DASAR-DASAR UMUM
PERKAWINAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan
Nikah dalam kamus lisanul ‘Arab berakar kata -حكن
احاكن -حكني diartikan sama dengan1جوزت. Akad nikah dinamakan
حاكنلا, dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
مكنم يميلأا اوحكناو (maka nikahkanlah/ kawinkanlah anak
yatim yang kalian asuh) maka jelas bahwa ayat ini tidak
diragukan lagi bermakna جيوزت (Perkawinan).2
Kamus kontemporer Arab Indonesia menjelaskan
bahwa kata ءطو = حاكن artinya: setubuh, جاوز = حاكن artinya:
Pernikahan, kawin.3Kamus bahasa Indonesia mengartikan
nikah sebagai ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan
sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama: hidup
sebagai suami istri tanpa merupakan pelanggaran terhadap
agama. Sedangkan kata “kawin” membentuk keluarga
dengan lawan jenis; bersuami atau beristri. Diartikan juga
1 Sebagaimana firman Allah swt ةينازلاو ةكرشم وا ةيناز لاا حكني لا ينازلا
كرشم وا ناز لاا اهحكني لا ayat ini dita’wil dengan لاا ينازلا جوزتيلا
ناز لاا اهجوزتيلا ةينزلا كلاذكو ةين از (bahwa penzinah laki-laki tidak
akan menikahi/mengawini kecuali penzina perempuan begitu
pula sebaliknya penzina perempuan tidak akan dinikahkan/
dikawinkan kecuali penzina laki-laki. Meskipun ada golongan
yang berpendapat bahwa makna حاكنلا dalam ayat tersebut
diartikan sebagai ءطولا (persetubuhan), maka menurut pendapat
ini ayat ayat tersebut diatas dirtikan “ bahwa laki-laki penzina
tidak akan menyetubuhi kecuali perempuan penzina pula...”
Sedangkan makna tersebut jauh dari makna yang diinginkan
3
melakukan hubungan kelamin;bersetubuh.4
UU No. 1 tahun 1974 pasal 1 dinyatakan bahwa
“perkawinan ialah ikatan lahir batin, antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.5 Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 2 dinyatakan bahwa “perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Selanjutnya pasal 3 menjelaskan bahwa “Perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah dan rahmah”.6
Pegertian pernikahan menurut istilah fuqaha,
terdapat beberapa definisi, diantaranya adalah: para ulama
Hanafiah mendefinisikan bahwa nikah adalah
عنمي مل7رشابملادصقلاب ،ةءرما نم لجرلا عاتمتسا لح يا ،ادصق ةعتملا كلم ديفي دقع
يعرش عنام اهحاكن ن
4
Artinya:
“Sebuah akad yang memberikan hak kepemilikan
untuk bersenang-senang secara sengaja. Atau,
kehalalan hubungan seorang laki-laki bersenang-
senang dengan seorang perempuan, yang tidak
dilarang untuk dinikahi secara syariat, dengan
kesengajaan”.
Ulama golongan Syafi’iyah mendefinisikan bahwa
nikah adalah:
ىلإ اهضعب مضا و تليامت اذإ راجشلأا تاحكانت هنمو .عمجلاو مضلا :ةغل هاكنلا
8ةمجرتوا جيوزت وا حاكنا ظفلب ءطو ةحابا نمضتي دقع :اعرشو ضعب
Artinya:
“Pernikahan secara bahasa: berarti menghimpun
dan mengumpulkan. Terjadinya perkawinan antara
pohon dengan pohon itu saling condong dan
bercampur satu sama lainnya. Sedangkan menurut
syara’ adalah akad yang mengandung ketentuan
hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafads
nikah atau tazwij atau yang semakna dengan
keduanya”.
Pengertian-pengertian di atas tampaknya dibuat
hanya melihat dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum
dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang
5
wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Padahal
setiap perbuatan hukum itu mempuyai tujuan dan akibat
ataupun pengaruhnya. Hal-hal inilah yang menjadi perhatian
manusia pada umumnya dalam kehidupanya sehari-hari,
seperti terjadinya percaraian, kurang adanya keseimbangan
antara suami isteri, sehingga memerlukan penegasan arti
perkawinan, bukan saja dari segi kebolehan hubungan
seksual tetapi juga dari segi tujuan dan akibat hukumya.
Muhammad Abu Zahrah memberikan definisi yang
lebih luas yaitu:
امو قوقح نم امهيكلام دحيو امهنواعتو ةءرملاو لجرلا نيب ةرشعلا لح ديفي دقع
9تابجاو نم هيلع
Artinya:
“Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan
mengadakan hubungan keluarga (suami-isteri)
antara pria dan wanita dan mengadakan tolong
menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya
serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”.
Berdasarkan pengertian tersebut perkawinan
mengandung aspek akibat hukum, melangsungkan
perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta
betujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi
tolong menolong. Karena perkawinan termasuk pelaksanaan
agama, maka di dalamnya terkandung adanya tujuan/
maksud mengharapkan keridhaan Allah swt.
sebuah peristiwa hukum, pernikahan memiliki im-
plikasi hukum, yaitu11:
1. Dengan akad nikah, laki-laki dan perempuan disatukan
untuk hidup bersama membentuk keluarga sebagai
suami dan isteri (ةءرملاو لجرلا نيب ةرشعلا لح). Sebagai
suami istri mereka halal menyalurkan dorongan-
dorongn yang bersifat biologis yang sebelumnya
dilarang oleh agama, misalnya keinginan memenuhi
kebutuhan seksual ataupun keinginan mendapatkan
anak-keturunan. Masing-masing suami dan istri juga
akan saling mewarisi, dan sebagainya.
2. Dengan akad nikah, laki-laki dan perempuan
disatukan untuk hidup bersama saling tolong
menolong (امهنواعت), betapapun hebatnya seseorang,
ia pasti memiliki kelemahan, dan betapapun
lemahnya seseorang, pasti ada juga kekuatannya.
Suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian,
sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling
melengkapi dan tolong menolong. Konsep tolong
menolong inilah yang harus dikembangkan dalam
sebuah keluarga. Sekalipun suami telah diberikan
sejumlah tugas dan kewajiban dalam keluarga, dan
demikian juga dengan istri, namun pembagian tugas
itu tidak menutup kemungkinan masing-masing
suami atau isteri membantu meringankan tugas
pasangannya demi tercapainya tujuan bersama.
3. Dengan akad nikah, muncullah hak dan kewajiban
sebagai suami istri
7
(تابجاو نم هيلع امو قوقح نم امهيكلام دحيو), maksimalisasi
masing-masing pihak, suami dan istri, untuk
menjelankan kewajibannya sangat dibutuhkan
sekali.
Jika ketiga implikasi hukum di atas berjalan secara
normal, maka keinginan bersama untuk mewujudkan misi
utama nikah yang sering dipahami dengan membentuk
keluarga sakinah mawaddah wa rahmah (keluarga yang
tentram, penuh cinta dan kasih sayang) akan segera tercapai
sebagaimana misi utama nikah ini dijelaskan oleh Allah swt.
dalam QS. Al-Rum/30:21.
Pernikahan dalam Islam, bukan semata-mata
sebagai kontrak keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai
nilai ibadah. Al-Qur’an menggambarkan ikatan antara suami
istri adalah ikatan yang paling suci dan paling kokoh. Allah
swt. menamakan ikatan perjanjian antara suami dan istri
dengan اظيلغ اقاثيم (perjanjian yang kokoh). Hal ini disebutkan
Allah Swt dalam QS Al-Nisa/4:21
اظيلغ اقاثيم مكنم نذخأو ضعب يلا مكضعب يضفا دقو هنوذخأت فىكو
Terjemahnya:
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang
lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”
8
Mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
adalah merupakan suatu ibadah. Perempuan yang sudah
menjadi istri adalah amanah Allah yang harus dijaga dan
diperlakukan dengan baik. Dan ia diambil melalui prosesi
keagamaan dalam akad nikah. Hal ini sesuai dengan hadis
Nabi:
الله ةملكب نهجورف متللحتسا و الله ةنامأب نهومتذخأ مكنإف ءاسنلا يف الله اوقتا 13
Artinya:
“Bertakwalah kepada Allah dalam hal perempuan
sesunguhnya kamu mengambilnya sebagai amanah
dari Allah dan kamu menggaulinya dengan kalimat
dan cara-cara yang ditetapkan Allah”.
B. Dasar Hukum Perkawinan
Islam menganjurkan umatnya untuk melaksanakan
pernikahan dengan berbgai bentuk anjuran. Berikut ini
beberapa bentuk anjuran Islam tersebut diantaranya
adalah:
1. Menikah merupakan sunnah para Nabi dan ri-
salah para Rasul, sebagaimana terdapat dalam
QS. Al-Ra’d/13: 38.
