ngan Thera Soõa, Buddha berkata
kepada Yang Mulia ânanda, “Untuk bhikkhu ini, anak-Ku ânanda,
siapkanlah tempat tidurnya!”
(Jika Buddha ingin menetap bersama seorang bhikkhu tamu di
dalam Kuñã Harum yang sama, Beliau akan meminta agar disediakan
tempat tidur baginya. Tetapi jika tidak ada alasan untuk menetap
bersama dengan si tamu, Beliau tidak akan berkata apa-apa. Untuk
orang itu, Yang Mulia ânanda atau orang lainnya yang bertugas
akan mempersiapkan akomodasi di tempat lain.)
Mengetahui keinginan Buddha, Thera ânanda menyiapkan
akomodasi bagi Thera Soõa Kuñikaõõa di dalam Kuñã Harum.
lalu Buddha melewatkan waktu-Nya dengan tercerap dalam
Jhà na selama beberapa jam malam itu, lalu memasuki Kuñã
Harum. Thera Soõa Kuñikaõõa juga melewatkan waktunya dengan
duduk selama beberapa jam malam itu dalam Jhà na lalu
masuk ke Kuñã Harum. Ingin berbicara dengan Soõa melalui Jhà na,
Buddha melewatkan waktu-Nya dengan berdiam dalam semua
Jhà na, yang merupakan hal biasa bagi para siswa, di ruang terbuka.
sesudah melakukan hal itu, Beliau mencuci kaki dan masuk ke kuñã.
Menyadari keinginan Guru, Thera Soõa mengikuti Beliau sesudah
berdiam dalam Jhà na selama beberapa jam di ruang terbuka.
Masuk ke dalam kuñã sesudah diizinkan oleh Buddha, ia membuat
tirai jubah dan melewatkan waktunya dengan duduk di kaki Buddha.
Pada jaga terakhir malam itu, sesudah berbaring di sisi kanan, yang
merupakan sãhaseyya (berbaring seperti seekor singa), dengan
penuh perhatian, Buddha bangun saat menjelang pagi. Beliau duduk
dan berpikir bahwa keletihan fisik Soõa sudah lenyap pada saat
itu, Buddha berkata, “Anak-Ku bhikkhu, ingatlah sesuatu untuk
dibacakan!” Thera membacakan enam belas khotbah yang dimulai
dengan KÃ ma Sutta yang seluruhnya membentuk keseluruhan
bagian yang dikenal sebagai Aññhaka Vagga dari Sutta Nipà ta dengan
suara yang merdu tanpa kesalahan bahkan satu huruf.
saat pembacaan itu selesai, Buddha memberi berkah-Nya
2623
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
dan bertanya, “Anak-Ku bhikkhu, seluruh enam belas khotbah dari
Aññhaka Vagga yang telah engkau pelajari, telah engkau hafalkan
dengan baik! (sebab diucapkan dengan artikulasi yang benar)
juga dengan suara yang merdu. Bersih, tanpa cacat, penuh dengan
kata-kata yang mengarah pada pemahaman makna yang bebas dari
kerusakan. Anak-Kku bhikkhu, berapa lama engkau telah menjadi
bhikkhu?” “Baru satu vassa, Buddha Yang Agung,” jawab Thera
Soõa Kuñikaõõa.
Buddha bertanya lagi, “Anak-Ku bhikkhu, mengapa engkau
memulai kebhikkhuan begitu terlambat?” “Buddha Yang Agung,”
jawab Thera Soõa, “Telah lama aku mengetahui kerugian dalam
kenikmatan indria. Tetapi kehidupan rumah tangga sungguh
menyibukkan, penuh dengan tugas dan hal-hal yang harus
dilakukan.” Mengetahui hal itu, yaitu, batin seseorang yang telah
melihat cacat dalam kenikmatan indria sebagaimana adanya tidak
akan tenggelam dalam kehidupan rumah tangga dalam waktu
yang lama, tetapi bagaikan setetes air yang jatuh dari daun teratai,
demikian pula pikiran kotornya akhirnya jatuh dari hatinya.” Maka
Buddha mengucapkan syair berikut:
Disvà à dãnavaÿ loke, ¤atvà dhammaÿ nirÃ¥padhiÿ
Ariyo na ramatã pà pe, pà pe na ramatã suci.
sebab ia telah dengan jelas melihat melalui mata Vipassanà ,
cacat-cacat dari ketidakkekalan, penderitaan, dan perubahan di
mana-mana dalam dunia bentuk (saïkhà ra) dan juga sebab ia
telah menembus melalui empat Jalan kebijaksanaan, Nibbà na yang
merupakan lenyapnya empat lapisan kehidupan (upadhi), para
mulia yang jauh dari kotoran tidak bergembira dalam kejahatan.
(Mengapa? sebab satu hal, individu yang bagaikan haÿsa yang
perbuatan, jasmani dan lain-lainnya murni, tidak mungkin individu
seperti itu akan menemukan kebahagiaan di dalam kelompok hal-
hal buruk dan kotor yang mirip tempat yang penuh kotoran. (Itulah
sebabnya.)
lalu Thera Soõa Kuñikaõõa berpikir, “Yang Agung
mengucapkan kata-kata gembira kepadaku. Sekarang yaitu
2624
waktunya bagiku untuk menyampaikan pesan guruku.” Ia
membetulkan jubah luarnya di bahu kirinya dan bersujud dengan
kepala di kaki Guru, dan berkata:
“Yang Agung, penahbisku, Thera Mahà Kaccà yana bersujud kepada-
Mu. Ia juga berpesan sebagai berikut:
“Buddha Yang Agung, di wilayah selatan, di Negeri Avanti,
terdapat sedikit bhikkhu. Aku mendapatkan kebhikkhuan sesudah
mengumpulkan sepuluh orang bhikkhu dari berbagai tempat
dengan susah payah sehingga memerlukan tiga tahun untuk dapat
menahbiskan aku. Aku memohon, Buddha Yang Agung, agar
Engkau mengizinkan penahbisan yang dilakukan oleh kurang dari
sepuluh bhikkhu di wilayah ini .” (1)
“Buddha Yang Agung, di wilayah selatan, di Negeri Avanti, tanah
tidak rata yang muncul dari permukaan mirip jejak kaki sapi yang
sangat kasar. Aku memohon, Buddha Yang Agung, agar Engkau
mengizinkan pemakaian sandal dengan beberapa lapis tapak di
wilayah itu.” (Pada waktu itu hanya sandal bertapak tunggal yang
diizinkan.) (2)
“Buddha Yang Agung, para warga di wilayah selatan, di Negeri
Avanti, gemar mandi. Mereka menganggap air sebagai faktor
pembersih; aku memohon, Buddha Yang Agung, agar Engkau
mengizinkan mandi setiap hari.” (Pada waktu itu, peraturan para
bhikkhu yaitu hanya mandi satu kali dalam dua minggu.) (3)
“Buddha Yang Agung, di wilayah Avanti, kulit domba, kulit
kambing, dan kulit rusa digunakan sebagai alas. Seperti halnya,
Yang Agung, di Wilayah Tengah (Majjhima-Desa) rumput eragu,
rumput soragu, rumput majjaru, dan rumput jantu digunakan
sebagai alas, demikian pula, kulit domba, kulit kambing, dan kulit
rusa digunakan di Avanti-Selatan. Aku memohon, Buddha Yang
Agung, agar Engkau mengizinkan kulit-kulit itu digunakan sebagai
alas.” (Pada waktu itu tidak ada kulit binatang yang diperbolehkan
untuk digunakan sebagai alas di wilayah itu.) (4)
2625
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
“Buddha Yang Agung, orang-orang masa kini mempercayakan
jubah kepada para bhikkhu di luar sãmà dengan berkata, ‘Jubah
ini diberikan kepada bhikkhu itu.’ Bhikkhu yang dipercayakan
menemui bhikkhu yang dituju dan berkata ‘orang atau teman itu
memberi jubah untukmu.’ Tetapi bhikkhu itu tidak menerima
jubah itu sebab ia berpikir penerimaan itu akan mengharuskan
ia melakukan penebusan sebab itu melanggar Vinaya. sebab
keraguan atas penerimaan semacam itu, mohon Buddha
memberitahukan cara yang benar dalam menerima jubah itu.”
(5) Demikianlah permohonan Yang Mulia Mahà Kaccà yana yang
disampaikan melalui aku.
sebab laporan Thera Soõa Kuñikaõõa, selanjutnya Buddha
membabarkan Dhamma kepadanya dan berkata kepada para
bhikkhu sebagai berikut:
“Para bhikkhu, jarang terdapat bhikkhu di wilayah selatan Avanti.
Di wilayah perbatasan seperti itu, Aku mengizinkan, para bhikkhu,
melakukan penahbisan oleh kelompok lima bhikkhu dengan
bhikkhu kelima yaitu seorang ahli Vinaya.”
Ungkapan “wilayah perbatasan” maksudnya yaitu wilayah di luar
Wilayah Tengah, di timur yaitu Kota Gajaïgala, di sebelah sana
pohon sà la besar; di sebelah sana pohon sà la itu yaitu wilayah
perbatasan.
Artinya yaitu wilayah yang terletak di luar Wilayah Tengah dan
di sebelah sana Sungai Salalavatã di sebelah tenggara;
Artinya yaitu wilayah yang terletak di luar Wilayah Tengah dan
di sebelah sana Kota Setakaõõika di sebelah selatan;
Artinya yaitu wilayah yang terletak di luar Wilayah Tengah dan
di sebelah sana Desa Brahmana Thåna di sebelah barat;
Artinya yaitu wilayah yang terletak di luar Wilayah Tengah dan
di sebelah sana Gunung Usãraddhaja di sebelah utara.
2626
“Para bhikkhu, di wilayah perbatasan itu dengan situasi demikian,
Aku mengizinkan dilakukannya penahbisan oleh kelompok lima
bhikkhu dengan bhikkhu kelima yaitu seorang ahli Vinaya. (1)
Para bhikkhu, di wilayah selatan Avanti, tanahnya tidak rata, banyak
terdapat gundukan dan penuh dengan jejak kaki sapi, sangat kasar.
Aku mengizinkan, para bhikkhu, (memakai) sandal dengan lapisan
tapak lebih dari satu di wilayah perbatasan itu. (2)
Para bhikkhu, di wilayah selatan Avanti, orang-orang terikat
kepada pentingnya mandi; mereka menganggap air sebagai faktor
pembersih. Aku mengizinkan, para bhikkhu, mandi setiap hari di
wilayah perbatasan itu. (3)
Para bhikkhu, wilayah selatan Avanti, kulit domba, kulit kambing,
dan kulit rusa digunakan sebagai alas. Seperti halnya, para
bhikkhu, di Wilayah Tengah (Majjhima-Desa) alas yang terbuat dari
rumput eragu, rumput soragu, rumput majjaru, dan rumput jantu
digunakan, demikian pula, kulit domba, kulit kambing, dan kulit
rusa digunakan di Avanti-Selatan. Aku mengizinkan, para bhikkhu,
digunakannya kulit domba, kulit kambing, dan kulit rusa sebagai
alas di wilayah perbatasan itu. (4)
Para bhikkhu, jika orang mempercayakan jubah kepada bhikkhu
tertentu yang berada di luar sãmà , dengan berkata: ‘Kami
memberi jubah ini kepada bhikkhu itu.’ Selama, para bhikkhu,
jubah itu belum diterima oleh tangan bhikkhu itu, jubah itu
tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang dimiliki oleh si calon
penerima untuk digunakan. Aku mengizinkan, para bhikkhu, untuk
menerima jubah itu.” (5)
Sekali lagi, seperti permohonan ibunya, Soõa Kuñikaõõa bersujud
kepada Buddha atas nama ibunya dan berkata, “Buddha Yang
Agung, penyumbang-Mu, Kà ëã, si umat awam perempuan,
mempersembahkan selimut ini untuk digunakan sebagai alas di
lantai Kuñã Harum.” Dengan kata-kata ini, ia menyerahkan selimut
itu kepada Buddha, ia bangkit dari duduknya dan bersujud
lalu kembali ke vihà ranya di Bukit Papata di dekat Kota
2627
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Kuraraghara di Avanti.
