A. Pengertian Nikah
Pengertian nikah bisa diterangkan dari sisi bahasa dan
istilah. Secara bahasa makna nikah tidak jauh dari arti
berkumpul, bergabung, bersetubuh dan akad. Menurut
bahasa, nikah yaitu al-dhammu atau at-tadakhul yang artinya
berkumpul atau saling memasuki.
Menurut ulama, nikah berarti:
1. Menurut aslinya berarti setubuh, dan secara majazi ialah
akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria
dengan wanita. Ini pendapat ahli ushul mazhab
Hanafiyah.
2. Ahli ushul Syafi’iyah mengatakan, nikah menurut aslinya
ialah akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara
pria dan wanita. Sedang menurut arti majazi (metaphoric)
ialah bersetubuh.
3. Abu Qasim al-Zayyad, Imam Yahya, Ibnu Hazm dan
sebagian ahli usul dari sahabat Abu Hanifah berpendapat
bahwa nikah mengandung kedua arti sekaligus, yaitu
sebagai akad dan setubuh.(Abu al- ‘Ainain, 2002:18)
2 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
Secara istilah, kebanyakan kitab fikih mendefinisikan
nikah dengan akad yang mengandung kebolehan istimta’
(bersenang-senang) antara pasangan dengan pasangannya
(suami-istri) menurut tata cara yang dibenarkan syariat.
(Abdul Aziz Mabruk dkk.,1441 : 463, Ibrahim Hosen, 2003:116)
Sedangkan secara istilah rumusan nikah oleh pakar
hukum Islam dikategorikan dalam bentuk akad yang
menyebabkan dibolehkannya melakukan hubungan antara
seorang laki-laki dengan perempuan disertai dengan
timbulnya hak dan kewajiban yang mengikat antara kedua
belah pihak. Maksudnya yaitu , suatu
akad yang menimbulkan bolehnya bergaul antara laki-laki dan
perempuan dalam tuntunan naluri kemanusiaan dalam
kehidupan dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban masing-masing.
Definisi di atas merupakan penyempurnaan dari
definisi nikah yang dikemukakan oleh pakar hukum Islam di
masa klasik yang lebih menitikberatkan kepada kebolehan
hubungan seksual seperti dikemukakan Al -Qalyubi :
وشر#ا عقد یتضمن إ01ة وطء بلفظ إ9كاح <ٔو >زويج )1اشCیة قلیوبي )3/ 207(
Akad atau perjanjian yang mengandung maksud
membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz
inkah atau tazwij. (al-Qalyubi, 1998 : III : 207)
Dalam Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Sedangkan perkawinan menurut Kompilasi Hukum
Islam yaitu akad yang sangat kuat miitsaqan
3
ghalizhan untuk mematuhi perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
B. Pernikahan Sah
Perkawinan sah di negara Indonesia apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Sehingga bagi umat Islam maka
pernikahan itu harus dilangsungkan menurut tata cara
hukum Islam atau fikih munakahat.
Agar pernikahan sah menurut hukum Islam maka
harus dipenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya.
Memang, di kalangan ulama fikih, dalam menentukan syarat
dan rukun nikah ada sedikit perbedaan antara mazhab yang
satu dengan mazhab yang lain.
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah
diterangkan rukun nikah itu :
Rukun-rukun nikah:
Para ulama berbeda pendapat mengenai rukun-rukun
nikah. Menurut mazhab Hanafi hanya satu yakni ijab dan
qabul saja. Menurut mazhab Maliki ada tiga yakni wali,
suami istri dan ijab qabul. Menurut mazhab Syafi’i ada lima
yakni ijab qabul, calon suami istri, dua saksi laki-laki, dan
wali. Menurut mazhab Hanbali ada tiga yakni wali, calon
suami istri dan ijab-qabul.(al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-
Dalam mazhab Syafi’i, mazhab yang paling banyak
dianut di Indonesia, rukun nikah paling banyak dibanding
mazhab lain yakni ada lima. Dikutip dari Hasyiyah Qalyubi
rukun nikah tersebut ialah:
فصل في <ٔركان النكاح وما معها وهي خمسة صیغة وزوج وزوaة وشاهدان وولي
1اشCیة قلیوبي )3/ 217(
4 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
“Pasal tentang rukun-rukun nikah dan lainnya. Rukun-
rukun nikah ada lima, yakni mempelai pria, mempelai wanita,
wali, dua saksi, dan shighat. (Al-Qalyubi, 1998 : III : 217)
Sedang untuk syarat-syarat nikah yang harus dipenuhi.
Syarat Calon Pengantin Laki-laki
1. Beragama Islam.
2. Jelas laki-laki, bukan banci.
3. Calon pengantin laki-laki bukan mahram dari calon
pengantin Wanita.
4. Calon pengantin laki-laki mengetahui wali nikah yang
sebenarnya dari pihak Wanita.
5. Calon pengantin tidak boleh dalam keadaan ihram atau
haji.
6. Calon pengantin laki-laki menikah karena kemauan
sendiri, bukan paksaan.
7. Calon pengantin laki-laki tidak sedang memiliki 4 orang
istri saat menikah.
8. Calon pengantin laki-laki sudah mengetahui
perempuan yang akan dijadikan pasangan (istri). (Abd.
Rahman Ghazali, 2006:50)
Syarat Menikah untuk Calon Pengantin Perempuan
1. Beragama Islam.
2. Jelas perempuan yang tertentu, bukan banci.
3. Calon pengantin perempuan bukan mahram dari calon
pengantin laki-laki.
4. Calon pengantin perempuan telah akil baligh.
5. Calon pengantin perempuan bukan dalam keadaan
ihram atau haji
5
6. Calon pengantin perempuan tidak sedang dalam masa
iddah (masa tertentu setelah perceraian atau ditinggal
suami karena meninggal)
7. Calon pengantin perempuan bukan istri dari seseorang,
atau sudah dalam ikatan pernikahan.
Syarat Wali Nikah
Wali nikah yaitu rukun nikah yang harus dipenuhi,
dan harus sesuai dengan syarat-syarat berikut ini.
1. Wali Nikah harus beragama Islam.
2. Wali Nikah haruslah laki-laki, tidak boleh perempuan.
3. Wali Nikah berakal dan dewasa (akil baligh)
4. Menjadi wali nikah atas kesadaran dan kemauan
sendiri, bukan paksaan atau penipuan.
5. Wali Nikah tidak dalam kondisi ihram atau berhaji
6. Wali Nikah sehat jasmani dan rohani. (Amir
Syarat Adanya 2 Orang Saksi dalam Pernikahan
Keberadaan saksi termasuk rukun nikah yang wajib
dipenuhi. Untuk itu, saksi harus dipastikan memenuhi
syarat sebagai berikut :
1. Saksi pernikahan minimal ada 2 orang laki-laki muslim
yang adil.
2. Saksi pernikahan sehat jasmani dan rohani.
3. Saksi pernikahan sudah akil baligh.
4. Saksi pernikahan dapat memahami kalimat ijab qabul.
5. Saksi pernikahan dapat mendengar, melihat, dan
berbicara dengan baik.
6 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
Syarat-syarat Ijab
1. Semua pihak telah ada dan siap dalam acara untuk ijab
dan qabul.
2. Menggunakan kata-kata yang berarti nikah
(zawaj/nikah).
3. Isi ijab (pernyataan) harus jelas dan terang.
4. Isi ijab dinyatakan oleh wali nikah perempuan atau
wakilnya
5. Pernyataan ijab tidak boleh dikaitkan dengan batas
waktu pernikahan, karena pernikahan sah tidak boleh
ada batasan waktu seperti nikah Mut’ah atau nikah
kontrak.
6. Yang menyatakan ijab tidak menarik lagi ucapannya
sebelum pihak pria menerimanya.
Syarat Qabul
1. Bacaan atau ucapan qabul haruslah sama atau sesuai
sebagaimana yang disebutkan dalam ijab
2. Pernyataan qabul dilafazkan oleh calon suami-
pengantin laki-laki atau yang mewakilinya.
3. Pernyataan qabul tidak boleh dikaitkan dengan batas
waktu pernikahan, karena pernikahan sah tidak boleh
ada batasan waktu seperti nikah Mut’ah atau nikah
kontrak.
4. Dalam qabul menyebutkan nama calon istri secara jelas.
5. Pernyataan qabul tidak ditambahkan dengan
pernyataan lain.
7
Syarat Pemberian Mahar dalam Pernikahan
Mahar dalam mazhab Maliki memiliki kedudukan
sangat penting atau dianggap rukun. Sedang di mazhab lain
hanya dianggap sebagai sebuah kewajiban atas calon suami,
namun bukan syarat atau rukun nikah.
Mengenai mahar dalam pernikahan dijelaskan dalam
QS : Annisa : 4.
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya”(Amir Syarifuddin, 2014: 86)
Mahar wajib diberikan calon suami terhadap calon
istri. Mahar dapat berupa materi yang bernilai ataupun jasa.
Dalam hal pemberian mahar, dianjurkan untuk dibuat
mudah dan murah alias tidak memberatkan atau terlalu
mahal.
C. Nikah Fasid
Nikah fasid yaitu nikah yang memenuhi rukun-
rukunnya dengan syarat-syaratnya, namun ada yang kurang
satu atau lebih syarat-syarat sahnya seperti nikah yang tidak
dihadiri saksi bagi kalangan yang mewajibkannya. Nikah fasid
juga tidak sah dan tidak memiliki konsekuensi pernikahan
seperti nikah sah.
Syaikh al-Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ punya
penjelasan sedikit berbeda. Nikah Fasid yaitu nikah yang
masih diperselisihkan para ulama mengenai
rusaknya/batalnya seperti nikah tanpa wali, nikah tanpa
saksi, atau menikahi wanita yang disusui ibunya hanya sekali,
dua kali, tiga kali atau empat kali. Sedang nikah batil yaitu
8 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
nikah yang disepakati para ulama akan rusaknya/batalnya
seperti menikahi saudari kandung atau menikahi wanita yang
terbukti masih satu susuan (lima kali ke atas) maka nikahnya
disepakati batal.
