4. asamsagga kathà ―ucapan tentang hidup dalam pengasingan,
5. viriyarambaha kathà ―ucapan tentang usaha,
6. sãla kathà ―ucapan tentang moralitas,
7. samà dhi kathà ―ucapan tentang semadi,
8. pa¤¤Ã kathà ―ucapan tentang Pandangan Cerah Vipassanà dan
pengetahuan mengenai Jalan,
9. vimutti kathà ―ucapan tentang Buah (Pembebasan), dan
10. vimutti ¤Ã õadassana―ucapan tentang Paccavekkhanà KathÃ
¥Ã õa, Pengetahuan Perenungan Jalan dan Buahnya.
Singkatnya, orang yang memakai ucapan yang berhubungan
dengan Pembebasan dari penderitaan saÿsara akan membawa
lima manfaat seperti mendengarkan Dhamma yang belum pernah
didengar sebelumnya, dan seterusnya, teman yang baik yang
dapat membantu orang lain agar maju dalam lima kualitas seperti
keyakinan, moralitas, belajar, kedermawanan, dan kebijaksanaan,
seorang yang demikian disebut upanissaya gocara, lingkungan
yang memberi kondisi yang cukup kuat untuk pengembangan
kualitas-kualitas baik seperti moralitas, dan sebagainya.
Perhatian (sati) yang menjaga pikiran disebut à rakkha gocara.
(Ã rakkha―yang menjaga batin; gocara―sati, perhatian.) (Seorang
bhikkhu, yang berdiam dalam perhatian murni, pergi menerima
persembahan di desa dan kota, dengan mata menatap ke bawah,
melihat sejauh panjang bajak sawah dan menjaga indrianya. Ia
bepergian dengan tidak melihat barisan pasukan gajah, atau
prajurit berkuda, atau pasukan kereta, atau prajurit berjalan kaki,
atau melihat perempuan atau laki-laki. Ia tidak melihat ke atas atau
ke bawah, atau ke delapan penjuru dan terus berjalan. Seorang
3299
1
bhikkhu yang tidak memiliki perhatian murni, Ã rakkha gocara, saat
pergi mengumpulkan dà na makanan di kota dan desa, melihat ke
sana kemari, ke segala arah bagaikan burung gagak yang dikurung
dalam keranjang. Dengan demikian, perhatian yaitu lingkungan
yang menjaga pikiran seorang bhikkhu agar bebas dari bahaya
pikiran jahat.
sebab Perenungan Empat Landasan Perhatian Murni (Satipaññhà na
Kamaññhà na) yaitu lingkungan yang mengikat pikiran, maka
disebut upanibandha gocara. (Upanibanda = di mana pikiran diikat;
gocara = lingkungan.)
Seorang bhikkhu yang ingin agar dapat menjalani PÃ timokkha
Saÿvara Sãla secara benar-benar murni harus memiliki perbuatan
benar, lingkungan yang baik, dan menganggap cacat sekecil apa
pun sebagai bahaya besar.
(b) Indriyasaÿvara Sãla
Menjaga indria disebut indriyasaÿvara sãla.
Enam landasan, yaitu mata, telinga, hidung, lidah, badan, dan
pikiran disebut indriya.) Indriya artinya mengatur. Dalam melihat
sebuah pemandangan, mata (cakkhu pasà da) mengatur organ. Jika
mata rusak, maka mata tidak dapat melihat objek (kesadaran-mata
tidak muncul); oleh sebab itu Buddha mengatakan bahwa mata
disebut cakkhundriya. Demikian pula, dalam mendengar suara,
telinga (sota pasà da) mengatur organ. Jika telinga rusak, maka
telinga tidak dapat mendengar suara (kesadaran-telinga tidak
muncul); oleh sebab itu telinga disebut sotindriya. Dalam mencium
bau-bauan, hidung (ghà na pasà da) mengatur organ; jika hidung
rusak, maka hidung tidak dapat mencium bau-bauan (kesadaran-
hidung tidak muncul); oleh sebab itu hidung disebut ghà nindriya.
Dalam mengecap rasa, lidah (jivhà pasà da) mengatur organ. Jika
lidah rusak, lidah tidak dapat mengecap rasa (kesadaran-lidah
tidak muncul); oleh sebab itu, lidah disebut jivhindriya. Dalam
menyentuh objek-objek sentuhan, badan (kà ya pasà da) mengatur
organ, jika badan rusak, badan tidak dapat merasakan benda-benda
3300
yang tersentuh (kesadaran-badan tidak muncul); oleh sebab itu
badan disebut kà tindriya. Dalam mengenali objek pikiran, pikiran
(mana) mengatur organ. Tanpa adanya pikiran, tidak akan muncul
kesadaran-pikiran; oleh sebab itu pikiran disebut manindriya.
Dengan demikian, menjaga enam indria (indriya) ini disebut
indriyasaÿvara sãla.
Berikut ini yaitu bagaimana menjaga enam indria: saat melihat
suatu objek terlihat dengan mata, seseorang harus sadar bahwa
itu hanyalah sebuah objek yang terlihat; seseorang tidak boleh
menanggapinya bahkan secara umum dari apa yang terlihat,
misalnya “Ini perempuan,” “Ini laki-laki,” “Ini indah,” yang akan
menyebabkan munculnya kotoran. Juga tidak boleh memerhatikan
rincian (anubya¤jana) sehubungan dengan tanda atau bayangan
dari perempuan, atau laki-laki, dan sebagainya itu, seperti bentuk
tangan, kaki, dan sebagainya, cara tersenyum, tertawa, berbicara,
melihat ke samping, dan sebagainya yang dapat memunculkan
kotoran yang berulang-ulang.
Contoh Thera Mahà Tissa
Sehubungan dengan pengendalian indria mata, Thera Mahà Tissa
yang tinggal di puncak gunung Cetiya dapat dijadikan teladan. Suatu
hari Thera Mahà Tissa pergi ke Anurà dha untuk mengumpulkan
dà na makanan. Pada hari itu seorang perempuan yang sedang
bertengkar dengan suaminya meninggalkan rumahnya dan kembali
ke rumah orangtuanya; ia mengenakan pakaian yang baik. Melihat
Thera Mahà Tissa yang sedang datang dengan pengendalian
indrianya, ia tertawa keras dan berpikir, “Aku akan menjadikannya
suamiku sesudah merayunya.” Thera Mahà Tissa melihat ke atas
untuk mengetahui apa itu. Melihat giginya, ia mengembangkan
persepsi kejijikan (asubha sa¤¤Ã ), dan saat merenungkan hal itu, ia
mencapai kesucian Arahatta.
Sang suami yang sedang mengejar istrinya melihat Thera dan
bertanya:
“Yang Mulia, apakah engkau melihat seorang perempuan dalam
3301
1
perjalanan?”
“Nà bhijà nà mi itthi và , puriso và ito gato,
api ca aññhisamghato, gacchatesa mahà pathe.”
“Dà yakà , aku tidak memerhatikan apakah ia laki-laki atau
perempuan yang lewat.
Aku hanya melihat tulang-belulang yang melewati jalan ini.”
Meskipun Thera melihat seorang perempuan, ia hanya sekadar
melihatnya, tetapi tidak mengetahui apakah orang itu perempuan;
sebaliknya, ia mengembangkan meditasi dan menjadi seorang
Arahanta, peristiwa ini harus dijadikan teladan yang baik.
Tanpa mengendalikan indria penglihatan, saat seorang bhikkhu
melihat sebuah objek yang menyenangkan, keserakahan (abhijjhà )
akan muncul dalam dirinya; jika ia melihat objek yang tidak
menyenangkan, ketidak-senangan, kekecewaan (domanassa) akan
muncul dalam dirinya. Oleh sebab itu seseorang harus melatih
pengendalian terhadap penglihatannya melalui perhatian muni
untuk mencegah munculnya kondisi batin yang buruk.
Sehubungan dengan pintu-pintu indria lainnya, pengendalian yang
sama harus dijaga sehingga tidak ada kotoran yang muncul saat
mendengar suara, mencium bau-bauan, mengecap rasa, menyentuh
objek-objek sentuhan atau mengenali objek-objek pikiran.
(c) âjãvapà risuddhi Sãla
âjãvapà risuddhi sãla, moralitas kesucian penghidupan, artinya
yaitu menghindari enam jenis penghidupan salah yang dilarang
oleh Vinaya dan menghindari segala jenis penghidupan salah. Enam
sikkhà pada yang ditetapkan oleh Buddha sehubungan dengan
penghidupan yaitu :
(1) memiliki keinginan jahat dan dikuasai oleh keinginan ini ,
jika seorang bhikkhu membual tentang pencapaian Jhà na, Magga,
3302
Phala yang tidak ada dalam dirinya, dan tidak pernah ada
sebelumnya, ia bersalah atas pelanggaran Pà rà jika âpatti.
(2) Demi penghidupannya, jika ia melakukan perbuatan sebagai
perantara dalam suatu pernikahan, ia bersalah atas pelanggaran
Saÿghà disesa âpatti.
(3) Tanpa menyebutkan secara langsung, “Aku yaitu Arahanta,”
jika ia mengatakan, demi penghidupannya, ‘Seorang bhikkhu
tertentu yang tinggal di vihà ramu, bhikkhu ini yaitu
seorang Arahanta’ dan jika si penyumbang memahami apa yang ia
maksudkan, ia bersalah atas pelanggaran Thullaccaya âpatti.
(4) Demi penghidupannya, jika ia meminta makanan-makanan
lezat dan mewah, dalam keadaan tidak sakit, maka ia bersalah atas
pelanggaran Pà cittiya âpatti.
(5) Demi penghidupannya, jika seorang bhikkhunã meminta
makanan-makanan lezat dan mewah, dalam keadaan tidak sakit,
maka ia bersalah atas pelanggaran Pà tidesaniya âpatti.
(6) Demi penghidupannya, jika seorang bhikkhu meminta nasi
kari, dalam keadaan tidak sakit, maka ia bersalah atas pelanggaran
Dukkaña âpatti.
Jenis-jenis lainnya dari penghidupan salah, sebagai tambahan
dari enam di atas yaitu : (1) kuhana, kemunafikan, (2) lapana,
banyak bicara, (3) nemittikatà , memberi isyarat, (4) nippesikatà ,
meremehkan, (5) là bhena là bhaÿ nijigãsanatà , mencari pendapatan
dengan pendapatan.
(a) Kuhana, kemunafikan, terdiri dari tiga jenis:
1. Kemunafikan dalam penggunaan barang-barang kebutuhan
(paccaya pañisevana).
2. Kemunafikan dalam membicarakan tentang pencapaian Jalan
dan Buahnya (samanta jappanà ).
3. Kemunafikan dalam perubahan postur untuk menipu umat
3303
1
awam (iriyà patha saõñhapana)
(i) saat umat awam mempersembahkan jubah, dan sebagainya
kepada seorang bhikkhu, meskipun ia menginginkannya, sebab
berkeinginan jahat untuk berpura-pura dan berlagak seolah-olah ia
hanyalah seorang yang tidak berarti, ia berkata untuk mendapatkan
(jubah) lebih banyak lagi, “Apalah gunanya jubah yang mahal ini
bagi seorang bhikkhu? Hanya jubah pamsukålika yang terbuat dari
potongan-potongan kain yang tidak berguna yang cocok baginya;
(untuk makanan) ia berkata, “Apalah gunanya makanan yang mahal
ini bagi seorang bhikkhu? Hanya makanan yang diperoleh dari
berkeliling mengumpulkan dà na makanan yang cocok bagi seorang
bhikkhu.’ (Untuk tempat tinggal) ia berkata, “Apalah gunanya
tempat tinggal yang nyaman bagi seorang bhikkhu? Hanya tempat
tinggal di bawah pohon yang cocok baginya’; (untuk obat-obatan)
ia berkata, “Apalah gunanya obat yang mahal ini bagi seorang
bhikkhu? Air kencing sapi atau seporsi buah kering cukup baik
untuknya sebagai obat.”
Selanjutnya, untuk mempraktikkan apa yang ia khotbahkan, ia
mengenakan jubah kasar, tempat tinggal, dan obat-obatan sederhana.
