tafsir Jizyah Q.S Al-Taubah



 Dalam sejarah Islam pada tahun 9 Hijriyah 

Rasulullah saw pernah mendapatkan wahyu 

Q.S al-Taubah ayat 29 yang berbunyi: 

قاتلوا الذين ال يؤمنون ابهلل وال ابليوم اآلخر وال 

حير مون ما حرم هللا ورسوله وال يدينون دين احلق من الذين 

أوتوا الكتاب حىت يعطوا اجلزية عن يد وهم صاغرون.

Perangilah orang orang yang tidak beriman 

kepada Allah dan hari kemudian, mereka 

yang tidak mengharamkan apa yang telah 

diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan 

mereka yang tidak beragama dengan 

agama yang benar, yang telah diberikan 

Kitab, hingga mereka membayar jizyah 

dengan patuh sedang mereka dalam 

keadaan tunduk.

Menurut riwayat yang dikutip oleh al￾T{abari, ayat ini  diturunkan ketika 

Rasulullah Saw hendak pergi ke Tabuk untuk 

melakukan perang dengan pasukan Romawi.2

Namun pasukan Rasulullah batal berperang 

karena pasukan lawan tidak tiba di Tabuk. 

Akan tetapi, sebagai gantinya Rasulullah 

didatangi beberapa pimpinan wilayah sekitar 

Tabuk yang sebelumnya tunduk pada Romawi 

yakni dari wilayah Ailah, Jarba’ dan Adruj 

untuk melakukan perjanjian damai dan 

bersedia membayar jizyah.

3

Pembayaran jizyah 

pada waktu itu merupakan bukti bahwa 

wilayah-wilayah ini  berada di bawah 

kekuasaan Islam. Peristiwa ini dicatat dalam 

literatur-literatur sirah nabawiyah sebagai pembayaran pertama yang diterima oleh 

Rasulullah dari kelompok non-muslim. 

Sebagai pimpinan politik, Rasulullah di 

akhir hayatnya telah mulai melebarkan 

pengaruh Islam ke luar Jazirah Arab. Menurut 

Karen Armstrong kehidupan dan pencapaian 

Muhammad saw selamanya menjadi teladan 

bagi umat Islam dari berbagai segi kehidupan 

termasuk faktor spiritual, moral dan politik.4

Terlepas dari riwayat dan cerita sejarah 

ini , ayat di atas merupakan satu satunya 

ayat dalam Al-Qur’an yang ‚secara tekstual‛ 

imemberi   wewenang bagi Rasulullah untuk 

memerangi dan menarik harta tebusan

semacam pajak kepada non-muslim dengan 

bentuk jizyah. Pada saat itu, konsep kekuasaan 

politik yang ada masih berintegrasi dengan 

agama,

5

sehingga kepentingan agama dan 

kepentingan politik menjadi bias dan sulit

dibedakan. 

Pertanyaan yang muncul dari uraian di atas 

yaitu   apa pentingnya satu ayat ini  dalam 

penafsiran Al-Qur’an? Lalu bagaimana ayat 

ini  selama ini dipahami dan apa 

relevansinya untuk konteks saat ini? Kedua 

pertanyaa ini dihadirkan sebagai stimulant 

problem yang akan dijawab dalam artikel ini. 

Menurut peneliti yang sejatinya diamini 

oleh para penafsir Al-Qur’an baik yang klasik 

maupun kontemporer, setiap ayat di dalam Al￾Qur’an yaitu   penting. Sebagaimana dikatakan 

oleh Quraish Shihab, bahwa dari hasil 

pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an

bermunculan aneka disiplin ilmu yang sebelumnya belum terungkap.6 Tak terkecuali 

dengan Q.S al-Taubah ayat 29 yang kemudian 

menjadi salah satu rujukan dalil dalam ilmu 

keuangan dan kebijakan Islam dan dalam 

disiplin ilmu fikih, ekonomi Islam dan politik 

Islam yang kesemuanya menjadikan ayat 

ini  sebagai argumentasi teologis untuk 

melegalkan konsep jizyah.

Dalam berbagai literatur kitab tafsir yang 

telah peneliti baca, peneliti belum menemukan 

penafsiran yang mengungkapkan secara 

komperhensif relevansi ayat ini  atas 

situasi politik dengan model nation state

seperti sekarang. Para mufassir Al-Qur’an baik

yang klasik seperti Al-Tabari dan al-Jashshash 

maupun yang kontemporer seperti al-Maraghi 

dan ‘Ali al-Sabuni mengulas ayat ini  dari 

sisi linguistik, historis dan hukum Islam dalam 

bingkai suasana politik masa lalu. 

Untuk itu dalam artikel ini, Peneliti hendak 

memahami relevansi Q.S At-Taubah ayat 29 

dengan konteks saat ini menggunakan metode 

interpretasi kontekstual yang digagas oleh 

Abdullah Saeed. Abdullah Saeed yaitu   

professor studi Islam di Universitas Melbourne 

Australia. Konsentrasi kajiannya dalam bidang 

Studi Islam mengenai hermeneutika Al-Qur’an

dan hukum Islam. Terkait dengan dua 

konsentrasi kajian ini , Saeed menggagas 

metode penafsiran Al-Qur’an untuk memahami 

ayat-ayat hukum yang diistilahkan olehnya 

sebagai ethico-legal content. Ia menyebutkan 

metodenya dengan istilah pendekatan 

kontekstualis yang bertujuan untuk memahami 

konteks sosio-historis Al-Qur’an dengan lebih 

fleksibel dan untuk menjawab problematika 

masyarakat modern sekarangDengan langkah-langkah metode 

kontekstual Abdullah Saeed yang lebih lanjut 

akan dipaparkan pada bagian berikutnya, akan 

ditemukan penafsiran baru terhadap Q.S Al￾Taubah ayat 29 yang lebih reflektif dan 

responsif bagi perkembangan zaman dewasa 

ini.

Beberapa alasan akademik yang perlu 

diungkapkan di bagian ini terkait dengan 

pengangkatan judul baik yang berhubungan 

dengan objek material maupun formal: 

Pertama berkaitan dengan objek material 

alasannya yaitu  : a) penafsiran terhadap ayat 

jizyah belum menyentuh ranah tafsir 

kontekstual, b) konsep jizyah yang selama ini 

ada dalam islam masih diskriminatif dan belum 

dikonsepsi ulang sesuai dengan kebutuhan 

zaman terutama bagi Indonesia. Kedua yang 

berkaitan dengan objek formal, metode 

kontekstual Abdullah Saeed dipilih dengan 

alasan sebagai berikut: a) secara tegas Saeed 

menyebutkan ethico-legal content sebagai 

objek material dari metode interpretasi 

kontekstualnya, b) jizyah merupakan salah satu 

konsep yang termasuk ayat ethico-legal dan c) 

model interpretasinya merupakan 

penyempurnaan dari beberapa model

sebelumnya.

Diskursus Jizyah dalam Yurisprudensi Islam 

Secara kebahasaan kata jizyah merupakan 

bentuk nomina yang diturunkan dari bentuk 

verba dengan fleksi jaza> yajzi> jaza>’an jizyatan

yang arti dasarnya yaitu   balasan atau timbal 

balik, dalam bentuk kebaikan ataupun 

keburukan (kafa>’an bi al-ih}sa>n aw bi al￾isa>’ah).8 Dalam idiom bahasa arab jika 

dikatakan fula>n dzu> ghina>’in wa jaza>’in, maka 

yang dimaksud yaitu   seseorang yang memiliki kekayaan dan dapat membalas budi.9

Kata jaza> menurut pengertian ini bukan 

semata diartikan sebagai bentuk materi, tetapi 

dapat pula berbentuk non materi. 

Abdul Hamid ‘Umar dalam kitabnya 

Mu’jam al-Lugah al-‘Arabiyah al-Mu’a>s}irah

menjelaskan bahwa kata jaza> beserta 

derivasinya memiliki tiga pengertian: pertama 

berarti cukup (kafa>) seperti contoh kalimat 

jaza>hu ‘ala> ikhla>s}ihi (cukup baginya dengan 

keikhlasannya). Kedua, berarti balasan siksa 

(‘a>qaba) dalam contoh Al-Qur’an wa ‘az{z{aba 

al-laz{i> na kafaru> wa z}a>lika jaza>‘u al-ka>firi>n 

(dan Allah menyiksa orang-orang kafir dan 

seperti itulah balasan siksa orang-orang kafir). 

