nikah beda agama 1

 



nikah beda agama



Perkawinan Beda Agama, dahulu diatur dalam sebuah

peraturan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda; yaituPenetapan Raja tanggal 29 Desember 1896 No. (Stb. 1898 No.

158), yang dikenal dengan peraturan tentang Perkawinan

Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken), yang

kemudian disebut GHR. Dalam GHR ini, jika dua orang yang

berbeda agama hendak melangsungkan perkawinan, maka

Kantor Cacatan Sipil yang akan mencatat perkawinannya.

Namun, setelah berlakunya undang‐undang nomor 1 tahun

1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut dengan UU

Perkawinan), terutama setelah tahun 1983, pelaksanaan

perkawinan beda agama menjadi sulit pelaksanaannya.

Dalam Pasal 2 UU Perkawinan, dinyatakan bahwa

perkawinan yaitu   sah jika  dilakukam berdasar  agama

dan kepercayaan masing‐masing. Dari pasal ini, di lapangan

sering kali dimaknai bahwa orang Islam melaksanakan

perkawinan dengan orang Islam, dengan berdasar  agama

Islam; orang Katolik melaksanakan perkawinan dengan orang

katolik dengan berdasar  agama Katolik, dan seterusnya.

Sehingga, perkawinan dua orang yang berbeda agama relatif

sulit untuk dilaksanakan.  

Ketika dilihat realitas di warga  , perkawinan beda

agama relatif banyak terjadi. Data yang pernah penulis

dapatkan di Kabupaten Gunung Kidul –daerah yang relatif

berpenduduk plural dari segi agamanya—dapat dipaparkan

bahwa di Gereja Katolik Wonosari (Santo Petrus Kanisius),

tempat satu‐satunya perkawinan berdasar  agama Katolik

dilaksanakan, terdapat rata‐rata 32 % pertahun pasangan

berasal dari agama yang berbeda. Adapun di beberapa KUA

terdapat rata‐rata 2,5 % pasangan yang berasal dari agama

yang berbedaCinta yang bersifat universal, tanpa mengenal batasan

agama, ras dan golongan, memungkinkan dua orang berbeda

agama menjadi saling mencintai dan hendak melangsungkan

perkawinan. Di sisi lain, kebebasan beragama dijamin secara

konstitusional di negara kita   dan dilindungi sebagai hak asasi

manusia. Sehingga, sulitnya pelaksanaan perkawinan beda

agama di negara kita  , menjadi permasalahan yang harus

mendapatkan solusi.

Tulisan ini mencoba untuk membahas perkawinan beda

agama dengan berbagai pemikiran kontroversinya. Bagaimana

konsep sahnya perkawinan di negara kita   berdasar  UU

Perkawinan; perkawinan beda agama sebelum berlaku UU

Perkawinan; dan perkawinan beda agama setelah berlakunya

UU perkawinan.

Perkawinan Beda Agama dalam Hukum negara kita  

1. Pengertian Pekawinan

Pengertian perkawinan dapat diambil dari Pasal 1 UU

perkawinan yaitu “Perkawinan yaitu   ikatan lahir batin antara

seorang pria dan wanita sebagai suami isteri.” Menurut

Wantjik Saleh, dengan ‘ikatan lahir batin’ dimaksudkan bahwa

perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya ‘ikatan lahir’

atau ‘ikatan batin saja’ tapi harus kedua‐duanya. Suatu ‘ikatan

lahir’ yaitu   ikatan yang dapat dilihat, yaitu adanya suatu

hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup

bersama, sebagai suami istri, yang dapat disebut juga ‘ikatan

formal’. Hubungan formal ini mengikat bagi dirinya, maupun

bagi orang lain atau warga  . Sebaliknya, ‘ikatan bathin’

merupakan hubungan yang tidak formil, suatu ikatan yangtidak dapat dilihat, tapi harus ada karena tanpa adanya ikatan

bathin, ikatan lahir akan menjadi rapuh.2  

Dari pengertian perkawinan ini  , dapar dikatakan

bahwa perkawinan memiliki   aspek yuridis, social dan

religius. Aspek yuridis terdapat dalam ikatan lahir atau formal

yang merupkan suatu hubungan hukum antara suami istri,

sementara hubungan yang mengikat diri mereka maupun

orang lain atau warga   merupakan aspek social dari

perkawinan. Aspek religius yaitu dengan adanya term

berdasar  Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai dasar

pembentukan keluaraga yang bahagia dan kekal. Hal ini

sebagaiamana dinyatakan dalaam penjelasan Pasal 1 UU

Perkawinan bahwa :

Sebagai Negara yang berdasar  Pancasila, dimana Sila

yang pertama ialah ke‐Tuhan Yang Maha Esaaa, maka

perkawinan memiliki   hubungan yang erat sekali

dengan agama. Kerohanian, sehingga perkawinan bukan

saja memiliki   unsur lahir/ jasmani, tetapi unsur bathin/

rokhani juga memiliki   peranan yang penting.