ۚ ًةَّي ِرُّذوَ اجًاوَزَْأ مْهَُل اَنلَْعجَوَ كَلِبَْق نْمِ لًسُرُ اَنلْسَرَْأ دَْقَلوَ
9
Terjemahnya: “Dan Sesungguhnya kami Telah
mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan
kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan
.“keturunan
2. Menikah merupakan salah satu tanda kekuasaan
Allah swt. QS. Al-Ruum/30: 21
ًة َّدوَمَ مْكَُنيَْب لََعجَوَ اهَيَْلِإ اوُنكُسَْتلِ اجًاوَزَْأ مْكُسُِفنَْأ نْمِ مْكَُل قََلخَ نَْأ هِِتاَيآ نْمِوَ
َنورَُّكَفَتَي مٍوَْقلِ تٍاَيلَ كَلِ َٰذ يِف َّنِإ ۚ ًةمَحْرَوَ
Terjemahnya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-
Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
.“kaum yang berpikir
3. Pernikahan merupakan sunnah Nabi, yaitu mencontoh
tindak laku Nabi Muhammad saw. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik Ra.,
ia menuturkan:
نْعَ نَوُلَأسَْي مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا ِجاوَزَْأ تِوُيُب ىَلِإ طٍهْرَ ُةَثلََث ءَاجَ
نُحَْن نَيَْأوَ اوُلاَقَف اهَوُّلاَقَت مْهَُّنَأكَ اورُِبخُْأ ا َّمَلَف مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا ِةَداَبعِ
مْهُُدحََأ لَاَق رَ َّخَأَت امَوَ هِِبنَْذ نْمِ مََّدَقَت امَ ُهَل رَفِغُ دَْق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا نْمِ
رُخَآ لَاَقوَ رُطِفُْأ لَاوَ رَهَّْدلا مُوصَُأ اَنَأ رُخَآ لَاَقوَ اًدَبَأ لَيَّْللا يِّلصَُأ يِّنِإَف اَنَأ ا َّمَأ
مْهِيَْلِإ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ ءَاجََف اًدَبَأ جُ َّوزََتَأ لََف ءَاسَِّنلا لُزَِتعَْأ اَنَأ
مُوصَُأ يِّنكَِل ُهَل مْكُاَقْتَأوَ ِ َّلِ مْكُاشَخَْلَأ يِّنِإ ِ َّاللوَ امََأ اَذكَوَ اَذكَ مُْتلُْق نَيذَِّلا مُْتنَْأ لَاَقَف
14يِّنمِ سَيَْلَف يِتَّنسُ نْعَ بَغِرَ نْمََف ءَاسَِّنلا جُ َّوزََتَأوَ ُدُقرَْأوَ يِّلصَُأوَ رُطِفُْأوَ
Artinya:
“Ada tiga orang yang datang ke rumah istri-
istri Nabi Saw. untuk bertanya tentang ibadah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka
diberi kabar, mereka seakan-akan merasa tidak
berarti. Mereka mengatakan: “Apa artinya kita
dibandingkan Nabi Saw., padahal Allah telah
mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan
terkemudian?” Salah seorang dari mereka berkata:
“Aku akan shalat malam selamanya.” Orang kedua
mengatakan: “Aku akan berpuasa sepanjang masa
dan tidak akan pernah berbuka.” Orang ketiga
mengatakan: “Aku akan menjauhi wanita dan tidak
akan menikah selamanya.” Kemudian Rasulullah
Saw.datang lalu bertanya: “Apakah kalian yang
mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah,
sesungguhnya aku lebih takut kepada Allah dan lebih
bertakwa daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan
berbuka, shalat dan tidur, serta menikahi wanita.
Barangsiapa yang membenci Sunnah-ku, maka ia
bukan termasuk golonganku”. (HR. Bukhari).
4. Menikah merupakan salah satu bentuk ketaatan
muslim (ibadah) untuk menyempurnakan separuh
agamanya.
نم : لاق ملس و هيلع الله ىلص الله لوسر نأ : هنع الله يضر كلام نب سنأ نع
15يقابلارطشلا يف الله قتيلف هنيد رطش ىلع هناعأ دقف ةحلاص ةأرما الله هقزر
h
Artinya: “Barang siapa yang telah dianugrahi isteri
shalehah maka Allah swt.Telah menolongnya dalam
menyempurnakan separuh agamanya. Maka, hendaklah
ia bertaqwa kepada Allah untuk menyempurnakan
.“separUh yang lain
5. Aktivitas seksual dengan suami isteri, dinilai
sedaqah. Hal ini berdasarkan hadits yang di-
riwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzarr RA.
اهَيِف ُهَل نُوكَُيوَ ُهَتوَهْشَ اَندُحََأ يِتأَيَأ ِ َّالل لَوسُرَ اَي اوُلاَق ٌةَقدَصَ مْكُدِحََأ عِضُْب يِفوَ
يِف اهََعضَوَ اَذِإ كَلَِذكََف رٌزْوِ اهَيِف هِيَْلعَ نَاكََأ مٍارَحَ يِف اهََعضَوَ وَْل مُْتيَْأرََأ لَاَق رٌجَْأ
16ارًجَْأ ُهَل نَاكَ لِلَحَلْا
Artinya:
“…dan persetubuhan salah seorang dari kalian (dengan
isterinya) adalah shadaqah.” Mereka bertanya: “Wahai
Rasulullah, apakah salah seorang dari kami yang melam-
piaskan syahwatnya akan mendapatkan pahala?” Beli-
au bersabda: “Bagaimana pendapat kalian seandainya
dia melampiaskan syahwatnya kepada hal yang haram,
apakah dia mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika
ia melampiaskannya kepada hal yang halal, maka dia
mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
C. Hukum Melakukan Perkawinan
Hukum pernikahan berlaku sesuai dengan kondisi
seorang laki-laki yang akan menikah, ada beberapa hukum
yang berlaku pada pernikahan, yaitu:
1. Wajib.
Pernikahan diwajibkan bagi orang yang telah
mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah
dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina
seandainya dia tidak kawin.
Jika seseorang khawatir akan terjerumus, akan
tetapi belum mampu untuk memenuhi nafkah lahir
untuk isterinya jika ia menikah, maka orang tersebut
hendaknya dia menahan dirinya untuk tidak menikah,
hal ini sebagaimana penyampaian Allah swt. Dalam QS.
Al-Nuur/24: 33.
هِلِضَْف نْمِ ُ َّالل مُهَُيِنغُْي ىَّٰتحَ احًاكَِن نَودُجَِي لَ نَيذَِّلا فِفِعَْتسَْيلْوَ
Terjemahnya:
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin
hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah
memampukan mereka dengan karunia-Nya... “
Kemampuan untuk menikah ialah kesanggupan
untuk memberi nafkah, bukan kemampuan untuk
berhubungan badan. Karena itu beliau memerintahkan
siapa yang tidak mampu untuk menikah agar
berpuasa; sebab puasa dapat mengekang syahwatnya,
sebagaimana sabda Rasul saw.
Artinya:
“Hai sekalian pemuda, barangsiapa diantara kamu
telah sanggup untuk menikah, maka menikahlah,
karena menikah itu lebih menundukkan mata dan
lebih memelihara farj (kemaluan) dan barang
siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia
berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu dapat
menekan syahwat (sebagai tameng).
2. Sunah (Mustahab).
Pernikahan menjadi sunah bagi orang
yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan
untukmelangsungkan pernikahan, akan tetapi jika dia
tidak melaksanakan pernikahan tidak dikhawatirkan
akan jatuh ke perbuatan maksiat (perzinaan). Dalam
hal seperti ini, menikah baginya lebih utama dari pada
segala bentuk peribadahan. Karena praktik hidup
membujang bukanlah termasuk ajaran dalam Islam,
sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Tabrani
dari Sa’ad bin Abu Waqqas.
Artinya:
“Allah Swt tidak menganjurkan ke rahiban kepada kita,
namun menggantikannya dengan kesucian penuh
toleransi (pernikahan).
Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc.,M.Ag.
14
اوجوزت : ملس و هيلع الله ىلص الله لوسر لاق لاق هنع الله يضر ةمامأ يبا نع
17ىراصنلا ةينابهرك اونوكتلاو ةمايقلا موي مملأا مكب رثاكم ينإف
Artinya:
“Menikahlah, karena aku membanggakan kalian kepada
umat yang lain karena banyaknya jumlah kalian; dan
janganlah kalian bertindak seperti para pendeta Nasrani
(tidak menikah).
Hadis-hadis tersebut di atas diperkuat dengan
hadis yang menyatakan bahwa pernikahan merupakan
sunah Nabi, yaitu mencontoh tindak laku Nabi
Muhammad Saw dalam hadits yang diriwayatkan Al-
Bukhari dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia
menuturkan:
رُطِفُْأوَ مُوصَُأ يِّنكَِل ُهَل مْكُاَقْتَأوَ ِ َّلِ مْكُاشَخَْلَأ يِّنِإ ِ َّاللوَ امََأ اَذكَوَ اَذكَ مُْتلُْق نَيذَِّلا مُْتنَْأ…
18يِّنمِ سَيَْلَف يِتَّنسُ نْعَ بَغِرَ نْمََف ءَاسَِّنلا جُ َّوزََتَأوَ ُدُقرَْأوَ يِّلصَُأوَ
Artinya:
“… Apakah kalian yang mengatakan demikian dan
demikian? Demi Allah, sesungguhnya aku lebih takut
kepada Allah dan lebih bertakwa daripada kalian,
tetapi aku berpuasa dan berbuka, salat dan tidur,
serta menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci
Sunah-ku, maka ia bukan termasuk golonganku”.
(HR. Bukhari).
1
Berdasarkan hadis-hadis Rasul Saw di atas,
nyata bagi kita bahwa pernikahan merupakan sunnah
Rasul saw. Dan sangat dianjurkan melakukannya.
3. Makruh.
Pernikahan dikategorikan makruh bila bagi
orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan
perkawinan ia juga cukup mempunyai kemampuan
untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan
dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin.
Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang
kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri
dengan baik.
4. Mubah.
Pernikahan dikategorikan mubah bagi orang
yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya,
tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan
berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak
akan menerlantarkan istri. Perkawinan orang tersebut
hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan
untuk menjaga kehormatan agama dan membina
keluarga.
5. Haram.
Pernikahan diharamkan bagi orang yang dapat
dipastikan bahwa ia tidak akan mampu memberi
nafkah istri, baik lahir maupun batin. Nafkah lahir
yang dimaksudkan di sini adalah: membayar mahar
dan segala konsekuensi-konsekuensi dalam berumah
Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc.,M.Ag.
16
tangga (papan, sandang dan pangan). Sedangkan
nafkah batin di nataranya adalah kemampuan untuk
melakukan hubungan seksual dengan istrinya.
Termasuk juga hukumnya haram perkawinan bila
seseorang kawin dengan maksud untuk menerlantarkan
orang lain atau menyakiti istrinya.
D. Tujuan Perkawinan.
Hasbi al Shiddieqy19, mengemukakan faedah-faedah
pernikahan sebagai berikut:
1. Lahirnya anak yang akan mengekalkan keturunan
seseorang dan memelihara jenis manusia.
2. Memenuhi hajat biologis. Pernikahan memelihara
diri dari kerusakan akhlak dan keburukan yang
merusak masyarakat. Tanpa pernikahan, maka
hajat biologis disalurkan lewat cara-cara yang
tidak dibenarkan agama dan akal yang sehat
serta kesusilaan.