Sekembalinya ke tempat penahbisnya, Soõa Kuñikaõõa melaporkan
tentang misinya. Keesokan harinya ia pergi ke rumah ibunya
Kà ëã dan berdiri di pintu rumah untuk menerima dà na makanan.
Mendengar bahwa putranya berdiri di depan pintu, ia bergegas
keluar, memberi hormat, mengambil mangkuk dari tangan Thera,
menyediakan tempat duduk dan mempersembahkan makanan.
lalu terjadi percakapan antara si ibu dengan Thera:
Ibu, “Anakku, apakah engkau sudah bertemu dengan Yang
Agung?”
Thera, “Sudah, penyumbang.”
Ibu, “Apakah engkau juga bersujud kepada Yang Agung atas
namaku?”
Thera, “Ya. Selimut yang engkau persembahkan kepada Yang
Agung, aku sendiri yang menghamparkannya sebagai alas, sesuai
permintaanmu, di dalam Kuñã Harum yang Beliau tempati.”
Ibu, “Bagaimanakah kunjunganmu kepada Yang Agung? Benarkah
bahwa engkau membicarakan Dhamma? Benarkah bahwa Yang
Agung juga memberi berkah-Nya kepadamu?”
Thera, “Bagaimana engkau mengetahui semua ini?”
Ibu, “Dewa penjaga rumah ini, Anakku, memberitahuku bahwa
pada hari Yang Agung memberi berkah-Nya kepadamu, para
dewa dan brahmà dari sepuluh ribu alam semesta juga melakukan
hal yang sama. Aku ingin engkau menceritakannya kepadaku,
Anakku, tentang Dhamma, dengan kata-kata yang sama seperti
yang engkau katakan kepada Yang Agung.”
Sang Thera mengabulkan permohonan ibunya dengan berdiam
diri. Mengetahui persetujuan Thera, si ibu membangun sebuah aula
2628
besar di gerbang rumahnya dan meminta Thera mengulangi persis
apa yang telah ia katakan kepada Buddha; dengan cara demikian si
ibu mengadakan pertemuan Dhamma agung.
(c) Gelar Etadagga
Pada lalu hari, duduk di tengah-tengah para siswa mulia,
Buddha memuji Thera Soõa Kuñikaõõa sebagai berikut:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥aÿ kalyà õa-
và kkaraõà naÿ yadidaÿ Soõo Kuñikaõõo,” “Para bhikkhu, di antara
para siswa-Ku yang mampu mengucapkan kata-kata suci dengan
suara yang merdu dan menyenangkan, Kuñikaõõa Soõa yaitu
yang terbaik.”
Demikianlah Buddha menyebutkan bahwa Thera yaitu yang
terbaik dalam hal Kalyà navà kkaraõa, ‘mengucapkan kata-kata suci
dengan suara merdu dan menyenangkan.’
Demikianlah kisah Thera Soõa Kuñikaõõa
(18) Thera Sãvali
(a) Cita-cita masa lampau
Orang yang kelak menjadi Thera Sãvali juga pergi ke vihà ra pada
masa kehidupan Buddha Padumuttara seperti para bakal Thera
terdahulu dan berdiri di belakang para hadirin, mendengarkan
khotbah Buddha. Suatu saat ia melihat Buddha menganugerahkan
gelar etadagga sebagai yang terbaik di antara mereka yang menerima
persembahan berlimpah. Berpikir bahwa ia juga harus menjadi
seperti bhikkhu ini , ia mengundang Buddha ke rumahnya
dan mempersembahkan dà na besar seperti bakal Thera terdahulu
selama tujuh hari. lalu ia mengungkapkan cita-citanya
dengan berkata kepada Buddha, “Buddha Yang Agung, sebagai
hasil dari kebajikan ini, aku tidak menginginkan kesejahteraan lain.
Sesungguhnya, aku ingin mendapat anugerah gelar etadagga sebagai
yang terbaik di antara mereka yang menerima banyak persembahan
2629
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
pada masa pengajaran Buddha mendatang, seperti bhikkhu yang
mendapat gelar itu tujuh hari yang lalu.”
Mengetahui bahwa cita-cita orang itu akan tercapai tanpa rintangan,
Buddha mengucapkan ramalan sebagai berikut lalu kembali
ke vihà ra, “Cita-citamu akan tercapai kelak pada masa pengajaran
Buddha Gotama.”
Kehidupan Sebagai warga Desa
sesudah melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya, orang itu,
bakal Sãvali, terlahir kembali di alam manusia dan dewa (tanpa
pernah terlahir di empat alam sengsara). Pada masa kehidupan
Buddha Vipassã (sembilan puluh satu kappa yang lalu) ia menjadi
seorang warga suatu desa tidak jauh dari Kota Bandhumatã.
Pada saat itu, para warga Bandhumatã yang bersaing dengan
raja berdiskusi tentang bagaimana memberi dà na besar kepada
Buddha.
Suatu hari saat mereka mempersembahkan dà na kolektif, mereka
memeriksa persembahan mereka untuk melihat apakah masih ada
yang tertinggal dan mengetahui bahwa di sana tidak ada madu dan
dadih susu. Mereka sepakat untuk membawanya dari tempat mana
pun yang mungkin dengan segala cara dan menempatkan seseorang
untuk berjaga di jalan yang menuju kota dari desa itu.
lalu datang seorang warga desa, bakal Sãvali, membawa
sekendi dadih susu dari desanya dan berniat untuk menukarnya
dengan sesuatu yang ia perlukan. Tetapi sebelum ia memasuki kota,
ia ingin mencuci muka dan tangannya dan mencari air di sana-sini
dan melihat sarang lebah sebesar kepala bajak tetapi tidak ada
lebahnya. Percaya bahwa sarang lebah itu muncul berkat jasa masa
lampaunya, ia mengambilnya dan memasuki kota.
saat warga kota melihat si orang desa, ia bertanya, “Untuk
siapakah, teman, engkau membawa madu dan dadih ini?” “Tuan,
tidak untuk siapa pun. Sesungguhnya, aku membawanya untuk
2630
dijual,” si orang desa menjawab. “Kalau begitu, ambillah sekeping
uang ini dan berikan madu dan dadih itu kepadaku,” kata si orang
kota.
Si orang desa itu berpikir, “Benda yang kubawa ini tidak begitu
berharga. Tetapi orang ini ingin membelinya dariku dengan harga
setinggi itu bahkan pada penawaran pertama. Aku tidak tahu
sebabnya,” maka ia berkata, “Aku tidak dapat menjualnya dengan
harga itu.” saat si orang kota menaikkan harganya dengan berkata,
“Jika engkau tidak mau menjualnya dengan harga satu keping,
ambillah dua keping ini dan berikan kepadaku madu dan dadih itu,”
si orang desa menjawab “Aku tidak dapat menjualnya dengan harga
dua keping,” untuk menaikkan harganya. Demikianlah harganya
terus meningkat hingga mencapai seribu keping uang.
Menyadari, “Tidak adil jika aku berlama-lama dalam tawar-
menawar ini. Tetapi, aku akan menanyakan tujuannya,” si orang
desa berkata, “madu dan dadih ini tidak begitu berharga. Tetapi
engkau terlalu bersemangat menawar dengan harga yang begitu
tinggi. Mengapa engkau menginginkan barang ini dengan
pembayaran yang begitu tinggi?” Orang kota itu memberitahukan
tujuannya, “Di kota kerajaan Bandhumati ini, teman, para warga
bersaing dengan raja untuk memberi dà na besar kepada Buddha
Vipasã. Saat melakukan hal itu, mereka tidak melihat dua benda,
madu dan dadih di antara barang-barang persembahan mereka.
Maka mereka berusaha mendapatkannya dengan segala cara. Jika
mereka tidak berhasil mendapatkannya, mereka akan kalah dalam
persaingan dengan raja. sebab itu aku ingin memilikinya dengan
membayarkan seribu keping uang kepadamu.” Si orang desa
menjawab, “Tuan, apakah persembahan itu hanya boleh dilakukan
oleh orang kota tetapi tidak oleh orang desa?”
Si orang kota menjawab, “Teman, tidak ada pemberian yang dilarang
(semua orang apakah orang kota atau desa berhak memberi
persembahan).” Si orang desa lalu bertanya lebih lanjut, “O
Tuan, sekarang para warga sedang memberi persembahan,
adakah orang yang memberi seribu keping uang dalam sehari?”
“Tidak ada, teman.” “O tuan,” orang itu berkata, “Kalau begitu,
2631
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
pergi dan katakanlah kepada orang-orang kota bahwa seorang kasar
dari desa akan mempersembahkan dua benda ini, yaitu, madu dan
dadih susu, bukan demi uang; akan tetapi, ia akan memberi
persembahan melalui kedua tangannya sendiri. Mohon katakan juga
kepada mereka bahwa mereka tidak perlu gelisah untuk mencari
benda-benda ini dan bahwa mereka sekarang bolah berbahagia
sebab benda-benda ini telah tersedia. Sedangkan engkau, engkau
harus menjadi saksi bahwa dalam dà na besar ini, akulah yang
menjadi penyumbang atas benda yang paling mahal.”
Persembahan Madu yang Dicampur Dengan Dadih
sesudah berkata demikian si orang desa membeli lima bahan harum
dengan uang yang ia bawa dari rumah untuk membeli makanan dan
mengubah bahan harum itu menjadi bubuk. lalu ia memeras
dadih untuk mendapatkan airnya; ke dalam air itu ia menuangkan
madu dengan memeras sarang lebah dan membumbui campuran
madu dan air dadih itu dengan bubuk harum. Selanjutnya ia
meletakkan campuran makanan cair itu ke dalam (bungkusan)
daun teratai; sesudah mempersiapkan makanan itu dengan saksama,
ia membawanya dan duduk di tempat yang tidak terlalu jauh dari
Buddha, menunggu giliran untuk memberi persembahan.
Di tengah banyak persembahan yang dibawa oleh para warga ,
orang yang menunggu itu, mengetahui gilirannya telah tiba untuk
memberi persembahan, mendekati Buddha dan memohon,
“Buddha Yang Agung, persembahan ini yaitu pemberian dari
seorang miskin sepertiku. Yang Mulia, sudilah menerima pemberian
tidak berharga dariku ini.” sebab welas asih-Nya terhadap si
orang desa, Buddha menerima persembahan itu dengan mangkuk
pualam yang diberikan oleh empat raja dewa dan berkehendak agar
makanan itu tidak akan habis bahkan sesudah dibagikan kepada
enam juta delapan ratus ribu bhikkhu.
saat Buddha memakan makanan itu, si orang desa kasar itu
bersujud dengan penuh hormat kepada Buddha dan sambil
tetap berada di tempat yang semestinya, ia memohon, “Buddha
Yang Agung, semua orang dari Kota Bandhumati melihat dan
2632
mengetahui bahwa pada hari ini aku membawa dan memberi
persembahan untuk-Mu. Sebagai akibat dari kebajikan ini,
semoga dalam pengembaraanku di dalam saÿsà ra aku selalu
menerima persembahan berlimpah, memiliki banyak pengikut
dan kemasyhuran. sesudah mengucapkan, “Evaÿ hotu kulaputta,
semoga keinginanmu terkabul, orang desa,” Buddha membabarkan
khotbah penghargaan kepada orang desa itu dan para warga
dan lalu kembali ke vihà ra.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Si orang desa, sesudah melakukan banyak kebajikan seumur
hidupnya, mengembara di alam surga dan manusia, dan pada
masa kehidupan Buddha kita, ia dikandung dalam rahim seorang
perempuan Koliya. Putri Sakya bernama Suppavà sà .
Peristiwa Aneh Pada Masa Kehamilan
Sejak masa kehamilan, ratusan hadiah terus-menerus mendatangi si
ibu, Putri Suppavà sà siang dan malam. Sang putri menjadi semakin
kaya. (Menurut versi Sinhala, lima ratus hadiah datang pada siang
hari dan lima ratus lagi pada malam hari.)
lalu suatu hari, untuk menyelidiki keberuntungan masa
lampau sang putri, kerabat kerajaannya mengambil sekeranjang
benih dan disentuhkan ke tangan sang putri. saat benih-benih
itu ditebarkan, muncullah ribuan tunas dari masing-masing benih.
