Dalam sejarah Islam pada tahun 9 Hijriyah
Rasulullah saw pernah mendapatkan wahyu
Q.S al-Taubah ayat 29 yang berbunyi:
قاتلوا الذين ال يؤمنون ابهلل وال ابليوم اآلخر وال
ØÙŠØ± مون ما ØØ±Ù… هللا ورسوله وال يدينون دين اØÙ„Ù‚ من الذين
أوتوا الكتاب ØÙ‰Øª يعطوا اجلزية عن يد وهم صاغرون.
Perangilah orang orang yang tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian, mereka
yang tidak mengharamkan apa yang telah
diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan
mereka yang tidak beragama dengan
agama yang benar, yang telah diberikan
Kitab, hingga mereka membayar jizyah
dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk.
Menurut riwayat yang dikutip oleh alT{abari, ayat ini diturunkan ketika
Rasulullah Saw hendak pergi ke Tabuk untuk
melakukan perang dengan pasukan Romawi.2
Namun pasukan Rasulullah batal berperang
karena pasukan lawan tidak tiba di Tabuk.
Akan tetapi, sebagai gantinya Rasulullah
didatangi beberapa pimpinan wilayah sekitar
Tabuk yang sebelumnya tunduk pada Romawi
yakni dari wilayah Ailah, Jarba’ dan Adruj
untuk melakukan perjanjian damai dan
bersedia membayar jizyah.
3
Pembayaran jizyah
pada waktu itu merupakan bukti bahwa
wilayah-wilayah ini berada di bawah
kekuasaan Islam. Peristiwa ini dicatat dalam
literatur-literatur sirah nabawiyah sebagai pembayaran pertama yang diterima oleh
Rasulullah dari kelompok non-muslim.
Sebagai pimpinan politik, Rasulullah di
akhir hayatnya telah mulai melebarkan
pengaruh Islam ke luar Jazirah Arab. Menurut
Karen Armstrong kehidupan dan pencapaian
Muhammad saw selamanya menjadi teladan
bagi umat Islam dari berbagai segi kehidupan
termasuk faktor spiritual, moral dan politik.4
Terlepas dari riwayat dan cerita sejarah
ini , ayat di atas merupakan satu satunya
ayat dalam Al-Qur’an yang ‚secara tekstual‛
imemberi wewenang bagi Rasulullah untuk
memerangi dan menarik harta tebusan
semacam pajak kepada non-muslim dengan
bentuk jizyah. Pada saat itu, konsep kekuasaan
politik yang ada masih berintegrasi dengan
agama,
5
sehingga kepentingan agama dan
kepentingan politik menjadi bias dan sulit
dibedakan.
Pertanyaan yang muncul dari uraian di atas
yaitu apa pentingnya satu ayat ini dalam
penafsiran Al-Qur’an? Lalu bagaimana ayat
ini selama ini dipahami dan apa
relevansinya untuk konteks saat ini? Kedua
pertanyaa ini dihadirkan sebagai stimulant
problem yang akan dijawab dalam artikel ini.
Menurut peneliti yang sejatinya diamini
oleh para penafsir Al-Qur’an baik yang klasik
maupun kontemporer, setiap ayat di dalam AlQur’an yaitu penting. Sebagaimana dikatakan
oleh Quraish Shihab, bahwa dari hasil
pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
bermunculan aneka disiplin ilmu yang sebelumnya belum terungkap.6 Tak terkecuali
dengan Q.S al-Taubah ayat 29 yang kemudian
menjadi salah satu rujukan dalil dalam ilmu
keuangan dan kebijakan Islam dan dalam
disiplin ilmu fikih, ekonomi Islam dan politik
Islam yang kesemuanya menjadikan ayat
ini sebagai argumentasi teologis untuk
melegalkan konsep jizyah.
Dalam berbagai literatur kitab tafsir yang
telah peneliti baca, peneliti belum menemukan
penafsiran yang mengungkapkan secara
komperhensif relevansi ayat ini atas
situasi politik dengan model nation state
seperti sekarang. Para mufassir Al-Qur’an baik
yang klasik seperti Al-Tabari dan al-Jashshash
maupun yang kontemporer seperti al-Maraghi
dan ‘Ali al-Sabuni mengulas ayat ini dari
sisi linguistik, historis dan hukum Islam dalam
bingkai suasana politik masa lalu.
Untuk itu dalam artikel ini, Peneliti hendak
memahami relevansi Q.S At-Taubah ayat 29
dengan konteks saat ini menggunakan metode
interpretasi kontekstual yang digagas oleh
Abdullah Saeed. Abdullah Saeed yaitu
professor studi Islam di Universitas Melbourne
Australia. Konsentrasi kajiannya dalam bidang
Studi Islam mengenai hermeneutika Al-Qur’an
dan hukum Islam. Terkait dengan dua
konsentrasi kajian ini , Saeed menggagas
metode penafsiran Al-Qur’an untuk memahami
ayat-ayat hukum yang diistilahkan olehnya
sebagai ethico-legal content. Ia menyebutkan
metodenya dengan istilah pendekatan
kontekstualis yang bertujuan untuk memahami
konteks sosio-historis Al-Qur’an dengan lebih
fleksibel dan untuk menjawab problematika
masyarakat modern sekarangDengan langkah-langkah metode
kontekstual Abdullah Saeed yang lebih lanjut
akan dipaparkan pada bagian berikutnya, akan
ditemukan penafsiran baru terhadap Q.S AlTaubah ayat 29 yang lebih reflektif dan
responsif bagi perkembangan zaman dewasa
ini.
Beberapa alasan akademik yang perlu
diungkapkan di bagian ini terkait dengan
pengangkatan judul baik yang berhubungan
dengan objek material maupun formal:
Pertama berkaitan dengan objek material
alasannya yaitu : a) penafsiran terhadap ayat
jizyah belum menyentuh ranah tafsir
kontekstual, b) konsep jizyah yang selama ini
ada dalam islam masih diskriminatif dan belum
dikonsepsi ulang sesuai dengan kebutuhan
zaman terutama bagi Indonesia. Kedua yang
berkaitan dengan objek formal, metode
kontekstual Abdullah Saeed dipilih dengan
alasan sebagai berikut: a) secara tegas Saeed
menyebutkan ethico-legal content sebagai
objek material dari metode interpretasi
kontekstualnya, b) jizyah merupakan salah satu
konsep yang termasuk ayat ethico-legal dan c)
model interpretasinya merupakan
penyempurnaan dari beberapa model
sebelumnya.
Diskursus Jizyah dalam Yurisprudensi Islam
Secara kebahasaan kata jizyah merupakan
bentuk nomina yang diturunkan dari bentuk
verba dengan fleksi jaza> yajzi> jaza>’an jizyatan
yang arti dasarnya yaitu balasan atau timbal
balik, dalam bentuk kebaikan ataupun
keburukan (kafa>’an bi al-ih}sa>n aw bi alisa>’ah).8 Dalam idiom bahasa arab jika
dikatakan fula>n dzu> ghina>’in wa jaza>’in, maka
yang dimaksud yaitu seseorang yang memiliki kekayaan dan dapat membalas budi.9
Kata jaza> menurut pengertian ini bukan
semata diartikan sebagai bentuk materi, tetapi
dapat pula berbentuk non materi.
Abdul Hamid ‘Umar dalam kitabnya
Mu’jam al-Lugah al-‘Arabiyah al-Mu’a>s}irah
menjelaskan bahwa kata jaza> beserta
derivasinya memiliki tiga pengertian: pertama
berarti cukup (kafa>) seperti contoh kalimat
jaza>hu ‘ala> ikhla>s}ihi (cukup baginya dengan
keikhlasannya). Kedua, berarti balasan siksa
(‘a>qaba) dalam contoh Al-Qur’an wa ‘az{z{aba
al-laz{i> na kafaru> wa z}a>lika jaza>‘u al-ka>firi>n
(dan Allah menyiksa orang-orang kafir dan
seperti itulah balasan siksa orang-orang kafir).
