Hadist Nabawi 3

 


an punya daya ingat yang kuat, yang dimiliki 

perawi, bersanad dan bersambung, tidak cacat dan tidak janggal, 

seperti yang dinyatakan di atas, menjadi syarat mutlak bagi 

keshahihan suatu hadits. Jadi di sini sesungguhnya pandangan 

Muhammad al-Ghazali tentang pembagian persyaratan hadits 

seperti yang telah ditulis dalam bukunya, tidak ada masalah 

yang perlu dibicarakan. Karena memang sesuai dengan rumusan 

persyaratan yang telah dibuat oleh para ulama ahli hadits. 

 

 

 

Misalnya para ulama ahli hadits, seperti Ibn Katsir menyatakan 

sebagai berikut: 

َّعفريوَّذئنيحَّعفنيَّ ةعباتلماَّ نافَّلاسرمَّثيدلِاَّىورَّ واَّظفلِاَّئيسَّ ويوارَّناكَّ اذاَّ امك

َّةحّصلاواَّنسلِاَّجواَّلَاَّفيعضلاَّضيضحَّنعَّثيدلِاَّ

“Adapun apabila perawi-perawi hadits itu jelek 

hafalannya atau meriwayatkan hadits mursal, maka 

sesungguhnya mutaba „ah („adanya perawi yang lain 

meniwayatkan yang seperti itu) dalam keadaan seperti yang tadi 

terdapat manfaat, dan hadits itu dinaikkan tingkat derajatnya 

dan kerendahan dha„if kepada ketinggian derajat hasan atau 

shahih.” 

 

Hal yang sama dinyatakan pula oleh al-Suyuthi, yang 

menyatakan: 

َّواَّنسلِاَّةجردَّلَاَّىقريَّونافَّكلذَّونََّواَّىوارلاَّظفحَّءوسلَّثيدلِاَّفعضَّناكاذاَّامأ

َّكلذكَّتناكَّناَّوقرطَّددّعتبَّةحّصّلا 

“Adapun apabila perawi hadits ilu didha „if/can karena 

hafalan perawinya jelek atau yang seperti itu, ma/ca 

sesungguhnya hadits itu ditingkatkan pada derajat hasan atau 

shahih, karena disebabkan banyakjalan periwayatannya, bila 

keadaan perawi-perawi yang lain itu sama seperti itu.”90 

 

Demikian pula pandangan Muhammad al-Ghazali 

mengenai hadits Mutawatir dan Ahad, tidak ada perbedaan yang 

perlu dipersoalkan. Hanya saja dari segi kritik matn hadits, 

sekilas Muhammad al-Ghazali tampak kritis, sehingga ia terlihat 

                                                 

banyak meragukan sejumlah hadits yang terdapat dalam kitab-

kitab hadits. 

Karena memang kritik terhadap matn hadits termasuk 

kritik yang paling sulit dibandingkan dengan kritik sanad. 

Karena kritik matn berarti harus berani menyatakan bahwa suatu 

hadits itu lemah atau harus dita‟wilkan jika matn hadits itu 

sendiri akan diselamatkan dari penilaian lemah (dha‟if). Hal ini 

didasarkan atas asumsi bahwa dalam suatu hadits itu ada yang 

sanadnya shahih tapi matnnya tidak shahih. Ada pula yang 

matnnya shahih tapi sanadnya tidak shahih. Ada hadits yang 

sanad dan matnnya shahih, dan ada pula yang sanadnya lemah 

dan matnnya lemah pula. 

Menurut al-Jazairi,91 untuk menentukan keshahihan suatu 

hadits perlu pula diikutsertakan para mujtahid. Sementara itu al-

Sam‟ani menyatakan bahwa keshahihan suatu hadits itu tidak 

cukup dengan riwayat dari orang yang tsiqat saja, tetapi juga 

diperlukan pemahaman, pengetahuan dan pendalaman melalui 

diskusi yang panjang mengenai hadits itu. 

Ini artinya bahwa untuk menyatakan keshahihan suatu 

matn hadits ternyata memerlukan kemampuan intelektual yang 

tinggi dan pemahaman ajaran agama (Islam) secara holistik dan 

                                                 

padu. Lebih dari itu seseorang yang ingin menyatakan bahwa 

suatu hadits itu shahih dari berbagai sudut pandang, tentunya 

harus memahami al-Qur‟an pula, setidak-tidaknya yang 

berkaitan dengan masalah yang dibahas. 

Dengan demikian, pandangan al-Ghazali di atas, yang 

menyatakan bahwa jika matn hadits itu bententangan dengan 

salah satu makna al-Qur‟an, langsung atau tidak langsung, maka 

sesungguhnya hadits itu cacat. Pandangan ini bukan hal yang 

baru dalam lapangan keilmuan hadits. Jauh-jauh hari para ulama 

hadits telah menyatakan demikian. Yakni keshahihan suatu 

hadits itu bukan semata-mata dari segi sanadnya saja, tetapi juga 

dan segi matnnya. Bahkan lebih dari itu, keshahihan suatu hadits 

bukan monopoli dari segi riwayat (sanad), namun juga perlu 

diketahui dan segi pemahaman, hafalan, dan banyak mendengar, 

karena ketekunan ini merupakan jalan untuk mengetahui „illat 

suatu hadits. „Illat itu sendiri bisa terjadi pada matn dan bisa 

pula pada sanadnya. Demikian pula suatu kejanggalan (syadz), 

akan dapat diketahui dengan banyak mendengar dan menekuni 

hadits secara mendalam. 

  

 

Lebih jauhnya, para ulama ahli hadits92 telah memberikan 

rumusan persyaratan keshahihan hadits dari segi matnnya, 

antara lain sebagai berikut: 

َِّدَْلِاََُّتاوَرَُّنَاكََوَّرٍِتاوَ َتمٍَُّبََخََّوَْاَّةٍَيَاَّةِفَلَاَمَُُّنْمَِّهُانَعْمَوََّةٍكَاكََرَّنْمَِّوًُظفْلََّمَلِسَامََّحُيْحِ صلاَّثُيَّْوُ

ًَّلاوْدُعَُّ

“Hadits shahih itu adalah susunan lafadznya bersih dari 

bahasa yang rendah (tidak pantas), dan maksudnya (materi 

hadits) itu tidak bertentangan dengan ayat atau hadits yang 

mutawatir dan periwayatnya adalah orang yang dapat 

dipercaya.” 

َّلقْعَلْاَّحِيِْرصََّوَْاَّةِرَِتوَ َتمُلْاَّةِنَُّسلاِوَاَّنَِأرْقُلْاَّ ٍّص نِلَّاضًقِانَ َتمَُّنَوْكُيََّنَْاَّاهَ ْ نمِوَ 

 “Dan di antara tanda-tanda hadits itu dha „f adalah 

bertentangan dengan nash al-Qur „an atau sunnah yang 

mutawatir, atau bertentangan dengan akal sehat”. 

َِّةَرِتوَ َتمُلْاَّةِ نُّسلاَّوَِاَّةِيَعِطْقَلْاَّبِاتَكِلاَّةُلََلادَِّىوِرْمَلْاَّفَلَاَيَُُّنَْا 

“(Tanda-tanda hadits dha„if itu,) adalah maksud riwayat 

itu bertentangan dengan nash al-Qur „an yang qath„i atau 

dengan sunnah yang mutawatir.” 

                                                 


 

َُّّسلاَّواَّةِيَعِطْقَلاَّبِاتَكِلْاَّةِلََلاٍّدلَِّافًلَاَمَُُّنَوْكُيََّنْأَِبَّايًعِطْقََّلايِْلدََّفُلِاَيَُُّىوِانَ َيَّنَْاا ماِوََّةِ ن

َِّةَرِتوَ َتمُلْا 

“... Dan adapun hadits (dha‟if) itu adalah bertentangan 

dengan dalil yang tegas yaitu nash al-Qur„an yang qath„i atau 

dengan sunnah yang mutawatir.” 

Muhammad al-Ghazali mengisyaratkan pula bahwa ia 

sesungguhnya bisa menerima periwayatan hadits Ahad, selama 

hadits tersebut memenuhi persyaratan keshahihan suatu hadits 

yang telah ditetapkan. Baik shahih dari segi sanad maupun 

matnnya. Dalam hal ini al-Ghazali tentunya berbeda dengan 

para pemikir lainnya yang menolak hadits Ahad, dengan alasan 

bahwa status hadits ini dari segi periwayatannya hanya 

bertingkat zhanniy al-wurud dan dari segi kehujjahannya 

bertingkat zhanniy al-dalalah. Hal ini dianggap meragukan 

sebagai sesuatu yang berasal dari Rasul. 

 

D. Catatan atas Pemahaman Hadits  

Di antara hadits-hadits yang digugat oleh Muhammad al-

Ghazali, sesuai dengan pandangannya bahwa jika hadits dan 

segi maknanya bertentangan dengan ayat al-Qur‟an atau 

bertentangan dengan akal sehat, maka hadits itu tertolak untuk 

 

dikatakan sebagai hadits shahih, meski diriwayatkan dan telah 

dishahihkan oleh para ulama ahli hadits. 

Hadits-hadits itu antara lain sebagai berikut: 

1. Hadits: Musa Meninju Mata Malaikat 

َّنُبْاَّلَاَقوََّ.اَنرَ َبخْأََّ:َّدٌبْعََّلَاَقَّدٍيَْحَُّْنُبَّْدُبْعََّوََّعٍفِاَرَّنُبَّْدُ مَمََُّنيثدّحوَّدُبْعََّانَ َث  دحََّ:َّعٍفِاَر

َّكُلَمََّ لَسِرُْأَّ :لَاَقَّ ،َّ ةَرَ ْيرَىَُّ بِأََّ نْعََّ ،وِيِبَأَّ نْعََّ .َّ سٍوُاَطَّ نِبْاَّ نِعََّ رٌمَعْمََّ اَنرَ َبخْأََّ .َّ قِا ز رلا

ََّ فَّ وٍِّبَرَّ لََإَِّ عَجَرَ َفَّ .وُنَ ْ يعََّ أَقفَ َفَّ وُ كصََّ هُءَاجََّ ا ملَ َفَّ .مُلَا سلاَّ وِيْلَعََّ ىسَومَُّ لََإَِّ تِوْمَلْاَّ:لَاقَ

َّلْقُ َفَّ.وِيَْلِإَّعْ جِرْاَّ:لَاَقوََّوُنَ ْ يعََّوِيَْلِإَّوُلّلاَّ درَ َفَّ:لَاَقَّ.تَوْمَلْاَّدُيِرُيَّلَاَّدٍبْعََّلََإَِّنِيتَلْسَرَْأَّعُضَيََّ:وُلَ

َّْومََّ ثُمَّ ٍّبرََّيْأََّ:لَاَقَّ.ةٌنَسََّ،ةٍرَعْشٍََّّلكُبَِّ هُدَُيَّتْ طغََّ اَبَِّ،وُلَ َفَّ،رٍوْ َثَّ ِتْنمََّىلَعََّ هُدََيَّ ثُمَّ:لَاَقَّ؟

َّنلآاَفَّ:لَاَقَّ.تُوْمَلْا. 

“Dari Abu Hurairah, Rasul bersabda, Malaikat pencabut 

nyawa diutus untuk mendatangi Musa. Ketika ia tiba, Musa 

meninju mata malaikat itu hingga buta sebelah. Maka ia 

kembali lagi kepada Tuhannya dan berkata; Engkau 

mengutusku untuk mendatangi seorang hamba yang tidak 

menghendaki kematian: Allah berfirman. Kembalilah dan 

katakan kepadanya agar ia meletakkan tangannya di atas 

punggung seekor sapi jantan. Dan setiap helai rambut yang 

dapat ditutupi oleh tangannya, maka baginya satu tahun. Musa 

berkata; wahai Rabbku, kemudian sesudah itu apa lagi? Allah 

berfirman: Kematian. Lalu Musa berkata: Kalau begitu 

sekarang saja” (Riwayat Bukhari dan Muslim).93 

 

                                                 

Menurut Abdullah Ibn Ali al-Najdy al-Qushaimy,94 isnad 

hadits ini shahih, namun pengertiannya menimbulkan beberapa 

kemusykilan, antara lain: 

Andaikata ada seseorang sampai mencongkel mata orang 

lain, maka ia dianggap orang yang fasik dan zhalim. Lalu 

bagaimanakah keadaan orang yang berani mencongkel atau 

meninju mata malaikat? Tentu saja kefasikan dan 

kezhalimannya jauh lebih besar dan lebih nampak. 

