nikah beda agama 2

 



NIKAH BEDA AGAMA


Pernikahan beda agama itu tidaklah 

dapat membawa manfaat. Justru bisa 

jadi sebaliknya akan menjadikan 

kemudharatan bagi generasi mendatang. 

Sebab menyatukan dua pemikiran yang 

seakidah saja belum tentu bisa semudah yang dibayangkan apa lagi jika 

menyatukan dua pemikiran yang 

berbeda keyakinannya. Hal ini akan 

berdampak negatif baik bagi keutuhan 

rumah tangga, keyakinan maupun 

pendidikan anak, kecuali jika tujuannya 

adalah untuk menyelamatkan wanita 

ahlul kitab agar mereka mendapat 

hidayah dari Allah S.W.T. 

Allah dan Rasul-Nya sangat 

menekankan untuk berhati-hati dalam 

hal memilih pasangan hidup, sebab 

memilih pasangan yang salah dapat 

mendatangkan bencana bagi keluarga 

itu sendiri lantaran pasangan hidup yang 

dipilihnya tidak faham permasalahan 

agama atau bahkan tidak seakidah yang 

kemudian akan melahirkan generasi￾generasi yang tidak mendapatkan 

pendidikan Islam dengan baik, Allah 

S.W.T. melarang laki-laki mukmin 

menikah dengan wanita musyrik 

meskipun mereka (wanita-wanita) itu 

sangat menarik, cantik ataupun kaya, 

kecuali jika mereka telah beriman.


Islam mengatur sedemikian rupa 

tentang semua permasalahan manusia di

antaranya adalah tentang pernikahan, 

pernikahan merupakan salah satu hal 

terpenting dalam keberlangsungan 

populasi manusia, tidak kalah 

pentingnya adalah bagaimana caranya 

agar kita dapat andil dalam mencetak 

dan menjadikan bibit-bibit generasi 

yang baik di masa depan yaitu dengan 

cara menjadi pribadi yang baik dan 

faham terhadap permasalahan agama 

kemudian mencari dan memilih wanita￾wanita yang sekufu, yaitu yang baik, 

yang seakidah dan faham pula terhadap 

permasalahan agama sebagai ibu dan 

pendidik bagi anak-anak kita nantinya.

Lalu bagaimana jika pernikahan itu 

berbeda keyakinan yaitu berbeda agama 

dan bagaimana Islam memandang hal 

tersebut, serta bagaimana pendapat 

Imam Madzhab dan hukum positif di 

Indonesia?

Imam Abu Hanifah berpendapat 

bahwa bila wali dan perempuan yang 

akan dinikahkan dengan seorang laki￾laki yang tidak sekufu, maka akad 

nikahnya tidak sah. Imam Malik

berpendapat bahwa kekufuan yang 

dimaksud adalah dalam hal agama.1

Imam madzhab lain yaitu Imam 

Maliki, Imam Syafi‟i, dan Imam 

Hambali berpendapat bahwa bila laki￾laki muslim menikah dengan 

perempuan dzimmi (non muslim/kafir 

yang mendapat jaminan perlindungan),

maka pernikahan tersebut tidak sah, 

kecuali disaksikan oleh dua orang 

muslim, sementara Hanafi berpendapat 

bahwa; sah dengan disaksikan dua 

orang dzimi saja.

Wahbah Az-Zuhaili mengatakan; 

„seorang muslim tidak boleh kawin 

(menikah) dengan seorang perempuan 

musyrik. Yaitu perempuan yang 

menyembah Allah bersama tuhan yang 

lain, seperti berhala, bintang-bintang, 

atau api, binatang.”3 Allah dan Rasul￾Nya sangat menekankan untuk berhati￾hati dalam hal memilih pasangan hidup, 

sebab memilih pasangan yang salah 

dapat mendatangkan bencana bagi 

keluarga itu sendiri lantaran pasangan 

hidup yang dipilihnya tidak faham permasalahan agama atau bahkan tidak 

seakidah yang kemudian akan 

melahirkan generasi-generasi yang tidak 

mendapatkan pendidikan Islam dengan 

baik, Allah S.W.T. melarang laki-laki 

mukmin menikah dengan wanita 

musyrik meskipun mereka (wanita￾wanita) itu sangat menarik, cantik

ataupun kaya, kecuali jika mereka telah 

beriman.

Allah S.W.T. berfirman:

“Dan janganlah kamu 

menikahi wanita-wanita 

musyrik, sebelum mereka 

beriman. Sesungguhnya 

wanita budak yang mukmin 

lebih baik dari wanita 

musyrik, walaupun Dia 

menarik hatimu. dan 

janganlah kamu menikahkan 

orang-orang musyrik (dengan 

wanita-wanita mukmin) 

sebelum mereka beriman. 

Sesungguhnya budak yang 

mukmin lebih baik dari orang 

musyrik, walaupun Dia 

menarik hatimu. mereka 

mengajak ke neraka, sedang 

Allah mengajak ke surga dan 

ampunan dengan izin-Nya. 

dan Allah menerangkan ayat￾ayat-Nya (perintah-perintah￾Nya) kepada manusia supaya 

mereka mengambil pelajaran.”

(Q.S. Al-Baqarah: 221)

Rasulullah S.A.W. bersabda:

“Wanita dinikahi karena 

empat alasan; karena harta, 

keturunan, kecantikannya, dan 

agamanya. Carilah yang taat 

beragama, niscaya kalian 

beruntung.” (H.R. Al￾Bukhari dan Muslim)4

Pada ayat dan hadits di atas 

disebutkan bahwa menikahi wanita 

yang beragama (Islam) sangat 

dianjurkan. Seorang muslim/muslimah 

yang cerdas sudah pasti tidak akan 

gegabah dalam menentukan pasangan 

hidupnya dia akan senantiasa berupaya 

dan berjuang untuk mencari pasangan 

suami/istri yang baik agama dan 

akhlaknya yang kelak menjadi pendidik 

sekaligus figur bagi anak-anaknya. 

Sebagaimana yang diungkapkan oleh 

seorang penulis buku, bahwa seorang 

anak akan menurut tarbiyah dan 

pendidikan yang diberikan kepadanya, 

sifat-sifat orang tua akan menurun 

kepada anak-anak mereka, ibarat kata 

pepatah “buah jatuh tidak akan jauh dari 

pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan 

pada diri anak disebabkan dia mengikuti 

ketakwaan kedua orang tuanya atau 

salah seorang dari mereka.

Pernikahan beda agama adalah 

salah satu sumber problematika dalam 

rumah tangga bagi seorang muslim atau mungkin bahkan di kalangan non 

muslim itu sendiri dan jika hal ini telah 

benar-benar dilakukan maka yang 

menjadi korbannya adalah sang anak 

yang kemungkinan besar kebingungan 

dalam menentukan agamanya. Kaum 

liberalis dan pluralis di berbagai 

belahan dunia terutama di Indonesia 

sangat gencar dalam mengkampanyekan 

pernikahan beda agama ini dengan 

mengatasnamakan HAM (Hak Asasi 

Manusia) meskipun telah jelas bahwa 

hal tersebut di larang di Indonesia 

berdasarkan undang-undang. Dalam 

undang-undang Republik Indonesia 

Nomor 1 Tahun 1974 tentang 

Perkawinan terdapat pasal yang 

menyebutkan tentang larangan 

pernikahan beda agama di antaranya 

adalah Pasal 1, perkawinan ialah ikatan 

lahir batin antara seorang pria dengan 

seorang wanita sebagai suami isteri 

dengan tujuan membentuk keluarga 

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal 

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha 

Esa.

Kemudian Pasal 2 Ayat 1

perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing￾masing agama dan kepercayaannya itu.

Abd. Shomad dalam hal ini 

menjelaskan, bahwa; Pasal 2 UU No. 1 

Tahun 1974 meletakan fundamentum 

yuridis perkawinan nasional, yakni; 

dilakukan menurut hukum agama, dan 

di catat menurut perundang-undangan 

yang berlaku, pasal ini secara tegas 

menyatakan bahwa; perkawinan itu sah, 

apabila dilakukan menurut hukum 

agama, maka bagi WNI (Warga Negara 

Indonesia) yang beragama Islam yang 

hendak melakukan perkawinan supaya 

sah harus dilaksanakan menurut 

ketentuan Hukum Perkawinan Islam. 

Fiqih Munakahat atau Hukum 

Perkawinan Islam di Indonesia adalah 

peraturan khusus di samping peraturan

umum yang telah diatur dalam UUP 

(Undang-Undang Perkawinan).

