Kitab Wahyu merupakan Kitab terakhir dalam Alkitab. Pembaca Alkitab (khususnya
Umat Katolik) sangat sedikit mendapat kesempatan membaca Kitab Wahyu karena
tidak banyak mendapat tempat dalam penaggalan Liturgi Gereja. Persebaran
informasi tentang tafsir Kitab Wahyu yang mengarah pada prediksi akhir zaman
membuat masyarakat resah dan ketakutan. Padahal sejak Yesus Wafat di Salib,
sampai dengan saat ini, belum pernah terjadi akhir zaman. Metode penelitian yang
digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu metode penelitian pustaka dengan
membandingkan beberapa penelitian terdahulu untuk menemukan jawaban atas
persoalan pemahaman umat. Metode penelitian pustaka dapat memberikan
pemaparan sejarah, budaya, dan latar belakang Kitab Wahyu sehingga pembaca dan
umat saat ini menangkap pesan teologis dan merefleksikannya dalam kehidupan.
Cara jemaat masa kini memahami Kitab Wahyu perlu diperbarui dengan persepktif
pengharapan, sehingga teks Kitab Wahyu dapat direfleksikan secara baru.
(Gregorius Wilson)
Pengharapan yaitu salah satu dari tiga kebajikan Kristiani, iman, harapan, dan
kasih. Harapan berperan penting dalam merefleksikan penderitaan dan kesulitan
hidup. Manusia yang berpengharapan akan memaknai penderitaan sebagai bagian
dari perjalanan rohani untuk bersatu dengan Bapa di Surga. Jemaat Kristen di Asia
Kecil, digambarkan dalam Kitab Wahyu sebagai jemaat yang berjuang untuk
mempertahankan imannya di tengah penderitaan. Teks Kitab Wahyu mengajak
pembaca saat ini untuk berpengharapan pada janji Allah, dan percaya bahwa Allah
akan menggenapi janji-Nya pada saatnya kelak seperti yang digambarkan dalam
prolog dan epilog dari Kitab Wahyu.
Kitab Wahyu merupakan buku terakhir yang tertulis dalam Alkitab. Kitab ini
kurang mendapat tempat dalam kehidupan beriman orang Katolik pada khususnya,
dan orang Kristen pada umumnya. Dari penelitian terdahulu yang pernah dilakukan
oleh para ahli, Kitab Wahyu dijadikan rujukan sebagai pengajaran tentang akhir
zaman. Kitab Wahyu dikenal sebagai kitab yang menyeramkan dengan simbol-
simbol yang rumit dipahami. Asumsi tersebut berusaha dibuktikan penulis dengan
sebuah survey kecil kepada umat Katolik di KAJ yang belajar Kitab Suci di sekolah
Kursus Pengajaran Kitab Suci St. Paulus. Dari 127 responden, 66,1 % menyatakan
tidak paham tentang Kitab Wahyu karena mereka sendiri jarang membacanya dan
simbol yang ada di dalamnya tidak mudah dipahami. Survey sederhana ini dibuat
penulis untuk membuktikan dan mengkonfirmasi asumsi bahwa ada masalah di
antara umat dalam membaca Kitab Wahyu. Mereka kebingungan harus memulainya
dari mana, bahkan adanya informasi tentang akhir zaman yang beredar di internet
memperkeruh pemahaman iman dengan prediksi yang menakutkan.
Beberapa informasi yang mengaburkan pemahaman umat dalam memahami
Kitab Wahyu disampaikan dalam bentuk tulisan ilmiah, pengajaran dan kotbah,
serta film layar lebar. Seorang tokoh penyiar radio, Harold Camping, yang giat
mewartakan Kitab Suci dengan banyak pengikut menyatakan bahwa akan terjadi
peristiwa besar pada tanggal 21 Mei 2011. Prediksi ini diliput oleh majalah-majalah
ternama, seperti New York Times, the Wall Street Journal, The Economist, dan lain
sebagainya. Akan namun , pada hari itu tiba, tidak terjadi kejadian menyeramkan.
Kehidupan berjalan seperti biasa. Harold Camping dan pengikutnya telah membuat
masyarakat menjadi cemas.
Pada tahun 2009, beredar sebuah berita tentang kehancuran dunia pada
tahun 2012. Prediksi ini diperkuat dengan film yang berjudul, 2012. Cara pemasaran
film ini menggunakan website penelitian palsu yang membuktikan bahwa
kehancuran dunia akan terjadi dengan tanda-tanda alam berupa gempa bumi,
tsunami, dan bencana yang mengerikan. Banyak pertanyaan yang masuk kepada
(Kitab Wahyu dalam Gereja Katolik: Sebuah Proses Memaknai Pengharapan)
Jurnal Alternatif: Wacana Ilmiah Interkultural Vol. 12, No. 2, 2023 105
badan penelitian resmi dunia, NASA, “Apakah benar akan terjadi kiamat pada tahun
2012?” Bahkan pertanyaan-pertanyaan itu diwarnai dengan sikap psimis tentang
akhir zaman. Beberapa pemuda menyatakan ingin bunuh diri karena tidak ingin
melihat dunia hancur dengan cara yang menyeramkan. Film dibuat dengan
teknologi animasi digital yang sangat canggih sehingga kejadian-kejadian alam
tampak sangat nyata dan mengerikan. Semuanya dilakukan demi kepentingan
bisnis, akan namun masih ada dampak kecemasan, dan juga berpengaruh pada
pemahaman masyarakat tentang akhir zaman.
Beberapa penelitian terdahulu dalam penafsiran Kitab Suci mulai
mengangkat masalah penafsiran simbol yang “misterius”. Alur dan simbol Kitab
Wahyu dinilai terlalu rumit karena mengambil alam pikiran Yunani kuno yang tidak
familiar di dalam kehidupan masyarakat masa kini (Williamson, 2015). Richard
Bauckham menggunakan pendekatan metode teologi biblis (bukan historis kritis)
untuk menyampaikan pesan-pesan teologis dalam simbol dan tokoh Kitab Wahyu.
Ia mengatakan bahwa Kitab Wahyu merupakan “anomali”, semacam suatu kelainan
dari bentuk kitab dalam Perjanjian Baru. Kitab Wahyu dengan gaya bahasa
apokaliptik menggunakan simbol yang rumit untuk dipahami dan juga memiliki
alur yang melingkar (Bauckham, 1993). Alur yang melingkar mengajar pembaca
untuk membaca perikop tidak maju dari prolog sampai epilog, namun maju, lalu
sejenak mundur kembali, karena setiap teks saling berkaitan satu sama lain. Adela
Yarbro menawarkan suatu pola penafsiran dengan interlocking method, setiap teks
dalam Kitab Wahyu mengait satu dengan yang lain, dan tidak bisa dilepas-lepas
sesuka hati
Penulis berusaha menawarkan pendekatan yang cukup mudah dipahami
umat dengan penafsiran teologi biblis. Pendekatan ini dinilai mudah dipahami
umat, tanpa harus memiliki kemampuan berbahasa asli (Yunani, Aram, dan Ibrani).
