Pernikahan dini

 


pernikahan dini


Pernikahan dini merupakan hal yang sangat kontroversial di zaman modern seperti sekarang ini. 

Menikah tidak bisa dijadikan alasan untuk menghindari perzinahan, melainkan kesadaran individu 

lah yang harus di tanamkan. Meskipun menikah muda mempunyai manfaat, namun Agama Islam 

mengajarkan jika lebih banyak mudarat nya maka manfaat nya akan hilang dan sebaiknya pernikahan 

dini ini tidak dilakukan. Pernikahan dini tidak bisa dijadikan solusi, meskipun Allah SWT 

menganjurkan setiap umatnya untuk meneruskan keturunannya berdasarkan aturan dan kaidah 

norma agama. Namun, bukan berarti pernikahan dini tidak boleh dilakukan. Apabila kedua calon pasangan sudah terbukti siap baik secara mental, fisik, dan materi, pernikahan justru sebaiknya 

dilakukan. Lebih baik untuk memikirkan secara lebih matang sebelum mengambil keputusan dalam 

menikah, karena pada dasarnya menikah dalam Agama Islam merupakan Ibadah paling panjang dan 

merupakan suatu hal yang suci.


Pada dasarnya institusi dasar seorang manusia itu merupakan pernikahan dan keluarga. 

Pernikahan dan keluarga ialah sebuah lingkup sosial terkecil dalam berwarga . Dengan adanya 

pernikahan, disitulah dua insan dan keluarga di persatukan secara resmi dalam hukum agama 

maupun hukum Negara . Menurut Undang-undang RI no 1 tahun 1974, pernikahan 

merupakan sebuah ikatan lahir maupun batin diantara seorang perempuan dengan seorang laki-laki 

denga memiliki tujuan yaitu membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia 

berlandaskan ketuhanan yang maha Esa (Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2003) yang dikutip 

di  . Pernikahan juga dapat diartikan sebagai akad yang menghalalkan sebuah hubungan 

seksual antara seorang perempuan dan laki-laki, selain itu juga pernikahan membuat saling tolong 

menolong antara satu sama lain dalam melakukan sebuah hak dan kewajiban. Pernikahan juga 

merupakan salah satu tujuan dalam agama islam yang diturunkan. Dengan adanya Pernikahan diharapkan dapat menciptakan sebuah keturunan yang teratur dalam menjaga sebuah martabat dan 

harkat pada diri manusia. 

Di Dalam sebuah kehidupan, manusia memiliki banyak kebutuhan yang harus dipenuhi, salah 

satunya kebutuhan biologis. Kebutuhan biologis manusia merupakan salah satu kebutuhan yang harus 

dipenuhi. Di dalam agama islam, dalam memenuhi kebutuhan biologis dapat dilakukan satu cara yaitu 

dengan melakukan sebuah pernikahan. Di Dalam alqur’an telah dijelaskan bahwa tujuan pernikahan 

yaitu untuk menemui sebuah kedamaian dalam hidup diantara pasangan suami dan istri, yang mana 

selain untuk memehuhi kebutuhan biologis pernikahan juga dapat menjadi suatu janji yang pasti akan 

kedamaian hidup agar dapat membangun sebuah surga di dalam dunia pernikahan dan juga untuk 

mendapatkan sebuah keturunan , Ikatan Pernikahan menurut islam 

merupakan sebuah penghargaan terbesar yang mana dapat digambarkan bahwa ikatan pernikatan 

sebanding dengan separuh agama . Dengan adanya Pernikahan di dalam islam itu 

merupakan salah satu kewajiban yang disunahkan oleh rosul, yang mana jika seorang manusia sudah 

melakukan sebuah pernikahan berarti manusia tersebut telah memenuhi kewajibannya. Menurut KHI 

pasal 2, pernikahan dalam islam itu dapat diartikan sebagai sebuah janji atau akad kepada allah untuk 

menaati segala perintah dan melaksanakan segala kewajibannya yang merupakan sebuah ibadah 

(Mahkamah Agung RI, 2015) yang dikutip di . Selain menjadi kewajiban, sebuah 

pernikahan dalam islam memiliki sebuah faedah yaitu dapat menjaga seorang perempuan yang mana 

jika seorang perempuan sudah dinikahi oleh seorang laki-laki maka segala kebutuhan seorang istri itu 

menjadi tanggung jawab suami. Untuk memenuhi kewajibannya Islam juga memiliki hukum atau 

aturan yang harus ditaati untuk melakukan sebuah pernikahan yaitu harus melakukan pernikahan 

yang sah, dengan pernikahan yang sah makan ridho allah akan mengikutinya atas pernikahan tersebut.

Pernikahan dini menurut KHI pasal 15 yaitu sebuah pernikahan atau perkawinan yang dilakukan 

oleh seorang mempelai pria yang memiliki usia dibawah 19 tahun dan seorang mempelai perempuan 

yang memiliki usia dibawah 16 tahun (Mahkamah Agung RI) yang dikutip di . 

Pernikahan dini sering terjadi di dalam konteks yang tidak baik, contohnya seperti hamil pranikah 

yang mana dengan adanya kejadian tersebut pernikahan dini harus segera dilaksanakan dengan 

bantuan dispensasi kawin pada peradilan agama. Dispensasi kawin sendiri merupakan salah satu 

produk hukum dari pengadilan agama untuk mengatasi persoalan tentang pernikahan dini. Selain 

untuk mengatasi pernikahan dini karena hamil pranikah, dispensasi kawin sendiri dapat digunakan 

jika ada pernikahan dini yang terjadi karena hukum adat atau budaya. Pernikahan dini yang memakai 

dispensasi kawin biasanya berada diumur 13-16 tahun yang mana sangat jauh dari peraturan yang 

sudah ada diundang-undang.

Di dalam Islam, Pernikahan dini yang terpatok umur itu pada dasarnya tidak ada karena dalam 

hukum pernikahan dalam Islam itu tidak mengenal batasan usia, namun  yang menjadi permasalahan 

pernikahan dini menurut hukum Islam itu adalah hukum tentang mengawinkan anak yang masih 

belum dewasa atau masih kecil. Dalam Islam pernikahan merupakan sesuatu yang yang sangat sakral 

yang mana pernikahan itu merupakan perjanjian suci di hadapan Allah. Pernikahan menurut Islam 

juga merupakan salah satu cara untuk menghindari zina. Zina merupakan suatu perbuatan yang 

membuat dosa besar sehingga menyebabkan suatu ancaman hukuman diakhirat nanti, di dalam Al￾quran surah Al-Isra ayat 32 sudah ditegaskan “dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya 

zina itu suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk”. Salah satu contoh zina yang marak terjadi 

saat ini yaitu hamil pranikah yang terjadi pada remaja saat ini (Ligit 2016). Feneomena tersebut 

mengakibatkan banyaknya pernikahan dini yang dilakukan. Hal ini dilakukan sebagai jalan alternatif 

untuk menutupi aib di warga . Ketika pernikahan dengan alasan hamil terlebih dahulu, tentu ini 

bukan sebuah konsep untuk menghindari perzinaan, namun pernikahan dini yang dilakukan 

merupakan sebuah upaya menutupi malu atau menjadi upaya pelarian dalam suatu permasalahan 

seperti zina. Padahal pada dasarnya pernikahan dini bukanlah jalan alternatif untuk menghindari 

perzinaan atau menjadi upaya pelarian, namun  pernikahan dini menurut islam dan Al-quran mengisyarakatkan dapat dilakukan jika seseorang tersebut sudah siap mental maupun spiritual dalam 

menjalin rumah tangga 

Pernikahan dini marak dilakukan dominan akibat terjadinya MBA (married by accident) atau 

hamil pranikah. Pernikahan dini tersebut banyak terjadi pada kalangan usia 10-14 dan 15-19 tahun. Di 