Abdullah Siddik juga memberikan 

komentarnya bahwa Pasal 2 UUP ini 

sejiwa dengan Pasal 29 UUD 1945 yang 

memuat kewajiban bagi Negara RI 

untuk menjalankan hukum setiap agama 

yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa,

kecuali unsur-unsur agama yang 

bertentangan dengan Pancasila. Jadi 

bagi orang-orang Islam tegas berlaku 

Hukum Islam. Anggapan yang 

menyatakan dengan berlakunya UUP ini 

Hukum Perkawinan Islam tidak berlaku 

lagi adalah tidak tepat, karena menurut 

ketentuan dalam Pasal 66 UUP Yang 

dianggap tidak berlaku lagi bukanlah 

peraturan sebelumnya mengenai 

perkawinan secara keseluruhan 

melainkan hanyalah hal-hal yang 

mengatur tentang perkawinan sejauh 

telah diatur dalm UUP, dalam hal yang 

belum atau tidak diatur dalam UUP ini, 

maka masih berlaku.

Di dalam Al-Qur‟an dikatakan 

bahwa seorang laki-laki muslim 

diperbolehkan untuk menikahi 

perempuan ahlul kitab. Perempuan ahlul 

kitab adalah perempuan yang percaya 

terhadap agama samawi, seperti orang 

Yahudi dan Nashrani yang mengimani 

Taurat dan Injil.10 Allah S.W.T.

berfirman dalam Surat Al-Ma‟idah Ayat 

5:

“Pada hari ini dihalalkan 

bagimu yang baik-baik. 

Makanan (sembelihan) orang￾orang yang diberi Al-Kitab itu

halal bagimu, dan makanan 

kamu halal (pula) bagi 

mereka. (Dan dihalalkan 

mangawini) wanita yang 

menjaga kehormatan diantara 

wanita-wanita yang beriman 

dan wanita-wanita yang 

menjaga kehormatan di antara 

orang-orang yang diberi al￾kitab sebelum kamu, bila 

kamu telah membayar mas 

kawin mereka dengan maksud

menikahinya, tidak dengan 

maksud berzina dan tidak 

(pula) menjadikannya gundik￾gundik. Barangsiapa yang 

kafir sesudah beriman (tidak 

menerima hukum-hukum 

Islam), maka hapuslah 

amalannya dan ia di hari 

kiamat termasuk orang-orang 

merugi.” 

Imam Syafi‟i dan beberapa orang 

ulama berpendapat, siapa di antara bani 

Israil yang beragama Yahudi dan 

Nashrani, maka wanita-wanita mereka 

halal dinikahi dan hewan sembelihan 

mereka boleh dimakan. Sedang orang 

yang beragama dan Nashrani selain 

mereka (bani Israil), baik orang Arab 

maupun non Arab, maka wanita-wanita 

mereka tidak boleh dinikahi dan hewan 

sembelihan mereka tidak halal 

dimakan!.

Meskipun demikian ada sebagian 

ulama berpendapat bahwa menikah 

dengan perempuan ahlul kitab terlarang 

karena perempuan ahlul kitab mereka 

memang benar mengimani tentang ke￾Tuhanan kepada Allah S.W.T. akan 

tetapi mereka juga menyembah 

sembahan-sembahan yang lain yang 

dianggap sebagai Tuhan mereka. Di 

dalam Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq 

dikatakan bahwa Ibnu „Umar pernah 

ditanya orang tentang laki-laki muslim 

nikah dengan perempuan Nashrani atau 

Yahudi. Jawabnya: Allah 

mengharamkan orang-orang mukmin 

nikah dengan perempuan musyrik. 

Sedangkan menurut saya tidak ada 

perbuatan musyrik yang lebih besar 

daripada perempuan yang mengatakan, 

Isa sebagai Tuhannya atau salah 

seorang oknum Tuhan.

Sebagian ulama juga berpendapat 

bahwa menikahi perempuan ahlul kitab 

adalah makruh. Sulaiman Ahmad 

Yahya Al-Faifi mengatakan bahwa 

menikah dengan wanita ahlul kitab 

meskipun boleh, tetapi hukumnya 

makruh; karena tidak ada jaminan 

dirinya akan condong kepadanya 

(suami); malah hal itu bisa beresiko 

memfitnah di dalam hal agamanya, atau anggota keluarganya akan menguasai 

dia. Dan jika wanita Harbiyah, lebih 

makruh lagi, karena lebih besar lagi 

pengaruh Ahlul Harbi itu.

13

Sebagian ulama lain mengambil 

hikmah dari sebab dibolehkannya laki￾laki muslim menikahi wanita ahlul 

kitab, dikarenakan mereka masih 

mengimani beberapa prinsip yang ada 

di dalam Islam, berbeda halnya dengan 

wanita musyrik. Seorang pakar fikih 

kontemporer dari Mesir berkata; „sebab 

dalam pembolehan kawin dengan 

perempuan ahli kitab berbeda halnya 

dengan perempuan musyrik adalah dia 

memiliki kesamaan keimanan pada 

beberapa prinsip yang asasi. Yang 

dimulai dengan pengakuan terhadap 

Tuhan, keimanan kepada para rasul dan 

hari kiamat, dengan segenap hisab dan 

siksaan yang ada di dalamnya. Adanya 

titik temu ini menyebabkan adanya 

komunikasi berdasarkan landasan ini, 

yang menjamin terciptanya kehidupan 

perkawinan yang biasanya lurus dengan 

mengharap keislaman perempuan 

tersebut karena secara general dia beriman dengan kitab-kitab para nabi 

dan rasul.”

Adapun wanita muslimah dalam hal 

ini dilarang oleh syari‟at untuk menikah 

dengan laki-laki non muslim (kafir) 

baik laki-laki itu orang musyrik, mulhid 

(atheis) maupun ahlul kitab, hal ini 

mengacu kepada firman Allah S.W.T.

dalam Surat Al-Mumtahanah Ayat 10.

Salah satu keterangan yang dapat 

diambil dalam ayat Al-Mumtahanah 

Ayat 10 tesebut yaitu larangan Allah 

agar perempuan muslimah tidak 

dikawini oleh ahlul kitab (orang-orang 

kafir), karena dikhawatirkan akan 

dipengaruhi meninggalkan agamanya. 

Islam meninjau kemungkinan terjadinya 

hal tersebut, karena suamilah yang 

menjadi pemimpin dalam rumah 

tangganya, tentu saja ia dapat 

menggunakan hak otoritasnya untuk 

mmengajak keluarganya untuk 

menganut keyakinannya. Yang paling 

dominan melakukan pernikahan beda 

agama di Indonesia kebanyakan adalah 

mereka yang awam terhadap agama dan 

cenderung terhadap sifat keduniawian 

semata, sehingga mereka tidak menyadari akibat dari pernikahannya 

tersebut. Sebagian orang muslim 

mungkin faham tentang akibat 

pernikahan beda agama tersebut akan 

tetapi kebanyakan mereka tidak tahu 

bagaimana pendapat ulama madzhab 

dan hukum positif yang di sahkan di 

Indonesia. 

Berdasarkan uraian di atas perlu 

diketahui bahwa imam madzhab 

bersepakat melarang laki-laki muslim 

untuk menikah dengan non muslimah 

(wanita kafir) kecuali non muslimah itu 

adalah ahlul kitab yang beragama 

samawi yaitu Nasrani atau Yahudi yang 

paham Taurat dan Injil. Sedangkan 

wanita muslimah dilarang menikah 

dengan laki-laki non muslim baik laki￾laki itu ahlul kitab beragama samawi, 

Yahudi dan Nasrani atau laki-laki 

musyrik. 

Telah dijelaskan bahwa hukum 

positif di Indonesai melarang adanya 

pernikahan beda agama sebagaimana 

yang tersebut di dalam undang-undang 

yang telah dipaparkan di atas. 

Ada beberapa permasalahan yang 

terkait dengan masalah pernikahan beda 

agama menurut imam empat madzhab 

dan hukum positif di Indonesia, masalah yang dapat diidentifikasi antara lain 

adalah:

1. Bagaimana hukum pernikahan 

beda agama menurut imam 

madzhab? 

2. Bagaimana hukum positif di 

Indonesia mengenai pernikahan 

beda agama menurut hukum 

Islam? 

3. Apa saja dampak dari pernikahan 

beda agama?