Sepetak lahan berukuran satu pai menghasilkan lima puluh atau
enam puluh gerobak padi.
Juga pada suatu saat saat hasil panen disimpan di dalam gudang,
mereka meminta sang putri agar menyentuh pintu gudang. Pada saat
mengambil hasil panen itu, tempat yang telah kosong itu menjadi
penuh lagi seperti semula sebab perbuatan mulia yang dilakukan
sang putri pada masa lampau. Selain itu, saat menyendokkan
nasi dari kendi yang penuh sambil mengucapkan, “Ini yaitu
keberuntungan sang putri,” dan membagikan makanan itu kepada
semua orang yang datang, persediaan makanan itu tidak pernah
2633
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
habis. Semua keajaiban ini terjadi selama si anak masih berada dalam
kandungan ibunya selama tujuh tahun.
saat janin ini sudah matang di akhir tahun ketujuh, sang
putri menderita gabbhamåëha-dukkha, pingsan sebab kehamilan.
Kesakitan itu ditahankan oleh sang putri tanpa mengeluh atau
merintih tetapi dengan merenungkan kemuliaan Buddha, Kemuliaan
Dhamma, dan Kemuliaan Saÿgha sebagai berikut:
“Sammà sambuddho vato so Bhagavà yo imassa evarÃ¥passa
dukkhassa pahà nà ya dhammaÿ deseti. Beliau, guru kita,
Yang Agung, mengajarkan kita untuk melepaskan semua jenis
penderitaan; guru kita yang sungguh telah mencapai Pencerahan
Sempurna dengan mencapai Kemahatahuan dan mengetahui
Kebenaran dan semua yang harus diketahui.
“Suppañipanno vata tassa Bhagavà to Sà vakasaÿmgho: yo imassa
evarÃ¥passa dukkhassa pahà nà ya pañippanno;” “Para bhikkhu, yang
yaitu para Siswa Yang Agung, berusaha keras melepaskan semua
jenis penderitaan itu; para siswa Buddha Yang Agung itu menjalani
(Tiga Latihan) dengan sangat baik!”
“Susukhaÿ vata taÿ Nibbà naÿ, yatth’idaÿ evarÃ¥paÿ dukkhaÿ
na saÿvijjati.” “Dhamma yang tidak mengandung sedikit pun
penderitaan, Dhamma Nibbà na yaitu sungguh suatu kebahagiaan
yang luar biasa!”
Dengan merenungkan kemuliaan tiga entitas itu, yaitu, kemuliaan
Buddha, kemuliaan Saÿgha, dan kemuliaan kebahagiaan dan
kedamaian Nibbà na, sang putri menahankan kesakitannya. (Ia
mengendalikan dirinya dan menolak mengalami penderitaan
yang diakibatkan oleh kehamilannya dan menolak untuk merintih
kesakitan dengan terus-menerus bermeditasi merenungkan kualitas
Buddha, Saÿgha, dan Nibbà na.)
Pada hari ketujuh, Putri Koliya Suppavà sà memanggil suaminya,
Pangeran Koliya dan berniat untuk memberi persembahan, ia
berkata, “Pergilah suamiku! Katakan kepada Yang Agung tentang
2634
apa yang terjadi padaku dan undanglah Guru. Perhatikanlah semua
yang Beliau katakan dan sampaikan padaku!” Pangeran pergi dan
memberitahu Beliau tentang apa yang terjadi pada Putri Suppavà sà .
Buddha lalu mengucapkan, “Semoga Putri Suppavà sà sehat
dan sejahtera. Dengan kesehatannya, semoga ia melahirkan seorang
putra yang sehat!” Segera sesudah Buddha mengucapkan kata-kata
itu, sang putri sesaat melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat
tanpa merasa sakit sedikit pun. Mereka yang mengelilingi sang
putri berubah dari menangis menjadi bahagia dan mendatangi
sang pangeran untuk memberitahukan tentang bayi itu: sang
pangeran, sesudah mendengarkan apa yang dikatakan oleh Buddha,
bersujud dan kembali ke desa. saat ia melihat para pelayannya
datang dengan gembira, ia menjadi yakin, ia berpikir, “Kata-kata
Yang Agung pasti menjadi kenyataan.” Ia mendatangi sang putri
dan menyampaikan kata-kata Buddha. Sang putri berkata, “Tuan,
persembahan makanan penyelamat kehidupan yang akan engkau
persembahkan akan menjadi makanan kebahagiaan. Pergilah lagi!
Mohon kepada Buddha untuk datang (dan makan) selama tujuh
hari.” Pangeran melakukan apa yang diminta oleh sang putri.
Mereka berdua mempersembahkan dà na besar kepada Buddha dan
para bhikkhu selama tujuh hari.
Anak itu lahir dan kekhawatiran semua orang pun lenyap. Ia diberi
nama Sãvali. sebab ia berada dalam kandungan ibunya selama tujuh
tahun, sejak saat ia dilahirkan, ia telah mampu melakukan segala hal
yang dapat dilakukan oleh anak berusia tujuh tahun. Misalnya ia
membersihkan air dengan memakai saringan (dhamakaraõa)
dan mempersembahkannya kepada para bhikkhu pada Ritual
mahà dà na selama seminggu.
Pada hari ketujuh, Thera SÃ riputta, Jenderal Dhamma, bercakap-
cakap dengan anak itu. Thera bertanya, “Sãvali, tidakkah engkau
ingin menjadi seorang bhikkhu sesudah mengalami banyak
penderitaan seperti itu?” “Yang Mulia, jika aku mendapat izin
dari orangtuaku, aku ingin menjadi seorang bhikkhu,” jawab anak
itu. Melihat anaknya bercakap-cakap dengan Thera, Ibu berpikir,
“Bagaimana ini? Anakku bercakap-cakap dengan Thera yang
yaitu Jenderal Dhamma?” Maka ia dengan gembira mendekati
2635
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Thera dan bertanya apa yang sedang mereka bicarakan. Thera
berkata, “Ia menceritakan kepadaku tentang penderitaannya
selama berada dalam kandungan ibunya dan berjanji padaku bahwa
ia ingin menjalani hidup pertapaan jika ia mendapat izin dari
kedua orangtuanya.” Sang putri memberi izin dengan berkata,
“Baiklah, Yang Mulia, jadikanlah ia seorang sà maõera.”
Sang Thera lalu membawa Sãvali ke vihà ra dan saat
menahbiskannya menjadi seorang sesudah memberi subjek
meditasi taca-pa¤caka (lima kelompok jasmani dengan kulit sebagai
yang kelima), ia berkata, “Engkau tidak memerlukan nasihat lain
untuk dilaksanakan. Cukup ingat saja kesakitan yang engkau
derita selama tujuh tahun.” “Menahbiskan aku yaitu tugasmu,
Yang Mulia. Merenungkan Dhamma yaitu tugasku; aku akan
bermeditasi merenungkan apa pun yang dapat kuingat.”
Saat mencukur rambutnya, pada cukuran pertama, Sà maõera Sãvali
berhasil mencapai Sotà patti-Phala, pada cukuran kedua, ia berhasil
mencapai Sakadà gà mã-Phala, saat cukuran ketiga ia mencapai
Anà gà mã-Phala; segera sesudah rambutnya selesai dicukur, ia berhasil
mencapai kesucian Arahatta. (Selesainya pencukuran rambut dan
Kearahattaan terjadi hampir bersamaan.)
Sejak hari Sãvali ditahbiskan menjadi sà maõera, persembahan empat
kebutuhan, yaitu, jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan,
meningkat diterima oleh Saÿgha kapan pun diinginkan. Kisah
peristiwa-peristiwa itu yang terjadi pada Yang Mulia Sãvali dimulai
dari Kota Kuõóikà .
(Kisah Yang Mulia Sãvali ini dikutip dari Kitab Udà na. Kisah
lengkap mengenai kajahatan masa lampaunya yang menyebabkan
ia mengalami penderitaan selama tujuh tahun berada dalam
kandungan ibunya (gabbhavà sa-dukkha) dan kesakitan ibunya
(gabbhamåëha) dikutip dari Komentar Udà na.)
(Sang ibu dan anaknya pada salah satu kehidupan lampau yaitu
seorang permaisuri dan anak dari Raja Bà rà õasã. Suatu saat Raja
Kosala menyerang Raja Bà rà õasã dan menangkap sang permaisuri
2636
dan mengangkatnya untuk menempati posisi yang sama. saat
Raja Bà rà õasã dikalahkan dan meninggal dunia, anaknya, Pangeran
Bà rà õasã, melarikan diri melalui parit; sesudah mengatur pasukannya,
ia kembali ke Kota Bà rà õasã dan mengultimatum raja baru untuk
mengembalikan kota atau berperang. Sang ibu yang berada dalam
kota menasihati putranya untuk mengepung kota itu untuk
menyusahkan banyak orang. Sesuai nasihat sang ibu, pangeran
melakukan pengepungan dengan memblokir empat gerbang
utama sehingga tidak ada jalan masuk dan keluar. Meskipun ia
melakukan hal itu selama tujuh tahun, para warga keluar dari
gerbang yang lebih kecil untuk mengumpulkan rumput, kayu, dan
lain-lain, dan pemblokiran itu menjadi sia-sia. Mengetahui hal itu,
sang ibu menasihati anaknya untuk memblokir gerbang-gerbang
kecil juga.
(saat sang pangeran mengikuti nasihat ibunya, gerakan para
warga menjadi sangat terbatas dan tujuh hari lalu mereka
memenggal kepala Raja Kosala dan menyerahkannya kepada sang
pangeran. Sang pangeran lalu memasuki kota dan mengangkat
dirinya menjadi raja.
Sebagai akibat dari kejahatan itu, anak dan ibu itu harus mengalami
penderitaan mereka.)
Menyelidiki Sendiri Kamma Baik Seseorang
Pada suatu saat , saat Buddha tiba di Sà vatthã, Thera Sãvali bersujud
dengan penuh hormat dan meminta izin dengan mengatakan,
“Buddha Yang Agung, aku ingin menyelidiki kamma baikku.
Sudilah memberi lima ratus bhikkhu untuk menyertaiku.”
Buddha mengizinkan dengan berkata, “Bawalah mereka, anak-Ku
Sãvali.”
Sang Thera pergi ke Himavanta dengan melalui jalan hutan dan
membawa lima ratus bhikkhu bersamanya. lalu ia bertemu:
(1) Pohon banyan besar di tengah perjalanan. Dewa pohon itu
mempersembahkan makanan selama tujuh hari kepadanya.
2637
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
lalu ia melihat;
(2) Kedua, Bukit Pandava;
(3) Ketiga, Sungai Aciravatã;
(4) Keempat, lautan yang dikenal dengan Vara-sà gara;
(5) Kelima, Himavanta;
(6) Keenam, Danau di Hutan Chaddanta;
(7) Ketujuh, Gunung Gandhamà dana
(8) Kedelapan, tempat kediaman Yang Mulia Revata.
Di semua tempat ini, para dewa memberi dà na besar kepada
Thera Sãvali selama tujuh hari.
saat ia tiba di Gunung Gandhamà dana, dewa yang bernama
NÃ gadatta mempersembahkan kepadanya nasi susu dan nasi
mentega bergantian selama tujuh hari. lalu para bhikkhu
berkata, “Teman-teman, kita tidak melihat sapi-sapi yang diperah
susunya oleh dewa juga tidak melihat dadih susu diaduk untuk
dijadikan mentega.” Mereka bertanya kepada dewa itu, kebajikan
apakah yang ia lakukan sehingga dapat memperoleh nasi susu dan
nasi mentega itu. Dewa NÃ gadatta menjawab, “Yang Mulia, aku
mampu memberi nasi susu dan nasi mentega tanpa memerah
sapi sebab aku melakukan persembahan dà na banyak nasi susu
pada masa kehidupan Buddha Kassapa.”
