Regulasi nikah dini

 



nikah Dini: Regulasi


Pernikahan dini telah banyak terjadi di Indonesia dengan berbagai faktor penyebab, seperti pendidikan, 

ekonomi, keinginan pribadi, lingkungan, dan kehamilan di luar nikah. Tulisan ini bertujuan untuk 

mengedukasi masyarakat agar tidak terpengaruh untuk menikahkan seseorang yang masih di bawah umur, 

serta membahas kontroversi pernikahan dini. Penelitian ini bersifat pengembangan dan menggunakan 

pendekatan keilmuan serta metodologi hukum Islam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernikahan dini 

tidak hanya melanggar hak individu, tetapi juga melanggar hukum. Mayoritas ulama tidak membolehkan 

pernikahan dini, dengan beberapa ulama yang secara tegas melarangnya dan tidak ada ulama yang dengan tegas 

membolehkannya. Selain itu, penelitian ini mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan pernikahan 

dini, yaitu pendidikan, ekonomi, keinginan pribadi, lingkungan, dan kehamilan di luar nikah. Untuk 

menanggulangi faktor-faktor ini , penelitian ini menawarkan solusi-solusi yaitu, Pendidikan, 

Meningkatkan akses pendidikan melalui teknologi dan aplikasi belajar gratis serta memasukkan kurikulum 

tentang bahaya pernikahan dini. Ekonomi, Mendorong pernikahan tetapi tetap menempuh pendidikan.

Keinginan Pribadi, Bekerja sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 

untuk memberikan edukasi tentang pernikahan dini. Lingkungan, Mengawasi dan menegakkan hukum.

Kehamilan di Luar Nikah, Memperketat pengawasan terhadap anak-anak dan mengajarkan ilmu agama untuk 

menghindari perbuatan dosa. Dengan solusi-solusi ini , diharapkan dapat menanggulangi permasalahan 

pernikahan dini di Indonesia.

Pernikahan memiliki pengaruh penting bagi manusia, memungkinkan seseorang mencapai keseimbangan 

dalam berbagai aspek kehidupan seperti sosial dan psikologis. Dalam aspek mental atau rohani, seseorang yang 

telah menikah akan lebih mampu mengendalikan emosi dan keinginan seksualnya. Kemampuan mengelola 

emosi menjadi faktor kunci dalam mempertahankan keberlangsungan pernikahan. Kedewasaan emosional 

sangat penting untuk kesuksesan rumah tangga, baik dari pihak suami maupun istri. Pernikahan bukan hanya sebuah perjanjian untuk melegalkan hubungan seksual, tetapi juga sebuah wadah untuk membentuk keluarga. 

Oleh karena itu, pasangan yang menikah perlu menjadi mandiri dalam berpikir dan mengatasi berbagai 

masalah yang muncul dalam pernikahan mereka. (Adam, 2020)

iberdasar  QS al-Hujurat/ 43: 13 yaitu;

َه َيا ا

ُّي

َ

أ الَّنا س َّنا

ِ

َنا كْم إ

 ى ر َخل ِم ْن َقْ

ذَ َك ْنثَ

 

َو ْ أ

َنا كم

ْ

َب شع وًبا اِئ َل َو َجعَل

َوقَ

َرف وا

 ۚ َّن ِلتَعَا

ِ

َ ْكَر َم كْم إ

َْتقَا كْم أ ِعْندَ َّّللاِ

 ۚ َّن أ

ِ

ِبير م َّّللاَ إ

َخ َعِلي

Terjemahnya:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan 

kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di 

sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Pernikahan bertujuan untuk menjalin kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, yang 

berarti pernikahan bertujuan memastikan kesiapan antara mempelai pria dan wanita, baik secara fisik maupun 

mental, untuk memikul beban yang sama dalam berkeluarga (Habibi et al., 2019). Oleh karena itu, dalam 

pernikahan, mempelai pria maupun wanita haruslah siap. Inilah mengapa ada pembatasan usia dalam 

pernikahan untuk mencegah ketidaksiapan fisik maupun mental dari kedua mempelai yang ingin menikah. 

Undang-Undang terbaru nomor 16 tahun 2019 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa usia minimal 

pernikahan untuk pria dan wanita adalah 19 tahun. Namun, meskipun ada pembatasan mengenai usia nikah, 

masih banyak masyarakat yang menikah di bawah umur.

Pernikahan dini sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya di daerah pedesaan. 

Pernikahan di bawah umur biasanya terjadi karena faktor ekonomi, budaya, dan sosial. Kasus pernikahan dini 

di Indonesia sangat banyak, karena banyak orang tua yang ingin menikahkan anaknya lebih cepat dengan 

alasan tertentu. 

Banyaknya kasus pernikahan dini dapat dilihat dari data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi 

Sulawesi Barat, yang menyatakan bahwa pernikahan anak di wilayah Sulawesi Barat melebihi angka rata-rata 

nasional sebesar 11,7% atau sebanyak 1.347 kasus (Perkawinan Anak di Sulawesi Barat Mencapai 1.347 Kasus 

Per Mei 2023, Ancaman Stunting Mengintai, 2023). Banyaknya kasus pernikahan dini ini menyebabkan 

adanya pandangan pro dan kontra terhadap pernikahan dini.

Pandangan yang mendukung pernikahan dini menyatakan bahwa dengan melaksanakannya, akan 

meningkatkan kematangan berpikir, menghalalkan hubungan, serta menjauhkan dari pergaulan bebas. 

Sebaliknya, pandangan yang menolak pernikahan dini berargumen bahwa pernikahan dini dapat 

menyebabkan gangguan psikologis, gangguan reproduksi pada perempuan, dan masalah keuangan yang bisa 

berujung pada perceraian (Sardi, 2016). Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan agar pembaca dapat 

memahami masalah-masalah, pendapat, dan solusi terkait pernikahan dini, sehingga bisa mengambil 

keputusan yang tepat dalam memandang isu ini. Perbedaan mendasar penelitian ini dengan penelitian 

sebelumnya adalah fokus pada pernikahan dini secara umum dan dalam konteks Islam, serta memberikan 

solusi terkait pernikahan dini, sedangkan penelitian sebelumnya hanya membahas pernikahan dini secara 

umum atau khusus dalam konteks agama Islam. iberdasar  penjelasan ini , maka akan diuraikan 

permasalahan yang akan dibahas, yaitu mengenai regulasi hukum dalam pernikahan dini, pandangan ulama 

Islam terhadap pernikahan dini, faktor penyebab, dan solusi pernikahan dini.

