Kejahatan genosida



 Penyebab utama dari kejahatan genosida adalah dilatarbelakangi dengan 

adanya perjuangan hak dari suku yang minoritas dan adanya agama yang 

fanatik serta rasial yang ditunjukkan dalam diskriminasi kultural. Tindakan-tindakan dari kejahatan genosida ini telah dituangkan dalam 

hukum internasional yang berupa perjanjian dan putusan Mahkamah 

Internasional dan juga pada ketentuan hukum nasional yang meliputi 

Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, dan Keputusan Presiden. 

2. Tindak kejahatan yang diperbuat oleh pemerintah Myanmar oleh Etnis 

Muslim Rohingnya merupakan tindak kejahatan internasional genosida, 

karena sudah memenuhi beberapa unsur pokok yaitu pembunuhan massal, 

diskriminasi terhadap agama yang minoritas, dilakukan secara sistematis, 

dan bertujuan untuk melenyapkan suatu etnis dan golongan tertentu, maka 

dari hal ini   peneliti menganalisis bahwa kejahatan ini   

dikategorikan sebagai kejahatan internasional genosida. Terkait dengan 

penyelesaian sengketa yang terjadi ini   maka peneliti memberikan 

analisis terkait dengan penyelesaian sengketa yang terjadi di Myanmar, 

sengketa ini   dapat diselesaikan dengan cara di dalam serta di luar 

pengadilan. jika   di luar pengadilan penyelesaian sengketa bisa 

dilakukan dengan cara mediasi dan negosiasi, tetapi jika   dilakukan di 

dalam pengadilan yang dalam hal ini adalah berlaku pengadilan 

internasional maka sengketa ini   dapat ditangani oleh Mahkamah 

Pidana Internasional. Karena semua warga negara berada di bawah 

yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.

Kejahatan genosida dapat dilakukan penindakan dengan cara: a. 

melakukan kerjasama secara regional ataupun internasional; b. adanya 

lembaga yang dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan serta 

penghormatan terhadap etnis, agama dan lainnya bahkan untuk menguatkan 

lembaga yang telah ada untuk dapat menjadi maksimal; c. penegakan hukum 

terhadap putusan pengadilan yang meliputi putusan Mahkamah Ad Hoc Den 

Haag dan Mahkamah Ad Hoc Rwanda; d. melakukan kajian hasil pendidikan 

dan penelitian; dan e. adanya kebijakan dari pemerintah dalam melindungi 

kumpulan dari latar belakang SARA.





Suatu kejahatan yang dilakukan secara penyerangan terhadap orang lain

akibat perselisihan dari etnis atau budaya sering sebut sebagai kejahatan 

manusia pada hukum internasional yang mengarah pada perbuatan dalam 

bentuk pembunuhan secara massal terhadap penyiksaan pada anggota tubuh 

manusia. Dalam hal ini perselisihan akan semakin meningkat dan mengarah 

pada suatu perbuatan yang lebih agresif dan orang yang melakukan hal 

ini   akan semakin melakukannya di luar batas bahkan termasuk pada 

perbuatann yang berat. Golongan tindakan atau perbuatan yang berat ini 

merupakan pembantain besar-besaran terhadap suatu etnis tertentu yang 

mengakibatkan banyaknya korban dan kerugian materiil ataupun immateriil. 

Hal ini   disebut sebagai kejahatan genosida.

Kejahatan genosida yang berhubungan dengan pemusnahan etnis atau 

budaya dan juga termasuk pada kejahatan terhadap kelompok politik karena 

kelompok ini   sulit diidentifikasi yang akan menyebabkan masalah 

internasional dalam suatu negara. Pengertian genosida dalam Konvensi 

Genosida tahun 1948, diartikan sebagai suatu tindakan dengan maksud 

menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, 

rasa, etnis atau agama.

1

Pengertian genosida ini   lalu   tertuang dalam

statuta Internasional Criminal Court (ICC) dan Undang-Undang Nomor 25 

Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM).

Kelompok bangsa dalam pengertian genosida merupakan kelompok 

yang mempunyai identitas yang berbeda tetapi dalam satu tanah air bersama 

sedangkan kelompok ras merupakan kelompok yang mempunyai ciri-ciri atau 

sifat-sifat secara turun temurun. Kelompok etnis sendiri merupakan kelompok 

yang mempunyai bahasa, kebudayaan serta tradisi yang sama secara turun 

temurun dan merupakan warisan bersama. Oleh karena itu dengan membunuh kelompok-kelompok ini   termasuk dalam elemen-elemen dari kejahatan 

genosida. 

Kejahatan genosida sering dikaitkan dengan kejahatan terhadap manusia 

tetapi jika   dilihat secara mendalam kejahatan genosida berbeda dengan 

kejahatan terhadap manusia, dimana kejahatan genosida tertuju pada 

kelompok-kelompok seperti bangsa, ras, etnis ataupun agama sedangkan 

kejahatan terhadap manusia ditujukan pada warga negara dan penduduk sipil. 

lalu   kejahatan genosida ini dapat melenyapkan sebagian atau 

keseluruhannya sedangkan kejahatan terhadap manusia tidak ada spesifikasi 

atau syarat dalam hal ini  .2

Kejahatan genosida pada hukum pidana internasional merupakan 

kejahatan luar biasa dan sudah menjadi tindakan yang dilarang yang lalu   

dituangkan pada Konvensi Genosida 1948, statuta International Criminal 

Tribunals for the Former Yugoslavia (ICTY), statuta International Criminal 

Tribunals for Rwanda (ICTR) serta statuta Roma 1998 yang menyatakan 

bahwa kejahatan genosida sebagai the most serious crimes of concern of 

international community as a whole.

