Alam semesta merupakan tempat yang sangat luas dan tak seorang pun mengetahui
dimana ujungnya dan bagaimana rupanya yang sesungguhnya. Terdapat bergitu banyak galaksi
yang bertaburan di alam semesta. Menjadi sebuah rahasia umum ketika banyak manusia begitu
kagum dengan alam semesta yang maha luas ini meski tak sekalipun pernah melihat isi
keseluruhannya. Hanya sedikit bagian saja yang diketahui manusia sudah membuatnya begitu
takjub dan kagum. Taburan berjuta hingga bermiliar bintang pada malam hari menambah
kekaguman manusia dan menggugah kuriositas-nya untuk dapat menjamah dan mengetahui
lebih dalam isi dari dalam semesta. Hal serupa juga disampaikan oleh (Sagan, 1997) sebagai
berikut:
Dari suatu tempat yang menguntungkan di ruang antar galaksi, kita akan melihat,
bertebaran seperti buih laut pada gelombang ruang angkasa, tak terhitung banyaknya
sulur cahaya yang mengutas dan lemah. Ini adalah galaksi-galaksi. sebagian merupakan
pengembara yang terpencil; kebanyakan berisi gugus-gugus komunal, berkelompok
bersama, mengalir tak berakhir dalam kegelapan kosmik raya.
Ada beberapa ratus miliar (1011) galaksi, masing-masing dengan rata-rata seratus
miliar bintang. Dalam semua galaksi itu, mungkin ada planet sebanyak bintang, 1011 x
1011 : 1022, sepuluh miliar triliun.
Rasa ingin tahu yang begitu tinggi membuat manusia berupaya sekeras mungkin untuk
menciptakan berbagai teknologi lewat pengetahuan yang terus berevolusi dari sumber
utamanya yaitu filsafat ”The Mother of Sains”. Pertanyaan-pertanyaan mendasar tetapi filosofis
mulai menyelimuti cara berpikir manusia seperti: Ada apa di atas sana? Mengapa begitu banyak
bintang? Seberapa luasnya? Apa saja yang ada disana selain bintang dan bulan? Siapa yang
menciptakan ini semua? Bagiaman Ia menciptakan? Berapa lama Ia menciptakan? Sebelum ada semua ini, dulunya apa? Ini merupakan beberapa pertanyaan yang muncul di benak
manusia yang haus akan pengetahuan tentang banyaknya misteri di alam semesta. Banyak
ilmuan yang mencoba menjabarkan alam semesta lewat berbagai pemikirannya yang
dituangkan ke dalam sebuah teori guna merepresentasikan alam semesta.
Salah satu ilmuan yang paling terkenal dan teorinya masih digunakan sampai sekarang
adalah George Lemaitre dengan teorinya yang berjudul Big Bang. Teori yang dikemukan oleh
George Lemaitre pada tahun 1927 ini awalnya bernama “Hipotesis Primeval Atom”. Menurut
teori ini alam semesta pada awalnya berada dalam keadaan sangat panas dan padat seperti
thermo reactor nuklir. Tiba-tiba dengan alasan yang tidak begitu jelas keadaan panas dan padat,
alam semesta mulai berkembang pesat setelah ledakan atau “Big Bang” sekitar 13,7 juta tahun
yang lalu dan terus berkembang hinga saat ini (Gupta, 2017).
Pada hakikatnya alam semesta merupakan ruang yang begitu luas dan hampa serta
kosong. Kehidupan manusia di bumi sebenarnya diliputi oleh ruang kosong ini dan bumi serta
manusia dan seluruh makhluk hidup yang ada di dalamnya hanya sebagian kecil dari
keseluruhan isi alam semesta. Disadari atau tidak, kita selalu dikelilingi oleh ruang dan 99%
dari alam semesta terdiri dari ruang kosong. Ruang adalah yang paling halus dari semua
eksistensi fisik. Mengingat sifatnya yang sangat halus, misteri ruang masih menjadi tantangan
bagi komunitas ilmiah sampai saat ini, meskipun kemajuan ilmu modern berkembang pesat
(Gupta, 2017). Teknologi merupakan hasil dari aplikasi ilmu modern yang digunakan manusia
untuk membedah dan menganalisa isi dari dalam semesta. Akan tetapi teknologi belum dapat
sepenuhnya membantu manusia dalam menjawab seluruh pertanyaan tentang alam semesta.
Manusia terus berupaya untuk menggali pengetahuan yang dapat merepresentasikan
alam semesta sehingga lahirlah sebuah disiplin ilmu yang disebut kosmologi. Kosmologi
merupakan disiplin ilmu yang secara spesifik membahas tentang alam semesta. Kosmologi
merupakan derivat dari ilmu filsafat, sebagaimana karakter atau sifat dari ilmu filsafat yang
merupakan sumber dari semua ilmu pengetahuan, maka demikian juga kosmologi memiliki
keterkaitan dengan berbagai bidang ilmu pengetahuan (Donder, 2007). Kosmologi berasal dari
kata cosmology yang terdiri dari dua kata, yaitu dari kata cosmos, dan kata logy, kata cosmos
berarti jagat raya atau alam semesta, dan kata logy berarti ilmu pengetahuan. Jadi Kosmologi
adalah ilmu pengetahuan tentang alam semesta (Donder, 2007).Kosmologi dalam pandangan filsafat Hindu memberikan penjelasan tentang proses
terjadinya alam semesta didasarkan pada kepercayaan akan entitas besar yang menyelimuti
alam semesta, yaitu Tuhan. Sehingga kosmologi memiliki ruang tersendiri dalam pandangan
Hindu yang disebut dengan istilah Kosmologi Hindu. Dalam Kosmologi Hindu peran Tuhan
sebagai causa prima tidak dapat dilepaskan dari seluruh proses penciptaa hingga peleburan
alam semesta (Donder, 2007). Akan tetapi menurut (Donder, 2007) dalam bukunya yang
berjudul “Kosmologi Hindu Penciptaan, Pemeliharaan, dan Peleburan Serta Penciptaan
Kembali Alam Semesta” menyatakan bahwa berbeda dengan kosmologi yang umum dipelajari
oleh ilmuan barat, Kosmologi Hindu menempatkan Tuhan pada posisi pertama dan utama
sebagai causa prima, “cikal-bakal” (sangkan paraning dumadi) dari alam semesta ini.
Kosmologi Hindu melihat penciptaan alam semesta atau jagat raya ini bermula dari Tuhan.
Dari dalam badan atau kandungan tuhan (hiranya garbha) alam semesta ini dilahirkan, dan
kemudian ke dalam kandungan tuhan (hiranya garbha) pula alam semesta ini akan
dikembalikan.
Jika ditelusuri secara seksama dan menyeluruh terdapat banyak ajaran kosmologi yang
tertuang ke dalam teks-teks suci Sruti dan Smrti. Masyarakat Hindu di Indonesia dan Bali
khususnya mempercayai kitab-kitab agama (Nibandha) sebagai rujukan kehidupan beragama
sehari-hari. Kitab-kitab agama tersebut disebut dengan nama lontar. Sebagaimana yang
dikatakan oleh (Ambarnuari, 2016) bahwa kitab-kitab agama yang digunakan masyarakat
Hindu di Indonesia yakni dikenal dengan lontar, lontar-lontar ini tersebar di seluruh
Nusantara, dan beberapa di antaranya masih tersimpan dan dilestarikan oleh umat Hindu di
pulau Bali.
