Berdasarkan uraian di atas maka
dapat simpulkan bahwa teks Purwa
Bhumi Kamulan termasuk kelompok
lontar Tattwa. Lontar ini berisi ajaran
tentang penciptaan dunia yang diuraikan
secara mitologis. Seluruh ajarannya
bersifat Siwaistik. Kosmologi Hindu
dalam teks Purwa Bhumi Kamulan
terdiri dari penciptaan (uttpeti) dalam
teks Purwa Bhumi Kamulan yaitu
diuraikan saat Bhatari Uma lahir dari
pergelangan kaki Bhatara Guru. Dari
kekuatan yoga Bhatara dan Bhatari,
lahirlah para Dewata, Panca Rsi, Sapta
Rsi sebagai isi dunia ini. Setelah itu
barulah dunia ini diciptakan.Pemeliharaan (stithi) dalam teks Purwa
Bhumi Kamulan ketika manusia harus
senantiasa harus melakukan pemujaaanpemujaaan kepada Bhatara-Bhatari agar
terjadinya keseimbangan dalam dunia ini
dan peleburan (pralina) dalam teks
Purwa Bhumi Kamulan ketika Selain itu
Bhatari Durga juga memakan manusia
sebagai upah telah menciptakan dunia ini
akan tetapi tidak semua manusia yang
ada di dunia ini yang dimakan oleh
Bhatari Durga. Adapun manusia yang
dimakan dengan enaknya oleh Bhatari
Durga, tidak lain yang dimakan adalah
orang yang lahir pada Wuku Carik, yaitu
orang yang lahir pada Wuku Wayang,
lahir kembar siam (kadana-kadini),
bersaudara lima, tunas tunggul (tunggak
wareng), unting-unting.
Agama merupakan sebuah
keyakinan dasar yang dimiliki oleh
setiap umat manusia yang memeluknya.
Setiap agama memiliki kitab suci yang
dipakai sebagai dasar yang kuat dalam
pelaksanaan agamanya, sehingga dengan
demikian setiap orang dapat
melaksanakan sesuatu yang dianggap
baik oleh sebuah agama. Agama Hindu
memiliki kitab suci yang disebut dengan
Weda yang dapat dijadikan sebagai
pedoman dalam kehidupan beragama.
Sebagai kitab suci, Weda adalah
sumber ajaran agama Hindu sebab dari
Wedalah mengalir ajaran yang
merupakan kebenaran agama Hindu.
Ajaran Weda dikutip kembali dan
memberikan vitalitas terhadap kitabkitab susastra Hindu pada masa
berikutnya. Dari kitab Weda (Sruti)
mengalirlah ajarannya dan
dikembangkan dalam kitab-kitab Smrti,
Ithiasa, Purana, Tantra, Darsana, dan
Tatwa-tattwa yang kita warisi di
Indonesia
Selain bersumber pada kitabkitab di atas, ajaran agama Hindu juga
banyak terkandung atau terdapat di
dalam sebuah karya sastra. Di Bali,
banyak terdapat sastra-sastra agama
yang berupa lontar-lontar berbahasa
Sanskerta dan Jawa Kuna yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Bali dan
bahasa Indonesia. Terjemahan ini
penting karena untuk menjembatani
pembaca yang kurang mampu
memahami bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuna. Aktualisasi hormatnya umat
Hindu di Bali dapat dilihat pada tradisi
Nyastra. Istilah anak nyastra “orang
berilmu” dalam masyarakat Bali,
walaupun dalam kenyataannya seorang
belum tentu seluas itu penguasaan
pengetahuannya. Namun, karena ia
senang membaca dan menulis dan dapat
berbuat kebaikan/kebajikan terhadap
sesama, biasanya orang itu mendapat
tempat terhormat di kalangan
masyarakat Bali (Bagus, 1980:8).
Sastra Jawa Kuna merupakan
salah satu warisan budaya bangsa
Indonesia yang mempunyai nilai sangat
tinggi. Sejarah telah mencatat bahwa
Sastra Jawa Kuna mencapai puncak
perkembangannya yang sangat subur
atara abad ke-9 hingga abad ke-16
dipusat-pusat kerajaan Hindu, seperti
Kerajaan Kediri, Singasari, dan
Majapahit
Sesuai dengan sistem kekuasaan pada
waktu itu hasil Sastra Jawa Kuna
umumnya dijiwai oleh agama Hindu.
Hasil karya sastra ini tumbuh subur
sehingga banyak karya sastra yang lahir,
seperti kakawin Bharatayudda, Arjuna
Wiwaha, Gatotkacasraya,
Siwaratrikalpa, dan sebagainya
Oleh karena itu, kepustakaan
Bali sangat kaya dan beraneka ragam
jenisnya. Keberadaan agama Hindu
banyak tersimpan pada kepustakaankepustakaan ini , baik mengenai
Tattwa, Susila, dan Acara. Naskah
keagamaan yang teksnya mengandung
ajaran ketuhanan adalah teks Tattwa.
