kehamilan dan tanggungjawab menjadi seoarang ibu.Ini
artinya produk hukum baik UU Negara maupun fikhi klasik
belum mengakomodir UU perlindungan anak “Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun”,
dalam artian masih ada kemungkinan untuk reinterpretasi
ulang kedua produk hukum tersebut.
Hukum Islam (al-Qur’an dan Hadis) tidak membatasi
usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit, syariat
menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-
benar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis dan
paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari
ibadah, persis seperti harus pahamnya apa itu salat bagi
orang yang melakukan ibadah salat. Seperti ketika kita
mencermati hadis nabi:
ُهَل ُهَّنِإَف مِوْ َّصلاِب هِيَْلَعَف عْطَِتسَْي مَْل نْمَوَ جْ َّوزََتَيلَْف َةءَاَبلْا مْكُنْمِ عَاطََتسْا نْمَ بِاَبَّشلا رَشَعْمَ اَي
22ءٌاجَوِ
“Wahai kaum muda! Barang siapa yang sudah mampu
memberi nafkah, maka nikahlah. Karena sesungguhnya
pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan
kehormatan farj. Barang siapa yangg tidak mampu, maka
berpuasalah, karena berpuasa merupakan benteng baginya”
Hadits ini memberikan penjelasan bahwa yang
diperintahkan itu adalah orang yang sudah mampu untuk
kawin. Sementara kepada yang belum mampu Rasul memberi
jalan keluar untuk menangguhkan pernikahan yaitu dengan
melaksanakan Shaum, karena shaum merupakan benteng.
Ungkapan ini merupakan isyarat bahwa kita diperbolehkan
menangguhkan pernikahan untuk lebih mematangkan
persiapan.
Islam dalam prinsipnya tidak melarang secara terang-
terangan tentang pernikahan usia muda, namun Islam juga
tak pernah mendorong atau mendukung perkawinan usia
muda (di bawah umur) tersebut, apa lagi dilaksanakan
dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensi-dimensi
mental, hak-hak anak, psikis dan pisik terutama pihak
perempuannya.
Pada hakikatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi
positif. Seperti diketahui, saat ini pacaran yang dilakukan oleh
pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-
norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas,
dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-
tindakan asusila di masyarakat.Fakta ini menunjukkan
betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang
memprihatinkan. Pernikahan dini merupakan upaya untuk
meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada
terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan.
Jika memang semuanya sudah siap, Pernikahan dini itu
tidak jadi masalah, asal pasangan siap dalam segala hal,
orangtua dan anak pun tanpa keterpaksaaan.
Pernikahan dini tentunya bersifat individual-relatif.
Artinya ukuran kemaslahatan di kembalikan kepada pribadi
masing-masing. Jika dengan menikah usia muda mampu
menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur
kemaksiatan, maka menikah adalah alternatif terbaik.
Sebaliknya, jika dengan menunda pernikahan sampai pada
usia ”matang” mengandung nilai positif, maka hal itu adalah
yang lebih utama.
Tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah
perkawinan sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat
untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi,
kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan
masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan
rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama.
Dan ini membuktikan fleksibilitas dan keuniversalan hukum
slam.
Substansi hukum Islam adalah menciptakan
kemaslahatan sosial bagi manusia pada masa kini dan masa
depan. Hukum Islam bersifat humanis dan selalu membawa
rahmat bagi semesta alam. Hal ini bertujuan agar hukum
Islam tetap selalu relevan dan mampu merespon dinamika
perkembangan zaman.
D. Dampak Positif dan Negatif Nikah Usia Dini
Berbagai dampak pernikahan dibawah umur atau
pernikahan dini dapat dikemukakan sebagai berikut:23
1. Dampak terhadap hukum.
Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di
negara kita yaitu:
a. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal
7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihakpria
sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 6 (2) Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua
orang tua.
b. Pasal 26 1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk:mengasuh, memelihara, mendidik dan
melindungi anak
2) menumbuh kembangkan anak sesuai dengan
kemampuan, bakat dan minatnya dan; 3)mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
c. UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO.
Amanat Undang-undang tersebut di atas bertujuan
melindungi anak, agar anak tetap memperoleh haknya
untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari
perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
2. Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih
dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap
untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya,
apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika
dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas
dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya
sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan
apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan
dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya
kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap
seorang anak.
3. Dampak Psikologis.
Secarapsikis anak juga belum siap dan mengerti
tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan
trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit
disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya
yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti
atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan
menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan
(Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya
serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
4. Dampak Sosial.
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial
budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang
menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan
hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini
sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk
agama Islam yang sangat menghormati perempuan
(Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan
budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan
kekerasan terhadap perempuan.
Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial,
pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga.
Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak
darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat
pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai
banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya
mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan
16 tahun untuk wanita.
5. Dampak perilaku seksual menyimpang.
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu
prilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak
yang dikenal dengan istilah pedofilia.Perbuatan ini jelas
merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak),
namun dikemas dengan perkawinan seakan-akan menjadi
legal. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 81, ancamannya
pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan
pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta
rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap
orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal
akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan
akan menjadi contoh bagi yang lain.
6. Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini
mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak
yang dilahirkan.
Dari sisi tinjauan kesehatan, bahwa perempuan yang
menikah dibawah usia 18 tahun, dan mengalami kehamilan
dapat membawa resiko tinggi pada kehamilan dan
persalinannya kelak. Perempuan tersebut akan menghadapi
resiko kematian pada saat melahirkan, dua sampai lima kali
lebih besar dari pada resiko kehamilan perempuan yang
berusia dua puluhan.24
Perempuan yang berumur kurang dari 20 tahun
belum siap secara fisik dan mental dalam menghadapi
kehamilan dan persalinan. Dari segi fisik rahim dan
panggul belum tumbuh mencapai ukuran dewasa, sehingga
kemungkinan akan mendapat kesulitan dalam persalinan.
Sedangkan dari segi mental perempuan tersebut belum siap
untuk menerima tugas dan tanggung jawab sebagai orang
tua, sehingga diragukan keterampilan perawatan diri dan
bayinya.25 Selain itu, kesehatan bayi dan anak yang buruk
memeliki kaitan yang cukup kuat dengan usia ibu yang
terlalu muda dikarenakan ketidak mampuan wanita muda
secara fisik, sehingga anak-anak yang lahir dari ibu yang
berusia di bawah 20 tahun memiliki resiko kematian yang
cukup tinggi.26
Dampak lain dari perkawinan di bawah umur adalah
munculnya kanker pada leher rahim (kanker serviks), kanker
ini menyerang bagian terendah dari rahim yang menonjol ke
puncak liang senggama. Alah satu faktor penyebab kanker
serviks adalah aktivitas seksual usia dini, sebab perempuan
muda mempunyai kondisi leher rahim yang belum matang.27
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa pernikahan
dini atau perkawinan dibawah umur lebih banyak
mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu Orang tua
harus disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/
mengawinkan anaknya dalam usia dini atau anak dan
harus memahami peraturan perundang-undangan untuk
melindungi anak. Masyarakat yang peduli terhadap
perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada
pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak
Indonesai (KPAI), LSM peduli anak lainnya dan para penegak
hukum harus melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk
melihak adanya pelanggaran terhadap perundangan yang
ada dan bertindak terhadap pelaku untuk dikenai pasal
pidana dari peraturan perundangan yang ada. (UU No.23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Perkawinan, UU
PTPPO).
NIKAH SIRI DAN NIKAH DI
BAWAH TANGAN
Definisi nikah siri mazhab Malikiyyah adalah sebagai
nikah yang oleh mempelai laki-laki (suami) diminta kepada
para saksi untuk merahasiakan, baik kepada keluarga (istri),
saksi maupun kepada masyarakat.1
Perkawinan siri adalah perkawinan yang ada usaha
dari para pihak (mempelai dan saksi) untuk merahasiakan.
Oleh karena itu, unsur pokok yang menjadikan haramnya
perkawinan sirri adalah adanya usaha merahasiakan
perkawinan tersebut oleh para pihak. Dengan demikian,
unsur pengumuman kepada khalayak menjadi unsur
penentu sah atau tidaknya perkawinan.
Imam Malik menekankan pentingnya pengumuman
dalam pernikahan yang berfungsi sebagai saksi. Dasar
hukum yang dikemukakannya adalah hadis nabi yang
menyuruh untuk mengadakan hiburan (walimah), yang
bertujuan untuk membedakan perkawinan yang benar (sah)
dari yang tidak.2
Nikah siri secara etimologis berarti nikah yang rahasia.
Secara terminologis, nikah siri terdapat beberapa pengertian.
1
Pertama, nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan tanpa
wali. Kedua, adalah pernikahan yang dilakukan dengan
secara sembunyi-sembunyi dengan tidak diadakannya
resepsi dan sebagainya dengan alasan pernikahannya tidak
ingin diketahui oleh orang banyak. Dengan kata lain nikah
siri adalah nikah yang disembunyikan, dirahasiakan dan
tidak diekspos ke dunia luar.
B. Dasar Hukum Nikah Siri
Nikah siri tidak hanya di kenal pada zaman sekarang
ini saja, tetapi juga telah ada pada zaman sahabat. Istilah
itu berasal dari ucapan Umar bin Khattab, pada saat beliau
diberitahu, bahwa telah terjadi pernikahan yang tidak
dihadiri oleh saksi, kecuali hanya seorang laki-laki dan
seorang perempuan. Beliau berkata :
تمْجَرََل تًمَّْدَقَت تًـنْكُوَْل ُهزُيْجَِأَلوَ , ِرّ ِسَّلا حُاكَِن اَذهَ
“Ini nikah siri, saya tidak membolehkannya, dan
sekiranya saya tahu lebih dahulu, maka pasti akan saya
rajam”.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi
SAW, bersabda: “Pelacur adalah wanita yang mengawinkan
dirinya tanpa (ada) bukti.”(HR.Tirmidzi)
Ibnu Abbas juga menegaskan :
.ةٍَنِّيَبِبَّلِإ حَاكَِنَل
“Nikah ini tidak sah tanpa ada bukti”
C. Hukum Nikah Sirri
Ulama Syafi‘iyah dan Hanafiyah memperbolehkannya,
sedangkan Malikiyah membolehkan dalam keadaan darurat
(takut terhadap orang yang zalim atau penguasa), dan
kalangan Hanabilah menyatakan makruh.
