Kosmologi Hindu 3

 



Alam semesta merupakan tempat yang sangat luas dan tak seorang pun mengetahui 

dimana ujungnya dan bagaimana rupanya yang sesungguhnya. Terdapat bergitu banyak galaksi 

yang bertaburan di alam semesta. Menjadi sebuah rahasia umum ketika banyak manusia begitu

kagum dengan alam semesta yang maha luas ini meski tak sekalipun pernah melihat isi 

keseluruhannya. Hanya sedikit bagian saja yang diketahui manusia sudah membuatnya begitu 

takjub dan kagum. Taburan berjuta hingga bermiliar bintang pada malam hari menambah 

kekaguman manusia dan menggugah kuriositas-nya untuk dapat menjamah dan mengetahui 

lebih dalam isi dari dalam semesta. Hal serupa juga disampaikan oleh (Sagan, 1997) sebagai 

berikut:

Dari suatu tempat yang menguntungkan di ruang antar galaksi, kita akan melihat, 

bertebaran seperti buih laut pada gelombang ruang angkasa, tak terhitung banyaknya 

sulur cahaya yang mengutas dan lemah. Ini adalah galaksi-galaksi. sebagian merupakan 

pengembara yang terpencil; kebanyakan berisi gugus-gugus komunal, berkelompok 

bersama, mengalir tak berakhir dalam kegelapan kosmik raya.

Ada beberapa ratus miliar (1011) galaksi, masing-masing dengan rata-rata seratus 

miliar bintang. Dalam semua galaksi itu, mungkin ada planet sebanyak bintang, 1011 x 

1011 : 1022, sepuluh miliar triliun. 

Rasa ingin tahu yang begitu tinggi membuat manusia berupaya sekeras mungkin untuk 

menciptakan berbagai teknologi lewat pengetahuan yang terus berevolusi dari sumber 

utamanya yaitu filsafat ”The Mother of Sains”. Pertanyaan-pertanyaan mendasar tetapi filosofis 

mulai menyelimuti cara berpikir manusia seperti: Ada apa di atas sana? Mengapa begitu banyak 

bintang? Seberapa luasnya? Apa saja yang ada disana selain bintang dan bulan? Siapa yang 

menciptakan ini semua? Bagiaman Ia menciptakan? Berapa lama Ia menciptakan? Sebelum ada semua ini, dulunya apa? Ini merupakan beberapa pertanyaan yang muncul di benak 

manusia yang haus akan pengetahuan tentang banyaknya misteri di alam semesta. Banyak 

ilmuan yang mencoba menjabarkan alam semesta lewat berbagai pemikirannya yang 

dituangkan ke dalam sebuah teori guna merepresentasikan alam semesta.

Salah satu ilmuan yang paling terkenal dan teorinya masih digunakan sampai sekarang 

adalah George Lemaitre dengan teorinya yang berjudul Big Bang. Teori yang dikemukan oleh 

George Lemaitre pada tahun 1927 ini awalnya bernama “Hipotesis Primeval Atom”. Menurut 

teori ini alam semesta pada awalnya berada dalam keadaan sangat panas dan padat seperti 

thermo reactor nuklir. Tiba-tiba dengan alasan yang tidak begitu jelas keadaan panas dan padat, 

alam semesta mulai berkembang pesat setelah ledakan atau “Big Bang” sekitar 13,7 juta tahun 

yang lalu dan terus berkembang hinga saat ini (Gupta, 2017).

Pada hakikatnya alam semesta merupakan ruang yang begitu luas dan hampa serta 

kosong. Kehidupan manusia di bumi sebenarnya diliputi oleh ruang kosong ini dan bumi serta 

manusia dan seluruh makhluk hidup yang ada di dalamnya hanya sebagian kecil dari 

keseluruhan isi alam semesta. Disadari atau tidak, kita selalu dikelilingi oleh ruang dan 99% 

dari alam semesta terdiri dari ruang kosong. Ruang adalah yang paling halus dari semua 

eksistensi fisik. Mengingat sifatnya yang sangat halus, misteri ruang masih menjadi tantangan 

bagi komunitas ilmiah sampai saat ini, meskipun kemajuan ilmu modern berkembang pesat 

(Gupta, 2017). Teknologi merupakan hasil dari aplikasi ilmu modern yang digunakan manusia 

untuk membedah dan menganalisa isi dari dalam semesta. Akan tetapi teknologi belum dapat 

sepenuhnya membantu manusia dalam menjawab seluruh pertanyaan tentang alam semesta.

Manusia terus berupaya untuk menggali pengetahuan yang dapat merepresentasikan 

alam semesta sehingga lahirlah sebuah disiplin ilmu yang disebut kosmologi. Kosmologi

merupakan disiplin ilmu yang secara spesifik membahas tentang alam semesta. Kosmologi 

merupakan derivat dari ilmu filsafat, sebagaimana karakter atau sifat dari ilmu filsafat yang 

merupakan sumber dari semua ilmu pengetahuan, maka demikian juga kosmologi memiliki 

keterkaitan dengan berbagai bidang ilmu pengetahuan (Donder, 2007). Kosmologi berasal dari 

kata cosmology yang terdiri dari dua kata, yaitu dari kata cosmos, dan kata logy, kata cosmos

berarti jagat raya atau alam semesta, dan kata logy berarti ilmu pengetahuan. Jadi Kosmologi 

adalah ilmu pengetahuan tentang alam semesta (Donder, 2007).Kosmologi dalam pandangan filsafat Hindu memberikan penjelasan tentang proses 

terjadinya alam semesta didasarkan pada kepercayaan akan entitas besar yang menyelimuti 

alam semesta, yaitu Tuhan. Sehingga kosmologi memiliki ruang tersendiri dalam pandangan 

Hindu yang disebut dengan istilah Kosmologi Hindu. Dalam Kosmologi Hindu peran Tuhan 

sebagai causa prima tidak dapat dilepaskan dari seluruh proses penciptaa hingga peleburan 

alam semesta (Donder, 2007). Akan tetapi menurut (Donder, 2007) dalam bukunya yang 

berjudul “Kosmologi Hindu Penciptaan, Pemeliharaan, dan Peleburan Serta Penciptaan 

Kembali Alam Semesta” menyatakan bahwa berbeda dengan kosmologi yang umum dipelajari 

oleh ilmuan barat, Kosmologi Hindu menempatkan Tuhan pada posisi pertama dan utama 

sebagai causa prima, “cikal-bakal” (sangkan paraning dumadi) dari alam semesta ini. 

Kosmologi Hindu melihat penciptaan alam semesta atau jagat raya ini bermula dari Tuhan. 

Dari dalam badan atau kandungan tuhan (hiranya garbha) alam semesta ini dilahirkan, dan 

kemudian ke dalam kandungan tuhan (hiranya garbha) pula alam semesta ini akan 

dikembalikan.

Jika ditelusuri secara seksama dan menyeluruh terdapat banyak ajaran kosmologi yang 

tertuang ke dalam teks-teks suci Sruti dan Smrti. Masyarakat Hindu di Indonesia dan Bali 

khususnya mempercayai kitab-kitab agama (Nibandha) sebagai rujukan kehidupan beragama 

sehari-hari. Kitab-kitab agama tersebut disebut dengan nama lontar. Sebagaimana yang 

dikatakan oleh (Ambarnuari, 2016) bahwa kitab-kitab agama yang digunakan masyarakat 

Hindu di Indonesia yakni dikenal dengan lontar, lontar-lontar ini tersebar di seluruh 

Nusantara, dan beberapa di antaranya masih tersimpan dan dilestarikan oleh umat Hindu di 

pulau Bali.