Zaman sekarang pernikahan dini harus menjadi highlight bagi warga  luas agar masa depan 

generasi sekarang dapat berlangsung dengan baik dan bisa meminimalisir untuk melakukan 

pernikahan dini. Fenomena pernikahan dini pun merupakan suatu hal yang menarik untuk ditelusuri 

lebih dalam untuk mengetahui hal apa saja yang mendorong banyaknya fenomena pernikahan dini itu 

terjadi. Mengingat pernikahan dini pun masih menjadi pro-kontra dikalangan warga  umum 

mengenai pertentangan pernikahan dini itu solusi atau suatu hal yang tidak baik untuk mengatasi 

suatu masalah seperti menghindari suatu perbuatan zina. Banyak penelitian atau para ahli yang telah 

meneliti tentang pernikahan dini, contohnya seperti penelitiannya (Rusdi 2016) yang membahas 

tentang status hukum pernikahan kontroversial di indonesia (telaah terhadap nikah siri, usia dini dan 

mutah), penelitiannya  yang membahas tentang pernikahan dini dan dampaknya yang 

ditinjau dari batasan umur,  penelitiannya yang membahas tentang 

fenomena pernikahan dini akibat hamil pranikah, dan yang lainnya. Dan setelah melihat beberapa 

kajian tentang pernikahan dini bahwa belum ada yang memastikan dan membahas mengenai 

pernihakan dini yang dilakukan untuk menghindari zina itu sebuah solusi atau sebuah kontroversi.

Dengan adanya permasalahan yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada penelitian ini peneliti 

memiliki ketertarikan lebih untuk mendalami tentang fenomena pernikahan dini yang marak terjadi 

dengan memiliki fokus untuk mengkaji dan mengetahui tentang pernikahan dini itu merupakan solusi 

atau kontroversi untuk menghindari suatu perbuatan zina. Seperti yang kita ketahui jika pernikahan 

dini dilakukan untuk menghindari perzinaan, menurut kedokteran hal tersebut merupakan suatu hal 

yang tidak baik dikarenakan memiliki dampak yang negatif bagi sisi ibu ataupun anak yang dilahirkan 

nanti. Ditinjau dari sisi sosiologi juga, jika terjadi pernikahan dini potensi terjadinya suatu perceraian 

itu semakin tinggi yang dikarenakan usia pada suami dan istri itu belum matang sehinggan 

menyebabkan memiliki emosi yang labil ,Maka dari itu, jika dilihat dari berbagai aspek 

pernikahan dini untuk menghindari sebuah perzinaan itu bukan merupakan solusi yang baik, banyak 

hal yang dapat dilakukan untuk menghindari sebuah perzinaan contohnya melalui sebuah edukasi 

baik dari lingkungan terkecil yaitu keluarga maupun dilingkungan besar seperti pendidikan di 

sekolah.

2

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif deskriptif. Rancangan penelitian yang 

menggunakan metode ini memiliki struktur yang mendetail, formal, terstruktur, dan spesifik (Yusuf

2016). Karakteristif dari penelitian deskriptif adalah lebih mudah digunakan atau praktis  Observasi merupakan salah satu cara untuk dapat mengidentifikasi fakta-fakta sosial dan 

menghubungkannya dengan kecenderungan yang ada  Metode kuantitatif 

mencakup ruang lingkup akan ilmu sosial 

Penelitian ini merupakan penelitian yang mengkaji topik dengan judul “Pernikahan dini dalam 

upaya menjauhi zina: Solusi atau kontroversi?”. Dengan menggunakan metode pengumpulan data 

berupa observasi dan penyebaran kuesioner melalui media sosial masing-masing anggota dengan 

meggunakan google form. Teknik pengumpulan data kuesioner kami menggunakan skala ordinal 

dengan skala 1-4. Nilai 1 Sangat tidak setuju, sedangkan 4 Sangat setuju.

Variabel (X) dalam penelitian ini merupakan Pernikahan Dini, dan Variabel (Y) dalam penelitian 

ini adalah Perzinahan. Analisis yang digunakan berupa analisis deskriptif dengan hasil dan 

pembahasan berupa penjabaran dari instrumen penelitian yang telah didapatkan.

Pernikahan berasal dari kata “nikah”. Nikah dalam Bahasa arab berasal dari kata “nakaha” yang 

berarti menghimpun atau menggabungkan. Sedangkan, menurut syara’ nikah merupakan akad yang 

membuat pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang sebelumnya bukan mahram menjadi halal, 

serta ada   hak-hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi dalam suatu pernikahan tersebut. ada   

lima kategori hukum dalam menikah. Pernikahan hukumnya boleh atau biasa disebut jaiz.

Selanjutnya, menikah hukumnya sunnah apabila ada orang yang sudah memiliki keinginan untuk 

menikah dengan segala bentuk kesiapan untuk menafkahi kebutuhan. Kemudian, menikah dapat 

dikategorikan ke dalam wajib apabila seseorang sudah memiliki kecukupan dari segi materi dan orang 

yang dikhawatirkan dapat terjerumus kepada zina apabila pernikahan tidak disegerakan. Lalu, 

menikah dapat dikategorikan makruh apabila tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan dalam 

pernikahan. Terakhir, menikah dapat dikategorikan haram apabila seseorang menikah dengan tujuan 

yang tidak baik, seperti halnya untuk balas dendam, menyakiti, dan lain sebagainya.

Seseorang yang telah memiliki kehendak dan berniat untuk menikah dengan niat tulus dan ikhlas 

guna menjalankan syariat agama, maka orang tersebut akan mendapat pahala karena menikah 

merupakan suatu ibadah. Menikah dikatakan ibadah karena di dalam pernikahan ada   hak dan 

kewajiban yang perlu dijalani. Seperti halnya, mencari nafkah, melayani suami, mendidik anak, dan 

lain sebagainya (Iqbal, 2020). Pernikahan juga dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan. 

Sebagaimana Allah berfirman: Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria 

dan wanita (QS. An-Najm: 45). 

Tujuan dari pernikahan adalah untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. 