Mahmud Syaltut salah seorang ulama kontemporer
memberikan pandangan yang lebih ketat mengenai
pernikahan siri. Menurutnya, ulama tradisional sudah sepakat
bahwa pernikahan siri adalah akad nikah yang dilakukan dua
pihak tanpa ada saksi, tanpa pengumuman (i‘lan) dan tanpa
penulisan dalam buku resmi, dan pansangan tetap hidup
dalam kondisi status perkawinan yang disembunyikan. Hal
yang sama juga disebutkan Qurais Shihab bahwa semua
ulama sepakat tentang larangan merahasiakan perkawinan.3
Oleh karena itu, Syaltut menyebutkan bahwa
para fuqaha tradisional sepakat hukumnya haram untuk
perkawinan yang tidak ada saksi. Sedangkan perkawinan
yang ada saksi tetapi ada usaha merahasiakan, hukumnya
masih diperdebatkan.4Perdebatan ini disebabkan karena
fungsi saksi itu adalah pemberitahuan (i’lan). Pemberitahuan
ini bertujuan untuk menjamin hak-hak para pihak,
menghilangkan keraguan dan untuk membedakan yang halal
dari yang haram sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis
3
“untuk membedakan perkawinan yang haram dari yang
halal adalah dengan rebana dan suara”.5 Maka persaksian
yang bertujuan untuk informasi adalah persaksian yang
sama sekali tidak ada permintaan untuk dirahasiakan.6
Dengan adanya usaha menyembunyikan (menutup-
nutupi), meskipun dalam akad nikah ada saksi, akan tetapi
bila keberadaan saksi tersebut hanya sekedar sebagai
pelengkap rukun perkawinan, yang berarti belum sampai
pada tujuan atau fungsi saksi, yaitu sebagai sarana
penyebarluasan informasi kepada masyarakat agar tidak
terjadi fitnah dan keragu-raguan. Di sini Syaltut lebih
menekankan pada fungsi saksi, yakni menyebarluaskan
informasi tentang perkawinan kepada masyarakat daripada
sekadar kehadirannya pada akad nikah, tetapi bukan berarti
boleh akad nikah tanpa saksi.
Selain perkawinan siri, Syaltut juga mengemukakan
jenis perkawinan urf, yaitu perkawinan yang setelah
memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah
ditetapkan para fuqaha dilengkapi dengan catatan dalam
buku resmi.Perkawinan inilah yang menurut Syaltut adalah
sah.7Menurutnya, tujuan pencatatan perkawinan adalah
5 Hadis yang dimaksud adalah فدلاو توصلاب مارحلاو للحلا نيب ام لصف
حاكنلا يف. Hadis ini pula yang dijadikan dasar oleh imam Malik
dalam menjelaskan fungsi saksi dalam perkawinan. .
untuk memelihara hak-hak dan kewajiban para pihak dalam
perkawinan, yakni hak-hak pihak suami/ istri dan anak-
anak atau keturunan, seperti pemeliharaan dan warisan.
Pencatatan ini sebagai usaha mengantisipasi semakin
menipisnya iman umat Islam dan salah satu akibatnya
adalah semakin banyak terjadi pengingkaran-pengingkaran
janji yang mengakibatkan dalih untuk lari dari kewajiban.
Karena ukuran iman itu adalah sesuatu yang tersembunyi,
salah satu jalan keluar sebagai usaha preventif agar orang
tidak lari dari tanggung jawab adalah dengan membuat
bukti tertulis.8
D. Pengertian dan Hukum Nikah di Bawah Tangan.
Nikah di bawah tangan adalah pernikahan yang
dilakukan dengan adanya wali namun tidak dilaporkan atau
dicatatkan di KUA. Perkawinan yang tidak ada bukti tetapi
tidak dirahasiakan dikategorikan sebagai perkawinan yang
sah, dengan catatan disaksikan kemudian.
Istilah “nikah di bawah tangan” muncul setelah UU
Nomor 1/1974 tentang perkawinan berlaku secara efektif
tanggal 1 Oktober 1975.Pasal 2 ayat (2) menegaskan, “Tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.” Dan PP Nomor 9/1975 pasal
2 ayat (1) menerangkan, “pencatatan dari mereka yang
melangsungkan perkawinan nenurut agama Islam, dilakukan
oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam
resmi tetapi ada usaha untuk merahasiakan.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954 tentang pencatatan
Nikah ,Talak dan Rujuk”.
Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1)9 dan ayat (2)
dari UU 1/1974 tersebut, hingga kini kalangan teoritisi dan
praktisi hukum masih bersilang pendapat tentang pengertian
yuridis sahnya suatu perkawinan. Ada dua pendapat para
pakar hukum mengenai masalah ini:
Pertama, bahwa sahnya suatu perkawinan semata-
mata hanya harus memenuhi pasal 2 ayat (1) UU perkawinan
tersebut, yakni perkawinannya telah dilaksanakan menurut
ketentuan syari‟at Islam secara sempurna (memenuhi
rukun-rukun dan syarat-syarat nikah yan mumnya dianggap
standar oleh dunia Islam. Mengenai pencatatan nikah oleh
PPN, tidaklah merupakan syarat sahnya nikah, tetapi hanya
kewajiban adminstratif saja.
