Kristen yang akan datang




 Para perencana konferensi ini mengharapkan para pembicara akan 

memberikan penilaian sampai seberapa jauh Professor Philip Jenkins, yang menulis 

The Next Christendom, berhasil membuktikan tesisnya, yaitu bahwa dalam setengah 

abad mendatang ini diperkirakan akan terjadi peperangan atau konflik keras di antara 

kelompok dan negara yang beragama Islam dengan kelompok dan negara yang 

beragama Kristen di Afrika serta Asia. Ramalan itu cukup mengejutkan, dan tentunya 

hal yang menarik perhatian orang di Indonesia adalah ramalan bahwa kemungkinan 

besar dalam setengah abad mendatang ini di antara kelompok yang beragama Kristen 

dan yang beragama Islam di Indonesia akan terjadi peperangan. 

Lebih lanjut para perencana konferensi bertanya sampai berapa jauhkah 

metode yang digunakan oleh Professor Jenkins untuk mencapai kesimpulan tersebut 

dapat dipertanggungjawabkan, yaitu mengumpulkan dan menganalisis statistik yang 

menunjuk bahwa golongan Islam dan golongan Kristen keduanya bertumbuh dengan 

cepat, dan yang bertumbuh ini justru Islam yang konservatif atau fundamentalis serta 

Kristen yang konservatif, evangelikal atau kharismatis. Lebih lanjut dikatakan bahwa 

justru arus Islam yang konservatif dan arus Kristen yang konservatif inilah yang lebih 

mudah terjerumus dalam konflik kekerasan antar golongan. 

Para perencana konferensi ini mengajukan pertanyaan, apakah Jenkins dalam 

analisisnya cukup memperhatikan kelompok-kelompok Islam dan Kristen yang lebih 

moderat, yang menjunjung tinggi konsep hidup berdampingan antar golongan yang 

satu dengan yang lain dalam suasana damai. Akhirnya para perencana mengharapkan 

para pembicara berusaha menggambarkan “Kekristenan yang akan datang” dalam 

setengah abad ke depan, akan menjadi bagaimana? Sesuai dengan tugas yang 

diberikan kepada saya, presentasi ini berfokus khususnya pada konteks Indonesia. 

Ada sedikit komentar mengenai tema konferensi ini yaitu pertanyaan : “Will 

there be ‘The Next Christendom’?

1

. Menurut saya lebih baik kalau pertanyaannya dirumus sebagai berikut: “Will there 

be a Next Christendom?” Tanggapan terhadap pertanyaan ini dapat menjurus ke arah 

“Kekristenan tidak akan berubah menjadi ‘The Next Christendom,’ melainkan akan 

tetap seperti sekarang ini.” Terhadap tanggapan ini saya menyatakan bahwa 

Kekristenan di dunia selatan termasuk di Indonesia pasti berubah dan berkembang. 

Kita membicarakan perubahan dan perkembangan ini kemudian dalam paper ini. 

Tanggapan yang lain, pertanyaan di atas dapat menjurus ke arah “Kekristenan 

nanti akan lenyap habis.” Kekristenan akan lenyap jikalau datang bencana yang amat 

dasyat. Ada cukup banyak kasus dalam sejarah di mana masyarakat Kristen di sebuah 

negara menjadi terhapus. Gereja Kristen di Cina terhapus sampai dua kali sebelum 

akhirnya bertumbuh lagi seperti sekarang ini. Gereja Nestorius yang berkembang di 

Sumatra pada abad ke 10 kemudian lenyap. Tidak diketahui bagaimana nasibnya. 

Dari segi lain, pertanyaan “Will there be a Next Christendom?” berfokus pada 

istilah Christendom itu sendiri. Kata Christendom dalam judul buku ini menimbulkan 

cukup banyak kritik dari para pembaca buku Jenkins edisi pertama, sehingga diberi 

perhatian khusus dalam prakata edisi kedua.2

 Kebanyakannya kritik berfokus pada 

kenyataannya bahwa kata Christendom pada umumnya berarti “domain Kekristenan” 

dan dipakai untuk menunjuk negara-negara di mana agama Kristen memiliki posisi 

dominan. Ketiga kata itu, Christendom, domain dan dominan, berasal dari kata 

“dominus” dari bahasa Latin yang berarti “tuhan,” “yang berkuasa” atau “yang 

memiliki.” Posisi dominan gereja di Christendom itu karena begitu banyak penduduk 

yang memeluk agama Kristen. Begitu juga karena agama Kristen menjadi agama 

resmi di mana alat negara dipakai untuk mengatur hidup keagamaan masyarakat dan 

mendorong (atau mengharuskan) masyarakat memeluk dan menjalankan kewajiban 

agama Kristen serta ritus agama tertentu, seperti baptisme, yang mempunyai fungsi 

sipil juga. Apa yang disebut Christendom, dengan arti umum itu baru dimulai ketika 

agama Kristen menjadi agama dominan atau agama resmi di Kekaisaran Romawi 

pada abad ke-empat Masehi. 

