual minor dijelaskan secara terperinci oleh 

Buddha dalam Jàõussoõi Sutta dari Mahàya¤¤a Vagga, Sattaka 

Nipàta dari Aïguttara Nikàya. Secara singkat sebagai berikut:

(i) seorang petapa atau brahmana yang mengaku menjalani 

kehidupan suci tidak melakukan hubungan seksual, namun 

menikmati perhatian, pijatan, dimandikan, dan digosok oleh 

perempuan (ia suka dilayani secara pribadi oleh seorang 

perempuan.);

(ii) atau ia tidak melakukan hubungan seksual dengan seorang 

perempuan, ia tidak menikmati dilayani secara pribadi oleh 

perempuan, namun ia senang bercanda dan tertawa bersama 

perempuan;

(iii) atau ia senang menatap mata seorang perempuan;

(iv) atau ia senang mendengarkan seorang perempuan dari balik 

dinding atau pagar sewaktu perempuan itu tertawa, berbicara, 

menyanyi atau menangis;

(v) atau ia senang mengingat-ingat bagaimana ia pernah 

berbicara, tertawa, dan bermain bersama seorang perempuan 

sebelumnya;

(vi) atau ia senang melihat seorang perumah tangga atau putranya 

yang memiliki lima jenis kenikmatan duniawi dan yang dilayani 

oleh sekelomnpok pelayan;

(vii) atau ia senang mendambakan alam surga dan menjalani hidup 

suci dengan keinginan, “Dengan sãla ini, dengan latihan ini, 

dengan usaha ini, dan dengan hidup suci ini, semoga aku 

terlahir sebagai dewa yang berkuasa.”

Demikianlah perusakan moralitas melalui robekan, koyakan, 

berbintik, atau loreng sebab   pendapatan, kemasyhuran, dan 

3330


sebagainya dan juga melalui tujuh perbuatan seksual minor yaitu   

pengotoran moralitas.

(7) Pemurnian Moralitas yang ditandai dengan tidak robek, tidak 

koyak, tidak berbintik atau tidak loreng dari sãla terjadi:

(a) dengan tidak melanggar satu pun sikkhàpada;

(b) dengan melakukan penebusan yang benar jika terjadi 

pelanggaran;

(c) dengan menghindari tujuh perbuatan seksual minor; lebih jauh 

lagi;

(d) melalui tidak munculnya kemarahan, dendam, penghinaan, 

persaingan, kecemburuan, kekikiran, ketidakjujuran, 

kemunafikan, dan kejahatan lainnya, dan

(e) melalui pengembangan kualitas-kualitas seperti sedikit 

kebutuhan, mudah puas, berlatih keras, dan sebagainya.

Jenis-jenis moralitas ini, sãla yang tidak robek, tidak koyak, tidak 

berbintik, dan tidak loreng, juga memiliki nama lain seperti 

bhujissa sãla, sebab  , membebaskan seseorang dari pembudakan 

kemelekatan; vi¤¤Ã¥pasattha sãla, sebab   dipuji oleh para bijaksana; 

aparàmattha sãla sebab   tidak terpengaruh oleh kemelekatan, “sãla-

ku murni, akan menghasilkan manfaat besar pada masa depan,” 

atau dengan pandangan salah tentang aku, “sãla ini yaitu   milikku; 

sãla-ku sangat murni; tidak seorang pun yang memiliki sãla seperti 

milikku; samàdhi samvattanika sãla, sebab   membantu dalam 

kemajuan konsentrasi akses (upacàra samàdhi) dan konsentrasi 

terserap (appanà samàdhi).

Seperti telah dijelaskan di atas, tujuh faktor, yaitu, tidak robek, tidak 

koyak, tidak berbintik, tidak loreng, membebaskan, dipuji oleh para 

bijaksana dan tidak ternoda oleh kemelekatan dan pandangan salah 

yaitu   faktor-faktor yang mendukung pemurnian moralitas. Hanya 

jika moralitas lengkap dengan tujuh faktor ini dikembangkan maka 

dapat dikembangkan dua jenis konsentrasi yang disebutkan di atas. 