II. Regulasi Hukum Dalam Pernikahan Dini

Secara umum, pernikahan dini merujuk pada pernikahan yang dilangsungkan pada usia di bawah batas 

minimum yang telah ditetapkan oleh negara dan diatur dalam Undang-Undang. Di Indonesia, Undang￾Undang nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang 

perkawinan mengatur mengenai batasan usia minimum untuk menikah. Undang-Undang ini  menyatakan 

bahwa perkawinan hanya diperbolehkan jika calon suami dan istri telah mencapai usia 19 tahun. Sebaliknya, 

di Malaysia, regulasi terkait batas usia pernikahan diatur dalam Akta Undang-Undang Keluarga Muslim 

Malaysia tahun 1984 Nomor 304 Pasal 8. Menurut peraturan ini, usia minimum menikah untuk pria adalah 

18 tahun, sementara untuk wanita adalah 16 tahun (Agustin, 2018). Dengan merinci usia minimum 

pernikahan antara kedua negara ini , dapat dipahami bahwa di Indonesia, baik pria maupun wanita 

diharuskan berusia 19 tahun untuk dapat menikah, sedangkan di Malaysia, pria dapat menikah pada usia 18 

tahun dan wanita pada usia 16 tahun.

Pernikahan dini jelas melanggar Undang-Undang nomor 16 tahun 2019, bahkan juga melanggar Undang￾Undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang 

perlindungan anak. Dalam undang-undang ini , dijelaskan bahwa seorang anak adalah individu yang 

belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak diartikan 

sebagai segala upaya untuk menjamin dan melindungi hak-hak anak agar mereka dapat hidup, tumbuh, 

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan martabat kemanusiaan, serta dilindungi dari 

kekerasan dan diskriminasi. Konvensi Hak Anak PBB tahun 1989 juga menegaskan hak-hak anak, seperti hak 

bermain, mendapatkan pendidikan, perlindungan, nama, status kebangsaan, makanan, akses kesehatan, 

rekreasi, kesetaraan, dan peran dalam pembangunan (Muntamah et al., 2019).

Pernikahan dini jelas melanggar peraturan, namun kenyataannya pernikahan dini masih terjadi dan semakin 

meningkat setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena dalam Undang-Undang perkawinan juga memberikan 

dispensasi terhadap pasangan yang ingin dinikahkan di bawah umur. Aturan ini  diatur dalam Pasal 7 ayat 

2 dan 3. Isi dari Undang-Undang ini  menyatakan, "(2) Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan 

umur seperti dimaksud dalam ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi 

kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. (3) Pemberian dispensasi 

oleh pengadilan seperti dimaksud pada ayat (2) wajib mempertimbangkan pendapat kedua belah pihak calon mempelai 

yang akan melangsungkan perkawinan." Dengan demikian, Undang-Undang perkawinan tidak memberikan rasa 

takut kepada masyarakat untuk menghindari pernikahan dini, karena masyarakat masih diberi dispensasi dan 

penindakan terhadap pernikahan dini juga masih minim dilakukan oleh pihak kehakiman.

Pandangan Ulama Islam Terhadap Pernikahan Dini

Secara prinsip, dalam Islam tidak ada ketentuan yang bersifat mutlak mengenai batasan usia minimum 

pernikahan. Namun, terdapat ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang memberikan isyarat terkait hal ini , salah 

satunya adalah pada QS An-Nur ayat 24:32 yang menyatakan sebagai berikut:

 

ن ِك حوا

َ

َو َم ى أ

َي 

ْْلَ

ِمن ك ِل ِحي َن ْم ٱ

ِئ كْم ِعَباِد كْم ِم ْن َوٱل َّص 

ِ َمآ

 ۚ ن َوإ

ِ

إ

 

َء َي كون وا

َرآ

ِه م ف قَ

ْغِن

ِس َو ع ي ٱ َّّلل ِمن فَ ْضِل ِۦه ۚ ٱ َّّلل 

 

َو 

َعِليم

Teirjeimahnya:

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih belum menikah di antara kamu, serta orang-orang yang layak untuk menikah 

dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka dalam keadaan miskin, Allah akan memberi 

mereka kelimpahan dari karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”.

iberdasar  ayat ini , dikatakan bahwa nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri dan layak untuk 

menikah. Dengan demikian, Al-Qur'an secara tidak langsung mengakui bahwa dalam pernikahan haruslah 

dewasa terlebih dahulu karena usia yang layak untuk menikah adalah usia dewasa.

Setiap ulama memiliki sudut pandangnya masing-masing terkait dengan hukum pernikahan dini ini, yang 

dipengaruhi oleh cara mereka memahami Al-Qur'an dan hadis. Terdapat ulama yang dengan tegas melarang 

pernikahan dini, sementara tidak ada ulama yang dengan tegas membolehkan pernikahan dini. Ibn 

Syubrumah menyatakan bahwa tidak disarankan untuk menikahkan anak laki-laki atau perempuan yang masih di bawah umur, bahkan menurutnya, akad nikah dengan seorang gadis yang belum mencapai baligh dianggap 

tidak sah. Menurut pandangannya, urgensi dalam pernikahan terletak pada pematangan kebutuhan biologis, 

sehingga mereka hanya boleh dinikahkan setelah mencapai usia baligh dan dengan persetujuan yang 

berkepentingan (Bastomi, 2016).

Husain Muhammad menyatakan bahwa perhatian utama ulama dalam menilai hukum perkawinan adalah 

adanya atau ketiadaan keuntungan atau kekhawatiran terkait kemungkinan terjadinya hubungan biologis di 

luar pernikahan. Jika kekhawatiran ini tidak dapat dibenarkan, artinya tidak ada kekhawatiran terhadap 

terjadinya hubungan biologis di luar pernikahan, maka pernikahan dini dianggap tidak sah. Oleh karena itu, 

pernikahan dini hanya dapat menimbulkan kerugian, seperti gangguan fungsi reproduksi pada anak 

perempuan. Center for Population Studies and Research di Al-Azhar menegaskan bahwa perkawinan pada usia 

dini tidak memiliki dasar dan argumentasi keagamaan yang kuat (Umah, 2020). Sementara itu, hasil 

musyawarah Nahdlatul Ulama ke-32 di Makassar memperbolehkan pernikahan dini dengan berlandaskan pada 

hadis yang menceritakan tentang Nabi Muhammad SAW yang menikah dengan Aisyah ketika masih berusia 6 

tahun dan hidup bersama di usia 9 tahun (Agus dan Khoirotul Waqi’ah Mahfudin, 2016b).

iberdasar  pandangan di atas, dapat dipahami bahwa pandangan ulama melarang adanya pernikahan di 

bawah umur. Islam tidak menjelaskan batasan minimum terkait dengan usia pernikahan, namun iberdasar  

pedoman yang ada secara tidak langsung menyatakan bahwa pernikahan seharusnya dilakukan oleh individu 

yang telah mencapai kedewasaan. Ulama juga melarang adanya pernikahan dini ini karena kerugian yang lebih 

banyak daripada keuntungannya. Dalam hal ini, penulis setuju terkait pendapat ini , karena banyaknya 

kasus pernikahan dini biasanya beralasan bahwa dengan menikah maka anak akan terhindar dari perbuatan 

zina, padahal masalah-masalah yang lebih besar yang harus ditanggung dalam menikah, pada dasarnya 

merupakan tanggung jawab orang dewasa.