Salah satu lontar yang ada di Bali dan kental akan ajaran Kosmologi Hindu adalah 

lontar Ganapati Tattwa. Lontar Ganapati Tattwa ini telah di alih aksarakan dan di alih 

bahasakan ke dalam bahasa Kawi dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Pusat 

Dokumentasi Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Penelitian ini berupaya untuk menganalisis 

secara mendalam bagaimana ajaran Kosmologi Hindu dalam teks Ganapati Tattwa yang 

terkonstruk dalam beberapa pembahasan tentang proses penciptaan, pemeliharaan dan 

peleburan serta penciptaan kembali alam semesta berdasarkan pada perspektif teks Ganapati 

Tattwa dan literatur Kehinduan lainnya. Selain itu ajaran Kosmologi Hindu juga terdapat dalam 

beberapa lontar lainnya seperti Bhuwana Kosa, Ādi Parwa, dan Tattwa Jñana.Ajaran Kosmologi Hindu dalam lontar Bhuwana Kosa, dijelaskan dengan 

menggunakan konsep Tattwa Rudra. Tattwa Rudra terjadi dari Śiwa sebagai realitas tertinggi, 

lalu bersatu dengan Rudra menjadi Purusa, dari Purusa lahir Awyakta, dari awyakta lahir

Buddhi, dari Buddhi (sebagai simbol dari sattwam) lahir Ahamkara/Ahangkara (simbol rajas),

kemudian lahir Panca Tan Matra sebagai simbol tamas, manah (pikiran) dan Panca Maha 

Bhuta (Sena, 2017).

Selanjutnya dalam lontar Ādi Parwa, dijelaskan bahwa ajaran Kosmologi Hindu

dimulai dari alam semesta yang kosong (sunya). Alam semesta yang kosong (sunya) bertemu 

dengan Śangkara (Śiwa) dengan Pārwatī. Dari pertemuan itu lahirlah alam semesta. Ajaran 

Kosmologi Hindu yang terdapat dalam lontar ini diceritakan dalam proses perputaran Gunung 

Māndara. Gunung Māndara keluar dari minyak, Ardhacandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi, kuda 

Uchchaihshravas, Kastubhami, dan Amrta (Saitya, 2019). 

Kemudian yang terakhir adalah ajaran Kosmologi Hindu yang terdapat dalam lontar

Tattwa Jñana dimulai dengan Cetana (elemen kesadaran) dan Acetanan (elemen 

ketidaksadaran), berikut merupakan ulasan ajaran Kosmologi Hindu dalam lontar Tattwa 

Jñana: 

Cetana (elemen kesadaran) dan Acetanan (elemen ketidaksadaran) yang bersumber dari 

Bhatara Siwa dan merupakan elemen Siwa Tattwa dan Maya Tattwa. Brahman ingin 

melihat benda yang diciptakan oleh-Nya menjadi nyata, maka Sang Hyang Atma

diberikan untuk dipenuhi dengan Pradhana Tattwa. Pertemuan ini menghasilkan 

Purusa dan Pradhana yang pada akhirnya Purusa dan Pradhana bertemu kemudian 

lahirlah Citta yang merupakan simbol dari bentuk kasar Purusa. Kemudian setelah 

Citta, Guna lahir, sebagai simbol Pradhana Tattwa yang diberikan kesadaran oleh 

Purusa. Kemudian dari pertemuan Tri Guna dengan Citta maka lahirlah Buddhi. 

Buddhi merupakan simbol dari pikiran, sebagai bentuk kasar Tri Guna yang diberikan 

kesadaran oleh Citta. Buddhi melahirkan Ahangkara/Ahamkara. Ahangkara adalah 

penyebab munculnya Panca Tan Matra. Panca Tan Matra melahirkan Panca Maha 

Bhuta (Sena, 2019).

Ketiga lontar di atas menjabarkan ajaran Kosmologi Hindu secara umum dan sebatas 

menjelaskan dari unsur yang paling halus hingga menuju unsur yang paling kasar. Tidak dijabarkan secara spesifik ciptaan yang dihasilkan dari proses Virat Vidyā yang terjadi, seperti 

ciptaan yang paling kecil berupa objek hidup dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan ajaran 

Kosmologi Hindu yang dijabarkan dalam teks Ganapati Tattwa. Ajaran Kosmologi Hindu 

yang dijelaskan dalam teks ini tidak hanya menjelaskan proses kosmologi dari unsur yang 

paling halus hingga pada unsur yang paling kasar, akan tetapi lebih menggambarkan hasil 

ciptaan sampai pada yang paling kecil dan kompleks. Sangat jarang sekali ditemui teks atau 

lontar seperti teks Ganapati Tattwa ini, yang menjabarkan ajaran Kosmologi Hindu secara rinci 

dan sistematis. Kebanyakan hanya menjelaskan secara umum dan berhenti pada tataran konsep 

pembentuk ciptaan tanpa diteruskan hingga pada tataran dimensi ciptaan berupa objek yang 

hidup dan mengisi kehidupan di alam semesta. Bedasarkan pada latar belakang dan previous 

studies di atas maka artikel ini akan berusaha membahas tentang ajaran Kosmologi Hindu yang 

terdapat dalam teks Ganapati Tattwa guna menambah wawasan, referensi, dan khazanah 

pengetahuan peneliti serta pembaca sehingga dapat berguna bagi masyarakat dan ilmuan Hindu 

serta berimplikasi pada masa depan pengetahuan Hindu mendatang.

Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian 

kualitatif deskriptif. Dimana data-data atau informasi yang didapat akan dituangkan ke dalam 

bentuk narasi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang formal dan sesuai dengan EYD. 

Data-data dalam penelitian ini terbagi atas data primer dan data sekunder. Data primer dalam 

penelitian ini adalah teks Ganapati Tattwa sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah 

buku dan jurnal yang berkaitan erat dengan objek kajian penelitian ini. 

Seluruh data dalam penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan dan dokumen 

untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis data dari Miles dan 

Huberman, dimana aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan 

berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh (Sugiyono, 

2019). Sedangkan berkaitan dengan instrumen penelitian menurut (Sugiyono, 2019)

merupakan suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. 

Instrumen penelitian yang digunakan dalam pengumpualan data penelitian ini adalah alat tulis, 

laptop, serta buku-buku penunjang penelitian. 

Landasan Teori 

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Hermeneutika dari Josef 

Bleicher. Hermeneutika merupakan sebuah teori yang berupaya untuk merepresentasikan makna berdasarkan pada kajian filsafat. Teori Hermeneutika Josef Bleicher menjelaskan 

bahwa:

Hermeneutika dapat di definisikan secara longgar sebagai suatu teori atau filsafat 

interpretasi makna. Baru-baru ini Hermeneutika telah muncul sebagai topik dalam 

filsafat ilmu-ilmu sosial, filsafat seni dan bahasa, dan dalam kritik sastra meski asal￾usul modernnya bermula dari awal abad sembilan belas. Kesadaran bahwa ekspresi￾ekspresi manusia berisi sebuah komponen penuh makna, yang harus disadari 

sedemikian rupa oleh subjek dan yang diubah menjadi sistem nilai dan maknanya 

sendiri, telah memunculkan ‘persoalan-persoalan Hermeneutika’: bagaimana proses ini 

memungkinkan untuk dilakukan dan bagaimana mengubah makna yang dimaksudkan 

secara subjektif menjadi objektif berdasarkan kenyataan bahwa mereka dimediasikan 

oleh subjektivitas interpretator sendiri. Hermeneutika kontemporer dicirikan oleh 

pandangan-pandangan yang dipenuhi dengan perdebatan mengenai persoalan￾persoalan ini, yang dapat dibagi menjadi tiga bidang yang jelas-jelas terpisah, yaitu: 

Teori Hermeneutis, Filsafat Hermeneutik, dan Hermeneutika kritis. Teori 

Hermeneutika memusatkan diri pada persoalan teori umum interpretasi sebagai 

metodelogi bagi ilmu-ilmu humaniora (atau Geisteswissenchaften, termasuk juga 

didalamnya ilmu-ilmu manusia). Melalui analisis atas verstehen sebagai metode yang 

cocok untuk mengalami kembali atau berpikir kembali atas apakah yang sesungguhnya 

dirasakan atau dipikirkan oleh pengarang (Bleincher, 2007).