Kedua, bahwa sahnya suatu akad nikah harus
memenuhi ketentuan UU Perkawinan pasal 2 ayat (1)
mengenai tatacara agama dan ayat (2) mengenai pencatatan
nikahnya oleh PPN secara simultan. Dengan demikian,
ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tersebut merupakan syarat
kumulatif , bukan alternatif. Karena itu, perkawinan yang
dilakukan menurut ketentuan syari’at Islam tanpa pencatatan
oleh PPN, belumlah dianggap sebagai perkawinan yang sah.
9 UU Perkawinan pasal 2 ayat (1) menegaskan, “perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.” Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) ini,
disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa
dalam bidang perkawinan, hukum agama, termasuk hukum Islam
telah mendapat kekuatan yuridis dan materiil.
D
Dan perkawinan inilah yang kemudian setelah berlakunya UU
Perkawinan secara efektif tanggal 1 Oktober 1975 terkenal
dengan sebutan “nikah di bawah tangan”.
Pendapat yang lebih kuat dan mendasar dalam
masalah ini, baik dari segi hukum Islam maupun dari
segi hukum positif, ialah bahwa sahnya suatu akad
nikah,apabilatelah dilangsungkan menurut ketentuan
syari’at Islam, di hadapan PPN dan dicatat oleh PPN.
Dalil syar’inya yang dapat memperkuat pendapat
tersebut, ialah :
1. Mentaati perintah agama dan mentatati perintah
negara/ pemerintah, adalah wajib sebagaimana
firman Allah dalam Al-Quran Surat Al Nisa ayat
58: Perintah Al-Quran ini sangat positif , karena
mendidik manusia untuk menciptakan masyarakat
yang sadar dan taat hukum agama dan hukum
negara, demi terwujudnya kesejahteraan dan
kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat.
2. Akta nikah sebagai bukti otentik sahnya perkawinan
seseorang, adalah sangat bermanfaat dan
masalahah bagi dirinya dan keluarganya (istri dan
anaknya) untuk menolak kemungkinan di kemudian
hari adanya pengingkaran atas perkawinannya dan
akibat hukum dari perkawinannya itu (harta bersama
dalam perkawinan dan hak kewarisannya), dan juga
untuk melindunginya dari fitnah, tuhmah/ qadzaf
zina (tuduhan zina). Maka jelaslah, pencatatan
nikah untuk mendapatkan akta nikah itu sangat
penting untuk sad al-Dzari‟ah (preventive action)
dan juga maslahah mursalah (good interest)”.
Alasan yuridis dari segi hukum positif adalah:
1. Maksud pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan itu
telah dirumuskan secara organik oleh pasal 2
ayat (1) PP Nomor 9/1975 tentang pelaksanaan
UU Perkawinan. Dan tatacara pencatatan
perkawinannya lebih lanjut dijabarkan dalam pasal
3 sampai dengan pasal 9 PP tersebut. Kemudian
disusul dengan tatacara perkawinannya sampai
mendapat akta nikah, disebut dalam pasal 10
sampai dengan pasal 13 PP tersebut.
2. Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 /1991
dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154
/1991, Pasal 5,6 dan 7 ayat (1) menguatkan
bahwa unsur pencatatan nikah oleh PPN menjadi
syarat sahnya suatu akad nikah.
3. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Putusan
Nomor 1948/K/Pid/1991 tanggal 18 Desember
1991, dalam pertimbangan hukumnya
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
“Perkawinan” menurut Undang-undang
No.1/1974, PP No.9/1975, adalah perkawinan
yang dilangsungkan di hadapan KUA oleh petugas
KUA yang berwenang serta perkawinan tersebut
didaftarkan menurut tatacara perundang-
undangan yang berlaku; karena itu perkawinan
yang tidak memenuhi persyaratan tersebut
dianggap tidak ada perkawinan, sehingga tidak
dapat dipidanakan sebagaimana dimaksud Pasal
279 KUH Pidana (kurungan penjara 5 tahun).
4. Surat Edaran Kepala BAKN Nomor 48/SE/1990
tentang petunjuk Pelaksanaan PP Nomor
45/1990 tentang perubahan atas PP Nomor
10/1983 tentang izin perkawinan dan perceraian
bagi pegawai negeri sipil, butir IX menegaskan
, bahwa istri pertama/ kedua/ ketiga/ keempat
dari pegawai negeri sipil yang dinikahi sah, yaitu
yang dilakukan sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
dan ayat (2) UU Perkawinan Nomor 1/1974
diberikan Kartu Istri.
Dengan demikain, jelaslah bahwa menurut hukum
positif, perkawinan adalah sah , jika dilaksankan menurt
hukum syari‟at Islam di hadapan PPN dan dicatata oleh PPN.
Hukum nikah di bawah tangan menurut fatwa MUI
yang dikeluarkan pada tahun 2006 dan 2008 melahirkan
ketentuan hukum bahwa:
1. Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena
terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika
terdapat madharrah.
2. Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada
instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk
menolak dampak negatif/madharrah (saddan liz-
zariah).10
Menurut MUI, nikah di bawah tangan yang dimaksud
dalam fatwa ini adalah pernikahan yang terpenuhi semua
rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum
Islam). Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di
instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perundang-
undangan. Atas dasar pengertian tersebut, MUI menegaskan
bahwa pernikahan di bawah tangan adalah sah akan tetapi
menjadi haram apabila ada mudharrah.
Berbeda dengan Quraisy Shihab yang berpendapat
bahwa perkawinan di bawah tangan dalam konteks
keindonesiaan, dapat mengakibatkan dosa bagi
pelakunya karena melanggar ketentuan yang ditetapkan
oleh pemerintah dan DPR (ulil amri). Sedang Qur’an
memerintahkan untuk mematuhi (taat) kepada ulil amri
selama tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah.
Sedangkan perintah pencatatan perkawinan bukan hanya
tidak bertentangan tetapi sejalan dengan semangat Qur’an.11
Keabsahan pernikahan bukan atas dasar pencatatan
karena ia tidak menjadi syarat sah perkawinan. Sebagaimana
dalam analisis Tahir Mahmud terhadap bentuk pembaruan
terhadap Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, ia tidak
mencantumkan adanya keharusan mencatatkan perkawinan
sebagai syarat sah perkawinan melainkan hanya syarat
administrasi.
E. Dasar hukum Nikah di Bawah Tangan
1. QS. Ar-Rum/30: 21
ًةَّدوَمَ مْكَُنيَْب لََعجَوَ اهَيَْلِإ اوُنكُسَْتلِ اجًاوَزَْأ مْكُسُِفنَْأ نْمِ مْكَُل قََلخَ نَْأ هِِتاَيَآ نْمِوَ
نَورَُّكَفَتَي مٍوَْقلِ تٍاَيَلَ كَلَِذ يِف َّنِإ ًةمَحْرَوَ
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendi-
ri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram ke-
padanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”.
2. HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan al-Tirmizi
13 ِفُّّدلاِب هِيَْلعَ اوُبرِضْاوَ, حاكَِّنلا اوُنلِعَْأ
“Umumkanlah pernikahan, lakukanlah pernikahan dan
pukullah duff (sejenis alat musik pukul)”.
3. kaidah fiqh yang digunakan adalah kaidah
Sadd al-zariah dan حلاصملا بلج ىلع مدقم دسافملاءرد
(mencegah kemafsadatan lebih didahulukan
(diutamakan) daripada menarik kemaslahatan).
4. Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan.
Dalam UU ini disebutkan bahwa (1) perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu. (2) tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
perturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 4 KHI
menyatakan bahwa perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut Hukum islam sesuai
dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan.
F. Penyebab terjadinya Pernikahan di Bawah Tangan
dan Nikah Siri
Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya
perkawinan di bawah tangan adalah sebagai berikut:
1. Karena melakukan poligami, sulit mendapat izin dari
istri sebelumnya.
2. Calon istri sudah hamil duluan sebelum menikah.
3. Perselingkuhan.
4. Menjaga diri dari perbuatan dosa (zina).
5. Tidak mendapat restu dari orang tua.
6. Kedua mempelai sudah sama-sama berusia senja.
7. Tidak cukup syarat dan malas mengurus persyaratan
yang sesuai prosedur.
G. Dampak hukum nikah di bawah tangan dan nikah
siri.
Akibat hukum dari perkawinan dan perceraain
di bawah tangan, meski secara agama atau kepercayaan
dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar
pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak
memiliki kekuatan hukum yang tetap dan dianggap tidak sah
di mata hukum Negara. Akibat hukum perkawinan tersebut
berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan
umumnya, baik secara hukum maupun sosial, serta bagi
anak yang dilahirkan.
1. Terhadap Istri
Secara Hukum:
a. Tidak dianggap sebagai istri sah
b. Tidak berhak atas nafkah dan warisan dari
suami jika ia meninggal dunia
c. Tidak berhak atas gono gini jika terjadi
perpisahan karena secara hukum perkawinan
dianggap tidak pernah terjadi
305
Secara Sosial:
Akan sulit bersosialisasi karena perempuan
yang melakukan perkawinan bawah tangan dan nikah
sirri sering dianggap telah tinggal serumah dengan
laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo)
atau Anda dianggap menjadi istri simpanan.
2. Terhadap Anak
a. Status anak yang dilahirkan pada perkawinan
bawah tangan dan nikah siri dianggap anak luar
kawin. Konsekwensinya, anak hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan
hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43
UU Perkawinan, pasal 100 KHI). Didalam akte
kelahirannya pun statusnya dianggap sebagai
anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan
nama ibu yang melahirkannya. Keterangan
berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak
tercantumnya nama si ayah akan berdampak
sangat mendalam secara sosial dan psikologis
bagi si anak dan ibunya.
b. Ketidakjelasan status si anak di muka hukum
mengakibatkan hubungan antara ayah dan
anak tidak kuat sehingga bisa saja suatu waktu
ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut
adalah anak kandungnya.
c. Yang jelas merugikan adalah anak tidak berhak
atas biaya kehidupan dan pendidikan , nafkah
dan warisan dari ayahnya.