Salah satu lontar yang ada di Bali dan kental akan ajaran Kosmologi Hindu adalah
lontar Ganapati Tattwa. Lontar Ganapati Tattwa ini telah di alih aksarakan dan di alih
bahasakan ke dalam bahasa Kawi dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Pusat
Dokumentasi Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Penelitian ini berupaya untuk menganalisis
secara mendalam bagaimana ajaran Kosmologi Hindu dalam teks Ganapati Tattwa yang
terkonstruk dalam beberapa pembahasan tentang proses penciptaan, pemeliharaan dan
peleburan serta penciptaan kembali alam semesta berdasarkan pada perspektif teks Ganapati
Tattwa dan literatur Kehinduan lainnya. Selain itu ajaran Kosmologi Hindu juga terdapat dalam
beberapa lontar lainnya seperti Bhuwana Kosa, Ādi Parwa, dan Tattwa Jñana.Ajaran Kosmologi Hindu dalam lontar Bhuwana Kosa, dijelaskan dengan
menggunakan konsep Tattwa Rudra. Tattwa Rudra terjadi dari Śiwa sebagai realitas tertinggi,
lalu bersatu dengan Rudra menjadi Purusa, dari Purusa lahir Awyakta, dari awyakta lahir
Buddhi, dari Buddhi (sebagai simbol dari sattwam) lahir Ahamkara/Ahangkara (simbol rajas),
kemudian lahir Panca Tan Matra sebagai simbol tamas, manah (pikiran) dan Panca Maha
Bhuta (Sena, 2017).
Selanjutnya dalam lontar Ādi Parwa, dijelaskan bahwa ajaran Kosmologi Hindu
dimulai dari alam semesta yang kosong (sunya). Alam semesta yang kosong (sunya) bertemu
dengan Śangkara (Śiwa) dengan Pārwatī. Dari pertemuan itu lahirlah alam semesta. Ajaran
Kosmologi Hindu yang terdapat dalam lontar ini diceritakan dalam proses perputaran Gunung
Māndara. Gunung Māndara keluar dari minyak, Ardhacandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi, kuda
Uchchaihshravas, Kastubhami, dan Amrta (Saitya, 2019).
Kemudian yang terakhir adalah ajaran Kosmologi Hindu yang terdapat dalam lontar
Tattwa Jñana dimulai dengan Cetana (elemen kesadaran) dan Acetanan (elemen
ketidaksadaran), berikut merupakan ulasan ajaran Kosmologi Hindu dalam lontar Tattwa
Jñana:
Cetana (elemen kesadaran) dan Acetanan (elemen ketidaksadaran) yang bersumber dari
Bhatara Siwa dan merupakan elemen Siwa Tattwa dan Maya Tattwa. Brahman ingin
melihat benda yang diciptakan oleh-Nya menjadi nyata, maka Sang Hyang Atma
diberikan untuk dipenuhi dengan Pradhana Tattwa. Pertemuan ini menghasilkan
Purusa dan Pradhana yang pada akhirnya Purusa dan Pradhana bertemu kemudian
lahirlah Citta yang merupakan simbol dari bentuk kasar Purusa. Kemudian setelah
Citta, Guna lahir, sebagai simbol Pradhana Tattwa yang diberikan kesadaran oleh
Purusa. Kemudian dari pertemuan Tri Guna dengan Citta maka lahirlah Buddhi.
Buddhi merupakan simbol dari pikiran, sebagai bentuk kasar Tri Guna yang diberikan
kesadaran oleh Citta. Buddhi melahirkan Ahangkara/Ahamkara. Ahangkara adalah
penyebab munculnya Panca Tan Matra. Panca Tan Matra melahirkan Panca Maha
Bhuta (Sena, 2019).
Ketiga lontar di atas menjabarkan ajaran Kosmologi Hindu secara umum dan sebatas
menjelaskan dari unsur yang paling halus hingga menuju unsur yang paling kasar. Tidak dijabarkan secara spesifik ciptaan yang dihasilkan dari proses Virat Vidyā yang terjadi, seperti
ciptaan yang paling kecil berupa objek hidup dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan ajaran
Kosmologi Hindu yang dijabarkan dalam teks Ganapati Tattwa. Ajaran Kosmologi Hindu
yang dijelaskan dalam teks ini tidak hanya menjelaskan proses kosmologi dari unsur yang
paling halus hingga pada unsur yang paling kasar, akan tetapi lebih menggambarkan hasil
ciptaan sampai pada yang paling kecil dan kompleks. Sangat jarang sekali ditemui teks atau
lontar seperti teks Ganapati Tattwa ini, yang menjabarkan ajaran Kosmologi Hindu secara rinci
dan sistematis. Kebanyakan hanya menjelaskan secara umum dan berhenti pada tataran konsep
pembentuk ciptaan tanpa diteruskan hingga pada tataran dimensi ciptaan berupa objek yang
hidup dan mengisi kehidupan di alam semesta. Bedasarkan pada latar belakang dan previous
studies di atas maka artikel ini akan berusaha membahas tentang ajaran Kosmologi Hindu yang
terdapat dalam teks Ganapati Tattwa guna menambah wawasan, referensi, dan khazanah
pengetahuan peneliti serta pembaca sehingga dapat berguna bagi masyarakat dan ilmuan Hindu
serta berimplikasi pada masa depan pengetahuan Hindu mendatang.
Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif deskriptif. Dimana data-data atau informasi yang didapat akan dituangkan ke dalam
bentuk narasi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang formal dan sesuai dengan EYD.
Data-data dalam penelitian ini terbagi atas data primer dan data sekunder. Data primer dalam
penelitian ini adalah teks Ganapati Tattwa sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah
buku dan jurnal yang berkaitan erat dengan objek kajian penelitian ini.
Seluruh data dalam penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan dan dokumen
untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis data dari Miles dan
Huberman, dimana aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan
berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh (Sugiyono,
2019). Sedangkan berkaitan dengan instrumen penelitian menurut (Sugiyono, 2019)
merupakan suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati.
Instrumen penelitian yang digunakan dalam pengumpualan data penelitian ini adalah alat tulis,
laptop, serta buku-buku penunjang penelitian.
Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Hermeneutika dari Josef
Bleicher. Hermeneutika merupakan sebuah teori yang berupaya untuk merepresentasikan makna berdasarkan pada kajian filsafat. Teori Hermeneutika Josef Bleicher menjelaskan
bahwa:
Hermeneutika dapat di definisikan secara longgar sebagai suatu teori atau filsafat
interpretasi makna. Baru-baru ini Hermeneutika telah muncul sebagai topik dalam
filsafat ilmu-ilmu sosial, filsafat seni dan bahasa, dan dalam kritik sastra meski asalusul modernnya bermula dari awal abad sembilan belas. Kesadaran bahwa ekspresiekspresi manusia berisi sebuah komponen penuh makna, yang harus disadari
sedemikian rupa oleh subjek dan yang diubah menjadi sistem nilai dan maknanya
sendiri, telah memunculkan ‘persoalan-persoalan Hermeneutika’: bagaimana proses ini
memungkinkan untuk dilakukan dan bagaimana mengubah makna yang dimaksudkan
secara subjektif menjadi objektif berdasarkan kenyataan bahwa mereka dimediasikan
oleh subjektivitas interpretator sendiri. Hermeneutika kontemporer dicirikan oleh
pandangan-pandangan yang dipenuhi dengan perdebatan mengenai persoalanpersoalan ini, yang dapat dibagi menjadi tiga bidang yang jelas-jelas terpisah, yaitu:
Teori Hermeneutis, Filsafat Hermeneutik, dan Hermeneutika kritis. Teori
Hermeneutika memusatkan diri pada persoalan teori umum interpretasi sebagai
metodelogi bagi ilmu-ilmu humaniora (atau Geisteswissenchaften, termasuk juga
didalamnya ilmu-ilmu manusia). Melalui analisis atas verstehen sebagai metode yang
cocok untuk mengalami kembali atau berpikir kembali atas apakah yang sesungguhnya
dirasakan atau dipikirkan oleh pengarang (Bleincher, 2007).