Dari sekian banyak teks Tattwa yang
ada, ada yang mengandung pengetahuan
Kosmologi. Kosmologi merupakan
pengetahuan mengenai proses
penciptaan alam semesta, menurut
Hindu proses penciptaan alam semesta
bertumpu pada Tuhan. Tuhan yang
dijadikan sebagai penyebab adanya alam
semesta ini.
Penelitian mengenai konsep
Kosmologi merupakan sebuah penelitian
yang sangat menarik untuk dilakukan,
hal ini dikarenakan begitu banyak para
ilmuwan barat yang membahas
mengenai proses penciptaan alam
semesta, proses penciptaan alam semesta
ini di Barat di kenal dengan istilah
Kosmologi sedangkan di timur dikenal
dengan istilah Viratvidya. Teori barat
dan teori timur sudah pasti memiliki
sebuah perbedaan yang sangat mendasar
mengenai proses penciptaan alam
semesta dan begitu banyak teori barat
yang telah digugurkan mengenai proses
penciptaan alam semesta ini.
Menurut pandangan Hawking
(2004: 34) dinyatakan bahwa di era
modern ini banyak teori yang muncul
mengenai proses penciptaan alam
semesta ini, tetapi walupun dengan
peralatan yang begitu canggih yang
dimiliki oleh para ilmuwan masalah
penciptaan alam semesta ini tidak ada
habisnya dibahas, bahkan semakin
banyak teori baru yang muncul yang
mampu menggugurkan teori
sebelumnya. Hal ini disebabkan karena
para ilmuwan barat menyimpulkan
segala yang ada di dunia ini secara
empirisme. Empirisme yang dimaksud
adalah berkutat pada data-data yang ada
disebuah laboratorium sedangkan para
agamawan menyimpulkan tentang
proses penciptaan alam semesta ini
menggunakan spiritual dan metafisik.
Pengetahuan tentang penciptaan
alam semesta atau Kosmologi banyak
terdapat dalam karya sastra Jawa Kuna
yang sangat penting dikaji agar umat
Hindu mengetahui secara mendalam
mengenai Kosmologi yang terdapat
dalam karya sastra Jawa Kuna. Salah
satu karya sastra Jawa Kuna yang
mengandung pengetahuan Kosmologi
adalah Purwa Bhumi Kamulan.
Purwa Bhumi Kamulan termasuk
kelompok lontar Tattwa. Lontar ini
berisi ajaran tentang penciptan dunia
yang diuraikan secara mitologis. Seluruh
ajarannya bersifat siwaistik. Proses
penciptaan yang diuraikan pada Purwa
Bhumi Kamulan dimulai dari Bhatari
Uma lahir dari pergelangan kaki Bhatara Guru. Dari kekuatan yoga Bhatara dan
Bhatari, lahirlah para Dewata, Panca
Rsi, Sapta Rsi sebagai isi dunia ini.
Setelah itu barulah dunia ini diciptakan.
II.
2.1 Struktur Penciptaan Dalam
Teks Dalam Teks Purwa Bhumi
Kamulan
Donder (2007:110) mengatakan
ajaran Hindu selalu melihat sesuatu
dimulai dari Tuhan dan berhenti atau
berakhir pada Tuhan, karena Tuhan dan
ciptaannya juga berbentuk melingkar
seperti lingkaran cincin yang tidak dapat
diketahui ujung dan pangkalnya. Teks
Purwa Bhumi Kawulan dengan sangat
jelas dan tegas mengatakan bahwa
Bhatara dan Bhatari adalah asal mula
segala yang ada, sebagaimana sloka
berikut :
Om purwa bhumi kamulan, paduka
Bhatari Uma; mijil saking limo-limo
nira Bhatara guru. Mulaning hana
Bhatari minaka somah Bhatara ;
mayoga sira Bhatari. Mijil ta sira
dewata, Panca Resi, Sapta Resi;
Kosika, sang Garga, Maitri,
Kurusya, sang Pratanjala.
(Purwa Bumi Kamulan ##)
Terjemahan:
Om, Purwa Bhumi Kamulan (awal
mula dunia). Yang Mulia Bhatari
Uma, lahir dari pergelangan kaki
Bhatara Guru. Mula-mula yang ada
adalah Bhatari, sebagai permaisuri
Bhatara. Beryogalah Bhatara dan
beryoga pula Bhatari. Lahirlah para
dewata, panca resi, sapta resi;
Kosika, Sang Garga, Maitri,
Kurusya, Sang Pratanjala
ingutus ikang Bhatara, kalih lan
sira Bhatari. Kinon sira (ng) gawa
loka, neher sira sinanmata, kang
wikan patengranira, sina pa de
Bhatara. Kosika mlesat mangetan,
matemahan dadi dengen, sang
Garga mlesat mangidul,
matemahan dadi sang mong. Sang
Maitri mlesat mangulon,
matemahan dadi ula, Kurusya
mlesat mangalor, matemahan dadi
bwaya. Pratanjala mlesat (ring)
madhya, matemahan hyang kurma
raja, ingutus sang Pratanjala,
tumurun manggawe loka.