Sebenarnya di Afrika ada negara-negara di mana mayoritas penduduk 

beragama Kristen. Ada juga negara-negara di mana lebih-kurang setengah 

penduduknya beragama Kristen, sehingga agama Kristen sering dipersoalkan dalam 

politik negara tersebut. Tetapi di Asia hal seperti itu tidak berlaku, kecuali di Filipina. 

Oleh karena itu kiranya istilah dan visi Christendom dalam arti tersebut tidak berlaku di sini. Oleh karena itu, bagi banyak orang menggunakan istilah Christendom dalam 

hubungan dengan Indonesia dapat memiliki makna provokasi dalam arti ada pihak 

yang mau menjadikan agama Kristen sebagai agama dominan di Indonesia. Sekalipun 

Jenkins dalam prakata edisi kedua menyatakan bahwa dia tidak menggunakan istilah 

Christendom dengan arti tersebut, tetapi harus diingat bahwa penulis atau pembicara 

tidak menguasai makna yang dapat muncul dalam benak para pembaca dan pendengar 

apabila mereka membaca istilah tersebut. 

Bagaimanapun tradisi dan cara berpikir Christendom mempengaruhi gereja￾gereja Eropa sepanjang sejarah sampai sekarang. Dan gereja-gereja Indonesia yang 

sebagian besar mungkin boleh disebut “keturunan” gereja-gereja Eropa amat 

terpengaruh olehnya juga. Bahkan ada tempat-tempat tertentu di Indonesia di mana 

cara berpikir Christendom berpengaruh cukup banyak seperti akan kita akan lihat 

kemudian. 

Analisa Jenkins 

Jika dengan lebih seksama kita melihat data yang diberikan oleh Jenkins 

tentang bertambahnya jumlah penganut Islam dan Kristen di Indonesia dalam 

setengah abad yang akan datang ini, tidak mudah kita menemukan alasan yang kuat 

untuk menolak angka-angka tersebut. Tetapi hal yang perlu diragukan adalah 

kesimpulan yang diambil dari statistik bahwa penganut baru Islam dan Kristen kelak 

adalah mereka yang rata-rata lebih konservatif, fundamentalis, kharismatis atau 

evangelikal, dan oleh karena itu akan lebih condong terjerumus dalam kekerasan antar 

golongan. 

Pertumbuhan Islam dan Kekerasan 

Pertama, umat Islam di Indonesia cukup majemuk. Sejak berdirinya Republik 

Indonesia, mayoritas besar penduduk Indonesia beragama Islam. Namun hingga 

sekarang ini, di antara penduduk yang beragama Islam tersebut tidak ada mayoritas 

yang bersedia menjadikan agama Islam sebagai agama resmi tunggal Republik 

Indonesia, atau menjadikan Republik Indonesia sebagai Republik Islam. Sebaliknya 

justru kelompok-kelompok beragama Islam yang mengembangkan visi melawan 

golongan beragama lain atau yang memaksa golongan lain menerima agama Islam 

relatif kecil. 

Tentang klaim Jenkins bahwa kelompok Islam konservatif atau fundamentalis 

di Indonesia paling cepat tumbuh, dan oleh karena itu lebih cenderung bertindak 

dengan kekerasan melawan golongan beragama lain, menurut saya harus ditolak. 

Banyak sekali orang Islam di Indonesia yang dapat disebut konservatif ternyata juga 

bersikap cukup toleran terhadap golongan agama lain. Diperkirakan bahwa 

pertumbuhan jumlah kelompok-kelompok penganut agama Islam di Indonesia cukup 

merata di Indonesia. 

Selama kurang lebih 60 tahun masyarakat Indonesia menjalankan jenis 

pemerintahan yang dapat disebut sebagai “republik religius”, artinya di republik 

tersebut terdapat lima agama yang diakui resmi. Untuk itu pemerintah Republik Indonesia memiliki Departemen Agama yang di dalamnya terdapat bagian untuk 

masing-masing agama itu. Hal ini berarti bahwa pemerintah dan masyarakat 

mengakui bahwa agama merupakan segi penting dari kehidupan masyarakat dan 

bangsa Indonesia. Untuk itu juga ada dukungan dari Departemen Agama agar masing￾masing agama diajarkan di sekolah-sekolah. Begitu pula Departemen Agama 

membentuk dan mendukung fasilitas untuk mendidik guru pengajar agama di sekolah￾sekolah. Dalam hal ini pemerintah mendukung pandangan yang cukup terbuka 

terhadap masing-masing agama. Dengan demikian jelas bahwa sikap toleransi antar 

umat beragama cukup mendarah daging dalam struktur pemerintah dan masyarakat. 

Tentu selalu ada pihak yang ingin melawan sistem agama plural ini, tetapi sistem 

dalam masyarakat dan pemerintahan rupanya cukup stabil. 

Belakangan ini sedang terjadi apa yang disebut sebagai kebangunan agama 

Islam di Indonesia. Kebangunan Islam ini banyak bentuknya. Dapat dikatakan ada 

pola kebangunan Islam di Indonesia yang menyangkut visi bertindak dengan 

kekerasan melawan golongan agama lain, tetapi pola kebangunan Islam seperti itu 

diimbangi oleh lebih banyak pola-pola kebangunan agama Islam yang bersifat toleran, 

pluralistis dan lebih senang membangun hubungan yang baik dengan golongan agama 

lain. Membangun hubungan yang baik tersebut dapat berupa usaha bersama dalam 

bidang akademis, dalam bidang pertolongan darurat, dalam bidang sosial, kebudayaan 

dan dialog agama-agama. 

