Kitab Wahyu

 


Kitab Wahyu merupakan Kitab terakhir dalam Alkitab. Pembaca Alkitab (khususnya 

Umat Katolik) sangat sedikit mendapat kesempatan membaca Kitab Wahyu karena 

tidak banyak mendapat tempat dalam penaggalan Liturgi Gereja. Persebaran 

informasi tentang tafsir Kitab Wahyu yang mengarah pada prediksi akhir zaman 

membuat masyarakat resah dan ketakutan. Padahal sejak Yesus Wafat di Salib, 

sampai dengan saat ini, belum pernah terjadi akhir zaman. Metode penelitian yang 

digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu  metode penelitian pustaka dengan 

membandingkan beberapa penelitian terdahulu untuk menemukan jawaban atas 

persoalan pemahaman umat. Metode penelitian pustaka dapat memberikan 

pemaparan sejarah, budaya, dan latar belakang Kitab Wahyu sehingga pembaca dan 

umat saat ini menangkap pesan teologis dan merefleksikannya dalam kehidupan. 

Cara jemaat masa kini memahami Kitab Wahyu perlu diperbarui dengan persepktif 

pengharapan, sehingga teks Kitab Wahyu dapat direfleksikan secara baru. 

(Gregorius Wilson) 

Pengharapan yaitu  salah satu dari tiga kebajikan Kristiani, iman, harapan, dan 

kasih. Harapan berperan penting dalam merefleksikan penderitaan dan kesulitan 

hidup. Manusia yang berpengharapan akan memaknai penderitaan sebagai bagian 

dari perjalanan rohani untuk bersatu dengan Bapa di Surga. Jemaat Kristen di Asia 

Kecil, digambarkan dalam Kitab Wahyu sebagai jemaat yang berjuang untuk 

mempertahankan imannya di tengah penderitaan. Teks Kitab Wahyu mengajak 

pembaca saat ini untuk berpengharapan pada janji Allah, dan percaya bahwa Allah 

akan menggenapi janji-Nya pada saatnya kelak seperti yang digambarkan dalam 

prolog dan epilog dari Kitab Wahyu.  

 


Kitab Wahyu merupakan buku terakhir yang tertulis dalam Alkitab. Kitab ini 

kurang mendapat tempat dalam kehidupan beriman orang Katolik pada khususnya, 

dan orang Kristen pada umumnya. Dari penelitian terdahulu yang pernah dilakukan 

oleh para ahli, Kitab Wahyu dijadikan rujukan sebagai pengajaran tentang akhir 

zaman. Kitab Wahyu dikenal sebagai kitab yang menyeramkan dengan simbol-

simbol yang rumit dipahami. Asumsi tersebut berusaha dibuktikan penulis dengan 

sebuah survey kecil kepada umat Katolik di KAJ yang belajar Kitab Suci di sekolah 

Kursus Pengajaran Kitab Suci St. Paulus. Dari 127 responden, 66,1 % menyatakan 

tidak paham tentang Kitab Wahyu karena mereka sendiri jarang membacanya dan 

simbol yang ada di dalamnya tidak mudah dipahami. Survey sederhana ini dibuat 

penulis untuk membuktikan dan mengkonfirmasi asumsi bahwa ada masalah di 

antara umat dalam membaca Kitab Wahyu. Mereka kebingungan harus memulainya 

dari mana, bahkan adanya informasi tentang akhir zaman yang beredar di internet 

memperkeruh pemahaman iman dengan prediksi yang menakutkan.  

Beberapa informasi yang mengaburkan pemahaman umat dalam memahami 

Kitab Wahyu disampaikan dalam bentuk tulisan ilmiah, pengajaran dan kotbah, 

serta film layar lebar. Seorang tokoh penyiar radio, Harold Camping, yang giat 

mewartakan Kitab Suci dengan banyak pengikut menyatakan bahwa akan terjadi 

peristiwa besar pada tanggal 21 Mei 2011. Prediksi ini diliput oleh majalah-majalah 

ternama, seperti New York Times, the Wall Street Journal, The Economist, dan lain 

sebagainya. Akan namun , pada hari itu tiba, tidak terjadi kejadian menyeramkan. 

Kehidupan berjalan seperti biasa. Harold Camping dan pengikutnya telah membuat 

masyarakat menjadi cemas.  

Pada tahun 2009, beredar sebuah berita tentang kehancuran dunia pada 

tahun 2012. Prediksi ini diperkuat dengan film yang berjudul, 2012. Cara pemasaran 

film ini menggunakan website penelitian palsu yang membuktikan bahwa 

kehancuran dunia akan terjadi dengan tanda-tanda alam berupa gempa bumi, 

tsunami, dan bencana yang mengerikan. Banyak pertanyaan yang masuk kepada 

(Kitab Wahyu dalam Gereja Katolik: Sebuah Proses Memaknai Pengharapan) 

Jurnal Alternatif: Wacana Ilmiah Interkultural Vol. 12, No. 2, 2023  105 

badan penelitian resmi dunia, NASA, “Apakah benar akan terjadi kiamat pada tahun 

2012?” Bahkan pertanyaan-pertanyaan itu diwarnai dengan sikap psimis tentang 

akhir zaman. Beberapa pemuda menyatakan ingin bunuh diri karena tidak ingin 

melihat dunia hancur dengan cara yang menyeramkan. Film dibuat dengan 

teknologi animasi digital yang sangat canggih sehingga kejadian-kejadian alam 

tampak sangat nyata dan mengerikan. Semuanya dilakukan demi kepentingan 

bisnis, akan namun  masih ada dampak kecemasan, dan juga berpengaruh pada 

pemahaman masyarakat tentang akhir zaman.  

Beberapa penelitian terdahulu dalam penafsiran Kitab Suci mulai 

mengangkat masalah penafsiran simbol yang “misterius”. Alur dan simbol Kitab 

Wahyu dinilai terlalu rumit karena mengambil alam pikiran Yunani kuno yang tidak 

familiar di dalam kehidupan masyarakat masa kini (Williamson, 2015). Richard 

Bauckham menggunakan pendekatan metode teologi biblis (bukan historis kritis) 

untuk menyampaikan pesan-pesan teologis dalam simbol dan tokoh Kitab Wahyu. 

Ia mengatakan bahwa Kitab Wahyu merupakan “anomali”, semacam suatu kelainan 

dari bentuk kitab dalam Perjanjian Baru. Kitab Wahyu dengan gaya bahasa 

apokaliptik menggunakan simbol yang rumit untuk dipahami dan juga memiliki 

alur yang melingkar (Bauckham, 1993). Alur yang melingkar mengajar pembaca 

untuk membaca perikop tidak maju dari prolog sampai epilog, namun  maju, lalu 

sejenak mundur kembali, karena setiap teks saling berkaitan satu sama lain. Adela 

Yarbro menawarkan suatu pola penafsiran dengan interlocking method, setiap teks 

dalam Kitab Wahyu mengait satu dengan yang lain, dan tidak bisa dilepas-lepas 

sesuka hati 

Penulis berusaha menawarkan pendekatan yang cukup mudah dipahami 

umat dengan penafsiran teologi biblis. Pendekatan ini dinilai  mudah dipahami 

umat, tanpa harus memiliki kemampuan berbahasa asli (Yunani, Aram, dan Ibrani). 