Lumampah nda tan parowang,
ingutus Bhatari Uma; dening
paduka Bhatari, tumurun sang
Pratanjala. Neher amit anganjali,
Bhatara lawan Bhatari, angadeg
sireng pantara, awang-awang
uwung-uwung. Tan hananing sarwa
katon, tan hana ning sarwa umung.
Ahening cipta Bhatari, alekas
anggawe loka, maka daging ing
bhuwana, kalih lan sang Pratanjala.
(Purwa Bumi Kamulan ##)
Terjemahan:
Kemudian Bhatara dan Bhatari
disuruh membuat dunia, kemudian
ia dinobatkan dan namanya sangat
terkenal, dan kemudian di kutuk
oleh Bhatara. Kosika pergi ke timur,
berubah menjadi dengen. Sang
Garga pergi ke selatan , berubah
menjadi harimau. Sang Maitri pergi
ke barat berubah menjadi ular.
Kurusyapergi ke utara berubah
menjadi buaya. Pratanjala pergi ke
tengah , berubah menjadi kura-kura
besar. Sang Pratanjala diutus turun
membuat dunia. Berjalan dengan
tanpa teman, (karena) diutus oleh
Bhatari (Uma), maka turunlah Sang
Pratanjala. Lalu menyembah dan
mohon diri (ke hadapan) Bhatara
dan Bhatari. Berdirilah ia di antara
langit yang kosong. Tidak ada
sesuatu yang tampak, tidak ada
sesuatu yang bersuara. Maka pikiran
Bhatari menjadi hening, lalu
mengeluarkan mentra-mentra untuk
menciptakan dunia, beserta isinya dunia, bersama dengan sang
Pratanjala.
Dari sloka di atas terlihat jelas
bahwa Bhatari merupakan asal mula dari
segala sesuatu yang ada di dunia ini baik
mahluk yang bernyawa maupun tidak
bernyawa. Hal ini dapat dilihat ketika
yang pertama kali ada di dunia ini adalah
Sang Hyang Bhatara Guru dan Sang
Bhatari Uma, lalu dengan Sang Bhatara
dan Bhatari beryoga dan lahirlah Para
Dewa, Panca Rsi Sapta Resi, Sang
Kosika, Sang Garga dan Sang Pratanjala.
Lalu kemudian sang Bhatara dan Bhatari
membuat isi dunia ini dengan
memerintahkan Sang Pratanjala. Sang
Pratanjala dengan kekuatannya lalu
menyembah dan mohon diri kehadapan
Bhatara dan Bhatari. Berdirilah Sang
Pratanjala diantara langit yang kosong,
tidak ada sesuatu yang tampak, tidak ada
sesuatu yang bersuara. Maka pikiran
Bhatari menjadi hening dan
mengeluarkan mantra-mantra untuk
menciptakan dunia beserta isi dunia ini.
Setelah dunia ini tercipta lalu Bhatara
dan Bhatari menciptakan isi dunia ini
seperti Matahari, Bulan, Bintang seperti
yang diuraikan dalam teks berikut:
Yoganira sanghyang Dharma mijil
tekang maha padma, maka sesek ing
bhuwana. Mijil ta radtya wulan,
maka suluh ing bhuwana; mijil
lintang taranggana, maka tulis ing
bhuwana. Mijil panca maha Bhuta,
maka urip ing bhuwana; mijil ta
catur pramana apah, teja, bayu
akasa. Urip ing anda bhuwana
sampun apasek; mangke punang
jagat traya apan sampun sirayoga.
(Purwa Bumi Kamulan ##)
Terjemahan:
Dari yoga Sanghyang Dharma,
keluarlah maha-padma, sebagai
pelengkap dunia. Kemudian
keluarlah matahari dan bulan
sebagai penerang dunia; keluar
gugusan bintang-bintang, sebagai
hiasan pada dunia. (Kemudian)
keluar Panca MahaBhuta, sebagai
jiwanya dunia; (kemudian) keluar
catur pramana (antara lain) apah,
teja, bayu dan akasa. (Sehingga)
jiwa anda bhuwana menjadi lengkap
dan kuat; dan sekarang ketiga dunia
(menjadi sempurna), oleh yoga
beliau.