Dalam agama Islam terdapat ajaran dan contoh dimana pada masa-masa awal 

Islam berkembang ada pembenaran digunakannya kekerasan untuk mengejar dan 

mencapai tujuan agama. Dalam masa awal ini persoalan agama dan negara terkait erat 

sekali. Konsepsi “Jihad” oleh banyak orang dianggap sama dengan “perang suci,” 

namun harus disadari bahwa makna inti jihad lebih seperti “berjuang di jalan Allah” 

(striving in the way of God). Sesungguhnya terdapat banyak nilai dalam ajaran dan 

cara hidup Nabi Muhammad dan para pengikutnya yang ikut mendukung visi 

peacebuilding jika kita bersedia meneliti dan mempelajarinya.3

Pertumbuhan Kekristenan dan Kekerasan 

Sekali lagi kita menyebut tesis Jenkins, bahwa bertambahnya jumlah penganut 

Kristen yang paling cepat terjadi di gereja dan organisasi yang lebih konservatif, 

evangelikal atau kharismatis. Kemudian karena hal ini, diperkirakan gereja Kristen 

yang seperti ini yang paling condong terjerumus dalam kekerasan. 

Saya kira tesis ini dapat disetujui sampai batas tertentu yaitu bahwa gereja 

tersebut memang memiliki kecenderungan untuk mengembangkan program yang 

lebih menyolok daripada gereja-gereja yang lain. Dalam arti gereja-gereja tersebut 

mengembangkan jemaat yang besar dengan beribu-ribu bahkan berpuluh-ribu 

pengunjung dan dengan model ibadah yang menarik banyak perhatian dari orang di 

sekitarnya karena gedung gereja yang juga amat besar. Tetapi harus dipertanyakan 

sampai seberapa jauh penganut-penganut dalam gereja seperti ini benar-benar berasal 

dari golongan yang belum beragama atau dari agama lain yang berbeda? Sebab 

kemungkinannya cukup banyak bahwa pengunjung baru di gereja seperti itu justru di 

tarik dari gereja-gereja yang sudah ada yang lebih tradisional. Hal yang menarik orang dari gereja-gereja kharismatis dan evangelikal ini —

terutama yang muda-muda—adalah tata cara ibadah yang lebih menyolok dengan 

musik yang lebih bergairah, dipimpin oleh worship team yang pandai, dan 

menggunakan alat-alat musik yang bagus, dengan pengeras suara—mungkin juga 

dengan tari-tarian, disertai pula video proyektor, komputer dan sebagainya. Pola dan 

gaya yang menyolok ini menarik banyak perhatian sekaligus dapat menimbulkan 

reaksi negatif, baik dari gereja Kristen yang lain yang kehilangan anggota maupun 

dari golongan agama lain. 

Namun belum jelas sampai berapa jauh gereja seperti ini dapat banyak 

menarik orang baru dari golongan beragama lain. Dan hal yang sama penting dengan 

itu, harus disangkal bahwa gereja seperti itu lebih condong terjerumus dalam aksi 

kekerasan melawan golongan beragama lain. Alasannya, golongan kharismatis lebih 

mementingkan karya dan gerak Roh Kudus serta dinamika rohani. Mereka juga lebih 

sadar bahwa kekuatan fisik kurang berguna dalam melawan hal yang dianggap jahat. 

Kalau ada ancaman kekerasan, orang dari gereja seperti ini mungkin lebih cepat 

berdoa atau berusaha mengusir roh jahat atau roh kekerasan atas nama Yesus daripada 

membalas dengan kekerasan fisik. 

Mungkin faktor yang lain yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa gereja 

kharismatis tertentu cenderung mengajarkan bahwa Allah memberkati umatnya 

dengan kekayaan. Gereja seperti itu mungkin menarik orang yang miskin, yang 

mengharapkan Allah memberkati mereka dengan kekayaan. Tetapi gereja seperti ini 

juga menarik cukup banyak orang kaya. Dan karena gereja seperti itu menarik jumlah 

pengunjung yang banyak maka kekayaan mereka bersama dapat menyolok serta 

menarik perhatian orang di sekitar yang menyaksikan. Hal itu lama-kelamaan dapat 

menimbulkan rasa iri di hati masyarakat yang miskin sehingga kejadian seperti 

kecelakaan lalulintas atau hal lainnya dapat menyulut aksi kekerasan. Tetapi perlu 

diingat bahwa kekerasaan seperti itu bukan semata-mata kekerasan anti-Kristen. Di 

sini kita melihat ada faktor ekonomi. 

Cara berpikir Christendom 

Pada hemat saya kekerasan antara golongan beragama lebih mudah terjadi 

jikalau kekuatan dua golongan beragama di satu wilayah yang berdekatan ada dalam 

jumlah yang berimbang. Di situ dapat muncul kompetisi satu dengan yang lain. 