Teks Ganapati Tattwa ditulis dengan menggunakan bahasa kawi yang menyebabkan 

tidak semua orang dapat memahami arti dan maknanya. Oleh sebab itu, peneliti berupaya untuk 

merepresentasikan makna dari teks ini menggunakan teori Hermeneutika agar mudah dipahami 

oleh pembaca nantinya sebagai upaya untuk menambah khazanah pengetahuan pembaca dan 

juga peneliti. Hal ini sesuai dengan prinsip kerja teori Hermeneutika yang berupaya untuk 

memberikan penafsiran terhadap isi teks sehingga dapat memperoleh makna yang terkandung 

dalam tek tersebut. Maka dari itu, teori Hermeneutika sangat cocok untuk membahas konsep 

penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan serta penciptaan kembali alam semesta dalam teks 

Ganapati Tattwa sebagai hasil dari interpretasi makna terhadap teks tersebut.

Pembahasan 

1. Gambaran Umum Teks Ganapati Tattwa

Teks Ganapati Tattwa adalah sebuah lontar yang memiliki nuansa ajaran tattwa atau 

Ketuhanan. Ganapati Tattwa merupakan teks yang bersifat siwaistik dengan tokoh utamanya 

yaitu Dewa Siwa dan Sang Hyang Ganapati (Laksmi, dkk. 2018). Lontar ini berisi percakapan 

antara Ganapati dengan Dewa Siwa. Ganapati adalah putra dari Dewa Siwa dan merupakan 

dewa penanya yang sangat cerdas. Dewa Siwa adalah Maheswara, yang menjelaskan sekaligus 

mereinterpretasikan mengenai seluk beluk alam semesta atau jagat raya beserta isinya. Terutama bagi umat Hindu yang memiliki tujuan hidup mulia yaitu moksartham jagadhita ya 

ca iti dharma atau mencapai jagadhita (kesejahteraan jasmani) dan moksa (ketentraman batin) 

(Diantary & Hartaka, 2020). Teks Ganapati Tattwa di tulis ke dalam 37 lembar daun tal 

(rontal) dan di susun ke dalam 60 bait dengan menggunakan ulasan berbahasa Kawi. 

Penjelasan sloka-sloka dalam lontar ini ada yang isinya singkat dan ada juga yang isinya 

panjang, terutama pada bagian pendahuluan atau permulaan.

Setiap ajaran tentunya memiliki pokok-pokok atau inti sari ajarannya masing-masing, 

tak terkecuali teks Ganapati Tattwa. Teks yang bercorak filsafat siwaistik ini memiliki pokok￾pokok ajaran yang tidak jauh berbeda dengan lontar-lontar tattwa lainnya yang ada di Bali 

seperti Jnanasidhanta, Wrhaspati Tattwa, Bhuwana Kosa, dan yang lainnya. Adapun pokok￾pokok ajaran yang terdapat dalam teks Ganapati Tattwa menurut (Mirsha, dkk. 1995)sebagai 

berikut:

Omkara adalah sabda śunya, nada Brahman, asal mula dari mana Panca Daiwātmā: 

Brahma, Wisnu, Iśwara, Rudra dan Sang Hyang Sadāśiwa di lahirkan. Panca 

Daiwātmā adalah sumber dari mana Panca Tanmatra di ciptakan. Panca Tanmatra: 

ganda, unsur bau; rasa, unsur rasa/kenikmatan; rupa, unsur bentuk; sparsa, unsur 

rabaan; dan sabda, unsur suara adalah sumber dari Panca Mahābhuta: akaśa, ether, 

bayu, angin; teja, sinar; apah, zat cair, dan perthiwi, zat padat. Dari Panca Mahābhuta

inilah alam semesta beserta isinya di ciptakan, dan Sang Hyang Śiwātma menjadi 

sumber hidup yang menggerakan segala ciptaan-Nya (sloka 1-2, 25-39). 

Sadanggayoga: Pratyahārayoga, Dhyānayoga, Pranayāmayoga, Dharanayoga, 

Tarkkayoga dan Semadhiyoga adalah jalan spiritual untuk mencapai kelepasan, 

dijelaskan dalam sloka 3-9. 

Sloka 10, 18, 19, 22-24 menjelaskan tentang “Padma Hati” sebagai Śiwalingga dimana 

Beliau harus direnungkan. Hanya ia yang bijaksana, berhati suci dan penuh keyakinan 

yang dapat mengetahui Beliau. Beliau hendaknya setiap saat dipuja dengan sarana Sang 

Hyang Caturdasāksara. Sedangkan sloka 11-17 menjelasakan tentang berbagai jenis 

lingga. 

Sloka 20 menerangkan anggapan orang yang bodoh dan sombong tentang ātman. 

Sloka 21 menjelaskan stana Bhatara Wisnu, Brahma dan Śiwa pada badan jasmani. 

Sloka 40-42 menjelaskan bahwa Sang Hyang Bheda Jnana adalah ajaran rahasia 

tentang manusia. Yang berhak menerima ajaran rahasia ini adalah ia yang sungguh￾sungguh melaksanakan dharma. 

Sloka 43-55 menjelaskan tentang kelepasan. Ada tiga prilaku orang yang 

mengutamakan kebebasan dan pengetahuan yang suci adalah sasaran untuk mencapai 

penyatuan diri dengan Sang Roh Yang Agung.

Sloka 56-59 menjelaskan tentang panglukatan Ganapati. Sarana upakara yang 

diperlukan, mantra yang mesti dipergunakan dan kegunaan panglukatan tersebut. Dan sloka 60 adalah mantra pujaan yang ditujukan kepada Sang Hyang Ganapati dan 

Saraswati.

Inilah inti ajaran atau pokok-pokok ajaran yang terdapat dalam teks Ganapai Tattwa, 

yang masing-masing sloka-nya memiliki bahasannya tersendiri. Secara konseptual, teks 

Ganapati Tattwa pada dasanya memang lebih dominan merujuk pada ajaran kelepasan atau 

kamokșan, akan tetapi tidak sedikit juga ajaran kosmologi yang terkandung di dalam teks ini, 

utamanya yang berkaiatn dengan Kosmologi Hindu. Maka dari itu kajian Kosmologi Hindu 

dalam teks Ganapati Tattwa sangat kompleks sekali dan memiliki keterkaitan dengan lontar￾lontar tattwa lainnya yang masih satu rumpun.

2. Konsep Penciptaan Alam Semesta

Pencipta atau mencipta dalam ajaran agama Hindu dikenal dengan istilah uttpti. Uttpti

dalam Kamus Jawa Kuna dapat diartikan sebagai lahir, hasil, asal mula, keuntungan, 

penghasilan (Zoetmulder, 2006). Dalam kondisi ini Tuhan disebut sebagai uttpti atau yang 

menciptakan (sebagai asal mula alam semesta). Berkaitan dengan penciptaan (Donder, 2007)

menjelaskan bahwa:

Sebagaimana dikisahkan dalam kitab-kitab Purana, Upanisad dan Manu Dharmasastra

dan lain-lainnya bahwa keadaan ketika belum ada ciptaan ini demikian sunyi 

mencekam tidak ada apa-apa dan tidak ada siapa-siapa. Yang ada dalam kekosongan 

itu hanyalah Tuhan saja, kekosongan itu merupakan sebuah garbha atau kandungan 

besar bagaikan sebuah kantongan raksasa yang tanpa batas. Di dalam kandungan yang 

besar itulah terdapat aset Tuhan berupa astaprakrti. Dalam astaprakrti itu terdapat 

delapan unsur yang terdiri dari; prtivi (tanah), apah (air), nala (api), bayu (udara), akasa

(ether), manah (pikiran), buddhi (budi), ahamkara (ego, kehendak). Menyaksikan 

keadaan kekosongan itu, Tuhan tergerak untuk menciptakan sesuatu. Tujuannya 

penciptaan itu adalah untuk memecahkan kesunyian yang mencekam itu.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh (Gupta, 2017) yang menerangkan bahwa 

dengan energi eksternal-Nya (Apara Shakti) Brahman menciptakan elemen dasar ini yang 

dapat dihancurkan dengan ketentuan tertentu. Ether (ruang) diciptakan pertama, kemudian 

udara diciptakan karena gerakan dalam ruang, gerakan udara menciptakan api, dari panas air 

muncul, dan dari air akhirnya bumi diciptakan. Konsep penciptaan alam semesta dijelaskan 

dengan lugas dalam dialog antara Sang Hyang Ganapati dan Dewa Siwa yang kemudian 

digambarkan lewat teks Ganapati Tattwa, berikut ulasan konsep penciptaan alam semesta 

dalam teks Ganapati Tattwa.Ganapati uwaca, sembah ning tanaya ra sanghulun, hanta mwah warahana ri prakasa 

ning bhuwana, lamakane wruh ranak rahadyan sanghulun. 