Pendekatan teologi biblis digunakan oleh banyak pengajar Kitab Suci di Indonesia;
Prof. I. Suharyo, Dr. Josep Susanto, dan Dr. Bayu Ruseno yang banyak memberikan
seminar pengajaran Kitab Suci. Dalam penulisan artikel ilmiah ini, penulis
menggunakan metode studi pustaka untuk membantu pembaca menggali pesan
pengharapan dan membantu jemaat memiliki cara pandang baru dalam membaca
Kitab Wahyu. Prediksi tentang akhir zaman yaitu hal yang keliru dan
menimbulkan kecemasan. Maka penulis mengikuti beberapa ide dari I. Suharyo,
Gereja sebagai Komunitas Pengharapan, dengan mengajak pembaca mencermati
sejarah, serta fokus pada prolog dan epilog dalam Kitab Wahyu yang mengikat satu
sama lain.
B.
Kitab Wahyu dan Konteks Jemaat
Situasi Jemaat Kitab Wahyu yaitu situasi Jemaat Kristiani yang dikejar-kejar
oleh penjajah Romawi. Ada dua hipotesis yang berkembang dalam sejarah penulisan
Kitab Wahyu. Pertama, Kitab Wahyu ditulis dengan latar belakang masa penjajahan
Kaisar Nero tahun 64. Kedua, Kitab Wahyu ditulis pada masa kekuasaan Kaisar
Flavius Dominitianus pada tahun 95 (Alan F. Johnson, 2006; Williamson, 2015). Dari
hipotesa di atas, penulis berpendapat bahwa Kitab Wahyu ditulis pada tahun 95.
Penulis mengikuti pendapat dari Ireneus, Yustinus Martir, dan Polikarpus. Konsep
keselamatan orang-orang Kristen pada zaman itu yaitu bertahan dalam iman
sampai mati. Bagi yang bertahan dalam iman, mereka memenangkan pertempuran
melawan kejahatan bangsa Romawi. Jemaat Kristiani mati sebagai martir karena
tetap setia dan teguh dalam iman, sekalipun harus mati dibakar, dipaku di kayu
salib, dan dicabik-cabik oleh anjing (Thompson, 2003; Williamson, 2015)
Kemartiran selalu muncul di tengah penderitaan memperjuangkan iman
sekalipun harus menderita sampai mati. Martir merupakan tanda yang nyata bahwa
Tuhan hadir dalam kehidupan orang-orang Kristen. Pilihan para martir untuk
mengikuti Kristus sampai mati, bahkan mengalami penganiayaan yang kejam
merupakan wujud nyata iman mereka. Ada tiga agama besar yang berkembang pada
masa awal kekristenan. Pertama, Kristen sebagai aliran kepercayaan baru. Kedua,
Agama Yahudi sebagai aliran agama yang sudah mapan, namun juga mengalami
penderitaan oleh penjajah Romawi. Ketiga, sistem pemerintahan Romawi yang
mengharuskan setiap orang menyembah dewa-dewi Romawi dan kaisar sebagai
(Kitab Wahyu dalam Gereja Katolik: Sebuah Proses Memaknai Pengharapan)
Jurnal Alternatif: Wacana Ilmiah Interkultural Vol. 12, No. 2, 2023 107
Tuhan. Tiga agama ini bertumbuh dan berkembang bersama di Asia Kecil (David
Bentley Hart, 2007)
Orang-orang Romawi tidak banyak mempersoalkan orang Yahudi, termasuk
cara peribadatan mereka dan tradisi mereka. Salah satu alasannya, Yahudi
merupakan sebuah agama yang sudah menjadi keyakinan kuno orang Israel. Orang
Kristen diperlakukan berbeda dengan orang Yahudi karena komunitas Kristen
merupakan suatu arus yang baru, bertumbuh dan berkembang pesat dengan banyak
pengikut. Pada tahun 64, di kota Roma, pertama kali penganiayaan orang Kristen
dilakukan secara sistematis (David Bentley Hart, 2007). Diskriminasi terhadap
orang-orang Kristen dilakukan secara struktural (dengan aturan hukum
pemerintah), di mana orang Kristen tidak diakui sebagai bagian dari masyarakat
dan sebisa mungkin dibinasakan. Orang-orang Kristen tidak memiliki jaminan
perlindungan hukum untuk melakukan peribadatan. Peribadatan orang Kristen
dianggap sebagai kriminal karena tidak menyembah dewa-dewi orang Romawi,
khususnya kaisar yang harus disembah sebagai dewa. Tindakan menyembah kaisar
bagi orang Kristen bukan persoalan politik, urusan kekuasaan dan penjajahan,
manusia yang menindas manusia lain. Bagi orang Kristen, tindakan tersebut yaitu
persoalan teologis, relasi kesetiaan jemaat dengan Kristus (Alan F. Johnson, 2006).
Situasi jemaat Kristen di bawah penjajahan Roma merupakan periode
istimewa dalam Gereja. Suatu periode sejarah Gereja, iman jemaat bertumbuh di
atas darah para martir. Kesaksian para martir inilah yang akhirnya meneguhkan dan
menguatkan iman orang Kristen sampai saat ini. Tidak semua pilihan hidup untuk
menderita yaitu jalan kemartiran. Kategori yang dapat digunakan bahwa
seseorang dapat dinyatakan sebagai martir yaitu pengorbanan diri seseorang
untuk mati demi membela iman. Penderitaan yang dipilih untuk mati raga dan
berpuasa, bukan jalan kemartiran, namun jalan yang dilakukan pertapa untuk
menggapai kesucian. Martir menumpahkan darah demi membela iman, pada saat
mereka diminta menyembah dewa lain, berpindah agama, mereka tetap memilih
Kristus bahkan apabila harus mati sekalipun (F. X. Murphy dan F. Dicharry, 2003).
