Pernikahan muslim 5

 


kehamilan dan tanggungjawab menjadi seoarang ibu.Ini 

artinya produk hukum baik UU Negara maupun fikhi klasik 

belum mengakomodir UU perlindungan anak “Anak adalah 

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun”, 

dalam artian masih ada kemungkinan untuk reinterpretasi 

ulang kedua produk hukum tersebut.

Hukum Islam (al-Qur’an dan Hadis) tidak membatasi 

usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit, syariat 

menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-

benar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis dan 

paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari 

ibadah, persis seperti harus pahamnya apa itu salat bagi 

orang yang melakukan ibadah salat. Seperti ketika kita 

mencermati hadis nabi:

 ُهَل ُهَّنِإَف مِوْ َّصلاِب هِيَْلَعَف عْطَِتسَْي مَْل نْمَوَ جْ َّوزََتَيلَْف َةءَاَبلْا مْكُنْمِ عَاطََتسْا نْمَ بِاَبَّشلا رَشَعْمَ اَي

22ءٌاجَوِ

“Wahai kaum muda! Barang siapa yang sudah mampu 

memberi nafkah, maka nikahlah. Karena sesungguhnya 

pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan 


kehormatan farj. Barang siapa yangg tidak mampu, maka 

berpuasalah, karena berpuasa merupakan benteng baginya” 

Hadits ini  memberikan penjelasan bahwa yang 

diperintahkan itu adalah orang yang sudah mampu untuk 

kawin. Sementara kepada yang belum mampu Rasul memberi 

jalan keluar untuk menangguhkan pernikahan yaitu dengan 

melaksanakan Shaum, karena shaum merupakan benteng. 

Ungkapan ini merupakan isyarat bahwa kita diperbolehkan 

menangguhkan pernikahan untuk lebih mematangkan 

persiapan.

Islam dalam prinsipnya tidak melarang secara terang-

terangan tentang pernikahan usia muda, namun Islam juga 

tak pernah mendorong atau mendukung perkawinan usia 

muda (di bawah umur) tersebut, apa lagi dilaksanakan 

dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensi-dimensi 

mental, hak-hak anak, psikis dan pisik terutama pihak 

perempuannya.

Pada hakikatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi 

positif. Seperti diketahui, saat ini pacaran yang dilakukan oleh 

pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-

norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, 

dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-

tindakan asusila di masyarakat.Fakta ini menunjukkan 

betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang 

memprihatinkan. Pernikahan dini merupakan upaya untuk 

meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada 

terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan. 

Jika memang semuanya sudah siap, Pernikahan dini itu 

tidak jadi masalah, asal pasangan siap dalam segala hal, 

orangtua dan anak pun tanpa keterpaksaaan.

Pernikahan dini tentunya bersifat individual-relatif. 

Artinya ukuran kemaslahatan di kembalikan kepada pribadi 

masing-masing. Jika dengan menikah usia muda mampu 

menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur 

kemaksiatan, maka menikah adalah alternatif terbaik. 

Sebaliknya, jika dengan menunda pernikahan sampai pada 

usia ”matang” mengandung nilai positif, maka hal itu adalah 

yang lebih utama.

Tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah 

perkawinan sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat 

untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, 

kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan 

masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan 

rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama. 

Dan ini membuktikan fleksibilitas dan keuniversalan hukum 

slam.

Substansi hukum Islam adalah menciptakan 

kemaslahatan sosial bagi manusia pada masa kini dan masa 

depan. Hukum Islam bersifat humanis dan selalu membawa 

rahmat bagi semesta alam. Hal ini bertujuan agar hukum 

Islam tetap selalu relevan dan mampu merespon dinamika 

perkembangan zaman.

D. Dampak Positif dan Negatif Nikah Usia Dini

Berbagai dampak pernikahan dibawah umur atau 

pernikahan dini dapat dikemukakan sebagai berikut:23


1. Dampak terhadap hukum.

Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di 

negara kita yaitu:

a. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 

7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihakpria 

sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita 

sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 6 (2) Untuk 

melangsungkan perkawinan seorang yang belum 

mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua 

orang tua.

b. Pasal 26 1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung 

jawab untuk:mengasuh, memelihara, mendidik dan 

melindungi anak

2) menumbuh kembangkan anak sesuai dengan 

kemampuan, bakat dan minatnya dan; 3)mencegah 

terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

c. UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO.                                      

Amanat Undang-undang tersebut di atas bertujuan 

melindungi anak, agar anak tetap memperoleh haknya 

untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari 

perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

2. Dampak biologis

Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih 


dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap 

untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, 

apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika 

dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas 

dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya 

sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan 

apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan 

dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya 

kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap 

seorang anak.

3. Dampak Psikologis.

Secarapsikis anak juga belum siap dan mengerti 

tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan 

trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit 

disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya 

yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti 

atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan 

menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan 

(Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya 

serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.

4. Dampak Sosial.

Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial 

budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang 

menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan 

hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini 

sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk 

agama Islam yang sangat menghormati perempuan 

(Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan 

budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan 


kekerasan terhadap perempuan.

Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, 

pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. 

Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak 

darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat 

pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai 

banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya 

mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 

16 tahun untuk wanita.

5. Dampak perilaku seksual menyimpang.

Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu 

prilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak 

yang dikenal dengan istilah pedofilia.Perbuatan ini jelas 

merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), 

namun dikemas dengan perkawinan seakan-akan menjadi 

legal. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 

tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 81, ancamannya 

pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan 

pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta 

rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap 

orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal 

akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan 

akan menjadi contoh bagi yang lain.

6. Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini 

mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak 

yang dilahirkan.

Dari sisi tinjauan kesehatan, bahwa perempuan yang 

menikah dibawah usia 18 tahun, dan mengalami kehamilan 

dapat membawa resiko tinggi pada kehamilan dan 

persalinannya kelak. Perempuan tersebut akan menghadapi 

resiko kematian pada saat melahirkan, dua sampai lima kali 

lebih besar dari pada resiko kehamilan perempuan yang 

berusia dua puluhan.24

Perempuan yang berumur kurang dari 20 tahun 

belum siap secara fisik dan mental dalam menghadapi 

kehamilan dan persalinan. Dari segi fisik rahim dan 

panggul belum tumbuh mencapai ukuran dewasa, sehingga 

kemungkinan akan mendapat kesulitan dalam persalinan. 

Sedangkan dari segi mental perempuan tersebut belum siap 

untuk menerima tugas dan tanggung jawab sebagai orang 

tua, sehingga diragukan keterampilan perawatan diri dan 

bayinya.25 Selain itu, kesehatan bayi dan anak yang buruk 

memeliki kaitan yang cukup kuat dengan usia ibu yang 

terlalu muda dikarenakan ketidak mampuan wanita muda 

secara fisik, sehingga anak-anak yang lahir dari ibu yang 

berusia di bawah 20 tahun memiliki resiko kematian yang 

cukup tinggi.26

Dampak lain dari perkawinan di bawah umur adalah 

munculnya kanker pada leher rahim (kanker serviks), kanker 

ini menyerang bagian terendah dari rahim yang menonjol ke 

puncak liang senggama. Alah satu faktor penyebab kanker 

serviks adalah aktivitas seksual usia dini, sebab perempuan 


muda mempunyai kondisi leher rahim yang belum matang.27

Berdasarkan uraian di atas  jelas bahwa pernikahan 

dini atau perkawinan dibawah umur  lebih banyak 

mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu  Orang tua 

harus disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/ 

mengawinkan anaknya dalam usia dini atau anak dan 

harus memahami peraturan perundang-undangan untuk 

melindungi anak. Masyarakat yang peduli terhadap 

perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada 

pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak 

Indonesai (KPAI), LSM peduli anak lainnya dan para penegak 

hukum harus melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk 

melihak adanya pelanggaran terhadap perundangan yang 

ada dan bertindak terhadap pelaku untuk dikenai pasal 

pidana dari peraturan perundangan yang ada. (UU No.23 

tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Perkawinan, UU 

PTPPO).


NIKAH SIRI DAN NIKAH DI 

BAWAH TANGAN


Definisi nikah siri mazhab Malikiyyah adalah sebagai 

nikah yang oleh mempelai laki-laki (suami) diminta kepada 

para saksi untuk merahasiakan, baik kepada keluarga (istri), 

saksi maupun kepada masyarakat.1

Perkawinan siri adalah perkawinan yang ada usaha 

dari para pihak (mempelai dan saksi) untuk merahasiakan. 

Oleh karena itu, unsur pokok yang menjadikan haramnya 

perkawinan sirri adalah adanya usaha merahasiakan 

perkawinan tersebut oleh para pihak. Dengan demikian, 

unsur pengumuman kepada khalayak menjadi unsur 

penentu sah atau tidaknya perkawinan.

Imam Malik menekankan pentingnya pengumuman 

dalam pernikahan yang berfungsi sebagai saksi. Dasar 

hukum yang dikemukakannya adalah hadis nabi yang 

menyuruh untuk mengadakan hiburan (walimah), yang 

bertujuan untuk membedakan perkawinan yang benar (sah) 

dari yang tidak.2

Nikah siri secara etimologis berarti nikah yang rahasia. 

Secara terminologis, nikah siri terdapat beberapa pengertian. 

Pertama, nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan tanpa 

wali. Kedua, adalah pernikahan yang dilakukan dengan 

secara sembunyi-sembunyi dengan tidak diadakannya 

resepsi dan sebagainya dengan alasan pernikahannya tidak 

ingin diketahui oleh orang banyak. Dengan kata lain nikah 

siri adalah nikah yang disembunyikan, dirahasiakan dan 

tidak diekspos ke dunia luar.

B.  Dasar Hukum Nikah Siri

Nikah siri tidak hanya di kenal pada zaman sekarang 

ini saja, tetapi juga telah ada pada zaman sahabat. Istilah 

itu berasal dari ucapan Umar bin Khattab, pada saat beliau 

diberitahu, bahwa telah terjadi pernikahan yang tidak 

dihadiri oleh saksi, kecuali hanya seorang laki-laki dan 

seorang perempuan. Beliau berkata :

تمْجَرََل تًمَّْدَقَت تًـنْكُوَْل ُهزُيْجَِأَلوَ , ِرّ ِسَّلا حُاكَِن اَذهَ

“Ini nikah siri, saya tidak membolehkannya, dan 

sekiranya saya tahu lebih dahulu, maka pasti akan saya 

rajam”.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi 

SAW, bersabda: “Pelacur adalah wanita yang mengawinkan 

dirinya tanpa (ada) bukti.”(HR.Tirmidzi)

Ibnu Abbas juga menegaskan :

.ةٍَنِّيَبِبَّلِإ حَاكَِنَل

“Nikah ini tidak sah tanpa ada bukti”


C.  Hukum Nikah Sirri

Ulama Syafi‘iyah dan Hanafiyah memperbolehkannya, 

sedangkan Malikiyah membolehkan dalam keadaan darurat 

(takut terhadap orang yang zalim atau penguasa), dan 

kalangan Hanabilah menyatakan makruh.