Pada Pasal 7 UU Pengadilan HAM dinyatakan bahwa kejahatan 

genosida merupakan kejahatan yang melanggar HAM yang berat karena 

tindakannya dilakukan dengan cara membunuh, yang menyebabkan 

penderitaan yang berat, kemusnahan, pemaksaan oleh kelompok-kelompok 

bahkan pemidahan anak-anak yang dilakukan secara paksa oleh kumpulan 

satu ke kumpulan yang lain. Dengan demikian pada undang-undang 

pengadilan hak asasi manusia ini   secara tegas memberikan ancaman 

terhadap pelakunya.

Keadaan-keadaan konflik di atas dapat dilihat di benua Afrika, dimana 

terjadi konflik pada 35 negara Organization of African Unity. Dominan dari 

konflik ini   termasuk pada pemberontakan menentang negara yang 

dilakukan oleh kelompok-kelompok bangsa, ras, etnis atau agama yang melawan pemerintahan/negara. Hal ini tidak terjadi di Benua Afrika tetapi di

belahan dunia.

Konflik lainya terjadi di Kamboja dan Vietnam, dimana secara 

konstitusi kedua negara ini   merupakan negara sosialis, komunis namun 

tetap menyatakan bahwa negara ini   mayoritas agamanya adalah Budha 

shingga dengan pengutamaan dari negara ini   memberi dampak terhadap 

minoritas agama di negara ini  , terkhususnya Etnis Rohingya yang 

merupakan penganut agama Islam mendapatkan diskriminasi dari kaum 

mayoritas negara ini  .

B

Dalam membahas permasalahan ini, penulis menggunakan metode 

pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji, menguji dan menelaah aspek 

hukum khususnya hukum pidana yang berkaitan dengan hukum pidana

internasional serta untuk melihat bagaimana asas-asas hukum dan sinkronisasi 

hukum yang berlaku terhadap penyelesaian sengketa tindak kejahatan genosida di 

Indonesia. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual (conceptual 

approach), pendekatan perundang–undangan (normative approach), dan 

pendekatan kasus hukum (case law approach). Teknik pengumpulan data yang 

digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini bersumber dari studi pustaka (library 

research) yaitu memperoleh data sekunder dengan cara mengumpulkan berbagai 


literatur dan data serta informasi yang relevan dengan penelitian. Mengingat 

penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, data yang digunakan adalah 

data sekunder di bidang hukum yaitu jenis data yang diperoleh dari riset 

kepustakaan (library research), bahan-bahan hukum primer (ketentuan-ketentuan 

perundang-undangan yang mengatur tentang tindak kejahatan genosida) dan dari 

data-data lain (artikel, internet, media cetak, makalah, jurnal, dan sebagainya) 

yang berhubungan dengan judul penelitian. 

IIc. Menghadirkan suatu keadaan yang mempunyai tujuan untuk 

memusnahkan suatu kelompok tertentu secara nyata baik sebagian atau 

seluruhya; 

d. Dipaksakan dengan berbagai cara dengan tujuan untuk menangkal 

kelahiran terhadap suatu kelompok tertentu; 

e. Pemindahan dari suatu kelompok tertentu kepada kelompok lainnya 

secara paksa terhadap anak-anak.

Genosida merupakan Kejahatan Internasional (International Crimes) 

dimana merupakan suatu pelanggaran hukum yang berat. Kejahatan ini 

merupakan kejahatan yang dinilai paling serius karena melibatkan 

masyarakat internasional secara keseluruhan yang telah diatur dalam 

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) :

a. The jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes 

of concern to the international community as a whole. The Court has 

jurisdiction in accordance with this Statute with respect to the 

following crimes: (a) The crime of genocide; (b) Crimes against 

humanity; (c) War crimes; (d) The crime of aggression. 

b. The Court shall exercise jurisdiction over the crime of aggression once 

a provision is adopted in accordance with articles 121 and 123 

defining the crime and setting out the conditions under which the 

Court shall exercise jurisdiction with respect to this crime. Such a 

provision shall be consistent with the relevant provisions of the 

Charter of the United Nations.5

Sesuai dalam jurisdiksi ini   genosida masuk dalam Kejahatan 

Internasional. Kejahatan Internasional yang sesuai dalam jurisdisi ini,

di antaranya : 

1) Kejahatan genosida; 

2) Kejahatan terhadap kemanusiaan; 

3) Kejahatan perang; 4) Kejahatan agresi.

2. Konvensi Mengenai Kejahatan Genosida

Genosida merupakan sebuah tindakan kejahatan internasional 

(international crimes) yang termasuk dalam 4 (empat) kejahatan 

internasional yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan 

perang, dan kejahatan agresi. Pengaturan Genosida telah diatur di dalam: 

Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg, Konvensi Genosida 

1948, Statuta ICTY, Statuta ICTR, Statuta Roma 1998 Tentang 

International Criminal Court (Mahkamah Pidana Internasional), dan 

Pengaturan Hukum Nasional. 