Secara bahasa perkawinan atau

pernikahan dalam literatur fikih 

berbahasa Arab disebut dengan dua 

kata, yaitu nikah (نكح) , dan zawaj

(زواج) kedua kata ini yang terpakai 

dalam kehidupan sehari-hari orang Arab 

dan banyak terdapat dalam Al-Qur‟an 

dan Hadits Nabi. Kata na-ka-ha banyak 

terdapat dalam Al-Qur‟an dengan arti 

kawin,

16

 seperti dalam Surat An-Nisa‟ 

Ayat 3:

“Dan jika kamu takut tidak 

akan dapat berlaku adil 

terhadap (hak-hak) perempuan 

yang yatim (bila kamu 

mengawininya), maka 

kawinilah wanita-wanita (lain) 

yang kamu senangi: dua, tiga 

atau empat. Kemudian jika 

kamu takut tidak akan dapat 

berlaku adil, maka (kawinilah) 

seorang saja, atau budak￾budak yang kamu miliki. 

Yang demikian itu adalah 

lebih dekat kepada tidak 

berbuat aniaya.” 

Demikian pula banyak terdapat kata 

za-wa-ja dalam Al-Qur‟an dalam arti 

kawin, seperti pada surat Al-Ahzab 

Ayat 37,

Sedangkan secara istilah kata nikah 

berarti “bergabung” (ضم), “Hubungan kelamin” (وطء), dan juga berarti “akad” 

(عقد), adanya tiga kemungkinan arti ini 

karena kata nikah yang terdapat dalam 

Al-Qur‟an memang mengandung tiga

arti kata tersebut. Kata nikah yang 

terdapat dalam Surat Al-Baqarah Ayat 

230.

Menurut Abdul Shomad, kata 

perkawinan menurut istilah hukum 

Islam sama dengan kata “nikah” dan 

kata “zawaj”. Nikah menurut bahasa 

mempunyai arti sebenarnya (hakikat) 

yakni, “dham” yang berarti menghimpit, 

atau berkumpul. 

Nikah mempunyai arti kiasan 

yakni, “wathaa” yang berarti “setubuh” 

atau “akad” yang berarti mengadakan 

perjanjian pernikahan sehari-hari, nikah 

dalam arti kiasan lebih banyak dipakai 

dalam arti sebenarnya jarang sekali 

dipakai saat ini. 

Menurut ahli ushul, arti nikah 

terdapat tiga macam pendapat, yakni 1) 

Imam Hanafi nikah arti aslinya adalah 

setubuh dan menurut arti majazi 

(metaporik) adalah dengannya menjadi 

halal hubungan kelamin antara pria dan 

wanita; 2) Imam Syafi‟i nikah arti 

aslinya adalah akad yang dengannya 

menjadi halal hubungan kelamin antara 

pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazi adalah setubuh; dan 3) Menurut 

Abdul Qosim Azzajjad, Imam Yahya, 

Ibnu Hazm, dan sebagian ahli ushul dari 

sahabat Abu Hanifah mengartikan nikah 

bersyarikat antara akad dan setubuh.17

Sementara menurut undang-undang 

Republik Indonesia Nomor. 1 Tahun 

1974 Pasal 1 dalam Kompilasi Hukum 

Islam (KHI) menyebutkan, bahwa 

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin 

antara seorang pria dengan seorang 

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan 

membentuk keluarga (rumah tangga) 

yang bahagia dan kekal berdasarkan 

Ketuhanan Yang Maha Esa”18

Agama secara etimologi dalam 

bahasa Indonesia sama artinya dengan 

peraturan. Kata agama berasal dari bahasa 

Sansekerta „a‟ berarti tidak dan „gamma‟ 

berarti kacau, agama berarti tidak kacau. 

Agama semakna dengan kata “religion” 

(bahasa Inggris), “religie” (Belanda), 

“religio” (Latin), yang berarti mengamati, 

berkumpul/bersama, mengambil, dan 

menghitung. 

 Agama semakna juga degan kata 

“Ad-Dien” (Bahasa Arab) yang berarti 

cara, adat kebiasaan, peraturan, undang￾undang, perhitungan, hari kiamat, dan nasihat.19 Sedangkan secara 

termonologis menurut Harun Nasution, 

agama adalah suatu sistem kepercayaan 

dan tingkah laku yang berasal dari suatu 

kekuatan yang ghaib. 

Menurut Al-Syahrastani, agama 

adalah kekuatan dan kepatuhan yang 

terkadang biasa diartikan sebagai 

pembalasan dan perhitungan (amal 

perbuatan di akhirat).20 Menurut Prof. 

Dr. Bouquet, agama adalah hubungan 

yang tetap antara diri manusia dengan 

yang bukan manusia yang bersifat suci 

dan supernatur, dan yang bersifat berada 

dengan sendirinya dan yang mempunyai 

kekuasaan absolut yang disebut 

Tuhan.21

Pengertian agama menurut berbagai 

agama: 

Agama menurut agama Islam ialah, 

kata Islam berasal dari kata: salam yang 

artinya selamat, aman yang dimaksud 

sentosa, sejahtera: yaitu aturan hidup 

yang dapat menyelamatkan manusia di 

dunia dan di akhiratDari pemaparan di atas dapat penulis 

simpulkan bahwa yang dimaksud dengan 

agama baik secara etimologi maupun 

terminologi adalah; suatu keyakinan yang 

baik yang tidak kacau atau berantakan 

(buruk) yang menjadi pedoman dan dapat 

menjadikan ummat manusia selamat, aman 

sentausa, sejahtera serta penuh ketenangan.

Menurut Huzaimah Tahido Yanggo 

yang dimaksud pernikahan beda agama 

adalah pernikahan antara laki-laki muslim 

dengan perempuan bukan muslimah atau 

sebaliknya.23 Dalam buku Hukum 

Perkawinan di Indonesia yang ditulis oleh 

Amir Syarifuddin juga menjelaskan bahwa

yang dimaksud dengan beda agama ialah 

perempuan muslimah dengan laki-laki 

nonmuslim dan sebaliknya laki-laki 

muslim dengan perempuan nonmuslim. 

Dalam istilah fikih disebut nikah dengan 

orang kafir.24

Mazhab atau dalam bahasa Arab 

disebut al-mazahib, secara etimologi 

 Ø°Ù‡Ø¨Ø§ - مرهبا – يرهب –ذهب :berasal dari kata

dengan bentuk jamaknya مراهب yang 

berarti المعتقد,االطريقة artinya aliran atau 

paham yang diikuti/dianut.Sedangkan dalam Ensiklopedia 

Islam madzhab diartikan sebagai 

pendapat, kelompok atau aliran yang 

bermula dari pemikiran atau ijtihad 

seorang imam dalam memahami sesuatu 

baik filsafat, hukum fikih, teologi, dan 

sebagainya. Pemikiran ini kemudian 

diikuti oleh kelompok atau pengikutnya 

dan dikembangkan menjadi suatu aliran 

sekte atau ajaran.26

Adapula yang mengartikan mazhab 

sebagai tempat berjalan, aliran. Dalam 

istilah Islam berarti pendapat, faham 

atau aliran seorang alim besar dalam 

Islam yang disebut imam seperti 

mazhab Syafi‟i, mazhab Maliki, dan 

lain sebagainya.27

Pendapat lain yang hampir serupa 

juga mengatakan bahwa madzhab: مرهب

(ma-dza-ha-ba) adalah istilah dari 

bahasa Arab, yang berarti jalan yang 

dilalui dan dilewati, sesuatu yang 

menjadi tujuan seseorang baik konkrit 

maupun abstrak. Sesuatu dikatakan 

madzhab bagi seseorang jika cara atau 

jalan tersebut menjadi ciri khasnya. 

Menurut para ulama dan ahli fiqih, yang dinamakan mazhab adalah metode 

(manhaj) yang dibentuk setelah melalui 

pemikiran dan penelitian, kemudian 

orang yang menjalaninya 

menjadikannya sebagai pedoman yang 

jelas batasan-batasannya, bagian￾bagiannya, dibangun di atas prinsip￾prinsip dan kaidah-kaidah.28

Dari pengertian diatas mengenai 

arti madzhab baik secara etimologi 

maupun secara terminologi, tentunya 

kita bisa memahami bahwa yang 

dimaksud dengan madzhab atau al￾mazahib adalah suatu jalan, metode 

(manhaj) atau pendapat serta pandangan 

ulama yang dibentuk dan dijalani 

melalui pemikiran serta penelitian 

kemudian diikuti oleh suatu kelompok 

atau pengikutnya hingga menjadi suatu 

golongan atau aliran dengan batasan￾batasan tertentu yang dibangun di atas 

prinsip dan kaidah-kaidahnya.