Oleh sebab   itu seorang mulia yang ingin mengembangkan dua jenis 

konsentrasi ini harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk 

melengkapi sãla-nya dengan tujuh faktor ini.

3331

 1

(C) Kesempurnaan Melepaskan Keduniawian (Nekkhamma 

Pàrami)

Nekkhamma artinya melepaskan keduniawian yang di sini sama 

artinya dengan kebebasan. Kebebasan terdiri dari dua jenis: 

kebebasan dari lingkaran kelahiran (saÿsàra) dan kebebasan dari 

nafsu-indria (kàma), yang pertama yaitu   akibat dari yang kedua. 

Hanya jika kebebasan dari nafsu-indria telah dicapai melalui 

praktik, seseorang dapat memperoleh kebebasan dari saÿsàra. 

Dari kedua jenis kebebasan ini, yaitu   demi tujuan kebebasan (dari 

kelahiran) yang dibabarkan oleh Buddha dalam Kitab Buddhavaÿsa, 

mengumpamakan tiga alam kehidupan sebagai penjara. (Tiga 

alam kehidupan: (a) kàma-bhava, alam kehidupan indria, (b) råpa-

bhava, alam kehidupan bentuk, materi, dan (c) arÃ¥pa-bhava, alam 

kehidupan tanpa bentuk, nirmateri.)

Makna Penting dari Kesempurnaan Melepaskan Keduniawian

Menurut Komentar Cariyà Piñaka, Kesempurnaan Melepaskan 

keduniawian dalam istilah Abhidhammà yaitu   kesadaran baik 

bersama dengan faktor-faktor batin yang muncul sebab   kebajikan 

kebebasan dari nafsu-indria dan dari tiga alam kehidupan. 

Mahà Niddesa menjelaskan dua jenis nafsu keinginan: objek 

menyenangkan dari nafsu-indria (vatthu kàma), dan kotoran 

batin keserakahan yang merupakan nafsu terhadap objek yang 

menyenangkan (kilesà kàma). Sehubungan dengan Kesempurnaan 

Melepaskan keduniawian, kebebasan dari nafsu indria berarti 

kebebasan dari kedua jenis nafsu indria.

Bagaimana Menjaga Perhatian Murni untuk Mencapai 

Kebebasan

Bagaimana mencapai kebebasan dari belenggu Kilesàkàma 

dijelaskan dalam Mahà Niddesa Pàëi:

Addasaÿ kàma te mÃ¥laÿ saïkappà kàma jàyasi 

na taÿ saïkappayissàmi evaÿ kàma na hohisi.

3332


“O keserakahan, aku telah melihat engkau, engkau muncul dari 

pikiranku atas objek-objek indria yang menyenangkan (kàma 

vitakka). Aku tidak akan lagi memikirkan objek-objek indria yang 

menyenangkan. Maka itu, O keserakahan, engkau tidak akan 

muncul lagi.”

Sehubungan dengan hal ini, tiga jenis pikiran buruk dan tiga jenis 

pikiran baik harus dimengerti. Tiga jenis pikiran buruk yaitu  :

(i) kàma vitakka, pikiran nafsu, yaitu memikirkan objek-objek 

yang menyenangkan,

(ii) vyàpàda vitakka, pikiran kebencian, yaitu berpikir untuk 

menyakiti makhluk lain, dan

(iii) vihiÿsà vitakka, pikiran kejam, yaitu berpikir untuk menyiksa 

makhluk lain.

Tiga jenis pikiran baik yaitu  :

(i) nekkhamma vitakka, pikiran untuk melepaskan keduniawian, 

yaitu pikiran untuk membebaskan diri dari objek-objek 

indria.