Pendekatan teologi biblis digunakan oleh banyak pengajar Kitab Suci di Indonesia; 

Prof. I. Suharyo, Dr. Josep Susanto, dan Dr. Bayu Ruseno yang banyak memberikan 

seminar pengajaran Kitab Suci. Dalam penulisan artikel ilmiah ini, penulis 

menggunakan metode studi pustaka untuk membantu pembaca menggali pesan 

pengharapan dan membantu jemaat memiliki cara pandang baru dalam membaca 

Kitab Wahyu. Prediksi tentang akhir zaman yaitu  hal yang keliru dan 

menimbulkan kecemasan. Maka penulis mengikuti beberapa ide dari I. Suharyo, 

Gereja sebagai Komunitas Pengharapan, dengan mengajak pembaca mencermati 

sejarah, serta fokus pada prolog dan epilog dalam Kitab Wahyu yang mengikat satu 

sama lain.  

 

B. 

Kitab Wahyu dan Konteks Jemaat 

 Situasi Jemaat Kitab Wahyu yaitu  situasi Jemaat Kristiani yang dikejar-kejar 

oleh penjajah Romawi. Ada dua hipotesis yang berkembang dalam sejarah penulisan 

Kitab Wahyu. Pertama, Kitab Wahyu ditulis dengan latar belakang masa penjajahan 

Kaisar Nero tahun 64. Kedua, Kitab Wahyu ditulis pada masa kekuasaan Kaisar 

Flavius Dominitianus pada tahun 95 (Alan F. Johnson, 2006; Williamson, 2015). Dari 

hipotesa di atas, penulis berpendapat bahwa Kitab Wahyu ditulis pada tahun 95. 

Penulis mengikuti pendapat dari Ireneus, Yustinus Martir, dan Polikarpus. Konsep 

keselamatan orang-orang Kristen pada zaman itu yaitu  bertahan dalam iman 

sampai mati. Bagi yang bertahan dalam iman, mereka memenangkan pertempuran 

melawan kejahatan bangsa Romawi. Jemaat Kristiani mati sebagai martir karena 

tetap setia dan teguh dalam iman, sekalipun harus mati dibakar, dipaku di kayu 

salib, dan dicabik-cabik oleh anjing (Thompson, 2003; Williamson, 2015)   

 Kemartiran selalu muncul di tengah penderitaan memperjuangkan iman 

sekalipun harus menderita sampai mati. Martir merupakan tanda yang nyata bahwa 

Tuhan hadir dalam kehidupan orang-orang Kristen. Pilihan para martir untuk 

mengikuti Kristus sampai mati, bahkan mengalami penganiayaan yang kejam 

merupakan wujud nyata iman mereka. Ada tiga agama besar yang berkembang pada 

masa awal kekristenan. Pertama, Kristen sebagai aliran kepercayaan baru. Kedua, 

Agama Yahudi sebagai aliran agama yang sudah mapan, namun  juga mengalami 

penderitaan oleh penjajah Romawi. Ketiga, sistem pemerintahan Romawi yang 

mengharuskan setiap orang menyembah dewa-dewi Romawi dan kaisar sebagai 

(Kitab Wahyu dalam Gereja Katolik: Sebuah Proses Memaknai Pengharapan) 

Jurnal Alternatif: Wacana Ilmiah Interkultural Vol. 12, No. 2, 2023  107 

Tuhan. Tiga agama ini bertumbuh dan berkembang bersama di Asia Kecil (David 

Bentley Hart, 2007)  

 Orang-orang Romawi tidak banyak mempersoalkan orang Yahudi, termasuk 

cara peribadatan mereka dan tradisi mereka. Salah satu alasannya, Yahudi 

merupakan sebuah agama yang sudah menjadi keyakinan kuno orang Israel. Orang 

Kristen diperlakukan berbeda dengan orang Yahudi karena komunitas Kristen 

merupakan suatu arus yang baru, bertumbuh dan berkembang pesat dengan banyak 

pengikut. Pada tahun 64, di kota Roma, pertama kali penganiayaan orang Kristen 

dilakukan secara sistematis (David Bentley Hart, 2007). Diskriminasi terhadap 

orang-orang Kristen dilakukan secara struktural (dengan aturan hukum 

pemerintah), di mana orang Kristen tidak diakui sebagai bagian dari masyarakat 

dan sebisa mungkin dibinasakan. Orang-orang Kristen tidak memiliki jaminan 

perlindungan hukum untuk melakukan peribadatan. Peribadatan orang Kristen 

dianggap sebagai kriminal karena tidak menyembah dewa-dewi orang Romawi, 

khususnya kaisar yang harus disembah sebagai dewa. Tindakan menyembah kaisar 

bagi orang Kristen bukan persoalan politik, urusan kekuasaan dan penjajahan, 

manusia yang menindas manusia lain. Bagi orang Kristen, tindakan tersebut yaitu  

persoalan teologis, relasi kesetiaan jemaat dengan Kristus (Alan F. Johnson, 2006).   

 Situasi jemaat Kristen di bawah penjajahan Roma merupakan periode 

istimewa dalam Gereja. Suatu periode sejarah Gereja, iman jemaat bertumbuh di 

atas darah para martir. Kesaksian para martir inilah yang akhirnya meneguhkan dan 

menguatkan iman orang Kristen sampai saat ini. Tidak semua pilihan hidup untuk 

menderita yaitu  jalan kemartiran. Kategori yang dapat digunakan bahwa 

seseorang dapat dinyatakan sebagai martir yaitu  pengorbanan diri seseorang 

untuk mati demi membela iman. Penderitaan yang dipilih untuk mati raga dan 

berpuasa, bukan jalan kemartiran, namun  jalan yang dilakukan pertapa untuk 

menggapai kesucian. Martir menumpahkan darah demi membela iman, pada saat 

mereka diminta menyembah dewa lain, berpindah agama, mereka tetap memilih 

Kristus bahkan apabila harus mati sekalipun (F. X. Murphy dan F. Dicharry, 2003). 

