Tampilkan postingan dengan label kanonisasi alkitab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kanonisasi alkitab. Tampilkan semua postingan

kanonisasi alkitab

 


kanonisasi alkitab 


A. Pengertian Kanon 

1. Arti etimologis  

Kata "kanon" berasal dari kata Yunani "kanon", yang berarti tangkai, penggaris atau tongkat -- 

tangkai lurus yang dipergunakan sebagai pengukur. Dalam bahasa Ibrani, kata "kanon" 

merupakan kata jadian "kaneh" (buluh), satu kata dalam Perjanjian Lama yang berarti tangkai 

pengukur.  

Dari makna literal ini muncul arti metafora yang berarti standar, kaidah, patokan atau norma. Jadi 

kata ini diartikan sebagai suatu peraturan dari prosedur, kronologi, atau tabel penanggalan. Karena 

pemakaian "buluh" dalam kehidupan sehari-hari pada zaman itu adalah untuk mengukur, maka 

kanon juga berarti sebatang tongkat/kayu pengukur atau penggaris (Yehezkiel 40:3; 42:16 -- 

tombak pengukur). 

2. Arti teologis  

Dalam sejarah gereja abad pertama, kata "kanon" dipakai untuk menunjuk pada peraturan atau 

pengakuan iman. Berkaitan dengan itu R.P.C. Hanson seperti yang dikutip oleh F.F. Bruce 

berkata, "Pengertian tentang kanon dalam konteks Alkitab adalah standar, kaidah, atau norma; 

sebagai 'ketentuan iman' atau 'ketentuan dari kebenaran'". Kata ini dipakai pada awal kekristenan 

untuk menunjuk pada pokok-pokok ajaran para Rasul yang menjadi penguji terhadap setiap ajaran 

dan penafsiran yang muncul. Selain itu, kata ini pada pertengahan abad ke-4 (dimulai oleh 

Athanasius) dipakai untuk menunjuk pada Alkitab, dan mempunyai 2 arti, yaitu: 

a. Daftar naskah kitab-kitab, yang berjumlah 66 kitab, yang telah memenuhi standar 

peraturan-peraturan tertentu, yang diterima oleh gereja sebagai kitab-kitab kanonik yang 

diakui diinspirasikan oleh Allah. 

b. Kumpulan kitab yang berjumlah 66 kitab, yang diterima sebagai firman Tuhan yang 

tertulis, yang berotoritas penuh terhadap iman dan kehidupan manusia. Alkitab adalah 

firman Allah yang merupakan fondasi, batas dan patok kehidupan orang percaya. (2 

Korintus 10:13-16; Galatia 6:16) 

B. Terjadinya Kanon Alkitab 

Alkitab sendiri menolak dengan tegas pendapat bahwa Alkitab turun/jatuh dari surga (Lukas 1:1-4). Lalu, 

bagaimana dan kapan kanon Alkitab itu terjadi? Tidak pernah ada satu peristiwa tertentu yang terjadi, yang 

menandai dimulainya kanon Alkitab. Juga, tidak ada sejarah khusus yang menentukan kapan kanon 

Alkitab itu ditetapkan (disahkan). Akan tetapi, secara iman kita mengakui bahwa Tuhan sendirilah yang 

menentukannya, bukan manusia. 

Ini harus menjadi pengakuan penting bagi orang Kristen, bahwa Alkitab, sebagai firman Allah yang tertulis, 

akan tetap menjadi firman Allah sekalipun manusia tidak mengesahkannya, karena pengesahan terhadap 

Alkitab datang dari Allah dan dari Alkitab itu sendiri. Manusia hanya bisa menerima dan mengakuinya, 

tetapi tidak menetapkannya. 

Peristiwa pengkanonan Alkitab, oleh Konsili di Kartago tahun 397 M, harus dipahami sebagai penerimaan 

iman oleh gereja bahwa Alkitab kanonik itu diinspirasikan oleh Allah, dan diterima sebagai standar iman 

dan kehidupan. Tangan Tuhan-lah yang telah memimpin orang-orang percaya itu untuk mengumpulkan 

kitab-kitab kanonik, sehingga disusun menjadi Alkitab. Pendapat ini tidak sama dengan pendapat gereja 

Katolik Roma. Menurut mereka, penetapan Kanon ditetapkan oleh gereja Katolik Roma. 

Peristiwa penerimaan gereja terhadap kanon Alkitab sebenarnya sudah dimulai ketika jemaat Gereja Mula-

mula membaca kitab-kitab Perjanjian Lama dalam kebaktian-kebaktian. Dengan campur tangan Roh 

Kudus, jemaat juga menambahkan kitab-kitab dan surat-surat para Rasul yang diinspirasikan oleh Allah. 