Berdasarkan uraian teks ini ,
setelah Bhatara dan Bhatari menciptakan
dunia ini, lalu Bhatara dan Bhatari mulai
menghiasi dunia ini dengan melakukan
Yoga Semadi. Dan Lahirlah Sang Hyang
Darma, dengan kekuatan Sakti Sang
Hyang Darma maka terciptanya lah
Bintang-bintang, matahari, bulan
sebagai penerang di dunia ini, keluarlah
Panca Maha Bhuta sebagai jiwa dunia
ini, dan yang terahir keluarlah catur
pramana sebagai pelengkap dan tenaga
yang ada di dunia ini sehingga
lengkaplah isi dunia ini.
Berdasarkan pencitaaan (uttpeti)
dalam teks Purwa Bhumi Kamulan
dijelaskan yang pertama ada didunia ini
adalah Bhatara dan Bhatari, lalu Bhatara
dan Bhatari menciptakan Para Dewa -
Dewi, Sapta Rsi, setelah itu Bhatara dan
Bhatari dengan kekuatan saktinya
menciptakan Alam Semesta ini berserta
isinya dimana yang pertama kali
diciptakan didunia ini adalah, matahari,
bulan, bintang kemudian barulah
Bhatara dan Bhatari menciptakan
tumbuh-tumbuhan ke dunia ini
dilanjutkan menciptakan binatang dan
manusia di dunia ini.
2.2 Struktur Pemeliharaan Dalam
Teks Dalam Teks Purwa Bhumi
Kamulan
Mahluk-mahluk hidup yang ada di
alam semesta ini terutama manusia
selalu menginginkan suatu keadaan
hidup yang sejahtera (makmur, sehat dan
damai). Dimana kesejahteraan hidup
merupakan dambaan bagi semua orang.
Dalam hal ini Tuhan menciptakan
manusia juga untuk memelihara isi dari
alam semesta ini. Karena dengan
manusia memelihara alam semesta ini maka kesejahteraan hidup manusia akan
bisa tercapai.
Selain untuk memelihara dunia ini,
Tuhan juga menciptakan manusia
dengan tugas masing-masing agar
kesejahteraan bisa tercapai. Menurut
Untara (2019:54), seorang dari
Brahmana warna mengembangkan
spritualitas, membangun moral dan
mental semua orang. Demikian pula
ksatria warna mengusahakan keamanan,
ketertiban, keadilan dan kebenaran untuk
semua orang. Waisya warna
mengusahakan keuntungan financial,
baik untuk dirinya maupun untuk orang
lain, dan sudra warna pun menyediakan
tenaganya untuk menyukseskan
swadarma semua pihak. Tentang
kesejahteraan itu, di dalam kitab
Yajuveda XV.59 disebutkan, “berbuatlah
untuk kesejahteraan bersama dan
singkirkan kesusahan mereka” Berkaitan
dengan kesejahteraan, Bhagavadgȋtā
menyatakan sebagai berikut:
annād bhavanti bhuūtāni
parjayād anna sambhavah,
yajnad bhavati parjanyo yadnah
karma samudbhavah.
(Bhagavadgȋtā III.14)
Terjemahan:
“Adanya mahluk hidup karena
makanan, adanya makanan karena
hujan, adanya hujan karena yadnya,
adanya yadnya karena karma
Bunyi sloka ini juga dapat di
tafsirkan bahwa manusia dapat hidup di
alam semesta ini karena dengan adanya
makanan. Adanya makanan karena alam
semesta telah menyediakannya berupa
tumbuh-tumbuhan dan binatang yang
hidup dengan meminum air yang berasal
dari hujan. Dengan adanya alam semesta
ini, manusia, binatang dan tumbuhtumbuhan sangat saling membutuhkan
dan wajib harus melaksanakan
pengorbanan (yajǹa) antar sesama
mahluk hidup. Karena dengan mahluk
hidup melaksanakan yajǹa di alam
semesta ini maka kesejahteraan di alam
semesta ini akan terjadi. Kesejahteraan
itu dapat di capai juga dengan mahluk
hidup yang ada di alam semesta ini selalu
berbuat kebaikan dan mengupayakan
kedamaian antar sesamanya dan tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang
menyimpang dari ajaran dharma.
Selain itu kesejahteraan itu dapat
terlaksana dengan adanya pelestarian
lingkungan hidup. Dalam usaha
melestarikan lingkungan adanya konsep
Palemahan yaitu hubungan manusia
dengan lingkungan (macrocosmos),
dimana manusia dengan konsep ini
menjaga, merawat binatang, tumbuhtumbuhan yang ada di alam semesta ini
agar keberadaannya tidak punah. Selain
itu, dengan tidak membuang sampah
sembarangan, tidak menebang pohon
sembarang, tidak melakukan reklamasi
pantai juga termasuk salah salu konsep
palemahan yang bertujuan untuk
pelestarian lingkungan.
Teks Purwa Bumi Kamulan
yang merupakan salah satu lontar yang
membahas penciptaaan alam semesta ini
juga membahas pemeliharaan yang ada
di alam semesta ini, sebagaimana yang
dijelaskan dalam sloka berikut:
Mangkin krodha Sanghyang Kala,
tumurun sira sakareng, angadeg ring
sunyantara, anggawe sanggah pamujan.