Penyebab Dan Solusi Pernikahan Dini

Setiap kasus pernikahan dini memiliki alasan yang bervariasi dalam pelaksanaannya. Namun, beberapa alasan 

yang diuraikan dalam penelitian terkait dengan kasus pernikahan dini meliputi faktor pendidikan, ekonomi, 

keinginan sendiri, lingkungan, dan kehamilan di luar nikah (Elisabeth Putri Lahitani Tampubolon 

Tampubolon, 2021). Alasan-alasan ini  sering ditemui di masyarakat, terutama di lingkungan pedesaan. 

Oleh karena itu, dalam pembahasan ini, penulis akan menjelaskan beberapa alasan utama terjadinya 

pernikahan dini beserta solusi terkait permasalahan ini . Penjelasan mengenai alasan terjadinya 

pernikahan dini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pendidikan 

Pernikahan dini terjadi karena alasan pendidikan yang mempengaruhi sudut pandang seseorang dalam 

melaksanakan pernikahan. Dengan pendidikan yang tinggi, seseorang akan lebih mampu memahami apa yang 

dianggap baik atau buruk, terutama dalam konteks orang tua yang menikahkan anak-anak mereka di bawah 

umur, mempertimbangkan hal-hal tertentu (Yanti,dkk., 2018). Tanpa pendidikan yang memadai bagi orang 

tua, mereka mungkin akan kurang mempertimbangkan tanggung jawab mereka terhadap anak-anak mereka, 

dan mungkin menganggap bahwa menikahkan anak perempuan mereka yang masih di bawah umur akan 

membuat kehidupan anak mereka lebih sejahtera karena akan disokong oleh suami mereka.

Pendidikan juga berfokus pada pasangan yang menikah di bawah umur, di mana kurangnya pendidikan anak 

dapat menyebabkan mereka menganggap bahwa "seberapa pun tingginya pendidikan seorang perempuan, pada 

akhirnya dia hanya akan berakhir di dapur". Pandangan ini banyak membuat perempuan ingin segera 

menikah. Sementara laki-laki dengan pendidikan yang kurang mungkin akan menikah hanya untuk bekerja, 

tanpa perlu melanjutkan sekolah. Ini adalah pemikiran-pemikiran yang menyebabkan alasan pendidikan 

mempengaruhi pernikahan dini. Dalam masalah ini, penulis menawarkan solusi dengan pendidikan melalui 

teknologi dan aplikasi pembelajaran gratis serta menyadarkan risiko pernikahan dini. Tidak dapat dipungkiri 

bahwa pendidikan masyarakat terhambat oleh biaya dan waktu. Oleh karena itu, solusi ini menjawab masalah 

ini dengan menggratiskan aplikasi pembelajaran dan menggunakan aplikasi ini untuk menghemat waktu, tidak 

perlu bersekolah dari pagi hingga sore. Solusi ini ditujukan untuk masyarakat yang ingin belajar tetapi 

terkendala biaya dan waktu.2. Ekonomi 

Peningkatan jumlah pernikahan dini yang terjadi banyak dipengaruhi oleh alasan ekonomi, yang muncul 

karena masalah ekonomi orang tua yang tidak mampu lagi membiayai anak mereka baik dalam pendidikan 

maupun kehidupan sehari-hari. Melalui pernikahan, diharapkan dapat menjadi solusi bagi masalah ini dengan 

melepaskan tanggung jawab finansial terhadap anak dan mencapai standar hidup yang lebih baik (Mubasyaroh, 

2016). Pernikahan dini dengan alasan ekonomi ini terfokus pada perempuan dan dianggap sebagai solusi yang 

efisien dalam mengatasi masalah ekonomi ini, namun solusi ini hanya efisien jika dalam pernikahannya anak 

perempuan tidak dihalangi untuk bersekolah dan anak perempuan ini  tetap menjalankan hak-haknya.

3. Keinginan Sendiri

Alasan di balik pernikahan dini ini disebabkan karena anak-anak ini  telah menjalani hubungan asmara 

dengan lawan jenis sehingga merasa saling mencintai dan ingin hidup bersama meskipun masih di bawah 

umur. Faktor ini sering kali dipengaruhi oleh pemikiran "cinta tak mengenal usia", meskipun pada usia belasan 

tahun seharusnya anak-anak lebih fokus pada bakat mereka dan bukan mengurusi urusan rumah tangga, 

sehingga mereka tidak memikirkan secara panjang mengenai permasalahan dalam kehidupan rumah tangga di 

masa depan (Agus. dan Khoirotul Waqi’ah Mahfudin, 2016).

iberdasar  permasalahan ini, penulis menawarkan solusi dengan bekerja sama dengan Badan Kependudukan 

dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk menyampaikan pendidikan mengenai pernikahan dini, 

serta mengedukasi orang tua agar lebih tegas dalam mendidik anak-anak mereka dan membatasi pergaulan 

mereka sehingga kasus-kasus ini dapat diminimalisir. Dengan solusi ini diharapkan anak di bawah umur dapat 

lebih berpikir sebelum bertindak dalam mengambil keputusan, serta diharapkan agar anak-anak ini  hanya 

fokus pada pendidikan mereka, bukan pada percintaan.

4. Lingkungan

Pernikahan dini juga dapat terjadi akibat pengaruh lingkungan sekitar, yaitu ketika anak-anak seusianya sudah 

menikah dan mandiri bersama pasangannya. Anak-anak usia dini yang terpengaruh oleh teman-temannya ini 

kemudian memiliki keinginan untuk menikah juga (Hardianti, 2022). Selain itu, orang tua juga dapat 

terpengaruh oleh lingkungan sekitar, di mana mereka merasa malu jika anak tetangga lebih dulu menikah 

sehingga ada rasa tidak mau kalah dan menikahkan anaknya. Beberapa kasus pernikahan di bawah umur juga 

terjadi karena praktik perjodohan yang dilakukan oleh orang tua. Orang tua di daerah pedesaan sering kali 

berargumen bahwa jika ada seseorang yang melamar anak mereka, tidak boleh menolak permintaan ini  

dengan alasan untuk mencegah kenakalan remaja.

