Pernikahan muslim 1

 


DASAR-DASAR UMUM 

PERKAWINAN

A.  Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan

Nikah dalam kamus lisanul ‘Arab berakar kata -حكن 

  احاكن -حكني diartikan sama dengan1جوزت. Akad nikah dinamakan 

حاكنلا, dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

 مكنم  يميلأا  اوحكناو  (maka nikahkanlah/ kawinkanlah anak 

yatim yang kalian asuh) maka jelas bahwa ayat ini tidak 

diragukan lagi bermakna جيوزت (Perkawinan).2

Kamus kontemporer Arab Indonesia menjelaskan 

bahwa  kata ءطو = حاكن  artinya: setubuh, جاوز = حاكن artinya: 

Pernikahan, kawin.3Kamus bahasa Indonesia mengartikan 

nikah sebagai ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan 

sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama: hidup 

sebagai suami istri tanpa merupakan pelanggaran terhadap 

agama. Sedangkan kata “kawin” membentuk keluarga 

dengan lawan jenis; bersuami atau beristri. Diartikan juga 

1 Sebagaimana firman Allah swt ةينازلاو ةكرشم وا ةيناز لاا حكني لا ينازلا 

كرشم  وا  ناز  لاا  اهحكني  لا ayat ini dita’wil dengan لاا  ينازلا  جوزتيلا 

ناز  لاا  اهجوزتيلا  ةينزلا  كلاذكو  ةين  از (bahwa penzinah laki-laki tidak 

akan menikahi/mengawini kecuali penzina perempuan begitu 

pula sebaliknya penzina perempuan tidak akan dinikahkan/

dikawinkan kecuali penzina laki-laki. Meskipun ada golongan 

yang berpendapat bahwa makna حاكنلا dalam ayat tersebut 

diartikan sebagai  ءطولا (persetubuhan), maka menurut pendapat 

ini ayat ayat tersebut diatas dirtikan “ bahwa laki-laki penzina 

tidak akan menyetubuhi kecuali perempuan penzina pula...” 

Sedangkan makna tersebut jauh dari makna yang diinginkan 



3

melakukan hubungan kelamin;bersetubuh.4

UU No. 1 tahun 1974 pasal 1 dinyatakan bahwa 

“perkawinan ialah ikatan lahir batin, antara seorang pria 

dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan 

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan 

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.5 Kompilasi 

Hukum Islam (KHI) pasal 2 dinyatakan bahwa “perkawinan 

menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang 

sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati 

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 

Selanjutnya pasal 3 menjelaskan bahwa “Perkawinan 

bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga 

yang sakinah, mawaddah dan rahmah”.6

Pegertian pernikahan menurut istilah fuqaha, 

terdapat beberapa definisi, diantaranya adalah: para ulama 

Hanafiah mendefinisikan bahwa nikah adalah

عنمي مل7رشابملادصقلاب ،ةءرما نم لجرلا عاتمتسا لح يا ،ادصق ةعتملا كلم ديفي دقع 

يعرش عنام اهحاكن ن

4

Artinya:

“Sebuah akad yang memberikan hak kepemilikan 

untuk bersenang-senang secara sengaja. Atau, 

kehalalan hubungan seorang laki-laki bersenang-

senang dengan seorang perempuan, yang tidak 

dilarang untuk dinikahi secara syariat, dengan 

kesengajaan”.

Ulama golongan Syafi’iyah mendefinisikan bahwa 

nikah adalah:

ىلإ اهضعب  مضا و تليامت اذإ راجشلأا تاحكانت هنمو .عمجلاو مضلا :ةغل هاكنلا 

8ةمجرتوا جيوزت وا حاكنا ظفلب ءطو ةحابا نمضتي دقع :اعرشو ضعب

Artinya:

“Pernikahan secara bahasa: berarti menghimpun 

dan mengumpulkan. Terjadinya perkawinan antara 

pohon dengan pohon itu saling condong dan 

bercampur satu sama lainnya. Sedangkan menurut 

syara’ adalah akad yang mengandung ketentuan 

hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafads 

nikah atau tazwij atau yang semakna dengan 

keduanya”.

Pengertian-pengertian di atas tampaknya dibuat 

hanya melihat dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum 

dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang



5

wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Padahal 

setiap perbuatan hukum itu mempuyai  tujuan dan akibat 

ataupun pengaruhnya. Hal-hal inilah yang menjadi perhatian 

manusia pada umumnya dalam kehidupanya sehari-hari, 

seperti terjadinya percaraian, kurang adanya keseimbangan 

antara suami isteri, sehingga memerlukan penegasan arti 

perkawinan, bukan saja dari segi kebolehan hubungan 

seksual tetapi juga dari segi tujuan dan akibat hukumya.

Muhammad Abu Zahrah memberikan definisi yang 

lebih luas yaitu:

امو قوقح نم امهيكلام دحيو امهنواعتو ةءرملاو لجرلا نيب ةرشعلا لح ديفي دقع 

9تابجاو نم هيلع

Artinya:

“Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan 

mengadakan hubungan keluarga (suami-isteri) 

antara pria dan wanita dan mengadakan tolong 

menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya 

serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”.

Berdasarkan pengertian tersebut perkawinan 

mengandung aspek akibat hukum, melangsungkan 

perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta 

betujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi 

tolong menolong. Karena perkawinan termasuk pelaksanaan 

agama, maka di dalamnya terkandung adanya tujuan/

maksud mengharapkan keridhaan Allah swt.


 sebuah peristiwa hukum, pernikahan memiliki im-

plikasi hukum, yaitu11: 

1. Dengan akad nikah, laki-laki dan perempuan disatukan 

untuk hidup bersama membentuk keluarga sebagai 

suami dan isteri (ةءرملاو  لجرلا  نيب  ةرشعلا  لح). Sebagai 

suami istri mereka halal menyalurkan dorongan-

dorongn yang bersifat biologis yang sebelumnya 

dilarang oleh agama, misalnya keinginan memenuhi 

kebutuhan seksual ataupun keinginan mendapatkan 

anak-keturunan. Masing-masing suami dan istri juga 

akan saling mewarisi, dan sebagainya.

2. Dengan akad nikah, laki-laki dan perempuan 

disatukan untuk hidup bersama saling tolong 

menolong (امهنواعت), betapapun hebatnya seseorang, 

ia pasti memiliki kelemahan, dan betapapun 

lemahnya seseorang, pasti ada juga kekuatannya. 

Suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian, 

sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling 

melengkapi dan tolong menolong. Konsep tolong 

menolong inilah yang harus dikembangkan dalam 

sebuah keluarga. Sekalipun suami telah diberikan 

sejumlah tugas dan kewajiban dalam keluarga, dan 

demikian juga dengan istri, namun pembagian tugas 

itu tidak menutup kemungkinan masing-masing 

suami atau isteri membantu meringankan tugas 

pasangannya demi tercapainya tujuan bersama.

3. Dengan akad nikah, muncullah hak dan kewajiban 

sebagai suami istri



7

(تابجاو  نم  هيلع  امو  قوقح  نم  امهيكلام  دحيو), maksimalisasi 

masing-masing pihak, suami dan istri, untuk 

menjelankan kewajibannya sangat dibutuhkan 

sekali.

Jika ketiga implikasi hukum di atas berjalan secara 

normal, maka keinginan bersama untuk mewujudkan misi 

utama nikah yang sering dipahami dengan membentuk 

keluarga sakinah mawaddah wa rahmah (keluarga yang 

tentram, penuh cinta dan kasih sayang) akan segera tercapai 

sebagaimana misi utama nikah ini dijelaskan oleh Allah swt. 

dalam QS. Al-Rum/30:21.

Pernikahan dalam Islam, bukan semata-mata 

sebagai kontrak keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai 

nilai ibadah. Al-Qur’an  menggambarkan ikatan antara suami 

istri adalah ikatan yang paling suci dan paling kokoh. Allah 

swt. menamakan ikatan perjanjian antara suami dan istri 

dengan اظيلغ اقاثيم (perjanjian yang kokoh). Hal ini disebutkan 

Allah Swt dalam QS Al-Nisa/4:21

اظيلغ اقاثيم مكنم نذخأو ضعب يلا مكضعب يضفا دقو هنوذخأت فىكو

Terjemahnya:

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal 

sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang 

lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah 

mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”

8

Mentaati perintah Allah dan melaksanakannya 

adalah merupakan suatu  ibadah. Perempuan yang sudah 

menjadi istri adalah amanah Allah yang harus dijaga dan 

diperlakukan dengan baik. Dan ia diambil melalui prosesi 

keagamaan dalam akad nikah. Hal ini sesuai dengan hadis 

Nabi:

الله ةملكب نهجورف متللحتسا و الله ةنامأب نهومتذخأ مكنإف ءاسنلا يف الله اوقتا 13

Artinya:

“Bertakwalah kepada Allah dalam hal perempuan 

sesunguhnya kamu mengambilnya sebagai amanah 

dari Allah dan kamu menggaulinya dengan kalimat 

dan cara-cara yang ditetapkan Allah”.

B.  Dasar Hukum Perkawinan

 Islam menganjurkan umatnya untuk melaksanakan 

pernikahan dengan berbgai bentuk anjuran. Berikut ini 

beberapa bentuk anjuran Islam tersebut diantaranya 

adalah: 

1. Menikah merupakan sunnah para Nabi dan ri-

salah para Rasul, sebagaimana terdapat dalam 

QS. Al-Ra’d/13: 38.