Penulis berpendapat bahwa pembaca Kitab Wahyu pada masa lalu diteguhkan
dengan peristiwa kemartiran yang dinyatakan dengan simbol dan penglihatan
Yohanes. Pembaca saat ini perlu memiliki pengetahuan bahwa Kitab Wahyu
terbentuk dengan darah para martir. Bagi penulis, informasi sejarah tentang
penganiayaan penjajah Romawi kepada orang Kristen merupakan informasi yang
penting untuk diketahui. Peristiwa kemartiran yaitu bukti nyata hidup jemaat
yang berpengharapan akan janji Allah. Kemartiran tidak mungkin ada tanpa
pengharapan, sebab pengharapan yaitu ungkapan iman yang jauh melampaui akal
budi dan logika manusia.
Persoalan yang terjadi sejak awal kekristenan hingga saat ini masih tetap
sama, yakni prediksi yang keliru tentang akhir zaman berdasarkan Kitab Wahyu.
(Gregorius Wilson)
Aliran fundamentalis Protestan yang terkenal seperti Harold Camping, Tim LaHaye
dan Jerry Jenkins, berpendapat bahwa akhir zaman terjadi pada abad ke-20 atau
abad ke-21 (Frykholm, 2014; Suharyo, 2004) Sejak zaman dulu, Origenes dan
Hironimus telah menuliskan bahwa tafsir tentang Kitab Wahyu menggunakan
“prediksi kenabian” (berupa bencana alam dan kehancuran kota) untuk
menyampaikan ajaran moral dan pegangan iman yang berkaitan dengan sejarah
(Williamson, 2015). Penulis berpendapat, pewartaan tentang akhir zaman bukan
memberikan informasi kapan pastinya hal itu terjadi, melainkan suatu ajakan bagi
manusia untuk bertobat dan pengharapan menuju terang ilahi.
Sepanjang sejarah, telah terbukti bahwa prediksi-prediksi yang dibuat
dengan keterangan waktu tertentu dan peristiwa khusus, semuanya gagal. Menurut
penulis, akhir zaman yaitu suatu pengalaman refleksi spiritual yang mengajak
manusia bertobat (akibat dosa, neraka dan surga). Orang-orang tidak beragama
melihat bencana yaitu peristiwa umum yang terjadi sebagai suatu siklus
kehidupan. Bencana alam tidak ada kaitannya dengan dosa dan akhir zaman,
melainkan suatu peristiwa sulit (yang menimbulkan penderitaan) yang harus
dijalani sebagai bagian dari kehidupan manusia.
Penulis tidak setuju dengan adanya prediksi waktu terjadinya akhir zaman.
Prediksi terjadinya akhir zaman, pertama akan memengaruhi psikologis seseorang,
ketakutan dan depresi, sebagai contoh pesan yang hendak disampaikan melalui film
2012. Kedua, apabila akhir zaman dapat diprediksi, manusia akan cenderung
bertobat sebelum akhir zaman tiba. Setidaknya sebelum waktu akhir zaman tiba
akan mengaku dosa dan menjalankan penitensi. Yang ketiga, ia akan mencari segala
cara untuk melawan dan menghindari waktu akhir zaman tiba. Misalnya saja
apabila terjadi gempa bumi yang dapat diprediksi di suatu wilayah, maka akan ada
imbauan untuk mengungsi dan menghindari kematian. Pada saat manusia
mengetahui saat akhir zaman tiba, ia tidak akan mengambil sikap berjaga-jaga dan
berpengharapan sebab segala sesuatu dapat diprediksi dan diantisipasi.
Peran Kitab Wahyu Dalam Sejarah
Kitab Wahyu memainkan peran penting dalam sejarah Gereja. Jemaat Kristen
awal yang sedang mengalami penindasan, menggunakan Kitab Wahyu sebagai
pegangan iman (Why 2:10, 13). (Alan F. Johnson, 2006). Tantangan yang muncul
dalam penafsiran Kitab Wahyu yaitu gagasan-gagasan tentang akhir zaman.
Prediksi akhir zaman yang keliru dapat membawa kesesatan dan kebingungan di
tengah umat. Teolog-teolog awal (Yustinus Martir, Agustinus dan Irenaeus)
berusaha meluruskan ajaran-ajaran khas Kristen tentang pengharapan akan
kedatangan Yesus yang kedua. Pada subbab berikut akan dipaparkan peran Kitab
Wahyu sebagai pegangan iman dalam membangun argumen teologis dan
meluruskan tafsiran-tafsiran yang keliru tentang akhir zaman. Bentuk penafsiran
(Kitab Wahyu dalam Gereja Katolik: Sebuah Proses Memaknai Pengharapan)
Jurnal Alternatif: Wacana Ilmiah Interkultural Vol. 12, No. 2, 2023 109
yang keliru berkembang dalam arus pemikiran Gnostisisme, Milenarisme, dan
penafsiran simbol angka. Ada tiga tokoh yang diangkat dalam subbab berikut,
ketiganya yaitu Yustinus Martir, Agustinus, dan Irenaeus.
Kitab Wahyu dalam Karya Yustinus Martir
Yustinus Martir (100-165) yaitu seorang apologet yang mempertahankan
iman Kristen dengan logika berpikir khas filsafat dan Kitab Suci. Menurut kesaksian
sejarah, Yustinus yaitu seorang filsuf aliran Platonisme sehingga ia mendapat
julukan “Yustinus Filsuf”. Yustinus melawan Gnostisisme dan mempertahankan
doktrin iman Kristen tentang Logos untuk menjelaskan identitas diri Yesus Kristus.
Karya Yustinus Martir yang paling terkenal yaitu Dialog dengan Trypho, seorang
Yahudi (Hirshberg, 1977). Yustinus dalam karyanya menjelaskan Yesus Kristus
sebagai Mesias kepada Trypho. Selain itu, Yustinus juga menjelaskan kedatangan
Yesus yang kedua, dan masa pembangunan Yerusalem baru selama 1.000 tahun.
Berkaitan dengan Kitab Wahyu, Yustinus Martir menulis keterangan dalam Dial.
LXXX, No. 5 bahwa Yohanes yang menerima penglihatan yaitu Yohanes Rasul
(Yustinus Martir, 1930). Akan namun , penulis tesis merasakan suatu kejanggalan
dengan adanya dua hipotesa tahun penulisan Kitab Wahyu. Apakah dapat
diperkirakan bahwa Yohanes Rasul memiliki usia lebih dari 100 tahun? Pada usia
tersebut, apakah ia masih sanggup untuk menulis? Pertanyaan-pertanyaan ini dapat
dijawab dalam subbab yang membahas Kitab Wahyu dengan tulisan Irenaeus.
Latar belakang tekanan yang dialami jemaat Kristen awal pada abad kedua
merupakan sebuah petunjuk bagi suatu penafsiran Kitab Wahyu. Yustinus Martir
merupakan saksi penindasan orang Kristen yang dilakukan penjajah Roma.
