Kitab kuning 3

 


Kitab kuning menjadi  istilah yang identik dengan pesantren. Oleh sebab  kitab kuning 

menjadi rujukan utama dan menjadi salah satu elemen bagi pesantren. Dengan bahasa 

ekstremnya, suatu lembaga tidak dapat dikatakan sebagai pesantren jika  di dalamnya tidak 

mengkaji kitab kuning. Hal ini menunjukkan betapa erat hubungan antara pesantren dan kitab 

kuning.  

Dalam pesantren kitab kuning memang paling dominan. Ia tidak saja sebagai khasanah 

keilmuan, namun  juga sebagai si stem nilai yang dipegangi dan mewarnai seluruh aspek 

kehidupan. Kitab kuning mewujud dalam paham keagamaan, tata cara, peribadatan, pergaulan, 

etik dan cara pandang kehidupan warga pesantren dan warga  pengikutnya. Dalam 

kenyataan ini kitab kuning merupakan tradisi yang hidup sebagai ‘kultur santri’ yang cukup 

subur dalam warga  negara kita . Dan sebagai tradisi itu pula kitab kuning hidup dalam 

sejarahnya yang abadi, melampaui keberadaannya sebagai khasanah keilmuan. 

Dalam pembahasan berikut coba menjawab permasalahan-permasalahan: apakah 

pengertian kitab kuning?, kapankah ia ada dan bagaimanakah  perjalanan sejarahnya sehingga 

menjadi satu tradisi pesantren?, apakah kitab-kitab yang dikaji dalam pesantren?, mengapa ia 

menjadi referensi atau rujukan utama dalam dunia pesantren—yang menurut para pengkritiknya 

mengalahkan al-Qur’an dan al-Sunnah?, dan mengapa pesantren mempertahankan—bahkan 

melestarikan kitab kuning, dan sebagai pertanyaan terakhir: apa saja yang perlu dibenahi dari 

kitab kuning?. 

A. Mengenal  Kitab Kuning 

Istilah kitab kuning pada beberapa puluh tahun terakhir ini belum dikenal, sebab dunia 

pesantren pada saat itu menutup diri dari dunia luar, terutama dari arus kebudayaan asing (baca: 

Barat), sebagai satu sikap oposisi diam (silent opposition) terhadap penjajah Belanda. Oleh 

sebab  itu, dunia pesantren tidak mengenal adanya buku-buku di luar kitab kuning.

1

ada yang mengenalnya, maka dilarang mempelajarinya. Pada tahun 1960 terlihat dengan jelas 

garis pemisah antara kelompok tradisionalis dan modernis, yang lebih cenderung memakai  

‘kitab putih’ yang biasanya menolak sebagian besar tradisi skolastik dan berpihak pada upaya 

untuk kembali pada sumber-sumber asli—al-Qur’an dan Hadis.

2

  Dengan demikian, boleh jadi 

istilah ini pada awalnya diperkenalkan oleh para peneliti Barat dan kelompok yang tidak sejalan 

dengan sistem pendidikan yang berlangsung di  dunia pesantren yang sangat didominasi kitab 

kuning. Inilah pula sebabnya mengapa pada awalnya penyebutan istilah kitab kuning ini 

seringkali dibarengi dengan nada merendahkan (pejorative). Mengapa demikian?, sebab kitab 

kuning dianggap sebagai bahan rujukan yang berkadar keilmuan rendah, ketinggalan jaman, 

dan—yang lebih parah lagi—menjadi salah satu penyebab stagnasi berpikir umat.

3

 Berangkat 

dari sini, menjadi patut dipertanyakan, apakah kitab kuning?. 

Secara umum kitab kuning dipahami sebagai kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, 

memakai  aksara Arab yang dihasilkan oleh para ulama dan para pemikir muslim lainnya, 

terutama dari Timur Tengah. Pengertian ini  terlihat kurang luas, oleh sebab  itu Azyumardi 

Azra menambahkan bahwa kitab kuning tidak hanya mengunakan bahasa Arab, akan namun  juga 

bahasa lokal (daerah), seperti: Melayu, Jawa dan bahasa lokal lainnya di negara kita  dengan 

memakai  aksara Arab. Dengan demikian, selain ditulis oleh  para ulama Timur Tengah juga 

ditulis oleh para ulama negara kita  sendiri.

4

 

Sementara, dalam Pengertian yang lebih sempit kitab kuning diartikan dengan buku-buku 

tentang keislaman yang dipelajari di pesantren ditulis dalam tulisan Arab dan dalam bahasa Arab 

dengan sistematika  klasik.

5

 Kitab kuning juga dapat  diartikan dengan kitab yang berisi ilmu-

ilmu keislaman, fiqh khususnya, yang ditulis atau dicetak dalam bahasa 

Arab/Melayu/Jawa/Sunda dan sebagainya tanpa memakai harakat/syakal (tanda baca/baris).

6

 

                                                           

Pengertian  demikian  terkadang masih dibatasi dengan tahun karangan, terdapat juga yang 

membatasi dengan madzhab teologi, dan membatasi kitab kuning dengan kitab yang mu’tabarah 

saja. Artinya kitab kuning yang diterima di kalangan pesantren.  

Menanggapi adanya perbedaan dalam pengertian ini  di atas, dalam pengertian yang 

luas—termasuk di dalamnya kitab kuning dengan memakai  bahasa daerah/lokal—maka 

pengertian ini lebih mengarah pada perspektif historis, sementara dalam pengertian yang  

terakhir disebut maka itu lebih khusus pada tradisi yang  berlangsung   di dunia pesantren. Pada 

pengertian kedua inilah yang sering dipandang dengan pandangan sebelah mata dan banyak 

diberikan kritik. 

Kitab kuning juga diistilahkan dengan  al-kutub al-qadimah (kitab-kitab klasik/kuno) 

kebalikan dari al-kutub al-‘asyriyyah (kitab-kitab modern). Istilah yang sering pula digunakan 

guna menyebut kitab kuning yaitu  ‘kitab gundul’, sebab cara penulisan dalam kitab ini  

tanpa syakal, tanpa tanda baca  dan pemberhentian.   