3. Menciptakan kesenangan dan ketenangan
kedalam diri masing-masing suami isteri.
Membangun dan mengatur rumah tangga atas
dasar rahmah dan mawaddah antara dua orang
yang telah dijadikan satu itu.
4. Menjadi motivasi untuk sungguh-sungguh
berusaha mencari rezki yang halal.
1
E. Prinsip-Prinsip Perkawinan.
Adapun prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam
antara lain:
1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama.
Perkawinan adalah sunna Nabi, berarti
melaksanakan perkawinan itu pada hakikatnya
merupakan pelaksanaan dari ajaran agama.
2. Kerelaan dan persetujuan.
3. Perkawinan untuk selamanya.
4. Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat
keturunan dan untuk ketenangan, ketentraman
dan cinta serta kasih sayang. Kesemuanya ini
dapat dicapai hanya dengan prinsip bahwa
perkawinan adalah untuk selamanya, bukan
hanya dalam waktu tertentu saja.
5. Suami sebagai penaggung jawab umum dalam
rumah tangga.
Sebagaimana firman Allah dalam surar An-Nisa
ayat 34:
امَبِوَ ضٍعَْب ىَلعَ مْهُضَعَْب ُاّلل لَ َّضَف امَبِ ءاسَِّنلا ىَلعَ نَومُا َّوَق لُاجَ ِرّلا
مْهِلِاوَمَْأ نْمِ ْاوُقَفنَأ
Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc.,M.Ag.
18
Terjemahnya:
“Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka(laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka...
F. Hikmah Perkawinan
Sayyid Sabiq menyebutkan hikmah perkawinan
adalah:
1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang
paling kuat, yang selamanya menuntut adanya
jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat
memuaskannya, maka banyaklah manusia yang
mengalami goncang dan kacau serta menerobos
jalan yang jahat.
ًةَّدوَ َّم مكَُنيَْب لََعجَوَ اهَيَْلِإ اوُنكُسَْتِّل ًاجاوَزَْأ مْكُسُِفنَأ نْ ِمّ مكَُل قََلخَ نَْأ هِِتاَيآ نْمِوَ
1٢- نَورَُّكَفَتَي مٍوَْقِّل تٍاَيلَ كَلَِذ يِف َّنِإ ًةمَحْرَوَ-
“Diantara tanda kekuasaanya ia diciptakan
bagi kamu pasangan dari dirimu sendiri agar
kamu hidup tenang bersamanya dan cinta kasih
sesama kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
merupakan tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi
kaum yang berfikir”. (Ar-Rumm : 21)
2. Kawin, jalan terbaik untuk membuat anak-anak
menjadi mulia, memperbanyak keturunan,
melestarikan hidup manusia serta memelihara
nasab yang oleh islam sangat diperhatikan sekali.
3. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling
melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-
anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan
ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-
sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan
seseorang.
4. Menyadari tanggung jawab beristri dan
menanggung anak-anak menimbulkan sikap
rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat
bakat dan pembawaan seseorang.
5. Pembagian tugas, di mana yang satu mengurusi
dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang
lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas
tanggung jawab antara suami istri dalam
menangani tugas-tugasnya.
6. Dengan perkawinan dapat membuahkan
diantaranya tali kekeluargaan, memperteguh
kelanggengan rasa cinta antar kekeluargaan
dan memperkuat hubungan kemasyarakatan
yang memang oleh Islam yang direstui, ditopang
dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling
menunjang lagi saling menyanyangi akan
merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia.
Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc.,M.Ag.
20
G. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
Masalah perkawinan dalam hukum Islam sudah
diatur sedemikian rupa, berikut ini akan dikemukakan
pendapat ualama mengenai rukun dan syarat perkawinan.
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri
atas:
1. Calon mempelai pengantin pria,
2. Calon mempelai pengantin wanita,
3. Wali dari pihak calon penganting wanita,
4. Dua orang saksi
5. dan ijab qabul.
Secara rinci, masing-masing rukun diatas akan
dijelaskan syarat-syaratnya sebagai berikut:
1. Syarat-syarat calon mempelai pengantin pria.
Syari’at Islam menentukan beberapa syarat yang
harus dipenuhi oleh calon pengantin pria berdasarkan
ijtihad para ulama, yaitu:
a. Calon suami beragama Islam,
b. Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-
laki, orangnya diketahui dan tertentu.
c. Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin
dengan calon istri.
d. Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon
istri.
21
e. Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan
perkawinan
f. Tidak sedang melakukan ihram,
g. Tidak mempunyai istri yang haram dimadu
dengan calon istri
h. Tidak sedang mempunyai istri empat.
2. Syarat-syarat calon mempelai wanita:
a. Beragama islam atau ahli kitab,
b. Terang bahwa ia wanita bukan khuntsa (banci),
c. Wanita itu tentu orangnya,
d. Halal bagi calon suami,
e. Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan
tidak masih dalam ‘iddah,
f. Tidak dipaksa/ ikhtiyar
g. danTidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
3. Syarat-syarat wali, perkawinan dilangsungkan oleh
wali pihak mempelai wanita atau wakilnya dengan
calon mempelai pria atau wakilnya, syaratnya adalah:
a. Wali hendaklah seorang laki-laki,
b. Muslim,
Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc.,M.Ag.
22
c. Balig,
d. Berakal,
e. dan adil (tidak fasik).
4. Syarat-syarat saksi, saksi yang menghadiri akad
nikah haruslah
a. Dua orang laki-laki,
b. Muslim,
c. Balig,
d. Berakal,
e. Melihat dan mendengar
f. serta mengerti (paham) akan maksud akad
nikah.
5. Syarat-syarat ijab qabul
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan qabul
dengan lisan. Inilah yang dinamakan akad nikah
(ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang
bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau
kepala yang bisa dipahami. Ijab dilakukan pihak wali
mempelai perempuan atau walinya, sedangkan ka-
bul dilakukan mempelai laki-laki atau wakilnya.
KHITBAH DALAM ISLAM
Kata “Peminangan” berasal dari kata “pinang,
meminang”. Meminang sinonimnya adalah melamar.
Peminangan dalam bahasa Arab disebut “khitbah”. Menurut
Etimologi, meminang atau melamar artinya, meminta wanita
untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain).
Menurut terminologi, peminangan ialah kegiatan
upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara
seorang pria dengan seorang wanita. Atau seorang laki-
laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi
seorang istrinya, dengan cara- cara yang umum berlaku
di tengah masyarakat.1Khitbah artinya melamar seorang
wanita untuk dijadikan isterinya dengan cara yang telah
diketahui di masyarakat.2
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendefinisikan
bahwa peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dengan
seorang wanita. Selanjutnya pasal 11 menjelaskan bahwa:
peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang
berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula
dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.
Pengertian di atas hampir serupa dengan definisi
yang dikemukakan oleh Wahbah aL-Zuhailiy, bahwa
khitbah adalah pernyataan keinginan dari seorang lelaki
untuk menikah dengan wanita tertentu, lalu pihak wanita
memberitahukan hal tersebut pada walinya. Pernyataan ini
bisa disampaikan secara langsung atau melalui keluarga lelaki
tersebut. Apabila wanita yang dikhitbah atau keluarganya
setuju, maka tunangan dinyatakan syah.4
Sayyid Sabiq mendefinisikan khitbah sebagai
suatu upaya untuk menuju perkawinan dengan cara-cara
yang umum berlaku di masyarakat. Khitbah merupakan
pendahuluan dari perkawinan dan Allah telah mensyari’atkan
kepada pasangan yang akan menikah untuk saling
mengenal.5
Berdasarkan definisi-definisi khitbah yang telah
diungkapkan di atas, dapat disimpulkan bahwa khitbah/
peminangan adalah suatu proses yang dilakukan sebelum
menuju perkawinan agar perkawinan dapat dilakukan oleh
masing-masing pihak dengan penuh kesadaran. Hal itu
memudahkan mereka untuk dapat menyesuaikan karakter
dan saling bertoleransi ketika telah berada dalam ikatan
perkawinan, sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk
keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah dapat
tercapai. Meskipun demikian, status hubungan dari khitbah/
peminangan masih sebatas tunangan, belumlah menjadi
pasangan suami isteri. Oleh karena itu, pasangan yang telah
4
bertunangan perlu mengindahkan norma-norma pergaulan
yang telah ditetapkan oleh syariat.
B. Dasar Hukum Khitbah/Peminangan
ُ َّالل مَلِعَ مْكُسُِفنَْأ يِف مُْتنَْنكَْأ وَْأ ءِاسَِّنلا ةَِبطْخِ نْمِ هِِب مُْتضْ َّرعَ امَيِف مْكُيَْلعَ حَاَنجُ لاوَ
اومُزِعَْت لاوَ اًفورُعْمَ لاوَْق اوُلوُقَت نَْأ لاِإ ا ًّرسِ َّنهُوُدعِاوَُت لا نْكَِلوَ َّنهَُنورُكُذَْتسَ مْكَُّنَأ
ُهورَُذحْاَف مْكُسُِفنَْأ يِف امَ مَُلعَْي َ َّالل َّنَأ اومَُلعْاوَ ُهَلجََأ بُاَتكِلْا غَُلبَْي ىَّتحَ ِحاكَِّنلا َةَدقْعُ
مٌيلِحَ رٌوُفغَ َ َّالل َّنَأ اومَُلعْاوَ
Terjemahnya:
“…Dan tidak ada dosa bagi kamu karena pinangan yang
kamu ungkapkan secara samar-samar (tidak secara
terang-terangan) terhadap perempuan-perempuan
itu (yakni yang masih dalam masa ‘iddah karena
suaminya meninggal dunia) atau karena keinginan
(untuk mengawini mereka) yang kamu sembunyikan
dalam hatimu. Sungguh Allah mengetahui bahwa kamu
akan menyebut-nyebut (atau mengingat) mereka.
Tetapi janganlah kamu mengadakan janji nikah dengan
mereka (meskipun) secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan perkataan baik.Dan janganlah kamu ber-
azam (berketetapan hati) untuk berakad nikah sebelum
lewat masa ‘iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa saja yang ada dalam hatimu, maka
takutlah kepada-Nya. Sungguh Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun” (QS Al-Baqarah: 235).