D. Nikah Batil
Wahbah az-Zuhaili menjelaskan dalam kitabnya al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, menurut jumhur nikah batil menurut
jumhur yaitu nikah yang tidak terpenuhi rukun atau syarat
sahnya. Sedang mazhab Hanafi mendefinisikan nikah batil
sebagai nikah yang tidak terpenuhi salah satu rukun nikahnya
atau satu syarat dari syarat-syarat inqi’ad. Mazhab Hanafi juga
mendefinisikan nikah fasid dengan nikah yang terpenuhi
rukun dan syarat inqi’ad dan terdapat syarat yang
diperselisihkan keabsahan nikahnya. Dalam hal ini jumhur
tidak membedakan nikah fasid dan batil.
Nikah dihukumi batal jika tidak terpenuhi rukun-
rukunnya, juga tidak memenuhi satu atau lebih syarat
terjadinya nikah, seperti pernikahan oleh orang yang tidak
memiliki kecakapan hukum jika ia langsung melakukannya
sendiri, atau seorang pria non muslim menikahi wanita
Muslimah, atau menikahi saudara kandung perempuan
sendiri.
Hukum pernikahan batil yaitu tidak memiliki dampak
apa pun, keberadaannya seolah tidak pernah ada, suami tidak
halal mencampurinya, tidak wajib memberi mahar, tidak
wajib memberi nafkah, tidak ada talak, tidak ada iddah, tidak
ada nasab, dan apa saja sebagai konsekuensi nikah yang sah.
9
E. Nikah Mauquf
yaitu nikah yang memenuhi rukun-rukunnya dan
memenuhi syarat-syarat in’iqad, juga syarat-syarat sah, tetapi
tidak memenuhi satu atau lebih syarat nufudz seperti
pernikahan anak kecil tanpa izin walinya. Konsekuensi nikah
ini nikahnya dianggap sah namun keberlangsungannya
tergantung izin wali.
F. Nikah Nafidz Ghairu Lazim
Yakni setiap nikah yang memenuhi syarat in’iqad dan
syarat sah, syarat nafadz, namun ada hak i’tiradh (keberatan)
pada selain pihak yang berakad dan tiada keharusan
menetapinya seperti pernikahan wanita yang telah baligh,
berakal, tanpa wali maka dalam hal ini wali mempunya hak
keberatan jika misalnya si suami tidak sekufu. Hukum nikah
ini sah dan berlaku seperti hukum pernikahan sah.
G. Nikah Lazim
yaitu nikah yang telah memenuhi syarat-syarat
pernikahan nafadz. Konsekuensinya sama dengan nikah nafidz
ghairu lazim. Hanya bedanya tidak ada hak i’tiradh dan
meminta fasakh pernikahannya.
H. Nikah Kontroversial
Yang penulis maksud dengan nikah kontroversial
dalam tulisan ini yaitu pernikahan yang status hukumnya
masih diperselisihkan antara kebolehan dan keabsahannya di
kalangan ulama. Selain itu nikah kontroversial juga
menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat
kaum muslimin. Juga nikah kontroversial biasanya
memberikan dampak yang cenderung merugikan bagi
10 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
masyarakat luas utamanya kaum wanita dan anak-anak
sehingga sebagian besar ulama cenderung melarangnya,
sekurang-kurangnya tidak merekomendasikannya.
Bentuk-bentuk nikah kontroversial cukup banyak, ada
yang sudah lama dikenal dan ada yang merupakan fenomena
kontemporer. Nikah kontroversial dengan wajah lama
misalnya nikah Mut’ah, nikah beda agama, nikah Urfi (sirri di
Indonesia), nikah syighar, nikah dengan niat talak, pernikahan
anak-anak dan lain-lain. Sedang nikah kontroversial dengan
wajah baru misalnya nikah Misyar, nikah Siyahi, nikah
Ashdiqa’``, nikah via internet dan lain-lain.
Dengan demikian, nikah kontroversial memiliki salah
satu atau tiga indikator dalam tulisan ini yakni :
Pertama, keabsahannya masih debateable, kedua,
kehadirannya menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat,
ketiga, cenderung lebih banyak merugikan anak dan
perempuan (istri).
NIKAH SIRRI
A.
Salah satu jenis pernikahan yang kontroversial yaitu
nikah sirri. Namun supaya tidak terjadi salah paham, perlu
diingat, dalam bab ini pembahasan nikah sirri dibatasi dalam
wacana fikih, bukan dalam pengertian masyarakat Indonesia
pada umumnya. Karena nikah sirri dalam pengertian
masyarakat di Indonesia berbeda jauh dengan pengertian
nikah sirri dalam fikih. Hal ini perlu dijelaskan di awal dulu
biar tidak terjadi salah paham yang bisa berakibat fatal.
Nikah sirri dalam pengertian luas masyarakat Indonesia
biasanya dimaknai sebagai pernikahan yang memenuhi
ketentuan syarat dan rukun nikah namun tidak dicatatkan di
KUA. Padanan istilah untuk nikah jenis ini di masyarakat
Timur Tengah yaitu nikah Urfi. Nikah Urfi dalam tulisan ini
akan dibahas di bab selanjutnya.
B. Pengertian Nikah Sirri Menurut Fikih
Kata sirri sendiri berasal dari bahasa Arab
yaitu sirri atau sirr yang berarti rahasia atau disembunyikan.
Sementara pengertian nikah sirri dalam fikih, memiliki
perbedaan yang cukup tajam seperti terangkum di bawah ini.
14 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
Istilah nikah sirri sendiri sudah dikenal jauh di masa lalu
sejak masa Khalifah Umar bin Khaththab memerintah. Dalam
al-Muwatha', Imam Malik dari Abu Zubair al-Makki
mengisahkan pada masa khalifah Umar bin Khattab berkuasa,
telah terjadi pernikahan antara seorang laki-laki dengan saksi
satu orang laki-laki dan satu orang perempuan. Mendengar
kejadian ini, maka Khalifah Umar berkata, "Ini nikah sirri dan
aku tidak memperbolehkannya, dan sekiranya aku datang
pasti aku rajam."
Dalam kitab al-Istidzkar karya Ibnu Abdil Barr
dijelaskan, nikah sirri menurut Imam Malik dan sahabat-
sahabatnya yaitu nikah yang disembunyikan oleh saksi dari
seorang pria dan dua orang wanita tanpa ada pengumuman
ke khalayak luas.
Bagaimana penjelasan nikah sirri menurut mazhab
empat? Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah dijelaskan
sebagai berikut :
Menurut ulama Hanafiyah, nikah sirri yaitu nikah
yang tidak disaksikan dua orang saksi. Jika telah disaksikan
dua saksi atau lebih maka sudah dihukumi nikah terang-
terangan bukan nikah sirri lagi.
Menurut yang masyhur dalam mazhab Maliki
sebagaimana dikatakan ad-Dardir, nikah sirri yaitu nikah
yang para saksi diminta menyembunyikan kesaksian oleh
suami. Dengan kata lain pernikahan itu
diwanti-wanti agar jangan sampai kedengaran di luar mereka
yang hadir saat akad seperti suami, istri, wali dan dua saksi.
Jadi pernikahan ini hanya diketahui oleh mereka berlima saja
tanpa ada pengumuman tambahan.
Nikah sirri dalam pengertian mazhab Maliki ini
dihukumi sebagai pernikahan yang harus difasakh atau
15
dibatalkan menurut Imam Malik. Sedang menurut Imam Abu
Hanifah dan asy-Syafi’i pernikahan ini bukan nikah sirri,
dihukumi sah dan tidak perlu difasakh.
Menurut penuturan Ibnu Wahhab dari Imam Malik,
tentang status seorang pria yang menikahi wanita dengan
disaksikan dua saksi dan keduanya meminta supaya
disembunyikan pernikahan ini, maka Imam Malik berfatwa
supaya keduanya diceraikan dengan satu talak dan tidak sah
nikahnya, jika terlanjur si wanita disetubuhi maka ia berhak
mendapat mahar, dan dua saksi itu tidak dihukum.
Menurut mazhab Hanbali, jika sebuah pernikahan
sudah dihadiri dua saksi maka sudah bukan nikah sirri lagi.
Adapun mengumumkan nikah ke publik hanya sunah saja
bukan sebuah keharusan. Jadi nikah tanpa diumumkan tetap
sah hanya kurang disukai kalau tidak diumumkan ke
khalayak luas. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 41:
301).
C. Pengertian Menurut Masyarakat Indonesia
Nikah sirri yaitu bentuk pernikahan yang dilakukan di
bawah tangan berdasarkan ajaran agama atau adat istiadat
dan tanpa pengakuan resmi dari hukum negara karena
memang tidak tercatat di lembaga miliki negara. Padanan
istilah nikah sirri dalam pengertian ini di masyarakat Timur
Tengah yaitu nikah Urfi.
D. Bentuk Nikah Sirri di Masa Lalu
Bentuk pertama, laki-laki dan perempuan berakad
langsung tanpa wali dan saksi kemudian berpesan agar tetap
dirahasiakan, atau memakai saksi yang kurang seperti hanya
dihadiri satu pria dan satu wanita.
16 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
Bentuk kedua, pernikahan itu dihadiri wali dan dua
saksi namun mereka sepakat untuk merahasiakan pernikahan
itu alias tidak diumumkan ke khalayak ramai.
Bentuk ketiga, pernikahan yang memenuhi syarat dan
rukun termasuk ijab qabul, dua mempelai, dua saksi dan wali,
namun suami istri dan wali sepakat menyembunyikannya,
atau suami berpesan kepada saksi agar merahasiakan
pernikahan ini.
E. Hukum Nikah Sirri Menurut Fikih
Perlu dimaklumi bersama, bahwa sebagian besar ulama
sepakat bahwa mengumumkan pernikahan yaitu sangat
dianjurkan dalam Islam. Bentuk pengumuman itu selain
melalui dua saksi juga dengan mengundang tetangga kanan
kiri ke resepsi pernikahan atau walimatul ‘ursy. Pengumuman
ini akan lebih baik lagi dengan memukul rebana sehingga
semakin banyak yang mengetahui dan mendatangi
pernikahan tersebut. Akibatnya, masyarakat luas menjadi
tahu bahwa pasangan tersebut sudah sah menjadi suami istri
dengan pernikahan yang terbuka.