Neher ta ginawe nira, Brahma, Wisnu,
Maheswara, tumurun ring madhyapada,
arddha moho’nggawe manusa. Hyang
Iswara dadi Resi, Hyang Brahma dadi
Brahmana, Hyang Wisnu dadi
Bhujangga, ya tha sira mangkengutus,
dening pada nira Sanghyang,
ngaturaken tadah saji, sari genep saji
nira, sampun ta mangke winastwan.
Dening pada nira Sanghyang,
Brahmana, Bhujangga, Resi, Saiwa
Kalawan Saugata, anglukata dasa mala.
`Anadah Bhatara Kala, kalih lan Bhatari
Durga, tok sekul Kalawan ulan, sarwa
genep kang tadahan. Tan ilang
takonakena.Terjemahan:
Sekarang Sanghyang Kala marah,
seketika ia turun, berdiri diantara dunia
yang sepi, membuat sanggar pemujaan.
Lalu diciptakan Brahma, Wisnu dan
Maheswara, kemudian turun kedunia,
berkehendak menciptakan manusia.
Hyang Iswara menjadi Resi. Hyang
Brahma menjadi Brahmana. Hyang
Wisnu menjadi Bhujangga. MereKalah
kemudian yang diutus oleh Tuhan
(Sanghyang), (agar) menghaturkan
sajen, segala jenis sajen yang
lengkap. Sekarang sudah ditegaskan;
oleh Sanghyang, (bahwa) Brahmana,
Bhujangga, Resi, Siwa dan Sogata,
(boleh) meruwat sepuluh jenis
kekotoran.
Berdasarkan uraian dari teks ini
dijelaskan Sang Hyang Kala marah dan
turun ke dunia menciptakan Brahma,
Wisnu dan Maheswara kemudian Sang
Hyang Kala meminta agar manusia yang
ada di dunia ini melakukan pemujaan
dan menghaturkan sesajen, sebagaimana
yang dijelaskan dalam teks berikut:
Datenge Bhatara Kala, kalih lan
Bhatari Durga, angadeg ing puspa-kaki,
ingayap ing wado Kala, garjita tumon
ing (ta) tadah (an), tan ilang takonakena.
Ingundang ing japa mantra, tinabuhan
genta-genti, unung kang genta oragan,
sangka umung tan pantara. Tutug teka
ring akasa, siniratan sekar ura, candana
la (wa)n wija kuning, damar murup
lawan dhupa. Kukus sakeng dhupa
panggi, tutug teka ring akasa, mrebuk
arum kang bhuwana, kongas tekeng
windu-pada.
(Purwa Bumi Kamulan ##)
Terjemahan:
Bersantaplah Bhatara Kala bersama
dengan Bhatari Durga, tuak, nasi,
dan ikan, berjenis-jenis hidangan
lengkap. Dan banyak lagi namanya
yang lain. Kemudian Bhatara Kala
datang, bersama dengan Bhatari
Durga, berdiri diatas tangkai bunga,
dipuja oleh para Kala yang
merupakan hamba sahayanya,
sangat senang hatinya, melihat
hidangan. Diundang dengan
japamantra, diiringi suara genta
yang tiada putus-putusnya, suara
genta oragan riuh, suara sangka riuh
tidak henti-hentinya. Tembus
sampai ke angkasa, ditaburi dengan
bunga-bungaan, cendana dan bija
berwarna kuning, pedupaan dan
dupa menyala. Asap dupa panggil
tembus sampai ke angkasa, bumi
jadi harum semerbak bahkan sampai
ke Windu Pada.
Mulaning hana amuja, kang
manuseng madhya-pada, tadahan
Bhatara Kala, kalih lan Bhatari Durga.
Neher sira siramanya : manusa ring
madhya-pada, Purnama Kalawan Tilem,
tan kasapa de Hyang Kala, tan kasapa
de Hyang Durga, Tan katadah de Hyang
Kala, lan katadah de Hyang Durga, pan
sampun sinuddha-mala, deni wastu nira
Sanghyang.
(Purwa Bumi Kamulan ##)
Terjemahan:
(Itulah) awal mulanya adanya
manusia dibumi memuja,
mempersembahkan sesajen kepada
Bhatara Kala, dan kepada Bhatari
Durga.Lalu ia berjanji, bahwa setiap
Purnama dan Tilem manusia di bumi
tidak dikutuk olehBhatara Kala dan tidak
pula dikutuk oleh Bhatari Durga. Tidak
disantap oleh HyangKala, dan tidak pula
dimakan oleh Hyang Durga, sebab sudah
disucikan kekotorannya oleh berkat
Sanghyang (Tuhan).