ۚ ًةَّي ِرُّذوَ اجًاوَزَْأ مْهَُل اَنلَْعجَوَ كَلِبَْق نْمِ لًسُرُ اَنلْسَرَْأ دَْقَلوَ



9

 Terjemahnya: “Dan Sesungguhnya kami Telah

 mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan

 kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan

.“keturunan

2. Menikah merupakan salah satu tanda kekuasaan 

Allah swt. QS. Al-Ruum/30: 21

ًة َّدوَمَ مْكَُنيَْب لََعجَوَ اهَيَْلِإ اوُنكُسَْتلِ اجًاوَزَْأ مْكُسُِفنَْأ نْمِ مْكَُل قََلخَ نَْأ هِِتاَيآ نْمِوَ 

َنورَُّكَفَتَي مٍوَْقلِ تٍاَيلَ كَلِ َٰذ يِف َّنِإ ۚ ًةمَحْرَوَ

Terjemahnya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-

 Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari

 jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa

 tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu

 rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang

 demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi

.“kaum yang berpikir

3. Pernikahan merupakan sunnah Nabi, yaitu mencontoh 

tindak laku Nabi Muhammad saw.  Sebagaimana yang 

diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik Ra., 

ia menuturkan:

 نْعَ نَوُلَأسَْي مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا ِجاوَزَْأ تِوُيُب ىَلِإ طٍهْرَ ُةَثلََث ءَاجَ

 نُحَْن نَيَْأوَ اوُلاَقَف اهَوُّلاَقَت مْهَُّنَأكَ اورُِبخُْأ ا َّمَلَف مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا ِةَداَبعِ

 مْهُُدحََأ لَاَق رَ َّخَأَت امَوَ هِِبنَْذ نْمِ مََّدَقَت امَ ُهَل رَفِغُ دَْق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا نْمِ

 رُخَآ لَاَقوَ رُطِفُْأ لَاوَ رَهَّْدلا مُوصَُأ اَنَأ رُخَآ لَاَقوَ اًدَبَأ لَيَّْللا يِّلصَُأ يِّنِإَف اَنَأ ا َّمَأ

 مْهِيَْلِإ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ ءَاجََف اًدَبَأ جُ َّوزََتَأ لََف ءَاسَِّنلا لُزَِتعَْأ اَنَأ

 مُوصَُأ يِّنكَِل ُهَل مْكُاَقْتَأوَ ِ َّلِ مْكُاشَخَْلَأ يِّنِإ ِ َّاللوَ امََأ اَذكَوَ اَذكَ مُْتلُْق نَيذَِّلا مُْتنَْأ لَاَقَف

14يِّنمِ سَيَْلَف يِتَّنسُ نْعَ بَغِرَ نْمََف ءَاسَِّنلا جُ َّوزََتَأوَ ُدُقرَْأوَ يِّلصَُأوَ رُطِفُْأوَ


Artinya: 

“Ada tiga orang yang datang ke rumah istri-

istri Nabi Saw. untuk bertanya tentang ibadah 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka 

diberi kabar, mereka seakan-akan merasa tidak 

berarti. Mereka mengatakan: “Apa artinya kita 

dibandingkan Nabi Saw., padahal Allah telah 

mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan 

terkemudian?” Salah seorang dari mereka berkata: 

“Aku akan shalat malam selamanya.” Orang kedua 

mengatakan: “Aku akan berpuasa sepanjang masa 

dan tidak akan pernah berbuka.” Orang ketiga 

mengatakan: “Aku akan menjauhi wanita dan tidak 

akan menikah selamanya.” Kemudian Rasulullah 

Saw.datang lalu bertanya: “Apakah kalian yang 

mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, 

sesungguhnya aku lebih takut kepada Allah dan lebih 

bertakwa daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan 

berbuka, shalat dan tidur, serta menikahi wanita. 

Barangsiapa yang membenci Sunnah-ku, maka ia 

bukan termasuk golonganku”. (HR. Bukhari).

4. Menikah merupakan salah satu bentuk ketaatan 

muslim (ibadah) untuk menyempurnakan separuh 

agamanya. 

 نم : لاق ملس و هيلع الله ىلص الله لوسر نأ : هنع الله يضر كلام نب سنأ نع

15يقابلارطشلا يف الله قتيلف هنيد رطش ىلع هناعأ دقف ةحلاص ةأرما الله هقزر

h

 Artinya: “Barang siapa yang telah dianugrahi isteri

 shalehah maka Allah swt.Telah menolongnya dalam

 menyempurnakan separuh agamanya. Maka, hendaklah

 ia bertaqwa kepada Allah untuk menyempurnakan

.“separUh yang lain

5. Aktivitas seksual dengan suami isteri, dinilai 

sedaqah. Hal ini berdasarkan hadits yang di-

riwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzarr RA. 

اهَيِف ُهَل نُوكَُيوَ ُهَتوَهْشَ اَندُحََأ يِتأَيَأ ِ َّالل لَوسُرَ اَي اوُلاَق ٌةَقدَصَ مْكُدِحََأ عِضُْب يِفوَ 

يِف اهََعضَوَ اَذِإ كَلَِذكََف رٌزْوِ اهَيِف هِيَْلعَ نَاكََأ مٍارَحَ يِف اهََعضَوَ وَْل مُْتيَْأرََأ لَاَق رٌجَْأ 

16ارًجَْأ ُهَل نَاكَ لِلَحَلْا

Artinya:

“…dan persetubuhan salah seorang dari kalian (dengan 

isterinya) adalah shadaqah.” Mereka bertanya: “Wahai 

Rasulullah, apakah salah seorang dari kami yang melam-

piaskan syahwatnya akan mendapatkan pahala?” Beli-

au bersabda: “Bagaimana pendapat kalian seandainya 

dia melampiaskan syahwatnya kepada hal yang haram, 

apakah dia mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika 

ia melampiaskannya kepada hal yang halal, maka dia 

mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)


C.  Hukum Melakukan Perkawinan

Hukum pernikahan berlaku sesuai dengan kondisi 

seorang laki-laki yang akan menikah, ada beberapa hukum 

yang berlaku pada pernikahan, yaitu:

1. Wajib.

Pernikahan diwajibkan bagi orang yang telah 

mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah 

dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina 

seandainya dia tidak kawin. 

Jika seseorang khawatir akan terjerumus, akan 

tetapi belum mampu untuk memenuhi nafkah lahir 

untuk isterinya jika ia menikah, maka orang tersebut 

hendaknya dia menahan dirinya untuk tidak menikah, 

hal ini sebagaimana penyampaian Allah swt. Dalam QS. 

Al-Nuur/24: 33.

هِلِضَْف نْمِ ُ َّالل مُهَُيِنغُْي ىَّٰتحَ احًاكَِن نَودُجَِي لَ نَيذَِّلا فِفِعَْتسَْيلْوَ

Terjemahnya:

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin 

hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah 

memampukan mereka dengan karunia-Nya... “

Kemampuan untuk menikah ialah kesanggupan 

untuk memberi nafkah, bukan kemampuan untuk 

berhubungan badan. Karena itu beliau memerintahkan 

siapa yang tidak mampu untuk menikah agar 

berpuasa; sebab puasa dapat mengekang syahwatnya, 

sebagaimana sabda Rasul saw.



 

    Artinya:

“Hai sekalian pemuda, barangsiapa diantara kamu 

telah sanggup untuk menikah, maka menikahlah, 

karena menikah itu lebih menundukkan mata dan 

lebih memelihara farj (kemaluan) dan barang 

siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia 

berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu dapat 

menekan syahwat (sebagai tameng).

2. Sunah (Mustahab).

Pernikahan menjadi sunah bagi orang 

yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan 

untukmelangsungkan pernikahan, akan tetapi jika dia 

tidak melaksanakan pernikahan tidak dikhawatirkan 

akan jatuh ke perbuatan maksiat (perzinaan). Dalam 

hal seperti ini, menikah baginya lebih utama dari pada 

segala bentuk peribadahan. Karena praktik hidup 

membujang bukanlah termasuk ajaran dalam Islam, 

sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Tabrani 

dari Sa’ad bin Abu Waqqas.

       

Artinya: 

“Allah Swt tidak menganjurkan ke rahiban kepada kita, 

namun menggantikannya dengan kesucian penuh 

toleransi (pernikahan).

Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc.,M.Ag.

14

اوجوزت : ملس و هيلع الله ىلص الله لوسر لاق لاق هنع الله يضر ةمامأ يبا نع 

17ىراصنلا ةينابهرك اونوكتلاو ةمايقلا موي مملأا مكب رثاكم ينإف

Artinya: 

“Menikahlah, karena aku membanggakan kalian kepada 

umat yang lain karena banyaknya jumlah kalian; dan 

janganlah kalian bertindak seperti para pendeta Nasrani 

(tidak menikah). 

Hadis-hadis tersebut di atas diperkuat dengan 

hadis yang menyatakan bahwa pernikahan merupakan 

sunah Nabi, yaitu mencontoh tindak laku Nabi 

Muhammad Saw dalam hadits yang diriwayatkan Al-

Bukhari dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia 

menuturkan:

 رُطِفُْأوَ مُوصَُأ يِّنكَِل ُهَل مْكُاَقْتَأوَ ِ َّلِ مْكُاشَخَْلَأ يِّنِإ ِ َّاللوَ امََأ اَذكَوَ اَذكَ مُْتلُْق نَيذَِّلا مُْتنَْأ…

18يِّنمِ سَيَْلَف يِتَّنسُ نْعَ بَغِرَ نْمََف ءَاسَِّنلا جُ َّوزََتَأوَ ُدُقرَْأوَ يِّلصَُأوَ

Artinya: 

“… Apakah kalian yang mengatakan demikian dan 

demikian? Demi Allah, sesungguhnya aku lebih takut 

kepada Allah dan lebih bertakwa daripada kalian, 

tetapi aku berpuasa dan berbuka, salat dan tidur, 

serta menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci 

Sunah-ku, maka ia bukan termasuk golonganku”. 

(HR. Bukhari).

1

Berdasarkan hadis-hadis Rasul Saw di atas, 

nyata bagi kita bahwa pernikahan merupakan sunnah 

Rasul saw. Dan sangat dianjurkan melakukannya.

3. Makruh.

Pernikahan dikategorikan makruh bila  bagi 

orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan 

perkawinan ia juga cukup mempunyai kemampuan 

untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan 

dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. 

Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang 

kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri 

dengan baik.

4. Mubah.

Pernikahan dikategorikan mubah bagi orang 

yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, 

tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan 

berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak 

akan menerlantarkan istri. Perkawinan orang tersebut 

hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan 

untuk menjaga kehormatan agama dan membina 

keluarga.

5. Haram.

Pernikahan diharamkan bagi orang yang dapat 

dipastikan bahwa ia tidak akan mampu memberi 

nafkah istri, baik lahir maupun batin. Nafkah lahir 

yang dimaksudkan di sini adalah: membayar mahar 

dan segala konsekuensi-konsekuensi dalam berumah 

Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc.,M.Ag.

16

tangga (papan, sandang dan pangan). Sedangkan 

nafkah batin di nataranya adalah kemampuan untuk 

melakukan hubungan seksual dengan istrinya. 

Termasuk juga hukumnya haram perkawinan bila 

seseorang kawin dengan maksud untuk menerlantarkan 

orang lain atau menyakiti istrinya.

D. Tujuan Perkawinan.

Hasbi al Shiddieqy19, mengemukakan faedah-faedah 

pernikahan sebagai berikut:

1. Lahirnya anak yang akan mengekalkan keturunan 

seseorang dan memelihara jenis manusia. 

2. Memenuhi hajat biologis. Pernikahan memelihara 

diri dari kerusakan akhlak dan keburukan yang 

merusak masyarakat. Tanpa pernikahan, maka 

hajat biologis disalurkan lewat cara-cara yang 

tidak dibenarkan agama dan akal yang sehat 

serta kesusilaan. 