Aspek religius ini juga terdapat dalam pasal‐pasal lain,

seperti dalam syarat sahnya pekawinan, dan larangan‐larangan

perkawinan.

2.  Syarat Sah Perkawinan

Sebagai salah satu perbuatan hukum, perkawinan juga

memiliki   akibat hukum. Adanya akibat hukum penting

sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum itu.

Dalam pasal 2 UU Perkawinan disebutkan bahwa:(1) perkawinan yaitu   sah, jika  dilakukan

menurut hukum masing‐masing agamanya dan

kepercayaannya itu.

(2) Tiap‐tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang‐undangan yang berlaku.

Dan pasal ini dapat diketahui bahwa syarat sah

perkawinan yaitu   dilaksanakan menurut agama dan

kepercayaan masing‐masing, sebagaimana dalam penjelasan

Pasal 2 UU Perkawinan bahwa tidak ada perkawinan diluar

hukum masing‐masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai

dengan UUD 1945. adapun UUD 1945 dalam pasal 29

dinyatakan bahwa:

1) Negara berdasar  Ketuhanan Yang Maha Esa.

2) Negara menjamin kemerdekaan tiap‐tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing‐

masing dan untuk beribadah menurut agamanya

dan kepercayaannya itu.

Tentang tidak ada perkawinan di luar hukum masing‐

masing agama dan kepercayaannya itu, Prof. Dr. Hazairin SH.

Menyatakan bahwa:

‘Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk

kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri.

Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu

atau Budha seperti yang dijumpai di negara kita  ’.

Sementara Pasal 2 (2) tentang pencatan sebagai syarat sah

perkawinan hanya bersifat administrative. Sebagaimana

dinyatakan oleh Wantjik Saleh bahwa perbuatan pencatatan itu

tidaklah menentukan ‘sah’ nya suatu perkawinan, tetapi

menyatakan bahwa peristiwa itu memang ada dan terjadi, jadisemata‐mata bersifat administrative.3 Juga dinyatakan dalam

Penjelasan Umum UU Perkawinan, bahwa pencatatan tiap‐tiap

perkawinan adlah sama halnya dengan pencatatn peristiwa‐

peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya

kelahiran kematian yang dinyatakan surat‐surat keterangan,

suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

Pencatatn perkawinan ini dilaksanakan di Kantor Urusan

Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil

bagi yang tidak beragama Islam, sebagaimana dinyatakan

dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang

pelaksanaan UU Perkawinan.

Adapun syarat‐syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6

sampai Pasal 11 UU Perkawinan, yaitu:

1. Adanya persetujuan kedua caaalon mempelai.

2. Adanya izin dari orang tua/ wali bagi calon mempelai

yang belum berumur 21 tahun       

3. Umur calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan

mempelai wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

4. Antara kedua calon mempelai tidak ada hubungan darah,

hubungan keluarga, dan hubungan yang dilarang kawin

oleh agama dan peratiuran lain yang berlaku.

5. Tidak terkait hubungan perkaewinan dengan orang lain.

6. Tidak bercerai untukkedua kali denga suami atau isteri

yang sama, yanhg hendak dikawini

7. Bagi seorang wanita (janda) tidak dapat kawin lagi

sebelum lewat waktu tunggu3.  Pengertian Perkawinan Campuran sebelum UU

Perkawinan.  

Sebelum adanya UU Perkawinan, keadaan hukum

perkawinan di negara kita   beragam. Setiap golongan penduduk

berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan golongan

penduduk yang lain. Persoalan ini menimbulkan masalah

hukum perkawinan antar golongan, yaitu tentang hukum

perkawinan manakah yang akan diberlakukan untuk

perkawinan antara dua orang dari golongan yang berbeda.