Di dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg 

substansi pengaturan genosida sudah ada di dalamnya Piagam Mahkamah 

Militer Internasional Nurnberg yakni deskripsi tentang “kejahatan terhadap 

kemanusiaan”. Kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) yang 

dapat diartikan sebagai berikut :6

“murder, extermination, enslavement, deporatation, and other 

inhumane acts commited againts any civlian population, before 

during the war, or persecutions on political, racial or religious 

grounds in execution of or in connection with any crime within the 

jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of the 

domestic law of the country where perpetrated.”

Penyebutan “..persecutions on racial or religious grounds..“ 

berkembang dalam bentuk khusus dari “crimes against humanity” 

yang dikenal sebagai genosida. Dengan melihat pengaturan ini  , 

secara material kejahatan genosida masih menjadi satu dengan 

kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Dan 

secara tegas pengaturan genosida terjadi ketika negara-negara 

menyepakati Konvensi Genosida 1948.

Konvensi Genosida 1948, inti pengaturan genosida secara tegas diatur 

meliputi :



a. Penegasan genosida sebagai kejahatan internasional; 

Penegasan ini dimuat secara eksplisit di dalam Pasal II Konvensi, yang 

menyatakan bahwa genosida, baik dilakukan di masa perang masupun 

damai, adalah kejahatan yang diatur oleh hukum internasional dan 

negara-negara wajib mencegah serta menghukum pelakunya.

b. Definisi genosida; 

Definisi genosida didormulasikan di dalam Pasal II Konvensi.

c. Perluasan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana; 

Selain genosida, Konvensi juga menyatakan perbuatan-perbuatan yang 

dapat dijatuhi pidana, yakni : (a) persengkongkolan untuk melakukan 

genosida; (b) penghasutan untuk melaksanakan genosida baik secara 

langsung maupun belaku umum; (c) percobaan melakukan kehajatan 

genosida; (d) penyertaan dalam genosida.

d. Tanggung jawab pidana secara individual; 

Pertanggungjawaban pidana baik dilakukan secara individu berarti 

prinsip yang dikehendaki supaya pelaku kejahatan internasional 

menanggung tanggungjawab pidananya secara individu, baik status 

dan jabatannya terlepas dari pemerintahan. Artinya, status orang 

ini   sebagai pejabat publik atau penguasa sekalipun, tidak dapat 

untuk dijakan membela untuk menjauhi tanggungjawab pidananya. 

Prinsip ini dapat dilihat di dalam Piagam Mahkamah Militer 

Internasional Nurnberg ini ditegaskan kembali dalam Pasal IV 

Konvensi.

e. Kewajiban membuat undang-undang nasional mengatur genosida; 

Konvensi Genosida 1948 adalah sebuah konvensi yang melaksanakan 

sangat bergantung pada negara-negara yang menjadi pihaknya. 

Konvensi ini menghendaki supaya negara-negara yang menjadi 

anggota konvensi untuk membuat peraturan perundang-undangan 

nasional agar dapat menetapkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan 

Konvensi pada lingkup nasional, khususnya genosidaf. Forum dan jurisdiksi, konvensi menegaskan : “bahwa pengadilan yang 

memiliki jurisdiksi untuk mengadili pelaku genosida adalah pengadilan 

yang berkompeten dari negara dimana genosida terjadi. Namun 

konvensi juga membuka peluang bagi pengadilan yang bersifat

internasional untuk menerapkan jurisdiksi atas dasar persetujuan 

negara-negara pihak dari konvensi genosida”.

g. Penegasan bahwa genosida bukan kejahatan politik; 

“Pasal VII Konvensi memuat ketentuan yang menegaskan bahwa 

genosida tidak dikategorikan sebagia kejahatan politik, khususnya 

dalam konteks ekstradisi.ini menjadi penting, karena did alam hukum 

internasional yang menyangkut ekstradisi dikenal ada prinsip bahwa 

seorang pelaku kejahatan politik tidak dapat diekstradisikan (non–

extradition of political offenders).”

h. Kemungkinan keterlibatan PBB dalam pencegahan dan penindakan; 

Pasal VIII mengatur bahwa suatu negara dapat meminta supaya organ￾organ PBB yang berkompeten mengambil tindakan sesuai dengan 

Piagam PBB dalam kerangka pencegahan dan penindakan genosida. 

Meski tidak dikemukakan secara eksplisit, pasal ini sesungguhnya 

merupakan jalan masuk bagi Dewan Keamanan PBB untuk berperan 

aktif dalam pencegahan dan penindakan terhadap genosida. Ketentuan 

ini dapat dikaitkan dengan Bab VII Piagam PBB yang membuka 

peluang bagi intervensi Dewan Keamanan ketika dinilai ada kondisi 

yang membahayakan perdamaian dan keamanan dunia.

Statuta ICTY adalah instrumen hukum internasional yang menjadi 

landasan pembentukan ICTY yang dituangkan dalam Resolusi Dewan 

Keamanan PBB untuk merespons situasi krisis kemanusiaan di wilayah￾wilayah pecahan Yugoslavia dan lalu   Statuta ICTY secara tegas 

memasukan genosida dalam jurisdiksi materiae-nya.