Argumen ini didukung dari periodisasi masa hidup dan karyanya yang terjadi pada
abad kedua. Peristiwa inkarnasi Yesus Kristus, Allah yang menjelma menjadi
manusia menjadi titik pijak yang kuat dalam argumentasi Kristologi Yustinus Martir
untuk membela iman. Gnostisisme yang berkembang pesat menjadi tantangan dan
suatu arus yang dilawan oleh Yustinus Martir. Pewahyuan merupakan suatu dasar
pemikiran epistemologi Kristen. Pengetahuan manusia tentang Allah hanya akan
mungkin dialami pada saat Allah menyingkapkan diri-Nya. Alur pemikiran
Yustinus Martir mengajak manusia berpikir tentang inkarnasi Sabda yang menjadi
daging.
Yustinus Martir mengusahakan sebuah katekese tentang kebangkitan yang
didasarkan pada Why 20:4-6. “Bagi mereka yang percaya (orang Kristen) akan
menikmati kehidupan dan pemerintahan bersama Kristus di Yerusalem selama
1.000 tahun.” Konteks dari katekese Yustinus Martir yang dikutip dari teks Why
20:4 yaitu penjelasan identitas diri seorang Kristen. Orang Kristen akan mendapat
jaminan hidup bersama Kristus di dalam Kerajaan-Nya selama 1.000 tahun. Bagi
penulis, teks Why 20:4 memiliki pesan lain tentang kemartiran dan identitas
(Gregorius Wilson)
(tanda) seseorang dapat diakui sebagai bagian dari masyarakat Roma. Para martir
yaitu jiwa-jiwa yang telah dipenggal kepalanya karena kesaksian tentang Yesus
dan pewartaan Firman Allah. Wahyu 20:4 menjelaskan dengan rinci dua alasan
orang Kristen dipenggal: tidak menyembah binatang dan patung, dan tidak
menerima tanda sebagai orang Romawi pada dahi dan tangan mereka. Mereka yang
setia pada Firman Tuhan akan hidup kembali bersama-sama dengan Kristus. Syarat
seseorang menjadi bagian dari Roma yaitu menyembah binatang dan patung, serta
mendapat tanda pada lengan dan dahi sebagai orang Roma. Dengan pemahaman
ini, pembaca Kitab Wahyu mendapat informasi untuk memahami mengapa Hamba
Allah dijanjikan untuk menerima nama Allah sebagai tanda pada dahi dan tangan
mereka.
Yustinus Martir memberikan keterangan dalam Dial. LXXXI, no. 4, bahwa
manusia yang telah meninggal akan bangkit dan diangkat menjadi anak-anak Allah.
Pada awal pertumbuhan jemaat Kristen, Yustinus Martir menggunakan kutipan-
kutipan ayat Kitab Wahyu untuk menjelaskan teologi kebangkitan (Yustinus Martir,
1930). Setiap orang yang menderita dan rela mati demi iman (kemartiran) akan
mengalami kebangkitan dan memperoleh kehidupan kekal bersama Yesus. Peran
Kitab Wahyu pada masa Yustinus Martir memiliki manfaat untuk menjelaskan
katekese kebangkitan. Secara logis, iman Kristen tentang kebangkitan dapat
dijelaskan dengan Kitab Wahyu. Yesus Kristus sebagai pusat dan satu-satunya
penyelamat merupakan dasar iman orang Kristen saat itu. Gambaran keselamatan
dalam Kitab Wahyu bukan semata-mata kisah sastra, melainkan menjadi suatu
pegangan hidup yang menjiwai orang Kristen untuk menjadi pengikut Yesus yang
setia.
Kitab Wahyu dalam Karya Agustinus
Agustinus secara khusus menggunakan simbol-simbol Kitab Wahyu untuk
menggambarkan hidup bersama yang damai dan penuh keteraturan. Gambaran ini
ditulis dalam karya City of God, dalam bahasa Latin De Civitate Dei. Karya ini ditulis
selama 13 tahun, sejak tahun 413-426. Agustinus menulis karya ini pada saat Roma
dijarah dan dikuasai oleh orang-orang barbar. Era kejayaan Yunani Roma telah
runtuh sehingga Kekristenan mulai tumbuh dan berkembang (Schaff, 1885).
Gagasan Kota Allah diambil dari Kitab Wahyu (3:12, 21:2, 22:12,14). Budaya Romawi
meyakini bahwa kota Roma diberkati oleh dewa-dewi. Akan namun , Agustinus
membantah pendapat itu. Bagi Agustinus, Allah yaitu pendiri kota itu. Agustinus
mencoba memberikan argumentasi logis dengan cara membandingkan Kota Allah
(Yerusalem Surgawi, Kerajaan Surga, Allah akan duduk di atas takhta-Nya) dan kota
kerajaan di dunia yang dapat binasa. Agustinus berpendapat dalam De Civitate Dei I,
bab 1, Kota kerajaan di dunia yaitu tempat manusia hidup, ada arogansi dan ambisi
diri yang membuat manusia ingin menguasai satu sama lain. Menurut pembacaan
(Kitab Wahyu dalam Gereja Katolik: Sebuah Proses Memaknai Pengharapan)
Jurnal Alternatif: Wacana Ilmiah Interkultural Vol. 12, No. 2, 2023 111
penulis, Kota Allah yang dimaksud Agustinus yaitu Yerusalem Surgawi, tempat
semua umat manusia akan bersatu dengan Allah. Para martir akan memerintah
bersama dengan Yesus Kristus di surga. Masa pemerintahan bersama Yesus berlaku
selama 1.000 tahun (Why 20:4). Pendasaran angka 1.000 tahun yang muncul dalam
Wahyu 20:4 merupakan dasar pemikiran milenarisme. Ajaran itu mengatakan
bahwa 1000 tahun yaitu waktu yang dialami di bumi untuk mengukur kedatangan
Yesus yang kedua.
Berkaitan dengan Kota Allah yang disebut dalam Kitab Wahyu, angka 1.000
tahun merupakan masa pemerintahan Yesus bersama dengan para martir yang setia
demi iman (Why 20:4). Angka 1.000 memiliki kaitan dengan kisah dan angka yang
muncul dalam Perjanjian Lama (Ul 5:11, Mzm 19: 4, 7, 8, 10, 1Taw 13:21) yang biasanya
untuk menunjukkan satuan jumlah yang sangat besar dan tak terhingga, pasukan
yang besar, ukuran bangunan (ribuan hasta), jumlah besar nabi yang dipilih Allah
dari awal mula sampai dengan saat ini. Kitab Wahyu tidak langsung memunculkan
angka 1.000 pada bagian awal (prolog), namun pada bab 20. Bagi penulis, mungkin
Yohanes ingin menekankan makna simbolis dari angka 1.000. St. Agustinus
mencoba menjelaskan arti bilangan 1.000 dengan suatu argumentasi kuantitatif.