Hadits ini menunjukkan bahwa malaikat pencabut nyawa 

datang menghampiri Musa secara zhahir, sehingga ia dapat 

melihatnya. Apakah malaikat pencabut nyawa itu dapat dilihat? 

Tak dapat diragukan lagi bahwa tindakan Musa yang 

menempeleng malaikat hingga matanya terlepas keluar dari 

tempatnya, merupakan sikap enggan Musa menerima kematian 

dan keinginannya untuk tetap hidup. Lalu mengapa ia tak mau 

menerima umur yang lehih panjang yang ditawarkan Allah 

kepadanya sebanyak helai rambut di punggung sapi jantan yang 

dapat ditutupi dengan tangannya? Hadits ini berarti 

menimbulkan kontradiksi. 

Ali al-Najdy95 lebih lanjut memberikan komentar bahwa 

kontradiksi inilah di antara kerumitan yang mungkin dihadapi 

                                                 

oleh para pembaca. Karena tidak dapat memahaminya, maka 

ada yang tidak mau menerima hadits ini. Bahkan ada 

sekelompok orang yang menganggap hadits ini dusta. Semetara 

itu, penolakan mereka tidak mampu mendha‟ifkan hadits shahih. 

Di atas terlihat bahwa satu sisi Ali al-Naidy mengenyam-

pingkan keraguan banyak orang terhadap hadits ini sebagai 

hadits yang shahih. Artinya ia tetap menganggap bahwa hadits 

itu tetap shahih, meski bertentangan dengan akal sehat, 

sebagaimana yang diragukan oleh Muhammad al-Ghazali. Teta-

pi di sisi lain, penulis ini juga (Ali al-Najdy) mengutip per-

nyataan Imam Ahmad yang menyatakan: Malaikat pencabut 

nyawa yang mendatangi manusia dapat dilihat dengan mata, 

kami kira bukan riwayat yang shahih. Kalau pun shahih, maka 

itu adalah ucapan Abu Hurairah dan bukan riwayat yang 

marfu‟.96 

Dengan demikian, pemahaman terhadap hadits di atas, 

tidak cukup jelas diberikan oleh Ali al-Najdy, yang sengaja 

membahas hadits-hadits seperti itu, sesuai judul bukunya; 

memahami hadits-hadits musykil (Musykilat al-Ahadits al-Naba-

wiyah wa Bayanuha). Karena itu kritik Muhammad al-Ghazali 

terhadap hadits ini tampak lebih bisa diterima bahwa hadits 

                                                                                                         

tersebut diragukan segi maknanya sebagai sesuatu yang berasal 

dari Rasul, dibanding untuk dikatakan sebagai hadits shahih. 

Jika pun dianggap shahih, barangkali bukan hadits melainkan 

sebatas pernyataan Abu Hurairah saja. Hal ini sebagaimana 

komentar yang diberikan oleh Imam Ahmad di atas. Karenanya, 

kritik al-Ghazali, tampaknya merupakan masukan yang sangat 

berharga untuk dijadikan bahan penelitian lebih lanjut tentang 

status dan kehujjahan hadits ini. Ini artinya penilaian terhadap 

hadits ini belum final. Al-Ghazali sendiri menghendaki bahwa 

kritik terhadap matn hadits itu bukan semata-mata monopoli 

para ahli hadits, melainkan juga kewajiban semua pihak yang 

ahli dalam keilmuan Islam, seperti para fuqaha, mufasir, teolog 

dan lain sebagainya. 

Namun di lain tempat, keraguan Muhammad al-Ghazali 

terhadap hadits di atas, ternyata mendapat tanggapan yang keras 

pula dari Rabbi‟ Ibn Hadi al-Madkhaly,97 yang menyatakan 

bahwa keengganan untuk mati merupakan fitrah yang diberikan 

Allah kepada manusia. Allah telah mensyari‟atkan agar membela 

diri dan melarang menjerumuskan diri dalam kehancuran. Para 

Nabi adalah orang-orang yang paling berani. Meskipun begitu, 

                                                 

mereka tetap mencari faktor-faktor untuk membela dirinya dari 

bahaya dan serangan musuh. Rasulullah sendiri pernah ber-

sembunyi di dalam gua dan berhijrah secara sembunyi-sem-

bunyi, sebagai langkah beliau dalam mencari faktor yang bisa 

menutupi keberadaannya, sehingga musuh tidak mengetahuinya. 

Beliau juga pernah menjadikan sebagian shahabat sebagai 

pengawal yang selalu menjaganya dari tipu daya musuh. Namun 

kemudian Allah menurunkan ayat: “Allah memelihara kamu 

dari (gangguan) manusia” (QS. al-Maidah: 67). sesudah  itu 

beliau tidak lagi menjadikan sebagian para shahabat sebagai 

penjaganya. 

Rabbi Bin Hadi al-Madkhaly, kemudian menutup pernya-

taannya dengan kalimat berupa nasihat kepada Muhammad al-

Ghazali, ia menyatakan: Kami nasihatkan kepada al-Ghazali, 

hendaklah ia kembali kepada kesungguh-sungguhan yang benar, 

menciptakan ketentraman bagi dirinya dan umat dengan mem-

benahi anggapan-anggapan yang menyimpang dari kesalahan-

kesalahannya yang terlalu mencolok, demi kepentingan dirinya 

sendiri dan juga generasi muda, yang selama ini telah bergelut 

dengan kajian-kajian ilmiah, namun berpindah ke fatamorgana 

 

yang meliuk-liuk seperti aliran air. Namun ketika dihampiri, di 

sana tidak ada apa-apa.98 


2. Hadits: Mayyit Disiksa Karena Tangisan 

Keluarganya. 

 

Untuk memperjelas pembahasan tentang hadits ini, ada 

baiknya jika dipaparkan secara lengkap dan apa adanya, sesuai 

dengan yang dijelaskan dalam kitab hadits, baik yang ada dalam 

shahih al-Bukhari maupun kitab Syarh Shahih al-Bukhari, 

seperti yang ditulis oleh Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath 

al-Barri,99 sebagai berikut: 

َّملّسوَّويلعَّللهاَّىلصٍَّّبِنلاَّلِوق«َّوِلىأَّءِاكبَّضِعببَّتٍُّيلماَّبُ ذعُيَّنمَّحُو نلاَّناكَّاذإَّويلع

َِّوت نسُ» َّ:يْرحتلا[َّ}اًراَنَّمْكُيلِىَْأوََّمْكُسَفُنَأَّاْوقُ{َّ:لَاعتَّللهاَّلوقل6َّ:ُّبِنلاَّلاقوَّ]«َّمكُّلك

َِّوت يعرََّنعَّ لٌوؤسموَّعٍارَّ»َّاهنعَّللهاَّيضرَّ ةُشئاعَّتلاقَّ امكَّوهفَّ وِت نسَُّنمَّ نْكيَّلََّ اذإف

[َّ .}ىرَخْأَُّ رَزْوَِّ ةٌَرِزاوََّ رُِزَتَّ لَاوَ{:رطاف81 [َّلََإَِّ  َّ اًبونذَّ  َّ ةٌلَقَ ْثمَُّ عُْدتََّ نإِوَ{َّ :وِلوقكَّ وىو

َّ:رطاف[َّ}ءٌيْشََّوُنْمَِّلْمَْيََُّلَاَّاهَلِْحِْ81َُّّبِنلاَّلاقوَّحٍوَنَّنًغَّنمَّءِابكلاَّنَمَّصُ خرُيَّاموَّ]

َّ:ملّسوَّويلعَّللهاَّىلص«اهمدَّنمَّلٌفكَّلِ ولأاَّمَدَآَّنِباَّىلعَّناكَّلّاإَّاملُظَّسٌفنَّلُتَقْ ُتَّلاَّ»

ََّلتقلاَّ  نسَّنمَّلُوأَّونلأَّكلذو. 

                                                 

 

“Nabi SAW telah bersabda: Mayyit itu akan disiksa 

karena disebabkan tangisan keluarganya atas, apabila keadaan 

ratapan/tangisan itu bagian dari kebiasaan (tanggungjawab 

moral yang manusiawi), sesuai dengan firman Allah yang 

menyatakan: Jagalah diri-diri kamu dan keluargamu dari siksa 

api neraka. Dan sesuai pula dengan sabda Nabi SAW yang 

menyatakan bahwa kamu sekalian adalah pemimpin dan akan 

dipinta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Akan 

tetapi jika tidak ada rasa itu, maka sesungguhnya sama dengan 

apa yang dinyatakan Aisyah RA yang mengemukakan suatu 

ayat:“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang 

lain” (QS. Fathir: 18). Hal ini sesuai dengan sabda Nabi yang 

lain, yang menyatakan:“Dan jika hal itu dimaksudkan 

memberatkan dosanya, maka tidak ada beban dosa darinya 

sedikitpun. Dan tidak meringankan (dosa) dari tangisan yang 

meratap itu.” Sabda Nabi yang lain pula menyatakan: 

“Seseorang tidak dibunuh secara zhalim kecuali anak Adam 

yang pertama,yang memastikan cucuran darahnya sebagai awal 

dari adanya pembunuhan.” 

 

َّبِأَّنِبَّلِلهاَّدِيبعَُّنُبَّلِلهاَّدُبعَّنيبَخأَّلاقَّجٍيرجَُّنُباَّانَبَخأَّلِلهاَّدُبعَّانَث  دحَّنُادبعََّانث  دح

َّلاقَّةَكيلَمُ«عَّنُباَّاىرَضَحوَّ،اىدَهشْنَِلَّانئْجوَّةَكبَِّوُنعَّلُلهاَّيَضرَّنَامثعلَّةٌنباَّتْيٍَّ فوُ ُتَّرَم

َّءاجَّ ثمَّ،اهمدِحَأَّلَإَّتُسلجََّ:لاقَّوأَّ  امهنَيبَّسٌلالجَّنيإوَّ،مهنعَّلُلهاَّ يَضرَّسٍا بعَّنُباو

َّلاأَّ:نَامثعَّنبَّوِرمْعَلَّامهنعَّللهاَّيَضرَّرَمعَّنُبَّلِلهاَّدُبعَّلاقفَّ  َّبِنجََّلَإَّسَلجفَّرُخَلآا

ٍَّّيلماَّنإَّ:لاقَّملّسوَّويلعَّللهاَّىلصَّلِلهاَّلَوسرَّ نإفَّ؟ءِاكبلاَّنِعَّىهنتَّولِىأَّءِاكبُِبَّبُ ذعيُلَّتَ

ويلع». 

“Telah menceritakan kepada kami Abdan, ia menerima 

riwayat dari Abdullah, yang menyatakan bahwa ia telah 

mengabarkan kepada kami Ibn Juraij, yang menyatakan bahwa 

telah mengabarkan kepadaku Abdullah Ibn Ubaidillah Ibn Abu 

  


Mulaikah. Ia berkata; telah meninggal dunia putri Utsman RA 

di Mekkah, kemudian kami datang untuk melayatnya, dan hadir 

pula Ibn Umar dan Ibn Abbas dan sesungguhnya saya duduk di 

antara keduanya, atau saya duduk di samping salah seorang 

dari keduanya. Maka berkata Abdullah Ibn Umar kepada Amr 

Ibn Utsman: Ingatlah! Kamu dilarang menangis, karena 

sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda; sesungguhnya 

mayyit itu disiksa karena tangisan keluarganya atasnya “. 