Penulis berpendapat bahwa pembaca Kitab Wahyu pada masa lalu diteguhkan 

dengan peristiwa kemartiran yang dinyatakan dengan simbol dan penglihatan 

Yohanes. Pembaca saat ini perlu memiliki pengetahuan bahwa Kitab Wahyu 

terbentuk dengan darah para martir. Bagi penulis, informasi sejarah tentang 

penganiayaan penjajah Romawi kepada orang Kristen merupakan informasi yang 

penting untuk diketahui. Peristiwa kemartiran yaitu  bukti nyata hidup jemaat 

yang berpengharapan akan janji Allah. Kemartiran tidak mungkin ada tanpa 

pengharapan, sebab pengharapan yaitu  ungkapan iman yang jauh melampaui akal 

budi dan logika manusia. 

 Persoalan yang terjadi sejak awal kekristenan hingga saat ini masih tetap 

sama, yakni prediksi yang keliru tentang akhir zaman berdasarkan Kitab Wahyu. 

(Gregorius Wilson) 

Aliran fundamentalis Protestan yang terkenal seperti Harold Camping, Tim LaHaye 

dan Jerry Jenkins, berpendapat bahwa akhir zaman terjadi pada abad ke-20 atau 

abad ke-21 (Frykholm, 2014; Suharyo, 2004)  Sejak zaman dulu, Origenes dan 

Hironimus telah menuliskan bahwa tafsir tentang Kitab Wahyu menggunakan 

“prediksi kenabian” (berupa bencana alam dan kehancuran kota) untuk 

menyampaikan ajaran moral dan pegangan iman yang berkaitan dengan sejarah 

(Williamson, 2015). Penulis berpendapat, pewartaan tentang akhir zaman bukan 

memberikan informasi kapan pastinya hal itu terjadi, melainkan suatu ajakan bagi 

manusia untuk bertobat dan pengharapan menuju terang ilahi.  

 Sepanjang sejarah, telah terbukti bahwa prediksi-prediksi yang dibuat 

dengan keterangan waktu tertentu dan peristiwa khusus, semuanya gagal. Menurut 

penulis, akhir zaman yaitu  suatu pengalaman refleksi spiritual yang mengajak 

manusia bertobat (akibat dosa, neraka dan surga). Orang-orang tidak beragama 

melihat bencana yaitu  peristiwa umum yang terjadi sebagai suatu siklus 

kehidupan. Bencana alam tidak ada kaitannya dengan dosa dan akhir zaman, 

melainkan suatu peristiwa sulit (yang menimbulkan penderitaan) yang harus 

dijalani sebagai bagian dari kehidupan manusia.  

 Penulis tidak setuju dengan adanya prediksi waktu terjadinya akhir zaman. 

Prediksi terjadinya akhir zaman, pertama akan memengaruhi psikologis seseorang, 

ketakutan dan depresi, sebagai contoh pesan yang hendak disampaikan melalui film 

2012. Kedua, apabila akhir zaman dapat diprediksi, manusia akan cenderung 

bertobat sebelum akhir zaman tiba. Setidaknya sebelum waktu akhir zaman tiba 

akan mengaku dosa dan menjalankan penitensi. Yang ketiga, ia akan mencari segala 

cara untuk melawan dan menghindari waktu akhir zaman tiba. Misalnya saja 

apabila terjadi gempa bumi yang dapat diprediksi di suatu wilayah, maka akan ada 

imbauan untuk mengungsi dan menghindari kematian. Pada saat manusia 

mengetahui saat akhir zaman tiba, ia tidak akan mengambil sikap berjaga-jaga dan 

berpengharapan sebab segala sesuatu dapat diprediksi dan diantisipasi. 

 

Peran Kitab Wahyu Dalam Sejarah 

Kitab Wahyu memainkan peran penting dalam sejarah Gereja. Jemaat Kristen 

awal yang sedang mengalami penindasan, menggunakan Kitab Wahyu sebagai 

pegangan iman (Why 2:10, 13). (Alan F. Johnson, 2006).  Tantangan yang muncul 

dalam penafsiran Kitab Wahyu yaitu  gagasan-gagasan tentang akhir zaman. 

Prediksi akhir zaman yang keliru dapat membawa kesesatan dan kebingungan di 

tengah umat. Teolog-teolog awal (Yustinus Martir, Agustinus dan Irenaeus) 

berusaha meluruskan ajaran-ajaran khas Kristen tentang pengharapan akan 

kedatangan Yesus yang kedua. Pada subbab berikut akan dipaparkan peran Kitab 

Wahyu sebagai pegangan iman dalam membangun argumen teologis dan 

meluruskan tafsiran-tafsiran yang keliru tentang akhir zaman. Bentuk penafsiran 

(Kitab Wahyu dalam Gereja Katolik: Sebuah Proses Memaknai Pengharapan) 

Jurnal Alternatif: Wacana Ilmiah Interkultural Vol. 12, No. 2, 2023  109 

yang keliru berkembang dalam arus pemikiran Gnostisisme, Milenarisme, dan 

penafsiran simbol angka. Ada tiga tokoh yang diangkat dalam subbab berikut, 

ketiganya yaitu  Yustinus Martir, Agustinus, dan Irenaeus. 

 

Kitab Wahyu dalam Karya Yustinus Martir 

 Yustinus Martir (100-165) yaitu  seorang apologet yang mempertahankan 

iman Kristen dengan logika berpikir khas filsafat dan Kitab Suci. Menurut kesaksian 

sejarah, Yustinus yaitu  seorang filsuf aliran Platonisme sehingga ia mendapat 

julukan “Yustinus Filsuf”. Yustinus melawan Gnostisisme dan mempertahankan 

doktrin iman Kristen tentang Logos untuk menjelaskan identitas diri Yesus Kristus.  

Karya Yustinus Martir yang paling terkenal yaitu  Dialog dengan Trypho, seorang 

Yahudi (Hirshberg, 1977). Yustinus dalam karyanya menjelaskan Yesus Kristus 

sebagai Mesias kepada Trypho. Selain itu, Yustinus juga menjelaskan kedatangan 

Yesus yang kedua, dan masa pembangunan Yerusalem baru selama 1.000 tahun. 

Berkaitan dengan Kitab Wahyu, Yustinus Martir menulis keterangan dalam Dial. 

LXXX, No. 5 bahwa Yohanes yang menerima penglihatan yaitu  Yohanes Rasul 

(Yustinus Martir, 1930). Akan namun , penulis tesis merasakan suatu kejanggalan 

dengan adanya dua hipotesa tahun penulisan Kitab Wahyu. Apakah dapat 

diperkirakan bahwa Yohanes Rasul memiliki usia lebih dari 100 tahun? Pada usia 

tersebut, apakah ia masih sanggup untuk menulis? Pertanyaan-pertanyaan ini dapat 

dijawab dalam subbab yang membahas Kitab Wahyu dengan tulisan Irenaeus.   

 Latar belakang tekanan yang dialami jemaat Kristen awal pada abad kedua 

merupakan sebuah petunjuk bagi suatu penafsiran Kitab Wahyu. Yustinus Martir 

merupakan saksi penindasan orang Kristen yang dilakukan penjajah Roma. 