3. Menciptakan kesenangan dan ketenangan 

kedalam diri masing-masing suami isteri. 

Membangun dan mengatur rumah tangga atas 

dasar rahmah dan mawaddah antara dua orang 

yang telah dijadikan satu itu. 

4. Menjadi motivasi untuk sungguh-sungguh 

berusaha mencari rezki yang halal.

1

E. Prinsip-Prinsip Perkawinan.

Adapun prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam 

antara lain:

1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama.

Perkawinan adalah sunna Nabi, berarti 

melaksanakan perkawinan itu pada hakikatnya 

merupakan pelaksanaan dari ajaran agama.

2. Kerelaan dan persetujuan.

3. Perkawinan untuk selamanya.

4. Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat 

keturunan dan untuk ketenangan, ketentraman 

dan cinta serta kasih sayang. Kesemuanya ini 

dapat dicapai hanya dengan prinsip bahwa 

perkawinan adalah untuk selamanya, bukan 

hanya dalam waktu tertentu saja.

5. Suami sebagai penaggung jawab umum dalam 

rumah tangga.

Sebagaimana firman Allah dalam surar An-Nisa 

ayat 34:

امَبِوَ ضٍعَْب ىَلعَ مْهُضَعَْب ُاّلل لَ َّضَف امَبِ ءاسَِّنلا ىَلعَ نَومُا َّوَق لُاجَ ِرّلا 

مْهِلِاوَمَْأ نْمِ ْاوُقَفنَأ 

Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc.,M.Ag.

18

Terjemahnya:

“Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum wanita, 

oleh karena Allah telah melebihkan sebagian 

mereka(laki-laki) atas sebagian yang lain 

(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah 

menafkahkan sebagian dari harta mereka...

F. Hikmah Perkawinan

Sayyid Sabiq menyebutkan hikmah perkawinan 

adalah:

1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang 

paling kuat, yang selamanya menuntut adanya 

jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat 

memuaskannya, maka banyaklah manusia yang 

mengalami goncang dan kacau serta menerobos 

jalan yang jahat.

ًةَّدوَ َّم  مكَُنيَْب  لََعجَوَ  اهَيَْلِإ  اوُنكُسَْتِّل  ًاجاوَزَْأ  مْكُسُِفنَأ  نْ ِمّ  مكَُل  قََلخَ  نَْأ  هِِتاَيآ  نْمِوَ 

1٢- نَورَُّكَفَتَي مٍوَْقِّل تٍاَيلَ كَلَِذ يِف َّنِإ ًةمَحْرَوَ-

“Diantara tanda kekuasaanya  ia diciptakan 

bagi kamu pasangan dari   dirimu sendiri agar 

kamu hidup tenang bersamanya dan cinta kasih 

sesama kamu. Sesungguhnya yang demikian itu 

merupakan tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi 

kaum yang berfikir”. (Ar-Rumm : 21)



2. Kawin, jalan terbaik untuk membuat anak-anak 

menjadi mulia, memperbanyak keturunan, 

melestarikan hidup manusia serta memelihara 

nasab yang oleh islam sangat diperhatikan sekali.

3. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling 

melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-

anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan 

ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-

sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan 

seseorang.

4. Menyadari tanggung jawab beristri dan 

menanggung anak-anak menimbulkan sikap 

rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat 

bakat dan pembawaan seseorang.

5. Pembagian tugas, di mana yang satu mengurusi 

dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang 

lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas 

tanggung jawab antara suami istri dalam 

menangani tugas-tugasnya.

6. Dengan perkawinan dapat membuahkan 

diantaranya tali kekeluargaan, memperteguh 

kelanggengan rasa cinta antar kekeluargaan 

dan memperkuat hubungan kemasyarakatan 

yang memang oleh Islam yang direstui, ditopang 

dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling 

menunjang lagi saling menyanyangi akan 

merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia.

Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc.,M.Ag.

20

G.  Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

Masalah perkawinan dalam hukum Islam sudah 

diatur sedemikian rupa, berikut ini akan dikemukakan 

pendapat ualama mengenai rukun dan syarat perkawinan. 

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri 

atas: 

1. Calon mempelai pengantin pria, 

2. Calon mempelai pengantin wanita, 

3. Wali dari pihak calon penganting wanita, 

4. Dua orang saksi 

5. dan ijab qabul. 

Secara rinci, masing-masing rukun diatas akan 

dijelaskan syarat-syaratnya sebagai berikut:

1. Syarat-syarat calon mempelai pengantin pria.

Syari’at Islam menentukan beberapa syarat yang 

harus dipenuhi oleh calon pengantin pria berdasarkan 

ijtihad para ulama, yaitu:

a. Calon suami beragama Islam, 

b. Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-

laki, orangnya diketahui dan tertentu. 

c. Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin 

dengan calon istri. 

d. Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon 

istri.



21

e. Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan 

perkawinan

f. Tidak sedang melakukan ihram, 

g. Tidak mempunyai istri yang haram dimadu 

dengan calon istri 

h. Tidak sedang mempunyai istri empat.

2. Syarat-syarat calon mempelai wanita: 

a. Beragama islam atau ahli kitab, 

b. Terang bahwa ia wanita bukan khuntsa (banci), 

c. Wanita itu tentu orangnya, 

d. Halal bagi calon suami, 

e. Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan 

tidak masih dalam ‘iddah, 

f. Tidak dipaksa/ ikhtiyar 

g. danTidak dalam keadaan ihram haji atau umrah. 

3. Syarat-syarat wali, perkawinan dilangsungkan oleh 

wali pihak mempelai wanita atau wakilnya dengan 

calon mempelai pria atau wakilnya, syaratnya adalah: 

a. Wali hendaklah seorang laki-laki, 

b. Muslim, 

Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc.,M.Ag.

22

c. Balig, 

d. Berakal, 

e. dan adil (tidak fasik).

4. Syarat-syarat saksi, saksi yang menghadiri akad 

nikah haruslah

a. Dua orang laki-laki, 

b. Muslim, 

c. Balig, 

d. Berakal, 

e. Melihat dan mendengar 

f. serta mengerti (paham) akan maksud akad 

nikah.

5. Syarat-syarat ijab qabul

Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan qabul 

dengan lisan. Inilah yang dinamakan akad nikah 

(ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang 

bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau 

kepala yang bisa dipahami. Ijab dilakukan pihak wali 

mempelai perempuan atau walinya, sedangkan ka-

bul dilakukan mempelai laki-laki atau wakilnya.



KHITBAH DALAM ISLAM


Kata “Peminangan” berasal dari kata “pinang, 

meminang”. Meminang sinonimnya adalah melamar. 

Peminangan dalam bahasa Arab disebut “khitbah”. Menurut 

Etimologi, meminang atau melamar artinya, meminta wanita 

untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). 

Menurut terminologi, peminangan ialah kegiatan 

upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara 

seorang pria dengan seorang wanita. Atau seorang laki-

laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi 

seorang istrinya, dengan cara- cara yang umum berlaku 

di tengah masyarakat.1Khitbah artinya melamar seorang 

wanita untuk dijadikan isterinya dengan cara yang telah 

diketahui di masyarakat.2

Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendefinisikan 

bahwa peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya 

hubungan perjodohan antara seorang pria dengan 

seorang wanita. Selanjutnya pasal 11 menjelaskan bahwa: 

peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang 

berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula 

dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.


Pengertian di atas hampir serupa dengan definisi 

yang dikemukakan oleh Wahbah aL-Zuhailiy, bahwa 

khitbah adalah pernyataan keinginan dari seorang lelaki 

untuk menikah dengan wanita tertentu, lalu pihak wanita 

memberitahukan hal tersebut pada walinya. Pernyataan ini 

bisa disampaikan secara langsung atau melalui keluarga lelaki 

tersebut. Apabila wanita yang dikhitbah atau keluarganya 

setuju, maka tunangan dinyatakan syah.4

Sayyid Sabiq mendefinisikan khitbah sebagai 

suatu upaya untuk menuju perkawinan dengan cara-cara 

yang umum berlaku di masyarakat. Khitbah merupakan 

pendahuluan dari perkawinan dan Allah telah mensyari’atkan 

kepada pasangan yang akan menikah untuk saling 

mengenal.5

Berdasarkan definisi-definisi khitbah yang telah 

diungkapkan di atas, dapat disimpulkan bahwa khitbah/ 

peminangan adalah suatu proses yang dilakukan sebelum 

menuju perkawinan agar perkawinan dapat dilakukan oleh 

masing-masing pihak dengan penuh kesadaran. Hal itu 

memudahkan mereka untuk dapat menyesuaikan karakter 

dan saling bertoleransi ketika telah berada dalam ikatan 

perkawinan, sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk 

keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah dapat 

tercapai. Meskipun demikian, status hubungan dari  khitbah/ 

peminangan masih sebatas tunangan, belumlah menjadi 

pasangan suami isteri. Oleh karena itu, pasangan yang telah 

4

bertunangan perlu mengindahkan norma-norma pergaulan 

yang telah ditetapkan oleh syariat.

B.  Dasar Hukum Khitbah/Peminangan

ُ َّالل مَلِعَ مْكُسُِفنَْأ يِف مُْتنَْنكَْأ وَْأ ءِاسَِّنلا ةَِبطْخِ نْمِ هِِب مُْتضْ َّرعَ امَيِف مْكُيَْلعَ حَاَنجُ لاوَ 

اومُزِعَْت لاوَ اًفورُعْمَ لاوَْق اوُلوُقَت نَْأ لاِإ ا ًّرسِ َّنهُوُدعِاوَُت لا نْكَِلوَ َّنهَُنورُكُذَْتسَ مْكَُّنَأ 

ُهورَُذحْاَف مْكُسُِفنَْأ يِف امَ مَُلعَْي َ َّالل َّنَأ اومَُلعْاوَ ُهَلجََأ بُاَتكِلْا غَُلبَْي ىَّتحَ ِحاكَِّنلا َةَدقْعُ 

مٌيلِحَ رٌوُفغَ َ َّالل َّنَأ اومَُلعْاوَ

Terjemahnya:

“…Dan tidak ada dosa bagi kamu karena pinangan yang 

kamu ungkapkan secara samar-samar (tidak secara 

terang-terangan) terhadap perempuan-perempuan 

itu (yakni yang masih dalam masa ‘iddah karena 

suaminya meninggal dunia) atau karena keinginan 

(untuk mengawini mereka) yang kamu sembunyikan 

dalam hatimu. Sungguh Allah mengetahui bahwa kamu 

akan menyebut-nyebut (atau mengingat) mereka. 