Ketiga, memiliki arti melunasi hutang (jaza> aldain) seperti halnya dalam percakapan
dikatakan fa hal tujzi’u ‘anni>? (apakah kamu
telah melunasi hutang dariku?).10 Kemudian
menurut Al-Harawi dalam kitabnya Tah}dz{i>b
al-Lughah, kata jizyah dalam bentuk nomina
secara umum memiliki konotasi sebagai pajak
yang dibebankan kepada non muslim (alkharra>j al-maj’u>l ‘alaih ala al-dzimmy). 11
Dikatakan pula bahwa jaza> merupakan sinonim
dari qad}a’> yang artinya bayaran.12
Dari beberapa definisi etimologi di atas,
peneliti dapat menarik benang merah bahwa
derivasi kata jizyah memiliki makna yang
berbeda-beda sesuai dengan fleksi dan siya>q alkala>m-nya. Apabila kata jizyah menggunakan
formulasi baku yakni jaza yajzi jaza’an dengan
muta’allaq haraf jar, maka maknanya dapat berbeda-beda seperti ketika muta’allaq dengan
‘ala memiliki makna cukup, sedangkan ketika
muta’allaqnya dengan ‘an berarti melunasi
hutang. Sedangkan jika mengikuti formulasi
(s}i>gat) fi’latan sebagaimana kata jizyah maka
konotasi maknanya yaitu bayaran kepada
penguasa.
Berbeda dengan beberapa pendapat di atas,
Syibli Nu’mani yang dibenarkan oleh
Muhammad Rasyid Ridha yang dikutip oleh
Mun’im Sirri dalam bukunya Kontroversi
Islam Awal yang menyatakan bahwa kata
jizyah sebagai sebuah istilah pada awalnya
tidak dikenal dan tidak digunakan dalam
bahasa Arab. Melainkan diambil dari bahasa
Persia. Hal ini dikarenakan praktek jizyah
sudah dikenal dan dilakukan oleh kerajaan
Persia-Zoroaster sebelum Islam.
13
Beralih ke pengertian terminologi, dalam
definisi istilah ini peneliti mengambil pendapat
fuqaha’ baik dari Sunni maupun Syi’i. Hal ini
penting dikarenakan ayat jizyah Q.S al-Taubah
[9]: 29 telah melandasi konsep jizyah secara
lebih luas dan lebih sistematis dalam ilmu
yuridis Islam. Perlu dikatakan bahwa dalam
sumber kitab-kitab fikih, pembahasan tentang
jizyah tidak diawali dengan penjelasan secara
definitif. Para penyusun kitab, secara tidak
langsung telah mafhum di antara mereka
tentang pengertian jizyah. Sehingga
menganggap tidak perlu untuk
mendefinisikannya dalam kitab-kitab karangan
mereka.
Menurut ‘Ali bin al-Husain, ulama
mazhab hanafi abad ke 5 hijriyah, dalam
kitabnya menjelaskan bahwa jizyah yaitu
salah satu kewajiban harta di antara sembilan macam harta yang wajib dikeluarkan.14 Dalam
kitab Tuh}fat al-Fuqaha>, salah satu kitab
mazhab hanafi, dijelaskan bahwa al-jizyah
yaitu suatu kewajiban yang dipungut apabila
telah tercapai kesepakatan perlindungan (‘aqd
al-z|immah) dengan non-muslim.15 Kitab-kitab
mazhab hanafi secara umum menjelaskan
permasalahan jizyah, baik terperinci dalam bab
sendiri maupun dipaparkan dalam bab yang
terkait.16
Malik bin Anas, Imam Mazhab Maliki
dalam kitabnya al-Mudawwanah menerangkan
jizyah pada pembahasan khusus bab yang
menerangkan ketentuan jizyah (ba>b ma> ja>’a fi
al-jizyah). Dalam bab ini Imam Malik
mengutip Q.S Al-Taubah [9]: 29. Beliau
menerangkan tentang orang-orang yang
diwajibkan membayar jizyah yaitu ahli kitab,
secara spesifik. Kemudian dengan mengutiphadis
secara umum.17 Pendapat ini kemudian diikuti
oleh para mujtahid mazhab di kalangan
mazhab Maliki.18
Dalam karyanya al-Umm, Imam Syafi’i
berpendapat bahwa jizyah hanya dibebankan
kepada non Muslim laki-laki merdeka yang
berakal sehat, telah balig dan mampu untuk
berperang. Pembahasan tentang jizyah dalam
kitab al-Umm dimasukkan ke dalam bagian
jihad dan jizyah (Kita>b al-Jiha>d wa al-Jizyah).
Kemudian diperjelas dengan sub bab tentang
orang-orang yang wajib bayar jizyah (man
turfa’ al-jizyah) dan besaran yang harus
dibayar (kam al-jizyah).19 Konsep-konsep yang
dirumuskan oleh Imam Syafi’i kemudian
dikembangkan oleh murid dan para pengikut
mazhabnya.Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan
sedikitnya dua puluah dua riwayat hadis
tentang jizyah yang berbicara tentang
pungutan jizyah bagi orang Majusi dan
turunnya nabi Isa pada hari akhir untuk
menghapuskan jizyah.21 Al-Kharaqi, seorang
ulama abad ke-4 H yang bermazhab Hanbali
dalam kitabnya menjelaskan bahwa jizyah
tidak diterima kecuali dari Yahudi, Nasrani
dan Majusi yang berada dalam perjanjian.22
Senada dengan pendapat al-Kharaqi, Mahfuz
Abu al-Khattab al-Kaluzani dalam kitab alHida>yah ‘ala> Maz{hab al-Ima>m Ahmad
menerangkan tidak bolehnya memungut jizyah
terkecuali bagi Ahli Kitab.23 Pembahasan
tentang ini juga diikuti oleh ulama Maz|hab
Hanbali yang lain dalam kitab-kitab mereka.24
Fiqih Syi’ah pun tak luput membahas
tentang jizyah. Dalam kitabnya yang berjudul
al-Ta>j al-Maz|hab li Ahka>m al-Maz|hab Ahmad
bin Yahya bin al-Murtada, dari Syi’ah
Zaidiyah menjelaskan bahwa ada empat jenis harta yang diambil dari ahli zimmah yaitu:
jizyah (jaminan jiwa), nis}f ‘usyr (jaminan
dagang), al-s}ulh}u (jaminan perdamaian) dan
‘amman (jaminan perjalanan).25 Adapun
pembayaran jizyah, menurut syi’ah sama
dengan pendapat fiqih sunni yaitu dibagi
menjadi tiga kelas: kelas atas (al-gani) yang
hartanya mencapai seribu dinar; kelas
menengah (al-mutawas}s}it}) yang mempunyai
harta lima ratus dinar dan kelas bawah (alfaqi>r) dibawah lima ratus dinar.26
Dari keterangan-keterangan di atas, dapat
diketahui bahwa jizyah menurut istilah dalam
ilmu fikih yaitu harta yang dibayarkan oleh
ahli z|immah yang tinggal di wilayah Islam
sebagai jaminan keamanan atau pendeknya,
jizyah yaitu pajak jiwa. Namun jika dilihat
dari fungsinya, sebenarnya jizyah merupakan
konsekuensi perlindungan bagi non-Muslim.
Dengan dibayarkannya jizyah, maka warga
non-Muslim tidak diwajibkan untuk perang.
Karena pada waktu itu, perang menjadi fardu
‘ain bagi umat Islam. Sanksi tegas berupa
laknat dari Allah bagi orang-orang yang tidak
mau berperang bagi umat Islam.27
Tafsir Kontekstual Abdullah Saeed
Sedikitnya ada tiga konsep kunci sebagai basis
metodologi penafsiran Abdullah Saeed: nilai-nilai
hirarkis (hirarchy values) sebagai landasan
ontologis, makna kontekstual (contextual meaning)
sebagai basis hermeneutis, dan penafsiran
kontekstual (contextual interpretation) sebagai
langkah-langkah praktik penafsirannya. Menurut
Abdulah Saeed Al-Qur’an yaitu Kitab Suci dengan nilai etika dan moral sebagai landasannya
sebagaimana konsep amal saleh yang diperkenalkan
di dalamnya secara berulang. Gagasan ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan Muhammad Abduh
yang mengatakan bahwa Al-Qur’an harus
diposisikan sebagai petunjuk moral yang selalu
beriringan dengan perkembangan rasionalitas umat
manusia.28 Sebagaimana Abduh, Abdullah Saeed
hendak menegaskan bahwa Al-Qur’an tidak
mengekang manusia untuk menggunakan akalnya
dalam memahami dan mempraktikan ajaran agama.
Sebelum membagi Al-Qur’an berdasarkan nilainilai untuk mengetahui sejauh mana penafsiran
kontekstual dapat diterapkan, Abdullah Saeed
terlebih dulu membuat klasifikasi Al-Qur’an
berdasarkan konten yang terkandung di dalamnya.
Menurut Saeed, Al-Qur’an bila dilihat dari
kontennya dapat dibagi menjadi empat kategori:
berbicara tentang hal-hal bersifat transenden
(ghaib);29 berorientasi pada catatan sejarah;30
berkaitan dengan perumpamaan;31 dan yang
berorientasi pada keyakinan, nilai, dan praktik
dalam kehidupan sehari-hari (practice-oriented
texts). Dari keempat kategori konten ini, kategori terakhirlah yang menjadi fokus dari nilai hirarkis
untuk ditafsirkan dengan pendekatan kontekstual.