Umat-umat awam akan memandang tinggi dirinya, “Yang Mulia ini
memiliki sedikit kebutuhan, ia mudah merasa puas; ia bebas dari
keinginan terhadap materi dan kenikmatan indria; ia tidak bergaul
dengan umat awam; ia juga sangat tekun (dalam mempraktikkan
Dhamma).” lalu mereka mengundangnya untuk menerima
lebih banyak dan lebih banyak lagi benda-benda kebutuhan.
lalu bhikkhu yang berkeinginan jahat itu membual, “Dayaka,
jika tiga hal ini ada, yaitu: keyakinan, benda-benda, dan orang yang
akan menerimanya, maka orang-orang berbudi yang berkeyakinan
dapat memperoleh jasa. Di sini, engkau pasti memiliki keyakinan;
engkau memiliki benda-benda untuk dipersembahkan; dan
aku yaitu penerima persembahan. Jika aku tidak menerima
persembahanmu, maka jasamu akan berkurang. sebab itu, demi
welas asih terhadapmu, aku harus menerima persembahan ini
meskipun aku tidak memerlukannya.” Dengan berkata demikian,
ia menerima banyak jubah dan makanan, banyak tempat tinggal,
dan banyak obat-obatan. Dengan demikian, walaupun ia serakah,
3304
ia berpura-pura memiliki sedikit kebutuhan, dan memakai
barang-barang kasar dan sederhana agar orang lain memandang
tinggi dirinya. Ini disebut paccayapañisevana kuhana, kemunafikan
dalam penggunaan benda-benda kebutuhan.
(ii) Tanpa mengatakannya secara langsung, “Aku telah mencapai
Jhà na, Magga, dan Phala,” ia membuat orang-orang lain
menganggap bahwa ia telah mencapainya dengan menyinggung
secara tidak langsung, “Bhikkhu yang mengenakan jubah itu sangat
sakti, bhikkhu yang membawa mangkuk itu, saringan air itu, sabuk
pinggang itu, sandal itu, sangat sakti.” Ini disebut sà manta jappanà ,
kemunafikan dalam berbicara tentang pencapaian Jhà na, Magga,
dan Phala.
(iii) Untuk mendapatkan pujian dan penghormatan dari umat
awam, si bhikkhu berpikir, “Jika aku berbicara seperti ini, orang-
orang akan memujiku dan menganggap tinggi diriku,” dan ia
berusaha meniru penampilan seperti seorang mulia dalam hal
berjalan, berdiri, duduk, dan berbaring. Ini disebut iriyà patha
saõñhapana, kemunafikan dalam mengubah postur untuk menipu
umat awam.
(2) Lapana artinya berbicara dengan tujuan jahat. saat si bhikkhu
melihat orang-orang datang ke vihà ra, ia akan berkata kepada
mereka, “Dayaka, untuk apa engkau datang ke sini? Apakah
engkau datang untuk mengundang para bhikkhu? Jika demikian,
silakan jalan duluan, aku akan mengikutimu dengan membawa
mangkukku;” atau ia akan berkata, “Aku yaitu Thera Tissa.
Raja menghormatiku. Menteri menghormatiku,” dan seterusnya,
saat berbicara dengan orang-orang ini, ia berhati-hati agar jangan
sampai membantah mereka, atau membosankan mereka, dengan
demikian menghindari ketidaksenangan mereka. Ia menyanjung
mereka dengan memanggil mereka ‘Bankir besar’, ‘Bos besar’,
dan sebagainya. Berbicara demikian dalam berbagai cara untuk
memancing persembahan dari umat awam disebut lapana.
(3) Nemittikatà artinya memberi isyarat dengan membuat tanda-
tanda atau memberi petunjuk dengan tujuan jahat untuk
3305
1
mengumpulkan dà na. Misalnya, melihat seseorang membawa
makanan, ia memberi petunjuk bahwa ia juga membutuhkan
makanan dengan berkata, “Apakah engkau sudah makan? Di mana
engkau mendapatkannya? Bagaimana caranya engkau mendapatkan
makanan?,” dan sebagainya. Melihat penggembala, ia menunjuk
ke kerumunan ternak dan berkata, “Apakah ternak ini dibesarkan
dengan susu atau air?” Si penggembala menjawab, “Yang Mulia,
ternak ini dibesarkan dengan susu.” “Kurasa tidak. Jika ternak
mendapat susu, para bhikkhu pasti akan mendapatkannya juga,”
dan seterusnya. Dengan demikian ia mengirim pesan kepada
orangtua mereka untuk mempersembahkan susu kepada bhikkhu
ini . memberi isyarat untuk mengumpulkan dà na disebut
nemittikatà .
Bentuk-bentuk ucapan yang memberi petunjuk yang langsung
dan jelas atas apa yang ia butuhkan disebut sà manta jappa,
nemittikatà , dan sà manta jappa, jenis lain dari lapana, yaitu sifat
jahat.
Dalam menjelaskan jenis ucapan samanta jappa yang mengisyaratkan
objek yang diinginkan, Visuddhimagga menceritakan kisah Bhikkhu
Kulåpaka, seorang bhikkhu yang memiliki kebiasaan mengunjungi
umat awam.
Kisah Bhikkhu Kulåpaka
sebab menginginkan makanan seorang bhikkhu yang memiliki
kebiasaan mengunjungi umat-umat awam, memasuki rumah dan
duduk di tempat duduk meskipun tidak diundang. Melihat bhikkhu
ini dan tidak ingin memberi makanan untuknya, seorang
perempuan di rumah itu menggerutu, “Aku tidak punya nasi,” ia
keluar seolah-olah hendak mencari makanan tetapi sebenarnya
masuk ke rumah tetangganya. Si bhikkhu diam-diam masuk ke
ruang dalam dan melihat ke sana-sini, ia melihat tebu di pojok di
balik pintu, sebongkah gula merah di dalam mangkuk, sepotong
ikan kering di dalam keranjang, nasi di dalam panci, dan mentega
di dalam kendi. Selanjutnya ia kembali ke tempat duduknya dan
duduk seperti sebelummya.
3306
Perempuan itu pulang sambil menggerutu, “Aku tidak mendapatkan
nasi.” Si bhikkhu lalu berkata, “Dayika, pagi ini aku melihat
pertanda yang menyiratkan bahwa aku tidak akan mendapatkan
makanan untuk dimakan.” “Pertanda apakah, Yang Mulia?”
“Sewaktu aku datang ke rumah ini untuk menerima dà na makanan,
dalam perjalanan aku melihat seekor ular sebesar sebatang tebu yang
ada di balik pintu. Untuk mengusirnya, aku mencari sesuatu dan
menemukan batu sebesar sebongkah gula merah di mangkukmu.
Sewaktu aku melempar batu itu ke arah ular itu, kepalanya
mengembang hingga sebesar sepotong ikan kering di keranjangmu.
saat ular itu membuka mulutnya untuk menggigit batu itu, aku
melihat gigi dan taringnya yang seperti bulir-bulir nasi di pancimu.
Air liur yang berbusa yang bercampur bisa ular yang marah itu
terlihat seperti mentega di kendimu.” Terjebak dalam jaring kata-
kata yang menyiratkan keinginannya, perempuan itu berpikir,
“Tidak mungkin membohongi para bhikkhu!” Dan dia dengan
enggan mengambil tebu, nasi, dan mempersembahkan kepadanya
lengkap dengan mentega, gula merah, dan ikan kering.
(4) Nippesikatà , bentuk lain kejahatan yang berarti mengejar
pendapatan dengan mencela kualitas baik umat awam seperti
menghasilkan wewangian dengan cara menggilas benda-benda
harum. Pengejaran ini dilakukan dalam berbagai cara:
memakai kata-kata kasar untuk memaksa seseorang agar
memberi; mencela dengan mengatakan, “Engkau tidak memiliki
keyakinan sama sekali,” “Engkau tidak seperti umat lainnya;”
menyindir mereka yang tidak memberi dengan mengatakan, “Oh,
dasar penyumbang! Oh, dasar penyumbang besar;” mengejek
seseorang yang tidak memberi di tengah-tengah banyak orang
dengan mengatakan, “Mengapa engkau mengatakan bahwa orang
ini tidak mempersembahkan apa pun? Ia selalu memberi kata-
kata ‘Aku tidak punya apa-apa’ kepada siapa pun yang datang untuk
menerima dà na.” Pengejaran keuntungan demikian dengan cara
meremehkan kualitas baik umat awam disebut nippesikatà .
(5) Là bhena là bhaÿ nijigãsanatà artinya mengejar pendapatan
dengan pendapatan yang dilandasi oleh keserakahan. Misalnya,
3307
1
sesudah menerima makanan yang dipersembahkan di rumah seorang
dayaka, seorang bhikkhu memberi nya kepada anak-anak di
sekitar rumah itu. Ia melakukannya agar keluarga anak-anak itu
memberi kepadanya lebih banyak lagi sebagai ungkapan terima
kasih dan kegembiraan mereka (sebab ketertarikannya terhadap
anak-anak mereka). Singkatnya, mencari lebih banyak dà na lagi dari
rumah yang lain dengan memberi sedikit persembahan yang
telah ia terima disebut là bhena là bham nijigãsanatà .
Lima jenis penghidupan salah, seperti kuhana, dan seterusnya,
seperti yang telah dijelaskan di atas, berbeda satu sama lain dalam
hal cara mendapatkannya, namun sama-sama menipu umat awam
untuk melakukan pemberian meskipun dengan enggan.
Demikianlah, hidup dari benda-benda yang diperoleh dengan
melanggar enam sikkhà pada yang ditetapkan oleh Buddha
sehubungan dengan penghidupan seperti yang telah dijelaskan
di atas dan juga hidup dari benda-benda yang diperoleh melalui
perbuatan-perbuatan jahat kuhana, lapana, nemittikatà , nippesikatà ,
dan là bhena là bhaÿ nijigãsanatà disebut micchà jiva (penghidupan
salah). Menghindari semua bentuk penghidupan salah dan menjadi
murni dalam penghidupan disebut à jãvapà risuddhi sãla.
(d) Paccayasannissita Sãla
Moralitas yang dipenuhi dengan bergantung pada empat kebutuhan
disebut paccayasannissita sãla.
Empat kebutuhan yaitu jubah, makanan, tempat tinggal, dan
obat-obatan. Kebutuhan ini sangat diperlukan; hidup yaitu tidak
mungkin tanpa adanya kebutuhan ini. Tetapi saat memakai nya,
seseorang harus merenungkan sifat dari kebutuhan ini
sehingga kejahatan seperti keserakahan, kebencian, dan sebagainya
tidak muncul.
Caranya seseorang merenungkan: (sewaktu mengenakan jubah)
tanpa menganggapnya sebagai perhiasan (yang akan menyebabkan
timbulnya pikiran buruk) seseorang merenungkan dengan bijaksana,
3308
“Dengan tujuan agar terlindung dari dingin aku mengenakan
jubah ini; dengan tujuan agar terlindung dari terik matahari
aku mengenakan jubah ini; dengan tujuan agar terlindung dari
sengatan nyamuk, lalat, angin, sinar matahari, ular, kalajengking,
kutu, dan sebagainya, aku mengenakan jubah ini; dengan tujuan
untuk menutupi bagian-bagian yang pribadi dari tubuh ini aku
mengenakan jubah ini.”
(Sewaktu memakan persembahan makanan) seseorang merenungkan
dengan bijaksana, “Aku makan bukan untuk kenikmatan seperti
yang dilakukan anak-anak; aku makan bukan untuk keperkasaan
sebagai seorang laki-laki, aku makan bukan untuk mengembangkan
kecantikan tubuh; aku makan bukan untuk mendapatkan kulit
yang bersih. Aku makan hanya untuk memelihara tubuh dan
untuk bertahan hidup; aku makan untuk mengusir serangan lapar;
aku makan untuk mendukung latihan mulia. Dengan memakan
makanan ini, penderitaan sebab lapar dan haus yang diderita akan
dapat diatasi; aku juga mengatasi penderitaan yang akan datang
yang berbentuk masalah pencernaan yang disebabkan sebab
makan terlalu banyak, dan sebagainya. Dengan makan secukupnya,
penderitaan lama yaitu lapar dan haus serta penderitaan baru yaitu
masalah pencernaan sebab kelebihan makanan tidak akan muncul,
dan tubuhku akan terpelihara dengan baik. DÃ na makanan ini
diperoleh dengan cara yang benar dan dimakan dengan cara yang
tanpa cacat dan dengan memakan secukupnya aku akan hidup
dengan nyaman.”