Mahmud Syaltut salah seorang ulama kontemporer 

memberikan pandangan yang lebih ketat mengenai 

pernikahan siri. Menurutnya, ulama tradisional sudah sepakat 

bahwa pernikahan siri adalah akad nikah yang dilakukan dua 

pihak tanpa ada saksi, tanpa pengumuman (i‘lan) dan tanpa 

penulisan dalam buku resmi, dan pansangan tetap hidup 

dalam kondisi status perkawinan yang disembunyikan. Hal 

yang sama juga disebutkan Qurais Shihab bahwa semua 

ulama sepakat tentang larangan merahasiakan perkawinan.3

Oleh karena itu, Syaltut menyebutkan bahwa 

para fuqaha tradisional sepakat hukumnya haram untuk 

perkawinan yang tidak ada saksi. Sedangkan perkawinan 

yang ada saksi tetapi ada usaha merahasiakan, hukumnya 

masih diperdebatkan.4Perdebatan ini disebabkan karena 

fungsi saksi itu adalah pemberitahuan (i’lan). Pemberitahuan 

ini bertujuan untuk menjamin hak-hak para pihak, 

menghilangkan keraguan dan untuk membedakan yang halal 

dari yang haram sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis 

“untuk membedakan perkawinan yang haram dari yang 

halal adalah dengan rebana dan suara”.5 Maka persaksian 

yang bertujuan untuk informasi adalah persaksian yang 

sama sekali tidak ada permintaan untuk dirahasiakan.6

Dengan adanya usaha menyembunyikan (menutup-

nutupi), meskipun dalam akad nikah ada saksi, akan tetapi 

bila keberadaan saksi tersebut hanya sekedar sebagai 

pelengkap rukun perkawinan, yang berarti belum sampai 

pada tujuan atau fungsi saksi, yaitu sebagai sarana 

penyebarluasan informasi kepada masyarakat agar tidak 

terjadi fitnah dan keragu-raguan. Di sini Syaltut lebih 

menekankan pada fungsi saksi, yakni menyebarluaskan 

informasi tentang perkawinan kepada masyarakat daripada 

sekadar kehadirannya pada akad nikah, tetapi bukan berarti 

boleh akad nikah tanpa saksi.

Selain perkawinan siri, Syaltut juga mengemukakan 

jenis perkawinan urf, yaitu perkawinan yang setelah 

memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah 

ditetapkan para fuqaha dilengkapi dengan catatan dalam 

buku resmi.Perkawinan inilah yang menurut Syaltut adalah 

sah.7Menurutnya, tujuan pencatatan perkawinan adalah 

5 Hadis yang dimaksud adalah  فدلاو توصلاب مارحلاو للحلا نيب ام لصف 

 حاكنلا  يف. Hadis ini pula yang dijadikan dasar oleh imam Malik 

dalam menjelaskan fungsi saksi dalam perkawinan. .

untuk memelihara hak-hak dan kewajiban para pihak dalam 

perkawinan, yakni hak-hak pihak suami/ istri dan anak-

anak atau keturunan, seperti pemeliharaan dan warisan. 

Pencatatan ini sebagai usaha mengantisipasi semakin 

menipisnya iman umat Islam dan salah satu akibatnya 

adalah semakin banyak terjadi pengingkaran-pengingkaran 

janji yang mengakibatkan dalih untuk lari dari kewajiban. 

Karena ukuran iman itu adalah sesuatu yang tersembunyi, 

salah satu jalan keluar sebagai usaha preventif agar orang 

tidak lari dari tanggung jawab adalah dengan membuat 

bukti tertulis.8

D. Pengertian dan Hukum Nikah di Bawah Tangan.

Nikah di bawah tangan adalah pernikahan yang 

dilakukan dengan adanya wali namun tidak dilaporkan atau 

dicatatkan di KUA. Perkawinan yang tidak ada bukti tetapi 

tidak dirahasiakan dikategorikan sebagai perkawinan yang 

sah, dengan catatan disaksikan kemudian.

Istilah “nikah di bawah tangan” muncul setelah UU 

Nomor 1/1974 tentang perkawinan berlaku secara efektif 

tanggal 1 Oktober 1975.Pasal 2 ayat (2) menegaskan, “Tiap-

tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.” Dan PP Nomor 9/1975 pasal 

2 ayat (1) menerangkan, “pencatatan dari mereka yang 

melangsungkan perkawinan nenurut agama Islam, dilakukan 

oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam 

resmi tetapi ada usaha untuk merahasiakan. 

Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954 tentang pencatatan 

Nikah ,Talak dan Rujuk”. 

Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1)9 dan ayat (2) 

dari UU 1/1974 tersebut, hingga kini kalangan teoritisi dan 

praktisi hukum masih bersilang pendapat tentang pengertian 

yuridis sahnya suatu perkawinan. Ada dua pendapat para 

pakar hukum mengenai masalah ini: 

Pertama, bahwa sahnya suatu perkawinan semata-

mata hanya harus memenuhi pasal 2 ayat (1) UU perkawinan 

tersebut, yakni perkawinannya telah dilaksanakan menurut 

ketentuan syari‟at Islam secara sempurna (memenuhi 

rukun-rukun dan syarat-syarat nikah yan mumnya dianggap 

standar oleh dunia Islam. Mengenai pencatatan nikah oleh 

PPN, tidaklah merupakan syarat sahnya nikah, tetapi hanya 

kewajiban adminstratif saja.