Tetapi janganlah kamu mengadakan janji nikah dengan 

mereka (meskipun) secara rahasia, kecuali sekedar 

mengucapkan perkataan baik.Dan janganlah kamu ber-

azam (berketetapan hati) untuk berakad nikah sebelum 

lewat masa ‘iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah 

mengetahui apa saja yang ada dalam hatimu, maka 

takutlah kepada-Nya. Sungguh Allah Maha Pengampun 

lagi Maha Penyantun” (QS Al-Baqarah: 235).

Maksud dari ungkapan samar-samar ialah sebagai 

contoh, dengan mengatakan di hadapan perempuan 

yang masih menjalani masa ‘iddah-nya itu: “saya 

berkeinginan untuk kawin” atau “betapa aku ingin 



31

seandainya Allah memudahkan bagiku seorang istri yang 

salehah” atau “mudah-mudahan Allah mengaruniakan 

kebaikan bagimu”, boleh juga dengan memberikan 

suatu hadiah kepadanya6.

C. Hikmah Peminangan.

 Khitbah dalam agama Islam disyariatkan sebelum 

terjadinya ikatan suami istri, selain     untuk meminimalisasi 

kemungkinan kekecewaan dan kesalahan memilih calon 

pendamping, juga diharapkan agar masing-masing 

calon suami dan istri dapat saling mengenal dan saling 

memahami watak dan kepribadian pasangannya. Dengan 

saling mengenal dan saling memahami watak dan 

kepribadian pasangan, maka usaha untuk mewujudkan 

tujuan perkawinan membentuk keluarga yang sakinah, 

mawaddah, wa rahmah akan lebih terjamin.

D. Kriteria-kriteria Perempuan yang Hendak 

dikhitbah (Memilih Calon Isteri)

Syariat Islam sangat menginginkan akan kelanggenan 

pernikahan dengan berpegang teguh dengan 

pilihan yang baik dan asas yang kuat, sehingga 

mampu merealisasikan kejernihan, ketentraman, 

kebahagiaan dan ketenangan dalam berumah tangga, 

demi terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah wa 

rahmah. Oleh karena itu, ketergesa-gesaan di dalam 

6     

menentukan pasangan hidup tanpa meneliti lebih 

terdahulu, merupakan problema yang akan berakibat 

kepada bencana. 

Islam sangat mewanti-wanti dalam menentukan 

pilhan kepada sorang perempuan yang akan dikhitbah 

dan memberikan beberapa kriteria terhadap perempuan 

yang akan dijadikan isteri. Disebabkan fungsi seorang 

istri dalam Islam adalah tempat penenang bagi suaminya, 

tempat menyemaikan benihnya, sekutu hidupnya, pengatur 

rumah tangganya, ibu dari anak-anaknya, tempat tambatan 

hatinya, tempat menumpahkan rahasianya dan mengadukan 

nasibnya. Sehingga ada petuah yang mengatakan “Di balik 

suami yang sukses ada perempuan yang hebat.” Oleh 

karena itu, Islam sangat menganjurkan bagi ummatnya 

agar meneliti calon pasangannya terlebih dahulu sebelum 

terlanjur menjatuhkan pilihan. Dalam hal ini, Rasulullah saw. 

memberikan beberapa tuntunan dalam memilih perempuan 

yang akan dikhitbah/ dipinang, sebagai berikut:

1. Perempuan dikawini karena 4 perkara: hartanya, 

keturunannya, kecantikan dan agamanya. Hal ini 

ditunjukkan oleh hadis Rasul saw. 

 ُةَأرْمَلْا حُكَنُْت لَاَق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا نَْعهُنْعَ ُ َّالل يَضِرَ َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ

7كَاَدَي تَْبرَِت نِي ِّدلا تِاَذِب رَْفظْاَف اهَِنيدِلِوَ اهَلِامَجَوَ اهَِبسَحَلِوَ اهَلِامَلِ ٍعَبرَْلِأ

Artinya:

“Perempuan itu dinikahi karena empat hal: karena 


harta, keturunan, kecantikan dan agamanya. Pilihlah 

wanita yang taat kepada agamanya, maka kamu 

akan beruntung.” (HR. Bukhari).

Berdasarkan hadis Nabi tersebut, Rasulullah Saw 

membagi keinginan pernikahan dari segi tujuan pokok pada 

empat bagian:

a. Memilih istri dari segi kepemilikan hartanya.

Memilih istri dari segi hartanya agar ia tertolong dari 

kekayaannya dan dengan harta itu terpenuhi segala 

kebutuhannya, atau agar dapat membantu dan 

memecahkan kesulitan hidup yang bersifat materi.

b. Memilih istri berdasarkan nasabnya/ keturunannya.

Dengan tujuan mengambil manfaat dari nasab isteri 

untuk kemuliaan serta ketinggian kedudukannya. 

Hendaknya perempuan tersebut berasal dari keluarga 

baik-baik, agar anaknya menjadi orang yang unggul.

c. Memilih istri berdasarkan kecantikannya.

Hendaknya perempuan tersebut cantik, untuk dapat 

bersenang-senang, dan dapat lebih menyempurnakan 

rasa cinta sehingga mendorong untuk menjaga diri 

dan tidak melihat perempuan-perempuan lain dan 

juga tidak melakukan perbuatan yang dibenci Allah.

Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc.,M.Ag.

34

d. Memilih istri berdasarkan agamanya. Perempuan 

tersebut hendaknya seorang yang mempunyai agama.8

Berdasarkan hadis di atas perempuan dikawini 

karena empat perkara: Karena cantiknya, keturunannya, 

hartanya atau  karena agamanya. Akan tetapi iman jangan 

tergadaikan demi mendapatkan yang cantik, agama jangan 

dijual demi mendapatkan yang kaya, harga diri jangan 

direndahkan demi mendapatkan seorang puteri bangsawan.

Karenaperkawinan seperti ini hanya akan menghasilkan 

kepahitan dan berakhir dengan malapetaka dan kerugian. 

Nabi Saw mewanti-wanti menikahi seorang perempuan 

akibat harta dan kecantikannya semata, kecuali dengan 

didasari dari landasan agamanya, sebagaimana sabda Rasul 

Saw.

 َّنهِِنسْحُلِ ءَاسَِّنلا اوجُ َّوزََت لَا مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ لَاَقلاَق ورٍمْعَ نِبْ ِ َّالل دِبْعَ نْعَ

 نْكَِلوَ َّنهَُيغِطُْت نَْأ َّنهُُلاوَمَْأ ىسََعَف َّنهِلِاوَمَْلِأ َّنهُوجُ َّوزََت لَاوَ َّنهَُيدِرُْي نَْأ َّنهُُنسْحُ ىسََعَف

9لُضَفَْأ نٍيدِ تُاَذ ءُاَدوْسَ ءُامَرْخَ ٌةمََلَأوَ نِي ِّدلا ىَلعَ َّنهُوجُ َّوزََت

Artinya: 

“Janganlah kalian menikahi para perempuan karena 

kecantikan mereka, boleh jadi kecantikan tersebut akan 

menghancurkan mereka. Janganlah kalian menikahi 

karena harta mereka, boleh jadi harta itu menjadikan 

mereka berlebihan.Nikahilah mereka kareana agama. 

Sungguh seorang budak perempuan hitam bodoh 

namun memiliki agama  lebih utama untuk dinikahi.” 

(HR. Ibnu Majah dan Baihaqi).

Hal ini juga sesuai dengan firman Allah swt. Dalam 

SQ. al-Baqarah/2: 221.

مْكُْتَبجَعَْأ وَْلوَ ةٍكَرِشْمُ نْمِ رٌيْخَ ٌةَنمِؤْمُ ٌةمََلَوَ ۚ َّنمِؤُْي ىَّٰتحَ تِاكَرِشْمُلْا اوحُكِنَْت لَوَ

Terjemahnya: 

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musy-

rik, sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita 

budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, 

walaupun dia menarik hatimu.… mereka mengajak ke 

neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan 

dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-

Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya 

mereka mengambil pelajaran.

2. Perempuan dinikahi karena kesalehannya. Rasulullah 

Saw menggariskan ketentuan tentang perempuan 

yang saleh yaitu: cantik, patuh, dan amanat. 

 ُّيَأ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لِوسُرَلِ  ِ َّالل لِوسُرَلِ لَيِق لَاَق َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ

 اهَسِفَْن يِف ُهُفلِاخَُت لَاوَ رَمََأ اَذِإ ُهُعيطُِتوَ رَظََن اَذِإ ُه ُّرسَُت يِتَّلا لَاَق رٌيْخَ ءِاسَِّنلا

10ُهرَكَْي امَِب اهَلِامَوَ


Artinya:

“dari Abu Huraerah r.a. ia berkata Rasulullah pernah 

ditanya, siapaperempuan terbaik? Beliau menjawab: 

”perempuan yang dapat membuat bahagia suaminya 

jika suaminya melihatnya, menaatinya jika ia 

memerintah, dan tidak menyelisihinya dalam diri dan 

hartanya dengan sesuatu yang ia tidak sukai.” (HR. 

Al-Nassi dan Ahmad).

Berdasarkan hadis Nabi di atas perempuan yang 

terbaik yaitu:

a. bila kau lihat menyenangkan, hal ini berkaitan 

dengan segi fisik dan kecantikannya. 

b. Bila kau perintah mematuhimu, 

c. bila kau beri janji amanat, 

d. bila kau pergi ia menjaga kehormatannya dan 

hartamu dengan baik” ketiga hal tersebut 

menunjukkan kemuliaan diri, kesucian jiwa 

dan kematangan akhlak.

Hal ini juga sejalan dengan hadis Rasul saw.

 ِعاَتمَ رُيْخَوَ عٌاَتمَ اَينُّْدلا لَاَق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لَوسُرَ َّنَأورٍمْعَ نِبْ ِ َّالل دِبْعَ نْعَ

11ُةحَلِا َّصلا ُةَأرْمَلْا اَينُّْدلا


Artinya: 

“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan 

adalah wanita saleha” (HR. Muslim dan Ibnu Majah).

3. Memilih calon istri berbadan sehat dan baik, tidak 

cacat. 

Hal ini dapat diketahui dengan memperhatikan 

keadaan saudara-saudara perempuannya dan 

bibinya, sebagai cermin perbandingan Rasulullah Saw 

pernah menasihati seorang sahabat yang meminang 

perempuan Anshar: 

 ُهَّنَأ ُهرََبخَْأَف لٌجُرَ ُهاَتَأَف مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا َدنْعِ تُنْكُ لَاَق َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ

 اهَيَْلِإ تَرْظََنَأ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ ُهَل لَاَقَف رِاصَنَْلْأا نْمِ ًةَأرَمْا جَ َّوزََت

1٢اًئيْشَ رِاصَنَْلْأا نُِيعَْأ يِف َّنِإَف اهَيَْلِإ رْظُنْاَف بْهَذْاَف لَاَق لَا لَاَق

“Sudahkah engkau melihatnya? Ia menjawab, belum. 

