JABATAN IMAM DALAM PERJANJIAN LAMA
Institusi keimaman merupakan fondasi utama dalam kehidupan
keagamaan Israel kuno sebagaimana tercatat dalam Perjanjian Lama. Para
imam berfungsi sebagai mediator antara umat dan Allah, memainkan peran
vital dalam memelihara hubungan perjanjian antara YHWH dan bangsa Israel.
Institusi ini memiliki pengaruh yang melampaui aspek religius, yang juga
membawa dampak sosial dan politik dalam tatanan masyarakat Israel.1
Perkembangan historis keimaman berdasarkan sumber-sumber
Perjanjian Lama, terdapat dua kategori utama mengenai keimaman.2 Setelah
bangsa Israel berhasil menguasai tanah Kanaan, mereka mulai mendirikan
tempat-tempat ibadah dan kemudian membangun Bait Suci di Yerusalem.
Perkembangan ini menjadikan persoalan jabatan imam semakin relevan dan
mendesak. Sejak periode awal, jabatan keimaman diwariskan secara turun-
temurun dan terbatas pada keluarga-keluarga imam tertentu. Dimulai dengan
keluarga Musa di Dan (Hakim-hakim 18:30), kemudian berlanjut dengan
keluarga Eli di Syilo, Nobo, dan Yerusalem. Kedua keluarga ini berasal dari
Mesir dan merupakan bagian dari suku Lewi. Sementara informasi mengenai
keluarga keimaman Musa tidak banyak diketahui, keluarga keimaman Eli
diterima dalam silsilah Harun. Pada masa pemerintahan Daud, mereka
digantikan oleh keturunan keimaman Zadok (1 Samuel 2:27-36).
1. Struktur dan organisasi keimaman
Para imam dari suku Lewi yang melayani di tempat-tempat kudus
lainnya masih diizinkan tinggal di Bait Suci Yerusalem setelah reformasi
Yosia. Namun, setelah masa pembuangan, mereka hanya diberi tugas-
tingkat rendah. Imam Besar menempati posisi tertinggi di antara para
imam dan keturunan Lewi. Sistem pelayanan dibagi menjadi 24
rombongan yang bertugas secara bergiliran, dengan pembagian yang
dilakukan melalui undian (1 Tawarikh 24; Lukas 1:8-9).3 Tanggung jawab
mereka meliputi pengajaran mengenai hal-hal keagamaan dan ibadah,
pelayanan persembahan kurban, administrasi harta benda Bait Suci, dan
pengawasan terhadap Bait Suci. Pakaian liturgis tertua yang dikenakan
imam dalam persembahan kurban adalah Efod. Imam biasa mengenakan
pakaian dalam pendek (Keluaran 28:42-43; Imamat 6:3), jubah panjang, dan
tutup kepala (Keluaran 28:40). Semua pakaian ini terbuat dari kain linen
dan dilengkapi dengan ikat pinggang berwarna.4
2. Dasar pemilihan imam
Dalam Perjanjian Lama, penunjukan imam tidak bergantung pada
kemampuan individu atau pencapaian pribadi, melainkan berdasarkan
garis keturunan. Allah secara tegas memilih Harun, saudara Musa, beserta
keturunannya untuk melayani sebagai imam. Hal ini ditegaskan dalam
Keluaran 28:1: "Engkau harus menyuruh abangmu Harun bersama-sama
dengan anak-anaknya datang kepadamu, dari tengah-tengah orang Israel,
untuk memegang jabatan imam bagi-Ku."5 Pemilihan berdasarkan
keturunan ini menegaskan bahwa keimaman bukanlah jabatan yang dapat
dicapai melalui ambisi personal, tetapi melalui rencana dan pilihan ilahi.