Ketiga, memiliki arti melunasi hutang (jaza> al￾dain) seperti halnya dalam percakapan 

dikatakan fa hal tujzi’u ‘anni>? (apakah kamu 

telah melunasi hutang dariku?).10 Kemudian 

menurut Al-Harawi dalam kitabnya Tah}dz{i>b 

al-Lughah, kata jizyah dalam bentuk nomina 

secara umum memiliki konotasi sebagai pajak 

yang dibebankan kepada non muslim (al￾kharra>j al-maj’u>l ‘alaih ala al-dzimmy). 11

Dikatakan pula bahwa jaza> merupakan sinonim 

dari qad}a’> yang artinya bayaran.12

Dari beberapa definisi etimologi di atas, 

peneliti dapat menarik benang merah bahwa 

derivasi kata jizyah memiliki makna yang 

berbeda-beda sesuai dengan fleksi dan siya>q al￾kala>m-nya. Apabila kata jizyah menggunakan 

formulasi baku yakni jaza yajzi jaza’an dengan 

muta’allaq haraf jar, maka maknanya dapat berbeda-beda seperti ketika muta’allaq dengan 

‘ala memiliki makna cukup, sedangkan ketika 

muta’allaqnya dengan ‘an berarti melunasi 

hutang. Sedangkan jika mengikuti formulasi 

(s}i>gat) fi’latan sebagaimana kata jizyah maka 

konotasi maknanya yaitu   bayaran kepada 

penguasa.

Berbeda dengan beberapa pendapat di atas,

Syibli Nu’mani yang dibenarkan oleh 

Muhammad Rasyid Ridha yang dikutip oleh 

Mun’im Sirri dalam bukunya Kontroversi 

Islam Awal yang menyatakan bahwa kata 

jizyah sebagai sebuah istilah pada awalnya 

tidak dikenal dan tidak digunakan dalam 

bahasa Arab. Melainkan diambil dari bahasa 

Persia. Hal ini dikarenakan praktek jizyah

sudah dikenal dan dilakukan oleh kerajaan 

Persia-Zoroaster sebelum Islam.

13

Beralih ke pengertian terminologi, dalam 

definisi istilah ini peneliti mengambil pendapat 

fuqaha’ baik dari Sunni maupun Syi’i. Hal ini 

penting dikarenakan ayat jizyah Q.S al-Taubah 

[9]: 29 telah melandasi konsep jizyah secara 

lebih luas dan lebih sistematis dalam ilmu 

yuridis Islam. Perlu dikatakan bahwa dalam 

sumber kitab-kitab fikih, pembahasan tentang 

jizyah tidak diawali dengan penjelasan secara 

definitif. Para penyusun kitab, secara tidak 

langsung telah mafhum di antara mereka 

tentang pengertian jizyah. Sehingga 

menganggap tidak perlu untuk 

mendefinisikannya dalam kitab-kitab karangan 

mereka. 

 Menurut ‘Ali bin al-Husain, ulama 

mazhab hanafi abad ke 5 hijriyah, dalam 

kitabnya menjelaskan bahwa jizyah yaitu   

salah satu kewajiban harta di antara sembilan macam harta yang wajib dikeluarkan.14 Dalam 

kitab Tuh}fat al-Fuqaha>, salah satu kitab 

mazhab hanafi, dijelaskan bahwa al-jizyah

yaitu   suatu kewajiban yang dipungut apabila 

telah tercapai kesepakatan perlindungan (‘aqd 

al-z|immah) dengan non-muslim.15 Kitab-kitab 

mazhab hanafi secara umum menjelaskan 

permasalahan jizyah, baik terperinci dalam bab 

sendiri maupun dipaparkan dalam bab yang 

terkait.16

Malik bin Anas, Imam Mazhab Maliki 

dalam kitabnya al-Mudawwanah menerangkan 

jizyah pada pembahasan khusus bab yang 

menerangkan ketentuan jizyah (ba>b ma> ja>’a fi 

al-jizyah). Dalam bab ini  Imam Malik 

mengutip Q.S Al-Taubah [9]: 29. Beliau 

menerangkan tentang orang-orang yang 

diwajibkan membayar jizyah yaitu ahli kitab, 

secara spesifik. Kemudian dengan mengutiphadis

secara umum.17 Pendapat ini kemudian diikuti 

oleh para mujtahid mazhab di kalangan 

mazhab Maliki.18

Dalam karyanya al-Umm, Imam Syafi’i 

berpendapat bahwa jizyah hanya dibebankan 

kepada non Muslim laki-laki merdeka yang 

berakal sehat, telah balig dan mampu untuk 

berperang. Pembahasan tentang jizyah dalam 

kitab al-Umm dimasukkan ke dalam bagian 

jihad dan jizyah (Kita>b al-Jiha>d wa al-Jizyah). 

Kemudian diperjelas dengan sub bab tentang 

orang-orang yang wajib bayar jizyah (man 

turfa’ al-jizyah) dan besaran yang harus 

dibayar (kam al-jizyah).19 Konsep-konsep yang 

dirumuskan oleh Imam Syafi’i kemudian 

dikembangkan oleh murid dan para pengikut 

mazhabnya.Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan 

sedikitnya dua puluah dua riwayat hadis 

tentang jizyah yang berbicara tentang 

pungutan jizyah bagi orang Majusi dan 

turunnya nabi Isa pada hari akhir untuk 

menghapuskan jizyah.21 Al-Kharaqi, seorang 

ulama abad ke-4 H yang bermazhab Hanbali 

dalam kitabnya menjelaskan bahwa jizyah 

tidak diterima kecuali dari Yahudi, Nasrani 

dan Majusi yang berada dalam perjanjian.22

Senada dengan pendapat al-Kharaqi, Mahfuz 

Abu al-Khattab al-Kaluzani dalam kitab al￾Hida>yah ‘ala> Maz{hab al-Ima>m Ahmad

menerangkan tidak bolehnya memungut jizyah

terkecuali bagi Ahli Kitab.23 Pembahasan 

tentang ini juga diikuti oleh ulama Maz|hab 

Hanbali yang lain dalam kitab-kitab mereka.24

 

Fiqih Syi’ah pun tak luput membahas 

tentang jizyah. Dalam kitabnya yang berjudul 

al-Ta>j al-Maz|hab li Ahka>m al-Maz|hab Ahmad 

bin Yahya bin al-Murtada, dari Syi’ah 

Zaidiyah menjelaskan bahwa ada empat jenis harta yang diambil dari ahli zimmah yaitu: 

jizyah (jaminan jiwa), nis}f ‘usyr (jaminan 

dagang), al-s}ulh}u (jaminan perdamaian) dan 

‘amman (jaminan perjalanan).25 Adapun 

pembayaran jizyah, menurut syi’ah sama 

dengan pendapat fiqih sunni yaitu dibagi 

menjadi tiga kelas: kelas atas (al-gani) yang 

hartanya mencapai seribu dinar; kelas 

menengah (al-mutawas}s}it}) yang mempunyai 

harta lima ratus dinar dan kelas bawah (al￾faqi>r) dibawah lima ratus dinar.26

Dari keterangan-keterangan di atas, dapat 

diketahui bahwa jizyah menurut istilah dalam 

ilmu fikih yaitu   harta yang dibayarkan oleh 

ahli z|immah yang tinggal di wilayah Islam 

sebagai jaminan keamanan atau pendeknya, 

jizyah yaitu   pajak jiwa. Namun jika dilihat 

dari fungsinya, sebenarnya jizyah merupakan 

konsekuensi perlindungan bagi non-Muslim. 

Dengan dibayarkannya jizyah, maka warga 

non-Muslim tidak diwajibkan untuk perang. 

Karena pada waktu itu, perang menjadi fardu 

‘ain bagi umat Islam. Sanksi tegas berupa 

laknat dari Allah bagi orang-orang yang tidak 

mau berperang bagi umat Islam.27

Tafsir Kontekstual Abdullah Saeed 

Sedikitnya ada tiga konsep kunci sebagai basis 

metodologi penafsiran Abdullah Saeed: nilai-nilai 

hirarkis (hirarchy values) sebagai landasan 

ontologis, makna kontekstual (contextual meaning) 

sebagai basis hermeneutis, dan penafsiran 

kontekstual (contextual interpretation) sebagai 

langkah-langkah praktik penafsirannya. Menurut 

Abdulah Saeed Al-Qur’an yaitu   Kitab Suci dengan nilai etika dan moral sebagai landasannya 

sebagaimana konsep amal saleh yang diperkenalkan 

di dalamnya secara berulang. Gagasan ini sejalan 

dengan apa yang dikemukakan Muhammad Abduh 

yang mengatakan bahwa Al-Qur’an harus 

diposisikan sebagai petunjuk moral yang selalu 

beriringan dengan perkembangan rasionalitas umat 

manusia.28 Sebagaimana Abduh, Abdullah Saeed 

hendak menegaskan bahwa Al-Qur’an tidak 

mengekang manusia untuk menggunakan akalnya 

dalam memahami dan mempraktikan ajaran agama.

Sebelum membagi Al-Qur’an berdasarkan nilai￾nilai untuk mengetahui sejauh mana penafsiran 

kontekstual dapat diterapkan, Abdullah Saeed 

terlebih dulu membuat klasifikasi Al-Qur’an

berdasarkan konten yang terkandung di dalamnya. 

Menurut Saeed, Al-Qur’an bila dilihat dari 

kontennya dapat dibagi menjadi empat kategori: 

berbicara tentang hal-hal bersifat transenden 

(ghaib);29 berorientasi pada catatan sejarah;30

berkaitan dengan perumpamaan;31 dan yang 

berorientasi pada keyakinan, nilai, dan praktik 

dalam kehidupan sehari-hari (practice-oriented 

texts). Dari keempat kategori konten ini, kategori terakhirlah yang menjadi fokus dari nilai hirarkis 

untuk ditafsirkan dengan pendekatan kontekstual. 