(c) Gelar Etadagga
saat Buddha mengunjungi Thera Revata (seperti telah diceritakan
dalam kisah Thera itu) para dewa menyediakan kebutuhan mereka
setiap hari dalam perjalanan yang gersang dan berbahaya itu, yang
ditujukan kepada Yang Mulia Sãvali. Sehubungan dengan peristiwa
itu, Buddha menempatkan Thera di posisi teratas di antara mereka
yang menerima banyak persembahan; Buddha memuji Thera
dengan mengatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ là bhãnaÿ
yad’idaÿ Sãvali,” “Para bhikkhu, di antara para siswa-Ku yang
menerima empat kebutuhan berlimpah, Bhikkhu Sãvali yaitu yang
terbaik.”
2638
(Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan Yang Mulia Sãvali dapat
dibaca dalam Apadà na, Komentar Dhammapada, dan lain-lain,
demikian pula kata-kata Dhamma yang melibatkan Thera Sãvali
juga dapat dibaca dalam sumber yang sama.)
Demikianlah kisah Thera Sãvali
(19) Thera Vakkali
(a) Cita-cita masa lampau
Thera Vakkali yaitu seorang biasa pada masa kehidupan Buddha
Padumuttara. Seperti halnya para Thera lainnya, ia mengunjungi
Buddha di vihà ra, duduk di belakang para hadirin dan saat
mendengarkan khotbah Buddha, ia melihat seorang bhikkhu yang
mendapat anugerah gelar etadagga di antara para bhikkhu yang
setia kepada Buddha. Ia berkeinginan kuat untuk mendapatkan
gelar yang sama pada masa kehidupan Buddha mendatang. Seperti
juga para Thera lainnya, ia mengundang Buddha ke rumahnya dan
memberi persembahan besar selama tujuh hari. lalu ia
mengungkapkan cita-citanya di depan Buddha, “Atas kebajikan
ini, semoga aku, Yang Mulia, dinyatakan oleh Buddha mendatang
sebagai yang terbaik di antara mereka yang setia kepada Buddha.”
Buddha mengetahui bahwa cita-cita orang itu akan tercapai dan
mengucapkan ramalan-Nya lalu kembali ke vihà ra.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Orang baik itu melakukan banyak kebajikan hingga hari terakhir
kehidupannya. saat meninggal dunia, ia terlahir kembali
berulang-ulang hanya di alam bahagia, dan pada masa kehidupan
Buddha Gotama, ia terlahir kembali dalam keluarga brahmana di
Sà vatthã. Oleh orangtuanya ia diberi nama Vakkali.
Ia mendapat pendidikan brahmanis dan memelajari tiga Veda.
Suatu hari ia melihat Buddha disertai oleh banyak bhikkhu sedang
mengumpulkan dà na makanan di Sà vatthã. Ia terpesona dengan
2639
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
keagungan fisik Buddha sehingga ia mengikuti Buddha dan
memasuki vihà ra bersama barisan para bhikkhu. Di sana ia terus
menatap keagungan Buddha. Saat Buddha membabarkan khotbah,
ia duduk tepat di depan Buddha.
Keyakinan Vakkali begitu dalam sehingga ia tidak mampu beranjak
dari hadapan Buddha selama beberapa waktu. sebab itu ia
memutuskan untuk tidak lagi menjalani kehidupan rumah tangga
sebab sebagai seorang perumah tangga ia tidak dapat melihat
Buddha sesuka hatinya; hanya sebagai bhikkhu ia akan mendapat
kesempatan itu. Maka ia mendatangi Buddha dan memohon agar
ia ditahbiskan. Dan ia ditahbiskan.
Sebagai seorang bhikkhu, Yang Mulia Vakkali tidak pernah
melewatkan kesempatan melihat Buddha kecuali saat makan. Ia
tidak melakukan apa-apa dalam menjalani kebhikkhuan, melainkan
melewatkan seluruh waktunya dengan menatap Buddha. Buddha
mengetahui bahwa waktunya belum tiba bagi Vakkali untuk
mencapai Pencerahan dan sebab itu Beliau tidak menegurnya. Saat
waktunya tiba, Buddha berkata kepada Yang Mulia Vakkali:
“Vakkali, apa gunanya engkau menatap tubuh busuk-Ku ini?
Vakkali, ia yang melihat Dhamma sesungguhnya juga melihat Aku.
Ia yang melihat Aku, juga melihat Dhamma. Vakkali, hanya ia yang
melihat Dhamma yang benar-benar melihat Aku. Ia yang ingin
melihat Aku harus melihat Dhamma.”
Walaupun Buddha menasihati Yang Mulia Vakkali dengan kata-
kata itu tetapi Vakkali tidak mampu menarik dirinya menjauh dari
Buddha. Buddha mengetahui bahwa bhikkhu itu perlu disadarkan
emosinya agar dapat mencapai Pencerahan. Maka, pada malam
sebelum vassa, Buddha pergi ke RÃ jagaha dan di sana Beliau berkata
kepada Yang Mulia Vakkali pada hari dimulainya vassa, “Vakkali,
pergilah! Tinggalkan Aku!”
Tidak mungkin mengabaikan perintah yang diberikan oleh Buddha;
Yang Mulia Vakkali terpaksa mematuhi. Ia harus pergi selama
(paling sedikit) tiga bulan masa vassa. Tidak ada yang dapat ia
2640
lakukan. Ia merasa sedih dan putus asa. “Lebih baik mati daripada
jauh dari Buddha.” Demikianlah ia merenungkan dan pergi ke
Gunung Gijjhakåña di mana terdapat jurang yang curam.
Buddha melihat melalui batin-Nya kesedihan yang melanda
Yang Mulia Vakkali. “Tanpa bantuan-Ku, Bhikkhu Vakkali akan
membuang-buang jasanya yang sekarang cukup matang untuk
mencapai Pencerahan.” Buddha berpikir. sebab itu, Beliau
memancarkan Cahaya Buddha ke arah Vakkali sehingga bhikkhu itu
dapat melihat Beliau. Pandangan itu sesaat meredakan kesedihan
Yang Mulia Vakkali, bagaikan panah penderitaan yang menusuk
tiba-tiba dicabut.
lalu untuk mengisi batin Vakkali dengan kegembiraan dan
kepuasan, Buddha mengucapkan syair berikut:
Pà mojjabahulo bhikkhu, pasanno Buddhasà sane;
adhigacche padaÿ, santaÿ, saïkharåpasamaÿ sukhaÿ.
“sebab gembira dan penuh keyakinan dalam ajaran Buddha
yang terdiri dari Tiga Latihan, seorang bhikkhu akan mencapai
Nibbà na, yang tenang, lenyapnya kondisi-kondisi, kebahagiaan.”
(Dhammapada IV 381)
(Menurut Komentar Aïguttara Nikà ya) Buddha merentangkan
tangan-Nya ke arah Yang Mulia Vakkali dan berkata, “Datanglah,
Bhikkhu.”
Komentar Dhammapada menambahkan; sesudah mengucapkan
syair di atas, Buddha merentangkan tangan-Nya ke arah Yang Mulia
Vakkali, dan mengucapkan syair-syair berikut:
Ehi Vakkali mà bhà yi, olokehi Tathà gataÿ;
Ahaÿ taÿ uddharissà mi, païke sannaÿ va ku¤jaraÿ.
Datanglah, Vakkali, jangan takut, lihatlah (Aku) Tathà gata, Aku
akan mengangkatmu (ke Nibbà na) dari kedalaman saÿsà ra yang
tidak berawal bagaikan seseorang yang menarik seekor gajah dari
2641
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
lumpur.
Ehi Vakkali mà bhà yi, olokehi Tathà gataÿ;
Ahaÿ taÿ mocayissà mi, Rà huggahaÿ va såriyaÿ.
Datanglah, Vakkali, jangan takut, lihatlah Tathà gata, Aku akan
membebaskan engkau dari belenggu kotoran seperti Aku
membebaskan matahari dari belenggu RÃ hu.
Ehi Vakkali mà bhà yi, olokehi Tathà gatam;
Ahaÿ taÿ mocayissà mi Rà huggahaÿ va candimÿ.
Datanglah, Vakkali, jangan takut, lihatlah Tathà gata, Aku akan
membebaskan engkau dari belenggu kotoran seperti Aku
membebaskan bulan dari belenggu RÃ hu.
lalu Yang Mulia Vakkali berkata kepada dirinya sendiri, “Aku
sekarang melihat Buddha secara pribadi, dan Bhagavà merentangkan
tangan-Nya kearahku. Oh, betapa bahagianya aku! Ke manakah
aku harus pergi sekarang?” Dan sebab tidak tahu ke arah mana
ia harus berjalan, ia melangkah ke atas ke arah Buddha, dan saat
langkah kakinya menginjak gunung, sambil merenungkan syair
yang diucapkan oleh Buddha, dan diliputi oleh kegembiraan dan
kepuasan melalui Pandangan Cerah (terhadap tiga corak fenomena
berkondisi), ia berhasil mencapai kesucian Arahatta, lengkap dengan
Pengetahuan Analitis. lalu ia turun ke tanah dan berdiri
menyembah Buddha.
(c) Gelar Etadagga
Pada lalu hari, di tengah-tengah pertemuan para bhikkhu,
Buddha menganugerahkan gelar kepada bhikkhu terbaik, Beliau
menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ saddhà dhi
muttà naÿ yadidaÿ Vakkali,” “Para bhikkhu, di antara para siswa-Ku
yang setia kepada Buddha, Bhikkhu Vakkali yaitu yang terbaik.”
2642
(Catatan: Dalam hal para bhikkhu lain, kesetiaan mereka terhadap
Buddha harus ditingkatkan. Sedangkan Vakkali, kesetiannya yang
teguh begitu kuatnya sehingga Buddha terpaksa menguranginya
dengan cara mengusirnya. sebab itu ia yaitu yang bhikkhu terbaik
dalam hal kesetiaan terhadap Buddha.
Demikianlah kisah Thera Vakkali
(20-21) Rà hula dan Thera Raññhapà la
(a) Cita-cita masa lampau
Pada awal kappa Buddha Padumuttara, bakal RÃ hula dan bakal
Raññhapà la terlahir dalam keluarga-keluarga berkecukupan di
Haÿsà vatã. (Nama dan suku kedua pemuda itu tidak disebutkan
dalam Komentar-Komentar lama.)
Saat mereka dewasa, mereka menikah dan saat ayah-ayah mereka
meninggal dunia, mereka menjadi kepala keluarganya masing-
masing. Sewaktu mengeluarkan harta keluarga, mereka mengetahui
kekayaan yang luar biasa yang mereka warisi. Mereka merenungkan,
“Leluhur kami memiliki kekayaan yang demikian besar tetapi tidak
mampu membawanya saat mereka meninggalkan kehidupan ini.
Sedangkan kami, kami akan berusaha membawanya ke kehidupan
berikut dengan segala cara. Maka mereka mulai mempraktikkan
kedermawanan. Mereka mendirikan tempat pembagian sumbangan
di empat penjuru, semua kebutuhan kaum miskin dan para
pengembara disediakan dengan berlimpah.
Dari kedua sahabat itu, salah satunya memiliki kebiasaan
menanyakan kebutuhan para penerima yang datang untuk menerima
derma dan memberi sesuai kebutuhan, dan sebab itu ia diberi
nama âgatapà ka, atau ‘Dermawan Diskriminatif.’ Sedangkan yang
lain tidak pernah menanyakan kebutuhan para penerima melainkan
memberi sebanyak yang mereka inginkan, dan sebab itu ia
dikenal sebagai Anaggapà ka, ‘Dermawan murah hati.’
Pada suatu pagi, kedua orang itu keluar dari desa mereka untuk
2643
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
mencuci muka. Pada saat itu, dua orang petapa yang telah mencapai
kekuatan batin, yang datang dari Pegunungan Himavanta melalui
angkasa untuk mengumpulkan dà na makanan, turun ke suatu
tempat yang tidak jauh dari kedua orang kaya itu. Mereka membuat
diri mereka tidak terlihat dan berdiri di pinggir jalan. Mereka
memperlihatkan diri hanya saat mereka berjalan menuju desa
dengan memegang mangkuk untuk menerima dà na makanan.
