JANGAN ADA PADAMU ALLAH LAIN DI HADAPANKU
Teks-teks Perjanjian Lama berbahasa Ibrani sering menggunakan
istilah yang berbeda untuk menyebut Allah Israel, yakni El, Elohim, dan
Yahweh. Istilah-istilah ini sering digunakan secara bersama-sama atau
bergantian. Pada periode para leluhur Allah disebut dengan menggunakan
nama tiga leluhur Israel. Allah disebut sebagai Allah Abraham, Allah
Ishak, dan Allah Yakub. Pada periode ini Allah memiliki hubungan
pribadi dengan para leluhur. Namun setelah keluar dari Mesir Allah para
* Dosen Fakultas Teologi di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta.
JANGAN ADA PADAMU ALLAH LAIN DI HADAPANKU:
YAHWEH DAN MONOTEISME ISRAEL
leluhur ini menyebut diri-Nya sebagai Allah Israel, Allah kedua belas
suku Yakub, dan menyebut namanya: “ehye asyer ehye”. Fakta-fakta ini
memunculkan pertanyaan apakah Israel sejak masa nenek moyang mereka
telah menganut monoteisme ataukah politeisme. Sebuah kesimpulan
itu sering diajukan, yaitu bahwa monoteisme di Israel yaitu sebuah
proses panjang dimulai sejak peristiwa keluar dari Mesir. Tulisan ini
merupakan upaya membahas penghayatan iman kepada Yahweh di dalam
bingkai monoteisme. Sejarah tentang Musa, tradisi deuteronomistik, dan
tradisi Deutero-Yesaya merupakan tiga kunci penting untuk memahami
penghayatan kepada Yahweh dan monoteisme di Israel.
Henry More, yang dianggap sebagai orang yang pertama kali
menggunakan istilah monoteisme, cenderung melihat agama Yahudi
dan juga agama Kristen sebagai sebuah bentuk monoteisme yang
dipertentangkannya dengan politeisme dan panteisme. Namun tidak semua
ahli berpendapat bahwa monoteisme merupakan bentuk satu-satunya dari
agama Israel. Dalam mengkaji perkembangan kehidupan beragama di
Israel, para ahli cenderung melihat ide monoteisme dalam agama Israel
bukan sebagai sebuah proses sekali jadi tetapi lebih sebagai sebuah
perkembangan dari politeisme menuju henoteisme dan sampai kepada
monoteisme. Pemikiran semacam ini misalnya yang dikembangkan oleh
Julius Wellhausen dan William Robertson Smith. Wellhausen cenderung
melihat Musa sebagai tokoh penting dalam tradisi Yahwisme karena
Musalah yang memberi ide baru tentang Allah kepada umat Israel. Allah
yang diperkenalkan oleh Musa tidak memiliki kemiripan dengan ilah-
ilah yang disembah oleh orang Mesir. Karena itu menurut Wellhausen
konsep monoteisme haruslah dilihat sebagai ide yang berasal dari luar
lingkungan masyarakat Semitik pada waktu itu, karena ide tersebut tidak
sejalan dengan konsep seksual dualisme dari Allah yang pada waktu itu
merupakan sebuah karakter fundamental dari agama Semitik. Tradisi
kenabian kemudian memberi penekanan pada konsep monoteisme ini
secara etis (Wellhausen, 1885: 378, 413-415).
William Robertson Smith memberi penekanan pada relasi politis
antara sebuah bangsa dengan ilah-ilah yang disembahnya dalam konteks
masyarakat Semitik kuno. Relasi ini menurut Smith memperlihatkan juga
solidaritas antara sebuah bangsa dengan ilah-ilah yang disembahnya,
misalnya digambarkan oleh Smith dalam bentuk musuh ilah yaitu juga
musuh bangsa itu dan ilah ikut juga berperang untuk bangsa tersebut,
sebagaimana itu juga sering ditunjukkan dalam Perjanjian Lama. Dengan
demikian sulit untuk seseorang menggantikan ilahnya selain menggantikan
nasionalitasnya. Agama dan juga ilah diwariskan turun-temurun dari
seorang ayah kepada anaknya (William Robertson Smith, 2002: 35-36).