Maka beliau berkata Lihatlah dulu dia, karena pada 

mata orang-orang Anshar ada sesuatu”.

4. Memilih calon istri yang subur. 

Pernah seorang sahabat meminang seorang 

perempuan mandul, lalu ia bertanya: wahai Rasullul-

lah, saya telah meminang seorang perempuan bang-

sawan dan cantik, tetapi mandul. Maka Rasulullah 

mencegahnya: 

1

13مَمَُلْأا مْكُِب رٌِثاكَمُ يِّنِإَف َدوُلوَلْا َدوُدوَلْا اوجُ َّوزََت

Artinya: 

“Menikahlah kalian dengan perempuan yang penyayang 

lagi subur. Agar saya nanti bisa membanggakan 

jumlah kalian yang banyak itu di hadapan umat-umat 

yang lain di hari kiamat nanti”.(HR. Abu Daud dan Al-

Nasaai).

5. Memilih calon istri yang tidak bau badan.

Rasulullah Saw biasa mengutus seorang 

perempuan untuk memeriksa suatu aib yang tersembunyi 

(pada perempuan) yang akan dinikahkan. Maka sabdanya 

kepada perempuan tersebut: 

اهبوقرع ىلإ يرظنا لاقف ةأرما ىلإ ميلس مأ ثعب ملسو هيلع الله ىلص هنأ سنأ ىور 

14(يقهيبلاو مكاحلاو يناربطلاو دمحأ هجرخأ )اهفطاعميمشو

Artinya:

“Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah 

mengutus Ummu Sulaim kepada seorang perempuan 

seraya bersabda”lihatlah urat kaki di atas mulutnya 

dan ciumlah bau mulutnya.” (HR. Ahmad, Tabrani, 

Hakim dan Baihaqi).

1

6. Memilih calon istri yang perawan:

Tatkala Jabir bin Abdillah kawin dengan 

seorang janda, Rasulullah saw bersabda kepadanya:

 15كَُبعِلَُتوَ اهَُبعِلَُت ارًكِْب تَجْ َّوزََت َّلهَ…

“Tidakkah kamu menikah seorang perawan, engkau 

dapat bergurau dengannya dan iapun dapat bergurau 

denganmu? (HR. Bukhari dan Muslim).

7. Hendaknya perempuan tersebut bukan merupakan 

karabat dekat.

Perempuan yang akan dipinang tersebut, bukan 

merupakan kerabat dekat agar anaknya menjadi lebih 

unggul. Hal Ini sejalan dengan hadis nabi Saw.

16ايواض قلخي دلولا نإف ةبيرقلا ةبارقلا اوحكنت لا

“Jangan nikahi keluarga dekat karena anak yang 

lahir dari hubungan tersebut akan menjadi kurus 

(lemah)”.


Menikah dengan kerabat dekat tidak menjamin 

tidak terjadi perceraian.Jika terjadi perceraian, hal itu dapat 

menyebabkan terputusnya tali silaturrahim keluarga, padahal 

menyambung tali silaturrahim keluarga sangat dianjurkan.

E. Memilih Calon Suami

 نَوْضَرَْت نْمَ مْكُيَْلِإ بَطَخَ اَذِإ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ لَاَقَلاَق َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ

17ضٌيرِعَ ٌداسََفوَ ضِرَْلْأا يِف ٌةَنْتِف نْكَُت اوُلَعفَْت َّلاِإ ُهوجُ ِوّزََف ُهَقُلخُوَ ُهَنيدِ

Artinya:

“Jika seorang yang kalian sukai agama dan akhlaknya 

mendatangi kalian, maka nikahkanlah padanya, jika 

engkautidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah 

(musibah) dan kerusakan yang besar”. (HR. Tirmidzy).

Sifat-sifat yang hendaknya dimiliki oleh calon suami:

1. Taat beragama, hal ini berdasarkan QS. Al-Baqarah/2: 

221

مْكَُبجَعَْأ وَْلوَ كٍرِشْمُ نْمِ رٌيْخَ نٌمِؤْمُ دٌبَْعَلوَ

…Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari 

orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu... 

2. Dia seorang laki-laki yang mampu memberikan ba-ah.

0

Ba-ah yaitu kemampuan untuk berjima’ dan 

kemampuan memberikan pembiayaan nikah dan 

nafkah hidup.Sebagaimana nasehat Rasulullah Saw 

kepada Fatimah binti Qais terhadap keadaan Muawiyah 

ketika mengajukan lamaran kepadanya.

18ُهَل لَامَ لَا كٌوُلعْصَُف ُةَيوِاَعمُ ا َّمَأوَ … سٍيَْق تِنِْب َةمَطِاَف نْعَ

Artinya:

“Dari Fatimah binti Qais … Adapun Mu’awiyah adalah 

seorang laki-laki yang miskin, …(HR. Muslim).

3. Dia seorang laki-laki yang lemah lembut kepada 

wanita, tidak ringan tangan dan tidak melecehkan. 

Suami yang ideal dalam pandangan Islam ialah 

yang menghormati isterinya, tidak melecehkannya, 

bersabar menghadapinya dan tidak memukulnya. 

Sebagaimana nasehat Rasulullah Saw kepada 

Fatimah binti Qais terhadap keadaan Abu Jahm ketika 

mengajukan lamaran kepadanya.

سٍيَْق تِنِْب َةمَطِاَف نْعَ… هِقِِتاعَ نْعَ ُهاصَعَ عُضََي لََف مٍهْجَ وُبَأ ا َّمَأ

Artinya:

“Dari Fatimah binti Qais … Adapun Abu Jahm adalah 

seorang laki-laki yang tidak pernah meletakkan tongkat 

0

dari pundaknya (suka memukul), …(HR. Muslim).

4. Tidak pelit mengucapkan kata-kata yang baik.

19ةٌقَدَصَ ُةَبِّيَّطلا ُةمَلِكَلْا مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا نْعَ َةرَيْرَهُ وُبَأ لَاَقوَ

“Kata-kata yang baik adalah shadaqah”

Hadits ini menjadi pendorong yang kuat agar 

para suami lebih banyak mengucapkan kata-kata yang 

dapat menyenangkan hati istrinya. Menyenangkan 

hati Istri meraih dua tujuan: pahala di Akhirat dan cin-

ta Istri di dunia bahkan boleh berkata dusta terhadap 

istri untuk menyenangkan dan memuaskan hatinya.

5. Mengajak istri taat kepada Allah sesuai dengan firman 

Allah dalam Qs.Tahrim/66: 6

ارًاَن مْكُيلِهَْأوَ مْكُسَُفنَْأ اوُق اوُنمَآ نَيذَِّلا اهَُّيَأ اَي

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah diri 

kalian dan keluarga kalian dari api neraka (Tahrim:6)”

Ada beberapa hal yang dapat membantu suami 

dalam merealisir tugas ini: 

a. Suami menyodorkan buku-buku Islami 

b. Menyampaikan kembali nasehat yang dia dengar 

diberbagai pengajian


c. Suami harus menjadi teladan dan panutan ten-

tang apa yang dia perintahkan.

6. Memandang istri dengan mesra.

“Jika seorang suami memandang istrinya dan istri 

memandangnya, maka Allah memandang keduanya 

dengan pandangan Rahmat. Jika dia memegang 

telapak tangan isterinya, maka dosa keduanya 

berjatuhan dari sela-sela jari mereka berdua.”

7. Memprioritaskan pemberian kepada isteri dari pada 

yang lainnya.

“Dinar yang engkau nafkahkan dijalan Allah, untuk 

memerdekakan budak wanita, yang engkau berikan 

kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan 

kepada keluarga, yang paling besar pahalanya 

ialah yang engkau nafkah kepada keluargamu (HR. 

Muslim).”

8. Menghormati kerja isteri dirumah dan membantunya.

Dalam Islam, seorang suami diharuskan 

untuk senantiasa membantu isterinya dalam bekerja 

dan mengurus rumah.

 يِف عَُنصَْي مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ُّيِبَّنلا نَاكَ امََةشَِئاعَ تُلَْأسَ لَاَق دِوَسَْلْأا نْعَ

٢0ِةلَ َّصلا ىَلِإ مَاَق ُةلَ َّصلا تْرَضَحَ اَذِإَف هِلِهَْأ ةَِنهْمِ يِف نَاكَ تَْلاَق هِلِهَْأ


“Rasulullah saw. senantiasamembantu pekerjaan 

keluarganya dan apabila dating waktu shalat , maka 

beliau pergi ke masjid untuk menunaikan shalat 

berjamaah.” (HR. Bukhari).

9. Berhias untuk istri

• Ibnu Abbas: “sesungguhnya aku benar-benar 

berhias bagi istriku sebagaimana aku suka jika dia 

berhias bagi diriku.

• Kisah seorang perempuan yang mendatangi Umar 

ra. untuk bercerai dengan suaminya.

Demikianlah tuntunan Rasul saw dalam 

mencari calon istri dan calon suami sebelum 

seseorang melangsungkan khitbah/ peminangan.

F. Syarat-syarat Peminangan.

Syarat-syarat meminang ada dua macam, yaitu: 

1. Syarat Mustahsinah

Syarat mustahsinah adalah syarat yang merupakan 

anjuran pada laki-laki yang hendak meminang agar 

meneliti wanita yang akan dipinangnya sebelum me-

langsungkan peminangan. Syarat mustahsinah tidak 

wajib untuk dipenuhi, hanya bersifat anjuran dan baik 

untuk dilaksanakan. Sehingga tanpa adanya syarat ini, 

hukum peminangan tetap sah.



Syarat-syarat mustahsinah tersebut adalah:

a. Wanita yang dipinang hendaknya sekufu atau 

sejajar dengan laki-laki yang meminang. Misalnya 

sama tingkat keilmuannya, status sosial, dan 

kekayaan.

b. Meminang wanita yang memiliki sifat kasih 

sayang dan peranak.

c. Meminang wanita yang jauh hubungan 

kekerabatannya dengan lelaki yang meminang. 

Dalam hal ini sayyidina ‘Umar bin Khattab 

mengatakan bahwa perkawinan antara seorang 

lelaki dan wanita yang dekat hubungan 

darahnya akan melemahkan jasmani dan rohani 

keturunannya.

d. Mengetahui keadaan jasmani, akhlak, dan 

keadaan-keadaan lainnya yang dimiliki oleh 

wanita yang akan dipinang.