Disebut kitab kuning sebab  pada umumnya kitab-kitab ini  dicetak di atas kertas 

berwarna kuning, berkualitas rendah, dan kadang-kadang lembarannya pun lepas tidak terjilid, 

sehingga mudah diambil bagian-bagian yang diperlukan tanpa harus membawa satu kitab secara 

utuh. Biasanya para santri hanya membawa lembaran-lembaran tertentu yang akan dipelajari. 

sebab  bentuk tulisannya  yang ‘gundul’, maka kitab kuning tidak mudah dibaca, apalagi 

dipahami oleh mereka yang tidak menguasai gramatika bahasa Arab (nahwu dan sharaf). Format 

kitab kuning biasanya memiliki  bentuk tersendiri, yang sering kali terdiri dari dua bagian, 

matan yang menempati margin, dan syarahnya menempati bagian tengah secara luas. Untuk 

ukuran kertasnya  biasanya digunakan ukuran kwarto.  

Dengan demikian, dapatlah dibedakan karakteristik kitab kuning dan kitab putih. Pada 

umumnya kitab kuning  dikarang oleh ulama sebelum abad XX, bahkan sering kali kitab ini  

dikarang oleh para ulama klasik. Sementara kitab putih tidak membatasi tahun penulisan kitab. 

Akan namun  biasanya kitab putih lebih banyak dikarang oleh para ulama masa akhir-akhir ini 

(mutaakhirin).  Karekteristik lainnya, yang jelas kitab kuning ditulis dengan huruf Arab, 

meskipun bahasa yang digunakan bukan bahasa Arab, semisal bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan 

sebagainya. Kitab kuning juga lebih menekankan pada mazhab Syafi’I untuk kajian fiqh, Asy’ari 

dalam kajian teologi,  dan al-Ghazali untuk bidang tasawuf. Sementara kitab putih tidak 

membatasi madzhab-madzhab tertentu sebagaimana dalam kitab kuning. Satu perbedaan 

penulisan lainnya, yaitu penulisan kitab kuning cenderung tidak mengunakan foot note.   

Dalam pembahasan berikut kitab kuning dalam pengertian luas dijabarkan dalam lintasan 

sejarah, sementara dalam arti sempit akan digunakan dalam kajian tetang kurikulum di pesantren. 

B. Kitab Kuning dan Sejarahnya  

 Tidak diketahui secara pasti kapan kitab kuning menjadi satu rujukan pokok dalam 

pendidikan Islam di negara kita . Jelas kitab kuning ada sebelum munculnya pesantren. Menurut 

Martin Van Bruinessen,

7

 kitab kuning sebagai kitab klasik berbahasa Arab telah dikenal dan 

dipelajari pada abad ke-16. Argumen yang dijadikan dasar yaitu  diibawanya sejumlah naskah 

negara kita  yang berbahasa Arab, Melayu dan Jawa  ke Eropa sekitar tahun 1600 M. Di antara 

kitab yang berbahasa Arab yaitu  kitab yang membahas fiqh: kitab al-Taqrib fi al-Fiqh karya 

Abu Suja’ al-Isfahani, yang hingga sekarang masih banyak digunakan dalam pesatren dan kitab 

al-Idhah fi al-Fiqh. Kitab yang disebut terakhir kini sudah tidak dijumpai lagi dalam pesantren. 

Sementara kitab-kitab yang berbahasa Melayu terdiri dari tafsir tentang dua bab penting dari al-

Qur’an, dua hikayat bertema Islam, sebuah hukum pernikahan Islam, dan sebuah terjemahan 

syair-syair pujian terhadap Nabi (Qasidah burdahnya al-Busyairi). Untuk kitab yang berbahasa 

Jawa antara lain ‘Wejangan Syeh Bari’ yang sebelumnya dikenal dengan ‘Kitab Sunan Bonang’. 

Dalam kitab berbahasa Jawa ini  ditemukan dua judul kitab yang dijadikan sebagai rujukan, 

yaitu ‘Ihya’ Ulum al-Din karya al-Ghazali dan Tamhid—menurut Martin yang dimaksud dengan 

Tamhid yaitu  kitab al-Tamhid fi Bayan al-Tauhid karya Abu Syukur al-Kasyi al-Salimi. Kitab-

kitab yang dikirim ke Eropa inilah—sebagaimana ini  di atas—yang dijadikan  Martin 

sebagai bukti bahwa kitab kuning telah ada di negara kita  pada abad ke-16. 

Menurut Azyumardi Azra, dalam historiografi tradisional dan berbagai catatan lokal 

maupun asing tentang peyebaran Islam di negara kita , tidak menyebut judul-judul kitab yang 

digunakan dalam masa-masa awal perkembangan Islam di kawasan ini. Meski ada beberapa 

historiografi tradisional, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan semacamnya juga 

menyinggung masalah-masalah yang berkaitann dengan yang berkenaan dengan syari’ah dan 

                                                           

7 Martin, Martin Van Brinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, cet. III, 

1999), hal. 27  

fiqh dan masalah-masalah keimanan, mereka umumnya tidak memberikan rujukan kepada kitab-

kitab tertentu.

8

   

Lebih lanjut Azyumardi Azra

9

—dengan mendasarkan argumennya pada hasil peneletian 

Van Den Berg

10

 menjelaskan bahwa kitab kuning baru muncul di negara kita  pada abad ke-17. 

Menurutnya,  kitab kuning, seperti kitab ‘Taqrib’ karya Abu Suja al-Isfahani (w. 593 H/1196 M.) 

kemudian menyusul berturut-turut ‘al Muharrar’ karya Abu Qashim al-Rafi’I (w. 623 H/1226 

M) dan seterusnya, dibawa ke negara kita  oleh para murid Jawi yang belajar di Haramain ketika 

kembali pulang ke tanah air. Pada abad ke-17 inilah semakin banyak pelajar Jawi yang belajar  di 

tanah suci. sesudah  menamatkan pelajarannya, kemudian kembali ke tanah air mereka membawa 

kitab-kitab yang dikajinya, dan selanjutnya mengedarkannya di lingkungan terbatas yang dapat 

membaca dan memahami bahasa Arab.  