Hal ini dikarenakan pernikahan memiliki peranan penting. Melalui pernikahan, sepasang manusia 

dapat memiliki ikatan yang akan menjadi sebuah keluarga yang kelak akan berkembang membangun 

sebuah kelompok warga . Sebagaimana yang telah ditujukan dalam surah ar-Rum ayat 21: “Dan 

di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, 

supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih 

dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada   tanda-tanda bagi kaum yang 

berfikir.” (Q.S. ar-Rum: 21). Pernikahan merupakan kebutuhan manusia. Maka dari itu, perlu 

diperhatikan dari segi kualitas pernikahan itu sendiri. Hubungan yang dibangun dalam rumah tangga 

tentu perlu terjalin dengan baik, serta kehidupan sosial sepasang suami istri setelah melakukan 

pernikahan . Di dalam syariat islam, ada   rukun pernikahan, yaitu calon mempelai 

laki-laki, calon mempelai Wanita, dua orang saksi, wali, serta ijab qabul. Apabila salah satu dari rukun 

tersebut tidak ada, maka pernikahan tersebut tidak dapat dilakukan 

Melihat manfaat dan kebaikan dari pernikahan, tidak sedikit remaja yang melakukan pernikahan 

dini. Pernikahan dini ini dilakukan karena beberapa faktor, salah satu faktor yang menyebabkan 

terjadinya pernikahan dini adalah faktor agama. Banyak yang berpendapat bahwa perbuatan zina bisa 

dihindarkan dengan adanya pernikahan. Dalam agama Islam, syarat untuk menikah adalah sudah 

baligh, hal ini menyebabkan banyak orang beranggapan bahwa pernikahan bisa saja dilakukan 

meskipun usia kedua calon pengantin masih termasuk dibawah umur dalam pandangan negara dan 

hukum. Menurut hasil penelitian, banyak remaja yang berpacaran dimasa pubertas dan 

mengakibatkan rasa keingintahuan yang menggebu-gebu mendorong mereka melakukan perbuatan 

yang dilarang dalam Agama islam, yaitu perzinahan. Faktor pergaulan bebas inilah yang akhirnya 

membuat banyak orangtua dari para remaja tersebut menyimpulkan bahwa jalan keluar dari 

permasalahan ini adalah dengan menikahkan anak mereka. Nikah dini rata-rata dipandang sebagai 

solusi terbaik atas fenomena pergaulan bebas tanpa batas. 

Faktor lainnya yaitu adalah faktor pendidikan, semakin rendah edukasi seseorang maka 

pengetahuannya tentang pernikahan pun akan semakin sedikit (Romli et al. 2021). Banyak yang 

berpikiran bahwa dengan menikah maka salah satu permasalahan mereka teratasi, yaitu dari sudut 

pandang agama. Padahal, mereka tidak memikirkan dampak lain yang akan ditimbulkan dari adanya 

pernikahan dini ini  Kesiapan mental maupun ekonomi seseorang yang masih remaja belum bisa dikatakan cukup untuk hidup berumah tangga. Faktor ekonomi yang tidak cukup sering 

menjadi pemicu pertengkaran,terputusnya pendidikan anak, dan berakhir pada perceraian 

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan kepada 32 responden dari rentang usia 17-25 tahun, 

didapatkan hasil bahwa masih banyak remaja yang melakukan pernikahan dini, dari 32 orang 

sebanyak 7 orang termasuk kedalam orang yang melakukan pernikahan dini. Lalu dari segi kesiapan 

mental, 31 responden dari 32 setuju bahwa pernikahan dini membutuhkan kesiapan psikologis dan 

mental. Dari aspek ekonomi pun hanya 1 orang yang tidak setuju bahwa pernikahan dini memerlukan 

kesiapan ekonomi. Sedangkan ditinjau dari sisi positifnya, 22 orang setuju bahwa pernikahan dini 

menjauhkan diri dari perbuatan zina. Disini dapat disimpulkan bahwa banyak orang yang berpikiran 

bahwa pernikahan dini bisa menjadi sarana untuk menghindari perbuatan zina. Padahal, perbuatan 

zina bisa dicegah dengan berbagai macam cara dan tidak harus melalui pernikahan dini. Perbuatan 

zina bisa dicegah apabila iman seseorang kuat dan paham akan agama dengan baik. Dampak positif 

lainnya yaitu pernikahan dini dapat mencegah diri dari adanya fitnah sosial, contohnya seperti fitnah 

dari warga  apabila dua orang yang berlawanan jenis sering terlihat bersama, maka hal ini akan 

menimbulkan fitnah bahwa mereka melakukan hal yang tercela.

Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa pernikahan dini merupakan jawaban dari masalah 

yang ditimbulkan ketika terjadi kecelakaan antara dua orang, dan mengakibatkan terjadinya 

kehamilan, lalu solusi yang ditempuh kedua keluarga adalah dengan menikahkan anaknya. Padahal, 

jelas sekali pernikahan bukanlah jalan keluar yang benar dan malah akan menimbulkan semakin 

banyak dampak negatif di kemudian hari. Seperti yang di katakana  Jikalau 

pernikahan dini tetap dilakuan, maka akan menjadikan anak tidak bisa menghadapi permasalahan￾permasalahan yang akan terjadi setelah menikah. Selain itu, sebanyak 28 orang mengatakan bahwa 

pernikahan dini merupakan hal yang dapat menimbulkan kontroversi. Intinya, pernikahan dini 

banyak menimbulkan pro dan kontra, namun keputusan untuk melakukan pernikahan dini adalah 

pilihan dari masing-masing individu, walaupun kebanyakan ada campur tangan dari pihak keluarga. 

Dengan adanya pernikahan dini, maka tanggung jawab pun akan bertambah

Memang menurut agama Islam, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 36 

bahwa menikah merupakan perintah dari Allah SWT dan dilaksanakan oleh Rasulullah bahwa 

menikah adalah hal yang diperintahkan. Sedangkan berpacaran itu adalah kegiatan yang mendekatkan 

manusia kepada perbuatan zina. Dalam Al-Qur’an pun sudah tertulis jelas larangan untuk mendekati 

zina, maka dari itu Allah memerintahkan umatnya untuk mencari pasangan dan menikah. Di dalam 

surat An-Nisa ayat 32 pun dijelaskan bahwa Allah sangat menganjurkan umatnya untuk menikahkan 

anak-anak yang telah memasuki usia baligh (dewasa) agar merasa tenang dan damai dalam 

menghadapi problematika yang kehidupan dan jangan khawatir nantinya akan terjerat dalam 

kemiskinan. namun , sebagai orang tua yang beriman harus tertanam dalam jiwanya sikap semangat 

optimis bahwa anak-anaknya yang mengarungi kehidupan rumah tangga dengan dilandasi pada 

Sunnah Rasulullah SAW akan diberi karunia oleh Allah dengan kekayaan yang cukup untuk 

menggapai sebuah kehidupan yang bisa mendatangkan suatu kebahagiaan dan kesejahteraan 

(. Pernikahan berlaku bukan hanya bagi manusia semata, namun  berlaku pula bagi 

seluruh mahluk ciptaan-Nya yang berada di muka bumi ini, termasuk juga di dalamnya hewan dan 

tumbuhtumbuhan 

Oleh sebab itu, dalam perspektif sebagian warga , praktik pernikahan dini masih menjadi 

sebuah pro dan kontra. Hal ini dikarenakan, dari sisi agama Islam diyakini bahwa tidak ada hukum 

yang menentukan ataupun membatasi minimal usia seseorang untuk menikah. Apabila seseorang 

telah mencapai baligh, maka Agama Islam menilai orang tersebut telah mampu untuk menikah. 