 

ضرَّ رُمعَّ ناكَّ دقَّ :امهنعَّ لُلهاَّ يَضرَّ سٍابعَّ نُباَّ لاقفَّ ثمَّ ،كلذَّ ضَعبَّ لوقيَّ ونعَّ لُلهاَّ يَ

َّبٍكَرِبَّوَىَّاذإَّءِاديْ َبلابَّا نكَّاذإَّتىحَّ،ةَكمَّنمَِّونعَّلُلهاَّيَضرَّرَمعَّعمََّتُردَصََّ:لاقَّثَ دح

َّ،بٌيهَصَُّ اذإفَّ تُرَْظنَفَّ :لاقَّ .بُك رلاَّ ءِلاؤىَّ نمَّ رُْظنافَّ بْىَذاَّ لاقفَّ ،ةٍرُسَََّ ٍّلظَِّ تَتَ

إَّتُعجرَ َفَّ.ليَّوُعُدْاَّ:لاقفَّ،وُتبَخأفاملفَّ.نٌنمؤلماَّنًمأبَّقلِْافَّلَِْتَراَّ:تُلقفَّبٍيَهصَُّلَ 

َّايَّ:وُنعَّلُلهاَّيَضرَّرُمعَّلاقفَّ.هُابحاصاوَّهُاخأاوَّ:لُوقيَّيكبَيَّبٌيهَصَُّلَخدَّرُمعَّبَيصأُ

َّضِعببَّبُ ذعُيَّتٍّيلماَّنإَّ:ملّسوَّويلعَّللهاَّىلصَّلِلهاَّ لُوسرَّلاقَّدقوَّ  يلعَّيكبتأَّبُيهصُ

ويلعَّوِلىأَّءِاكبُ» 

“Ibn Abbas berkata; adalah Umar menyatakan kejadian 

itu, kemudian Ibn Abbas berkata: saya dan Umar kembali dari 

Mekkah, ketika kami sampai di perbatasan, ternyata ada yang 

berkendaraan sedang berhenti di bawah pohon rindang. 

Kemudian Umar berkata: pergilah dan lihatlah siapa dia itu 

yang berkendaraan? Maka aku mengabarkan kepada Umar. 

Umar berkata; bawalah ia kepadaku. Kemudian aku datang 

kepada Shuhaib dan menyatakan; turunlah dan temui Amir al-

Mukminin. Maka ketika Umar terkena (tikam), Shuhaib masuk 

menemuinya sambil menangis, ia berkata, wahai saudaraku, 

wahai temanku! Umar berkata; Wahai Shuhaib! Apakah engkau 

menangisiku? Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: 

Sesungguhnya mayyit disiksa disebabkan oleh sebagian dari 

tangisan keluarganya atasnya.” 

 

لاقََّّ امهنعَّ لُلهاَّ يَضرَّ سٍا بعَّ نُبا«َّةَشئاعلَّكلذَّ تُركَذَّ وُنعَّ لُلهاَّ يَضرَّ رُمعَّتامَّ ا ملف

َّ نأَّملّسوَّويلعَّللهاَّىلصَّلِلهاَّلُوسرَّثَ دحَّامَّلِلهاوَّ،رَمعَّلُلهاَّمَحرََّ:تلاقفَّاهنعَّلُلهاَّيَضر

سوَّويلعَّللهاَّىلصَّلِلهاَّلَوسرَّ  نكلوَّ،ويلعَّ وِلىأَّءِاكببَّنَمؤلماَّبٍَّذعيُلَّلُلهاَّللهاَّنإَّ:لاقَّملّ

َّ}ىرخأَّرَزِوَّةٌرزاوَّرُِزَتَّلاو{َّنُآرقُلاَّمكبُسحََّتلاقوَّ،ويلعَّوِلىأَّءِاكببَّاًباذعَّرَفاكلاَّدُيزيَل

َّ:رطاف[81َّ}ىكبأوَّكَحضأَّوَى{َّللهاوَّ:كلذَّدَنعَّامهنعَّلُلهاَّيَضرَّسٍا بعَّنُباَّلاقَّ.]

َّ:مجنلا[34َّيضرَّرَمعَّنُباَّلاقَّامَّلِلهاوَّ:ةَكيلمَُّبِأَّنُباَّلاقَّ.]ًََّّائيشَّامهنعَّللها». 

“Ibn Abbas berkata: Ketika Umar mati terbunuh, aku 

ceritakan kejadian itu kepada Aisyah RA, ia berkata; Semoga 

Allah menyayangi Umar. Demi Allah apa yang telah dijelaskan 

Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah 

pasti menyiksa seorang rnukmin karena tangisan keluarganya 

atasnya, akan tetapi sesungguhnya Rasulullah SAW telah 

bersabda: Sesungguhnya Allah pasti akan menambah siksa bagi 

orang karena tangisan keluarganya. Kemudian Aisyah 

menyatakan pula; cukuplah bagi kamu sekalian al-Qur‟an yang 

menyatakan; Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa 

orang lain. Ibn Abbas juga menyatakan; Demi Allah! Ia tertawa 

dan menangis. Ibn Mulaikah berkata: Demi Allah! Sesuatu itu 

telah diceritakan oleh Ibn Umar”. 

 

َّلِلهاَّدُبعَّانث  دحَّتِنبَّةَرمعََّنعَّوِيبأَّنعَّرٍكبَّبِأَّنِبَّلِلهاَّدِبعَّنعَّكٌلامَّانَبَخأَّفَسويَّنُب

َّملّسوَّويلعَّللهاَّىلصٍَّّبِنلاَّجَوزَّاهنعَّللهاَّيَضرَّةَشئاعَّتْعسََّانهأَّوُتَْبَخأَّانهأَّنحْرلاَّدِبع

َّتلاق«َّمنهإَّلاقفَّاهلُىأَّاهيلعَّيكبيَّةٍيدوهيَّىلعَّملّسوَّويلعَّللهاَّىلصَّلِلهاَّلُوسرَّرّمَّانَّإ

اىبَقَّفيَّبُ ذعتُلَّانهإوَّاهيلعَّنَوكبيل». 

“Telah menceritakan kepada kami Abdullah Ibn Yusuf dari 

Malik dari Abdullah Ibn Abi Bakar dari ayahnya dari Amarah 

Binti Abd al-Rahman, ia mengabarkan; sesungguhnya ia telah 

  

mendengar Aisyah berkata, bahwasanya Rasulullah SAW 

melewati seorang Yahudi yang sedang menangisi keluarganya, 

kemudian Rasulullah berkata: Sesungguhnya mereka (yang 

dikubur) ditangisi atas kematiannya, padahal atas adanya 

tangisan itu menyebabkan adanya siksa kubur atas mereka”. 

َُّليعاسَإَّانث  دحََّّبِأَّنعَُّّنيابيشلاَّوىوَّقَاحسإَّوبأَّانَث  دحَّرٍهِسْمَُّنُبَّ ُّيلعَّانَث  دحَّلٍيلخَّنُب

َّلاقَّوِيبأَّنعَّةَدرْ ُب«َّلاقفَّ.هُاخأاوَّ:لُوقيَّبٌيهصَُّلعَجََّونعَّللهاَّيَضرَّرُمعَّبَيصأَُّا لم

َّءِاكببَّبُ ذعيُلَّتٍَّيلماَّ نإَّ:لاقَّملّسوَّويلعَّللهاَّىلصَّ بِنلاَّ نأَّتَملعََّامأَّ:رُمعَّيلِا»؟ . 

“Telah menceritakan kepada kami Ismail Ibn Khalil yang 

diterima dari Ali Ibn Mushir, dari Abu Ishak (ia adalah al-

Syaibani) dari Abu Burdah dari ayahnya, ia berkata: ketika 

Umar RA terkena tikcam, yang menyebabkan Shuhaib bersedih 

dan berkata, wahai saudaraku (sambil menangis), maka Umar 

berkata: Apakah engkau tidak tahu? Sesungguhnya Nabi telah 

berkata; sesungguhnya mayyit disiksa karena tangisan orang 

yang hidup?”. 

 

Demikian beberapa redaksi hadits yang menyatakan 

bahwa mayyit disiksa karena tangisan keluarganya, yang 

termuat dalam shahih al-Bukhari. 

 

Beberapa Komentar Tentang Kualitas Hadits. 

Hadits-hadits yang menyatakan bahwa mayyit itu disiksa 

karena tangisan keluarganya banyak sekali para perawinya 

dengan susunan redaksi haditsnya yang berbeda-beda. Maka 

untuk menguji validitas hadits tersebut perlu kiranya dilihat segi 

  

 

perawi yang ada dalam sanad hadits-hadits tersebut, di samping 

matn hadits itu sendiri. 

Hadits pertama di atas, jika dilihat dan rangkaian para 

perawinya, akan terlihat sebagai berikut: Bukhari - Abdan - 

Abdullah - Ibn Juraij - Abdullah Ibn Ubaidillah Ibn Abi 

Mulaikah - Ibn Umar. Nama-nama lain yang terkait dengan 

jalannya cerita hadits di atas adalah putri Utsman Ibn Affan 

yang meninggal dunia di Mekkah, bernama Ummu Aban,100 

Amr Ibn Utsman Ibn Affan dan Ibn Abbas, yang sama-sama 

melayat kematian putri Utsman tersebut di Mekkah. 

Tentang Kualitas para perawi di atas, kiranya perlu 

dipaparkan secara bibliografis sebagai berikut: 

Bukhari, nama lengkapnya adalah Abi Abdullah 

Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn 

Bardizhab al-Bukhari al-Ju‟fi.101 Ia hidup antara tahun 194-252 

H/810-870 M. Bukhari dikenal secara masyhur sebagai ulama 

hadits, kelahiran Bukhara, suatu kota di Uzbekistan. Ia 

dilahirkan sesudah  selesai shalat Jum‟at, pada tanggal 13 bulan 

Syawal 194 Hijriyah, dan meninggal pada malam Sabtu selesai 

shalat Isya, tepat pada malam Idul Fitri tahun 252 Hijriyah. 

                                                 

Dikebumikan di Khirtank, suatu kampung tidak jauh dan kota 

Samarkand.102 

Menurut para ahli hadits, Bukhari adalah ulama hadits 

yang paling utama di antara ulama hadits yang lainnya, sehingga 

buah karyanya, khususnya kitab haditsnya, ditempatkan pada 

urutan pertama dan kitab-kitab hadits lainnya. Dengan demikian 

kualitas dan reputasi Bukhari, tidak diragukan lagi sebagai 

ulama penulis dan peneliti hadits yang terbesar sepanjang 

zaman. 

Perawi yang kedua adalah Abdan. Ia perawi yang berasal 

dan negeri Marwi -- Bukhari pernah berkunjung dan menerima 

hadits dari negeri ini.103 Nama lengkap perawi ini adalah Abdan 

Ibn al-Aswad al-Haritsi Abu Abd al-Rahman al-Kufy. Ibn Main 

menyatakan bahwa ia tidak mengetahui perawi ini. Namun Abu 

Khatim menyatakan bahwa Abdan adalah termasuk perawi yang 

jujur. Al-Ajali berkata bahwa peniwayatan dari Abdan ini bisa 

dipakai.

 

Perawi yang ketiga adalah Abdullah. Menurut Ibn Hajar 

al-Asqalani,105 ia adalah Abullah Ibn al-Mubarak. Dalam Tahdib 

al-Tahdid, Ibn Hajar al-Asqalani106 menjelaskan bahwa perawi 

ini nama lengkapnya adalah Abdullah Ibn al-Mubarak Ibn 

Wadikh al-Khandhali al-Taimi. Ia adalah salah seorang ulama 

besar. Ia juga meriwayatkan hadits dari Sulaiman al-Taimi dan 

Hamid al-Thawil dan Ismail Ibn Abi Khalid dan Yahya Ibn Abi 

Said al-Anshari dan Saad Ibn Said al-Anshari dan Ibrahim Ibn 

Abi Ablah dan Abi Khaldah Khalid Ibn Yanar dan Ashim al-

Ahwali dan Ibn Aun dan Abdullah Ibn Umar dan Iknimah Ibn 

Amar dan Isya Ibn Thahaman dan Qathir Ibn Khalifah dan 

Muhammad Ibn Ajian dan Musa Ibn Uqbah dan Ibrahim Ibn 

Uqbah dan A‟masy dan Hisyam Ibn Urwah dan Tsauri dan 

Syu‟bah, al-Aujai. Ibn Juraij, Malik, Laits, Ibn Abi Dzaib, 

Ibrahim Ibn Thahman, Ibrahim Ibn Nasuith, Abi Burdah Yazid 

Ibn Abdullah lbn Abi Burdah. Husain al-Mualimi, Hayut Ibn 

Syuraikh, Khalid Ibn Said al-Amwy, dan Khalid Ibn Abd al-

Rahman Ibn Bakr al-Salmi. 

Abu Usamah berkata; saya tidak melihat orang yang 

bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu selain Ibn Mubarak. 

                                                 

Abdan berkata; yang pertama muncul dari 40 tokoh ahii 

hadits adalah Ibn Mubarak. 

Ibn Mahdi berkata; empat imam terkenal itu adalah al-

Tsauri, Malik, Hammad Ibn Yazid dan Ibn Mubarak. 