Bilangan 1.000 hendak meyakinkan pembaca tentang suatu jumlah yang sangat
banyak, bahkan tak terhingga bagi manusia. Istilah 1.000 tahun lamanya merupakan
suatu ungkapan sastra dengan pesan bahwa hal itu lama sekali, atau hal itu abadi,
tidak akan pernah mati (Agustinus, 1885). Bilangan 1.000 bukan pertama-tama
menyebut makna satuan, namun merupakan sebuah simbolisme. Sebuah istilah
figuratif yang maknanya tersirat.
Melawan Paham Milenarisme
Banyak asumsi dan hipotesis angka 1.000 yang beredar di antara penafsir dan
pembaca Kitab Wahyu. Penulis berpendapat, arus besar yang keliru menafsirkan
angka 1.000 yaitu kelompok milenarisme. Pengikut paham milenarisme berusaha
memprediksi kedatangan Yesus yang kedua dan kedatangan Kerajaan Allah terjadi
selama 1.000 tahun. Apabila sudah tepat pada tahun 1.000, 2.000, dan seterusnya
tidak terwujud, maka akan muncul hipotesis baru dengan prediksi waktu.
Kegagalan ramalan Yesus yang akan datang tahun 1.000, kemudian digantikan
dengan prediksi yang akan terjadi 2.000. Peristiwa kedatangan-Nya diiringi hal-hal
yang mengerikan dan menakutkan (akhir zaman). Paham seperti ini disebut sebagai
Milenarisme. Milenium yaitu kata dalam bahasa berarti masa atau jangka waktu
1.000 tahun. Milenium yang diambil dari bahasa Latin, mille yang berarti 1.000 dan
annus yang berarti tahun (Kuehner, 2003). Salah satu contoh peristiwa yang tercatat
dalam sejarah yaitu pergantian tahun antara tahun 1999 menuju tahun 2000. Pada
waktu itu disebarkan ramalan, prediksi, dan antisipasi atas bencana yang mungkin
akan menimpa manusia. Orang-orang disertai dengan rasa bingung dan ketakutan.
(Gregorius Wilson)
Akan namun , semua kehidupan berjalan biasa saja, tidak ada bencana alam atau hal
menakutkan yang terjadi.
Dari pemaparan di atas, penulis berusaha mencermati angka-angka dalam
Wahyu 20. Angka 2.000 merupakan kelipatan perkalian dari angka 1.000. Artinya
tahun 2000 yaitu milenium kedua dengan kemungkinan datangnya Yesus pada
saat itu. Akan namun , prediksi tentang bencana tersebut tidak terjadi. Seiring
berjalannya waktu dengan sendirinya milenarisme sudah gagal membuktikan
bahwa Yesus akan datang dengan jangka waktu interval 1.000 tahun terhitung dari
tahun nol.
Paham mileniarisme bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik. Kedatangan
Yesus yang pertama terjadi di Betlehem, Yesus wafat di Golgota, lalu bangkit pada
hari ketiga. Katekismus mengajarkan, kedatangan Yesus yang kedua tidak bisa
ditentukan kapan waktunya (KGK. 677). Paham Milenarisme yang menyatakan
bahwa Yesus akan datang kembali 1.000 tahun setelah kematian-Nya. Jika pada
tahun 1000, Yesus tidak datang kembali, maka mereka menambah lagi periode
waktunya pada tahun 2000. Kedatangan Yesus yang kedua tidak bisa dibuktikan
tanggal dan waktunya. Kedatangan Yesus tidak bersifat (mesianik) politis. Paham
milenarisme mengatakan bahwa munculnya pemimpin politik yang berkarisma
merupakan suatu kedatangan Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus. Hal ini bisa
disebut juga sebagai “sekular mesianisme” yang ditolak oleh Gereja (Williamson,
2015). Mesias yang hadir dalam diri Yesus bukan bersifat politis, melengserkan
kekuasaan pemerintah yang kejam, melainkan inkarnatoris, Sabda yang menjadi
daging dan tujuannya menyelamatkan semua umat manusia dari dosa.
Ada 5 butir kritik yang diajukan oleh Williamson dalam catatan tambahan
dari karya Revelation: Catholic Commentary on Sacred Scripture (Williamson, 2022).
Pertama, penganut paham milenarisme menafsirkan Kitab Wahyu secara ketat dari
teksnya saja, padahal mengandung makna simbolis yang kuat. Kedua, Kaum
Milenarisme membaca dan menafsirkan teks Kitab Wahyu secara linear sesuai
urutan bab. Padahal, teks Kitab Wahyu mengandung plot yang sirkular,
menggulung-gulung sehingga harus dibaca maju-mundur. Ketiga, Milenarisme
menyebutkan secara pasti tanggal dan waktu prediksi terjadi akhir zaman. Padahal,
tidak ada satu pun manusia yang mengetahui kapan pastinya Yesus datang kedua
kalinya. Gereja Katolik juga tidak pernah menyebut prediksi waktu terjadinya akhir
zaman. Gereja mengajak semua umat beriman untuk siap sedia sampai waktu Yesus
datang untuk kedua kalinya dengan penuh pengharapan. Sikap yang dianjurkan
sebagai anggota Gereja yaitu berjaga-jaga dengan berbuat baik, dan setia pada
iman sampai waktunya tiba (Mat 24:42-44).
Keempat, Milenarisme menafsirkan Kitab Wahyu dengan pemisahan antara
Israel dan Gereja, padahal pemisahan itu tidak dikehendaki oleh penulis Kitab
Wahyu (Williamson, 2022). Penulis setuju dengan pendapat keempat Peter
(Kitab Wahyu dalam Gereja Katolik: Sebuah Proses Memaknai Pengharapan)
Jurnal Alternatif: Wacana Ilmiah Interkultural Vol. 12, No. 2, 2023 113
Williamson sebab simbolisme dalam Kitab Wahyu merupakan perpaduan antara
mitologi Yunani, inspirasi dari Kitab-kitab Perjanjian Lama, dan sejarah kehidupan
orang Kristen. Memisahkan Israel dan Gereja dalam Kitab Wahyu merupakan
penafsiran tanpa melihat konteks di balik penulisan Kitab Wahyu.