Berkaitan dengan nilai-nilai hirarkis (hierarchy 

values), Abdullah Saeed menekankan bahwa yang 

dimaksud dengan nilai disini tidak terbatas pada 

yang benar atau salah, baik atau buruk dan 

semacamnya, akan tetapi segala sesuatu yang 

diikuti dan dipraktikan oleh Muslim atau 

sebaliknya (ditolak dan dihindari) atas dasar 

kepercayaan, ide-ide, dan praktik maupun ritual. 

Terdapat lima nilai hirarkis yang disusun Saeed 

untuk menentukan sejauh mana ayat-ayat etika 

hukum dapat ditafsirkan berdasarkan pendekatan 

kontekstual. Pertama, nilai-nilai wajib (obligatory 

values) yang artinya nilai yang harus dilaksanakan 

seorang Muslim meliputi enam rukun iman 

(fundamental beliefs), lima rukun Islam 

(fundamental devotional practices), dan halal￾haram (permissible and prohibition) yang telah 

jelas tertera dalam Al-Qur’an. Nilai wajib ini tidak 

bisa ditawar dan menjadi bagian dari ajaran dasar 

setiap Muslim yang membedakannya dengan umat 

lain. 32

Kedua, nilai-nilai fundamental (fundamental 

values) yakni nilai-nilai berkaitan dengan hak-hak 

dasar bagi manusia yang dikaitkan dengan lima 

kebutuhan dasar (d}aru>riyyat al-khams) dari 

maqa>s}id syari>’a. Kelima kebutuhan dasar ini  

yaitu   perlindungan atas agama (h}ifz} al-di>n), 

perlindungan atas jiwa (h}ifz} al-nafs), perlindungan 

atas harta (h}ifz} al-ma>l), perlindungan atas 

keturunan (h}ifz} al-nasl), dan perlindungan atas akal 

(h}ifz} al-‘aql). Abdullah Saeed mengatakan bahwa 

nilai-nilai fundamental ini dapat terus 

dikembangkan seiring dengan situasi dan kondisi 

manusia yang terus berubah. Saeed mencontohkan 

dengan perlindungan kebebasan beragama dan 

perlindungan atas kerugian (asuransi). Menurut 

Saeed penentuan dari nilai fundamental yang berkembang dapat dilakukan dengan metode 

induktif dan memperhatikan konteks baru.33

Ketiga, nilai-nilai proteksi (protectional values) 

yang berkaitan dengan dukungan hukum atas nilai 

fundamental. Jika nilai fundamental belum 

menyentuh aspek legal terkait perlindungan hak 

dasar, maka nilai proteksi inilah yang 

mengejawantahkan hukum yang perlu diterapkan. 

Saeed menjelaskan bahwa nilai fundamental 

menjadi basis nilai yang tidak berkaitan dengan 

pembuktian dalil ayat (textual proof), sedangkan 

nilai proteksi ini mendapatkan landasan hukumnya 

dalam Al-Qur’an. Misalnya perlindungan atas harta 

yang menjadi bagian dari nilai fundamental, 

diaplikasikan dengan larangan mencuri dan 

konsekuensi hukum yang beriringan dengan 

larangan ini .34

Keempat, nilai-nilai implementasi 

(implementational value) yaitu langkah-langkah 

spesifik yang diambil untuk mengimplementasikan 

nilai proteksi yang disesuaikan dengan 

perkembangan masyarakat. Dalam praktiknya, nilai 

inilah yang paling relevan dan menjadi objek utama 

pendekatan kontekstual. Sebagai gambarannya, 

Abdullah Saeed mengambil QS al-Ma>‘idah ayat 58 

tentang hukuman bagi pencuri:

ٔ ا

‚Adapun laki-laki maupun perempuan yang 

mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) 

balasan atas perbuatan yang mereka lakukan 

dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah 

Maha Perkasa, Maha Bijaksana.‛

Ketika Al-Qur’an memutuskan langkah seperti 

potong tangan sebagai hukuman, menurut Abdullah 

Saeed, perlu dipertimbangkan konteks kultural 

yang mengitari turunnya ayat ini . Saeed 

menekankan bahwa pada abad ke-7 M di Jazirah Arab maupun di belahan dunia lain hukuman badan 

dan aib komunal menjadi bagian tak terpisahkan 

yang diterima oleh masyarakat, dan dianggap 

sebagai hukuman paling efektif pada masanya. 

Namun demikian, menurut Saeed, bentuk hukuman 

ini (potong tangan) bukan menjadi tujuan Al￾Qur’an. Saeed menjelaskan bahwa pada setiap 

hukuman yang tertera dalam Al-Qur’an termasuk 

di dalamnya potong tangan bagi pencuri, hukum 

cambuk bagi orang yang berzina, dan hukuman 

qishas, selalu diiringi dengan ayat pengampunan 

yang mengatakan bahwa bila si pelanggar hukum 

ini  bertaubat, maka hukumannya dihapuskan. 

Menurut Saeed, hal ini mengindikasikan bahwa 

hukuman ini  tidak berlaku secara mutlak.35

Kelima, nilai-nilai instruksional (instructional 

values). Nilai ini merujuk pada ayat-ayat perintah, 

larangan, nasihat yang berkaitan dengan isu dan 

situasi tertentu. Ayat-ayat seperti perintah untuk 

menikah lebih dari satu istri dalam situasi tertentu 

(Q.S al-Nisa>‘: 2-3), anjuran bagi laki-laki untuk 

bertanggung jawab atas istri (Q.S al-Nisa>‘: 34-35), 

perintah untuuk tidak mengambil non-Muslim 

sebagai teman (QS al-Nisa>‘: 89-90), perintah untuk 

mengucapkan salam kepada orang lain (Q.S al￾Nisa>‘: 86), dan sebagainya, yaitu   termasuk dalam 

nilai ini. Untuk menngkontekstualisasikan ayat￾ayat dalam nilai ini, Saeed menerangkan tiga 

kriteria khusus yaitu frekuensi turunnya ayat 

(frequent), penekanan pentingnya suatu ayat dalam 

dakwah Nabi (salience) dan relevansinya dengan 

kultur masyarakat ketika wahyu diturunkan 

(relevance) serta beberapa kriteria umum untuk 

menentukan keuniversalitasan seperti: semakin 

sering sebuah nilai diulang dalam Al-Qur’an, 

semakin dapat diaplikasikan secara universal; 

semakin besar ruang lingkup sebuah nilai dan 

semakin umum relevansinya, maka ia semakin 

universal. Untuk memudahkan memahami kelima 


Abdullah Saeed mengatakan bahwa nilai-nilai 

hirarkis yang disusunnya ini dapat membantu 

upaya reinterpretasi terhadap Al-Qur’an. Nilai-nilai 

dalam koridor bebas konteks (context independent) 

merepresentasikan signifikansi nilai yang tetap, 

tidak dapat berubah, dan berlaku secara universal. 

Sedangkan nilai yang bergantung konteks (context 

dependent) dapat membantu seorang penafsir untuk 

mempertimbangkan sejauh mana nilai ini  

dapat berubah dengan melihat pada penekanan, dan 

pergeseran makna, bahkan dimungkinkan untuk 

menghilangkan sejumlah nilai dan praktik yang 

mungkin sudah tidak relevan. Dalam kasus 

perbudakan misalnya, meskipun beberapa ayat 

mengakui eksistensi perbudakan, tetapi perubahan 

konteks nilai dalam masyarakat meniscayakan 

institusi ini  dihapuskan. Begitu pun dengan 

institusi pernikahan, meskipun Al-Qur’an

memerinci secara detail mekanisme pernikahan dan 

perceraian, akan tetapi seiring perkembangan 

reformasi di bidang hukum keluarga, berbagai 

aturan di dunia Muslim saat ini memperkuat posisi 

perempuan agar relasi antar suami-istri menjadi 

setara.37

 

Beralih pada pembahasan tentang basis 

hermeneutik, Abdullah Saeed memiliki konsep 

tentang makna kontekstual untuk menentukan 

seperti apa makna yang harus dipahami seorang 

penafsir dalam kaitannya dengan kemungkinan 

pergeseran makna seperti telah disinggung di atas. 