Kedua orang kaya itu mendekat dan memberi hormat kepada kedua
petapa itu. Kedua petapa itu bertanya, “O teman, kapankah kalian
datang ke sini?” Dan kedua orang itu menjawab, “Yang Mulia,
kami baru saja tiba di sini.” lalu mereka mengundang kedua
petapa itu ke rumah mereka masing-masing, mempersembahkan
makanan, dan sesudah itu mereka mendapatkan janji dari kedua
petapa itu untuk datang dan menerima persembahan dari mereka
setiap hari sejak hari itu.
(Salah satu dari mereka, petapa yang setuju untuk menjadi penerima
dà na rutin dari bakal Rà hula) menderita penyakit flu, dan untuk
menyejukkan badannya yang panas, ia melewatkan siang hari di
tempat tinggal Raja NÃ ga bernama Pathavindhara yang terletak
di dasar samudra.Petapa itu turun ke sana dengan cara membelah
lautan sehingga menjadi jalan setapak yang kering. Sekembalinya
dari perjalanan air, tempat ia menikmati suhu yang nyaman,
dan kembali ke alam manusia, pada saat membabarkan khotbah
penghargaan atas persembahan makanan. sesudah berulang-
ulang mendengar ‘tempat tinggal Raja-NÃ ga Pathavindhara’, si
penyumbang menjadi penasaran terhadap ungkapan itu. Sang
petapa menjelaskan kepadanya, “Ah, itu yaitu harapan kami agar
engkau dapat menjadi mulia seperti Raja NÃ ga Pathavindhara” dan
menceritakan tentang keagungan Raja NÃ ga di dasar samudra. Sejak
saat itu, batin si bakal RÃ hula selalu terarah ke alam NÃ ga itu seperti
yang ia bayangkan dari penjelasan si petapa.
Petapa lainnya biasanya melewatkan waktu siangnya di istana
dewa bernama Serisaka, nama itu diberikan sebab sebatang
pohon surgawi yang besar berdiri di depan istana itu di Alam
Tà vatiÿsa. Dan si petapa yang melihat istana Sakka, raja para dewa,
menyebutkannya sewaktu menyampaikan kata-kata penghargaan
2644
atas persembahan makanan itu di rumah bakal Raññhapà la. saat
si penyumbang memintanya untuk menjelaskan apa yang ia
maksudkan, ia menjelaskan kemuliaan Sakka dan ia berharap
penyumbangnya dapat menjadi mulia seperti Sakka. Sejak saat itu
batin bakal Raññhapà la selalu terarah kepada kemuliaan Sakka.
saat kedua orang kaya itu meninggal dunia, ia yang batinnya
terarah ke alam NÃ ga, terlahir kembali sebagai Raja NÃ ga
Pathavindhara dan ia yang batinnya terarah kepada Sakka terlahir
kembali sebagai Sakka di Alam Dewa Tà vatiÿsa.
Saat terlahir kembali sebagai nà ga, Pathavindhara melihat tubuhnya
dan menyesal bahwa ia menjadi seekor reptil. Ia berpikir bahwa
petapa pada kehidupannya sebelumnya memiliki pandangan
yang terbatas, “Ah, guruku tidak mengetahui yang lebih tinggi
dari kehidupan sebagai reptil bagiku.” lalu ia dilayani
oleh serombongan musisi dan penari nà ga, semua dalam pakaian
surgawi, yang datang ke sana untuk menghiburnya. Ia sendiri
lalu mengubah wujudnya menjadi seorang pemuda, bentuk
fisik reptilnya sesaat lenyap.
Hal penting dalam kehidupannya di alam nà ga yaitu bahwa,
sebagai bagian dari kelompok Raja Nà ga Viråpakkha, ia harus
menghadiri pertemuan dua minggu sekali yang dipimpin oleh
Sakka di mana empat raja dewa memberi hormat kepada raja para
dewa. Sakka mengenali sahabat lamanya itu dari jauh. Ia bertanya,
“Sahabat, di alam manakah engkau terlahir?”
“O Tuan, sungguh menyedihkan alam kelahiranku. Aku terlahir
kembali sebagai seekor reptil di dalam alam NÃ ga. Tetapi engkau
sungguh beruntung memiliki guru yang baik (pada masa lampau)
sehingga terlahir kembali di alam dewa.”
“Jangan kecewa terhadap kemalanganmu. Buddha Padumuttara
telah muncul di dunia ini. Pergilah kepadanya, lakukan kebajikan,
dan mohonlah kehidupan sebagai Sakka, sehingga kita dapat hidup
bersama di Alam Tà vatiÿsa ini.”
2645
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
“Baiklah, Tuan,” Pathavindhara berkata, “Aku akan menuruti
nasihatmu.”
lalu ia pergi menghadap Buddha Padumuttara, mengundang
Bhagavà ke tempat tinggalnya di dasar samudra, dan melakukan
persiapan Ritual persembahan sepanjang malam, bersama para
pengikutnya.
Keesokan harinya, saat dini hari, Buddha berkata kepada pelayan
pribadinya, Yang Mulia Sumanà , “Sumanà , Tathà gata akan pergi
ke tempat yang jauh untuk menerima dà na makanan. Hanya para
Arahanta yang telah menghafalkan Tiga Piñaka dan telah mencapai
Empat Pengetahuan Analitis dan Enam Kemampuan Batin, yang
akan menyertai-Ku, tetapi bukan para bhikkhu awam.” Bhikkhu
pelayan itu mengumumkan perintah ini kepada para bhikkhu.
lalu Buddha disertai oleh para bhikkhu Arahanta, yang
mampu menghafalkan Tiga Piñaka dan telah mencapai Empat
Pengetahuan Analitis dan Enam Kemampuan Batin, terbang ke
angkasa dan pergi ke tempat tinggal Raja NÃ ga Pathavindhara.
Saat Pathavindhara berdiri menyambut kedatangan Buddha, ia
melihat Buddha dan para bhikkhu berjalan di atas air samudra yang
bergelombang yang berwarna hijau zamrud. Itu yaitu prosesi para
bhikkhu mulia yang dipimpin oleh Buddha dan seorang sà maõera
muda bernama Uparevata, putra Bhagavà . Pathavindhara terpesona
dengan sosok si sà maõera muda yang memiliki kemampuan
batin seperti para bhikkhu senior lainnya. Ia bergairah melihat
pemandangan menakjubkan itu.
saat Buddha duduk di tempat yang disediakan untuk-Nya dan
para bhikkhu duduk sesuai urutan senioritas mereka, tempat duduk
yang disediakan untuk Sà maõera Uparevata terletak tinggi di depan
Buddha. Sà maõera muda itu duduk di sana. Pathavindhara saat
mempersembahkan makanan kepada Buddha dan Saÿgha, menatap
Buddha dan sà maõera muda itu bergantian. Ia memerhatikan bahwa
sà maõera itu memiliki tiga puluh dua tanda manusia luar biasa
seperti terdapat pada tubuh Buddha. Itulah alasannya ia menatap
dan memeriksa Buddha dan sà maõera itu bergantian.
2646
Pathavindhara bertanya-tanya mengapa sà maõera muda itu begitu
mirip dengan Buddha, bagaimanakah hubungan keduanya. Ia
bertanya kepada salah satu bhikkhu, “Yang Mulia, apakah hubungan
sà maõera muda itu dengan Buddha?” Para bhikkhu menjawab,
“Tuan Nà ga, ia yaitu putra Bhagavà .” Pathavindhara sangat
terkesan kepada sà maõera itu. “Betapa hebatnya status sà maõera
ini! Putra manusia teragung di seluruh dunia, tanpa tandingan
dalam hal keagungan! Tubuhnya persis seperti tubuh BhagavÃ
sendiri. Oh, betapa aku ingin menjadi putra seorang Buddha pada
masa mendatang.”
Dengan cita-cita itu, Raja NÃ ga itu mengundang Buddha ke tempat
tinggalnya selama tujuh hari dan memberi persembahan besar
kepada Buddha. lalu ia mengungkapkan cita-citanya di depan
Buddha, “Yang Mulia, atas kebajikan ini, semoga aku menjadi putra
seorang Buddha pada masa mendatang, seperti halnya Sà maõera
Uparevata.” Buddha mengetahui bahwa cita-cita Raja NÃ ga itu
akan tercapai dan mengucapkan ramalan, “Engkau akan menjadi
putra Buddha Gotama pada masa depan.” lalu Buddha
meninggalkan tempat itu.
(Demikianlah cita-cita masa lampau bakal RÃ hula.)
Pada pertemuan para dewa dua minggu berikutnya, Sakka bertanya
kepada sahabat lamanya Pathavindhara, “Sahabat, sudahkan
engkau bercita-cita untuk terlahir kembali di Alam Tà vatiÿsa?”
Pathavindhara menjawab, “Tidak, tuanku,” “Tetapi, mengapa
engkau tidak melakukannya? Kerugian apakah yang engkau
lihat di alam dewa?” “Tuanku, bukan sebab kerugian di alam
dewa. Sesungguhnya sebab aku melihat putra Buddha, Sà maõera
Uparevata yang sangat menakjubkan. Sejak aku melihatnya,
aku bercita-cita untuk menjadi putra seorang Buddha pada
masa mendatang, persis seperti Sà maõera Uparevata. Maka aku
mengungkapkan cita-citaku di hadapan Buddha untuk menjadi
putra dari Buddha mendatang.
Tuanku, aku ingin agar engkau mengungkapkan cita-citamu di
2647
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
hadapan Buddha. Marilah kita hidup bersama dalam kehidupan
mendatang dalam saÿsà ra.”
Sakka menerima saran Pathavindhara dan saat ia memikirkan
cita-cita yang baik, ia melihat seorang bhikkhu yang memiliki
kesaktian tinggi. Ia memeriksa silsilah bhikkhu itu dan mengetahui
bahwa bhikkhu itu yaitu putra dari keluarga mulia yang mampu
mempersatukan sebuah negeri yang terpecah-belah, dan bahwa
bhikkhu itu telah mendapatkan izin dari orangtuanya untuk
bergabung dalam Saÿgha sesudah ia mogok makan selama tujuh
hari. Ia memutuskan untuk meniru bhikkhu itu. Ia bertanya kepada
Bhagavà tentang bhikkhu ini walaupun ia telah mengetahuinya
melalui kekuatan dewa yang ia miliki. lalu ia memberi
persembahan kepada Buddha selama tujuh hari, lalu ia
mengungkapkan cita-citanya, “Yang Mulia, atas kebajikan ini semoga
aku dinyatakan oleh Buddha mendatang sebagai bhikkhu terbaik
di antara mereka yang menjadi bhikkhu sebab kesetiaan mereka
seperti bhikkhu yang dinyatakan demikian oleh Bhagavà .” Buddha
melihat bahwa cita-cita Sakka akan tercapai dan berkata, “Sakka,
engkau akan dinyatakan sebagai yang terbaik di antara mereka yang
menjadi bhikkhu sebab kesetiaan pada masa pengajaran Buddha
Gotama pada masa depan.” sesudah mengucapkan ramalan, Buddha
meninggalkan tempat itu. Dan Sakka juga kembali ke alam dewa.
(Demikianlah cita-cita masa lampau bakal Raññhapà la.)
Kehidupan Raññhapà la Sebagai Pengatur Persembahan Kepada
Buddha
Bakal Raññhapà la dan bakal Rà hula meninggal dunia dari kehidupan
mereka sebagai Sakka dan Pathavindhara, terlahir kembali hanya di
alam dewa dan manusia selama ribuan siklus dunia. Sembilan puluh
dua siklus dunia sebelum yang sekarang, muncullah Buddha Phussa.
Ayah Buddha Phussa yaitu Raja Mahinda. Buddha memiliki tiga
saudara tiri dari ibu yang berbeda. Raja memonopoli Buddha,
Dhamma, dan Saÿgha dan tidak berbagi jasa melayani kebutuhan
Buddha dengan siapa pun.
2648
Suatu hari, terjadi pemberontakan di wilayah perbatasan
kerajaan, raja berkata kepada tiga anaknya, “Anak-anakku, terjadi
pemberontakan di perbatasan. Apakah aku sendiri atau kalian
bertiga yang harus pergi memadamkan pemberontakan? Jika aku
pergi, kalian harus melayani Buddha seperti biasa.” Ketiga anak itu
sepakat berkata, “Ayah, bukan engkau yang harus pergi; kami yang
akan pergi dan memulihkan wilayah itu.” Mereka bersujud kepada
ayah mereka dan pergi ke lokasi pemberontakan, menaklukkan
musuh dan pulang dengan kemenangan.