Ironisnya, tindakan ini melibatkan pelanggaran terhadap beberapa hak anak, termasuk hak atas keselamatan, 

pendidikan, dan partisipasi. Meskipun UU No. 16 Tahun 2019 dengan tegas menyatakan bahwa seseorang 

yang masih dalam masa anak-anak tidak diizinkan untuk menikah sebelum berusia 19 tahun, dan penerbitan 

akta nikah harus dilakukan oleh lembaga pemerintah, hal ini  tidak mencegah orang tua untuk tetap 

menjodohkan anak-anak mereka (Melda, 2022). iberdasar  permasalahan ini , penulis menawarkan 

solusi berupa pengawasan dan penegakan hukum. Dengan solusi ini, batas usia minimum pernikahan sesuai 

dengan UU No. 16 Tahun 2019 tentang perkawinan, yang menjelaskan bahwa batas usia minimum untuk 

pernikahan laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun, akan lebih ditegakkan. Dengan demikian, melalui solusi 

ini, pernikahan dini akan dilarang karena melanggar undang-undang.

5. Hamil Diluar Nikah

Alasan ini merupakan aib yang harus ditanggung oleh keluarga akibat anaknya yang sangat bebas dalam 

bergaul. Namun, hal ini tidak sepenuhnya dapat disalahkan kepada anak, karena berkaitan dengan cara orang 

tua mendidik anaknya. Kasus hamil di luar nikah ini banyak terjadi di era sekarang. iberdasar  data Bidang 

Peningkatan Kualitas Keluarga Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), terdapat 76 

pengajuan permohonan pernikahan anak di Kementerian Agama Kota Bandung sepanjang tahun 2023, dan 

mirisnya hampir 90% disebabkan oleh kehamilan di luar nikah (Miris, 90 Persen Pernikahan Dini Di Kota 

Bandung Akibat Hamil Diluar Nikah, 2023). Hal ini meHal ini menyebabkan orang tua harus menikahkan anaknya 

karena malu dan tidak ingin dicemooh oleh orang lain.

iberdasar  permasalahan ini , penulis menawarkan solusi berupa pengawasan ketat terhadap anak, serta 

mengajarkan ilmu agama agar terhindar dari perbuatan dosa. Bekerja sama dengan Badan Kependudukan dan 

Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk memberikan edukasi tentang bahaya pergaulan bebas dan seks 

bebas, sehingga anak di bawah umur dapat menghindari hal ini . Dengan efektifnya solusi ini, iman anak 

usia dini akan diperkuat sehingga pernikahan dini dapat diminimalisir.


Indonesia memiliki hukum yang mengatur tentang pernikahan, yaitu UU No. 16 Tahun 2019 tentang 

perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. iberdasar  undang-undang ini , usia 

minimum pernikahan untuk perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun. Namun, meskipun sudah diatur dalam 

undang-undang, pernikahan dini masih sering terjadi karena adanya dispensasi yang diberikan dalam UU 

Perkawinan, sehingga tidak ada kekuatan hukum yang cukup kuat untuk mencegah masyarakat melaksanakan 

pernikahan dini.

Islam tidak menjelaskan batasan minimum usia pernikahan, sehingga ulama memiliki pandangan yang 

berbeda-beda tergantung cara mereka melakukan ijtihad. Terdapat ulama yang secara tegas melarang 

pernikahan dini dengan alasan anak di bawah umur belum baligh, padahal esensi pernikahan adalah 

pemenuhan kebutuhan biologis. Pernikahan dini juga lebih banyak menimbulkan kemudharatan 

dibandingkan dengan kemaslahatan, khususnya masalah mental bagi anak di bawah umur. Sementara itu, 

tidak ada ulama yang secara tegas membolehkan pernikahan dini.

Faktor penyebab pernikahan dini setidaknya ada lima, yaitu pendidikan, ekonomi, keinginan sendiri, 

lingkungan, dan hamil di luar nikah. Faktor-faktor ini  terjadi karena anggapan bahwa menikah adalah 

solusi untuk memperbaiki kehidupan. Orang-orang yang berpikir demikian tidak mempertimbangkan masa 

depan mereka dan tidak memikirkan tentang hukum serta hak yang dilanggar. Oleh karena itu, untuk 

meminimalisir pemikiran ini , diperlukan pendidikan agar masyarakat dapat berpikir dengan matang 

sebelum melakukan sesuatu.

Semoga hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang pernikahan dini, terutama bagi pembaca 

yang masih berada di bawah usia minimum. Pernikahan tidak hanya tentang cinta, tetapi juga mencakup 

semua aspek penting dalam kehidupan. Penulis berharap agar penelitian ini dapat menjadi landasan bagi 

peneliti selanjutnya untuk menggali lebih dalam mengenai pernikahan dini, terutama melalui studi 

perbandingan antara kehidupan pasangan yang menikah di usia muda dengan pasangan yang menikah pada 

usia yang dianggap ideal. Kami menyadari bahwa jurnal ini masih memiliki kekurangan, baik dalam penulisan 

maupun pembahasan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan untuk perbaikan 

pada penelitian selanjutnya.


Pernikahan merupakan salah satu bentuk sosial yang membentuk keluarga yang 

sah berdasarkan agama, hukum negara, dan hukum adat. Pernikahan memiliki  fungsi 

mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan.1 Hubungan terbentuk untuk saling 

membantu, saling menyayangi, serta memiliki  hak dan kewajiban dalam menjalankan 

perannya dalam keluarga. Suami maupun isteri bertanggung jawab membawa kehidupan 

rumah tangga menuju kehidupan yang bahagia dunia akhirat yang merupakan tujuan 

terbentuknya sebuah rumah tangga.

Dalam hukum Islam diatur bahwa pernikahan merupakan suatu hal yang mulia dan 

sakral menurut hukum syariah untuk menunaikan ibadah sebagai hamba Allah Swt. dan 

mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw. dilaksanakan dengan kerelaan, penuh 

tanggungjawab dan sesuai dengan ketentuan hukum. Undang-Undang Republik Indonesia 

No. 1 tahun 1974 khususnya tentang Pernikahan pada bab 1 pasal 1 ditegaskan bahwa 

pernikahan yaitu  ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan 

sebagai suami istri dengan tujuan terciptanya suatu keluarga yang bahagia dan kekal 

berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Batas usia merupakan hal paling penting dalam sebuah pernikahan, oleh sebab  itu 

batasan usia merupakan hal yang patut untuk diperhatikan sebab  bagi setiap orang yang 

akan menikah, kedewasaan, persiapan mental dan fisik terutama kematangan usia, yang 

mempengaruhi dalam membangun sebuah rumah tangga.