(Ganapati Tattwa, 1.3)

Terjemahan:

Ganapati berkata “Sembahnya hamba putra paduka, selanjutnya beritahukanlah lagi 

perihal awal mula adanya alam semesta ini agar dapat hendaknya hamba putra tuanku 

mengetahuinya”.

(Mirsha, dkk. 1995)

Iswara uwaca, anakku sang Ganapati, mangke pireng wakena pawarah Kami, 

umajarakena ri katattwan ing bhuwana, saking Pancadaiwatma mijil pancatanmatra, 

lwirnya sakeng Brahma mijil gandha, sakeng Wisnu mijil rasa, sakeng Rudra mijil 

rupa, sakeng Kami mijil sparsa, sakeng hyang Sadasiwa mijil sabda, mwah sakeng 

sabda mijil akasa kayeki rupanyanira ya, warna kadi suddhasphatika.

Sakeng spasra mijil wayu, kayeki rupa nira wi, sweta a warna, sakeng rupa mijil teja, 

kayeki rupa nira ni, warna sweta, bang, ireng, sakeng rasa mijil apah, kayeki rupa nira 

omaye, krsna warna nira, sakeng gandha mijil prthiwi, keyeki rupa nira Om, warna 

pita, nakaraksaranya, sastraning hurip Omkara, mwah anaku sang Ganapati, sakeng 

prthiwi mijil bhumi, saking apah mijil wai, sakeng teja tang aditya, candra, lintang, 

sakeng wayu mijil tang angin. sakeng akasa mijil swara, sakeng bhuwana mijil tang 

sthawara, trna, taru, lata, gulma, twaksara, mwang janggama, pasu, paksi, mina, 

aghnya, mangkana lwiraning bhuwana.

(Ganapati Tattwa, 1.4)

Terjemahan:

Iswara bersabda, “Putraku Sang Ganapati, kini perhatikanlah pemberitahuanku ini 

untukmu, hendak menjelaskan mengenai hakikat alam semesta. Dari Panca Daiwātmā

lahir Panca Tanmatra, yaitu dari Brahma lahir bau, dari Wisnu muncul unsur 

kenikmatan, dari Rudra timbul mode/bentuk, dari Daku (Iswara) keluar unsur rabaan, 

dari Sang Hyang Sadasiwa nada/suara. Lagi pula dari sabda timbul ether, seperti YA

ini rupanya, berwarna bagaikan mutiara bening; dari sparsa muncul angin, begini 

rupanya WI, berwarna putih; dari rupa keluar sinar, seperti NI ini modenya, berwarna 

putih-merah-hitam dari rasa lahir zat cair, berupa begini sebagai O-MA-YE; hitam 

warnanya, dari gandha timbul tanah, bermode bagaikan OM; warna kuning, NA bentuk 

hurufnya, berkode spiritual OM-kara. Dan lagi putraku Sang Ganapati: dari perthiwi

terwujudlah bumi, berkat apah muncul air; karena teja tercipta matahari, bulan dan 

bintang; oleh karenanya wahyu adalah angin; dari akasa lahirlah bunyi/suara; berkat 

alam semesta lahirlah tumbuh-tumbuhan (seperti) rumput pohon kayu, tanaman melata, 

serba kulit-kelopak, dan inti serta segala mahkluk (yaitu) binatang/ternak, burung, ikan, 

makhluk halus; demikianlah macamnya alam semesta itu.

Dari sloka di atas di ketahui bahwa terdapat dialog antara Sang Hyang Ganapati dengan 

Dewa Siwa, yang bertanya tentang hakikat alam semesta. Dalam sloka tersebut dijelaskan 

bahwa alam semesta bermula dari Panca Daiwātmā dan kemudian darinya lahir Panca 

Tanmatra. Adapun bagian-bagian dari Panca Daiwātmā itu adalah Brahma, Wisnu, Rudra, 

Daku (Iswara), dan Sang Hyang Sadasiswa, sedangkan Panca Tanmatra bagian-bagiannya 

yaitu Gandha, Rasa, Rupa, Sparsa, dan Sabda. Keduanya memiliki korelasi yang sangat erat 

karena pada hakikatnya Panca Tanmatra lahir dari Panca Daiwātmā. Dari Brahma lahir 

Gandha (bau), dari Wisnu lahir Rasa (kenikmatan), dari Rudra lahir Rupa (mode/bentuk), dari 

Daku (Iswara) lahir Sparsa (rabaan), dan dari Sang Hyang Sadasiwa lahir Sabda (nada/suara). 

Setelah itu Panca Tanmatra melahirkan Panca Maha Bhuta yang bagian-bagiannya adalah 

Akasa, Bayu, Teja, Apah, dan Perthiwi. Dari Sabda lahir Akasa (ether), dari Sparsa lahir Bayu

(angin), dari Rupa lahir Teja (sinar), dari Rasa lahir Apah (zat cair), dan dari Gandha lahir 

Perthiwi (tanah). Lantas dari unsur-unsur atau bagian-bagian Panca Maha Bhuta ini terciptalah 

bumi, air, matahari, bulan, bintang, angina, bunyi/suara, tumbuh-tumbuhan (rumput pohon 

kayu, tanaman melata, serba kulit-kelopak), binatang/ternak, burung, ikan, dan makhluk halus.

Nihan pitutur ira Bhatara Siwa, ri sang hyang gana, Sembah ning tanaya ra sanghulun, 

Bhatara hanta warahana tanaya ra sanghulun, lamakane wruh ri kawijilan ing 

pancadaiwatma, saking ndi pawijilan ira, ya ta warahana patik sanghulun. 

(Ganapati Tattwa, 1.1)

Terjemahan:

Beginilah nasihat-Nya Bhatara Siwa terhadap Sanghyang Gana. “Sembah hamba putra 

paduka kehadapan Bhatara, tolonglah hendaknya berkati beritahukan hamba putra 

tuanku, agar supaya dapat mengetahui perihal keadaan-Nya Panca Daiwātmā itu, dari 

manakah sumber-Nya, itulah hendaknya jelaskan pada hamba putra tuanku!”.

(Mirsha, dkk. 1995)

Iswara uwaca, anakku sang Ganapati pirengwakena pawarah Kami ri kita, ikang 

sabda sunya, sakeng Omkara mijil bindu, kadu embun hana ri agra ning kusa, 

kasenwan Rawi, mahening kadi dhupa, diptan nira mabhraakara karasakeng bindu 

matemahan pancadaiwatma, Brahma, Wisnu, Rudra, Kami, mwang sang hyang 

Sadasiwa, Mangkanaanakku makapawijilan ing Daiwatma. Iswara bersabda, “Putraku Sang Ganapati, perhatikanlah wejanganku ini untukmu, 

yakni sabda spiritual (gaib): dari OM-kara muncul Windu, bagaikan embun yang berada 

di ujung rambut/rumput, disinari matahari bening bagaikan dupa, sinarnya terang 

cemerlang berkilauan. Dari Windu itu muncullah Panca Daiwātmā, (yaitu) Brahma, 

Wisnu, Rudra, Kami/Daku, dan Sanghyang Sadasiwa. Demikianlah putraku, perihal 

keadaanya Daiwātmā itu”.