Penekanan Smith di sini yaitu bahwa setiap bangsa memiliki ilahnya
sendiri dan ilah ini diwariskan secara turun-temurun dari ayah kepada
anaknya, dari sebuah keluarga kepada klannya, dan dari klan kepada
bangsanya. Gambaran ini tentu berlaku juga dalam Israel sebagaimana
gambaran tersebut diperlihatkan kepada kita melalui gambaran Allah
Abraham, Ishak, dan Yakub diwariskan kepada anak-cucunya, kepada
bangsa Israel. Smith cenderung melihat ide monoteisme dalam konsep
kerajaan di mana Allah menjadi raja atas bangsa dan ini disuarakan dengan
tegas oleh nabi-nabi Israel (William Robertson Smith, 2002: 74-75).
Ide monoteisme memang sangat kuat dalam Perjanjian Lama, karena
Allah Israel digambarkan sebagai Allah yang tidak tertandingi dan tidak
dapat dibandingkan dengan ilah bangsa-bangsa lain. Allah Israel bahkan
digambarkan memiliki kuasa yang tidak terbatas yang bahkan meliputi
bangsa-bangsa lain, sehingga dia juga dapat menghukum bangsa-bangsa
lain tersebut. Gambaran Allah semacam ini pada satu pihak menuntut
Israel untuk hanya mengandalkan Dia sebagai satu-satunya Allah yang
disembah oleh bangsa Israel, tetapi di sisi lain menimbulkan kecemburuan
dari pihak Allah jika bangsa Israel tidak sungguh-sungguh menjadikan
Dia sebagai satu-satunya Allah Israel. Karena itu ide monoteisme sangat
menonjol dalam hukum-hukum Israel di mana Yahweh menjadi satu-
satunya Allah yang disembah bangsa Israel dan kepada-Nya dituntut
ketaatan penuh dari umat Israel (lih. Ul. 6:12-14).
Tulisan ini pertama-tama mengajak kita untuk melihat kesamaan
dan perbedaan dalam istilah Yahweh dan El. Pembahasan ini dilandasi
atas kenyataan bahwa kedua istilah ini sering dipakai secara bergantian
atau bersamaan dalam Perjanjian Lama. Hal ini membuat ada orang yang
beranggapan bahwa Yahweh dan El yaitu sama. Setelah memahami
persamaan dan perbedaan Yahweh dan El, kita akan membahas konsep
Yahweh dan monoteisme dalam hubungannya dengan Musa. Untuk mem-
bahas bagian ini kita akan banyak mengacu pada tulisan Sigmund Freud,
Moses and Monotheism, dan tulisan Jan Assmann, Moses the Egyptian: The
Memory of Egypt in Western Monotheism, dan The Price of Monotheism.
Selanjutnya kita akan memahami konsep Yahweh dan monoteisme melalui
tradisi deuteronomistik dan Deutero-Yesaya. Sebelum bagian penutup,
pembahasan ini mengajak kita untuk menilai apakah monoteisme Israel
yang berpusat pada Yahweh lebih bersifat eksklusif atau inklusif.
Yahweh dan El: Sama atau Beda?
Dalam teks-teks Perjanjian Lama kita menemukan ada dua sebutan,
Yahweh dan El, yang sering dipakai untuk menyebut Dia yang disembah
oleh umat Israel. Ide atau pemahaman bahwa Israel hanya menyembah
satu Tuhan atau Allah membuat kedua sebutan ini dianggap sebagai satu
atau sama saja. Keduanya bahkan kadang dipakai secara bersamaan untuk
menunjukkan kesamaan antara keduanya. Namun diskusi-diskusi tentang
monoteisme dan perkembangan agama Israel memunculkan pertanyaan
apakah El dan Yahweh memang menunjuk kepada Allah yang sama, ataukah
keduanya pada awalnya berbeda, tetapi seiring dengan perkembangan
agama Israel keduanya disamakan begitu saja satu dengan yang lain. Para
ahli seperti Wellhausen (Prolegomena to the History of Ancient Israel),
F.M. Cross (Canaanite Myth and Hebrew Epic: Essays in the History of
the Religion of Israel) dan J.C. de Moor (The Rise of Yahwism: the Roots of
Israelite Monotheism) cenderung menyamakan keduanya, sedangkan para
ahli seperti John Day (Yahweh and the Gods and Goddesses of Canaan), F.K.
Movers (Die Phönizier), T.N.D. Mettinger (The Elusive Essence: YHWH,
El, and Baal and the Distinctiveness of Israel Faith) and O. Eissfeldt (El
and Yahweh) cenderung membedakan keduanya .
Kesamaan maupun perbedaan antara keduanya juga dapat ditelusuri
melalui teks-teks Perjanjian Lama. Beberapa teks dalam Perjanjian
Lama seperti Keluaran 3:13-15 (dari sumber E) dan 6:2-3 (dari sumber
P), menunjukkan bahwa nama Yahweh tidak dikenal dalam generasi
bapa leluhur. Sebaliknya, Allah justru dikenal dengan nama El-Syaddai,
nama yang baru diperkenalkannya kemudian kepada Abraham (Kej.