Undang-undang No. 16 Tahun 2019 perubahan atas undang-undang No. 1 Tahun 

1974 tentang pernikahan menjelaskan bahwa pernikahan yang layak untuk dilakukan 

yaitu  apabila calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan telah berusia 19 tahun.3 Sedangkan dalam hukum Islam, tidak ada aturan mutlak dalam Al-Qur’an atau 

Hadits mengenai batasan usia menikah. Pernikahan dianggap sah apabila memenuhi syarat 

dan rukun. Usia dan kedewasaan bukan merupakan syarat dan ketentuan pernikahan yang 

sah. Artinya pernikahan yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki yang belum baligh

yaitu belum dibawah usia 15 tahun atau belum haid bagi perempuan dan belum ihtilaam

bagi laki-laki atau sebelum usia yang ditentukan oleh peraturan pernikahan yang berlaku 

di Indonesia dianggap sah menurut hukum Islam sepanjang memenuhi syarat dan rukun 

pernikahan. Hal ini memberikan kesan bahwa pernikahan dini diperbolehkan dan 

dilegalkan dalam Islam.

Pernikahan usia dini masih menjadi topik kontroversial dan polemik di masyarakat 

sebab  dianggap diperbolehkan dalam Agama Islam. Namun hukum positif dalam arti 

hukum pernikahan pada pasal 7 ayat 1 Undang-undang No. 16 Tahun 2019 melarang 

perbutan tersebut. Sebab pernikahan dini dianggap memberikan dampak negatif.4

Penjelasan di atas menunjukkan adanya perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif 

mengenai pernikahan dini. Terdapat dualisme hukum dalam masyarakat Indonesia. 

Dualisme hukum ini tidak hanya menyangkut persyaratan usia untuk menikah tetapi juga 

sahnya pernikahan. Berdasarkan perbedaan yang muncul mengenai pernikahan dini, maka 

tulisan ini fokus mengkaji pada Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap 

Pernikahan usia dini.

Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis permasalahan ini yaitu  

dengan mencari literatur dan dokumen hukum mengenai pokok permasalahan yang 

dimaksud. Metode ini disebut penelitian hukum dengan pendekatan perundang-undangan. 

Penelitian ini juga termasuk dalam kategori tinjauan pustaka yaitu meneliti dan menelaah 

berbagai publikasi atau buku yang berkaitan dengan pokok bahasan yang diteliti.5

Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan pokok penelitian yaitu pernikahan usia dini 

ditinjau dari hukum Islam dan hukum Positif, perlu menggunakan sumber-sumber hukum 

dasar berupa hukum Islam, dan hukum positif atau yurisprudensi. Tujuan pendekatan ini yaitu  untuk mempelajari lebih dalam mengenai peraturan hukum Islam dan hukum 

Positif tentang pernikahan usia dini.


Pernikahan Usia Dini Dalam Hukum Islam

Dalam fikih klasik, pernikahan dini disebut pernikahan al-Shagir atau as-Shagirah. 

Kebalikannya yaitu  pernikahan al-Kabir atau al-Kabirah. kitab-Kitab fikih kontemporer 

menyebutnya sebagai al-Zawaj al-Mubakkir (Pernikahan usia muda). Shagir atau 

shagirah secara harfiah berarti kecil, yang mengacu pada laki-laki dan perempuan yang 

belum mencapai baligh. Pernikahan usia dini yaitu  pernikahan antara seorang laki-laki 

dengan seorang perempuan yang belum mencapai usia baligh.6 Dengan demikian, 

pernikahan dini yaitu  pernikahan yang dilakukan secara sah yang dilakukan antara 

seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang masih anak-anak atau belum dewasa.

Hukum Islam tidak mengatur secara tegas atau menetapkan batasan usia tertentu 

untuk menikah. Namun hukum Islam secara implisit mensyaratkan orang yang ingin 

menikah harus siap secara mental, fisik dan fisikis, dewasa dan benar-benar memaham arti 

sebuah pernikahan. Tidak adanya batasan usia tertentu memang memberikan keluasan 

bagi masyarakat untuk menyesuaikan dengan keadaan, kepentingan, termasuk kondisi 

pribadi keluarga bahkan kebiasaan masyarakat setempat, tentunya kematangan jasmani 

dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama.

Jika baligh ditentukan oleh umur atau hitungan tahun, maka pernikahan dini yaitu  

pernikahan sebelum usia 15 tahun menurut sebagian besar ahli fikih dan perempuan 

berumur 17 tahun, laki-laki berumur 18 tahun menurut abu Hanifah, sedangkan Maliki 

menetapkan 17 tahun.8 Sebab mayoritas ahli fikih seperti Ibnu Munzir Menganggap 

pernikahan usia dini merupakan ijma’ (konsensus) para ahli fikih. ulama fikih melegalkan 

pernikahan dini. Menurut mereka, dalam urusan pernikahan, kriteria baligh dan berakal 

bukan syarat sahnya suatu pernikahan. Artinya pernikahan perempuan dan laki-laki 

dibawah usia 18 tahun itu dibolehkan dan dianggap sah jika memenuhi rukun dan syarat pernikahan dan tidak ada penghalang terjadi terhadap kedua calon mempelai seperti 

adanya hubungan nasab.

Adapun argumen yang dikemukakan oleh kebanyakan ulama fikih membolehkan 

pernikahan usia dini yaitu  berikut ini:9

1. Argumen pertama: kata al-ayami dalam surat an-Nur ayat 32 dalam konteks ayat ini 

jelas bahwa perintah menikah meliputi perempuan dewasa dan perempuan belia atau 

muda. Kalimat ini memberikan izin atau bahkan rekomendasi secara ekspilist 

memperbolehkan atau menyarankan agar wali menikahkan mereka.

2. Argumen kedua: mengacu pada ayat 4 surat at-Talaq, berbicara mengenai masa iddah 

yang tidak ada artinya bagi perempuan-perempuan yang sudah monopous dan bagi 

perempuan yang belum haid. Masa iddah bagi kedua kelompok perempuan ini yaitu  

tiga bulan. Secara tidak langsung ayat ini juga mengandung pengertian bahwa 

perkawinan boleh dilakukan oleh perempuan belia (usia muda), sebab  iddah hanya 

dapat dibebankan kepada mereka yang sudah menikah dan bercerai.

3. Argumen ketiga: terjadinya pernikahan Nabi Muhammad dengan Aisyah yang masih 

berusia 6 tahun dan tinggal bersama Nabi pada usia 9 tahun.

4. Argumen keempat: beberapa diantara sahabat nabi yang menikahkan anak 

perempuannya atau keponakannya yang masih belia.