Setelah manusia membuat pemujaan
dan menghaturkan sesajen berupa tuak,
nasi, ikan dan berjenis-jenis hidangan
lengkap. Lalu Bhatari Kala dengan
Bhatari Durga berdiri diatas tangkai
bunga dan dipuja oleh para bhaktanya.
Bhatara Kala sangat senang dan
menyuruh manusia agar setiap purnama
tilem untuk menghaturkan sesajen
kepada Bhatara Kala. Jika manusia tidak
menghaturkan sesajen makan manusia
akan dimakan oleh Sang Hyang Durga.
Berdasarkan konsep pemeliharaan
dalam teks Puwa Bumi Kamulan, dalam pemeliharaan didunia ini manusia harus
senantiasa harus melakukan pemujaaanpemujaaan kepada Bhatara-Bhatari agar
terjadinya keseimbangan dalam dunia
ini.
Dalam ajaran agama Hindu, tentang
keseimbangan itu dapat ditemukan
dalam ajaran Tri Hita Karana. Jaman
dalam (Nardayana, 2009:188)
mengemukakan, istilah Tri Hita Karana
berasal dari bahasa sanskerta, yaitu dari
kata Tri, Hita dan Karana. Tri berarti
tiga; Hita berarti baik, senang, gembira,
lestari; Karana berarti penyebab atau
sumbernya sebab. Dengan demikian, Tri
Hita Karana berarti tiga buah unsur yang
merupakan sumbernya sebab yang
memungkinkan timbulnya kebaikan.
Ajaran Tri Hita Karana ini, juga tertuang
dalam kekawin Ramayana yaitu
bagaimana Sang Dasaratha berbuat kasih
kepada sesama mahluk ciptaan Tuhan,
membuat pemujaan terhadap leluhur,
dan pemujaan terhadap dewa-dewa.
Prilaku hubungan yang selaras, serasi
dan seimbang manusia terhadap
sesamanya terhadap Tuhannya, terhadap
alam semesta beserta isinya akan
menjadikan manusia utama. Dengan
demikian Tri Hita Karana sebagai
perwujudan kesejahteraan dan
Kebahagiaan, dimana ketiga unsur yaitu
Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
(super natural power), manusia
(microcosmos), dan alam
semesta/bhuana (macrocosmos) harus
saling menjaga.
Hal ini telah menjadi pola
dasar tatanan kehidupan umat Hindu
terutama di Bali, yang dijadikan budaya
perilaku sehari-hari, sehingga muncul
konsep Tri Hita Karana yang
mengajarkan pola hubungan yang
harmoni (selaras, serasi dan seimbang)
diantara ketiga sumber kesejahteraan
dan kebahagiaan ini , yang terdiri
dari unsur: (1) Parahyangan, harmonis
antara manusia dengan Sang Pencipta
(Brahman); (2) Pawongan, harmonis
antara manusia dengan sesama manusia
(microcosmos); (3) Palemahan,
harmonis antara manusia dengan bhuana
agung (macrocosmos). Berkaitan dengan
keseimbangan, Bhagavadgȋtā
menyatakan sebagai berikut:
saha yajnāh prajāh srstvā purovāca
prajāpatih,
anema prasavisyadhvam esa vo stv
ista kāma dhuk.
(Bhagavadgȋtā III.10)
Terjemahan:
“Sesungguhnya sejak dahulu
dikatakan, Tuhan setelah menciptakan
manusia melalui yajǹa., berkata: dengan
(cara) ini engkau akan berkembang,
sebagaimana sapi perah yang memenuhi
keinginanmu (sendiri)” (Pudja,
1999:84).
Sapi perahan yang dimaksud di sini
adalah yang bisa memenuhi segala
keinginan yaitu tidak lain adalah bumi,
ibu pertiwi ini. Bunyi sloka ini
memberikan penegasan bahwa cinta
kasih seorang ibu terhadap anakanaknya yang tiada terputus ibarat cinta
kasih Ibu Pertivi (alam semesta) yang
memberikan makanan yang tiada hentihentinya kepada semua mahluk hidup
sebagai anak-anaknya sehingga terjadi
keseimbangan hidup di antara semua
mahluk.
Manusia hidup di alam semesta ini,
manusia harus melaksanakan yajǹa.
Karena manusia diciptakan oleh Tuhan
Yang Maha Esa melalui yajǹa. Sebagai
timbal baliknya, manusia harus
melaksanakan yajǹa. Karena dengan
adanya yajǹa di alam semesta ini maka
keseimbangan hidup di dunia ini akan
terjadi.