Seorang penafsir kontekstualis, bagi Saeed, 

berupaya untuk memahami makna teks Al-Qur’an

seperti yang dipahami oleh para penerima wahyu 

pertama (first recipients) untuk kemudian dikaitkan 

dengan konteks yang lahir pada masa setelahnya 

(subsequent context) hingga konteks kontemporer 

pada saat ini. Menghubungkan makna ini 

merupakan konsekuensi historis dari perjalanan 

panjang pemaknaan sekaligus praktik umat Muslim 

dari generasi ke generasi. Menurut Saeed, seorang 

penafsir selain harus memperhatikan makro 

konteks 1 (penerima wahyu pertama) dan makro 

konteks 2 (penerima saat ini), juga melihat konteks 

penghubung (connector context). Dengan kata lain 

rentang catatan sejarah dari masa makro konteks 1 

ke makro konteks 2 patut diperhatikan.38

Lalu apa yang harus dipertimbangkan untuk 

dapat memahami pergeseran makna berdasarkan 

makro konteks? Saeed menjelaskan bahwa 

mengambil makna dari Al-Qur’an tidak cukup 

hanya dengan analisa linguistik saja. Menurutnya 

pemahaman dari aspek linguistik seperti ini dapat 

mereduksi makna yang terkandung di dalamnya. Ia 

menegaskan bahwa makna tidak berada di luar teks 

tidak pula berada dalam pemikiran pengarang atau 

pembaca teks, melainkan dalam relasi yang 

kompleks di antara semuanya. Untuk itu, bagi 

Saeed, ada empat elemen yang berkait kelindan 

untuk menentukan makna atas sebuah teks: 

pembicara (the speaker/God), pesan (the message), 

penerima (recipient), dan konteks (context) ketika 

pesan disampaikan kepada penerima.39 Sayangnya, 

Saeed tidak melakukan elaborasi lebih lanjut empat 

elemen yang ia sebutkan. 

Abdullah Saeed melihat aktivitas penafsir dalam 

upayanya memahami pesan dan penyingkapan 

makna juga mengemukakan tiga tahapan 

interpretasi: level pertama penggalian makna murni 

dengan analisa linguistik (linguistic meaning), level 

kedua ditambah dengan analisa sejarah (linguistik 

plus historical meaning), dan level ketiga ditambah 

lagi dengan penekanan baru dan konteks baru 

dalam kondisi kontemporer (contextual meaning).40

Pada level ketiga inilah yang dimaksudkan 

Abdullah Saeed sebagai makna kontekstual sebagai 

basis hermeneutis dalam menafsirkan Al-Qur’an. 

Abdullah Saeed menyusun sisematika praktis 

untuk mengimplementasikan langkah-langkah 

penafsiran dengan pendekatan kontekstual. 

Setidaknya ada empat langkah yang disusun Saeed 

sebagai rekomendasi bagi seorang penfsir 

kontekstual dalam melakukan penafsiran atas ayat 

atau topik tertentu dalam Al-Qur’an. Langkah 

pertama, mempersiapkan berbagai pertimbangan 

sebelum menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini bertujuan 

agar ia akrab dengan konteks yang lebih luas. 

Sedikitnya ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan 

menurut Saeed. Pertama, memahami subjektivitas 

dirinya (mufasir). Abdullah Saeed menekankan 

pentingnnya kesadaran seorang penafsir Al-Qur’an

atas keterpengaruhannya dari lingkungan dan latar 

belakang yang dimilikinya. Dari sini menurut 

Saeed seorang penafsir harus membuang jauh-jauh 

hasrat untuk mengklaim finalitas penafsirannya 

atas Al-Qur’an.

41 Apa yang dikemukakan Saeed ini 

sama seperti dua teori yang digagas Hans-Georg 

Gadamer: kesadaran keterpengaruhan sejarah 

(historical effected consciousness) dan pra￾pemahaman (pre-understanding). Kedua teori ini saling berkaitan satu sama lain, teori 

keterpengaruhan sejarah yaitu   ketika si penafsir 

sadar bahwa dirinya tidak bisa lepas dari situasi 

hermeneutik yang melingkupinya, sedangkan teori 

pra-pemahaman yaitu   ketika si penafsir dapat 

mendialogkan situasi hermeneutik dirinya dengan 

isi teks yang sedang ditafsirkan.42

Kedua, memahami dunia Al-Qur’an. yang 

penting digaris bawahi bagi Abdullah Saeed 

mengenai poin ini yaitu   bahwa meskipun Al￾Qur’an diyakini sebagai kalam ilahi, akan tetapi 

tujuan diturunkannnya untuk umat manusia dan 

memperbaiki akhlaknya, bukan untuk Tuhan 

sendiri. Oleh karena itu, dengan mengutip Rahman, 

Saeed menilai takwa menjadi faktor penting 

sebagai identitas dunia Al-Qur’an untuk umat 

manusia. Karena takwa ditumbuhkan di dalam Al￾Qur’an tidak hanya tentang hubungan antara 

manusia dengan Tuhan atau dengan sesama 

manusia, tetapi bahkan antara seseorang dengan 

dirinya sendiri. Takwa menjadi pusat ajaran Islam 

yang tertera dalam Al-Qur’an sebagaimana ajaran

kasih dalam agama Kristen.43 Ketiga, memahami 

bagaimana makna dikonstruksi. Pertimbangan ini 

mengulang unsur interaksi sebagaimana telah 

dijelaskan dalam makna kontekstual yaitu antara 

kehendak Tuhan, teks Al-Qur’an, para penerima 

wahyu, dan konteks makro ketika Al-Qur’an

diwahyukan. Kata kunci dari memahami konstruksi 

makna yaitu   bahwa makna teks dapat berevolusi 

seiring dengan perubahan periode dan konteks yang 

berbeda. Dari perbedaan ini makna teks yang sama 

bisa berubah akibat perubahan penekanan dalam 

pemaknaan.44

Langkah kedua, memulai penafsiran dengan 

kesadaran seorang mufasir untuk 

mempertimbangkan realibilitas historis teks Al￾Qur’an bahwa teks yang sedang dibacanya yaitu   sama dengan teks yang dibaca saat abad ke-7 M. 

Dengan ini berimplikasi pada kesadaran si penafsir 

bahwa teks ini  mengandung ragam cara baca 

(qira>at), berevolusi dari sisi penulisan (rasm), dan 

sebagainya. Pada langkah ini Saeed menekankan 

keharusan penafsir untuk menggunakan teks Al￾Qur’an berbahasa Arab sebagai syarat mutlak agar 

sesuai dengan pemahaman Nabi dan para penerima 

wahyu yang juga menggunakan bahasa Arab.45

 

Langkah ketiga, mengidentifikasi makna teks 

Al-Qur’an. Dalam praktik menentukan makna ini, 

sedikitnya Abdullah Saeed membuat sembilan hal 

yang perlu dipertimbangkan untuk melakukan 

proses identifikasi makna teks ini. Pertama 

merekonstruksi makro konteks 1 dengan cara 

merujuk kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan 

intelektual pada abad ke-7 M. Meskipun 

rekonstruksi ini tidak dapat akurat secara 

sempurna, karena keterbatasan, tetapi menurut 

Saeed setidaknya mufasir mengkaji dari berbagai 

sumber untuk melihat bagaimana watak dan 

karakter manusia abad ke-7 di Jazirah Arab. 

Sebagai contoh ketika menafsirkan ayat tentang 

poligami, si penafsir perlu memahami bahwa ayat 

ini diturunkan kepada masyarakat Arab yang 

ketimpangan sosial dan ketimpangan gender masih 

tinggi. Hal ini menyebabkan eksploitasi terhadap 

anak perempuan, yatim piatu, kaum perempuan, 

dan budak masih menjadi dunia bawah tanah di 

tengah kota komersial Mekah.46 Kedua menentukan 

konteks sastrawi ketika wahyu Al-Qur’an

diturunkan. Pertimbangan ini merujuk pada 

gagasan Amin al-Khuli beserta para muridnya 

seperti Nasr Hamid Abu Zayd tentang aspek 

susastra Al-Qur’an, yakni seorang mufasir perlu 

membayangkan bahwa Al-Qur’an diturunkan di 

tengah manusia dengan nilai sastra yang 

dimilikinya. Dalam bahasa lain, Al-Qur’an perlu 

diposisikan sebagai kitab sastra Arab (Kita>b al-

‘Arabiyya al-Akba>r) untuk memahaminya dalam konteks bahasa manusia.47 Ketiga menentukan unit 

tematik untuk memahami konteks topik Al-Qur’an

secara utuh. Pertimbangan ini mengingat bahwa 

sistematika penulisan Al-Qur’an tidak dilakukan 

secara tematik dan beragam tema terletak dalam 

satu surat. Sehingga penting bagi mufasir untuk 

mengumpulkan tema-tema terkait guna dapat 

memahami satu tema dari perspektif Al-Qur’an

secara utuh.48

Keempat mengidentifikasi waktu dan tempat 

secara spesifik dengan menggunakan perangkat 

ilmu asba>b nuzu>l. Seorang mufasir perlu 

mengetahui konteks spesifik kapan dan dimana 

ayat-ayat Al-Qur’an tertentu diwahyukan. Kelima 

menentukan jenis teks atau ayat yang sedang 

dibahas, apakah termasuk dalam kategori teks 

historis, etika-hukum, perumpamaan, atau 

mengenai hal gaib. Jenis konten yang berbeda dari 

ayat Al-Qur’an dapat dimaknai dan diekspresikan 

dengan berbeda pula. Memahami jenis konten ini 

dapat membantu penafsir untuk menentukan 

pendekatan apa yang perlu dikedepankan untuk 

memaknai teks Al-Qur’an. Keenam memperhatikan 

aspek linguistik teks dengan mengkaji pemahaman 

atas morfologi (s}arf), sintaksis (nah}w), semantik, 

dan stilistika teks. Dalam diksi-diksi tertentu, 

seorang mufasir dapat mengembangkan 

pemahaman tentang pergeseran dan perkembangan 

maknanya. 