Dengan demikian dapat disimpulan bahwa Islam tidak menentukan batas usia ideal 

untuk dapat melangsungkan pernikahan, yang berarti pernikahan dapat dilakukan oleh 

orang yang belum atau sudah dewasa dengan syarat-syarat tertentu, seperti perempuan 

belia diperbolehkan kepada wali untuk menikahkannya.

Pernikahan Usia Dini Dalam Hukum Positif

Hukum yang mengatur pernikahan termasuk usia pernikahan yaitu  Undang￾undang No. 1 Tahun 1974 pada tingkat nasional, artinya memiliki  keabsahan hukum 

dan berlaku bagi semua golongan masyarakat Indonesia. Dalam undang-undang tersebut 

terdapat asas-asas yang mengarah pada tujuan pernikahan, yaitu pernikahan untuk 

membentuk keluarga bahagia, kekal, dan sejahtera berdasarkan Tuhan yang Maha Esa

Salah satu asas pernikahan yang diatur dalam undang-undang ini yaitu  calon 

pasangan harus matang jasmani dan rohani sebelum menikah agar tercapai tujuan 

pernikahan tanpa memikirkan perceraian. Sehingga mendapatkan keturunan yang baik 

juga sehat. Undang-Undang Perkawinan bertujuan untuk menjamin kepastian hukum, 

maka pernikahan yang sah apabila dilakukan menurut peraturan atau hukum masing￾masing agama dan keparcayaan serta dicatat menurut rundang-undang yang berlaku 

sebagai asas legalitas. Hal ini sesuai dalam pasal 2 ayat 1 dan 2 No. 1 Tahun 1974 Tentang 

Pernikahan.

Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2019 

perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pernikahan mengatur 

bahwa laki-laki dan perempuan diizinkan untuk menikah apabila sudah mencapai umur 19 

tahun.11 Hal ini dilakukakan dengan beberapa pertimbangan hukum untuk memberikan 

kemaslahatan kepada calon suami dan isteri.12 Meskipun dalam pasal 7 ayat 2 menyatakan 

bahwa seorang yang belum mencapai usia 19 tahun tetap memerlukan izin orang tua untuk 

menikah. Artinya pernikahan dapat dilakukan dan sah secara hukum sekalipun usia 

dibawah 19 tahun, dengan syarat mendapat izin orang tua atau pengadilan.

Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang 

No. 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan, pada pasal 7 ayat 1 merupakan suatu revolusi baru 

dalam melaksanakan hak dan kewajiban membentuk keluarga sesuai dengan tujuan 

pernikahan. Hal ini mencakup penentuan cara meminimalisir pernikahan antara 

perempuan dan laki-laki di bawah usia 21 tahun. Peraturan ini juga menjadi solusi untuk 

mengurangi dampak negatif terhadap tumbuh kembang anak yang pada kenyataannya 

tidak terpenuhi sebab  usia anak yang terlalu muda untuk menikah.

Undang-Undang No.16 Tahun 2019 tentang tentang pernikahan menjelaskan 

bahwa perbaikan standar dimaksudkan untuk mencegah perempuan menaikkan usia 

minimum menikah sebab  mengandung kemaslahatan bagi perempuan dan rumah 

tangganya, seiring bertambahnya usia yang diharapakan telah matang jiwa raganya untuk melangsungkan pernikahan guna mencapai tujuan pernikahan yang benar tidak berakhir 

pada perceraian serta menghasilkan keturunan yang sehat dan berkualitas.13 Sebab 

pasangan sudah memiliki  kesadaran dan pemahaman yang lebih matang mengenai 

tujuan pernikahan, yang menekankan pada aspek kesejahteraan lahir dan batin.

Batas usia tersebut ditentukan menurut Pasal 29 KUHPerdata yang mengatur 

bahwa usia dalam pernikahan 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan, kecuali 

pemerintah memberikan dispensasi sebab  alasan yang sangat penting dan mendesak. Tata 

cara penetapan batasan usia yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata 

hanya mengacu pada fungsi biologis laki-laki dan perempuan. Pada batas usia tersebut 

seorang dianggap sudah cukup dewasa untuk menikah sehingga apabila mereka menikah 

diharapkan dari pernikahan tersebut dapat melahirkan keturunan. Dasar penentuan usia 

pernikahan didasarkan pada kematang fisik atau fungsi biologis seseorang.

Selanjutnya, pernikahan dini tidak hanya melanggar perundang-undangan menikah 

tetapi juga Undang-undang perlindungan Anak. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 

tentang Perlindugan Anak secara spesifik menyebutkan bahwa anak yaitu  setiap orang 

yang berusia 18 tahun, termasuk mereka yang masih dalam kandungan. Pasal 1 dan Pasal 

26 ayat (1) poin c mengatur bahwa keluarga dan orang tua memiliki  kewajiban untuk 

mencegah pernikahan anak. Oleh sebab  itu, jelas bahwa anak di bawah usia yang telah 

ditentukan dalam undang-undang ini memperhitungkan usia pernikahan.14 Prinsip-prinsip 

tersebut yaitu  prinsip non-diskriminasi, prinsip kepentingan terbaik bagi anak, hak 

kelangsungan hidup, perkembangan, dan prinsip penghormatan terhadap pandangan anak.

Undang-undang ini memperjelas bahwa hak-hak anak harus diwujudkan. Inti dari 

peraturan ini yaitu  hak-hak anak diberikan prioritas yang jelas dan dihormati dalam 

segala hal, termasuk batas usia untuk menikah. Pernikahan antara perempuan dan laki-laki 

dibawah usia 18 tahun dianggap melanggar undang-undang perlindungan anak.

Secara sederhana, pernikahan dini dapat dipahami sebagai pernikahan yang 

dilakukan pada usia muda antara perempuan dan laki-laki dibawah batas usia minimal 

yang ditentukan undang-undang. Secara hukum berlaku ketentuan undang-undang 

Pernikahan berdasarkan Undang-undang No. 16 Tahun 2019 tentang batasan usia, 

pernikahan hanya diperbolehkan ketika seorang laki-laki dan perempuan telah mencapai usia 19 tahun.15 Adanya pembatasan umur dalam hukum positif untuk dapat 

melangsungkan pernikahan dimaksudkan yaitu  untuk memiliki kematangan fisik dan 

psikis.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan usia dini yaitu  

pernikahan yang dilakukan secara resmi atau tidak resmi oleh seorang laki-laki dan 

perempuan pada usia yang muda atau dibawah umur menurut undang-undang pernikahan.