Al-Abbas Ibn Mushib berkata; Ibn Mubarak adalah ulama 

terkenal. 

Ibn Mahdi berkata; Ibn Mubarak itu tempat bertanya, 

pengetahuannya setingkat dengan Sufyan al-Tsauri. 

Ahmad berkata; Ibn Mubarak adalah sosok manusia yang 

paling bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu pada 

zamannya. 

Ibn Hatim berkata, bahwa ia menerima riwayat dari Ishak 

Ibn Muhammad Ibn Ibrahim al-Marwaji, yakni Ibn Mubarak 

yang alim dan zuhud dalam beribadah, ulama pemberani. Ulama 

ahli berbagai disiplin ilmu fiqh, sastera, bahasa, nahwu dan lain 

sebagainya. 

Ibn Junaid berkata; ia menerima riwayat dari Ibn Main, 

yang menyatakan bahwa Ibn Mubarak itu adalah orang yang 

paling mengetahui hadits yang shahih. Dan banyak lagi 

komentar yang bernada pujian kepada Ibn Mubarak ini, yang 

tercantum dalam kitab hadits maupun tarikh.  

 

Perawi yang keempat adalah Ibn Juraij. Menurut Ibn Hajar 

al-Asqalani,107 ia adalah Abd al-Malik Ibn Juraij. Ia juga 

meriwayatkan kepada Ibn Mubarak, sebagaimana yang telah 

dijelaskan pada penjelasan untuk perawi yang ketiga di atas. 

Ibn Saad berkata, Ibn Juraij adalah termasuk perawi yang 

dipercaya (tsiqat). 

Menurut Ibn Hibban, ia adalah ulama fuqaha Irak. 

Ibn Mubarak berkata, Ibn Juraij adalah ulama kenamaan. 

Abu Ja‟far al-Thabari berkata, bahwa Ibn Juraij adalah 

ulama ahli fiqh. 

Ibn Abi Hatim berkata, bahwa ia adalah ulama hadits 

kenamaan dari kalangan Tabi‟u al-tabi‟in. 

Perawi yang kelima adalah Abdullah Ibn Ubaidillah Ibn 

Abi Mulaikah. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani,108 nama 

lengkapnya adalah Zahir Ibn Abdullah Ibn Jad‟an Ibn Amr Ibn 

Ka‟ab Ibn Said Ibn Taimy Ibn Murah Ibn Abi Bakr. Ia biasa 

dipanggil dengan nama Abu Muhammad al-Taimi al-Maky. Ia 

adalah seorang Qadi pada zaman Ibn Zubair, yang juga seorang 

muadzin. Ia meriwayatkan hadits dari Abdullah al-Arbi‟ah, 

Abdullah Ibn Ja‟far Ibn Abi Thalib, Abdullah Ibn al-Saib al-

Mahzumi, Maswari Ibn Mahrarnah, Abi Mahdzurah, Asma, 

                                                 

Aisyah, Umu Salamah, Uqbah Ibn Rants, Thalhah Ibn 

Ubadidllah. Tetapi ia tidak menerima riwayat dari Utsman Ibn 

Affan, Dzakwan (pembantu Aisyah), Hamid Ibn Abd al-

Rahman Ibn Auf, Qasim Ibn Muhammad, Ibad Ibn Abdullah Ibn 

Zubair, Urwah Ibn Zubair, Alqamah Ibn Waqas, dan yang 

lainnya. 

Rawi-rawi yang menerima periwayatan dari Abdullah Ibn 

Abi Mulaikah ini adalah anaknya sendiri, yakni Yahya dan anak 

saudaranya, Abd al-Rahman Ibn Abi Bakar dan „Atha Ibn Abi 

Rabah yang sebaya dengannya, dan Hamid al-Thawil, Abd al-

Aziz Ibn Rafi, Amr Ibn Dinar, Abu Thiyakh, Ayub. Jarir Ibn 

Hazm, Utsman Ibn Abi al-Aswad, Abu Yunus Khatim Ibn Abi 

Shaghirah. Khubaib Ibn al-Aswad, Abdullah Ibn Utsman Ibn 

Khatsim, dan Ibn Juraij (Abd al-Malik Ibn Juraij). Abd al-

Wahid Ibn Aiman. Ubaidillah Ibn al-Akhnas, Abu al-Amis al-

Mas‟udy, Umar Ibn Said Abi Husain, Yazid Ibn Ibrahim al-

Tastari, Naqal Ibn Umar al-Jamkhi, Abu Hilal al-Ra‟si, Laits 

dan banyak lagi perawi yang lainnya. 

Abu Jur‟ah dan Abu Khatim mengomentarinya bahwa 

Abdullah Ibn Abi Mulaikah ini adalah perawi dari kalangan 

tabi‟in yang tsiqat. 

A1-Bukhari berkata, ia adalah salah seorang yang 

meninggal pada tahun 117 Hijriyah. Menurut al-Bukhari, Ibn 

  

 

Abi Mulaikah mengatakan bahwa ia telah mendapatkan 

periwayatan hadits dari 30 shahabat Nabi. 

Al-Ajali berkata, bahwa ia seorang tabi‟in yang tsiqat. 

Ibn Hibban berkata, bahwa ia adalah seorang yang tsiqat. 

Perawi yang keenam adalah Ibn Umar, seorang shahabat 

yang amat terkenal. Ia adalah Abdullah Ibn Umar, seorang 

shahabat penghafal al-Qur‟an.109 

Menurut Fatchur Rahman,110 hadits-hadits yang 

diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Umar mencapai 2630 buah. 

Perawi dari kalangan shahabat terbanyak kedua sesudah  Abu 

Hurairah. Di antara jumlah hadits tersebut, yang mutafaq „alaih, 

adalah sebanyak 170 buah. Periwayatan versi Bukhari sebanyak 

80 buah, sedangkan periwayatan versi Muslim sebanyak 31 

buah. 

Jadi tidak ada keraguan sedikit pun tentang kredibilitas 

shahabat Ibn Umar ini sebagai salah seorang guru bagi para 

tabi‟in, juga termasuk salah seorang penyampai hadits-hadits 

Nabi. 

Demikianlah para perawi hadits yang menyatakan bahwa 

mayyit disiksa karena tangisan keluarganya, yang terdapat 

                                                 

dalam rangkaian sanadnya, sebagaimana tercantum dalam kitab 

Shahih Bukhari. 

Sedangkan pembahasan mengenai matn hadits tersebut 

sebagai berikut: Syaikh Muhammad al-Ghazali, seorang da‟i 

terkenal, penulis produktif dan mantan aktivis Ikhwanul 

Muslimin, Mesir, menyatakan bahwa hadits yang seperti itu 

dalam kitab-kitab hadits yang mu‟tabar terdapat beberapa hadits 

yang dianggap shahih dari segi sanadnya, tetapi bertentangan 

maknanya dengan maksud yang terkandung dalam al-Qur‟an. 

Menurut Muhammad al-Ghazali, periwayatan hadits seperti itu 

sudah tampak semasa para shahabat Nabi seperti yang pernah 

terjadi pada masa Umar Ibn al-Khaththab dan Aisyah. Melihat 

periwayatan hadits seperti itu, Umar Ibn al-Khaththab kemudian 

membandingkan suatu hadits dengan al-Qur‟an, demikian pula 

Aisyah. Umar menolak hadits yang diriwayatkan Fatimah Binti 

Qais, mengenai tidak perlunya nafaqah bagi istri yang ditalak 

Bain, karena dianggap bertentangan dengan al-Qur‟an yang 

mengharuskan adanya nafaqah dan penyediaan rumah bagi 

wanita yang dicerai. Demikian pula Aisyah menolak riwayat 

Umar yang menyatakan bahwa mayyit itu disiksa karena 

tangisan dan ratapan keluarganya. Aisyah berpendapat bahwa 

hadits itu bertentangan dengan al-Qur‟an yang qath„i yang 


mengatakan bahwa seseorang tidak akan menanggung dosa 

orang lain. 

Hadits-hadits Bukhari yang maknanya menyatakan bahwa 

mayyit disiksa karena tangisan keluarganya ini, dalam 

pandangan Muhammad al-Ghazali,111 dikatakan bahwa ketika 

Aisyah mendengar hadits itu ia menolaknya, bahkan kemudian 

bersumpah bahwa Nabi SAW tidak pernah mengutarakan hadits 

tersebut. Bahkan ia kemudian menjelaskan penolakannya karena 

bertentangan dengan ayat. Adakah kalian lupa akan firman 

Allah SWT yang menyatakan: “tidaklah seseorang menanggung 

dosa orang lain ..” (QS. al-An‟am: 164). 

Demikian Aisyah dengan tegas dan berani telah menolak 

periwayatan suatu hadits yang bertentangan dengan al-Qur‟an. 

Muhammad al-Ghazali selanjutnya menyatakan bahwa 

walaupun begitu, hadits yang tertolak ini masih saja tercantum 

dalam kitab-kitab shahih. Bahkan Ibn Saad, dalam bukunya; al-

Thabaqat al-Qubra, mengulang-ulang dengan beberapa sanad 

yang berbeda. Ia menulis; telah disampaikan kepadaku oleh 

Tsabit dari Anas Ibn Malik bahwa ketika Umar Ibn Khaththab 

ditikam oleh pembunuhnya, Hafsah (putri Umar) menjerit dan 

                                                 

meratap. Maka berkatalah Umar: Hai Hafsah! Tidaklah engkau 

dengar Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa orang yang 

diratapi akan disiksa karena ratapan keluarganya itu. Ibn Saad 

kemudian menyatakan lagi; Shuhaib juga meratapinya, lalu 

Umar berkata; Hai Shuhaib! Tidaklah engkau mendengar sabda 

Rasulullah SAW bahwa orang yang diratapi akan beroleh siksa? 

Ibn Sa‟ad mengungkap riwayat yang lain; telah 

disampaikan kepada kami oleh Ibn Aun dari Muhammad, ia 

berkata; ketika Umar terluka, ia digotong dan dibawa masuk ke 

rumahnya. Melihat peristiwa itu Shuhaib berteriak; Aduhai 

saudaraku! Maka Umar berkata kepadanya, diamlah wahai 

Shuhaib, tidaklah engkau mengetahui bahwa orang yang diratapi 

akan beroleh siksa? 

Riwaat-riwayat yang lain, selanjutnya adalah; telah 

disampaikan kepada kami oleh Abu Aqil, ia berkata; telah 

disampaikan kepada kami oleh Muhammad Ibn Sirin, katanya; 

ketika Umar ditikam, seseorang memberinya minuman, namun 

minuman itu langsung keluar lagi melalui lukanya. Maka 

Shuhaib meratapinya dengan berkata; aduhai Umar, saudaraku! 

Siapakah gerangan yang mampu menggantikannya? Maka Umar 

berkata kepadanya; diamlah, wahai saudaraku, tidaklah engkau 

sadari bahwa orang yang diratapi akan beroleh siksa? 

  

 

Berkata Abd al-Malik (perawi); telah disampaikan 

kepadaku, sesudah  itu, oleh Musa Ibn Thalib bahwa Aisyah 

mengomentani; orang-orang yang beroleh siksa disebabkan 

tangisan keluarganya ialah orang-orang kafir. Dan yang hendak 

ditegaskan oleh Aisyah ialah bahwa sabda Rasullah SAW ialah; 

sesungguhnya orang kafir akan beroleh (tambahan) siksa 

disebabkan tangisan keluarganya terhadapnya. 

Selanjutnya Muhammad al-Ghazali,112 mengungkapkan 

riwayat yang lain, yaitu Ibn Abi Mulaikah meriwayatkan: salah 

seorang putri Utsman meninggal dunia di Makkah. Kami datang 

untuk melayat dan menyalatkan jenazahnya. Demikian pula Ibn 

Umar dan Abdullah Ibn Abbas yang masing-masing duduk di 

sampingku. Lalu Abdullah Ibn Umar berkata kepada „Amr putra 

Utsman; tidaklah anda cegah wanita-wanita yang menangis itu? 