Dalam rangka memecahkan masalah ini  , maka

pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan. Penetapan Raja

tanggal 29 Desember 1896 No. (Stb. 1898 No. 158) yang

merupakan peraturan tentang Perkawinan Campuran (Regeling

op de Gemengde Huwelijken).  

Pengertian perkawinan campuran dapat dilihat pada

Pasal 1 GHR itu yang menyatakan bahwa yang dimaksud

dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang‐

orang di negara kita   yang tunduk kepada hukum‐hukum yang

berlainan. berdasar  pasal GHR ini  , para ahli hukum

berpendapat bahwa yang dimaksud perkawinan campuran

yaitu   perkawinan antara laki‐laki dan perempuan yang

masing‐masing pada umumnya takluk pada hukum yang

berlainan.

Dalam menentukan hukum mana yang berlaku bagi

orang‐orang yang melakukan perkawinan campuran, GHR

menyatakan bahwa dalam hal seorang perempuan melakukan

perkawinan campuran, maka ia selama perkawinannya iu

belum putus, tunduk kepada hukum yang berlaku bagi

suaminya baik di lapangan hukum public maupun hukum sipil

(Pasal 2).

Dalam Pasal 7 ayat (2) GHR dinyatakan bahwa dalam

perkawinan campuran ini, perbedaan agama, bangsa, atau asalsama sekali tidak menjadi halangan untuk melangsungkan

perkawinan.

4.  Status Hukum Perkawinan Beda Agama Setelah Adanya

UU Perkawinan

UU Perkawinan memberikan peranan yang sangat

menentukan sah/ tidaknya suatu perkawinan kepada hukum

agama dan kepercayaan masing‐masing calon mempelai.

Keadaan ini   nampak jelas dalam Pasal 2 UU Perkawinan

yaitu bahwa “Perkawinan yaitu   sah jika  dilakukan

menurutagama dan kepercayaannya masing‐masing.” Dalam

penjelasan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada

perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

Prof. Dr. Hazairin SH, secara tegas dan jelas memberikan

penafsiran pasal 2 ini   bahwa bagi orang Islam  tidak ada

kemungkinan untuk kawin dengan melanggar ‘hukum

agamanya sendiri’. Demikian juga bagi orang Kristen, dan bagi

orang Hindu. Karena   itu, maka berarti jalan buntu bagi para

calon mempelai yang berbeda agama unuk melaksanakan

perkawinan antar agama. Karena, di samping peraturan dalam

Pasal 2 ini, mereka    juga tidak mungkin menggunakan

peraturan perkawinan campuran dalam Bab XII pasal 57 UU

Perkawinan, yang tidak mengatur tentang perkawinan antara

agama.

Terutama umat Islam—sebagai mayoritas penduduk

negara kita   ini‐‐, sangat mensyukuri Pasal 2 (1) ini  , karena

dengan pasal ini tertutuplah kemungkinan untuk melakukan

perkawinan secara ‘sekuler’ dan juga tertutuplah kemungkinan

bagi seorang muslim untuk menikah dengan laki‐laki atau

perempuan musyrik, karena pernikahan ini dilarang (tidak sah)

menurut hukum Islam (fiqh). Bagi umat Islam, adanya laranganuntuk melangsungkan perkawinan beda agama ini  ,

merupakan masalah penting karena dalam peraturan

perkawinan peninggalan Belanda berupa GHR, penduduk

negara kita   diizinkan melakukan perkawianan beda agama.

Dengan term, perkawinan yaitu   sah jika  dilakukan

berdasar  agama dan kepercayaan masing‐masing, bagi

orang Islam juga dimaknai bahwa perkawinan tidak boleh

melanggar ajaran kitab suci al‐Qur’an. Sementara itu, dalam al‐

Qur’an juga terdapat larangan bagi seorang muslim laki‐laki

dan perempuan untuk menikah dengan orang musyrik.4

Begitu juga dalam ajaran agama Katolik. Disebutkan

dalam kitab Kanonik tahun 1917 kanon 1060 yang berbunyi:

Dengan sangat keras gereja di mana‐mana melarang

perkawinan antara dua orang yang dibabtis, yang satu

Katolik dan yang lain anggota dari sekte bidaah atau

skisma, dan bila ada bahaya murtad pada jodoh Katolik

serta anaknya, maka juga dilarang oleh hukum ilahi

sendiri.