Statuta ICTR mengadopsi pengaturan tentang genosida dari 

konvensi genosida 1948, oleh karena itu isi pengaturannya genosida memuat maksud yang sama. Dan dalam Statuta ICTR juga memuat 

tentang kriminalisasi dan pidana terhadap tindak kejahatan genosida :

a. Kriminalisasi : seperti Statuta ICTY, Statuta ICTR juga 

mengkriminalisasikan perbuatan-perbuatan lain yang terkait dengan 

tindakan genosida, yaitu : persekongkolan untuk melakukan genosida, 

penghasutan secara langsung di muka umum untuk melakukan 

genosida, percobaan melakukan genosida, dan penyertaan dalam 

genosida. 

b. Pidana : Kemiripan ICTR dengan ICTY juga terdapat pada aspek 

pemidanaan terhadap genosida. Baik ICTR maupun ICTY tidak 

memuat pidana mati (capital punishment) sebagai salah satu pidana 

yang diancamkan terhadap pelaku genosida.

Statuta Roma 1998, Pokok-pokok pengaturan genosida dalam 

Statuta Roma meliputi:

a. Penegasan jurisdiksi materiae ICC atas genosida : Pasal 5 paragraf 1 

Statuta Roma menegaskan bahwa kejahatan genosida merupakan salah 

satu kejahatan terhadap mana ICC memiliki jurisdiksi. Bersama 

dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimnes against humanity), 

kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (the crimes of 

agression), genosida dianggap sebagai “the most serious crimes of 

concern to the international community as a whole.” 

b. Perumusan definisi genosida : Pasal 6 Statuta Roma memuat tentang 

rumusan perbuatan yang dikategorikan sebagai genosida. Sebagaimana 

telah dikemukakan, rumusan definisi genosida dalam Statuta Roma 

1998 mengadopsi rumusan yang terdapat di dalam Konvensi Genosida 

1948. 

c. Tanggung jawab pidana secara individual : Gagasan 

Penanggungjawaban pidana secara individual yang sudah mulai 

dikemukakan dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional 

Nurnberg juga disuarakan kembali secara tegas dalam Pasal 25 Statuta 

Roma 1998. Paragaraf 1 dari pasal ini   menegaskan bahwa ICC

tujuan kelompok pelaku genosida (Artikel 25 3 d Statuta Roma 1998), 

setiap orang yang secara langsung dan terbuka menghasut orang lain 

untuk melakukan genosida (Artikel 25 3 e Statuta Roma 1998), setiap 

orang yang melakukan percobaan genosida.

e. Pidana : Seperti ketentuan di dalam Statuta ICTY dan ICTR, Statuta 

Roma 1998 juga secara implisit mengesampingkan kemungkinan 

dijatuhkannya pidana mati bagi pelaku genosida dan kejahatan lain 

yang berada dalam cakupan jurisdiksi ICC. Pasal 77 Statuta Roma 

secara tegas menyatakan sebagai bahwa ada dua jenis pidana yang 

dapat dijatuhkan pelaku genosida dan kejahatan lain dalam ICC yaitu 

pidana pokok dan pidana tambahan.

Dalam Pengaturan Hukum Nasional Indonesia yakni Undang￾Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan 

Hak Asasi Manusia pada Pasal 7 menyebutkan, Kejahatan Genosida

adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat. Berdasarkan 

pasal ini   juga telah dijelaskan unsur-unsur perbuatan yang 

dikategorikan kejahatan genosida.

3. Teori Mengenai Kejahatan Genosida

Dalam pembahasan tindak kejahatan genosida ini dalam Hukum 

Internasional menggunakan teori hak asasi manusia dan teori 

tanggungjawab negara karena genosida merupakan suatu pelanggaran ham 

berat dimana negara-negara harus bertanggungjawab melindungi 

negaranya dari kejahatan ini   : 

a. Teori Hak Asasi Manusia (HAM) : Hak asasi manusia merupakan 

suatu tanggungjawab yang telah diserahkan dari negara berupa 

melindungi setiap hak asasi manusia dengan memperioritaskan 

kesamaan di depan hukum dan keadilan. Menurut Satjipto Raharjo 

mengatakan bahwa perlindungan hukum merupakan suatu 

pengayoman kepada HAM yang telah dirugikan oleh orang lain dan 

perlindungan ini   diserahkan kepada masyarakat supaya bisa merasakan seluruh hak-haknya yang sudah diberikan oleh hukum. 7

Perlindungan ini berhubungan kuat dengan harkat dan martabat 

manusia berdasarkan pada ketentuan hukum suatu negara. Jadi dapat 

disimpulkan bahwa perlindungan hukum merupakan hak mutlak yang 

dimiliki setiap manusia dan sebagai kewajiban bagi pemerintah untuk 

memenuhinya.