2.3 Struktur Peleburan Dalam Teks
Dalam Teks Purwa Bhumi
Kamulan
Mahluk hidup yaitu manusia
menjadikan dirinya layak untuk
mendapatkan keabadian dengan
melewati serangkaian kelahiran dan kematian berulang kali. Perubahan
badan jasmani bukan berarti terjadinya
perubahan pada sang roh. Tak satu pun
penjelmaan yang tetap tinggal abadi,
sebagaimana yang dikatakan sloka
berikut:
dehino smim yathā dehe
kaumāram yauvanam jara
tathā dehāntara praptir dhȋras
tatra na muhyati
(Bhagavadgȋtā II.13)
Terjemahan:
“Sebagaimana halnya dengan sang
roh ada pada masa kecil, masa muda dan
masa tua demikian juga dengan
diperolehnya badan baru, orang
bijaksana tak tergoyahkan” (Pudja,
1999:39).
Dari sloka ini dijelaskan
bahwa setiap mahluk hidup memiliki roh
individual, mahluk hidup mengganti
badannya setiap saat. Kadang-kadang ia
berwujud sebagai anak-anak, kadangkadang sebagai anak remaja, dan kadang
sebagai orang yang tua. Namun roh yang
sama masih ada dan tidak mengalami
perubahan apapun. Akhirnya roh
individual ini meninggalkan
badannya pada waktu meninggal dan
berpindah ke badan lain. Oleh karena
sang roh pasti akan mendapatkan badan
lain dalam penjelmaannya yang akan
datang.
Dalam kematian mahluk hidup,
tidak ada yang benar-benar musnah.
Semuanya adalah perubahan, seperti
aliran air yang berganti secara terusmenerus. Atman sebagai Roh Abadi
yang berdiam di dalam diri setiap
mahluk, tidak mengalami perubahan.
Evolusi roh hanyalah sebuah proses
lanjutan sebagai jalan pembebasan roh
dari belenggu ketidaksadarannya (māyā
dan avidyā). Dengan perjalanan secara
terus-menerus (reinkarnasi), diharapkan
roh akan semakin sadar akan hakikat
dirinya yang sejati sehingga bersatu
kembali kepada Tuhan (Brahman Ătman
Aikyam).
Teks Purwa Bumi Kamulan yang
merupakan salah satu lontar yang
membahas penciptaaan alam semesta ini
juga membahas pemeliharaan dan
peleburan yang ada di alam semesta ini,
sebagaimana yang dijelaskan dalam
sloka berikut mengenai halnya
peleburan:
Dinelo Bhatari Uma, satampakira
Bhatari: hana putih, hana abang, hana
kuning, hana ireng. Kaget Bhatari Sri
Uma, agila tuwon ing awak, neher masih
nadah janma, mangerak masinghanada; waja masalit masiyung, tutukilwir
jurang parah ro; netra kadi Surya
kembar, irung kadi sumur bandung;
kuping Iwir leser ing pa
(ha;roma…agimbal;awak awegah
aluhur, luhur ira tan pantara; tutug ing
anda bhuwana, tutug madhya ning
akasa; sira ta Bhatari Durga, aranira
duk samana.
(Purwa Bumi Kamulan ##)
Terjemahan:
Dipandanglah Bhatari Uma, setiap
yang disentuh oleh Bhatari, ada putih,
ada merah, ada kuning dan ada yang
hitam. Tiba-tiba Bhatari Sri Uma
menjadi murka melihat wujud dirinya,
lalu tumbuh dorongan untuk memakan
manusia, lalu berteriak bagaikan singa
meraung. Gigi dan taringnya panjang.
Mulutnya bagaikan jurang terbelah dua.
Mata bagaikan matahari kembar. Hidung
bagaikan sumur kembar. Telinga
bagaikan paha berdiri tegak. Rambut
digulung, badannya tinggi besar,
tingginya tidak terkira, dari anda
bhuwana (Bulatan bumi) sampai ke
pertengahan langit, beliaulah Bhatari
Durga, namanya saat itu.
Dineleng Bhatari Durga, mentas ta
saking samudra, sareng lan Bhatara
Kala, apa ta jalukanira? Abhasma sira
rudhira, kapala ganitri nira, usus ta
sandangan-ira, asampet sira bang ireng.
Ingemban ingiring-iring, dening wado
Kala nira, tan sah ring pasanak ira,
angher po sira ring setra. Setra wates
pabajangan, kepuh randu kurambiyan,
ingayap ing wado Kala, dremba moha
nadah janma. Ulih ing anggawe loka, tinadah rahina wengi, binuru inguyang
uyang, dening wado Kala nira.
(Purwa Bumi Kamulan ##)
Terjemahan:
Dipandangnya Bhatari Durga, lewat
samudra, bersama dengan Bhatara Kala.
Ia menggunakan darah sebagai basma.
Ganitrinya tengkorak manusia. Usus
selempangnya. Berselendang berwarna
merah dan hitam. Diasuh dan diantar
oleh para hambanya (yang terdiri dari)
para Kala, tidak jauh dari sanak
saudaranya, lalu ia menuju kuburan.Di
perbatasan kuburan anak-anak, (pada)
pohon kepuh dan randu yang rindang.