Ketujuh mengeksplorasi teks Al-Qur’an yang 

sedang ditafsirkan atau diteliti dengan teks-teks 

lain yang masih berkaitan (parallel texts). 

Pertimbangan ketujuh ini merupakan kelanjutan 

dari poin ketiga yaitu mengumpulkan ayat pada 

tema dan topik tertentu. Setelah pengumpulan ayat 

mengenai satu topik tertentu, si penafsir menurut 

Saeed perlu juga mempertimbangkan topik lain 

yang masih berkaitan. Ia mencontohkan dalam 

kasus ayat-ayat tentang poligami misalnya, teks 

dalam tema anak yatim perlu diperhatikan karena

konteks kedua topik ini  saling berkaitan satu 

sama lain.49 Kedelapan mengeksplorasi hadis-hadis 

yang berkaitan dengan tema yang sedang diteliti 

dan kesembilan menganalisa para penerima wahyu 

melalui jalur periwayatan berdasarkan literatur 

biografi dan sejarah.50

 

Langkah keempat, mengaitkan penafsiran teks 

dengan konteks kontemporer. Pada langkah 

terakhir ini seorang penafsir diharapkan mampu 

membaca hasil penafsiran para mufasir terdahulu 

(konteks penghubung/connector context) untuk 

kemudian mempertimbangkannya dalam 

melakukan penafsiran di masa kini sebagai makro 

konteks 2. Untuk sampai pada tujuan ini, menurut 

Saeed perlu mempertimbangkan tiga hal. Pertama, 

mempertimbangkan produk penafsiran yang 

dominan dalam konteks luas. Artinya seorang 

mufasir kontekstual perlu mempertimbangkan 

produk tafsir yang dominan sekaligus 

menempatkannya sebagai prioritas dengan tidak 

mengabaikan produk penafsiran lain yang mungkin 

tidak populer. Menurut Saeed semakin beragam 

hasil penafsiran, maka penafsir kontekstual 

semakin leluasa untuk mengadopsinya dalam 

berbagai penafsiran.51

Kedua, mengaitkan pemahaman teks dalam 

konteks-konteks yang berbeda. Maksudnya yaitu   

seorang mufasir perlu mengomparasikan makro 

konteks 1 dan makro konteks 2 untuk kemudian 

menerapkan pemahaman teks dalam konteks 

kontemporer. Hal ini bergantung pula pada nilai 

teks yang sedang dikaji, apakah ia bersifat 

universal atau spesifik yang berimplikasi pada 

hukumnya yang tetap atau berubah. Dalam kasus 

poligami misalnya, konteks pada abad ke-7 M

memungkinkan untuk diterapkannya praktik 

poligami. Ketika konteks itu berubah, maka 

hukumnya pun dapat berubah. Ketiga, 

mengevaluasi penafsiran yang telah dilakukan. Setelah melakukan kontekstualisasi seorang 

penafsir dituntut untuk mengevaluasi hasil 

penafsirannya dengan tiga pertimbangan. Pertama 

kontekstualisasi penafsiran tidak bertentangan 

dengan prinsip dasar (as}l) atau prinsip agama yang 

universal dan bebas konteks. Kedua 

kontekstualisasi sesuai dengan kebutuhan 

kontemporer yang dicirikan dengan dukungan umat 

Islam secara signifikan. Ketiga penafsiran 

mempertimbangkan apakah ia sejalan dengan 

pemahaman umat Islam secara umum atau 

dianggap sebagai kewajaran, setara, dan adil untuk 

saat ini. Menurut Saeed, meskipun pertimbangan 

terakhir ini menunjukkan ketidakpastian, akan 

tetapi dalam setiap komunitas selalu ada 

pemahaman umum atas apa yang dianggap setera, 

adil, dan wajar.52

Selain uraian yang panjang terkait praktik 

pendekatan kontekstual seperti di atas, Abdullah 

Saeed dalam tulisan terbarunya menulis 

sistematika ini dalam versi yang lebih ringkas. Dari 

langkah-langkah yang cukup berbelit-belit di atas, 

Saeed hanya meyebutkan empat langkah dalam 

versi pendek. Pertama, seorang penafsir (the 

interpreter) harus memahami dunia teks Al-Qur’an

yang berkaitan dengan sifat dan kedudukannya bagi 

umat Islam sekaligus merefleksikan dunianya 

sendiri seperti pengalaman hidup dan 

lingkungannya. Kedua, seorang penafsir harus 

memahami sejarah perkembangan Al-Qur’an

termasuk yang terkait dengan perbedaaan cara baca 

(qira>at) dan relasinya dengan teks lain seperti hadis 

dan sirah Nabi. Ketiga, seorang penafsir menyelami 

prinsip makna teks termasuk di dalamnya aspek 

linguistik, aspek historis, dan berusaha 

merekonstruksi teks Al-Qur’an ketika diwahyukan 

pada abad ke-7 M. Keempat, seorang penafsir fokus 

pada bagaimana makna yang telah diproduksi pada 

langkah sebelumnya dapat relevan bagi Muslim 

saat ini.Maqa>s}id Syari>’ah sebagai sebuah istilah 

dibentuk dari dua kata, maqa>s}id dan syari>’ah. 

Lafaz maqa>s}id merupakan bentuk jamak dari 

maqs}ad yang artinya maksud, tujuan atau 

sasaran, sedangkan kata syari>’ah telah diserap 

dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, 

syariat, yang artinya hukum Agama Islam. 

Secara definitif maqa>s}id syari>’ah dapat 

dipahami dengan maksud atau tujuan di balik 

hukum Islam. Maqa>s}id pada kemunculannya 

merupakan istilah yang silih berganti dengan 

maslahah (jamak: masa>lih}) yang menjadi salah 

satu sumber hukum selain Quran, Hadis, Ijma’, 

qiya>s yang menjadi landasan istinbat hukum 

dalam ilmu Usul Fikih. Pendeknya maqa>s}id 

syari>’ah merupakan bagian dari usul fikih, 

belum menjadi ilmu yang mandiri.54

Kemudian perkembangan maqasid 

kontemporer dimulai oleh Abu Ishaq al-Syatibi 

dengan karya monumentalnya al-Muwafaqat fi>

Us}u>l al-Syari>’ah. Beliau mengembangkan teori 

maqasid syariah dengan tiga cara substansial. 

Pertama, menegaskan bahwa maqasid syariah 

yaitu   pokok-pokok agama (us}u>l al-di>n), yang 

sebelumnya hanya bagian dari konsep 

kemaslahatan mursal (maslah}ah mursalah)dan tidak pernah dinilai sebagai dasar hukum 

yang mandiri.56 Kedua, al-Syatibi menjadikan 

pengetahuan tentang maqasid sebagai 

persyaratan untuk melakukan ijtihad. Beliau 

berpendapat bahwa sifat keumuman (kulliyat) 

maqa>s}id merupakan dasar bagi penetapan 

hukum, bukan pada dalil-dalil yang parsial 

(juziyyat).57 Ketiga mengubah status hukum 

maqasid yang tadinya dianggap zanni (tidak 

pasti) menjadi qat}’i (pasti).58

Perkembangan konsep maqasid teranyar 

yang sedang tren yaitu   konsep dengan 

nomenklatur maqasid syariah kontemporer 

yang digagas oleh Jasser Auda. Jasser Auda

sendiri yaitu   direktur pendiri al-Maqasid 

Research Center yang bertempat di London, 

Inggris. Beliau menulis karya tentang maqasid 

syariah dalam dua bahasa. Versi Inggris 

diberikan judul Maqasid Al-Shariah as 

Philosophy of Islamic Law: A System 

Approach, sedangkan versi Arab berjudul Fiqh 

al-Maqa>s}id: Ina>tat al-Ah}ka>m al-Syar’iyat bi 

Maqa>s}idiha.

Sedikitnya ada dua kontribusi besar beliau 

dalam kaitannya dengan maqasid syariah

kontemporer yang dapat peneliti catat. Pertama mengembangkan fokus orientasi 

maqa>s}id al-syari>’ah. Maqa>s}id al-syari>’ah

tradisional yang orientasinya masih individu 

dikembangkan menjadi berorientasi pada 

masyarakat yang lebih luas. Sumber induksi 

maqasid syariah tradisional yang dilandaskan pada 

hukum-hukum fikih, digali langsung dari Al￾Qur’an, Sunnah, kemaslahatan, argumen rasional 

dan kesepakatan internasional yang tertuang dalam 

deklarasi HAM internasional. Jangkauan istinbat 

hukum yang tadinya didasarkan pada dalil-dalil 

partikular (juziyat), berubah jangkauannya menjadi 

tiga bagian: dalil keumuman (‘am), dalil khusus 

(khas) dan baru terakhir dalil partikular (juziyat). 