(Mirsha, dkk. 1995)

Sloka di atas merupakan sloka yang menjelaskan tentang asal usul Panca Daiwātmā, 

yang sebelumnya telah di jelaskan dalam sloka 1.3 dan 1.4. Bhatara Siwa memberikan 

wejangan kepada Sang Hyang Ganapati bahwa Panca Daiwatma bersumber atau berasal dari 

Windu yang bersinar terang cemerlang berkilauan dan Windu sendiri muncul sebagai akibat 

dari OM-kara. Jadi secara konseptual proses terjadinya atau adanya Panca Daiwātmā dapat di 

jelaskan seperti ini; dari OM-kara lahir atau muncul Windu, dan dari Windu lahir atau muncul 

Panca Daiwātmā, yang bagian-bagiannya antara lain Brahma, Wisnu, Rudra, Kami/Daku

(Iswara), dan Sang Hyang Sadasiwa. 

Ganapati uwaca, sembahning tanaya ra sanghulun, apan huwus katamaji sarwa 

sajnana Bhatara ri katattwan ikang bhuwana, mangke mwah warahana ranak Bhatara, 

lamakane wruh ri kawijilan ing manusya. 

(Ganapati Tattwa, 1.5)

Terjemahan:

Ganapati berkata, “Sembahnya hamba putra paduka, berhubung telah dimengerti 

segala wejangan pendidikan Bhatara mengenai hakekat alam semesta itu, namun kini 

beritahukanlah lagi putra paduka Bhatara agar supaya dapat mengetahui perihal 

penjelmaan (kelahiran) manusia ini”. 

(Mirsha, dkk. 1995)

Iswara uwaca, anaku sang Ganaraja, tan pahi kawijilan ing manusya, kalawan 

kawijilaning daiwa, mwang pawetwan ing bhuwana, apan ikang manusya mijil sakeng 

bindu, mula prathamaning Omkara, apa ta lwirya, Brahma Wisnu makarya sarira, 

ikang kinarya prtiwi mwang apah, Rudra makarya panon, ikang kinarya teja, Kami 

akaryoswasa, ikang kinarya sparsa, sanghyang Sadasiwakarya swara, ikang 

kinaryakasa, mangkanaku lwie ikang atma anjanma.

(Ganapati Tattwa, 1.6)

Terjemahan: 

Iswara bersabda, “Putraku Sang Ganapati, tiada berbeda kelahirannya manusia dengan 

manifestasinya Dewa, beserta dengan penciptaannya alam semesta sebab manusia juga lahir dari Windu, awal mulanya OM-kara; bagaimana wujudnya, yakni: Brahma (dan) 

Wisnu menciptakan badan jasmani, yang terbentuk dari unsur tanah dan zat cair; Rudra

menciptakan alat pelihat (mata), yang terwujud dari sinar; Daku (Iswara) membuat 

pernapasan, yang berbentuk rabaan sentuhan; Sanghyang Sadasiwa menciptakan 

bunyi/suara, yang terwujud dari unsur ether, demikianlah putraku, jenisnya ātman/jiwa 

yang menjelma (terwujud) menjadi manusia”.

(Mirsha, dkk. 1995)

Penjabaran sloka di atas menjelaskan bahwa pada hakikatnya penciptaan dan kelahiran 

manusia tidak jauh berbeda dengan penciptaan alam semesta. Hal ini bermakna bahwa 

penciptaan alam semesta (bhuwana agung) sama dengan penciptaan manusia dan atau makhluk 

hidup lainnya (bhuwana alit). Sama halnya dengan alam semesta, manusia juga lahir dari 

Windu, dimana unsur-unsur Panca Daiwātmā dan Panca Maha Bhuta berperan aktif dalam 

membantu penciptaan manusia ini. Unsur Brahma dan Wisnu menciptakan badan jasmani 

(tubuh manusia), yang terbentuk dari unsur tanah (perthiwi) dan zat cair (apah). Unsur Rudra

menciptakan alat atau indera penglihatan yaitu mata, yang terbentuk dari unsur sinar (teja). 

Unsur Daku (Iswara) menciptakan pernapasan, yang berbentuk rabaan sentuhan (bayu). 

Kemudian yang terakhir yaitu Sanghyang Sadasiwa menciptakan bunyi/suara, yang terwujud 

dari unsur ether (akasa).

3. Konsep Pemeliharaan Alam Semesta

Tuhan merupakan pencipta alam semesta beserta isinya dan Beliau juga merupakan 

pemelihara atas segala ciptaan-Nya. Tuhan masuk dan bersemayam di dalam setiap ciptaannya 

untuk menjaga dan memelihara keseimbangan kehidupan berbagai makhluk yang Beliau 

ciptakan. Bumi merupakan salah satu dari sekian banyak ciptaan Tuhan, dan Beliau juga 

bersemayam di dalamnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam Brhad-aranyaka Upanisad, 

III.7.3, sebagai berikut: “Yah prthivyàm tisthan prthivyà antarah, yam prtivi na veda, yasya 

prthivi sariram, yah prthivim antaro yamayati, esa ta àtmàntaryàmy amrttah”, yang artinya 

“Dia yang berada di bumi (tanah) ini, dan juga masih di dalam bumi, yang mengendalikan bumi 

dari dalam bumi, dia adalah atman, pengendali dari dalam yang abadi” (Donder, 2007).

Dalam ajaran agama Hindu, istilah pemeliharaan diidentikan dengan kata stiti. Stiti

dalam Kamus Jawa Kuna diartikan sebagai keberlanjutan, keberadaan yang dilanjutkan, 

peraturan yang telah mantap, kondisi tetap, ikatan-ikatan yang telah tetap, khususnya tentang moralitas (Zoetmulder, 2006). Dijelaskan dalam teks Ganapati Tattwa proses pemeliharaan 

alam semesta yang dilakukan oleh Tuhan dalam hal ini yang dilaksankan oleh Dewa Siwa, 

adalah sebagai berikut:

Ganapati uwaca, sampun kagraha sapawarah Bhatara, ri kandaning bhuwana mwang 

manusya, mangke mwah waraha ranak Bhatara, ri sthana ning daiwatma ring sarira, 

mwang hana ring bhuwana.

(Ganapati Tattwa, 1.7)

Terjemahan:

Ganapati berkata, “Sudah terungkap segala wejangan Bhatara mengenai hal alam 

semesta beserta manusia itu, kini beritahukanlah lagi putra paduka Bhatara perihal 

statusnya Daiwātmā itu dalam hubungan badan jasmani dan keadaanya di dunia!”.

(Mirsha, dkk. 1995)

Iswara uwaca, kaki anaku sang Ganadhipa, mangke pirengwakena pawarah Kami ri 

kita, ri kahanan ing daiwatma ring sarira, apan tunggal ikang janma kalawan 

bhuwana, yajanma, ya bhuwana. Apa ta lwirnyan, yapwan ing bhuwana 

Brahmakayangan ing daksina, rumkasa bhumi. Wisnu akayangang ing Uttara, 

rumaksa jala. Rudrakayangan ing pascima, rumaksa Surya, Candra, Lintang. Kami 

akayangan ing purwa, rumaksa wayu. Sanghyang Sadasiwa akahyangan ing madhya 

rumaksakasa, mwah yapwan ing jadma, Brahma mangasthana ring muladhara 

mangraksa raga, ababahan ring irung, mangulahaken gandha, Wisnu mangasthana 

ring nabhi, mangraksa sarira, ababahan ring jihwa, mangulahaken rasa, Rudra 

mangasthana ring hati, mangraksa jagra, ababahan ring tingal, mangulahaken idep,

Kami mangasthana ring kantha, mangraksaturu, ababahan ring kutuk, mangulahaken 

sabda, sang hyang Sadasiwa mangasthana ring jihwagra, mangraksa sarwajnana, 

ababahan ring karna, mangulahaken swara. Mangkana lwirning Daiwatma ring sarira 

mwah ring bhuwanagung.

(Ganapati Tattwa, 1.8)

Terjemahan:

Iswara bersabda, ”Duhai putraku Sang Ganapati, kini perhatikanlah penjelasanku 

padamu, dalam hal status/keadaannya Daiwātmā pada tubuh jasmani; sebab tunggal 

juga adanya manusia itu dengan alam semesta ia manusia diapun juga alam semesta. 