17:1—dari sumber P). Marks Smith menegaskan bahwa pada awalnya
El yaitu Allah yang sesungguhnya di Israel, karena nama Israel sendiri
tidak menunjukkan ciri yahwistik (Mark S. Smith, 2002: 32). Jadi tidak
mengherankan jika Yakub menggunakan sebutan El untuk menamai
tempat (El Betel) di mana Allah menampakkan diri kepadanya (Kej.
28:19—dari sumber J). El juga dipakai untuk nama Yakub (Israel) setelah
dia bergulat dengan seorang laki-laki di Yabok (Kej. 32:28—dari sumber
E). Sementara itu teks lain seperti Kejadian 4:26 (dari sumber J) memberi
kesan bahwa Allah telah dikenal sejak masa awal. Dengan demikian kita
melihat bahwa sesungguhnya sampai dengan masa ketiga patriarkh besar,
Abraham, Ishak, dan Yakub, Allah hanya menyatakan diri dan dikenal
sebagai El.
Sejarah bangsa-bangsa Semitik menunjukkan bahwa El bukan
hanya sebutan yang dikenal oleh Israel. Di Kanaan misalnya El merupakan
kepala atas dewa-dewa Kanaan (Green, 2003: 226-230), atau yang oleh
Rainer Albertz digambarkan sebagai “raja dari para dewa” (lih. Albertz,
1994: 77). Kisah pertemuan Abraham dan Melkisedek dalam Kejadian
14:17-24 (dari sumber J) memperlihatkan bahwa Abraham menggunakan
sebutan Yahweh dengan Elyon secara bersamaan, dan memberi kesan
seakan keduanya yaitu satu atau sama. Gerrit Singgih memahami cara
Abraham menyamakan Yahweh dan Elyon (Allah yang Mahatinggi)
sebagai sebuah upaya teologisasi yang bersifat kontekstualisasi yang
pada satu sisi mengidentikkan tetapi pada sisi yang lain membedakan
keduanya (Singgih, 2009: 184-185).2 Kisah mitologi Ugarit juga misalnya,
menggambarkan El sebagai “bapa” yang menjadi kepala atas “keluarga
El”. Dewa-dewa yang lain misalnya dilahirkan oleh istrinya yang tertua,
Athirat, yang memiliki 70 anak laki-laki (Mark S. Smith, 2001: 135-137).3
Contoh-contoh ini memperlihatkan bahwa El bukanlah Allah yang khas
Israel. Sebagai bangsa yang tumbuh berkembang dan dipengaruhi oleh
masyarakat di sekitarnya dapat disimpulkan di awal sini bahwa ide tentang
El di Israel juga mendapat pengaruhnya dari masyarakat di sekitarnya,
dan El yaitu Allah yang lebih dikenal pada era patriarkh besar Israel.
El di sini lebih dihubungkan dengan bapa leluhur dan menggunakan
nama bapa leluhur, Abraham, Ishak, dan Yakub. Hal ini menggambarkan
konsep Allah yang terhubung dengan keluarga dan klan atau konsep Allah
yang diwariskan dari ayah kepada anaknya dan dari generasi yang satu
ke generasi lainnya dalam sebuah klan, sebagaimana yang dikemukakan
oleh William Robertson Smith dalam bagian sebelumnya.
Dalam penafsirannya atas Ulangan 32:8-9 Mark S. Smith membuat
pembedaan antara El dan Yahweh. Yahweh bahkan dimaknai sebagai yang
memiliki posisi yang lebih rendah dari El (Elyon, ‘Yang Mahatinggi’).
Yahweh digambarkan sebagai salah satu anak dari El. Israel yaitu bagian
yang diterima Yahweh dari El (Mark S. Smith, 2002: 32). Hal ini bisa
dipahami jika mengacu kepada pemikiran bahwa sebagaimana di Babilonia
dan Ugarit, agama keluarga di Israel juga memiliki salah satu komponen
penting, yaitu penyembahan terhadap dewa-dewa atau ilah-ilah lokal atau
setempat, di samping kultus kepada leluhur. Oleh karena itu terdapat tempat
suci yang menjadi tempat untuk melakukan penyembahan kepada seorang
ilah (lih. van der Toorn, 1996: 236). Rowley bahkan menegaskan bahwa
kecil kemungkinannya bahwa para bapa leluhur menyembah Yahweh.