3. Asal mula dan evolusi jabatan imam
Catatan pertama mengenai seseorang yang bertindak sebagai imam
terdapat dalam Kejadian 4:3-4. Pada zaman dahulu, kepala keluarga
menjalankan fungsi keimaman (Kejadian 8:20; 12:8; 35:7). Setelah bangsa
Israel keluar dari Mesir, para pemuda (anak sulung) diberi hak untuk
melaksanakan tugas keimaman (Keluaran 24:5; 19:22). Kemudian, dalam
sistem ibadah di Kemah Suci, anak-anak Harun diangkat sebagai imam
dengan perjanjian kekal (Keluaran 29:9; 40:15).Sesuai dengan peraturan
Taurat, hanya keturunan Harun yang dipilih menjadi imam (Bilangan 3:10;
16:40; 18:7). Para imam dikuduskan oleh Allah untuk jabatan ini
(Keluaran 29:44) dan ditahbiskan di hadapan umum (Keluaran 28:41;
Bilangan 3:3).
4. Definisi dan peran imam besar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, imam adalah pemimpin
umat dalam ibadah.6 Imam Besar atau Imam Agung merupakan jabatan
imam tertinggi dalam agama Yahudi yang berkaitan dengan ibadah Israel.
Imam Besar Israel dipercaya sebagai wakil umat Israel di hadapan Allah
dan berperan sebagai perantara kudus antara umat dengan Allah. Peran
sentral Imam Besar dalam keagamaan Yahudi terlihat saat ia bertugas
mempersembahkan ritus kurban tahunan di Bait Suci Yerusalem. Dalam
ritus tahunan ini , hanya Imam Besar yang diizinkan memasuki ruang
mahakudus Bait Suci.
Berdasarkan peraturan Yahudi, hanya Imam Besar yang
diperbolehkan masuk ke ruang mahakudus di Bait Suci, yaitu sekali dalam
setahun pada hari raya Penebusan (Yom Kippur dalam bahasa Ibrani).7 Di
ruang mahakudus ini , Imam Besar melakukan ritus pengurbanan
darah domba sebagai pengganti dosa seluruh rakyat Yahudi di hadapan
Allah.
5. Eksklusivitas keturunan Harun
Kitab Bilangan memperkuat konsep ini dengan menegaskan bahwa
hanya keturunan Harun yang boleh melaksanakan tugas-tugas keimaman.
Bilangan 3:10 menyatakan: "Harun dan anak-anaknya haruslah
kautetapkan supaya mereka mengamati kewajibannya sebagai imam,
tetapi orang awam yang mendekat harus dihukum mati."Ketentuan ini
menjadikan keimaman sebagai hak istimewa eksklusif keturunan Harun.
6. Hirarki petugas bait suci
Petugas Bait Suci terbagi menjadi dua kategori utama: kaum imam
dan kaum Lewi.8 Struktur Sosial Masyarakat Israel Kuno dalam PerspPara
imam sendiri terbagi menjadi dua kelompok: kelompok atas dan kelompok
bawah. Imam-imam kelompok bawah seringkali berasal dari kalangan
miskin, bahkan melarat, sedangkan imam kalangan atas terdiri dari orang-
orang aristokrat. Imam golongan atas mencakup Imam Besar dan imam-
imam kepala, yang merupakan mantan imam-imam besar atau anggota
keluarga imam dari mana Imam Besar dipilih. Di dalam Bait Suci juga
terdapat tiga orang bendahara yang bertugas mengelola seluruh
pendapatan dan harta benda Bait Suci.
7. Proses pentahbisan imam
a. Proses pentahbisan imam digambarkan secara rinci dalam Keluaran 29
dan Imamat 8.9 Upacara pentahbisan ini mencakup beberapa tahap
penting:
b. Pembasuhan dengan air: Sebagai langkah awal, Harun dan anak-
anaknya dibasuh dengan air, menandakan penyucian dan
pembersihan ritual (Keluaran 29:4; Imamat 8:6).
c. Pengenaan pakaian jabatan: Imam dikenakan pakaian khusus yang
melambangkan kemuliaan dan kehormatan jabatan mereka. Pakaian
ini meliputi efod, baju efod, tutup dada, dan serban dengan patam
emas bertuliskan "Kudus bagi TUHAN" (Keluaran 29:5-6; Imamat 8:7-
9).