3. Terhadap laki-laki atau Suami:
a. Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan
atau merugikan bagi diri laki-laki atau suami
yang menikah bawah tangan dan nikah siri
dengan seorang perempuan. Yang terjadi
justru menguntungkan dia, karena:
1) Suami bebas untuk menikah lagi, karena
perkawinan sebelumnya yang di bawah
tangan atau nikah siri dianggap tidak sah di
mata hukum.
2) Suami bisa berkelit dan menghindar dari
kewajibannya memberikan nafkah baik
kepada istri maupun kepada anak-anaknya.
3) Tidak dipusingkan dengan pembagian harta
gono-gini, warisan dan lain-lain.
Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat jelas betapa
pernikahan di bawah tangan dan nikah sirri sangat merugikan
bagi kaum perempuan dan anaknya kelak yang dilahirkannya
dalam pernikahan tersebut. Oleh karena itu, bagi yang
sudah terlanjur menempuh jalan dengan pernikahan di
bawah tangan maupun nikah sirri, hendaknya melaporkan
ke Pengadilan Agama dan mengukuhkan perkawinannya
melalui isbat nikah. Begitupun halnya dengan Pembuktian
asal usul anak yang dilahirkan dalam nikah sirri dan nikah
di bawah tangan dilakukan di Pengadilan Agama dengan
mengajukan bukti-bukti yang dapat memperkuat hak dan
kewajiban para pihaknya. Hal tersebut biasanya dilakukan
bersamaan dengan diajukannya permohonan Itsbat nikah
oleh orang tua anak tersebut karena keabsahan seorang
anak dapat dibuktikan melalui akta kelahiran.
PERKAWINAN WANITA
HAMIL DAN NIKAH
LEWAT TELPON
Kawin hamil ialah kawin dengan seseorang
wanita yang hamil di luar nikah, baik dikawini oleh laki-
laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki yang
bukan menghamilinya.1Kawin hamil yang dimaksud
disini sudah bisa dipahami sebagai sebuah akad
pernikahan yang dilakukan seseorang perempuan
yang hamil di luar nikah, baik dengan laki-laki yang
menghamilinya maupun dengan laki-lai lain. Dengan
demikian kawin hamil berarti pernikahan yang calon
mempelai wanitanya dalam keadaan hamil sebelum
terjadi ijab qobul.
B. Pandangan Hukum Islam tentang Kawin Hamil
Menikah dengan wanita hamil terdapat dua
kemungkinannya: Pertama, wanita tersebut adalah
pasangan zina pria yang hendak menikahi dirinya. Kedua,
wanita tersebut bukan pasangannya, atau hamil karena
berhubungan dengan orang lain. Laki-laki yang akan
menikahi wanita hamil tersebut dalam ungkapan budaya
bugis disebut “passampo siri’”.
1. Hukum pernikahan wanita hamil di luar nikah dengan
pasangan zina pria yang menghamilinya, para ulama
berbeda pendapat, sebagai berikut2 :
1
a. Ulama mazhab yang empat (Hanafi, Maliki,
Syafi’I, dan Hambali) berpendapat bahwa
perkawinan keduanya sah dan boleh
bercampur sebagai suami isteri, dengan
ketentuan, bila si pria itu yang menghamilinya
dan kemudian baru ia mengawininya.
b. Ibn Hazm (Zhahiri) berpendapat, bahwa
keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh
pula bercampur, dengan ketentuan, bila
telah bertaubat dan menjalani hukuman dera
(cambuk), karena keduanya telah berzina.
Pendapat ini berdasarkan hukum yang telah
pernah diterapkan oleh sahabat Nabi, antara
lain :
1) Ketika Jabir Ibn Abdillah ditanya tentang
kebolehan mengawini orang yang telah
berzina, maka beliau berkata, “boleh
mengawinkannya, asal keduanya telah
bertaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya.
2) Seorang laki-laki tua menyatakan
keberadaannya kepada Khalifah Abu
Bakar, dan berkata “ Ya Amirul mukminin,
putriku telah dicampuri oleh tamuku,
dan aku inginkan keduanya dikawinkan”.
Ketika itu khalifah memerintahkan kepada
sahabat lain, untuk melakukan hukuman
dera kepada keduanya, kemudian
dikawinkannya.
Islam,
2. Pria yang kawin dengan wanita yang dihamili
oleh orang lain, Laki-laki yang akan menikahi
wanita hamil tersebut dalam ungkapan budaya
bugis disebut “passampo siri’”. Terjadi perbedaan
pendapat para ulama :
a. Haram dinikahi, ini merupakan mashab Maliki,
Abu Yusuf, dan Zafar dari mashab Maliki.
Yang menjadi dalil dari pendapat ini adalah :
1) Laki yang berzina tidak mengawini
melainkan kepada perempuan yang
berzina atau perempuan musyrik.
Berdasarkan firman Allah (Q.S. An-Nur:
3).
وَْأ نٍازَ َّلِإ اهَحُكِنَْي ل ُةَيِنا َّزلاوَ ًةكَرِشْمُ وَْأ ًةَيِنازَ َّلِإ حُكِنَْي ل يِنا َّزلا
نَيِنمِؤْمُلْا ىَلعَ كَلَِذ مَ ّرِحُوَ كٌرِشْمُ
“Pezina laki-laki tidak boleh menikah
kecuali dengan pezina perempuan, atau
dengan perempuan musyrik; dan pezina
perempuan tidak boleh menikah kecuali
dengan pezina laki-laki atau dengan
laki-laki musyrik; dan yang demikian itu
diharamkan bagi orang-orang Mukmin.”