Umat Israel-lah yang membayangkan bahwa Yahweh yang mereka sembah
yaitu juga Yahweh yang disembah oleh bapa leluhur mereka. Sehingga
sebenarnya ada sebuah proses sinkretisme di mana El-El (Elyon dan El
Syaddai) yang disembah oleh bapa leluhur diidentikkan dengan Yahweh.
Meskipun demikian Rowley memberi catatan bahwa El-El yang disembah
oleh bapa leluhur tidak bisa disamakan begitu saja dengan El-El yang
disembah oleh masyarakat di sekitarnya (Rowley, 2004: 6-8). Catatan-
catatan ini menunjukkan kepada kita bahwa ada sebuah perkembangan
pemikiran tentang Allah yang disembah oleh Israel, yakni dari “Allah
Keluarga” menjadi “Allah Bangsa”.
Catatan-catatan di atas juga membawa kita kepada sebuah
pemahaman bahwa dalam konteks Israel Yahweh dan El pada mulanya
dibedakan tetapi kemudian dianggap sama. Yahweh juga tidak dianggap
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari El. El dan Yahweh juga
disamakan karena mereka sama-sama menunjukkan karakter yang
peduli terhadap keberadaan manusia (Mark S. Smith, 2002: 39-41). Jika
dibandingkan dengan baal, keberadaan El memang tidak dianggap sebagai
ancaman terhadap keberadaan Yahweh. Karena itu sesudah zaman para
hakim sampai dengan zaman monarki yang dianggap sebagai ancaman
terhadap Yahweh yaitu baal dan bukan El. Karena itu dalam kisah raja-
raja, Yahweh selalu berada di dalam konfl ik dengan baal. Konfl ik yang
sebelumnya tidak dijumpai pada era para hakim. Kondisi ini juga yang
dapat menjadi alasan kenapa El dan Yahweh pada akhirnya dianggap sama
(lih. Mark S. Smith, 2002: 46-47). Dan karena itu kedua sebutan tersebut
sering dipakai secara bergantian untuk menyebut oknum yang sama yang
disembah oleh Israel. Karena itu agak sulit untuk memberi penegasan
bahwa konsep agama Israel yaitu henoteisme.4 Konsep agama seperti ini
memang lebih pas bagi masyarakat di sekitar Israel, seperti di Ugarit, di
mana ada El tertinggi yang menjadi kepala atas El-El yang lain. Karena
henoteisme mengandaikan bahwa ada banyak ilah tetapi hanya ada satu
ilah yang lebih berkuasa dan yang menjadi kepala atas ilah-ilah yang lain
(lih. Noll, 2001: 132-134; Versnel, 1998: 35-38).5 Bahkan pemahaman
yang lunak terkait henoteisme di mana diberi ruang untuk orang percaya
boleh memiliki juga ilah personalnya di samping ilah yang umum dan
utama juga tidak menonjol dalam teks-teks Perjanjian Lama. Saya berada
dalam posisi bahwa sampai dengan era bapa leluhur konsep monoteisme
ini juga dipegang oleh bapa leluhur, karena mereka berpegang atau percaya
kepada Allah yang sama, yang diwariskan secara turun-temurun dalam
keluarga atau klan. Dalam hal beberapa perbedaan nama yang dipakai,
seperti El Elyon dan El Syaddai, hal ini merupakan upaya bapa leluhur
untuk menerjemahkan Allah dalam konteks perjumpaan dengan yang
lain, atau yang diistilahkan oleh Singgih dengan upaya teologisasi yang
bersifat kontekstualisasi. Tetapi mereka tidak menganggap Allah mereka
sama saja dengan Allah yang lain.
Dalam gambaran bangsa-bangsa di sekitar Israel, El juga memiliki
peran yang mirip dengan Yahweh. Di samping gambaran yang umum
tentang El yang memiliki kuasa di atas segala ilah, demikianlah juga
gambaran Yahweh dalam Perjanjian Lama. Karena itu teks-teks Perjanjian
Lama misalnya menggambarkan ketidakberdayaan ilah-ilah bangsa-
bangsa lain dalam berhadapan dengan Yahweh, Allah Israel. Sebagaimana
gambaran Yahweh dalam Alkitab Perjanjian Lama, El dalam konteks
masyarakat Ugarit juga dijuluki sebagai bapa dan pencipta. El juga
digambarkan memiliki kekekalan, sebagaimana julukan El Olam bagi El
Israel. Sama seperti Yahweh yaitu pahlawan perang bagi Israel (lih. Lind,
1980), El juga digambarkan sebagai pejuang (warrior) (Cross, 1997: 15-
19, 40). Karena itu kita dapat juga berasumsi bahwa gambaran-gambaran
semacam ini juga dapat menjadi alasan mengapa Yahweh dengan El pada
akhirnya disamakan saja, meskipun kekhasan Yahweh pada akhirnya
mendapat bentuknya dalam tradisi pasca pembuangan.