Dengan demikian, pernikahan dini adalah suatu pernikahan yang dilakukan oleh seseorang yang 

belum mencapai baligh baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan dalam negara, telah diatur 

dalam Pasal 7 UU No.1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa diizinkannya suatu pernikahan hanya 

apabila pihak laki-laki telah mencapai usia 19 tahun dan perempuan telah mencapai usia 16 tahun.Disamping banyaknya kontroversi dari dilakukannya pernikahan dini, ada juga beberapa 

dampak positif dari adanya pernikahan dini, yang pertama adalah Mengajarkan Kemandirian Sejak 

Dini. Situasi Pernikahan dan rumah tangga akan membuat pasangan yang menikah muda menjadi 

lebih mandiri dan tidak bergantung kepada orang tua. Yang kedua, menumbuhkan rasa tanggung 

jawab. Dengan adanya pernikahan dini, maka pasangan yang menikah muda akan mempunyai rasa 

tanggung jawab terhadap keluarganya. Dan yang ketiga adalah menjalankan atau menuruti perintah 

allah yang menjadikan pernikahan adalah merupakan suatu ibadah (Shufiyah 2018). Namun, tentu saja 

apabila ada dampak positif pasti ada dampak negatif. Dampak negatif dari adanya pernikahan dini 

adalah: 1). Tingkat Perceraian yang tinggi, perceraian rentan terjadi karena kondisi psikologis 

pasangan belum stabil dan masih terlalu muda / tidak dewasa dalam menyikapi permasalahan rumah 

tangga  2). Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), emosi yang 

berlebihan dapat menyebabkan terjadinya kezoliman dalam rumah tangga, seperti suami yang kasar 

dan main tangan kepada istrinya sendiri. Menurut Tate Qomaruddin sebagaimana yang dikutip oleh 

Salam dalam bukunya, pernikahan dalam Islam ditegakkan atas beberapa prinsip besar dan mulia. 

Pertama, membangun ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT secara bersama-sama dalam sebuah 

rumah tangga. Kedua, demi terwujudnya Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah melalui perjodohan laki￾laki dan perempuan. Ketiga, pernikahan diiringi pelaksanaan ibadah lainnya sebagai sarana untuk 

menciptakan kehidupan yang bersih dari perilaku memperturutkan syahwat seksualnya (Salam, 2007). 

3). Kesehatan Reproduksi Rendah, Kehamilan di usia remaja sangat mengancam kesehatan bayi 

maupun ibu yang mengandung. Tidak jarang banyak bayi yang lahir prematur akibat sang ibu masih 

remaja. Selain itu, hamil di usia yang muda juga bisa mengancam nyawa sang ibu. Keguguran juga 

sering sekali terjadi, akibat belum siapnya kondisi fisik seseorang yang melakukan pernikahan dini. 4). 

Maraknya Perselingkuhan, Seseorang yang belum dewasa pola pikirnya pun otomatis masih labil dan 

belum bisa menilai mana yang baik dan buruk untuk dirinya. Apalagi di usia remaja, rasa penasaran 

yang timbul masih sangat tinggi. Sehingga, pernikahan dini mengakibatkan rentannya 

perselingkuhandan keluarga tidak harmonis. 5). Kualitas Keturunan yang Rendah, ketidaksiapan 

pasangan mengakibatkan kurangnya pengetahuan dan pendidikan. Karena pasangan yang belum 

siap, mereka akan mengakibatkan terputusnya pendidikan sang anak. Nantinya, sang anak pun akan 

keterbelakangan dan menjadi orang yang kurang pendidikan.

Pernikahan dini merupakan istilah yang ada di kalangan warga  pada era sekarang. Pada 

abad ke-20, pernikahan Wanita yang masih berada pada rentang usia 13 hingga 14 tahun merupakan 

hal yang lumrah. Akan namun , pada era sekarang warga  tidak menganggap pernikahan dengan 

rentang usia demikian menjadi sesuatu yang bisa dianggap biasa. warga  menilai bahwa 

pernikahan tersebut “terlalu dini”. Para ulama sepakat, syarat untuk menikah adalah baligh dan 

berakal, serta bukan dengan pernikahan sedarah. 

Pernikahan dini memiliki beberapa dampak baik dari dampak psikologis maupun dampak fisik. 

Dampak fisik dari pernikahan dini adalah ekonomi dalam rumah tangga. Sebagaimana ketika 

seseorang menjalani pernikahan, tentunya sebagai seorang suami perlu mencukupi kebutuhan istri 

dalam segi finansial. Hal ini dikarenakan menafkahi seorang istri hukumnya wajib. Selanjutnya, 

ada   risiko melahirkan bagi seorang istri. Bahkan, ditinjau dari aspek Kesehatan melahirkan pada 

usia kurang dari 19 tahun sangat berisiko tinggi. Sedangkan, dari segi psikologis ada   dampak 

konflik yang menimbulkan perceraian. Hal ini dikarenakan tanggung jawab yang dipikul pada rentang 

usia yang terbilang cukup dini masih memiliki emosi yang belum cukup stabil 

Batas usia seseorang untuk menikah dalam Islam tidak ditentukan. Hanya saja, syarat untuk 

menikah adalah baligh yang dalam islam berarti “memasuki dewasa”. Dalam islam seorang laki-laki 

dapat dikatakan sudah baligh apabila telah keluar air mani ( bermimpi basah ) (Mendidik Anak dalam 

Kandungan, 2014), sedangkan perempuan dikatakan sudah baligh apabila sudah haidh 

Seseorang yang sudah baligh tentu sudah bisa membedakan mana yang benar serta mana yang salah. 

Hal ini bertujuan agar dapat membina rumah tangga dengan sebaik mungkin. Batasan usia dalam 

pernikahan menurut pandangan islam memang tidak dijelaskan, akan namun  ini bukan berarti pernikahan dini secara mutlak diperbolehkan. Sebab, faktor daripada kedewasaan seseorang untuk 

menikah sangat penting. 

Sedangkan, apabila ditinjau dari hukum positif menurut badan kependudukan dan keluarga 

berencana nasional usia pernikahan yang ideal yaitu 25 tahun bagi pria dan 20-25 tahun bagi Wanita. 