Kedua, bahwa sahnya suatu akad nikah harus 

memenuhi ketentuan UU Perkawinan pasal 2 ayat (1) 

mengenai tatacara agama dan ayat (2) mengenai pencatatan 

nikahnya oleh PPN secara simultan. Dengan demikian, 

ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tersebut merupakan syarat 

kumulatif , bukan alternatif. Karena itu, perkawinan yang 

dilakukan menurut ketentuan syari’at Islam tanpa pencatatan 

oleh PPN, belumlah dianggap sebagai perkawinan yang sah. 

9 UU Perkawinan pasal 2 ayat (1) menegaskan, “perkawinan adalah 

sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya 

dan kepercayaannya itu.” Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) ini, 

disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa 

dalam bidang perkawinan, hukum agama, termasuk hukum Islam 

telah mendapat kekuatan yuridis dan materiil.

D

Dan perkawinan inilah yang kemudian setelah berlakunya UU 

Perkawinan secara efektif tanggal 1 Oktober 1975 terkenal 

dengan sebutan “nikah di bawah tangan”.

Pendapat yang lebih kuat dan mendasar dalam 

masalah ini, baik dari segi hukum Islam maupun dari 

segi hukum positif, ialah bahwa sahnya suatu akad 

nikah,apabilatelah dilangsungkan menurut ketentuan 

syari’at Islam, di hadapan PPN dan dicatat oleh PPN. 

Dalil syar’inya yang dapat memperkuat pendapat 

tersebut, ialah :

1. Mentaati perintah agama dan mentatati perintah 

negara/ pemerintah, adalah wajib sebagaimana 

firman Allah dalam Al-Quran Surat Al Nisa ayat 

58: Perintah Al-Quran ini sangat positif , karena 

mendidik manusia untuk menciptakan masyarakat 

yang sadar dan taat hukum agama dan hukum 

negara, demi terwujudnya kesejahteraan dan 

kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat. 

2. Akta nikah sebagai bukti otentik sahnya perkawinan 

seseorang, adalah sangat bermanfaat dan 

masalahah bagi dirinya dan keluarganya (istri dan 

anaknya) untuk menolak kemungkinan di kemudian 

hari adanya pengingkaran atas perkawinannya dan 

akibat hukum dari perkawinannya itu (harta bersama 

dalam perkawinan dan hak kewarisannya), dan juga 

untuk melindunginya dari fitnah, tuhmah/ qadzaf 

zina (tuduhan zina). Maka jelaslah, pencatatan 

nikah untuk mendapatkan akta nikah itu sangat 

penting untuk sad al-Dzari‟ah (preventive action) 


dan juga maslahah mursalah (good interest)”. 

Alasan yuridis dari segi hukum positif adalah: 

1. Maksud pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan itu 

telah dirumuskan secara organik oleh pasal 2 

ayat (1) PP Nomor 9/1975 tentang pelaksanaan 

UU Perkawinan. Dan tatacara pencatatan 

perkawinannya lebih lanjut dijabarkan dalam pasal 

3 sampai dengan pasal 9 PP tersebut. Kemudian 

disusul dengan tatacara perkawinannya sampai 

mendapat akta nikah, disebut dalam pasal 10 

sampai dengan pasal 13 PP tersebut. 

2. Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 /1991 

dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 

/1991, Pasal 5,6 dan 7 ayat (1) menguatkan 

bahwa unsur pencatatan nikah oleh PPN menjadi 

syarat sahnya suatu akad nikah. 

3. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Putusan 

Nomor 1948/K/Pid/1991 tanggal 18 Desember 

1991, dalam pertimbangan hukumnya 

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan 

“Perkawinan” menurut Undang-undang 

No.1/1974, PP No.9/1975, adalah perkawinan 

yang dilangsungkan di hadapan KUA oleh petugas 

KUA yang berwenang serta perkawinan tersebut 

didaftarkan menurut tatacara perundang-

undangan yang berlaku; karena itu perkawinan 

yang tidak memenuhi persyaratan tersebut 

dianggap tidak ada perkawinan, sehingga tidak 

dapat dipidanakan sebagaimana dimaksud Pasal 


279 KUH Pidana (kurungan penjara 5 tahun). 

4. Surat Edaran Kepala BAKN Nomor 48/SE/1990 

tentang petunjuk Pelaksanaan PP Nomor 

45/1990 tentang perubahan atas PP Nomor 

10/1983 tentang izin perkawinan dan perceraian 

bagi pegawai negeri sipil, butir IX menegaskan 

, bahwa istri pertama/ kedua/ ketiga/ keempat 

dari pegawai negeri sipil yang dinikahi sah, yaitu 

yang dilakukan sesuai dengan pasal 2 ayat (1) 

dan ayat (2) UU Perkawinan Nomor 1/1974 

diberikan Kartu Istri. 

Dengan demikain, jelaslah bahwa menurut hukum 

positif, perkawinan adalah sah , jika dilaksankan menurt 

hukum syari‟at Islam di hadapan PPN dan dicatata oleh PPN.

Hukum nikah di bawah tangan menurut fatwa MUI 

yang dikeluarkan pada tahun 2006 dan 2008 melahirkan 

ketentuan hukum bahwa:

1. Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena 

terpenuhi  syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika 

terdapat madharrah.

2. Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada 

instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk 

menolak dampak negatif/madharrah (saddan liz-

zariah).10


Menurut MUI, nikah di bawah tangan yang dimaksud 

dalam fatwa ini adalah pernikahan yang terpenuhi semua 

rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum 

Islam). Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di 

instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perundang-

undangan. Atas dasar pengertian tersebut, MUI menegaskan 

bahwa pernikahan di bawah tangan adalah sah akan tetapi 

menjadi haram apabila ada mudharrah.

Berbeda dengan Quraisy Shihab yang berpendapat 

bahwa perkawinan di bawah tangan dalam konteks 

keindonesiaan, dapat mengakibatkan dosa bagi 

pelakunya karena melanggar ketentuan yang ditetapkan 

oleh pemerintah dan DPR (ulil amri). Sedang Qur’an 

memerintahkan untuk mematuhi (taat) kepada ulil amri 

selama tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah. 

Sedangkan perintah pencatatan perkawinan bukan hanya 

tidak bertentangan tetapi sejalan dengan semangat Qur’an.11

Keabsahan pernikahan bukan atas dasar pencatatan 

karena ia tidak menjadi syarat sah perkawinan. Sebagaimana 

dalam analisis Tahir Mahmud terhadap bentuk pembaruan 

terhadap Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, ia tidak 

mencantumkan adanya keharusan mencatatkan perkawinan 

sebagai syarat sah perkawinan melainkan hanya syarat 

administrasi.


E. Dasar hukum Nikah di Bawah Tangan

1. QS. Ar-Rum/30: 21

ًةَّدوَمَ مْكَُنيَْب لََعجَوَ اهَيَْلِإ اوُنكُسَْتلِ اجًاوَزَْأ مْكُسُِفنَْأ نْمِ مْكَُل قََلخَ نَْأ هِِتاَيَآ نْمِوَ 

نَورَُّكَفَتَي مٍوَْقلِ تٍاَيَلَ كَلَِذ يِف َّنِإ ًةمَحْرَوَ

”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia 

menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendi-

ri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram ke-

padanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih 

dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu 

benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang 

berfikir”.

2. HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan al-Tirmizi

13 ِفُّّدلاِب هِيَْلعَ اوُبرِضْاوَ, حاكَِّنلا اوُنلِعَْأ

“Umumkanlah pernikahan, lakukanlah pernikahan dan 

pukullah duff (sejenis alat musik pukul)”.

3. kaidah fiqh yang digunakan adalah kaidah 

Sadd al-zariah dan حلاصملا  بلج  ىلع  مدقم  دسافملاءرد 

(mencegah kemafsadatan lebih didahulukan 

(diutamakan) daripada menarik kemaslahatan).


4. Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang 

perkawinan.

Dalam UU ini disebutkan bahwa (1) perkawinan 

adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum 

masing-masing agamanya dan kepercayaannya 

itu. (2) tiap-tiap perkawinan dicatat menurut 

perturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 4 KHI 

menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, 

apabila dilakukan menurut Hukum islam sesuai 

dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 

tahun 1974 tentang Perkawinan. 

F. Penyebab terjadinya Pernikahan di Bawah Tangan 

dan Nikah Siri 

Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya 

perkawinan di bawah tangan adalah sebagai berikut:

1. Karena melakukan poligami, sulit mendapat izin dari 

istri sebelumnya.

2. Calon istri sudah hamil duluan sebelum menikah.

3. Perselingkuhan.

4. Menjaga diri dari perbuatan dosa (zina).

5. Tidak mendapat restu dari orang tua.


6. Kedua mempelai sudah sama-sama berusia senja.

7. Tidak cukup syarat dan malas mengurus persyaratan 

yang sesuai prosedur.

G.  Dampak hukum nikah di bawah tangan dan nikah 

siri.

Akibat hukum dari perkawinan dan perceraain 

di bawah tangan, meski secara agama atau kepercayaan 

dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar 

pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak 

memiliki kekuatan hukum yang tetap dan dianggap tidak sah 

di mata hukum Negara. Akibat hukum perkawinan tersebut 

berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan 

umumnya, baik secara hukum maupun sosial, serta bagi 

anak yang dilahirkan. 

1. Terhadap Istri

Secara Hukum:

a. Tidak dianggap sebagai istri sah

b. Tidak berhak atas nafkah dan warisan dari 

suami jika ia meninggal dunia

c. Tidak berhak atas gono gini jika terjadi 

perpisahan karena secara hukum perkawinan 

dianggap tidak pernah terjadi



305

Secara Sosial:

Akan sulit bersosialisasi karena perempuan 

yang melakukan perkawinan bawah tangan dan nikah 

sirri sering dianggap telah tinggal serumah dengan 

laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) 

atau Anda dianggap menjadi istri simpanan.

2. Terhadap Anak

a. Status anak yang dilahirkan pada perkawinan 

bawah tangan dan nikah siri dianggap anak luar 

kawin. Konsekwensinya, anak hanya mempunyai 

hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. 

Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan 

hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 

UU Perkawinan, pasal 100 KHI). Didalam akte 

kelahirannya pun  statusnya dianggap sebagai 

anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan 

nama ibu yang melahirkannya. Keterangan 

berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak 

tercantumnya nama si ayah akan berdampak 

sangat mendalam secara sosial dan psikologis 

bagi si anak dan ibunya.

b. Ketidakjelasan status si anak di muka hukum 

mengakibatkan hubungan antara ayah dan 

anak tidak kuat sehingga bisa saja suatu waktu 

ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut 

adalah anak kandungnya.


c. Yang jelas merugikan adalah anak tidak berhak 

atas biaya kehidupan dan pendidikan , nafkah 

dan warisan dari ayahnya.