Musa, Yahweh, dan Monoteisme
Sebagaimana yang sudah disinggung dalam pembahasan di
bagian-bagian sebelumnya, Musa memainkan peran penting dalam
memperkenalkan Yahweh kepada Israel dan juga dalam mengembangkan
monoteisme eksklusif Israel kepada Yahweh. Kisah pemanggilan Musa
dan pembebasan Israel dari perbudakan di Mesir seakan menjadi titik
awal perjumpaan Musa dengan Yahweh. Perjumpaan ini dimulai di
gunung Horeb ketika Yahweh memperkenalkan dirinya kepada Musa
dengan menyebut nama-Nya: “ehye asyer ehye” yang secara harafi ah
dapat diterjemahkan sebagai: “Yang telah ada, Yang ada, dan Yang akan
ada”. Perjumpaan Musa dengan “ehye asyer ehye” ini memang dapat
menimbulkan beberapa penafsiran, terutama jika menafsirkan dialog
Musa dan Tuhan dalam Keluaran 3:13.
Dialog Musa dan Tuhan dalam Keluaran 3:13 memunculkan
pertanyaan: “mengapa orang Israel perlu tahu nama Allah nenek moyang
mereka?” Apakah itu berarti bagi mereka tidak cukup hanya memanggil
atau menyebut Allah nenek moyang mereka dengan Allah Abraham, Allah
Ishak, dan Allah Yakub? Keluaran 3:13 dapat saja memberi kesan bahwa
perbudakan di Mesir telah menghadirkan sebuah generasi baru yang tidak
terlalu akrab dengan Allah nenek moyang mereka: Allah Abraham, Allah
Ishak, dan Allah Yakub. Generasi Israel yang baru ini mungkin belajar
bahwa sebagaimana ilah Mesir yang mempunyai nama, seperti: Ra, Isis,
Osiris, Atum atau Aton (Aten), Allah Israel juga tentu punya nama. Tidak
cukup bagi mereka untuk hanya menyebut atau menghubungkan nama
Allah itu dengan nama nenek moyang mereka. Dengan begitu Israel juga
akan memiliki Allahnya yang khas, sebagaimana yang juga diusulkan
oleh Alexander Rofé (Rofé, 2002: 19).
Bisa juga rasa ingin tahu tentang nama Allah Israel ini sesungguhnya
yaitu keingintahuan Musa sendiri. Mungkin saja Musa yang dibesarkan
dalam lingkungan istana Mesir lebih mengenal ilah yang disembah orang
Mesir ketimbang mengenal Allah bangsanya sendiri. Karena jika Musa
dibesarkan dalam lingkungan istana Mesir agak sulit membayangkan
bahwa Musa dapat dengan bebas mempraktikkan kepercayaannya kepada
Allah bangsanya, Israel. Bisa jadi Musa lebih dididik dalam kepercayaan
kepada ilah Mesir yang memiliki namanya, karena itu ketika Allah Israel
memperkenalkan diri kepadanya, Musa juga ingin tahu siapa nama-Nya.
Kitab Keluaran sendiri tidak memberikan informasi yang jelas terkait
dengan kehidupan Musa sebelum peristiwa perjumpaannya dengan
orang Mesir yang memukul orang Ibrani (Kel. 2:11). Dugaan kurangnya
pengenalan Musa kepada Allah Israel ini juga bisa diterangkan dari
peristiwa di gunung Horeb. Menarik bahwa Lembaga Alkitab Indonesia
(LAI) menerjemahkan jawaban Musa atas panggilan Allah dalam
Keluaran 3:4 (hinnênî) dengan “Ya, Allah”. Terjemahan ini memberi
kesan seakan-akan Musa tahu benar siapa yang memanggilnya. Padahal
keberadaan Musa dalam peristiwa pemanggilan ini bisa dibandingkan atau
disejajarkan dengan peristiwa pemanggilan Samuel, di mana, sama seperti
Samuel, Musa tidak tahu siapa yang sebenarnya memanggilnya. Karena
itu jawaban Musa atas panggilan ini lebih tepat diterjemahkan “saya di
sini”, sebagaimana yang diterjemahkan oleh Alkitab Bahasa Indonesia
Sehari-hari (BIS) atau kebanyakan terjemahan lainnya.