Nikah sirri dalam pengertian nikah yang memenuhi
syarat rukun termasuk wali dan dua saksi nikah hanya saja
disembunyikan dari khalayak menurut kebanyakan ulama
dihukumi sah hanya saja makruh dilakukan. Karena sunahnya
menurut jumhur, pernikahan itu diumumkan ke khalayak
luas. Pendapat ini dikemukakan berasal dari Umar, Urwah,
Abdullah bin Ubaidillah bin Utbah, asy-Syakbi, serta Nafi’
Maula Ibnu Umar. Dari kalangan Imam mazhab yang setuju
dengan pendapat ini yaitu Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i,
Ibnu al-Mundzir dan Imam Ahmad.
Ibnu Qudamah sebagai salah seorang pembesar mazhab
Hanbali menulis dalam kitabnya yang terkenal al-Mughni:
17
Fasal : Jika akad nikah dihadiri wali dan dua saksi lalu
dirahasiakan, atau saling berpesan agar disembunyikan,
maka yang demikian itu makruh hukumnya, namun
nikahnya sah.
Namun Imam Malik punya pendapat berbeda.
Menurutnya nikah sirri model di atas tadi hukumnya batil.
Pendapat ini didukung oleh Abu Bakar Abdul Aziz dari
mazhab Hanbali, dan ia menyebut Imam Ahmad juga
berpendapat seperti itu namun penisbatan ini dianggap keliru
oleh Ibnu Qudamah.
Al-Kasani menjelaskan dalam kitabnya, Bada’i’ ash-
Shanai’ fi Tartib asy-Syara’i`, bahwa pada umumnya ulama
menganggap kehadiran saksi sebagai syarat sahnya nikah.
Namun Imam Malik berpendapat, kehadiran saksi saat nikah
bukan syarat sah nikah, yang disyaratkan justru i’lan atau
mengumumkan. Jika ada akad nikah yang disyaratkan harus
mengumumkan namun tidak dihadiri saksi maka nikah itu
sah. Namun jika dihadiri saksi dan disyaratkan untuk
disembunyikan dari khalayak maka hal ini tidak boleh.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa menyatakan, hal
yang tidak diragukan lagi bahwa nikah dengan pengumuman
yaitu sah walau tanpa disaksikan dua orang saksi. Adapun
jika disembunyikan dari khalayak maka dalam hal ini perlu
diteliti. Jika dihadiri saksi dan juga diumumkan maka jelas ini
disepakati sahnya. Jika tidak ada saksi dan pengumuman
maka ini yaitu batal menurut umumnya ahli ilmu, jika
diperkirakan ada yang membantah maka jumlahnya sangat
kecil.
Ibnu Hazm punya pendapat tersendiri, menurutnya,
pernikahan belum bisa disebut sah kecuali jika terpenuhi salah
18 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
satu dari dua ini, yakni disaksikan dua saksi yang adil atau
diumumkan ke khalayak umum.
Jadi dalam pengertian fikih, nikah sirri itu nikah yang
tidak dihadiri saksi, atau nikah yang saksinya kurang dari dua,
ini definisi jumhur ulama. Sedang mazhab Maliki cenderung
memaknai nikah sirri sebagai nikah yang disembunyikan dari
khalayak tanpa ada pengumuman ke khalayak luas walaupun
mungkin dihadiri dua saksi namun setelah itu sepakat untuk
disembunyikan.
Nikah sirri dalam arti tidak dihadiri dua saksi menurut
jumhur ulama hukumnya tidak sah. Sedang Imam Malik
berpendapat sah saja asal diumumkan ke khalayak sebelum
dukhul antara suami istri itu.
Jadi supaya tidak disebut nikah sirri maka pernikahan
itu harus dihadiri dua saksi laki-laki menurut jumhur, dan
harus diumumkan menurut Imam malik. Jika sebuah
pernikahan dihadiri dua saksi dan diumumkan ke publik
tentunya semua ulama sepakat bukan nikah sirri, namun nikah
‘alaniyyah yakni nikah terbuka dan terang-terangan. Dalam
konteks zaman sekarang, tentunya juga harus dicatatkan di
KUA sehingga ‘sempurna’ dan meyakinkan pernikahan yang
dijalankan.
F. Nikah Bukan untuk Dirahasiakan
Agar pernikahan tidak menjadi rahasia, maka
pernikahan perlu dihadiri saksi, tepatnya dua orang saksi laki-
laki yang adil, atau satu saki laki-laki dan dua saksi
perempuan menurut mazhab Hanafi. Selain itu Nabi SAW
juga menyuruh untuk mengadakan walimah, sementara yang
diundang Nabi SAW mengajarkan untuk mendatanginya.
Sehingga pengumuman nikah melalui saksi dan walimahan
jelas tidak lagi diragukan keabsahannya.
19
Mengumumkan nikah yaitu sunah hukumnya,
termasuk memukul rebana. Imam Ahmad berkata, “ Sunah
hukumnya menampakkan nikah, memukul rebana hingga
peristiwa nikah itu meluas dan diketahui khalayak ramai.
Hadis di bawah ini menegaskan perintah Nabi SAW
agar mengumumkan pernikahan disertai bunyi-bunyian
seperti rebana untuk menarik perhatian publik.
عَنْ #اَgشَِةَ ، عَنِ النkبيِِّ صَلىk الله #لَیْهِ وسَلمkَ قاَلَ : <u#ْلِنُوا النّ ِكاَحَ ، وَاضرِْبوُا #لَیَْهِ
0ِلغِْرْ0َلِ. سنن ا{ن ماaة ـ محقق ومشكول )3/ 90(
Dari Aisyah, dari Nabi SAW beliau bersabda:
“Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana (HR. Ibnu
Majah)
Menjelaskan hadis di atas, asy-Syanqithi menyatakan,
hadis ini menjelaskan disyariatkannya mengumumkan
pernikahan. Maksud memukul rebana untuk
menyebarluaskan nikah serta membedakan antara nikah dan
zina. Zina biasa dilakukan secara sembunyi-sembunyi sedang
nikah dengan terang-terangan. Karena itu, banyak ulama
berfatwa, seandainya seorang pria menikahi wanita kemudian
berkata kepada walinya, ‘Jangan engkau kabarkan nikah ini
pada seorang pun’, ia juga berpesan kepada saksi agar jangan
menceritakan kepada siapa pun maka hal ini dianggap sebagai
nikah sirri.
Sementara itu Imam an-Nawawi menjelaskan hadis
tersebut dengan menyatakan, bahwa i’lan dan ‘alaniyyah
yaitu lawan kata dari israr (merahasiakan). I’lan berarti
menampakkan sesuatu dan meninggalkan
menyembunyikannya untuk membedakan dengan zina yang
menurut kebiasaannya dilakukan dengan diam-diam dan
sembunyi-sembunyi.
20 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
Di lain hadis Nabi SAW bersabda :
إن فصل ما بين الحلال والحرام الصوت یعني الضرب 0ف
Sesungguhnya pembeda antara yang halal dan haram yaitu
bunyi-bunyian, yakni memukul rebana” (HR Ahmad)
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah disebutkan
perbedaan i’lan dengan idzhar. Idzhar (menampakkan) itu
semata menampakkan setelah tersembunyi. Perbedaan idzhar
dengan i’lan bahwasanya i’lan lebih sangat dalam
menampakkan, makanya yang dipakai sebagai istilah yaitu
i’lan an-nikah dan tidak digunakan idzhar an-nikah, karena
idzhar nikah cukup dengan saksi.
Dari paparan di atas dapat ditegaskan, bahwa
mengumumkan nikah yaitu perbuatan yang dituntut dan
disepakati para ulama akan kesunahannya, bahkan sebagian
kecil mewajibkannya. Namun dalam hal menghadirkan dua
orang saksi, jumhur ulama mengharuskannya dan sebagian
lagi tidak mengharuskannya.
Namun perlu diingat, pernikahan yang tidak dihadiri
dua saksi dan tidak diumumkan maka sepakat ulama akan
batalnya pernikahan ini. Jadi sudah seharusnya ketika kita menikah wajib
mendatangkan dua saksi laki-laki dan lakukan segera
walimahan atau i’lan serta dicatatkan pada KUA, dan
tinggalkan nikah sirri yang kontroversial ini.
G. Kesimpulan
Nikah sirri dalam fikih memiliki pengertian yang
berbeda jauh dengan pengertian nikah sirri dalam pengertian
masyarakat Indonesia. Nikah sirri dalam fikih yaitu
pernikahan yang disembunyikan dari khalayak luas, bisa
berbentuk nikah tanpa wali, nikah tanpa wali dan saksi, atau
21
nikah dengan wali dan dua saksi tapi sepakat dirahasiakan
dari khalayak.
Nikah dengan wali dan dua saksi tapi sepakat
dirahasiakan dari khalayak menurut jumhur bukan nikah sirri,
namun Imam Malik menganggap ini nikah sirri dan harus
difasakh pernikahannya. Supaya tidak dianggap sirri menurut
Imam Malik pernikahan itu wajib diumumkan dengan
menyelenggarakan walimah diikuti bunyi-bunyian misalnya.
Sedang nikah sirri dalam pengertian masyarakat
Indonesia sama dengan istilah pernikahan bawah tangan,
yakni pernikahan yang hanya mengikuti ketentuan fikih
munakahat namun tidak dicatatkan di KUA.
Supaya pernikahan tidak termasuk sirri, maka sekarang
ini nikah wajib memakai wali, dua saksi, diumumkan dan
dicatatkan di lembaga resmi. Jika ini dilakukan, maka jelas kita
sudah terbebas dari nikah sirri dilihat dari mana pun.
NIKAH URFI
(NIKAH BAWAH TANGAN)
A.
Nikah Urfi yaitu istilah yang banyak dipakai di
masyarakat Muslim Timur Tengah untuk menyebut sebuah
pernikahan yang dilaksanakan menurut tata cara hukum
Islam atau fikih namun tidak dicatatkan di kantor catatan
resmi yang ditunjuk. Nikah Urfi ini sering disebut sebagai
nikah sirri di Indonesia. Jadi dalam bab ini nikah Urfi dimaknai
sama dengan nikah sirri (nikah bawah tangan) dalam
pengertian masyarakat Indonesia pada umumnya.