Bukankah Rasulullah SAW pernah berkata bahwa orang mati 

yang ditangisi oleh keluarganya akan beroleh siksa? Maka 

berkatalah Abdullah Ibn Abbas; memang Umar pernah 

mengatakan hal seperti itu. Tetapi sesudah  Umar wafat, aku 

mengatakan hal itu kepada Aisyah, lalu ia berkata; Semoga 

Allah merahmati Umar! Demi Allah, Rasulullah SAW tidak 

pernah menyatakan bahwa orang yang mati akan beroleh siksa 

                                                 


 

disebabkan tangisan keluarganya. Tetapi yang beliau sabdakan 

ialah; sesungguhnya Allah menambahkan adzab atas diri orang 

kafir dengan adanya tangisan keluarganya. Kemudian Aisyah 

menambahkan; cukup ayat al-Qur‟an bagi kalian, yang 

mengatakan; “tidaklah seseorang menanggung dosa seorang 

lainnya.” 

Pada hemat Muhammad al-Ghazali, sikap Umu al-

Mukminin (Aisyah) tersebut dapat dijadikan dasar untuk 

menguji validitas sebuah hadits yang berpredikat shahih, dengan 

nash-nash al-Qur‟an, kitab suci yang tiada tersentuh oleh 

kebatilan dari arah manapun juga. Jelasnya hadits tersebut tidak 

boleh dijadikan hujjah, tetapi cukuplah al-Qur‟an yang 

menerangkan bahwa tidak ada orang yang disiksa disebabkan 

kesalahan orang lain. 

 

Kehujjahan Hadits Menurut Para Ahli. 

Hadits: 

َّ ناََِّّتٍَّيلماويلعَّوِلىأَّءِاكبَّبُ ذعُيََّّ  

Sesungguhnya mayyit itu disiksa sebab ditangisi oleh 

keluarganya. H.Riwayat Bukhari.113 

                                                 

Hadits ini shahih dari segi sanadnya, sebagaimana tercatat 

dalam kitab shahih Bukhari. Tetapi jika dilihat dari segi 

kandungan maknanya, ternyata bertentangan dengan beberapa 

ayat al-Qur‟an yang menyatakan bahwa amal perbuatan 

seseorang akan mendapat balasan dari Allah SWT kelak karena 

amalnya dan bukan karena amal orang lain. Salah satu ayat al-

Qur‟an menyatakan: 

ٌَّةرزاوَّرُِزَتَّلاوَّىرخأَّرَزوِ  

“Dan seorang yang berdosa tidak dapat dilimpahkan 

kepada orang lain” (QS. al-Isra: 15). 

Dengan adanya penegasan ayat di atas, maka hadits 

tersebut termasuk ke dalam kategori hadits shahih segi sanadnya 

sebagaimana berdasarkan kualitas para perawi yang 

meriwayatkan hadits tersebut. Akan tetapi maknanya dha‟if. 

Hadits yang demikian tidak bisa dijadikan hujjah sebab yakin 

bahwa hal itu bukan ucapan Rasul, bukan hadits Nabi. karena 

mustahil Nabi menentang ayat, membantah al-Q ur‟an. 

Karena riwayat itu bersumber dari Umar dan Ibn Umar, di 

mana keduanya menjadi sanad hadits tersebut, artinya keduanya 

mendengar riwayat itu dari Rasulullah SAW. Jika demikian, 

apakah kedua shahabat (ayah dan anak) ini berdusta atau salah 

mendengar? Menurut ukuran rasio, tak mungkin shahabat 

 

 

setingkat Umar dan Ibn Umar yang dikenal sebagai tokoh 

cendekia dari kalangan shahabat Nabi itu berbuat kesalahan 

yang fatal. Tetapi tidak mushtahil kalau ia berbuat keliru atau 

salah dengar, bukankan mereka juga manusia yang tak dijamin 

ma‟shum (terjaga dari kesalahan) sebagaimana Nabi? Pada 

keduanya satu saat bisa pula kena sifat kemanusiaannya yaitu 

berbuat salah atau lupa. 

Al-Qasim Ibn Muhammad berkata: 

َّمعَُّنِبْاوََّرٍمَعَُّلُوْ َقَّةَسَئِاعََّغَلَ َبَّا ملََّدٍ مَمََُّنِبَّْمُسِاقَلاَّلَاَقََّّهِِنًْغََّنْعََّنِىنَوْ ُث ٍّدحَتَُلَّمْكُ نِاَّتْلَاَقَّرٍ

ملسمَّهاورَّ.ئًطِْيََُّعَمْ سلاَّ نكِلَوََّ َنٌْبِذِاكََّ

Ketika sampai kepada Aisyah, perkataan Umar dan Ibn 

Umar itu, Aisyah menyatakan; sesungguhnya kamu 

menceritakan kepadaku bahwa hadits itu bukan diriwayatkan 

oleh orang yang biasa berdusta dan tidak bisa didustakan, akan 

tetapi (bisa saja) pendengaran yang salah (salah dengar). 

Riwayat Muslim.114 

Aisyah tidak menuduh dusta kepada Umar dan Ibn Umar, 

apalagi menuduhnya sebagai pendusta, tetapi ia menyangsikan 

kebenaran hadits itu datangnya dari Rasul dan ia meyakini 

bahwa keduanya salah dengar. Selanjutnya ia menyatakan; 

َّنُآرقُلاَّمكبُسحَ:ىرخأَّرَزِوَّةٌرزاوَّرُِزَتَّلاو 

                                                 

 

Cukup untuk kamu sekalian al-Qur‟an; dan dosa 

seseorang tidak bisa dipertanggungjawabkan kepada orang 

lain.115 

A. Hassan, seorang ulama Persatuan Islam, yang dikenal 

sangat konsisten dalam penggunaan dalil dari al-Qur‟an dan 

hadits Nabi, ketika memberikan pandangannya mengenai 

mayyit disiksa karena tangisan keluarganya, sebagaimana yang 

terdapat dalam hadits riwayat Bukhari di atas -- seperti yang 

dikritik oleh Muhammad al-Ghazali -- sebelum mengemukakan 

pendapatnya mengenai hadits tersebut, ia berpendapat bahwa 

salah salah satu syarat hadits itu shahih adalah maknanya tidak 

bertentangan dengan dalil yang qath‟i yaitu al-Qur‟an atau 

hadits mutawatir. 

Dengan demikian, dalam kerangka berpikir A. Hassan, 

hadits itu atau yang semacamnya tidak boleh dijadikan untuk 

berhujjah. 

Menurut A. Hassan,116 ayat-ayat al-Qur‟an yang 

menentang makna hadits di atas adalah sebagai berikut: 

1. Firman Allah: 


 

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai 

dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) 

yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) 

yang dikerjakannya. (QS. al-Baqarah: 286). 

Maksudnya, kebaikan yang dikerjakan oleh seseorang, 

tidak akan dapat ganjarannya melainkan dirinya sendiri, dan 

kejahatan yang dikerjakan olehnya, tidak akan dapat adzabnya 

melainkan dia sendiri. 

2. Firman Allah: 

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka 

(pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa 

mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya 

sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-

hambaNya. (QS. Fushilat: 46).  

Maksudnya, kebaikan yang dikerjakan oleh seseorang, 

adalah untuk dirinya, tidak untuk orang lain, begitu juga 

kejahatan. 

3. Firman Allah: 


Dan Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya 

jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah 

 

 

 

benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari 

semesta alam. (QS. al-Ankabut: 6). 

4. Firman Allah: 


Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), 

Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) 

dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka 

Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan 

seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain. 

(QS. al-Isra: 15). 

Maksudnya, barangsiapa berbuat kebaikan atau kejahatan 

maka yang akan mendapat buahnya ia sendiri, tidak yang lainnya. 

5. Firman Allah: 


Dan Barangsiapa yang mensucikan dirinya, Sesungguhnya 

ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. (QS.Fathir: 18). 

Maksudnya, barangsiapa mengerjakan sesuatu pekerjaan 

yang bisa membersihkan dirinya, yaitu amal ibadah maka 

kebaikannya itu hanya untuk dirinya, bukan untuk orang lain. 

6. Firman Allah: 

 


Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang 

tidak dapat menggantikan [86] seseorang lain sedikitpun dan 

tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan 

memberi manfaat sesuatu syafa'at kepadanya dan tidak (pula) 

mereka akan ditolong. (QS. al-Baqarah: 123). 

 

[86] Maksudnya: dosa dan pahala seseorang tidak dapat 

dipindahkan kepada orang lain.117  

7. Firman Allah: 

Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah 

suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat 

menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) 

menolong bapaknya sedikitpun. (QS. Lukrnan: 33). 

Maksudnya, bahwa hendaklah kamu masing-masing 

beramal untuk dirinya sendiri, karena di hari akhirat seseorang 

tidak bisa menolong orang lain. 

8. Firman Allah: 

 

Dan (pada hari itu) kamu Lihat tiap-tiap umat berlutut, 

tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. 

pada hari itu kamu diberi balasan terhadap apa yang telah 

kamu kerjakan. (QS. al-Jatsiyah: 28). 

 

Maksudnya, di hari Qiyamat, tiap-tiap orang akan 

dipanggil menghadap guna menerima surat keputusan dari amal-

amal yang telah ia kerjakan di dunia. 

9. Firman Allah: 

Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun 

dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kamu 

kerjakan. (QS. Yasin: 54). 

Maksudnya, di hari kiamat, kamu tidak akan dapat balasan 

baik atau jahat, melainkan menurut perbuatan kamu, tidak 

menurut perbuatan orang lain. 

10. Firman Allah:  


(Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan 

memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seorang manusia 

tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS. 

al-Najm: 38-39). 

Maksudnya, tiap-tiap seorang akan memikul dosanya 

sendiri, dan tiap-tiap orang akan dapat ganjaran dari perbu-

atannya sendiri, tidak dari perbuatan dan usaha orang lain. 

Selanjutnya A. Hassan mengutip berbagai pendapat para 

ahli sebagai berikut: 

Pendapat al-Thabari: 

اّرشَّواَّناكَّانًخَّولمعبّلااَّلماعَّىزايجَّلاَّوناَّ

Bahwasanya tidak dibalas seseorang yang beramal, 

melainkan dengan amalnya, baik ataupun jahat.118 

ََّّهنًْغَّلماعَّولَمَعَّلٍحاصَّىلعَّبُاثيلاَّولمعَِّنًْغََّبِنْذََّةَِبوْقُعُِبَّذُخَؤْ ُيَلا 

Tidak disiksa melainkan orang yang mengerjakan dosa, 

dan tidak diberi ganjaran orang yang tidak mengerjakan 

kebaikan.119 

Pendapat Imam Fahr al-Razy: 

ََّّ ناََّّحَّسََّنََّةَََّّغلاَِّنًَََّّْلاََّْتَِّدََّ نَّىَّْفًَّعََّوَّاََّمَّنَََّّْلََََّّ يَّْعَّمَّْلَََّّصَِّاًَّلََِّلاَّاََّ يََّنَّخَّلُاَّْ يًَّرََّ فَّاََّيَّكَّمَّْلَََِّّبهََّوَّاََّيَّْظَّهَُّرََّاَّ نَّ

اَّ

ُ

لمَّسَّْيَّئَََّّلاََِّيجَّدََِّّبََّسََّبَّبََّّحَّسََّنَِّةَََّّغلاَِّنًَََّّْ ثََّوًَّباََّوَّاََّلاَََّّ يََّتَّحَّ مَُّلَََّّعَّْنَُّوَََّّاَّحَّدََِّّعََّقًَّباا  

Sesungguhnya kebaikan orang lain tidak bisa memberi 

manfaat, karena barangsiapa tidak beramal saleh, ia tidak akan 

mendapat kebaikan, maka sempurna dan nyatalah dengan ayat 

itu, bahwa orang yang berdosa itu, tidak bisa dapat ganjaran 

                                                 

dengan sebab kebaikan orang lain, dan tidak seorang pun akan 

menanggung dosanya.120 

Pendapat Imam Ibn Katsir: 

َّوسفنلَّوىَّبسكامَّلااَّرجلااَّنمَّلصيَلاَّكلذكَّهنًغَّرزوَّويلعَّلميََّلاَّامكَّ

Sebagaimana tidak dibebankan atas seseorang, dosa 

orang lain, begitu juga ia tidak bisa mendapat ganjaran 

melainkan atas apa yang ia kerjakan sendiri untuk dirinya.121 

Imam Ibn Katsir selanjutnya menyatakan: 

َّاّرشفَّاّرشَّناوَّانًخفَّانًخَّناَّولامعأبَّىزاتَّانَّاَّسوفنلاَّناَّ

Sesungguhnya manusia itu hanya dibalas menurut 

amalnya. Jika baik, maka balasannya baik, dan jika jahat, maka 

balasannya jahat.122 

Pendapat Imam al-Syaukani: 

َّرجاَّلااَّولَّسيلََّّسَّْعَُّيَُّوََُّّءازجوََِّّلمعَِّوََُّّلمعَّادحاَّعفنيلاوٍََّّدحاَّ

Seseorang tidak dapat balasan, melainkan atas usahanya 

sendiri, dan ganjaran amalnya, dan tidak memberi faidah 

kepada seseorang, atas amal orang lain.123 

Imam al-Muzani, shahabat Imam al-Syafi‟i, menyatakan: 

                                                 

 

ََّفََّاَّْعََّلََّمََّّلوسرََّّمَّ:صَّللهاَّْثَُّلَََّّمََّأاَّْعََّلََّمََُّّللهاََّّمَّنَََّّاَّ نََّّجََّنََّياََّةَََّّّكٍَّّلََّّْماَِّرَّئََِّّعََّلَّْيَِّوَََّّّكَّمََّاَّاَّ نَََّّعَّمََّلَُّوَََّّلَُّوَّ

ََّلاَِّلََّغَِّْنًَِّهَََّّوََّلاَََّّعََّلَّْيَِّوَََّّّ

Rasulullah SA W memberi tahu sebagaimana Allah 

memberi tahu, bahwa dosa tiap-tiap seorang adalah untuk 

kecelakaan dirinya, sebagaimana amalnya itu untuk kebaikan 

dirinya, tidak untuk kebaikan orang dan tidak untuk kecelakaan 

orang lain.124 

Demikian beberapa pendapat para ahli mengenai makna 

hadits yang menyatakan bahwa mayyit disiksa karena tangisan 

keluarganya. Bila diringkaskan pendapat-pendapat itu, maka 

tampak di sini bahwa amal perbuatan itu sama sekali tidak akan 

berakibat bertambahnya dosa atau ganjaran terhadap orang lain. 