Bagaiamana sih halnya, yakni: adapun pada alam semesta Brahma berstatus di selatan, 

memilihara tanah/bumi; Wisnu berstatus di utara memelihara zat cair/air; Rudra

berstatus di barat, mengendalikan matahari, bulan dan bintang; Daku (Iswara) berstatus 

di timur mengatur udara/angin; Sanghyang Sadasiwa berstatus di tengah, memelihara 

ether/atmosphere. Dan kalau dalam tubuh manusia, Brahma berstutus di muladhara, 

menghidupkan indra/jasmaniah, berhubungan dengan hidung, memerlukan bau; Wisnu

berstatus di pusat/nawe, memelihara badan jasmani, berhungan dengan lidah, 

memerlukan unsur kepuasan (rasa); Rudra berstatus di hati, mengatur kesadaran/tekad, berhubungan dengan pandangan mata, menentukan pikiran; Daku (Iswara) berstatus di 

kerongkongan/throot, mengendalikan ketiduran, berhubungan pada mulut, mengatur 

nada/suara; Sanghyang Sadasiwa berstautus di ujung lidah, menguasai segala 

pengetahuan, berhubungan dengan telinga, meneliti keadaan suara. Demikianlah 

statusnya Daiwātmā itu masing-masing dalam tubuh jasmani dan pada alam semesta.

(Mirsha, dkk. 1995)

Dari sloka di atas dapat direpresentasikan bahwa setelah Dewa Siwa menjelaskan 

kepada Sang Hyang Ganapati terkait dengan hakikat alam semesta dan manusia, maka kini 

Dewa Siwa akan menjelaskan tentang bagiaman status Panca Daiwātmā dan keadaanya di 

dunia setalah proses penciptaan selesai. Secara tidak langsung sloka ini akan menjabarkan 

bagaimana konsep pemeliharaan alam semesta setelah terjadinya penciptaan. Sloka di atas 

menjelaskan bahwa manusia dan alam semesta pada hakikatnya tunggal karena keduanya 

dilahirkan dari satu sumber yang sama. Unsur-unsur Panca Daiwātmā memiliki tugas untuk 

memilihara alam semesta beserta dengan isinya. Brahma berada di selatan berfungsi untuk 

memilihara tanah/bumi, Wisnu berada di utara berfungsi untuk memelihara zat cair/air, Rudra

berada di barat berfungsi untuk mengendalikan matahari, bulan dan bintang, Daku (Iswara) 

berada di timur berfungsi untuk mengatur udara/angin, dan Sanghyang Sadasiwa bersada di 

tengah berfungsi untuk memelihara ether/atmosphere. Inilah tata letak arah dan fungsi 

pemeliharaan Panca Daiwātmā di dunia atau alam semesta (bhuwana agung).

Sedangkan jika dalam tubuh manusia (bhuwana alit), Brahma berada di muladhara

berfungsi untuk menghidupkan indra/jasmaniah yang berhubungan dengan bau, yaitu hidung. 

Wisnu berada di pusat/nawe berfungsi untuk memelihara badan jasmani yang berhungan 

dengan unsur kepuasan (rasa), yaitu lidah. Rudra berada di hati berfungsi untuk mengatur 

kesadaran/tekad yang berhubungan dengan pikiran. Dakiu (Iswara) berada di kerongkongan 

berfungsi untuk mengendalikan tidur yang berhubungan dengan mulut serta mengatur 

nada/suara. Selanjutnya yang terakhir adalah Sanghyang Sadasiwa berada di ujung lidah yang 

menguasai segala pengetahuan, berhubungan dengan telinga serta meneliti keadaan suara. 

4. Konsep Peleburan dan Penciptaan Kembali Alam Semesta

Menjadi sebuah hal yang tidak dapat dihindari bahwa setiap yang hidup pasti akan mati. 

Ini merupakan kodrat mutlak dan hukum alam yang tidak seorang pun dapat menghindarinya. 

Hal ini juga berlaku bagi alam semesta, meskipun alam semesta sangat luas tak terhingga, ia akan tetap hancur dan hilang pada akhirnya. Menurut (Supartha, 2020), alam semesta tidak 

hanya mengalami penciptaan, namun juga mengalami peleburan. Peleburan merupakan salah 

satu wujud kasih sayang Tuhan kepada seluruh ciptaannya. Peleburan tidaklah terjadi hanya 

pada alam semesta namun, peleburan juga terjadi pada manusia. Peleburan pada manusia 

dikenal dengan sebuah istilah yaitu pralaya, sedangkan peleburan alam semesta ini dikenal 

dengan mahapralaya.

Pada hakikatnya penciptaan selalu berdampingan dengan peleburan dan keduanya 

saling berkaitan. Banyak manusia yang mengatakan bahwa peleburan merupakan wujud 

kemurkaan Tuhan, tetapi sebanarnya peleburan merupakan wujud cinta kasih Tuhan kepada 

makhluk ciptaannya sama seperti ketika Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya.

Penciptaan yang di dalamnya juga terkadung peleburan adalah wujud cinta kasih tuhan. 

Manusia sangat mudah memahami jika penciptaan itu sebagai wujud cinta kasih Tuhan. 

Tetapi sebaliknya manusia sangat sulit untuk memahami bahwa peleburan atau 

kematian itu sebagai wujud kasih sayang Tuhan. Satu di antara seribu belum tentu ada 

orang yang dapat memahami bahwa kematian itu adalah wujud dari kasih sayang 

Tuhan. Sri Arjuna saja yang termasuk manusia unggul dengan kecerdasan rohani yang 

tinggi, namun tidak bisa memahami kematian sebagai wujud kasih sayang Tuhan 

(Donder, 2007).

Peleburan atau dalam ajaran agama Hindu disebut pralina dalam Kamus Jawa Kuna 

diartikan sebagai larut, hilang, padam, habis, mati (Zoetmulder, 2006). Konsep peleburan alam 

semesta juga dijelaskan dalam teks Ganapati Tattwa, yang digambarkan melalui dialog antara 

Dewa Siwa dengan Sang Hyang Ganapati. Berikut merupakan ulasan percakapan antara 

keduanya yang membahas tentang peleburan alam semesta.

Ganapati uwaca, sembahning tanaya ra sanghulun, hana warahana ranak Bhatara ri 

hilang nikaneng urip, maring henti paranya, ya tika waraha patik Bhatara. 

(Ganapati Tattwa, 1. 16)

Terjemahan:

Ganapati berkata, “Sembahnya hamba putra tuanku, ada lagi beritahukanlah hendaknya 

putra paduka Bhatara mengenai keadaan hilangnya hidup itu, hingga batas sasarannya 

yang terakhir, itulah jelaskan pada hamba paduka Bhatara”.

(Mirsha, dkk. 1995)

Iswara uwaca, udhuh anaku sang Ganapati, atyanta mahabhara patakwanananta ri 

Kami, aluhur ndatan pahingan, ajero ndatan katutugan, denta tumakwani guna, 

mangke den enak pwa kita ng rasanana, Kami apawarahanaku, ilang ning atma, 

mantuk mareng jiwa, ilang ning anaku, umantuk mareng nirwana, ilang nikang 

nirwana, mantuk mareng sunya, ilang ning sunya, mantuk mareng suksmarupa, ilang 

ning sukmarupa, umantuk mareng sang hyang ngamut mnga, sthana nira ring agraning 

akasa, hilang sang hyang ngamut mnga, mantuk mareng sarining niskala.

Terjemahan:

Iswara bersabda, “Aduh putraku Sang Ganapati, sungguh sangat hebat pertanyaanmu 

padaku, menanjak tinggi tiada batasnya, mendalam tanpa tersusulkan, olehmu 

menanyakan yang bermanfaat, kini hendaknya baik-baiklah olehmu 

memperhatikannya, Daku memberi penjelasan pada putraku: hilangnya atma kembali 

ke jiwa, hilangnya jiwa kembali ke nirwana, hilangnya nirwana itu kembali ke Sunya, 

hilangnya Sunya kembali ke Suksma-rupa, hilangnya Suksma-rupa kembali ke 

Sanghyang Ngamut-Menga, beristina dipuncak angkasa (ether), hilang Sanghyang 

Ngamut-Menga kembali ke inti sarinya kegaiban (niskala).