3. Terhadap laki-laki atau Suami:   

a. Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan 

atau merugikan bagi diri laki-laki atau suami 

yang menikah bawah tangan dan nikah siri 

dengan seorang perempuan. Yang terjadi 

justru menguntungkan dia, karena:

1) Suami bebas untuk menikah lagi, karena 

perkawinan sebelumnya yang di bawah 

tangan atau nikah siri dianggap tidak sah di 

mata hukum.

2) Suami bisa berkelit dan menghindar dari 

kewajibannya memberikan nafkah baik 

kepada istri maupun kepada anak-anaknya.

3) Tidak dipusingkan dengan pembagian harta 

gono-gini, warisan dan lain-lain.

Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat jelas betapa 

pernikahan di bawah tangan dan nikah sirri sangat merugikan 

bagi kaum perempuan dan anaknya kelak yang dilahirkannya 

dalam pernikahan tersebut. Oleh karena itu, bagi yang 

sudah terlanjur menempuh jalan dengan pernikahan di 

bawah tangan maupun nikah sirri, hendaknya melaporkan 

ke Pengadilan Agama dan mengukuhkan perkawinannya 

melalui isbat nikah. Begitupun halnya dengan Pembuktian 

asal usul anak yang dilahirkan dalam nikah sirri dan nikah 

di bawah tangan dilakukan di Pengadilan Agama dengan 

mengajukan bukti-bukti yang dapat memperkuat hak dan 

kewajiban para pihaknya. Hal tersebut biasanya dilakukan 

bersamaan dengan diajukannya permohonan Itsbat nikah 

oleh orang tua anak tersebut karena keabsahan seorang 

anak dapat dibuktikan melalui akta kelahiran. 




PERKAWINAN WANITA 

HAMIL DAN NIKAH 

LEWAT TELPON


Kawin hamil ialah kawin dengan seseorang 

wanita yang hamil di luar nikah, baik dikawini oleh laki-

laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki yang 

bukan menghamilinya.1Kawin hamil yang dimaksud 

disini sudah bisa dipahami sebagai sebuah akad 

pernikahan yang dilakukan seseorang perempuan 

yang hamil di luar nikah, baik dengan laki-laki yang 

menghamilinya maupun dengan laki-lai lain. Dengan 

demikian kawin hamil berarti pernikahan yang calon 

mempelai wanitanya dalam keadaan hamil sebelum 

terjadi ijab qobul.

B. Pandangan Hukum Islam tentang Kawin Hamil

Menikah dengan wanita hamil terdapat dua 

kemungkinannya: Pertama, wanita tersebut adalah 

pasangan zina pria yang hendak menikahi dirinya. Kedua, 

wanita tersebut bukan pasangannya, atau hamil karena 

berhubungan dengan orang lain. Laki-laki yang akan 

menikahi wanita hamil tersebut dalam ungkapan budaya 

bugis disebut “passampo siri’”.

1. Hukum pernikahan wanita hamil di luar nikah dengan 

pasangan zina pria yang menghamilinya, para ulama 

berbeda pendapat, sebagai berikut2 :

1

a. Ulama mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, 

Syafi’I, dan Hambali) berpendapat bahwa 

perkawinan keduanya sah dan boleh 

bercampur sebagai suami isteri, dengan 

ketentuan, bila si pria itu yang menghamilinya 

dan kemudian baru ia mengawininya.

b. Ibn Hazm (Zhahiri) berpendapat, bahwa 

keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh 

pula bercampur, dengan ketentuan, bila 

telah bertaubat dan menjalani hukuman dera 

(cambuk), karena keduanya telah berzina. 

Pendapat ini berdasarkan hukum yang telah 

pernah diterapkan oleh sahabat Nabi, antara 

lain :

1) Ketika Jabir Ibn Abdillah ditanya tentang 

kebolehan mengawini orang yang telah 

berzina, maka beliau berkata, “boleh 

mengawinkannya, asal keduanya telah 

bertaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya.

2) Seorang laki-laki tua menyatakan 

keberadaannya kepada Khalifah Abu 

Bakar, dan berkata “ Ya Amirul mukminin, 

putriku telah dicampuri oleh tamuku, 

dan aku inginkan keduanya dikawinkan”. 

Ketika itu khalifah memerintahkan kepada 

sahabat lain, untuk melakukan hukuman 

dera kepada keduanya, kemudian 

dikawinkannya.

Islam,

2. Pria yang kawin dengan wanita yang dihamili 

oleh orang lain, Laki-laki yang akan menikahi 

wanita hamil tersebut dalam ungkapan budaya 

bugis disebut “passampo siri’”. Terjadi perbedaan 

pendapat para ulama :

a. Haram dinikahi, ini merupakan mashab Maliki, 

Abu Yusuf, dan Zafar dari mashab Maliki. 

Yang menjadi dalil dari pendapat ini adalah :

1) Laki yang berzina tidak mengawini 

melainkan kepada perempuan yang 

berzina atau perempuan musyrik. 

Berdasarkan firman Allah (Q.S. An-Nur: 

3).

وَْأ نٍازَ َّلِإ اهَحُكِنَْي ل ُةَيِنا َّزلاوَ ًةكَرِشْمُ وَْأ ًةَيِنازَ َّلِإ حُكِنَْي ل يِنا َّزلا 

نَيِنمِؤْمُلْا ىَلعَ كَلَِذ مَ ّرِحُوَ كٌرِشْمُ

“Pezina laki-laki tidak boleh menikah 

kecuali dengan pezina perempuan, atau 

dengan perempuan musyrik; dan pezina 

perempuan tidak boleh menikah kecuali 

dengan pezina laki-laki atau dengan 

laki-laki musyrik; dan yang demikian itu 

diharamkan bagi orang-orang Mukmin.”