Dengan demikian, kehujjahan hadits tersebut tertolak sebagai 

hadits shahih. 

Di sini terlihat bahwa Muhammad al-Ghazali dalam 

menolak hadits tersebut di atas sebagai suatu yang shahih, 

ternyata tidak sendirian melainkan banyak didukung oleh para 

ahli hadits maupun para ulama fuqaha. 

3. Hadits: Binatang Bertaring Haram Dikonsumsi. 

َّمِْلِاَّمَوُْلَُِّ.صَّلِلهاَّلُوْسُرََّمَ رحََّ:لَاَقَّنِىشَلَْاَّةَبَلَعْ َثَّبِِاََّنْعََّمُلِسْمُوََّىِراخَبُلاوََّدَُحْْاََّجََرخْاَوََّرِ

ىذٍَِّّلكَُّنَموُُْلِوََّةِيَلِىْلَآا َّنَمَِّبٍاَن.عِابٍَّسلا  

“Dituturkan oleh Ahmad, al-Bukhari dan Muslim, dan Abu 

Tsalabah al-Hasyani, katanya: Rasulullah SAW mengharamkan 

daging himar jinak (peliharaan) dn daging semua jenis 

binatang buas yang bertaring.”125 

Hadits ini, sebagaimana kritik al-Ghazali bertentangan 

dengan ayat al-Q ur‟an yang menyatakan bahwasanya yang 

haram dikonsumsi oleh umat Islam itu ada empat, yakni 

bangkai, daging babi, darah yang mengalir (marus) dan 

sembelihan yang tidak ditujukan kepada Allah, sebagaimana 

ayat al-Qur‟an menyatakan: 

 َّ َّ   َّ َّ َّ َّ   َّ َّ  َّَّ  َّ َّَّ َّ  َّ َّ

َّ َّَّ َّ  َّ  َّَّَّ َّ  َّ  ََََّّّّ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bang-

kai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) 

disebut (nama) selain Allah [108]. Tetapi barangsiapa dalam 

Keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak mengingin-

kannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa 

baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha 

Penyayang. (Q.S. al-Baqarah: 173). 

                                                 

 

[108] Haram juga menurut ayat ini daging yang berasal 

dari sembelihan yang menyebut nama Allah tetapi disebut pula 

nama selain Allah. 


Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah [394], 

daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain 

Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, 

dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu me-

nyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih 

untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan 

anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) 

adalah kefasikan. pada hari ini[397] orang-orang kafir telah 

putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah 

kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari 

ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-

cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu 

Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena 

kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah 

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S., al-Maidah: 3). 

 

 

[395] Maksudnya ialah: binatang yang tercekik, yang 

dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang 

buas adalah halal kalau sempat disembelih sebelum mati. 

[396] Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai 

bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang 

belum pakai bulu untuk menentukan Apakah mereka akan 

melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya Ialah: mereka 

ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. sesudah  

ditulis masing-masing Yaitu dengan: lakukanlah, jangan 

lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan 

dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. bila mereka 

hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru 

kunci ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah 

nanti Apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan 

sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. 

kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka 

undian diulang sekali lagi. 

[397] Yang dimaksud dengan hari Ialah: masa, Yaitu: 

masa haji wada', haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi 

Muhammad SAW. 

  

 

[398] Maksudnya: dibolehkan memakan makanan yang 

diharamkan oleh ayat ini jika terpaksa.126 

Untuk menjelaskan dua teks hukum yang tampak saling 

bertentangan itu, antara pernyataan hadits dengan ayat-ayat al-

Qur‟an di atas, terdapat dua aliran pemikiran yang patut 

dikemukakan di sini, sebagai berikut: 

a. Dari sudut pandang Ushul Fiqh, sebetulnya antara makna 

hadits dengan ayat al-Qur‟an di atas, dalam persoalan ini 

tidak harus dipertentangkan secara ekstrim seperti di atas. 

Sebab larangan al-Qur‟an dan hadits tersebut masing-masing 

mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda pula. Artinya 

kedua larangan di atas, dua-duanya masih bisa dipakai. 

Dalam bahasa lain, antara hadits dan ayat tersebut, bukan 

saling bertentangan melainkan saling melengkapi. Demikian 

pula segi konsekuensi hukumnya itu tadi. Para ulama ilmu 

Ushul Fiqh menyatakan bahwa larangan al-Qur‟an jatuh 

kepada keharaman, sedangkan larangan hadits jatuh kepada 

makruh. Ada juga larangan dari hadits, hukumnya bisa jatuh 

kepada haram manakala tidak ada ayat al-Qur‟an yang 

menentangnya. 

                                                

Rumusan demikian, diberikan oleh para ulama ahli Ushul 

Fiqh. Larangan itu bisa jatuh kepada haram selama tidak ada 

dalil yang membantahnya. Kaidah Ushul Fiqh menyatakan: 

َِّوفَِلاخَِّىلَعََّلُيِْلدََّ  لدَامََّ لااَِّ ِْيْرحْ تلِلَّيِهْ  نلاَّفَِِّلُصْلَآاَ 

Namun jika terdapat dalil yang menentang, maka larangan 

tersebut bisa jatuh pada makruh. Sebagai contoh, ada hadits 

yang melarang melakukan shalat di kandang unta, (la 

tushallu fi a„thani al-ibil).127 Karena tempat ini kotor 

walaupun suci. Dengan demikian larangan tersebut jatuh 

pada hukum makruh, karena pada prinsipnya melakukan 

shalat itu boleh di mana saja selain di kuburan atau di W.C. 

b.  Makna hadits di atas, juga tidak saling bertentangan dengan 

ayat al-Qur‟an yang disebutkan oleh Muhammad al-Ghazali, 

bahwa makanan yang haram dimakan itu hanya terdiri dari 

bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan sembelihan 

yang tidak ditujukan kepada Allah. Karena salah satu fungsi 

hadits, selain sebagai penjelas (bayan), adalah juga menam-

bah hukum-hukum yang tidak ada dalam al-Qur‟an. 

                                                 

Maka dengan memakai logika ini, larangan memakan 

binatang yang bertaring seperti yang disebutkan dalam ha-

dits yang dikritik oleh al-Ghazali di atas, tidak bertentangan 

dengan ayat al-Qur‟an, yakni tetap jatuh kepada haram, 

karena fungsi hadits di sini adalah sebagai penambah hukum 

yang tidak ada dalam al-Qur‟an.  

Namun logika hukum pada pandangan ini tidak bisa 

dipakai, karena jelas-jelas ayat al-Qur‟an menyatakannya 

dengan memakai kata-kata: Inama, sebagai adat al-khasrin, 

yang berarti hanya sanya, yakni kata-kata pembatas. Lagika 

bahasa lainnya yakni tidak mungkin firman Allah ditentang oleh 

Sabda Nabi.  

Yang lebih logis adalah adalah pernyataan para ahli Ushul 

Fiqh, yang menyatakan bahwa selama ada larangan al-Qur‟an, 

maka larangan yang terdapat dalam hadits itu, turun dari haram 

menjadi makhrum. Haram adalah larangan keras, dan makruh 

adalah larangan yang tidak keras.  

Karena itu, kritik al-Ghazali terhadap hadits di atas, 

tampak mengenyampingkan pendapat para fuqaha maupun 

cendekiawan muslim yang lainnya, dalam memandang hadits 

tersebut, sebagaimana telah dijelaskan di atas. 

 

 

 

163 

 

E. Catatan atas Kaidah Hadits Shahih Sanad Dha’if Matn 

sebagai Upaya Meninjau Kemblai Ketetapan Keshahihan 

Hadits? 

 

Istilah hadits shahih sanad dha„if matn secara teks tidak 

terdapat dalam ilmu hadits. Istilah ini bahkan tidak disebutkan 

pula oleh Muhammad al-Ghazali dalam buku haditsnya. Namun 

jika ditelusuri lebih jauh, secara implisit, baik Muhammad al-

Ghazali maupun ulama-ulama hadits lainnya menyebutkan 

demikian. Misalnya dinyatakan oleh ulama hadits bahwa hadits 

shahih itu adalah hadits yang susunan lafazhnya bersih dari 

bahasa yang rendah (tidak pantas), dan maksudnya (materi 

hadits) itu tidak bertentangan dengan ayat atau hadits yang 

mutawatir dan periwayatnya adalah orang yang dapat diper-

caya.128 

Jika istilah ini dikaitkan dengan pandangan Muhammad al-

Ghazali, sebagaimana yang terdapat dalam bukunya, tampaknya 

al-Ghazali dalam memandang sejumlah hadits lebih dititik-

beratkan pada segi matnnya. Bahkan keraguan dia terhadap 

sejumlah hadits yang terdapat dalam kitab-kitab hadits yang 

                                                 

128 Lihat Badri Khaeruman, makalah: Hadits Shahih fi al-Sanad Dha‟if 

fi al-Matn, Bandung: 1992 hlm. 4; Lihat pula Muhammad al-Ghazali, Studi 

Kritis Atas Hadits Nabi, terjemahan Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, 

1992 hlm. 27; Lihat pula. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits 

Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992 hlm. 123. 

 

 

164 

 

masyhur, adalah berangkat dari teknik dan metode yang 

dipakainya yaitu yang menggunakan metode perbandingan. 

Yakni membandingkan makna suatu hadits dengan salah satu 

ayat al-Qur‟an seperti yang terlihat dalam tulisannya 

sebagaimana yang telah dijelaskan di muka. 

Di sini pandangan Muhammad al-Ghazali tentang matn 

hadits yang diistilahkan oleh penulis dengan istilah shahih sanad 

dha„if matn, terlihat sangat hitam-putih, dalam arti sangat jelas, 

jika bertentangan langsung maupun tidak langsung, maka hadits 

tersebut ditolak untuk dinyatakan sebagai hadits shahih, 

sekalipun kritik hadits dari segi matn ini menurut para ahli 

tergolong sangat berat dan rumit. Bahkan jika hadits itu dipan-

dang bertolak belakang (mukhtalif) dari segi maknanya dengan 

hadits yang lainnya atau ayat-ayat al-Qur‟an, diperlukan ber-

bagai pegangan dalam penyelesaiannya. Muhmmad Mushtafa 

Azami, misalnya ia menyatakan bahwa sejauh menyangkut 

kritik nash, atau dengan kata lain “dokumen,” terdapat beberapa 

metode, tetapi hampir semua metode tersebut bisa dimasukkan 

dalam kategori “perbandingan” atau pertanyaan silang atau 

silang rujuk (cross reference). Dengan mengumpulkan semua 

bahan yang berkaitan, atau katakanlah, semua hadits yang 

berkaitan, membandingkannya dengan cermat satu sama lain, 

orang menilai keakuratan para ulama, sebagaimana dinyatakan: 

 


jika engkau ingin mengetahui kekeliruan-kekeliruan gurumu, 

maka engkau juga harus duduk bersama orang-orang lain.129 

Sementara Ajaj al-Khathib, seperti yang dikutip oleh H. Endang 

Soetari Ad, menyatakan bahwa para ahli hadits telah 

memperhatikan hadits-hadits mukhtalif ini sejak para shahabat. 