Maksud dari ungkapan samar-samar ialah sebagai
contoh, dengan mengatakan di hadapan perempuan
yang masih menjalani masa ‘iddah-nya itu: “saya
berkeinginan untuk kawin” atau “betapa aku ingin
31
seandainya Allah memudahkan bagiku seorang istri yang
salehah” atau “mudah-mudahan Allah mengaruniakan
kebaikan bagimu”, boleh juga dengan memberikan
suatu hadiah kepadanya6.
C. Hikmah Peminangan.
Khitbah dalam agama Islam disyariatkan sebelum
terjadinya ikatan suami istri, selain untuk meminimalisasi
kemungkinan kekecewaan dan kesalahan memilih calon
pendamping, juga diharapkan agar masing-masing
calon suami dan istri dapat saling mengenal dan saling
memahami watak dan kepribadian pasangannya. Dengan
saling mengenal dan saling memahami watak dan
kepribadian pasangan, maka usaha untuk mewujudkan
tujuan perkawinan membentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah, wa rahmah akan lebih terjamin.
D. Kriteria-kriteria Perempuan yang Hendak
dikhitbah (Memilih Calon Isteri)
Syariat Islam sangat menginginkan akan kelanggenan
pernikahan dengan berpegang teguh dengan
pilihan yang baik dan asas yang kuat, sehingga
mampu merealisasikan kejernihan, ketentraman,
kebahagiaan dan ketenangan dalam berumah tangga,
demi terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah wa
rahmah. Oleh karena itu, ketergesa-gesaan di dalam
6
menentukan pasangan hidup tanpa meneliti lebih
terdahulu, merupakan problema yang akan berakibat
kepada bencana.
Islam sangat mewanti-wanti dalam menentukan
pilhan kepada sorang perempuan yang akan dikhitbah
dan memberikan beberapa kriteria terhadap perempuan
yang akan dijadikan isteri. Disebabkan fungsi seorang
istri dalam Islam adalah tempat penenang bagi suaminya,
tempat menyemaikan benihnya, sekutu hidupnya, pengatur
rumah tangganya, ibu dari anak-anaknya, tempat tambatan
hatinya, tempat menumpahkan rahasianya dan mengadukan
nasibnya. Sehingga ada petuah yang mengatakan “Di balik
suami yang sukses ada perempuan yang hebat.” Oleh
karena itu, Islam sangat menganjurkan bagi ummatnya
agar meneliti calon pasangannya terlebih dahulu sebelum
terlanjur menjatuhkan pilihan. Dalam hal ini, Rasulullah saw.
memberikan beberapa tuntunan dalam memilih perempuan
yang akan dikhitbah/ dipinang, sebagai berikut:
1. Perempuan dikawini karena 4 perkara: hartanya,
keturunannya, kecantikan dan agamanya. Hal ini
ditunjukkan oleh hadis Rasul saw.
ُةَأرْمَلْا حُكَنُْت لَاَق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا نَْعهُنْعَ ُ َّالل يَضِرَ َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ
7كَاَدَي تَْبرَِت نِي ِّدلا تِاَذِب رَْفظْاَف اهَِنيدِلِوَ اهَلِامَجَوَ اهَِبسَحَلِوَ اهَلِامَلِ ٍعَبرَْلِأ
Artinya:
“Perempuan itu dinikahi karena empat hal: karena
harta, keturunan, kecantikan dan agamanya. Pilihlah
wanita yang taat kepada agamanya, maka kamu
akan beruntung.” (HR. Bukhari).
Berdasarkan hadis Nabi tersebut, Rasulullah Saw
membagi keinginan pernikahan dari segi tujuan pokok pada
empat bagian:
a. Memilih istri dari segi kepemilikan hartanya.
Memilih istri dari segi hartanya agar ia tertolong dari
kekayaannya dan dengan harta itu terpenuhi segala
kebutuhannya, atau agar dapat membantu dan
memecahkan kesulitan hidup yang bersifat materi.
b. Memilih istri berdasarkan nasabnya/ keturunannya.
Dengan tujuan mengambil manfaat dari nasab isteri
untuk kemuliaan serta ketinggian kedudukannya.
Hendaknya perempuan tersebut berasal dari keluarga
baik-baik, agar anaknya menjadi orang yang unggul.
c. Memilih istri berdasarkan kecantikannya.
Hendaknya perempuan tersebut cantik, untuk dapat
bersenang-senang, dan dapat lebih menyempurnakan
rasa cinta sehingga mendorong untuk menjaga diri
dan tidak melihat perempuan-perempuan lain dan
juga tidak melakukan perbuatan yang dibenci Allah.
Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc.,M.Ag.
34
d. Memilih istri berdasarkan agamanya. Perempuan
tersebut hendaknya seorang yang mempunyai agama.8
Berdasarkan hadis di atas perempuan dikawini
karena empat perkara: Karena cantiknya, keturunannya,
hartanya atau karena agamanya. Akan tetapi iman jangan
tergadaikan demi mendapatkan yang cantik, agama jangan
dijual demi mendapatkan yang kaya, harga diri jangan
direndahkan demi mendapatkan seorang puteri bangsawan.
Karenaperkawinan seperti ini hanya akan menghasilkan
kepahitan dan berakhir dengan malapetaka dan kerugian.
Nabi Saw mewanti-wanti menikahi seorang perempuan
akibat harta dan kecantikannya semata, kecuali dengan
didasari dari landasan agamanya, sebagaimana sabda Rasul
Saw.
َّنهِِنسْحُلِ ءَاسَِّنلا اوجُ َّوزََت لَا مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ لَاَقلاَق ورٍمْعَ نِبْ ِ َّالل دِبْعَ نْعَ
نْكَِلوَ َّنهَُيغِطُْت نَْأ َّنهُُلاوَمَْأ ىسََعَف َّنهِلِاوَمَْلِأ َّنهُوجُ َّوزََت لَاوَ َّنهَُيدِرُْي نَْأ َّنهُُنسْحُ ىسََعَف
9لُضَفَْأ نٍيدِ تُاَذ ءُاَدوْسَ ءُامَرْخَ ٌةمََلَأوَ نِي ِّدلا ىَلعَ َّنهُوجُ َّوزََت
Artinya:
“Janganlah kalian menikahi para perempuan karena
kecantikan mereka, boleh jadi kecantikan tersebut akan
menghancurkan mereka. Janganlah kalian menikahi
karena harta mereka, boleh jadi harta itu menjadikan
mereka berlebihan.Nikahilah mereka kareana agama.
Sungguh seorang budak perempuan hitam bodoh
namun memiliki agama lebih utama untuk dinikahi.”
(HR. Ibnu Majah dan Baihaqi).
Hal ini juga sesuai dengan firman Allah swt. Dalam
SQ. al-Baqarah/2: 221.
مْكُْتَبجَعَْأ وَْلوَ ةٍكَرِشْمُ نْمِ رٌيْخَ ٌةَنمِؤْمُ ٌةمََلَوَ ۚ َّنمِؤُْي ىَّٰتحَ تِاكَرِشْمُلْا اوحُكِنَْت لَوَ
Terjemahnya:
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musy-
rik, sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu.… mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran.
2. Perempuan dinikahi karena kesalehannya. Rasulullah
Saw menggariskan ketentuan tentang perempuan
yang saleh yaitu: cantik, patuh, dan amanat.
ُّيَأ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لِوسُرَلِ ِ َّالل لِوسُرَلِ لَيِق لَاَق َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ
اهَسِفَْن يِف ُهُفلِاخَُت لَاوَ رَمََأ اَذِإ ُهُعيطُِتوَ رَظََن اَذِإ ُه ُّرسَُت يِتَّلا لَاَق رٌيْخَ ءِاسَِّنلا
10ُهرَكَْي امَِب اهَلِامَوَ
Artinya:
“dari Abu Huraerah r.a. ia berkata Rasulullah pernah
ditanya, siapaperempuan terbaik? Beliau menjawab:
”perempuan yang dapat membuat bahagia suaminya
jika suaminya melihatnya, menaatinya jika ia
memerintah, dan tidak menyelisihinya dalam diri dan
hartanya dengan sesuatu yang ia tidak sukai.” (HR.
Al-Nassi dan Ahmad).
Berdasarkan hadis Nabi di atas perempuan yang
terbaik yaitu:
a. bila kau lihat menyenangkan, hal ini berkaitan
dengan segi fisik dan kecantikannya.
b. Bila kau perintah mematuhimu,
c. bila kau beri janji amanat,
d. bila kau pergi ia menjaga kehormatannya dan
hartamu dengan baik” ketiga hal tersebut
menunjukkan kemuliaan diri, kesucian jiwa
dan kematangan akhlak.
Hal ini juga sejalan dengan hadis Rasul saw.
ِعاَتمَ رُيْخَوَ عٌاَتمَ اَينُّْدلا لَاَق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لَوسُرَ َّنَأورٍمْعَ نِبْ ِ َّالل دِبْعَ نْعَ
11ُةحَلِا َّصلا ُةَأرْمَلْا اَينُّْدلا
Artinya:
“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan
adalah wanita saleha” (HR. Muslim dan Ibnu Majah).
3. Memilih calon istri berbadan sehat dan baik, tidak
cacat.
Hal ini dapat diketahui dengan memperhatikan
keadaan saudara-saudara perempuannya dan
bibinya, sebagai cermin perbandingan Rasulullah Saw
pernah menasihati seorang sahabat yang meminang
perempuan Anshar:
ُهَّنَأ ُهرََبخَْأَف لٌجُرَ ُهاَتَأَف مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا َدنْعِ تُنْكُ لَاَق َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ
اهَيَْلِإ تَرْظََنَأ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ ُهَل لَاَقَف رِاصَنَْلْأا نْمِ ًةَأرَمْا جَ َّوزََت
1٢اًئيْشَ رِاصَنَْلْأا نُِيعَْأ يِف َّنِإَف اهَيَْلِإ رْظُنْاَف بْهَذْاَف لَاَق لَا لَاَق
“Sudahkah engkau melihatnya? Ia menjawab, belum.