Kelima, prediksi yang dibuat oleh milenarisme tidak relevan dan selalu gagal,
belum ada yang benar-benar terjadi sampai dengan saat ini. Keterangan 1.000 tahun
bukan sebuah penanda waktu secara matematis. Keterangan 1.000 tahun
merupakan suatu simbol spiritual untuk menjelaskan masa pemerintahan Yesus
akan sangat panjang (bahkan selama-lamanya), sedangkan pemerintahan penguasa
Romawi terbatas dengan waktu.
Katekismus mengatakan, milenarisme merupakan suatu pewartaan palsu
tentang Kerajaan Allah yang akan datang dalam bentuk halus (KGK. 675). Gereja
juga menolak kedatangan Kerajaan Allah dari pewartaan-pewartaan palsu. Bagi
Gereja, Kerajaan Allah hanya mungkin akan datang ketika manusia bisa
mengalahkan kejahatan dan melakukan kebaikan (KGK. 676). Pewartaan-pewartaan
palsu dalam konteks milenarisme diukur dari prediksi mereka tentang kedatangan
Kerajaan Allah dan kedatangan Yesus yang kedua yang akan terjadi setiap 1.000
tahun. Penulis menyebut milenarisme sebagai pewartaan palsu karena katekismus
mengatakannya demikian. Kemudian, yang kedua, prediksi mereka selalu meleset
dan menyesatkan banyak orang. “Hanya Bapa yang mengetahui hari dan jam, Ia
sendiri menentukan kapan itu (pengadilan terakhir dan kedatangan Yesus yang
kedua) akan terjadi.” Warta tentang pengadilan terakhir dan kedatangan Yesus yang
kedua mengajak manusia supaya bertobat (KGK. 1040-1041). Penulis menolak paham
milenarisme sebab bukti-bukti di atas telah menunjukkan bahwa milenarisme
yaitu suatu pewartaan yang sesat dan ditolak sejak zaman St. Agustinus.
Penolakan telah dirumuskan dengan lebih sistematis dan teologis dalam
Katekismus sebagai ajaran resmi Gereja Katolik Roma. Prediksi waktu hanya akan
membuat manusia takut sesaat, ketika waktunya hampir tiba di situlah ada
pertobatan (walau hanya sesaat). Pertobatan yang sejati terjadi setiap hari, penuh
dengan pengharapan dan dibangun setiap hari dengan semangat berjaga-jaga
seperti yang disabdakan Yesus. “Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu
pada hari mana Tuhanmu datang” (Mat 24:42).
Kitab Wahyu dalam Karya Irenaeus
Irenaeus yaitu tokoh yang hidup dan berkarya sekitar abad ke-2. Irenaeus
hidup dalam kurun waktu yang kurang lebih sama dengan Yustinus Martir. Tulisan-
tulisan Irenaeus merupakan bentuk pembelaan iman melawan ajaran sesat pada
zaman itu. Pemikiran Irenaeus dituangkan dalam karya yang terkenal, Contra
Haereses, yang terbagi menjadi 5 buku dengan tujuan utama melawan ajaran
Gnostisisme. Gnostisisme merupakan ajaran yang absurd dan tidak dapat
(Gregorius Wilson)
ditoleransi sebab pengetahuan menjadi sumber dari keselamatan. Oleh karena itu,
pengetahuan sudah cukup dan tidak memerlukan Allah lagi sebagai sumber
keselamatan yang sejati. Kendati demikian, gnostisisme menarik banyak sekali
murid dan pengikut. (Scaff, 2017)
Irenaeus menyampaikan dua hal penting berkaitan dengan Kitab Wahyu.
Pertama, Irenaeus menyatakan bahwa Yohanes yang menerima penglihatan yaitu
Yohanes Rasul. Penglihatan yang dialami Yohanes yaitu perjumpaannya dengan
Allah, antara wajah dengan wajah secara langsung. Kedua, Irenaeus membahas
angka 666 dalam Kitab Wahyu. Hal lain yang juga penting untuk diketahui yaitu
bahwa Irenaeus dan Yustinus Martir sangat sering menjadi rujukan para ahli
(Bauckham, 1993; Fiorenza, 1998; Koester, 2018; Mounce & Collins, 1979; Reddish, 2001)
dalam menelusuri identitas penulis Kitab Wahyu. Penulis sependapat dengan
Yustinus Martir yang menyatakan dengan tegas bahwa penulisnya yaitu Yohanes
Rasul. Irenaeus juga memberi petunjuk dalam karya Contra Haeresies 5, XXX, no. 2,
bahwa Yohanes Rasul hidup sampai pada masa penjajahan Kaisar Trajan yang
dimulai sekitar tahun 97 (pengganti Kaisar Flavius Dominitianus). Irenaeus
menggambarkan bahwa rasul yang tinggal di Asia itu sudah sangat tua. Penulis
meragukan apakah Yohanes Rasul dengan usia yang sangat tua masih mampu untuk
menulis dengan tangannya sendiri? Hipotesis peran sekretaris yang membantu
Yohanes menulis Kitab Wahyu memiliki kemungkinan apabila Irenaeus
menggambarkan sosok Yohanes Rasul yang sangat tua di Asia Kecil. Hipotesis
tentang teori penulisan Kitab Wahyu pada masa pemerintahan Kaisar Nero tahun
64 diinspirasikan dari tulisan Irenaeus tentang tafsir angka 666 yang akan diulas
pada bahasan berikut.
Ada sebuah persoalan yang dihadapi oleh Irenaeus dalam mengulas makna
simbolis angka 666 yang ada di Kitab Wahyu. Ia menuliskan pendapatnya dalam
Contra Haeresies 5, XXX, no. 1. Di dalam beberapa teks kuno, penulisan angka yang
digunakan yaitu 616, bukan 666. Salah satu hipotesis terjadinya penemuan angka
616 dalam teks kuno yaitu hasil transliterasi dari bahasa Yunani ke dalam bahasa
Ibrani. Angka 666 digunakan untuk menyebut nama Kaisar Nero (Neron Kaisar,
dalam bahasa Ibrani menjadi nron qsr). Terjemahan nama Kaisar Nero dalam teks
kuno bahasa Ibrani nro qsr yang menghasilkan angka 616. Sedangkan nron qsr
menghasilkan angka 666 (nun = 50, resh = 200, waw = 6, nun = 50, qoph = 100,
samech = 60, resh = 200) (Bauckham, 1993; Beale, 1999).