Sehubungan dengan hidup dalam kenyamanan dengan makan
secukupnya, Buddha menjelaskan:
Cattà ro pa¤ca à lope,
abhutvà udakaÿ pive.
alaÿ phà suviharà ya,
pahitattassa bhikkhuno.
“Jika dengan empat atau lima suap lagi dan seorang bhikkhu akan
menyelesaikan makannya dengan meminum air. Ini cukup untuk
hidup dalam kenyamanan bagi seorang bhikkhu yang bertekad
3309
1
untuk bermeditasi.”
Meskipun khotbah ini dibabarkan oleh Buddha terutama ditujukan
kepada para yogi yang berlatih meditasi, namun khotbah ini juga
bermanfaat bagi non-meditator. Dengan mengikuti instruksi ini,
mereka dapat hidup dengan nyaman, bebas dari ketidak-nyamanan
sebab makan yang tidak sesuai porsinya.
(Sewaktu memakai tempat tinggal) seseorang merenungkan,
“Aku memakai tempat tinggal ini dengan tujuan untuk
melindungi diri dari dingin; aku memakai tempat tinggal ini
dengan tujuan untuk melindungi diri dari panas matahari; aku
memakai tempat tinggal ini dengan tujuan untuk melindungi
diri dari nyamuk, serangga pengganggu, angin, panas matahari,
ular, kalajengking, kutu, dan sebagainya. Aku melihat tempat tinggal
ini sebagai tempat untuk menyingkirkan bahaya iklim yang buruk
dan untuk menikmati (hidup sunyi).”
(Sewaktu memakai obat-obatan) seseorang merenungkan,
“Aku meminum obat ini dengan tujuan untuk melawan penyakit,
untuk melindungi hidup, dan agar kebal dari penyakit yang telah
muncul atau yang akan muncul.”
Demikianlah penjelasan mengenai cara perenungan yang disebut
mahà paccavekkhaõà .
Bagaimana memenuhi empat jenis sãla ini.
Dari empat jenis ini, Pà timokkha Saÿvara Sãla harus dipenuhi
dengan penuh keyakinan dan kepercayaan diri (saddhà ): keyakinan
dan kepercayaan diri terhadap Buddha sebagai berikut, “Buddha
yang telah menetapkan sikkhà pada yaitu Buddha sejati yang telah
menembus hukum-hukum alam tanpa kecuali, (yaitu memiliki
pandangan jernih terhadap Buddha); keyakinan dan kepercayaan
diri terhadap Dhamma sebagai berikut, “Sikkhà pada yang harus
dilatih oleh Saÿgha yaitu sungguh ditetapkan oleh Buddha.”
(yaitu memiliki pandangan jernih terhadap Dhamma); keyakinan
dan kepercayaan diri terhadap Saÿgha sebagai berikut, “Anggota
3310
Saÿgha yaitu para siswa Buddha, yang semuanya mempraktikkan
dengan benar seluruh sikkhà pada ini (yaitu, memiliki pandangan
jernih terhadap Saÿgha.)”
Dengan demikian, jika seseorang memiliki keyakinan dan
kepercayaan diri terhadap Buddha, Dhamma, dan Saÿgha,
seseorang akan dapat memenuhi Pà timokkha Saÿvara Sãla.
Oleh sebab itu, sikkhà pada yang ditetapkan oleh Buddha harus
dilaksanakan tanpa kecuali, dengan keyakinan dan kepercayaan
diri dan harus dipenuhi bahkan dengan taruhan nyawanya. Buddha
telah membabarkan sebagai berikut, “Kikã va andaÿ cà marãva
và ladhiÿ, dan seterusnya,” bagaikan burung betina yang menjaga
telur-telurnya bahkan dengan mempertaruhkan nyawanya, bagaikan
yak (cà marã) yang menjaga ekornya bahkan dengan mengorbankan
nyawanya, bagaikan perumah tangga yang menjaga anak tunggalnya
dengan penuh cinta kasih, bagaikan seseorang yang matanya buta
sebelah menjaga mata satu-satunya dengan penuh kehati-hatian,
demikian pula si pelaksana moralitas dalam semua tahap usia
harus menjunjung tinggi sãla, dan menjaganya dengan penuh cinta
kasih.”
Kisah Para Bhikkhu yang Memenuhi Pà timokkhasaÿvara Sãla
Dengan Taruhan Nyawa
Di Hutan Mahà vattani di Sri Lanka, sekelompok perampok
menangkap seorang Thera dan mengikatnya dengan memakai
tanaman rambat dan memaksanya berbaring. Meskipun ia dapat
membebaskan dirinya jika ia menginginkannya, namun ia takut
usahanya akan menyebabkan tanaman rambat ini menjadi
putus dan ia akan bersalah atas pelanggaran ‘bhÃ¥tagà ma pà cittiya
à patti’. sebab itu ia mengembangkan Pandangan Cerah VipassanÃ
dengan bermeditasi selama tujuh hari dalam postur berbaring, dan
mencapai Anà gà mã-Phala, tingkat Buah Yang Tak Kembali, dan
meninggal dunia di tempat itu juga; ia terlahir kembali di alam
brahmà .
Masih di Sri Lanka, seorang Thera lainnya ditangkap oleh para
3311
1
perampok dengan cara yang serupa. Pada waktu itu terjadi kebakaran
hutan. Meskipun ia mampu membebaskan diri, ia takut bahwa
ia akan bersalah melakukan pelanggaran ‘bhÃ¥tagà ma pà cittiya
à patti’. Dengan mengembangkan Pandangan Cerah VipassanÃ
tanpa memotong tanaman rambat itu, ia menjadi seorang Samasisi
Arahanta, yang kotoran batinnya dan kehidupannya berakhir pada
waktu yang sama, dan mencapai Mahà Parinibbà na. lalu
Thera Abhaya, yang membacakan Dãgha Nikà ya bersama lima
ratus bhikkhu, tiba di tempat itu. Melihat jasad Thera, melakukan
Ritual kremasi yang layak dan membangun pagoda. sebab itu,
dalam Komentar disebutkan:
Pà timokkhaÿ visodhento,
appeva jãvitam jahe.
pa¤¤Ã ttaÿ Lokanà thena,
na bhinde sãla saÿvaraÿ.
“Seorang baik yang menjaga kemurnian Pà timokkha Saÿvara Sãla
akan memilih mengorbankan hidupnya daripada melanggar sãla
yang ditetapkan oleh Buddha.”
Seperti halnya Pà timokkha Saÿvara Sãla yang dipenuhi dengan penuh
keyakinan dan kepercayaan diri, demikian pula indriyasaÿvara sãla
harus dipenuhi dengan penuh perhatian. Hanya jika indriyasaÿvara
sãla telah terkendali dengan baik oleh perhatian, maka Pà timokkha
Saÿvara Sãla akan dapat bertahan lama. Jika indriyasaÿvara sãla
cacat, maka Pà timokkha Saÿvara Sãla juga akan cacat.
Pada masa Buddha, seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan, Yang
Mulia Vaïgãsa, sewaktu berjalan mengumpulkan dà na makanan,
melanggar indriyasaÿvara sãla, kehilangan pengendalian indrianya
dan dikuasai oleh nafsu saat melihat seorang perempuan. Ia berkata
kepada Thera ânanda, “Yang Mulia ânanda, aku terbakar oleh
api nafsu indria, pikiranku termakan oleh api nafsu. Demi welas
asihmu, mohon ajarkan aku Dhamma untuk memadamkan api
yang membakar ini.”
lalu Yang Mulia ânanda menjawab, “sebab engkau melihat
3312
dengan cara yang salah, api yang membakar memakan pikiranmu.
Singkirkan persepsi menyenangkan dari apa yang engkau lihat.
sebab hal itu akan mengarah kepada nafsu; lihatlah kejijikan di
sana untuk memurnikan pikiranmu.” Yang Mulia Vaïgãsa mengikuti
nasihat Thera dan api nafsu yang membakar pun padam.
Ada dua contoh yang sebaiknya diikuti oleh seseorang yang ingin
memenuhi indriyasaÿvara sãla.
Kisah Thera Cittagutta
Dalam sebuah gua besar Kurandaka di Sri Lanka, terdapat sebuah
lukisan indah yang menggambarkan kisah tujuh Buddha melepaskan
keduniawian seperti Buddha Vipassã, dan lain-lain; sejumlah
bhikkhu tamu berkeliling tempat itu dan melihat lukisan itu dan
berkata, “Yang Mulia, betapa indah lukisan di guamu ini!” Thera
menjawab, “Selama lebih dari enam puluh tahun, teman-teman, aku
menetap di gua ini, dan aku tidak tahu apakah ada lukisan atau
tidak. Hari ini, aku mengetahuinya melalui kalian yang memiliki
pandangan yang tajam.” (Meskipun Thera telah menetap di sana
selama lebih dari enam puluh tahun, ia tidak pernah sekalipun
menatap gua itu. Dan di depan pintu gua itu terdapat sebatang
pohon kayu besi besar. Thera tidak pernah melihat pohon itu juga.
Tetapi dengan melihat kuntum-kuntum bunga yang berguguran di
atas tanah setiap tahun, ia tahu saat itu yaitu musim semi.)
Mendengar tentang pelaksanaan indriyasaÿvara sãla yang ketat oleh
Thera, Raja Mahà gama mengirim utusan tiga kali, berkeinginan
untuk memberi hormat kepadanya. saat Thera tidak datang, raja
memerintahkan agar semua payudara dari semua perempuan di
desa yang memiliki bayi dibungkus dan diikat, dengan bersabda,
“Selama Thera tidak datang, biarlah anak-anak tidak mendapat
susu.” Berkat welas asihnya terhadap anak-anak, Thera mendatangi
Mahà gama.
Diberitahu bahwa Thera telah datang, raja berkata, ”Pergi dan
antarkan Thera ke istana. Aku ingin memohon sãla darinya.”
Di kamar dalam, raja memberi hormat kepada Thera dan
3313
1
mempersembahkan makanan, sesudah itu ia berkata, “Yang Mulia,
aku tidak dapat menerima sãla hari ini. Aku akan melakukannya
besok.” Sambil membawa mangkuk Thera, ia mengikutinya hingga
jarak yang dekat dan bersama ratu memberi hormat. Entah itu yaitu
raja atau ratu yang memberi hormat kepadanya, Thera memberi
berkah, “Semoga Raja berbahagia!” Tujuh hari berlalu dengan
peristiwa yang sama.
Teman-teman bhikkhu bertanya kepadanya, “Yang Mulia, mengapa,
apakah raja atau ratu yang memberi hormat kepadamu, engkau
selalu berkata, ‘Semoga Raja berbahagia?’” Thera menjawab,
“Teman-teman, aku tidak memerhatikan apakah itu yaitu raja atau
ratu.” Pada akhir tujuh hari, saat raja mengetahui bahwa Thera
tidak bahagia tinggal di sana, ia memperbolehkan Thera pergi. Ia
kembali ke gua besar di Kurandaka. Saat malam hari ia keluar dan
berjalan-jalan.
Dewa yang menetap di pohon kayu besi berdiri di sana memegang
obor. Thera bermeditasi dengan begitu murni dan cemerlang
sehingga menggembirakannya. Segera sesudah lewat jaga pertengahan
ia mencapai kesucian Arahatta, menyebabkan seluruh gunung
ini bergemuruh.
(Kisah ini memberi contoh baik mengenai bagaimana
indriyasaÿvara harus dilaksanakan.)
Kisah Thera Mahà Mitta
Ibu Thera Mahà Mitta sedang menderita penyakit tumor payudara.