(ii) avyàpàda vitakka, pikiran tidak membenci, yaitu pikiran yang 

penuh cinta kasih terhadap makhluk lain, dan

(iii) avihiÿsà vitakka, pikiran tidak kejam, yaitu pikiran penuh 

welas asih terhadap makhluk lain.

Sumber keserakahan (kilesà kàma) atau pemeriksaan saksama 

diketahui terletak dalam pikiran indria (kàma vitakka) yang 

merupakan satu dari tiga pikiran buruk, keserakahan akan terus-

menerus bertambah dan tidak ada kebebasan dari kotoran batin 

keserakahan ini  . Hanya jika seseorang berhenti memikirkan 

objek-objek menyenangkan dari nafsu indria, maka keserakahan 

tidak akan muncul dan ia mencapai kebebasan. Oleh sebab   itu, 

seperti disebutkan di atas, seseorang harus menjaga perhatian agar 

terbebas dari kotoran batin keserakahan. Seperti halnya kebebasan 

dari nafsu indria akan mengarah menuju kebebasan dari lingkaran 

saÿsàra, demikian pula berusaha untuk membebaskan diri dari 

keserakahan akan menghasilkan kebebasan dari objek-objek 

menyenangkan nafsu indria.

3333

 1

Hubungan Antara Melepaskan Keduniawian dan Kehidupan 

Seorang Bhikkhu

Komentar Car iyà Piñaka mendef inisikan nekkhamma, 

“Nekkhammaÿ pabbajjà-mÃ¥lakaÿ.” Definisi ini dapat diartikan 

dalam dua cara, “Kebebasan disebabkan oleh kehidupan sebagai 

bhikkhu,” dan “Kebebasan menyebabkan kehidupan sebagai 

bhikkhu.” Arti pertama, yaitu kehidupan sebagai bhikkhu sebagai 

pemicu   dari kebebasan yaitu   sesuai dengan narasi dalam Mahà 

Janaka Jàtaka. Raja Mahà Janaka pertama-tama mencari jubah, 

mangkuk, dan sebagainya, tanpa sepengetahuan permaisuri, 

selir-selir, dan para pelayan istana, lalu   ia naik ke teras atas 

istananya dan menjadi seorang bhikkhu; selanjutnya ia melepaskan 

keduniawian. Dalam contoh ini, Bodhisatta Mahà Janaka menjadi 

seorang bhikkhu sebelum ia melepaskan keduniawian. Oleh sebab   

itu dapat dikatakan bahwa kehidupan sebagai bhikkhu yaitu   

pemicu   dan melepaskan keduniawian yaitu   akibatnya.

Arti kedua, yaitu, kebebasan yaitu   pemicu   dari kehidupan 

kebhikkhuan sesuai dengan kisah Sumedha Sang Bijaksana, 

Hatthipàla bersaudara, dan lain-lain. Sumedha Sang Bijaksana 

pertama-tama pergi melepaskan keduniawian dan saat tiba di 

Gunung Dhammika, ia menemukan tempat tinggal yang telah 

dipersiapkan oleh Sakka, raja para dewa. Baru lalu   ia 

menjadi seorang bhikkhu. Demikian pula Hatthipàla bersaudara 

pertama-tama pergi melepaskan keduniawian dan saat dikejar 

oleh seluruh warga   negeri yang dipimpin oleh orangtuanya, 

mereka menjadi bhikkhu. Oleh sebab   itu, dapat dikatakan bahwa 

kepergian Sumedha Sang Bijaksana, Hatthipàla bersaudara, dan 

lain-lain melepaskan keduniawian, yaitu   pemicu   dan kehidupan 

kebhikkhuan yaitu   akibat.

Komentar Cariyà Piñaka memberi   penjelasan sesuai dengan 

makna pertama. Meskipun Sumedha Sang Bijaksana, Hatthipàla 

bersaudara, dan lain-lain, melepaskan keduniawian terlebih 

dahulu dan menjadi bhikkhu lalu  , mereka melakukannya 

hanya sebab   mereka ingin menjalani kehidupan kebhikkhuan. 