d. Pengurapan dengan minyak: Minyak urapan kudus dituangkan ke atas
kepala imam untuk menandakan pengudusan dan pemisahan mereka
bagi pelayanan kudus (Keluaran 29:7; Imamat 8:12).
e. Persembahan korban: Serangkaian korban dipersembahkan, termasuk
korban penghapus dosa, korban bakaran, dan korban pentahbisan
(Keluaran 29:10-28; Imamat 8:14-30).
f. Percikan darah: Darah dari korban pentahbisan dipercikkan pada
telinga kanan, ibu jari tangan kanan, dan ibu jari kaki kanan Harun dan
anak-anaknya, menandakan penguduskan seluruh pribadi mereka
untuk pelayanan kudus (Keluaran 29:20; Imamat 8:23-24).
g. Periode penahbisan: Setelah upacara ini, para imam tetap tinggal di
pintu Kemah Pertemuan selama tujuh hari untuk menyelesaikan
proses pentahbisan mereka (Keluaran 29:30-35; Imamat 8:33-36).
8. Persyaratan fisik dan ritual
Selain persyaratan keturunan, terdapat juga kualifikasi fisik dan
ritual untuk menjadi imam. Imamat 21:16-23 menyebutkan bahwa seorang
keturunan Harun yang memiliki cacat tubuh tidak boleh mendekat untuk
mempersembahkan korban, meskipun ia tetap boleh makan dari santapan
kudus.10 Cacat tubuh yang dimaksud meliputi kebutaan, kelumpuhan,
cacat pada wajah, anggota badan yang terlalu panjang atau pendek, patah
kaki atau tangan, bungkuk, kerdil, atau memiliki bercak putih pada mata.
Para imam juga harus menjaga kemurnian ritual mereka. Mereka
tidak boleh menajiskan diri dengan menyentuh mayat kecuali untuk
kerabat dekat (Imamat 21:1-4), tidak boleh mencukur kepala atau jenggot
mereka atau menoreh-noreh tubuh mereka (Imamat 21:5), dan harus
menikah dengan perempuan yang masih perawan (Imamat 21:13-15).11
9. Tugas-tugas imam pada masa pra-pembuangan
Dalam periode sebelum pembuangan, para imam jarang
disebutkan, kecuali dalam konteks yang berkaitan dengan Efod atau tabut
perjanjian.12 Tugas-tugas para imam pada masa ini meliputi:
a. Melayani Yahwe di tempat-tempat suci (1 Samuel 2-3)
b. Memberkati rakyat/bangsa (Bilangan 6:22-26; Ulangan 10:8)
mengajarkan hukum Taurat (Yeremia 8:18; Hagai 2:11; Maleaki 2:6-7).
Memelihara tempat-tempat suci yang berfungsi sebagai tempat
pelarian, yaitu kota-kota perlindungan (Keluaran 21:12-14; Bilangan 35;
Yosua 21:13-19; 1 Raja-raja 2:28).
Pada masa itu, para imam belum tergabung dalam suatu
organisasi terpadu. Setiap imam bekerja secara mandiri dan tidak
mendapat panggilan Allah seperti para nabi, tetapi jabatan imam
diwariskan turun-temurun dengan kekuasaan pelayanan yang terbatas
pada tempat suci tertentu saja. Para imam ini sudah ada dalam
masyarakat Israel sebelum peristiwa di Sinai (Keluaran 19:22-24).13
Musa dan Harun adalah keturunan Lewi dan sering juga bertugas
sebagai imam. Pada masa pembentukan Kerajaan Israel, belum ada
upaya sentralisasi pemujaan atau peribadatan.
10. Keimaman di Silo dan transisi ke Yerusalem
Silo merupakan tempat bertugas imam Eli dan keturunannya serta
sejumlah muridnya, seperti Samuel pada masa mudanya (1 Samuel 2-4),
untuk menjaga Bait Suci dan tabut perjanjian. Menurut 1 Samuel 2:22-30,
nenek moyang Eli dipilih di Mesir untuk "selamanya berjalan di hadapan
Allah". Menurut Klaus Koch, penghapusan berkat pada keluarga Eli yang
diceritakan dalam 1 Samuel 2:27-36 berhubungan erat dengan pengalihan
keimaman di Yerusalem dari kaum Eli kepada kaum Zadok pada zaman
Salomo.