Ia berkata kepada putrinya, yang juga telah menjadi seorang
bhikkhunã, “Pergilah temui kakakmu. Katakan kepadanya tentang
penyakitku dan bawakan obat.” Ia pergi dan memberitahunya, yang
berkata, “Aku tidak tahu tentang bagaimana mencari tanaman-
tanaman obat dan meramu obat-obatan. Tetapi aku akan memberimu
sejenis obat: ‘Sejak aku menjadi seorang petapa, aku belum pernah
melanggar indriyasaÿvara sãla dengan melihat bentuk tubuh lawan
jenis dengan pikiran penuh nafsu.’ Berkat kebenaran pernyataan
ini semoga ibuku sembuh. Pulang dan ulangi kata-kata kebenaran
3314
yang baru saja kuucapkan dan usaplah tubuhnya.” Ia pulang dan
melaporkan kepada ibunya apa yang dikatakan oleh kakaknya dan
melakukan sesuai apa yang diinstruksikan. Saat itu juga, tumor yang
diderita oleh ibu lenyap bagaikan segumpal buih yang pecah. Ia
bangkit dan mengucapkan kegembiraan, “Jika Buddha masih hidup,
mengapa ia tidak menepuk kepala seorang bhikkhu seperti putraku
dengan tangannya yang berhiaskan jaring-jaring!”
Cara Thera Mahà Mitta mengendalikan indria agak berbeda dengan
Thera sebelumnya, Cittagutta. Thera Cittagutta mengendalikan
indrianya dengan mata menatap ke bawah sehingga tidak melihat
objek apa pun bahkan secara tidak sengaja. Sedangkan Thera MahÃ
Mitta tidak dengan mata menatap ke bawah. Ia melihat benda-
benda sebagaimana adanya. Bahkan saat ia melihat lawan jenis,
ia mengendalikan indria matanya untuk mencegah munculnya
nafsu.
Cara Yang Mulia Thera Cittagutta mengendalikan indrianya yaitu
bagaikan menutup pintu rumah rapat-rapat sehingga pencuri tidak
bisa masuk. Cara yang Mulia Thera Mahà Mitta tidak menutup
pintu, namun menjaga agar para pencuri tidak bisa masuk. Kedua
jenis ini sungguh luar biasa dan layak ditiru.
Jika pengendalian indria harus dilakukan dengan perhatian murni
(sati), pemurnian penghidupan harus dilakukan dengan usaha
(viriya). Hal ini sebab seseorang hanya dapat meninggalkan
penghidupan salah dengan usaha yang benar. Oleh sebab itu
menghindari ketidak-layakan, cara-cara yang tidak benar, pemurnian
penghidupan harus dilakukan dengan jenis pencarian yang benar
seperti berkeliling mengumpulkan dà na makanan dengan usaha.
Tidak ada isyarat, basa-basi, petunjuk, atau ucapan bersahabat
yang diperbolehkan untuk mendapatkan benda-benda kebutuhan
seperti jubah dan makanan. Akan tetapi sehubungan dengan
perolehan tempat tinggal, hanya ucapan-ucapan bersahabat yang
diperbolehkan.
‘Isyarat’: saat seorang bhikkhu yang sedang mempersiapkan
3315
1
tanah, dan sebagainya, seolah-olah hendak membangun sebuah
tempat tinggal ditanya, “Apa yang sedang dilakukan, Yang
Mulia? Siapakah yang sedang melakukannya?” dan ia menjawab,
“Tidak ada;” jawabannya ini yaitu ‘isyarat’ (yang menyiratkan
bahwa belum ada penyumbang untuk tempat tinggal itu). Semua
perbuatannya yang menyiratkan kebutuhannya akan tempat tinggal
juga merupakan ‘isyarat’.
‘Basa-basi’: seorang bhikkhu bertanya kepada umat awam, ‘Rumah
seperti apakah yang engkau tinggali?” “Istana, Yang Mulia.” “Tetapi,
Dà yakà , apakah istana tidak diperbolehkan bagi para bhikkhu?” ini
dan ucapan serupa yaitu ‘basa-basi’.
‘Petunjuk’, “Tempat tinggal ini terlalu kecil untuk komunitas para
bhikkhu” atau ucapan-ucapan serupa yaitu ‘petunjuk’.
Semua bentuk ucapan seperti isyarat, dan sebagainya hanya
diperbolehkan untuk mendapatkan obat-obatan. Tetapi jika penyakit
telah disembuhkan, apakah diperbolehkan atau tidak memakai
obat-obatan yang diperoleh dengan cara ini? Di sini, para ahli
Vinaya mengatakan, bahwa sebab Buddha telah membuka jalan
untuk memakai nya, maka itu diperbolehkan. Tetapi para
ahli Suttanta berpendapat bahwa meskipun bukan merupakan
pelanggaran, akan tetapi kesucian penghidupan telah ternoda;
oleh sebab itu tidak diperbolehkan. Tetapi seseorang yang ingin
menjalani hidup mulia dengan kemurnian yang sempurna tidak
boleh memakai isyarat, basa-basi, petunjuk atau ucapan-
ucapan bersahabat, meskipun diperbolehkan oleh Buddha. sebab
memiliki kualitas istimewa seperti sedikit kebutuhan, dan sebagaiya,
ia harus mampu memakai hanya benda-benda kebutuhan
yang diperoleh dengan cara selain melalui isyarat, dan seterusnya,
bahkan jika harus mempertaruhkan nyawanya. Orang demikian
disebut seorang yang luar biasa mulia, berlatih keras seperti Yang
Mulia SÃ riputta.
Kisah Yang Mulia SÃ riputta
Suatu saat Yang Mulia SÃ riputta, ingin melaksanakan hidup suci,
3316
menetap di tempat sunyi di dalam suatu hutan bersama Yang Mulia
Moggà llana. Suatu hari ia menderita sakit perut yang membuatnya
sangat menderita. Malam harinya, Thera Moggallà na datang
menjumpainya dan melihatnya sedang berbaring. Ia bertanya,
“Ada apa?” saat Yang Mulia SÃ riputta menjelaskan, ia bertanya
lagi, “Apa yang menyembuhkanmu pada masa lalu?” Yang Mulia
SÃ riputta berkata, “Sewaktu aku masih menjadi umat awam,
temanku, ibuku memberiku bubur yang dicampur mentega, madu,
gula, dan sebagainya. Itu biasanya menyembuhkanku.” lalu
Yang Mulia Thera Moggallà na berkata, “Kalau begitu, temanku,
jika engkau atau aku memiliki jasa yang cukup, mungkin besok kita
akan mendapatkannya.”
Sekarang, dewa yang menetap di sebuah pohon di ujung jalan
setapak mendengar pembicaraan itu. Ia berpikir, “Aku akan
mendapatkan bubur untuk Thera besok,” ia segera pergi ke
sebuah rumah yang merupakan penyokong Thera Moggallà na dan
merasuki tubuh putra sulung untuk membuatnya sakit. lalu
ia berkata kepada keluarga anak itu yang telah berkumpul bahwa
jika mereka menyiapkan bubur lengkap dengan campurannya besok
untuk Thera, ia akan membebaskan anak itu. Mereka menjawab,
“Bahkan tanpa engkau beritahu, kami secara rutin memberi
persembahan makanan kepada Thera.” Keesokan harinya mereka
mempersiapkan bubur.
Thera Moggallà na mendatangi Thera Sà riputta pagi harinya
dan berkata, “Tetaplah di sini, temanku, hingga aku kembali
dari mengumpulkan dà na makanan.” lalu ia pergi ke
desa. Orang-orang menjumpainya, mengambil mangkuknya
dan mengisinya dengan bubur yang telah dipersiapkan dan
mengembalikan kepadanya. saat Thera hendak pergi, mereka
berkata, “Makanlah, Yang Mulia, kami akan memberi lagi.”
sesudah Thera selesai makan, mereka memberi lagi semangkuk
penuh. Thera pergi dengan membawa dà na makanan itu kepada
Yang Mulia SÃ riputta, dan mempersilakannya untuk makan. saat
Yang Mulia SÃ riputta melihatnya, ia berpikir, “Bubur ini sangat
lezat. Bagaimana mendapatkannya?” Ia lalu merenungkan
dan melihat bagaimana bubur itu diperoleh, ia berkata, “Temanku,
3317
1
makanan ini tidak layak dimakan.” Bukannya merasa tersinggung
dan berpikir, “Ia tidak mau memakan makanan yang dibawakan
oleh seseorang sepertiku,” Thera Moggallà na mengambil mangkuk
itu dan membalikkannya. (Bukan sebab ia marah.)
Sewaktu bubur itu jatuh ke tanah, penyakit yang diderita Yang Mulia
SÃ riputta lenyap. (Dan tidak pernah kambuh lagi selama empat
puluh lima tahun sisa hidupnya.) lalu ia berkata kepada Yang
Mulia Moggallà na, “Temanku, bahkan jika mangkuk seseorang jatuh
dan seluruh isinya tumpah ke tanah, dalam keadaan lapar tidaklah
layak memakan makanan yang diperoleh melalui isyarat ucapan.”
Di sini, harus dimengerti: Buddha hanya melarang isyarat ucapan
dalam hal makanan. Yang Mulia SÃ riputta tidak memakai
isyarat ucapan untuk mendapatkan makanan. saat Thera
Moggallà na ingin mengetahui apa yang menyembuhkannya
sebelumnya, ia hanya menceritakan kesembuhannya melalui bubur
pada masa lampau. Akan tetapi, ia tidak senang dengan kenyataan
bahwa isyarat ucapan telah dilakukan dan tidak menerima bubur
ini .
Kisah Ambakhadaka Thera Mahà Tissa
Jangankan seorang Thera mulia seperti Yang Mulia SÃ riputta yang
hidup pada masa kehidupan Buddha, bahkan Thera Mahà Tissa di
Ciragumba, Sri Lanka yang tidak terkenal, lama sesudah kemangkatan
Buddha juga dengan ketat melaksanakan sãla. Suatu saat MahÃ
Tissa, dalam perjalanannya melewati suatu daerah yang mengalami
bencana kelaparan, ia menjadi sangat lelah dan lemah sebab kurang
makan dan perjalanan yang jauh. sebab itu ia berbaring di bawah
sebatang pohon mangga yang berbuah banyak. Beberapa mangga
jatuh ke tanah di sana-sini di dekatnya. Tetapi ia tidak berpikir untuk
memungutnya untuk dimakan meskipun ia sangat lapar.
Pada saat itu, seorang tua datang mendekat dan melihatnya dalam
kondisi yang sangat lemah, menyiapkan sari buah mangga dan
mempersembahkannya kepada Thera. lalu ia menggendong
Thera di punggungnya, orang itu membawanya pergi ke tempat
3318
yang tuju. Sewaktu digendong demikian, Thera berpikir, “Orang
ini bukan ayahku, atau ibuku, atau sanak saudaraku. Namun ia
menggendongku di punggungnya; ini pasti sebab moralitas yang
kumiliki.” Sambil merenungkan demikian ia menasihati dirinya
sendiri untuk mempertahankan moralitas dan konsentrasinya tanpa
cacat. lalu ia mengembangkan Pandangan Cerah Vipassanà .
Dan selagi masih digendong di punggung orang itu, ia mencapai
kesucian Arahatta melalui tingkat-tingkat Jalan berturut-turut.
Thera ini yaitu orang mulia yang tidak berlebihan dalam hal
makanan, suatu teladan yang layak ditiru.
Jika penyucian penghidupan (à jãvapà risuddhi sãla) harus dilatih
dengan usaha (viriya), moralitas yang bergantung pada empat
kebutuhan (paccaya sannissita sãla) harus dipenuhi dengan
kebijaksanaan (pa¤¤Ã ). sebab hanya orang yang memiliki
kebijaksanaan yang dapat melihat manfaat dan bahaya dari
empat kebutuhan. Paccaya sannissita sãla yaitu moralitas yang
dipenuhi melalui kebijaksanaan. Oleh sebab itu seseorang harus
memakai empat kebutuhan, yang diperoleh dengan benar,
tanpa kemelekatan dan sesudah merenungkan melalui kebijaksanaan
dengan cara seperti yang telah dijelaskan.
Dua Jenis Perenungan (Paccavekkhaõà )
Ada dua jenis perenungan (paccavekkhaõà ) terhadap empat
kebutuhan: (1) perenungan pada waktu menerima, dan (2)
perenungan pada waktu memakai . Bukan hanya pada saat
memakai benda-benda kebutuhan tetapi juga pada saat
menerimanya, seseorang harus merenungkannya (a) sebagai hanya
sekadar unsur-unsur (dhà tu paccavekkhaõà ), atau (b) sebagai benda-
benda menjijikkan (patikåla paccavekkhaõà ) dan menyimpannya
untuk digunakan lalu .