Hukum positif adalah kumpulan 

asas dan kaidah hukum tertulis yang 

pada saat ini sedang berlaku dan 

mengikat secara umum atau khusus dan 

ditegakkan oleh atau melalui 

pemerintah atau pengadilan dalam 

negara Indonesia. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem 

hukum Eropa, hukum agama dan 

hukum adat. Sebagian besar sistem yang 

dianut, baik perdata maupun pidana, 

berbasis pada hukum Eropa kontinental, 

khususnya dari Belanda karena aspek 

sejarah masa lalu Indonesia yang 

merupakan wilayah jajahan dengan 

sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch￾Indie). Hukum agama, karena sebagian 

besar masyarakat Indonesia menganut 

Islam, maka dominasi hukum atau 

Syari'at Islam lebih banyak terutama di 

bidang perkawinan, kekeluargaan, dan 

warisan. Selain itu, di Indonesia juga 

berlaku sistem hukum Adat yang 

diserap dalam perundang-undangan atau 

yurisprudensi, yang merupakan 

penerusan dari aturan-aturan setempat 

dari masyarakat dan budaya-budaya 

yang ada di wilayah Nusantara.29

Tiap-tiap bangsa memiliki 

hukumnya sendiri, seperti terhadap 

bahasa dikenal tata bahasa, demikian 

juga terhadap hukum dikenal juga tata 

hukum. Tiap-tiap bangsa mempunyai 

tata hukumnya sendiri. 

Hukum merupakan positivasi nilai 

moral yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, 

kebebasan, tanggung jawab, dan hati 

nurani manusia. Hukum sebagai 

positivasi nilai moral adalah legitimasi 

karena adil bagi semua orang. Salah 

satu kesimpulan dari studi yang 

dilakukan oleh lembaga-lembaga dunia, 

seperti Booz-Allen & Hamilton, 

McKinsey, dan Bank Dunia terhadap 

kinerja perekonomian Indonesia adalah 

rendahnya praktik Good Corporate 

Governance (GCG). Secara umum, 

GCG sendiri berarti suatu proses dan 

struktur yang digunakan untuk 

mengarahkan dan mengelola bisnis dan 

akuntabilitas perusahaan dengan tujuan 

utama mempertinggi nilai saham dalam 

jangka panjang dengan tetap 

memperhatikan kepentingan 

stakeholders lain. Dari pengertian 

tersebut, selanjutnya dapat dijelaskan 

bahwa GCG tidak lain adalah

permasalahan mengenai proses 

pengelolaan perusahaan, yang secara 

konseptual mencakup diaplikasikannya 

prinsip-prinsip transparancy, 

accountability, fairness, dan 

responsibilityPada saat baru lahir di tahun 1945, 

negara „bayi‟ bernama Indonesia 

mengunifikasi serta mengkodifikasi 

hukum positif buatan Belanda yang 

diberlakukan bagi masyarakat di Hindia 

Belanda yang terdiri dari berbagai etnik 

saat itu – bangsa Eropa, bangsa Cina, 

dan bangsa Timur Jauh bukan Cina 

yaitu bangsa Arab dan India serta 

masyarakat pribumi/inlander bangsa 

Nusantara. Dasar dari peraturan 

Belanda tersebut sebenarnya adalah 

hukum buatan VOC (Verenige Oost 

Indische Companie), yang merupakan 

multinational company pertama di 

Nusantara. Perusahaan dagang 

multinasional milik kolonial Belanda 

yang dibentuk oleh 14 warga Belanda 

bagi manajemen penjajahan di negara 

jajahan di Asia Tenggara ditengah 

kemelut ekonomi dalam negeri 

Kerajaan Belanda yang terjerat hutang 

yang besar pasca perang dengan negara￾negara tetangganya dan menuju 

kebangkrutan. Hukum khusus yang 

mereka buat tersebut memang khusus 

untuk diberlakukan bagi para 

inlander/masyarakat jajahan Belanda di 

Hindia Belanda. Artinya kita sekarang 

sedang terjajah oleh bangsanya sendiri. 

Sehingga tidak mengherankan sikap krusial pilihan hukum para penegak 

hukum Indonesia sampai hari ini masih 

memprihatinkan. Hukum harus 

ditegakkan dan keadilan harus 

dijujurkan – vivat justitia vereat mudus 

(walaupun langit akan runtuh hukum 

harus tetap ditegakkan).31

1. Pernikahan Beda Agama 

Menurut Al-Qur’an dan As￾Sunnah

Al-Qur‟an menyatakan pelarangan 

tentang pernikahan beda agama 

terhadap laki-laki muslim dengan 

wanita kafir yang musyrik dan juga 

melarang wanita-wanita muslimah

menikah dengan laki-laki kafir, Allah 

S.W.T. berfirman dalam Surat Al￾Baqarah Ayat 221:

“Dan janganlah kamu menikahi 

wanita-wanita musyrik, 

sebelum mereka beriman. 

Sesungguhnya wanita budak 

yang mukmin lebih baik dari 

wanita musyrik, walaupun dia 

menarik hatimu. Dan janganlah 

kamu menikahkan orang-orang 

musyrik (dengan wanita-wanita 

mukmin) sebelum mereka 

beriman. Sesungguhnya budak 

yang mukmin lebih baik dari 

orang musyrik, walaupun dia 

menarik hatimu. Mereka 

mengajak ke neraka, sedang 

Allah mengajak ke surga dan 

ampunan dengan izin-Nya. 

Dan Allah menerangkan ayat-

ayat-Nya (perintah-perintah￾Nya) kepada manusia supaya 

mereka mengambil pelajaran.” 

(Q.S. Al-Baqarah: 221)

Di sisi lain Al-Qur‟an 

membolehkan laki-laki yang muslim 

menikah dengan wanita kafir (non 

Islam) akan tetapi yang diperbolehkan 

dinikahi hanya wanita kafir (non Islam) 

yang beragama samawi atau wanita 

ahlul kitab seperti Yahudi dan Nasrani 

sebagaimana yang telah Allah 

firmankan dalam Surat Al-Ma‟idah 

Ayat 5:

“Pada hari ini dihalalkan 

bagimu yang baik-baik. 

Makanan (sembelihan) orang￾orang yang diberi Al Kitab itu 

halal bagimu, dan makanan 

kamu halal (pula) bagi mereka. 

(Dan dihalalkan mangawini) 

wanita yang menjaga 

kehormatan diantara wanita￾wanita yang beriman dan 

wanita-wanita yang menjaga 

kehormatan di antara orang￾orang yang diberi Al Kitab 

sebelum kamu, bila kamu telah 

membayar mas kawin mereka 

dengan maksud menikahinya, 

tidak dengan maksud berzina 

dan tidak (pula) menjadikannya 

gundik-gundik. Barangsiapa 

yang kafir sesudah beriman 

(tidak menerima hukum￾hukum Islam) maka hapuslah 

amalannya dan ia di hari 

kiamat termasuk orang-orang 

merugi.” Adapun As-Sunnah mengenai hal 

ini tetap menganjurkan agar kaum 

muslimin dan muslimah agar tetap 

beruapaya mencari dan memilih 

pasangan suami atau istri yang seakidah 

tentunya yang agamanya baik, 

sebagaimana hadits bahwa Rasulullah 

S.A.W. bersabda: “Wanita dinikahi 

karena empat alasan; karena harta, 

keturunan, kecantikan, dan agamanya. 

Carilah yang taat beragama, niscaya 

kalian beruntung.” (H.R. Al-Bukhari 

dan Muslim).

32

Pertanyaannya; bukankah Allah 

S.W.T. menjelaskan bahwa boleh laki￾laki muslim menikahi wanita kafir (non 

muslimah) ahlul kitab yang beragama 

samawi yaitu wanita dari kaum Yahudi 

dan Nasrani?. Jawabannya adalah; iya 

memang benar itu dibolehkan akan 

tetapi perlu diketahui bahwa 

pembolehan menikahi mereka wanita￾wanita ahlul kitab itu tidak bersifat 

anjuran dan hal ini juga telah dijelaskan 

oleh seorang sahabat Ibnu „Umar 

radhiyallahu‘anhum, bahwa Ibnu 

„Umar pernah ditanya tentang laki-laki 

muslim nikah dengan perempuan 

Nashrani atau Yahudi. Jawabnya: Allah mengharamkan orang-orang mukmin 

nikah dengan perempuan musyrik. 