Teks Ganapati Tattwa ditulis dengan menggunakan bahasa kawi yang menyebabkan
tidak semua orang dapat memahami arti dan maknanya. Oleh sebab itu, peneliti berupaya untuk
merepresentasikan makna dari teks ini menggunakan teori Hermeneutika agar mudah dipahami
oleh pembaca nantinya sebagai upaya untuk menambah khazanah pengetahuan pembaca dan
juga peneliti. Hal ini sesuai dengan prinsip kerja teori Hermeneutika yang berupaya untuk
memberikan penafsiran terhadap isi teks sehingga dapat memperoleh makna yang terkandung
dalam tek tersebut. Maka dari itu, teori Hermeneutika sangat cocok untuk membahas konsep
penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan serta penciptaan kembali alam semesta dalam teks
Ganapati Tattwa sebagai hasil dari interpretasi makna terhadap teks tersebut.
Pembahasan
1. Gambaran Umum Teks Ganapati Tattwa
Teks Ganapati Tattwa adalah sebuah lontar yang memiliki nuansa ajaran tattwa atau
Ketuhanan. Ganapati Tattwa merupakan teks yang bersifat siwaistik dengan tokoh utamanya
yaitu Dewa Siwa dan Sang Hyang Ganapati (Laksmi, dkk. 2018). Lontar ini berisi percakapan
antara Ganapati dengan Dewa Siwa. Ganapati adalah putra dari Dewa Siwa dan merupakan
dewa penanya yang sangat cerdas. Dewa Siwa adalah Maheswara, yang menjelaskan sekaligus
mereinterpretasikan mengenai seluk beluk alam semesta atau jagat raya beserta isinya. Terutama bagi umat Hindu yang memiliki tujuan hidup mulia yaitu moksartham jagadhita ya
ca iti dharma atau mencapai jagadhita (kesejahteraan jasmani) dan moksa (ketentraman batin)
(Diantary & Hartaka, 2020). Teks Ganapati Tattwa di tulis ke dalam 37 lembar daun tal
(rontal) dan di susun ke dalam 60 bait dengan menggunakan ulasan berbahasa Kawi.
Penjelasan sloka-sloka dalam lontar ini ada yang isinya singkat dan ada juga yang isinya
panjang, terutama pada bagian pendahuluan atau permulaan.
Setiap ajaran tentunya memiliki pokok-pokok atau inti sari ajarannya masing-masing,
tak terkecuali teks Ganapati Tattwa. Teks yang bercorak filsafat siwaistik ini memiliki pokokpokok ajaran yang tidak jauh berbeda dengan lontar-lontar tattwa lainnya yang ada di Bali
seperti Jnanasidhanta, Wrhaspati Tattwa, Bhuwana Kosa, dan yang lainnya. Adapun pokokpokok ajaran yang terdapat dalam teks Ganapati Tattwa menurut (Mirsha, dkk. 1995)sebagai
berikut:
Omkara adalah sabda śunya, nada Brahman, asal mula dari mana Panca Daiwātmā:
Brahma, Wisnu, Iśwara, Rudra dan Sang Hyang Sadāśiwa di lahirkan. Panca
Daiwātmā adalah sumber dari mana Panca Tanmatra di ciptakan. Panca Tanmatra:
ganda, unsur bau; rasa, unsur rasa/kenikmatan; rupa, unsur bentuk; sparsa, unsur
rabaan; dan sabda, unsur suara adalah sumber dari Panca Mahābhuta: akaśa, ether,
bayu, angin; teja, sinar; apah, zat cair, dan perthiwi, zat padat. Dari Panca Mahābhuta
inilah alam semesta beserta isinya di ciptakan, dan Sang Hyang Śiwātma menjadi
sumber hidup yang menggerakan segala ciptaan-Nya (sloka 1-2, 25-39).
Sadanggayoga: Pratyahārayoga, Dhyānayoga, Pranayāmayoga, Dharanayoga,
Tarkkayoga dan Semadhiyoga adalah jalan spiritual untuk mencapai kelepasan,
dijelaskan dalam sloka 3-9.
Sloka 10, 18, 19, 22-24 menjelaskan tentang “Padma Hati” sebagai Śiwalingga dimana
Beliau harus direnungkan. Hanya ia yang bijaksana, berhati suci dan penuh keyakinan
yang dapat mengetahui Beliau. Beliau hendaknya setiap saat dipuja dengan sarana Sang
Hyang Caturdasāksara. Sedangkan sloka 11-17 menjelasakan tentang berbagai jenis
lingga.
Sloka 20 menerangkan anggapan orang yang bodoh dan sombong tentang ātman.
Sloka 21 menjelaskan stana Bhatara Wisnu, Brahma dan Śiwa pada badan jasmani.
Sloka 40-42 menjelaskan bahwa Sang Hyang Bheda Jnana adalah ajaran rahasia
tentang manusia. Yang berhak menerima ajaran rahasia ini adalah ia yang sungguhsungguh melaksanakan dharma.
Sloka 43-55 menjelaskan tentang kelepasan. Ada tiga prilaku orang yang
mengutamakan kebebasan dan pengetahuan yang suci adalah sasaran untuk mencapai
penyatuan diri dengan Sang Roh Yang Agung.
Sloka 56-59 menjelaskan tentang panglukatan Ganapati. Sarana upakara yang
diperlukan, mantra yang mesti dipergunakan dan kegunaan panglukatan tersebut. Dan sloka 60 adalah mantra pujaan yang ditujukan kepada Sang Hyang Ganapati dan
Saraswati.
Inilah inti ajaran atau pokok-pokok ajaran yang terdapat dalam teks Ganapai Tattwa,
yang masing-masing sloka-nya memiliki bahasannya tersendiri. Secara konseptual, teks
Ganapati Tattwa pada dasanya memang lebih dominan merujuk pada ajaran kelepasan atau
kamokșan, akan tetapi tidak sedikit juga ajaran kosmologi yang terkandung di dalam teks ini,
utamanya yang berkaiatn dengan Kosmologi Hindu. Maka dari itu kajian Kosmologi Hindu
dalam teks Ganapati Tattwa sangat kompleks sekali dan memiliki keterkaitan dengan lontarlontar tattwa lainnya yang masih satu rumpun.
2. Konsep Penciptaan Alam Semesta
Pencipta atau mencipta dalam ajaran agama Hindu dikenal dengan istilah uttpti. Uttpti
dalam Kamus Jawa Kuna dapat diartikan sebagai lahir, hasil, asal mula, keuntungan,
penghasilan (Zoetmulder, 2006). Dalam kondisi ini Tuhan disebut sebagai uttpti atau yang
menciptakan (sebagai asal mula alam semesta). Berkaitan dengan penciptaan (Donder, 2007)
menjelaskan bahwa:
Sebagaimana dikisahkan dalam kitab-kitab Purana, Upanisad dan Manu Dharmasastra
dan lain-lainnya bahwa keadaan ketika belum ada ciptaan ini demikian sunyi
mencekam tidak ada apa-apa dan tidak ada siapa-siapa. Yang ada dalam kekosongan
itu hanyalah Tuhan saja, kekosongan itu merupakan sebuah garbha atau kandungan
besar bagaikan sebuah kantongan raksasa yang tanpa batas. Di dalam kandungan yang
besar itulah terdapat aset Tuhan berupa astaprakrti. Dalam astaprakrti itu terdapat
delapan unsur yang terdiri dari; prtivi (tanah), apah (air), nala (api), bayu (udara), akasa
(ether), manah (pikiran), buddhi (budi), ahamkara (ego, kehendak). Menyaksikan
keadaan kekosongan itu, Tuhan tergerak untuk menciptakan sesuatu. Tujuannya
penciptaan itu adalah untuk memecahkan kesunyian yang mencekam itu.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh (Gupta, 2017) yang menerangkan bahwa
dengan energi eksternal-Nya (Apara Shakti) Brahman menciptakan elemen dasar ini yang
dapat dihancurkan dengan ketentuan tertentu. Ether (ruang) diciptakan pertama, kemudian
udara diciptakan karena gerakan dalam ruang, gerakan udara menciptakan api, dari panas air
muncul, dan dari air akhirnya bumi diciptakan. Konsep penciptaan alam semesta dijelaskan
dengan lugas dalam dialog antara Sang Hyang Ganapati dan Dewa Siwa yang kemudian
digambarkan lewat teks Ganapati Tattwa, berikut ulasan konsep penciptaan alam semesta
dalam teks Ganapati Tattwa.Ganapati uwaca, sembah ning tanaya ra sanghulun, hanta mwah warahana ri prakasa
ning bhuwana, lamakane wruh ranak rahadyan sanghulun.