11. Pemilihan suku Lewi
Suku Lewi dikuduskan Allah menjadi pelayan-Nya. Kisah
pemilihan Lewi dimulai dari peristiwa pembunuhan di Sikhem sebagai
balas dendam atas ketidakadilan yang menimpa saudara mereka, disusul
dengan krisis bangsa Israel yang menghadapi kehancuran karena
penyembahan berhala (anak sapi emas). Musa memanggil siapa saja yang
setia kepada Tuhan, dan suku Lewi satu-satunya yang menjawab
panggilan ini. Mereka kemudian mengikuti perintah Musa untuk
menghukum para penyembah anak sapi emas, meskipun itu berarti
membunuh saudara mereka sendiri. Dari peristiwa inilah Tuhan
menetapkan bahwa suku Lewi akan memiliki peran khusus dalam
peribadatan dan pemeliharaan Kemah Suci serta Bait Allah.
20
Suku Lewi tidak memiliki warisan tanah karena mereka
dikuduskan menjadi pelayan Allah. Meskipun suku Lewi tidak memiliki
warisan tanah, mereka diberikan hak untuk hidup dari persepuluhan yang
diberikan suku-suku lain, yang memungkinkan mereka fokus pada tugas-
tugas keagamaan tanpa harus terlibat dalam pekerjaan pertanian atau
militer. Pemilihan suku Lewi mencerminkan keinginan untuk membangun
struktur keagamaan yang terorganisir.
B. Penafsiran Umum 1 Samuel 2:11-36
Narasi yang kuat mengenai kemerosotan ke imaman di Israel dalam
perikop 1 Samuel 2:11-36 seringkali menjadi fokus perhatian para penafsir
Alkitab. Kebanyakan tafsiran yang muncul menekankan kegagalan Eli dan
anak-anaknya sebagai inti dari perikop ini . Hofni dan Finehas disebut
sebagai orang dursila yang mencemari nama Tuhan dan menyalagunakan
jabatan keimaman demi keuntungan pribadi dengan mencemari persembahan
korban dan melakukan perbuatan asusila di Kemah Suci.14 Eli pun di anggap
kurang tegas dalam mendisiplinkan anak-anaknya, dimana dalam teks
disebutkan bahwa Eli mengetahui perilaku bejat anak-anaknya.15
Pandangan dari tafsiran-tafsiran ini lebih dominan menyoroti
akibat fatal dari perilaku anak-anak Eli dan kelemahan anak-anak Eli sendiri
yang memicu penghakiman Ilahi terhadap keluarganya.16 Kisah
mengenai Eli dan anak-anaknya ini oleh prespektif Pendidikan agama Kristen
seringkali menjadi contoh yang kuat tentang konsekuensi dosa dan
pentingnya tanggungjawab kepemimpinan, baik dalam keluarga maupun
dalam pelayanan. Berbagai khotbah dan pengajaran di gereja menekankan
pentingnya disiplin,bahaya kompromi moral dan dampak negatif dari
kegagalan orangtua mendidik anaknya.17
Penafsiran-penafsiran yang telah disebutkan sebelumnya memiliki
falidasi dan relevansi moral yang kuat. Namun jika dianalisis secara
mendalam terdapat poin penting yang ingin disampaikan yakni legitimasi
Samuel yang pada masa mendatang akan menjadi imam.penafsiran yang
didominasi oleh sudut pandang kegagalan Eli sebagai Imam cenderung
mengesampingkan pertumbuhan Samuel di hadapan Tuhan.18 Lebih lanjut,
nubuat ilahi dalam 1 Samuel 2:27-36, yang menubuatkan pencabutan
keimaman dari keturunan Eli dan kebangkitan seorang imam yang setia (1
Sam. 2:35), seringkali hanya dilihat sebagai penegasan penghakiman Eli tanpa
eksplorasi mendalam mengenai identitas dan sumber legitimasi imam baru,
yang di kemudian hari jelas mengacu pada Samuel. Hal ini yang kemudian
memicu pertanyaan mengenai bagaimana Samuel, yang bukan
keturunan Lewi, dapat diakui sebagai imam yang sah di mata Allah. Bagian
ini yang kemudian oleh penulis melihatnya sebagai suatu aspek yang kurang
dieksplorasi dalam tafsiran umum.