Berkaitan dengan nilai-nilai hirarkis (hierarchy
values), Abdullah Saeed menekankan bahwa yang
dimaksud dengan nilai disini tidak terbatas pada
yang benar atau salah, baik atau buruk dan
semacamnya, akan tetapi segala sesuatu yang
diikuti dan dipraktikan oleh Muslim atau
sebaliknya (ditolak dan dihindari) atas dasar
kepercayaan, ide-ide, dan praktik maupun ritual.
Terdapat lima nilai hirarkis yang disusun Saeed
untuk menentukan sejauh mana ayat-ayat etika
hukum dapat ditafsirkan berdasarkan pendekatan
kontekstual. Pertama, nilai-nilai wajib (obligatory
values) yang artinya nilai yang harus dilaksanakan
seorang Muslim meliputi enam rukun iman
(fundamental beliefs), lima rukun Islam
(fundamental devotional practices), dan halalharam (permissible and prohibition) yang telah
jelas tertera dalam Al-Qur’an. Nilai wajib ini tidak
bisa ditawar dan menjadi bagian dari ajaran dasar
setiap Muslim yang membedakannya dengan umat
lain. 32
Kedua, nilai-nilai fundamental (fundamental
values) yakni nilai-nilai berkaitan dengan hak-hak
dasar bagi manusia yang dikaitkan dengan lima
kebutuhan dasar (d}aru>riyyat al-khams) dari
maqa>s}id syari>’a. Kelima kebutuhan dasar ini
yaitu perlindungan atas agama (h}ifz} al-di>n),
perlindungan atas jiwa (h}ifz} al-nafs), perlindungan
atas harta (h}ifz} al-ma>l), perlindungan atas
keturunan (h}ifz} al-nasl), dan perlindungan atas akal
(h}ifz} al-‘aql). Abdullah Saeed mengatakan bahwa
nilai-nilai fundamental ini dapat terus
dikembangkan seiring dengan situasi dan kondisi
manusia yang terus berubah. Saeed mencontohkan
dengan perlindungan kebebasan beragama dan
perlindungan atas kerugian (asuransi). Menurut
Saeed penentuan dari nilai fundamental yang berkembang dapat dilakukan dengan metode
induktif dan memperhatikan konteks baru.33
Ketiga, nilai-nilai proteksi (protectional values)
yang berkaitan dengan dukungan hukum atas nilai
fundamental. Jika nilai fundamental belum
menyentuh aspek legal terkait perlindungan hak
dasar, maka nilai proteksi inilah yang
mengejawantahkan hukum yang perlu diterapkan.
Saeed menjelaskan bahwa nilai fundamental
menjadi basis nilai yang tidak berkaitan dengan
pembuktian dalil ayat (textual proof), sedangkan
nilai proteksi ini mendapatkan landasan hukumnya
dalam Al-Qur’an. Misalnya perlindungan atas harta
yang menjadi bagian dari nilai fundamental,
diaplikasikan dengan larangan mencuri dan
konsekuensi hukum yang beriringan dengan
larangan ini .34
Keempat, nilai-nilai implementasi
(implementational value) yaitu langkah-langkah
spesifik yang diambil untuk mengimplementasikan
nilai proteksi yang disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat. Dalam praktiknya, nilai
inilah yang paling relevan dan menjadi objek utama
pendekatan kontekstual. Sebagai gambarannya,
Abdullah Saeed mengambil QS al-Ma>‘idah ayat 58
tentang hukuman bagi pencuri:
ٔ ا
‚Adapun laki-laki maupun perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
balasan atas perbuatan yang mereka lakukan
dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah
Maha Perkasa, Maha Bijaksana.‛
Ketika Al-Qur’an memutuskan langkah seperti
potong tangan sebagai hukuman, menurut Abdullah
Saeed, perlu dipertimbangkan konteks kultural
yang mengitari turunnya ayat ini . Saeed
menekankan bahwa pada abad ke-7 M di Jazirah Arab maupun di belahan dunia lain hukuman badan
dan aib komunal menjadi bagian tak terpisahkan
yang diterima oleh masyarakat, dan dianggap
sebagai hukuman paling efektif pada masanya.
Namun demikian, menurut Saeed, bentuk hukuman
ini (potong tangan) bukan menjadi tujuan AlQur’an. Saeed menjelaskan bahwa pada setiap
hukuman yang tertera dalam Al-Qur’an termasuk
di dalamnya potong tangan bagi pencuri, hukum
cambuk bagi orang yang berzina, dan hukuman
qishas, selalu diiringi dengan ayat pengampunan
yang mengatakan bahwa bila si pelanggar hukum
ini bertaubat, maka hukumannya dihapuskan.
Menurut Saeed, hal ini mengindikasikan bahwa
hukuman ini tidak berlaku secara mutlak.35
Kelima, nilai-nilai instruksional (instructional
values). Nilai ini merujuk pada ayat-ayat perintah,
larangan, nasihat yang berkaitan dengan isu dan
situasi tertentu. Ayat-ayat seperti perintah untuk
menikah lebih dari satu istri dalam situasi tertentu
(Q.S al-Nisa>‘: 2-3), anjuran bagi laki-laki untuk
bertanggung jawab atas istri (Q.S al-Nisa>‘: 34-35),
perintah untuuk tidak mengambil non-Muslim
sebagai teman (QS al-Nisa>‘: 89-90), perintah untuk
mengucapkan salam kepada orang lain (Q.S alNisa>‘: 86), dan sebagainya, yaitu termasuk dalam
nilai ini. Untuk menngkontekstualisasikan ayatayat dalam nilai ini, Saeed menerangkan tiga
kriteria khusus yaitu frekuensi turunnya ayat
(frequent), penekanan pentingnya suatu ayat dalam
dakwah Nabi (salience) dan relevansinya dengan
kultur masyarakat ketika wahyu diturunkan
(relevance) serta beberapa kriteria umum untuk
menentukan keuniversalitasan seperti: semakin
sering sebuah nilai diulang dalam Al-Qur’an,
semakin dapat diaplikasikan secara universal;
semakin besar ruang lingkup sebuah nilai dan
semakin umum relevansinya, maka ia semakin
universal. Untuk memudahkan memahami kelima
Abdullah Saeed mengatakan bahwa nilai-nilai
hirarkis yang disusunnya ini dapat membantu
upaya reinterpretasi terhadap Al-Qur’an. Nilai-nilai
dalam koridor bebas konteks (context independent)
merepresentasikan signifikansi nilai yang tetap,
tidak dapat berubah, dan berlaku secara universal.
Sedangkan nilai yang bergantung konteks (context
dependent) dapat membantu seorang penafsir untuk
mempertimbangkan sejauh mana nilai ini
dapat berubah dengan melihat pada penekanan, dan
pergeseran makna, bahkan dimungkinkan untuk
menghilangkan sejumlah nilai dan praktik yang
mungkin sudah tidak relevan. Dalam kasus
perbudakan misalnya, meskipun beberapa ayat
mengakui eksistensi perbudakan, tetapi perubahan
konteks nilai dalam masyarakat meniscayakan
institusi ini dihapuskan. Begitu pun dengan
institusi pernikahan, meskipun Al-Qur’an
memerinci secara detail mekanisme pernikahan dan
perceraian, akan tetapi seiring perkembangan
reformasi di bidang hukum keluarga, berbagai
aturan di dunia Muslim saat ini memperkuat posisi
perempuan agar relasi antar suami-istri menjadi
setara.37
Beralih pada pembahasan tentang basis
hermeneutik, Abdullah Saeed memiliki konsep
tentang makna kontekstual untuk menentukan
seperti apa makna yang harus dipahami seorang
penafsir dalam kaitannya dengan kemungkinan
pergeseran makna seperti telah disinggung di atas.