(Ganapati Tattwa, 1.3)
Terjemahan:
Ganapati berkata “Sembahnya hamba putra paduka, selanjutnya beritahukanlah lagi
perihal awal mula adanya alam semesta ini agar dapat hendaknya hamba putra tuanku
mengetahuinya”.
(Mirsha, dkk. 1995)
Iswara uwaca, anakku sang Ganapati, mangke pireng wakena pawarah Kami,
umajarakena ri katattwan ing bhuwana, saking Pancadaiwatma mijil pancatanmatra,
lwirnya sakeng Brahma mijil gandha, sakeng Wisnu mijil rasa, sakeng Rudra mijil
rupa, sakeng Kami mijil sparsa, sakeng hyang Sadasiwa mijil sabda, mwah sakeng
sabda mijil akasa kayeki rupanyanira ya, warna kadi suddhasphatika.
Sakeng spasra mijil wayu, kayeki rupa nira wi, sweta a warna, sakeng rupa mijil teja,
kayeki rupa nira ni, warna sweta, bang, ireng, sakeng rasa mijil apah, kayeki rupa nira
omaye, krsna warna nira, sakeng gandha mijil prthiwi, keyeki rupa nira Om, warna
pita, nakaraksaranya, sastraning hurip Omkara, mwah anaku sang Ganapati, sakeng
prthiwi mijil bhumi, saking apah mijil wai, sakeng teja tang aditya, candra, lintang,
sakeng wayu mijil tang angin. sakeng akasa mijil swara, sakeng bhuwana mijil tang
sthawara, trna, taru, lata, gulma, twaksara, mwang janggama, pasu, paksi, mina,
aghnya, mangkana lwiraning bhuwana.
(Ganapati Tattwa, 1.4)
Terjemahan:
Iswara bersabda, “Putraku Sang Ganapati, kini perhatikanlah pemberitahuanku ini
untukmu, hendak menjelaskan mengenai hakikat alam semesta. Dari Panca Daiwātmā
lahir Panca Tanmatra, yaitu dari Brahma lahir bau, dari Wisnu muncul unsur
kenikmatan, dari Rudra timbul mode/bentuk, dari Daku (Iswara) keluar unsur rabaan,
dari Sang Hyang Sadasiwa nada/suara. Lagi pula dari sabda timbul ether, seperti YA
ini rupanya, berwarna bagaikan mutiara bening; dari sparsa muncul angin, begini
rupanya WI, berwarna putih; dari rupa keluar sinar, seperti NI ini modenya, berwarna
putih-merah-hitam dari rasa lahir zat cair, berupa begini sebagai O-MA-YE; hitam
warnanya, dari gandha timbul tanah, bermode bagaikan OM; warna kuning, NA bentuk
hurufnya, berkode spiritual OM-kara. Dan lagi putraku Sang Ganapati: dari perthiwi
terwujudlah bumi, berkat apah muncul air; karena teja tercipta matahari, bulan dan
bintang; oleh karenanya wahyu adalah angin; dari akasa lahirlah bunyi/suara; berkat
alam semesta lahirlah tumbuh-tumbuhan (seperti) rumput pohon kayu, tanaman melata,
serba kulit-kelopak, dan inti serta segala mahkluk (yaitu) binatang/ternak, burung, ikan,
makhluk halus; demikianlah macamnya alam semesta itu.
Dari sloka di atas di ketahui bahwa terdapat dialog antara Sang Hyang Ganapati dengan
Dewa Siwa, yang bertanya tentang hakikat alam semesta. Dalam sloka tersebut dijelaskan
bahwa alam semesta bermula dari Panca Daiwātmā dan kemudian darinya lahir Panca
Tanmatra. Adapun bagian-bagian dari Panca Daiwātmā itu adalah Brahma, Wisnu, Rudra,
Daku (Iswara), dan Sang Hyang Sadasiswa, sedangkan Panca Tanmatra bagian-bagiannya
yaitu Gandha, Rasa, Rupa, Sparsa, dan Sabda. Keduanya memiliki korelasi yang sangat erat
karena pada hakikatnya Panca Tanmatra lahir dari Panca Daiwātmā. Dari Brahma lahir
Gandha (bau), dari Wisnu lahir Rasa (kenikmatan), dari Rudra lahir Rupa (mode/bentuk), dari
Daku (Iswara) lahir Sparsa (rabaan), dan dari Sang Hyang Sadasiwa lahir Sabda (nada/suara).
Setelah itu Panca Tanmatra melahirkan Panca Maha Bhuta yang bagian-bagiannya adalah
Akasa, Bayu, Teja, Apah, dan Perthiwi. Dari Sabda lahir Akasa (ether), dari Sparsa lahir Bayu
(angin), dari Rupa lahir Teja (sinar), dari Rasa lahir Apah (zat cair), dan dari Gandha lahir
Perthiwi (tanah). Lantas dari unsur-unsur atau bagian-bagian Panca Maha Bhuta ini terciptalah
bumi, air, matahari, bulan, bintang, angina, bunyi/suara, tumbuh-tumbuhan (rumput pohon
kayu, tanaman melata, serba kulit-kelopak), binatang/ternak, burung, ikan, dan makhluk halus.
Nihan pitutur ira Bhatara Siwa, ri sang hyang gana, Sembah ning tanaya ra sanghulun,
Bhatara hanta warahana tanaya ra sanghulun, lamakane wruh ri kawijilan ing
pancadaiwatma, saking ndi pawijilan ira, ya ta warahana patik sanghulun.
(Ganapati Tattwa, 1.1)
Terjemahan:
Beginilah nasihat-Nya Bhatara Siwa terhadap Sanghyang Gana. “Sembah hamba putra
paduka kehadapan Bhatara, tolonglah hendaknya berkati beritahukan hamba putra
tuanku, agar supaya dapat mengetahui perihal keadaan-Nya Panca Daiwātmā itu, dari
manakah sumber-Nya, itulah hendaknya jelaskan pada hamba putra tuanku!”.
(Mirsha, dkk. 1995)
Iswara uwaca, anakku sang Ganapati pirengwakena pawarah Kami ri kita, ikang
sabda sunya, sakeng Omkara mijil bindu, kadu embun hana ri agra ning kusa,
kasenwan Rawi, mahening kadi dhupa, diptan nira mabhraakara karasakeng bindu
matemahan pancadaiwatma, Brahma, Wisnu, Rudra, Kami, mwang sang hyang
Sadasiwa, Mangkanaanakku makapawijilan ing Daiwatma. Iswara bersabda, “Putraku Sang Ganapati, perhatikanlah wejanganku ini untukmu,
yakni sabda spiritual (gaib): dari OM-kara muncul Windu, bagaikan embun yang berada
di ujung rambut/rumput, disinari matahari bening bagaikan dupa, sinarnya terang
cemerlang berkilauan. Dari Windu itu muncullah Panca Daiwātmā, (yaitu) Brahma,
Wisnu, Rudra, Kami/Daku, dan Sanghyang Sadasiwa. Demikianlah putraku, perihal
keadaanya Daiwātmā itu”.