Sedangkan menurut saya tidak ada 

perbuatan musyrik yang lebih besar 

daripada perempuan yang mengatakan, 

Isa sebagai Tuhannya atau salah 

seorang oknum Tuhan,33 itu artinya 

menikah dengan wanita kafir (non 

muslimah) meskipun ahlul kitab yang 

beragama samawi baik itu dari kalangan 

kaum Yahudi maupun Nasrani tidaklah 

tepat.

2. Pernikahan Beda Agama 

Menurut Imam Madzhab

a. Pernikahan Beda Agama 

Menurut Madzhab Imam Abu 

Hanifah 

 Imam Abu Hanifah berpendapat 

bahwa perkawinan antara pria muslim 

dengan wanita musyrik hukumnya 

adalah mutlak haram, tetapi 

membolehkan mengawini wanita ahlul 

kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun 

ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, 

karena menurut mereka yang terpenting 

adalah ahlul kitab tersebut memiliki 

kitab samawi. Menurut mazhab ini yang 

dimaksud dengan ahlul kitab adalah 

siapa saja yang mempercayai seorang 

nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah S.W.T., termasuk juga orang yang 

percaya kepada Nabi Ibrahim 

alaihissalam dan Suhufnya dan orang 

yang percaya kepada nabi Musa AS dan 

kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh 

dikawini. Bahkan menurut mazhab ini 

mengawini wanita ahlul kitab zimmi 

atau wanita kitabiyah yang ada di Darul 

Harbi adalah boleh, hanya saja menurut 

mazhab ini, perkawinan dengan wanita 

kitabiyah yang ada di darul harbi 

hukumnya makruh tahrim, karena akan 

membuka pintu fitnah, dan mengandung 

mafasid yang besar, sedangkan 

perkawinan dengan wanita ahlul kitab 

zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan 

mereka adalah karena wanita ahlul kitab 

zimmi ini menghalalkan minuman arak 

dan menghalalkan daging babi. 

Penulis menyimpulkan bahwa 

pendapat Imam Abu Hanifah tentang 

keharaman menikahi wanita musyrik 

karena mengacu kepada firman Allah 

S.W.T. dalam Surat Al-Baqarah Ayat 

221:

“Dan janganlah kamu menikahi 

wanita-wanita musyrik, 

sebelum mereka beriman. 

Sesungguhnya wanita budak 

yang mukmin lebih baik dari 

wanita musyrik, walaupun dia 

menarik hatimu. Dan janganlah 

kamu menikahkan orang-orang 

musyrik (dengan wanita-wanita 

mukmin) sebelum mereka 

beriman. Sesungguhnya budak 

yang mukmin lebih baik dari 

orang musyrik, walaupun dia 

menarik hatimu. Mereka 

mengajak ke neraka, sedang 

Allah mengajak ke surga dan 

ampunan dengan izin-Nya. 

Dan Allah menerangkan ayat￾ayat-Nya (perintah-perintah￾Nya) kepada manusia supaya 

mereka mengambil pelajaran”. 

(Q.S. Al-Baqarah: 221)

Akan tetapi pendapat madzhab 

Imam Hanafi membolehkan mengawini 

wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) 

hal ini juga karena merujuk kepada 

firman Allah S.W.T. dalam Surat Al￾Ma‟idah Ayat 5 yang telah disebutkan 

sebelumnya.

Akan tetapi pembolehan tersebut 

bersifat makruh sebagaimana yang 

disampaikan oleh Wahbah Az-Zuhaili, 

bahwa mazhab Hanafi berpendapat, 

seorang muslim makruh menikah 

dengan perempuan Ahli Kitab dan ahli 

dzimmah. Karena Umar radhiyallahu 

„anhu berkata kepada orang-orang yang 

kawin dengan perempuan ahli kitab, 

“Ceraikanlah mereka”. Maka para 

sahabat radhiyallahu „anhum 

menceraikan mereka, kecuali Hudzaifah 

radhiyallahu „anhu. Kemudian, Umar 

radhiyallahu „anhu berkata kepadanya, 

“Ceraikanlah dia.” Maka Hudzaifah bertanya, “Apakah kamu bersaksi 

bahwa dia haram?” Umar kembali 

berkata kepadanya, “Dia minum 

minuman keras.” Hudzaifah kembali 

berkata “Aku telah mengetahui dia 

minum minuman keras, akan tetapi dia 

halal bagiku.” Setelah lewat beberapa 

waktu, dia ceraikan istrinya tersebut. 

Lalu ada orang yang berkata kepadanya, 

“Mengapa kamu tidak menceraikannya 

manakala Umar memerintahkan hal itu 

kepadamu?” Dia menjawab, “Aku tidak 

mau manusia melihat aku melakukan 

suatu perkara yang tidak selayaknya aku 

lakukan”.34 Bisa jadi, hatinya 

menyayanginya, karena dia memesona. 

Bisa juga karena mereka berdua telah 

mempunyai anak, dan dia 

menyayanginya. Sedangkan perempuan 

ahli harb (kafir yang memerangi umat 

Islam), menurut mazhab Hanafi haram 

untuk dikawini, jika dia berada di darul 

harb (wilayah konflik); karena 

mengawininya akan membuka pintu 

fitnah.35

b. Pernikahan Beda Agama 

Menurut Madzhab Imam Malik 

Madzhab Maliki tentang 

perkawinan lintas agama ini mempunyai 

dua pendapat, yaitu 1) menikah dengan wanita kitabiyah hukumnya makruh 

mutlak, baik dzimmiyah (wanita-wanita 

non-muslim yang berada diwilayah atau 

negeri yang tunduk pada hukum Islam) 

maupun wanita harbiyah, namun 

makruhnya menikahi wanita harbiyah 

lebih besar. Akan tetapi jika 

dikhawatirkan bahwa si isteri yang 

kitabiyah ini akan mempengaruhi anak￾anaknya dan meninggalkan agama 

ayahnya, maka hukumnya haram; dan 

2) Tidak makruh mutlak karena ayat 

tersebut tidak melarangsecara mutlaq. 

Metodologi berfikir madzhab maliki ini 

menggunakan pendekatan sad al￾zariyan (menutup jalan yang mengarah 

kepada kaemafsadatan), jika 

dikhawatirkan kemafsadatan yang akan 

muncul dalam perkawinan beda agama 

ini, maka diharamkan.36

c. Pernikahan Beda Agama 

Menurut Madzhab Imam Syafi‟i 

Imam Syafi‟i berkata; Allah 

tabarokawataala berfirman dalam Al￾Mumtahanah Ayat 10, setelah itu 

turunlah rukhsah (keringanan) yang 

menghalalkan wanita-wanita merdeka 

dari kalangan ahli kitab hal ini 

sebagaimana yang dijelaskan Allah

S.W.T. dalam Surat Al-Ma‟idah Ayat 5 

sebelumnya.

Ketetapan Allah Subhanahu 

wataala yang membolehkan menikahi 

wanita-wanita merdeka di kalangan ahli 

kitab merupakan dalil yang 

mengharamkan menikahi wanita-wanita 

budak mereka, karena telah dikenal 

dalam bahasa; apabila suatu sifat

disebutkan dalam kalimat yang 

berkonotasi penghalalan atau 

pengharaman, maka hal ini menjadi 

dalil bahwa yang berada di luar sifat 

tersebut, tidak masuk dari kalimat 

tadi.37

Beliau (Imam Syafi‟i) juga berpendapat 

bahwa apabila seorang wanita masuk 

Islam atau dilahirkan dalam keadaan 

Islam, atau salah seorang dari kedua 

orang tuanya masuk Islam, sementara 

da masih anak-anak dan belum 

mencapai usia balig. Maka haram atas 

setiap lelaki musyrik, ahli kitab, atau 

penyembah berhala untuk menikahinya

dalam segala keadaan. Apabila kedua 

orang tuanya musyrik, lalu disebutkan 

kepadanya sifat-sifat Islam, dan ia 

memahaminya, maka saya melarang 

wanita di nikahi oleh laki-laki musyrik.


Namun bila disebutkan kepadanya sifat￾sifat Islam namun ia tidak 

memahaminya, maka saya lebih 

menyukai untuk laki-laki musyrik 

dilarang untuk menikahinya. 