Seorang penafsir kontekstualis, bagi Saeed,
berupaya untuk memahami makna teks Al-Qur’an
seperti yang dipahami oleh para penerima wahyu
pertama (first recipients) untuk kemudian dikaitkan
dengan konteks yang lahir pada masa setelahnya
(subsequent context) hingga konteks kontemporer
pada saat ini. Menghubungkan makna ini
merupakan konsekuensi historis dari perjalanan
panjang pemaknaan sekaligus praktik umat Muslim
dari generasi ke generasi. Menurut Saeed, seorang
penafsir selain harus memperhatikan makro
konteks 1 (penerima wahyu pertama) dan makro
konteks 2 (penerima saat ini), juga melihat konteks
penghubung (connector context). Dengan kata lain
rentang catatan sejarah dari masa makro konteks 1
ke makro konteks 2 patut diperhatikan.38
Lalu apa yang harus dipertimbangkan untuk
dapat memahami pergeseran makna berdasarkan
makro konteks? Saeed menjelaskan bahwa
mengambil makna dari Al-Qur’an tidak cukup
hanya dengan analisa linguistik saja. Menurutnya
pemahaman dari aspek linguistik seperti ini dapat
mereduksi makna yang terkandung di dalamnya. Ia
menegaskan bahwa makna tidak berada di luar teks
tidak pula berada dalam pemikiran pengarang atau
pembaca teks, melainkan dalam relasi yang
kompleks di antara semuanya. Untuk itu, bagi
Saeed, ada empat elemen yang berkait kelindan
untuk menentukan makna atas sebuah teks:
pembicara (the speaker/God), pesan (the message),
penerima (recipient), dan konteks (context) ketika
pesan disampaikan kepada penerima.39 Sayangnya,
Saeed tidak melakukan elaborasi lebih lanjut empat
elemen yang ia sebutkan.
Abdullah Saeed melihat aktivitas penafsir dalam
upayanya memahami pesan dan penyingkapan
makna juga mengemukakan tiga tahapan
interpretasi: level pertama penggalian makna murni
dengan analisa linguistik (linguistic meaning), level
kedua ditambah dengan analisa sejarah (linguistik
plus historical meaning), dan level ketiga ditambah
lagi dengan penekanan baru dan konteks baru
dalam kondisi kontemporer (contextual meaning).40
Pada level ketiga inilah yang dimaksudkan
Abdullah Saeed sebagai makna kontekstual sebagai
basis hermeneutis dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Abdullah Saeed menyusun sisematika praktis
untuk mengimplementasikan langkah-langkah
penafsiran dengan pendekatan kontekstual.
Setidaknya ada empat langkah yang disusun Saeed
sebagai rekomendasi bagi seorang penfsir
kontekstual dalam melakukan penafsiran atas ayat
atau topik tertentu dalam Al-Qur’an. Langkah
pertama, mempersiapkan berbagai pertimbangan
sebelum menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini bertujuan
agar ia akrab dengan konteks yang lebih luas.
Sedikitnya ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan
menurut Saeed. Pertama, memahami subjektivitas
dirinya (mufasir). Abdullah Saeed menekankan
pentingnnya kesadaran seorang penafsir Al-Qur’an
atas keterpengaruhannya dari lingkungan dan latar
belakang yang dimilikinya. Dari sini menurut
Saeed seorang penafsir harus membuang jauh-jauh
hasrat untuk mengklaim finalitas penafsirannya
atas Al-Qur’an.
41 Apa yang dikemukakan Saeed ini
sama seperti dua teori yang digagas Hans-Georg
Gadamer: kesadaran keterpengaruhan sejarah
(historical effected consciousness) dan prapemahaman (pre-understanding). Kedua teori ini saling berkaitan satu sama lain, teori
keterpengaruhan sejarah yaitu ketika si penafsir
sadar bahwa dirinya tidak bisa lepas dari situasi
hermeneutik yang melingkupinya, sedangkan teori
pra-pemahaman yaitu ketika si penafsir dapat
mendialogkan situasi hermeneutik dirinya dengan
isi teks yang sedang ditafsirkan.42
Kedua, memahami dunia Al-Qur’an. yang
penting digaris bawahi bagi Abdullah Saeed
mengenai poin ini yaitu bahwa meskipun AlQur’an diyakini sebagai kalam ilahi, akan tetapi
tujuan diturunkannnya untuk umat manusia dan
memperbaiki akhlaknya, bukan untuk Tuhan
sendiri. Oleh karena itu, dengan mengutip Rahman,
Saeed menilai takwa menjadi faktor penting
sebagai identitas dunia Al-Qur’an untuk umat
manusia. Karena takwa ditumbuhkan di dalam AlQur’an tidak hanya tentang hubungan antara
manusia dengan Tuhan atau dengan sesama
manusia, tetapi bahkan antara seseorang dengan
dirinya sendiri. Takwa menjadi pusat ajaran Islam
yang tertera dalam Al-Qur’an sebagaimana ajaran
kasih dalam agama Kristen.43 Ketiga, memahami
bagaimana makna dikonstruksi. Pertimbangan ini
mengulang unsur interaksi sebagaimana telah
dijelaskan dalam makna kontekstual yaitu antara
kehendak Tuhan, teks Al-Qur’an, para penerima
wahyu, dan konteks makro ketika Al-Qur’an
diwahyukan. Kata kunci dari memahami konstruksi
makna yaitu bahwa makna teks dapat berevolusi
seiring dengan perubahan periode dan konteks yang
berbeda. Dari perbedaan ini makna teks yang sama
bisa berubah akibat perubahan penekanan dalam
pemaknaan.44
Langkah kedua, memulai penafsiran dengan
kesadaran seorang mufasir untuk
mempertimbangkan realibilitas historis teks AlQur’an bahwa teks yang sedang dibacanya yaitu sama dengan teks yang dibaca saat abad ke-7 M.
Dengan ini berimplikasi pada kesadaran si penafsir
bahwa teks ini mengandung ragam cara baca
(qira>at), berevolusi dari sisi penulisan (rasm), dan
sebagainya. Pada langkah ini Saeed menekankan
keharusan penafsir untuk menggunakan teks AlQur’an berbahasa Arab sebagai syarat mutlak agar
sesuai dengan pemahaman Nabi dan para penerima
wahyu yang juga menggunakan bahasa Arab.45
Langkah ketiga, mengidentifikasi makna teks
Al-Qur’an. Dalam praktik menentukan makna ini,
sedikitnya Abdullah Saeed membuat sembilan hal
yang perlu dipertimbangkan untuk melakukan
proses identifikasi makna teks ini. Pertama
merekonstruksi makro konteks 1 dengan cara
merujuk kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan
intelektual pada abad ke-7 M. Meskipun
rekonstruksi ini tidak dapat akurat secara
sempurna, karena keterbatasan, tetapi menurut
Saeed setidaknya mufasir mengkaji dari berbagai
sumber untuk melihat bagaimana watak dan
karakter manusia abad ke-7 di Jazirah Arab.
Sebagai contoh ketika menafsirkan ayat tentang
poligami, si penafsir perlu memahami bahwa ayat
ini diturunkan kepada masyarakat Arab yang
ketimpangan sosial dan ketimpangan gender masih
tinggi. Hal ini menyebabkan eksploitasi terhadap
anak perempuan, yatim piatu, kaum perempuan,
dan budak masih menjadi dunia bawah tanah di
tengah kota komersial Mekah.46 Kedua menentukan
konteks sastrawi ketika wahyu Al-Qur’an
diturunkan. Pertimbangan ini merujuk pada
gagasan Amin al-Khuli beserta para muridnya
seperti Nasr Hamid Abu Zayd tentang aspek
susastra Al-Qur’an, yakni seorang mufasir perlu
membayangkan bahwa Al-Qur’an diturunkan di
tengah manusia dengan nilai sastra yang
dimilikinya. Dalam bahasa lain, Al-Qur’an perlu
diposisikan sebagai kitab sastra Arab (Kita>b al-
‘Arabiyya al-Akba>r) untuk memahaminya dalam konteks bahasa manusia.47 Ketiga menentukan unit
tematik untuk memahami konteks topik Al-Qur’an
secara utuh. Pertimbangan ini mengingat bahwa
sistematika penulisan Al-Qur’an tidak dilakukan
secara tematik dan beragam tema terletak dalam
satu surat. Sehingga penting bagi mufasir untuk
mengumpulkan tema-tema terkait guna dapat
memahami satu tema dari perspektif Al-Qur’an
secara utuh.48
Keempat mengidentifikasi waktu dan tempat
secara spesifik dengan menggunakan perangkat
ilmu asba>b nuzu>l. Seorang mufasir perlu
mengetahui konteks spesifik kapan dan dimana
ayat-ayat Al-Qur’an tertentu diwahyukan. Kelima
menentukan jenis teks atau ayat yang sedang
dibahas, apakah termasuk dalam kategori teks
historis, etika-hukum, perumpamaan, atau
mengenai hal gaib. Jenis konten yang berbeda dari
ayat Al-Qur’an dapat dimaknai dan diekspresikan
dengan berbeda pula. Memahami jenis konten ini
dapat membantu penafsir untuk menentukan
pendekatan apa yang perlu dikedepankan untuk
memaknai teks Al-Qur’an. Keenam memperhatikan
aspek linguistik teks dengan mengkaji pemahaman
atas morfologi (s}arf), sintaksis (nah}w), semantik,
dan stilistika teks. Dalam diksi-diksi tertentu,
seorang mufasir dapat mengembangkan
pemahaman tentang pergeseran dan perkembangan
maknanya.