Argumen ini didukung dari periodisasi masa hidup dan karyanya yang terjadi pada 

abad kedua. Peristiwa inkarnasi Yesus Kristus, Allah yang menjelma menjadi 

manusia menjadi titik pijak yang kuat dalam argumentasi Kristologi Yustinus Martir 

untuk membela iman. Gnostisisme yang berkembang pesat menjadi tantangan dan 

suatu arus yang dilawan oleh Yustinus Martir. Pewahyuan merupakan suatu dasar 

pemikiran epistemologi Kristen. Pengetahuan manusia tentang Allah hanya akan 

mungkin dialami pada saat Allah menyingkapkan diri-Nya.  Alur pemikiran 

Yustinus Martir mengajak manusia berpikir tentang inkarnasi Sabda yang menjadi 

daging.  

 Yustinus Martir mengusahakan sebuah katekese tentang kebangkitan yang 

didasarkan pada Why 20:4-6. “Bagi mereka yang percaya (orang Kristen) akan 

menikmati kehidupan dan pemerintahan bersama Kristus di Yerusalem selama 

1.000 tahun.”  Konteks dari katekese Yustinus Martir yang dikutip dari teks Why 

20:4 yaitu  penjelasan identitas diri seorang Kristen. Orang Kristen akan mendapat 

jaminan hidup bersama Kristus di dalam Kerajaan-Nya selama 1.000 tahun. Bagi 

penulis, teks Why 20:4 memiliki pesan lain tentang kemartiran dan identitas 

(Gregorius Wilson) 

(tanda) seseorang dapat diakui sebagai bagian dari masyarakat Roma. Para martir 

yaitu  jiwa-jiwa yang telah dipenggal kepalanya karena kesaksian tentang Yesus 

dan pewartaan Firman Allah. Wahyu 20:4 menjelaskan dengan rinci dua alasan 

orang Kristen dipenggal: tidak menyembah binatang dan patung, dan tidak 

menerima tanda sebagai orang Romawi pada dahi dan tangan mereka. Mereka yang 

setia pada Firman Tuhan akan hidup kembali bersama-sama dengan Kristus. Syarat 

seseorang menjadi bagian dari Roma yaitu  menyembah binatang dan patung, serta 

mendapat tanda pada lengan dan dahi sebagai orang Roma. Dengan pemahaman 

ini, pembaca Kitab Wahyu mendapat informasi untuk memahami mengapa Hamba 

Allah dijanjikan untuk menerima nama Allah sebagai tanda pada dahi dan tangan 

mereka.  

 Yustinus Martir memberikan keterangan dalam Dial. LXXXI, no. 4, bahwa 

manusia yang telah meninggal akan bangkit dan diangkat menjadi anak-anak Allah. 

Pada awal pertumbuhan jemaat Kristen, Yustinus Martir menggunakan kutipan-

kutipan ayat Kitab Wahyu untuk menjelaskan teologi kebangkitan (Yustinus Martir, 

1930). Setiap orang yang menderita dan rela mati demi iman (kemartiran) akan 

mengalami kebangkitan dan memperoleh kehidupan kekal bersama Yesus. Peran 

Kitab Wahyu pada masa Yustinus Martir memiliki manfaat untuk menjelaskan 

katekese kebangkitan. Secara logis, iman Kristen tentang kebangkitan dapat 

dijelaskan dengan Kitab Wahyu. Yesus Kristus sebagai pusat dan satu-satunya 

penyelamat merupakan dasar iman orang Kristen saat itu. Gambaran keselamatan 

dalam Kitab Wahyu bukan semata-mata kisah sastra, melainkan menjadi suatu 

pegangan hidup yang menjiwai orang Kristen untuk menjadi pengikut Yesus yang 

setia. 

 

Kitab Wahyu dalam Karya Agustinus 

 Agustinus secara khusus menggunakan simbol-simbol Kitab Wahyu untuk 

menggambarkan hidup bersama yang damai dan penuh keteraturan. Gambaran ini 

ditulis dalam karya City of God, dalam bahasa Latin De Civitate Dei. Karya ini ditulis 

selama 13 tahun, sejak tahun 413-426. Agustinus menulis karya ini pada saat Roma 

dijarah dan dikuasai oleh orang-orang barbar. Era kejayaan Yunani Roma telah 

runtuh sehingga Kekristenan mulai tumbuh dan berkembang (Schaff, 1885). 

Gagasan Kota Allah diambil dari Kitab Wahyu (3:12, 21:2, 22:12,14). Budaya Romawi 

meyakini bahwa kota Roma diberkati oleh dewa-dewi. Akan namun , Agustinus 

membantah pendapat itu. Bagi Agustinus, Allah yaitu  pendiri kota itu. Agustinus 

mencoba memberikan argumentasi logis dengan cara membandingkan Kota Allah 

(Yerusalem Surgawi, Kerajaan Surga, Allah akan duduk di atas takhta-Nya) dan kota 

kerajaan di dunia yang dapat binasa. Agustinus berpendapat dalam De Civitate Dei I, 

bab 1, Kota kerajaan di dunia yaitu  tempat manusia hidup, ada arogansi dan ambisi 

diri yang membuat manusia ingin menguasai satu sama lain.  Menurut pembacaan 

(Kitab Wahyu dalam Gereja Katolik: Sebuah Proses Memaknai Pengharapan) 

Jurnal Alternatif: Wacana Ilmiah Interkultural Vol. 12, No. 2, 2023  111 

penulis, Kota Allah yang dimaksud Agustinus yaitu  Yerusalem Surgawi, tempat 

semua umat manusia akan bersatu dengan Allah. Para martir akan memerintah 

bersama dengan Yesus Kristus di surga. Masa pemerintahan bersama Yesus berlaku 

selama 1.000 tahun (Why 20:4). Pendasaran angka 1.000 tahun yang muncul dalam 

Wahyu 20:4 merupakan dasar pemikiran milenarisme. Ajaran itu mengatakan 

bahwa 1000 tahun yaitu  waktu yang dialami di bumi untuk mengukur kedatangan 

Yesus yang kedua. 

 Berkaitan dengan Kota Allah yang disebut dalam Kitab Wahyu, angka 1.000 

tahun merupakan masa pemerintahan Yesus bersama dengan para martir yang setia 

demi iman (Why 20:4). Angka 1.000 memiliki kaitan dengan kisah dan angka yang 

muncul dalam Perjanjian Lama (Ul 5:11, Mzm 19: 4, 7, 8, 10, 1Taw 13:21) yang biasanya 

untuk menunjukkan satuan jumlah yang sangat besar dan tak terhingga, pasukan 

yang besar, ukuran bangunan (ribuan hasta), jumlah besar nabi yang dipilih Allah 

dari awal mula sampai dengan saat ini. Kitab Wahyu tidak langsung memunculkan 

angka 1.000 pada bagian awal (prolog), namun  pada bab 20. Bagi penulis, mungkin 

Yohanes ingin menekankan makna simbolis dari angka 1.000. St. Agustinus 

mencoba menjelaskan arti bilangan 1.000 dengan suatu argumentasi kuantitatif. 