(Mirsha, dkk. 1995)

Ganapati uwaca, sembah ning tanaya ra sanghulun, kayan hupta ranak Bhataratanya, 

henti ikang ingaranan agraning akasa, sthana nira sang hyang ngamut mnga, hanta 

waraha patik Bhatara.

(Ganapati Tattwa, 1. 18)

Terjemahan:

Ganapati berkata, “Sembahnya hamba putra paduka, semakin berminat hamba putra 

Bhatara hendak bertanya, sampai dimana batasnya yang dimaksud dengan puncaknya 

angkasa/ether, (dan) statusnya Sanghyang Ngamut-Menga, tolonglah hendaknya 

beritahukan hamba putra Bhatara selanjutnya!”.

(Mirsha, dkk. 1995)

Iswara uwaca, udhu kita sang Ganapati, ikang ingaranan agra ning aksa ring 

lingganada, ya ta babahan tunggal alineb, ngaran babahan purusa, ya ta marganira 

sang hyang Siwatma, mwah yapwan teka ri kapatyanta hana metu ring puser kadi kukus 

rupa nira, sang hyang Siwatma sah pwa sira saking puser anuju maring Siwamandala. 

Siwamandala ngaran ring suka tan pabalik duhkha, hayu tan pabalik hala, tan hana 

swabhawa nira tkerika, ya Siwaman dala ngaran, mwah hana sang hyang Pancatma 

nga, lwirnya, atma, paratma, antaratma, niratma, sunyatma, yeka tunggalakena 

maring Siwatma, sang hyang Siwatma amengkena babahan ning ineb, anuju maring 

pantara, warna kadi hemas linebur, ya ta dalan rahayu dahat, yekara arah babahan 

nga, haywa simepang yapwan teka ri patinta, hay wa tan wawa anaku, reh rahasya 

temen ika.

(Ganapati Tattwa, 1. 19)

Terjemahan:

Iswara bersabda, “Aduh engkau anakku Sang Ganapati, adapun yang dimaksud 

puncaknya angkasa itu ialah pada Lingga Nada, yaitu hubungan tunggal yang 

gaib/rahasia, disebut juga koneksi Purusa, itulah perlintasannya Sanghyang Siwatma, dan apabila tiba saatnya kamatian itupun ada juga muncul pada pusar/nabi bagaikan 

asap wujudnya, Sanghyang Siwatma sesudahnya pindah dari pusar/nabi menuju ke 

Siwamandala (Siwaloka/Alam Siwa), Alam Siwa itu bermakna bahagia tanpa kembali 

sangsara, baik tiada terbalik buruk, tak ada pengaruh materi hingga disana, itulah yang 

dimaksud Siwamandala. Dan ada lagi yang disebut Sanghyang Pancatma yaitu: Ātman, 

Parātman, Antarātman, Nirātman, dan Sunyātman, itu semua bertunggalan pada 

Siwatma, Sanghyang Siwatma membuka hubungannya pada ubun-ubun, menuju 

saluran yang patut ditempuh, warnanya bagaikan emas-limbur, itulah saluran yang amat 

utama, demikianlah yang dimaksud rangkaian sulur koneksi, janganlah keliru, 

meskipun menjelang tiba ajalmu, jangan ragu anakku, sebab hal itu sangat rahasia”.

(Mirsha, dkk. 1995)

Penjelasan pada sloka di atas memberikan gambaran peleburan alam semesta melalui 

penjelasan peleburan pada kehidupan manusia. Pada pembahasan sloka sebelumnya yaitu sloka

1.8 dijelaskan bahwa manusia dan alam semesta tunggal adanya, karena keduanya sama-sama 

terlahir dari Windu dan segala proses yang terjadi di antara keduanya adalah sama. Jadi dapat 

disimpulkan bahwa konsep peleburan pada manusia sama dengan konsep peleburan pada alam 

semesta. Pada sloka di atas dijelaskan bahwa peleburan terjadi ketika hilangnya ātman atau 

dalam konsep semesta unsur-unsur pembentuk alam semesta telah hilang dan kembali ke 

entitas asalnya (jiwa), kemudian Ia kembali ke nirwana, dan nirwana kembali ke sunya. Pada 

akhirnya sunya akan kembali ke suksma rupa, dan suksma rupa akan kembali ke Sanghyang 

Ngamut Menga, kemudian Beliau berkedudukan di puncak angkasa atau ether (puncak angkasa 

yang dimaksud adalah Lingga Nada). Kemudian dalam keadaan tertentu Sanghyang Ngamut 

Menga akan kembali kepada entitas tertinggi alam semesta sebagai spirit puncak yaitu Tuhan 

yang Niskala atau Nirguna yang tidak dapat dibayangkan dan dipikirkan kemahakuasaannya. 

Inilah yang disebut sebagai peleburan alam semesta dalam teks Ganapati Tattwa. 

Dalam prosesnya, Hindu menyakini bahwa setiap penciptaan pasti akan ada pemeliharaan di 

dalamnya dan juga akan ada peleburan atas semua yang diciptakan dan dipelihara. Akan tetapi, 

Hindu juga mengenal konsep bahwa setiap yang dilebur pasti akan diciptakan kembali, dan 

konsep ini juga dijelaskan dalam teks Ganapati Tattwa.

Niskalaj jayate nado nadad bindusamudbhavah, bindos candrasamudbhavas candrad 

visvah punah-punah. Kalinganya, ikang niskalamijalaken nada, sakeng nada 

ngmijilaken bindu, sakeng bindu ngamijilaken ardhacandra, sakeng ardhacandra 

ngamijilaken wiswa maluy-waluy laksananya, wiswa ngaran sanghyang Pranawa, 

sang hyang Pranawa jatinya Omkara. 

(Ganapati Tattwa, 2. 25)

Terjemahan:Dari Niskala lahir Nada, dari Nada muncul Bindu, dari Bindu lahir bulan (semi), dari 

bulan itu ada Wisnu/dunia berulang-ulang. Tegasnya, yang Niskala itu melahirka Nada, 

dari Nada melahirkan Bindu, dari Bindu melahirkan Ardha-candra, dari Ardha-candra

melahirkan Wiswa/alam semesta, berulang-ulang pelaksanaannya; Wiswa berarti 

Sanghyang Pranama, Sanghyang Pranawa, sesungguhnya adalah Om-kara. 

(Mirsha, dkk. 1995)

Candvrena sahito visvo yojitah saha binduna, nadena samhrtyaikadha Omkarah 

kirtitah sada. Ikang wiswa masamyoga lawan ardhacandra, mwang bindu lawan nada, 

ikang Pranawa ardhacandra mwang bindu nada mapisan, matemahan Omkara 

wekasan. 

(Ganapati Tattwa, 2. 26)

Terjemahan:

Wiswa (alam) berpadu dengan Candra (semi bulan), Bindu dan dengan Nada, dari 

perpaduan itu senantiasa mewujudkan Om-kara. Wiswa itu berpadu dengan 

Ardhacandra dan Bindu beserta Nada; energi hidup Ardhacandra dan Bindu serta Nada 

itu menunggal, menjadi Om-kara selanjutnya. 

(Mirsha, dkk. 1995)

Visvah praliyate candre candras ca liyate bindau, bindus ca liyate nada ity etat 

kramalaksanam. Ikang wiswa umet ring ng ardhacandra, ikang ng ardhacandra lina 

ring bindu, ikang bindu ya ta umet ring riada, nahan ta. laksana ning tattwa. Mwang 

ikang nada mulih ring niskala, niskala ngaran mayatattwa, pradhana ika makolihan 

ing riada. Mwah ikang niskala mulih maring sunyahtara, ikang sunyantara mulih 

maring atyantasunya, makolihan ing niskala. Mwang anaku sang Ganapati, ikang 

ingaranan utpatti sthiti pralinan sang hyang Pranawa.