 Imam Syafi‟i juga berpendapat 

bahwa dihalalkan menikahi wanita￾wanita merdeka Ahli kitab bagi setiap 

muslim, karena Allah S.W.T.

menghalalkan mereka tanpa 

pengecualian. Wanita-wanita Ahli kitab 

yang merdeka dan boleh dinikahi adalah 

pengikut dua kitab yang masyhur yakni; 

Taurat dan Injil dan mereka adalah 

Yahudi dan Nasrani. 

Adapun Majusi, tidak masuk dalam 

golongan itu. Dihalalkan pula menikahi 

wanita-wanita dari golongan Syabiun 

dan Samirah dari kalangan yahudi dan 

Nasrani yang dihalalkan mengawini 

wanita mereka dan memakan hewan 

sembelihan mereka. Namun bila 

diketahui bahwa mereka menyelisihi 

orang-orang yang menghalalkan apa 

yang dihalalkan dalam al kitab dan 

mengharamkan apa yang 

diharamkannya, maka pada kondisi 

demikian diharamkan menikahi wanita￾wanita mereka sebagaimana diharamkannya menikahi wanita-wanita 

Majusi.38

d. Pernikahan Beda Agama 

Menurut Madzhab Imam 

Hambali

Mazhab Hambali mengemukakan 

bahwa haram menikahi wanita-wanita 

musyrik, dan boleh menikahi wanita 

Yahudi dan Narani. Mazhab ini lebih 

kebanyakan pengikutnya cenderung 

mendukung pendapat guru Ahmad bin 

Hambal, yaitu Imam Syafi‟i. Tetapi 

tidak membatasi, bahwa yang termasuk 

ahlu al-kitab adalah Yahudi dan Nasrani 

dari Bangsa Israel saja, tetapi 

menyatakan bahwa wanita-wanita yang 

menganut agama Yahudi dan Nasrani 

sejak saat Nabi Muhammad belum 

diutus menjadi Rasul.39

Berdasarkan uraian di atas, telah 

dijelaskan bahwa ulama Imam Madzhab 

sepakat untuk mengharamkan 

pernikahan antara laki-laki muslim 

dengan wanita musyrik dan 

membolehkan pernikahan antara laki￾laki muslim dengan wanita ahlul kitab 

yakni Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi, 

yang dimaksud oleh Imam Madzhab 

tentang wanita ahlul kitab (Yahudi dan 

Nasrani) di sini adalah karena wanita ahlul kitab pada zaman dahulu berbeda 

dengan wanita ahlul kitab pada zaman 

sekarang. 

Pada zaman dahulu wanita ahlul 

kitab mengimani kitab-kitab mereka 

yang belum banyak adanya perubahan 

dan wanita ahlul kitab pada zaman 

dahulu tidak berpengaruh terhadap 

pemikiran dan keyakinan laki-laki 

muslim (suami). Adapun pada saat ini, 

mereka wanita ahlul kitab mayoritas tidak 

memahami isi dan kandungan kitab-kitab 

mereka yang sesungguhnya, karena sudah 

banyaknya perubahan. Dengan demikian, 

penulis menyimpulkan bahwa pendapat 

Imam Madzhab tentang pembolehan 

pernikahan antara laki-laki muslim 

dengan wanita ahlul kitab hanya sebatas 

pada zaman mereka. Jika dianalisis

berdasarkan apa yang telah disebutkan di 

atas sesuai dengan realita sekarang, maka

sudah barang tentu Imam Madzhab akan 

mengharamkan pernikahan beda agama 

tanpa terkecuali.

3. Perkawinan Beda Agama dalam 

Hukum Indonesia

a. Pengertian Perkawinan Menurut 

UUP 

Menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 

1974: Perkawinan adalah ikatan lahir 

batin antara seorang pria dan seorang 

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah 

tangga yang bahagia dan kekal 

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha 

Esa. Kata “ikatan lahir batin” dalam 

pengertian tersebut dimaksudkan bahwa 

perkawinan itu tidak hanya cukup 

dengan adanya ikatan lahir saja, atau 

hanya dengan ikatan batin saja, namun 

harus keduanya ada dalam perkawinan. 

Ikatan lahir dapat dimaknai bahwa 

perkawinan adalah ikatan yang dapat 

dilihat, artinya: adanya suatu hubungan 

hukum antara seorang pria dengan 

seorang wanita untuk hidup bersama, 

sebagai suami isteri. Ikatan ini dapat 

juga disebut sebagai “ikatan formal” 

yakni hubungan formal yang mengikat 

dirinya, orang lain dan masyarakat. 

Sedangkan “ikatan batin” dapat 

dimaknai sebagai hubungan yang tidak 

formil, artinya suatu ikatan yang tidak 

dapat dilihat, namun harus ada karena 

tanpa adanya ikatan batin dalam 

perkawinan maka ikatan lahir akan 

rapuh.40

Pengertian di atas dapat 

mengandung beberapa aspek: pertama: 

aspek yuridis, karena di dalamnya 

terdapat ikatan lahir atau formal yang melahirkan hubungan hukum antara 

suami istri; kedua: aspek social, dimana 

perkawinan merupakan hubungan yang 

mengikat dirinya, orang lain dan 

masyarakat; ketiga: aspek religius, yaitu 

dengan adanya term berdasarkan 

Ketuhanan Yang maha Esa sebagai 

dasar dalam pembentukan keluarga 

yang kekal dan bahagia.41

Perkawinan sebagai salah satu 

perjanjian yang merupakan perbuatan 

hukum, mempunayi akibat hukum. 

Adanya akibat hukum penting sekali 

hubungannya dengan sah tidaknya 

perbuatan hukum itu. Dalam Pasal 2 

UUP disebutkan syarat sahnya 

perkawinan, yaitu: (1) Perkawinan 

adalah sah, apabila dilakukan menurut 

hukum masing-masing agamanya dan 

kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap 

perkawinan dicatat menurut peraturan 

perundang-undangan yang berlaku. 

Dalam Pasal ini terdapat penegasan 

bahwa perkawinan, baru dapat 

dikategorikan sebagai perbuatan hukum 

yang sah apabila dilakukan menurut 

ketentuan agama dan kepercayaan 

masing-masing, sebagaimana dalam 

penjelasan Pasal 2 UUP bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing￾masing agama dan kepercayan itu. Hal 

ini sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945: 

(1) Negara berdasarkan Ketuhanan 

Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin 

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk 

memeluk agamanya masing-masing dan 

untuk beribadah menurut agamanya dan 

kepercayaannya itu.42

b. Pengertian Perkawinan Beda 

Agama dalam Hukum Indonesia 

Di Indonesia, perkawinan beda 

agama, sebelum lahirnya UUP No. 1 

Tahun 1974 dikenal dengan sebutan 

“Perkawinan Campur”, sebagaimana 

diatur pertama kali dalam Regeling op 

de gemengde Huwelijken, Staatblad 

1898 No. 158, yang merupakan 

Peraturan Perkawinan Campur/PPC). 

Dalam PPC tersebut terdapat beberapa 

ketentuan tentang perkawinan campur 

(perkawinan beda agama): 

Pasal 1: Pelangsungan perkawinan 

antara orang-orang yang di Hindia 

Belanda tunduk kepada hukum yang 

berbeda, disebut Perkawinan Campur. 

 Pasal 6 Ayat (1): Perkawinan campur 

dilangsungkan menurut hukum yang 

berlaku atas suaminya, kecuali izin paracalon mitra kawin yang selalu 

disyaratkan. 

 Pasal 7 Ayat (2): Perbedaan agama, 

golongan, penduduk atau asal usul tidak 

dapat merupakan halangan 

pelangsungan perkawinan. 

Pasal-pasal tersebut di atas 

menegaskan tentang pengaturan 

perkawinan beda agama, bahkan 

disebutkan perbedaan agama tidak dapat 

dijadikan alasan utnuk mencegah 

terjadinya perkawinan. 