Minimnya pengetahuan Musa tentang Allah Israel ini juga
dikemukakan dengan tegas oleh Sigmund Freud dalam bukunya
Moses and Monotheism. Mengutip pemikiran Eduard Meyer, Freud
cenderung menekankan kepercayaan kepada Yahweh sebagai sebuah
bentuk kepercayaan baru yang bukan diperoleh di Mesir melainkan
di Meribat-Qades. Penyembahan terhadap Yahweh dianggap sebagai
pengambilalihan atas penyembahan dari suku Arab di Midian. Namun
pemikiran Freud tampak berbeda dengan pemahaman umum yang ada,
ketika dia mengatakan bahwa peran Musa dan agama Atonnya berakhir
ketika kepercayaan kepada Yahweh diperkenalkan kepada orang Yahudi,
meskipun tradisi dan sejarah yang berhubungan dengan Mesir masih tetap
diwariskan (Freud, 1939: 55-58).
Freud memang mengusulkan bahwa agama yang diperkenalkan oleh
Musa kepada orang Israel (Freud lebih senang memakai istilah Yahudi6)
yaitu sebuah agama orang Mesir (an Egyptian religion, bukan the
Egyptian one). Freud bahkan dengan tegas mengatakan bahwa agama itu
yaitu agama Aton, yang berhubungan dengan Ikhnaton (atau Akhenaten,
dalam tulisan Jan Assmann, Moses the Egyptian) (Freud, 1939: 34-50).
Agama Aton juga dimengerti merupakan sebuah bentuk monoteisme yang
eksklusif dan ini terlihat dari salah satu himne yang dihubungkan dengan
Aton yang berbunyi: “Oh, Engkaulah Allah satu-satunya! Tidak ada
Allah lain selain Engkau” (Freud, 1939: 37-38). Pernyataan ini memiliki
kesejajaran dengan Syema Israel (Ulangan 6:4) dan juga pernyataan
tegas dalam Ulangan 5:7, “Jangan ada padamu allah lain di hadapanmu”.
Pernyataan-pernyataan semacam ini memang khas dalam agama-agama
monoteistik, sebagaimana yang juga ditemukan dalam Islam: “lā ʾilāha
ʾil ʾāllāh (tiada Tuhan selain Allah). Karena itu monoteisme, menurut
pemikiran Freud, bukan hal yang baru bagi Musa. Jadi monoteisme bukan
baru dikenal melalui kepercayaan kepada Yahweh, melainkan juga melalui
agama Aton.
Menurut Freud, monoteisme eksklusif melalui agama Aton ini, dan
sebagaimana juga melalui kepercayaan kepada Yahweh, bukan berarti
tidak mengakui keberadaan ilah yang lain. Keberadaan ilah lain diakui,
namun Aton, begitu juga Yahweh, harus diakui sebagai Yang Satu-satunya.
Dalam kaitannya dengan monoteisme eksklusif dalam agama Aton, sunat
merupakan ritus penting dan orang Mesir telah lama mempraktikkan sunat.
Karena itu Freud memiliki alasan kuat bahwa Musa telah mengambil alih
tradisi ini dari bangsa Mesir dan menjadikannya sebagai ritus penting
bagi orang Yahudi (Freud, 1939: 44-46, 48-50). Pemikiran Freud ini tentu
saja berbeda catatan Perjanjian Lama yang menurut kitab Kejadian telah
diperkenalkan sejak masa Abraham, nenek moyang Israel (Kej. 17). Sunat
ini bahkan merupakan tanda perjanjian antara Allah dengan Abraham dan
segala keturunannya. Karena itu seluruh keturunan Abraham (kedua belas
suku Israel) harus disunat.