Bilangan 1.000 hendak meyakinkan pembaca tentang suatu jumlah yang sangat 

banyak, bahkan tak terhingga bagi manusia. Istilah 1.000 tahun lamanya merupakan 

suatu ungkapan sastra dengan pesan bahwa hal itu lama sekali, atau hal itu abadi, 

tidak akan pernah mati (Agustinus, 1885). Bilangan 1.000 bukan pertama-tama 

menyebut makna satuan, namun  merupakan sebuah simbolisme. Sebuah istilah 

figuratif yang maknanya tersirat. 

 

Melawan Paham Milenarisme 

 Banyak asumsi dan hipotesis angka 1.000 yang beredar di antara penafsir dan 

pembaca Kitab Wahyu. Penulis berpendapat, arus besar yang keliru menafsirkan 

angka 1.000 yaitu  kelompok milenarisme. Pengikut paham milenarisme berusaha 

memprediksi kedatangan Yesus yang kedua dan kedatangan Kerajaan Allah terjadi 

selama 1.000 tahun. Apabila sudah tepat pada tahun 1.000, 2.000, dan seterusnya 

tidak terwujud, maka akan muncul hipotesis baru dengan prediksi waktu. 

Kegagalan ramalan Yesus yang akan datang tahun 1.000, kemudian digantikan 

dengan prediksi yang akan terjadi 2.000. Peristiwa kedatangan-Nya diiringi hal-hal 

yang mengerikan dan menakutkan (akhir zaman). Paham seperti ini disebut sebagai 

Milenarisme. Milenium yaitu  kata dalam bahasa berarti masa atau jangka waktu 

1.000 tahun. Milenium yang diambil dari bahasa Latin, mille yang berarti 1.000 dan 

annus yang berarti tahun (Kuehner, 2003). Salah satu contoh peristiwa yang tercatat 

dalam sejarah yaitu  pergantian tahun antara tahun 1999 menuju tahun 2000. Pada 

waktu itu disebarkan ramalan, prediksi, dan antisipasi atas bencana yang mungkin 

akan menimpa manusia. Orang-orang disertai dengan rasa bingung dan ketakutan. 

(Gregorius Wilson) 

Akan namun , semua kehidupan berjalan biasa saja, tidak ada bencana alam atau hal 

menakutkan yang terjadi. 

 Dari pemaparan di atas, penulis berusaha mencermati angka-angka dalam 

Wahyu 20. Angka 2.000 merupakan kelipatan perkalian dari angka 1.000. Artinya 

tahun 2000 yaitu  milenium kedua dengan kemungkinan datangnya Yesus pada 

saat itu. Akan namun , prediksi tentang bencana tersebut tidak terjadi. Seiring 

berjalannya waktu dengan sendirinya milenarisme sudah gagal membuktikan 

bahwa Yesus akan datang dengan jangka waktu interval 1.000 tahun terhitung dari 

tahun nol.  

 Paham mileniarisme bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik. Kedatangan 

Yesus yang pertama terjadi di Betlehem, Yesus wafat di Golgota, lalu bangkit pada 

hari ketiga. Katekismus mengajarkan, kedatangan Yesus yang kedua tidak bisa 

ditentukan kapan waktunya (KGK. 677). Paham Milenarisme yang menyatakan 

bahwa Yesus akan datang kembali 1.000 tahun setelah kematian-Nya. Jika pada 

tahun 1000, Yesus tidak datang kembali, maka mereka menambah lagi periode 

waktunya pada tahun 2000. Kedatangan Yesus yang kedua tidak bisa dibuktikan 

tanggal dan waktunya. Kedatangan Yesus tidak bersifat (mesianik) politis. Paham 

milenarisme mengatakan bahwa munculnya pemimpin politik yang berkarisma 

merupakan suatu kedatangan Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus. Hal ini bisa 

disebut juga sebagai “sekular mesianisme” yang ditolak oleh Gereja (Williamson, 

2015). Mesias yang hadir dalam diri Yesus bukan bersifat politis, melengserkan 

kekuasaan pemerintah yang kejam, melainkan inkarnatoris, Sabda yang menjadi 

daging dan tujuannya menyelamatkan semua umat manusia dari dosa. 

 Ada 5 butir kritik yang diajukan oleh Williamson dalam catatan tambahan 

dari karya Revelation: Catholic Commentary on Sacred Scripture (Williamson, 2022). 

Pertama, penganut paham milenarisme menafsirkan Kitab Wahyu secara ketat dari 

teksnya saja, padahal mengandung makna simbolis yang kuat. Kedua, Kaum 

Milenarisme membaca dan menafsirkan teks Kitab Wahyu secara linear sesuai 

urutan bab. Padahal, teks Kitab Wahyu mengandung plot yang sirkular, 

menggulung-gulung sehingga harus dibaca maju-mundur. Ketiga, Milenarisme 

menyebutkan secara pasti tanggal dan waktu prediksi terjadi akhir zaman. Padahal, 

tidak ada satu pun manusia yang mengetahui kapan pastinya Yesus datang kedua 

kalinya. Gereja Katolik juga tidak pernah menyebut prediksi waktu terjadinya akhir 

zaman. Gereja mengajak semua umat beriman untuk siap sedia sampai waktu Yesus 

datang untuk kedua kalinya dengan penuh pengharapan. Sikap yang dianjurkan 

sebagai anggota Gereja yaitu  berjaga-jaga dengan berbuat baik, dan setia pada 

iman sampai waktunya tiba (Mat 24:42-44). 

 Keempat, Milenarisme menafsirkan Kitab Wahyu dengan pemisahan antara 

Israel dan Gereja, padahal pemisahan itu tidak dikehendaki oleh penulis Kitab 

Wahyu (Williamson, 2022). Penulis setuju dengan pendapat keempat Peter 

(Kitab Wahyu dalam Gereja Katolik: Sebuah Proses Memaknai Pengharapan) 

Jurnal Alternatif: Wacana Ilmiah Interkultural Vol. 12, No. 2, 2023  113 

Williamson sebab simbolisme dalam Kitab Wahyu merupakan perpaduan antara 

mitologi Yunani, inspirasi dari Kitab-kitab Perjanjian Lama, dan sejarah kehidupan 

orang Kristen. Memisahkan Israel dan Gereja dalam Kitab Wahyu merupakan 

penafsiran tanpa melihat konteks di balik penulisan Kitab Wahyu.  