C. Konsep Legitimasi dalam Konteks Keimaman dan Kepemimpinan
Konsep legitimasi dalam konteks keimaman dan kepemimpinan
merupakan salah satu tema sentral dalam Perjanjian Lama yang menunjukkan
bagaimana Allah menetapkan dan mengesahkan otoritas spiritual dan politik
bagi umat-Nya. Legitimasi ini tidak hanya berfungsi sebagai dasar hukum
kepemimpinan, tetapi juga sebagai jaminan bahwa kepemimpinan ini
sesuai dengan kehendak Ilahi.19 Dalam tradisi Israel kuno, legitimasi
kepemimpinan tidak dapat dipisahkan dari dimensi teologis, di mana setiap
bentuk otoritas harus memperoleh pengesahan dari Allah sebagai sumber
tertinggi segala kekuasaan. Hal ini menciptakan sistem kepemimpinan yang
unik dalam konteks Timur Tengah kuno, di mana aspek religius dan politik
terintegrasi secara erat. Berbicara mengenai legitimasi keimaman berikut
landasan teologis sekaitan dengan legitimasi keimaman:
1. Kedaulatan Allah sebagai sumber legitimasi
Perjanjian Lama menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya
sumber legitimasi sejati bagi segala bentuk kepemimpinan di Israel.20 Tafsir
Kitab 1 SamueKonsep ini terlihat jelas dalam narasi pemilihan raja pertama
Israel, di mana Samuel menyatakan bahwa penolakan terhadap
kepemimpinannya adalah penolakan terhadap Allah sendiri (1 Samuel
8:7). Prinsip kedaulatan ilahi ini menjadi fondasi bagi seluruh sistem
kepemimpinan Israel, baik dalam konteks keimaman maupun kekuasaan
politik. Setiap pemimpin, baik imam maupun raja, harus memperoleh
legitimasi melalui penunjukan atau pengurapan yang didasarkan pada
kehendak Allah.21
2. Perjanjian sebagai kerangka legitimasi
Konsep perjanjian (berith) dalam Perjanjian Lama berfungsi
sebagai kerangka hukum-teologis yang memberikan legitimasi kepada
para pemimpin Israel. Perjanjian Sinai tidak hanya menetapkan hubungan
antara Allah dan bangsa Israel, tetapi juga mengatur struktur
kepemimpinan yang sah dalam komunitas perjanjian.22 Dalam konteks ini,
legitimasi tidak hanya bergantung pada garis keturunan atau kemampuan
personal, tetapi pada kesetiaan terhadap perjanjian yang telah ditetapkan
Allah. Para pemimpin yang melanggar ketentuan perjanjian akan
kehilangan legitimasi mereka, sebagaimana terlihat dalam kasus raja-raja
Israel yang tidak setia.23
Sistem keimaman dalam Perjanjian Lama didasarkan pada prinsip
legitimasi keturunan yang berpusat pada garis Harun. Kitab Keluaran dan
Imamat menetapkan bahwa hanya keturunan Harun yang memiliki
legitimasi untuk menjalankan fungsi keimaman di Israel.24 Legitimasi
keimaman Aaronik diperkuat melalui serangkaian ritual pengurapan dan
pentahbisan yang menunjukkan pengesahan ilahi terhadap peran mereka.
Proses ini tidak hanya berfungsi sebagai ritual inisiasi, tetapi juga sebagai
bentuk legitimasi publik terhadap otoritas keimaman.