Ketujuh mengeksplorasi teks Al-Qur’an yang
sedang ditafsirkan atau diteliti dengan teks-teks
lain yang masih berkaitan (parallel texts).
Pertimbangan ketujuh ini merupakan kelanjutan
dari poin ketiga yaitu mengumpulkan ayat pada
tema dan topik tertentu. Setelah pengumpulan ayat
mengenai satu topik tertentu, si penafsir menurut
Saeed perlu juga mempertimbangkan topik lain
yang masih berkaitan. Ia mencontohkan dalam
kasus ayat-ayat tentang poligami misalnya, teks
dalam tema anak yatim perlu diperhatikan karena
konteks kedua topik ini saling berkaitan satu
sama lain.49 Kedelapan mengeksplorasi hadis-hadis
yang berkaitan dengan tema yang sedang diteliti
dan kesembilan menganalisa para penerima wahyu
melalui jalur periwayatan berdasarkan literatur
biografi dan sejarah.50
Langkah keempat, mengaitkan penafsiran teks
dengan konteks kontemporer. Pada langkah
terakhir ini seorang penafsir diharapkan mampu
membaca hasil penafsiran para mufasir terdahulu
(konteks penghubung/connector context) untuk
kemudian mempertimbangkannya dalam
melakukan penafsiran di masa kini sebagai makro
konteks 2. Untuk sampai pada tujuan ini, menurut
Saeed perlu mempertimbangkan tiga hal. Pertama,
mempertimbangkan produk penafsiran yang
dominan dalam konteks luas. Artinya seorang
mufasir kontekstual perlu mempertimbangkan
produk tafsir yang dominan sekaligus
menempatkannya sebagai prioritas dengan tidak
mengabaikan produk penafsiran lain yang mungkin
tidak populer. Menurut Saeed semakin beragam
hasil penafsiran, maka penafsir kontekstual
semakin leluasa untuk mengadopsinya dalam
berbagai penafsiran.51
Kedua, mengaitkan pemahaman teks dalam
konteks-konteks yang berbeda. Maksudnya yaitu
seorang mufasir perlu mengomparasikan makro
konteks 1 dan makro konteks 2 untuk kemudian
menerapkan pemahaman teks dalam konteks
kontemporer. Hal ini bergantung pula pada nilai
teks yang sedang dikaji, apakah ia bersifat
universal atau spesifik yang berimplikasi pada
hukumnya yang tetap atau berubah. Dalam kasus
poligami misalnya, konteks pada abad ke-7 M
memungkinkan untuk diterapkannya praktik
poligami. Ketika konteks itu berubah, maka
hukumnya pun dapat berubah. Ketiga,
mengevaluasi penafsiran yang telah dilakukan. Setelah melakukan kontekstualisasi seorang
penafsir dituntut untuk mengevaluasi hasil
penafsirannya dengan tiga pertimbangan. Pertama
kontekstualisasi penafsiran tidak bertentangan
dengan prinsip dasar (as}l) atau prinsip agama yang
universal dan bebas konteks. Kedua
kontekstualisasi sesuai dengan kebutuhan
kontemporer yang dicirikan dengan dukungan umat
Islam secara signifikan. Ketiga penafsiran
mempertimbangkan apakah ia sejalan dengan
pemahaman umat Islam secara umum atau
dianggap sebagai kewajaran, setara, dan adil untuk
saat ini. Menurut Saeed, meskipun pertimbangan
terakhir ini menunjukkan ketidakpastian, akan
tetapi dalam setiap komunitas selalu ada
pemahaman umum atas apa yang dianggap setera,
adil, dan wajar.52
Selain uraian yang panjang terkait praktik
pendekatan kontekstual seperti di atas, Abdullah
Saeed dalam tulisan terbarunya menulis
sistematika ini dalam versi yang lebih ringkas. Dari
langkah-langkah yang cukup berbelit-belit di atas,
Saeed hanya meyebutkan empat langkah dalam
versi pendek. Pertama, seorang penafsir (the
interpreter) harus memahami dunia teks Al-Qur’an
yang berkaitan dengan sifat dan kedudukannya bagi
umat Islam sekaligus merefleksikan dunianya
sendiri seperti pengalaman hidup dan
lingkungannya. Kedua, seorang penafsir harus
memahami sejarah perkembangan Al-Qur’an
termasuk yang terkait dengan perbedaaan cara baca
(qira>at) dan relasinya dengan teks lain seperti hadis
dan sirah Nabi. Ketiga, seorang penafsir menyelami
prinsip makna teks termasuk di dalamnya aspek
linguistik, aspek historis, dan berusaha
merekonstruksi teks Al-Qur’an ketika diwahyukan
pada abad ke-7 M. Keempat, seorang penafsir fokus
pada bagaimana makna yang telah diproduksi pada
langkah sebelumnya dapat relevan bagi Muslim
saat ini.Maqa>s}id Syari>’ah sebagai sebuah istilah
dibentuk dari dua kata, maqa>s}id dan syari>’ah.
Lafaz maqa>s}id merupakan bentuk jamak dari
maqs}ad yang artinya maksud, tujuan atau
sasaran, sedangkan kata syari>’ah telah diserap
dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia,
syariat, yang artinya hukum Agama Islam.
Secara definitif maqa>s}id syari>’ah dapat
dipahami dengan maksud atau tujuan di balik
hukum Islam. Maqa>s}id pada kemunculannya
merupakan istilah yang silih berganti dengan
maslahah (jamak: masa>lih}) yang menjadi salah
satu sumber hukum selain Quran, Hadis, Ijma’,
qiya>s yang menjadi landasan istinbat hukum
dalam ilmu Usul Fikih. Pendeknya maqa>s}id
syari>’ah merupakan bagian dari usul fikih,
belum menjadi ilmu yang mandiri.54
Kemudian perkembangan maqasid
kontemporer dimulai oleh Abu Ishaq al-Syatibi
dengan karya monumentalnya al-Muwafaqat fi>
Us}u>l al-Syari>’ah. Beliau mengembangkan teori
maqasid syariah dengan tiga cara substansial.
Pertama, menegaskan bahwa maqasid syariah
yaitu pokok-pokok agama (us}u>l al-di>n), yang
sebelumnya hanya bagian dari konsep
kemaslahatan mursal (maslah}ah mursalah)dan tidak pernah dinilai sebagai dasar hukum
yang mandiri.56 Kedua, al-Syatibi menjadikan
pengetahuan tentang maqasid sebagai
persyaratan untuk melakukan ijtihad. Beliau
berpendapat bahwa sifat keumuman (kulliyat)
maqa>s}id merupakan dasar bagi penetapan
hukum, bukan pada dalil-dalil yang parsial
(juziyyat).57 Ketiga mengubah status hukum
maqasid yang tadinya dianggap zanni (tidak
pasti) menjadi qat}’i (pasti).58
Perkembangan konsep maqasid teranyar
yang sedang tren yaitu konsep dengan
nomenklatur maqasid syariah kontemporer
yang digagas oleh Jasser Auda. Jasser Auda
sendiri yaitu direktur pendiri al-Maqasid
Research Center yang bertempat di London,
Inggris. Beliau menulis karya tentang maqasid
syariah dalam dua bahasa. Versi Inggris
diberikan judul Maqasid Al-Shariah as
Philosophy of Islamic Law: A System
Approach, sedangkan versi Arab berjudul Fiqh
al-Maqa>s}id: Ina>tat al-Ah}ka>m al-Syar’iyat bi
Maqa>s}idiha.
Sedikitnya ada dua kontribusi besar beliau
dalam kaitannya dengan maqasid syariah
kontemporer yang dapat peneliti catat. Pertama mengembangkan fokus orientasi
maqa>s}id al-syari>’ah. Maqa>s}id al-syari>’ah
tradisional yang orientasinya masih individu
dikembangkan menjadi berorientasi pada
masyarakat yang lebih luas. Sumber induksi
maqasid syariah tradisional yang dilandaskan pada
hukum-hukum fikih, digali langsung dari AlQur’an, Sunnah, kemaslahatan, argumen rasional
dan kesepakatan internasional yang tertuang dalam
deklarasi HAM internasional. Jangkauan istinbat
hukum yang tadinya didasarkan pada dalil-dalil
partikular (juziyat), berubah jangkauannya menjadi
tiga bagian: dalil keumuman (‘am), dalil khusus
(khas) dan baru terakhir dalil partikular (juziyat).