Sampai akhirnya pada tahun 367 M, uskup Aleksandria, Athanasius, memberikan daftar kitab yang 

merupakan kanon. Daftar kitab itulah (66 buku) yang sampai sekarang ditetapkan sebagai Alkitab. 

1. Pertimbangan yang dipakai untuk menerima Kanon Alkitab:  

a. Bukti dari Alkitab sendiri. Semua tulisan dalam kitab-kitab kanon (Alkitab) diinspirasikan 

oleh Allah (2 Timotius 3:16). Dengan demikian, jelas bahwa semua kitab dalam Alkitab 

tidak hanya ditulis oleh tangan manusia saja, tetapi juga merupakan campur tangan Allah 

sepenuhnya ("theopneustos"). Oleh karena itu, seluruh tulisan dalam Alkitab mempunyai 

otoritas penuh dari Allah. 

b. Ditulis oleh orang-orang yang hidupnya dipimpin oleh Allah; baik para nabi (PL) maupun 

rasul (PB) atau orang-orang yang berada di bawah pengawasan mereka. 

c. Ada bukti-bukti dari dalam kitab dan jelas tentang keaslian penulisannya. 

d. Ada pengaruh kuasa Allah dalam tulisan-tulisan itu yang sanggup mengubahkan hidup 

manusia. 

e. Secara aklamasi diterima oleh umat Allah secara luas sebagai kitab-kitab yang 

diinspirasikan oleh Allah. (Galatia 6:16; Lukas 11:51; Kolose 4:16; Wahyu 22:18) 

 

2. Pertimbangan yang salah tentang Penerimaan Kitab Kanon  

Di antara banyak kitab kuno yang harus dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam kanon 

Alkitab, tidak semuanya diterima sebagai kitab kanon. Pertimbangan-pertimbangan terhadap kitab-

kitab itu adalah: 

a. Bukan didasarkan pada usia kitabnya. 

b. Bukan karena ditulis dalam bahasa Ibrani. 

c. Bukan karena setuju dengan Taurat. 

d. Bukan karena mempunyai nilai agama. 

C. Sejarah Kanon 

1. Perjanjian Lama  

Kanon Perjanjian Lama (PL) tidak mengalami banyak kesulitan untuk diterima karena pada waktu 

kitab-kitab PL itu ditulis, saat itu juga langsung diterima sebagai kitab-kitab yang diinspirasikan 

oleh Allah sehingga otoritasnya diakui. Kitab-kitab (yang berupa gulungan-gulungan) itu disimpan 

bersama-sama dengan Tabut Perjanjian yaitu di Kemah Tabernakel dan kemudian di Bait Allah. 

Para imam memelihara kitab-kitab itu dan juga membuat salinan-salinannya apabila diperlukan. 

(Ulangan 17:18; 31:9; 24-26; 1 Samuel 10:25; 2 Raja-raja 22:8; 2 Tawarikh 34:14. 

Pada waktu bangsa Yahudi dibuang ke Babel, dan Yerusalem dihancurkan pada tahun 587 sM, 

kitab-kitab itu juga dibawa ke tanah pembuangan (Daniel 9:2 ). Pusat ibadah mereka pada saat itu 

bukan lagi pada Bait Allah di Yerusalem, melainkan pada kitab-kitab itu. sesudah  pembangunan 

kembali Bait Allah, kitab-kitab itu dipelihara dan dipindahkan ke sana. (Ezra 7:6; Nehemia 8:1; 

Yeremia 27:21-22). 

Penyusunan seluruh kitab Perjanjian Lama selesai pada tahun 430 sM, iman Ezralah yang 

memainkan peranan penting dalam proses pengumpulan dan penyusunan kitab-kitab Perjanjian 

Lama ini. Selain kitab-kitab Pentateukh (Kejadian - Ulangan) yang sangat dihargai, kitab-kitab para 

nabi juga biasa dibaca dalam ibadah orang Yahudi di rumah-rumah ibadah pada zaman Perjanjian 

Baru (Lukas 4:16-19). 

Pada tahun 90 M para ahli Taurat dan pemimpin bangsa Yahudi melakukan persidangan di 

Yamnia. Salah satu keputusan yang diambil dalam persidangan itu adalah penerimaan kanon PL, 

yaitu 39 kitab sebagai kanon Alkitab, seperti yang kita pakai saat ini. Jadi, penetapan itu 

sebenarnya hanya memberikan pengakuan akan kitab-kitab yang memang sudah lama dipakai 

dalam ibadah orang Yahudi. 