1. Perenungan sebagai unsur-unsur: jubah ini (dan sebagainya)
hanyalah sekadar kumpulan dari delapan unsur yang muncul
jika kondisinya mendukung. Demikian pula orang yang
memakai nya.
3319
1
2. Perenungan sebagai objek menjijikkan: perenungan terhadap
makanan seperti dalam meditasi dengan objek persepsi kejijikan
dalam makanan (ahare patikÃ¥la sa¤¤Ã ); dan perenungan atas
jubah, dan sebagainya sebagai berikut, “Semua jubah ini, dan
sebagainya, yang tidak memiliki inti, sangat menjijikkan dan
lebih menjijikkan lagi saat bergabung dengan badan yang
menjijikkan ini.”
(Sebagai kesimpulan, perenungan seluruhnya terdiri dari tiga
jenis: (1) mahà paccavekkhaõà seperti yang telah dijelaskan secara
terperinci sehubungan dengan penggunaan empat kebutuhan secara
umum, (2) dhà tu paccavekkhaõà , merenungkan empat kebutuhan
sebagai hanya sekadar unsur-unsur, dan (3) patikålamanasikà ra
paccavekkhaõà , merenungkannya sebagai objek-objek menjijikkan
dalam sifatnya sendiri maupun saat digunakan.)
Jika seorang bhikkhu merenungkan jubah, dan sebagainya,
pada saat menerimanya dan jika ia melakukannya lagi pada
saat memakai nya, berarti ia memakai benda-benda
kebutuhannya dengan tanpa cacat dari awal hingga akhir.
Empat Jenis Penggunaan
Untuk melenyapkan keraguan mengenai penggunaan kebutuhan,
seseorang harus memahami empat jenis penggunaan:
(a) Penggunaan bagaikan tindakan mencuri (theyya paribhoga):
penggunaan barang-barang kebutuhan oleh orang yang tidak
bermoral bahkan di antara Saÿgha disebut theyya paribhoga.
(Buddha hanya mengizinkan penggunaan empat barang kebutuhan
oleh orang-orang yang memiliki moralitas. Umat awam juga
memberi persembahan kepada orang-orang baik dengan
mengharapkan jasa atas kebajikan mereka. Oleh sebab itu orang-
orang yang tidak bermoral tidak berhak memakai barang-
barang kebutuhan. Dengan demikian, penggunaan oleh orang-orang
yang tidak bermoral dan tidak berhak yaitu seperti perbuatan
mencuri. Visuddhimagga Mahà ñãkà .)
3320
(b) Penggunaan bagaikan tindakan berhutang (ina paribhoga):
penggunaan barang-barang kebutuhan oleh orang yang bermoral
tanpa perenungan yaitu seperti berhutang. Seseorang harus
merenungkan pada setiap saat mengenakan jubah; pada setiap
suap makanan yang dimakan. Lalai melakukannya pada saat
memakai nya, seseorang harus merenungkannya pada pagi
hari, pada petang hari, selama jaga pertama, jaga pertengahan,
dan jaga terakhir malam hari. Jika pagi hari tiba tanpa melakukan
perenungan demikian, maka ia berada dalam posisi seseorang yang
berhutang.
Setiap kali ia berjalan melewati bawah atap untuk memasuki
tempat tinggal dan sesudah memasukinya, setiap kali ia duduk,
setiap kali ia berbaring, ia harus melakukan perenungan. Jika ia
melakukan perenungan saat menerima dan lalai melakukannya saat
memakai , maka ia melakukan pelanggaran. Sebaliknya, bahkan
jika ia lalai melakukannya saat menerima namun melakukannya
saat memakai nya, maka bebas dari pelanggaran.
Empat Jenis Penyucian Sãla
Jika seorang bhikkhu melakukan suatu pelanggaran, ia harus
melakukan penebusan dengan salah satu dari empat jenis penyucian
moralitas sebagai berikut:
1. Penyucian dengan pengakuan kesalahan (desanà suddhi):
Pà timokkha Saÿvara Sãla disucikan dengan cara pernyataan
terbuka atas pelanggaran yang dilakukan.
2. Penyucian dengan pengendalian (saÿvarasuddhi) :
indriyasaÿvara sãla disucikan dengan bertekad, “Aku tidak
akan melakukannya lagi.”
3. Penyucian dengan mencari (pariyetthi suddhi) à jãvapà risuddhi
sãla disucikan dengan meninggalkan pencarian salah dan
mencari barang-barang kebutuhan dengan cara yang benar.
4. Penyucian dengan perenungan (paccavekkhanà suddhi):
paccayasannissita sãla disucikan dengan perenungan seperti
yang telah dijelaskan di atas.
3321
1
(c) Penggunaan seperti mendapatkan warisan (dà yajja paribhoga):
penggunaan barang-barang kebutuhan oleh tujuh jenis pelajar
(sekkha, termasuk para mulia yang telah mencapai tiga Jalan dan
Buah yang lebih rendah dan Jalan Kearahattaan). Tujuh jenis pelajar
ini yaitu putra-putra Buddha. Bagaikan seorang putra yang yaitu
pewaris ayahnya, para mulia ini sebagai pewaris memakai
barang-barang kebutuhan yang diperbolehkan oleh Buddha.
(Walaupun pada praktiknya barang-barang kebutuhan ini diberikan
oleh umat awam, tetapi sebab diperbolehkan oleh Buddha maka
dianggap sebagai barang-barang kebutuhan Buddha.)
(d) Penggunaan seperti seorang majikan oleh seorang Arahanta
(sà mi paribhoga): kaum duniawi (puthujjana) dan para pelajar
(sekkha) belum terbebas dari keserakahan dan sebab itu mereka
masih memiliki keserakahan dan penggunaan barang-barang
kebutuhan oleh mereka bukanlah sebagai majikan melainkan
sebagai budak keserakahan. Sebaliknya, para Arahanta telah
terbebas dari pembudakan keserakahan dan penggunaan barang-
barang kebutuhan oleh mereka yaitu bagaikan majikan yang
memegang kendali atas keserakahan. Oleh sebab itu mereka dapat
memakai barang-barang menjijikkan dengan merenungkan
sifat-sifat yang tidak menjijikkan atau mereka dapat memakai
barang-barang yang tidak menjijikkan dengan merenungkan
sifat-sifat menjijikkan, atau mereka dapat memakai dengan
merenungkan sebagai barang-barang yang bukan menjijikkan atau
bukan tidak menjijikkan.
Dari empat jenis penggunaan ini, penggunaan seperti majikan
oleh Arahanta dan penggunaan seperti mendapatkan warisan
diperbolehkan bagi semua. Di sini, seperti dijelaskan sebelumnya,
penggunaan barang-barang kebutuhan seperti majikan hanya
berlaku bagi para Arahanta; tetapi jika para sekkha dan puthujjana
memakai barang-barang kebutuhan dengan meninggalkan
keserakahan melalui persepsi kejijikan bagaikan terbebas, maka
hal ini berarti bebas pembudakan keserakahan; oleh sebab itu
penggunaan jenis ini juga dikelompokkan sebagai penggunaan
seperti seorang majikan oleh Arahanta, sà mi paribhoga. Demikian
3322
pula, Arahanta dan para puthujjana juga dapat dianggap sebagai
pewaris Buddha.
Penggunaan bagaikan tindakan berhutang yaitu tidak
diperbolehkan, terlebih lagi penggunaan bagaikan tindakan mencuri
juga tentu saja tidak diperbolehkan. Penggunaan barang-barang
kebutuhan sesudah perenungan oleh seseorang yang memiliki
moralitas yaitu kebalikan dari penggunaan bagaikan tindakan
berhutang, ina paribhoga dan sebab itu disebut penggunaan
tanpa tindakan berhutang, à naõya paribhoga. Pada saat yang
sama para puthujjana yang memiliki moralitas yang memakai
barang-barang kebutuhan sesudah melakukan perenungan dapat
dianggap sebagai sekkha, orang mulia. Oleh sebab itu, penggunaan
barang-barang kebutuhan sesudah melakukan perenungan oleh para
puthujjana yang memiliki moralitas juga dapat dianggap sebagai
penggunaan bagaikan mendapatkan warisan.
Dari empat jenis penggunaan ini, penggunaan bagaikan seorang
majikan oleh seorang Arahanta yaitu yang paling mulia; seorang
bhikkhu yang ingin memakai barang-barang kebutuhan
bagaikan seorang majikan harus memenuhi paccayasannissita sãla
dengan memakai empat kebutuhan hanya sesudah melakukan
perenungan.
Kelompok Lima dari Moralitas
Moralitas terdiri dari lima jenis:
(a) pariyanta pà risuddhi sãla,
(b) apariyanta pà risuddhi sãla,
(c) paripuõõa pà risuddhi sãla,
(d) aparà maññha pà risuddhi sãla, dan
(e) patippassadhi pà risuddhi sãla.
(a) Moralitas yang terdapat dalam penyucian terbatas (pariyanta
pà risuddhi sãla). Moralitas yang dilaksanakan oleh para umat awam
dan sà maõera disebut moralitas yang terdapat dalam penyucian
terbatas.
3323
1
(i) Batasan sehubungan dengan jumlah sãla yang dilaksanakan:
ini merujuk pada jumlah sãla yang dilaksanakan umat awam
secara tradisional, yaitu, satu, dua, tiga, empat, lima, delapan
atau sepuluh sãla (berapa pun jumlah sãla yang mereka jalani).
Sà maõera dan sà maõerã melaksanakan Sepuluh Sãla. Ini yaitu
batasan sehubungan dengan jumlah sãla yang dilaksanakan.
(ii) Batasan sehubungan dengan lamanya pelaksanakan sãla:
saat umat awam melakukan Ritual persembahan, mereka
juga melaksanakan sãla selama Ritual berlangsung; sewaktu
mereka pergi ke vihà ra juga, mereka melaksanakan peraturan
sebelum pulang ke rumah, atau selama satu, dua, tiga hari
atau lebih pada siang hari atau malam hari. Ini yaitu batasan
sehubungan lamanya pelaksanaan sãla.
(b) Moralitas tanpa batas (apariyanta pà risuddhi sãla). Dve Mà tika
yang merupakan ringkasan dari Ubhato Vibhaïga menyebutkan
sikkhà pada-sikkhà pada bagi anggota Saÿgha. Jika diuraikan,
sikkhà pada-sikkhà pada ini berjumlah total sembilan ribu seratus
delapan puluh crore, lima juta tiga puluh enam ribu. Peraturan-
peraturan disiplin ini ditetapkan oleh Buddha dan dicatat secara
singkat oleh para anggota sidang pada Konsili Pertama. Keseluruhan
peraturan-peraturan disiplin ini disebut apariyanta pà risuddhi
sãla.
Walaupun peraturan-peraturan disiplin ditetapkan oleh Buddha
dalam jumlah tertentu, Saÿgha harus melaksanakan seluruhnya
tanpa kecuali; lebih jauh lagi yaitu mustahil meramalkan kapan
berakhirnya pelaksanaan sãla melalui lima jenis penghancuran, yaitu,
sebab pendapatan, sebab kemasyhuran, sebab sanak saudara,
sebab tubuh yang melemah, sebab kematian. Untuk alasan-alasan
ini, peraturan-peraturan disiplin ini secara kolektif disebut sebab
tubuh yang melemah, sebab kematian. Untuk alasan-alasan ini,
peraturan-peraturan disiplin ini secara kolektif disebut apariyanta
pà risuddhi sãla. Ini yaitu jenis sãla yang dilaksanakan oleh Thera
Mahà Tissa dari Ciragumba yang dijelaskan di atas.
(c) Moralitas yang disucikan secara total oleh kaum duniawi yang
berusaha untuk mencapai kemajuan spiritual disebut paripuõõa
3324
pà risuddhi sãla. Moralitasnya sejak saat ia bergabung dalam Saÿgha
telah benar-benar murni bagaikan batu delima yang dipotong
dengan benar atau bagaikan emas yang dipoles dengan baik. Oleh
sebab itu tidak mengandung bahkan noda-noda pikiran buruk
dan menjadi pemicu langsung bagi Kearahattaan. sebab itu
disebut paripuõõa pà risuddhi sãla. Thera Mahà Saÿgharakkhita dan
keponakannya, Thera Saÿgharakkhita, yaitu teladan mengenai
bagaimana sãla ini dilaksanakan.