Faktor pendukung kekerasan yang lain adalah, di wilayah di mana masyarakat 

beragama Kristen menjadi mayoritas akibat misi pada masa lalu, terkadang 

masyarakat Kristen menduduki posisi dominan di masyarakat dan pemerintahan. 

Dalam kondisi seperti ini dapat terjadi bahwa masyarakat Kristen di situ kemudian 

berpikir menurut cara Christendom, seakan-akan wilayah tersebut adalah wilayah 

Kristen. Bersama dengan itu bisa terjadi orang-orang Kristen menggunakan alat 

pemerintahan untuk mengejar tujuan agama. Dalam konteks mayoritas seperti ini 

dapat juga terjadi kecendrungan untuk bertindak dengan kekerasan melawan golongan 

agama lain. Situasi seperti itu hanya berlaku di beberapa daerah di Indonesia. Dan 

faktor dominasi seperti itu, dalam kebanyakan kasus, sudah berlaku sejak jaman 

kolonial. Di wilayah di mana golongan Kristen merupakan minoritas, jarang orang 

Kristen bertindak dengan kekerasan atau membalas tindakan kekerasan. Dalam kasus 

seperti itu, alasan untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan lebih bersifat 

praktis. Tidak masuk akal jika tindakan membalas kekerasan dengan kekerasan 

dilakukan jikalau pihak yang lebih dahulu bertindak dengan kekerasan berjumlah jauh 

lebih banyak. Dalam masa-masa mendatang ini kemungkinan pertumbuhan gereja 

dapat terjadi di daerah di mana golongan beragama Kristen merupakan minoritas. 

Tetapi persoalan kekerasan justru mungkin terjadi ketika orang Kristen merasa berada 

dalam posisi yang kuat atau dominan sehingga merasa mungkin dapat mengalahkan 

lawannya. 

Kekristenan Yang Akan Datang itu Bagaimana? 

 

Satu hal yang diutarakan oleh Jenkins dalam bukunya yang cukup 

mengejutkan banyak orang Kristen dan orang lain juga yaitu bahwa pusat Kekristenan 

di dunia ini sudah bergerak dari Eropa dan Amerika Utara ke dunia selatan, ke Afrika, 

Asia dan Amerika Latin. Kenyataan ini tidak hanya berdasarkan jumlah penganut 

Gereja-gereja Kristen di dunia ini yang sekarang lebih banyak di dunia selatan, tetapi 

juga berdasarkan kedinamisan, prakarsa dan kreativitas gereja-gereja di dunia selatan. 

Ternyata gereja-gereja selatan lebih dinamis dan lebih bergiat mengembangkan visi 

dan usaha-usaha baru daripada gereja-gereja utara di Eropa dan Amerika Utara. 

 

Hal ini berarti bahwa gereja Kristen di dunia selatan sudah tidak lagi 

bergantung pada gereja-gereja dan lembaga Kristen lainnya di dunia utara, melainkan 

berjalan serta mengembangkan visi dan cara-caranya sendiri. Hal ini menyangkut 

semua segi kehidupan dan pelayanan gereja terutama pergumulan gereja dengan 

kenyataan hidup di masing-masing negara. Hal ini juga menyangkut cara dan pola 

bergereja, prioritas dan visi gereja, pertimbangan etis, prioritas dalam beribadah, 

pergumulan teologis, dan hal-hal seperti liturgi, musik, pemakaian seni dan unsur 

kebudayaan lokal dalam ibadah, rancang bangun gedung gereja dan seterusnya. 

Meskipun gereja selatan juga dipengaruhi oleh alam pikiran yang disebut sekularisme, 

namun umat Kristen selatan jauh lebih sadar akan hadir dan bergeraknya Allah atau 

Roh Allah dalam kenyataan hidup hari lepas hari. Misalnya, mereka sadar bahwa 

Allah tetap bergerak dalam dinamika kesakitan dan penyembuhan. Begitu juga hadir 

dan berkuasa melawan kuasa-kuasa gelap yang bermacam-macam jenisnya. 

 

Alam pikiran sekularisme menular cukup luas di dunia selatan melalui banyak 

pengaruh kebudayaan utara ke selatan. Salah satu saluran pengaruh sekularisme 

adalah teologia Kristen utara yang mungkin boleh dikatakan terlalu akomodatif 

dengan alam pikiran sekularisme tersebut. Teologia itu mempengaruhi cara berpikir 

cukup banyak pemuka Kristen dan pendeta di dunia selatan. Dalam penelitian sejarah 

gereja di Indonesia saya melihat kasus-kasus di mana seseorang menjadi sembuh 

melalui pelayanan doa di gereja. Kejadian tersebut disaksikan oleh banyak orang 

termasuk yang bukan Kristen. Kejadian seperti itu mengakibatkan orang bukan￾Kristen bertobat dan memeluk Injil Kristus. Dalam jaman itu jemaat sangat peka 

terhadap gerak Roh Allah untuk menyembuhkan orang dan amat mengharapkan 

gereja melakukan pelayanan tersebut. Tetapi sekian puluh tahun kemudian gereja-gereja banyak melupakan kisah-kisah tersebut dan mengurangi perhatian serta 

pelayanannya dalam soal itu. Gereja bersandar penuh pada pengobatan dan kecakapan 

ahli medis saja. Perkembangan itu saya tafsirkan sebagai pengaruh alam pikiran 

sekularisme yang agaknya “melarang” orang mengajar atau berpikir tentang Allah 

yang menyembuhkan orang atau mengharapkan gereja berinteraksi dengan Allah 

dalam pelayanan penyembuhan. 