Pada tahap selanjutnya, usaha para alumni Haramain ini  tidak berhenti komunitas atau 

warga  yang mampu berbahasa Arab, akan namun  mereka mengarang kitab yang muatannya 

merujuk pada kitab-kitab yang dikajinya. Sebagai contoh: al-Raniri (w. 1068 H/1658 M) dengan 

karyanya ‘ Sirat al-Mustaqim’, Abdurahman al-Singkel dengan  karyanya ‘Mir’at al-Thullab’. 

Kedua kitab ini , misalnya, merujuk pada kitab Fath al-Wahhab karya Zakariya al-Anshari 

dan kitab-kitab fiqh bermadzhab Syafi’I lainnya. 

Apa yang dilakukan oleh dua ulama—al-Raniri dan  al-Singkel—juga diikuti oleh 

beberapa tokoh berikutnya, pada abad ke 18—seperti Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1227 

H/1812 M) yang menulis kitab Sabil al-Muhtadin dan Dawud ibn  Abd Allah al-Fatani (w. 

sesudah  1259 H/1843 M) dengan karyanya antara lain: Bughat al-Thullab, Furu’ al-Masail, Jami’ 

al-Fawa’id, dan Hidayat Muta’allim. Yang menarik yaitu  bahwa kitab-kitab ini  di atas—

karya para ulama negara kita —meskipun memakai  judul bahasa Arab, akan namun  isinya 

memakai  bahasa Melayu, sehingga mudah dipahami oleh warga  yang belum mampu 

berbahasa Arab. Perlu juga dikemukakan bahwa tulisan dalam kitab-kitab ini  memakai  

huruf Arab (dalam istilah Jawa disebut dengan pegon). 

Bila dilihat dari isi dari kitab-kitab ini , terutama pada paruh terakhir abad ke-18 

adanya usaha intensifikasi penyelarasan keyakinan agama dengan dan tata kehidupan sosial . 

                                                           

8 Azyumardi Azra, op. Cit.,  hal. 112-113 

9 Ibid. 

10 Hasil penelitian Van Der Berg lihat: Karel Steebrink, Beberapa tentang Aspek Islam di 

negara kita  Abad kee-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal.153-157 

Fiqh, hukum-hukum Islam, yang menggantikan kontemplasi sufistik menjadi perhatian utama  

untuk ‘memaksa’ lebih jauh penyesuaian kecenderungan folk religions ke dalam keharusan 

Islam, official religions.  Kecenderungan yang lain yaitu  institusionalisasi pemikiran sufistik 

dalam bentuk-bentuk tarekat sebagai kelanjutan upaya pengikisan pemikiran sufistik yang 

menyimpang (heterodoks).

11

 

Untuk selanjutnya, kitab kuning menemukan momentum terkuatnya pada abad ke-19, 

tatkala pesantren—pondok, surau maupun meunasah—menjadikan kitab kuning sebagai materi 

pokok dalam pengajarannya. Kondisi demikian didukung oleh sikap dan semangat perlawanan 

secara diam (silent opposition) terhadap kolonialiame Belanda. Sikap perlawanan ini ikut 

berperan dalam pengembangan pendidikan tradisional, pesantren, khususnya sikapnya yang 

menutup diri dari dunia luar—budaya asing/barat—dalam memakai  literatur atau sebagai 

bahan rujukan. Pada gilirannya, kebutuhan akan kitab kuning semakin meningkat seiring dengan 

bertambahnya pesantren. Tidak dapat dihindari adanya penggandaan naskah kitab kuning. Usaha 

penyalinan dilakukan dengan cara manual, dengan tulisan tangan, sehingga  sering dijumpai 

naskah-naskah kitab kuning yang disimpan di musium, sebagai koleksi, atau yang dimiliki oleh 

pribadi berbentuk tulisan tangan. 

Pada sisi lain, pada abad ke-19 transportasi laut menuju ke tanah suci semakin lancar. Hal 

ini membuat jamaah haji dari negara kita  semakin bertambah. Pada saat yang sama terjadi 

percetakan kitab berhuruf Arab secara besar-besaran. Implikasinya, para jamaah haji—yang 

sekaligus penuntut ilmu di haramain—membawa kitab-kitab ini  pulang ke negara kita .  

C. Kitab Kuning sebagai Kurikulum di Pesantren 

 Bila kembali pada pengertian kurikulum, sebagaimana tertuang dalam Undang-undang 

No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu seperangkat rencana dan pengaturan 

mengenai isi, maupun bahan bahan kajian dan pelajaran serta penyampaian dan penilaian, maka 

kitab kuning dapat dikatakan sebagai kurikulum dalam pesantren. Pertama yang ingin dikaji 

yaitu  isi dari kitab kuning itu sendiri. jika  dikelompokkan, isi dari kitab kuning dapat dibagi 

menjadi dua: ajaran dan non ajaran. Kitab yang berisi ajaran dapat pula dibagi menjadi dua: 

ajaran dasar sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan ajaran yang timbul 

                                                           

11 Badingkan, misalnya, dengan penjelasan:  Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: 

Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: RosdaKarya, cet. I, 1999)   

sebagai penafsiran dan interpretasi para ulama atas ajaran dasar ini .

12

  Kitab-kitab yang 

dapat dikategorikan pada bagian kedua ini yaitu  sesuatu yang datang sebagai hasil dari 

perkembangan  sejarah dalam warga  Islam. Menurut penulis,  ilmu alat dapat dimasukkan 

dalam kategori kitab kuning yang berisi non ajaran.  