2. Syarat Lazimah

Syarat lazimah ialah syarat yang wajib 

dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Sah 

tidaknya peminangan tergantung pada adanya 

syarat-syarat lazimah. Syarat-syarat tersebut adalah:

a. Tidak dalam pinangan orang lain.

Perempuan tersebut tidak terikat 

dengan khitbah dari laki-laki lain, yang sudah 


diajukan dan diterima baik oleh si perempuan 

dan keluarganya. Sebab mengajukan pinangan 

terhadap perempuan yang sebelumnya telah 

terikat dengan pinangan laki-laki lain adalah 

haram21. Hal ini sejalan dengan hadits nabi saw: 

 َّن ِلُوُقَي رَِبنْمِلْا ىَلعَ رٍمِاعَ نَبْ َةَبقْعُ عَمِسَ ُهَّنَأ َةسَامَشِ نِبْ نِمَحْ َّرلا دِبْعَ نْعَ

 نِمِؤْمُلْلِ ُّلحَِي لََف نِمِؤْمُلْا وخَُأ نُمِؤْمُلْا لَاَق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لَوسُرَ

 هاور)رََذَي ىَّتحَ هِيخَِأ ةَِبطْخِ ىَلعَ بَطُخَْي لَاوَ هِيخَِأ ِعيَْب ىَلعَ عَاَتبَْي نَْأ

٢٢(ملسم

Artinya:

“Dari ‘Abdurrahman bin Syimasah, ia mendengar 

‘Uqbah bin ‘Aamir mengatakan di Minbar bahwa Ra-

sulullah saw. bersabda: “Seorang mukmin adalah 

saudara bagi mukmin lainnya, maka tidak halal bag-

inya untuk membeli barang yang dibeli saudaranya, 

dan jangan meminang pinangan saudaranya hingga 

ia meninggalkannya”.

 هِيخَِأ ِعيَْب ىَلعَ لُجُ َّرلا عِْبَي لَا لَاَق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا نْعَرَمَعُ نِبْا نْعَ

٢3ُهَل نََذْأَي نَْأ َّلاِإ هِيخَِأ ةَِبطْخِ ىَلعَ بْطُخَْي لَاوَ

2

Artinya:

“Janganlah  salah seorang di antara kalian 

menjual barang yang telah dijual kepada 

saudaranya.Dan janganlah salah seorang di antara 

kalian mengkhitbah perempuan yang dikhitbah 

oleh saudaranya, kecuali dia mengizinkannya.

Berdasarkan kedua hadis tersebut, sangat 

jelas keharaman bagi orang lain untuk melakukan 

khitbah pada seorang perempuan, bilamana khitbah 

pertama telah disetujui.Karena hal tersebut dapat 

menyakiti pengkhitbah pertama.Akibatnya bisa 

menimbulkan permusuhan dan memunculkan rasa 

dengki dalam hati. Kecuali jika salah satu dari kedua 

belah pihak yang melakukan khitbah membatalkan 

atau memberi izin kepada orang lain untuk 

mengajukan khitbah, maka hal tersebut dibolehkan. 

Hal ini juga dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam 

(KHI) dalam Pasal 12 bahwa:

(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang 

sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria 

tersebut belum putus atau belum ada penolakan 

dari pihak wanita.

(4) Putus pinangan pihak pria, karena adanya 

pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan 

atau secara diam-diam pria yang meminang telah 

menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.0

Jika pinangan laki-laki pertama sudah 

diterima, namun wanita tersebut menerima pinangan 

laki-laki kedua kemudian menikah dengannya, maka 

hukumnya berdosa, tetapi pernikahannya sah, 

sebab yang dilarang adalah meminangnya, sedang 

meminang itu bukan merupakan syarat sahnya nikah. 

Karena itu pernikahan tidak boleh difasakh walaupun 

meminangnya merupakan tindakan  pelanggaran.

Jika Khitbah/ peminangan pertama belum 

selesai disebabkan karena masih dirundingkan 

dengan kerabat, atau perempuan dalam keadaan 

ragu-ragu, maka dalam kondisi seperti ini menurut 

jumhur ulama tidak diharamkan untuk melakukan 

khitbah kedua bagi laki-laki lain yang datang 

kemudian. Pendapat ini didasarkan atas hadis 

Fatimah binti Qais ra:

 لَاَقَف يِناَبطَخَ مٍهْجَ اَبَأوَ نَاَيفْسُ يِبَأ نَبْ َةَيوِاَعمُ َّنَأ… سٍيَْق تِنِْب َةمَطِاَف نْعَ

 هِقِِتاعَ نْعَ ُهاصَعَ عُضََي لََف مٍهْجَ وُبَأ ا َّمَأ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ

 لَاَق َّمُث ُهُتهْرِكََف دٍيْزَ نَبْ َةمَاسَُأ يحِكِنْا ُهَل لَامَ لَا كٌوُلعْصَُف ُةَيوِاَعمُ ا َّمَأوَ

25تُطَْبَتغْاوَ ارًيْخَ هِيِف ُ َّالل لََعجََف ُهُتحْكََنَف َةمَاسَُأ يحِكِنْا

Artinya:

“Fatimah datang kepada Nabi Saw., kemudian 

ia menceritakan kepada beliau bahwa Abu Jhan 

bin Hidzifah dan Mu’awiyah bin Abi Sofyan telah 

meminangnya. Maka Nabi Saw.bersabda: Abu 


Jhan adalah orang yang tidak pernah mengangkat 

tongkatnya dari orang-orang perempuan (suka 

memukul). Adapun Mu’awiyah adalah orang miskin, 

tetapi nikahlah kamu dengan Usamah”. (HR. Muslim).

Hadis tersebut di atas menjelaskan bahwa 

Fatimah binti Qais setelah diceraikan oleh suaminya 

Abu Amr bin Hafs bin Mughirah dan setelah masa 

iddahnya selesai, pernah dikhitbah oleh tiga orang 

dalam waktu yang bersamaan, mereka adalah: 

Muawiyah, Abu Jahm bin Hudzafah dan Usamah 

bin Zaid. Hal ini menunjukkan bolehnya melakukan 

khitbah lebih dari satu orang, jika si perempuan 

belum menerima tawaran khitbah tersebut.

Pendapat yang lain mazhab Hanafiah 

mengemukakan bahwa makruh hukumnya dilakukan 

khitbah kedua, karena keumuman pengertian 

hadis-hadis di atas terhadap larangan mengkhitbah 

perempuan yang sedang dikhitbah orang lain.26

b. Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang 

melarang dilangsungkannya pernikahan. 

Penghalang-penghalang syar’i adalah 

perempuan-perempuan yang haram untuk dinikahi.

Seperti perempuan-perempuan yang senasab (saudara 

perempuan, bibi, tante, ponakan) dan perempuan-

perempuan yang sesusuan. 


Begitu juga halnya dengan pengharaman 

secara temporal, seperti: saudara perempuan isteri, 

mengumpulkan antara ponakan dan bibi.27

c. Perempuan tidak dalam masa iddah.

Perempuan yang masih berada dalam masa 

iddah termasuk dalam kategori perempuan yang 

haram dikhitbah bersifat secara temporal.Karena 

masih ada ikatan dengan mantan suaminya, dan 

suaminya itu masih berhak merujknya kembali 

sewaktu-waktu. Jika perempuan yang sedang iddah 

karena talak ba’in maka ia haram dipinang secara 

terang-terangan karena mantan suaminya masih 

tetap mempunyai hak terhadap dirinya, untuk 

menikahinya dengan akad baru. Perempuan yang 

sedang iddah karena kematian suaminya, maka 

ia boleh dipinang secara sindiran selama masa 

iddahnya, karena hubungan suami istri di sini  telah 

terputus sehingga hak suami terhadap istrinya hilang 

sama sekali28.

G.  Batas-batas Melihat Pinangan

Seorang lelaki yang akan berumah tangga, 

sebaiknya melihat perempuan yang akan dipinangnya, 


begitupun dengan sebaliknya perempuan melihat laki-

laki yang akan meminangnya.  Hal ini bertujuan untuk 

kebaikan dalam kehidupan berumah tangga kesejahteraan 

dan kesenangannya, sehingga ia dapat menentukan 

apakah peminangan itu diteruskan atau dibatalkan. 

Syariat membolehkan berkenalan dengan perempuan yang 

dikhitbah dengan dua cara: 

Pertama; mengirim seorang perempuan yang 

telah dipercaya oleh laki-laki pengkhitbah untuk 

melihat perempuan yang hendak dikhitbah dan 

selanjutnya memberitahukan sifat-sifat perempuan 

tersebut kepadanya, sebagaimana hadis Rasul saw.  

لاقف ةأرما ىلإ ميلس مأ ثعب ملسو هيلع الله ىلص هنأ سنأ ىور 

مكاحلاو يناربطلاو دمحأ هجرخأ ) اهفطاعم يمشو اهبوقرع ىلإ يرظنا 

29(يقهيبلاو

        Artinya:

“Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah 

mengutus Ummu Sulaim kepada seorang perempuan 

seraya bersabda”lihatlah urat kaki di atas mulutnya 

dan ciumlah bau mulutnya.” (HR. Ahmad, Tabrani, 

Hakim dan Baihaqi).

Melihat urat kaki di atas tumit bertujuan untuk meng-

etahui baik dan tidaknya kondisi kaki. Perempuan juga boleh 

melakukan hal yang sama dengan mengirimkan seorang le-


laki. Perempuan tersebut boleh melihat lelaki yang hendak 

mengkhitbahnya, karena ia uga merasa kagum dengan apa 

yang silaki-laki kagumi.

Kedua; lelaki yang hendak mengkhitbah melihat 

secara lansung perempuan yang akan dikhitbah, untuk 

mengetahuikecantikan dan kelembutannya. Hal itu 

dilakukan dengan melihat wajah, kedua talapak tangan dan 

perawakannya. Karena wajah menunjukkan akan kecantikan, 

kedua talapak tangan menunjukkan kelembutan kulit, 

 sedangkan perawakan menunjukkantinggi dan 

pendeknya tubuh, hal ini sesuai dengan hadis Rasul saw.