Kisah Thera Mahà Saÿgharakkhita
saat Thera Mahà Saÿgharakkhita telah enam puluh tahun
menjadi bhikkhu (berusia delapan puluh) sedang terbaring di
atas ranjang kematiannya, para bhikkhu bertanya kepadanya,
“Yang Mulia, apakah engkau telah mencapai kondisi Lokuttara?”
Thera menjawab, “Aku belum mencapai apa-apa.” Pada saat itu
seorang bhikkhu muda pelayan Thera berkata kepadanya, “Yang
Mulia, orang-orang yang berdiam dalam jarak dua belas liga yang
berkumpul di sini berpikir bahwa Yang Mulia akan memasuki
Parinibbà na. Jika mereka mengetahui bahwa engkau meninggal
dunia sebagai seorang duniawi biasa, mereka akan menjadi sangat
kecewa.”
lalu Thera berkata, “Teman, sebab berpikir bahwa aku akan
bertemu dengan Buddha Metteya yang akan datang. Aku tidak
berusaha melatih Meditasi Pandangan Cerah Vipassanà . Jika itu
akan mengecewakan banyak orang, bantu aku untuk duduk dan beri
aku kesempatan untuk melakukan perenungan dengan perhatian
murni.” Bhikkhu muda itu membantu Thera duduk dan keluar
dari kamar. Segera sesudah ia keluar dari kamar itu, Thera mencapai
kesucian Arahatta dan memberi isyarat dengan menjentikkan
jarinya. Bhikkhu muda itu datang kembali dan membaringkannya
seperti semula. Ia melaporkan hal itu kepada Saÿgha yang
berkumpul di sana dan berkata kepada Thera. “Yang Mulia, engkau
telah melakukan tugas yang sangat sulit untuk mencapai Lokuttara
bahkan di saat-saat menjelang kematianmu.” Thera menjawab,
“Teman-teman, tidaklah sulit bagiku untuk mencapai Kearahattaan
di saat-saat menjelang kematian. Kukatakan kepada kalian, apa
3325
1
yang sulit untuk dilakukan. Teman-teman, aku melihat tidak
ada perbuatan yang telah kulakukan tanpa perhatian murni dan
pemahaman jernih sejak aku menjadi bhikkhu. Perbuatan demikian
yang selalu disertai dengan perhatian murni dan pemahaman jernih
yaitu yang jauh lebih sulit untuk dilakukan.”
Keponakan Thera juga mencapai kesucian Arahatta seperti dirinya
saat ia telah lima puluh tahun menjadi bhikkhu.
(4) Moralitas yang tidak terpengaruh oleh pandangan salah dan
dilaksanakan oleh sekkha, orang-orang mulia dan moralitas
yang tidak ternoda oleh nafsu dan dilaksanakan oleh kaum
duniawi disebut aparà maññha pà risuddhi sãla, jenis moralitas yang
dilaksanakan oleh Thera Tissa, putra seorang perumah tangga.
Kisah Thera Tissa, Putra Seorang Perumah Tangga
Sebuah keluarga di Sri Lanka memiliki dua orang putra. sesudah ayah
mereka meninggal dunia, putra tertua, Tissa menyerahkan semua
warisan kepada adiknya dan menjadi bhikkhu, melatih meditasi
di sebuah vihà ra hutan. lalu istri si adik berpikir, “Sekarang
kami telah mendapatkan semua kekayaan sebab kakak ipar telah
menjadi seorang bhikkhu. Jika ia memutuskan untuk kembali
menjalani kehidupan umat awam, kami terpaksa mengembalikan
setengah dari kekayaan ini. Tidak ada cara untuk mengetahui
apakah ia akan melakukannya atau tidak. Kami baru bisa tenang
jika ia mati.” Dengan pikiran ini ia menyewa beberapa orang untuk
membunuh Thera.
Para pembunuh itu datang ke vihà ra hutan dan menangkap Thera
pada malam hari. Thera Tissa memberitahu mereka bahwa ia
tidak memiliki apa pun yang mereka inginkan. Orang-orang itu
menjelaskan, “Kami tidak datang untuk mendapatkan kekayaanmu.
Kami datang untuk membunuhmu (atas perintah adik iparmu).”
Thera berkata, “Aku memiliki sãla yang murni, tetapi aku belum
mencapai kesucian Arahatta-Phala. sebab aku ingin mencapai
Kearahattaan dengan bergantung pada sãla yang murni, izinkan
aku untuk melatih meditasi Vipassanà hingga fajar menyingsing.”
3326
“Kami tidak dapat mengabulkan permohonanmu, jika engkau
melarikan diri pada malam hari, kami akan kesulitan menangkapmu
kembali.” Dengan berkata, “Aku tidak akan melarikan diri,” Thera
meremukkan kedua lututnya dengan sebuah batu besar.
sesudah kedua lututnya remuk, Thera berkata, “Sekarang engkau
telah menyaksikan kondisiku. Tidak mungkin aku dapat melarikan
diri dari kalian. Aku tidak suka mati sebagai seorang duniawi yang
memiliki nafsu. Aku merasa malu sebab nya.” Para pembunuh itu
mengizinkannya untuk melatih meditasi. lalu Thera dengan
bergantung pada sãla-nya yang tidak ternoda oleh nafsu, berusaha
semalam suntuk hingga fajar menyingsing saat ia berhasil mencapai
kesucian Arahatta.
Kisah Seorang Thera
Suatu saat , ada seorang Thera yang sedang sakit keras dan tidak
dapat makan dengan tangannya sendiri. Ia berbaring dengan dikotori
oleh air kencing dan kotorannya sendiri. Melihat kondisinya, seorang
bhikkhu muda berseru, “Oh, betapa menyakitkan proses kehidupan
ini!” Thera senior itu berkata, “Teman, jika aku mati sekarang aku
pasti mencapai kebahagiaan surgawi. Aku tidak ragu akan hal itu.
Kebahagiaan yang diperoleh dengan melanggar sãla (berarti mati
sebelum mencapai kesucian Arahatta) bagaikan meninggalkan
kebhikkhuan dan menjadi umat awam. Tetapi aku memutuskan
untuk mati dengan sãla yang utuh (artinya wafat sesudah mencapai
kesucian Arahatta).” sesudah berkata demikian, ia berbaring di
tempat yang sama, merenungkan penyakit yang sama yang melekat
pada lima kelompok batin dan jasmani dan mencapai kesucian
Arahatta. (Sãla dari Thera mulia ini yaitu aparà maññha sãla.)
(e) Moralitas para Arahanta, Pacceka Buddha, dan Sammà sambuddha,
yang disucikan melalui pemadaman api-api kotoran disebut
pà ñippassaddhi pà risuddhi sãla.
(2) Moralitas terdiri dari lima jenis:
(a) pahà na sãla,
(b) veramaõi sãla,
3327
1
(c) cetanà sãla,
(d) saÿrata sãla, dan
(e) avãtikkama sãla.
(a) Moralitas yang dilaksanakan dengan meninggalkan
pembunuhan, dan seterusnya disebut moralitas meninggalkan
(pahà na sãla). (Di sini, ‘dan seterusnya’, mencakup tidak hanya
perbuatan salah mencuri, hubungan seksual yang salah dan
seterusnya tetapi juga meninggalkan segalanya yang harus
ditinggalkan melalui tahap-tahap perbuatan baik. Dalam istilah
Abhidhammà , ‘meninggalkan’ (pahà na) berarti sekelompok
kesadaran baik bersama-sama faktor-faktor batin yang ditandai
oleh fungsi meninggalkan segalanya yang harus ditinggalkan
jika diperlukan.)
(b) Moralitas yang dilaksanakan dengan menghindari pembunuhan,
dan seterusnya disebut moralitas menghindari (veramaõi sãla).
Dalam istilah Abhidhammà , ini yaitu sekelompok kesadaran
baik bersama fakor-faktor batin yang dipimpin oleh viratã
cetasika.
(c) Moralitas yang dilaksanakan dengan kehendak yang
berhubungan dengan tindakan menghindari, dan seterusnya
dengan kesadaran disebut moralitas kehendak (cetanà sãla).
(d) Moralitas yang dilaksanakan dengan mencegah pikiran-pikiran
perbuatan jahat seperti membunuh, dan seterusnya muncul
mengotori pikiran disebut moralitas pengendalian (saÿvara
sãla). Dalam istilah Abhidhammà , ini yaitu sekelompok
kesadaran baik bersama dengan faktor-faktor batin yang
dipimpin oleh sati cetasika.
(e) Moralitas yang dilaksanakan dengan tidak melakukan
perbuatan jahat seperti membunuh, dan seterusnya, disebut
moralitas tidak melanggar (avãtikkama sãla). Dalam istilah
Abhidhammà , ini yaitu kesadaran baik bersama deangn
faktor-faktor batinnya.
(Lima jenis moralitas ini dimulai dari pahà na sãla yaitu tidak
terpisahkan seperti kelompok sãla lainnya; pelaksanaan satu sãla,
misalnya, pahà na sãla, dengan meninggalkan pembunuhan, dan
seterusnya, berarti melaksanakan seluruh sãla lainnya juga.)
3328
Pengotoran dan Pemurnian Moralitas
(6) Apakah Pengotoran Moralitas?
(7) Apakah Pemurnian Moralitas?
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, pengotoran dan
pemurnian moralitas harus dijelaskan bersama-sama.
Pengotoran moralitas maksudnya yaitu perusakan moralitas;
dan sebaliknya, bukan perusakan moralitas yaitu pemurnian
moralitas.
Perusakan moralitas dapat muncul melalui penghancuran sebab
pendapatan, kemasyhuran, dan sebagainya melalui tujuh perbuatan
seksual minor.
Penjelasan lebih lanjut:
Dari tujuh kelompok pelanggaran (à patti*) jika satu sikkhà pada
dari kelompok pertama atau kelompok terakhir rusak sebab
keserakahan akan pendapatan, kemasyhuran, dan sebagainya,
sãla bhikkhu dikatakan robek bagaikan kain yang digunting di
tepinya. (*Catatan: (1) Pà rajika, (2) Saÿghà disesa, (3) Thullaccaya,
(4) Pà cittiya, (5) Pà ñidesanãya, (6) Dukkata dan (7) Dubbhà sita.)
Jika satu sikkhà pada di kelompok tengah rusak, sãla-nya dikatakan
koyak bagaikan kain yang berlubang di tengah.
Jika dua atau tiga sikkhà pada rusak secara berurutan, sãla-nya
dikatakan berbintik bagaikan sapi yang memiliki bercak tidak
beraturan berwarna cokelat, merah, dan warna lainnya di punggung
atau perutnya.
Jika sikkhà pada rusak berselang-seling, sãla-nya dikatakan loreng
bagaikan sapi yang memiliki bercak dalam warna-warna yang
berbeda di tubuhnya.
3329
1
Demikianlah rusaknya moralitas melalui robekan, koyakan,
berbintik, loreng sebab pendapatan, kemasyhuran, dan sebagainya
disebut pengotoran moralitas.
Bahkan tanpa adanya perusakan moralitas melalui robekan,
koyakan, berbintik atau loreng, juga dapat terjadi pengotoran
moralitas melalui tujuh perbuatan seksual minor.
Tujuh perbuatan seksual minor dijelaskan secara terperinci oleh
Buddha dalam Jà õussoõi Sutta dari Mahà ya¤¤a Vagga, Sattaka
Nipà ta dari Aïguttara Nikà ya. Secara singkat sebagai berikut:
(i) seorang petapa atau brahmana yang mengaku menjalani
kehidupan suci tidak melakukan hubungan seksual, namun
menikmati perhatian, pijatan, dimandikan, dan digosok oleh
perempuan (ia suka dilayani secara pribadi oleh seorang
perempuan.);
(ii) atau ia tidak melakukan hubungan seksual dengan seorang
perempuan, ia tidak menikmati dilayani secara pribadi oleh
perempuan, namun ia senang bercanda dan tertawa bersama
perempuan;
(iii) atau ia senang menatap mata seorang perempuan;
(iv) atau ia senang mendengarkan seorang perempuan dari balik
dinding atau pagar sewaktu perempuan itu tertawa, berbicara,
menyanyi atau menangis;
(v) atau ia senang mengingat-ingat bagaimana ia pernah
berbicara, tertawa, dan bermain bersama seorang perempuan
sebelumnya;
(vi) atau ia senang melihat seorang perumah tangga atau putranya
yang memiliki lima jenis kenikmatan duniawi dan yang dilayani
oleh sekelomnpok pelayan;
(vii) atau ia senang mendambakan alam surga dan menjalani hidup
suci dengan keinginan, “Dengan sãla ini, dengan latihan ini,
dengan usaha ini, dan dengan hidup suci ini, semoga aku
terlahir sebagai dewa yang berkuasa.”