 Bila diklasifikasikan menurut bidang kajiannya, maka dapat diibagi menjadi delapan 

bidang. Menurut laporan hasil penelitin Martin Van Bruinessen, karya-karya yang ada secara 

prosentasi dapat diklasifikasikan dalam kategori pokok pembahasan sebagai berikut: 

 

1. Fiqh 20 % 

2. Doktrin (akidah/ushuluddin) 17 % 

3. Tata bahasa Arab tradisional (nahwu, sharaf, balaghah) 12 % 

4. Kumpulan hadis  8 % 

5. Tasawuf dan tarekat  7 % 

6. Akhlak  6 % 

7. Kumpulan doa, wirid, mujarabat  5 % 

8. Qishah al-Anbiya’, maulid, manaqib, dan sejenisnya  6 % 

 Menurut isi penyajiannya, kitab kuning dapat dibagi menjadi tiga, 1). dalam bentuk 

ringkasan (mukhtashar) yang hanya menyajikan pokok-pokok masalah, baik muncul dalam 

betuk nadham (syi’ir) atau dalam bentuk ulasan biasa (natsar), kitab yang membawakkan uraian 

panjang lebar, banyak menyajikan argmentasi dan banyak mengutip pendapat ulama dengan 

hujjahnya masing-masing, kitab yang penyajian materinya tidak terlalu singkat dan tidak terlalu 

leluasa (mutawasith). Sedangkan  dilihat dari kreatifitas penulisannya dapat dibagi menjadi 

tujuh, yaitu: 1. Berupa gagasan baru yang belum ditemukan oleh penulis-penuli sebelumnya—

seperti al-Risalah karya al-Syafi’I,  al-Arudl wa al-Qawafi karya Imam Khalil ibn Ahmad al-

Farahidi, 2. Sebagai penyempurna kitab yang telah ada—seperti karya al-Sibawaih yang 

menyempurnakan karya Abu Aswad al-Du’ali, 3. Berupa komentar atau syarah terhadap kitab 

yang telah ada—seperti Ibn Hajar al-Atsqalani yang memberi syarah kitab Shaheh Bukhari, 4. 

Berupa ringkasan—seperti kitab Lubb al-Ushul karya Zakaria al-Anshari sebagai ringkasan dari 

kitab Jam’ul Jawami’ karya al-Subhi, 5. Memperbaharuii sistematika—seperti Ihya’ Ulum al-

                                                           

12 A. Chozen Nasuha, Epistemologi Kitab Kuning, dalam jurnal Pesantren, No. I, Vol. VI, 1989, 

hal. 12 

Din karya al-Ghazali yang mensistematisasikan ajaran tasawuf dikaitkan dengan fiqh, 7. Berupa 

kritik atau komentar yang meluruskan—seperti kitab Mi’yar al-Ilmi karya al-Ghazali sebagai 

kritik terhadap kaidah-kaidah mantiq yang telah ada.

13

 

 Selanjutnya perlu dicermati kitab-kitab yang dipakai sebagai kurikulum dalam 

pesantren—menurut hasil penelitian Martin Van Bruinessen, Mastuhu

14

, dan pengamatan 

penulis—dapat diklasifikasikan dalam bidang kajian sebagai berikut: 

1. Ilmu Alat 

Pada dasarnya ilmu alat atau ilmu bantu yang dikaji dalam pesantren terdiri dari berbagai 

cabang tata bahasa Arab tradisional. Yang dapat dikategorikan dalam ilmu alat antara lain: 

nahwu, sharaf, balaghah, mantiq, dan tajwid. Ilmu alat dapat didimasukkan dalam kelompok 

kitab kuning non ajaran. Kitab-kitab yang dipakai dalam bidang ini antara lain: dalam bidang 

sharaf: kitab Kailani, Amtsilat al-Tasrifiyah dan  Maqshud/Syarah Maqshud. Semetara 

dalam bidang nahwu kitab-kitab yang sering digunakan yaitu  Jurumiyah, Imrithi, 

Mutammimah, Asymawi, Alfiyah, dan Awamil. Kitab-kitab yang membahas tata bahasa Arab, 

selain ini  di atas, juga digunakan kitab Nahwu Wadhih, dan Qawaidh al-Lughah. Untuk 

Balaghah kitab yang digunakan yaitu  iJauharul Maknum dan  Uqudul Juman, sedangkan 

kajian Mantiq kitab yang sering dikaji yaitu  Sullam al-Munawwaraq dan  Idhah al-

Mubham. 

Pada hampir seluruh pesantren di Nusantara mengajarkan ilmu alat, dan sering kali ilmu alat 

ini—terutama nahwu dan sharaf—mendapatkan perhatian yang luas. Hal ini disebabkan 

bahwa mayoritas kitab kuning yang dikaji di pesantren dengan memakai  bahasa Arab, 

dan untuk memahaminya dengan menguasai ilmu tata bahasa Arab. Dengan kata lain dengan 

meguasai ilmu tata bahasa Arab, maka kunci untuk memahami kitab kuning telah terpegang. 

                                                           

13 Ibid., hal. 17-18.  

14 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren,  (Jakarta: INIS, 1994), hal. 170-173 

(Lampiran 2: tentang daftar kitab yang dikaji dalam pesantren). 

2. Fiqh 

Perhatian yang tidak kalah besarnya yaitu  bidang fiqh.

15

 Subyek yang satu ini boleh 

dikatakan sebagai inti dari pesantren, sehingga wajarlah jika  bidang ini mendapatkan 

prioritas utama dan terdapat berbagai macam kitab fiqh yang dikaji di pesantren. Kitab-kitab 

yang sering digunakan untuk tingkat tsanawiyah yaitu  Taqrib dan Fath al-Qarib, Minhaj 

al-Qawim, Sulam al-Taufiq, Uqud al-Lujain, Mabadi’ al-Fiqh, Fiqh Wadhih, dan sebagainya.  

Sementara pada tingkat ‘aliyah kitab yang sering digunakan yaitu  Fath al-Mu’in, Kifayat 

al-Ahyar, Bajuri, Iqna’, Fath al-Wahab, Mahalli, Tahrir, dan sebagainya. Pada tingkat aliyah 

ini juga sering mengkaji ilmu Ushul  Fiqh. Kitab yang sering digunakan dalam bidang ini 

antara lain: Waraqat/Syarah Waraqat, Lathaif al-Isyarat, Jam’ul Jawami’, al-Asbah wa al-

Nadhair, dan sebagainya. 

Perlu digarisbawahi bahwa kajian fiqh di pesantren hanya mengacu pada fiqh Syafi’i. Oleh 

sebab itu, madzhab Syafi’ilah yang berkembang subur di negara kita . Terdapat beberapa 

alasan mengapa madzhab Syafi’I begitu populer di negara kita ?. Dimungkinkan madzhab 

syafi’I sesuai dengan karakter budaya negara kita , lebih toleran dan—yang jelas—wacana fiqh 

yang berkembang pada saat Islam masuk di negara kita  yaitu  fiqh dengan madzhab Syafi’i. 