Usia tersebut berdasar kepada kesiapan dari aspek biologis satu dengan lainnya. Menurut UU No.1 

Tahun 1974 pasal 7 ayat 2 memperbolehkan dalam pengajuan dispensasi nikah dengan syarat 

mendapat izin dari orang tua. Selain itu, faktor yang kerap kali terjadi dalam pernikahan dini 

dikarenakan oleh faktor ekonomi, tingkat Pendidikan yang rendah, serta faktor lain dari media sosial 

Apabila ditinjau dari hukum adat, menurut Soekanto dalam (Zamroni, 2021)) pernikahan bukan 

hanya melibatkan dua orang yang bersangkutan, yakni mempelai pria dan mempelai Wanita, akan 

namun  akan melibatkan sanak saudara dan keluarga lainnya. Maka dari itu, Indonesia yang memiliki 

adat istiadat dan budaya timur tentu akan menganggap ini sebagai sesuatu yang tabu, terlebih menikah 

karena “kecelakaan” yang tentunya akan menjadi sebuah konflik berkepanjangan. Dalam hukum adat 

pernikahan tidak hanya dilakukan oleh kedua calon saja tanpa adanya campur tangan keluarga. Sebab, 

pandangan hukum adat akan bertentangan jika dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pihak 

keluarga.

Dampak positif dari pernikahan dini itu sendiri dapat menjauhi dua orang yang menjalin suatu 

hubungan dari perzinahan. Akan namun , tentu perlu kesiapan dan kelayakan dalam pengambilan 

keputusan dan penyelesaian masalah agar tidak terjadi konflik yang berujung perceraian. Sedangkan, 

dampak negatif dari pernikahan dini ialah ketika pernikahan terjadi saat dibawah usia 19 tahun 

banyaknya kerentanan terhadap emosi yang belum stabil sehingga menimbulkan berbagai konflik, di 

mana pada rentang usia tersebut dunia remaja masih belum beralih menuju dewasa sehingga pola pikir 

untuk memikul berbagai tanggung jawab dan memenuhi setiap hak dan kewajiban satu sama lain 

belum mencapai ranah yang maksimal (Rahmawati, 2020).

Islam tidak menentukan rentang usia untuk umatnya dalam melakukan pernikahan. Akan namun , 

apabila pernikahan dilakukan dengan kesiapan dan kematangan dalam menciptakan dan membangun 

rumah tangga, tentu dapat lebih baik dikarenakan konflik dan permasalahan yang ada dalam rumah 

tangga perlu diselesaikan dengan kedewasaan. Sebagaimana hadis nabi yang artinya: “Apabila saya 

telah memerintahkanmu dengan suatu perintah maka kerjakanlah perintah itu semampunya, namun  

jika saya telah melarang kamu tentang sesuatu maka jauhilah”. (Muttafaq ‘Alaih). Maka dari itu, dapat 

diartikan bahwa suatu perkara apabila di dalamnya ada   manfaat dan kerusakan, maka akan lebih 

baik apabila menolak adanya kerusakan yang kelak akan berdampak pada hilangnya manfaat. Maka 

dalam pernikahan dini yang memiliki berbagai dampak perlu lebih dikaji terkait besarnya manfaat 

atau kerusakan (mudharat) yang diperoleh 

Berdasarkan pemaparan yang telah disajikan, ada   dimensi dari pernikahan dini yang 

merupakan faktor-faktor pernikahan dan kaitannya dengan rentang usia yang masih di bawah umur 

sebagaimana yang telah dikembangkan oleh (Umah, 2020) adalah sebagai berikut: 1). Korelasi antara 

umur dengan pandangan hukum pernikahan. 2). Hubungan umur dengan faktor fisiologis pernikahan. 

3). Hubungan usia dengan faktor psikologis pernikahan. 4). Hubungan umur dengan dengan 

kematangan sosial ekonomi dalam pernikahan. 5). Pernikahan dini dalam pandangan hukum islam.



A. Peran wali mujbir dalam kasus pernikahan dini di Indonesia dilihat dari perspektif 

hukum Islam dan hukum nasional

Dalam tradisi hukum Islam, wali mujbir adalah wali yang memiliki hak untuk 

menikahkan anak perempuan tanpa persetujuannya, yang biasanya dilakukan oleh ayah 

atau kakek dari pihak perempuan. Konsep ini didasarkan pada dalil-dalil fikih klasik, yang 

pada dasarnya bertujuan melindungi kepentingan anak perempuan dalam pernikahan 

dengan memastikan mereka menikah dengan calon suami yang sesuai. Dalam konteks 

masyarakat tradisional, keputusan wali mujbir sering kali dipandang sebagai upaya untuk 

menjaga kehormatan keluarga dan memenuhi kewajiban agama.

9

Namun, dalam praktik di Indonesia, peran wali mujbir ini mulai mendapatkan kritik 

terutama ketika diterapkan pada pernikahan dini. Pernikahan dini, yang mengacu pada 

pernikahan yang dilakukan di bawah usia yang ditetapkan oleh undang-undang, seringkali 

dikaitkan dengan berbagai masalah sosial dan kesehatan, termasuk peningkatan risiko 

kekerasan dalam rumah tangga dan penurunan kualitas hidup perempuan.10 Oleh karena 

itu, meskipun wali mujbir memiliki landasan hukum dalam Islam, penerapannya dalam 

kasus pernikahan dini di Indonesia sering kali bertentangan dengan prinsip-prinsip hak 

anak dan kesetaraan gender yang diakui dalam hukum nasional.

Hukum nasional Indonesia, khususnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang 

merevisi Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, menetapkan batas usia minimum untuk 

menikah menjadi 19 tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan. Namun, dispensasi 

pengadilan agama tetap memungkinkan pernikahan di bawah usia tersebut, terutama 

dalam kasus di mana wali mujbir memutuskan pernikahan anak perempuan. Hal ini 

menimbulkan tantangan dalam sinkronisasi antara hukum Islam dan hukum nasional, karena praktik wali mujbir sering kali dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip 

perlindungan anak yang diakui dalam hukum nasional.

Studi oleh beberapa akademisi menunjukkan bahwa keputusan wali mujbir untuk 

menikahkan anak perempuan di usia dini sering kali didorong oleh faktor ekonomi, sosial, 

dan budaya, termasuk upaya untuk mengurangi beban keluarga atau untuk menghindari 

stigma sosial jika anak perempuan tidak menikah segera setelah mencapai usia pubertas. 

Namun, meskipun faktor-faktor ini memainkan peran penting dalam masyarakat, dampak 

negatif dari pernikahan dini terhadap anak perempuan sering kali lebih besar daripada 

manfaatnya, terutama dalam hal kesehatan reproduksi dan pendidikan.

Dalam perspektif hukum Islam, wali mujbir memiliki wewenang yang sah untuk 

menikahkan anak perempuan, selama hal itu tidak menimbulkan kerugian bagi anak 

tersebut. Prinsip ini sesuai dengan kaidah umum dalam fikih, yaitu “tidak ada bahaya dan 

tidak boleh mendatangkan bahaya.” Namun, dalam konteks pernikahan dini di Indonesia, 

banyak kasus yang menunjukkan bahwa hak wali mujbir sering kali disalahgunakan, 

terutama ketika pernikahan dini dilakukan tanpa mempertimbangkan kesiapan fisik dan 

mental anak perempuan.