(Ganapati Tattwa, 2. 27)

Terjemahan: 

Wiswa melekat pada Candra, dan Candra menempel pada Bindu, serta Bindu kembali 

pada Nada, demikianlah perihal/keadaan aktivitasnya. Wiswa itu bergantungan pada 

Ardhacandra, Adhacandra itu lebur dalam Bindu, Bindu itulah bergantungan pada 

Nada, demikianlah halnya ajaran Fisalfat, dan Nada itu kembali ke Niskala. Niskala itu 

disebut Mayatattwa, itulah Pradhana (materi) pengembalian-nya pada Nada, dan 

Niskala itu kembali ke Sunyantara, Sunyantara itu kembali ke Atyanta-Sunya, sebagai 

pengembaliannya Niskala dan Anakku Sang Ganadhipa, adapun yang dimaksud Uttpti

(lahir), Stiti (hidup), dan Pralina (lebur) itulah Sanghyang Pranawa.

Konsep penciptaan kembali alam semesta dijelaskan secara terperinci pada sloka di 

atas. Dimulai dari konsep peleburan yang berada pada puncak tertingginya yaitu Niskala, 

kemudian darinya lahir Nada, dari Nada muncul Bindu, dari Biindu kemudian lahir bulan 

(semi), dan dari bulan itu ada Wisnu/dunia berulang-ulang. Kesimpulan yang dapat ditarik 

secara tegas adalah bahwa dari Niskala melahirka Nada, yang selanjutnya dari Nada

melahirkan Bindu, dan dari Bindu melahirkan Ardhacandra, serta dari Ardhacandra

melahirkan Wiswa/alam semesta, berulang-ulang pelaksanaannya; Wiswa berarti Sanghyang 

Pranama, Sanghyang Pranawa, sesungguhnya adalah Om-kara.

Om-kara merupakan perpaduan antara Wiswa, Candra, Bindu, dan Nada. Pada 

hakikatnya Wiswa melekat pada Candra, kemudian Candra melekat pada Bindu, dan pada 

akhirnya Bindu kembali pada Nada. Konsepnya adalah Bindu sangat bergantung pada 

Ardhacandra, sementara Ardhacandra lebur dalam Bindu, dan Bindu bergantung pada Nada. 

Kemudian pada akhhirnya Nada akan kembali ke Niskala. Niskala disebut sebagai 

Mayatattwa, inilah, yang disebut sebagai Pradhana (materi), yang pengembaliannya nanti 

adalah pada Nada, sementara Niskala akan kembali ke Sunyantara. Kemudian Sunyantara

akan kembali ke Atyantasunya, yang pengembaliannya nanti pada Niskala, dan yang dimaksud 

sebagai Uttpti (lahir), Stiti (hidup/memelihara), dan Pralina (lebur) adalah Sanghyang 

Pranawa.






Konsep Kosmologi Hindu dalam teks Ganapati Tattwa terdiri atas penciptaan (uttpti), 

pemeliharaan (stiti), dan peleburan (pralina). Penciptaan dimulai dari Om-kara yang 

melahirkan Windu, dan dari Windu melahirkan Panca Daiwātmā. Sementara setiap unsur￾unsur atau bagian-bagian Panca Daiwātmā melahirkan unsur-unsur Panca Tanmatra, dan 

Panca Tanmatra kemudian melahirkan Panca Maha Bhuta.

Pemeliharaan alam semesta terjadi setelah proses penciptaan selesai, dan ini dimulai 

dari unsur-unsur Panca Daiwātmā yang memiliki tugas untuk memilihara alam semesta beserta 

dengan isinya. Brahma berada di selatan berfungsi untuk memilihara tanah/bumi, Wisnu berada 

di utara berfungsi untuk memelihara zat cair/air, Rudra berada di barat berfungsi untuk 

mengendalikan matahari, bulan dan bintang, Daku (Iswara) berada di timur berfungsi untuk 

mengatur udara/angin, dan Sanghyang Sadasiwa bersada di tengah berfungsi untuk 

memelihara ether/atmosphere. Inilah tata letak arah dan fungsi pemeliharaan Panca Daiwātmā

di dunia atau alam semesta (bhuwana agung).Selanjutnya setelah pemeliharaan maka sebagai sebuah kodrat yang mutlak, setiap yang 

diciptalan pasti akan dilebur. Maka konsep peleburan yang terjadi bermula dari hilangnya 

ātman atau dalam konsep semesta unsur-unsur pembentuk alam semesta telah hilang dan 

kembali ke entitas asalnya (jiwa), kemudian ia kembali ke nirwana, dan nirwana kembali ke 

sunya. Pada akhirnya sunya akan kembali ke suksma rupa, dan suksma rupa akan kembali ke 

Sanghyang Ngamut Menga, kemudian Beliau berkedudukan di puncak angkasa atau ether

(puncak angkasa yang dimaksud adalah Lingga Nada). Kemudian dalam keadaan tertentu 

Sanghyang Ngamut Menga akan kembali kepada entitas tertinggi alam semesta sebagai spirit 

puncak yaitu Tuhan yang Niskala atau Nirguna yang tidak dapat dibayangkan dan dipikirkan 

kemahakuasaannya. 

Setalah dilebur, maka pasti akan ada penciptaan kembali, hal ini dijelaskan dalam teks 

Ganapati Tattwa bahwa penciptaan kembali berawal dari konsep peleburan yang berada pada 

puncak tertingginya yaitu Niskala, kemudian darinya lahir Nada, dari Nada melahirkan Bindu, 

dan dari Bindu melahirkan Ardhacandra, serta dari Ardhacandra melahirkan Wiswa/alam 

semesta, berulang-ulang pelaksanaannya; Wiswa berarti Sanghyang Pranama, Sanghyang

Pranawa, sesungguhnya adalah Om-kara. Om-kara merupakan perpaduan antara Wiswa, 

Candra, Bindu, dan Nada. Keempatnya merupakan awal pembentukan konsep Uttpti (lahir), 

Stiti (hidup/memelihara), dan Pralina (lebur) yang disebut sebagai Sanghyang Pranawa.










Ganapati Tattwa merupakan salah satu teks yang membahas 

secara gamblang perihal ajaran tattwa yang bernuansa siwaistik. 

Seluruh ajaran yang terdapat dalam teks Ganapati Tattwa

disajikan dalam bentuk dialogis antara Dewa Siwa dengan 

putranya Sang Hyang Ganapati. Sang Hyang Ganapati

mengajukan begitu banyak pertanyaan kepada Dewa Siwa tentang 

hakikat alam semesta, hakikat manusia, ajaran yoga, kelepasan, 

dan lain sebagainya yang dijawab dengan bijaksana oleh Dewa 

Siwa. Ganapati Tattwa menjelaskan konsep Kosmologi Hindu 

secara jelas tidak hanya dalam tataran penciptaan akan tetapi 

sampai pada tataran pemeliharaan, peleburan dan bahkan sampai 

pada proses penciptaan kembali alam semesta. Hal ini yang 

menyebabkan Kosmologi Hindu dalam teks Ganapati Tattwa 

berbeda dengan ajaran kosmologi dalam teks lainnya yang belum 

tentu membahas secara menyeluruh konsep Kosmologi Hindu. 

Kosmologi Hindu dalam teks ini dijelaskan berawal dari Om-kara

yang kemudian melahirkan Windu dan berakhir pada 

pembentukan alam semesta melalui unsur-unusr Panca Maha 

Bhuta. Selanjutnya akan mengalami pemeliharaan yang 

diakomodir oleh unsur-unsur Panca Daiwatma, kemudian 

dilanjutkan dengan peleburan sampai pada konsep Niskala. Pada 

akhirnya, alam semesta akan mengalami penciptaan kembali dari 

konsep Niskala akan melahirkan Om-kara kembali sebagai cikal 

bakal penciptaan alam semesta.