Oleh sebab   itu, bahkan walaupun pergi melepaskan keduniawian 

3334


terjadi terlebih dahulu, namun dapat dikatakan bahwa kehidupan 

kebhikkhuan yang mengikuti lalu   yaitu   pemicu   

sebenarnya. (Contohnya, untuk membangun rumah, pohon-pohon 

kayu harus ditebang terlebih dahulu. Walaupun menebang pohon 

dilakukan sebelum pembangunan dimulai, tetapi pohon ditebang 

dengan tujuan untuk membangun rumah, sebab   itu dapat 

dikatakan keinginan untuk membangun rumah yaitu   pemicu   

dan menebang pohon yaitu   akibatnya.)

Lima Jenis Bertempat Tinggal di Hutan

Dijelaskan dalam Vinaya Parivàra Ekuttarikanaya Pa¤caka dan Upàli 

Pa¤hà DhÃ¥taïga Vagga, menetap di hutan terdiri dari lima jenis:

(i) menetap di hutan sebab   kebodohan, pikiran yang tumpul, 

tidak mengetahui manfaat dan pemicu  nya;

(ii) menetap di hutan dengan keinginan jahat, “Jika aku pergi 

dan menetap di hutan, orang-orang akan dengan murah hati 

menyokongku sebagai seorang penghuni hutan;”

(iii) menetap di hutan sebab   tidak waras;

(iv) menetap di hutan sebab   praktik demikian dipuji oleh para 

Buddha dan para bijaksana; dan

(v) menetap di hutan sebab   seseorang memiliki sedikit keinginan, 

mudah puas dan kualitas-kualitas demikian.

Hanya dua jenis menetap di hutan yang terakhir yang layak 

dipuji.

Kesempurnaan Melepaskan keduniawian bukan sekadar masalah 

di mana seseorang bertempat tinggal. Kotoran nafsu indria (kilesa 

kàma), kemelekatan terhadap objek-objek indria, bisa muncul 

di mana saja. Kotoran nafsu indria harus dilenyapkan di saat ia 

muncul dan jangan dibiarkan berkembang. Kebebasan dari kotoran 

nafsu indria melalui pelenyapan dengan cara demikian yaitu   

karakteristik sejati dari melepaskan keduniawian.

Sedangkan kebebasan dari objek-objek menyenangkan nafsu 

indria, terdapat contoh seperti Sumedha Sang Bijaksana, Hatthipàla 

bersaudara, dan sebagainya, yang pergi hingga ke Pegunungan 

3335

 1

Himalaya. Akan muncul pertanyaan, apakah perlu bagi mereka 

yang ingin memenuhi Kesempurnaan Melepaskan keduniawian 

(kebebasan dari objek-objek menyenangkan nafsu indria) 

untuk pergi hingga ke Pegunungan Himalaya. Seseorang harus 

melakukannya jika mungkin, atau jika ia memang menginginkannya 

atau jika situasi mengizinkan. Dalam kisah Jàtaka yang berhubungan 

dengan Melepaskan keduniawian, sebagian besar pergi hingga ke 

Himalaya. Mereka melakukannya sebab   situasi mendukung bagi 

mereka.