Kedua, menggunakan pendekatan sistem
untuk membangun paradigma filsafat hukum
Islam. Pendekatan sistem dilandaskan pada
lima landasan: berwatak kognitif (towards all
cognition; al-idrakiyah), Holistis (towards
holism; al-kulliyat), keterbukaan ( towards
opennes; al-iftitah}iyah), multidimensional
(towards multi-dimensinality; ta’addud alab’ad), dan kebermaksudan (towards
purposefulness; al-maqasidiyah).
Penafsiran Ayat Jizyah dan Relevansinya
dalam Kacamata Tafsir Kontekstual dan
Maqashid Syariah
Dalam kitab tafsir Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l
al-Qura>n diterangkan beberapa poin penafsiran.
Pertama, orang-orang mukmin yaitu para
sahabat Rasul diperintahkan untuk berperang.
Kedua, yang menjadi objeknya yaitu Yahudi
dan Nasrani yang diberikan kitab Taurat dan
Injil dan tidak patuh kepada Allah dan tidak
berpegang teguh pada agama yang benar.
Ketiga, peperangan itu tidak dilaksanakan
sehingga mereka imemberi jizyah kepada
umat Islam.59 Terkait dengan asba>b nuzu>l ala>yat, Al-Tabari menerangkan bahwa Q.S alTaubah [09]: 29 diturunkan kepada Rasulullah
saw dan para sahabat sebagai perintah untuk berperang melawan Romawi. Setelah ayat ini
turun, Rasulullah segera berangkat ke Tabuk.
Al-Jassas ketika menafsirkan tentang ayat
jizyah lebih dominan membahas tentang Ahli
kitab yang dimaksud dalam ayat. Penafsirannya
tidak jauh berbeda dengan al-Tabari yang
banyak disandarkan pada riwayat-riwayat
hadis dari Abu al-Hajjaj Imam Mujahid,
seorang tabi’in yang banyak meriwayatkan
hadis tentang penafsiran Al-Qur’an. Adapun
perbedaan yang mendasar dari penafsiran alJasssas dengan al-Tabari bahwa ia
menggunakan ayat Al-Qur’an untuk
menafsirkan ayat. Seperti ketika ia
menafsirkan wala> yadi>nu>na din al-h}aq, ia
menerangkan bahwa hanya Islam agama yang
benar dengan mengutip ayat Q.S Ali Imran
[03]: 19 Inn al-di>na ‘inda Alla>h al-Isla>m.
60
Selain mengutip ayat Al-Qur’an, al-Jassas
mengutip hadis Nabi. Yakni ketika
menjelaskan orang-orang yang diwajibkan
.سنوا بهم سنة أهل الكتاب :jizyah Nabi bersabda
Dengan demikian, menurut al-Jassas Majusi
pun ikut terkena hukum jizyah.61
Contoh penafsiran di atas terus dilanjutkan
oleh para mufassir sunni. Dengan pengertian
bahwa tidak ada perbedaan yang cukup
signifikan antara penafsiran al-T{abari dan alJassas dengan para mufassir lain dalam hal
analisa dan kesimpulan penafsiran. Yakni
orang-orang mukmin memberi pilihan kepada
non-Muslim yang tinggal di wilayah Islam
dengan pilihan perang, masuk Islam atau
membayar jizyah.
Muhammad Abduh dalam Tafsi>r al-Manna>r
yang ditulis dan dibukukan oleh Muhamad
Rasyid Rida memberi penafsiran yang berbeda
atas Q.S al-Taubah [09]: 29. Ayat ini bukan
merupakan perintah mutlak untuk memerangi
orang-orang Yahudi dan Nasrani dan menarik
jizyah kepada mereka. Stressing idea dalam
ayat ini yaitu karena adanya ‘illat yaitu
permusuhan dan rencana konspirasi dari
kelompok Ahl al-Kitab serta tidak
menghormati kesepakatan hukum yang telah
ditetapkan dan telah disepakati bersama.
Sebagaimana ketika sebelum ayat ini turun,
Rasulullah beserta para sahabat imemberi
toleransi kepada Yahudi Madinah dengan
kebebasan menjalankan agama dan kepada
Nasrani Romawi dalam hal batas-batas
wilayah, sebagaimana dalam Q.S al-Baqarah
[02]: 62. Turunnya ayat ini, menjadi sebab
syariat perang tatkala sekat-sekat aturan sudah
dilabrak.63
Senada dengan Abduh dan Rasyid Ridha,
Mustafa al-Maragi pada subbab Tafsi>r alMufradat menjelaskan bahwa yang dimaksud
kata al-ya>d dalam ayat yaitu waktu dan
kemampuan (al-sa>’ah wa al-qudrah).
Sedangkan kata al-s}agr yang diambil dari
s}a>girun merupakan maksud maknawi dari
ketundukan mereka kepada aturan-aturan yang
telah disepakati. Di bagian Ma’na al-Jam’i alMaragi memandang bahwa seluruh perangperang yang dilakukan oleh Rasulullah
berlandaskan jalan dakwah. Begitu pun perangperang setelahnya, yang dilakukan oleh para
sahabat dan kerajaan-kerajaan Islam, menjadi
bagian dari kepentingan dakwah dan politik.
Akan tetapi pada prinsipnya, Islam yaitu agama yang toleran, kasih sayang dan
menjunjung keadilan. 64
Dua kitab tafsir yang terakhir diulas dapat
dikatakan sudah melakukan kontekstualisasi
tahap pertama. Yaitu dengan mengambil
substansi pesan Al-Qur’an dan
menghubungkannya terhadap nilai-nilai
universal Al-Qur’an. Abdullah Saeed
mendefinisikannya dengan istilah relationship
of the message to the overall message of the
Quran. Hal ini menandakan sejak era
Muhammad Abduh, penafsiran kontekstual
mulai berkembang di dunia Islam.65
Dalam bukunya Interpreting the Quran,
Abdullah Saeed menempatkan ayat jizyah Q.S
al-Taubah ayat 29 sebagai contoh dari ayat
dengan nilai instruksional. Ia menjelaskan
bahwa ayat jizyah yaitu ayat yang sangat
spesifik, dengan situasi dan kondisi yang
spesifik, serta bukan merupakan nilai
substansial dalam ajaran Al-Qur’an yang
menjunjung toleransi keagamaan. Pendapat
Saeed terhadap ayat jizyah ini yaitu tidak
bisa diaplikasikan secara serta merta dalam
berbagai situasi dan kondisi. Relevansi ayat ini
bergantung pada konteks yang mengelilinya.
Dalam konteks negara bangsa ketika semua
warga negara setara, maka ayat ini tidak lagi
menjadi relevan. Saeed melihat bahwa ayat ini hanya berlaku ketika situasi Rasulullah saw
beserta para sahabat perlu melakukan ini
karena didorong situasi dan kondisi pada saat
itu. Kasus ini sama dengan contoh ayat-ayat
tentang perbudakan ketika Al-Qur’an
menyebutkan beberapa ayat mengenai ini.
Ketika perbudakan sudah dihapuskan, maka
ayat mengenai perbudakan secara otomatis
sudah tidak lagi relevan dan tidak perlu lagi
umat Islam menerapkannya. Abdullah Saeed
menilai bahwa ayat-ayat dalam koridor nilai
instruksional ini tidak lagi perlu
diimplementasikan secara paksa, karena pada
hakikatnya Al-Qur’an mendorong
kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.
Jasser Auda menekankan dua prinsip dasar
maqa>sid syari>’ah kontemporer dalam
menetapkan hukum Islam yaitu pertama
berlandaskan pada nilai-nilai universal yang
bersifat holistis dan kedua menitik beratkan
pada dala>lah maqs}u>d, meskipun tidak
sepenuhnya mengabaikan dala>lah nas}.
66
Berangkat dari dua prinsip dasar ini ,
peneliti membuat metode kontekstual untuk
ayat-ayat dalam kategori instruksional menjadi
tiga tahap:
Pertama, sesuai dengan prinsip holistis
menggunakan metode tematik dengan
mengumpulkan seluruh ayat-ayat dalam AlQur’an dalam tema yang hendak diteliti untuk
kemudian ditelurusi aspek presedennya
(kronologi pewahyuan). Kedua, mencari
dalalah maksud ayat yang hendak diteliti
dengan cara memahami konteks situasi dan kondisi secara spesifik (asba>b al-nuzu>l mikro)
dan memahami kultur budaya masyarakat Arab
(asba>b al-nuzu>l makro). Setelah ditemukan
data dan dipahami konteksnya, kemudian
dicari nilai-nilai universal yang terkandung di
dalamnya. Ketiga, mengkontekstualisasikan
ayat-ayat tadi, setelah ditemukan nilai
universalnya, dengan prinsip pada nilai yang
ada dalam klasifikasi nilai fundamental
(prinsip pembangunan sumber daya manusia).