Usaha tersebut sudah dimulai oleh mereka dengan cara 

mengumpulkan berbagai hadits serta memberikan penjelasannya 

dan berijtihad dalam berbagai hukum. Tradisi ini kemudian 

diteruskan oleh generasi ulama berikutnya tanpa terputus. Hal 

ini dimaksudkan agar syari‟at yang dikandung didalamnya dapat 

diungkap dengan baik dan bertanggung jawab. 

Selanjutnya dijelaskan beberapa prinsip130 sebagai berikut: 

1. Di antara ayat al-Qur‟an, satu dengan lainnya tidak terdapat 

saling berlawanan. Begitu pula antara hadits shahih yang 

satu dengan shahih yang lainnya. 

2. Terjadinya kontroversi ini terletak bukan pada teks nashnya, 

melainkan pada perbedaan pemahaman seseorang, yang 

berakar pada keterbatasan pengetahuan dan paham yang 

dianutnya. 

                                                 

3. Jika pun ada hadits kontroversi, maka penyelesaiannya 

melalui pendekatan antara lain dengan menggunakan teori 

al-jam„u, tarjih, nasikh-mansukh dan al-tauqif.  

Pendapat di atas tampak berkesesuaian dengan pandangan 

Yusuf Qardhawi, yang menyatakan bahwa hadits shahih tidak 

ada yang bertentangan dengan ayat-ayat yang muhkamat. Bila 

ada orang yang menyangka ada pertentangan antara keduanya, 

mesti hadits tersebut tidak shahih atau pemahamannya yang 

salah, atau pertentangan tersebut bersifat praduga (wahm) bukan 

yang sebenarnya.131  

Dengan demikian, secara teoritis pandangan al-Ghazali di 

atas dapat dibenarkan, yakni bahwa memang ada hadits shahih 

sanadnya namun dha„if matnnya. Tetapi maksud kaidah ini tidak 

dalam pengertian sebaliknya, yakni shahih matnnya namun 

dha‟if sanadnya. Karena, sekalipun matn sebuah pernyataan itu 

dapat dibenarkan baik diperbandingkan dengan ayat-ayat al-

Qur‟an maupun hadits-hadits shahih lainnya, tetapi tidak memi-

liki sanad yang jelas, maka pernyataan itu tidak layak disan-

darkan sebagai pernyataan Nabi. Karena Hadits Nabi itu 

disamping pernyataannya menunjukkan hal yang benar, juga 

diriwayatkan oleh orang-orang tertentu dari kalangan shahabat, 

                                                

tabi‟in, tabi‟u al-tabi‟in, dan seterusnya, di mana para perawi 

hadits itu harus bersifat adil dan tsiqat.  

Pemikiran al-Ghazali di atas tampak membuka ruang yang 

lebar bagi pemikiran ulang terhadap sejumlah hadits yang telah 

dipandang shahih oleh jumhur ulama baik kalangan muhaditsin, 

fuqaha maupun ulama lainnya, dan pemahaman terhadap hadits-

hadits tersebut telah bercampur dengan pemahaman (fiqh) yang 

sangat diyakini kebenarannya oleh umumnya umat Islam, 

misalnya binatang: bertaring (harimau), menyambar (elang), 

hidup di dunia alam (katak, buaya) adalah haram, berdasarkan 

Hadits Nabi, yang populer di kalangan ahli fiqh. Namun 

sayangnya, Muhammad al-Ghazali sendiri tampak tidak 

konsisten dengan argumentasinya sendiri, ketika dia berpegang 

pada dalil yang sesungguhnya sebagai hadits dha‟if menurut 

penilaian beberapa ahli hadits sehingga dicatat sebagai hadits 

dha‟if.  

H. Afif Muhammad, mencatat beberapa pandangan al-

Ghazali, yang dianggapnya terlalu berlebihan, antara lain 

sebagai berikut:  

 “…Muhammad al-Ghazali berhasil meyakinkan pembacanya 

tentang betapa berbahayanya melakukan pemahaman tekstual 

secara berlebihan terhadap hadits. Melalui berbagai contoh aktual 

yang dikemukakannya, misalnya sekitar dunia wanita, nyanyian, 

Nabi Musa menonjok mata malaikat, falalisme, al-Ghazali 

menelanjangi secara berani kekeliruan-kekeliruan pemahaman 

 


tekstual terhadap hadits pada diri orang-orang yang disebutnya 

sebagai kurang mengerti tentang „ulum al-Qur„an dan tidak 

banyak tahu tentang kaidah-kaidah ilmu hadits. Sayangnya, al-

Ghazali juga tidak mengemukakan bagian-bagian „ulum al-Qur„an 

yang mana yang dibutuhkan seseorang agar tidak terjebak pada 

pemahaman seperti itu...”

 

Selanjutnya H. Afif Muhammad menyatakan pula: 

“Dengan bersemangat Muhammad al-Ghazali mengatakan 

bahwa pemahaman seperti itu (tekstual) muncul karena kekurang-

pahaman terhadap ilmu al-Qur‟an. Cuma, sayangnva al-Ghazali 

sendiri tidak mengemukakan secara sistematis langkah-langkah 

yang mesti ditempuh dalam memahami suatu hadits….Barangkali, 

inilah satu-satunya kelemahan -- kalau memang bisa disebut 

demikian --yang ada dalam buku al-Ghazali ini.”133 

 

Kritik terhadap pemikiran hadits al-Ghazali juga dinyata-

kan oleh Muhammad Nashir al-Din al-Albani, seorang ulama 

hadits terkemuka dewasa ini, bahwa al-Ghazali memandang 

hadits dha„if bisa dijadikan hujjah. Pernyataan al-Ghazali ini 

terlihat dari pernyataannya sendiri, ketika Muhammad Nasir al-

Din al-Bani mengeritik al-Ghazali bahwa ia menggunakan 

hadits dha„if dalam menulis buku riwayat hidup Nabi SAW. Al-

Ghazali menanggapi kritik Muhammad Nasir al-Din ini dengan 

menyatakan: 

                                                

sesudah  menyeleksi berbagai sanad, kadang-kadang Syaikh 

Nasir al-Din memandang lemah suatu berita hadits. Ada beberapa 

hadits yang oleh syaikh Nasir al-Din dinilai lemah -- sesudah  

beliau memeriksa lebih dahulu teks hadits-hadits itu. Mengingat 

pengetahuan beliau yang dalam tentang ilmu hadits, beliau berhak 

mengemukakan pendapat demikian. Ada kalanya juga suatu berita 

hadits dipandang lemah oleh jumhur ulama ahli hadits, akan tetapi 

sesudah  saya perhatikan dan saya pelajari teksnya (matnnya) 

ternyata saya temukan makna hadits itu sepenuhnya cocok dengan 

salah satu ayat yang termaktub di dalam kitabullah, al-Qur‟an, 

atau sejalan dengan hadits shahih. Oleh karena itu saya merasa 

tidak ada buruknya kalau hadits yang sedemikian itu 

diketengahkan dalam buku ini (riwayat hidup Nabi). Dengan 

mengetengahkan hadits seperti itu saya tidak merasa khawatir 

akan mengakibatkan kesalahan”.i 

 

Selanjutnya ia menyatakan pula: 

“Dalam menulis buku riwayat kehidupan Nabi Muhammad 

SAW ini saya lebih mengutamakan cara yang telah saya pilih 

sendiri. Saya dapat menerima hadits-hadits yang bermata lurus 

dan sesuai dengan kaidah-kaidah serta hukum-hukum yang benar, 

walaupun lemah sanadnya... Sebaliknya, saya tidak mau 

mengemukakan suatu hadits yang oleh sementara ahli hadits 

dipandang shahih, jika hadits itu -- menurut pendapat saya -- tidak 

serasi dengan makna ajaran agama Allah dan kebijaksanaan 

da„wah...”.135 

 

Pandangan al-Ghazali di atas, jika dianalisis lebih jauh, 

tampaknya akan terus mengundang kontroversi dari sikap al-

Ghazali itu sendiri. Betapa tidak, satu sisi ia mengeritik hadits-

                                                 

hadits yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari atau Shahih 

Muslim ---yang oleh jumhur ulama dianggap shahih -- sebagai 

suatu hadits yang tidak shahih, karena bertentangan dengan 

salah satu makna ayat al-Qur‟an. Di sisi lain, ia sendiri 

membolehkan atau bahkan menggunakan hadits dha„if untuk 

menguatkan suatu argumentasinya, karena menurutnya selama 

hadits dha„if itu -- menurut pemahamannya -- tidak bertentangan 

dengan syari‟at Islam. Dengan alasan ini al-Ghazali tampak 

dipandang tidak konsisten dimata para pengeritiknya, namun 

sesungguhnya ia konsisten dengan kerangka berpikirnya bahwa 

ukuran keshahihan matn hadits itu adalah al-Qur‟an dan hadits-

hadits shahih lainnya. Sebatas ini argumentasi tersebut tampak 

rasional, tetapi ketika hadits itu sanadnya tidak selamat, menurut 

batas-batas ukuran para ulama ahli hadits, maka matn hadits 

yang memiliki kesamaan atau tidak bertentangan dengan salah 

satu ayat al-Qur‟an maupun hadits shahih yang lainnya, matn 

tersebut terlalu berat untuk dinyatakan sebagai sabda Nabi 

SAW. Karenanya, lebih selamat matn yang memiliki kesamaan 

atau tidak bertentangan dengan salah satu ayat al-Qur‟an 

maupun hadits shahih yang lain itu, dinyatakan sebagai 

pernyataan ahli hikmah saja. Karena ukuran keshahihan hadits 

itu, tidak semata-mata berdasarkan keshahihan sanadnya, tetapi 

 

 

171 

 

juga ditentukan oleh keshahihan matnnya. Sebagai contoh, 

pernyataan: 

َّتوُْيََِّ نَْاَّ ىٰشْيََُّ ءٍِرمْاَّ رَذَحََّ رْذَحْاوََّ ادًَبَأَّ تَوُْيََِّ نْلََّ نَْاَّ ُّنظَُيَّ ءٍِرمْاَّ لَمَعََّ لْمَعْاََِّّهاورَّ .ادًغَ

َّىقهيبلاَّ

Bekerjalah seperti kerja orang yang menyangka dia tidak 

akan mati selamanya, dan berhati-hatilah seperti hati-hati 

orang yang khawatir ia akan mati besok hari. Riwayat al-

Baihaqi. 

Atau pernyataan yang lebih populer: 

َّلْمَعْاََِّي ْندُلَِّتوُْتَمَّكَ نَأكََّكَتََرخِلِآَّلمَعْاِوََّادًَبَاَّشُيْعَِتَّكَ نَأكََّكَاََّّ.ادًغَ 

Bekerjalah kamu seakan-akan kamu akan hidup 

selamanya, dan beramallah kamu seakan-akan kamu akan mati 

besok hari. 

Pernyataan yang pertama, diriwayatkan oleh al-Baihaqi, 

tetapi pernyataan ini tidak memiliki sanad yang lengkap, 

sehingga Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, 

menilainya sebagai hadits dha‟if.136 Sedangkan pernyataan 

kedua, sama sekali tidak diketahui dalam kitab-kitab hadits, 

sehingga sulit untuk dinyatakan sebagai hadits, baik dalam 

status dha‟if maupun hadits palsu. Namun pernyataan itu sangat 

populer di kalangan umat Islam selama ratusan tahun. 

                                                 

136 Lihat dalam: al-Jami‟ al-Shaghir min Hadits al-Bashr al-Nadzir, 

Beirut: Dar al-Fikr, Tth. Jilid I, Hadits No. 1201. 

 

 

172 

 

Kedua pernyataan tersebut (...لمعا) sangat logis dan tidak 

bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur‟an maupun sabda Nabi 

yang shahih, namun berat untuk dinyatakan sebagai hadits Nabi, 

karena tidak memenuhi persyaratan keshahihan untuk 

dinyatakan sebagai sabda Nabi. 