Dalam kanon 1070 dinyatakan juga bahwa:

Tiadanya permandian sah sebagai halangan nikah yang

mengakibatkan perkawina  orang Katolik dengan orang

tak dibaptis menjadi tidak sah.

berdasar  hukum kanonik ini  , maka dalam ajaran

Katolik juga tidak diperbolehkan adanya perkawinan bedaagama, yaitu perkawinan antara orang katolik dan non‐

Katolik.5

Dalam agama Hindu, juga terdapat ajaran tentang samkara

sebagai permulaan sahnya perkawinan. Dasar‐dasar yang

harus diingat yaitu   bahwa: 1) wanita dan pria harus sudah

dalams atu agama, sama‐sama Hindu, 2) Widiwadana yaitu

pemberkahan keagamaan dipimpin oleh Sulinggih atau

Panindita. Dari ajaran tentang samkara ini  , berarti

perkaiwan beda agama dalam ajaran Hindu juga cenderung

tidak diperbolehkan.6

Sementara itu, dalam ajaran Buddha terdapat empat kunci

pokok kebahagiaan suami isteri dalam rumah tangga, yaitu: 1)

sama sada (memiliki keyakinan yang sama); 2) sama sila

(memiliki moralitas yang sama); 3) sama caga (sama‐sama

memiliki   kemuraha hati); dan 4) sama pasiya (sama‐sama

memiliki kebijaksanaan). Sehingga, dengan demikian ajaran

Buddha juga menganjurkan perkawinan antara orang yang

memiliki keyakinan yang sama (umat Buddha dengan umat

Buddha).7

Paparan tentang ajaran agama‐agama ini  ,

merupakan rujukan ketika memahami Pasal 2 (1) bahwa

perkawinan yaitu   sah jika  dilaksanakan menurut agama

dan keperyacaan masing‐masing. Sehingga, berdasar 

hukum agama yang ada di negara kita  , perkawinan beda agama

relatif sulit untuk dilaksanakan.Sementara itu, dalam Pasal 66 UU Perkawinan

menyatakan bahwa dengan perlakunya UU ini ketentuan‐

ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang‐undang Hukum

Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan negara kita  

Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers, S. 1933 No. 74),

Peraturan Perkawinan Campur (Regeling op de Gemengde

Huwelijk S. 158 tahun 1898) dan peraturan‐peraturan lain yang

mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam

undang‐undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Dari ketentuan Pasal 66 ini  , dapat dinyatakan bahwa

ketentuan perkawinan beda agama dalam GHR tidak berlaku

lagi, sedang  perkawian campur dalam UU Perkawinan

memiliki rumusan yang berbeda.

Namun, dari Pasal 66 ini  , terdapat beberapa ahli

hukum yang mengatakan bahwa terdapat kekosongan hukum

tentang perkawinan campuran beda agama. Karena UU

Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan campuran

beda agama, seangkan bunyi pasal 66 menyatakan bahwa

peraturan perkawinan lama tidak berlaku selama telah diatur

oleh UU Perkawinan ini.

Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh beberapa sarjana

diantaranya Purwanto S. Ganda Sybrata bahwa:

Perkawinan campuran antara agama selama belum diatur

secara langsung dalam UU Perkawinan dapat

dilangsungkan menurut ketentuan GHR dengan

disesuaikan dengan asas‐asas dalam UU Perkawinan

Maria Ulfa Subadio juga menyatakan bahwa:

Meskipun perkawinan warga Negara negara kita   yang

berlainan agama tidak diatur dalam UU Perkawinan, akan

tetapi berdasar  Pasal 66, ketentuan dalam GHR masih

dapat dipergunakan dalam perkawinan antar agama.9  

Dengan tidak adanya ketentuan tentang perkawinan beda

agama dalam UU Perkawinan juga menimbulkan

ketidakpastian mengenai ketentuan hukum yang dijadikan

pedoman dalam pelaksanaannya.  

Permasalahan perkawinan beda agama dapat dilihat

dalam beberapa kasus di Jakarta, seperti pasangan Duddy yang

beragama Islam dan Sharon yang beragama Kristen, yang

akhirnya menikah di gereja setempat, karena penolakan Kantor

Catatan Sipil untuk mencatatkan perkawinan mereka dan

mengeluarkan akte perkawinannya untuk ke Kua bagi pihak

orang tua perempuan, pasangan Boy Bolang dan Aditya yang

menunggu izin kawin dari Pengalan Negeri Jakarta Barat,

pasangan Jamal Mirdad yang beragama Islam dan Lidia

Kandau yang beragama Kristen Protestan yang menunda

perkawinannya selama dua bulan karena menunggu proses

pengadilan namun akhirnya mendapt sutar izin dari Kantor

Catatan Sipil DKI Jakarata.