PPC tersebut dikeluarkan secara 

khusus oleh Pemerintah Kolonial 

Belanda guna mengantisipasi perbedaan 

golongan yang tertuang dalam Indische 

Staats Religing (ISR) yang merupakan 

Peraturan Ketatanegaran Hindia. Pada 

Pasal 163 golongan penduduk 

dibedakan menjadi tiga golongan yaitu: 

golongan Eropa (termasuk di dalamnya 

Jepang); golongan pribumi (Indonesia) 

dan golongan Timur Asing kecuali yang 

beragama Kristen.43

Perkawinan Campur sebagaimana 

dimaksud pada PPC S. 1898 No. 158 di 

atas, tidak dikenal dalam UU No. 1 

Tahun 1974. Pasal yang dijadikan landasan perkawinan beda agama pada 

UUP adalah Pasal 2 Ayat (1): 

Perkawinan adalah sah, apabila 

dilakukan menurut hukum masing￾masing agamanya dan kepercayaannya 

itu; dan Pasal 8 huruf (f): perkawinan 

dilarang (f): mempunyai hubungan yang 

oleh agamanya atau peraturan lain yang 

berlaku dilarang kawin; serta Pasal 57: 

yang dimaksud dengan perkawinan 

campur dalam Undang-undang ini ialah 

perkawinan antara dua orang yang di 

Indonesia tunduk pada hukum yang 

berlainan, karena perbedaan kewarga￾negaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Indonesia.

c. Status Hukum Perkawinan Beda 

Agama dalam UUP 

Perkawinan beda agama menurut 

pemahaman para ahli dan praktisi 

hukum dalam Undang-undang No. 1 

Tahun 1974 secara garis besar dapat 

dijumpai tiga pandangan:

Pertama, perkawinan beda agama 

tidak dapat dibenarkan dan merupakan 

pelanggaran terhadap UUP Pasal 2 Ayat 

(1): Perkawinan adalah sah, apabila 

dilakukan menurut hukum masing￾masing agamanya dan kepercayaannya 

itu; dan Pasal 8 hurup (f): bahwa 

perkawinan dilarang antara dua orang 

yang mempunyai hubungan yang oleh 

agamanya atau peraturan lain yan 

berlaku, dilarang kawin. Maka dengan 

pasal ini, perkawinan beda agama 

dianggap tidak sah dan batal demi 

hukum. 

Kedua, perkawinan beda agama 

adalah diperbolehkan, sah dan dapat 

dilangsunkan karena telah tercakup 

dalam perkawinan campuran, 

sebagaiman termaktub dalam Pasal 57 

UUP, yaitu dua orang yang di Indonesia 

tunduk pada hukum yang berlainan. 

Menurut pandangan kedua ini, pasal 

tersebut tidak saja mengatur perkawinan 

antara dua orang yang memiliki 

kewarganegaran yang berbeda, akan 

tetapi juga mengatur perkawinan antara 

dua orang yang berbeda agama. 

Menurutnya, pelaksanaannya dilakukan

menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 

6 PPC: (1) Perkawinan campur 

dilangsungkan menurut hukum yang 

berlaku untuk suami, kecuali izin dari 

kedua belah pihak bakal mempelai, 

yang seharusnya ada, dengan merujuk 

pada Pasal 66 UUP. 

Ketiga. UUP tidak mengatur 

masalah perkawinan antaragama. Oleh 

karena itu, apabila merujuk Pasal 66 

UUP yang menekankan bahwa peraturan-peraturan lain yang mengatur 

tentang perkawinan, sejauh telah diatur 

dalam unadang-undang ini, maka 

dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun 

karena UUP belum mengaturnya, maka 

peraturan-peraturan lama dapat 

diberlakukan kembali, sehingga 

masalah perkawinan beda agama harus 

berpedoman kepada peraturan 

pekawinan campur (PPC)44 Perkawinan 

tidak dapat dibiarkan begitu saja, sebab 

akan mendorong terjadinya perzinahan 

terselubung melalui pintu kumpul kebo. 

Di sisi lain, mayoritas masyarakat 

Muslim di Indonesia berpandangan 

bahwa UUP tidak perlu disempurkan 

dengan mencantumkan hukum 

perkawinan beda agama dalam undang￾undang tersebut, sebab menurut mereka, 

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 telah 

mengatur hukum perkawinan beda 

agama secara jelas dan tegas. Ungkapan 

ini ada benarnya, karena umat Islam 

sebagai penduduk mayoritas di 

Indonesia merasa diuntungkan oleh 

Pasal 2 Ayat (1) UUP tersebut, karena 

dengan pasal tersebut tertutuplah kemungkinan untuk melakukan 

perkawinan secara “sekuler”, dan 

tertutup pula kemungkinan seorang 

wanita muslimah untuk menikah dengan 

laki-laki non muslim, demikian halnya 

perkawinan seorang laki-laki muslim 

dengan perempuan musyrik, karena 

pernikahan tersebut dilarang (dianggap 

tidak sah) menurut hukum Islam. 

Sebenarnya, dengan adanya larangan 

untuk melangsungkan pernikahan beda 

agama tersebut, merupakan masalah 

penting bagi umat Islam karena 

peraturan perkawinan peninggalan 

Belanda (PPC) mengizinkan penduduk 

Indonesia 

ntuk melakuan perkawinan beda 

agama.

45

4. Perkawinan Beda Agama dalam 

Hukum Positif di Indonesia 

Perkawinan beda agama dalam 

hukum positif di Indonesia diatur secara 

eksplisit dalam Pasal 40 huruf (c) yang 

menyatakan bahwa dilarang 

melangsungkan perkawinan antara

seorang pria dengan seorang wanita 

karena keadaan tertentu; diantaranya, 

karena seorang wanita yang tidak 

beragama Islam. Dalam Pasal 44 

disebutkan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan 

dengan seorang pria yang tidak 

beragama Islam. 

Berdasarkan dua pasal di atas, 

dapat dikatakan bahwa menurut KHI, 

seorang wanita non muslim apa pun 

agama yang dianutnya tidak boleh 

dinikahi oleh seorang pria yang 

beragama Islam, dan seorang wanita 

muslim tidak boleh dinikahi oleh 

seorang pria non muslim, baik dari 

kategori ahli kitab atau pun bukan ahli 

kitab. 

Secara struktur pembahasan KHI 

yang menempatkan status hukum 

perkawinan beda agama dalam bab 

yang membahas tentang “larangan 

perkawinan”, jika dicermati, dapat 

dikategorikan sebagai pembaharuan 

yang cukup berani. Pembaharuan 

tersebut tentu ditetapkan setelah melalui 

penyatuan pendapat melalui beberapa 

jalur, yaitu: a) Jalur penelaahan kitab￾kitab fikih, yang dilakukan dengan 

melibatkan tujuh IAIN yang tersebar di 

seluruh Indonesia, khususnya Fakultas 

Syariah. Dalam penelaahan kitab-kitab 

fikih tersebut, para pihak telah 

melakukannya dengan melakukan 

penelitian terhadap sejumlah kitab-kitab 

induk fikih dari berbagai kecenderungan 

mazhab yang ada; b) Jalur wawancara 

dengan ulama-ulama yang mempunyai 

keahlian di bidang hukum Islam (fikih) 

yang tersebar di sepuluh lokasi wilayah 

PTA, yaitu: Banda Aceh, Medan, 

Padang, Palembang, Bandung, 

Surakarta, Surabaya, Banjarmasin, 

Ujung Pandang (Makassar), dan 

Mataram; c) Jalur Yuriprudensi 

Peradilan Agama, dilakukan di 

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan 

Agama Islam terhadap sepuluh 

Himpunan Putusan PA; dan d) Jalur 

studi banding ke Marokko, Turki dan 

Mesir oleh tim dari Kemenag RI (H. 

Marani Basran dan Mukhtar 

Zarkasyi).46

5. Hikmah Pernikahan Beda 

Agama

Hikmah dari sebab dibolehkannya 

laki-laki muslim menikahi wanita ahlul 

kitab, dikarenakan mereka masih 

mengimani beberapa prinsip yang ada 

di dalam Islam, berbeda halnya dengan 

wanita musyrik. Seorang pakar fiqih 

kontemporer dari mesir berkata; „sebab 

dalam pembolehan kawin dengan perempuan ahli kitab berbeda halnya 

dengan perempuan musyrik adalah, dia 

memiliki kesamaan keimanan pada 

beberapa prinsip yang asasi. Yang 

dimulai dengan pengakuan terhadap 

Tuhan, keimanan kepada para rasul dan 

hari kiamat, dengan segenap hisab dan

siksaan yang ada di dalamnya. Adanya 

titik temu ini menyebabkan adanya 

komunikasi berdasarkan landasan ini, 

yang menjamin terciptanya kehidupan 

perkawinan yang biasanya lurus dengan 

mengharap keislaman perempuan 

tersebut karena secara general dia 

beriman dengan kitab-kitab para nabi 

dan rasul.”47

Menurut Wahbah Az-Zuhaili; 

hikmah nikahnya seorang laki-laki 

muslim dengan seorang perempuan 

yahudi dan Nasrani bukan sebaliknya 

adalah, orang Muslim, beriman terhadap 

semua rosul dan dengan semua agama 

dalam asalnnya yang benar yang 

pertama, maka tidak ada bahaya dari 

suami terhadap aqidah dan perasaan 

istri. Sedangkan orang yang non 

Muslim yang tidak percaya terhadap 

Islam, terdapat bahaya yang mengintai 

yang membuat istrinya terpengaruh 

terhadap agamanya, perempuan biasanya mudah terpengaruh dan 

menurut. Dalam pernikahannya terdapat 

pengorbanan bagi perasaan dan 

akidahnya.48

6. Dampak Pernikahan Beda Agama 

Terhadap Keyakinan Anak

Perbedaan agama dalam 

perkawinan dapat menimbulkan tekanan 

psikologis, berupa konflik kejiwaan, 

yang pada gilirannya mengakibatkan 

disfungsi perkawinan itu sendiri. Jika 

terjadi konflik perbedaan agama yang 

tidak dapat diselesaikan, suami atau istri 

kemungkinan tidak akan mengamalkan 

ajaran agama yang dianutnya, tetapi 

memilih pola hidup sekuler. Pola hidup 

sekuler akan menimbulkan konflik baru 

yang sulit diatasi, dan dapat menjurus 

kepada konflik keluarga.