 Kelima, prediksi yang dibuat oleh milenarisme tidak relevan dan selalu gagal, 

belum ada yang benar-benar terjadi sampai dengan saat ini. Keterangan 1.000 tahun 

bukan sebuah penanda waktu secara matematis. Keterangan 1.000 tahun 

merupakan suatu simbol spiritual untuk menjelaskan masa pemerintahan Yesus 

akan sangat panjang (bahkan selama-lamanya), sedangkan pemerintahan penguasa 

Romawi terbatas dengan waktu. 

 Katekismus mengatakan, milenarisme merupakan suatu pewartaan palsu 

tentang Kerajaan Allah yang akan datang dalam bentuk halus (KGK. 675). Gereja 

juga menolak kedatangan Kerajaan Allah dari pewartaan-pewartaan palsu. Bagi 

Gereja, Kerajaan Allah hanya mungkin akan datang ketika manusia bisa 

mengalahkan kejahatan dan melakukan kebaikan (KGK. 676). Pewartaan-pewartaan 

palsu dalam konteks milenarisme diukur dari prediksi mereka tentang kedatangan 

Kerajaan Allah dan kedatangan Yesus yang kedua yang akan terjadi setiap 1.000 

tahun. Penulis menyebut milenarisme sebagai pewartaan palsu karena katekismus 

mengatakannya demikian. Kemudian, yang kedua, prediksi mereka selalu meleset 

dan menyesatkan banyak orang. “Hanya Bapa yang mengetahui hari dan jam, Ia 

sendiri menentukan kapan itu (pengadilan terakhir dan kedatangan Yesus yang 

kedua) akan terjadi.” Warta tentang pengadilan terakhir dan kedatangan Yesus yang 

kedua mengajak manusia supaya bertobat (KGK. 1040-1041). Penulis menolak paham 

milenarisme sebab bukti-bukti di atas telah menunjukkan bahwa milenarisme 

yaitu  suatu pewartaan yang sesat dan ditolak sejak zaman St. Agustinus. 

Penolakan telah dirumuskan dengan lebih sistematis dan teologis dalam 

Katekismus sebagai ajaran resmi Gereja Katolik Roma. Prediksi waktu hanya akan 

membuat manusia takut sesaat, ketika waktunya hampir tiba di situlah ada 

pertobatan (walau hanya sesaat). Pertobatan yang sejati terjadi setiap hari, penuh 

dengan pengharapan dan dibangun setiap hari dengan semangat berjaga-jaga 

seperti yang disabdakan Yesus. “Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu 

pada hari mana Tuhanmu datang” (Mat 24:42). 

 

Kitab Wahyu dalam Karya Irenaeus  

 Irenaeus yaitu  tokoh yang hidup dan berkarya sekitar abad ke-2. Irenaeus 

hidup dalam kurun waktu yang kurang lebih sama dengan Yustinus Martir. Tulisan-

tulisan Irenaeus merupakan bentuk pembelaan iman melawan ajaran sesat pada 

zaman itu. Pemikiran Irenaeus dituangkan dalam karya yang terkenal, Contra 

Haereses, yang terbagi menjadi 5 buku dengan tujuan utama melawan ajaran 

Gnostisisme. Gnostisisme merupakan ajaran yang absurd dan tidak dapat 

(Gregorius Wilson) 

ditoleransi sebab pengetahuan menjadi sumber dari keselamatan. Oleh karena itu, 

pengetahuan sudah cukup dan tidak memerlukan Allah lagi sebagai sumber 

keselamatan yang sejati. Kendati demikian, gnostisisme menarik banyak sekali 

murid dan pengikut. (Scaff, 2017)  

 Irenaeus menyampaikan dua hal penting berkaitan dengan Kitab Wahyu. 

Pertama, Irenaeus menyatakan bahwa Yohanes yang menerima penglihatan yaitu  

Yohanes Rasul. Penglihatan yang dialami Yohanes yaitu  perjumpaannya dengan 

Allah, antara wajah dengan wajah secara langsung. Kedua, Irenaeus membahas 

angka 666 dalam Kitab Wahyu. Hal lain yang juga penting untuk diketahui yaitu  

bahwa Irenaeus dan Yustinus Martir sangat sering menjadi rujukan para ahli 

(Bauckham, 1993; Fiorenza, 1998; Koester, 2018; Mounce & Collins, 1979; Reddish, 2001) 

dalam menelusuri identitas penulis Kitab Wahyu. Penulis sependapat dengan 

Yustinus Martir yang menyatakan dengan tegas bahwa penulisnya yaitu  Yohanes 

Rasul.  Irenaeus juga memberi petunjuk dalam karya Contra Haeresies 5, XXX, no. 2,  

bahwa Yohanes Rasul hidup sampai pada masa penjajahan Kaisar Trajan yang 

dimulai sekitar tahun 97 (pengganti Kaisar Flavius Dominitianus). Irenaeus 

menggambarkan bahwa rasul yang tinggal di Asia itu sudah sangat tua. Penulis 

meragukan apakah Yohanes Rasul dengan usia yang sangat tua masih mampu untuk 

menulis dengan tangannya sendiri? Hipotesis peran sekretaris yang membantu 

Yohanes menulis Kitab Wahyu memiliki kemungkinan apabila Irenaeus 

menggambarkan sosok Yohanes Rasul yang sangat tua di Asia Kecil. Hipotesis 

tentang teori penulisan Kitab Wahyu pada masa pemerintahan Kaisar Nero tahun 

64 diinspirasikan dari tulisan Irenaeus tentang tafsir angka 666 yang akan diulas 

pada bahasan berikut.  

 Ada sebuah persoalan yang dihadapi oleh Irenaeus dalam mengulas makna 

simbolis angka 666 yang ada di Kitab Wahyu. Ia menuliskan pendapatnya dalam 

Contra Haeresies 5, XXX, no. 1. Di dalam beberapa teks kuno, penulisan angka yang 

digunakan yaitu  616, bukan 666. Salah satu hipotesis terjadinya penemuan angka 

616 dalam teks kuno yaitu  hasil transliterasi dari bahasa Yunani ke dalam bahasa 

Ibrani.  Angka 666 digunakan untuk menyebut nama Kaisar Nero (Neron Kaisar, 

dalam bahasa Ibrani menjadi nron qsr). Terjemahan nama Kaisar Nero dalam teks 

kuno bahasa Ibrani nro qsr yang menghasilkan angka 616. Sedangkan nron qsr 

menghasilkan angka 666 (nun = 50, resh = 200, waw = 6, nun = 50, qoph = 100, 

samech = 60, resh = 200) (Bauckham, 1993; Beale, 1999). 