 نِْإَف َةَأرْمَلْا مْكُُدحََأ بَطَخَ اَذِإ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ لَاَقَلاَق ِ َّالل دِبْعَ نِبْ رِِباجَ نْعَ

 اهََل ُأَّبخََتَأ تُنْكَُف ًةَيرِاجَ تُبْطَخََف لَاَقلَْعفَْيلَْف اهَحِاكَِن ىَلِإ ُهوعُدَْي امَ ىَلِإ رَظُنَْي نَْأ عَاطََتسْا

30اهَُتجْ َّوزََتَف اهَجِ ُّوزََتوَ اهَحِاكَِن ىَلِإ يِناعََد امَ اهَنْمِ تُيَْأرَ ىَّتحَ

Artinya: “ …Jika salah seorang di antara kalian hendak 

mengkhitbah perempuan, jika ia dapat melihat apa yang 

menarik dari perempuan tersebut hingga membuatnya 

ingin menikahinya maka hendaknya ia melakukannya. Jabir 

berkata: lantas aku mengkhitbah seorang perempuan, 

sebelumnya aku bersembunyi darinya hingga aku melihat 

apa yang menarik darinya untuk aku nikahi, lantas aku 

menikahinya.” (HR: Abu Daud dan Ahmad)

Melihat perempuan yang akan dipinang  dalam 

agama Islam diperbolehkan selama batas-batas 


tertentu,berdasarkan sabda Nabi Saw:

 اهَيَْلِإ رْظُنْا مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ُّيِبَّنلا لَاَقَف ًةَأرَمْا بَطَخَ ُهَّنَأَةَبعْشُ نِبْ ِةرَيغِمُلْا نْعَ

31امَكَُنيَْب مََدؤُْي نَْأ ىرَحَْأ ُهَّنِإَف

Artinya: 

“Dari Mughirah bin Syu’bah,ia pernah meminang 

seorang perempuan,lalu Rasulullah Saw.bertanya 

kepadanya: Sudahkah kau melihat dia? Ia menjawab: 

Belum. Sabda Nabi: Lihatlah dia lebih dahulu agar 

nantinya kamu bisa hidup bersama lebih langgeng”.

(H.R. Tirmizi).

 Berdasarkan hadis-hadis Rasulullah saw. di atas, 

menunjukkan bahwa Rasulullah Saw memerintahkan kepada 

seseorang laki-laki yang akan meminang untuk dapat melihat 

perempuan yang akan dipinangnya. Akan tetapi, terdapat 

Silang pendapat di kalangan ulama mengenai batas/ukuran 

yang dibolehkan untuk dilihat. Hal ini disebabkan karena 

dalam persoalan ini terdapat suruhan untuk melihat wanita 

secara mutlak,terdapat pula larangan secara mutlak,dan ada 

pula suruhan yang terbatas yakni pada muka dan telapak 

tangan berdasarkan Q.S An-Nur/24:30-31.

امِب رٌيبخَ َالله َّنِإ مْهَُل  ىكزَْأ كَلِذ مْهُجَورُُف اوظَُفحَْي وَ مْهِرِاصبَْأ نْمِ او ُّضُغَي نَينمِؤْمُلْلِ لُْق 

نَوُعَنصَْي 

ام َّلاِإ َّنهَُتَنيز نَيدبُْي لاوَ َّنهُجَورُُف نَظَْفحَْي وَ َّنهِرِاصبَْأ نْمِ نَضْضُغَْي تِانمِؤْمُلْلِ لُْق وَ 

اهنْمِ رَهَظَ


       Terjemahnya:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: 

“Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan 

memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah 

lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha 

mengetahui apa yang mereka perbuat”. 

“dan janganlah mereka(kaum wanita) menampakkan 

perhiasannya,kecuali yang (bisa)nampak dari padanya”.

Mayoritas fuqaha seperti Imam Malik, As-Syafi’i 

dan Ahmad dalam Satu pendapatnya mengatakan bahwa 

anggota tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah 

wajah dan kedua telapak tangan. Wajah tempat menghimpun 

segala kecantikan dan mengungkap banyak nilai kejiwaan, 

kesehatan, dan akhlak. Sedangkan kedua telapak tangan 

dijadikan indikator kesuburan badan, gemuk, dan kurusnya. 

Adapun dalil mengenai hal ini terdapat dalam Q.s An-Nur 

24: 31. “dan janganlah menampakkan perhiasan (aurat), 

kecuali apa yang bisa terlihat darinya”.32

Namum, Imam Abu Hanifah membolehkan untuk 

melihat kedua talapak kaki selain wajah dan kedua telapak 

tangan perempuan yang hendak dikhitbah. Sedangkan para 

ulama Hambali membolehkan melihat anggota badan yang 

tampak tatkala perempuan beraktivitas. Anggota badan 

tersebut ada enam yaitu: wajah, leher, tangan, talapak kaki 

dan betis. Pendapat ini didasari oleh kemutlakan hadis Rasul 

saw. “lihatlah perempuan terebut” dan perbuatan Umar dan 


Jabir.33 Imam al-Auza’I berkata, “Boleh melihat anggota 

badan tempat tumbuhnya daging.” Sedangkan menurut 

Dawud al-Dzahiri berkata, “boleh melihat seluruh anggota 

badan, karena kemutlakan hadis.”

H. Hukum Berkhalwat dengan Pinangan.

Khitbah/ peminangan pada dasarnya bukan merupakan 

suatu pernikahan, akan tetapi khitbah hanyalah sekedar janji 

untuk menikah. Oleh karenanya, hukum pernikahan belum 

berlaku sedikitpun dengan khitbah tersebut. Berkhalwat 

(menyendiri) dengan perempuan yang dipinang hukumnya 

haram, karena ia bukan muhrimnya. Perempuan yang telah 

dipinang statusnya masih ajnabiyah(bukan mahram) bagi 

lelaki yang meminangnya selama belum dilangsungkan akad 

nikah. Berduaan dengan perempuan ajnabiyah hukumnya 

Haram, kecuali jika dibarengi oleh mahramnya, seperti ayah, 

saudara, pamannya atau beberapa orang di sekitarnya.hal 

ini sejalan dengan hadis yang berbunyi:

 مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ لَاَقلاَق هِيِبَأ نْعَ َةَعيِبرَ نَبْا يِنعَْي رٍمِاعَ نِبْ ِ َّالل دِبْعَ نْعَ

34مٍرَحْمَ َّلاِإ نُاطَيَّْشلا امَهَُثلِاَث َّنِإَف ُهَل ُّلحَِت لَا ٍةَأرَمْاِب لٌجُرَ َّنوَُلخَْي لَا…

Artinya: 

“Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang 

perempuan yang tidaka halal baginya.Karena 

0

sesungguhnya yang ke tiga adalah syetan.Kecuali 

dibarengi oleh mahramnya”. (HR. Ahmad)

Kalaupun dirasa perlu, mereka bertemu dan 

berbincang-bincang dalam waktu-waktu tertentu, demi 

mempererat hubungan dan agar lebih saling mengenal 

karakter dan kecenderungan masing-masing, maka 

yang demikian itu hanya dapat dibenarkan apabila ada 

anggota keluarga yang berstatus mahram ikut hadir, atau 

pertemuan itu di suatu ruangan terbuka yang setiap saat 

dapat dipantau oleh para anggota keluarga35. Hal demikian, 

lebih terjaga dari pelanggaran-pelanggaran agama.

Lalu bagaimana dengan foto pre wedding yang 

merebak di masyarakat muslim sekarang ini?Foto-foto 

tersebut digunakan untuk mempercantik atau menghiasi 

souvenir pernikahan mereka atau kartu undangan, dan 

sebagai penghias ruangan pernikahan.

Pada dasarnya pembuatan foto pre-wedding 

dibolehkan, asalkan dalam proses pelaksanaannya tidak 

bertentangan dengan agama dan tidak mengandung unsur 

perbuatan mungkar. Sebenarnya bukan pada foto prewed-

nya yang menjadi persoalan, akan tetapi pada pose kedua 

insan, yang statusnya di mata agama masih belum resmi 

menjadi suami istri. Sehingga, dua insan berlainan jenis 

tetap harus menjaga diri.

Photo prewedding sebelum terjadinya akad nikah, 

sangat berpotensi terjadinya pelanggaran terhadap 

larangan-larangan yang semestinya harus dihindari bagi 


seseorang dengan yang bukan mahramnya. Oleh karena itu, 

Jika seseorang menggunakan foto prewedding lebih baik 

melangsungkan akad terlebih dahulu, agar saat foto lebih 

leluasa untuk berdua-duaan dan bersentuhan.

Adapun proses pembuatan foto prewedding 

yang terdapat hal-hal yang mungkar, seperti: membuka 

aurat, percampuran antara pria dan wanita yang belum 

mahramnya, melihat aurat lawan jenis, dan persentuhan 

antara keduanya, berdua-duaan, melakukan pose 

berangkulandan lain sebagainya yang melanggar aturan 

agama. Foto seperti ini tidak dibolehkan karena status 

pasangan tersebut belum sah.Sebagaimana hadis di atas.

I. Konsekwensi Pembatalan  Khitbah (Pinangan)

Khitbah hanyalah langkah pertama menuju 

perkawinan, membatalkan khitbah/pinangan tidak 

menimbulkan pengaruh apapun selagi belum terjadi akad. 

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 13 dijelaskan bahwa: 

(1)     Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para 

pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.

(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan 

dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan 

tuntutan agama dengan kebiasaan setempat sehingga 

tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.36

Terkadang dalam hubungan peminangan disertai 

dengan pemberian hadiah-hadiah sebagai lambang akan 

berlanjutnya hubungan antara kedua calon suami istri sampai 

ke pelaminan. Akan tetapi terkadang di tengah perjalanan, 

kerena sesuatu hal peminangan tersebut dibatalkan. Jika 

seandainya terjadi pembatalan pinangan, bagaimana 

konsekwensi pemberian yang telah diserahkan oleh pihak 

laki-laki kepada pihak wanita yang telah dipinangnya? Ada 

beberapa pendapat fuqaha mengenai mengembalikan 

hadiah-hadiah khitbah37:

1. Abu Hanifah berpendapat bahwa hadiah yang diberikan 

dalam peminangan hukumnya sama dengan hibah. 

Peminang dapat menarik kembali kecuali barang tersebut 

sudah rusak atau hilang.

2. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa pihak yang 

memutuskan tidak boleh meminta kembali pemberiannya, 

baik barangnya masih ada maupun sudah tidak ada. 

Pihak yang berhak meminta barangnya adalah pihak yang 

tidak menggagalkan pinangan. Dia berhak menerima 

barangnya jika masih ada, atau menerima harganya jika 

barang pemberiannya sudah tidak ada.

3. Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa silelaki boleh 

meminta kembali hadiah yang telah ia berikan; karena 

pemberiannya itu hanya menikahi perempuan tersebut. 

Jika hadiah tersebut masih ada ia boleh memintanya 

kembali.namun, jika hadiah tersebut telah rusak maka 

ia boleh meminta gantinya. 

4. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa jika pemberian 

berupa hadiah kepada wanita tersebut. Jika pembatalan 


khitbah dari pihak wanita, maka hadiah atau nilainya jika 

hilang wajib dikembalikan. Karena bukan merupakan 

hal yang adil ketika si laki-laki menderita karena karena 

pinangannya digagalkan dia pun harus menanggung 

kerugian harta. Jika pembatalan khitbah dari laki-laki, 

maka ia tidak memiliki hak untuk meminta kembali 

hadiah yang telah diberikannya. Karena tidak adil jika si 

wanita menderita pedihnya gagal tunangan dan sakitnya 

dipinta kembali hadiah.38

Pendapat terakhir ini lebih mendekati keadilan, karena 

tidak selayaknya bagi wanita yang tidak menggagalkan 

mendapat dua beban, yaitu beban ditinggalkan dan beban 

untuk mengembalikan hadiah, dan tidak selayaknya pula 

bagi lelaki yang tidak meninggalkan mendapat dua kerugian, 

yaitu ditinggalkan seorang wanita dan memberikan harta 

tanpa imbalan. Oleh karena itu, jika tidak ada syarat dan 

tradisi yang berbeda, maka pendapat yang terakhir ini dapat 

diamalkan.


A. PENGERTIAN KAFAAH(EQUALITY)

Kafa’ah kufu’ (equality), menurut bahasa artinya 

“setaraf, seimbang, atau keserasian/ kesesuaian, serupa 

sederajat atau sebanding”. Maksud dari kafaah dalam 

pernikahan adalah bahwa suami harus sekufu bagi istrinya, 

artinya dia memiliki kedudukan yang sama dan sepadan 

dengan istrinya dalam hal tingkatan sosial, moral dan 

ekonomi.1Arti kafa’ah (kesederajatan) bagi orang-orang 

yang menganggapnya syarat dalam pernikahan, adalah 

hendaknya seorang laki-laki (calon suami) setara derajatnya 

dengan wanita yang akan menjadi istrinya dalam beberapa 

hal.2Atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama 

dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan 

sederajat dalam akhlak serta kekayaan. 

Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor yang 

dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri, dan 

lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan 

atau kegoncangan rumah tangga. Semakin sama kedudukan 

laki-laki dengan kedudukan perempuan, maka keberhasilan 

hidup suami isteri semakin terjamin dan semakin terpelihara 

dari kegagalan.

B.  DASAR HUKUM KAFAAH (EQUALITY)

Hadis yang dijadikan sandaran adanya kafa’ah dalam 

Islam ialah HR. Abu Hurairoh: 

 ُةَأرْمَلْا  حُكَنُْت  لَاَق  مََّلسَوَ  هِيَْلعَ  ُ َّالل ىَّلصَ  ِيِّبَّنلا  نَْعهُنْعَ  ُ َّالل يَضِرَ  َةرَيْرَهُ  يِبَأ  نْعَ

3كَاَدَي تَْبرَِت نِي ِّدلا تِاَذِب رَْفظْاَف اهَِنيدِلِوَ اهَلِامَجَوَ اهَِبسَحَلِوَ اهَلِامَلِ ٍعَبرَْلِأ

Artinya:

“Perempuan itu dinikahi karena empat hal: karena 

harta, keturunan, kecantikan dan agamanya. Pilihlah 

wanita yang taat kepada agamanya, maka kamu akan 

beruntung.” (HR. Bukhari).

(QS. al-Hujurat: 13)

َّنِإ اوُفرَاَعَتلِ لَِئاَبَقوَ اًبوُعشُ مْكُاَنلَْعجَوَ ىَثنُْأوَ رٍكََذ نْمِ مْكُاَنقَْلخَ اَّنِإ سُاَّنلا اهَُّيَأ اَي 

ْمكُاَقْتَأ ِ َّالل َدنْعِ مْكُمَرَكَْأ

Terjemahnya:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu 

dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan 

menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku 

supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya 

orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah 

ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. 

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha 

Mengenal”.

C.  UKURAN KAFAAH (EQUALITY) 

Para ulama menetapkan kriteria-kriteria untuk 

menetapkan kufu’ tidaknya seseorang. Dalam menetapkan 

kriteria ini para ulama berbeda pendapat. Menurut mazhab 


Maliki, sifat kafaah ada dua, yaitu agama dan kondisi, 

maksudnya selamat dari aib bukan kondisi dalam arti 

kehormatan dan nasab.

Menurut mazhab Hanafi ada 6 sifat kafa’ah: yaitu 

agama, Islam, kemerdekaan, nasab, harta dan profesi. 

Menurut mazhab Syafi’I ada enam sifat kafa’ah yaitu: 

agama, kesucian, kemerdekaan, nasab, terbebas dari aib 

dan profesi. Sedangkan menurut mazhab Hambali sifat 

kafaah ada lima yaitu: agama, profesi, nasab, harta dan 

profesi.4

Berdasarkan penjelasan di atas, keempat mazhab 

sepakat atas kafaah dalam agama. Mazhab yang selain Maliki 

sepakatatas kafaah dalam kemerdekaan, nasab dan profesi. 

Mazhab Maliki dan Syafi’I sepakat mengenai sifat bebas dari 

aib yang dapat menyebabkan timbulnya hak untuk memilih.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan 

bahwa terjadi silang pendapat dikalangan para fuqahah 

mengenai sifat-sifat kesetaraan (kafaah). Masing-masing 

ulama mempunyai batasan yang berbeda mengenai 

masalah ini.Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan 

pandangan dalam menilai sejauh mana segi-segi kafa’ah 

itu mempunyai kontribusi dalam melangengkan kehidupan 

rumah tangga. Dengan demikian, jika suatu segi dipandang 

mampu menjalankan peran dan fungsinya dalam 

melestarikan kehidupan rumah tangga, maka bukan tidak 

mungkin segi tersebut dimasukkan dalam sifatkafa’ah.

Sifat-sifat kesetaraan (kafaah) dari penjelasan kriteria 

kafa’ah di atas dapat dijabarkan sebagai berikut:

1.  Segi Agama atau ketakwaan.

Agama/ ketakwaan yang dimaksud di sini adalah 

kebenaran dan kelurusan terhadap hukum-hukum agama, 

istiqomah dan mengamalkan apa yang diwajibkan agama. 

Semua ulama mengakui agama sebagai salah satu unsur 

kafa’ah yang paling esensial. Penempatan agama sebagai 

unsur kafa’ah tidak diperselisihan dikalangan ulama. Laki-

laki yang bermaksiat dan fasik tidak sebanding dengan 

wanita yang salihah yang merupakan anak orang salih dan 

keluarganya memiliki jiwa agamis dan akhlak yang terpuji.

 Adaikan ada seorang wanita salihah dari keluarga

 yang kuat agamanya menikah dengan pria yang fasik, maka

 wali wanita tersebut mempunyai hak untuk menolak atau

 melarang bahkan menuntut faskh, karena keberagaman

 merupakan suatu unsur yang harus dibanggakan melebihi

 unsur kedudukan, harta benda, nasab dan semua segi

 kehidaupan lainnya.Dasar penetapan segi agama ini adalah

.QS. As-Sajadah/32: 18

` نَووَُتسَْي لَ ۚ اًقسِاَف نَاكَ نْمَكَ اًنمِؤْمُ نَاكَ نْمََفَأ

Terjemahnya:

“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-

orang yang fasik?mereka tidak sama”.


Hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu Huraerah:

ٍعَبرَْلِأ ُةَأرْمَلْا حُكَنُْت لَاَق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا نَْعهُنْعَ ُ َّالل يَضِرَ َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ 

5كَاَدَي تَْبرَِت نِي ِّدلا تِاَذِب رَْفظْاَف اهَِنيدِلِوَ اهَلِامَجَوَ اهَِبسَحَلِوَ اهَلِامَلِ

Artinya:

“Perempuan itu dinikahi karena empat hal: karena 

harta, keturunan, kecantikan dan agamanya. Pilihlah 

wanita yang taat kepada agamanya, maka kamu 

akan beruntung.” (HR. Bukhari).

2.  Segi Kemerdekaan.

Kriteria tentang kemerdakaan ini sangat erat kaitannya 

dengan masalah perbudakan. Perbudakan diartikan dengan 

kurangnya kebebasan. Budak adalah orang yang berada 

dibawah kepemilikan orang lain. Ia tidak mempunyai hak 

atas dirinya sendiri. Adapun maksud kemerdekaan sebagai 

kriteria kafa’ah adalah bahwa seorang budak laki-laki tidak 

kufu’ dengan perempuan yang merdeka. Demikian juga 

seorang budak laki-laki tidak kufu’ dengan perempuan yang 

merdeka sejak lahir.

Kemerdekaan juga dihubungkan dengan keadaan 

orang tuanya, sehingga seorang anak yang hanya bapaknya 

yang merdeka, tidak kufu’ dengan orang yang kedua orang 

tuanya merdeka. Begitu pula seorang lelaki yang neneknya 

pernah menjadi budak, tidak sederajat dengan perempuan 

yang neneknya tidak pernah menjadi budak, sebab 

perempuan merdeka jika dikawinkan denga laki-laki budak 

dipandang tercela. Sama halnya jika dikawinkan denga laki-

laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.

3. Segi Nasab.

Nasab adalah hubungan seseorang manusia 

denganasal-usulnya dari bapak dan kakek-kakek. Nasab 

yang dimaksud di sini adalah seseorang yang diketahui siapa 

bapaknya. Jumhur fuqaha (Hanafi, Syafi’I dan Hanbali dan 

sebagian mazhab Syiah Zaidiah menganggap keberadaan 

nasab dalam kafaah.6

Dalam unsur nasab ini terdapat dua golongan yaitu 

pertama golongan Ajam, kedua golongan Arab. Adapun 

golongan arab terbagi menjadi dua suku yaitu suku Quraisy 

dan selain Quraisy.Dengan ditetapkannya nasab sebagai 

kriteria kafa’ah, maka orang Ajam dianggap tidak sekufu’ 

dengan orang Arab baik dari suku Quraisy maupun suku 

selain Quraisy. Orang Arab yang tidak berasal dari suku 

Quraisy dipandang tidak kufu’ dengan orang Arab yang 

berasal dari suku Quraisy. Selain itu, untuk orang Arab 

yang berasal dari keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthalib 

hanya dapat sekufu’ dengan seseorang yang berasal dari 

keturunan yang sama, tidak yang lainnya.Hal berdasarkan 

kepada sabda Nabi Saw.

نْمِ  ىَفطَصْاوَ  َةَناَنكِ  نْمِ  اشًيْرَُق  ىَفطَصْاوَ  لَيعِمَسِْإ  دَِلوَ  نْمِ  َةَناَنكِ  ىَفط