Dalam perjalanan pulang, ketiga pangeran itu berkonsultasi dengan
letnan kepercayaan mereka, “O sahabat, saat pulang ke istana, ayah
kami akan memberi anugerah kepada kami. Anugerah apakah
yang harus kami minta?” Letnan itu berkata, “Tuanku, sesudah
ayahmu meninggal dunia, tidak ada yang tidak dapat engkau
peroleh. Hak untuk melayani kakak tertuamu, Buddha, yaitu
anugerah yang harus engkau minta.” “Baiklah, teman, nasihatmu
masuk akal.” Dan mereka mendatangi ayah mereka.
Sang raja sangat gembira melihat mereka dan berkata bahwa
mereka akan diberi hadiah apa pun yang mereka inginkan. Para
pangeran meminta hak untuk melayani Buddha sebagai anugerah,
“Itu tidak dapat kuberikan, anak-anakku” raja berkata, “Sebutkan
permintaan lain.” “Kami tidak menginginkan anugerah lain. Itu
yaitu satu-satunya yang kami inginkan.” sesudah menolak beberapa
kali dan desakan ketiga pangeran, raja akhirnya menyerah, namun
ia memperingatkan anak-anaknya dengan berkata, “Aku setuju
dengan permintaan kalian. Tetapi aku memperingatkan: Buddha
menyukai kesunyian bagaikan singa yang berada dalam sarangnya.
sebab itu kalian harus melayani-Nya dengan penuh perhatian.
Jangan melalaikan tugas-tugas kalian.”
Ketiga pangeran, mendapat tugas melayani Buddha selama tiga
bulan, mereka berdiskusi, “sebab kita akan melayani Buddha,
kita harus mengenakan jubah dan menjalani kebhikkhuan sebagai
sà maõera.” Mereka memutuskan untuk benar-benar bebas dari
kebusukan kejahatan*, demikianlah, mereka melakukan tugas-
tugas harian dalam mempersembahkan makanan kepada Buddha
2649
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
dan Saÿgha dan mempercayakan tugas itu kepada tiga orang
kepercayaan untuk mengawasi pelaksanaan tugas itu.
(*Catatan: Nirà magandha ‘kebusukan kejahatan’ menurut Komentar.
Subkomentar menjelaskan istilah ini sebagai berikut: ‘kebusukan’
diartikan sebagai kejahatan dan juga sebagai kotoran. Kebusukan
tidak dapat dipisahkan dari kotoran. Di mana kotoran muncul,
ia akan menghasilkan kebusukan. Kebusukan diartikan sebagai
batin batin di mana kotoran muncul terus-menerus. Perumpamaan
‘kebusukan’ digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang busuk,
tidak bersih (seperti dinodai oleh kotoran), tidak disukai oleh orang
bijaksana dan baik, dan sesuatu yang merasuki segala sesuatu.
Kualitas kotoran ini juga dibentuk oleh orang-orang jahat yang
jasmaninya berbau busuk, sedangkan mayat seorang suci tidak
menghasilkan bau busuk.)
Di antara tiga orang pengawas itu, seorang bertugas mengumpulkan
beras dan gandum; orang kedua bertugas mengeluarkan bahan-
bahan dari gudang untuk memenuhi kebutuhan makanan, dan
orang ketiga bertugas mengolah dari bahan baku menjadi makanan.
Dalam kehidupan terakhir mereka, pada masa kehidupan Buddha
Gotama, ketiga orang itu, terlahir kembali sebagai Raja Bimbisà ra,
Visà kha si pedagang, dan Yang Mulia Raññhapà la.
Kehidupan RÃ hula Sebagai Pangeran PÃ thavindara
Bakal Rà hula terlahir kembali sebagai putra tertua dari Raja Kikã
dari Negeri KÃ si pada masa kehidupan Buddha Kassapa. Oleh
orangtuanya ia diberi nama Pangeran Pathavindhara. Ia memiliki
tujuh saudari, yaitu:
1. Putri Sumaõã = bakal Therã KhemÃ
2. Putri Samaõaguttà = bakal Therã UppalavaõõÃ
3. Putri Bikkhunã = bakal Therã Pañà cà rÃ
4. Putri Bikkhudà yika = bakal Therã Kuõóalakesã
5. Putri Dhamma = bakal Therã Kisà gotamã
6. Putri Sudhammà = bakal Therã DhammadinnÃ
7. Putri Saÿghadà yika = bakal Visà khÃ
2650
Pangeran Pathavindhara menjadi putra mahkota. sesudah tujuh
saudarinya mempersembahkan tujuh vihà ra kepada Buddha
Kassapa, putra mahkota memohon kepada para saudarinya agar
mengizinkan ia menyumbangkan biaya pembangunan dari satu di
antara tujuh vihà ra ini , tetapi tujuh saudarinya itu mengatakan
bahwa ia mampu mempersembahkan satu vihà ra olehnya sendiri.
sebab itu Pangeran Pathavindhara membangun lima ratus vihà ra
sesuai statusnya. Ia melewatkan seluruh hidupnya dalam kebajikan.
Saat meninggal dunia, ia terlahir kembali di alam dewa.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Pada masa kehidupan Buddha Gotama, Pangeran PÃ thavindarÃ
terlahir kembali sebagai Pangeran RÃ hula, putra Pangeran Siddhattha
dan Permaisuri Yasodharà . Teman main Rà hula yaitu Raññhapà la,
putra Raññhapà la, pedagang kaya dari kota Thullakoññhila di kerajaan
Kuru.
Keinginan RÃ hula untuk Ditegur
sesudah Buddha menahbiskan putra-Nya, Beliau biasanya menasihati
si sà maõera muda setiap hari sebagai berikut:
RÃ hula, bergaullah dengan teman-teman yang baik. Berdiamlah di
dalam hutan. Makanlah secukupnya.
Jangan melekat pada empat kebutuhan bhikkhu.
Jangan melakukan pelanggaran sehubungan dengan pengendalian
seorang bhikkhu. Jagalah enam indria juga.
Tetaplah penuh perhatian terhadap batin-dan-jasmani sehingga
menjadi bosan terhadap tubuh ini (kehidupan).
Latihlah batinmu untuk melepaskan gagasan bahwa jasmani ini
menarik; konsentrasikan pikiranmu.
2651
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Begitu gagasan kekekalan disingkirkan, renungkanlah kepalsuan
dari ego.
Jika engkau melatih dirimu seperti itu, tiga lingkaran ganas dari
alam sengsara akan menjauh.
yaitu kebiasaan Sà maõera Rà hula untuk memungut segenggam
pasir saat bangun pagi, dan berkata kepada diri sendiri, “Semoga
aku mendapat teguran dari Bhagavà atau dari penahbisku sebanyak
butir-butir pasir yang ada dalam genggamanku ini.” Kebiasaan itu
menyebabkan ia memiliki reputasi sebagai seorang sà maõera yang
cenderung menerima nasihat baik sebagai putra Bhagavà dan sebagai
seorang putra berharga dari seorang ayah yang berharga.
Kebiasaan RÃ hula yang telah menjadi sifatnya itu menjadi topik
diskusi di antara para bhikkhu. Buddha mengetahui hal itu. Dan
berpikir bahwa hal itu akan memberi topik untuk pembabaran
khotbah yang lain dan juga akan menonjolkan kualitas RÃ hula
dengan lebih baik, Buddha membabarkan khotbah di Dhammasala,
sesudah duduk di Singgasana Buddha. Beliau bertanya kepada para
bhikkhu apa yang sedang mereka bicarakan sebelum Beliau masuk.
Para bhikkhu menjawab, “Yang Mulia, kami sedang mendiskusikan
sifat mulia Sà maõera Rà hula dalam menerima teguran.” Buddha
lalu menceritakan kisah kehidupan lampau RÃ hula di mana
ia memperlihatkan banyak sifat mulia seperti yang terdapat dalam
Kisah Jà taka Tipallattha-miga, Jà taka, Ekaka Nipà ta, 2 Sãla Vagga,
kisah keenam dalam Vagga ini .)
Buddha melatih Sà maõera Rà hula muda sejak berusia tujuh tahun
agar selalu berkata jujur, untuk menghindari kata-kata yang tidak
jujur bahkan saat bersenda-gurau. Khotbah dengan topik ini
berjudul Ambalaññhika Rà hulovà da Sutta.
saat RÃ hula berusia delapan belas tahun, Buddha membabarkan
khotbah yang berjudul Mahà Rà hulovà da Sutta.
Untuk memberi pelajaran praktis dalam Meditasi Pandangan
Cerah, dua puluh dua sutta dibabarkan kepada RÃ hula, yang
2652
terhimpun dalam Saÿyutta Nikà ya. Membentuk bab yang berjudul
Rà hula Saÿyutta; dan juga ada khotbah lain yang berjudul Rà hula
Sutta dalam Aïguttara Nikà ya, Catukka Nipà ta.)
saat RÃ hula telah matang secara spiritual, saat ia baru ditahbiskan
sebagai seorang bhikkhu penuh, Buddha membabarkan khotbah
lain kepadanya yang berjudul Cåëà Rà hulovada Sutta.
(c) Gelar Etadagga RÃ hula
Pada kesempatan lainnya, di tengah-tengah pertemuan para
bhikkhu, Buddha menganugerahkan gelar kepada bhikkhu terbaik,
Beliau menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
sikkhà kà mà naÿ yadidaÿ Rà hulo,” “Para bhikkhu, di antara para
bhikkhu yang menyukai teguran sehubungan dengan Tiga Latihan,
RÃ hula yaitu yang terbaik.”
Kebhikkhuan Raññhapà la
Saat Buddha melakukan perjalanan ke Kerajaan Kuru, beliau tiba
di Kota Thullakoññhika (yang artinya kota di mana semua warganya
memiliki lumbung yang penuh dengan padi). Mendengar khotbah
Buddha, Raññhapà la, si putra pedagang, diliputi oleh keyakinan
religius dan berkeinginan kuat untuk melepaskan keduniawian,
sesudah membujuk orangtuanya, akhirnya kedua orangtuanya
memberi restunya untuk menjadi seorang bhikkhu (seperti
pada kasus Yang Mulia Sudinna yang telah dijelaskan dalam bab
terdahulu), ia mendatangi Buddha dan atas perintah Buddha, ia
ditahbiskan menjadi anggota Saÿgha.
Meskipun mereka mengizinkan anak mereka meninggalkan
kehidupan rumah tangga, kedua orangtua Raññhapà la masih
merasa tidak senang. saat para bhikkhu datang ke pintu rumah
mereka untuk menerima dà na makanan, sang ayah akan berkata,
“Ada urusan apakah kalian datang ke sini? Kalian telah mengambil
anakku satu-satunya. Apa lagi yang kalian inginkan dari kami?”
2653
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Buddha menetap di Thullakoññhika hanya selama lima belas hari
dan sesudah itu Beliau kembali ke Sà vatthã. Di Sà vatthã, Yang Mulia
Raññhapà la melatih Meditasi Pandangan Cerah dan mencapai
kesucian Arahatta.
Yang Mulia Raññhapà la lalu meminta izin dari Buddha untuk
mengunjungi orangtuanya dan pergi ke Thullakoññhika. Saat
mengumpulkan dà na makanan di kota, ia berdiri di depan pintu
rumah ayahnya di mana (seperti pada kasus Yang Mulia Sudinna),
ia menerima kue basi dan memakannya seolah-olah memakan
makanan dewa. Ayahnya merasa bersalah atas pemberian makanan
itu, maka ia mengundang anaknya untuk masuk ke rumahnya untuk
memakan makanan (yang baik) tetapi Yang Mulia Raññhapà la berkata
sebab ia telah selesai makan untuk hari itu, ia akan datang keesokan
harinya. Keesokan harinya, sesudah selesai makan di rumah ayahnya,
ia membabarkan khotbah kepada para perempuan yang berpakaian
lengkap, sehingga memungkinkannya melihat kejijikan dari badan
jasmani. lalu tiba-tiba, bagaikan anak panah ia melesat ke
angkasa dan turun di Taman Kerajaan Raja Korabya dan duduk di
atas batu. Ia menyampaikan pesan melalui si tukang kebun tentang
kehadirannya di sana. Raja Korabya datang untuk memberi hormat,
lalu ia membabarkan secara terperinci tentang empat prinsip
kehilangan atau penundaan (pà riju¤¤a). lalu ia kembali ke
Sà vatthã, dan tiba di vihà ra Buddha. Ini yaitu kisah singkat tentang
Yang Mulia Raññhapà la. Untuk penjelasan lengkap dapat merujuk
pada Majjhima Paõnà sa dari Majjhima Nikà ya.