Freud memang memberikan pemahaman yang tidak umum dalam
pemikiran Kristen umumnya. Namun pemikiran Freud ini setidaknya
mengingatkan kita bahwa Musa dan kedua belas suku Israel berada
dalam sebuah proses yang tidak sekali jadi dalam membangun iman
kepada Yahweh sebagai satu-satunya Allah. Freud juga ingin mengatakan
monoteisme bukanlah sebuah konsep baru atau satu-satunya milik Israel,
melainkan juga sudah dikenal dalam agama atau kepercayaan lain di
sekitar kedua belas suku Israel. Namun dalam tulisan Freud ini tidak ada
pembedaan yang jelas antara monoteisme dan monolatri. Pemikiran Freud
ini seakan memberi kesan tidak ada sebuah proses dari monolatri menjadi
monoteisme. Sebagaimana yang sudah saya kemukakan sebelumnya7 sulit
untuk mengatakan bahwa kepercayaan kepada Yahweh dalam kedua belas
suku Israel sejak awal yaitu sebuah monoteisme, karena monoteisme
yaitu sebuah proses yang panjang (band. Liverani, 2007: 205). Menurut
saya lebih tepat jika dikatakan bahwa kepercayaan kepada Yahweh yang
diperkenalkan oleh Musa masih lebih merupakan sebuah monolatri.8
Atau dalam pengertian yang lebih maju dapat disejajarkan dengan ide
Norman Gottwald tentang “mono-Yahwism”. Monolatri ini mengalami
perkembangan menuju kepada monoteisme ketika Israel mengikat
perjanjian dengan Yahweh dan membangun kesetiaan hanya kepada
Yahweh melalui pendampingan para nabi dan mencapai puncaknya dalam
tradisi Deutero-Yesaya dan tradisi deuteronomistik.
Tulisan Jan Assmann, Moses the Egyptian, dapat juga menolong
kita untuk memahami monoteisme pada era Musa. Ide monoteisme
Musa ini oleh Assmann disebut dengan “Mosaic Destinction”. “Mosaic
Destinction” bukan berkaitan dengan perbedaan antara Allah yang satu
dan ilah yang banyak, tetapi berhubungan dengan perbedaan antara agama
yang benar dan agama yang salah, tentang ilah yang benar dan ilah-ilah
yang salah, tentang doktrin yang benar dan doktrin yang salah, tentang
pengetahuan dan ketidaktahuan, dan tentang orang percaya dan orang
yang tidak percaya (Assmann, 1998: 2; 2010: 2). Tulisan Assmann ini
menyajikan beberapa kesejajaran dengan tulisan Freud, terutama tentang
Musa Mesir dan Akhenaten (Assmann) atau Ikhnaton (Freud). Akhenaten,
yang tidak lain yaitu Amenhotep IV, memiliki peran penting dalam
menghadirkan bentuk penyembahan ilah yang monoteistik eksklusif.
Assmann memberikan uraian yang lebih jelas tentang monoteisme
Ihknaton atau Aton yang diwariskan Musa kepada orang Yahudi dalam
tulisannya. Seperti Freud, Assmann juga membuat pembedaan antara
Musa Mesir dan Musa Ibrani (Assmann, 1998: 11-12).
Dalam hubungannya dengan “Mosaic Destinction” Assmann
mengatakan bahwa dalam agama politeistik ada kesamaan antara ilah-
ilah yang disembah di berbagai wilayah. Nama mereka menjadi berbeda
karena perbedaan budaya dan terlebih perbedaan bahasa. Kesamaan
fungsilah yang membuat ilah pada agama yang satu dapat disejajarkan
dengan agama yang lain. Lebih lanjut Assmann mengatakan:
“The different peoples worshipped different gods, but nobody contested
the reality of foreign gods and the legitimacy of foreign forms of worship.
The distinction I am speaking of simply did not exist in the world of
polytheistic religions” (Assmann, 1998: 3).
“Mosaic Destinction” yaitu perlawanan terhadap agama politeistik
atau paganisme ini. Baginya penyembahan kepada sebuah personifi kasi
(baik dalam bentuk gambar atau patung) dianggap sebagai kesalahan
absolut, kepalsuan dan kesesatan. Politeisme dan penyembahan berhala
dianggap sebagai bentuk dari beragama yang salah. Sikap ini tercermin
jelas dalam larangan kedua dalam dasa titah yang diberikan Tuhan kepada
Israel melalui Musa (Assmann, 1998: 4).
Jauh sebelum Israel berproses ke arah monoteisme yang eksklusif,
sebagaimana dipaparkan Assmann, Mesir telah berproses dari politeisme
menuju kepada monoteisme eksklusif. Namun Assmann menggambarkan
proses ini sebagai sebuah perubahan mendadak yang terjadi di era
Amenhotep IV. Amenhotep IV menyebut dirinya sebagai Akhenaten dan
mendirikan sebuah kuil untuk menyembah ilah Aten (Freud: Aton) dan
menjadi sebuah era baru di masa dinasti Amarna. Perubahan mendadak
yang dilakukan Akhenaten ini mendatangkan goncangan bagi warga
yang selama ini menganut politeisme. Situasi ini digambarkan dalam
Tutankhamun’s “Restoration Stela” (Assmann, 1998: 27):
The temples of the gods and goddesses were desolated
from Elephantine as far as the marshes of the Delta,
their holy places were about to disintegrate,
having become rubbish heaps, overgrown with thistles.