2. Perjanjian Baru  

Pengkanonan Perjanjian Baru (PB) mengalami lebih banyak pergumulan daripada PL. Baru pada 

pertengahan abad 4 Masehi masalah pengkanonan Perjanjian Baru dianggap selesai. Kanon PB 

diawali dengan keadaan dan kebutuhan yang mendesak yang harus segera ditangani oleh gereja-

gereja saat itu, antara lain: 

a. Krisis Otoritas. Dibutuhkannya suatu pedoman iman dan kehidupan yang diakui 

berotoritas, apalagi sesudah  Tuhan Yesus dan para Rasul sudah tidak ada lagi di antara 

mereka. 

b. Krisis Pengajaran. Adanya pengajaran sesat yang mulai menyusup ke dalam gereja-

gereja, sehingga diperlukan adanya satu sumber yang dapat menjadi standar pengajaran 

yang benar. 

c. Dorongan Misi. Penyebaran pengajaran Injil Yesus Kristus semakin berkembang ke 

daerah-daerah lain, sehingga diperlukan adanya kesepakatan terhadap kitab-kitab standar 

yang harus diterjemahkan. 

d. Tekanan penganiayaan. Semakin kuatnya penganiayaan yang dilancarkan terhadap 

orang-orang Kristen baru mendorong gereja untuk mempertahankan sumber pengajaran 

demi kemurnian iman dan pengajaran yang sehat. 

sesudah  kenaikan Tuhan Yesus Kristus ke surga, pengajaran Injil diteruskan oleh para Rasul dengan penuh 

otoritas karena merekalah saksi mata mengenai keselamatan yang diajarkan Yesus. Tulisan-tulisan 

tentang pengajaran iman Kristen oleh para Rasul (antara tahun 50 - 100 M) sangat dibutuhkan mengingat 

bahwa merekalah para saksi mata yang dapat memberitakan pengajaran Injil Yesus Kristus dengan jelas 

dan menafsirkannya dengan tepat, sesuai dengan pimpinan Roh Kudus atas mereka (Yohanes 14:26). 

Dasar Kanon PB terletak pada otoritas Kristus sebagai Tuhan atau pada pribadi Kristus sendiri. Yesus 

Kristus merupakan fokus dan penggenapan nubuatan Perjanjian Lama (1 Petrus 1:10-12; 2 Petrus 1:19; 

Kisah Para Rasul 28:23), kitab suci yang berotoritas pada zaman Yesus. Tuhan Yesus Kristus menyatakan 

otoritas-Nya sebagai Mesias dan Nabi yang dijanjikan melalui kehidupan pelayanan dan kebangkitan-Nya 

dari antara orang mati. 

sesudah  kematian dan kebangkitan-Nya, Bapa mengutus Roh Kudus untuk memperlengkapi mereka 

menjadi saksi-saksi tentang kebangkitan Kristus yang biasa disebut sebagai "Amanat Agung". Pengajaran 

yang mereka terima langsung dari Kristus itu merupakan "harta yang indah" bagi gereja (1 Timotius 6:20; 2 

Timotius 1:14) yang harus dipelihara dan diteruskan kepada generasi berikutnya. Isi pengajaran para rasul 

disebut juga "tradisi" (paradosis) dalam Perjanjian Baru, yang, menurut konsep Yahudi, memiliki arti 

diteruskan dengan otoritas. 

Selama tahun 100 - 200 M, tulisan-tulisan para Rasul itu dipakai dan dikumpulkan oleh sidang-sidang 

jemaat (Kolose 4:15-16). Pada tahun 200 M, kanon utama Perjanjian Baru sebenarnya sudah terbentuk. 

Kanon itu disebut dengan "Kanon Muratori", yang berisi 21 kitab/buku. Kemudian, 6 kitab lain ditambahkan 

kepadanya. Memasuki abad ke 5 M, dalam pertemuan konsili di Hippo dan Kartago tercapai kesepakatan 

di antara gereja Barat dan Timur, dan menerima 27 kitab sebagai Kanon PB, seperti yang kita pakai saat 

ini. 

Kanon Perjanjian Baru berdasarkan wibawa apostolik yang dibelakangnya berdasarkan otoritas Kristus 

sendiri. Sebab pengajaran Yesus Kristus yang ditulis para Rasul baik perkataan lisan atau dalam tulisan 

merupakan otoritas aksioma gereja mula-mula. 