Nikah Urfi sendiri masih kontroversial hukumnya di
kalangan ulama Islam, mengingat keharusan mencatatkan
pernikahan yaitu tradisi ‘asing’ yang dikenalkan di kalangan
umat Islam belakangan ini. Mengingat sejak berabad-abad
sebelumnya, umat Islam belum pernah diwajibkan oleh
pemerintah muslim untuk mencatatkan pernikahannya.
Aturan pencatatan nikah baru muncul abad XX. Sejak dahulu
umat Islam menikah cukup di hadapan dua saksi pria dan wali
serta diumumkan ke khalayak dengan mengadakan pesta
pernikahan. Tidak ditemukan mereka mencatatkan
25
pernikahan di lembaga tertentu. Hingga akhirnya keluar
aturan yang mewajibkan pencatatan nikah.
B. Pengertian Nikah Urfi
Nikah Urfi oleh Syaikh Jad al-Haq didefinisikan sebagai
nikah yang memenuhi syarat dan rukun pernikahan, sama saja
apakah ditulis atau tidak, hanya saja tidak didaftarkan atau
dicatatkan pada lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah.
(Samiyyah Abdurrahman Bahr, 2006: 37)
Dalam perkembangannya, nikah sirri didefinisikan
sebagai nikah yang tidak dicatatkan pada lembaga resmi yang
ditunjuk baik memenuhi syarat rukun nikah maupun tidak.
Dengan demikian, nikah Urfi penekanannya pada pernikahan
yang tidak dicatatkan pada lembaga resmi yang ada.
(Samiyyah Abdurrahman Bahr, 2006: 38)
Faris Muhammad ‘Imran menjelaskan definisi nikah
Urfi dengan pernikahan yang tidak dicatatkan yang dilakukan
dengan ijab qabul dari kedua mempelai melalui kertas Urfiyah
(Faris Muhammad Imran, 2001: 20).
Sebab dinamakan dengan nikah Urfi karena
berdasarkan kebiasaan kaum muslimin yang sudah berjalan
ratusan tahun sejak zaman Nabi hingga diwajibkannya
pencatatan nikah, kaum muslimin tidak terbiasa mencatatkan
nikah ke lembaga resmi. Mereka mencukupkan diri pada dua
saksi dan mengumumkan ke khalayak dengan walimahan
misalnya tanpa pencatatan. Maka urf atau tradisi ini dianggap
sebagai urf syarak yang sudah jalan dan diterima.(al-Asyqar,
2000:130)
C. Bentuk Nikah Urfi
Menurut Faris Muhammad Imran, ada dua bentuk
nikah Urfi yakni :
26 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
1. Yang sering terjadi di Mesir, nikah Urfi terjadi dengan
adanya ijab qabul antara calon suami dan istri melalui
kertas khusus yang disediakan yang berisi dan
ditandatangani suami istri dengan dihadiri dua saksi yang
diupah atau teman-teman dekat mereka berdua dengan
ditandatangani saksi tanpa ada pengumuman dan
pemberitahuan ke khalayak luas, atau hanya terbatas
diketahui keluarga teman-teman saja. Bentuk nikah ini ada
yang serupa dengan nikah sirri yakni ada yang saksi-saksi
diminta menyembunyikannya dari khalayak ramai.
2. Akad nikah ada ijab qabul melalui kertas khusus tapi tidak
dihadiri dua saksi, juga tidak diumumkan ke tengah-
tengah manusia, ini yaitu bentuk nikah sirri yang
lengkap karena yang tahu hanya pasangan suami istri
tersebut. (Faris Muhammad Imran, 2001: 20).
D. Kontroversi Hukumnya
Istilah nikah Urfi tidak berasal dari syariat atau UU, ia
hanya istilah yang muncul dari masyarakat umum di Timur
Tengah. Keberadaan nikah Urfi atau sirri di Indonesia,
dihukumi beragam oleh para ulama klasik maupun
kontemporer. Ada yang membolehkan dan mengesahkan,
sementara di sisi lain banyak pula yang menolaknya.
1. Pendapat yang Membolehkan
Di antara ulama-ulama klasik dan kontemporer
yang membolehkan nikah Urfi (nikah yang memenuhi syarat
rukun minus pencatatan resmi) yaitu sebagai berikut:
a. Mayoritas ulama klasik terdiri dari kalangan
Hanafiyah, Syafi‘iyah, dan Hanabilah berpendapat
bahwa nikah Urfi hukumnya sah dan boleh dengan
terpenuhinya syarat dan rukun nikah.
b. Pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
27
فإذا كان النكاح العرفي قد تم بإيجاب من الولي وقول من الزوج، وشهد 9لیه
شاهدان، وجرى الإ9لان عنه، فهذا زواج شرعي صحیح، وإن لم سل في
اzوار الرسمیة،
“Apabila nikah Urfi telah sempurna ijab dan qabulnya,
disaksikan oleh dua orang saksi dan telah
diumumkan, maka ini yaitu pernikahan yang Syari
dan sah. Walaupun tidak dicatat di kantor resmi
(KUA).”
c. Nair bin Sulaiman al-‘Umar, berpendapat bahwa
nikah Urfi apabila terpenuhi syarat dan rukun
pernikahan, maka pernikahan ini sah secara hukum
Islam, meskipun tidak tercatat secara resmi.
d. Syaikh Jad al-Haq: Nikah Urfi dalam hukum Islam
merupakan akad qauli (diucapkan dengan ijab dan
qabul dari kedua mempelai dalam satu majlis), dan
kehadiran dua orang saksi, maka akad ini sah dan
berlakulah di dalamnya apa yang menjadi hak dan
kewajiban dalam sebuah pernikahan.
e. Syaikh Hasanain Makhluf, mengatakan bahwa
pernikahan ini sah dan boleh, tidak ada kaitan dengan
pencatatan dan dokumentasi, akan tetapi lebih utama
dicatatkan jika itu keperluan untuk masa sekarang. (al-
Asyqar, 2000:131)
f. Yusuf Qardhawi: Nikah Urfi yaitu pernikahan Islam
yang sah, hanya saja tidak tercatat, pernikahan ini akan
berbuah tanggung jawab terhadap pemenuhan hak
dan kewajiban kepada kedua belah pihak. (Ulya
Hikmah Sitorus Pane & Muhammad Rozali, 2016 : 63)
g. Abdullah Fakih berfatwa, nikah Urfi asal sudah
memenuhi syarat dan rukun nikah maka hukumnya
28 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
sah secara syarak walau tidak dicatatkan lembaga
resmi.(Fatawi asy-Syibkah al-Islamiyyah, IV : 5060)
h. MUI sendiri memiliki pandangan bahwa pernikahan
Urfi atau sirri yaitu sah secara agama asal memenuhi
syarat dan rukunnya.
(https://www.tribunnews.com/metropolitan/2014/
12/10/mui-nikah-siri-sah-secara-agama-tapi-tak-
punya-kekuatan-hukum, akses 12 November 2021)
i. Fatwa dari Al-Lajnah Ad-Da`imah menjelaskan bahwa
nikah ini sah akan tetapi mencatatnya di KUA
hukumnya wajib.
إذا تم القول والإيجاب مع بقة شروط النكاح وانتفاء موانعه صح، وإذا كان
تقیده قانو یتوقف #لیه ما لطرفين من المصالح الشرعیة الحاضرة والمسCتق
لنكاح وجب ذ¡ )ف¢اوى الجنة اائمة - ا§مو#ة ا¨ٔولى )18/ 87(
“Apabila telah sempurna akad ijab qabul dan semua
syarat nikah telah terpenuhi serta tidak ada
penghalang yang membatalkan akad tersebut, maka
pernikahan semacam ini hukumnya yaitu sah.
Apabila terdapat peraturan/undang-undang bahwa
pencatatan akad nikah membawa masalahat bagi
kedua mempelai baik untuk masa sekarang maupun
masa depan, maka pencatatan akad ini (pencatatan di
KUA) wajib dipatuhi.”
2. Pendapat yang Melarang Nikah Urfi
Adapun ulama-ulama klasik dan kontemporer yang
melarang nikah Urfi dapat disebutkan beberapa nama di
antaranya sebagai berikut:
a. Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa nikah Urfi
hukumnya yaitu haram dan tidak sah jika tidak
29
diiklankan (diumumkan dan disebarluaskan), karena
menurut beliau iklan merupakan syarat sah nikah.
b. Sayyid Ali Tanthawi, nikah Urfi yaitu pernikahan
yang ditolak dalam syariat Islam, karena pernikahan
ini menyia-nyiakan hak istri dan anak-anak.
Pernikahan yang sah yaitu pernikahan yang ada wali
dari mempelai wanita, saksi yang adil, sedangkan
nikah Urfi tidaklah demikian. Memang Ali Thanthawi
mengatakan nikah Urfi asal memenuhi syarat rukun
tetap sah menurut syarak namun pelakunya supaya
dijatuhi hukuman oleh hakim karena ia melanggar hal
yang diwajibkan Allah berupa menaati ulil amri. (al-
Asyqar, 2000:136)
c. Sayid Mubarak mengatakan, nikah Urfi melanggar
pilar dasar keabsahan pernikahan. Pernikahan model
ini hanya membawa kemudaratan bagi masyarakat
jika dalam pernikahan tersebut tidak cukup syarat dan
rukunnya. Di masa kini pencatatan pernikahan sangat
penting dilakukan. (Ulya Hikmah Sitorus Pane &
Muhammad Rozali, 2016 : 63)
E. Wajibkah Nikah dicatatkan?
Perintah mencatatkan nikah berasal dari pemerintah
yang sah, maka walau hukum asalnya mubah atau sunah bisa
menjadi wajib. Mengingat pencatatan nikah memiliki
sejumlah manfaat dan sebaliknya jika tidak dicatatkan
mengundang sejumlah masalah.