Berdasarkan ayat di atas dijelaskan bahwa 

tidak pantas seorang pria yang beriman 

kawin dengan seorang wanita yang berzina, 

demikian pula sebaliknya, wanita yang 

beriman, tidak pantas kawin denga pria yang 



berzina

2) Riwayat Said bin al-Musayyib yang 

menyatakan bahwa 

ىلا كلذ عجرف٬ ىلبحاه دج و اهب اصا املف ة أرما جوزت لجر نا 

و قادصلا اهل لعج و امهنيب قرفف٬ ملس و هيلع اللها ىلص يبنلا 

ةئ ام اه دلج

“Sesungguhnya seorang laki-laki mengawini 

seorang wanita, ketika ia mencampurinya ia 

mendapatkannya dalam keadaan hamil, lalu 

dia laporkan kepada nabi SAW. Kemudian 

Nabi menceraikan keduanya dan wanita 

itu diberi maskawin, kemudian wanita itu 

didera (dicambuk) sebanyak 100 kali”.

3) Hadis Nabi Muhammad Saw, yang 

menyatakan: “Wanita hamil tidak 

boleh disetubuhi hingga dia melahirkan 

(bayinya)”

4) Sabda Nabi Muhammad Saw, yang 

menyatakan: “Tidaklah halal bagi seorang 

yang beriman kepada Allah dan hari 

akhir untuk menumpahkan air maninya 

kedalam ladang bercocok tanam orang 

lain” (HR. Abu dawud). 

b. Boleh dinikahi tanpa syarat, Ini pendapat 

Abu Hanifah dan Muhammad dari mashab 

Hanafi dan mashab Syafii. Yang menjadi dalil 

Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc.,M.Ag.

316

kelompok ini adalah :

1) Firman Allah Swt, “Telah dihalalkan bagi 

kalian yang demikian (yaitu) mencari 

istri-istri dengan harta kalian untuk 

dikawini bukan untuk berzina” (QS. An-

Nisa ayat 24).

2) Hadis penuturan Aisyah ra, “Perkara 

haram tidak mengahramkan yang halal”

3) Ijmak sahabat, telah diriwayatkan dari 

Abu bakar, Umar ibn khattab, ibn umar, 

ibn Abbas, dan Jabir ra, bahwa Abu 

bakar berkata: “Jika seorang pria berzina 

dengan wanita, maka tidak haram 

baginya untuk menikahinya.” 

c. Boleh dinikahi dengan syarat :

1) Bertaubat dengan taubatan Nasuha. Ini 

merupakan pendapat mashab Hambali.

2) Kehamilannya telah berakhir atau habis 

masa iddahnya.

Yang menjadi dalil dari pendapat ini:

a) Pada firman Allah SWT (QS. An-

Nur ayat 3). Alasannya, keharaman 

menikahi wanita pezina di dalam ayat 

tersebut  berlaku bagi yang belum 

bertaubat, namun setelah bertaubat 


larangan tersebut hilang. Dikarenakan 

ada hadis Nabi Muhammad saw yang 

menyatakan, ”Orang yang bertaubat 

dari dosa statusnya sama dengan orang 

yang tidak memiliki dosa”

b) Hadis Abu Sa’id Radhiyallahu Anhu 

sesungguhnya Nabi bersabda tentang 

tawanan perang Authos. “Jangan 

dipergauli perempuan hamil sampai ia 

melahirkan dan jangan pula yang tidak 

hamil sampai ia telah haid satu kali 

“(HR Abu Dawud no 2157)

c) Hadis Ruwaifi bin Tsabit Radhiyallahu 

Anhu dari nabi, beliau bersabda, “Siapa 

yang beriman kepada Allah dan hari 

akhir maka janganlah ia menyiramkan 

airnya ke tanaman orang lain” (HR Abu 

Dawu No 2158, At Tarmidzi no 1131).

C. Kawin Hamil menurut UU NO. 1/1974 dan 

Kompilasi Hukum Islam (KHI).

 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab VIII pasal 

53 ayat (1), (2), dan (3) dicaantumkan bahwa :

1. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat 

dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.

D

2. Perkawinan dengan wanita hamil yang tersebut 

pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa 

menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat 

wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang 

setelah anak yang dikandungnya lahir.

Dasar pertimbangan KHI terhadap perkawinan wanita 

hamil adalah QS. An-Nur ayat 3. maksud ayat tersebut  ialah 

tidak pantas seorang yang beriman kawin dengan yang 

berzina, demikian pula sebaliknya. Persoalan menikahkan 

wanita hamil apabila dilihat  dari KHI, penyelesaiannya 

jelas dan sederhana dengan satu pasal dan tiga ayat. Yang 

menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya. 

Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan 

untuk memberikan perlindungan kepastian hukum kepada 

anak yang ada dalam kandungan dan logikanya untuk 

mengakhiri status anak zina.

D. Status Anak dari Pernikahan Wanita Hamil dari 

Segi Perspektif Fiqhi.

