Salah satu lembaga pendidikan Islam yang hadir dan
kemudian berkembang di negara kita yaitu madrasah. Di awal-
awal kehadirannya, madrasah sangat identik dengan kajian
ilmu-ilmu agama yang menjadikan kitab kuning sebagai bahan
kajaian dan rujukan pembelajaran. sebab nya, dalam dinamika
pendidikan Islam di negara kita , kitab kuning bukan hanya milik
pesantren akan tetapi sudah berkembang di lembaga-lembaga
pendidikan lainnya, khususnya di madrasah. Namun, yang
sering menjadi masalah yaitu bahwa hingga saat ini tradisi
kitab kuning seolah dipersepsi masih melulu sebagai bagian
dari pesantren sematas, sehingga perhatian untuk meneliti
dan mengkaji bagaimana eksistensi tradisi kitab kuning di
madrasah masih sangat minim, padahal sesungguhnya baik
secara historis maupun dalam perkembangannya sekarang
madrasah juga sangat berperan dalam pengembangan ilmu
agama dengan menjadikan kitab kuning sebagai bahan kajian
dan refrensi pembelajaran. sebab nya, yang menjadi pokok
pembahasan dalam tulisan ini yaitu untuk mengetahui
bagaimana eksistensi tradisi kitab kuning pada madrasah-
madrasah yang ada di negara kita . Pada madrasah-madrasah
yang ada di negara kita , selain mengajarkan ilmu-ilmu ‘aqliyah,
lisâniyah, juga memberikan perhatian yang besar terhadap
pengajaran ilmu-ilmu naqliyah, yakni ilmu-ilmu yang
bersumber dari Alquran dan al-Hadis seperti; Tafsîr, Hadîṡ,
Fiqih, Tauhîd, taṣawuf dan sebagainya, yang dikenal sebagai
ilmu yang tertuang dalam kitab-kitab kuning. Sampai pada tahun
1930, mata pelajaran yang diajarkan di madrasah-madrasah
yaitu semata-mata pelajaran agama, kemudian sebagian
madrasah mulai 1930-an memasukkan mata pelajaran umum.
Kendatipun mata pelajaran umum telah dimasukkan, namun
tekanan madrasah yaitu tetap mata pelajaran agama dengan
tujuan untuk menciptakan manusia-manusia yang ahli dalam
ilmu agama. Tradisi pembelajaran kitab kuning belakangan
semakin berkembang di madrasah dengan adanya pengakuan
Pemerintah tentang eksistensi Madrasah Aliyah Keagamaan
(MAK) sebagai suatu lembaga pendidikan menengah yang
mengutamakan penguasaan pengetahuan khusus siswa tentang
ajaran agama.
ةصلاخ
ةسردملا ةيمالسإلا يه ىدحإ تاسسؤملا ةيميلعتلا ةيمالسإلا ةدوجوملا يف
ايسينودنإ يتلاو روطتت دعب .كلذ يف مايألا ىلوألا ،اهدوجول تناك سرادملا
ةدام رفصألا باتكلا نم تلعج يتلا ةينيدلا مولعلا ةساردل ًادج ةفدارم ةينيدلا
ال ،ايسينودنإ يف يمالسإلا ميلعتلا تايمانيد يف ،كلذل .ملعتلل ًاعجرمو ةيسارد
،ىرخأ ةيميلعت تاسسؤم يف روطت لب ،بسحف دهعم ىلإ رفصألا باتكلا يمتني
ةصاخ يف سرادملا .ةينيدلا عمو ،كلذ نإف ام حبصي ةلكشم يف ريثك نم
هيلإ رظُني لازي ال جنينوك باتك ديلقت نأ ول امك ودبي نآلا ىتح هنأ وه نايحألا
دوجو نأ فيك ةساردو ثحبلاب مامتهالا متي كلذل ،طقف دهعم نم ءزج هنأ ىلع
نم مغرلا ىلع ،ةياغلل ليئض .ًامئاق لازي ال ةينيدلا سرادملا يف »باتكلا« ديلقت
لالخ نم ةينيدلا ةفرعملا ريوطت يف ًامهم ًارود اًضيأ بعلت ةينيدلا سرادملا نأ
ةيحانلا نم ءاوس ،عقاولا يف ًايميلعت ًاعجرمو ةيسارد ةدام رفصألا باتكلا لعج
يف وأ ةيخيراتلا عوضوم نإف ،كلذل .ةيلاحلا تاروطتلا هذه يف ةشقانملا ةقرولا
.ايسينودنإ يف ةينيدلا سرادملا يف رفصألا باتكلا ديلقت دوجو ةيفيك ةفرعم وه
يف سرادملا ،ةيسينودنإلا ةفاضإلاب ىلإ سيردت مولع يلقعلا ة� ،ةيناسيلاو نولوي
يلقنلا مولع سيردتل ًاريبك ًامامتها ثيدحلاو نآرقلا نم تأشن يتلا مولعلا يأ ،ة�
ةدراولا ةفرعملا يهو ،كلذ وحنو قيفوتلاو ديحوتلاو هقفلاو داهلاو ريسفتلا ؛لثم
سرادملا يف اهسيردت متي يتلا داوملا تناك ،١٩٣٠ ماع ىتح .ءارفصلا بتكـلا يف
ضحم ةينيدلا ،ةينيد داوم ضعب تنمضت مث سرادملا ًءادتبا نم تاينيثالثلا
سرادملا طغض لازي ال ،ةماعلا تاعوضوملا جاردإ نم مغرلا ىلع .ةماع داوم
ديلقت ىمانت .ةينيدلا ةفرعملا يف ءاربخ رشب قلخ فدهب ةينيد تاعوضوم ةينيدلا
ملعت باتكلا رفصألا ًارخؤم يف سرادملا ةينيدلا عم فارتعا ةموكحلا دوجوب
ةسردملا ةينيدلا ايلعلا )ك.أ.م( ةسسؤمك ةيميلعت وناث ةي يطعت ولوألا ةي ناقتإل
.ةينيدلا ميلاعتلاب ةصاخلا ةفرعملل بالطلا
A.
Di kalangan umat Islam negara kita , sejak awal, semangat
mempelajari ilmu-ilmu agama berjalan dengan sangat kuat, ditandai
dengan menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan Islam baik
formal seperti madrasah maupun non formal seperti majelis-majelis
taklim. Pengkajian ilmu-ilmu agama di berbagai lembaga ini
biasanya berjalan dengan menggunakan kitab-kitab karya ulama
klasik sebagai sumber dan bahan kajian, yang kemudian lebih dikenal
dengan istilah kitab kuning. Kaitan erat antara pengkajian ilmu-ilmu
Tradisi Kitab Kuning Pada Madrasah...
agama dengan kitab kuning telah membuat tradisi kitab kuning
sedemikian familiar bagi umat Islam negara kita . Bahkan, salah satu
tolok ukur ulama bagi umat yaitu berkaitaan dengan kemampuan
mengakses kitab-kitab kuning. Kaitan erat itu juga terlihat pada
kondisi dimana selain menjadi pusat orientasi studi, kitab kuning
telah menjadi sistem nilai yang membentuk dan mewarnai paham
dan praktik keagamaan komunitas pesantren dan masyarakat muslim
sekitarnya
Sedemikian familiarnya, sehingga tradisi pembelajaran
kitab kuning ini tidak terbatas hanya pada lembaga-lembaga
pendidikan formal seperti pesantren dan madrasah, tetapi tradisi itu
juga hidup dan berkembang di lembaga-lembaga non formal, seperti
pada majelis-majelis taklim atau kelompok-kelompok pengajian,
baik yang dikelola oleh perseorangan maupun organisasi masyarakat.
Untuk daerah-daerah pulau Jawa, tradisi pembelajaran kitab
kuning itu identik dengan pesantren. Sebagai lembaga pendidikan
tertua yang telah diakui kesuksesannya dalam penguasaan ilmu-
ilmu keagamaan ini , membuat pesantren tidak jarang diartikan
sebagai lembaga tafaqquh fî al-dîn. Ciri khasnya sebagai tempat
pendalaman pengetahuan agama Islam yaitu sistem pengajaran
tradisionalnya yang menggunakan tradisi pengajaran kitab kuning
(kitab salaf). Dalam tradisi pembelajaran kitab kuning di pesantren,
para santri biasanya diharuskan membaca kitab-kitab gundul yang
ditulis tanpa huruf hidup. Itu sebabnya untuk dapat membacanya
seorang murid harus dapat mengenali kata demi kata dan tata bahasa
Arab (Dhofier, 1982).
Selain di pesantren, tradisi pembelajaran kitab kuning itu
juga hidup dan mentradisi di lingkungan madrasah, sebagaimana
misalnya pada madrasah-madrasah milik Al Jam’iyatul Washliyah
di Sumatera Utara. Pada madrasah-madrasah yang ada, khususnya
di tingkat Aliyah diajarkan kitab-kitab klasik (kitab kuning) dalam
bidang Tafsir, Fiqih, Uṣûl Fiqh, Qawâ’id Fiqh, Tasawuf, Tārikh
dan lainnya, yang level kitabnya sejajar dengan kitab-kitab yang
digunakan dalam kurikulum Universitas al Azhar-Mesir. sebab
tingginya penguasaan kitab-kitab ini , bahkan hingga tahun
1960-an, tamatan madrasah Ali Al-Jam’iyatul Washliyah sudah
AL
layak untuk melanjutkan pendidikan pada tingkat Dirâsyah Ulyâ
(Magister) di beberapa perguruan tinggi di Timur Tengah seperti
Universitas al-Azhar di Mesir dan Universitas Islam Negeri (Jâmi`ah
Islâmiyah al-Hukûmiyah) di Libya
Demikianlah dalam dinamika umat Islam di negara kita ,
betapa tradisi pembelajaran kitab kuning yang sangat berperan
melahirkan ulama-ulama menjadi sebuah tradisi yang melekat
selain di pesantren juga di madrasah-madrasah. Meskipun tradisi
pembelajaran kitab kuning pada madrasah masih kurang mendapat
perhatian dari para peneliti dan pengkaji di negara kita . sebab nya
tulisan ini mencoba melihat dan menganalisis bagaimana tradisi
pembelajaran kitab kuning berjalan di madrasah-madrasah, sebagai
sebuah Lembaga Pendidikan Islam yang juga sangat berperan beesar
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode
penelitian deskriptif-analisis dengan pendekatan kualitatif, dimana
peneliti akan mendeskripsikan secara terang bagaimana tradisi
pembelajaran kitab kuning di madrasah. Dalam penelitian ini,
peneliti merupakan instrumen kunci, sebab penelitian kualitatif
merupakan pendekatan yang menekankan pada hasil pengamatan
peneliti, sehingga manusia sebagai instrumen penelitian menjadi
suatu keharusan (Muhajir, 2003). Bahkan dalam penelitian
kualitatif, posisi peneliti menjadi instrumen kunci/the key instrument
C. Pengertian Kitab Kuning
Di lingkungan pesantren, kitab kuning merupakan istilah
populer bagi kitab-kitab klasik (al-qutûb al-qadîmah) yang ditulis
oleh ulama-ulama Islam pada zaman pertengahan. Bahkan, sebab
tidak dilengkapi dengan sandangan (syakal), kitab kuning juga sering
disebut oleh kalangan pesantren sebagi “kitab gundul”, dan sebab
rentang waktu sejarah yang sangat jauh dari kemunculannya sekarang,
tidak sedikit yang menjuluki kitab kuning ini sebagai “kitab kuno”.
Tradisi Kitab Kuning Pada Madrasah...
Masdar F. Mas’udi mengemukakan bahwa kitab kuning lazim
dipakai untuk menunjuk karya-karya tulis (Arab) yang disusun para
sarjana Islam abad pertengahan, dan sebab itu sering disebut pula
dengan kitab kuno. Menurutnya, pemberian sebutan kuning pada
kitab kuning itu yaitu sebab memang kertas yang dipakai umumnya
yaitu kertas berwarna kuning atau putih, namun sebab disebabkan
dimakan usia sehingga warna itu pun berubah menjadi kuning
(Rahardjo, 1985). Namun satu hal yang pasti bahwa kitab kuning
mestilah buku-buku yang ditulis dalam berbahasa Arab, sebab dalam
tradisi pesantren, yang disebut sebagai kitab itu hanyalah buku-buku
yang berbahasa Arab saja, sedangkan yang berbahasa selain Arab
disebut sebagai buku (Madjid, 1997).
Namun demikian, Azyumardi Azra mengemukakan bahwa
definisi kitab kuning yaitu kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab,
Melayu atau Jawa atau bahasa-bahasa lokal lain di negara kita dengan
menggunakan aksara Arab yang selain ditulis oleh ulama di Timur
Tengah juga ditulis oleh ulama negara kita sendiri (Azra, 2001).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kitab-kitab berbahasa Arab
yang ditulis oleh ulama-ulama di organisasi Al Washliyah dapat
dikategorikan sebagai kitab kuning.
Secara umum kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan
sebagai kitab refrensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran
para ulama pada masa lampau (as-salaf) yang ditulis dalam format
yang khas. Sejalan dengan Azyumardi Azra di atas, dijelaskan
bahwa sebelum abad ke-17-an M, secara lebih rinci kitab kuning
didefenisikan dalam tiga pengertian. Pertama, kitab yang ditulis
oleh ulama asing, tetapi secara turun temurun menjadi referensi yang
dipedomani oleh para ulama negara kita . Kedua, ditulis oleh ulama
negara kita sebagai karya tulis yang independen. Ketiga, kitab yang
ditulis oleh ulama negara kita sebagai komentar atau terjemahan atas
kitab karya ulama asing
Menurut Nasuha, batasan penyebutan term kitab kuning
mungkin mengacu kepada tahun karangan, ada yang membatasi
dengan madzhab teologi, dan ada juga yang membatasi dengan
istilah mu´tabarah dan sebagainya. Sebagian yang lain beranggapan
bahwa pengistilahan itu disebabkan oleh warna kertas dari kitab-
A
kitab ini berwarna kuning, meskipun argumen ini kurang tepat
sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak yang
dicetak dengan mengguakan kertas putih yang umum dipakai di
dunia percetakan
Kitab-kitab kuning yang diajarkan di lembaga-lembaga
pendidikan Islam khususnya pesantren dapat digolongkan ke dalam
8 kelompok mata pelajaran, yaitu: 1. Naḥwu dan Ṣaraf; 2. Fiqh; 3.
Uṣûl Fiqh; 4. Hadîs; 5. Tafsîr; 6. Tauhîd; 7. Taṣawuf dan Etika; 8.
Cabang-cabang ilmu lain seperti Târikh dan Balâgah (Dhofier, 1982).
Semua mata pelajaran ini merujuk kepada kitab-kitab berbahasa
Arab yang lazim disebut dengan kitab kuning (Nizar, 2013). Dari
segi tingkatannya, pada umumnya, kitab-kitab kuning ini
digolongkan menjadi tiga golongan yaitu kitab-kitab tingkatan dasar,
tingkat menengah dan kitab-kitab besar (Daulay, 2007).
Kitab kuning dan pesantren merupakan dua sisi (aspek) yang
tidak bisa dipisahkan, dan tidak bisa saling meniadakan. Ibarat mata
uang, antar satu sisi dengan sisi lainnya yang saling terkait erat
(Maunah, 2009). Kitab kuning sebagai salah satu unsur mutlak dari
pengajaran di pondok pesantren sedemikian penting dalam proses
terbentuknya kecerdasan intelektual dan moralitas kesalehan pada
diri santri. Oleh sebab itu eksistensi kitab kuning dalam sebuah
pondok pesantren menempati posisi yang urgen, sehingga dipandang
sebagai salah satu unsur yang membentuk wujud pondok pesantren
itu sendiri, di samping kyai, santri, masjid dan pondok.
Pengertian yang umum beredar di kalangan pemerhati masalah
pesantern yaitu bahwa kitab kuning selalu dipandang sebagi kitab-
kitab keagamaan berbahasa Arab, atau berhuruf Arab, sebagai produk
pemikiran ulama-ulama masa lampau (as-salaf) yang ditulis dengan
format khas pra modern, sebelum abad ke-17-an M. Dalam rumusan
yang lebih rinci, definisi kitab kuning yaitu kitab-kitab yang ditulis
oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi refrence
yang dipedomani oleh para ulama negara kita sebagi karya tulis yang
independen, dan ditulis oleh ulama negara kita sebagai komentar atau
terjemahan atas kitab karya ulama asing (Wahid, 1999).
Azyumardi Azra mengemukakan bahwa kitab kuning yaitu
kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, Melayu atau Jawa atau
Tradisi Kitab Kuning Pada Madrasah...
bahasa-bahasa lokal lain di negara kita dengan menggunakan aksara
Arab yang selain ditulis oleh ulama di Timur Tengah juga ditulis
oleh ulama negara kita sendiri (Azra, 2001).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik suatu benang
merah tentang definisi kitab kuning, yakni sebagai kitab-kitab
yang mengandung nilai-nilai dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
keagamaan Islam, ditulis dalam bahasa Arab atau Melayu, Jawa atau
bahasa lainnya, dengan menggunakan aksara Arab baik itu ditulis
oleh ulama Timur Tengah maupun ulama-ulama negara kita . Defenisi
yang dikemukakan oleh Azyumardi Ara itu tampaknya mengandung
cakupan makna yang lebih luas, sehingga definisi itu juga lah
yang digunakan sebagai landasan berpikir dalam menggali dan
menganalisis data dalam penelitian tentang resistansi tradisi kitab
kuning pada madrasah Al Washliyah di Sumatera Utara ini.
D. Sejarah Kitab Kuning
Tradisi kitab kuning di negara kita berhubungan erat dengan
upaya transmisi ilmu-ilmu agama kepada masyarakat muslim sejak
awal abad ke-19. Proses transmisi pengetahuan agama kepada
masyarakat pada saat itu dilakukan melalui sekolah-sekolah agama
Islam dengan berbagai bentuknya (masjid, langgar, surau, pesantren)
dengan menggunakan kitab kuning sebagai bahan pembelajaran
(Huda, 2015). Pada awalnya transmisi pengetahuan agama di
lembaga-lembaga pendidikan Islam ini masih terbatas
pada pengajian umum tentang tulis baca Alquran dan wawasan
keagamaan. Bahkan sejak abad ke-16, pesantren telah memainkan
peran pentingnya sebagai pusat pengkajian dan penyebaran ilmu-
ilmu keislaman selain masjid (Huda, 2015).
Menurut Afandi Mochtar, bahwa sejauh bukti-bukti historis
yang tersedia, sangatlah mungkin untuk mengatakan bahwa kitab
kuning telah menjadi teks book, reference, dan kurikulum dalam
pendidikan pesantren, seperti yang dikenal sekarang, baru dimulai
pada abad ke-18 M. Bahkan, cukup realitas juga memperkirakan
bahwa pengajaran kitab kuning secara misal dan permanen itu mulai
terjadi pada pertengahan abab ke-19 M, ketika sejumlah ulama
Nusantara, khususnya Jawa, kembali dari program belajarnya di
Mekkah (Mochtar, 2008).
Dalam tradisi pesantren, kepintaran dan kemahiran
seorang santri diukur dari kemampuannya dalam membaca serta
mensyarahkan (menjelaskan) isi kitab-kitab kuning, sementara
untuk tahu membaca dan mensyarahkan kitab-kitab ini
dengan benar, maka seorang santri juga diharuskan terlebih dahulu
menguasai ilmu-ilmu bantu, seperti naḥwu, ṣaraf, balâghah, ma’âni,
dan bayân. Sementara untuk lingkup yang lebih luas di masyarakat,
bahwa kemampuan membaca dan mensyarahkan kitab-kitab kuning
menjadi kriteria utama diterima atau tidaknya seseorang sebagai
ulama atau kyai. sebab sedemikian tingginya posisi kitab-kitab
kuning ini , maka setiap pesantren selalu mengadakan pengajian
kitab-kitab kuning
Perkiraan di atas, tidak berarti bahwa kitab kuning sebagai
produk intelektual, belum ada masa-masa awal perkembangan
keilmuan di Nusantara. Sebab, sejarah mencatat bahwa sekurang-
kurangnya sejak abad ke-16 M, sejumlah kitab kuning, baik dengan
menggunakan bahasa Arab, bahasa Melayu, maupun bahasa Jawi,
sudah beredar dan dijadikan sebagai bahan informasi dan kajian
mengenai Islam. Kenyataan ini menunjukan bahwa karakter dan
corak keilmuan yang dicerminkan kitab kuning, betapapun juga,
tidak bisa dilepaskan dari tradisi intelektual Islam Nusantara yang
panjang, kira-kira sejak abad sebelum pembukuan kitab kuning di
pesantren-pesantren
Pembukuan kitab kuning di pesantren sangat berkaitan dengan
tradisi intelektual Islam Nusantara kurun awal. Asal-usul dan
perkembangan tradisi intelektual dan keilmuan Islam Nusantara
sejauh ini telah mengandung perhatian sejumlah sarjana dan pengamat
yang menekuninya, diantara mereka yaitu Taufik Abdullah,
Kuntowijoyo, Martin van Bruinessen, Abdurrahman Wahid, dan
Azumardi Azra. Dalam berbagai karyanya, masing-masing intelektual
itu memberikan analisis dan penilaian atas masalah ini. Walaupun
berbeda rumusan sebab perbedaan pendekatan yang digunakan,
namun hasil kajian mereka memperlihatkan kecenderungan yang
sama dalam mepertimbangkan dua faktor penting, yaitu: kontak
114
ulama Nusantara dengan ulama Timur Tengah sebagai bagian dari
proses internasionalisasi Islam, integrasi ketegangan budaya Islam
dengan budaya lokal sebagi konsekuensi logis dari proses Islamisasi
Nusantara. Kedua faktor ini berperan dalam membentuk dan
mewarnai corak keilmuan Islam Nusantara seperti tercermin dalam
tradisi pendidikan pesantren, khususnya di Jawa (Mochtar, 2008).
Sejarah mencatat bahwa para pembuat kitab kuning atau turast
dalam memainkan perannya di panggung pergulatan pemikiran
Islam tidak pernah sepi dari polemik dan hal-hal berbau kontradiktif.
Sengitnya perdebatan antara Mu’tazilah, Murji’ah, Rafiḍah dan Ahlu
al Sunnah yang direkam secara rinci oleh Abdul Qâdir Ibn Thârir
Ibn Muḥammad Al-Baghdâdi dalam karyanya al-farqu baina al-
firâq. Dalam buku ini tergambar dengan jelas kemajemukan
pemahaman agama terlebih lagi masalah akidah. Setelah melakukan
pencarian dan kajian yang mendalam para tokoh aliran masing-
masing menemukan konklusi yang berbeda-beda. Dalam jangkauan
yang lebih luas, Martin van Bruinessen berpendapat bahwa kitab
kuning yang berkembang di negara kita pada dasarnya merupakan
hasil pemikiran ulama abad pertengahan (Bruinessen, 1999).
Pembelajaran kitab kuning di pesantren digolongkan pada
beberapa tingkatan berdasarkan pada kategori kitabnya. Santri tingkat
awal mempelajari kitab-kitab sederhana baik bahasa maupun isinya.
Tingkat lanjutan mempelajari ilmu-ilmu alat, naḥwu, ṣaraf, balâghah,
ma’âni, dan bayân, dan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya yang merupakan
prasyarat untuk memasuki pesntren tingkat tinggi. Sedangkan dalam
tingkat tinggi, para santri diajarkan kitab-kitab yang berkaitan dengan
ilmu-ilmu fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadis, ilmu kalam, dan tasawuf
sehingga mereka mempunyai keahlian dalam bidang-bidang keilmuan
ini . sebab nya, di dalam sitem pendidikan pesantren tidak
dikenal kelas-kelas, melainkan hanya berupa tingkatan berdasarkan
kategori kitab kuning yang diajarkan (Huda, 2015).
E. Ciri, Jenis dan Karakter Kitab Kuning
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah,
dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah
berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama
disebut kitab-kitab klasik (al-Kutûb al-Qadîmah), sedangkan kategori
kedua disebut kitab-kitab kontemporer (al-Kutûb as-‘Ashriyyah).
Perbedaan yang pertama dari yang kedua dicirikan, antara lain: oleh
cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca,
dan kesan bahasanya yang berat, klasik, dan tanpa syakal (sandangan:
fatḥah, ḍommah, kasrah). Kitab kuning dikenal dengan sistimatika
penulisan dan penyajiannya yang sangat sederhana. Misalnya, di
dalam penulisan kitab kuning tidak dikenal tanda-tanda bacaan seperti
titik, koma, tanda Tanya, dan sebagainya. Di samping itu, pergeseran
dari satu sub topik ke sub topik yang lain, tidak dengan menggunakan
alinea baru, tapi dengan pasal-pasal atau kode sejenis seperti; tatimmah,
muhimmah, tanbîh, far’ dan sebagainya (Rahardjo, 1985).
Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu
pada kategori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-Kutûb al-
Qadîmah). Spesifikasi kitab kuning secara umum terletak dalam
formatnya, yang terdiri dari dua bagian: matan, teks asal (inti) dan
syarah. Dalam pembagian semacam ini, matan selalu diletakkan
di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara
syarah, sebab penuturannya jauh lebih banyak dan panjang
dibandingkan matan diletakkan di bagian tengah setiap halaman
kitab kuning pada umumnya kira-kira 26 cm (quarto). Matan yaitu
isi inti yang akan dikupas oleh syarah yang diletakkan di luar garis
segi empat yang mengelilingi syarah (Rahardjo, 1985).
Ciri khas lainnya terletak pada penjilidannya yang tidak total,
yakni tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok
halaman (misalnya, setiap 20 halaman) yang secara teknis dikenal
dengan istilah korasan (lembaran). Jadi, dalam kitab kunig terdiri
dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa
korasan itu dibawa secara terpisah. Biasanya, ketika berangkat ke
masjid pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu
yang akan dipelajarinya bersama sang kyai-ulama (Wahid, 1999).
Dari ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Tidak ada tanda baca, seperti: titik, koma dan tanda-tanda
baca lainnya.
2. Tidak ada tahun penerbitan kitab.
116
3. Terdiri dari matan (inti permasalahan) dan syarah (penjelasan dari
matan).
4. Sistem penulisan:
a. Matan ditulis di kiri dan kanan, bahkan ada yang sampai di atas
dan bawah syarah.
b. Syarah ditulis didalam kolom berbentuk empat persegi panjang
dengan ukuran rata-rata 13X23 cm.
c. Digunakan kurung buka dan kurung tutup untuk matan yang
sedang disyarah.
d. Keterangan dari syarah ditulis sejajar dengan matan dengan garis,
sebagai pemisah antara keterangan dan matan.
5. Matan dan syarah tidak ditulis oleh penulis yang sama.
6. Tulisan tidak berharakat, kecuali matan yang disusun secara
terpisah untuk para pemula.
7. Tiap-tiap kitab terdiri dari kelompok-kelompok halaman yang
dapat dipisah antara kelompok halaman yang satu dengan yang
lain. Tiap-tiap kelompok masing-masing terdiri 16 halaman.
Jika ditinjau dari jenisnya, kitab kuning terdiri dari kitab-kitab
naḥwu, ṣaraf, fiqh, uṣûl fiqh, musṭalaḥ al-hadîṡ, tauḥîd, taṣawuf, tafsîr
dan kitab-kitab balâghah. Kitab naḥwu berisi tentang ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan seluk beluk kalimat. Kitab ṣaraf berisikan tentang:
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan asal-usul kata. Kitab fiqih berisikan
tentang: tata cara beribadah, dan bermu’amalah. Kitab uṣûl fiqh berisi
tentang: kaidah-kaidah dan tata cara menetapan suatu hukum syariat.
Kitab hadiṡ berisikan tentang: kumpulan hadits-hadits Rasullulah
SAW, baik yang berkaitan dengan perkataan, perebuatan, maupun
hal-hal yang berkaitan dengan perizinannya. Kitab musṭalaḥul ḥadîṡ
berisikan tentang: ilmu-ilmu untuk mengetahui keotentikan suatu
hadits. Kitab tauḥîd dan kitab taṣawuf berisikan tentang: ketuhanan.
Kitab tafsîr berisikan tentang: penjelasan-penjelasan tentang ayat-
ayat suci Alquran. Sementara kitab balâghah berisikan tentang:
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan retorika bahasa Arab.
Sedangkan kitab kuning dilihat dari penampilan lahiriahnya,
kitab kuning memiliki 5 karakter: Pertama: mengulas pembagian
suatu yang umum menjadi suatu yang khusus, yang global menjadi
terinci dan begitulah seterusnya. Kedua, menyajikan redaksi yang
teratur dengan menampilkan beberapa pernyataan untuk menuju
suatu kesimpulan yang benar-benar dituju. Ketiga, membuat ulasan-
ulasan tertentu dalam mengulangi uraian-uraian yang dianggap perlu.
Penampilannya tidak semraut dan pola pikirnya dapat dinilai lurus.
Keempat, memberikan batasan-batasan yang jelas tentang sebuah
definisi. Kelima, menampilkan beberapa alasan terhadap pernyataan
yang dianggap perlu
Chozin Nasuha dalam penelitiannya menegaskan bahwa jika
dilihat dari kandungan maknanya, kitab kuning itu dapat dibagi
kepada dua; (1) kitab kuning yang berbentuk penawaran atau
penyajian ilmu secara polos (naratif) seperti sejarah Islam, tafsir, dll,
(2). Kitab kuning yang menyajikan materi berbentuk kaidah-kaidah
keilmuan seperti, naḥwu, ṣaraf, fiqh, uṣûl fiqh, musṭalaḥul hadîṡ
(Siradj, 1999). Dengan demikian, pengajaran ilmu-ilmu kaidah
bahasa Arab juga merupakan bagian dari kitab kuning dimana
fungsinya sangat signifikan sebagai prasyarat kemampuan membaca
kitab-kitab kuning.
F. Macam-macam Kitab Kuning
Dalam kajian ajaran agama Islam atau ilmu-ilmu agama yang
ada pada kitab kuning ini memiliki macam-macam bidang.
Di bawah ini akan disebutkan macam-macam kitab kuning yang
terkenal antara lain sebagai berikut:
1. Dalam bidang Tafsir
a. Tafsîr Alqurân al-Adzîm karya Ibnu Kaṡîr (w. 447 H. )
b. Tafsîr Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl Alqurân karya Ath-Ṭabari
c. Tafsîr Jalâlain karya Jalâluddîn al-Mahallî dan Jalâluddîn As-
Suyûṭî
2. Dalam bidang Ulûm Alqurân
a. Kitab I’râb Alqurân karya Abu Ja’far an-Nahhâs
b. Kitab Ashbâbun Nuzûl Alqurân karya Al Wahidi
c. Kitab Faḍâil Alqurân karya Ibnu Kaṡîr (w. 447 H. )
118
d. Kitab Mazâj Alqurân
e. Kitab At-Tibyân fî Ulûm Alqurân karya Muhammad Ali Ash
Ṣâbûni
f. Kitab Fath Ar-Rahmân karya Fuâd Abdul Bâqi
3. Dalam bidang Fiqih
a. Kitab I’ânah At-Ṭâlibîn karya Sayyid Bakri Satha
b. Kitab Fathul Mu’în karya Zainuddîn al-Malaibary
c. Kitab Rauḍah At-Ṭâlibîn wa ‘Umdatul Muftîn karya Imam
An-Nawâwi
4. Kitab Bidâyah Al-Mujtahîd wa Nihâyah al-Muqtaṣid karya Ibn Rusyd
5. Dalam bidang tasawuf atau Akhlak
a. Kitab Ihyâ Ulûmuddîn karya Abu Hamid al-Ghazâli
b. Kitab Riyaḍu As-Ṣâlihîn karya imam An Nawâwi (Anotasi
Kitab Kuning).
Namun demikian, jika mengikut pada definisi kitab kuning
yang dikemukakan oleh Ayumardi Azra, maka berbagai kitab yang
ditulis oleh ulama-ulama negara kita dapat dimasukkan sebagai contoh
macam-macam kitab kuning itu sendiri, seperti kitab Isṭilâhâh al-
Muḥadiṡîn karya Arsyad Thalib Lubis dalam bidang Hadis, kitab
Al-Uṣûl min ‘Ilmi al-Uṣûl karya Arsyad Thalib Lubis dalam bidang
Uṣûl Fiqh, kitab Qawâ’id al-Fiqhiyah karya Arsyad Thalib Lubis
dalam bidang Qawâ’id Fiqh. Atau misalnya kitab Adabul ‘Âlim wa
al-Muta’allim karya KH. Hasyim Asy’ary dalam bidang Pendidikan
Islam, dan kitab-kitab lainnya daam berbagai bidang.
G. Tradisi Pembelajaran Kitab Kuning
Salah satu ciri khas kitab kuning yang membedakannya
dari yang lainnya yaitu dari segi tradisi metode mempelajarinya.
Metode-metode yang biasanya digunakan dalam mempelajari atau
mengajarkan kitab kuning terdiri atas: metode sorogan, metode
wetonan atau bandongan, metode muhâwarah, metode muzâkarah,
dan metode majlis ta’lîm (Qomar, 2005).
Pertama, Metode sorogan. Menurut Arifin, metode sorogan
secara umum dipahami sebagai metode pengajaran yang bersifat
individual, dimana santri satu persatu datang menghadap kyai dengan
membawa kitab tertentu. Kyai membacakan kitab itu beberapa
baris dengan makna yang lazim dipakai di pesantren. Seusai kyai
membaca, santri mengulangi ajaran kyai itu. Setelah ia dianggap
cukup, maju santri yang lain, demikian seterusnya (Arifin, 1993).
Melalui metode sorogan, perkembangan intelektual santri
dapat dirangkap kyai secara utuh. Kyai dapat memberikan bimbingan
penuh kejiwaan sehingga dapat memberikan tekanan pengajaran
kepada santri-santri atas dasar observasi langsung terhadap tingkat
kemampuan dasar dan kapasitas mereka (Qomar, 2005). Akan tetapi
metode sorogan merupakan metode yang paling sulit dari sistem
pendidikan Islam tradisional, sebab metode ini menuntut kesabaran,
kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid (Dhofier, 1982).
Penerapan metode sorogan juga menuntut kesabaran dan keuletan
pengajar. Di samping itu aplikasi metode ini membutuhkan waktu
yang lama, yang brarti pemborosan, kurang efektif dan efisien
(Qomar, 2005).
Kedua, Metode wetonan atau bandongan. Metode wetonan
atau sering juga disebut bandongan merupakan metode yang paling
utama dalam sistem pengajaran di lingkungan pondok pesantren.
Metode wetonan (bandongan) yaitu metode pengajaran dengan
cara seorang guru membaca, menerjemahkan, menerangkan dan
seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab, sedangkan
murid (santri) memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-
catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah
pikiran yang sulit (Dhofier, 1982).
Ketiga, Metode muhâwarah. Metode muhâwarah atau
metode yang dalam bahasa Inggris disebut dengan conversation
ini merupakan latihan bercakap-cakap dalam bahasa Arab yang
diwajibkan bagi semua santri selama mereka tinggal di pondok
pesantren (Arifin, 1993).
Keempat, Metode muzâkarah. Berbeda dengan metode
muhâwarah, metode muzâkarah merupakan suatu pertemuan ilmiah
yang secara spesifik membahas masalah diniyah seperti ibadah
(ritual) dan aqidah (theologi) serta masalah agama pada umumnya
(Arifin, 1993).
120
Kelima, Metode majelis ta’lîm. Metode majelis ta’lîm
merupakan suatu metode penyampaian ajaran Islam yang bersifat
umum dan terbuka, yang dihadiri jama’ah yang memiliki berbagai
latar belakang pengetahuan, jenis usia dan jenis kelamin (Qomar,
2005). Pengajian melalui majelis ta’îim hanya dilakukan pada
waktu tertentu, tidak setiap hari sebagaimana pengajian melalui
wetonan maupun bandongan, selain itu pengajian ini tidak hanya
diikuti oleh santri mukim dan santri kalong tetapi juga masyarakat
sekitar pondok pesantren yang tidak memiliki kesempatan untuk
mengikuti pengajian setiap hari, sehingga dengan adanya pengajian
ini dapat menjalin hubungan yang akrab antara pondok pesantren
dan masyarakat sekitar (Qomar, 2005).
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa di antara metode yang
paling umum digunakan dalam belajar kitab kuning yaitu bandongan
dan sistem sorogan. Metode bandongan merupakan sistem belajar
satu arah yang dilakukan oleh kyai kepada santri di mana cara
pelaksanaannya sebagai berikut: 1. Kyai membaca kata demi kata; 2.
Kyai megartikan; dan 3. Kyai menjelaskan maksudnya (Yunus, 1979).
Dalam sistem ini, keaktifan santri hanya menyimak, menulis
arti kata-kata yang belum dimengerti, dan mendengarkan penjelasan
kyai. Sementara metode sorogan merupakan sistem belajar secara
langsung antara kyai dan santri di mana cara pelaksanaannya yaitu
sebagai berikut: 1. Santri menghadap kyai satu persatu secara
bergantian; 2. Santri membaca secara utuh; dan 3. Santri mengartikan
secara harfiyah.
Dalam sistem ini, keaktifan kyai hanya menyimak dan
memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh santri. Bagi
santri yang belum memiliki dasar kitab yang dikaji dengan sistem
sorogan yaitu: kitab yang telah dikaji dengan sistem bandongan.
Sedangkan bagi santri yang telah memiliki kemampuan dasar, kitab
yang dikaji yaitu kitab-kitab yang belum pernah dikaji sebelumnya.
Dengan demikian sistem sorogan merupakan sistem pengulangan
bagi sntri pemula dan merupakan penggayaan bagi santri yang telah
memiliki kemampuan dasar.
Selain kedua metode di atas, sejalan dengan usaha
kontekstualisasi kajian kitab kuning, di lingkungan pesantren
dewasa ini telah berkembang metode jalsah (diskusi/kelompok)
dan ḥalaqah (seminar). Kedua metode ini lebih sering digunakan di
tingkat kyai-ulama atau pengasuh pesantren, antara lain, membahas
isu-isu kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber
dari kitab kuning
H. Tradisi Kitab Kuning pada Madrasah
Madrasah yang tumbuh dan berkembang di negara kita tidak
terlepas dari madrasah-madrasah yang tumbuh di berbagai wilayah
Islam lainnya. Dalam dinamika sejarah peradaban Islam, madrasah
dikenal sebagai hasil evolusi dari masjid sebagai lembaga pendidikan
dan khan sebagai tempat tinggal mahasiswa (Asari, 2007). Di antara
madrasah-madrasah paling terkenal di awal-awal keberadaannya
dalam peradaban Islam yaitu madrasah Nizamiyah yang didirikan
pada tahun 457 H/1065 M, madrasah Nuruddin Zinki, madrasah
al-Mustansiriyah didirikan di Bagdad pada tahun 631 H/1234 M,
madrasah Nuriyah yang didirikan di Damaskus tahun 563 H/1167 M
dan sejumlah madrasah lainnya
Sejarah juga mencatat bahwa para ulama Persia mempunyai
peran penting dalam memperkenalkan madrasah di negara kita .
Dalam pada itu disebutkan bahwa ada dua ulama yang mendampingi
al-Mâlik al-Zahir (1326-1348), Sultan Pasai yakni Qâdhi Âmîr
Said al-Syîrâzi dan Tâj al-Dîn al-Isfahâni. Keduanya berasal dari
Persia, ketika singgah di Pasai, Ibnu Bathuthah (1303-779), seorang
pengembara asal Marokko pernah bertemu dengan kedua ulama
ini . Hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang kuat
dari Persia pada pemerintahan Sultan al-Mâlik al-Zahir, terutama
dalam bidang pendidikan. Qâdhi Âmîr Said al-Syîrâzi memegang
jabatan sebagai Qâdhi al-Qudhât (Hakim Tinggi) merangkap guru
agama (mudarris), dan Tâj al-Dîn al-Isfahâni memegang jabatan
sebagai guru agama. Berdasarkan itu, maka menurut Abd. Mukti,
tentu saja kedua guru agama ini menggunakan sistem pendidikan
madrasah yang sudah dikenal di negeri asalnya, Persia. Di samping
itu, masyarakat di Kesultanan Pasai menyebut perkataan madrasah
dengan sebutan meunasah (Mukti, 2016). Menurutnya, tampaknya
meunasah sebagai sebuah lembaga pendidikan ketika itu dengan
122
cepat menyebar ke seluruh wilayah kesultanan Pasai (abad ke-13-
1514) dan kesultanan Aceh Darussalam (1514-1912), dan dari Pasai
dan Aceh, madrasah menyebar ke daerah-daerah negara kita lainnya
melalui jaringan ulama Pasai dan alumni Aceh. Sebagai contoh,
salah seorang ulama Pasai yang pindah ke kesultanan Demak (1518-
1546) yaitu Syarif Hidayatullah (w. 1570) yang memegang jabatan
sebagai guru agama pada masa Sultan Trenggono (1521-1546).
Tentu saja Syarif Hidayatullah menggunakan sistem pendidikan
yang pernah dikenal di daerah kelahirannya yakni madrasah dalam
mengajarkan murid-muridnya. Demikian selanjutnya dari Demak,
madrasah menyebar ke Banten (1552-1682) dan Cirebon (Mukti,
2016).
Untuk konteks negara kita , berdasarkan peraturan Menteri
Agama Nomor 2 tahun 1960 dirumuskan pengertian madrasah
sebagai tempat pendidikan yang memberi pendidikan, pengajaran
dan ilmu agama Islam menjadi pokok pengajarannya. Sementara
menurut SKB 3 Menteri tahun 1975 mendefinisikan madrasah
sebagai lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama
Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan minimal 30 % di
samping mata pelajaran umum sebesar 70 % (Mukti, 2016).
Tumbuh kembangnya madrasah di negara kita tidak dapat
dipisahkan dengan tumbuh kembangnya ide-ide pembaruan
di kalangan umat Islam. Di antara ulama yang berjasa dalam
menggagas tumbuhnya madrasah di negara kita antara lain yaitu
Haji Abdullah Ahmad-pendiri madrasah Adabiyah di Padang pada
tahun 1909 (Daulay, 2007). Ditegaskan oleh Mahmud Yunus bahwa
Adabiyah School yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad ini
merupakan madrasah pertama di Minangkabau bahkan di seluruh
negara kita (Yunus, 1979). Setahun setelah Adabiyah School tepat pada
tahun 1910, Syekh M. Umar Thaib mendirikan madrasah lain yang
bernama ‘Madras School’ di daerah Batusangkar. Sejak kemunculan
Adabiyah School dan Madras School ini lah, maka istilah madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam modern kemudian menjadi
populer dan mulai banyak digunakan di negara kita (Yunus, 1979).
Dalam perkembangannya, madrasah muncul sebagai
nomenklatur pendidikan Islam modern di negara kita . Dalam
pengertian ini, maka madrasah diartikan sebagai lembaga pendidikan
Islam yang mengkombinasikan ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu
umum (Subhan, 2012).
Keberadaan madrasah sebagai salah satu jenis lembaga
pendidikan Islam pun semakin kukuh terutama setelah diakui secara
formal. Di dalam UU No. 20 Tahun 2003, kedudukan lembaga-
lembaga keagamaan, termasuk madrasah dan pesantren semakin
kukuh dengan dicantumkan pada pasal 17 ayat 2 dan pasal 18 tentang
pengakuan terhadap kelembagaan pendidikan Islam yang bernama
madrasah. Pada UU ini dijelaskan bahwa madrasah itu terdiri
dari Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan
Madrasah Aliyah (MA) (Dirjen Pendis).
Selanjutnya, sesuai dengan PP No. 29 Madrasah Aliyah
kemudian dibagi lagi menjadi dua, yaitu Madrasah Aliyah yang sama
dengan SMU (Sekolah Menengah Umum) yang berciri khas Islam,
dan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK). Madrasah jenis kedua ini
diperuntukkan sesuai dengan maksud yang tertera pada PP No. 29
Tahun 1990 Bab I, Pasal 1, ayat 4 yang menegaskan MAK sebagai
pendidikan menengah yang mengutamakan penguasaan pengetahuan
khusus siswa tentang ajaran agama yang bersangkutan (Daulay, 2007).
Hal ini dimaksudkan bahwa pendidikan yang mem-
persiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang
menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama
yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui bahwa setiap orang Islam
berkepentingan dengan pengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam,
terutama yang berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan, moral dan
sosial budayanya. Oleh sebab itu, pendidikan Islam dengan lembaga-
lembaganya tidak bisa dipisahkan dari sistem pendidikan Nasional.
Sejalan dengan pasal ini , dipertegas lagi di dalam
pasal 30 ayat 2, yang menyatakan bahwa pendidikan keagamaan
termasuk madrasah di dalamnya berfungsi untuk mempersiapkan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami
dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan menjadi ahli
ilmu agama (Hasbullah, 2010). sebab nya, pada pasal 30 ayat 3
dikemukakan bahwa pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan
pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal; di mana ayat
124
4 berbunyi bahwa “pendidikan keagamaan itu berbentuk pendidikan
diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain
yang sejenis” (Arifin, 1993). Inilah kemudian yang membuka
peluang hidup dan dikembangkannya tradisi pembelajaran kitab
kuning di madrasah.
Dalam hal ini, pendidikan agama merupakan tanggung jawab
bersama antara pemerintah dan masyarakat. Di samping sekolah/
madrasah formal yang didirikan oleh pemerintah seperti MIN,
MTsN, maupun MAN, masyarakat dapat juga menyelenggarakan
pendidikan agama, baik formal (pesantren, madrasah), nonformal
(taman pendidikan Alquran (TPA), majlis taklim) maupun informal
(madrasah diniyah).
Secara kelembagaan, pendidikan keagamaan termasuk di
dalamnya madrasah, telah mendapat pengakuan dan jaminan oleh
Pemerintah, sebagaimana ditegaskan di dalam PP. No. 55 Tahun 2007,
pasal 12 ayat 3 yang berbunyi bahwa Pemerintah dan/atau lembaga
mandiri yang berwenang, melakukan akreditasi atas pendidikan
keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan
sesuai Standar Nasional Pendidikan; dan ayat 4 menyebutkan
akreditasi atas pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilaksanakan setelah memperoleh pertimbangan dari
Menteri Agama.
Sementara itu, pada pasal 55 ayat 1 dikemukakan bahwa
masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis
masyarakat pada pendidikan formal dan non-formal sesuai dengan
kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan
masyarakat. Dengan pasal ini, satuan-satuan pendidikan Islam baik
formal maupun non-formal seperti madrasah, pesantren, madrasah
diniyah, majlis ta’lim, dan sebagainya akan tetap tumbuh dan
berkembang secarah terarah dan terpadu dalam sistem pendidikan
Nasional (Hasbullah, 2010).
Selanjutnya, pada UU. No. 20 Tahun 2003 pasal 54 sampai
pasal 56 dijelaskan bahwa hubungan sekolah dan masyarakat
dalam hal ini salah satunya berupa peran serta masyarakat dalam
pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga,
organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan
dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan. Melihat ada nya hubungan sekolah dan masyarakat
memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi masyarakat
untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat dengan
mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi
pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan
standar Nasional pendidikan.
Dalam hal ini, masyarakat diperbolehkan mendirikan lembaga
pendidikan berbasis masyarakat sesuai dengan kekhasan agama
masing-masing, sehingga muncullah madrasah-madrasah yang
didirikan oleh perorangan maupun oleh organisasi-organisasi
masyarakat Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan Al Washliyah,
meskipun secara tegas dinyatakan bahwa negara kita bukan Negara
agama dan bukan juga Negara sekuler tetapi Negara Pancasila
(Asegaf, 20017). Dengan status Negara yang demikian, maka wajar
jika kemudian Pemerintah negara kita tetap memandang bahwa
agama menduduki posisi penting di Negeri ini sebagai sumber nilai
yang berlaku (Jabali & Jamhari, 2002). Hal itu dapat juga dilihat
bagaimana posisi lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya
madrasah, yang secara eksplisit ditegaskan kedudukannya di dalam
UU Sisdiknas Tahun 2003.
Dari berbagai pasal dan peraturan Pemerintah di atas,
menunjukkan bahwa lembaga pendidikan Islam, khususnya madrasah
telah dijadikan sebagai sumber nilai dan bagian yang inheren dalam
sistem pendidikan Nasional. Madrasah sebagai lembaga pendidikan
Islam mempunyai peran penting dalam mengembangkan potensi
peserta didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, akhlak
mulia dan kepribadian muslim (khusus agama Islam).
Di awal-awal keberadaannya, sesungguhnya madrasah dalam
peradaban Islam dikenal sebagai tempat mempelajari berbagai ilmu
secara integratif, termasuk dengan menjadikan karya-karya ulama
klasik sebagai bahan kajian. Dalam konteks ini, madrasah pada
awalnya yaitu jenis lembaga pendidikan yang sangat dominan
mengajarkan ilmu-ilmu agama. Seperti telah dikemukakan di atas
bahwa di antara madrasah-madrasah paling terkenal di awal-awal
keberadaannya dalam peradaban Islam yaitu madrasah Nizamiyah
126
yang didirikan pada tahun 457 H/1065 M, Madrasah Nuruddin
Zinki, Madrasah al-Mustansiriyah didirikan di Bagdad pada tahun
631 H/1234 M, Madrasah Nuriyah yang didirikan di Damaskus
tahun 563 H/1167 M dan sejumlah madrasah lainnya.
Pada madrsah-madrasah ini di atas diajarkan ilmu-ilmu
‘aqliyah, lisâniyah termasuk yang paling utama yaitu ilmu-ilmu
naqliyah. Ilmu-ilmu naqliyah yang diajarkan di madrasah-madrasah
ini dipahami sebagai ilmu-ilmu yang bersumber dari Alquran
dan al-Hadis seperti; Tafsîr, Hadîṡ, Fiqih, Tauhîd, taṣawuf dan
sebagainya (Daulay, 2007), yang dalam tradisi pendidikan Islam
negara kita dikenal dengan ilmu-ilmu yang tertuang dalam kitab-kitab
kuning.
Di awal-awal kehadirannya, madrasah sangat identik dengan
kajian ilmu-ilmu agama. sebab nya, dalam dinamika pendidikan
Islam di negara kita , bahwa kitab kuning bukan hanya milik pesantren
akan tetapi sudah berkembang di lembaga-lembaga pendidikan
lainnya seperti madrasah, bahkan di tengah-tengah masyarakat
dalam bentuk pengajian-pengajian yang bersifat nonformal.
Lahirnya madrasah di Sumatera Barat turut merubah pendidikan
Isam di negara kita yang mencoba memadukan ilmu-ilmu agama
dengan tradisi kitab kuning dengan sistem modern. Kitab kuning
yang sebelumnya dikenal masyarakat sebagai suatu kesatuan dengan
pendidikan pesantren saja, kini telah dipelajari pada sekolah-sekolah
modern di Sumatera Barat, seperti Adabiyah School dan Sumatera
Thawalib yang berdiri pada Tahun 1910 (Hasbullah, 2010).
Demikian juga dengan madrasah-madrasah yang ada di negara kita
bahwa semangat utama yang terkandung pada madrasah ini di
awal-awal keberadannya yaitu sebagai tempat pembelajaran ilmu-
ilmu agama, meskipun telah memasukkan ilmu-ilmu umum sebagai
pembedanya dengan pesantren. Menurut peraturan Menteri Agama
Nomor 1 Tahun 1946 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 7 Tahun
1950, bahwa madrasah dimaksudkan sebagai tempat pendidikan
yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu
pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajarannya. sebab nya
sistem pendidikan di madrasah diupayakan adanya penggabungan
antara sistem pesantren dan sekolah umum (Daulay, 2007).
Sampai pada tahun 1930, mata pelajaran yang diajarkan di
madrasah-madrasah yaitu semata-mata pelajaran agama, kemudian
sebagian madrasah mulai 1930-an memasukkan mata pelajaran
umum. Kendatipun mata pelajaran umum telah dimasukkan, namun
tekanan madrasah yaitu tetap mata pelajaran agama dengan tujuan
untuk menciptakan manusia-manusia yang ahli dalam ilmu agama
(Daulay, 2007). Berdasarkan fakta sejarah ini, maka dapat dipahami
bahwa sesungguhnya sebelum diberlakukannya SKB 3 Menteri,
semangat kajian yang hidup di lingkungan madrasah yaitu sama
dengan pesantren, yakni sama-sama fokus pada pendalaman ilmu-
ilmu agama.
Madrasah juga dipandang sebagai “jalan tengah alternatif”
yang menjembatani kesenjangan antara sekolah-sekolah umum dan
pendidikan tradisional pesantren. Pada madrasah-madrasah modern
seperti ini, tertanam semangat yang kuat untuk melakukan reformasi
masyarakat dengan jalan kembali kepada sumber-sumber asli
Islam yang menjadikannya sebagai suatu perwujudan reformisme
Islam (Subhan, 2012). Ditegaskan oleh Yudi Latif bahwa sebab
kemampuan madrasah dalam memadukan antara kurikulum agama
dan umum ini , maka madrasah dikenal berfungsi sebagai tempat
reproduksi ulama-intelek, sebuah istilah yang muncul belakangan
(Latif, 2005).
Meskiupun berbeda dengan pesantren, namun di awal-
awal pertumbuhannya, madrasah masih memegang teguh tradisi
pembelajaran kitab kuning walaupun tidak sekuat di pesantren.
Sebelum diberlakukannya berbagai peraturan oleh Pemerintah,
terutama SKB Tiga Menteri, madrasah-madrasah yang didirkikan oleh
organisasi-organisasi masyarakat seperti Al-Irsyad, Perhimpunan
Umat Islam (PUI), Al Washliyah, Muhammadiyah, NU dan lain-
lain masih mengajarkan kitab-kitab kuning di dalam kurikulumnya.
Kurikulum di madrasah-madrasah ini , baik yang didirikan
oleh organisasi maupun pribadi belum ada keseragaman. Dalam
perbandingan antara bobot mata pelajaran agama dan umum juga
masih berbeda antara satu madrasah dengan madrasah lainnya, ada
yang mencantumkan perbandingan 30:70, 40:60, 50:50, 60:40, dan
70:30
Di awal-awal kehadirannya, madrasah di negara kita sangat
identik dengan kajian ilmu-ilmu agama. sebab nya, dalam dinamika
pendidikan Islam di negara kita , kitab kuning bukan hanya milik
pesantren akan tetapi sudah berkembang di lembaga-lembaga
pendidikan lainnya, khususnya di madrasah.
Pada madrasah-madrasah yang ada di negara kita , selain
mengajarkan ilmu-ilmu ‘aqliyah, lisâniyah, juga memberikan
perhatian yang besar terhadap pengajaran ilmu-ilmu naqliyah, yakni
ilmu-ilmu yang bersumber dari Alquran dan al-Hadis seperti; Tafsîr,
Hadîṡ, Fiqih, Tauhîd, taṣawuf dan sebagainya, yang dikenal sebagai
ilmu yang tertuang dalam kitab-kitab kuning.
Sampai pada tahun 1930, mata pelajaran yang diajarkan di
madrasah-madrasah yaitu semata-mata pelajaran agama, kemudian
sebagian madrasah mulai 1930-an memasukkan mata pelajaran
umum. Kendatipun mata pelajaran umum telah dimasukkan, namun
tekanan madrasah yaitu tetap mata pelajaran agama dengan tujuan
untuk menciptakan manusia-manusia yang ahli dalam ilmu agama
Tradisi pembelajaran kitab kuning belakangan semakin
berkembang di madrasah dengan adanya pengakuan Pemerintah
tentang eksistensi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) sebagai
suatu lembaga pendidikan menengah yang mengutamakan
penguasaan pengetahuan khusus siswa tentang ajaran agama sesuai
dengan PP No. 29 Tahun 1990.
.jpeg)