 Irenaeus melakukan penafsiran simbol angka 666 dikaitkan dengan beberapa 

kisah dalam Kitab Suci. Bilangan 666 terdiri dari tiga buah angka 6 pada ratusan, 

puluhan dan satuan. Angka 6 yang pertama berkaitan dengan usia nuh 600 tahun 

pada waktu terjadinya air bah (Kej 7:11). Angka 6 yang kedua dan ketiga memiliki 

pararelisme dengan patung yang didirikan oleh Nebukadnezar, yaitu 60 hasta 

tingginya, dan 6 hasta lebarnya. Antara peristiwa air bah dan patung Nebukadnezar 

(Kitab Wahyu dalam Gereja Katolik: Sebuah Proses Memaknai Pengharapan) 

Jurnal Alternatif: Wacana Ilmiah Interkultural Vol. 12, No. 2, 2023  115 

terdapat kaitan dengan Allah memusnahkan kejahatan. Air bah menjadi peristiwa 

besar, pembaruan Allah atas bumi yang hancur karena kejahatan manusia. 

Nebukadnezar merupakan simbol kejahatan. Nebukadnezar membunuh orang-

orang yang bertakwa pada Tuhan. Menurut Irenaeus, bilangan 666 yaitu  simbol 

antikristus, seperti Nebukadnezar yang menjadi musuh Allah (Sanders, 1918). 

 Angka 666 juga dapat ditafsirkan sebagai suatu simbol yang berarti belum 

selesai, belum sempurna, belum tuntas. Pada hari ke-6, Allah belum selesai 

menciptakan dunia, proses penciptaan belum selesai. Kisah penciptaan dalam Kitab 

Kejadian selesai pada hari ke-7. Pada saat itu, Allah beristirahat. Dalam Kitab 

Wahyu angka 7 mempunyai peran penting sebagai simbol kesempurnaan, saat 

sangkakala yang ketujuh ditiupkan sebagai tanda bahwa pemerintahan atas dunia 

telah dipegang oleh Tuhan. Pada saat itu, para hamba Allah akan merayakan 

kemenangannya bersama Allah (Why 11:15, 19) (Beale, 1999).  

 Dalam karya Contra Haeresies 5, XXXIV, no. 2-3 dan 5, XXX, no. 2,  Irenaeus 

menekankan bahwa seluruh ciptaan dapat mengalami keselamatan dan kebangkitan 

karena rahmat dan kehendak Allah. Kerajaan dan kekuasaan yang kekal diberikan 

dari orang-orang kudus Allah bagi orang-orang yang taat sampai mati sebagai 

pengikut Kristus. Setiap orang yang taat akan memperoleh kebangkitan pertama. 

Paham tentang kebangkitan pertama dituliskan dalam Why 20:6 dan Dan 7:27. Pada 

saat itu, orang-orang mati akan bangkit dan menjadi imam-imam Allah. Mereka 

akan memerintah sebagai raja bersama-sama dengan Kristus.  

 

Kitab Wahyu di Masa Kini: Gereja Sebagai Komunitas Pengharapan 

 Gereja sebagai Komunitas Pengharapan yaitu  tema yang diangkat oleh I. 

Suharyo dalam penggembalaannya sebagai uskup. Tema tersebut diinspirasi oleh 

Kitab Wahyu. Pengharapan merupakan kunci bagi setiap orang beriman untuk 

memahami Kitab Wahyu. Setiap orang beriman akan mengharapkan kedatangan 

Kristus yang kedua yang menjamin keselamatan manusia. Keselamatan manusia 

hanya dapat terjadi pada saat manusia bersatu dengan Allah (Dister, 2004). 

Kedatangan Yesus yang kedua menjadi topik dan pesan kuat ditempatkan dalam 

keseluruhan Kitab Suci (Why 22:20-21). Seruan “Datanglah ya Tuhan Yesus!” yang 

dituliskan oleh redaktur dalam penutup Kitab Wahyu diawali dengan Firman 

Tuhan, “Ya, Aku datang segera!”  Pertanyaan pertama yang bisa diajukan dalam 

penafsiran teks ini yaitu , “Siapakah tokoh Aku yang akan datang?” “Siapakah yang 

mengharapkan kedatangan-Nya?”  

 Tokoh “Aku” dalam Wahyu 22 ditulis dengan huruf kapital. Penulis 

mengamati kisah hidup Yesus yang dituliskan dalam Injil juga menggunakan kata 

yang sama “Aku” untuk menunjuk diri Yesus yang sedang bersabda atau berfirman. 

“Aku berkata kepadamu, barangsiapa …” Teks-teks dalam Injil merupakan petunjuk 

kuat bahwa redaktur ingin mengatakan bahwa tokoh Aku yaitu  Yesus. Jawaban 

(Gregorius Wilson) 

redaktor menjadi lebih kuat lagi dengan menyebut langsung nama Yesus dalam 

tanggapan atas seruan firman Tuhan. “Datanglah ya Tuhan Yesus!”   

 Redaktur sebagai perwakilan situasi hati jemaat pada masa itu, yang 

mengalami situasi penindasan, mengharapkan kedatangan Mesias Juruselamat, 

yaitu Yesus Kristus. Atas dasar inilah, salah satu kekhasan Kitab Wahyu yaitu  

pesan bagi Gereja (jemaat) sebagai komunitas pengharapan.  Yesus menjadi pusat 

pengharapan Gereja. Sumber utama keselamatan bukan pemerintah, bukan nabi, 

bukan imam, melainkan Yesus Kristus Juruselamat. Penulis mencoba merumuskan 

harapan yang diinspirasikan Kitab Wahyu. Prolog dan epilog Kitab Wahyu memiliki 

tema pengharapan yang kuat. Di dalam prolog, Allah memberikan janji kepada 

manusia. Pada bagian epilog, Allah memenuhi janji yang telah diucapkan Allah. 

Pada subbab berikut ini akan dipaparkan ulasan tentang prolog dan epilog Kitab 

Wahyu.  

 

Pesan Pengharapan dalam Prolog dan Epilog 

 Metode pengamatan teks Kitab Wahyu yang dikemukakan Adela Yarbro 

yaitu  metode penafsiran yang memperhatikan keterkaitan teks yang tertulis dalam 

Kitab Suci, interlocking method (Mounce & Collins, 1979).Teks-teks dalam Kitab 

Wahyu tidak bisa berdiri sendiri dan perlu ditafsirkan dengan penggalan-penggalan 

plot dan kisah. Perikop satu dan yang lainnya saling berhubungan dan terkait. 

Ibarat tali pancing dengan kail di ujungnya apabila sudah terkait di mulut ikan akan 

sulit lepas dengan sendirinya. Pembacaan teks-teks Kitab Wahyu tidak bisa 

dilakukan secara acak seperti kumpulan sastra kebijaksanaan (Amsal, Mazmur, 

Pengkhotbah, dan Kidung Agung). Pembaca akan merasa kebingungan dan 

kehilangan alur pesan yang hendak disampaikan oleh redaktur. Epilog dan prolog 

merupakan suatu bingkai yang membantu pembaca membangun kerangka berpikir 

dan melihat kaitan-kaitan antarteks dalam Kitab Wahyu. 