Secara garis besar anak zina dibagi menjadi 4 kategori:

1. Anak yang lahir tanpa adanya perkawinan. Ada 2 

pendapat :

a. Pendapat pertama mengatakan bahwa anak 

tersebut dinasabkan pada ibunya walaupun 

seandainya ayah biologisnya mengkalim bahwa 

ia adalah anak biologisnya”. Ini adalah  pendapat 


mayoritas ulama antar madzhab, yaitu madzhab 

maliki, syafii, hanbali dan sebagian mashab 

hanafi. Pendapat ini berdasarkan pada hadis sahih 

dari Amir bin Syuaib : “Nabi memberi keputusan 

bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak 

yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan 

wanita merdeka tidak dinasabkan ke bapak 

biologisnya dan tidak mewarisinya walaupun 

ayah biologisnya mengklaim dia anak biologisnya. 

Ia tetaplah anak zina baik dari perempuan budak 

ataupun perempuan merdeka.”

b. Pendapat kedua adalah “bahwa anak zina 

tersebut dinasabkan pada ayah biologisnya 

walaupun tidak terjadi pernikahan dengan ibu 

biologisnya.”

2. Anak dari kawin hamil yang ibunya menikah dengan 

ayah biologisnya. Ada 3 pendapat:

a. Menurut Imam Abu Hanifah menegaskan 

bahwa status anak zina dinasabkan pada bapak 

biologisnya apabila kedua pezina itu menikah 

sebelum anak lahir.

b. Menurut mashab Syafii, status anak zina 

dinasabkan kepada bapaknya apabila anak lahir 

diatas 6bulan setelah akad nikah. Dan tidak 

dinasabkan ke ayah biologisnya jika anak lahir 

kurang dari 6 bulan pasca pernikahan, kecuali 

apabila si suami melakukan ikrar pengakuan 

anak.


c. Pendapat dari madzhab Hanbali dan mazhab 

Maliki :haram hukumnya menikahi wanita hamil 

zina kecuali setelah melahirkan dan karena itu, 

kalau terjadi pernikahan dengan wanita hamil 

zina, maka nikahnya tidak sah. Dan status 

anaknya tetap anak zina dan nasabnya hanya 

kepada ibunya.

3. Status anak dari kawin hamil zina yang ibunya 

menikah dengan lelaki lain yang bukan ayah 

biologisnya. 

Hukum pernikahannya sah menurut 

madszah hanafi, As-Tsauri dan pendapat yang 

shahih dalam madzhab syafii. Sedangkan status 

anaknya adalah status anak dinasabkan pada 

ibunya secara mutlak, bukan pada bapaknya. 

Begitu juga anak hanya mendapat hak waris dari 

ibunya.Dan apabila anak tersebut menikah, apabila 

anak itu perempuan maka wali nikahnya adalah 

wali hakim.

4. Status anak zina hasil hubungan perempuan 

bersuami dengan lelaki lain.

Status anak saat lahir  adalah anak 

dari suaminya yang sah. Bukan anak dari 

pria selingkuhannya.Bahkan walaupun pria 

selingkuhannya mengakui anak tersebut anak 

biologisnya. Kecuali, suami sah melakukan sumpah 

lian.



321

E.  Status Anak yang Lahir Akibat Pernikahan Wanita 

Hamil (Hukum Perdata dan Hukum Islam). 

1. Berdasarkan Pasal 42 UU Perkawinan

Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam 

atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena 

itu, selama anak tersebut dilahirkan  setelah kedua 

orangtuanya menikah secara sah maka anak tersebut 

adalah anak yang sah dari perkawinan tersebut.

2. Akan tetapi UU Perkawinan memberikan hak kepada 

suami untuk menyangkal  anak yang dilahirkan oleh 

istrinya dalam perkawinan yang sah. Hal tersebut 

terdapat dalam pasal 44 UU Perkawinan yaitu si suami 

dapat menyangkal sahnya anak yang dihasilkan oleh 

istrinya,  bila si suami dapat membuktikan bahwa 

istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada 

perzinaan tersebut.

3. Sementara itu dalam Hukum Islam ada yang 

dinamakan dengan kawin hamil yang dijelaskan dalam 

pasal 53 KHI 

yaitu “seorang wanita hamil diluar nikah 

dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. 

Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat 

dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu 

kelahiran anaknya.Dengan dilangsungkannya 

perkawinan pada saat wanita hamil, tidak 

diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang 

dikandung lahir”. Jika wanita tersebut telah menikah 

dengan pria yang menghamilinya sebelum anaknya 


dilahirkan maka berdasarkan pasal 99 KHI, anak 

tersebut adalah anak yang sah. Ini karena anak 

yang sah adalah :

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat 

perkawinan yang sah.

b. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar 

rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

4. Hukum islam juga memberikan hak kepada suami 

untuk menyangkal anak yang  dilahirkan oleh istri. 

Seperti dalam pasal 101 dan 102 KHI :

a. Pasal 101 KHI : “seorang suami yang 

mengingkari sahnya anak sedang istrinnya 

tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan 

pengingkarannya dengan lian”

b. Pasal 102 KHI : 

1) Suami yang akan mengingkari seorang 

anak yang lahir dari istrinya, mengajukan 

gugatan kepada pengadilan Agama dalam 

jangka waktu  180 hari setelah lahirnya 

atau 360 hari setelah putusnya perkawinan 

atau setelah suami itu mengetahui bahwa 

istrinya melahirkan dan berada di tempat 

yang memungkinkan dia mengajukan 

perkaranya kepada pengadilan agama.

2) Pengingkaran yang diajukan sesudah 

lampau waktu itu tidak dapat diterima. Jadi, 


baik dalam hukum perdata ataupun hukum 

islam, selama anak tersebut dilahirkan 

dalam perkawinan sah kedua orang tuanya, 

anak tersebut adalah anakyang sah dari 

keduanya.