Ketaatan kepada ulil amri untuk hal-hal yang bukan
maksiat maka hukumnya wajib didengar dan ditaati. Allah
SWT berfirman,
يه¬اَ اkِ®نَ <مَٓ°وُاْ <uطِیعُواْ ا²َّ وَ<uطِیعُواْ الرkسُولَ وَ<³وْليِ اüمْرِ مِ°كمُْ
30 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara
kamu” (QS. An-Nisa’: 59).
Dalam sebuah hadis diceritakan, bahwa “Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam pernah memanggil kami, kemudian
membaiat kami. Ketika membaiat kami beliau mengucapkan
poin-poin baiat yaitu: taat dan patuh kepada pemimpin, baik
dalam perkara yang kami sukai ataupun perkara yang tidak
kami sukai, baik dalam keadaan sulit maupun keadaan
lapang, dan tidak melepaskan ketaatan dari orang yang berhak
ditaati (pemimpin). Kecuali ketika kalian melihat kekufuran
yang jelas, yang kalian punya buktinya di hadapan Allah.”
(HR. Bukhari – Muslim).
Di lain riwayat Rasulullah ` bersabda, “Tidak ada
kewajiban taat dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan
hanyalah dalam perkara yang makruf (bukan maksiat).” (HR.
Bukhari)
Rasulullah juga bersabda, “Seorang muslim wajib
mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama
tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk
bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR.
Bukhari)
Perintah mencatatkan nikah yaitu perkara makruf,
maslahat, dan membawa ketertiban dalam bermasyarakat
serta bukan maksiat. Maka dari itu aturan ini wajib ditaati dan
diindahkan oleh segenap warga negara yang baik.
F. Nikah Urfi di Mata Negara
Nikah Urfi di mata negara secara tegas dinyatakan tidak
memiliki kekuatan hukum. Sungguhpun nikah Urfi sering
dinyatakan sebagai pernikahan sah menurut agama, namun
lemah di hadapan hukum. Maka dengan sendirinya
31
pernikahan Urfi yaitu pernikahan yang cacat alias tidak
sempurna.
UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan secara jelas
mengamanatkan pada pasal 2 ayat 2: Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (Mardani, 2016 : 53)
Hal ini diperkuat lagi dengan ketentuan dalam KHI
Pasal 5 yang berbunyi :
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat
Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 Undang-
undang No. 32 Tahun 1954.(Ahmad Rofiq, 2017: 93)
Selanjutnya pada Pasal 6 KHI diatur :
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap
perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di
bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.
Jadi pernikahan yang tidak dicatatkan oleh KHI
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga
keberadaannya seperti ketiadaannya.
Lebih jauh KHI pada Pasal 7 menegaskan :
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah
yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan
Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke
Pengadilan Agama.
(3) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama
terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : (a)
32 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perceraian; (b) Hilangnya Akta Nikah; (c) Adanya
keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan; (d) Adanya perkawinan yang terjadi
sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974
dan; (e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang
tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
Undang-undang No.1 Tahun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah
suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak
yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Dengan demikian, pasangan yang tidak memiliki akta
nikah dianggap tidak atau belum bisa membuktikan
keberadaan pernikahannya. Jika ini dilakukan tentu amat
merugikan pasangan itu sendiri berikut anak-anak yang
dilahirkan dari pernikahan itu.
G. Plus Minus Nikah Urfi
Sebuah perbuatan atau tindakan secara umum akan
memiliki dua sisi sekaligus yakni positif dan negatif. Hanya
saja, jika diyakini lebih banyak sisi negatifnya tentu perbuatan
itu layak dilarang atau ditinggalkan. Adapun kelebihan atau
sisi positif dengan membolehkan nikah Urfi di antaranya:
1. Menghindari dosa yang lebih besar seperti jika hanya
kumpul kebo atau pergaulan bebas tanpa ikatan nikah
sama sekali.
2. Lebih praktis dan ekonomis, terutama bagi kelompok
duafa.
Sedang bahaya atau dampak negatif dari pernikahan
model ini lebih besar dan merugikan seperti :
1. Masih menjadi kecurigaan atau perbincangan banyak
orang di sekitarnya.
33
2. Status anak yang tidak diakui negara bahkan dianggap
sebagai anak yang lahir di luar nikah.
3. Sulit mendapatkan ketenangan dalam berumah tangga.
4. Ikatan keluarga yang tidak kuat karena tidak tercatat resmi
di KUA.
5. Kesulitan dalam pembuktian jika terjadi masalah hukum.
6. Kesulitan dalam menuntut atau mendapatkan hak-hak
hukum terkait pernikahan.
Mengingat bahaya dan kerugian nikah Urfi lebih besar,
maka wajar jika banyak ulama membenci dan tidak
merekomendasikan pernikahan Urfi.
H. Manfaat Pencatatan Nikah
Pencatatan akad nikah secara resmi memiliki beberapa
manfaat yang banyak, di antaranya:
1. Menjaga hak terutama istri dan anak dari kesia-siaan,
seperti hak nasab, nafkah, warisan dan sebagainya.
Catatan resmi ini merupakan bukti autentik yang tidak
bisa digugat untuk mendapatkan hak tersebut;
2. Menyelesaikan persengketaan antara suami istri atau para
walinya ketika mereka berselisih, karena bisa jadi salah
satu di antara mereka akan mengingkari suatu hak untuk
kepentingan pribadi dan pihak lainnya tidak memiliki
bukti karena saksi telah tiada. Maka dengan adanya
catatan ini, hal itu tidak bisa diingkari;
3. Catatan dan tulisan bertahan cukup lama, sekalipun yang
bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan
atau akta itu masih eksis;
4. Pernikahan melalui pengawasan PPN akan mencegah
terjadinya pernikahan yang tidak sah, karena petugas akan
meneliti terlebih dahulu beberapa syarat dan rukun
pernikahan serta penghalang-penghalang pernikahan;
34 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
I. Penutup
Jika di masa lalu para Fuqaha’ menilai bahwa kehadiran
wali dan dua saksi serta walimahan sudah cukup dijadikan
bukti keabsahan nikah, dan dapat menepis fitnah dari
masyarakat sekitar, maka di masa kini hal itu dirasa belum
cukup. Menikah tanpa pencatatan masih akan menimbulkan
fitnah dan kecurigaan di tengah masyarakat, sehingga
pencatatan nikah hukumnya wajib, untuk menolak bahaya
dan fitnah dari masyarakat.
Tidak berlebihan jika pencatatan nikah di masa kini
hukumnya wajib sebagaimana kewajiban kehadiran saksi
berdasarkan alasan hukum (‘illat) yang sama, yaitu menolak
fitnah. Selain itu, pencatatan pernikahan memiliki manfaat
yang cukup banyak, antara lain dokumentasi tertulis akan
bertahan lama dibandingkan dengan umur saksi yang lebih
terbatas karena meninggal misalnya. Dokumentasi
pernikahan juga lebih mudah dirujuk untuk menyelesaikan
persengketaan rumah tangga, dapat dijadikan sebagai data
sensus penduduk, memudahkan administrasi-administrasi
negara, dan manfaat-manfaat yang lain yang menguatkan
hukum wajibnya pencatatan.
Bukankah di zaman now ini apa-apa serba pakai
kartu/surat. Sulit dibayangkan orang sekarang bisa hidup
dengan nyaman tanpa dokumen/surat. Di dompet kita bisa
jadi jumlah kartu lebih tebal dari pada jumlah uang yang
dibawa. Bukankah nyaris pasti ditemukan dalam dompet
berisi minimal KTP, SIM, STNK, ATM dan lain-lain seperti
kartu mahasiswa, kartu perpustakaan, kartu alumni dan
masih banyak lagi kartu-kartu lain yang jika kita tidak
memiliki akan membuat hidup tidak tenang dan sulit
mendapatkan layanan sosial.
NIKAH HAMIL
A.
Pergaulan bebas yang dapat berujung pada kehamilan
sebelum menikah kiranya semakin memprihatinkan. Trennya
semakin naik dan seolah tak terbendung akibat kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi. Sudah bukan rahasia lagi
kalau banyak remaja mengalami kehamilan dulu sebelum
nikah salah satunya ditandai dengan banyaknya izin
dispensasi nikah ke pengadilan agama yang mayoritas
dilatarbelakangi karena sudah hamil duluan.
Padahal semangat UU Perkawinan ingin
mendewasakan pasangan nikah dengan menaikkan usia
minimal boleh menikah dari semula 19 tahun bagi laki-laki
dan 16 tahun bagi perempuan menjadi 19 tahun tanpa
membedakan jenis kelaminnya. Harapannya, mereka yang
mau menikah betul-betul sudah matang dan mapan sehingga
bisa meminimalisir risiko termasuk perceraian di kemudian
hari.
Di sisi lain pergaulan remaja semakin longgar dan tidak
mengenal batas-batas norma agama, akibatnya ‘kecelakaan’
semakin meningkat, sementara ketika mau menikahi terbentur
usia yang belum mencapai batas minimal. Memang UU
Perkawinan membuka celah mengajukan dispensasi nikah
38 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
bagi yang usianya di bawah umur, namun secara umum
pernikahan dini rawan masalah dan perceraian akibat belum
matang dan dewasa.
Masalah yang kemudian timbul dari sisi hukum Islam
yaitu , bagaimana status pernikahan di saat pasangan wanita
sudah hamil duluan. Apalagi jika yang menikahi bukan yang
menghamili, tentunya banyak pertanyaan dan keraguan yang
memerlukan jawaban tersendiri.
B. Pengertian Nikah Hamil
Nikah hamil yaitu pernikahan di mana pengantin
wanita sudah hamil duluan akibat zina atau pergaulan bebas.
Yang menikahi bisa jadi pria yang menghamili (menzinai) bisa
juga pria lain yang mau menikahi karena satu dan lain hal. Bisa
juga pernikahan yang dilakukan karena wanita itu hamil
akibat perkosaan, di mana ia (mungkin) dinikahi pria yang
memperkosanya atau dinikahi pria lain yang mau
menikahinya.
Wanita hamil sendiri ada beberapa kemungkinan.
Pertama, hamil karena mempunyai suami yang sah.