Di samping itu, faktor yang tidak boleh diabaikan yaitu  dari segi doktrin aqidah lebih 

cenderung berpaham Asy’ariyah dan mengikuti tasawuf al-Ghazali—yang keduanya 

cenderung pada madzhab Syafi’I—ikut berperan dalam memantapkkan madzhab ini  di 

bumi Nusantara. 

3. Tauhid/Aqidah 

Sebagaimana ini  di atas bahwa umat Islam negara kita  mayoritas berpaham Asy’ariyah. 

Oleh sebab  itu kitab yang dikaji pun juga beraliran yang sama. Tidak seperti abad-abad 

sebelumnya—pada awal perkembangan kitab kuning di negara kita —yang menunjukkan 

minat yang besar pada kajian tauhid, terutama tentang kosmologis, eskatologis, dan spekulasi 

metafisik. Menurunnya minat ini boleh jadi disebabkan oleh pepatah lama yang mengatakan 

bahwa ‘terlalu besarnya minat terhadap masalah-masalah aqidah akan membawa kepada 

kekafiran’ atau doktrin yang mengatakan ‘berpikirlah tentang makhluk Allah, jangan berpikir 

tentang Penciptanya (Tuhan).’ Meski demikian, bukan berarti kitab kuning yang berbicara 

                                                           

15 Pembahasan khusus tentang kitab fiqh, lihat: Martin Van Brinessen, Kitab Kuning, op. Cit., hal. 

112-131 

tentang tauhid tidak dikaji.  Di antara kitab-kitab dalam subyek ini yang sering dikaji di dunia 

pesantren yaitu  Ummu al-Barahin, Sanusi, Dasuki, Kifayat al-Awam, Aqidah al-Awam, 

Fath al-Majid, Jawahir al-Kalamiyah, Husnul Hamidiyah, dan sebagainya. 

4. Tafsir al-Qur’an 

Tafsir merupakan satu bidang yang dijadikan kurikulum dalam dunia pesantren. Sering kali 

kajian tentang tafsir ini dikhususkan untuk tingkat aliyah atau tingkat di atasnya.  Kitab yang 

biasa digunakan yaitu  Tafsir Jalalain, Tafsir Baydhawi, Tafsir Munir, Tafsir Ibn Katsir, 

Jami’ al-Bayan, dan sebagainya. Untuk tiga kitab tafsir yang disebut terakhir, misalnya, tidak 

semua pesantren memakai nya. Sementara Tafsir  al-Manar dan Tafsir al-Maraghi 

seringkali digunakan oleh pesantren yang berorientasi modernis. 

Di samping kitab-kitab tafsir ini  di atas, terdapat beberapa kitab tafsir dengan 

memakai  bahasa lokal/daerah karya para Ulama negara kita  yang patut diungkapkan. Di 

antara kitab tafsir karya ulama Nusantara antara lain: Raudhah al-Irfan fi Ma’rifah al-Qur’an 

berbahasa Sunda yang ditulis oleh Ahmad Sanusi bin Ibrahim bin Abdurahim dari Sukabumi, 

al-Ibriz li Ma’rifah li al-Tafsir al-Qur’an al-Aziz berbahasa Jawa karya K.H. Bisri Musthofa 

dari Rembang. Sedangkan yang berbahasa Melayu antara lain:  al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil 

karya Misbah bin Zain al-Mushthafa. 

Satu catatan yang perlu diperhatikan yaitu  bahwa orang dahulu dilarang menterjemahkan 

al-Qur’an, hanya boleh menterjemahkan tafsirnya.

16

 

Pada sisi lain, Ilmu Tafsir atau Ulumul Qur’an juga dikaji pada sebagian Pesantren. Kitab 

yang biasanya digunakan yaitu  Itqan dan Itmam al-Dirayah. 

5. Hadis 

Hadis termasuk salah satu materi yang banyak dikaji di Pesantren.  Kitab-kitab hadis yang 

sering dipakai di pesantren antara lain: Bulugh al-Maram, Riyadh al-Shalihin, Shahih 

Bukhari, Shahih Muslim, Durratun Nashihin, Mukhtar al-Hadis, Arba’in Nawawi, Tanqih al-

Qaul, dan sebagainya. Sementara untuk kajian Ulum al-Hadis atau Ulum Dirayah al-Hadis 

kitab yang biasa digunakan yaitu  Baiqunah/Syarah dan  Mihadd al-Mughis. 

6. Akhlaq dan Tasawuf 

                                                           

16 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam dinegara kita ,  (Jakarta: Hidakarya Agung, 1986), 

hal. 173 

Kurikulum pesantren memberikan tempat yang luas pada kajian akhlaq dan tasawuf. Kedua 

istilah ini seringkali digabungkan sebab  batas keduanya sangat tipis, bahkan terlihat kabur. 

Kitab akhlaq  yang sering digunakan di pesantren yaitu  Ta’lim Muta’alim, Washaya, 

Akhlaq li al-Banin, Akhlaq li al-Banat, Irsyad al-Ibad dan Nashaihul Ibad. Sedangkan kitab 

tasawuf yang banyak dikaji di pesantren antara lain: Ihya’ Ulum al-Din, Bidayah al-Hidayah, 

Minhaj al-Abidin, Hikam/Syarah Hikam,  Risalah al-Mu’awwanah, dan sebagainya. Satu hal 

yang patut diperhatikan yaitu  tasawuf yang berkembang dan banyak dikaji di dunia 

pesantren yaitu  tasawuf amali, yang kuat warna syariatnya ketimbang warna filosofisnya. 

Dengan kata lain tasawuf yang dikaji  lebih kuat ortodoksinya, sehingga kitab-kitab yang 

berisi ajaran yang mengarah pada paham wahdat al-wujud, misalnya, tidak mendapatkan 

tempat di Pesantren. 