Demikianlah perusakan moralitas melalui robekan, koyakan,
berbintik, atau loreng sebab pendapatan, kemasyhuran, dan
3330
sebagainya dan juga melalui tujuh perbuatan seksual minor yaitu
pengotoran moralitas.
(7) Pemurnian Moralitas yang ditandai dengan tidak robek, tidak
koyak, tidak berbintik atau tidak loreng dari sãla terjadi:
(a) dengan tidak melanggar satu pun sikkhà pada;
(b) dengan melakukan penebusan yang benar jika terjadi
pelanggaran;
(c) dengan menghindari tujuh perbuatan seksual minor; lebih jauh
lagi;
(d) melalui tidak munculnya kemarahan, dendam, penghinaan,
persaingan, kecemburuan, kekikiran, ketidakjujuran,
kemunafikan, dan kejahatan lainnya, dan
(e) melalui pengembangan kualitas-kualitas seperti sedikit
kebutuhan, mudah puas, berlatih keras, dan sebagainya.
Jenis-jenis moralitas ini, sãla yang tidak robek, tidak koyak, tidak
berbintik, dan tidak loreng, juga memiliki nama lain seperti
bhujissa sãla, sebab , membebaskan seseorang dari pembudakan
kemelekatan; vi¤¤Ã¥pasattha sãla, sebab dipuji oleh para bijaksana;
aparà mattha sãla sebab tidak terpengaruh oleh kemelekatan, “sãla-
ku murni, akan menghasilkan manfaat besar pada masa depan,”
atau dengan pandangan salah tentang aku, “sãla ini yaitu milikku;
sãla-ku sangat murni; tidak seorang pun yang memiliki sãla seperti
milikku; samà dhi samvattanika sãla, sebab membantu dalam
kemajuan konsentrasi akses (upacà ra samà dhi) dan konsentrasi
terserap (appanà samà dhi).
Seperti telah dijelaskan di atas, tujuh faktor, yaitu, tidak robek, tidak
koyak, tidak berbintik, tidak loreng, membebaskan, dipuji oleh para
bijaksana dan tidak ternoda oleh kemelekatan dan pandangan salah
yaitu faktor-faktor yang mendukung pemurnian moralitas. Hanya
jika moralitas lengkap dengan tujuh faktor ini dikembangkan maka
dapat dikembangkan dua jenis konsentrasi yang disebutkan di atas.
Oleh sebab itu seorang mulia yang ingin mengembangkan dua jenis
konsentrasi ini harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
melengkapi sãla-nya dengan tujuh faktor ini.
3331
1
(C) Kesempurnaan Melepaskan Keduniawian (Nekkhamma
PÃ rami)
Nekkhamma artinya melepaskan keduniawian yang di sini sama
artinya dengan kebebasan. Kebebasan terdiri dari dua jenis:
kebebasan dari lingkaran kelahiran (saÿsà ra) dan kebebasan dari
nafsu-indria (kà ma), yang pertama yaitu akibat dari yang kedua.
Hanya jika kebebasan dari nafsu-indria telah dicapai melalui
praktik, seseorang dapat memperoleh kebebasan dari saÿsà ra.
Dari kedua jenis kebebasan ini, yaitu demi tujuan kebebasan (dari
kelahiran) yang dibabarkan oleh Buddha dalam Kitab Buddhavaÿsa,
mengumpamakan tiga alam kehidupan sebagai penjara. (Tiga
alam kehidupan: (a) kà ma-bhava, alam kehidupan indria, (b) råpa-
bhava, alam kehidupan bentuk, materi, dan (c) aråpa-bhava, alam
kehidupan tanpa bentuk, nirmateri.)
Makna Penting dari Kesempurnaan Melepaskan Keduniawian
Menurut Komentar Cariyà Piñaka, Kesempurnaan Melepaskan
keduniawian dalam istilah Abhidhammà yaitu kesadaran baik
bersama dengan faktor-faktor batin yang muncul sebab kebajikan
kebebasan dari nafsu-indria dan dari tiga alam kehidupan.
Mahà Niddesa menjelaskan dua jenis nafsu keinginan: objek
menyenangkan dari nafsu-indria (vatthu kà ma), dan kotoran
batin keserakahan yang merupakan nafsu terhadap objek yang
menyenangkan (kilesà kà ma). Sehubungan dengan Kesempurnaan
Melepaskan keduniawian, kebebasan dari nafsu indria berarti
kebebasan dari kedua jenis nafsu indria.
Bagaimana Menjaga Perhatian Murni untuk Mencapai
Kebebasan
Bagaimana mencapai kebebasan dari belenggu Kilesà kà ma
dijelaskan dalam Mahà Niddesa Pà ëi:
Addasaÿ kà ma te målaÿ saïkappà kà ma jà yasi
na taÿ saïkappayissà mi evaÿ kà ma na hohisi.
3332
“O keserakahan, aku telah melihat engkau, engkau muncul dari
pikiranku atas objek-objek indria yang menyenangkan (kà ma
vitakka). Aku tidak akan lagi memikirkan objek-objek indria yang
menyenangkan. Maka itu, O keserakahan, engkau tidak akan
muncul lagi.”
Sehubungan dengan hal ini, tiga jenis pikiran buruk dan tiga jenis
pikiran baik harus dimengerti. Tiga jenis pikiran buruk yaitu :
(i) kà ma vitakka, pikiran nafsu, yaitu memikirkan objek-objek
yang menyenangkan,
(ii) vyà pà da vitakka, pikiran kebencian, yaitu berpikir untuk
menyakiti makhluk lain, dan
(iii) vihiÿsà vitakka, pikiran kejam, yaitu berpikir untuk menyiksa
makhluk lain.
Tiga jenis pikiran baik yaitu :
(i) nekkhamma vitakka, pikiran untuk melepaskan keduniawian,
yaitu pikiran untuk membebaskan diri dari objek-objek
indria.
(ii) avyà pà da vitakka, pikiran tidak membenci, yaitu pikiran yang
penuh cinta kasih terhadap makhluk lain, dan
(iii) avihiÿsà vitakka, pikiran tidak kejam, yaitu pikiran penuh
welas asih terhadap makhluk lain.
Sumber keserakahan (kilesà kà ma) atau pemeriksaan saksama
diketahui terletak dalam pikiran indria (kà ma vitakka) yang
merupakan satu dari tiga pikiran buruk, keserakahan akan terus-
menerus bertambah dan tidak ada kebebasan dari kotoran batin
keserakahan ini . Hanya jika seseorang berhenti memikirkan
objek-objek menyenangkan dari nafsu indria, maka keserakahan
tidak akan muncul dan ia mencapai kebebasan. Oleh sebab itu,
seperti disebutkan di atas, seseorang harus menjaga perhatian agar
terbebas dari kotoran batin keserakahan. Seperti halnya kebebasan
dari nafsu indria akan mengarah menuju kebebasan dari lingkaran
saÿsà ra, demikian pula berusaha untuk membebaskan diri dari
keserakahan akan menghasilkan kebebasan dari objek-objek
menyenangkan nafsu indria.
3333
1
Hubungan Antara Melepaskan Keduniawian dan Kehidupan
Seorang Bhikkhu
Komentar Car iyà Piñaka mendef inisikan nekkhamma,
“Nekkhammaÿ pabbajjà -mÃ¥lakaÿ.” Definisi ini dapat diartikan
dalam dua cara, “Kebebasan disebabkan oleh kehidupan sebagai
bhikkhu,” dan “Kebebasan menyebabkan kehidupan sebagai
bhikkhu.” Arti pertama, yaitu kehidupan sebagai bhikkhu sebagai
pemicu dari kebebasan yaitu sesuai dengan narasi dalam MahÃ
Janaka Jà taka. Raja Mahà Janaka pertama-tama mencari jubah,
mangkuk, dan sebagainya, tanpa sepengetahuan permaisuri,
selir-selir, dan para pelayan istana, lalu ia naik ke teras atas
istananya dan menjadi seorang bhikkhu; selanjutnya ia melepaskan
keduniawian. Dalam contoh ini, Bodhisatta Mahà Janaka menjadi
seorang bhikkhu sebelum ia melepaskan keduniawian. Oleh sebab
itu dapat dikatakan bahwa kehidupan sebagai bhikkhu yaitu
pemicu dan melepaskan keduniawian yaitu akibatnya.
Arti kedua, yaitu, kebebasan yaitu pemicu dari kehidupan
kebhikkhuan sesuai dengan kisah Sumedha Sang Bijaksana,
Hatthipà la bersaudara, dan lain-lain. Sumedha Sang Bijaksana
pertama-tama pergi melepaskan keduniawian dan saat tiba di
Gunung Dhammika, ia menemukan tempat tinggal yang telah
dipersiapkan oleh Sakka, raja para dewa. Baru lalu ia
menjadi seorang bhikkhu. Demikian pula Hatthipà la bersaudara
pertama-tama pergi melepaskan keduniawian dan saat dikejar
oleh seluruh warga negeri yang dipimpin oleh orangtuanya,
mereka menjadi bhikkhu. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa
kepergian Sumedha Sang Bijaksana, Hatthipà la bersaudara, dan
lain-lain melepaskan keduniawian, yaitu pemicu dan kehidupan
kebhikkhuan yaitu akibat.
Komentar Cariyà Piñaka memberi penjelasan sesuai dengan
makna pertama. Meskipun Sumedha Sang Bijaksana, Hatthipà la
bersaudara, dan lain-lain, melepaskan keduniawian terlebih
dahulu dan menjadi bhikkhu lalu , mereka melakukannya
hanya sebab mereka ingin menjalani kehidupan kebhikkhuan.
Oleh sebab itu, bahkan walaupun pergi melepaskan keduniawian
3334
terjadi terlebih dahulu, namun dapat dikatakan bahwa kehidupan
kebhikkhuan yang mengikuti lalu yaitu pemicu
sebenarnya. (Contohnya, untuk membangun rumah, pohon-pohon
kayu harus ditebang terlebih dahulu. Walaupun menebang pohon
dilakukan sebelum pembangunan dimulai, tetapi pohon ditebang
dengan tujuan untuk membangun rumah, sebab itu dapat
dikatakan keinginan untuk membangun rumah yaitu pemicu
dan menebang pohon yaitu akibatnya.)
Lima Jenis Bertempat Tinggal di Hutan
Dijelaskan dalam Vinaya Parivà ra Ekuttarikanaya Pa¤caka dan Upà li
Pa¤hà DhÃ¥taïga Vagga, menetap di hutan terdiri dari lima jenis:
(i) menetap di hutan sebab kebodohan, pikiran yang tumpul,
tidak mengetahui manfaat dan pemicu nya;
(ii) menetap di hutan dengan keinginan jahat, “Jika aku pergi
dan menetap di hutan, orang-orang akan dengan murah hati
menyokongku sebagai seorang penghuni hutan;”
(iii) menetap di hutan sebab tidak waras;
(iv) menetap di hutan sebab praktik demikian dipuji oleh para
Buddha dan para bijaksana; dan
(v) menetap di hutan sebab seseorang memiliki sedikit keinginan,
mudah puas dan kualitas-kualitas demikian.
Hanya dua jenis menetap di hutan yang terakhir yang layak
dipuji.
Kesempurnaan Melepaskan keduniawian bukan sekadar masalah
di mana seseorang bertempat tinggal. Kotoran nafsu indria (kilesa
kà ma), kemelekatan terhadap objek-objek indria, bisa muncul
di mana saja. Kotoran nafsu indria harus dilenyapkan di saat ia
muncul dan jangan dibiarkan berkembang. Kebebasan dari kotoran
nafsu indria melalui pelenyapan dengan cara demikian yaitu
karakteristik sejati dari melepaskan keduniawian.