(c) Gelar Etadagga Raññhapà la
Pada kesempatan lainnya, di tengah-tengah pertemuan para
bhikkhu, Buddha menganugerahkan gelar kepada bhikkhu terbaik,
Beliau menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
saddhà pabbajità naÿ yadidaÿ Raññhapà lo,” “Para bhikkhu, di antara
para siswa-Ku, yang menjalani Kebhikkhuan melalui keyakinan
religius yang mendalam, Raññhapà la yaitu yang terbaik.”
2654
(Catatan: Yang Mulia RÃ hula dinyatakan terbaik di antara para
bhikkhu yang menyukai teguran sehubungan Tiga Latihan sebab
sejak hari ia menjadi sà maõera, ia selalu mengharapkan untuk
diajari. Setiap pagi ia mengharapkan teguran dan nasihat dari
Buddha atau dari penahbisnya. Ia menginginkan sebanyak mungkin
kata nasihat yang dapat mereka berikan, sebanyak butiran pasir yang
ada dalam genggamannya setiap pagi.
Yang Mulia Raññhapà la harus mogok makan selama tujuh hari
sebagai ungkapan keinginannya untuk meninggalkan kehidupan
rumah tangga. Itulah sebabnya ia dinyatakan sebagai yang terbaik
di antara para bhikkhu yang menjalani kebhikkhuan dengan saddhÃ
yang kuat.)
Demikianlah kisah Rà hula & Thera Raññhapà la
(22) Thera Kuõóa Dhà na
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Thera Kuõóa Dhà na terlahir dalam sebuah keluarga yang
berkecukupan di Kota Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha
Padumuttara. Seperti halnya para bakal Thera lainnya, ia pergi ke
vihà ra untuk mendengarkan khotbah Buddha. saat ia melihat
seorang bhikkhu dinyatakan oleh Buddha sebagai yang terbaik
di antara mereka yang pertama menerima persembahan dari
penyumbang, ia berkeinginan untuk mendapatkan kehormatan
yang sama dari Buddha pada masa depan dan sebab itu ia
memberi persembahan besar kepada Buddha (selama tujuh hari)
dan mengungkapkan cita-citanya untuk mendapatkan kehormatan
itu pada masa depan. Buddha Padumuttara melihat bahwa cita-cita
orang itu akan tercapai dan mengucapkan ramalan. lalu
Beliau kembali ke vihà ra.
Perbuatan Jahat Pada Masa Lampau
Bakal Kuõóa Dhà na meninggal dunia dari alam manusia sesudah ia
2655
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya. Ia terlahir kembali
di alam dewa dan alam manusia selama banyak siklus dunia. Pada
masa kehidupan Buddha Kassapa, ia menjadi dewa bumi.
Buddha Kassapa muncul pada saat umur kehidupan manusia
yaitu dua puluh ribu tahun, dan sebab itu tidak seperti pada
masa kehidupan Buddha Gotama yang saat itu umur kehidupan
manusia yaitu seratus tahun dan PÃ timokkha dibacakan dua kali
dalam sebulan. Rutinitas pertemuan uposatha untuk membacakan
PÃ timokkha pada masa Buddha Kassapa terjadi satu kali setiap
enam bulan.
Dua sahabat bhikkhu yang menetap di tempat yang berbeda pergi
ke pertemuan uposatha itu untuk membacakan PÃ timokkha.
Dewa bumi yang yaitu bakal Kuõóa Dhà na mengetahui ikatan
persahabatan antara dua bhikkhu itu. Ia penasaran apakah ada orang
yang mampu menghancurkan persahabatan mereka dan menunggu
kesempatan untuk melakukan hal itu, ia mengikuti kedua bhikkhu
itu dari jarak jauh.
Menyebabkan Kesalahpahaman
lalu salah satu dari kedua bhikkhu itu, menitipkan mangkuk
dan jubahnya kepada bhikkhu lainnya, dan pergi ke suatu tempat,
untuk menjawab panggilan alam. sesudah membersihkan diri, ia
keluar dari semak-semak.
Dewa itu mendekati bhikkhu itu dengan menyamar sebagai seorang
perempuan yang sangat cantik yang berjalan mengikutinya sambil
merapikan rambut dan pakaiannya, seolah-olah keluar dari semak-
semak yang sama.
Teman bhikkhu ini melihat pemandangan yang aneh dari
tempat ia menunggu. Dan menjadi sangat marah. Ia berpikir, “Aku
tidak mengetahui kebusukannya. Kasih sayangku kepadanya
yang telah bertahan begitu lama, sekarang telah berakhir. Jika aku
mengetahui sebelumnya bahwa ia begitu kotor, aku tidak akan
bersahabat dengannya.” Segera sesudah bhikkhu pertama datang,
2656
ia mengembalikan perlengkapannya dan berkata, “Sekarang, ambil
kembali mangkuk dan jubahmu. Aku tidak akan pergi ke arah yang
sama denganmu.”
(Selanjutnya kita akan menyebut kedua bhikkhu itu sebagai penuduh
(codaka) dan tertuduh (cuditaka)).
Si tertuduh,
Yang yaitu seorang bhikkhu yang sesungguhnya berperilaku lurus
dan tidak bersalah, menjadi tidak mengerti apa yang dimaksudkan
dengan kata-kata kasar temannya yang menghancurkan hatinya
bagaikan seseorang yang tertusuk tombak yang tajam. Ia bekata,
“Sahabat, apa maksudmu? Aku tidak pernah melanggar peraturan
kebhikkhuan, bahkan yang ringan sekalipun. Tetapi engkau
menganggapku sebagai seorang bajingan. Apa yang engkau
lihat telah kulakukan?” “Jika aku melihat hal lainnya, aku dapat
mengabaikannya. Tetapi yang ini serius. Engkau keluar dari semak-
semak yang sama, sesudah melewatkan waktu bersama seorang
perempuan yang sangat cantik berpakaian indah.” “Tidak, tidak,
teman! Itu tidak benar. Tidak ada kejadian seperti itu. Aku tidak
melihat perempuan yang engkau maksudkan.” Tetapi si penuduh
yakin terhadap dirinya sendiri. Si tertuduh tiga kali menyangkal
melakukan pelanggaran. Tetapi si penuduh memercayai apa yang
ia lihat. Ia meninggalkan si tertuduh di sana. Masing-masing
mengambil jalan yang berbeda menuju ke vihà ra tempat Buddha
berada.
Penyesalan Dewa
Di aula pertemuan uposatha, si tertuduh terlihat berada di dalam
ruangan dan sebab itu si penuduh berkata, “Sãmà ini dikotori
oleh kehadiran seorang bhikkhu yang telah jatuh. Aku tidak dapat
mengikuti Ritual uposatha bersama bhikkhu jahat itu” dan ia
tetap berada di luar.
Melihat hal itu, si dewa bumi menyesal, “Oh! Aku telah melakukan
kesalahan.” Ia harus menebusnya. sebab itu ia mengubah Wujudnya
2657
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
menjadi seorang umat awam tua dan mendekati si penuduh dan
berkata, “Mengapa, Yang Mulia, engkau tetap berada di luar sãmà ?”
Bhikkhu itu menjawab, “Sãmà ini berisi seorang bhikkhu busuk.
Aku tidak dapat mengikuti Ritual uposatha bersama dengannya.
Maka itu aku menghindar.” lalu Dewa itu berkata, “Jangan
berpikir begitu, Yang Mulia. Bhikkhu itu memiliki moralitas yang
murni. Perempuan yang engkau lihat bukan lain yaitu diriku. Aku
ingin menguji kualitas persahabatan kalian dan untuk membuktikan
apakah kalian bermoral atau tidak. Aku mengikuti si tertuduh dalam
samaran seorang perempuan untuk tujuan itu.”
Bhikkhu itu berkata, “O orang baik, siapakah engkau?” “Aku
yaitu dewa bumi, Yang Mulia,” dan sesudah berkata begitu, ia
bersujud di kaki bhikkhu ini . “Mohon maafkan aku, Yang
Mulia, si tertuduh tidak mengetahui apa yang terjadi. sebab itu,
mohon Yang Mulia mengikuti Ritual uposatha dengan tanpa
merasa bersalah.” lalu ia menuntun bhikkhu itu memasuki
aula uposatha. Kedua bhikkhu itu melakukan Ritual uposatha
di tempat yang sama, tetapi si penuduh tidak lagi bersahabat
erat dengan si tertuduh. (Komentar tidak menjelaskan mengenai
praktik meditasi yang dilakukan oleh si penuduh.) Si tertuduh
mempraktikkan Meditasi Pandangan Cerah dan akhirnya berhasil
mencapai Kearahattaan.
Dewa bumi itu menerima akibat perbuatan jahatnya selama selang
waktu antara munculnya Buddha Kassapa dan Buddha Gotama
selama tidak terhingga banyaknya siklus dunia. Ia lebih sering
terlahir kembali di alam sengsara apà ya. saat kebetulan ia terlahir
kembali di alam manusia, ia akan disalahkan sebab perbuatan jahat
yang dilakukan oleh orang lain
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Si dewa bumi (sesudah menebus kesalahannya) terlahir kembali
sebagai seorang brahmana di Sà vatthã pada masa kehidupan
Buddha Gotama. Orangtuanya memberinya nama Dhà na. Sebagai
seorang pemuda ia memelajari tiga Veda tetapi lalu ia menjadi
berkeyakinan kepada Buddha sesudah mendengarkan khotbah
2658
Buddha dan menjalani kehidupan kebhikkhuan.
Harga yang Harus Dibayar atas Perbuatan Jahatnya
Pada hari Yang Mulia Dhà na menjadi seorang bhikkhu, seorang
perempuan cantik (perempuan ciptaan yang muncul sebagai akibat
dari perbuatan jahatnya) selalu mengikuti ke mana pun ia pergi.
saat ia berjalan, perempuan itu juga berjalan; saat ia berhenti
perempuan itu juga berhenti. Perempuan itu, meskipun tidak terlihat
olehnya, tetapi terlihat oleh semua orang lain. (Sungguh mengerikan
akibat dari perbuatan jahat.)
saat ia pergi mengumpulkan dà na makanan setiap hari, para
penyumbangnya akan berkata mengoloknya, “Sesendok ini
untukmu, Yang Mulia, dan sesendok ini untuk teman perempuanmu
yang menyertaimu.”
Hal ini membuat Yang Mulia Dhà na menjadi sangat sedih. Kembali
ke vihà ra, ia juga menjadi objek tertawaan. Sà maõera dan para
bhikkhu muda akan mengelilinginya dan mengejeknya, “Yang Mulia
Dhà na yaitu seorang yang genit!” sebab ejekan itu ia menjadi
dikenal sebagai Kuõóa Dhà na atau ‘Dhà na si genit.’
sebab ejekan-ejekan itu semakin sering dilontarkan, Yang Mulia
Kuõóa Dhà na tidak mampu menahannya lagi dan membalas,
“Engkau sendiri yang genit, (bukan aku); penahbismu yang genit,
gurumu yang genit.” Para bhikkhu lain yang mendengarnya
mengucapkan kata-kata kasar itu melaporkan kepada Bhagavà , yang
segera memanggil Yang Mulia Kuõóa Dhà na dan bertanya apakah
laporan itu benar. “Benar, Yang Mulia,” Kuõóa Dhà na mengakui.
“Mengapa engkau mengucapkan kata-kata kasar itu?”