7. Sejarah (Tarikh) 

Tidak banyak pesantren yang mengkaji secara khusus sejarah Islam. Maksimal sejarah yang 

dibahas terbatas pada sejarah Nabi dan para Khulafa’ al-Rasyidin. Menarik untuk dicermati 

mengapa kitab tentang tarikh tidak banyak dikaji?. Bisa dimungkinkan sedikitnya kitab 

sejarah yang dikaji di pesantren disebab kan kitab sejarah ini  tidak berisi ajarang secara 

langsung. Artinya, kitab sejarah hanya mengungkapkan suatu peristiwa-peristiwa atau cerita-

cerita, tidak akan banyak memberi manfaat tanpa ada analisa.  Sementara budaya analisa 

kurang dikembangkan di pesantren. Alasan lain yang layak dikemukakan yaitu  bahwa 

dalam kajian-kajian kitab kuning—baik yang berbicara tentang fiqh, hadis, akhlaq, tasawuf, 

dan kitab-kitab lainnya—secara tidak langsung termasuk di dalamnya sejarah. Dengan kata 

lain sejarah include dalam materi-materi kajian kitab kuning. Pada sisi lain, seringkali kitab 

yang berbicara tentang tarikh tidak dikaji secara khusus akan namun  dibaca bersama pada 

waktu-waktu tertentu, seperti kitab al-Barzanji, Manakib Syaikh Abd Qadir Jaelani, Maulid 

al-Dhiba’, dan sebagainya. Sering pula kisah-kisah ini  terungkap dalam bentuk syair 

berupa puji-pujian yang terdiri dari beberapa bait, seperti Shalawat Badar.  

Meski demikian, bukan berarti kitab kuning yang berbicara tentang sejarah tidak ada. Di 

antara kitab yang membahas tentang sejarah yang dikaji dalam pesantren yaitu  Khusnul 

Yaqin (Khulashah), Dardir dan Barzanji. Kitab yang disebut terakhir, misalnya, selain 

dibaca bersama dalam waktu-waktu tertentu  juga dikaji tersendiri sebagaimana kitab-kitab 

dalam bidang lainnya. 

Pertanyaan berikut yang patut pula dipertanyakan yaitu  mengapa kitab-kitab yang 

membahas filsafat tidak dimasukkan dalam kurikulum pesantren?. Untuk menjawab pertanyaan 

ini maka perlu dilakukan kilas balik masuknya Islam di negara kita . Sebagaimana diketahui, Islam 

pada abad ke-12 atau ke-13—saat berkembangnya Islam di negara kita —yaitu  Islam yang sudah 

mengalami kemunduran dalam dunia filsafat, sehingga wacana yang berkembang pada saat itu 

yaitu  lebih kental warna tasawufnya, itu pun tasawuf yang ortodoks. Artinya yang berkembang 

saat itu yaitu  tasawuf amali/akhlaqi, bukan tasawuf falsafi. Sementara untuk kasus  negara kita  

sendiri juga terjadi pergeseran kecenderungan, minat pada tasawuf falsafi—seperti ajaran wahdat 

al-wujud—semakin kurang peminatnya. Kurangnyaa minat ini  terutama adanya larangan 

bahwa ajaran demikian, jika  tidak hati-hati akan mengakibatkan kekufuran. Belajar filsafat 

berarti belajar berspekulasi, dan mempertanyakan sesuatu yang dianggap tabu di pesantren. Oleh 

sebab  itu belajar filsafat tidak diperkenankan, bahkan diharamkan, sebab  dikhawatirkan akan 

menyesatkan. Alasan-alasan demikian pada gilirannya akan sangat berpengaruh terhadap 

kurikulum yang diterapkan dalam dunia pesantren. Kurikulum di sini dalam arti luas, tidak hanya 

pada materi pelajaran (kitab-kitab kuning yang dikaji), akan namun  juga pada sistem, seperti: 

sikap santri, metode, media, penilaian, dan sebagainya. Alasan yang lebih ekstrem yang bisa 

dikemukakan yaitu  dengan belajar filsafat maka otoritas pimpinan pesantren dipertanyakan, 

bahkan digugat. Bila terjadi demikian, maka tatanan yang ada di pesantren yang sudah 

mentradisi akan mengalami pergeseran, dan warna pesantren yang memiliki  karakteristik 

tersendiri akan luntur, tidak ubahnya lembaga pedidikan umum. 

Masih pada seputar isi kitab kuning, yang juga perlu didiskusikan yaitu  mengapa hanya 

ilmu-ilmu agama—yang mengarah pada kehidupan ukhrawi—yang diprioritaskan, sedangkan 

ilmu tentang keduniawian hanya sedikit dikaji—untuk tidak dikatakan tidak ada sama sekali. 

Jawab dari persoalan ini yaitu  dengan kembali pada tujuan dari belajar di pesantren itu sendiri. 

Bukankah untuk melihat apa saja materi yang akan dibahas, maka ditentukan oleh tujuan yang 

hendak dicapai. Dalam berbagai pembahasan disebutkan bahwa tujuan seseorang belajar di 

pesantren yaitu  untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan ilmu yang dimaksud yaitu  

ilmu agama. Tujuan pesantren tidaklah mendidik santri agar menjadi pegawai atau petugas 

tertentu. sesudah  tamat santri diharapkan menjadi guru di pesantren, atau guru mengaji, atau 

imam masjid. Akan namun  sebagian besar dari mereka yang belajar di pesantren yaitu  mencari 

ilmu untuk bekal pribadi.

17

 Pada umumnya pendidikan di pesantren yaitu  pendidikan agama 

dan akhlaq. Panggilan yang mendorong kyai untuk mengajar dan santri belajar yaitu  rasa wajib 

berbakti kepada Allah SWT, sehingga hanya anggota warga  yang terkemuka dan mulia saja 

yang mengambil tugas ini, dengan tujuan menyampaikan ilmu belaka.

18

   Dengan demikian, 

maka pendidikan di pesantren bertujuan untuk membentuk kepribadian, memantapkan akhlaq 

dan melengkapinya dengan pengetahuan, atau—meminjam istilah Habib Chirzin—santri dengan 

gelar MMAS (muslim, mukmin, alim dan shaleh).