Para imam memperoleh legitimasi melalui fungsi mediasi mereka
antara Allah dan umat Israel. Peran mereka dalam persembahan kurban,
pengajaran Taurat, dan pemberian berkat menjadi dasar legitimasi
spiritual yang membedakan mereka dari para pemimpin lainnya.25
Legitimasi imam tidak hanya bergantung pada keturunan, tetapi juga pada
kemampuan mereka untuk menjalankan fungsi mediasi secara tepat sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Taurat. Kegagalan dalam
menjalankan fungsi ini dapat mengakibatkan kehilangan legitimasi,
sebagaimana terlihat dalam kasus anak-anak Eli.26
Sistem Urim dan Tumim memberikan dimensi khusus dalam
legitimasi keimaman, di mana Imam Besar memperoleh otoritas untuk
menentukan kehendak Allah dalam situasi-situasi yang memerlukan
keputusan ilahi. Hal ini memberikan legitimasi khusus kepada Imam Besar
sebagai penafsir resmi kehendak Allah.27 Penggunaan Urim dan Tumim
menunjukkan bahwa legitimasi keimaman tidak hanya bersifat herediter,
tetapi juga fungsional, di mana kemampuan untuk berkomunikasi dengan
Allah menjadi indikator legitimasi yang penting.
Sebelum masa kerajaan, Israel dipimpin oleh para hakim yang
memperoleh legitimasi melalui panggilan langsung dari Allah dan
kemampuan mereka untuk membebaskan bangsa dari penindasan. Model
kepemimpinan ini menunjukkan bahwa legitimasi dapat diperoleh melalui
charisma dan efektivitas kepemimpinan.28
Para hakim seperti Gideon, Debora, dan Samson memperoleh
legitimasi tidak melalui garis keturunan atau institusi formal, tetapi
melalui manifestasi kuasa Allah dalam kehidupan mereka. Hal ini
menciptakan model kepemimpinan yang fleksibel dan responsif terhadap
kebutuhan situasional.
Transisi dari periode hakim-hakim ke monarki menandai
perubahan signifikan dalam konsep legitimasi kepemimpinan.
Penunjukan Saul sebagai raja pertama Israel menunjukkan bagaimana
legitimasi dapat diperoleh melalui pengurapan nabi sebagai representasi
kehendak Allah. Legitimasi monarki Israel berbeda dengan sistem
kerajaan di sekitarnya karena tetap tunduk pada otoritas Allah melalui
hukum Taurat dan pengawasan para nabi. Raja-raja Israel tidak
memperoleh legitimasi absolut, tetapi legitimasi kondisional yang
bergantung pada kesetiaan mereka terhadap perjanjian.
Konsep legitimasi dalam Perjanjian Lama tidak hanya memberikan
otoritas kepada para pemimpin, tetapi juga menciptakan sistem
akuntabilitas di mana para pemimpin harus mempertanggungjawabkan
kepemimpinan mereka kepada Allah dan umat. Para nabi berfungsi
sebagai pengawas legitimasi ini.29 Sistem akuntabilitas ini mencegah
absolutisme dalam kepemimpinan dan memastikan bahwa kekuasaan
tetap berada dalam kerangka kehendak Allah sebagaimana dinyatakan
dalam Taurat Prinsip legitimasi dalam Perjanjian Lama juga berfungsi
untuk memastikan kontinuitas tradisi keagamaan dan nasional Israel.
Melalui sistem legitimasi yang jelas, tradisi dapat diteruskan dari generasi
ke generasi tanpa kehilangan otentisitasnya. Hal ini memungkinkan Israel
untuk mempertahankan identitas keagamaan dan nasional mereka
meskipun mengalami berbagai krisis politik dan sosial sepanjang sejarah
mereka.30
D. Keimaman Samuel dalam Narasi 1 Samuel 2:11-36
Narasi dalam 1 Samuel 2:11-36 menyajikan kontras yang dramatis
antara kesetiaan Samuel dalam pelayanan imam dengan korupsi anak-anak
Eli. Bagian ini merupakan fondasi penting untuk memahami transisi
kepemimpinan rohani dalam sejarah Israel dan pembentukan karakter Samuel
sebagai imam, nabi, dan hakim terakhir Israel.31 Perikop 1 Samuel 2:11-36
berlatar pada akhir periode hakim-hakim, saat Israel mengalami krisis moral
dan spiritual yang mendalam. Kondisi ini digambarkan dengan ungkapan
"setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri" (Hak.