Kedua, menggunakan pendekatan sistem 

untuk membangun paradigma filsafat hukum 

Islam. Pendekatan sistem dilandaskan pada 

lima landasan: berwatak kognitif (towards all 

cognition; al-idrakiyah), Holistis (towards 

holism; al-kulliyat), keterbukaan ( towards 

opennes; al-iftitah}iyah), multidimensional 

(towards multi-dimensinality; ta’addud al￾ab’ad), dan kebermaksudan (towards 

purposefulness; al-maqasidiyah).

Penafsiran Ayat Jizyah dan Relevansinya 

dalam Kacamata Tafsir Kontekstual dan 

Maqashid Syariah 

Dalam kitab tafsir Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l 

al-Qura>n diterangkan beberapa poin penafsiran.

Pertama, orang-orang mukmin yaitu para 

sahabat Rasul diperintahkan untuk berperang. 

Kedua, yang menjadi objeknya yaitu   Yahudi 

dan Nasrani yang diberikan kitab Taurat dan 

Injil dan tidak patuh kepada Allah dan tidak 

berpegang teguh pada agama yang benar. 

Ketiga, peperangan itu tidak dilaksanakan 

sehingga mereka imemberi   jizyah kepada 

umat Islam.59 Terkait dengan asba>b nuzu>l al￾a>yat, Al-Tabari menerangkan bahwa Q.S al￾Taubah [09]: 29 diturunkan kepada Rasulullah 

saw dan para sahabat sebagai perintah untuk berperang melawan Romawi. Setelah ayat ini 

turun, Rasulullah segera berangkat ke Tabuk.

Al-Jassas ketika menafsirkan tentang ayat 

jizyah lebih dominan membahas tentang Ahli 

kitab yang dimaksud dalam ayat. Penafsirannya 

tidak jauh berbeda dengan al-Tabari yang 

banyak disandarkan pada riwayat-riwayat 

hadis dari Abu al-Hajjaj Imam Mujahid, 

seorang tabi’in yang banyak meriwayatkan 

hadis tentang penafsiran Al-Qur’an. Adapun 

perbedaan yang mendasar dari penafsiran al￾Jasssas dengan al-Tabari bahwa ia 

menggunakan ayat Al-Qur’an untuk 

menafsirkan ayat. Seperti ketika ia 

menafsirkan wala> yadi>nu>na din al-h}aq, ia 

menerangkan bahwa hanya Islam agama yang 

benar dengan mengutip ayat Q.S Ali Imran 

[03]: 19 Inn al-di>na ‘inda Alla>h al-Isla>m.

60

Selain mengutip ayat Al-Qur’an, al-Jassas 

mengutip hadis Nabi. Yakni ketika 

menjelaskan orang-orang yang diwajibkan 

 .سنوا بهم سنة أهل الكتاب :jizyah Nabi bersabda

Dengan demikian, menurut al-Jassas Majusi 

pun ikut terkena hukum jizyah.61

Contoh penafsiran di atas terus dilanjutkan 

oleh para mufassir sunni. Dengan pengertian 

bahwa tidak ada perbedaan yang cukup 

signifikan antara penafsiran al-T{abari dan al￾Jassas dengan para mufassir lain dalam hal 

analisa dan kesimpulan penafsiran. Yakni 

orang-orang mukmin memberi pilihan kepada 

non-Muslim yang tinggal di wilayah Islam 

dengan pilihan perang, masuk Islam atau 

membayar jizyah.

Muhammad Abduh dalam Tafsi>r al-Manna>r

yang ditulis dan dibukukan oleh Muhamad 

Rasyid Rida memberi penafsiran yang berbeda 

atas Q.S al-Taubah [09]: 29. Ayat ini bukan 

merupakan perintah mutlak untuk memerangi 

orang-orang Yahudi dan Nasrani dan menarik 

jizyah kepada mereka. Stressing idea dalam 

ayat ini  yaitu   karena adanya ‘illat yaitu 

permusuhan dan rencana konspirasi dari 

kelompok Ahl al-Kitab serta tidak 

menghormati kesepakatan hukum yang telah 

ditetapkan dan telah disepakati bersama. 

Sebagaimana ketika sebelum ayat ini turun, 

Rasulullah beserta para sahabat imemberi   

toleransi kepada Yahudi Madinah dengan 

kebebasan menjalankan agama dan kepada 

Nasrani Romawi dalam hal batas-batas 

wilayah, sebagaimana dalam Q.S al-Baqarah 

[02]: 62. Turunnya ayat ini, menjadi sebab 

syariat perang tatkala sekat-sekat aturan sudah 

dilabrak.63

Senada dengan Abduh dan Rasyid Ridha, 

Mustafa al-Maragi pada subbab Tafsi>r al￾Mufradat menjelaskan bahwa yang dimaksud 

kata al-ya>d dalam ayat yaitu   waktu dan 

kemampuan (al-sa>’ah wa al-qudrah). 

Sedangkan kata al-s}agr yang diambil dari 

s}a>girun merupakan maksud maknawi dari 

ketundukan mereka kepada aturan-aturan yang 

telah disepakati. Di bagian Ma’na al-Jam’i al￾Maragi memandang bahwa seluruh perang￾perang yang dilakukan oleh Rasulullah 

berlandaskan jalan dakwah. Begitu pun perang￾perang setelahnya, yang dilakukan oleh para 

sahabat dan kerajaan-kerajaan Islam, menjadi 

bagian dari kepentingan dakwah dan politik. 

Akan tetapi pada prinsipnya, Islam yaitu  agama yang toleran, kasih sayang dan 

menjunjung keadilan. 64

Dua kitab tafsir yang terakhir diulas dapat 

dikatakan sudah melakukan kontekstualisasi 

tahap pertama. Yaitu dengan mengambil 

substansi pesan Al-Qur’an dan 

menghubungkannya terhadap nilai-nilai 

universal Al-Qur’an. Abdullah Saeed 

mendefinisikannya dengan istilah relationship 

of the message to the overall message of the 

Quran. Hal ini menandakan sejak era 

Muhammad Abduh, penafsiran kontekstual 

mulai berkembang di dunia Islam.65

Dalam bukunya Interpreting the Quran, 

Abdullah Saeed menempatkan ayat jizyah Q.S 

al-Taubah ayat 29 sebagai contoh dari ayat 

dengan nilai instruksional. Ia menjelaskan 

bahwa ayat jizyah yaitu   ayat yang sangat 

spesifik, dengan situasi dan kondisi yang 

spesifik, serta bukan merupakan nilai 

substansial dalam ajaran Al-Qur’an yang 

menjunjung toleransi keagamaan. Pendapat 

Saeed terhadap ayat jizyah ini yaitu   tidak 

bisa diaplikasikan secara serta merta dalam 

berbagai situasi dan kondisi. Relevansi ayat ini 

bergantung pada konteks yang mengelilinya. 

Dalam konteks negara bangsa ketika semua 

warga negara setara, maka ayat ini tidak lagi 

menjadi relevan. Saeed melihat bahwa ayat ini hanya berlaku ketika situasi Rasulullah saw 

beserta para sahabat perlu melakukan ini 

karena didorong situasi dan kondisi pada saat 

itu. Kasus ini sama dengan contoh ayat-ayat 

tentang perbudakan ketika Al-Qur’an

menyebutkan beberapa ayat mengenai ini. 

Ketika perbudakan sudah dihapuskan, maka 

ayat mengenai perbudakan secara otomatis 

sudah tidak lagi relevan dan tidak perlu lagi 

umat Islam menerapkannya. Abdullah Saeed 

menilai bahwa ayat-ayat dalam koridor nilai 

instruksional ini tidak lagi perlu 

diimplementasikan secara paksa, karena pada 

hakikatnya Al-Qur’an mendorong 

kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. 

Jasser Auda menekankan dua prinsip dasar 

maqa>sid syari>’ah kontemporer dalam 

menetapkan hukum Islam yaitu   pertama 

berlandaskan pada nilai-nilai universal yang 

bersifat holistis dan kedua menitik beratkan 

pada dala>lah maqs}u>d, meskipun tidak 

sepenuhnya mengabaikan dala>lah nas}.

66

Berangkat dari dua prinsip dasar ini , 

peneliti membuat metode kontekstual untuk 

ayat-ayat dalam kategori instruksional menjadi 

tiga tahap: 

Pertama, sesuai dengan prinsip holistis 

menggunakan metode tematik dengan 

mengumpulkan seluruh ayat-ayat dalam Al￾Qur’an dalam tema yang hendak diteliti untuk 

kemudian ditelurusi aspek presedennya 

(kronologi pewahyuan). Kedua, mencari 

dalalah maksud ayat yang hendak diteliti 

dengan cara memahami konteks situasi dan kondisi secara spesifik (asba>b al-nuzu>l mikro) 

dan memahami kultur budaya masyarakat Arab 

(asba>b al-nuzu>l makro). Setelah ditemukan 

data dan dipahami konteksnya, kemudian 

dicari nilai-nilai universal yang terkandung di 

dalamnya. Ketiga, mengkontekstualisasikan 

ayat-ayat tadi, setelah ditemukan nilai 

universalnya, dengan prinsip pada nilai yang 

ada dalam klasifikasi nilai fundamental 

(prinsip pembangunan sumber daya manusia).