 

Anehnya di cukup banyak gereja utara, khususnya di Amerika Serikat dalam 

beberapa puluh tahun belakangan ini terjadi apa yang disebut kebangkitan dalam soal 

pelayanan untuk penyembuhan. Kebangkitan tersebut nampak dalam pelbagai bentuk, 

misalnya hampir semua denominasi gereja yang mementingkan liturgi formal sudah 

mengembangkan liturgi-liturgi khusus untuk kebaktian penyembuhan yang berfokus 

pada ritus urapan untuk penyembuhan. Gereja Katolik dalam Konsuli Vatikan II 

sudah “menyelamatkan” sakramen “perminyakan terakhir” agar kembali digunakan 

sebagai “urapan penyembuhan”. Hal ini mirip dengan contoh dari Alkitab di Injil 

Markus dan Surat Yakobus. 

 

Yang jelas, bukan hanya gereja utara yang harus bergulat dengan sekularisme, 

gereja selatan pun harus menghadapinya serta menjawab tantangan-tantangannya. 

Memasuki Masa Kekristenan Yang Akan Datang 

Agama Kristen dibawa dan disebarkan di dunia selatan oleh misionaris dan 

orang-orang lain yang semuanya berasal dari Christendom—dalam arti klasik di mana 

agama Kristen dominan dan gereja berkaitan erat dengan negara. Hingga Indonesia 

merdeka hampir semua misionaris dan orang Kristen lain yang datang ke Indonesia 

berasal dari Christendom Eropa. Christendom Eropa boleh dikatakan lebih “kental” 

dari Christendom Amerika Serikat oleh karena struktur yang mengikat gereja dengan 

negara di Eropa jauh lebih kuat dan kompleks dibandingkan dengan struktur serupa di 

Amerika Serikat. Sejak Amerika Serikat menjadi negara merdeka lebih dari 200 tahun 

yang lalu, secara formal tidak ada gereja atau agama resmi di Amerika Serikat oleh 

karena paham politik yang disebut separation of church and state. 

Kenyataan bahwa para pengantar Injil yang membawa Iman Kristen ke dunia 

selatan justru berasal dari dunia Christendom utara menunjukkan bahwa cara berpikir 

mereka banyak dipengaruhi oleh cara berpikir Christendom tersebut, meskipun soal 

itu jarang disadari. Oleh karena gereja di banyak negara selatan bukan agama 

mayoritas dan agaknya tidak akan pernah menjadi agama mayoritas dalam tahun￾tahun mendatang ini, berarti gereja di selatan—terutama di Indonesia—harus 

menemukan cara hidup sebagai agama minoritas yang secara tegas menanggalkan 

cara berpikir dan visi hidup Christendom. Bagi saya keadaan itu menuntut kita 

kembali belajar mengenai proses di mana gereja pertama kali menjadi gereja negara 

dan berusaha melihat sejarah gereja sebelum abad ke-empat dan kisah-kisah Alkitab 

itu sendiri tanpa asumsi-asumsi alam pikiran Christendom. 

Kalau kita meninjau kembali perubahan-perubahan yang terjadi dalam 

kehidupan dan pelayanan gereja ketika gereja menjadi agama resmi Kekaiseran 

Romawi, kita bisa dengan singkat menyebutkan beberapa hal : 1. Ketika gereja Kristen menjadi agama resmi negara, cara lama penyebaran 

iman Kristen kepada orang lain dan pengumpulan orang baru dalam jemaat 

lama-kelamaan menjadi lenyap. Alasannya tempat ibadah berpindah dari 

tempat tinggal keluarga ke rumah besar khusus untuk ibadah yang disebut 

basilika. Di samping itu mulai ada petugas pemerintah yang mendorong atau 

mengharuskan orang masuk gereja. 

2. Dengan gereja Kristen menjadi agama resmi, negara gereja harus menampung 

dalam ibadahnya banyak orang yang sesungguhnya tidak suka hadir dan 

belum mendalami iman serta etika Kristen. Karena itu Gereja terpaksa 

menanggalkan ritus inti yang disebut perjamuan agape’ (= kasih) yang sejak 

mula dilakukan setiap kali jemaat berkumpul untuk beribadah. Hal ini 

disebabkan para pendatang yang baru yang belum sadar itu, makan dan minum 

terlalu banyak dalam perjamuan kasih tersebut sehingga ibadah menjadi 

kacau. Sejak hal tersebut di atas, hal yang tertinggal hanyalah ritus 

“Perjamuan Kudus” yang sekalipun sangat penting namun sudah tidak lagi 

bersifat persekutuan perjamuan kasih. 