Analisis Perbandingan Antara Hukum Islam Dan Hukum Positif Tentang 

Pernikahan Usia Dini

Dari sudut pandang hukum Islam dan hukum Positif, terdapat persamaan dan 

perbedaan dalam pengertian pernikahan usia dini. Satu sisi, hukum positif maupun hukum 

Islam sama-sama meyakini bahwa pernikahan yaitu  suatu akad antara seorang laki-laki 

dan seorang perempuan sebagai suami isteri, dengan tujuan membentuk keluarga yang 

bahagia dan berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, saling mendukung, dan menjaga

hak dan kewajiban diantara keduanya. Selanjutnya tujuan pernikahan yaitu  membangun 

kehidupan keluarga yang damai, cinta dan kasih sayang.16

Disisi lain yaitu  adanya perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif 

mengenai penafsiran pernikahan usia dini. Menurut hukum positif, konsep pernikahan usia 

dini dibatasi usia dan dijelaskan dengan angka, artinya pernikahan hanya boleh 

dilangsungkan apabila telah mencapai usia 19 tahun dan diberikan dispensasi bagi yang 

berusia dibawah 19 tahun. Dalam Islam, pernikahan usia dini mengacu pada pernikahan 

orang-orang yang belum dewasa (dibawah umur). Keadaan tersebut menimbulkan 

permasalahan hukum yang timbul akibat pemahaman terkait usia dalam menentukan usia 

dalam pernikahan seperti pernikahan usia dini, ketidakharmonisan hukum antara sistem 

hukum positif sistem hukum Islam mengenai peraturan pernikahan.17

Undang-Undang Pernikahan No. 16 Tahun 2019 menyebutkan dalam Pasal 7 ayat 

1 pernikahan hanya diperbolehkan ketika seorang laki-laki dan perempuan telah mencapai usia 19 tahun.18 Kebijkan pemerintah yang menetapkan usia minimal menikah tidak lepas 

dari berbagai pertimbangan empiris atau kehidupan masyarakat. Dari sudut pandang 

medis, pernikahan usia dini memiliki  dampak buruk bagi ibu dan anak yang 

dikandungnya. Disisi lain menurut sosiolog, menikahan usia dini dapat mempengaruhi 

keharmonisan keluarga, sebab  kurangnya persiapan mengelola mental dan mengatur 

emosi.19 Dengan pertimbangan yang dilakukan dalam menetapkan batas usia minimal 

menikah diharapkan dapat menghindari berbagai macam dampak negatif yang mucul 

akibat pernikahan dini seperti pelanggaran terhadap udang-undang dan lainnya.

Meskipun Islam tidak menyebutkan usia minimal atau maksimal untuk menikah, 

namun Islam menganjurkan untuk menikah tanpa memberikan batasan usia seperti yang 

termuat dalam surat An-Nur ayat 32 menjelaskan nasihat kepada wali untuk menikahkan 

perempuan dewasa dan perempuan yang belum dewasa. Sama halnya dengan ayat 4 surah 

Ath-Thalaq, secara tidak langsung memperbolehkan pernikahan dini bagi perempuam 

sebab iddah hanya berlaku bagi perempuan yang sudah menikah dan bercerai.

Dalam fikih klasik, selain mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan 

papan, juga harus aqil baligh sebagai tolak ukur kedewasaan.

20 Yang dimaksud dewasa 

dalam pengertian fikih klasik yaitu  jika seorang laki-laki sudah keluar sperma atau 

ihtilam. Bagi perempuan standarnya yaitu  sudah haid. Jadi, perempuan yang sudah haid 

dan laki-laki yang sudah keluar mani (ihtilam) dalam keadaan sadar atau tidak (bermimpi) 

menunjukkan bahwa seseorang telah mampu untuk menikah.

Pernikahan dini tidak dianjurkan sebab  Islam tidak memuat aturan yang jelas 

mengenai usia perenikahan berarti apabila pernikahan usia dini menimbulkan 

kemudharatan, kerusakan atau dampak negatif, dan tidak ada kekhawatiran terjerumus 

pada pergaulan yang dilarang oleh agama, maka pernikahan tersebut tidaklah dianjurkan.

Pernikahan yang merupakan sunnatullah pada dasarnya diperbolehkan berdasarkan

kepada tingkat kemaslahatannya.

21 Bagi orang yang mampu menikah, memilih menikah 

usia dini lebih baik, namun lebih bermanfaat dibanding memilih tidak menikah sebab  dapat mendatangkan kemafsadatan. Oleh sebab  itu nabi Muhammad Saw. menganjurkan 

perenikahan yang dapat menimbulkkan hukum sunnah atau wajib. Dengan demikian dapat 

dipahami bahwa pernikahan usia dini yaitu  pilihan setiap orang artinya bagi setiap orang 

diberikan kesempatan kapan usia yang tepat untuk menikah. sebab  tidak adanya 

ketentuan batasan usia untuk menikah dalam Islam termasuk masalah ijtihad.

Oleh sebab  itu, sesuai dengan tujuan hukum pernikahan, pada Bab II pasal 7 ayat 

1 peraturan pernikahan, dengan jelas menyebutkan bahwa batasan usia calon suami dan 

isteri harus berusia minimal 19 tahun.22 Pernikahan hanya diperbolehkan jika persyaratan 

tertentu terpenuhi. Pernikahan yang tidak memenuhi syarat dianggap pernikahan tidak sah, 

khususnya pernikahan usia dini.

Pembatasan ini pada hakikatnya mencegah terjadinya pernikahan usia dini, sebab  

tujuan pernikahan yaitu  untuk menghasilkan keturunan yang baik dan sehat zhair bathin. 

Peraturan penikahan didasarkanprinsip bahwa calon pasangan suami istri harus matang 

lahir dan batin sebelum menikah, agar tujuan pernikahan setelah menikah dapat tercapai.

Kedewasaan jiwa dan kematangan berpikir harus diperhatikan dalam pernikahan. 

Agama juga menuntut seseorang harus kuat lahir bathin. Seorang yang kuat akan 

melahirkan generasi yang kuat jasmani dan rohani. Selain itu, dalam kehidupan 

berkeluarga setidaknya harus siap secara mental dan fisik untuk memikul tanggung jawab 

keluarga setidaknya sebagai orang tua.

Pernikahan dini tentu saja bisa menjadi jalan keluar (alternative solution). Artinya, 

sejumlah manfaat diserahkan kepada masing-masing individu. Jika menikah diusia muda 

menghindari diri dari dosa dan kemaksiatan, maka menikah yaitu  pilihan terbaik. 