(Mirsha, dkk. 1995)
Sloka di atas merupakan sloka yang menjelaskan tentang asal usul Panca Daiwātmā,
yang sebelumnya telah di jelaskan dalam sloka 1.3 dan 1.4. Bhatara Siwa memberikan
wejangan kepada Sang Hyang Ganapati bahwa Panca Daiwatma bersumber atau berasal dari
Windu yang bersinar terang cemerlang berkilauan dan Windu sendiri muncul sebagai akibat
dari OM-kara. Jadi secara konseptual proses terjadinya atau adanya Panca Daiwātmā dapat di
jelaskan seperti ini; dari OM-kara lahir atau muncul Windu, dan dari Windu lahir atau muncul
Panca Daiwātmā, yang bagian-bagiannya antara lain Brahma, Wisnu, Rudra, Kami/Daku
(Iswara), dan Sang Hyang Sadasiwa.
Ganapati uwaca, sembahning tanaya ra sanghulun, apan huwus katamaji sarwa
sajnana Bhatara ri katattwan ikang bhuwana, mangke mwah warahana ranak Bhatara,
lamakane wruh ri kawijilan ing manusya.
(Ganapati Tattwa, 1.5)
Terjemahan:
Ganapati berkata, “Sembahnya hamba putra paduka, berhubung telah dimengerti
segala wejangan pendidikan Bhatara mengenai hakekat alam semesta itu, namun kini
beritahukanlah lagi putra paduka Bhatara agar supaya dapat mengetahui perihal
penjelmaan (kelahiran) manusia ini”.
(Mirsha, dkk. 1995)
Iswara uwaca, anaku sang Ganaraja, tan pahi kawijilan ing manusya, kalawan
kawijilaning daiwa, mwang pawetwan ing bhuwana, apan ikang manusya mijil sakeng
bindu, mula prathamaning Omkara, apa ta lwirya, Brahma Wisnu makarya sarira,
ikang kinarya prtiwi mwang apah, Rudra makarya panon, ikang kinarya teja, Kami
akaryoswasa, ikang kinarya sparsa, sanghyang Sadasiwakarya swara, ikang
kinaryakasa, mangkanaku lwie ikang atma anjanma.
(Ganapati Tattwa, 1.6)
Terjemahan:
Iswara bersabda, “Putraku Sang Ganapati, tiada berbeda kelahirannya manusia dengan
manifestasinya Dewa, beserta dengan penciptaannya alam semesta sebab manusia juga lahir dari Windu, awal mulanya OM-kara; bagaimana wujudnya, yakni: Brahma (dan)
Wisnu menciptakan badan jasmani, yang terbentuk dari unsur tanah dan zat cair; Rudra
menciptakan alat pelihat (mata), yang terwujud dari sinar; Daku (Iswara) membuat
pernapasan, yang berbentuk rabaan sentuhan; Sanghyang Sadasiwa menciptakan
bunyi/suara, yang terwujud dari unsur ether, demikianlah putraku, jenisnya ātman/jiwa
yang menjelma (terwujud) menjadi manusia”.
(Mirsha, dkk. 1995)
Penjabaran sloka di atas menjelaskan bahwa pada hakikatnya penciptaan dan kelahiran
manusia tidak jauh berbeda dengan penciptaan alam semesta. Hal ini bermakna bahwa
penciptaan alam semesta (bhuwana agung) sama dengan penciptaan manusia dan atau makhluk
hidup lainnya (bhuwana alit). Sama halnya dengan alam semesta, manusia juga lahir dari
Windu, dimana unsur-unsur Panca Daiwātmā dan Panca Maha Bhuta berperan aktif dalam
membantu penciptaan manusia ini. Unsur Brahma dan Wisnu menciptakan badan jasmani
(tubuh manusia), yang terbentuk dari unsur tanah (perthiwi) dan zat cair (apah). Unsur Rudra
menciptakan alat atau indera penglihatan yaitu mata, yang terbentuk dari unsur sinar (teja).
Unsur Daku (Iswara) menciptakan pernapasan, yang berbentuk rabaan sentuhan (bayu).
Kemudian yang terakhir yaitu Sanghyang Sadasiwa menciptakan bunyi/suara, yang terwujud
dari unsur ether (akasa).
3. Konsep Pemeliharaan Alam Semesta
Tuhan merupakan pencipta alam semesta beserta isinya dan Beliau juga merupakan
pemelihara atas segala ciptaan-Nya. Tuhan masuk dan bersemayam di dalam setiap ciptaannya
untuk menjaga dan memelihara keseimbangan kehidupan berbagai makhluk yang Beliau
ciptakan. Bumi merupakan salah satu dari sekian banyak ciptaan Tuhan, dan Beliau juga
bersemayam di dalamnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam Brhad-aranyaka Upanisad,
III.7.3, sebagai berikut: “Yah prthivyàm tisthan prthivyà antarah, yam prtivi na veda, yasya
prthivi sariram, yah prthivim antaro yamayati, esa ta àtmàntaryàmy amrttah”, yang artinya
“Dia yang berada di bumi (tanah) ini, dan juga masih di dalam bumi, yang mengendalikan bumi
dari dalam bumi, dia adalah atman, pengendali dari dalam yang abadi” (Donder, 2007).
Dalam ajaran agama Hindu, istilah pemeliharaan diidentikan dengan kata stiti. Stiti
dalam Kamus Jawa Kuna diartikan sebagai keberlanjutan, keberadaan yang dilanjutkan,
peraturan yang telah mantap, kondisi tetap, ikatan-ikatan yang telah tetap, khususnya tentang moralitas (Zoetmulder, 2006). Dijelaskan dalam teks Ganapati Tattwa proses pemeliharaan
alam semesta yang dilakukan oleh Tuhan dalam hal ini yang dilaksankan oleh Dewa Siwa,
adalah sebagai berikut:
Ganapati uwaca, sampun kagraha sapawarah Bhatara, ri kandaning bhuwana mwang
manusya, mangke mwah waraha ranak Bhatara, ri sthana ning daiwatma ring sarira,
mwang hana ring bhuwana.
(Ganapati Tattwa, 1.7)
Terjemahan:
Ganapati berkata, “Sudah terungkap segala wejangan Bhatara mengenai hal alam
semesta beserta manusia itu, kini beritahukanlah lagi putra paduka Bhatara perihal
statusnya Daiwātmā itu dalam hubungan badan jasmani dan keadaanya di dunia!”.
(Mirsha, dkk. 1995)
Iswara uwaca, kaki anaku sang Ganadhipa, mangke pirengwakena pawarah Kami ri
kita, ri kahanan ing daiwatma ring sarira, apan tunggal ikang janma kalawan
bhuwana, yajanma, ya bhuwana. Apa ta lwirnyan, yapwan ing bhuwana
Brahmakayangan ing daksina, rumkasa bhumi. Wisnu akayangang ing Uttara,
rumaksa jala. Rudrakayangan ing pascima, rumaksa Surya, Candra, Lintang. Kami
akayangan ing purwa, rumaksa wayu. Sanghyang Sadasiwa akahyangan ing madhya
rumaksakasa, mwah yapwan ing jadma, Brahma mangasthana ring muladhara
mangraksa raga, ababahan ring irung, mangulahaken gandha, Wisnu mangasthana
ring nabhi, mangraksa sarira, ababahan ring jihwa, mangulahaken rasa, Rudra
mangasthana ring hati, mangraksa jagra, ababahan ring tingal, mangulahaken idep,
Kami mangasthana ring kantha, mangraksaturu, ababahan ring kutuk, mangulahaken
sabda, sang hyang Sadasiwa mangasthana ring jihwagra, mangraksa sarwajnana,
ababahan ring karna, mangulahaken swara. Mangkana lwirning Daiwatma ring sarira
mwah ring bhuwanagung.
(Ganapati Tattwa, 1.8)
Terjemahan:
Iswara bersabda, ”Duhai putraku Sang Ganapati, kini perhatikanlah penjelasanku
padamu, dalam hal status/keadaannya Daiwātmā pada tubuh jasmani; sebab tunggal
juga adanya manusia itu dengan alam semesta ia manusia diapun juga alam semesta.