Tesis yang dibangun oleh Abdullah Saeed
tentang tafsir kontekstual, tidak sepenuhnya
dapat mengkontekstualisasikan ayat-ayat etika
hukum (ayat jizyah). Ketika menafsirkan ayat
jizyah, Saeed gagal mengkontekstualisasikan,
mengambil dalalah maksud (yang terkandung
dalam praktek) dan terjebak oleh bunyi
teksnya. Oleh karena itu, menurut peneliti,
analisa linguistik tidak terlalu signifikan
diterapkan ketika menafsirkan ayat-ayat
spesifik-temporal yang sudah tidak eksis lagi
(secara praktek dan konsep yang persis), oleh
karena realita yang telah berubah.
Implementasi dari metode tafsir
kontekstual kontemporer terhadap ayat jizyah
yaitu sebagai berikut:
a. Tahap holistik
1. Mengumpulkan ayat-ayat setema
Telah dijelaskan pada bab kedua bahwa
ayat jizyah merupakan ayat havax hegomenon
yakni istilahnya (baca: jizyah) hanya
ditemukan dalam satu kasus ayat saja (Q.S alTaubah [9]: 29). Akan tetapi ayat ini
tetap termasuk dalam kategori ayat politik,
yang di dalamnya memuat derivasi lafad qatala
dan sebagainya. Hasil dari identifikasi peneliti
dengan menggunakan Mu’jam Mufahras li>
Alfa>z} Al-Qura>n terkait dengan ayat-ayat yang
mengandung kata qatala yaitu sebagai
berikut: Q.S al-Hajj [22]: 39-40, Q.S alBaqarah [2]: 190 dan 244, Q.S Ali Imran [3]:
167, Q.S Al-Nisa [4]: 76, 90, Q.S Al-Taubah [9]: 12, 29, 36 dan 123, dan Q.S al-Hujurat
[49]: 9.
2. Menentukan kronologi pewahyuan
Kaitannya dengan menentukan kronologi
pewahyuan penting diungkapkan disini bahwa
ayat pertama yang turun tentang kebijakan
politik (berperang), sangat memengaruhi
penafsiran pada ayat-ayat perang yang turun
kemudian. Telah dijelaskan di bab kedua
bahwa pada mulanya dakwah nabi dilakukan
dengan jalan damai dan persuasif. Selama itu
nabi dan para pengikutnya terus ditindas oleh
Quraisy Mekah. Setelah selama tiga belas
tahun bersabar, terus memaafkan yang pada
akhirnya sudah sulit ditemukan jalan damai,
Rasulullah diperintahkan untuk membela diri
dengan turunnya ayat Q.S al-Hajj [22]: 39-
40.67
Setelah ayat ini turun, kemudian
ayat-ayat perang lain turun dalam konteks
beberapa peperangan. Ayat yang turun pertama
dalam konteks perang Badar yakni Q.S al-Hajj
[22]: 39-40, lalu ketika perang Uhud Q.S Ali
Imran [3]: 167. Ayat yang diwahyukan pada
saat perang Tabuk Q.S Al-Taubah [9]: 29, dan
ayat yang berhubungan dengan orang munafik
Q.S al-Hujurat [49]: 9. Adapun kronologinya
sesuai dengan tahun yaitu sebagai berikut:
perang Badar terjadi pada tahun ke-2 H. Kemudian Perang Uhud pada tahun ke-3 H,
Perjanjian Hudaibiyah di tahun ke-8 H, dan
persitiwa perang Tabuk terjadi pada tahun ke-9
H.
Yang membedakan Q.S al-Taubah [09]: 29
dengan ayat-ayat yang lain yaitu dalam ayat
ini disebutkan bahwa ahli kitab
diwajibkan untuk membayar jizyah kepada
orang mukmin. Faktor jizyah inilah yang
menjadi pokok pembahasan dari seluruh
penelitian.
b. Tahap dala>lah maqs}u>d
1. Memahami asba>b nuzu>l mikro
Q.S al-Taubah [09]: 29 diturunkan
berkaitan dengan perang Tabuk.
2. Memahami asba>b nuzu>l makro
Praktek penerapan pajak upeti sepanjang
sejarah manusia, telah diterapkan oleh
penguasa politik kepada penduduk yang berada
di wilayah kekuasaannya. Tabuk merupakan
daerah utara jazirah Arab yang diduduki oleh
kerajaan Gassan, yang tunduk pada kekaisaran
Byzantium Romawi. Para penduduknya sangat
tertekan dengan pajak upeti yang dibebankan
kepada mereka oleh pihak kerajaan.
Setelah mengetahui kedatangan Rasulullah,
para penduduknya merasa senang dengan
harapan Islam dapat melindungi mereka dari
penindasan kerajaan Romawi terhadap mereka.
Hal ini benar adanya, dengan bukti bahwa
mereka secara sukarela menghendaki perjanjian
tunduk di bawah kepemimpinan Rasulullah dan
bersedia membayar jizyah kepada Rasul, yang
tentunya sangat lebih ringan dibandingkan
dengan beban yang mereka tanggung di bawah
kekuasaan kerajaan Gassan.
Rasulullah menetapkan jizyah kepada para
penduduk non-Muslim yang berada di bawah
perjanjian dengan beliau, yang kemudian
dikenal dengan istilah ahl z|immah, artinya
penduduk yang dilindungi. Kedudukannya
sama seperti Muslim, hak-hak mereka dijaga dan setara di bawah hukum yang berlaku.
Banyak riwayat yang menceritakan kasus
konflik antara Yahudi dan Muslim, seringkali
Yahudi dimenangkan oleh Rasulullah karena
terbukti orang Islam yang bersalah.68
Penerapan praktek jizyah tidak lebih dari
sekedar konsekuensi para penduduk untuk ikut
berkontribusi dan bekerja sama dengan
penguasa untuk kemaslahatan bersama.
3. Mengambil dala>lah maqs}u>d
Praktek Rasulullah yang memungut jizyah
dengan menempuh jalan kesepakatan dan
dengan prinsip tidak memberatkan,
menunjukkan bahwa pada tataran dala>lah
maqs}u>d, antara bunyi ayat dengan praktek
yang dilakukan oleh Rasulullah sangat jauh
berbeda. Melihat kepada penjelasan-penjelasan
sebelumnya, telah dipaparkan bahwa
Rasulullah saw merombak praktek pungutan
kepada penduduk yang tinggal di wilayahnya
dengan jalan damai dan saling menghargai satu
sama lain. Dari data-data yang telah
dikumpulkan, dapat diambil kesimpulan bahwa
dala>lah maqs}u>d dari ayat ini yaitu
menerapkan prinsip keadilan, kesetaraan, tidak
memberatkan dan kebebasan.
4. Menentukan nilai-nilai universal yang
terkandung dalam dala>lah
Dari penjelasan-penjelasan sebelumnya,
diketahui bahwa Rasulullah dengan
diturunkannya Q.S al-Taubah [09]: 29
mewajibkan non-Muslim untuk membayar
jizyah di bawah prinsip kesepakatan dan tidak
memberatkan. Juga karena prinsip kesetaraan
agar Muslim dan non-Muslim sama-sama dapat
berkontribusi untuk mempertahankan wilayah
Islam. Dapat ditentukan nilai-nilai universal yang ada di balik penerapan jizyah antara lain:
nilai kesetaraan, nilai kebebasan, nilai
perdamaian dan nilai keadilan.
c. Tahap aplikasi
1. Menentukan variabel yang sesuai
Pada tataran konsep dan ketentuan, jizyah
dan pajak—konteks saat ini di Indonesia—jauh
berbeda. Setelah berakhirnya Perang Dunia dan
dideklarasikan kesepakatan Internasional,
konsep jizyah yang sama persis mustahil untuk
diterapkan. Semua penduduk sama di mata
hukum, tidak ada perbedaan suku, agama, ras
dan warna kulit. Akan tetapi keduanya
memiliki kesamaan variabel, yaitu sama-sama
dijadikan sebagai sumber keuangan publik
untuk kemaslahatan bersama. Peneliti
berkeyakinan bahwa nilai-nilai universal dan
dalalah maksud yang ditemukan pada tahap
sebelumnya, dapat dipraktekkan ke dalam
pajak untuk konteks saat ini di Indonesia.