19

  Mereka diharapkan—sesudah  kembali ke 

kampung halamannya—menempuh hidupnya menjadi muslim yang teladan yang memantulkan 

sosialisasi pesantrennya serta mempromosikan, mensyiarkan nilai-nilai dan gambaran 

kewarga an Islam. Dalam istilah modernnya, dalam pesantren ‘pendidikan kader’ 

dilaksanakan dalam arti yang luas. Santri diharapkan menyebarluaskan citra nilai budaya 

kepesantrenannya yang khusus melalui cara hidupnya: pengabdian sosial, ketulusan, kesahajaan, 

pribadi atau sifat-sifat yang dapat dituangkan dalam pengertian utama dari pendidikan  yang 

ideal, yaitu ‘keikhlasan’.

20

 Inilah sebabnya mengapa pendidikan dalam pesantren lebih 

menekankan pada ajaran moral dari pada hanya memberikan pengetahuan maupun pendidikan 

ketrampilan. 

Sebagai catatan akhir dari materi kajian dalam pesantren, bahwa tidak terdapat 

‘kurikulum nasional’ dalam pendidikan pesantren, sehingga masing-masing pesantren berhak 

menentukan materi apa saja yang sesuai dengan kebutuhannya. Tidak jarang dijumpai adanya 

beberapa pesantren yang memiliki  khususan tersendiri. Artinya, terdapat bidang-bidang 

tertentu yang mendapatkan prioritas, sehingga bidang itulah yang menjadi ciri khusus dari 

pesantren ini . Sebagi contoh yaitu  pesantren Tebu Ireng di Jombang yang didirikan oleh 

K.H. Hasyim Asy’ari mengkhususkan pada bidang Hadis, Pesantren di Jampes di Kediri terkenal 

dengan kajiian tasawuf, Pesantren di Kudus yang diasuh oleh K.H. Arwani mengkhususkan pada 

bidang al-Qur’an, dan sebagainya.

21

 

Meski demikian, hampir di seluruh pesantren memakai  kitab-kitab yang hampir 

sama. Dalam kajian ilmu alat, misalnya, kitab  yang digunakan untuk tingkat dasar yaitu  kitab 

Jurumiah,  bidang fiqh digunakan kitab Taqrib atau Fath al-Qarib,  dan sebagainya. Hampir di 

Jawa dan Di Sumatra serta beberapa kota di pulau lainnya  dalam kajian-kajian ini  

memakai  kitab yang sama, demikian hasil pengamatan Mahmud Yunus

22

 dan Karel 

Steenbrink. 

D. Kitab Kuning: Sebuah Pengamatan dan Kritikan 

Tidak sedikit kelompok yang menempatkan kitab kuning pada posisi tinggi, hampir-

hampir ‘mensejajarkan’ dengan kitab suci dan Hadis Nabi. Pada sisi lain tidak sedikit pula 

kelompok yang melakukan kritik terhadap kitab kuning. Kelompok pengkritik ini, bisa datang 

dari luar pesantren maupun orang yang dalam kesehariannya terlibat dengan kitab kuning.  

 Memang tidak dipungkiri bahwa titik essensi dan sumber pokok dari diskursus kitab 

kuning sebagai literatur keagamaan Islam tidak bisa tidak yaitu  wahyu Allah yang disampaikan 

kepada Nabi Muhammad SAW sehingga berwujud  al-Qur’an. Essensi dan sumber pokok ini 

kemudian dilengkapi dengan sumber kedua: Sunnah atau Hadis Rasulullah SAW. Akan namun , 

terlihat bahwa al-Qur’an dan Hadis bukan satu-satunya sumber bagi diskurus kitab kuning, akal 

pun dalam batas-batas tertentu juga memainkan peran dalam menafsirkan, menperjelas, 

mengembangkan dan merinci apa yang diperoleh melalui wahyu. Pada tataran ini, hasil ijtihad 

boleh jadi benar atau salah, dan dapat berbeda antara ijtihad ulama satu dengan lainnya. 

Penulisan kitab kuning, pada  beberapa kasus mengacu pada para ulama yang memiliki  

otoritas dalam bidangnya.  

Kitab kuning dalam kurun waktu yang panjang telah menjadi rujukan utama dan menjadi 

pedoman berpikir dan bertingkah laku. Menurut warga  pesantren merupakan formulasi final 

dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Ia ditulis oleh para ulama dengan kualifikasi 

ganda, keilmuan yang tinggi dan moralitas yang luhur. Ia ditulis dengan mata pena atau jari-jari 

yang bercahaya. Oleh sebab  itu, ia dipandang hampir-hampir tidak memiliki cacat dan sulit 

untuk mengkritiknya.

23

 

 jika  dikaji lebih jauh, dengan kosep keilmuan yang memakai  paradigma 

sebagaimana ini  di atas, maka hal ini tidak terlepas dari pemahaman di kalangan pesantren 

                                                            

terhadap kitab Ta’lim Muta’alim karya al-Zarnuji yang digunakan pada hampir seluruh pesantren 

di Nusantara. Konsep ini  sejalan dengan paham Asy’ari dan terjalin erat dengan konsep 

pemikiran al-Ghazali. Jika ilmu yaitu  dari Tuhan, maka yang mesti dilakukan oleh seseorang 

untuk memperoleh ilmu yaitu  dengan menyediakan kondisi spiritual yang kodusif bagi 

anugerah itu melalui riyadhah (latihan ruhaniyah) secara intensif dan benar. Latihan secara 

intensif biasanya dilakukan dengan mejalankan amalan-amalan, seperti: puasa Senin-Kamis, 

puasa mutih, puasa Daud, puasa 40 hari berturut-turut, puasa ngebleng, puasa dengan tidak 

makan makanan dari daging/vegetarian, dan seterusnya. Sementara, agar jalan yang ditempuhnya 

benar, tepat arah dan tidak tersesat, maka diupayakan dengan memperbanyak dzikir. sebab  ilmu 

diianggap sebagai sesuatu ‘yang sudah jadi’ dari Tuhan, maka konsep belajar di pesantren lebih 

mementingkan peranan mendengar (sam’) dan menghafal (hifdh), dibanding dengan mengamati 

(ru’ya) dan menalar (ra’yu).