Berdasarkan ayat di atas dijelaskan bahwa
tidak pantas seorang pria yang beriman
kawin dengan seorang wanita yang berzina,
demikian pula sebaliknya, wanita yang
beriman, tidak pantas kawin denga pria yang
berzina
2) Riwayat Said bin al-Musayyib yang
menyatakan bahwa
ىلا كلذ عجرف٬ ىلبحاه دج و اهب اصا املف ة أرما جوزت لجر نا
و قادصلا اهل لعج و امهنيب قرفف٬ ملس و هيلع اللها ىلص يبنلا
ةئ ام اه دلج
“Sesungguhnya seorang laki-laki mengawini
seorang wanita, ketika ia mencampurinya ia
mendapatkannya dalam keadaan hamil, lalu
dia laporkan kepada nabi SAW. Kemudian
Nabi menceraikan keduanya dan wanita
itu diberi maskawin, kemudian wanita itu
didera (dicambuk) sebanyak 100 kali”.
3) Hadis Nabi Muhammad Saw, yang
menyatakan: “Wanita hamil tidak
boleh disetubuhi hingga dia melahirkan
(bayinya)”
4) Sabda Nabi Muhammad Saw, yang
menyatakan: “Tidaklah halal bagi seorang
yang beriman kepada Allah dan hari
akhir untuk menumpahkan air maninya
kedalam ladang bercocok tanam orang
lain” (HR. Abu dawud).
b. Boleh dinikahi tanpa syarat, Ini pendapat
Abu Hanifah dan Muhammad dari mashab
Hanafi dan mashab Syafii. Yang menjadi dalil
Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc.,M.Ag.
316
kelompok ini adalah :
1) Firman Allah Swt, “Telah dihalalkan bagi
kalian yang demikian (yaitu) mencari
istri-istri dengan harta kalian untuk
dikawini bukan untuk berzina” (QS. An-
Nisa ayat 24).
2) Hadis penuturan Aisyah ra, “Perkara
haram tidak mengahramkan yang halal”
3) Ijmak sahabat, telah diriwayatkan dari
Abu bakar, Umar ibn khattab, ibn umar,
ibn Abbas, dan Jabir ra, bahwa Abu
bakar berkata: “Jika seorang pria berzina
dengan wanita, maka tidak haram
baginya untuk menikahinya.”
c. Boleh dinikahi dengan syarat :
1) Bertaubat dengan taubatan Nasuha. Ini
merupakan pendapat mashab Hambali.
2) Kehamilannya telah berakhir atau habis
masa iddahnya.
Yang menjadi dalil dari pendapat ini:
a) Pada firman Allah SWT (QS. An-
Nur ayat 3). Alasannya, keharaman
menikahi wanita pezina di dalam ayat
tersebut berlaku bagi yang belum
bertaubat, namun setelah bertaubat
larangan tersebut hilang. Dikarenakan
ada hadis Nabi Muhammad saw yang
menyatakan, ”Orang yang bertaubat
dari dosa statusnya sama dengan orang
yang tidak memiliki dosa”
b) Hadis Abu Sa’id Radhiyallahu Anhu
sesungguhnya Nabi bersabda tentang
tawanan perang Authos. “Jangan
dipergauli perempuan hamil sampai ia
melahirkan dan jangan pula yang tidak
hamil sampai ia telah haid satu kali
“(HR Abu Dawud no 2157)
c) Hadis Ruwaifi bin Tsabit Radhiyallahu
Anhu dari nabi, beliau bersabda, “Siapa
yang beriman kepada Allah dan hari
akhir maka janganlah ia menyiramkan
airnya ke tanaman orang lain” (HR Abu
Dawu No 2158, At Tarmidzi no 1131).
C. Kawin Hamil menurut UU NO. 1/1974 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab VIII pasal
53 ayat (1), (2), dan (3) dicaantumkan bahwa :
1. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
D
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang tersebut
pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat
wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang
setelah anak yang dikandungnya lahir.
Dasar pertimbangan KHI terhadap perkawinan wanita
hamil adalah QS. An-Nur ayat 3. maksud ayat tersebut ialah
tidak pantas seorang yang beriman kawin dengan yang
berzina, demikian pula sebaliknya. Persoalan menikahkan
wanita hamil apabila dilihat dari KHI, penyelesaiannya
jelas dan sederhana dengan satu pasal dan tiga ayat. Yang
menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya.
Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan
untuk memberikan perlindungan kepastian hukum kepada
anak yang ada dalam kandungan dan logikanya untuk
mengakhiri status anak zina.
D. Status Anak dari Pernikahan Wanita Hamil dari
Segi Perspektif Fiqhi.