D. Kitab-kitab Apokrifa 

1. Definisi/Pengertian  

Istilah "apokrifa" berasal dari bahasa Yunani "apokrufos", artinya "tersembunyi". Saat ini, apokrifa 

dipahami sebagai sejumlah kitab yang tidak dimasukkan ke dalam kanon Alkitab, tetapi yang 

disebutkan dalam Alkitab, dan yang ditulis pada waktu yang bersamaan atau tidak lama sesudah 

Alkitab ditulis. 

Sampai pada abad ke-16, pendirian orang Kristen terhadap kedudukan kitab-kitab Apokrifa 

sebagai kanon masih sedikit terombang-ambing. Namun sebenarnya, mereka sudah menolak 

untuk menganggap kitab-kitab itu sebagai kanon sejak awal. 

2. Macam-macam Kitab Apokrifa  

 

a. Apokrifa Perjanjian Lama (PL) 

Kitab-kitab ini ditulis antara tahun 300 sM - 100 M dan kebanyakan tidak diketahui 

penulisnya. Kitab-kitab ini berjumlah 15 buah dan dimasukkan ke dalam versi Septuaginta 

abad ke-4. Apokrifa Perjanjian Lama dibagi ke dalam 5 jenis, yaitu: 

 Pengajaran 

 Roman Religius 

 Sejarah 

 Nubuatan 

 Dongeng 

Ada beberapa alasan mengapa kitab Apokrifa ditolak sebagai kitab kanonik: 

1) Philo (20 SM -40 M) sangat banyak mengutip PL dan mengakui PL, namun dia 

tidak pernah mengutip apokrifa sebagai kitab yang diinspirasikan. 

2) Yosefus (30 - 100 M) secara tegas menolak apokrifa dan tidak pernah mengutip 

kitab-kitab apokrifa sebagai Kitab Suci. 

3) Yesus Kristus dan penulis Perjanjian Baru tidak mengakui kitab-kitab apokrifa ini 

sebagai kitab suci. 

4) Konsili-konsili gereja Kristen abad pertama sampai abad keempat tidak pernah 

mengakuinya. 

5) Yerome (340 - 420 M) sarjana dan para penerjemah Vulgate menolak apokrifa 

sebagai kitab kanonik. 

b. Apokrifa Perjanjian Baru (PB)  

Tidak ada daftar yang pasti untuk kitab-kitab Apokrifa PB. Kebanyakan kitab-kitab itu berisi 

fiksi religius, yang digunakan untuk memenuhi keinginan mereka mengetahui informasi 

tentang peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Tuhan Yesus yang tidak dituliskan di dalam 

Injil kanon. Juga, cerita-cerita tentang akhir kehidupan para Rasul yang tidak diceritakan 

dalam kitab kanon PB. Beberapa kitab-kitab Apokrifa Perjanjian Baru adalah: 

 Shepherd of Hermas 

 Didache, Teaching of the Twelve 

 Epistle of Pseudo Barnabas (Injil Barnabas) 

 Gospel according to the Hebrews (Injil Ibrani) 

 

c. Alasan menolak kitab-kitab Apokrifa PL: 

 

1. Kitab-kitab itu tidak dimasukkan ke dalam PL Ibrani 

2. Penulis-penulis PB tidak ada yang mengutipnya, sedangkan kitab-kitab PB lain 

biasanya dikutip. 

3. Yesus tidak pernah menyebutkan kitab-kitab itu. 

4. Tidak ada bukti bahwa Apokrifa dimasukkan dalam Septuaginta abad ke-2. 

5. Konsili-konsili gereja tidak pernah mengakuinya dan bapak-bapak gereja juga 

menolaknya. 

6. Tidak ada klaim "inilah firman Tuhan" dalam kitab-kitab tersebut. 

7. Adanya kesalahan-kesalahan dalam bidang sejarah, kronologi, dan peta bumi. 

8. Kisah-kisahnya bersifat khayalan atau dongeng. 

9. Ajaran moralnya rendah. 

 

 Alasan menolak kitab-kitab Apokrifa PB: 

 

 Hanya dikenal secara lokal. 

 Tidak ada konsili gereja yang mengakui. 

 Hanya dianggap semi kanon. 

Namun demikian, ada nilai manfaat yang diakui: 

 Dokumentasi-dokumentasi kekristenan yang paling awal 

 Gambaran gereja secara umum sesudah  zaman para Rasul. 

 Sebagai jembatan bagi tulisan-tulisan Perjanjian Baru dengan tulisan dari bapak-

bapak gereja abad ke-3 dan ke-4. 

 Mempunyai nilai sejarah tentang hal-hal praktis dan siasat gereja mula-mula.