Tesis yang dibangun oleh Abdullah Saeed 

tentang tafsir kontekstual, tidak sepenuhnya 

dapat mengkontekstualisasikan ayat-ayat etika 

hukum (ayat jizyah). Ketika menafsirkan ayat 

jizyah, Saeed gagal mengkontekstualisasikan, 

mengambil dalalah maksud (yang terkandung 

dalam praktek) dan terjebak oleh bunyi 

teksnya. Oleh karena itu, menurut peneliti, 

analisa linguistik tidak terlalu signifikan 

diterapkan ketika menafsirkan ayat-ayat 

spesifik-temporal yang sudah tidak eksis lagi 

(secara praktek dan konsep yang persis), oleh 

karena realita yang telah berubah.

Implementasi dari metode tafsir 

kontekstual kontemporer terhadap ayat jizyah

yaitu   sebagai berikut: 

a. Tahap holistik 

1. Mengumpulkan ayat-ayat setema 

Telah dijelaskan pada bab kedua bahwa 

ayat jizyah merupakan ayat havax hegomenon

yakni istilahnya (baca: jizyah) hanya 

ditemukan dalam satu kasus ayat saja (Q.S al￾Taubah [9]: 29). Akan tetapi ayat ini  

tetap termasuk dalam kategori ayat politik, 

yang di dalamnya memuat derivasi lafad qatala

dan sebagainya. Hasil dari identifikasi peneliti 

dengan menggunakan Mu’jam Mufahras li>

Alfa>z} Al-Qura>n terkait dengan ayat-ayat yang 

mengandung kata qatala yaitu   sebagai 

berikut: Q.S al-Hajj [22]: 39-40, Q.S al￾Baqarah [2]: 190 dan 244, Q.S Ali Imran [3]: 

167, Q.S Al-Nisa [4]: 76, 90, Q.S Al-Taubah [9]: 12, 29, 36 dan 123, dan Q.S al-Hujurat 

[49]: 9.

2. Menentukan kronologi pewahyuan 

Kaitannya dengan menentukan kronologi 

pewahyuan penting diungkapkan disini bahwa 

ayat pertama yang turun tentang kebijakan 

politik (berperang), sangat memengaruhi 

penafsiran pada ayat-ayat perang yang turun 

kemudian. Telah dijelaskan di bab kedua 

bahwa pada mulanya dakwah nabi dilakukan 

dengan jalan damai dan persuasif. Selama itu 

nabi dan para pengikutnya terus ditindas oleh 

Quraisy Mekah. Setelah selama tiga belas 

tahun bersabar, terus memaafkan yang pada 

akhirnya sudah sulit ditemukan jalan damai, 

Rasulullah diperintahkan untuk membela diri 

dengan turunnya ayat Q.S al-Hajj [22]: 39-

40.67

 Setelah ayat ini  turun, kemudian 

ayat-ayat perang lain turun dalam konteks 

beberapa peperangan. Ayat yang turun pertama 

dalam konteks perang Badar yakni Q.S al-Hajj 

[22]: 39-40, lalu ketika perang Uhud Q.S Ali 

Imran [3]: 167. Ayat yang diwahyukan pada 

saat perang Tabuk Q.S Al-Taubah [9]: 29, dan 

ayat yang berhubungan dengan orang munafik 

Q.S al-Hujurat [49]: 9. Adapun kronologinya 

sesuai dengan tahun yaitu   sebagai berikut: 

perang Badar terjadi pada tahun ke-2 H. Kemudian Perang Uhud pada tahun ke-3 H, 

Perjanjian Hudaibiyah di tahun ke-8 H, dan 

persitiwa perang Tabuk terjadi pada tahun ke-9 

H. 

Yang membedakan Q.S al-Taubah [09]: 29 

dengan ayat-ayat yang lain yaitu   dalam ayat 

ini  disebutkan bahwa ahli kitab 

diwajibkan untuk membayar jizyah kepada 

orang mukmin. Faktor jizyah inilah yang 

menjadi pokok pembahasan dari seluruh 

penelitian. 

b. Tahap dala>lah maqs}u>d 

1. Memahami asba>b nuzu>l mikro 

Q.S al-Taubah [09]: 29 diturunkan 

berkaitan dengan perang Tabuk. 

2. Memahami asba>b nuzu>l makro

Praktek penerapan pajak upeti sepanjang 

sejarah manusia, telah diterapkan oleh 

penguasa politik kepada penduduk yang berada 

di wilayah kekuasaannya. Tabuk merupakan 

daerah utara jazirah Arab yang diduduki oleh 

kerajaan Gassan, yang tunduk pada kekaisaran 

Byzantium Romawi. Para penduduknya sangat 

tertekan dengan pajak upeti yang dibebankan 

kepada mereka oleh pihak kerajaan. 

Setelah mengetahui kedatangan Rasulullah, 

para penduduknya merasa senang dengan 

harapan Islam dapat melindungi mereka dari 

penindasan kerajaan Romawi terhadap mereka. 

Hal ini benar adanya, dengan bukti bahwa 

mereka secara sukarela menghendaki perjanjian 

tunduk di bawah kepemimpinan Rasulullah dan 

bersedia membayar jizyah kepada Rasul, yang 

tentunya sangat lebih ringan dibandingkan 

dengan beban yang mereka tanggung di bawah 

kekuasaan kerajaan Gassan.

Rasulullah menetapkan jizyah kepada para 

penduduk non-Muslim yang berada di bawah 

perjanjian dengan beliau, yang kemudian 

dikenal dengan istilah ahl z|immah, artinya 

penduduk yang dilindungi. Kedudukannya 

sama seperti Muslim, hak-hak mereka dijaga dan setara di bawah hukum yang berlaku. 

Banyak riwayat yang menceritakan kasus 

konflik antara Yahudi dan Muslim, seringkali 

Yahudi dimenangkan oleh Rasulullah karena 

terbukti orang Islam yang bersalah.68

Penerapan praktek jizyah tidak lebih dari 

sekedar konsekuensi para penduduk untuk ikut 

berkontribusi dan bekerja sama dengan 

penguasa untuk kemaslahatan bersama. 

3. Mengambil dala>lah maqs}u>d

Praktek Rasulullah yang memungut jizyah

dengan menempuh jalan kesepakatan dan 

dengan prinsip tidak memberatkan, 

menunjukkan bahwa pada tataran dala>lah 

maqs}u>d, antara bunyi ayat dengan praktek 

yang dilakukan oleh Rasulullah sangat jauh 

berbeda. Melihat kepada penjelasan-penjelasan 

sebelumnya, telah dipaparkan bahwa 

Rasulullah saw merombak praktek pungutan 

kepada penduduk yang tinggal di wilayahnya 

dengan jalan damai dan saling menghargai satu 

sama lain. Dari data-data yang telah 

dikumpulkan, dapat diambil kesimpulan bahwa 

dala>lah maqs}u>d dari ayat ini yaitu   

menerapkan prinsip keadilan, kesetaraan, tidak 

memberatkan dan kebebasan. 

4. Menentukan nilai-nilai universal yang 

terkandung dalam dala>lah

Dari penjelasan-penjelasan sebelumnya, 

diketahui bahwa Rasulullah dengan 

diturunkannya Q.S al-Taubah [09]: 29 

mewajibkan non-Muslim untuk membayar 

jizyah di bawah prinsip kesepakatan dan tidak 

memberatkan. Juga karena prinsip kesetaraan 

agar Muslim dan non-Muslim sama-sama dapat 

berkontribusi untuk mempertahankan wilayah 

Islam. Dapat ditentukan nilai-nilai universal yang ada di balik penerapan jizyah antara lain: 

nilai kesetaraan, nilai kebebasan, nilai 

perdamaian dan nilai keadilan. 

c. Tahap aplikasi 

1. Menentukan variabel yang sesuai 

Pada tataran konsep dan ketentuan, jizyah

dan pajak—konteks saat ini di Indonesia—jauh 

berbeda. Setelah berakhirnya Perang Dunia dan 

dideklarasikan kesepakatan Internasional, 

konsep jizyah yang sama persis mustahil untuk 

diterapkan. Semua penduduk sama di mata 

hukum, tidak ada perbedaan suku, agama, ras 

dan warna kulit. Akan tetapi keduanya 

memiliki kesamaan variabel, yaitu sama-sama 

dijadikan sebagai sumber keuangan publik 

untuk kemaslahatan bersama. Peneliti 

berkeyakinan bahwa nilai-nilai universal dan 

dalalah maksud yang ditemukan pada tahap 

sebelumnya, dapat dipraktekkan ke dalam 

pajak untuk konteks saat ini di Indonesia. 