Sedangkan kebebasan dari objek-objek menyenangkan nafsu
indria, terdapat contoh seperti Sumedha Sang Bijaksana, Hatthipà la
bersaudara, dan sebagainya, yang pergi hingga ke Pegunungan
3335
1
Himalaya. Akan muncul pertanyaan, apakah perlu bagi mereka
yang ingin memenuhi Kesempurnaan Melepaskan keduniawian
(kebebasan dari objek-objek menyenangkan nafsu indria)
untuk pergi hingga ke Pegunungan Himalaya. Seseorang harus
melakukannya jika mungkin, atau jika ia memang menginginkannya
atau jika situasi mengizinkan. Dalam kisah JÃ taka yang berhubungan
dengan Melepaskan keduniawian, sebagian besar pergi hingga ke
Himalaya. Mereka melakukannya sebab situasi mendukung bagi
mereka.
Menurut Mà ghadeva Jà taka dari Ekaka Nipà ta dan Nimi Jà taka
dari Mahà Nipà ta, penguasa turun-temurun yang berjumlah
delapan puluh empat ribu dimulai dari Raja Maghadeva hingga
Raja Nimi pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga segera
sesudah sehelai uban tumbuh di kepala mereka. Akan tetapi, tidak
satu pun dari mereka yang pergi ke Himalaya. Mereka hanya
mengundurkan diri ke kebun mangga kerajaan di dekat ibukota
Mithila. Disebutkan bahwa dengan praktik meditasi yang keras
mereka berhasil mencapai Jhà na-Jhà na dan terlahir kembali di
alam brahmà . Dari kisah ini terbukti bahwa, walaupun tidak
pergi hingga ke Himalaya, hanya meninggalkan tempat di mana
kotoran batin keserakahan berkembang yaitu cukup untuk berhasil
mencapai Kesempurnaan Melepaskan keduniawian. Delapan puluh
empat ribu raja seperti Maghadeva benar-benar meninggalkan
istana mewah mereka, dan dengan menetap di kebun mangga
Kesempurnaan Melepaskan keduniawian mereka terpenuhi.
Oleh sebab itu Kesempurnaan Melepaskan keduniawian dapat
dipenuhi oleh siapa pun yang benar-benar meninggalkan tempat di
mana kotoran batin keserakahan berkembang dan tanpa berpindah
ke tempat baru, ia menetap di tempat yang sesuai yang bebas dari
kotoran.
Dua jenis Melepaskan Keduniawian
Melepaskan keduniawian para Bodhisatta terdiri dari dua jenis:
(i) melepaskan keduniawian saat mereka masih muda (dan belum
menikah) dan
3336
(ii) melepaskan keduniawian saat mereka telah tua (dan telah
menikah).
Sumedha Sang Bijaksana, Hatthipà la bersaudara, dan lain-lain,
melepaskan keduniawian untuk menghindari (belenggu) objek-
objek menyenangkan nafsu indria, yaitu, kemewahan istana
atau rumah mereka. Walaupun JÃ taka merujuk mereka sebagai
teladan dari mereka yang memenuhi Kesempurnaan Melepaskan
keduniawian, saat itu mereka masih muda dan belum menikah.
Mereka memiliki objek-objek menyenangkan nafsu indria, tetapi
dapat dikatakan bahwa ikatan mereka terhadap objek-objek ini
tidaklah terlalu kuat. Hanya orang-orang yang lebih tua yang
menjalani kehidupan rumah tangga bersama istri dan anak-anak
yang terikat erat dengan belenggu vatthukà ma ini. Sehubungan
dengan hal ini, dapat dikatakan bahwa melepaskan keduniawian
bagi orang-orang yang lebih tua dan telah menikah yaitu lebih
sulit daripada orang-orang muda. Tetapi terlihat bahwa melepaskan
keduniawian oleh Bodhisatta Pangeran Temiya yang dilakukan saat
Beliau berusia enam belas tahun dan belum menikah yaitu sangat
sulit. Kesulitannya bukan muncul dari ikatan objek menyenangkan
nafsu indria namun dari usaha yang Beliau lakukan dengan susah
payah dengan berpura-pura lumpuh, tuli, dan bisu agar Beliau
bisa melepaskan keduniawian. Oleh sebab itu walaupun Beliau
menghadapi banyak kesulitan dalam usahanya untuk melepaskan
keduniawian, namun saat Beliau telah melakukannya, Beliau hanya
menemui sedikit kesulitan sebab Beliau hanya memiliki sedikit
belenggu terhadap objek-objek menyenangkan nafsu indria.
Aññhasà linã dalam bab Kesempurnaan Melepaskan keduniawian
menjelaskan kisah lengkap tentang Pà ramã yang dipenuhi oleh
Bodhisatta saat Beliau terlahir sebagai Pangeran Somanassa,
Pangeran Hatthipà la, Pangeran Ayoghara, dan sebagainya, dalam
kehidupan-kehidupan yang tidak terhitung banyaknya. Komentar
memberi nama khusus Paramattha Pà ramã, Kesempurnaan
Tertinggi kepada Kesempurnaan Melepaskan keduniawian yang
dipenuhi oleh Raja Cåëà Sutasoma.
Dalam kasus Pangeran Somanassa, Pangeran Ayoghara, Pangeran
3337
1
Hatthipà la, dan Pangeran Temiya, mereka yaitu anak-anak
muda pada saat mereka melepaskan keduniawian. Melepaskan
keduniawian yang dilakukan oleh Raja Mahà Janaka lebih sulit
sebab ia lebih tua dan telah menikah. Ia menjadi bhikkhu tanpa
sepengetahuan ratu, selir, dan para pelayan istana. Dan pada saat ia
melepaskan keduniawian, ia menemui kesulitan sebab ia dikejar
oleh ratu dan para pengikutnya yang membujuknya untuk kembali.
Mereka melakukan tindakan untuk memastikan bahwa ia tidak
akan pergi menjadi seorang bhikkhu atau meninggalkan kehidupan
duniawi.
Sedangkan delapan puluh empat ribu raja seperti Maghadeva,
mereka secara terbuka menyatakan niat mereka untuk melepaskan
keduniawian. Tanpa memedulikan permohonan keluarga mereka,
mereka tidak menyerah dan tetap pergi melepaskan keduniawian.
Tetapi mereka tidak pergi jauh. Mereka menetap di kebun mangga
mereka sendiri di dekat istana.
Berbeda dengan mereka, Raja Cåëà Sutasoma mengumumkan niatnya
untuk melepaskan keduniawian sebab ia didesak oleh semangat
spiritual yang mendalam saat melihat uban di kepalanya. Meskipun
ratu, orang tua, dan para warga berkumpul memohon agar ia
membatalkan rencananya, ia tetap teguh dan tidak memedulikan
permohonan mereka dan pergi hingga tiba di Himalaya. Oleh
sebab itu, melepaskan keduniawian yang dilakukan oleh Raja
Cåëà Sutasoma yaitu jauh lebih kuat daripada yang dilakukan
oleh Raja Maghadeva, dan lain-lain. Sehubungan dengan hal ini,
komentator menjelaskan Kesempurnaan Melepaskan keduniawian
yang dipenuhi oleh Raja Cåëà Sotasoma yaitu jenis yang tertinggi,
Paramattha Pà ramã.
(D) Kesempurnaan Kebijaksanaan (Pa¤¤Ã -Pà ramã)
Vibhaïga Abhidhammà , dalam bagian ¥Ã õa Vibhaïga, menyebutkan
tiga jenis kebijaksanaan (pa¤¤Ã ):
(a) cintà maya pa¤¤Ã ,
(b) sutamaya pa¤¤Ã , dan
3338
(c) bhà vanà maya pa¤¤Ã .
(a) Pengetahuan mengenai berbagai hal apakah rendah atau mulia,
termasuk berbagai keahlian dan profesi, dan sebagainya, yang
diperoleh melalui pemikiran dan analisis pribadi dan bukan melalui
permintaan dari orang lain atau mendengarnya dari orang lain,
disebut cintà maya pa¤¤Ã (cinta, ‘berpikir’, maya, ‘dibentuk dari’,
sehingga secara harfiah berarti, kebijaksanaan yang dibentuk dari
berpikir.)
Kebijaksanaan jenis ini tidak hanya mencakup pikiran tentang hal-
hal duniawi tetapi juga termasuk hal-hal yang berhubungan dengan
Dhamma. Oleh sebab itu, termasuk pengetahuan duniawi biasa
seperti tukang kayu, pertanian, dan lain-lain, juga pengetahuan
tentang hal-hal yang bersifat Dhamma seperti kedermawanan,
moralitas, konsentrasi, dan meditasi Vipassanà . Kemahatahuan
(Sabba¤¤uta ¥Ã õa) milik para Buddha juga dapat disebut
cintà maya pa¤¤Ã sebab Bodhisatta, Pangeran Siddhattha, berpikir
sendiri tentang praktik yang mengarah menuju Kemahatahuan
tanpa mendengarnya dari orang lain dan berhasil mencapai
Kemahatahuan.
Akan tetapi, kebijaksanaan sebagai Kesempurnaan keempat
yang dipenuhi oleh Bodhisatta harus dianggap hanya sebagai
kelompok pengetahuan dasar yang diperlukan untuk mencapai
Pengetahuan Jalan dan Buahnya dan Kemahatahuan. Di sini, kita
tidak membahas kelompok kebijaksanaan yang diperoleh dalam
kelahiran terakhir Bodhisatta yang menjadikannya seorang Buddha.
Para Bodhisatta memenuhi Kesempurnaan Kebijaksanaan sebelum
kelahiran terakhirnya hanya sampai pada bagian pertama dari
sembilan tingkat (Saïkhà rupekkhà ¥Ã õa, ‘Pengetahuan Tentang
Keseimbangan Bentukan-bentukan’) dari sepuluh tingkat Pandangan
Cerah Vipassanà . Bagian terakhir dari Saïkhà rupekkhà ¥Ã õa ini
mengarah secara langsung menuju Pengetahuan Jalan. sebab itu
para Bodhisatta tidak berusaha untuk melampaui bagian pertama
hingga kelahiran terakhirnya, sebab jika melakukannya, mereka
akan mencapai Magga-Phala dan menjadi Ariya, dan meninggal
dunia memasuki Nibbà na dalam kelahiran itu; sehingga mereka
3339
1
tidak akan menjadi Buddha. Oleh sebab itu, harus dimengerti
bahwa sebagai seorang Bodhisatta, Kesempurnaan Kebijaksanaan
dipenuhi hanya sampai pada bagian pertama, Saïkhà rupekkhÃ
¥Ã õa.
(b) Pengetahuan yang diperoleh dengan mendengarkan orang
bijaksana yang berbicara atas keinginannya sendiri atau atas
permintaan orang lain saat seseorang tidak mampu memikirkannya
sendiri disebut sutamaya pa¤¤Ã . (Suta, ‘mendengar’, maya,
‘dibentuk dari’; jadi, kebijaksanaan yang dibentuk dari mendengar.)
Seperti juga cintà maya pa¤¤Ã , jenis kebijaksanaan ini bersifat luas.
Perbedaan satu-satunya dari kedua jenis kebijaksanaan ini yaitu
bahwa yang pertama, kebijaksanaan diperoleh melalui pemikiran
atau analisis pribadi dan yang kedua melalui mendengarkan dari
orang lain.
(c) Jenis Kebijaksanaan yang diperoleh pada saat seseorang benar-
benar mengalami Jhà na atau Phala disebut bhà vanà maya pa¤¤Ã .
Abhidhammà Vibhaïga, dalam bab mengenai ¥Ã õa Vibhaïga,
menjelaskan jenis-jenis kebijaksanaan dalam kelompok satu jenis,
dua jenis, dan seterusnya hingga sepuluh jenis.
Namun demikian, seluruh kelompok kebijaksanaan ini, dapat
digolongkan dalam tiga jenis kebijaksanaan seperti yang
dijelaskan di atas. Misalnya, dalam Vibhaïga, sesudah kelompok
tiga jenis kebijaksanaan, yaitu, cintà maya pa¤¤Ã , dan seterusnya,
diuraikan, dà namaya pa¤¤Ã , sãlamaya pa¤¤Ã dan bhà vanà maya
pa¤¤Ã . Dà namaya pa¤¤Ã yaitu kebijaksanaan yang terbentuk
dari kede
.jpeg)
.jpeg)