Praktik Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama di warga  

Permasalahan perkawinan beda agama yang masih

menjadi polemic –sebagaimana terpapat di atas—maka

pelaksanaan perkawinan beda agama di warga   relatif

sulit. Padahal, perkawinan beda agama merupakan realitas

yang masih terjadi di warga  . Sebagaimana data yang

pernah penulis peroleh di Kabupaten Gunung Kidul –sebagai

daerah yang sangat plural dalam kehidupan keberaganaan‐‐ 

perkawinan beda agama di Gereja Katolik Wonosari mencapai

jumlah rata‐rata 32% pertahun; di KUA juga terdapat

perkawinan beda agama dengan jumlah yang relatif signifikan;

antara pemeluk agama Buddha dan non‐Buddha juga terdapat

beberapa perkawinan beda agama.  

Adapun pelaksanaan perkawinan antara dua orang yang

memeluk agama yang berbeda, salah satu pihak, biasanya

menundukkan diri atau masuk agama pihak lain ‐‐baik masuk

agama semu atau sesungguhnya. Misalnya, seorang non‐

muslim yang hendak melangsungkan perkawinan dengan

seorang muslim dengan menggunakan hukum Islam, dengan

pencacatan oleh KUA, sebelumnya harus mengucapkan ikrar

syahadat. Ikrar syahadat ini menandakan dirinya masuk agama

Islam. Di KUA beberapa Kecamatan di Kabupaten Gunung

Kidul, ikrar syahadat ini tampak dalam berkas cacatan

perkawinan, yang menjadi dokumen resmi di KUA. Sehingga,

untuk mengetahui perkawinan antara dua orang yang pada

asalnya berbeda agama ini, menjadi sangat mudah, dengan

melihat dokumen pencatatan perkawinannya di KUA.11

Adapun seorang Katolik yang hendak melangsungkan

perkawinan dengan seorang yang beragama lain (non‐Katolik)

dengan sakramen gereja Katolik, maka harus mendapatkandispensasi perkawinan terlebih dahulu dari keuskupan

wilayah. Dispensasi ini akan dikeluarkan setelah pihak non‐

Katolik mengikuti pelatihan agama Katolik selama kurang lebih

satu tahun. Dengan dispensasi ini  , maka keduanya bias

melangsungkan perkawinan seraca agama Katolik, dengan

pemberkatan sakramen gereja. Adapun status pihak non‐

Katolik ini  , ketika melangsungkan perkawinan, belum

sepenuhnya menjadi anggota umat Katolik. Hal ini menjadi

semacan lembaga penundukan diri; yang berarti ia

menundukkan diri kepada hukum agama Katolik.

Jika pemeluk agama Katolik dan Kristen hendak

melangsungkan perkawinan, dapat langsung diselenggarakan

tanpa dispensasi. Perkawinannya disebut dengan perkawinan

ekuemene. Sakramen dilaksanakan di gereja salah satunya –

Katolik atau Kristen—dengan menghadirkan kedua tokoh

agamanya, untuk memberi pemberkatan.

Jika seorang beragama Buddha hendak melangsungkan

perkawinan dengan seorang non‐Buddha dengan berdasar 

agama Buddha, biasanya pihak non‐Buddha masuk agama

Buddha semu dengan mengganti status agama dalam Kartu

Tanda Penduduk (KTP). Begitu juga antara pemeluk agama

Hindu dan non‐Hindu, dan pemeluk agama Kristen dengan

non‐Kristen. Masuk agama semu dengan mengubah status

agama dalam KTP menjadi solusi paling mudah untuk

mengatasi sulitnya pelaksanaan perkawinan beda agama saat

ini. Namun, beberapa agama yang relatif ketat –seperti Islam

dan Katolik—tidak dengan begitu mudahnya, masuk agama

semu.Adapun bagi orang‐orang kaya, dapat saja melaksanakan

perkawinan beda agama ke luar negeri; untuk menghindari

sulitnya prosedur dan pelaksanaan perkawinan beda agama di

negara kita   ini. Di sisi lain, hingga saat ini perkawinan beda

agama tetap menjadi realitas warga   yang tak terhindarkan

lagi.