Maka beliau berkata Lihatlah dulu dia, karena pada
mata orang-orang Anshar ada sesuatu”.
4. Memilih calon istri yang subur.
Pernah seorang sahabat meminang seorang
perempuan mandul, lalu ia bertanya: wahai Rasullul-
lah, saya telah meminang seorang perempuan bang-
sawan dan cantik, tetapi mandul. Maka Rasulullah
mencegahnya:
1
13مَمَُلْأا مْكُِب رٌِثاكَمُ يِّنِإَف َدوُلوَلْا َدوُدوَلْا اوجُ َّوزََت
Artinya:
“Menikahlah kalian dengan perempuan yang penyayang
lagi subur. Agar saya nanti bisa membanggakan
jumlah kalian yang banyak itu di hadapan umat-umat
yang lain di hari kiamat nanti”.(HR. Abu Daud dan Al-
Nasaai).
5. Memilih calon istri yang tidak bau badan.
Rasulullah Saw biasa mengutus seorang
perempuan untuk memeriksa suatu aib yang tersembunyi
(pada perempuan) yang akan dinikahkan. Maka sabdanya
kepada perempuan tersebut:
اهبوقرع ىلإ يرظنا لاقف ةأرما ىلإ ميلس مأ ثعب ملسو هيلع الله ىلص هنأ سنأ ىور
14(يقهيبلاو مكاحلاو يناربطلاو دمحأ هجرخأ )اهفطاعميمشو
Artinya:
“Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah
mengutus Ummu Sulaim kepada seorang perempuan
seraya bersabda”lihatlah urat kaki di atas mulutnya
dan ciumlah bau mulutnya.” (HR. Ahmad, Tabrani,
Hakim dan Baihaqi).
1
6. Memilih calon istri yang perawan:
Tatkala Jabir bin Abdillah kawin dengan
seorang janda, Rasulullah saw bersabda kepadanya:
15كَُبعِلَُتوَ اهَُبعِلَُت ارًكِْب تَجْ َّوزََت َّلهَ…
“Tidakkah kamu menikah seorang perawan, engkau
dapat bergurau dengannya dan iapun dapat bergurau
denganmu? (HR. Bukhari dan Muslim).
7. Hendaknya perempuan tersebut bukan merupakan
karabat dekat.
Perempuan yang akan dipinang tersebut, bukan
merupakan kerabat dekat agar anaknya menjadi lebih
unggul. Hal Ini sejalan dengan hadis nabi Saw.
16ايواض قلخي دلولا نإف ةبيرقلا ةبارقلا اوحكنت لا
“Jangan nikahi keluarga dekat karena anak yang
lahir dari hubungan tersebut akan menjadi kurus
(lemah)”.
Menikah dengan kerabat dekat tidak menjamin
tidak terjadi perceraian.Jika terjadi perceraian, hal itu dapat
menyebabkan terputusnya tali silaturrahim keluarga, padahal
menyambung tali silaturrahim keluarga sangat dianjurkan.
E. Memilih Calon Suami
نَوْضَرَْت نْمَ مْكُيَْلِإ بَطَخَ اَذِإ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ لَاَقَلاَق َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ
17ضٌيرِعَ ٌداسََفوَ ضِرَْلْأا يِف ٌةَنْتِف نْكَُت اوُلَعفَْت َّلاِإ ُهوجُ ِوّزََف ُهَقُلخُوَ ُهَنيدِ
Artinya:
“Jika seorang yang kalian sukai agama dan akhlaknya
mendatangi kalian, maka nikahkanlah padanya, jika
engkautidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah
(musibah) dan kerusakan yang besar”. (HR. Tirmidzy).
Sifat-sifat yang hendaknya dimiliki oleh calon suami:
1. Taat beragama, hal ini berdasarkan QS. Al-Baqarah/2:
221
مْكَُبجَعَْأ وَْلوَ كٍرِشْمُ نْمِ رٌيْخَ نٌمِؤْمُ دٌبَْعَلوَ
…Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu...
2. Dia seorang laki-laki yang mampu memberikan ba-ah.
0
Ba-ah yaitu kemampuan untuk berjima’ dan
kemampuan memberikan pembiayaan nikah dan
nafkah hidup.Sebagaimana nasehat Rasulullah Saw
kepada Fatimah binti Qais terhadap keadaan Muawiyah
ketika mengajukan lamaran kepadanya.
18ُهَل لَامَ لَا كٌوُلعْصَُف ُةَيوِاَعمُ ا َّمَأوَ … سٍيَْق تِنِْب َةمَطِاَف نْعَ
Artinya:
“Dari Fatimah binti Qais … Adapun Mu’awiyah adalah
seorang laki-laki yang miskin, …(HR. Muslim).
3. Dia seorang laki-laki yang lemah lembut kepada
wanita, tidak ringan tangan dan tidak melecehkan.
Suami yang ideal dalam pandangan Islam ialah
yang menghormati isterinya, tidak melecehkannya,
bersabar menghadapinya dan tidak memukulnya.
Sebagaimana nasehat Rasulullah Saw kepada
Fatimah binti Qais terhadap keadaan Abu Jahm ketika
mengajukan lamaran kepadanya.
سٍيَْق تِنِْب َةمَطِاَف نْعَ… هِقِِتاعَ نْعَ ُهاصَعَ عُضََي لََف مٍهْجَ وُبَأ ا َّمَأ
Artinya:
“Dari Fatimah binti Qais … Adapun Abu Jahm adalah
seorang laki-laki yang tidak pernah meletakkan tongkat
0
dari pundaknya (suka memukul), …(HR. Muslim).
4. Tidak pelit mengucapkan kata-kata yang baik.
19ةٌقَدَصَ ُةَبِّيَّطلا ُةمَلِكَلْا مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا نْعَ َةرَيْرَهُ وُبَأ لَاَقوَ
“Kata-kata yang baik adalah shadaqah”
Hadits ini menjadi pendorong yang kuat agar
para suami lebih banyak mengucapkan kata-kata yang
dapat menyenangkan hati istrinya. Menyenangkan
hati Istri meraih dua tujuan: pahala di Akhirat dan cin-
ta Istri di dunia bahkan boleh berkata dusta terhadap
istri untuk menyenangkan dan memuaskan hatinya.
5. Mengajak istri taat kepada Allah sesuai dengan firman
Allah dalam Qs.Tahrim/66: 6
ارًاَن مْكُيلِهَْأوَ مْكُسَُفنَْأ اوُق اوُنمَآ نَيذَِّلا اهَُّيَأ اَي
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah diri
kalian dan keluarga kalian dari api neraka (Tahrim:6)”
Ada beberapa hal yang dapat membantu suami
dalam merealisir tugas ini:
a. Suami menyodorkan buku-buku Islami
b. Menyampaikan kembali nasehat yang dia dengar
diberbagai pengajian
c. Suami harus menjadi teladan dan panutan ten-
tang apa yang dia perintahkan.
6. Memandang istri dengan mesra.
“Jika seorang suami memandang istrinya dan istri
memandangnya, maka Allah memandang keduanya
dengan pandangan Rahmat. Jika dia memegang
telapak tangan isterinya, maka dosa keduanya
berjatuhan dari sela-sela jari mereka berdua.”
7. Memprioritaskan pemberian kepada isteri dari pada
yang lainnya.
“Dinar yang engkau nafkahkan dijalan Allah, untuk
memerdekakan budak wanita, yang engkau berikan
kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan
kepada keluarga, yang paling besar pahalanya
ialah yang engkau nafkah kepada keluargamu (HR.
Muslim).”
8. Menghormati kerja isteri dirumah dan membantunya.
Dalam Islam, seorang suami diharuskan
untuk senantiasa membantu isterinya dalam bekerja
dan mengurus rumah.
يِف عَُنصَْي مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ُّيِبَّنلا نَاكَ امََةشَِئاعَ تُلَْأسَ لَاَق دِوَسَْلْأا نْعَ
٢0ِةلَ َّصلا ىَلِإ مَاَق ُةلَ َّصلا تْرَضَحَ اَذِإَف هِلِهَْأ ةَِنهْمِ يِف نَاكَ تَْلاَق هِلِهَْأ
“Rasulullah saw. senantiasamembantu pekerjaan
keluarganya dan apabila dating waktu shalat , maka
beliau pergi ke masjid untuk menunaikan shalat
berjamaah.” (HR. Bukhari).
9. Berhias untuk istri
• Ibnu Abbas: “sesungguhnya aku benar-benar
berhias bagi istriku sebagaimana aku suka jika dia
berhias bagi diriku.
• Kisah seorang perempuan yang mendatangi Umar
ra. untuk bercerai dengan suaminya.
Demikianlah tuntunan Rasul saw dalam
mencari calon istri dan calon suami sebelum
seseorang melangsungkan khitbah/ peminangan.
F. Syarat-syarat Peminangan.
Syarat-syarat meminang ada dua macam, yaitu:
1. Syarat Mustahsinah
Syarat mustahsinah adalah syarat yang merupakan
anjuran pada laki-laki yang hendak meminang agar
meneliti wanita yang akan dipinangnya sebelum me-
langsungkan peminangan. Syarat mustahsinah tidak
wajib untuk dipenuhi, hanya bersifat anjuran dan baik
untuk dilaksanakan. Sehingga tanpa adanya syarat ini,
hukum peminangan tetap sah.
Syarat-syarat mustahsinah tersebut adalah:
a. Wanita yang dipinang hendaknya sekufu atau
sejajar dengan laki-laki yang meminang. Misalnya
sama tingkat keilmuannya, status sosial, dan
kekayaan.
b. Meminang wanita yang memiliki sifat kasih
sayang dan peranak.
c. Meminang wanita yang jauh hubungan
kekerabatannya dengan lelaki yang meminang.
Dalam hal ini sayyidina ‘Umar bin Khattab
mengatakan bahwa perkawinan antara seorang
lelaki dan wanita yang dekat hubungan
darahnya akan melemahkan jasmani dan rohani
keturunannya.
d. Mengetahui keadaan jasmani, akhlak, dan
keadaan-keadaan lainnya yang dimiliki oleh
wanita yang akan dipinang.