b. Teori Tanggungjawab Negara : Hukum Internasional mengenai 

tanggungjawab Negara merupakan hukum internasional yang berdasar 

pada hukum kebiasaan internasional. 8

Tanggungjawab Negara 

mempunyai hak dan kewajiban dalam melindungi setiap warga negara 

yang ada di luar teritorial negaranya.9

Secara universal, tanggungjawab 

negara ini muncul ketika suatu negara melaksanakan hal-hal berupa 

mengingkari perjanjian internasional, pelanggaran terhadap kedaulatan 

sautu wilayah negara lain, merusak hak milik atau wilayah negara lain, 

melakukan kekerasan dengan menggunakan senjata kepada negara 

lain, merugikan perwakilan diplomatik negara lain, atau melakukan

kesalahan dalam memperlakukan warga negara asing. 10 Berkenaan 

dengan pelanggaran HAM, tanggung jawab negara pada hakikatnya 

diwujudkan dalam bentuk melakukan penuntutan secara hukum 

terhadap para pelaku (bringing to justice the perpetrators) dan 

memberikan kompensansi atau ganti rugi terhadap korban pelanggaran 

HAM. Pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan individu 

tanpa melihat jabatan dan kedudukan individu ini  . Prinsip 

tanggung jawab negara dan prinsip tanggung jawab pidana secara individual, sekarang ini merupakan prinsip-prinsip yang telah diakui 

(recognized) dalam hukum internasional.11

B. Cara Penyelesaian Sengketa Tindak Kejahatan Genosida Secara Hukum 

Internasional

1. Metode Penyelesain Kasus di Lingkup Hukum Internasional

Dalam hal ini terdapat dua metode penyelesaian:12

a. Penyelesaian dengan damai, ialah ketika pihak yang bersengketa 

sepakat dengan penyelesaian yang bersahabat. Penanganan kasus 

secara damai ini dilakukan secara internal oleh negara yang 

bertanggungjawab dalam sengketa dan dikawal oleh PBB. 

b. Penyelesaian dengan paksa atau kekerasan, ialah ketika jalan keluar 

yang diambil dengan menggunakan kekerasan. Solusi penyelesaian ini 

dilakukan jika penyelesaian secara damai tidak bisa dilakukan 

sehingga perlu upaya secara paksa atau kekerasan dengan jalur 

Mahkamah Pidana Internasional.

2. Kasus Kejahatan Genosida Terhadap Etnis Rohingnya di Barat 

Myanmar

Myanmar yang letaknya di kawasan Asia Tenggara, dalam sejarah 

dinamai dengan Burma, terkhusus di kawasan Arakan secara objektif baru 

terjawab oleh para sejarawan. Banyaknya kontroversi yang ditimbulkan 

serta distorsi dikarenakan terdapatnya pengaruh kepentingan kelompok 

yang kuat.

Pelanggaran HAM yang terjadi beberapa bulan yang lalu berkaitan 

dengan Burma menjadi tranding topik dimana perbuatan diskriminasi 

terhadap etnis muslim minoritas yang dikenal dengan Etnis Rohingnya 

memiliki kesamaan juga dalam segi bahasa, agama serta etnis dari Bengali 

yang menetap di kawasan Chitaggong anggapan banyak yang menyatakan 

bahwa muslim Bengali yang terletak di Arakan bermukim pada abad-19 dan ke-20 berbarengan dengan datangnya kolonial Inggris. Dari sanalah 

lalu   sebutan imigran gelap disematkan pada Etnis Rohingnya akibat 

dari perang kemerdekaan beserta bencana topan tahun 1978 dan 1991, ada 

yang beranggapan Etnis Rohingnya ingin mengukuhkan status 

kewarganegaraan mereka sebagai etnis pribumi. 

Adapun suku terbesar di antaranya Burma, Chin, Kachin, Arakan, 

Shan, Kayah, Mon, dan Karen dimana para akademisi dan juga pemerintah 

menetapkan ada 135 suku yang terdapat di Burma meski demikian tidak 

ada data yang menjelaskan suku minoritas terkait dengan batasan wilayah 

serta garis keturunannya, sedangkan presentase data kependudukan etnis di 

Burma, sebagai berikut:

a. Etnis Burman sebanyak 50 juta orang atau 50-70% merupakan 

mayoritas;

b. Etnis Shan 9% ;

c. Etnis Karen 7%;

d. Serta Etnis Mon, Arakan, Chinn, Kachinn, Karenn, Rohingnya, 

Kayann, Cina, India, Danuu, Akhaa, Kokang, Lahuu, Nagaa, Palaung, 

Pao, Tavoyann, dan Waa sekitar 5%.

Dimana Etnis Rohingnya yang tinggal di Barat Myanmar tepatnya di 

kawasan Arakan merupakan orang muslim. PBB menjelaskan bahwa 

banyak Etnis Rohingnya yang menerima kekerasan dan diskriminasi 

termasuk kelompok minoritas yang teraniaya di dunia, dan akhirnya 

banyak dari etnis ini yang pindah ke tempat lebih aman seperti di kawasan 

Bangladesh jiran dan juga Thai Myanmar. Terdapat beberapa reaksi yang 

timbul dari Etnis Rohingnya yakni tetap menetap di kawasan Myanmar 

atau menjadi pengungsi di kawasan yang lebih aman, seperti juga telah 

diketahui bahwasannya kejahatan genosida ini merupakan kejahatan serius 

yang sifatnnya mendunia karena juga masuk ke lingkup ICC yang mana 

kejahatan genosida ini mengancam keberadaan suatu etnis bertujuan untuk 

memusnahkan etnis, agama dan juga ras pada suatu kelompok tertentu. Apa yang telah dilakukan pemerintah Myanmar ini terhadap Etnis 

Rohingnya merupakan suatu tindakan yang melanggar HAM berat.