Wanita yang hamil karena memiliki suami yang sah tentu
haram dan tidak boleh dinikahi orang lain ketika statusnya
masih menjadi istri orang. Jika suaminya menceraikannya
dengan cerai hidup, maka mantan istri wajib beriddah sampai
melahirkan sebelum bisa dinikahi orang lain. Jika wanita
hamil ini ditinggal mati suaminya yang sah, maka wajib
beriddah selama 4 bulan 10 hari sebelum bisa dinikahi orang
lain. Hukum seperti ini tidak ada perbedaan di kalangan
ulama. (Amir Syarifuddin, 2014 : 312)
Kedua, hamil karena perkosaan atau karena zina.
Menikahi wanita hamil karena perkosaan atau zina ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang
39
memandang wajib beriddah dan juga bertobat untuk bisa
dinikahi pria, namun ada yang mengatakan tidak ada iddah
dan tidak harus taubat. Untuk lebih jelasnya bisa diikuti
pembahasan berikut ini.
C. Pandangan Ulama Fikih
Hukum menikahi wanita hamil karena zina
diperselisihkan di kalangan ulama yang terbagi menjadi dua
pendapat : (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, XVI :
272)
1. Membolehkan dan menganggap pernikahan itu sah.
Mengingat larangan menikahi wanita hamil terkait
menjaga nasab, sementara zina tidak memiliki
konsekuensi nasab. Berdiri dalam posisi ini yaitu
kalangan Syafi’iyyah, Imam Abu Hanifah, Muhammad
(sahabat Imam Abu Hanifah). (al-Mausu’ah al-
Kuwaitiyah, XVI : 272)
Imam Nawawi dalam al-Majmu’ menjelaskan, jika
seorang wanita berzina maka dia tidak wajib beriddah baik
ia hamil atau tidak. Jika ia tidak hamil maka boleh ia
dinikahi baik yang menzinai atau bukan, namun jika ia
dalam kondisi hamil maka dimakruhkan menikahinya
sebelum melahirkan. Pendapat ini yaitu juga menjadi
pendapat salah satu riwayat dari Imam Abu Hanifah. (an-
Nawawi, XVI : 242)
Argumentasi kelompok yang membolehkan
terangkum sebagai berikut :
a. Dalil dari Al-Quran Surat an-Nisa` ayat 24.
Jika diperhatikan ketentuan pada ayat 24 surat
an-Nisa’, – setelah menyebutkan wanita-wanita yang
tidak boleh dinikahi oleh seorang pria, yaitu ayat 22,
23, dan 24,–Allah SWT menegaskan bahwa dibolehkan
40 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
seorang laki-laki menikahi wanita-wanita lain selain
yang telah disebutkan tadi. Dalam hal ini Allah
berfirman:
… وَ<³1ِلk لكمَُْ مَا وَرَ<ءَٓ ذَلِكمُْ … )ال¶س·ءٓ:: 24(.
Artinya: “… dan dihalalkan bagimu selain yang
demikian …” (QS. An-Nisa’: 24).
Sisi pendalilan dengan potongan ayat di atas
yaitu , larangan menikahi wanita hamil karena zina
tidak dicantumkan dalam ayat-ayat sebelumnya.
Sehingga di luar yang disebut sebagai larangan maka
bisa dipahami hukumi boleh.
Memang, pada ayat-ayat yang lain disebutkan
juga wanita-wanita lain selain yang tersebut pada ayat
22, 23, dan 24 di atas yang haram dinikahi oleh
seorang laki-laki mencakup wanita-wanita seperti di
bawah ini:
1) Wanita musyrik, dasar larangannya terdapat pada
QS. al-Baqarah: 221;
2) Wanita yang masih dalam masa iddah sedang ia
masih mengalami masa haid dengan dasar Q.S. al-
Baqarah: 228;
3) Wanita yang telah ditalak tiga kali oleh suaminya
(bain kubra), ia haram dinikahi bekas suaminya,
kecuali setelah kawin dengan laki-laki lain
kemudian bercerai dan habis masa iddahnya
sebagaimana dapat dilihat pada Q.S. al-Baqarah:
230;
4) Wanita yang dalam masa iddah karena suaminya
meninggal dunia bisa dilihat dalam Q.S. al-
Baqarah: 235;
41
5) Wanita yang tidak mempunyai masa haid lagi dan
wanita dalam masa iddah karena hamil, periksa
Q.S. ath-Thalaq: 4;
6) Menikahi wanita sebagai istri yang kelima setelah
memiliki empat istri, bisa dipahami dari Q.S. an-
Nisa’: 3;
7) Wanita musyrik terlarang dinikahi berdasar Q.S.
an-Nur: 3;
8) Larangan seorang laki-laki mengumpulkan
sebagai istri seorang wanita dengan saudara
wanita bapaknya atau seorang wanita dengan
saudara wanita ibunya (Q.S. an-Nisa’: 23).
Ayat-ayat di atas merupakan tambahan
ketentuan terhadap wanita-wanita yang haram
dinikahi yang telah disebutkan pada ayat 22, 23, dan
24 surat an-Nisa’. Di mata ulama, ziyadah nash yang
qath‘iyyuts-tsubut terhadap nash yang qath‘iyyuts-
tsubut itu diperbolehkan. Pada ayat-ayat tersebut tidak
terdapat wanita hamil yang tidak mempunyai suami.
Karena itu bisa disimpulkan, boleh menikahi wanita
hamil yang tidak mempunyai suami asal lengkap
rukun-rukun dan syarat-syaratnya dan tidak perlu ada
pengulangan akad setelah melahirkan.
Argumen berikutnya, sahabat Umar bin Khattab
sebagai tokoh sahabat membolehkan pernikahan
wanita hamil di hadapan sahabat-sahabat lain dan
tidak diketahui ada yang menentangnya. Namun
klaim tidak ada yang menentangnya ini
dipertanyakan, karena jelas ada sahabat lain yang
menentangnya seperti Ibnu Mas’ud.(al-Marzuqi, t.t :
322-323)
42 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
2. Melarang dan menganggap pernikahan itu tidak sah.
Mereka menyatakan, tidak boleh menikahi wanita hamil
sebelum melahirkan baik yang menghamili maupun
bukan. Pendapat ini dikemukakan kalangan Malikiyah,
Hanabilah dan Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah.
Dalam kitab at-Tafri’ fi Fiqh al-Imam Malik bin Anas
disebutkan, jika ada wanita yang hamil karena zina maka
tidak boleh dinikahi sampai ia melahirkan, dan tidak boleh
bagi suaminya jika punya suami untuk menggaulinya
sampai melahirkan kandungannya. Tidak boleh pula bagi
tuannya (kalau wanita itu budak) menggauli budaknya
jika tidak punya suami sampai ia beristibra` satu kali haid
atau melahirkan. (Ibnu al-Jallab, 2007: II : 78)
Imam Nawawi menjelaskan dalam al-Majmu’,
Rabi’ah, Malik, dan ats-Tsauri, Ahmad dan Ishaq
radhiyallahu ‘anhum berpendapat bahwa wanita yang
berzina wajib melakukan iddah seperti wanita yang
disetubuhi secara syubhat. Jika tidak hamil iddahnya 3 kali
quru`, jika dalam keadaan hamil iddahnya sampai
melahirkan. Pernikahannya tidak sah sebelum melahirkan.
Sedang Imam Malik berkata, jika ada seorang pria
menikahi wanita dan ia tidak tahu kalau wanita itu pezina
kemudian ia tahu kalau wanita itu hamil karena zina maka
pernikahannya dibatalkan (dipisahkan), jika sudah
terlanjur digauli maka suami wajib membayar mahar
misil. Rabiah berkata, “ pernikahannya dibatalkan dan
tidak ada kewajiban mahar. Ibnu Sirin dan Abu Yusuf
berpendapat, jika wanita itu tidak hamil maka tidak ada
iddah, jika si wanita hamil maka tidak sah menikahinya
sampai wanita itu melahirkan, ini yaitu riwayat lain dari
Abu Hanifah.(an-Nawawi, t.t, XVI : 242)
43
Argumen-argumen kelompok ini terangkum
sebagai berikut :
Dalil-dalil yang dikemukakan ulama yang tidak
membolehkan menikahi wanita hamil karena zina yaitu
sebagai berikut:
Hadis pertama.
عَنْ النkبيِِّ صَلىk ا²kُ #لَیَْهِ وَسَلمkَ } لاَ يحَِل¬ لاِمْرِئٍ یؤُْمِنُ 0َِ²kِ وَالیَْوْمِ ا¨ْخِٓرِ <uنْ ¿سَْقِيَ
مَاءَهُ زَرْعَ Âيرَِْهِ { .<uخْرَaَهُ <uبوُ دَاوُد وَالترِّْمِذِي¬ وَصحَkÊَهُ ا{ْنُ حِkانَ وَالبزَْkارُ (.
“Dari Nabi SAW., “ Tidak halal bagi orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhir jika ia menyiramkan airnya
(spermanya) pada tanaman orang lain”. (Ditakhrij oleh Abu
Dawud, at-Tirmidzi dan disahihkan oleh Ibnu Hibban dan al-
Bazzar)
Hadis kedua.
عَنِ ا{ْنِ عمَُرَ عَنِ النkبيِِّ صلى الله #لیه وسلم قاَلَ: لاَ يحَُرِّمُ الحَْرَامُ الÊَْلاَلَ. <uخْرَaَهُ
ا{ن ماaة
Dari Ibnu Umar dari Nabi SAW, beliau bersabda, “
Sesuatu yang haram tidak akan mengharamkan yang halal”.
(HR Ibnu Majah ).
Menurut as-Sindi dalam Hasyiyah as-Sindi,
keharaman mushaharah tidak terjadi melalui hubungan
yang haram seperti zina. Atau bisa juga dipahami orang
yang menzinai seorang wanita, ia boleh menikahinya.
Hadis ketiga.