2. Syarat Lazimah
Syarat lazimah ialah syarat yang wajib
dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Sah
tidaknya peminangan tergantung pada adanya
syarat-syarat lazimah. Syarat-syarat tersebut adalah:
a. Tidak dalam pinangan orang lain.
Perempuan tersebut tidak terikat
dengan khitbah dari laki-laki lain, yang sudah
diajukan dan diterima baik oleh si perempuan
dan keluarganya. Sebab mengajukan pinangan
terhadap perempuan yang sebelumnya telah
terikat dengan pinangan laki-laki lain adalah
haram21. Hal ini sejalan dengan hadits nabi saw:
َّن ِلُوُقَي رَِبنْمِلْا ىَلعَ رٍمِاعَ نَبْ َةَبقْعُ عَمِسَ ُهَّنَأ َةسَامَشِ نِبْ نِمَحْ َّرلا دِبْعَ نْعَ
نِمِؤْمُلْلِ ُّلحَِي لََف نِمِؤْمُلْا وخَُأ نُمِؤْمُلْا لَاَق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لَوسُرَ
هاور)رََذَي ىَّتحَ هِيخَِأ ةَِبطْخِ ىَلعَ بَطُخَْي لَاوَ هِيخَِأ ِعيَْب ىَلعَ عَاَتبَْي نَْأ
٢٢(ملسم
Artinya:
“Dari ‘Abdurrahman bin Syimasah, ia mendengar
‘Uqbah bin ‘Aamir mengatakan di Minbar bahwa Ra-
sulullah saw. bersabda: “Seorang mukmin adalah
saudara bagi mukmin lainnya, maka tidak halal bag-
inya untuk membeli barang yang dibeli saudaranya,
dan jangan meminang pinangan saudaranya hingga
ia meninggalkannya”.
هِيخَِأ ِعيَْب ىَلعَ لُجُ َّرلا عِْبَي لَا لَاَق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا نْعَرَمَعُ نِبْا نْعَ
٢3ُهَل نََذْأَي نَْأ َّلاِإ هِيخَِأ ةَِبطْخِ ىَلعَ بْطُخَْي لَاوَ
2
Artinya:
“Janganlah salah seorang di antara kalian
menjual barang yang telah dijual kepada
saudaranya.Dan janganlah salah seorang di antara
kalian mengkhitbah perempuan yang dikhitbah
oleh saudaranya, kecuali dia mengizinkannya.
Berdasarkan kedua hadis tersebut, sangat
jelas keharaman bagi orang lain untuk melakukan
khitbah pada seorang perempuan, bilamana khitbah
pertama telah disetujui.Karena hal tersebut dapat
menyakiti pengkhitbah pertama.Akibatnya bisa
menimbulkan permusuhan dan memunculkan rasa
dengki dalam hati. Kecuali jika salah satu dari kedua
belah pihak yang melakukan khitbah membatalkan
atau memberi izin kepada orang lain untuk
mengajukan khitbah, maka hal tersebut dibolehkan.
Hal ini juga dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dalam Pasal 12 bahwa:
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang
sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria
tersebut belum putus atau belum ada penolakan
dari pihak wanita.
(4) Putus pinangan pihak pria, karena adanya
pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan
atau secara diam-diam pria yang meminang telah
menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.0
Jika pinangan laki-laki pertama sudah
diterima, namun wanita tersebut menerima pinangan
laki-laki kedua kemudian menikah dengannya, maka
hukumnya berdosa, tetapi pernikahannya sah,
sebab yang dilarang adalah meminangnya, sedang
meminang itu bukan merupakan syarat sahnya nikah.
Karena itu pernikahan tidak boleh difasakh walaupun
meminangnya merupakan tindakan pelanggaran.
Jika Khitbah/ peminangan pertama belum
selesai disebabkan karena masih dirundingkan
dengan kerabat, atau perempuan dalam keadaan
ragu-ragu, maka dalam kondisi seperti ini menurut
jumhur ulama tidak diharamkan untuk melakukan
khitbah kedua bagi laki-laki lain yang datang
kemudian. Pendapat ini didasarkan atas hadis
Fatimah binti Qais ra:
لَاَقَف يِناَبطَخَ مٍهْجَ اَبَأوَ نَاَيفْسُ يِبَأ نَبْ َةَيوِاَعمُ َّنَأ… سٍيَْق تِنِْب َةمَطِاَف نْعَ
هِقِِتاعَ نْعَ ُهاصَعَ عُضََي لََف مٍهْجَ وُبَأ ا َّمَأ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ
لَاَق َّمُث ُهُتهْرِكََف دٍيْزَ نَبْ َةمَاسَُأ يحِكِنْا ُهَل لَامَ لَا كٌوُلعْصَُف ُةَيوِاَعمُ ا َّمَأوَ
25تُطَْبَتغْاوَ ارًيْخَ هِيِف ُ َّالل لََعجََف ُهُتحْكََنَف َةمَاسَُأ يحِكِنْا
Artinya:
“Fatimah datang kepada Nabi Saw., kemudian
ia menceritakan kepada beliau bahwa Abu Jhan
bin Hidzifah dan Mu’awiyah bin Abi Sofyan telah
meminangnya. Maka Nabi Saw.bersabda: Abu
Jhan adalah orang yang tidak pernah mengangkat
tongkatnya dari orang-orang perempuan (suka
memukul). Adapun Mu’awiyah adalah orang miskin,
tetapi nikahlah kamu dengan Usamah”. (HR. Muslim).
Hadis tersebut di atas menjelaskan bahwa
Fatimah binti Qais setelah diceraikan oleh suaminya
Abu Amr bin Hafs bin Mughirah dan setelah masa
iddahnya selesai, pernah dikhitbah oleh tiga orang
dalam waktu yang bersamaan, mereka adalah:
Muawiyah, Abu Jahm bin Hudzafah dan Usamah
bin Zaid. Hal ini menunjukkan bolehnya melakukan
khitbah lebih dari satu orang, jika si perempuan
belum menerima tawaran khitbah tersebut.
Pendapat yang lain mazhab Hanafiah
mengemukakan bahwa makruh hukumnya dilakukan
khitbah kedua, karena keumuman pengertian
hadis-hadis di atas terhadap larangan mengkhitbah
perempuan yang sedang dikhitbah orang lain.26
b. Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang
melarang dilangsungkannya pernikahan.
Penghalang-penghalang syar’i adalah
perempuan-perempuan yang haram untuk dinikahi.
Seperti perempuan-perempuan yang senasab (saudara
perempuan, bibi, tante, ponakan) dan perempuan-
perempuan yang sesusuan.
Begitu juga halnya dengan pengharaman
secara temporal, seperti: saudara perempuan isteri,
mengumpulkan antara ponakan dan bibi.27
c. Perempuan tidak dalam masa iddah.
Perempuan yang masih berada dalam masa
iddah termasuk dalam kategori perempuan yang
haram dikhitbah bersifat secara temporal.Karena
masih ada ikatan dengan mantan suaminya, dan
suaminya itu masih berhak merujknya kembali
sewaktu-waktu. Jika perempuan yang sedang iddah
karena talak ba’in maka ia haram dipinang secara
terang-terangan karena mantan suaminya masih
tetap mempunyai hak terhadap dirinya, untuk
menikahinya dengan akad baru. Perempuan yang
sedang iddah karena kematian suaminya, maka
ia boleh dipinang secara sindiran selama masa
iddahnya, karena hubungan suami istri di sini telah
terputus sehingga hak suami terhadap istrinya hilang
sama sekali28.
G. Batas-batas Melihat Pinangan
Seorang lelaki yang akan berumah tangga,
sebaiknya melihat perempuan yang akan dipinangnya,
begitupun dengan sebaliknya perempuan melihat laki-
laki yang akan meminangnya. Hal ini bertujuan untuk
kebaikan dalam kehidupan berumah tangga kesejahteraan
dan kesenangannya, sehingga ia dapat menentukan
apakah peminangan itu diteruskan atau dibatalkan.
Syariat membolehkan berkenalan dengan perempuan yang
dikhitbah dengan dua cara:
Pertama; mengirim seorang perempuan yang
telah dipercaya oleh laki-laki pengkhitbah untuk
melihat perempuan yang hendak dikhitbah dan
selanjutnya memberitahukan sifat-sifat perempuan
tersebut kepadanya, sebagaimana hadis Rasul saw.
لاقف ةأرما ىلإ ميلس مأ ثعب ملسو هيلع الله ىلص هنأ سنأ ىور
مكاحلاو يناربطلاو دمحأ هجرخأ ) اهفطاعم يمشو اهبوقرع ىلإ يرظنا
29(يقهيبلاو
Artinya:
“Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah
mengutus Ummu Sulaim kepada seorang perempuan
seraya bersabda”lihatlah urat kaki di atas mulutnya
dan ciumlah bau mulutnya.” (HR. Ahmad, Tabrani,
Hakim dan Baihaqi).
Melihat urat kaki di atas tumit bertujuan untuk meng-
etahui baik dan tidaknya kondisi kaki. Perempuan juga boleh
melakukan hal yang sama dengan mengirimkan seorang le-
laki. Perempuan tersebut boleh melihat lelaki yang hendak
mengkhitbahnya, karena ia uga merasa kagum dengan apa
yang silaki-laki kagumi.
Kedua; lelaki yang hendak mengkhitbah melihat
secara lansung perempuan yang akan dikhitbah, untuk
mengetahuikecantikan dan kelembutannya. Hal itu
dilakukan dengan melihat wajah, kedua talapak tangan dan
perawakannya. Karena wajah menunjukkan akan kecantikan,
kedua talapak tangan menunjukkan kelembutan kulit,
sedangkan perawakan menunjukkantinggi dan
pendeknya tubuh, hal ini sesuai dengan hadis Rasul saw.