Bagaiamana sih halnya, yakni: adapun pada alam semesta Brahma berstatus di selatan,
memilihara tanah/bumi; Wisnu berstatus di utara memelihara zat cair/air; Rudra
berstatus di barat, mengendalikan matahari, bulan dan bintang; Daku (Iswara) berstatus
di timur mengatur udara/angin; Sanghyang Sadasiwa berstatus di tengah, memelihara
ether/atmosphere. Dan kalau dalam tubuh manusia, Brahma berstutus di muladhara,
menghidupkan indra/jasmaniah, berhubungan dengan hidung, memerlukan bau; Wisnu
berstatus di pusat/nawe, memelihara badan jasmani, berhungan dengan lidah,
memerlukan unsur kepuasan (rasa); Rudra berstatus di hati, mengatur kesadaran/tekad, berhubungan dengan pandangan mata, menentukan pikiran; Daku (Iswara) berstatus di
kerongkongan/throot, mengendalikan ketiduran, berhubungan pada mulut, mengatur
nada/suara; Sanghyang Sadasiwa berstautus di ujung lidah, menguasai segala
pengetahuan, berhubungan dengan telinga, meneliti keadaan suara. Demikianlah
statusnya Daiwātmā itu masing-masing dalam tubuh jasmani dan pada alam semesta.
(Mirsha, dkk. 1995)
Dari sloka di atas dapat direpresentasikan bahwa setelah Dewa Siwa menjelaskan
kepada Sang Hyang Ganapati terkait dengan hakikat alam semesta dan manusia, maka kini
Dewa Siwa akan menjelaskan tentang bagiaman status Panca Daiwātmā dan keadaanya di
dunia setalah proses penciptaan selesai. Secara tidak langsung sloka ini akan menjabarkan
bagaimana konsep pemeliharaan alam semesta setelah terjadinya penciptaan. Sloka di atas
menjelaskan bahwa manusia dan alam semesta pada hakikatnya tunggal karena keduanya
dilahirkan dari satu sumber yang sama. Unsur-unsur Panca Daiwātmā memiliki tugas untuk
memilihara alam semesta beserta dengan isinya. Brahma berada di selatan berfungsi untuk
memilihara tanah/bumi, Wisnu berada di utara berfungsi untuk memelihara zat cair/air, Rudra
berada di barat berfungsi untuk mengendalikan matahari, bulan dan bintang, Daku (Iswara)
berada di timur berfungsi untuk mengatur udara/angin, dan Sanghyang Sadasiwa bersada di
tengah berfungsi untuk memelihara ether/atmosphere. Inilah tata letak arah dan fungsi
pemeliharaan Panca Daiwātmā di dunia atau alam semesta (bhuwana agung).
Sedangkan jika dalam tubuh manusia (bhuwana alit), Brahma berada di muladhara
berfungsi untuk menghidupkan indra/jasmaniah yang berhubungan dengan bau, yaitu hidung.
Wisnu berada di pusat/nawe berfungsi untuk memelihara badan jasmani yang berhungan
dengan unsur kepuasan (rasa), yaitu lidah. Rudra berada di hati berfungsi untuk mengatur
kesadaran/tekad yang berhubungan dengan pikiran. Dakiu (Iswara) berada di kerongkongan
berfungsi untuk mengendalikan tidur yang berhubungan dengan mulut serta mengatur
nada/suara. Selanjutnya yang terakhir adalah Sanghyang Sadasiwa berada di ujung lidah yang
menguasai segala pengetahuan, berhubungan dengan telinga serta meneliti keadaan suara.
4. Konsep Peleburan dan Penciptaan Kembali Alam Semesta
Menjadi sebuah hal yang tidak dapat dihindari bahwa setiap yang hidup pasti akan mati.
Ini merupakan kodrat mutlak dan hukum alam yang tidak seorang pun dapat menghindarinya.
Hal ini juga berlaku bagi alam semesta, meskipun alam semesta sangat luas tak terhingga, ia akan tetap hancur dan hilang pada akhirnya. Menurut (Supartha, 2020), alam semesta tidak
hanya mengalami penciptaan, namun juga mengalami peleburan. Peleburan merupakan salah
satu wujud kasih sayang Tuhan kepada seluruh ciptaannya. Peleburan tidaklah terjadi hanya
pada alam semesta namun, peleburan juga terjadi pada manusia. Peleburan pada manusia
dikenal dengan sebuah istilah yaitu pralaya, sedangkan peleburan alam semesta ini dikenal
dengan mahapralaya.
Pada hakikatnya penciptaan selalu berdampingan dengan peleburan dan keduanya
saling berkaitan. Banyak manusia yang mengatakan bahwa peleburan merupakan wujud
kemurkaan Tuhan, tetapi sebanarnya peleburan merupakan wujud cinta kasih Tuhan kepada
makhluk ciptaannya sama seperti ketika Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya.
Penciptaan yang di dalamnya juga terkadung peleburan adalah wujud cinta kasih tuhan.
Manusia sangat mudah memahami jika penciptaan itu sebagai wujud cinta kasih Tuhan.
Tetapi sebaliknya manusia sangat sulit untuk memahami bahwa peleburan atau
kematian itu sebagai wujud kasih sayang Tuhan. Satu di antara seribu belum tentu ada
orang yang dapat memahami bahwa kematian itu adalah wujud dari kasih sayang
Tuhan. Sri Arjuna saja yang termasuk manusia unggul dengan kecerdasan rohani yang
tinggi, namun tidak bisa memahami kematian sebagai wujud kasih sayang Tuhan
(Donder, 2007).
Peleburan atau dalam ajaran agama Hindu disebut pralina dalam Kamus Jawa Kuna
diartikan sebagai larut, hilang, padam, habis, mati (Zoetmulder, 2006). Konsep peleburan alam
semesta juga dijelaskan dalam teks Ganapati Tattwa, yang digambarkan melalui dialog antara
Dewa Siwa dengan Sang Hyang Ganapati. Berikut merupakan ulasan percakapan antara
keduanya yang membahas tentang peleburan alam semesta.
Ganapati uwaca, sembahning tanaya ra sanghulun, hana warahana ranak Bhatara ri
hilang nikaneng urip, maring henti paranya, ya tika waraha patik Bhatara.
(Ganapati Tattwa, 1. 16)
Terjemahan:
Ganapati berkata, “Sembahnya hamba putra tuanku, ada lagi beritahukanlah hendaknya
putra paduka Bhatara mengenai keadaan hilangnya hidup itu, hingga batas sasarannya
yang terakhir, itulah jelaskan pada hamba paduka Bhatara”.
(Mirsha, dkk. 1995)
Iswara uwaca, udhuh anaku sang Ganapati, atyanta mahabhara patakwanananta ri
Kami, aluhur ndatan pahingan, ajero ndatan katutugan, denta tumakwani guna,
mangke den enak pwa kita ng rasanana, Kami apawarahanaku, ilang ning atma,
mantuk mareng jiwa, ilang ning anaku, umantuk mareng nirwana, ilang nikang
nirwana, mantuk mareng sunya, ilang ning sunya, mantuk mareng suksmarupa, ilang
ning sukmarupa, umantuk mareng sang hyang ngamut mnga, sthana nira ring agraning
akasa, hilang sang hyang ngamut mnga, mantuk mareng sarining niskala.
Terjemahan:
Iswara bersabda, “Aduh putraku Sang Ganapati, sungguh sangat hebat pertanyaanmu
padaku, menanjak tinggi tiada batasnya, mendalam tanpa tersusulkan, olehmu
menanyakan yang bermanfaat, kini hendaknya baik-baiklah olehmu
memperhatikannya, Daku memberi penjelasan pada putraku: hilangnya atma kembali
ke jiwa, hilangnya jiwa kembali ke nirwana, hilangnya nirwana itu kembali ke Sunya,
hilangnya Sunya kembali ke Suksma-rupa, hilangnya Suksma-rupa kembali ke
Sanghyang Ngamut-Menga, beristina dipuncak angkasa (ether), hilang Sanghyang
Ngamut-Menga kembali ke inti sarinya kegaiban (niskala).