Pengadilan agama di Indonesia memainkan peran penting dalam memberikan 

dispensasi pernikahan dini, termasuk dalam kasus yang melibatkan wali mujbir. Dalam 

banyak kasus, pengadilan agama memberikan izin untuk pernikahan dini berdasarkan 

permintaan wali mujbir, dengan alasan menjaga kehormatan keluarga atau karena desakan 

sosial. Namun, kritik terhadap praktik ini semakin meningkat, terutama dari organisasi yang berfokus pada perlindungan hak-hak anak, yang menilai bahwa dispensasi semacam 

itu justru memperburuk masalah pernikahan dini di Indonesia.

Di sisi lain, hukum nasional Indonesia juga menghadapi tantangan dalam 

menerapkan batasan usia pernikahan yang lebih ketat. Meskipun undang-undang 

menetapkan usia minimum untuk menikah, praktik di lapangan menunjukkan bahwa 

banyak keluarga masih menggunakan wali mujbir sebagai sarana untuk menikahkan anak 

perempuan mereka di bawah usia yang ditetapkan. Hal ini menunjukkan adanya dualisme 

antara hukum Islam dan hukum positif di Indonesia, di mana keduanya sering kali tidak 

sinkron dalam melindungi hak-hak anak perempuan.

Salah satu solusi yang diajukan oleh beberapa akademisi adalah memperkuat peran 

negara dalam mengawasi praktik wali mujbir dan pernikahan dini. Negara, melalui 

pengadilan agama, seharusnya lebih selektif dalam memberikan dispensasi pernikahan 

dini, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti kesiapan fisik dan mental anak 

perempuan, serta dampak jangka panjang dari pernikahan dini terhadap kehidupan 

mereka. Selain itu, pendidikan tentang hak-hak anak dan pentingnya menunda pernikahan 

dini juga perlu ditingkatkan, terutama di kalangan masyarakat pedesaan yang masih 

mempraktikkan wali mujbir.

Dalam kesimpulannya, peran wali mujbir dalam kasus pernikahan dini di Indonesia 

mencerminkan kompleksitas hubungan antara hukum Islam dan hukum nasional. 

Sementara wali mujbir memiliki landasan kuat dalam fikih, penerapannya dalam konteks 

pernikahan dini sering kali menimbulkan masalah sosial dan hukum yang lebih luas. Oleh 

karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan sinergi antara hukum Islam dan 

hukum nasional untuk memastikan bahwa hak-hak anak perempuan terlindungi dalam 

setiap kasus pernikahan diniDampak Sosial dan Psikologis yang Dihadapi Anak Perempuan Dalam Pernikahan Dini 

yang Melibatkan Wali Mujbir

Pernikahan dini yang melibatkan wali mujbir membawa berbagai dampak sosial dan 

psikologis yang signifikan terhadap anak perempuan. Dalam konteks sosial, anak 

perempuan yang dinikahkan di usia muda seringkali kehilangan akses terhadap 

pendidikan. Mereka dipaksa untuk mengemban peran istri dan ibu yang sebenarnya 

membutuhkan kematangan emosional dan kesiapan fisik. Hal ini diperparah dengan 

kondisi bahwa mereka mungkin belum siap secara ekonomi dan mental untuk menjalani 

kehidupan pernikahan, sehingga kerap terjadi ketergantungan pada suami atau keluarga 

besar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dari sisi psikologis, pernikahan dini sering menimbulkan tekanan emosional yang 

berat bagi anak perempuan. Mereka cenderung mengalami perasaan isolasi dan 

kehilangan masa remaja, yang seharusnya menjadi masa-masa penting untuk 

pengembangan diri dan sosialisasi. Ketidakmampuan untuk menjalani kehidupan sosial 

secara normal dapat memicu depresi, kecemasan, dan rendahnya rasa percaya diri, 

terutama ketika mereka dihadapkan pada tanggung jawab yang terlalu berat di usia yang 

sangat muda.19

Studi oleh Zulkifli menegaskan bahwa anak-anak perempuan yang dinikahkan di usia 

dini cenderung mengalami masalah kesehatan mental akibat kurangnya dukungan 

psikologis dari lingkungan sekitar. Tekanan sosial yang dihadapi, seperti keharusan untuk 

segera memiliki anak atau menyesuaikan diri dengan peran baru sebagai istri, menambah 

beban mental yang mereka tanggung. 20 Kondisi ini diperparah jika anak perempuan 

tersebut tidak memiliki kesiapan emosional yang cukup untuk menghadapi dinamika rumah tangga, yang bisa mengarah pada terjadinya konflik rumah tangga dan kekerasan 

dalam rumah tangga.

Selain itu, pernikahan dini juga berpotensi meningkatkan risiko kekerasan dalam 

rumah tangga (KDRT). Anak perempuan yang dinikahkan melalui wali mujbir seringkali 

berada dalam posisi lemah, baik secara emosional maupun legal, sehingga mereka lebih 

rentan mengalami kekerasan dari suami atau anggota keluarga suami. Ketergantungan 

ekonomi yang tinggi terhadap suami juga membuat mereka sulit keluar dari situasi 

kekerasan tersebut.

Dampak sosial lainnya adalah stigmatisasi dari masyarakat. Di beberapa kasus, anak 

perempuan yang menikah dini, terutama jika mengalami kegagalan dalam pernikahan, 

seringkali mendapatkan stigma negatif. Mereka dianggap gagal dalam menjalankan peran 

sebagai istri atau ibu, yang semakin memperburuk kondisi psikologis mereka. Stigma sosial 

ini dapat memengaruhi kehidupan mereka dalam jangka panjang, termasuk sulitnya untuk 

kembali melanjutkan pendidikan atau bekerja.

Dari segi kesehatan, anak perempuan yang menikah di usia dini lebih rentan 

mengalami komplikasi dalam kehamilan dan persalinan. Usia yang terlalu muda untuk 

hamil dan melahirkan meningkatkan risiko masalah kesehatan reproduksi, baik bagi ibu 

maupun bayinya. Hal ini menimbulkan tekanan tambahan bagi anak perempuan yang 

belum siap secara fisik dan mental untuk menjadi seorang ibu.23

Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Rahman mengungkap bahwa anak perempuan 

yang menikah melalui otoritas wali mujbir juga sering kehilangan kesempatan untuk 

mengembangkan potensi mereka dalam aspek-aspek lain kehidupan, seperti karir dan 

pendidikan. Keterbatasan dalam akses pendidikan dan peluang kerja membuat mereka sulit mencapai kemandirian ekonomi, yang pada akhirnya memperburuk kualitas hidup 

mereka.