نِْإَف َةَأرْمَلْا مْكُُدحََأ بَطَخَ اَذِإ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ لَاَقَلاَق ِ َّالل دِبْعَ نِبْ رِِباجَ نْعَ
اهََل ُأَّبخََتَأ تُنْكَُف ًةَيرِاجَ تُبْطَخََف لَاَقلَْعفَْيلَْف اهَحِاكَِن ىَلِإ ُهوعُدَْي امَ ىَلِإ رَظُنَْي نَْأ عَاطََتسْا
30اهَُتجْ َّوزََتَف اهَجِ ُّوزََتوَ اهَحِاكَِن ىَلِإ يِناعََد امَ اهَنْمِ تُيَْأرَ ىَّتحَ
Artinya: “ …Jika salah seorang di antara kalian hendak
mengkhitbah perempuan, jika ia dapat melihat apa yang
menarik dari perempuan tersebut hingga membuatnya
ingin menikahinya maka hendaknya ia melakukannya. Jabir
berkata: lantas aku mengkhitbah seorang perempuan,
sebelumnya aku bersembunyi darinya hingga aku melihat
apa yang menarik darinya untuk aku nikahi, lantas aku
menikahinya.” (HR: Abu Daud dan Ahmad)
Melihat perempuan yang akan dipinang dalam
agama Islam diperbolehkan selama batas-batas
tertentu,berdasarkan sabda Nabi Saw:
اهَيَْلِإ رْظُنْا مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ُّيِبَّنلا لَاَقَف ًةَأرَمْا بَطَخَ ُهَّنَأَةَبعْشُ نِبْ ِةرَيغِمُلْا نْعَ
31امَكَُنيَْب مََدؤُْي نَْأ ىرَحَْأ ُهَّنِإَف
Artinya:
“Dari Mughirah bin Syu’bah,ia pernah meminang
seorang perempuan,lalu Rasulullah Saw.bertanya
kepadanya: Sudahkah kau melihat dia? Ia menjawab:
Belum. Sabda Nabi: Lihatlah dia lebih dahulu agar
nantinya kamu bisa hidup bersama lebih langgeng”.
(H.R. Tirmizi).
Berdasarkan hadis-hadis Rasulullah saw. di atas,
menunjukkan bahwa Rasulullah Saw memerintahkan kepada
seseorang laki-laki yang akan meminang untuk dapat melihat
perempuan yang akan dipinangnya. Akan tetapi, terdapat
Silang pendapat di kalangan ulama mengenai batas/ukuran
yang dibolehkan untuk dilihat. Hal ini disebabkan karena
dalam persoalan ini terdapat suruhan untuk melihat wanita
secara mutlak,terdapat pula larangan secara mutlak,dan ada
pula suruhan yang terbatas yakni pada muka dan telapak
tangan berdasarkan Q.S An-Nur/24:30-31.
امِب رٌيبخَ َالله َّنِإ مْهَُل ىكزَْأ كَلِذ مْهُجَورُُف اوظَُفحَْي وَ مْهِرِاصبَْأ نْمِ او ُّضُغَي نَينمِؤْمُلْلِ لُْق
نَوُعَنصَْي
ام َّلاِإ َّنهَُتَنيز نَيدبُْي لاوَ َّنهُجَورُُف نَظَْفحَْي وَ َّنهِرِاصبَْأ نْمِ نَضْضُغَْي تِانمِؤْمُلْلِ لُْق وَ
اهنْمِ رَهَظَ
Terjemahnya:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat”.
“dan janganlah mereka(kaum wanita) menampakkan
perhiasannya,kecuali yang (bisa)nampak dari padanya”.
Mayoritas fuqaha seperti Imam Malik, As-Syafi’i
dan Ahmad dalam Satu pendapatnya mengatakan bahwa
anggota tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah
wajah dan kedua telapak tangan. Wajah tempat menghimpun
segala kecantikan dan mengungkap banyak nilai kejiwaan,
kesehatan, dan akhlak. Sedangkan kedua telapak tangan
dijadikan indikator kesuburan badan, gemuk, dan kurusnya.
Adapun dalil mengenai hal ini terdapat dalam Q.s An-Nur
24: 31. “dan janganlah menampakkan perhiasan (aurat),
kecuali apa yang bisa terlihat darinya”.32
Namum, Imam Abu Hanifah membolehkan untuk
melihat kedua talapak kaki selain wajah dan kedua telapak
tangan perempuan yang hendak dikhitbah. Sedangkan para
ulama Hambali membolehkan melihat anggota badan yang
tampak tatkala perempuan beraktivitas. Anggota badan
tersebut ada enam yaitu: wajah, leher, tangan, talapak kaki
dan betis. Pendapat ini didasari oleh kemutlakan hadis Rasul
saw. “lihatlah perempuan terebut” dan perbuatan Umar dan
Jabir.33 Imam al-Auza’I berkata, “Boleh melihat anggota
badan tempat tumbuhnya daging.” Sedangkan menurut
Dawud al-Dzahiri berkata, “boleh melihat seluruh anggota
badan, karena kemutlakan hadis.”
H. Hukum Berkhalwat dengan Pinangan.
Khitbah/ peminangan pada dasarnya bukan merupakan
suatu pernikahan, akan tetapi khitbah hanyalah sekedar janji
untuk menikah. Oleh karenanya, hukum pernikahan belum
berlaku sedikitpun dengan khitbah tersebut. Berkhalwat
(menyendiri) dengan perempuan yang dipinang hukumnya
haram, karena ia bukan muhrimnya. Perempuan yang telah
dipinang statusnya masih ajnabiyah(bukan mahram) bagi
lelaki yang meminangnya selama belum dilangsungkan akad
nikah. Berduaan dengan perempuan ajnabiyah hukumnya
Haram, kecuali jika dibarengi oleh mahramnya, seperti ayah,
saudara, pamannya atau beberapa orang di sekitarnya.hal
ini sejalan dengan hadis yang berbunyi:
مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ لَاَقلاَق هِيِبَأ نْعَ َةَعيِبرَ نَبْا يِنعَْي رٍمِاعَ نِبْ ِ َّالل دِبْعَ نْعَ
34مٍرَحْمَ َّلاِإ نُاطَيَّْشلا امَهَُثلِاَث َّنِإَف ُهَل ُّلحَِت لَا ٍةَأرَمْاِب لٌجُرَ َّنوَُلخَْي لَا…
Artinya:
“Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang
perempuan yang tidaka halal baginya.Karena
0
sesungguhnya yang ke tiga adalah syetan.Kecuali
dibarengi oleh mahramnya”. (HR. Ahmad)
Kalaupun dirasa perlu, mereka bertemu dan
berbincang-bincang dalam waktu-waktu tertentu, demi
mempererat hubungan dan agar lebih saling mengenal
karakter dan kecenderungan masing-masing, maka
yang demikian itu hanya dapat dibenarkan apabila ada
anggota keluarga yang berstatus mahram ikut hadir, atau
pertemuan itu di suatu ruangan terbuka yang setiap saat
dapat dipantau oleh para anggota keluarga35. Hal demikian,
lebih terjaga dari pelanggaran-pelanggaran agama.
Lalu bagaimana dengan foto pre wedding yang
merebak di masyarakat muslim sekarang ini?Foto-foto
tersebut digunakan untuk mempercantik atau menghiasi
souvenir pernikahan mereka atau kartu undangan, dan
sebagai penghias ruangan pernikahan.
Pada dasarnya pembuatan foto pre-wedding
dibolehkan, asalkan dalam proses pelaksanaannya tidak
bertentangan dengan agama dan tidak mengandung unsur
perbuatan mungkar. Sebenarnya bukan pada foto prewed-
nya yang menjadi persoalan, akan tetapi pada pose kedua
insan, yang statusnya di mata agama masih belum resmi
menjadi suami istri. Sehingga, dua insan berlainan jenis
tetap harus menjaga diri.
Photo prewedding sebelum terjadinya akad nikah,
sangat berpotensi terjadinya pelanggaran terhadap
larangan-larangan yang semestinya harus dihindari bagi
seseorang dengan yang bukan mahramnya. Oleh karena itu,
Jika seseorang menggunakan foto prewedding lebih baik
melangsungkan akad terlebih dahulu, agar saat foto lebih
leluasa untuk berdua-duaan dan bersentuhan.
Adapun proses pembuatan foto prewedding
yang terdapat hal-hal yang mungkar, seperti: membuka
aurat, percampuran antara pria dan wanita yang belum
mahramnya, melihat aurat lawan jenis, dan persentuhan
antara keduanya, berdua-duaan, melakukan pose
berangkulandan lain sebagainya yang melanggar aturan
agama. Foto seperti ini tidak dibolehkan karena status
pasangan tersebut belum sah.Sebagaimana hadis di atas.
I. Konsekwensi Pembatalan Khitbah (Pinangan)
Khitbah hanyalah langkah pertama menuju
perkawinan, membatalkan khitbah/pinangan tidak
menimbulkan pengaruh apapun selagi belum terjadi akad.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 13 dijelaskan bahwa:
(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para
pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan
dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan
tuntutan agama dengan kebiasaan setempat sehingga
tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.36
Terkadang dalam hubungan peminangan disertai
dengan pemberian hadiah-hadiah sebagai lambang akan
berlanjutnya hubungan antara kedua calon suami istri sampai
ke pelaminan. Akan tetapi terkadang di tengah perjalanan,
kerena sesuatu hal peminangan tersebut dibatalkan. Jika
seandainya terjadi pembatalan pinangan, bagaimana
konsekwensi pemberian yang telah diserahkan oleh pihak
laki-laki kepada pihak wanita yang telah dipinangnya? Ada
beberapa pendapat fuqaha mengenai mengembalikan
hadiah-hadiah khitbah37:
1. Abu Hanifah berpendapat bahwa hadiah yang diberikan
dalam peminangan hukumnya sama dengan hibah.
Peminang dapat menarik kembali kecuali barang tersebut
sudah rusak atau hilang.
2. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa pihak yang
memutuskan tidak boleh meminta kembali pemberiannya,
baik barangnya masih ada maupun sudah tidak ada.
Pihak yang berhak meminta barangnya adalah pihak yang
tidak menggagalkan pinangan. Dia berhak menerima
barangnya jika masih ada, atau menerima harganya jika
barang pemberiannya sudah tidak ada.
3. Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa silelaki boleh
meminta kembali hadiah yang telah ia berikan; karena
pemberiannya itu hanya menikahi perempuan tersebut.
Jika hadiah tersebut masih ada ia boleh memintanya
kembali.namun, jika hadiah tersebut telah rusak maka
ia boleh meminta gantinya.
4. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa jika pemberian
berupa hadiah kepada wanita tersebut. Jika pembatalan
khitbah dari pihak wanita, maka hadiah atau nilainya jika
hilang wajib dikembalikan. Karena bukan merupakan
hal yang adil ketika si laki-laki menderita karena karena
pinangannya digagalkan dia pun harus menanggung
kerugian harta. Jika pembatalan khitbah dari laki-laki,
maka ia tidak memiliki hak untuk meminta kembali
hadiah yang telah diberikannya. Karena tidak adil jika si
wanita menderita pedihnya gagal tunangan dan sakitnya
dipinta kembali hadiah.38
Pendapat terakhir ini lebih mendekati keadilan, karena
tidak selayaknya bagi wanita yang tidak menggagalkan
mendapat dua beban, yaitu beban ditinggalkan dan beban
untuk mengembalikan hadiah, dan tidak selayaknya pula
bagi lelaki yang tidak meninggalkan mendapat dua kerugian,
yaitu ditinggalkan seorang wanita dan memberikan harta
tanpa imbalan. Oleh karena itu, jika tidak ada syarat dan
tradisi yang berbeda, maka pendapat yang terakhir ini dapat
diamalkan.
A. PENGERTIAN KAFAAH(EQUALITY)
Kafa’ah kufu’ (equality), menurut bahasa artinya
“setaraf, seimbang, atau keserasian/ kesesuaian, serupa
sederajat atau sebanding”. Maksud dari kafaah dalam
pernikahan adalah bahwa suami harus sekufu bagi istrinya,
artinya dia memiliki kedudukan yang sama dan sepadan
dengan istrinya dalam hal tingkatan sosial, moral dan
ekonomi.1Arti kafa’ah (kesederajatan) bagi orang-orang
yang menganggapnya syarat dalam pernikahan, adalah
hendaknya seorang laki-laki (calon suami) setara derajatnya
dengan wanita yang akan menjadi istrinya dalam beberapa
hal.2Atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama
dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan
sederajat dalam akhlak serta kekayaan.
Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor yang
dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri, dan
lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan
atau kegoncangan rumah tangga. Semakin sama kedudukan
laki-laki dengan kedudukan perempuan, maka keberhasilan
hidup suami isteri semakin terjamin dan semakin terpelihara
dari kegagalan.
B. DASAR HUKUM KAFAAH (EQUALITY)
Hadis yang dijadikan sandaran adanya kafa’ah dalam
Islam ialah HR. Abu Hurairoh:
1
ُةَأرْمَلْا حُكَنُْت لَاَق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا نَْعهُنْعَ ُ َّالل يَضِرَ َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ
3كَاَدَي تَْبرَِت نِي ِّدلا تِاَذِب رَْفظْاَف اهَِنيدِلِوَ اهَلِامَجَوَ اهَِبسَحَلِوَ اهَلِامَلِ ٍعَبرَْلِأ
Artinya:
“Perempuan itu dinikahi karena empat hal: karena
harta, keturunan, kecantikan dan agamanya. Pilihlah
wanita yang taat kepada agamanya, maka kamu akan
beruntung.” (HR. Bukhari).
(QS. al-Hujurat: 13)
َّنِإ اوُفرَاَعَتلِ لَِئاَبَقوَ اًبوُعشُ مْكُاَنلَْعجَوَ ىَثنُْأوَ رٍكََذ نْمِ مْكُاَنقَْلخَ اَّنِإ سُاَّنلا اهَُّيَأ اَي
ْمكُاَقْتَأ ِ َّالل َدنْعِ مْكُمَرَكَْأ
Terjemahnya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”.
C. UKURAN KAFAAH (EQUALITY)
Para ulama menetapkan kriteria-kriteria untuk
menetapkan kufu’ tidaknya seseorang. Dalam menetapkan
kriteria ini para ulama berbeda pendapat. Menurut mazhab
Maliki, sifat kafaah ada dua, yaitu agama dan kondisi,
maksudnya selamat dari aib bukan kondisi dalam arti
kehormatan dan nasab.
Menurut mazhab Hanafi ada 6 sifat kafa’ah: yaitu
agama, Islam, kemerdekaan, nasab, harta dan profesi.
Menurut mazhab Syafi’I ada enam sifat kafa’ah yaitu:
agama, kesucian, kemerdekaan, nasab, terbebas dari aib
dan profesi. Sedangkan menurut mazhab Hambali sifat
kafaah ada lima yaitu: agama, profesi, nasab, harta dan
profesi.4
Berdasarkan penjelasan di atas, keempat mazhab
sepakat atas kafaah dalam agama. Mazhab yang selain Maliki
sepakatatas kafaah dalam kemerdekaan, nasab dan profesi.
Mazhab Maliki dan Syafi’I sepakat mengenai sifat bebas dari
aib yang dapat menyebabkan timbulnya hak untuk memilih.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa terjadi silang pendapat dikalangan para fuqahah
mengenai sifat-sifat kesetaraan (kafaah). Masing-masing
ulama mempunyai batasan yang berbeda mengenai
masalah ini.Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan
pandangan dalam menilai sejauh mana segi-segi kafa’ah
itu mempunyai kontribusi dalam melangengkan kehidupan
rumah tangga. Dengan demikian, jika suatu segi dipandang
mampu menjalankan peran dan fungsinya dalam
melestarikan kehidupan rumah tangga, maka bukan tidak
mungkin segi tersebut dimasukkan dalam sifatkafa’ah.
4
Sifat-sifat kesetaraan (kafaah) dari penjelasan kriteria
kafa’ah di atas dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Segi Agama atau ketakwaan.
Agama/ ketakwaan yang dimaksud di sini adalah
kebenaran dan kelurusan terhadap hukum-hukum agama,
istiqomah dan mengamalkan apa yang diwajibkan agama.
Semua ulama mengakui agama sebagai salah satu unsur
kafa’ah yang paling esensial. Penempatan agama sebagai
unsur kafa’ah tidak diperselisihan dikalangan ulama. Laki-
laki yang bermaksiat dan fasik tidak sebanding dengan
wanita yang salihah yang merupakan anak orang salih dan
keluarganya memiliki jiwa agamis dan akhlak yang terpuji.
Adaikan ada seorang wanita salihah dari keluarga
yang kuat agamanya menikah dengan pria yang fasik, maka
wali wanita tersebut mempunyai hak untuk menolak atau
melarang bahkan menuntut faskh, karena keberagaman
merupakan suatu unsur yang harus dibanggakan melebihi
unsur kedudukan, harta benda, nasab dan semua segi
kehidaupan lainnya.Dasar penetapan segi agama ini adalah
.QS. As-Sajadah/32: 18
` نَووَُتسَْي لَ ۚ اًقسِاَف نَاكَ نْمَكَ اًنمِؤْمُ نَاكَ نْمََفَأ
Terjemahnya:
“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-
orang yang fasik?mereka tidak sama”.
Hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu Huraerah:
ٍعَبرَْلِأ ُةَأرْمَلْا حُكَنُْت لَاَق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا نَْعهُنْعَ ُ َّالل يَضِرَ َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ
5كَاَدَي تَْبرَِت نِي ِّدلا تِاَذِب رَْفظْاَف اهَِنيدِلِوَ اهَلِامَجَوَ اهَِبسَحَلِوَ اهَلِامَلِ
Artinya:
“Perempuan itu dinikahi karena empat hal: karena
harta, keturunan, kecantikan dan agamanya. Pilihlah
wanita yang taat kepada agamanya, maka kamu
akan beruntung.” (HR. Bukhari).
2. Segi Kemerdekaan.
Kriteria tentang kemerdakaan ini sangat erat kaitannya
dengan masalah perbudakan. Perbudakan diartikan dengan
kurangnya kebebasan. Budak adalah orang yang berada
dibawah kepemilikan orang lain. Ia tidak mempunyai hak
atas dirinya sendiri. Adapun maksud kemerdekaan sebagai
kriteria kafa’ah adalah bahwa seorang budak laki-laki tidak
kufu’ dengan perempuan yang merdeka. Demikian juga
seorang budak laki-laki tidak kufu’ dengan perempuan yang
merdeka sejak lahir.
Kemerdekaan juga dihubungkan dengan keadaan
orang tuanya, sehingga seorang anak yang hanya bapaknya
yang merdeka, tidak kufu’ dengan orang yang kedua orang
tuanya merdeka. Begitu pula seorang lelaki yang neneknya
pernah menjadi budak, tidak sederajat dengan perempuan
yang neneknya tidak pernah menjadi budak, sebab
5
perempuan merdeka jika dikawinkan denga laki-laki budak
dipandang tercela. Sama halnya jika dikawinkan denga laki-
laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.
3. Segi Nasab.
Nasab adalah hubungan seseorang manusia
denganasal-usulnya dari bapak dan kakek-kakek. Nasab
yang dimaksud di sini adalah seseorang yang diketahui siapa
bapaknya. Jumhur fuqaha (Hanafi, Syafi’I dan Hanbali dan
sebagian mazhab Syiah Zaidiah menganggap keberadaan
nasab dalam kafaah.6
Dalam unsur nasab ini terdapat dua golongan yaitu
pertama golongan Ajam, kedua golongan Arab. Adapun
golongan arab terbagi menjadi dua suku yaitu suku Quraisy
dan selain Quraisy.Dengan ditetapkannya nasab sebagai
kriteria kafa’ah, maka orang Ajam dianggap tidak sekufu’
dengan orang Arab baik dari suku Quraisy maupun suku
selain Quraisy. Orang Arab yang tidak berasal dari suku
Quraisy dipandang tidak kufu’ dengan orang Arab yang
berasal dari suku Quraisy. Selain itu, untuk orang Arab
yang berasal dari keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthalib
hanya dapat sekufu’ dengan seseorang yang berasal dari
keturunan yang sama, tidak yang lainnya.Hal berdasarkan
kepada sabda Nabi Saw.
نْمِ ىَفطَصْاوَ َةَناَنكِ نْمِ اشًيْرَُق ىَفطَصْاوَ لَيعِمَسِْإ دَِلوَ نْمِ َةَناَنكِ ىَفط�






