Kontroversi Islam awal

 


Dalam pengantarnya, Mun’im Sirry (asal Madura, kini sebagai Dosen 

University of Notre Dame, AS) mengemukakan bahwa buku ini bukan untuk 

merubah keyakinan pembaca, tetapi lebih untuk menstimulasi pembaca ke 

suatu pembacaan yang berbeda, terutama terhadap narasi sejarah Islam yang 

banyak ditulis oleh penulis sejarah Islam mazhab Tradisionalis. Buku ini adalah 

dalam rangka untuk memunculkan suatu analisis baru yang oleh Mun’im Sirry 

disebut sebagai “the right question”. Karya ini bukan ditujukan sebagai suatu 

dogma yang tahan kritik tetapi justru untuk menjadi suatu bahan renungan 

kritis (something to think with). Karya ini ingin menyajikan periode penting dalam 

sejarah Islam pada masa awal kemunculannya. Menurut Mun’im, memangbanyak ditemukan kesulitan bagaimana 

“merekonstruksi Islam murni” pada 

awal kemunculan Islam, disebabkan 

keterbatasan sumber-sumbernya.

Buku ini juga sebagai uji kritis 

terhadap kelompok Islam yang sering 

mengajukan slogan“kembali pada Islam 

murni” sebagaimana pada era salaf al￾salih, yang belakangan dikenal dengan 

istilah Salafiy. Sesama kelompok Islam 

murni ini juga saling berbeda pendapat 

tentang siapa dan batasan historis 

generasi salaf al-salih tersebut, walaupun 

mereka sepakat tentang pentingnya 

mengikuti generasi salaf dimaksud. 

Buku ini mengajukan pertanyaan pokok 

yakni bagaimana bentuk dan watak 

Islam awal (Islamic origins) tersebut?. 

Secara metodologis karya ini juga ingin 

memperdebatkan antara “mazhab” 

keilmuan yang bercorak Tradisionalis 

maupun Revisionis, baik yang bersifat 

moderat maupun radikal dari kedua 

kubu metodologis tersebut.

Buku ini menggambarkan bahwa 

sumber-sumber tradisional muslim 

lebih bersifat mitos-idealistik ketimbang 

“de facto” yang bersifat historis. Narasi 

tentang Islam awal pada kenyataannya 

justru ditulis pada abad ke-8 dan 9 

Masehi. Yang secara hermeneutis sangat 

terkait dengan kondisi faktual dua abad 

tersebut. Menurut Mun’im, berbagai 

narasi tradisional tentang Islam awal itu 

lebih dimaksudkan untuk menvalidasi 

doktrin dan masalah hukum yang 

berkembang pada periode belakangan 

daripada sebagai catatan sejarah dalam 

pengertian modern. Formasi atau 

terbentuknya Islam sebagai agama 

yang kita kenal sekarang ini, sebenarnya 

berproses lebih lambat ketimbang 

yang disajikan dalam sumber-sumber 

tradisional (h. 14-15). Mun’im menulis 

pandangannya yang kontroversial yang 

terkait dengan eksistensi agama-agama 

samawi (Islam-Krisetn-Yahudi) sebagai 

berikut:

Nabi Muhammad tidak sedari awal 

sudah merencanakan mengajarkan 

suatu agama baru yang berbeda dari 

agama-agama monoteis yang sudah 

mapan, seperti Yahudi dan Kristen. 

Kristalisasi Islam sebagai agama 

keyakinan yang distingsif itu baru 

terjadi pada masa pemerintahan 

Umayyah terutama pada periode 

Abd al-Malik ibn Marwan yang 

berkuasa pada 685-705 Masehi. 

Sebelum bertransformasi menjadi 

agama yang kita kenal sekarang, 

Islam sebenarnya tak lebih dari 

ajaran ekumenis yang terbuka dan 

mengayomi berbagai pemeluk agama 

monoteis (h. 15).

Berikut ini penulis rangkum 

intisari dari isi buku kontroversi Islam 

awal ini sebagai berikut: Adapun Bab I 

buku (h.21-76) ini berisi tentang berbagai 

tipologi pendekatan dalam membaca 

sumber-sumber Islam Tradisional 

tentang Islam awal, dimana sumber￾sumber rujukan historis tersebut 

mengandung banyak kontradiksi. 

Bab II (h.77-130) mengupas 

berbagai teori tentang Islam awal, 

baik yang ditulis oleh para penulis 

Tradisionalis, lalu diikuti dengan penulis 

versi mazhab Revisionis. Berbagai

ragam karya kesarjanan modern tentang 

Islam awal umumnya mengkritisi narasi 

mazhab Tradisionalis. Secara umum 

akhirnya kaum Revisionis, terutama 

yang beraliran radikal, mengambil 

sumber-sumber dari luar tradisi Islam. 

Seperti kroik yang ditulis para penulis 

Kristen dan Yahudi yang sezaman 

dengan masa kelahiran Islam. Kaum 

Revisionis radikal ini memakai data 

arkeologis dan numismatik seperti 

prasasti tulisan warisan Islam awal, 

maupun uang koin. Namun muncul 

juga peneliti beraliran jalan tengah yang 

juga banyak diikuti oleh Mun’im Sirry, 

sang penulis buku ini. 

Bab III (h.131-194) mengkaji 

tentang al-Qur’an pada periode 

for matif yakni terkait tentang 

turunnya al-Qur’an sebagai wahyu 

ilahi kepada Nabi Muhammad Saw 

lalu dikodifikasi menjadi mushaf era 

Usman bin Affan. Pada bab ini kajian 

tentang al-Qur’an menjadi kontroversial 

karena menyertakan kajian model John 

Wansbrough yang berpandangan bahwa 

stabilisasi teks al-Qur’an baru terwujud 

pada abad 9 Masehi yakni dua abad 

pasca wafatnya Nabi. Walaupun John 

Wansbrough dikritisi peneliti lainnya 

(bandingkan dengan Prof. Dr. M.M. al￾A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an, dari Wahyu 

sampai Kompilasi, Kajian Perbandingan 

dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian 

Baru, Jakarta: Gema Insani, 2014), 

namun gagasan Wansbrough tersebut 

menginspirasi kajian modern tentang 

al-Qur’an berupa analisis literaris 

terhadap teks al-Qur’an tanpa merujuk 

pada literatur tradisional yang dianggap 

bermasalah. Transformasi al-Qur’an 

dari scriptio defectiva menuju scriptio 

plena berdampak pada pembacaan 

baru tentang al-Qur’an. Di sini juga 

muncul pandangan kontroversial yang 

menyatakan bahwa al-Qur’an bukan 

lahir di Mekah, tetapi di Irak. Situasi 

sosial saat al-Qur’an diturunkan juga 

tidaklah pada masyarakat primitif, 

sebagaimana gambaran umum versi 

mazhab Tradisionalis, tetapi masyarakat 

yang sudah lebih maju, lebih filosofis 

dan sophisticated.

Bab IV (h.194-256) mengandung 

kajian tentang sirah nabawiyah dimana 

dalam bab ini – versi kajian mazhab 

Revisionis - lebih menggambarkan 

bahwa figur Nabi Muhammad 

sebenarnya lebih bercorak humanis￾historis dan jauh dari figur narasi 

teks Tradisionalis yang menokohkan 

Nabi sebagai figur legendaris, 

mitologis dan idealistik yang bercorak 

salvation theory. Yakni tentang sejarah 

keselamatan, bukan tentang sejarah 

yang sesungguhnya terjadi. Bab ini 

juga mengkritisi bahwa Nabi bukanlah 

lahir pada tahun gajah (‘am al-fil), sebab 

menurut kaum Revisionis, peristiwa 

penyerangan tentara Abrahah justru 

terjadi beberapa tahun sebelum Nabi 

lahir. Demikian pula kritik kaum 

Revisionis tentang usia kerasulan Nabi 

di usia 40, itu hanya sebagai idealisasi 

tentang kematangan seseorang, 

sebagaimana anggapan orang Inggris 

“Life begins at 40”.

Adapun Bab V (h.256-312) lebih terkait dengan (futuh atau conquest)

yakni fenomena ekspansi kekuasaan 

Islam. Bagi sarjana Revisionis, Islam 

saat ini bukanlah refleksi otentik dari 

Islam ekumenis era muslim awal, 

tetapi tak lain merupakan “produk 

dari perluasan wilayah kekuasaan” 

atau Islam distingsif. Dalam bab ini 

juga dipaparkan transformasi konsep 

mu’minun yang belakangan berubah 

menjadi muslimun (kata muslim kurang 

dari 100 kali dalam al-Qur’an, sedangkan 

kata mu’min ada ribuan kali). Pemakaian 

kata mu’min lebih inklusif-ekumenis￾open mind, adapun kata muslim lebih 

eksklusif-distingtif-identity. 

 Dalam bab penutup disimpulkan 

bahwa ternyata pemahaman dan format 

kaum muslimin sekarang ini - yang 

lebih eksklusif-distingtif-identity- tak 

lain merupakan hasil “kontsruksi” 

dari penulisan sejarah ala mazhab 

Tradisionalis.

Namun demikian, karya Mun’im 

Sirry ini mendapat kritik tajam dari 

Azam dan Haidar Bagir dari redaktur 

Mizan. Di antara kritik mereka 

adalah bahwa pendekatan sejarah, 

bagaimanapun juga mengandung 

ketidakpastian dalam kesimpulan dan 

temuannya. Sebab pendekatan sejarah 

tersebut bersifat ideografik (memiliki 

partikularitas dan keunikan) serta eimalig 

(sesuatu yang hanya terjadi satu kali dan 

tidak akan terulang kembali). Artinya, 

pendekatan sejarah yang ditulis oleh 

saudara Mun’im Sirry ini juga tetap 

bersifat subjektif, bukan sebuah riset 

yang objektif. Sejarah juga mencakup 

hal yang dikenal dengan istilah verstehen 

(pemahaman sang sejarawan yang 

intuitif, empatik, partisipatoris dan 

metodologis) serta terkait juga dengan 

proses hermeneutics (aspek kultur, tradisi, 

latar belakang sejarah dan lain-lain).

Sebuah peristiwa historis 

tentu tidak dapat dipisahkan dari 

aspek “pembacaan”, “pemahaman” 

dan “penafsiran” dari sejarawan itu 

sendiri yang bermuara pada apa yang 

disebut dengan historical explanation. 

Seperti kata Morto White (1959) 

bahwa “ilmu sejarah hanya menyajikan 

kebenaran yang bersifat relatif, tak ada 

hukum mutlak di dalamnya” (halaman 

pengantar redaksi). Karya ini juga 

dinilai menjebak Mun’im Sirry dalam 

prinsip nomotetik yakni penggunaan 

pendekatan ilmu kealaman (natural 

science) yang positivistik, yang pada 

umumnya melahirkan kesimpulan yang 

generalistik. 

Walaupun disertai kritik, namun 

Azam dan Haidar Bagir juga memuji 

sekaligus mendorong penerbitan karya 

ilmiah ini karena tiga alasan, pertama

bahwa karya ini sebagai respon akademis 

terhadap munculnya kelompok Islam 

puritan-literalis yang mengabaikan 

adanya pluralitas pemahaman dan 

keragaman tafsir keagamaan. Bukankah 

tidak ada yang boleh mengklaim sebagai 

penafsir tunggal agama dalam Islam, 

hal ini tercermin dari munculnya 

berbagai mazhab dalam Islamic studies. 

Kedua, buku ini juga menarasikan 

tentang watak muslim awal yang 

ekumenis-terbuka. Karya ini juga memaparkan pandangan sarjana Barat 

yang ternyata juga tidak seragam dalam 

mengkaji dan menafsirkan sejarah 

Muslim awal yang ekumenis-inklusif 

namun kondisi umat Islam belakangan 

berubah. Pandangan umat Islam era 

belakangan menjadi komunitas beriman 

yang distingsif-eksklusivistik dan 

intoleran dan memiliki prinsip truth 

claim dalam diri dan kelompok. Ketiga 

pandangan sarjana Barat yang dalam 

banyak hal berseberangan dengan imaji 

sosial (al-mikhyal al-jama’i) masyarakat 

muslim, secara umum juga mendapat 

penerimaan (acceptance) sekaligus juga 

kritik balik dari penulis. Hanya saja 

penulis yang mewakili telaah kritis 

dari kubu Revisionis (sejarawan Barat) 

kurang diimbangi dengan penyajian 

kritis dari sarjana muslim kontemporer 

seperti Jawad Ali, dan lain-lain.

Terlepas dari berbagai kontroversi 

di atas, buku hasil riset mendalam ini 

memang mengandung pandangan 

yang provokatif dan insightfull tentang 

sejarah kelahiran Islam (nasy’at al-Islam 

wa taá¹­awwuruh) di mana penulisnya 

memperbandingkan pandangan 

mazhab sejarah Tradisionalis muslim 

dengan kaum Revisionis Barat, dan 

penulis (Mun’im Sirry) berusaha 

mendamaikan secara sintetis sebagai 

mazhab tengah. Karena penulisan buku 

ini masih kekurangan sumber rujukan 

yang reliable “kiranya dapat dimengerti 

jika buku ini akan memunculkan lebih 

banyak pertanyaan daripada jawaban” 

(halaman pedahuluan)