24

 

 Oleh sebab  itu, maka terdapat etika dalam membaca kitab kuning, antara lain: sebelum 

membahas kitab terlebih dahulu dibacakan do’a (biasanya membaca  surat al-Fatihah) untuk 

mushannif (pengarang kitab), dengan satu harapan akan mendapatkan manfaat ilmu yang akan 

dipelajari dari kitab ini . Demikian juga ketika kajian tentang kitab ini  telah tamat 

(berakhir). Dibacakan doa dengan harapan yang sama, yang biasanya dipimpin oleh kyai/ustad 

yang mengajarkan kitab ini . 

Sejalan dengan pendapat di atas—kritik yang dialamatkan pada pelaksanaan kitab kuning  di 

pesantren—yaitu  sebagaimana yang dikemukakan oleh Tholhah Hasan yang menyebutkan tiga 

permasalahan pokok, yaitu: 

1. Dalam segala orientasi keilmuan, pesantren masih menitikberatkan kajiannya terhadap ilmu-

ilmu terapan, seperti fiqh, tasawuf, dan ilmu alat. Sedangkan pengajaran ilmu-ilmu yang 

menyangkut pengembangan wawasan dan ketajaman penalaran, seperti: logika, fiilsafat, 

sejarah, tafsir al-Qur’an, Tarikh Tasyri’, Qawaidul Ahkam, Muqaranah al-Madzahib, dan 

sebagaimana masih terbatas. Selayaknya, jika pesantren tidak hanya mengkaji ilmu-ilmu 

terapan, khususnya bagi para santri senior, yang telah menguasai kitab-kitab dasar. 

2. Metode pengajaran di pesantren yang diikenal dengan istilah sorogan dan 

wetonan/bandongan atau khataman. Santri bebas mengikuti pengajian atau tidak, pengajaran 

                                                           

24 Masdar Farid Mas’di, ‘Problem Keilmuan di Dunia Pesantren, dalam Dinamika Pesatren, 

Syaifullah Ma’sum (ed.), (Jakarta: Yayasan Islam al-Hamidiyah dan Yayasan Syaifuddin Zuhri, cet. I, 1998), 

hal. 53 

tidak diatur dalam silabus yang terprogram. Pada umumnya proses belajar mengajar 

berlangsung satu jalur  dengan menterjemahkan secara harfiyah, dengan bahasa yang seakan 

baku dan menimbulkan kesan sakralisasi bahasa. Metode demikian diterapkan untuk 

berbagai tingkatan. Belajar dengan satu arah ini semakin  menguatkan paham bahwa ilmu 

yaitu  ‘given’, datang dari Tuhan yang bersifat esoteris. 

Di samping itu, perlu juga diperhatikan konsep belajar untuk mencari berkah (ngalap 

barokah) yang sangat dominan di pesantren. Terlepas dari sisi positifnya, sisi negatif dari 

pandangan demikian yaitu  tidak adanya penolakan terhadap isi suatu kitab. Dengan kata 

lain kemungkinan munculnya kritikan akan tertutup, padahal kitab-kitab ini  merupakan 

hasil ijtihad para ulama, yang—boleh jadi—terdapat kekeliruan. Dengan demikian, tidak 

semua pernyataan yang ada dalam kitab kuning yaitu  harga mati, yang tidak bisa diganggu 

gugat.  

Masih dalam kaitan dengan sistem pendidikan pesantren yang memakai  kitab kuning 

sebagai kurikulum, maka persoalan yang perlu diikaji lebih lanjut yaitu  tidak adanya ujian. 

Memang cara demikian memiliki  nilai positif, sebab para santri  belajar bukan untuk 

mengejar ijasah, akan namun  lebih pada mencari ilmu untuk bekal di kemudian hari dengan 

penuh keikhlasan. 

3. Kurikulum dan materi pengajaran yang belum dibakukan, membuat masing-masing 

pesantren memiliki  pilihannya sendiri-sendiri. Kurikulum yang ada biasanya disominasi 

oleh fiqh, ilmu alat dan tasawuf. Untuk materi sejarah, misalnya, hanya terbatas pada Sirah 

Nabawiyyah,  dan paling banter sejarah ketokohan Khulafa’ al-Rasyidin, sementara sejarah 

puncak kejayaan Abbasiyah,  tidak  tercover dalam kurikulum pesantren. Padahal pada masa 

dinasti Abbasiyah boleh disebut sebagai masa kejayaan Islam, dengan perkembangan ilmu 

dalam berbagai bidang. Demikian halnya dengan  pembahasan fiqh, hanya  mengacu pada 

satu madzhb Syafi’I.  Perlu diperkenalkan dalam ppesantren, khususnya untuk tingkat 

aliyah, madzhab-madzhab lain sebagai perbandingan. 

Demikianlah beberapa pemasahan seputar kurikulum pesantren, lengkap dengan kritikan 

dan sanjungan. 

Kata Akhir 

Terbukti bahwa pendidikan pesantren—sebagai suatu sistem pendidikan asli negara kita —

mampu memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi umat Islam di negara kita . Pesantren—

dengan kurikulum kitab kuning—telah mampu mengantarkan para santrinya untuk menjadi 

anggota warga  yang mulia, tdak hanya di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, akan namun  

juga terhormat di hadapan sesama umat. Kekhasan pesantren dengan kitab kuning sebagai 

kurikulum perlu dipertahankan dengan beberapa catatan. Catatan ini  antara lain: orientasi 

keilmuan, yang tidak hanya mengacu pada ilmu terapan, akan namun  juga dalam pengajaran ilmu-

ilmu yang menyangkut pengembangan wawasan dan ketajaman penalaran; metode, lebih 

dikembangkan, tidak hanya one way coommunication—komunikasi satu arah—akan namun  perlu 

juga diterapkan metode yang lebih melibatkan santri dalam proses pengajaran; pengembangan 

materi, tidak hanya mengkaji satu madzhab, akan namun  perlu juga dikenalkan dan bahkan dikaji 

beberapa madzhab lainnya sebagai perbandingan. Perlu juga dilakukan sebuah kontekstualisasi 

pemahaman kitab kuning, sehingga ia akan relevan dengan perkembangan jaman.