“Aku tidak dapat menahan ejekan-ejekan mereka, Yang Mulia”
bhikkhu itu menjelaskan dan menceritakan kejadiannya. “Bhikkhu,
perbuatan jahatmu pada masa lampau masih harus dibalas. (Tetapi)
jangan engkau mengucapkan kata-kata kasar lagi.” Dan pada
kesempatan itu Buddha mengucapkan dua syair berikut:
2659
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Mà ’voca pharusaÿ ka¤ ci vuttà pañivadeyyu taÿ;
Dukkhà hi sà rambhakathà , patidandà phuseyyu taÿ.
(Bhikkhu Dhà na,) jangan mengucapkan kata-kata kasar kepada
siapa pun, sebab mereka akan membalas. Sungguh menyakitkan
mendengar kata-kata kasar, dan pembalasannya akan mendatangimu
(dari orang yang menjadi objek kata-kata kasarmu itu, bagaikan debu
yang ditebarkan melawan angin akan kembali lagi.)
Sace neresi attà naÿ,
kaÿso upahato yathà ;
Esa Nibbà napatto’si,
sà rambho te na vijjati.
(Bhikkhu Dhà na,) jika engkau dapat mempertahankan ketenangan
dan kesunyian bagai gong yang pecah, engkau akan telah mencapai
Nibbà na; tidak akan ada lagi balasan yang harus engkau terima.
Pada akhir khotbah itu, banyak pendengar yang mencapai berbagai
tingkat Pengetahuan Jalan.
(Dhammapada, syair 133 & 134)
Penyelidikan yang dilakukan oleh Raja Pasenadi Kosala
Berita bahwa Yang Mulia Kuõóa Dhà na bergaul dengan seorang
perempuan dilaporkan kepada Raja Pasenadi Kosala oleh para
bhikkhu. Raja memerintahkan penyelidikan dan ia sendiri bersama
sekelompok pengawalnya mengamati tempat tinggal Yang Mulia
Kuõóa Dhà na.
Terlihat Yang Mulia Kuõóa Dhà na sedang menjahit jubahnya dan
si perempuan juga terlihat berdiri di dekatnya. Raja terkesima
melihat pemandangan itu. Ia mendekati perempuan itu. lalu
perempuan itu terlihat masuk ke dalam kuñã. Raja mengikutinya
masuk ke dalam kuñã dan mencari di segala sudut tetapi tidak
menemukan seorang pun di dalam. lalu ia menyimpulkan
dengan tepat bahwa perempuan yang ia lihat itu bukanlah seorang
2660
manusia tetapi hanya sekadar jelmaan yang muncul akibat kamma
masa lampau Yang Mulia Bhikkhu. saat pertama kali ia memasuki
vihà ra ia tidak memberi hormat kepada Yang Mulia Kuõóa
Dhà na. Hanya sesudah mengetahui kenyataan yang sesungguhnya
bahwa bhikkhu itu tidak bersalah, ia bersujud kepada Yang Mulia
Bhikkhu dan berkata, “Yang Mulia, apakah engkau mendapatkan
makanan setiap hari dengan baik?” “Tidak terlalu buruk, Tuanku,”
jawab Yang Mulia Kuõóa Dhana. “Yang Mulia, aku mengerti apa
yang engkau maksudkan. sebab engkau terlihat selalu diikuti
oleh seorang perempuan, siapa yang akan berbaik hati memberi
persembahan kepadamu? Tetapi mulai saat ini, engkau tidak perlu
pergi mengumpulkan dà na makanan. Aku akan tetap menjadi
umatmu dan menyediakan empat kebutuhanmu. Semoga engkau
senantiasa menegakkan praktik religius dengan tekun.” Dan sejak
saat itu raja memberi persembahan makanan kepada Yang Mulia
Kuõóa Dhà na.
sesudah bebas dari kekhawatiran akan penghidupannya, sebab
secara rutin mendapatkan dukungan dari raja, Yang Mulia Kuõóa
Dhà na dapat berkonsentrasi dan mengembangkan Pandangan
Cerah, dan akhirnya berhasil mencapai Kearahattaan. Sejak saat ia
mencapai Kearahattaan, sosok perempuan itu lenyap.
(c) Gelar Etadagga
Mahà Subhaddà , putri Anà thapiõóika, perumah tangga (dari
Sà vatthã), harus hidup dalam sebuah keluarga di Kota Ugga yang
tidak berkeyakinan terhadap Buddha. Suatu hari, dengan tujuan
untuk mendapatkan welas asih dari Buddha, ia menjalani sãla
uposatha, menjaga batinnya tetap bebas dari kotoran, dan berdiri di
teras atas istananya, menebarkan delapan genggam bunga melati ke
udara dan berkehendak, “Semoga bunga itu terbang menuju BhagavÃ
dan membentuk kanopi di atas tubuh Bhagavà . Semoga Bhagavà ,
dengan mempertimbangkan penghormatan bunga ini, datang ke
rumahku besok untuk menerima persembahan makanan.” Bunga
itu terbang menuju Buddha dan membentuk kanopi di atas tubuh
Buddha saat Buddha sedang membabarkan khotbah.
2661
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Buddha, melihat kanopi bunga yang dipersembahkan oleh MahÃ
Subhaddà , mengetahui keinginannya dan menerima undangan
makan itu. Keesokan paginya Buddha memanggil Yang Mulia
ânanda dan berkata, “ânanda, kita akan pergi ke tempat jauh untuk
menerima dà na makanan. Hanya para bhikkhu Arahanta yang boleh
ikut dan bukan para bhikkhu awam.” Yang Mulia ânanda berkata
kepada para bhikkhu, “Teman-teman, Bhagavà akan pergi ke tempat
jauh untuk menerima persembahan makanan hari ini. Tidak ada
bhikkhu awam diperbolehkan mengambil kupon makanan untuk
dimasukkan dalam daftar undangan, hanya para Arahanta yang
boleh ikut.”
lalu Yang Mulia Kuõóa Dhà na berkata, “Teman, bawakan
kupon makanan itu,” dan ia merentangkan tangannya untuk
menerima kupon makanan. Yang Mulia ânanda yakin bahwa Yang
Mulia Kuõóa Dhà na masih seorang awam dan melaporkan hal itu
kepada Buddha. Buddha berkata, “ânanda, izinkan ia mengambil
kupon makanan jika ia menginginkannya.”
lalu ânanda berpikir, “Jika Yang Mulia Kuõóa Dhà na
tidak boleh mengambil kupon makanan, Bhagavà pasti tidak
mengizinkannya. Sekarang ia diizinkan, pasti ada alasannya;
aku akan membiarkannya mengambil kupon makanan.” Dan
saat ia berjalan mendekati Yang Mulia Kuõóa Dhà na, bhikkhu
itu memasuki Jhà na Keempat, landasan bagi kekuatan batin dan
berdiri di udara; dan lalu ia berkata kepada Yang Mulia
ânanda, “Teman ânanda, bawakan kupon makanan itu kepadaku.
Bhagavà mengetahui aku. Bhagavà tidak melarangku mengambil
kupon pertama (sebelum para bhikkhu lainnya).” (Ini yaitu suatu
peristiwa menakjubkan sehubungan dengan Yang Mulia Kuõóa
Dhà na.)
Pada kesempatan lain Cåëà Subhaddà , putri Anà thapiõóika yang
lebih muda mengundang Buddha ke SÃ keta juga untuk menerima
persembahan makanan, Yang Mulia Kuõóa Dhà na menjadi yang
pertama yang mengambil kupon makanan dalam persembahan
makanan itu.
2662
Pada lalu hari, pada Ritual penganugerahan gelar terbaik,
Buddha menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
pañhamaÿ salà kaÿ gaõhantà naÿ yadidaÿ Kuõóa Dhà no.”
“Para bhikkhu, di antara para siswa-Ku yang berhasil menerima
persembahan makanan mendahului yang lainnya, Bhikkhu Kuõóa
Dhà na yaitu yang terbaik.”
Demikianlah kisah Thera Kuõóa Dhà na
(23) Thera Vaïgãsa
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Vaïgãsa terlahir dalam keluarga kaya di Kota Haÿsà vatã pada
masa kehidupan Buddha Padumuttara. Seperti halnya para bakal
Thera lainnya yang termasuk dalam kelompok Siswa Besar, ia pergi
ke vihà ra dan saat mendengarkan khotbah, ia menyaksikan seorang
bhikkhu yang dinyatakan oleh Buddha sebagai yang terbaik di
antara para bhikkhu yang memiliki kecerdasan matang. Si pemuda,
bakal Vaïgãsa, ingin meniru bhikkhu ini , ia memberi
persembahan besar kepada Buddha, “Semoga, sebagai akibat dari
kebajikan ini, aku menjadi yang terbaik di antara mereka yang
memiliki kecerdasan matang pada masa depan.” Buddha melihat
bahwa cita-cita penyumbang itu akan tercapai dan mengucapkan
ramalan sebelum kembali ke vihà ra.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
sesudah melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya, orang itu
meninggal dunia dan terlahir kembali sebagai dewa atau manusia
bergantian. Pada masa kehidupan Buddha Gotama, ia terlahir
kembali dalam keluarga brahmana di Sà vatthã, bernama Vaïgãsa.
Ia memelajari tiga Veda. Ia melayani gurunya dengan sangat baik
sehingga gurunya mengajarinya mantra yang disebut Chavasãsa
manta. Dengan membacakan mantra itu, ia dapat mengetahui alam
2663
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
kelahiran kembali dari seorang yang telah meninggal dunia hanya
dengan meraba tengkorak orang mati ini .
Para brahmana tahu bagaimana cara untuk mempopulerkan
keahlian Vaïgãsa. Mereka memasukkannya ke dalam kereta
tertutup, lalu berkemah di gerbang sebuah kota atau desa,
dan saat orang-orang mulai berkerumun; mereka mengiklankan
kebesaran Vaïgãsa dengan berkata, “Ia yang berjumpa dengan
Vaïgãsa akan menjadi kaya dan termasyhur; dan akan mencapai
surga saat meninggal dunia.” Banyak orang yang terpengaruh oleh
propaganda itu sehingga mereka mengunjungi brahmana itu, “O
tuan, apakah pengetahuan istimewa Tuan Vaïgãsa?” lalu para
brahmana itu akan menjawab, “O teman, engkau tidak tahu bahwa
tidak seorang pun yang dapat menyamai Tuan Vaïgãsa, sebab ia
mampu memberitahukan kepadamu alam kelahiran dari orang yang
meninggal. Dengan meraba tengkorak orang mati itu dengan kuku
jarinya, ia dapat memberitahu engkau dalam suku apa dan di mana
ia dilahirkan kembali.” Dan Vaïgãsa memang mampu melakukan
seperti yang dikatakan oleh para brahmana itu. Ia memanggil arwah
si orang mati, dan menyuruhnya merasuki seseorang yang berada
di dekatnya, dan melalui mulut orang yang dirasuki ini , ia
memberitahukan hal ini yaitu, alam kelahiran kembali si orang
mati itu. Dengan kesaktian ini, ia menghasilkan banyak uang.
Saat Pembebasan Vaïgãsa
sesudah melakukan perjalanan di banyak kota dan desa, orang-orang
Vaïgãsa membawanya ke Kota Sà vatthã. Vaïgãsa berhenti di dekat
Vihà ra Jetavana dan berpikir, “Samaõa Gotama memiliki reputasi
sebagai seorang yang bijaksana. Tidaklah menguntungkan jika
hanya mengelilingi Jambådãpa. Aku juga harus menjumpai orang
yang dikenal bijaksana. Maka ia mengusir orang-orangnya dengan
berkata, “Kalian pergilah. Aku tidak menginginkan teman untuk
menjumpai Buddha. Biarkan aku sendirian.” “Tetapi Tuan,” para
pelayannya memprotes, “Dengan tipuannya, Samaõa Gotama telah
mempengaruhi banyak orang yang datang menjumpai-Nya.” Akan
tetapi Vaïgãsa tidak mendengarkan kata-kata itu dan tetap pergi
ke hadapan Buddha, dan sesudah saling bertukar sapa, ia duduk di
2664
tempat yang semestinya.
Bud
.jpeg)
.jpeg)