Yang pada akhirnya anggota Kelompok Rohingnya yang mencoba 

bertahan mengalami perlakuan-perlakuan kekerasan yang tidak manusiawi 

dan terus mengalami penindasan serta tidak diakuinya mereka sebagai 

penduduk Myanmar, sehingga menciptakan konflik yang besar di negara 

Myanmar yang melibatkan pemerintah Myanmar dengan Etnis Rohingnya, 

ini lalu   membuat Etnis Rohingnya mendapat status Stateless Person.

Kejahatan genosida ini sebenarnya sudah lama terjadi yang diawali 

dengan pembunuhan pada tahun 1938 oleh penduduk penganut Buddha 

terhadap Etnis Rohingnya, serta penangkapan pada Tahun 1970 secara 

besar-besaran terhadap Etnis Rohingnya, dan diberlakukannya undang￾undang kewarganegaraan pada tahun 1982 secara struktural membuat 

Etnis Rohingnya menjadi ilegal.

Perbuatan-perbuatan deskriminasi ini telah di dapatkan Etnis 

Rohingnya sejak pada tahun 1938 yang mengakibatkan terbunuhnya 

30.000 orang Etnis Rohingnya pada tanggal 26 Juli. Dan terus berulang 

pada tahun 1942, 1968, 1992, serta puncaknya pada 2012, yang mana 

pemerintah Myanmar pada tahun 1982 meresmikan UU Burma Citizenship 

Law yang mendiskriminasikan Etnis Rohingnya.

Efek dari diresmikannya UU ini   salah satunya hilangnya hak 

belajar terhadap anak-anak keturunan Rohingnya, yang membuat banyak 

anak-anak Etnis Rohingnya ini tidak lagi meneruskan pendidikannya dan 

juga dampak tekanan ekonomi seperti perampasan rumah, tanah, 

pemusnahan dan pelarangan untuk melakukan perbaikan masjid sebagai 

tempat peribadahan, mengalami berbagai penyiksaan seperti pembunuhan, 

pemerkosaan, penindasaan anak-anak, di batasinya perkawinan, serta

penyiksaan tanpa bicara dan juga perampasan HAM seperti penghilangan 

kebebasan untuk beragama dan beribadah dengan dilakukannya 

pemaksaan-pemaksaan seperti pemaksaan keluar dari agama Islam dan 

diharuskan menganut ajaran Buddha sampai dengan penggantian masjid dengan pagoda Buddha, hilangnya kebebasan beragama. Ini tentu 

merupakan perbuatan yang sangat kejam yang dilakukan negeri Myanmar 

terhadap Etnis Rohingnya tidak hanya melakukan perbuatan yang tidak 

manusiawi tetapi juga menghilangkan Hak Asasi Manusia, maka dari itu 

harus ada tindakan cepat oleh PBB untuk menangani persoalan-persoalan 

serius ini agar kasus-kasus demikian tidak terjadi kembali.

13

3. Upaya Penyelesaian Sengketa Antara Pemerintah Myanmar Dengan 

Etnis Rohingnya Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana 

Internasional

Secara umum terdapat dua sarana penyelesaian yang pertama secara 

litigasi yaitu penyelesaian perkara melalui jalur peradilan atau di depan 

hakim dan juga yang kedua dengan sarana non-litigasi yang diartikan 

penyelesaian di luar pengadilan menggunakan bantuan mediator, ini 

merupakan upaya yang dapat digunakan untuk menyelesaikan perkara 

secara Internasional yang dihadapi negara-negara yang mengalami 

sengketa. Penyelesaian perkara dengan jalur non-litigasi yaitu : 

a. Negosiasi, penyelesaian paling umum yang biasa digunakan dalam 

masyarakat, cukup banyak sengketa yang diselesaikan setiap harinya 

dengan prosedur alasan utamanya yaitu bahwa dengan proses ini, 

semua pihak terkait bisa melakukan pengawasam terhadap proses 

penyelesaian sengketanya dan semua penyelesaian ini   didasari

dengan kesepakatan-kesepakatan dari pihak-pihak yang bersengketa. 

b. Mediasi, penggunaan perantara pihak ketiga atau seorang mediator. 

Mediator ini   bisa berasal dari negara, organisasi internasional 

seperti PBB, politikus, ahli hukum, dan seorang ilmuwan. Mediator 

ini   keikutsertaan secara aktif dalam proses mediasi ini  , 

biasanya seorang mediator dengan kewenangannya sebagai pihak yang 

tidak memihak mengupayakan perdamaian semua pihak dengan 

memberikan saran untuk menyelesaikan sengketa ini  . c. Konsiliasi dalam prosesi penyelesaian sengketa yang lebih formal. 

Yang dilakukan oleh pihak ketiga atau juga komisi yang sengaja 

dibentuk oleh pihak-pihak yang bersengketa yang disebut juga sebagai 

komisi konsiliasi, yang juga memiliki fungsi untuk menetapkan syarat 

penyelesaian sengketa, yang keputusannya tidak mengikat kedua belah 

pihak.

Kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam lingkup internasional harus 

diselesaikan melalui badan peradilan jika   secara perdamaian tidak bisa 

menyelesaikannya. Kejahatan-kejahatan seperti yang termuat dalam ICC 

yang berhubungan dengan persoalan internasional secara menyeluruh, bisa 

dihukum. Oleh karena itu pembentukan Mahkamah Pidana Internasional 

yang permanen dinilai sangat penting bagi penuntutan kejahatan 

internasional di waktu yang akan datang (Iswadi, 2014 : 2). Pengaturan 

Mahkamah Pidana Internasional di dalam Statuta Roma ialah tertuang 

pada Pasal 125 ayat 2 dan 3, Pasal 126 ayat 1, Pasal 4 ayat 1, Pasal 4 ayat 

2, Pasal 3 ayat 2.14 Statuta Roma 1998 merupakan dasar bagi terbentuknya 

Mahkamah Pidana Internasional yang bertujuan untuk dapat memberikan 

sebuah kepastian bagi para korban tindak pidana internasional berat, 

bahwa para pelaku tindak pidana tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban 

pidana atas perbuatannya.

15Upaya penyelesaian sengketa merupakan cara 

untuk suatu pengadilan dalam rangka menyelesaiakan suatu sengketa yang 

bersengketa di suatu negeri. Di dalam proses ini yaitu upaya penyelesaian 

sengketa yang terjadi di Negara Myanmar antara pemerintah Myanmar 

dengan Etnis Muslim Rohingnya. Dalam rangka menyelesaikan sengketa 

yang terjadi antara pemerintah Myanmar dan Etnis Muslim Rohingnya, 

sesuai dengan Pasal 33 Piagam PBB terlebih dahulu sebaiknya 

menggunakan cara diplomasi, jika   tidak menemukan titik terang dalam permasalahan ini maka baru beralih dengan menggunakan cara hukum 

yakni melalui peradilan.16

Dalam Pasal 31 Piagam PBB dipaparkan dalam dua ayat yakni; Ayat 

(1) : semua pihak terkait termasuk didalam pertikaian yang jika 

berlangsung secara kontinyu mungkin akan berakibar fatal terhdap 

perdamaian dan keamanan nasional, pertama diharuskan memilih

penyelesaian sengketa dengan jalur perundingan, penyelidikan, mediasi, 

konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian sengketa berdasarkan hukum lewat

badan-badan atau peraturan-peraturan regional, atau dengan cara damai 

lainnya yang ditentukan oleh kedua belah pihak. Ayat (2) : jika   

diperlukan, Dewan Keamanan PBB dapat memohon supaya semua pihak 

terkait untuk dapat mengatasi problemnya seperti di atas. 

Perbuatan kejahatan negeri Myanmar terhadap Suku Rohingnya 

digolongkan kepada kejahatan genosida, karena sesuai dengan pengertian 

genosida Pasal 6 Statuta Roma genosida merupakan kejahatan yang 

bertujuan untuk menghapuskan etnis, ras, dan agama baik secara 

menyeluruh atau sebagian. Untuk merespon kasus ini   di Myanmar 

yang melibatkan Suku Muslim Rohingnya, PBB sudah menegur keras 

kepada negara Myanmar agar dapat mengakhiri dengan segera kekerasan 

yang telah berlangsung dan sudah berlangsung sangat lama. Tetapi 

lalu   hal ini tidak disambut dengan baik oleh pemerintah Myanmar 

dan sampai sekarang tetap belum ada upaya dalam penyelesaian sengketa 

ini  . 

Di dalam sengketa ini proses di luar jalur hukum, seperti mediasi, 

konsiliasi, dan negosiasi sudah pernah dipakai untuk upaya penyelesaian 

sengketa namun belum juga menemukan titik terang dalam sengketa 

ini  . Jika dalam menggunakan proses di luar pengadilan sudah pernah 

dipakai oleh negara dalam mengakhiri sengketa yang terjadi, akan tetapi 

tetap belum menemukan titik temu, maka dalam kasus ini bisa dikontrol oleh Dewan Keamanan PBB untuk penyelesaiannya dengan jalur 

Mahkamah Pidana Internasional. Di dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana 

Internasional terdapat 4 (empat) yurisdiksi, yaitu : 

a. Yurisdiksi Material : Mahkamah pidana internasional mempunyai 

wewenang mengadili kejahatan-kejahatan yang diatur didalam Statuta 

Roma 1998 yaitu dalam Pasal 6 samapai dengan Pasal 8 antara lain, 

genosida, kejahatan kemanusiaan, agresi, dan kejahatan perang. 

Dikaitkan dengan kasus yang berlangsung di Myanmar kejahatan 

ini   yaitu kejahatan genosida. 

b. Yurisdiksi Personal : Dalam Pasal 25 Mahkamah Pidana Internasional 

hanya mengadili individu tanpa memandang status sosial dari individu 

ini  , apakah seorang pejabat negara atau sebagainya (Susanti, 2014 

: 18). Berkaitan dengan kasus di Myanmar yang bertanggung jawab 

adalah individu. 

c. Yurisdiksi Teritorial : Mahkamah Pidana Internasional bisa mengadili 

kasus-kasus yang berlangsung di negara peserta dimana menjadi atau 

terjadinya kejahatan. Hal ini   sudah diatur sesuai Pasal 12 Statuta 

Roma 1998. 

d. Yurisdiksi Temporal : Sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) dan (2) Statuta 

Roma 1998, bahwa Mahkamah Pidana Internasional hanya berwenang 

untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang terjadi setelah berlakunya 

Mahkamah Pidana Internasional yakni pada 1 Juli 2002. 17 Terkait 

dengan kasus yang berlangsung di Myanmar bahwa kejahatan ini   

sudah terjadi setelah Mahkamah Pidana Internasional resmi berlaku. 