3. Gereja resmi Kekaisaran Romawi diharapkan memberkati rencana-rencana 

dan kebijakan kaisar dalam segala bidang, termasuk prakarsa militer melawan 

negara lain. 

4. Dengan Gereja Kristen menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi, ajaran 

kasih yang begitu menyolok dan cara hidup Yesus, dalam banyak kasus 

dipindahkan ke kategori “tidak praktis; tidak masuk akal.” Akibatnya gereja 

Kristen sepertinya lupa bahwa petunjuk Yesus agar kita mengasihi musuh dan 

tidak membalas kekerasan dengan kekerasan sesungguhnya sangat praktis dan 

dapat dijalankan—dengan pertolongan Tuhan. 

5. Dengan Gereja Kristen menjadi agama resmi Kekaisaran, maka misionaris 

yang diutus keluar negeri harus berfungsi sebagai kepanjangan tangan 

Kekaisaran dan dalam mengabarkan Injil mereka “dibantu” oleh tentara 

Romawi. Artinya Injil Kristen mulai disebarkan dengan pedang. Akibatnya 

misionaris dari Gereja Roma menjadi kurang efektif sehingga akhirnya Eropa 

utara sebagian besar justru diinjili oleh misionaris dari Irlandia yang di luar 

batas Kekaisaran Romawi. 

6. Pada masa Yesus dengan para pengikutnya dan kemudian gereja yang 

merupakan minoritas dalam konteks masyarakatnya, mereka mengerti bahwa 

kerajaan Allah tidak dapat dikejar atau dicapai dengan jalan kekerasan. Tetapi 

ketika gereja Kristen menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi, gereja mulai 

memahami bahwa kerajaan duniawi (dalam hal ini Kekaisaran Romawi) dapat 

dianggap sama dengan kerajaan Allah. Pengertian ini mereka dasarkan pada 

sejarah Kerajaan Israel dalam Perjanjian Lama di mana kerajaan duniawi 

dianggap sama dengan kerajaan Allah. 

7. Agama Kristen menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi mempunyai akibat 

fatal bagi Gereja Kristen di Kekaisaran Persia. Kekaisaran Persia merupakan 

musuh Kekaisaran Romawi. Ketika Kaisar Romawi memproklamasikan diri 

sebagai “Pembela Iman [Kristen]” (Defensor Fide), Gereja Kristen di 

Kekaisaran Persia mulai dicurigai. Kesetiaan mereka kepada Kekaisaran 

Romawi disangsikan. Oleh karena itu timbul penganiayaan keras melawan 

Gereja Kristen di Kekaisaran Persia yang berlangsung selama 50 tahun. Pada 

masa itu juga Gereja di Persia mengambil keputusan untuk menerima teologia Nestorius, bekas Uskup Besar Konstantinopel. Teologia Nestorius bersifat 

diofisit, yang mengaku bahwa Yesus Kristus bertabiat ilahi dan manusiawi. 

Sedangkan oleh Gereja Barat teologia diofisit Nestorius telah dinyatakan sesat. 

Oleh karena itu seluruh Gereja di Persia harus dinyatakan sesat pula, meskipun 

kemudian hari Gereja Barat sendiri mengganti teologia monofisitnya (yang 

mengaku bahwa Kristus bertabiat satu saja yaitu yang ilahi) dengan teologia 

diofisit yang tidak jauh dari teologia diofisit Nestorius. Hal pokok yang dapat 

kita lihat dalam kisah ini ialah bahwa aksi Kaisar Romawi yang Kristen itu 

mendatangkan penderitaan yang amat mengerikan bagi Gereja Kristen di 

Persia. 

8. Di kemudian hari, ketika Kekaisaran Romawi jatuh maka Gereja Roma 

semakin berfungsi dalam peranan sebagai pemerintah negara. Gereja yang 

bersatu dengan negara inilah yang kemudian hari berperang melawan tentara 

Islam, yang dari sisi Christendom disebut Perang Salib. 

Di dunia utara sudah banyak orang yang berbicara dan menulis tentang Post￾Christendom, artinya bahwa jaman di mana agama Kristen dominan yang memiliki 

kaitan erat dan kuat dengan pemerintah negara sudah berlalu. Meskipun bagi orang 

utara sendiri belum begitu jelas mengenai apa yang dimaksud dengan istilah Post￾Christendom, gereja di dunia selatan, terutama di Indonesia, harus hidup dan berjalan 

dalam dunia di mana agama Kristen tidak dominan. Oleh karena itu gereja di 

Indonesia harus menemukan dan mengembangkan cara-cara menghadirkan diri dan 

berfungsi dalam masyarakat yang tidak berdasarkan visi untuk menjadi dominan. 

Bagaimanapun gereja Kristen pada umumnya mengutamakan kasih pada Allah dan 

sesama manusia seperti diri sendiri. Gereja Kristen mengutamakan karya Allah untuk 

menyelamatkan dan menekankan pelayanan untuk menyembuhkan serta 

memperdamaikan konflik. Oleh Tuhan sendiri, gereja Kristen diajak untuk mencari 

jalan mengasihi orang yang memusuhi mereka. 