وَرُوِيَ عَنْ سَعِیدِ {ْنِ المُْسَÏّ ِبِ ، } <uنk رَaُلاً >زََوkجَ امْرَ<uةً ، فلَمَkا <uصَابهَاَ وَaَدَهَا
حُْلىَ ، فرََفعََ ذَ¡َِ إلىَ النkبيِِّ صَلىk ا²kُ #لَیَْهِ وَسَلمkَ ففََرkقَ بÏَنهَْمَُا ، وَجَعَلَ لهََا الصkدَاقَ
، وَaَÔََهَا مِائةًَ.
44 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
Dari Said bin Al-Musayyab bahwa seseorang telah
menikah dengan seorang wanita, namun baru ketahuan wanita
itu dalam keadaan hamil. Maka kasus itu diangkat ke hadapan
Rasulullah SAW dan beliau memisahkan (menceraikan) antara
keduanya, dan Rasulullah menetapkan maharnya dan
menderanya 100 kali. (HR Said bin Manshur, hadis mursal).
Sebagai sebuah ringkasan penjelasan, Ibnu
Qudamah menginformasikan pandangan mazhab Hanbali
sekaligus menyampaikan adanya perbedaan pendapat
dalam hukum menikahi wanita hamil sebagai berikut :
“Jika seorang wanita berzina, maka tidak halal
seseorang yang mengetahui hal ini menikahinya
kecuali dengan dua syarat; pertama, iddahnya telah
selesai, jika ia hamil maka dengan melahirkan, dan
tidak halal melangsungkan pernikahan sebelum
wanita ini melahirkan kandungannya. Pendapat ini
juga dikemukakan oleh Imam Malik dan Abu Yusuf,
satu dari dua riwayat dari Abu Hanifah dan riwayat
satunya mengatakan halal dan sah menikahinya.
Pendapat menikahi wanita hamil sah dan halal juga
dipegang mazhab Syafii dengan alasan zina yaitu
persetubuhan yang tidak menetapkan nasab maka
tidak diharamkan nikah sebagaimana kalau tidak
hamil. (Ibu Qudamah, 1405 : XV : 170)
Sedang Ibnu Hazm salah seorang ulama utama
mazhab Zhahiri menyampaikan dalam al-Muhalla sebagai
berikut:
“Tidak halal bagi wanita pezina dinikahi seseorang
baik pria pezina maupun pria baik-baik sampai si
wanita pezina tadi bertobat, jika sudah bertobat
maka baru halal dinikahi pria baik-baik tadi. Juga
tidak halal seorang pria muslim pezina menikahi
45
wanita Muslimah yang tidak berzina dan wanita
baik-baik sehingga pria itu bertobat. Jika pria itu
sudah bertobat maka baru halal menikahi wanita
Muslimah baik-baik tadi. Bagi pria muslim yang
pezina pasnya menikahi wanita kitabiyah walaupun
belum bertobat, jika terjadi pelanggaran pada
hukum yang sudah kami sebutkan di atas maka
pernikahan itu difasakh selamanya. Jika pria baik-
baik menikahi wanita baik-baik kemudian salah
satunya berzina atau kedua-duanya berzina, maka
pernikahannya tidak difasakh karena itu.(Ibnu
Hazm, IX : 474-475)
D. Pandangan KHI
KHI menganut paham boleh dan sah menikahi wanita
hamil baik yang menzinai maupun bukan. Serta anak yang
dilahirkan dalam masa pernikahan tersebut yaitu anak sah
suami ibunya.
Pasal 53 KHI secara gamblang mengatur :
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan
dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat
(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu
kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita
hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak
yang dikandung lahir. (Ahmad Rofiq, 2017 : 135)
Dari pasal 53 ayat 2 di atas dapat dipahami bahwa tidak
ada kewajiban iddah bagi wanita hamil di luar nikah jika ia
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Persoalan yang
kemudian muncul yaitu jika wanita hamil di luar nikah
tersebut menikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya.
46 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
Dalam hal ini KHI belum memberikan penjelasan yang
memadai. (Saiful Millah & Asep Saifudin Jahar, 2019:125).
E. Plus Minus Membolehkan Nikah Hamil
Dampak positif jika pernikahan wanita hamil
dibolehkan dan disahkan di antaranya:
1. Wanita hamil dan keluarga terselamatkan dari aib
berkepanjangan. Paling kurang aibnya segera terkurangi
dengan pernikahan tadi.
2. Status wanita segera bersuami yang secara psikologis lebih
menenteramkan daripada mengandung tanpa kejelasan
suaminya.
3. Anak yang dilahirkan nanti memiliki ayah yang
bertanggungjawab.
4. Status anak menjadi anak sah di mata negara.
5. Si wanita tidak mengalami tekanan batin berkepanjangan
yang jika tidak kuat bisa jatuh sakit bahkan meninggal
dunia.
Sementara dampak negatif memperbolehkan dan
mengesahkan nikah hamil dapat disebutkan misalnya :
1. Seolah membuka pintu zina lebih lebar, karena walaupun
sudah hamil duluan toh nantinya bisa dinikahkan dan
pernikahannya sah.
2. Dikawatirkan orang semakin berani berhubungan seks pra
nikah, toh nanti juga bisa menikah.
3. Bisa mendorong degradasi moral di kalangan pemuda
secara umum.
4. Keabsahan pernikahannya masih menyisakan keraguan,
sehingga sebagian kalangan melakukan tajdid an-nikah
(pengulangan nikah).
47
5. Bila terjadi masalah suami istri, rawan masa lalu ini
diungkit-ungkit pihak tertentu atau malah pasangannya
sendiri.
6. Rawan perceraian, karena menikah karena hamil duluan
biasanya pasangan sebenarnya belum benar-benar siap.
F. Penutup
Menikahi wanita hamil masih menyisakan masalah
terkait keabsahan pernikahannya lebih-lebih jika yang
menikahi bukan yang menghamilinya. Maka dari itu
pernikahan model begini sebaiknya dihindari dan dijauhi
mengingat kontroversi di dalamnya yang cukup tajam.
Sudah semestinya seorang muslim dan Muslimah
menjaga kesucian diri sampai menjadi suami istri yang sah.
Jangan sampai berbuat zina sebelum menikah walau mungkin
sudah bertunangan misalnya. Karena tunangan dalam
hukum Islam belum berefek pada kehalalan hubungan pria
dan wanita.
Walau dalam fikih mazhab Syafi’i, yang kemudian
diambil menjadi ketentuan KHI, membolehkan dan
mengesahkan pernikahan wanita hamil, namun sebagaimana
ditegaskan Imam an-Nawawi bahwa bolehnya menikahi
wanita hamil dengan karahah (berat hati) alias dibenci, jadi
bukan mubah murni.
Jangan sampai kita memulai berumah tangga dengan
sebuah pelanggaran, karena dikawatirkan jika tidak Taubat
sungguh-sungguh akan menghilangkan dan menghalangi
keberkahan kita dalam berkeluarga yang hakikatnya ibadah
terlama dan terpanjang dalam kehidupan umat Islam. Jaga
kesucian sebelum menikah itu baru hebat!
NIKAH DINI
(NIKAH ANAK-ANAK)
A.
Nikah dini termasuk nikah yang kontroversial. Walau
dulu eksis dan nyaris tidak ada yang menyoal, kini menikah
di bawah umur bisa berurusan dengan hukum. Pembatasan
usia nikah memang boleh dikata termasuk fenomena baru di
dunia Islam, mengingat selama berbad-abad di masa lalu soal
usia nikah tidak disinggung-singgung ulama fikih dalam
pernikahan. Karena memang tidak ada batasan khusus soal
usia berapa seseorang diperbolehkan menikah atau dinikahi
dalam fikih.
Namun mulai abad XX, banyak negara menetapkan
batas minimal usia nikah bagi warga negaranya. Dari sini
akhirnya muncul kontroversi nikah di bawah umur. Di mata
fikih pernikahan anak-anak mayoritas ulama membolehkan,
sedang UU cenderung melarang dan bahkan mungkin
mengriminalkan.
Di Indonesia sendiri, sebagaimana dikemukakan oleh
Ketua Satgas Perlindungan Anak Dr. Rahmat Sentika,
berdasarkan data BPS pada tahun 2002 di Indonesia terdapat
34,2 persen perempuan yang menikah di bawah usia 15 tahun
50 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
dan 11,9 persen anak laki-laki menikah di bawah 15 tahun
(Kompas, 3 November 2008). Ini menunjukkan betapa masih
cukup tingginya angka pernikahan dini di tengah-tengah
masyarakat.
B. Pengertian
Yang penulis maksud dengan pernikahan dini (early
marriage) dalam tulisan ini yaitu pernikahan di mana usia
pengantin belum mencapai batas minimal usia yang diizinkan
oleh UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.
1/1974 tentang Perkawinan. Melalui UU ini pemerintah telah
menaikkan usia minimal kawin perempuan dari 16 tahun
menjadi 19 tahun sedang laki-laki masih tetap seperti semula
19 tahun. Dengan demikian, usia kawin perempuan dan laki-
laki sama-sama 19 tahun. Pernikahan ini juga disebut
pernikahan anak-anak. Jika mengacu pada ketentuan UU
Perlindungan Anak, setiap orang yang usianya di bawah 18
tahun baik laki-laki maupun perempuan dikategorikan
sebagai (masih) anak-anak.
C. Pandangan Ulama Fikih
1. Pandangan yang Membolehkan
Pernikahan dini, atau bahkan pernikahan anak-anak
dalam pandangan jumhur ulama hukumnya boleh dan sah
dilakukan oleh ayah atau wali walau tanpa seizin anaknya
itu. Kebolehan nikah dini ini, secara implisit, juga dapat
dibaca dalam syarat-syarat calon mempelai laki-laki dan
perempuan. Nyaris tak satu pun kitab-kitab Fiqh yang
mensyaratkan umur tertentu, kecuali hal ini baru
ditemukan dalam berbagai perundangan di berbagai
negeri muslim pada abad XX ini.