Perkawinan bukan hanya ikatan 

antara individu, tetapi juga ikatan antara 

dua keluarga. Artinya, perkawinan itu 

melibatkan keluarga masing-masing 

pihak berada pada posisi yang sulit. 

Sebab, jika salah satu pihak (suami dan 

istri) pindah agama dan memakai tata 

cara salah satu agama maka akibat yang 

timbul adalah reaksi pihak keluarga. 

Konsekuensinya adalah pihak yang 

berpindah agama akan terkucil dari keluarga dan masyarakat dan secara 

tidak langsung juga agama. Jika terjadi 

krisis perkawinan, dia sulit diterima 

dalam lingkungan keluarganya karena 

dianggap telah murtad.

Keimanan suami atau istri 

terhadapnya bukan semakin bertambah 

melainkan semakin melemah. Demi 

“toleransi” dan “kerukunan”, masing￾masing mereka melepaskan prinsip￾prinsip aqidah agamanya sendiri 

sehingga terjadi pendangkalan iman, 

atau mungkin “konflik keimanan”, 

dapat menimbulkan depresi akibat 

perasaan bersalah dan berdosa.49

Dampak psikologis lainnya dari 

perkawinan antar agama adalah 

perkembangan pertumbuhan anak. 

Perbedaan agama antara ayah dan ibu 

dapat membingungkan anak dalam hal 

memilih agama, apakah ia memilih 

agama ayahnya atau agama ibunya.

Pengertian “toleransi dan kerukunan 

beragama” tidak berarti bagi 

pertumbuhan keagamaan dalam diri 

anak, bahkan besar kemungkinan anak 

memilih tidak beragama sama sekali 

(ateis). Di sinilah letak peran komitmen keagamaan ayah dan ibu dalam 

menentukan agama anak-anak, 

sebagaimana disabdakan Rasulullah 

S.A.W.: “Setiap anak dilahirkan dalam 

keadaan suci (fitrah), kedua orang 

tuanyalah yang menjadikannya sebagai 

Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.50

Dari tataran pemikiarn di atas, ada 

satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa 

perkawinan antar agama menimbulkan 

dampak negatif psikologis terhadap kedua 

belah pihak (suami-istri) serta 

perkembangan pertumbuhan keagamaan 

dalam diri anak. Itulah sebabnya, Islam 

menganjurkan perkawinan harus seagama 

(Islam), sebagaimana disabdakan 

Rasulullah saw: “Wanita itu dinikahi 

karena empat perkara; karena hartanya, 

karena keturunannya, karena 

kecantikannya, dan karena agamanya. 

Akan tetapi utamakanlah yang beragama 

agar engkau memperoleh kebahagiaan.”51

7. Dampak Pernikahan Beda 

Agama Terhadap Pendidikan 

Anak

Seorang muslim/muslimah yang 

cerdas sudah pasti tidak akan gegabah

dalam menentukan pasangan hidupnya 

dia akan senantiasa berupaya dan 

berjuang untuk mencari pasangan 

suami/istri yang baik agama dan 

akhlaknya yang kelak menjadi pendidik 

sekaligus figur bagi anak-anaknya. 

Sebagaimana yang diungkapkan oleh 

seorang penulis buku, bahwa Seorang 

anak akan menurut tarbiyah dan 

pendidikan yang diberikan kepadanya, 

sifat-sifat orang tua akan menurun 

kepada anak-anak mereka, ibarat kata 

pepatah “buah jatuh tidak akan jauh dari 

pohonnya.” Betapa banyak ketakwaan 

pada diri anak disebabkan dia mengikuti 

ketakwaan kedua orang tuanya atau 

salah seorang dari mereka.52

Allah S.W.T. berfirman dalam 

Surat At-Tahrim Ayat 6:

“Hai orang-orang yang beriman, 

peliharalah dirimu dan keluargamu 

dari api neraka yang bahan 

bakarnya adalah manusia dan batu; 

penjaganya malaikat-malaikat yang 

kasar, keras, dan tidak mendurhakai 

Allah terhadap apa yang 

diperintahkan-Nya kepada mereka 

dan selalu mengerjakan apa yang 

diperintahkan.” 

Kedua orang tua dan guru 

bertanggung jawab terhadap pendidikan 

generasi muda. Jika pendidikan mereka

baik, maka berbahagialah generasi 

tersebut di dunia dan akhirat, tapi jika 

mereka mengabaikan pendidikannya 

maka sengsaralah generasi tersebut dan 

beban dosanya berada pada leher 

mereka.53

Rosulullah S.A.W. bersabda:

“Setiap orang dari kalian 

adalah pemimpin, dan setiap 

kalian bertanggung jawab atas 

siapa yang dipimpinnya” (H.R. 

Al-Bukhari dan Muslim)

54

Dan juga merupakan kabar gembira 

bagi kedua orang tua manakala dia 

mendidik anaknya hingga menjadi anak 

yang sholih karena ia akan menjadi aset 

bagi kedua orang tuanya di akhirat 

kelak.

ۡ 

“Apabila Manusia meninggal 

Dunia maka terputuslah 

amalnya kecuali karena tiga 

hal, 1. Shadaqah jariyah, 2. 

Ilmu yang bermanfaat, atau 3. 

Anak shaleh yang mendoakannya”. (H.R. 

Muslim).

Maka setiap pendidik hendaknya 

melakukan perbaikan dirinya terlebih 

dahulu, karenaperbuatan baik bagi 

anak-anak adalah yang dikerjakan oleh 

pendidik. Dan perbuatan jelek bagi 

anak-anak adalah yang ditinggalkan 

oleh pendidik. Karenanya sikap baik 

guru dan orang tua di depan anak-anak 

merupakan pendidikan anak yang paling 

utama.55

Pernikahan beda agama akan 

berdampak negatif bagi pendidikan 

anak-anak dan generasi selanjutnya. 

Sebab, orang tua adalah figur utama 

dari anak-anaknya. Jika orang tuanya 

bukan seorang muslim, bagaimana 

mungkin bisa menjadikan anak-anaknya 

menjadi anak-anak yang sholih sebagai 

penerus generasi yang baik dan 

berprestasi di masa mendatang.









Pernikahan beda agama adalah salah satu sumber problematika dalam rumah tangga 

bagi seorang muslim atau mungkin bahkan di kalangan non muslim itu sendiri dan 

jika hal ini telah benar-benar dilakukan maka yang menjadi korbannya adalah sang 

anak yang kemungkinan besar kebingungan dalam menentukan agamanya. Penelitian

ini membahas tentang pernikahan beda agama menurut imam madzhab dan hukum 

positif di Indonesia. Kajian ini dilatarbelakangi oleh kontrofersi mengenai nikah beda

agama menurut pendapat para imam madzhab serta hukum positif yang berlaku di 

indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mengetahui permasalahan tentang 

pernikahan beda agama; 2) Mengetahi pernikahan beda agama menurut hukum positif 

di Indonesia; 3) Mengetahui dampak dari pernikahan beda agama; dan 4) Mengetahui 

alasan syari‟at membolehkan nikah beda agama. Jenis metode penelitian ini adalah 

metode library research (studi pustaka), observasi, dan studi dokumen. Penelitian ini 

bersifat deskriptif analisis, yaitu memaparkan konsep pendapat imam empat madzhab 

dan hukum positif di Indonesia