Dalam konteks komunitas, pernikahan dini yang melibatkan wali mujbir seringkali 

merusak hubungan sosial anak perempuan dengan teman sebaya. Mereka harus 

meninggalkan lingkaran sosial yang seharusnya memberikan dukungan emosional selama 

masa remaja. Kehilangan kesempatan untuk berinteraksi secara normal dengan teman 

sebaya ini dapat berdampak pada kemampuan sosial anak perempuan dalam jangka 

panjang.25

Oleh karena itu, pernikahan dini yang dilakukan atas otoritas wali mujbir tidak hanya 

berdampak pada aspek hukum dan agama, tetapi juga membawa dampak negatif yang 

luas terhadap kesejahteraan sosial dan psikologis anak perempuan. Pemerintah dan 

otoritas agama perlu mengevaluasi praktik ini secara menyeluruh untuk memastikan 

bahwa hak-hak anak perempuan terlindungi, terutama dalam hal hak untuk memilih 

pasangan hidup dan hak untuk menunda pernikahan sampai usia yang matang secara 

emosional, fisik, dan sosial.

Lebih lanjut, reformasi kebijakan dan penegakan hukum terkait pernikahan dini perlu 

diperkuat agar praktik wali mujbir tidak disalahgunakan untuk menekan anak perempuan 

ke dalam situasi yang merugikan mereka. Pendekatan yang lebih komprehensif diperlukan 

untuk melindungi anak perempuan dari dampak negatif pernikahan dini, termasuk 

program edukasi yang menyoroti pentingnya hak-hak anak dan kesiapan dalam 

pernikahan.


C. Kebijakan Hukum Nasional Terkait Pernikahan Dini dan Dispensasi Pernikahan dalam 

Konteks Peran Wali Mujbir

Kebijakan hukum nasional Indonesia mengenai pernikahan dini telah mengalami 

perubahan signifikan seiring dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, 

yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 

Salah satu perubahan penting dalam revisi ini adalah peningkatan usia minimum 

pernikahan bagi laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun. Meskipun kebijakan ini 

bertujuan untuk melindungi hak-hak anak perempuan dan mencegah pernikahan dini, 

terdapat celah yang memungkinkan pernikahan di bawah usia tersebut melalui dispensasi 

pernikahan dari pengadilan agama.

Peran wali mujbir dalam pernikahan dini seringkali mendapat dispensasi dari 

pengadilan agama. Di dalam masyarakat tertentu, khususnya di wilayah pedesaan, wali 

mujbir masih memiliki otoritas untuk menikahkan anak perempuannya tanpa 

persetujuannya, yang terkadang dilakukan untuk melindungi kehormatan keluarga atau 

karena faktor ekonomi. Hal ini menyebabkan terjadinya pernikahan dini, meskipun secara 

hukum sudah ditetapkan batas usia minimum untuk menikah.29

Pemberian dispensasi pernikahan di Indonesia diatur dalam Pasal 7 Ayat 2 Undang￾Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa pengadilan dapat memberikan izin kepada 

anak di bawah umur untuk menikah, asalkan ada alasan kuat yang mendasari permohonan 

dispensasi tersebut. Namun, dalam praktiknya, alasan-alasan yang diberikan untuk 

mendapatkan dispensasi sering kali berakar pada tekanan sosial atau kekhawatiran 

tentang status kehormatan keluarga, dan bukan semata-mata karena kepentingan terbaik 

bagi anak tersebut

Penggunaan wali mujbir dalam pernikahan dini menjadi sorotan penting karena 

meskipun otoritas wali masih diakui dalam hukum Islam, hal ini sering kali berbenturan 

dengan prinsip-prinsip perlindungan hak anak dalam konteks hukum nasional. Undang￾Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014, misalnya, memberikan hak-hak khusus


kepada anak untuk bebas dari diskriminasi dan kekerasan, termasuk pernikahan yang 

dipaksakan. Namun, dengan adanya celah hukum melalui dispensasi, peran wali mujbir

tetap dapat dijalankan tanpa banyak hambatan dari segi legalitas

Studi yang dilakukan oleh beberapa peneliti hukum Islam menunjukkan bahwa peran 

wali mujbir dalam pernikahan dini tidak hanya berkaitan dengan tradisi, tetapi juga dengan 

interpretasi yang beragam terhadap teks-teks hukum Islam. Beberapa ulama berpendapat 

bahwa otoritas wali mujbir sah dilakukan apabila dianggap untuk kebaikan sang anak. 

Namun, interpretasi ini seringkali disalahgunakan, terutama di wilayah pedesaan dengan 

latar belakang ekonomi yang terbatas, di mana anak perempuan dianggap sebagai beban 

ekonomi dan menikahkannya dianggap solusi praktis.31

Dalam beberapa kasus, pengadilan agama di Indonesia cenderung mengabulkan 

permohonan dispensasi tanpa pertimbangan mendalam mengenai kesejahteraan anak. 

Hal ini memunculkan dualisme dalam penerapan hukum, di mana hukum Islam dalam 

bentuk perwalian masih dijalankan, sementara perlindungan anak dalam konteks hukum 

nasional terabaikan Penelitian oleh Zulkifli dalam Jurnal Hukum Keluarga menunjukkan 

bahwa pemberian dispensasi pernikahan dini melalui otoritas wali mujbir kerap didasari 

oleh pemahaman yang terbatas tentang hak-hak anak dan kurangnya kesadaran akan 

dampak negatif pernikahan dini terhadap kesehatan fisik dan mental anak perempuan.

Sebagai tanggapan terhadap masalah ini, beberapa pihak telah mendorong 

pengadilan agama untuk lebih ketat dalam memberikan izin dispensasi pernikahan dan 

mewajibkan adanya asesmen psikologis atau sosial terhadap anak yang terlibat. Tujuannya 

adalah memastikan bahwa keputusan untuk menikahkan anak di bawah umur benar-benar 

dilakukan demi kebaikan anak, bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan sosial atau 

ekonomi keluarga.

Meskipun demikian, penerapan kebijakan ini masih menghadapi tantangan besar, 

terutama di daerah-daerah yang kental dengan adat dan tradisi Islam. Di beberapa wilayah, 

wali mujbir dianggap sebagai figur yang memiliki otoritas absolut dalam menentukan nasib 

anak perempuannya, dan intervensi dari negara dianggap sebagai pelanggaran terhadap 

otoritas keluarga. Hal ini memperlihatkan adanya benturan antara norma hukum agama 

dan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Sebagai kesimpulan, kebijakan hukum nasional terkait pernikahan dini dan dispensasi 

pernikahan dalam konteks peran wali mujbir masih memerlukan evaluasi dan penyesuaian 

lebih lanjut agar lebih sejalan dengan prinsip perlindungan hak-hak anak. Sementara peran 

wali dalam tradisi Islam tetap diakui, penting untuk memastikan bahwa hak-hak anak tidak 

dikorbankan demi menjaga tradisi yang mungkin tidak lagi relevan dengan konteks sosial 

modern. Upaya-upaya reformasi hukum dan penguatan regulasi terkait dispensasi 

pernikahan merupakan langkah penting untuk mengatasi kontroversi ini di masa depan.





Kontroversi terkait peran wali mujbir dalam kasus pernikahan dini di Indonesia 

merupakan salah satu isu yang telah lama menjadi perhatian di kalangan akademisi dan 

praktisi hukum Islam. wali mujbir, dalam tradisi hukum Islam, memiliki wewenang untuk 

menikahkan anak-anaknya yang belum mencapai usia dewasa tanpa memerlukan 

persetujuan anak tersebut. Meskipun konsep ini memiliki landasan kuat dalam teks-teks 

klasik fikih, penerapannya dalam konteks sosial modern, terutama di Indonesia, 

menimbulkan berbagai perdebatan.