Dalam Lingkungan Gereja-gereja Kristen Sendiri 

Orang Kristen mempunyai tugas di dalam lingkungannya sendiri sehubungan 

dengan soal relasi umat Kristen dengan golongan agama lain. Berikut ini saya catat 

beberapa hal yang kiranya perlu diperhatikan oleh orang Kristen dan masing-masing 

gereja Kristen. 

Perlu diusahakan hubungan yang lebih baik di antara gereja-gereja Kristen 

yang ada—dengan sinode yang berbeda-beda, dengan aliran denominasi Kristen yang 

lain, dan dengan arus moderat, konservatif, liberal, kharismatis serta evangelikal. 

Dengan demikian orang Kristen dari kelompok yang satu akan lebih memperhatikan 

kepentingan dan pendapat saudara-saudara seiman yang ada di kelompok, sinode, 

aliran atau arus yang berbeda. Ini tidak hanya diperlukan di tingkat para pemimpin 

gereja saja, melainkan juga di antara jemaat yang secara fisik berdekatan satu dengan 

yang lain. Bagaimanapun juga semua orang Kristen adalah saudara seiman. Dari segi 

teologis, dari segi rohani, dari segi pelayanan dan dari segi kesaksian tidaklah wajar 

kalau kita justru bertindak sebagai orang-orang yang tidak saling mengenal apalagi 

menjadi orang yang bermusuhan. Semua orang Kristen, termasuk orang awam di jemaat setempat, perlu diajak 

memikirkan masalah yang kita bicarakan hari ini. Sebagai pemimpin gereja perlu kita 

mengajak mereka belajar lebih banyak mengenai realitas yang kita akan hadapi dalam 

masa yang akan datang dan sudah mulai terjadi belakangan ini di Indonesia. 

Bagaimanapun masing-masing kita yang menyebut nama Yesus Kristus dalam 

pengakuan iman sudah menjadi saudara seiman. Meskipun kita tidak setuju dengan 

pengertian dan kegiatan tertentu sebagai wujud atau bentuk misi Kristen yang wajar, 

namun kita melanggar Iman Kristen itu sendiri kalau kita justru memisahkan diri dari 

kelompok-kelompok orang Kristen yang berbeda. 

 

Kalau kita tidak setuju dengan pengertian dan pola misi tertentu, kita perlu 

membangun jembatan dengan orang-orang yang menjalankannya. Jika kita mendekati 

mereka, kemungkinan kita akan menemukan sesuatu yang dapat menjadi pelajaran 

baru bagi kita. Dan mungkin juga kesadaran baru akan mulai tumbuh di tengah￾tengah mereka pula. 

Meningkatkan Relasi dengan Orang Beragama Lain 

Belajar tentang masalah ini perlu disertai dengan belajar mengambil prakarsa 

untuk menemukan beraneka macam cara untuk membangun dan meningkatkan relasi 

sebagai manusia dengan tetangga yang beragama lain, terutama mereka yang 

beragama Islam. Ini perlu dilakukan dengan tetangga sebelah rumah kita masing￾masing, dilakukan di pasar, dengan kawan di kantor, di sekolah dan di lembaga atau 

ruang kerja dan kegiatan manapun. 

Begitu juga secara lembaga perlu kita mencari kesempatan untuk membangun 

dan meningkatkan relasi di antara lembaga Kristen dan lembaga Islam—seperti di 

bidang pendidikan, bidang kesehatan, bidang sosial, bidang politik dan bidang-bidang 

yang lain. 

Mengapa saya menekankan relasi dan hubungan ini? Sesungguhnya saya bisa 

memberi contoh di mana kekerasan dapat dihindarkan oleh karena ternyata ada orang 

yang memiliki relasi tertentu dengan orang di kelompok yang akan di serang, 

sehingga mereka berhasil membujuk atau menyarankan agar tindakan kekerasan tidak 

harus dilakukan. Dalam kasus-kasus ini satu orang yang memiliki relasi dengan satu 

orang di kelompok yang lain berhasil menghindarkan kekerasan. 

Penginjilan/Da’wah 

 

Beberapa orang beranggapan bahwa gereja dapat diharapkan untuk berhenti 

melakukan pengabaran Injil. Tetapi saya berpendapat bahwa mengabarkan Injil 

dengan satu atau lain cara merupakan bagian integral dari iman Kristen. Saya kira hal 

yang sama berlaku untuk Agama Islam. Kalau kita melihat contoh dari Injil dan Kisah 

Rasul-Rasul kita melihat bahwa gereja mula-mula yang mulai memberitakan Injil 

keluar dari lingkungan bangsa Yahudi bukan merupakan keputusan atau program 

manusia, melainkan perkembangan di mana Roh Allah sendiri bertindak. Dalam kisah 

para Rasul, Petrus memberitakan Injil kepada Kornelius (Kisah 10). Meskipun Yesus dengan tegas meminta para muridNya untuk pergi dan menjadikan segala bangsa 

muridNya, para murid dan kawan-kawanNya ternyata tidak dapat melakukannya 

sebelum Allah sendiri bertindak di antara mereka. 