(Mirsha, dkk. 1995)
Ganapati uwaca, sembah ning tanaya ra sanghulun, kayan hupta ranak Bhataratanya,
henti ikang ingaranan agraning akasa, sthana nira sang hyang ngamut mnga, hanta
waraha patik Bhatara.
(Ganapati Tattwa, 1. 18)
Terjemahan:
Ganapati berkata, “Sembahnya hamba putra paduka, semakin berminat hamba putra
Bhatara hendak bertanya, sampai dimana batasnya yang dimaksud dengan puncaknya
angkasa/ether, (dan) statusnya Sanghyang Ngamut-Menga, tolonglah hendaknya
beritahukan hamba putra Bhatara selanjutnya!”.
(Mirsha, dkk. 1995)
Iswara uwaca, udhu kita sang Ganapati, ikang ingaranan agra ning aksa ring
lingganada, ya ta babahan tunggal alineb, ngaran babahan purusa, ya ta marganira
sang hyang Siwatma, mwah yapwan teka ri kapatyanta hana metu ring puser kadi kukus
rupa nira, sang hyang Siwatma sah pwa sira saking puser anuju maring Siwamandala.
Siwamandala ngaran ring suka tan pabalik duhkha, hayu tan pabalik hala, tan hana
swabhawa nira tkerika, ya Siwaman dala ngaran, mwah hana sang hyang Pancatma
nga, lwirnya, atma, paratma, antaratma, niratma, sunyatma, yeka tunggalakena
maring Siwatma, sang hyang Siwatma amengkena babahan ning ineb, anuju maring
pantara, warna kadi hemas linebur, ya ta dalan rahayu dahat, yekara arah babahan
nga, haywa simepang yapwan teka ri patinta, hay wa tan wawa anaku, reh rahasya
temen ika.
(Ganapati Tattwa, 1. 19)
Terjemahan:
Iswara bersabda, “Aduh engkau anakku Sang Ganapati, adapun yang dimaksud
puncaknya angkasa itu ialah pada Lingga Nada, yaitu hubungan tunggal yang
gaib/rahasia, disebut juga koneksi Purusa, itulah perlintasannya Sanghyang Siwatma, dan apabila tiba saatnya kamatian itupun ada juga muncul pada pusar/nabi bagaikan
asap wujudnya, Sanghyang Siwatma sesudahnya pindah dari pusar/nabi menuju ke
Siwamandala (Siwaloka/Alam Siwa), Alam Siwa itu bermakna bahagia tanpa kembali
sangsara, baik tiada terbalik buruk, tak ada pengaruh materi hingga disana, itulah yang
dimaksud Siwamandala. Dan ada lagi yang disebut Sanghyang Pancatma yaitu: Ātman,
Parātman, Antarātman, Nirātman, dan Sunyātman, itu semua bertunggalan pada
Siwatma, Sanghyang Siwatma membuka hubungannya pada ubun-ubun, menuju
saluran yang patut ditempuh, warnanya bagaikan emas-limbur, itulah saluran yang amat
utama, demikianlah yang dimaksud rangkaian sulur koneksi, janganlah keliru,
meskipun menjelang tiba ajalmu, jangan ragu anakku, sebab hal itu sangat rahasia”.
(Mirsha, dkk. 1995)
Penjelasan pada sloka di atas memberikan gambaran peleburan alam semesta melalui
penjelasan peleburan pada kehidupan manusia. Pada pembahasan sloka sebelumnya yaitu sloka
1.8 dijelaskan bahwa manusia dan alam semesta tunggal adanya, karena keduanya sama-sama
terlahir dari Windu dan segala proses yang terjadi di antara keduanya adalah sama. Jadi dapat
disimpulkan bahwa konsep peleburan pada manusia sama dengan konsep peleburan pada alam
semesta. Pada sloka di atas dijelaskan bahwa peleburan terjadi ketika hilangnya ātman atau
dalam konsep semesta unsur-unsur pembentuk alam semesta telah hilang dan kembali ke
entitas asalnya (jiwa), kemudian Ia kembali ke nirwana, dan nirwana kembali ke sunya. Pada
akhirnya sunya akan kembali ke suksma rupa, dan suksma rupa akan kembali ke Sanghyang
Ngamut Menga, kemudian Beliau berkedudukan di puncak angkasa atau ether (puncak angkasa
yang dimaksud adalah Lingga Nada). Kemudian dalam keadaan tertentu Sanghyang Ngamut
Menga akan kembali kepada entitas tertinggi alam semesta sebagai spirit puncak yaitu Tuhan
yang Niskala atau Nirguna yang tidak dapat dibayangkan dan dipikirkan kemahakuasaannya.
Inilah yang disebut sebagai peleburan alam semesta dalam teks Ganapati Tattwa.
Dalam prosesnya, Hindu menyakini bahwa setiap penciptaan pasti akan ada pemeliharaan di
dalamnya dan juga akan ada peleburan atas semua yang diciptakan dan dipelihara. Akan tetapi,
Hindu juga mengenal konsep bahwa setiap yang dilebur pasti akan diciptakan kembali, dan
konsep ini juga dijelaskan dalam teks Ganapati Tattwa.
Niskalaj jayate nado nadad bindusamudbhavah, bindos candrasamudbhavas candrad
visvah punah-punah. Kalinganya, ikang niskalamijalaken nada, sakeng nada
ngmijilaken bindu, sakeng bindu ngamijilaken ardhacandra, sakeng ardhacandra
ngamijilaken wiswa maluy-waluy laksananya, wiswa ngaran sanghyang Pranawa,
sang hyang Pranawa jatinya Omkara.
(Ganapati Tattwa, 2. 25)
Terjemahan:Dari Niskala lahir Nada, dari Nada muncul Bindu, dari Bindu lahir bulan (semi), dari
bulan itu ada Wisnu/dunia berulang-ulang. Tegasnya, yang Niskala itu melahirka Nada,
dari Nada melahirkan Bindu, dari Bindu melahirkan Ardha-candra, dari Ardha-candra
melahirkan Wiswa/alam semesta, berulang-ulang pelaksanaannya; Wiswa berarti
Sanghyang Pranama, Sanghyang Pranawa, sesungguhnya adalah Om-kara.
(Mirsha, dkk. 1995)
Candvrena sahito visvo yojitah saha binduna, nadena samhrtyaikadha Omkarah
kirtitah sada. Ikang wiswa masamyoga lawan ardhacandra, mwang bindu lawan nada,
ikang Pranawa ardhacandra mwang bindu nada mapisan, matemahan Omkara
wekasan.
(Ganapati Tattwa, 2. 26)
Terjemahan:
Wiswa (alam) berpadu dengan Candra (semi bulan), Bindu dan dengan Nada, dari
perpaduan itu senantiasa mewujudkan Om-kara. Wiswa itu berpadu dengan
Ardhacandra dan Bindu beserta Nada; energi hidup Ardhacandra dan Bindu serta Nada
itu menunggal, menjadi Om-kara selanjutnya.
(Mirsha, dkk. 1995)
Visvah praliyate candre candras ca liyate bindau, bindus ca liyate nada ity etat
kramalaksanam. Ikang wiswa umet ring ng ardhacandra, ikang ng ardhacandra lina
ring bindu, ikang bindu ya ta umet ring riada, nahan ta. laksana ning tattwa. Mwang
ikang nada mulih ring niskala, niskala ngaran mayatattwa, pradhana ika makolihan
ing riada. Mwah ikang niskala mulih maring sunyahtara, ikang sunyantara mulih
maring atyantasunya, makolihan ing niskala. Mwang anaku sang Ganapati, ikang
ingaranan utpatti sthiti pralinan sang hyang Pranawa.