Dalam hukum Islam, wali mujbir biasanya adalah ayah atau kakek dari pihak 

perempuan. Mereka dianggap memiliki kewenangan mutlak untuk menentukan 

keputusan mengenai pernikahan anak perempuan yang berada di bawah tanggungannya. 

Namun, di era modern, keputusan sepihak ini sering kali bertentangan dengan prinsip￾prinsip hak asasi manusia, khususnya yang menyangkut hak anak dalam menentukan masa 

depannya. Dalam konteks Indonesia, di mana pernikahan dini masih sering terjadi 

terutama di wilayah pedesaan, peran wali mujbir ini kerap dipertanyakan, terutama dalam 

kasus di mana anak perempuan yang dinikahkan belum mencapai usia dewasa menurut 

undang-undang nasional.

Studi oleh beberapa peneliti menunjukkan bahwa praktik pernikahan dini yang 

melibatkan wali mujbir seringkali didorong oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan ekonomi. 

Di banyak wilayah pedesaan, pernikahan dini dianggap sebagai solusi untuk mengurangi 

beban ekonomi keluarga, atau untuk menghindari 'aib' yang mungkin timbul jika seorang 

anak perempuan tidak segera menikah setelah mencapai usia pubertas.1 Namun, dengan semakin meningkatnya kesadaran tentang hak-hak anak dan implikasi psikologis serta 

sosial dari pernikahan dini, praktik ini mulai mendapatkan perlawanan dari berbagai 

kalangan.

Salah satu aspek penting dalam diskusi tentang wali mujbir di Indonesia adalah 

bagaimana hukum nasional mencoba mengakomodasi prinsip-prinsip hukum Islam dalam 

kerangka sistem hukum modern. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang 

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, misalnya, telah 

menaikkan batas usia minimum untuk menikah menjadi 19 tahun bagi perempuan dan laki￾laki. Meskipun demikian, dalam praktiknya, banyak keluarga masih menggunakan celah 

hukum dengan meminta dispensasi dari pengadilan agama untuk menikahkan anak-anak 

mereka di bawah usia yang ditentukan.2

Penggunaan wali mujbir dalam kasus pernikahan dini seringkali menjadi titik konflik 

antara tradisi Islam dan hukum positif di Indonesia. Di satu sisi, ada keinginan untuk 

menjaga otoritas wali mujbir dalam pernikahan sebagai bentuk pelestarian tradisi. Namun 

di sisi lain, ada dorongan kuat dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa hak-hak anak 

perempuan dilindungi dari praktik-praktik yang merugikan, termasuk pernikahan dini.3

Kontroversi ini semakin tajam ketika kita melihat berbagai studi yang menunjukkan 

dampak negatif dari pernikahan dini terhadap kesehatan fisik dan mental anak 

perempuan, serta dampak jangka panjang terhadap kehidupan rumah tangga mereka. 

Anak perempuan yang dinikahkan di usia dini sering kali tidak memiliki kesiapan emosional, 

fisik, dan psikologis untuk menjalani peran sebagai istri dan ibu, yang pada akhirnya 

berdampak pada kualitas hidup mereka di masa depan.4

Sebagai contoh, studi yang dilakukan oleh Hafid dan Taufik dalam Jurnal Hukum 

Keluarga menunjukkan bahwa pernikahan dini tidak hanya menurunkan tingkat partisipasi 

anak perempuan dalam pendidikan, tetapi juga meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga serta masalah kesehatan reproduksi di kemudian hari. 5 Temuan-temuan 

semacam ini semakin memperkuat argumen bahwa praktik wali mujbir dalam konteks 

pernikahan dini perlu dievaluasi kembali agar sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan 

hak asasi manusia.

Selain itu, peran hakim dalam memberikan dispensasi pernikahan dini juga menjadi 

sorotan penting. Banyak pengadilan agama di Indonesia yang masih cenderung 

memberikan izin pernikahan dini meskipun sudah ada batas usia yang lebih tinggi dalam 

undang-undang. Hal ini menunjukkan adanya dualisme dalam penerapan hukum Islam dan 

hukum positif, yang menyebabkan ketidakjelasan dalam perlindungan hak-hak anak 

perempuan.6

Beberapa kasus menunjukkan bahwa dispensasi pernikahan dini sering kali diberikan 

dengan alasan menjaga kehormatan keluarga atau karena tekanan sosial, meskipun hal ini 

bertentangan dengan prinsip perlindungan anak. Dalam beberapa kasus, anak perempuan 

yang dipaksa menikah dini melalui wewenang wali mujbir bahkan kehilangan akses 

terhadap pendidikan dan mengalami kerentanan ekonomi yang lebih besar.7

Dengan demikian, perdebatan tentang wali mujbir dalam konteks pernikahan dini di 

Indonesia tidak hanya melibatkan isu agama, tetapi juga hak-hak asasi manusia, hak anak, 

dan kesetaraan gender. Penting untuk mencari keseimbangan antara pelestarian tradisi 

Islam dan perlindungan terhadap hak-hak anak perempuan dalam pernikahan. Dalam hal 

ini, penguatan peran pemerintah dan pengadilan agama sangat diperlukan untuk 

memastikan bahwa praktik-praktik pernikahan yang melibatkan wali mujbir dilakukan 

dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak perempuan tersebut.










Artikel ini membahas kontroversi terkait peran wali mujbir dalam kasus 

pernikahan dini di 

Indonesia. Wali mujbir, sebagai wali yang memiliki otoritas menikahkan anak perempuan 

tanpa persetujuan mereka, menjadi topik perdebatan yang mengaitkan hukum Islam 

dengan hak asasi manusia, khususnya hak anak. Meskipun memiliki landasan kuat dalam 

teks-teks fikih klasik, penerapan wali mujbir di era modern, terutama di Indonesia, sering 

kali menimbulkan konflik dengan hukum nasional yang menetapkan batas usia pernikahan. 

Artikel ini menyoroti bagaimana wali mujbir kerap digunakan untuk melegitimasi 

pernikahan dini, terutama di wilayah pedesaan yang didorong oleh faktor sosial dan 

ekonomi, meski praktik ini memiliki dampak negatif terhadap kesehatan fisik, mental, dan 

sosial anak perempuan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan 

kepustakaan untuk menganalisis data dari literatur hukum Islam, studi-studi akademik, dan 

laporan terkait dampak pernikahan dini. Temuan menunjukkan bahwa praktik wali mujbir 

dalam pernikahan dini sering kali menimbulkan masalah, termasuk penurunan akses 

pendidikan, peningkatan risiko kekerasan dalam rumah tangga, dan permasalahan 

kesehatan reproduksi. Kesimpulannya, meskipun wali mujbir memiliki dasar hukum Islam, 

praktiknya dalam konteks pernikahan dini harus dievaluasi dan disesuaikan dengan prinsip