Jumhur Fuqaha’ membolehkan dan
mengesahkan pernikahan dini bahkan lebih jauh
51
lagi membolehkan pernikahan anak-anak. Dalam
hal ini Ibnu al-Mundzir seperti dikutip oleh Ibnu
Qudamah al-Maqdisi menyatakan :
قـَـالَ ا{ــْنُ المُْنــْذِرِ <uجمــ َْعَ كلُ¬ مــ َنْ نحَْفــَظُ عَنــْهُ مــ ِنْ <uهــ ْلِ العْــ ِلمِْ، <uنk 9ــِكاَحَ ا¨ْuبِ
اب¶ْ¢َــ َهُ البِْكــ ْرَ الصــ kغِيرَةَ aــ َاÚِزٌ، إذَا زَوkÜــ ََا مــ ِنْ كــ ُفْءٍ، وَيجــ َُوزُ Þَُ >زَْوِيجُهــ َا مــ َعَ
كَرَاهِیَتهِاَ وَامْ¢ِناَعِهَا
“Ibnu al-Mundzir berkata, “ semua orang yang kami
anggap ahli ilmu telah sepakat, bahwa seorang ayah
menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya
jaiz (boleh), jika ia menikahkannya dengan pria yang
sekufu, dan boleh baginya menikahkannya walau ia tidak
suka dan menolaknya (dengan tanpa persetujuannya)”.
(Ibnu Qudamah, t.t., XIV : 428)
Imam Nawawi ra dalam Syarh Sahih Muslim
menjelaskan, bahwa kaum muslimin telah berijma’
dibolehkannya menikahkan gadis yang masih kecil/anak-
anak dan jika sudah besar/balighah tidak ada khiyar untuk
fasakh baginya menurut Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i
dan seluruh Fuqaha’ Hijaz. Sedang Fuqaha’ Iraq
menyatakan ia boleh melakukan khiar jika telah balighah.
(an-Nawawi, t.t : V : 128)
Empat argumen yang dipakai jumhur untuk
mengesahkan dan membolehkan pernikahan anak-anak
yaitu sebagai berikut.
a. At-Thalaq ayat 4
4. dan perempuan-perempuan yang tidak
haid lagi (monopause) di antara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang
masa iddahnya), Maka masa iddah mereka
yaitu tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-
perempuan yang tidak haid. …
52 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
Cara mengambil istinbath hukum dari ayat
di atas yaitu , iddah atau masa tunggu wanita
yang sudah menopause ketika dicerai yaitu
tiga bulan, demikian pula wanita yang belum
pernah atau sudah tidak haid lagi. Wanita yang
belum haid tidak diragukan lagi yaitu wanita
yang belum balighah atau dengan perkataan lain
wanita yang masih anak-anak. Dan perlu
disadari bahwa ketentuan iddah bagi wanita
tentunya berkaitan dengan wanita yang sudah
menikah dan diceraikan. Ini secara tidak
langsung (mafhumnya), Al-Quran mengakui
keabsahan terjadinya pernikahan wanita yang
masih anak-anak. Demikian wajah istidlal dari
jumhur Fuqaha’`.
b. An-Nur(24) ayat 32
32. dan kawinkanlah orang-orang yang
sendirian di antara kamu…
Menurut pemahaman Fuqaha’ ini, kata al-
Ayama yaitu mencakup pengertian wanita
yang belum atau tidak bersuami, dalam hal ini
mencakup pengertian wanita dewasa/tua dan
juga wanita yang masih anak-anak.(Husein
Muhammad, 2007: 91)
c. Hadis Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa`i,
Baihaqi
عــ َنْ هِشــ َامٍ عــ َنْ <uبِیــهِ قـَـالَ : توُُفّ ِـَـتْ áَدِيجــ َةُ قَــ ْلَ مَخــ ْرَج ِالنــkبيِِّ صــ َلىk
ا²kُ #لَیَـــ ْهِ وَســـ َلمkَ اã
لىَ المَْدِینـــ َةِ بـــ ِثلاََثِ ســـC ِنِينَ فلَبَـــ ِثَ ســـC َنçَينَِْ <uوْ قرَِیبـــ ًا
مـــ ِنْ ذَ¡َِ وَ9كَـــ َحَ #اَgشِـــ َةَ وَهيَِ بِ¶ـــ ْتُ ســـ ِتِّ ســـC ِنِينَ ثمُk بـــ َنىَ بهـــ َِا وَهيَِ
بِ¶تُْ ëِسْع ِسC ِنِينَ
53
“Khadijah wafat sebelum Nabi SAW
hijrah ke Madinah 3 tahun sebelumnya, maka
beliau tinggal di Madinah selama dua tahun
atau sekitar itu. Dan nabi menikahi ‘Aisyah
tatkala berumur 6 tahun kemudian membina
rumah tangga tatkala ia telah berusia 9 tahun”.
Dari hadis tersebut di atas, secara sharih
menjelaskan usia Aisyah saat akad dengan Nabi
SAW masih anak-anak yakni usia 6 tahun, dan
diajak membina rumah tangga tatkala telah
mencapai usia 9 tahun. Hal ini dipahami sebagai
sebuah kebolehan dan keabsahan pernikahan
wanita yang masih kanak-kanak.
Namun demikian, kabar bahwa Nabi
SAW menikahi Aisyah usia 6 tahun dan
membina rumah tangga di usia 9 tahun, walau
tercantum dalam sahih Bukhari, ada beberapa
ulama yang mencoba mengkritisi dengan
sumber-sumber lain.
Di antara sarjana yang mencoba
mengkritisi hadis di atas yaitu Muhammad Ali
(1874-1951 M), pemimpin Ahmadiyya Anjuman
Ishaat-i-Islam (Ahmadiyya Association for the
Propagation of Islam) antara tahun 1914-1951 M.
Muhammad Ali bahkan berani berkesimpulan
bahwa usia 6 atau 7 tahun saat Aisyah RA
menikah dan 9 tahun Ketika ia memulai rumah
tangganya merupakan sebuah kesalahpahaman
fatal. (Yusuf Hanafi, 2016 : 163-334)
Ada empat bukti yang diajukan oleh
Muhammad Ali untuk menunjukkan bahwa
riwayat-riwayat tentang usia Aisyah RA dalam
54 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
literatur-literatur hadis, yakni 6 atau 7 tahun
saat menikah dan 9 tahun ketika mulai berumah
tangga itu kurang meyakinkan.
Bukti pertama, Abu Bakar telah
merencanakan perkawinan Aisyah RA dengan
Jubair bin Muth’im saat hijrah ke Habasyah
pada tahun ke-8 sebelum hijrah. Kedua, Aisyah
RA itu lebih muda lima tahun dari putri Nabi
SAW, Fathimah, yang dilahirkan 5 tahun
sebelum kenabian (Nubuwwah) bertepatan
dengan renovasi Ka’bah. Ketiga, Aisyah RA
yaitu gadis belia saat Q.S. al-Qamar
diwahyukan pada tahun ke-6 dari kenabian,
dengan bukti ia ingat dan hafal beberapa
ayatnya. Keempat, ditemukan banyak bukti
bahwa kehidupan rumah tangganya mulai
berlangsung pada tahun ke-2 dari hijrah di
bulan Syawal, yang menunjukkan bahwa 5
tahun penuh berlalu antara upacara perkawinan
(betrothal) dan permulaan kehidupan rumah
tangganya (consummation). Lebih lanjut
Muhammad Ali berkesimpulan tidak ada
keraguan sedikit pun bahwa Aisyah RA
setidaknya berusia 9 atau 10 tahun pada saat
menikah, dan berusia 14 atau 15 tahun ketika
mulai berumah tangga. (Yusuf Hanafi, 2016 :
163-334)
d. Perbuatan Sahabat
Menurut penuturan Ibnu Qudamah,
bahwasanya Qudamah bin Mazh’un menikahi
anak perempuan Zubair ketika masih kecil,
terus dikatakan kepadanya, maka ia menjawab,
55
“anak perempuan Zubair jika aku mati ia
mewarisiku, jika aku hidup maka ia yaitu
istriku”. Imam Ali Karramallahu wajhah
menikahkan putrinya Ummi Kultsum ketika
masih kecil dengan Umar bin al-Khattab r.a.
(Ibnu Qudamah, t.t, XIV : 428)
Dengan empat argumen di atas, jumhur
Fuqaha’ merasa yakin akan kebolehan
menikahkan anak-anak walaupun belum baligh.
2. Pandangan yang Tidak membolehkan
Sedang Ibnu Syubrumah, Abu Bakar al-Ashamm
dan Usman al-Butti menandaskan ketidakbolehan
pernikahan yang dilakukan pasangan yang masih di
bawah umur atau belum baligh. Sementara itu, Ibnu
Hazm menyatakan boleh menikahkan anak perempuan
yang di bawah umur, sedang bagi anak laki-laki tidak
boleh dinikahkan sampai ia menginjak usia baligh
(Wahbah az-Zuhaily, 1989 : IX : 6682)
Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Muhalla mengutip
pendapat Ibnu Syubrumah sebagai berikut :
Ibnu Syubrumah berkata, “ Seorang ayah tidak
boleh menikahkan putrinya yang masih kecil
sampai ia balighah dan dimintai persetujuannya.
Ibnu Syubrumah memandang masalah pernikahan
Siti ‘Aisyah sebagai khususiyah bagi Nabi SAW,
seperti kebolehan bagi Nabi menikahi wanita tanpa
mahar, juga kebolehan bagi Nabi menikah lebih dari
empat”. (Ibnu Hazm, t.t. : IX : 498)
D. Pandangan Legislasi Kontemporer
Sungguhpun para Fuqaha’ klasik dan tengah pada
umumnya membolehkan pernikahan dini atau anak-anak,
56 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
namun kecenderungan Fuqaha’ dan legislator di masa modern
ini cenderung tidak membolehkannya, atau sekurang-
kurangnya membatasinya. Hal ini dilakukan dengan
memperhatikan berbagai faktor, apalagi kalau pernikahan
anak-anak tadi dilakukan secara paksa tanpa rida dari anak
yang mau menjalani.
Di Indonesia, UU yang mengatur masalah perkawinan
yaitu UU Nomor 1 Tahun 1974 yang diundangkan pada
tanggal 2 Januari 1974. Ketentuan usia minimal kawin diatur
dalam pasal 7 yang berbunyi :
Ayat 1 : Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun.
Ayat 2 : Dalam hal penyimpanga
.jpeg)
.jpeg)