Terobosan Hukum tentang Perkawinan Beda Agama

Kasus lain yang terjadi pada pasangan Andy Vonny Gani

P. yang beragama Islam dengan Adrianus Petrus Hendrik

Nelwan yang beragama Protestan. Mereka mendatangi KUA

Tanah Abang Jakarta, mengajukan permohonan agar

perkawinan mereka dapat dilangsungkan menurut agama

Islam, namun KUA menolak permohonan ini   karena

adanya perbedaan agama. Kemudian keduanya menghadap ke

Kantor Catatan Sipil, namun Kantor Catan Sipil juga

menolaknya. Oleh karena KUA dan Kantor Catatan Sipil

menolak melamgsungkan pernikahan mereka, maka akhirnya

mereka mengajukan permohonan ke pengadilan Negeri Jakarta

Pusat. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan penetapannya

No. 382/Pdt/1986/PN.JKT.PST, tanggal 11 April 1986 menolak

permohonan mereka dan menguatkan penolakan KUA dan

Kantor Catatn Sipil. Pertimbangan hukum Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat yaitu   sebagai berikut:

- menimbang bahwa UU Perkawinan memang tidak

mengatur perkawinan antar agama, yang diatur dan

dicatat yaitu   perkawinan dimana pihak‐pihak seagama

dan dicatat oelh Kantor Pencata NTR    bagi yang

beragaqma Islam, serta Kantor Catatan Sipil bagi yang

beragama lain selain Islam.

Menimbang bahwa dengan demikian penolakan oleh dua

instansi Pencatat Nikah sudah tepat dan beralasan, karena

perkawinan antar agama dalam UU No. 1 Tahun 1974

memang tidak diatur. Hal ini   karena memang ajaran

agama membenarkan adanya halangan dalam

perkawinan bagi calon suami istri yang berbeda agama.

Mahkamah Agung berpendapat haruslah dapat

ditemukan dan ditentukan hukumnya.

- Menimbang bahwa menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1)

dan (2) UU No. 1 Tahun 1974, Pegawai Pencatat untuk

perkawinan menurut agama Islam yaitu   mereka

sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954

tentang Pencatatan NTR, sedang  bagi mereka yang

berlainan agama selain bergama Isalm yaitu   Pegawai

Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.

- Menimbang bahwa dengan demikian bagi pemohon yang

beragama Islam dan yang akan melangsungakan

perkawinan dengan seorang laki‐laki yang beragama

Protestan, tidak mungkin melangsungkan perkawinan di

hadapan Pegawai Pencatat NTR.

- Menimbang bahwa perlu ditemukan jawaban apakah

mereka dapat melangsungkan perkawinan di hadapan

Pengawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil

sebagi satu‐satunya kemungkinan, sebab di luar itu tidak

lagi kemungkinan untuk melangsungkan perkawinan.

- Menimbang bahwa dengan diajukannya permohonan

untuk melangsungkan pernikahan kepada Kepala Kantor

Catatan Sipil, harus ditafsirkan bahwa permohonan

berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak

secara Islam dan dengan demikian haruskan ditafsirkan

pula bahwa dengan mengajukan permohonan itu

pemohon sudah tidak menghiraukan lagi status

agamanya (in casu agama Islam) nsehingga Pasal 8 sub f

UU No. 1 Tahun 1974 tidak lagi merupakan halangan

untuk dilangsungkannya perkawinan yang mereka

kehendaki, dan dalam hal/ keadaan yang demikian

seharusnya Kantor Catatan Sipil sebagai satu‐satunya

instansi yang berwenang untuk melangsungkan

perkawinan yang kedua calon suami istri tidak beragama

Islam, wajib menerima permohonan ini  .  

- Menimbang bahwa dengan demikian maka penolakan

Kantor Catatan Sipil untuk melangsungakn atau

membantu melangsungakn perkawinan antara pemohon

Andrianus Petrus Hendrik Nehwan tidaklah dapat akan

mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi

untuk sebagian.