Kalau kita melihat Gerakan Misioner yang dimulai di Eropa pada akhir abad 

kedelapanbelas dan awal abad kesembilan belas, gerakan tersebut bukan hasil 

keputusan atau program gereja atau lembaga apapun, melainkan sebuah gerakan 

kebangunan rohani yang disebut Pietisme. 

 

Bagi gereja sekarang, tidak ada badan atau pihak manapun yang berkuasa atas 

semua gereja yang dapat meminta gereja untuk berhenti mengabarkan Injil. Namun 

yang dapat dan harus dilakukan adalah usaha untuk mengajak gereja dan organisasi 

misi atau penginjilan untuk mencari jalan mengabarkan Injil yang lebih menghormati 

pihak yang lain. 

Melayani Kebutuhan Orang 

Persoalan mengabarkan Injil ini bukan semata-mata masalah gereja 

menjalankannya atau tidak. Sebab persoalan ini juga menyangkut kesempatan bagi 

orang yang mencari, orang yang lapar dan haus akan berita dan ajaran agama, untuk 

bisa memperolehnya. Kalau ada pihak yang melarang orang untuk mengabarkan Injil 

atau berdakwah, maka tindakan itu juga “melanggar” hak orang untuk mencari dan 

membutuhkan berita agama yang baru. 

Ada sementara orang Kristen yang karena satu dan lain hal merasa bahwa 

agama Kristen tidak memenuhi kebutuhannya. Bolehkah orang mencari jalan untuk 

membantunya? Demikian juga ada sementara orang Islam yang merasa haus akan 

sesuatu yang tidak mereka temukannya dalam Agama Islam. Benarkah orang yang 

menolongnya? 

 

Seratus limapuluh tahun yang lalu ada seorang Jawa yang menyebut diri Kiai 

Ngabdullah yang merasa haus akan sesuatu yang belum ia temukan. Kemudian ia 

mengganti nama menjadi Kiai Tunggul Wulung, dan mendaki Gunung Kelud untuk 

bertapa di sana. Ketika ia berada di sana, secara misterius dia menemukan secarik 

kertas di bawah tikarnya di mana tertulis kata-kata ini: “Akulah Tuhan Allahmu yang 

telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir dimana kamu diperbudak. Jangan 

menyembah ilah-ilah lain. Sembahlah Aku saja.” Ternyata kata-kata tersebut dari 

Kitab Taurat, Keluaran 20:2-3 (BIMK). Menurut cerita tersebut ia juga mendengar 

suara yang meminta dia turun gunung mencari orang yang dapat menerangkan apa 

yang ia terima. Ia pergi ke Ngoro di mana dia belajar dari kelompok Kristen Jowo 

dipimpin oleh seorang asing bernama Coolen. Kemudian dia bertemu dengan 

misionaris Jellesma di Mojowarno dan Jansz di Jepara. Akhirnya ia dibaptis sebagai 

orang Kristen di Mojowarno dengan nama baptis Ibrahim. Kemudian ia berkeliling 

pulau Jawa untuk mengajarkan imannya yang baru dan mengajak orang untuk ikut 

bermukim di dukuh-dukuh Kristen Jowo yang didirikannya di Bondo, Banyutowo, 

Tegalombo dan beberapa tempat lainnya sebagai sebuah gerakan Kristen Jowo yang 

ia pimpin sendiri. Tetapi di Tapanuli ada misionaris Kristen yang karena hal yang saya tidak 

mengerti merasa tertarik akan Agama Islam dan akhirnya memeluknya sebagai 

agamanya. Kejadian seperti itu menyedihkan saya. Tetapi apa yang dapat kita perbuat 

dengan orang yang merasa bahwa agamanya tidak memenuhi kehausan rohani yang 

ada dalam jiwanya? 

Kekristenan di Dunia Selatan dalam Milenium Ketiga 

Kekristenan Selatan ialah Kekristenan baru yang berkembang di konteks yang 

baru, konteks yang lain dari Christendom. Kenyataan ini merupakan tantangan 

sekaligus kesempatan bagi Gereja Selatan dalam milenium ketiga ini. Kini dan di sini 

Allah berfirman kembali kepada Gereja Selatan melalui nubuat lama di Nabi Yeremia 

demikian: “Usahakanlah kesejahteraan kota di mana kamu berada, dan berdoalah 

untuk kota itu kepada TUHAN, sebab dalam kesejahteraannya engkau akan temukan 

kesejahteraanmu”(29:7, paraphrase). Yang mungkin bisa dikontekstualisasikan 

sebagai berikut: “Usahakan kesejahteraan negeri Indonesia di mana kamu berada, dan 

berdoalah untuknya, sebab dalam kesejahteraan negerimu akan engkau temukan 

kesejahteraanmu.” 

Pada waktu yang sama perlu diingat dan dirayakan pengakuan bahwa Allah itu 

“Raja di atas segala raja, dan TUHAN di atas segala tuhan.” Sambil tinggal di kota 

dan kerajaan di bawah pemerintahan dunia ini, kita juga tinggal dan berdiam dalam 

kerajaan sorgawi, yaitu Kerajaan TUHAN Allah, yang pemerintahan dan kekuasaan￾Nya meliputi segalanya.