21:25).32 Dalam konteks inilah Samuel dipanggil untuk menjadi instrumen
pembaruan rohani bagi bangsa Israel.
Keunikan keimaman Samuel terletak pada fakta bahwa ia bukan dari
keturunan Harun, namun dipanggil TUHAN untuk melayani sebagai imam.
Ini memicu pertanyaan teologis yang mendalam: bagaimana TUHAN
dapat memanggil seseorang dari luar garis keturunan Lewi untuk menjadi
imam? Dan apa yang membuat Samuel berbeda dari anak-anak Eli yang
notabene adalah imam turunan yang sah?
Penulis kitab Samuel menggunakan teknik kontras yang sangat efektif
dalam bagian ini. Narasi dimulai dengan gambaran singkat tentang Samuel
yang "melayani di hadapan TUHAN" (ay. 11), kemudian beralih ke deskripsi
panjang tentang kejahatan anak-anak Eli (ay. 12-17), kembali ke Samuel (ay.
18-21), lalu kembali lagi ke anak-anak Eli (ay. 22-25), dan diakhiri dengan
penegasan tentang pertumbuhan Samuel (ay. 26).33
Struktur ini bukan kebetulan. Teknik sandwiching ini menunjukkan
bahwa:
1. Samuel adalah fokus utama narasi
2. Kejahatan anak-anak Eli menjadi latar belakang yang menekankan
kebaikan Samuel
3. TUHAN sedang mempersiapkan pengganti bagi sistem keimaman yang
korup
Nubuat terhadap keluarga Eli (ay. 27-36) menunjukkan bahwa
TUHAN tidak mentolerir korupsi dalam pelayanan kudus. Prinsip "yang
memuliakan Aku akan Kumuliakan, tetapi yang menghina Aku akan Kuhina"
(ay. 30) menjadi hukum universal dalam pelayanan.Bagian ini menandai
transisi dari sistem keimaman yang korup menuju kepemimpinan yang
diperbaharui dalam diri Samuel, yang akan menjadi jembatan menuju era
kerajaan Israel.Kisah Samuel mengajarkan pentingnya integritas dalam
pelayanan rohani. Kesetiaan dalam hal-hal kecil merupakan fondasi untuk
tanggung jawab yang lebih besar. Kegagalan Eli menunjukkan bahaya
nepotisme dalam kepemimpinan rohani dan pentingnya akuntabilitas dalam
pelayanan.34 Pertumbuhan Samuel yang bertahap menunjukkan bahwa
pembentukan pemimpin rohani memerlukan proses yang tidak instan.
E. Gambaran Umum Kitab Samuel
Dalam Alkitab Ibrani kedua kitab dari Samuel diberi judul sesui nama
tokoh utamanya.kedua kitab ini tidak diketahui siapa penulisnya. Ajaran
Talmud (T.B.Baba Bathra) mengingatkan penulisan kitab Samuel (bentuk
Tunggal) Bersama kitab Hakim-Hakim kepada Samuel sendiri. Namun
kematianya tercatat dalam 1 Samuel 25:1,maka sampai sekarang tak
seorangpun menerima secara serius angapan seperti itu. rupanya Samuel
memang menulis kehidupan Daud dalam satu karya yang dikenal sebagai
“Riwayat Samuel,pelihat”( 1 Taw.29:29), namun sejauh mana karya ini
memiliki kesamaan dengan kitab-kitab Samuel yang ada dalam kanon tidak
mungkin diketahui.35 Samuel juga menulis tentang hal-hal yang berkaitan
dengan Kerajaan ( 1 Samuel 10:25).