           

Dengan adanya yurisprudensi ini, maka dapat menjadi

pedoman para hakim dalam memeriksa dan mengadili

permohonan perkawinan antar agama, sehingga tidak terjadi

lagi seperti penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.15

Dengan demikian, dapat dikatakan juga bahwa perbedaan

agama tidaklah menjadi penghalang untuk melangsungkan

perkawinan. Dan agar tidak menimbulkan perbedaan

penafsiran dari pejabat pelaksanaan perkawinan dan pemimpin

agama tentang boleh tidaknya perkawinan beda agama dan

bagaimana prosedur pelaksanaanya, maka perlu ada pedoman

yang pasti berupa petunjuk pelaksanaan dari intansi‐instansi

yang berwenang seperti Departemen Agama, Departemen

Kehakiman, dan Mahkamah AgungSehubungan dengan perlu adanya petunjuk pelaksanaan

ini   maka Ketua Mahkamah Agung dengan surat No.

KMA/ 72/IV/1981 tanggal 20 kepada Menteri Agama dan

Menteri Dalam Negeri, bahwa:

a. merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam

warga   negara kita   yang serba majemuk ini yang

terdiri dari berbagai macam golongan suku, yaitu  

pemeluk agama dan penganut kepercayaan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda satu denga yang

lainnya.

b. yaitu   suatu kenyataan pula bahwa antar mereka itu,

ada yang menjalin suatu hubungan dalam membentuk

suatu keluarga yang bahagia dan kekal melalui proses

perkawinan, di mana undang‐undang No. 1 tahun 1974

tentang Perkawinan belum mengatur prihal perkawinan

campuran.

c. Meskipun demikian dapar dicatat bahwa Pasal 66 UU

Perkawinan memungkinkan S. 1898 No. 158

diberlakukan untuk mereka sepanjang UU Perkawinan

belum mengatur perihal perkawinan campuran.

d. Mahkamah Agung berpendapat serta berpendirian

Negara Republik negara kita   mengakui perkawinan yang

ada sebagai suatu ‘staatshuwelijk’ maka untuk

menghilangkan atua setidak‐tidaknya mengurangi

adanya perkawinan yang dilakukan secara liar dan/ atau

diam‐diam, serta untuk menjamin adanya kepastian

hukum, kami harapkan dengan hormat, perkenan:

1. yth. Sdr. Menteri Agama besrta seluruh jajaran

yang ada dalam naungannya untuk memberikan

bantuan demi kelancaran pelaksanan perkawinan

campuran yang dimaksud.2. yth. Sdr. Menteri Dalam Negeri, untuk

mengusahakan agar para Gubernur/ Bupati/ Wali

kota dalam hal ini pegawai pada kantor Catatan

Sipil sebagai instansi yang berwenang

menyelenggarakan perkawinan campuran

termasuk antara penganut kepercayaan kepada

Tuhan Yang Maha Esa. jika  syarat‐syarat

perkawinan sudah dipenuhi dengan baik.

e. Demikian untuk dimaklumi hendaknya, dan atas

bantuan serta perkenan Saudara‐saudara Menteri yang

kami harapkan sudah akan memberi dalam waktu

mendatang ini, kami ucapkan terima kasih.

Dari surat Ketua MA ini  , dapat diketahui bahwa MA

menganggap bahawa perkawinan beda agama masih termasuk

perkawinan campuran, dan dalam pelaksanaannya harus

diterapkan ketentuan dalam GHR, serta MA menyatakan

bahwa perkawinan di negara kita   sebagai suatu ‘staatshuwelijk’,

berarti suatu perkawinan beda agama yang hanya dilakukan di

Kantor Catatan sipil, sudah sah.

Dari paparan ini   di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa perkawinan beda agama setelah berlakunya UU

Perkawinan, relatif sulit dilakukan. Dengan    tidak diaturnya

secara jelas perkawinan beda agama dalam UU perkawinan,

maka terdapat polemic dalam pemahaman dan

pelaksanaannya. berdasar  Pasal 2 UU Perkawinan, ada

yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama tidak boleh.

Tapi, berdasar  Pasal 66 UU Perkawinan, maka terdapat ahli

hukum yang menyatakan adanya kekosongan hukum,

sehingga peraturan GHR dapat diberlakukan. Dengan

demikian, maka perkawinan beda agama dapat dilaksanakan

dengan pencacatan di Kantor Catatan Sipil.  

Terlepas dari polemic ini  , saat ini realitas warga  

masih menghendaki berlakunya legalitas perkawinan beda

agama. Banyaknya praktik perkawinan beda agama di

warga  , yang relatif sulit dilaksanakan, menjadi

permasalahan hukum yang perlu mendapatkan penyelesaian.