Menurut Màghadeva Jàtaka dari Ekaka Nipàta dan Nimi Jàtaka 

dari Mahà Nipàta, penguasa turun-temurun yang berjumlah 

delapan puluh empat ribu dimulai dari Raja Maghadeva hingga 

Raja Nimi pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga segera 

sesudah   sehelai uban tumbuh di kepala mereka. Akan tetapi, tidak 

satu pun dari mereka yang pergi ke Himalaya. Mereka hanya 

mengundurkan diri ke kebun mangga kerajaan di dekat ibukota 

Mithila. Disebutkan bahwa dengan praktik meditasi yang keras 

mereka berhasil mencapai Jhàna-Jhàna dan terlahir kembali di 

alam brahmà. Dari kisah ini   terbukti bahwa, walaupun tidak 

pergi hingga ke Himalaya, hanya meninggalkan tempat di mana 

kotoran batin keserakahan berkembang yaitu   cukup untuk berhasil 

mencapai Kesempurnaan Melepaskan keduniawian. Delapan puluh 

empat ribu raja seperti Maghadeva benar-benar meninggalkan 

istana mewah mereka, dan dengan menetap di kebun mangga 

Kesempurnaan Melepaskan keduniawian mereka terpenuhi.

Oleh sebab   itu Kesempurnaan Melepaskan keduniawian dapat 

dipenuhi oleh siapa pun yang benar-benar meninggalkan tempat di 

mana kotoran batin keserakahan berkembang dan tanpa berpindah 

ke tempat baru, ia menetap di tempat yang sesuai yang bebas dari 

kotoran.

Dua jenis Melepaskan Keduniawian

Melepaskan keduniawian para Bodhisatta terdiri dari dua jenis:

(i) melepaskan keduniawian saat mereka masih muda (dan belum 

menikah) dan

3336


(ii) melepaskan keduniawian saat mereka telah tua (dan telah 

menikah).

Sumedha Sang Bijaksana, Hatthipàla bersaudara, dan lain-lain, 

melepaskan keduniawian untuk menghindari (belenggu) objek-

objek menyenangkan nafsu indria, yaitu, kemewahan istana 

atau rumah mereka. Walaupun Jàtaka merujuk mereka sebagai 

teladan dari mereka yang memenuhi Kesempurnaan Melepaskan 

keduniawian, saat itu mereka masih muda dan belum menikah. 

Mereka memiliki objek-objek menyenangkan nafsu indria, tetapi 

dapat dikatakan bahwa ikatan mereka terhadap objek-objek ini   

tidaklah terlalu kuat. Hanya orang-orang yang lebih tua yang 

menjalani kehidupan rumah tangga bersama istri dan anak-anak 

yang terikat erat dengan belenggu vatthukàma ini. Sehubungan 

dengan hal ini, dapat dikatakan bahwa melepaskan keduniawian 

bagi orang-orang yang lebih tua dan telah menikah yaitu   lebih 

sulit daripada orang-orang muda. Tetapi terlihat bahwa melepaskan 

keduniawian oleh Bodhisatta Pangeran Temiya yang dilakukan saat 

Beliau berusia enam belas tahun dan belum menikah yaitu   sangat 

sulit. Kesulitannya bukan muncul dari ikatan objek menyenangkan 

nafsu indria namun dari usaha yang Beliau lakukan dengan susah 

payah dengan berpura-pura lumpuh, tuli, dan bisu agar Beliau 

bisa melepaskan keduniawian. Oleh sebab   itu walaupun Beliau 

menghadapi banyak kesulitan dalam usahanya untuk melepaskan 

keduniawian, namun saat Beliau telah melakukannya, Beliau hanya 

menemui sedikit kesulitan sebab   Beliau hanya memiliki sedikit 

belenggu terhadap objek-objek menyenangkan nafsu indria.

Aññhasàlinã dalam bab Kesempurnaan Melepaskan keduniawian 

menjelaskan kisah lengkap tentang Pàramã yang dipenuhi oleh 

Bodhisatta saat   Beliau terlahir sebagai Pangeran Somanassa, 

Pangeran Hatthipàla, Pangeran Ayoghara, dan sebagainya, dalam 

kehidupan-kehidupan yang tidak terhitung banyaknya. Komentar 

memberi   nama khusus Paramattha Pàramã, Kesempurnaan 

Tertinggi kepada Kesempurnaan Melepaskan keduniawian yang 

dipenuhi oleh Raja Cåëà Sutasoma.