(Ganapati Tattwa, 2. 27)
Terjemahan:
Wiswa melekat pada Candra, dan Candra menempel pada Bindu, serta Bindu kembali
pada Nada, demikianlah perihal/keadaan aktivitasnya. Wiswa itu bergantungan pada
Ardhacandra, Adhacandra itu lebur dalam Bindu, Bindu itulah bergantungan pada
Nada, demikianlah halnya ajaran Fisalfat, dan Nada itu kembali ke Niskala. Niskala itu
disebut Mayatattwa, itulah Pradhana (materi) pengembalian-nya pada Nada, dan
Niskala itu kembali ke Sunyantara, Sunyantara itu kembali ke Atyanta-Sunya, sebagai
pengembaliannya Niskala dan Anakku Sang Ganadhipa, adapun yang dimaksud Uttpti
(lahir), Stiti (hidup), dan Pralina (lebur) itulah Sanghyang Pranawa.
Konsep penciptaan kembali alam semesta dijelaskan secara terperinci pada sloka di
atas. Dimulai dari konsep peleburan yang berada pada puncak tertingginya yaitu Niskala,
kemudian darinya lahir Nada, dari Nada muncul Bindu, dari Biindu kemudian lahir bulan
(semi), dan dari bulan itu ada Wisnu/dunia berulang-ulang. Kesimpulan yang dapat ditarik
secara tegas adalah bahwa dari Niskala melahirka Nada, yang selanjutnya dari Nada
melahirkan Bindu, dan dari Bindu melahirkan Ardhacandra, serta dari Ardhacandra
melahirkan Wiswa/alam semesta, berulang-ulang pelaksanaannya; Wiswa berarti Sanghyang
Pranama, Sanghyang Pranawa, sesungguhnya adalah Om-kara.
Om-kara merupakan perpaduan antara Wiswa, Candra, Bindu, dan Nada. Pada
hakikatnya Wiswa melekat pada Candra, kemudian Candra melekat pada Bindu, dan pada
akhirnya Bindu kembali pada Nada. Konsepnya adalah Bindu sangat bergantung pada
Ardhacandra, sementara Ardhacandra lebur dalam Bindu, dan Bindu bergantung pada Nada.
Kemudian pada akhhirnya Nada akan kembali ke Niskala. Niskala disebut sebagai
Mayatattwa, inilah, yang disebut sebagai Pradhana (materi), yang pengembaliannya nanti
adalah pada Nada, sementara Niskala akan kembali ke Sunyantara. Kemudian Sunyantara
akan kembali ke Atyantasunya, yang pengembaliannya nanti pada Niskala, dan yang dimaksud
sebagai Uttpti (lahir), Stiti (hidup/memelihara), dan Pralina (lebur) adalah Sanghyang
Pranawa.
Konsep Kosmologi Hindu dalam teks Ganapati Tattwa terdiri atas penciptaan (uttpti),
pemeliharaan (stiti), dan peleburan (pralina). Penciptaan dimulai dari Om-kara yang
melahirkan Windu, dan dari Windu melahirkan Panca Daiwātmā. Sementara setiap unsurunsur atau bagian-bagian Panca Daiwātmā melahirkan unsur-unsur Panca Tanmatra, dan
Panca Tanmatra kemudian melahirkan Panca Maha Bhuta.
Pemeliharaan alam semesta terjadi setelah proses penciptaan selesai, dan ini dimulai
dari unsur-unsur Panca Daiwātmā yang memiliki tugas untuk memilihara alam semesta beserta
dengan isinya. Brahma berada di selatan berfungsi untuk memilihara tanah/bumi, Wisnu berada
di utara berfungsi untuk memelihara zat cair/air, Rudra berada di barat berfungsi untuk
mengendalikan matahari, bulan dan bintang, Daku (Iswara) berada di timur berfungsi untuk
mengatur udara/angin, dan Sanghyang Sadasiwa bersada di tengah berfungsi untuk
memelihara ether/atmosphere. Inilah tata letak arah dan fungsi pemeliharaan Panca Daiwātmā
di dunia atau alam semesta (bhuwana agung).Selanjutnya setelah pemeliharaan maka sebagai sebuah kodrat yang mutlak, setiap yang
diciptalan pasti akan dilebur. Maka konsep peleburan yang terjadi bermula dari hilangnya
ātman atau dalam konsep semesta unsur-unsur pembentuk alam semesta telah hilang dan
kembali ke entitas asalnya (jiwa), kemudian ia kembali ke nirwana, dan nirwana kembali ke
sunya. Pada akhirnya sunya akan kembali ke suksma rupa, dan suksma rupa akan kembali ke
Sanghyang Ngamut Menga, kemudian Beliau berkedudukan di puncak angkasa atau ether
(puncak angkasa yang dimaksud adalah Lingga Nada). Kemudian dalam keadaan tertentu
Sanghyang Ngamut Menga akan kembali kepada entitas tertinggi alam semesta sebagai spirit
puncak yaitu Tuhan yang Niskala atau Nirguna yang tidak dapat dibayangkan dan dipikirkan
kemahakuasaannya.
Setalah dilebur, maka pasti akan ada penciptaan kembali, hal ini dijelaskan dalam teks
Ganapati Tattwa bahwa penciptaan kembali berawal dari konsep peleburan yang berada pada
puncak tertingginya yaitu Niskala, kemudian darinya lahir Nada, dari Nada melahirkan Bindu,
dan dari Bindu melahirkan Ardhacandra, serta dari Ardhacandra melahirkan Wiswa/alam
semesta, berulang-ulang pelaksanaannya; Wiswa berarti Sanghyang Pranama, Sanghyang
Pranawa, sesungguhnya adalah Om-kara. Om-kara merupakan perpaduan antara Wiswa,
Candra, Bindu, dan Nada. Keempatnya merupakan awal pembentukan konsep Uttpti (lahir),
Stiti (hidup/memelihara), dan Pralina (lebur) yang disebut sebagai Sanghyang Pranawa.
Ganapati Tattwa merupakan salah satu teks yang membahas
secara gamblang perihal ajaran tattwa yang bernuansa siwaistik.
Seluruh ajaran yang terdapat dalam teks Ganapati Tattwa
disajikan dalam bentuk dialogis antara Dewa Siwa dengan
putranya Sang Hyang Ganapati. Sang Hyang Ganapati
mengajukan begitu banyak pertanyaan kepada Dewa Siwa tentang
hakikat alam semesta, hakikat manusia, ajaran yoga, kelepasan,
dan lain sebagainya yang dijawab dengan bijaksana oleh Dewa
Siwa. Ganapati Tattwa menjelaskan konsep Kosmologi Hindu
secara jelas tidak hanya dalam tataran penciptaan akan tetapi
sampai pada tataran pemeliharaan, peleburan dan bahkan sampai
pada proses penciptaan kembali alam semesta. Hal ini yang
menyebabkan Kosmologi Hindu dalam teks Ganapati Tattwa
berbeda dengan ajaran kosmologi dalam teks lainnya yang belum
tentu membahas secara menyeluruh konsep Kosmologi Hindu.
Kosmologi Hindu dalam teks ini dijelaskan berawal dari Om-kara
yang kemudian melahirkan Windu dan berakhir pada
pembentukan alam semesta melalui unsur-unusr Panca Maha
Bhuta. Selanjutnya akan mengalami pemeliharaan yang
diakomodir oleh unsur-unsur Panca Daiwatma, kemudian
dilanjutkan dengan peleburan sampai pada konsep Niskala. Pada
akhirnya, alam semesta akan mengalami penciptaan kembali dari
konsep Niskala akan melahirkan Om-kara kembali sebagai cikal
bakal penciptaan alam semesta.
.jpeg)
.jpeg)