Irenaeus melakukan penafsiran simbol angka 666 dikaitkan dengan beberapa
kisah dalam Kitab Suci. Bilangan 666 terdiri dari tiga buah angka 6 pada ratusan,
puluhan dan satuan. Angka 6 yang pertama berkaitan dengan usia nuh 600 tahun
pada waktu terjadinya air bah (Kej 7:11). Angka 6 yang kedua dan ketiga memiliki
pararelisme dengan patung yang didirikan oleh Nebukadnezar, yaitu 60 hasta
tingginya, dan 6 hasta lebarnya. Antara peristiwa air bah dan patung Nebukadnezar
(Kitab Wahyu dalam Gereja Katolik: Sebuah Proses Memaknai Pengharapan)
Jurnal Alternatif: Wacana Ilmiah Interkultural Vol. 12, No. 2, 2023 115
terdapat kaitan dengan Allah memusnahkan kejahatan. Air bah menjadi peristiwa
besar, pembaruan Allah atas bumi yang hancur karena kejahatan manusia.
Nebukadnezar merupakan simbol kejahatan. Nebukadnezar membunuh orang-
orang yang bertakwa pada Tuhan. Menurut Irenaeus, bilangan 666 yaitu simbol
antikristus, seperti Nebukadnezar yang menjadi musuh Allah (Sanders, 1918).
Angka 666 juga dapat ditafsirkan sebagai suatu simbol yang berarti belum
selesai, belum sempurna, belum tuntas. Pada hari ke-6, Allah belum selesai
menciptakan dunia, proses penciptaan belum selesai. Kisah penciptaan dalam Kitab
Kejadian selesai pada hari ke-7. Pada saat itu, Allah beristirahat. Dalam Kitab
Wahyu angka 7 mempunyai peran penting sebagai simbol kesempurnaan, saat
sangkakala yang ketujuh ditiupkan sebagai tanda bahwa pemerintahan atas dunia
telah dipegang oleh Tuhan. Pada saat itu, para hamba Allah akan merayakan
kemenangannya bersama Allah (Why 11:15, 19) (Beale, 1999).
Dalam karya Contra Haeresies 5, XXXIV, no. 2-3 dan 5, XXX, no. 2, Irenaeus
menekankan bahwa seluruh ciptaan dapat mengalami keselamatan dan kebangkitan
karena rahmat dan kehendak Allah. Kerajaan dan kekuasaan yang kekal diberikan
dari orang-orang kudus Allah bagi orang-orang yang taat sampai mati sebagai
pengikut Kristus. Setiap orang yang taat akan memperoleh kebangkitan pertama.
Paham tentang kebangkitan pertama dituliskan dalam Why 20:6 dan Dan 7:27. Pada
saat itu, orang-orang mati akan bangkit dan menjadi imam-imam Allah. Mereka
akan memerintah sebagai raja bersama-sama dengan Kristus.
Kitab Wahyu di Masa Kini: Gereja Sebagai Komunitas Pengharapan
Gereja sebagai Komunitas Pengharapan yaitu tema yang diangkat oleh I.
Suharyo dalam penggembalaannya sebagai uskup. Tema tersebut diinspirasi oleh
Kitab Wahyu. Pengharapan merupakan kunci bagi setiap orang beriman untuk
memahami Kitab Wahyu. Setiap orang beriman akan mengharapkan kedatangan
Kristus yang kedua yang menjamin keselamatan manusia. Keselamatan manusia
hanya dapat terjadi pada saat manusia bersatu dengan Allah (Dister, 2004).
Kedatangan Yesus yang kedua menjadi topik dan pesan kuat ditempatkan dalam
keseluruhan Kitab Suci (Why 22:20-21). Seruan “Datanglah ya Tuhan Yesus!” yang
dituliskan oleh redaktur dalam penutup Kitab Wahyu diawali dengan Firman
Tuhan, “Ya, Aku datang segera!” Pertanyaan pertama yang bisa diajukan dalam
penafsiran teks ini yaitu , “Siapakah tokoh Aku yang akan datang?” “Siapakah yang
mengharapkan kedatangan-Nya?”
Tokoh “Aku” dalam Wahyu 22 ditulis dengan huruf kapital. Penulis
mengamati kisah hidup Yesus yang dituliskan dalam Injil juga menggunakan kata
yang sama “Aku” untuk menunjuk diri Yesus yang sedang bersabda atau berfirman.
“Aku berkata kepadamu, barangsiapa …” Teks-teks dalam Injil merupakan petunjuk
kuat bahwa redaktur ingin mengatakan bahwa tokoh Aku yaitu Yesus. Jawaban
(Gregorius Wilson)
redaktor menjadi lebih kuat lagi dengan menyebut langsung nama Yesus dalam
tanggapan atas seruan firman Tuhan. “Datanglah ya Tuhan Yesus!”
Redaktur sebagai perwakilan situasi hati jemaat pada masa itu, yang
mengalami situasi penindasan, mengharapkan kedatangan Mesias Juruselamat,
yaitu Yesus Kristus. Atas dasar inilah, salah satu kekhasan Kitab Wahyu yaitu
pesan bagi Gereja (jemaat) sebagai komunitas pengharapan. Yesus menjadi pusat
pengharapan Gereja. Sumber utama keselamatan bukan pemerintah, bukan nabi,
bukan imam, melainkan Yesus Kristus Juruselamat. Penulis mencoba merumuskan
harapan yang diinspirasikan Kitab Wahyu. Prolog dan epilog Kitab Wahyu memiliki
tema pengharapan yang kuat. Di dalam prolog, Allah memberikan janji kepada
manusia. Pada bagian epilog, Allah memenuhi janji yang telah diucapkan Allah.
Pada subbab berikut ini akan dipaparkan ulasan tentang prolog dan epilog Kitab
Wahyu.
Pesan Pengharapan dalam Prolog dan Epilog
Metode pengamatan teks Kitab Wahyu yang dikemukakan Adela Yarbro
yaitu metode penafsiran yang memperhatikan keterkaitan teks yang tertulis dalam
Kitab Suci, interlocking method (Mounce & Collins, 1979).Teks-teks dalam Kitab
Wahyu tidak bisa berdiri sendiri dan perlu ditafsirkan dengan penggalan-penggalan
plot dan kisah. Perikop satu dan yang lainnya saling berhubungan dan terkait.
Ibarat tali pancing dengan kail di ujungnya apabila sudah terkait di mulut ikan akan
sulit lepas dengan sendirinya. Pembacaan teks-teks Kitab Wahyu tidak bisa
dilakukan secara acak seperti kumpulan sastra kebijaksanaan (Amsal, Mazmur,
Pengkhotbah, dan Kidung Agung). Pembaca akan merasa kebingungan dan
kehilangan alur pesan yang hendak disampaikan oleh redaktur. Epilog dan prolog
merupakan suatu bingkai yang membantu pembaca membangun kerangka berpikir
dan melihat kaitan-kaitan antarteks dalam Kitab Wahyu.