Sebaliknya, yang lebih penting yaitu  jika mengandung nilai positif yang diperoleh dalam 

penundaan pernikahan hingga dewasa maka hal itu lebih utama. Tidak adanya ketetapan 

usia tertentu untuk menikah justeru memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk 

menyesuaikan permasalahannya berdasarkan dengan kebutuhan, keadaan pribadi keluarga 

dan atau adat istiadat setempat masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan 

rohani kedua belah pihak yang ingin menikah merupakan hal terpenting dalam agama.23

Dan ini membuktikan fleksibilitas dan keuniversalan hukum Islam. esensinya hukum Islam yaitu  menciptakan kemaslahatan sosial bagi manusia pada masa kini dan waktu 

yang akan mendatang. Hukum Islam jelas karakternya humanistik dan membawa rahmat 

bagi alam semesta. Hal ini bertujuan untuk memastikan hukum Islam tetap relevan dan 

peka terhadap perubahan zaman, termasuk menegenai pernikahan usia dini yang dianggap 

kontroversi sebab  adanya perbedaan pemahaman.

Para ulama juga merumuskan kaidah fikih yang berorientasi pada kemaslahatan 

yaitu kemadharatan harus dihilangkan. Menghilangkan dampak buruk harus diprioritaskan 

dibanding memperoleh manfaat kemafsadatan harus diutamakan daripada menarik 

manfaat.24 Meskipun batas usia atau masalah kedewasaan dalam pernikahan tidak masuk 

dalam syarat dan rukun nikah, bukan berarti para ulama tidak memperhatikan hal ini, 

bahkan ahli fikih menganggap faktor kedewasaan dan umur yaitu  masalah yang penting 

untuk diperhatikan. sebab  usia dalam pernikahan yaitu  masalah ijtihadi, maka usia 

dewasa pada dasarnya dapat ditentukan dengan umur dan dapat juga dengan tanda-tanda.

Yang jelas Islam dengan Syariatnya menghendaki terciptanya kemaslahatan dan 

kemanfaatan yang menyeluruh dalam kehidupan manusia. Oleh sebab  itu, wajar apabila 

segala sesuatu yang dapat merugikan kemaslahatan hukumnya harus dihilangkan sesuai 

anjuran agama. Apabila pernikahan usia dini memberikan dampak yang buruk maka 

menikah tidak boleh bahkan dapat menjadi haram, sebaliknya pernikahan dini dibutuhkan 

jika memudahkan dan menghilangkan kesulitan maka menikah usia dini menjadi pilihan, 

hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang disebut dengan maslahah Al-Hajjiyat.

25

Pernikahan usia dini, tidak berbeda sebagaimana pernikahan yang hukum asalnya 

yaitu  sunnah, sah sepanjang syarat dan rukun pernikahan terpenuhi, dan dapat berubah 

menjadi makruh atau haram apabila pernikahan yang dilakukan mengandung bahaya 

menurut kaidah segala sesuatu yang mendatangkan mudarat yaitu  haram.26 Pernikahan 

usia dini sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan 

yang melakukan pernikahan. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diambil sebuah 

kesimpulan bahwa tujuan pemberlakuan hukum positif maupun hukum Islam sama-sama 

mengandung unsur maslahat. Pemerintah melarang pernikahan usia dini dengan berbagai 

pertimbangan. Begitu juga dengan hukum Islam tidak membatasi usia pernikahan juga memiliki nilai postif dan nilai kemaslahatan. Perbedaan yang terjadi antara hukum Islam 

dengan hukum Positif tentang usia pernikahan dini bukan berarti kedua hukum tersebut 

saling berlawanan dan menyalahkan hukum yang satu dengan yang lainnya tetapi justru 

sama-sama menginginkan yang terbaik untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia.


Hukum Islam tidak menetapkan batasan usia minimal untuk menikah, artinya Islam 

tidak melarang pernikahan usia dini jika memberikan manfaat bagi manusia, namun jika 

menimbulkan mafsadat pernikahan dini dilarang atau haram, apa lagi dilakukan tanpa 

memperhatikan aspek rohani dan jasmani, hak anak, psikis dan pisik serta pemahaman 

makna pernikahan. Sedangkan menurut hukum positif yaitu undang-undang pernikahan 

No. 16 tahun 2019 pernikahan hanya dibolehkan bagi perempuan atau laki-laki yang 

berumur 19 tahun keatas, dalam beberapa hal dispensasi diberikan beradasarkan keputusan 

pengadilan dan persetujuan kedua orang tua, hal ini dimaksudkan agar setiap orang yang 

akan menikah memiliki  kematangan berpikir, kematangan rohani dan kekuatan jasmani 

yang cukup. Tujuan pernikahan dalam hukum Islam dan hukum Positif sama-sama ingin 

mewujudkan kemaslahatan. Batasan minimal usia menikah antara hukum Islam dan 

hukum Positif bukan berarti terjadi pertentangan antara keduanya. Sebab tujuan hukum 

positif membatasi usia minimal agar terhindar dari keamafsadatan yang dapat terjadi akibat 

pernikahan usia dini. Hal ini sejalan dengan ketentuan hukum Islam yang mengutamakan 

menghindarai kemafsadatan daripada mengambil kemaslahatan termasuk mengenai usia 

minimal menikah.











Pernikahan usia dini masih menjadi isu kontroversial dan polemik sebab  adanya perbedaan 

pandangan mengenai hakikat aturan tentang pernikahan usia dini, baik dalam hukum Islam 

maupun dalam hukum Positif. Bahwa hal tersebut dibolehkan dalam agama sedangkan dalam 

hukum Positif merupakan pelanggaran hukum. Dengan demikian dapat dilihat adanya 

perbedaan antara hukum Islam dengan hukum Positif. Metode penelitian yang digunakan untuk 

menganalisis persoalan ini yaitu  dengan melakukan penelitian pustaka atau buku-buku dan 

dokumen hukum yang berkaitan dengan pokok persoalan dan penelitian ini merupakan 

penelitian hukum yang menggunakan pendekatan undang-undang yang dikenal dengan istilah 

statute aprroach. Hasil analisis menunjukkan bahwa usia menikah dalam hukum positif 

dibatasi, namun tetap ada dispensasi jika seseorang ingin menikah sebelum usia minimal yang 

ditentukan, sedangkan dalam hukum Islam tidak ada batasan usia minimal, prinsip yang diatur 

dalam hukum positif tentang batasan usia minimal penikahan dimaksudkan agar setiap orang 

yang akan menikah memiliki  kematangan berpikir, kematangan rohani dan kekuatan jasmani yang cukup, dengan memperhatikan kemaslahatan rumah tangga. Hal ini sesuai 

dengan hukum Islam yang tidak menganjurkan atau mendukung pernikahan usia dini, apa lagi 

dilakukan tanpa memperhatikan aspek rohani dan jasmani, hak anak, psikis dan pisik serta 

pemahaman makna pernikahan. Yang jelas hukum Islam mengutamakan kemaslahatan jika 

pernikahan usia dini yaitu  yang terbaik, dan jika berpotensi menimbulkan kerusakan maka 

hal tersebut tidak boleh atau haram.