Kitab 1 Samuel mencatat periode transisi penting dalam sejarah Israel,
yaitu perpindahan dari era hakim-hakim menuju era kerajaan. Perikop 2:11-36
berada dalam konteks yang lebih luas tentang kelahiran dan pemanggilan
Samuel sebagai nabi dan hakim terakhir Israel.36 Bagian ini berfungsi sebagai
fondasi naratif yang membangun legitimasi Samuel sebagai pemimpin
spiritual yang sah, sekaligus menunjukkan kegagalan sistem imamat yang ada.
Perikop ini berlatar belakang periode akhir era hakim-hakim (sekitar
abad ke-11 SM), saat Israel berada dalam kondisi spiritual dan politik yang
tidak stabil.37 Tempat perlindungan di Silo menjadi pusat kegiatan keagamaan
Israel, di mana keluarga Eli memegang posisi imamat turun-temurun. Kondisi
moral dan spiritual yang merosot ini mencerminkan gambaran umum Israel
pada periode ini , sebagaimana digambarkan dalam kitab Hakim-
hakim.38 Struktur naratif perikop ini menunjukkan pola kiasme (chiasmus)
yang menggambarkan kontras antara Samuel dan anak-anak Eli:
a. Samuel melayani Tuhan (ayat 11)
b. Kejahatan anak-anak Eli (ayat 12-17)
c. Pertumbuhan Samuel dalam kasih karunia (ayat 18-21)
d. Kejahatan anak-anak Eli dan teguran Eli (ayat 22-25)
e. Pertumbuhan Samuel dalam kasih karunia Tuhan (ayat 26)
f. Nubuat penghakiman atas keluarga Eli (ayat 27-36)
Struktur ini menunjukkan bahwa penulis sengaja menekankan kontras
antara kesetiaan Samuel dengan ketidaksetiaan anak-anak Eli sebagai tema
sentral.39 Tema utama perikop ini adalah kontras antara kesetiaan dalam
pelayanan (Samuel) dengan ketidaksetiaan dalam pelayanan (Hofni dan
Pinehas).40 Samuel digambarkan sebagai model pelayan yang ideal: ia
"melayani Tuhan di hadapan imam Eli" (ayat 11), mengenakan "baju efod dari
kain lenan" (ayat 18), dan "makin besar dan makin disukai, baik oleh Tuhan
maupun oleh manusia" (ayat 26).Sebaliknya, anak-anak Eli digambarkan
sebagai "orang-orang yang tidak berguna" dan "tidak mengenal Tuhan" (ayat
12).41 Ketidaksetiaan mereka bermanifestasi dalam dua aspek utama:
penyalahgunaan jabatan imamat dalam hal persembahan korban (ayat 13-17)
dan pelanggaran moral melalui perzinahan (ayat 22).42
Perikop ini mendemonstrasikan prinsip teologis bahwa Tuhan
menghakimi ketidaksetiaan dalam pelayanan.43 Nubuat dalam ayat 27-36
menunjukkan bahwa penghakiman Tuhan bersifat progresif: dimulai dengan
peringatan (melalui abdi Allah), kemudian eksekusi (kematian Hofni dan
Pinehas), dan akhirnya penggantian sistem (penunjukan imam yang setia).
Konsep pemilihan ilahi (divine election) terlihat jelas dalam kontras antara
penolakan keluarga Eli dengan pemilihan Samuel.44 Tuhan "memilih" keluarga
Harun untuk menjadi imam (ayat 28), namun saat mereka gagal memenuhi
panggilan ini , Tuhan "membangkitkan seorang imam yang setia" (ayat
35). Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan Tuhan bersifat kondisional,
bergantung pada kesetiaan dalam pelayanan.45 Perikop ini menandai awal
transisi kepemimpinan spiritual Israel dari sistem imamat turun-temurun
menuju sistem kenabian yang berdasarkan panggilan langsung dari Tuhan.