 Pengamatan pada simbol, angka, dan nama akan membantu pembaca 

memahami dan menafsirkan teks. Cara membaca Kitab Wahyu tanpa mengikuti 

alur, atau dengan penggalan-penggalan perikop singkat akan membuat pembaca 

tersesat dan kehilangan makna. Prolog dan epilog dalam Kitab Wahyu menegaskan 

2 hal: (1) Prolog menegaskan bahwa Yohanes merupakan penerima Wahyu Allah 

yang disampaikan dalam penglihatan antara wajah dengan wajah. Prolog ini 

memberikan pengantar dan landasan otoritas pewartaan Yohanes. Ia tidak berkata-

kata dari dirinya sendiri, namun  bersumber dari Yesus Kristus yang menampakkan 

diri-Nya. (2) Epilog menegaskan bahwa kesaksian yang dituliskan dalam Kitab 

Wahyu yaitu  janji yang akan dipenuhi pada akhir zaman, saat kedatangan Yesus 

yang kedua.   

 David L. Barr mencoba membandingkan  teks prolog dan epilog dengan 

melihat kesejajaran antarteks. Ia menemukan ada 11 butir kesejajaran antara epilog 

(Kitab Wahyu dalam Gereja Katolik: Sebuah Proses Memaknai Pengharapan) 

Jurnal Alternatif: Wacana Ilmiah Interkultural Vol. 12, No. 2, 2023  117 

dan prolog.  Kesejajaran yang ditemukan David bukan hanya kesamaan kata dan 

kesamaan tema, melainkan juga bentuk tulisan dan tindakan. Salah satu contoh 

kesamaan bentuk prolog dan epilog, yakni keduanya ditulis dalam bentuk surat 

(Barr, 2003). Prolog Kitab Wahyu menggunakan bentuk surat  dengan salam 

pembuka (salam pengantar) yang berbunyi, “Dari Yohanes kepada ketujuh jemaat 

yang di Asia Kecil: Damai dan sejahtera menyertai kamu.” Epilog kitab Wahyu 

ditulis dengan salam perpisahan atau penutup sebuah surat, yang juga biasa 

digunakan dalam surat-surat Paulus, “Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu 

sekalian!” Tabel 1 di bawah ini merupakan paralelisme yang ditemukan oleh David 

L. Barr dalam prolog dan epilog Kitab Wahyu (Barr, 2003). 

 

Tabel 1. Paralelisme Prolog dan Epilog 

Prolog Tema Epilog 

1: 1, 4, 9 Yohanes menyebut identitas dirinya 22: 8 

1: 1 Pewartaan dari malaikat 22: 6 

1: 1 Hal-hal yang harus segera terjadi 22: 6 

1: 1 Hamba-hamba-Nya 22: 6 

1: 3 Ia yang membaca dan Mereka yang mendengarkan 22: 10 

1: 3 Waktunya sudah dekat 22: 21 

1: 4 Salam pembuka dan berkat 22: 21 

1: 8 Alfa dan Omega 22: 13 

1: 10 Yohanes dikuasai oleh Roh 22: 17 

1: 16, 20 Bintang dan Malaikat 22: 16 

1: 17 Yohanes tersungkur di depan kaki-Nya 22: 8 

 

Diskusi dan buku-buku tafsir tentang Kitab Wahyu kebanyakan (tidak 

semua) menggiring pembaca pada tema akhir zaman.  Bagi kaum ekstremis, 

penafsiran Kitab Wahyu mengarah pada akhir zaman, bahkan dengan yakin 

menyebut waktu peristiwa akhir zaman akan terjadi.  Bagi penulis, penjelasan akhir 

zaman (yang didasarkan pada Kitab Wahyu) yang mengarah pada prediksi waktu 

yaitu  penafsiran yang keliru. Sampai saat ini, prediksi terjadinya akhir zaman 

dengan menunjukkan waktu tidak terbukti sebagai kebenaran. Katekismus juga 

memberikan penjelasan bahwa tidak ada satu orang pun yang mengetahui saat 

terjadinya akhir zaman dan kedatangan Yesus yang kedua.  

 Prediksi tentang waktu terjadinya akhir zaman hanya akan membuat 

manusia takut sesaat, bertobat pada waktu mendekati prediksi waktu. Sedangkan 

sikap yang diharapkan Yesus yaitu  berjaga-jaga sampai pada hari kedatangan 

Tuhan. Sikap berjaga-jaga diupayakan setiap waktu tanpa harus tahu saat hal itu 

akan terjadi. Sikap berjaga-jaga merupakan sikap iman seseorang yang 

(Gregorius Wilson) 

berpengharapan bahwa Allah pasti memenuhi janji-Nya untuk menyelamatkan 

manusia yang setia berpegang pada perintah-Nya.    

 

 Kitab Wahyu dalam sejarah Gereja mengambil peran penting untuk 

menjelaskan paham kebangkitan dan menjadi bukti sejarah jemaat Kristen yang 

mengalami penindasan oleh penjajah Romawi. Bagi para pembaca Kitab Wahyu 

yang mengalami kebingungan untuk memahami isi dan pesan teologis, mereka ini 

perlu membacanya dengan perspektif pengharapan dan pemahaman sejarah jemaat 

yang sedang berada dalam penindasan. Prediksi waktu terjadinya akhir zaman 

merupakan suatu penafsiran yang keliru. Maka pembaca dan umat masa kini diajak 

untuk melihat jemaat Kitab Wahyu yang hidup dalam terang pengharapan sehingga 

mereka dapat memaknai penderitaan sebagai bagian dari kehidupan untuk bersatu 

dengan Tuhan. Hanya mereka yang setia dalam iman akan Kristus akan bersatu 

dengan Bapa di dalam Yerusalem Surgawi. Pada masa kini, Gereja perlu dipahami 

sebagai komunitas pengharapan. Pengharapan melampaui optimisme. Pada saat 

akal budi, prediksi, dan kalkulasi tak lagi dapat diandalkan oleh manusia untuk 

menghindari kesulitan hidup, pengharapan mengambil peranan untuk memaknai 

penderitaan sebagai bagian dari kehidupan dan kelak akan masuk ke dalam 

Kerajaan Surga. Studi lebih lanjut dari tulisan sederhana ini dapat dikembangkan 

untuk menggali pesan teologis dari tiga tanda langit yang khas dalam Kitab Wahyu. 

Apabila hendak digunakan suatu pendekatan lain, misalnya metode kuantitatif, 

studi tentang pemahaman umat dapat dilakukan dengan survey sederhana untuk 

menentukan mana metode yang cocok untuk mempelajari Kitab Wahyu.