Pengamatan pada simbol, angka, dan nama akan membantu pembaca
memahami dan menafsirkan teks. Cara membaca Kitab Wahyu tanpa mengikuti
alur, atau dengan penggalan-penggalan perikop singkat akan membuat pembaca
tersesat dan kehilangan makna. Prolog dan epilog dalam Kitab Wahyu menegaskan
2 hal: (1) Prolog menegaskan bahwa Yohanes merupakan penerima Wahyu Allah
yang disampaikan dalam penglihatan antara wajah dengan wajah. Prolog ini
memberikan pengantar dan landasan otoritas pewartaan Yohanes. Ia tidak berkata-
kata dari dirinya sendiri, namun bersumber dari Yesus Kristus yang menampakkan
diri-Nya. (2) Epilog menegaskan bahwa kesaksian yang dituliskan dalam Kitab
Wahyu yaitu janji yang akan dipenuhi pada akhir zaman, saat kedatangan Yesus
yang kedua.
David L. Barr mencoba membandingkan teks prolog dan epilog dengan
melihat kesejajaran antarteks. Ia menemukan ada 11 butir kesejajaran antara epilog
(Kitab Wahyu dalam Gereja Katolik: Sebuah Proses Memaknai Pengharapan)
Jurnal Alternatif: Wacana Ilmiah Interkultural Vol. 12, No. 2, 2023 117
dan prolog. Kesejajaran yang ditemukan David bukan hanya kesamaan kata dan
kesamaan tema, melainkan juga bentuk tulisan dan tindakan. Salah satu contoh
kesamaan bentuk prolog dan epilog, yakni keduanya ditulis dalam bentuk surat
(Barr, 2003). Prolog Kitab Wahyu menggunakan bentuk surat dengan salam
pembuka (salam pengantar) yang berbunyi, “Dari Yohanes kepada ketujuh jemaat
yang di Asia Kecil: Damai dan sejahtera menyertai kamu.” Epilog kitab Wahyu
ditulis dengan salam perpisahan atau penutup sebuah surat, yang juga biasa
digunakan dalam surat-surat Paulus, “Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu
sekalian!” Tabel 1 di bawah ini merupakan paralelisme yang ditemukan oleh David
L. Barr dalam prolog dan epilog Kitab Wahyu (Barr, 2003).
Tabel 1. Paralelisme Prolog dan Epilog
Prolog Tema Epilog
1: 1, 4, 9 Yohanes menyebut identitas dirinya 22: 8
1: 1 Pewartaan dari malaikat 22: 6
1: 1 Hal-hal yang harus segera terjadi 22: 6
1: 1 Hamba-hamba-Nya 22: 6
1: 3 Ia yang membaca dan Mereka yang mendengarkan 22: 10
1: 3 Waktunya sudah dekat 22: 21
1: 4 Salam pembuka dan berkat 22: 21
1: 8 Alfa dan Omega 22: 13
1: 10 Yohanes dikuasai oleh Roh 22: 17
1: 16, 20 Bintang dan Malaikat 22: 16
1: 17 Yohanes tersungkur di depan kaki-Nya 22: 8
Diskusi dan buku-buku tafsir tentang Kitab Wahyu kebanyakan (tidak
semua) menggiring pembaca pada tema akhir zaman. Bagi kaum ekstremis,
penafsiran Kitab Wahyu mengarah pada akhir zaman, bahkan dengan yakin
menyebut waktu peristiwa akhir zaman akan terjadi. Bagi penulis, penjelasan akhir
zaman (yang didasarkan pada Kitab Wahyu) yang mengarah pada prediksi waktu
yaitu penafsiran yang keliru. Sampai saat ini, prediksi terjadinya akhir zaman
dengan menunjukkan waktu tidak terbukti sebagai kebenaran. Katekismus juga
memberikan penjelasan bahwa tidak ada satu orang pun yang mengetahui saat
terjadinya akhir zaman dan kedatangan Yesus yang kedua.
Prediksi tentang waktu terjadinya akhir zaman hanya akan membuat
manusia takut sesaat, bertobat pada waktu mendekati prediksi waktu. Sedangkan
sikap yang diharapkan Yesus yaitu berjaga-jaga sampai pada hari kedatangan
Tuhan. Sikap berjaga-jaga diupayakan setiap waktu tanpa harus tahu saat hal itu
akan terjadi. Sikap berjaga-jaga merupakan sikap iman seseorang yang
(Gregorius Wilson)
berpengharapan bahwa Allah pasti memenuhi janji-Nya untuk menyelamatkan
manusia yang setia berpegang pada perintah-Nya.
D
Kitab Wahyu dalam sejarah Gereja mengambil peran penting untuk
menjelaskan paham kebangkitan dan menjadi bukti sejarah jemaat Kristen yang
mengalami penindasan oleh penjajah Romawi. Bagi para pembaca Kitab Wahyu
yang mengalami kebingungan untuk memahami isi dan pesan teologis, mereka ini
perlu membacanya dengan perspektif pengharapan dan pemahaman sejarah jemaat
yang sedang berada dalam penindasan. Prediksi waktu terjadinya akhir zaman
merupakan suatu penafsiran yang keliru. Maka pembaca dan umat masa kini diajak
untuk melihat jemaat Kitab Wahyu yang hidup dalam terang pengharapan sehingga
mereka dapat memaknai penderitaan sebagai bagian dari kehidupan untuk bersatu
dengan Tuhan. Hanya mereka yang setia dalam iman akan Kristus akan bersatu
dengan Bapa di dalam Yerusalem Surgawi. Pada masa kini, Gereja perlu dipahami
sebagai komunitas pengharapan. Pengharapan melampaui optimisme. Pada saat
akal budi, prediksi, dan kalkulasi tak lagi dapat diandalkan oleh manusia untuk
menghindari kesulitan hidup, pengharapan mengambil peranan untuk memaknai
penderitaan sebagai bagian dari kehidupan dan kelak akan masuk ke dalam
Kerajaan Surga. Studi lebih lanjut dari tulisan sederhana ini dapat dikembangkan
untuk menggali pesan teologis dari tiga tanda langit yang khas dalam Kitab Wahyu.
Apabila hendak digunakan suatu pendekatan lain, misalnya metode kuantitatif,
studi tentang pemahaman umat dapat dilakukan dengan survey sederhana untuk
menentukan mana metode yang cocok untuk mempelajari Kitab Wahyu.
.jpeg)