Karena itu pandangan al-Ghazali di atas, yang menyatakan 

bahwa hadits dha‟if sanadnya bisa dijadikan hujah manakala 

maknanya tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur‟an 

maupun hadits shahih yang lain, tampaknya sangat berat untuk 

diterima akal sehat umat Islam. Lain halnya, jika hadits dha‟if 

yang keadaannya sendirian, sementara tidak ada hadits yang lain 

kecuali pernyataan hadits dha‟if itu satu-satunya, maka hadits 

itu dapat dipertimbangkan untuk bisa dipertimbangkan sebagai 

sumber ajaran. Bahkan hadits dha‟if yang dikuatkan oleh hadits 

dha‟if yang lain atau dikuatkan oleh hadits shahih yang lain, 

yang dalam ilmu hadits disebut muttabi, yakni memiliki sanad 

yang lain, atau memiliki matn lain (berbeda redaksinya) yang 

disebut syahid, maka hadits dha‟if yang tadi, secara kualitas 

naik derajatnya menjadi hadits hasan, yang bisa dijadikan 

hujjah. Logikanya, seorang yang dikenal pelupa atau tukang 

bohong ketika ia memberitakan sesuatu, tentu orang meragukan 

berita yang dibawanya, tetapi ketika orang lain juga 

memberitakan hal yang sama, maka berita yang disampaikannya 


itu tentu akan dipertimbangkan, mengingat adanya berita yang 

lain sebagai penguatnya. 

Karena itu, apakah pernyataan Muhammad al-Ghazali 

tentang kehujahan hadits dha‟if ini argumentasinya seperti 

pernyataan jumhur ulama muhaditsin di atas atau tetap seperti 

itu? Bahwa hadits dha‟if bisa dijadikan hujah manakala matnnya 

tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur‟an maupun hadits 

shahih yang lain. Jika pernyataannya seperti itu, maka tidak bisa 

diterima mengingat bahwa yag disebut hadits itu terdiri dari 

shahih sanadnya dan shahih matnnya. Dan keshahihan matn itu 

ukuran salah satunya adalah tidak bertentangan dengan ayat-

ayat al-Qur‟an. 

Karena itu pula pada gagasan pertama yang disodorkan 

Muhammad al-Ghazali, bahwa matn hadits itu perlu 

diperbandingkan dengan ayat-ayat al-Qur‟an maupun hadits 

shahih yang lain, sebagai ukuran baku keshahihan matn hadits, 

sesungguhnya merupakan kaidah yang dikenal dalam „ulum al-

Hadits seperti terungkap dalam banyak pernyataan para ulama 

muhaditsin, karena al-Qur‟an merupakan barometer keshahihan 

hadits dari segi matnnya. Karena tidak mungkin Rasul utusan 

Allah menentang pernyataan Allah, Tuhannya.  

Namun pada gagasan kedua, bahwa hadits yang jelas-jelas 

dha‟if sanadnya namun shahih matnnya, karena dipandang tidak 

bertentangan dengan sejumlah ayat, hadits shahih yang lain atau 

tidak bertentangan dengan sejarah, prinsip-prinsip ketawhidan 

maupun tidak bertentangan dengan akal sehat, seperti terungkap 

dalam contoh-contoh di atas, dinilai sebagai hadits shahih oleh 

al-Ghazali, hal ini tentu dipandang berlebihan, mengingat 

adanya batasan-batasan bahwa hadits shahih itu terdiri dari: 

pembawa beritanya, yakni perawi itu harus dikenal kuat hafalan 

dan bersifat adil, haditsnya bersanad dan sanadnya bersampung, 

yakni setiap perawi harus sezaman dan ada hubungan guru-

murid, gurunya menyampaikan hadits itu kepada muridnya, 

matn haditsnya tidak ber‟illat, yang menodai keshahihan matn 

itu misalnya tidak ada sisipan atau tambahan dalam matnnya, 

dan tidak janggal (syadz), yakni matn hadits itu bertentangan 

dengan ayat-ayat al-Qur‟an maupun hadits-hadits shahih yang 

lainnya. 

Dengan demikian gagasan pertama al-Ghazali di atas 

sesungguhnya hendak mendukung ulama muhaditsin dalam 

menjaga otentisitas hadits, yang salah satunya matn tersebut 

diperbandingkan dengan matn al-Qur‟an maupun hadits-hadits 

yang lainnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah. 

Demikian pula dari aspek otentisitas sanadnya, sebagaimana 

yang dilakukan oleh para shahabat Nabi, jika mendengar 

shahabat lainnya meriwayatkan hadits mereka selalu melakukan 


crosscheck kepada shahabat yang lainnya. Jika ia sendirian 

dalam meriwayatkan hadits itu, artinya para shahabat yang lain 

tidak ada yang mendengarnya, maka Abu Bakar al-Siddiq 

sebagai amir al-mukminin, menetapkan bahwa shahabat itu 

harus bersumpah demi menjamin kebenaran hadits itu 

bersumber dari Rasulullah. Adapun Umar ibn al-Khaththab 

menerapkan kebijakan periwayatan hadits di kalangan shahabat 

dengan cara didukung oleh saksi dari kalangan shahabat yang 

lain, yakni adakah shahabat yang lain juga mendengar Nabi 

bersabda? Jika tidak ada, maka shahabat yang meriwayatkan 

hadits itu harus menerima sanksi dengan cara dicambuk. 

Karenanya, dalam sejarah periwayatan hadits, Umar dikenal 

sangat ketat dalam periwayatan hadits, bahkan terkesan 

melarang shahabat lain meriwayatkan hadits Nabi. Misalnya 

dalam satu riwayat dinyatakan bahwa Umar melalui dialog yang 

panjang dan pengujian yang lama, yang dilatarbelakangi 

ketidaksetujuan Umar terhadap orang-orang (shahabat) yang 

terlalu banyak meriwayatkan hadits karena ditakutkan mereka 

melupakan al-Qur‟an, akhirnya Umar ibn al-Khaththab mem-

perbolehkan Abu Hurairah meriwayatkan hadits, sebagaimana 

terungkap dalam dialognya dengan Abu Hurairah, sebagai 

berikut: 


Umar ibn al-Khaththab berkata: Dahulu engkau bersamaku 

di rumah si fulan? Abu Hurairah menjawab: Ya, dan anda telah 

mengetahuinya, tetapi mengapa bertanya kepadaku dari hal itu? 

Umar berkata (tahukah maksudku), mengapa saya bertanya 

kepadamu? 

Abu Hurairah berkata: Sesungguhnya Rasulullah pada hari 

itu bersabda: 

َّادًمِعَ َتمَُّ  يلَعََّبَذَكََّنْمَ.را نلاَّنَمَِّهُدَعَقْمََّءْوَ َبتَيَلْ َفَّ

Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, 

hendaklah bersiap-siap untuk menempatkan dirinya dalam 

neraka. 

Kemudian Umar berkata: 

َّثٍّدحَفََّبْىَذْاَفَّ،اذًِاَّا مَأ 

Bila demikian, pergilah! Silahkan kamu meriwayatkan 

hadits.137 

Kebijakan Umar yang ketat mengawasi para shahabat 

dalam meriwayatkan hadits ini dipertahankan oleh Utsman bin 

Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin al-Khattab. Namun 

ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, ia mengikuti 

kebijakan Abu Bakar al-Siddiq, yakni para shahabat bersumpah 

                                                 

terlebih dahulu ketika ia hendak mengemukakan hadits, yang 

dimaksudkan bahwa apa yang ia kemukakan itu betul-betul 

merupakan sabda maupun kesaksian dia tentang Rasul, ketika 

beliau hidup atau menyatakan sesuatu (hadits). 

 


 

 

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab 

terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain 

bahwa Muhammad al-Ghazali harus diakui sebagai salah 

seorang cendekiawan muslim dewasa ini yang sangat kritis 

dalam memahami hadits Nabi. Sikap kritisnya inilah justeru 

mengundang kontroversial di antara para cendekiawan muslim 

dewasa ini. Pro dan kontra tak bisa dihindari dalam menyikapi 

pandangan Muhammad al-Ghazali mengenai hadits Nabi. 

Rabi‟ Ibn Hadi al-Madkhaly, misalnya, sangat keras 

mengecam pandangan al-Ghazali. Ia menyanggah hampir semua 

bentuk kritik al-Ghazali terhadap hadits yang ada dalam 

bukunya. Demikian pula H. Afif Muhammad, menyayangkan 

sikap demikian al-Ghazali, yang dinilainya bahwa al-Ghazali 

meski mengeritik atas sejumlah hadits, namun al-Ghazali tidak 

memberikan suatu metode yang utuh dalam menilai suatu 

hadits. Sekurang-kurangnya tidak disusun secara sistematis 

metode yang digunakannya. 

Namun dibalik itu, pandangan al-Ghazali yang mengeritik 

sebagian hadits -- meski diriwayatkan oleh ahli hadits yang 

terkenal seperti al-Bukhari dan Muslim -- secara tidak langsung 


tampak berkesesuaian dengan pandangan ulama-ulama yang lain 

yang menyatakan bahwa keshahihan suatu hadits, tidak semata 

dilihat dari segi sanadnya saja, melainkan juga dari segi matn-

nya. Lagi pula analisis dari segi matn hadits, semata-mata bukan 

hanya monopoli ahli hadits, melainkan pula kewajiban para 

pakar ilmu yang lainnya. 

Karenanya, pandangan al-Ghazali yang muncul dalam 

penelitian ini, yakni hadits shahih fi al-sanad dha„if fi al-matn, 

merupakan cermin sikap kritisnya dalam memandang suatu 

hadits, dengan menggunakan pendekatan perbandingan. Yaitu 

membanding suatu makna hadits dengan makna dari ayat al-

Qur‟an. Jika tidak ada kesesuaian apalagi pertentangan -- meski 

hadits tersebut telah mendapat penilaian shahih -- ia meragukan-

nya sebagai hadits shahih. Namun di sini muncul kontroversi 

dari sikap al-Ghazali sendiri, manakala ia memandang shahih 

suatu makna hadits meski secara riwayat hadits tersebut dha‟if, 

jika ada kesesuaian dengan makna alQur‟an. Inilah barangkali, 

yang disebut H. Afif Muhammad sebagai suatu kelemahaman 

kritik al-Ghazali terhadap hadits yang ada dalam bukunya; al-

Sunnah al-Nabawiyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits. 

Dari sekian hadits yang dikritik al-Ghazali, di antaranya 

hadits yang intinya menyatakan bahwa mayyat akan disiksa 

disebabkan tangisan keluarganya, adalah hadits yang 

 

terkategorikan shahih dari segi lafazhnya namun dha‟if dari segi 

matnnya. Karena dalam teologi Islam tidak mengenal beban 

suatu perbuatan dikenakan kepada orang lain, kecuali orang itu 

terlibat dalam perbuatan tersebut. Tapi pandangan ini pun 

tampak masih mengundang kontroversi di kalangan para 

cendekiawan muslim, baik dari sejak dahulu maupun dewasa 

ini. Hal ini karena latar belakang madzhab fiqh masih lebih 

dominan dalam memahami suatu hadits. 

Demikian pula tentang keshahihan hadits riwayat Muslim 

tentang Nabi Musa yang menonjok mata malaikat karena hen-

dak dicabut nyawanya. Hadits ini dipandang sebagai hadits 

musykil, yang sulit untuk dijustifikasi, karena hadits ini meno-

hok akal sehat umat Islam, masa iya, malaikat maut kalah oleh 

Nabi Musa? 

Adapun hadits tentang haramnya, binatang yang bertaring, 

tampaknya bukan sesuatu yang sulit untuk dijelaskan, 

mengingat para ulama ushul telah menjelaskannya bahwa akibat 

dari nahyi (larangan) itu bisa jatuh pada keharaman, sebagai 

larangan keras yang wajib dijauhi, dan larangan yang jatuh pada 

makhruh, yakni larangan yang tidak keras, yang jika dilanggar 

tidak berdosa. 

 



Related Posts:

  • Hadist Nabawi 3 an punya daya ingat yang kuat, yang dimiliki perawi, bersanad dan bersambung, tidak cacat dan tidak janggal, seperti yang dinyatakan di atas, menjadi syarat mutlak bagi keshahihan suatu hadits. Jadi di si… Read More