Secara garis besar anak zina dibagi menjadi 4 kategori:
1. Anak yang lahir tanpa adanya perkawinan. Ada 2
pendapat :
a. Pendapat pertama mengatakan bahwa anak
tersebut dinasabkan pada ibunya walaupun
seandainya ayah biologisnya mengkalim bahwa
ia adalah anak biologisnya”. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama antar madzhab, yaitu madzhab
maliki, syafii, hanbali dan sebagian mashab
hanafi. Pendapat ini berdasarkan pada hadis sahih
dari Amir bin Syuaib : “Nabi memberi keputusan
bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak
yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan
wanita merdeka tidak dinasabkan ke bapak
biologisnya dan tidak mewarisinya walaupun
ayah biologisnya mengklaim dia anak biologisnya.
Ia tetaplah anak zina baik dari perempuan budak
ataupun perempuan merdeka.”
b. Pendapat kedua adalah “bahwa anak zina
tersebut dinasabkan pada ayah biologisnya
walaupun tidak terjadi pernikahan dengan ibu
biologisnya.”
2. Anak dari kawin hamil yang ibunya menikah dengan
ayah biologisnya. Ada 3 pendapat:
a. Menurut Imam Abu Hanifah menegaskan
bahwa status anak zina dinasabkan pada bapak
biologisnya apabila kedua pezina itu menikah
sebelum anak lahir.
b. Menurut mashab Syafii, status anak zina
dinasabkan kepada bapaknya apabila anak lahir
diatas 6bulan setelah akad nikah. Dan tidak
dinasabkan ke ayah biologisnya jika anak lahir
kurang dari 6 bulan pasca pernikahan, kecuali
apabila si suami melakukan ikrar pengakuan
anak.
c. Pendapat dari madzhab Hanbali dan mazhab
Maliki :haram hukumnya menikahi wanita hamil
zina kecuali setelah melahirkan dan karena itu,
kalau terjadi pernikahan dengan wanita hamil
zina, maka nikahnya tidak sah. Dan status
anaknya tetap anak zina dan nasabnya hanya
kepada ibunya.
3. Status anak dari kawin hamil zina yang ibunya
menikah dengan lelaki lain yang bukan ayah
biologisnya.
Hukum pernikahannya sah menurut
madszah hanafi, As-Tsauri dan pendapat yang
shahih dalam madzhab syafii. Sedangkan status
anaknya adalah status anak dinasabkan pada
ibunya secara mutlak, bukan pada bapaknya.
Begitu juga anak hanya mendapat hak waris dari
ibunya.Dan apabila anak tersebut menikah, apabila
anak itu perempuan maka wali nikahnya adalah
wali hakim.
4. Status anak zina hasil hubungan perempuan
bersuami dengan lelaki lain.
Status anak saat lahir adalah anak
dari suaminya yang sah. Bukan anak dari
pria selingkuhannya.Bahkan walaupun pria
selingkuhannya mengakui anak tersebut anak
biologisnya. Kecuali, suami sah melakukan sumpah
lian.
321
E. Status Anak yang Lahir Akibat Pernikahan Wanita
Hamil (Hukum Perdata dan Hukum Islam).
1. Berdasarkan Pasal 42 UU Perkawinan
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena
itu, selama anak tersebut dilahirkan setelah kedua
orangtuanya menikah secara sah maka anak tersebut
adalah anak yang sah dari perkawinan tersebut.
2. Akan tetapi UU Perkawinan memberikan hak kepada
suami untuk menyangkal anak yang dilahirkan oleh
istrinya dalam perkawinan yang sah. Hal tersebut
terdapat dalam pasal 44 UU Perkawinan yaitu si suami
dapat menyangkal sahnya anak yang dihasilkan oleh
istrinya, bila si suami dapat membuktikan bahwa
istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada
perzinaan tersebut.
3. Sementara itu dalam Hukum Islam ada yang
dinamakan dengan kawin hamil yang dijelaskan dalam
pasal 53 KHI
yaitu “seorang wanita hamil diluar nikah
dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu
kelahiran anaknya.Dengan dilangsungkannya
perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandung lahir”. Jika wanita tersebut telah menikah
dengan pria yang menghamilinya sebelum anaknya
dilahirkan maka berdasarkan pasal 99 KHI, anak
tersebut adalah anak yang sah. Ini karena anak
yang sah adalah :
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah.
b. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar
rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
4. Hukum islam juga memberikan hak kepada suami
untuk menyangkal anak yang dilahirkan oleh istri.
Seperti dalam pasal 101 dan 102 KHI :
a. Pasal 101 KHI : “seorang suami yang
mengingkari sahnya anak sedang istrinnya
tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan
pengingkarannya dengan lian”
b. Pasal 102 KHI :
1) Suami yang akan mengingkari seorang
anak yang lahir dari istrinya, mengajukan
gugatan kepada pengadilan Agama dalam
jangka waktu 180 hari setelah lahirnya
atau 360 hari setelah putusnya perkawinan
atau setelah suami itu mengetahui bahwa
istrinya melahirkan dan berada di tempat
yang memungkinkan dia mengajukan
perkaranya kepada pengadilan agama.
2) Pengingkaran yang diajukan sesudah
lampau waktu itu tidak dapat diterima. Jadi,
baik dalam hukum perdata ataupun hukum
islam, selama anak tersebut dilahirkan
dalam perkawinan sah kedua orang tuanya,
anak tersebut adalah anakyang sah dari
keduanya.
.jpeg)