Dipuja oleh para Kala yang menjadi
hambanya, dengan seperti orang mabuk
memakan manusia. Upah menciptakan
dunia, dimakan., siang dan malam,
dikejar dan diperangkap, oleh para Kala
yang merupakan para hambanya.
Tinutut sa-paranira, tinadah rahina
wengi, kuneng kang tinadah ira, enaknya
anadah jalma. Tan salah tinadah-ira,
janna wetu wuku carik, wuku wayang
wuku nira, kadana (n) lawan kadini.
Pandawa lawan metuwang, tunggak
wareng, unting-unting, uduh-uduh rare
bajang, tinadah rahina wengi.
(Purwa Bumi Kamulan ##)
Terjemahan:
Kemana pergi dikejar, dimakan siang
dan malam. Adapun manusia yang
dimakan dengan enaknya. Tidak lain
yang dimakan adalah orang yang
lahir pada Wuku Carik, yaitu orang yang
lahir pada Wuku Wayang, lahir kembar
siam (kadana-kadini), bersaudara lima,
tunas tunggul (tunggak wareng), untingunting (?), (itulah yang) dimakan siang
dan malam.
Berdasarkan uraian dari teks ini
dijelaskan bahwa ketika apapun yang
disentuh oleh Bhatari Uma akan berubah
warna manjadi merah, putih, dan hitam.
Tiba-tiba Bhatari Uma menjadi marah
dan murka melihat wujud dirinya, lalu
berteriak bagaikan singa meraung, gigi
dan taringnya panjang, mulutnya
bagaikan jurang terbelah dua. Matanya
bagaikan matahari kembar, Hidungnya
bagaikan sumur kembar, Beliaulah
Bhatari Durga, namanya saat itu.
Semua abdi Bhatara Durga dan abdi
Bhatara kala melakukan yoga, bulubulunya dijadikan sumber kejahatan,
berwujud laki maupun perempuan.
Dipandangnya Bhatari Durga, lewat
samudra, bersama dengan Bhatara Kala.
Lalu Bhatari Durga menggunakan darah
sebagai basma. Ganitrinya tengkorak
manusia. Usus selempangnya.
Berselendang berwarna merah dan
hitam. Wujud Bhatari Durga pada saat
itu sangat menyeramkan karena Bhatari
Durga Dipuja oleh para Kala yang
menjadi hambanya. Selain itu Bhatari
Durga juga memakan manusia sebagai
upah telah menciptakan dunia ini akan
tetapi tidak semua manusia yang ada di
dunia ini yang dimakan oleh Bhatari
Durga. Adapun manusia yang dimakan
dengan enaknya oleh Bhatari Durga,
tidak lain yang dimakan adalah orang
yang lahir pada Wuku Carik, yaitu orang
yang lahir pada Wuku Wayang, lahir
kembar siam (kadana-kadini),
bersaudara lima, tunas tunggul (tunggak
wareng), unting-unting.
Pengetahuan tentang penciptaan alam semesta atau Kosmologi banyak terdapat
dalam karya sastra Jawa Kuna yang sangat penting dikaji agar umat Hindu mengetahui
secara mendalam mengenai Kosmologi yang terdapat dalam karya sastra Jawa Kuna.
Salah satu karya sastra Jawa Kuna yang mengandung pengetahuan Kosmologi adalah
Purwa Bhumi Kamulan. Purwa Bhumi Kamulan termasuk kelompok lontar Tattwa.
Lontar ini berisi ajaran tentang penciptan dunia yang diuraikan secara mitologis. Seluruh
ajarannya bersifat siwaistik. Proses penciptaan yang diuraikan pada Purwa Bhumi
Kamulan dimulai dari Bhatari Uma lahir dari pergelangan kaki Bhatara Guru. Dari
kekuatan yoga Bhatara dan Bhatari, lahirlah para Dewata, Panca Rsi, Sapta Rsi sebagai
isi dunia ini. Setelah itu barulah dunia ini diciptakan. Pemeliharaan (stithi) dalam teks
Purwa Bhumi Kamulan ketika manusia harus senantiasa harus melakukan pemujaaanpemujaaan kepada Bhatara-Bhatari agar terjadinya keseimbangan dalam dunia ini dan
peleburan (pralina) dalam teks Purwa Bhumi Kamulan ketika Selain itu Bhatari Durga
juga memakan manusia sebagai upah telah menciptakan dunia ini akan tetapi tidak semua
manusia yang ada di dunia ini yang dimakan oleh Bhatari Durga. Adapun manusia yang
dimakan dengan enaknya oleh Bhatari Durga, tidak lain yang dimakan adalah orang yang
lahir pada Wuku Carik, yaitu orang yang lahir pada Wuku Wayang, lahir kembar siam
(kadana-kadini), bersaudara lima, tunas tunggul (tunggak wareng), unting-unting.
.jpeg)
.jpeg)