2. Mengaplikasikan dalalah dan nilai yang
telah ditemukan dengan prinsip
pembangunan sumber daya manusia
Kewajiban jizyah yang ditetapkan oleh AlQur’an kepada non-Muslim menandakan dua
hal. Pertama, ketaaatan pada kepemimpinan
sah merupakan bentuk kewajiban—selain Q.S
al-Nisa [4]: 29. Kedua, kontribusi penduduk
kepada negaranya juga merupakan suatu
kewajiban.
Hingga saat ini, belum ada fatwa yang
dikeluarkan oleh MUI tentang kewajiban
membayar pajak. Hal ini menyebabkan
sebagian warga Muslim di Indonesia, enggan
membayar pajak dengan dalih telah membayar
zakat, karena pajak tidak wajib dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, salah satu hasil
kesimpulan ijtihad peneliti, pajak—
sebagaimana jizyah—wajib bagi setiap
penduduk yang tunduk di bawah satu kepemimpinan politik.69 Islam melegitimasi
hal ini dengan kontekstualisasi ayat
jizyah, bahwa selain kewajiban sebagai warga
negara, Al-Qur’an mewajibkan untuk
membayar pajak.
Adapun nilai-nilai seperti kesetaraan,
keadilan, tidak memberatkan dan keadilan,
dapat diaplikasikan dengan cara sebagai
berikut: a. Nilai kesetaraan diaplikasikan
dengan cara pembangunan sistem pembayaran
pajak yang transparan, dan dapat diakses oleh
seluruh warga Indonesia. Agar setiap warga
dapat membayar pajak dan mendapatkan hak
yang sama tanpa diskriminasi. b. Keadilan,
telah diaplikasikan oleh Negara dengan adanya
UU Zakat70 yang dapat mengurangi beban
pajak. Namun pada prakteknya belum
dioptimalkan dengan baik karena penerimaan
pajak tetap kurang dari estimasi wajib pajak. c.
Tidak memberatkan dapat diimplementasikan
dengan cara membangun sistem pembayaran
yang mudah, cepat dan efisien. Birokrasi yang
tidak berbelit-belit dan lain-lain. Penghapusan
denda pajak yang telah diberlakukan
merupakan salah satu konsep yang sesuai
dengan nilai tidak memberatkan.71
Agama sebagai sebuah institusi harus
berkontribusi dengan jalan solutif bagi kemaslahatan umat manusia. Kegiatan
menafsirkan teks agama dalam hal ini AlQur’an seyogyanya turut ambil bagian
imemberi jalan keluar bagi permasalahanpermasalahan manusia secara umum. Bukan
menjadi biang konflik yang menyerang dan
menghalalkan kekerasan. Baik kekerasan fisik
maupun kekerasan wacana. Tidak bisa
disangkal bahwa dalam Al-Qur’an terdapat
ayat-ayat yang jika dipahami secara tekstual
dapat menimbulkan aksi radikal dan terorisme
terhadap orang lain. Oleh karena itu,
penafsiran-penafsiran yang humanis perlu terus
dilakukan dan dikedepankan.
Penutup
Penafsiran ayat jizyah yakni Q.S AlTaubah [09]: 29 dengan metode tafsir
kontekstual Abdullah Saeed menemukan
beberapa kendala. Pertama, Abdullah Saeed
belum menerapkan metode tafsir
kontekstualnya terhadap ayat jizyah. Sehingga
tidak ditemukan gambaran utuh mengenai
penafsiran beliau tentang ayat ini . Kedua,
menurut analisa Abdullah Saeed tentang ayat
jizyah, ayat ini merupakan ayat intoleran
dan diskriminatif terhadap non-Muslim yang
bertentangan dengan nilai-nilai universal AlQur’an yang bersifat toleran dan egaliter.
Dengan demikian bagi Saeed, untuk
memahami ayat jizyah dalam Q.S Al-Taubah
[09]: 29 harus dikembalikan kepada ayat-ayat
Al-Qur’an yang bersifat universal seperti Q.S
Al-Baqarah [02]: 256 tentang tidak ada
paksaan dalam beragama.
Untuk menjawab problem pertama di atas
dan problem kedua terkait dengan relevansi
ayat, peneliti kemudian mengkonvergensikan
metode tafsir kontekstual Abdullah Saeed
dengan perspektif maqa>s}id syari>’ah
kontemporer Jasser Auda. Metode tafsir
kontekstual maqa>s}idi yaitu metode tafsir
kontekstual yang menekankan maksud syariah sebagai basis penafsiran. Metode tafsir
kontekstual maqa>s}idi menghendaki penafsiran
ayat berdasarkan dala>lah maqs}u>d dan nilai
universal yang dipraktekkan oleh Rasulullah.
Ada tiga tahap yang dilalui oleh metode
ini . (1) tahap holistitik yakni
menginventarisir ayat-ayat setema, kemudian
menyusunnya sesuai dengan kronologi
pewahyuan. (2) tahap dala>lah maqs}u>d yaitu
dengan cara memahami asbab nuzul mikro dan
asbab nuzul makro dari ayat yang fokusnya
yaitu bagaimana Nabi mengamalkan ayat
ini . Praktek Rasulullah yang memungut
jizyah dengan menempuh jalan kesepakatan
dan dengan prinsip tidak memberatkan,
menunjukkan bahwa pada tataran dala>lah
maqs}u>d, antara bunyi ayat dengan praktek
yang dilakukan oleh Rasulullah sangat jauh
berbeda. Maka dapat diambil kesimpulan
bahwa dala>lah maqs}u>d dari ayat ini yaitu
menerapkan prinsip keadilan, kesetaraan dan
tidak memberatkan. Dari sini dapat ditentukan
nilai universal di balik penerapan jizyah antara
lain: nilai kesetaraan dan tidak memberatkan.
(3) tahap aplikasi, yaitu menentukan variabel
yang sesuai dan mengimplementasikan dala>lah
dan nilai yang telah ditemukan. Untuk konteks
sekarang, jizyah dapat dikatakan sebagai pajak.
Nilai-nilai seperti kesetaraan, keadilan, tidak
memberatkan dan keadilan dapat diaplikasikan
sebagai berikut:a. Nilai kesetaraan
diaplikasikan dengan cara pembangunan sistem
pembayaran pajak yang transparan, dan dapat
diakses oleh seluruh warga. Agar setiap warga
dapat membayar pajak dan mendapatkan hak
yang sama tanpa diskriminasi.b. Tidak
memberatkan dapat diimplementasikan dengan
cara membangun sistem pembayaran yang
mudah, cepat dan efisien. Penghapusan denda
pajak yang telah diberlakukan merupakan salah
satu konsep yang sesuai dengan nilai tidak
memberatkan.
Artikel ini mengungkap tafsir terhadap ayat Jizyah dalam Q.S Al-Taubah 29 yang
seringkali dijadikan legitimasi memerangi kelompok yang dianggap tidak beriman, bagi kelompok
radikal Islam. Hal ini dikarenakan belum ada upaya penafsiran yang relevan dan kontekstual untuk
saat ini sehingga bila dibaca secara tekstual maka dapat dengan mudah disalahpahami. Artikel ini
bertujuan untuk melakukan kontekstualisasi ayat jizyah dan melihat relevansinya dengan
menggunakan metode tafsir kontekstual Abdullah Saeed. Dengan metode tafsir kontekstual,
ditemukan bahwa ayat jizyah termasuk dalam nilai instruksional yang tergantung pada konteks.
Sehingga dalam memahaminya perlu pengetahuan secara komprehensif tentang konteks, situasi
dan kondisi secara spesifik dan tidak bisa serta merta dilihat sebagai ayat yang dapat diterapkan di
segala waktu dan tempat. Kemudian dengan menggunakan metode maqa>s}id as-syari>’ah yang
dikembangkan Jasser Auda, akan ditemukan hakikat nilai universal yang terkandung di dalam ayat
jizyah. Artikel ini juga sekaligus melengkapi penafsiran terhadap ayat Jizyah yang belum
dilakukan secara komperhensif relevansi ayat ini atas situasi politik dengan model nation
state seperti sekarang. Para mufassir Al-Qur’an baik yang klasik seperti Al-Tabari dan alJashshash maupun yang kontemporer seperti al-Maraghi dan ‘Ali al-Sabuni mengulas ayat ini
hanya dari sisi linguistik, historis dan hukum Islam dalam bingkai suasana politik masa lalu.
Namun temuan penulis dengan menggunakan metode kontekstual Abdullah Saeed beserta
konvergensi dengan Maqa>s}id as-Syari>’ah Jasser Auda, ayat Jizyah justru menawarkan pesan untuk
berlaku adil secara sosial dan berbuat toleransi terhadap orang-orang yang bertentangan dengan
nilai-nilai universal Al-Qur’an.