Dalam kasus Pangeran Somanassa, Pangeran Ayoghara, Pangeran 

3337

 1

Hatthipàla, dan Pangeran Temiya, mereka yaitu   anak-anak 

muda pada saat mereka melepaskan keduniawian. Melepaskan 

keduniawian yang dilakukan oleh Raja Mahà Janaka lebih sulit 

sebab   ia lebih tua dan telah menikah. Ia menjadi bhikkhu tanpa 

sepengetahuan ratu, selir, dan para pelayan istana. Dan pada saat ia 

melepaskan keduniawian, ia menemui kesulitan sebab   ia dikejar 

oleh ratu dan para pengikutnya yang membujuknya untuk kembali. 

Mereka melakukan tindakan untuk memastikan bahwa ia tidak 

akan pergi menjadi seorang bhikkhu atau meninggalkan kehidupan 

duniawi.

Sedangkan delapan puluh empat ribu raja seperti Maghadeva, 

mereka secara terbuka menyatakan niat mereka untuk melepaskan 

keduniawian. Tanpa memedulikan permohonan keluarga mereka, 

mereka tidak menyerah dan tetap pergi melepaskan keduniawian. 

Tetapi mereka tidak pergi jauh. Mereka menetap di kebun mangga 

mereka sendiri di dekat istana.

Berbeda dengan mereka, Raja Cåëà Sutasoma mengumumkan niatnya 

untuk melepaskan keduniawian sebab   ia didesak oleh semangat 

spiritual yang mendalam saat melihat uban di kepalanya. Meskipun 

ratu, orang tua, dan para warga   berkumpul memohon agar ia 

membatalkan rencananya, ia tetap teguh dan tidak memedulikan 

permohonan mereka dan pergi hingga tiba di Himalaya. Oleh 

sebab   itu, melepaskan keduniawian yang dilakukan oleh Raja 

Cåëà Sutasoma yaitu   jauh lebih kuat daripada yang dilakukan 

oleh Raja Maghadeva, dan lain-lain. Sehubungan dengan hal ini, 

komentator menjelaskan Kesempurnaan Melepaskan keduniawian 

yang dipenuhi oleh Raja Cåëà Sotasoma yaitu   jenis yang tertinggi, 

Paramattha Pàramã.

(D) Kesempurnaan Kebijaksanaan (Pa¤¤Ã -Pàramã)

Vibhaïga Abhidhammà, dalam bagian ¥Ã Ãµa Vibhaïga, menyebutkan 

tiga jenis kebijaksanaan (pa¤¤Ã ):

(a) cintàmaya pa¤¤Ã ,

(b) sutamaya pa¤¤Ã , dan

3338


(c) bhàvanàmaya pa¤¤Ã .

(a) Pengetahuan mengenai berbagai hal apakah rendah atau mulia, 

termasuk berbagai keahlian dan profesi, dan sebagainya, yang 

diperoleh melalui pemikiran dan analisis pribadi dan bukan melalui 

permintaan dari orang lain atau mendengarnya dari orang lain, 

disebut cintàmaya pa¤¤Ã  (cinta, ‘berpikir’, maya, ‘dibentuk dari’, 

sehingga secara harfiah berarti, kebijaksanaan yang dibentuk dari 

berpikir.)

Kebijaksanaan jenis ini tidak hanya mencakup pikiran tentang hal-

hal duniawi tetapi juga termasuk hal-hal yang berhubungan dengan 

Dhamma. Oleh sebab   itu, termasuk pengetahuan duniawi biasa 

seperti tukang kayu, pertanian, dan lain-lain, juga pengetahuan 

tentang hal-hal yang bersifat Dhamma seperti kedermawanan, 

moralitas, konsentrasi, dan meditasi Vipassanà. Kemahatahuan 

(Sabba¤¤uta ¥Ã Ãµa) milik para Buddha juga dapat disebut 

cintàmaya pa¤¤Ã  sebab   Bodhisatta, Pangeran Siddhattha, berpikir 

sendiri tentang praktik yang mengarah menuju Kemahatahuan 

tanpa mendengarnya dari orang lain dan berhasil mencapai 

Kemahatahuan.