Walaupun Myanmar tidak terkait sebagai negara yang meratifikasi 

Mahkamah Pidana Internasional, bukan berarti menjadi alasan untuk tidak 

dapat dihakimi oleh Mahkamah Pidana Internasional. Karena hampir 

keseluruhan penduduk suatu negara berada di bawah yurisdiksi Mahkamah 

Pidana Internasional dalam kondisi seperti; negara tempat terjadi sengketa 

telah meratifikasi Statuta Mahkamah Pidana Internasional. Negara ini   sudah mengakui yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional sesuai dasar 

ad hoc. Dewan Keamanan PBB menyampaikan sengketa ini ke Mahkamah 

Pidana Internasional, sehingga kasus ini dapat diadili menggunakan 

Mahkamah Pidana Internasional.

Dari pemaparan di atas peneliti dapat menarik hasil terkait dengan 

upaya penyelesaian sengketa tindak kejahatan genosida ditinjau dari 

perspektif hukum pidana internasional. Sengketa yang terjadi di Myanmar 

merupakan sebuah kejahatan internasional genosida, maka upaya 

penyelesaiannya dapat dilakukan dengan berbagai cara selain secara 

hukum pidana internasional penyelesaian sengketa juga dapat 

dilaksanakan melalui proses di luar pengadilan seperti mediasi dan 

negoisasi. Tetapi dari cara penyelesaian sengketa secara pidana 

internasional, terkait dengan sengketa yang terjadi ini   maka 

penyelesaiannya dapat ditangani oleh Mahkamah Pidana Internasional 

meskipun yang bersengketa bukan negara peserta namun semua orang 

berada di bawah yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Seluruh 

penduduk suatu Negara berada di bawah yurisdiksi Mahkamah Pidana 

Internasional karena pertama, negara ini   ikut meratifikasi Statuta 

Mahkamah Pidana Internasional, kedua, negara ini   mengklaim 

yurisdiksi dari Mahkamah Pidana Internasional dalam dasar ad hoc, ketiga,

Dewan Keamanan PBB menyatakan sengketa ini ke Mahkamah Pidana 

Internasional, sehingga tindakan ini bisa dihakimi menggunakan 

Mahkamah Pidana Internasional.










A. Tindak Kejahatan Genosida Ditinjau Dalam Hukum Internasional

1. Pengertian Genosida

Secara bahasa genosida berasal dari dua kata “geno” dan “cidium”. 

Kata geno berasal dari bahasa Yunani yang artinya “ras” sedangkan kata 

“cidium” asal kata dari bahasa Latin yang artinya “membunuh”. 4

Berdasarkan Statuta Roma dan Pasal 7 Huruf a UU Pengadilan HAM:

“Genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk 

menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok 

bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara 

membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau 

mental yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi 

kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik 

sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran 

dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam 

kelompok ke kelompok lain”.

Unsur-unsur genosida meliputi : 

a. Dengan cara membunuh suatu kelompok tertentu; 

b. Menimbulkan penderitaan kepada anggota kelompok baik fisik 

maupun mental yang berat;







Kejahatan genosida yang berhubungan dengan pemusnahan etnis atau 

budaya dan juga termasuk pada kejahatan terhadap kelompok politik karena 

kelompok ini   sulit diidentifikasi yang akan menyebabkan masalah 

internasional dalam suatu negara. Kejahatan genosida pada hukum pidana 

internasional merupakan kejahatan luar biasa dan sudah menjadi tindakan yang 

dilarang yang lalu   dituangkan pada Konvensi Genosida 1948, statuta 

International Criminal Tribunals for the Former Yugoslavia (ICTY), statuta 

International Criminal Tribunals for Rwanda (ICTR) serta statuta Roma 1998. 

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tindak kejahatan genosida yang 

dialami jika ditinjau dalam Hukum Internasional dan cara penyelesaian sengketa 

tindak kejahatan genosida secara Hukum Internasional. Penelitian ini 

menggunakan penelitian hukum doktrinal atau yuridis normatif. Sumber 

informasi hukum menggunakan bahan hukum primer (peraturan dan dokumen 

terkait) untuk analisis kualitatif lebih lanjut. Pendekatan yang digunakan adalah 

pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan kasus 

hukum dalam membantu mengatasi rumusan masalah. Hasil penelitian 

menyebutkan bahwa penyebab utama dari kejahatan genosida adalah 

dilatarbelakangi dengan adanya perjuangan hak dari suku yang minoritas dan 

adanya agama yang fanatik serta rasial yang ditunjukkan dalam diskriminasi 

kultural. Tindak kejahatan yang diperbuat oleh pemerintah Myanmar oleh Etnis 

Muslim Rohingnya merupakan tindak kejahatan internasional genosida, karena 

sudah memenuhi beberapa unsur pokok yaitu pembunuhan massal, diskriminasi 

terhadap agama yang minoritas, dilakukan secara sistematis, dan bertujuan untuk 

melenyapkan suatu etnis dan golongan tertentu.