2. Mengaplikasikan dalalah dan nilai yang 

telah ditemukan dengan prinsip 

pembangunan sumber daya manusia

Kewajiban jizyah yang ditetapkan oleh Al￾Qur’an kepada non-Muslim menandakan dua 

hal. Pertama, ketaaatan pada kepemimpinan 

sah merupakan bentuk kewajiban—selain Q.S 

al-Nisa [4]: 29. Kedua, kontribusi penduduk 

kepada negaranya juga merupakan suatu 

kewajiban. 

Hingga saat ini, belum ada fatwa yang 

dikeluarkan oleh MUI tentang kewajiban 

membayar pajak. Hal ini  menyebabkan 

sebagian warga Muslim di Indonesia, enggan 

membayar pajak dengan dalih telah membayar 

zakat, karena pajak tidak wajib dan lain 

sebagainya. Oleh karena itu, salah satu hasil 

kesimpulan ijtihad peneliti, pajak—

sebagaimana jizyah—wajib bagi setiap 

penduduk yang tunduk di bawah satu kepemimpinan politik.69 Islam melegitimasi 

hal ini  dengan kontekstualisasi ayat 

jizyah, bahwa selain kewajiban sebagai warga 

negara, Al-Qur’an mewajibkan untuk 

membayar pajak.

Adapun nilai-nilai seperti kesetaraan, 

keadilan, tidak memberatkan dan keadilan, 

dapat diaplikasikan dengan cara sebagai 

berikut: a. Nilai kesetaraan diaplikasikan 

dengan cara pembangunan sistem pembayaran 

pajak yang transparan, dan dapat diakses oleh 

seluruh warga Indonesia. Agar setiap warga 

dapat membayar pajak dan mendapatkan hak 

yang sama tanpa diskriminasi. b. Keadilan, 

telah diaplikasikan oleh Negara dengan adanya 

UU Zakat70 yang dapat mengurangi beban 

pajak. Namun pada prakteknya belum 

dioptimalkan dengan baik karena penerimaan 

pajak tetap kurang dari estimasi wajib pajak. c. 

Tidak memberatkan dapat diimplementasikan 

dengan cara membangun sistem pembayaran 

yang mudah, cepat dan efisien. Birokrasi yang 

tidak berbelit-belit dan lain-lain. Penghapusan 

denda pajak yang telah diberlakukan 

merupakan salah satu konsep yang sesuai 

dengan nilai tidak memberatkan.71

 

Agama sebagai sebuah institusi harus 

berkontribusi dengan jalan solutif bagi kemaslahatan umat manusia. Kegiatan 

menafsirkan teks agama dalam hal ini Al￾Qur’an seyogyanya turut ambil bagian 

imemberi   jalan keluar bagi permasalahan￾permasalahan manusia secara umum. Bukan 

menjadi biang konflik yang menyerang dan 

menghalalkan kekerasan. Baik kekerasan fisik 

maupun kekerasan wacana. Tidak bisa 

disangkal bahwa dalam Al-Qur’an terdapat 

ayat-ayat yang jika dipahami secara tekstual 

dapat menimbulkan aksi radikal dan terorisme 

terhadap orang lain. Oleh karena itu, 

penafsiran-penafsiran yang humanis perlu terus 

dilakukan dan dikedepankan. 

Penutup 

Penafsiran ayat jizyah yakni Q.S Al￾Taubah [09]: 29 dengan metode tafsir 

kontekstual Abdullah Saeed menemukan 

beberapa kendala. Pertama, Abdullah Saeed 

belum menerapkan metode tafsir 

kontekstualnya terhadap ayat jizyah. Sehingga 

tidak ditemukan gambaran utuh mengenai 

penafsiran beliau tentang ayat ini . Kedua, 

menurut analisa Abdullah Saeed tentang ayat 

jizyah, ayat ini  merupakan ayat intoleran 

dan diskriminatif terhadap non-Muslim yang 

bertentangan dengan nilai-nilai universal Al￾Qur’an yang bersifat toleran dan egaliter. 

Dengan demikian bagi Saeed, untuk 

memahami ayat jizyah dalam Q.S Al-Taubah 

[09]: 29 harus dikembalikan kepada ayat-ayat 

Al-Qur’an yang bersifat universal seperti Q.S 

Al-Baqarah [02]: 256 tentang tidak ada 

paksaan dalam beragama. 

Untuk menjawab problem pertama di atas 

dan problem kedua terkait dengan relevansi 

ayat, peneliti kemudian mengkonvergensikan 

metode tafsir kontekstual Abdullah Saeed 

dengan perspektif maqa>s}id syari>’ah

kontemporer Jasser Auda. Metode tafsir 

kontekstual maqa>s}idi yaitu   metode tafsir 

kontekstual yang menekankan maksud syariah sebagai basis penafsiran. Metode tafsir 

kontekstual maqa>s}idi menghendaki penafsiran 

ayat berdasarkan dala>lah maqs}u>d dan nilai 

universal yang dipraktekkan oleh Rasulullah. 

Ada tiga tahap yang dilalui oleh metode 

ini . (1) tahap holistitik yakni 

menginventarisir ayat-ayat setema, kemudian 

menyusunnya sesuai dengan kronologi 

pewahyuan. (2) tahap dala>lah maqs}u>d yaitu 

dengan cara memahami asbab nuzul mikro dan 

asbab nuzul makro dari ayat yang fokusnya 

yaitu   bagaimana Nabi mengamalkan ayat 

ini . Praktek Rasulullah yang memungut 

jizyah dengan menempuh jalan kesepakatan 

dan dengan prinsip tidak memberatkan, 

menunjukkan bahwa pada tataran dala>lah 

maqs}u>d, antara bunyi ayat dengan praktek 

yang dilakukan oleh Rasulullah sangat jauh 

berbeda. Maka dapat diambil kesimpulan 

bahwa dala>lah maqs}u>d dari ayat ini yaitu   

menerapkan prinsip keadilan, kesetaraan dan 

tidak memberatkan. Dari sini dapat ditentukan 

nilai universal di balik penerapan jizyah antara 

lain: nilai kesetaraan dan tidak memberatkan. 

(3) tahap aplikasi, yaitu menentukan variabel 

yang sesuai dan mengimplementasikan dala>lah

dan nilai yang telah ditemukan. Untuk konteks 

sekarang, jizyah dapat dikatakan sebagai pajak. 

Nilai-nilai seperti kesetaraan, keadilan, tidak 

memberatkan dan keadilan dapat diaplikasikan 

sebagai berikut:a. Nilai kesetaraan 

diaplikasikan dengan cara pembangunan sistem 

pembayaran pajak yang transparan, dan dapat 

diakses oleh seluruh warga. Agar setiap warga 

dapat membayar pajak dan mendapatkan hak 

yang sama tanpa diskriminasi.b. Tidak 

memberatkan dapat diimplementasikan dengan 

cara membangun sistem pembayaran yang 

mudah, cepat dan efisien. Penghapusan denda 

pajak yang telah diberlakukan merupakan salah 

satu konsep yang sesuai dengan nilai tidak 

memberatkan.












Artikel ini mengungkap tafsir terhadap ayat Jizyah dalam Q.S Al-Taubah 29 yang 

seringkali dijadikan legitimasi memerangi kelompok yang dianggap tidak beriman, bagi kelompok 

radikal Islam. Hal ini dikarenakan belum ada upaya penafsiran yang relevan dan kontekstual untuk 

saat ini sehingga bila dibaca secara tekstual maka dapat dengan mudah disalahpahami. Artikel ini 

bertujuan untuk melakukan kontekstualisasi ayat jizyah dan melihat relevansinya dengan 

menggunakan metode tafsir kontekstual Abdullah Saeed. Dengan metode tafsir kontekstual, 

ditemukan bahwa ayat jizyah termasuk dalam nilai instruksional yang tergantung pada konteks. 

Sehingga dalam memahaminya perlu pengetahuan secara komprehensif tentang konteks, situasi 

dan kondisi secara spesifik dan tidak bisa serta merta dilihat sebagai ayat yang dapat diterapkan di 

segala waktu dan tempat. Kemudian dengan menggunakan metode maqa>s}id as-syari>’ah yang 

dikembangkan Jasser Auda, akan ditemukan hakikat nilai universal yang terkandung di dalam ayat 

jizyah. Artikel ini juga sekaligus melengkapi penafsiran terhadap ayat Jizyah yang belum 

dilakukan secara komperhensif relevansi ayat ini  atas situasi politik dengan model nation 

state seperti sekarang. Para mufassir Al-Qur’an baik yang klasik seperti Al-Tabari dan al￾Jashshash maupun yang kontemporer seperti al-Maraghi dan ‘Ali al-Sabuni mengulas ayat ini  

hanya dari sisi linguistik, historis dan hukum Islam dalam bingkai suasana politik masa lalu. 

Namun temuan penulis dengan menggunakan metode kontekstual Abdullah Saeed beserta 

konvergensi dengan Maqa>s}id as-Syari>’ah Jasser Auda, ayat Jizyah justru menawarkan pesan untuk 

berlaku adil secara sosial dan berbuat toleransi terhadap orang-orang yang bertentangan dengan 

nilai-nilai universal Al-Qur’an.