Akan tetapi, kebijaksanaan sebagai Kesempurnaan keempat 

yang dipenuhi oleh Bodhisatta harus dianggap hanya sebagai 

kelompok pengetahuan dasar yang diperlukan untuk mencapai 

Pengetahuan Jalan dan Buahnya dan Kemahatahuan. Di sini, kita 

tidak membahas kelompok kebijaksanaan yang diperoleh dalam 

kelahiran terakhir Bodhisatta yang menjadikannya seorang Buddha. 

Para Bodhisatta memenuhi Kesempurnaan Kebijaksanaan sebelum 

kelahiran terakhirnya hanya sampai pada bagian pertama dari 

sembilan tingkat (Saïkhàrupekkhà ¥Ã Ãµa, ‘Pengetahuan Tentang 

Keseimbangan Bentukan-bentukan’) dari sepuluh tingkat Pandangan 

Cerah Vipassanà. Bagian terakhir dari Saïkhàrupekkhà ¥Ã Ãµa ini 

mengarah secara langsung menuju Pengetahuan Jalan. sebab   itu 

para Bodhisatta tidak berusaha untuk melampaui bagian pertama 

hingga kelahiran terakhirnya, sebab   jika melakukannya, mereka 

akan mencapai Magga-Phala dan menjadi Ariya, dan meninggal 

dunia memasuki Nibbàna dalam kelahiran itu; sehingga mereka 

3339

 1

tidak akan menjadi Buddha. Oleh sebab   itu, harus dimengerti 

bahwa sebagai seorang Bodhisatta, Kesempurnaan Kebijaksanaan 

dipenuhi hanya sampai pada bagian pertama, Saïkhàrupekkhà 

¥Ã Ãµa.

(b) Pengetahuan yang diperoleh dengan mendengarkan orang 

bijaksana yang berbicara atas keinginannya sendiri atau atas 

permintaan orang lain saat   seseorang tidak mampu memikirkannya 

sendiri disebut sutamaya pa¤¤Ã . (Suta, ‘mendengar’, maya, 

‘dibentuk dari’; jadi, kebijaksanaan yang dibentuk dari mendengar.) 

Seperti juga cintàmaya pa¤¤Ã , jenis kebijaksanaan ini bersifat luas. 

Perbedaan satu-satunya dari kedua jenis kebijaksanaan ini yaitu   

bahwa yang pertama, kebijaksanaan diperoleh melalui pemikiran 

atau analisis pribadi dan yang kedua melalui mendengarkan dari 

orang lain.

(c) Jenis Kebijaksanaan yang diperoleh pada saat seseorang benar-

benar mengalami Jhàna atau Phala disebut bhàvanàmaya pa¤¤Ã .

Abhidhammà Vibhaïga, dalam bab mengenai ¥Ã Ãµa Vibhaïga, 

menjelaskan jenis-jenis kebijaksanaan dalam kelompok satu jenis, 

dua jenis, dan seterusnya hingga sepuluh jenis.

Namun demikian, seluruh kelompok kebijaksanaan ini, dapat 

digolongkan dalam tiga jenis kebijaksanaan seperti yang 

dijelaskan di atas. Misalnya, dalam Vibhaïga, sesudah   kelompok 

tiga jenis kebijaksanaan, yaitu, cintàmaya pa¤¤Ã , dan seterusnya, 

diuraikan, dànamaya pa¤¤Ã , sãlamaya pa¤¤Ã  dan bhàvanàmaya 

pa¤¤Ã . Dànamaya pa¤¤Ã  yaitu   kebijaksanaan yang terbentuk 

dari kede