Their sanctuaries were as if they had never been,
their houses were trodden roads.
The land was in grave disease [znj-mnt].
The gods have forsaken this land.
Setelah membahas Akhenaten dan penutupan kuil-kuil ilah-ilah,
Assmann berbicara tentang peranan Musa dalam hubungannya dengan
“Mosaic Destinction”. Kisah pertama tentang Musa berhubungan
dengan Osarsiph, seorang imam Heliopolitan. Osarsiph dipilih oleh para
penderita kusta untuk memberontak melawan Raja Amenophis yang
telah menyingkirkan mereka. Osarsiph kemudian membuat undang-
undang bagi mereka dan salah satu peraturan yang pertama yang utama
berhubungan dengan larangan menyembah ilah-ilah. Osarsiph akhirnya
bersama dengan kaum kusta dan Hyksos berhasil mengusir Amenophis ke
Etiopia. Hyksos dan kaum kusta kemudian berkuasa atas Mesir selama tiga
belas tahun. Di masa ini kota-kota dan kuil-kuil diobrak-abrik, gambar-
gambar suci dihancurkan. Tempat-tempat suci berubah menjadi dapur
dan hewan-hewan suci dipanggang di atas api. Sementara itu Osarsiph
mengambil nama “Musa” sebagai nama dirinya. Manetho, imam Mesir
yang menulis sejarah Mesir pada era Ptolemy II, menyebut Musa sebagai
imam Mesir pemberontak yang menjadikan dirinya sendiri pemimpin atas
koloni kaum kusta. Dalam kisah ini Amenophis dan cucunya Ramses pada
akhirnya kembali ke Mesir dan mengusir kaum kusta dan para sekutunya
(Assmann, 1998: 4, 31-34).9
Kisah lain yang ditulis oleh Hekateus dari Abdera, seorang penulis
kisah non-alkitabiah tentang Keluaran dan yang datang ke Mesir tahun
320 sebelum Masehi, menyebutkan bahwa Musa melarang pembuatan
gambar-gambar ilahi, karena Allah tidak memiliki wujud manusia
dan tidak dapat digambarkan. Sementara itu Takitus, yang membuat
kesimpulan dengan menggabungkan beberapa versi dari tradisi keluaran,
menghubungkan Musa dengan upaya Raja Bokkhoris yang atas petunjuk
pelihat ingin membersihkan negerinya dengan mengusir suatu ras, yang
menunjuk kepada orang Yahudi, yang tidak disukai oleh ilah-ilah. Orang
Yahudi kemudian diusir ke padang gurun dan di sana mereka menjadikan
Musa sebagai pemimpin mereka yang memimpin mereka ke Palestina
dan mendirikan Yerusalem. Musa kemudian membuat sebuah agama baru
yang sungguh-sungguh berlawanan dengan agama-agama lain. Takitus
mencirikan konsep ilah orang Yahudi sebagai monoteistik dan anikonik.
Berbeda dengan orang Mesir, orang Yahudi berpegang pada satu ilah dan
satu-satunya (Assmann, 1998: 34, 37).
Strabo yaitu sejarawan yang menyimpulkan agama Musa sebagai
agama yang monoteistik. Menurut Strabo ketidakpuasan Musa, seorang
imam Mesir, terhadap agama Mesir mendorong dia untuk mendirikan
sebuah agama baru dan bersama para pengikutnya berimigrasi ke
Palestina. Ia tidak setuju dengan cara menggambarkan ilah-ilah dalam rupa
binatang. Pengakuan akan yang ilahi yang satu-satunya dan yang tidak
dapat diwujudkan dalam gambar apa pun merupakan ekspresi agamanya.
Allah ini hanya bisa didekati dengan cara hidup bijak dan adil (Assmann,
1998: 38).
Sebenarnya masih ada kisah-kisah lain yang disajikan Assmann
yang berkaitan dengan Musa dan prinsip monoteistik. Namun secara
umum kisah-kisah ini memperlihatkan bahwa ide “Allah sebagai yang
satu-satunya disembah” tidak dapat dipisahkan dari peranan Musa. Konsep
agama ini tidak dapat dipisahkan dari pengalaman Musa selama di Mesir
sebagai seorang imam Mesir. Kisah-kisah yang disajikan Assmann ini
memang berbeda dengan yang dapat dibaca dalam Alkitab. Namun Alkitab
sendiri memperlihatkan peran penting dari Musa dalam memperkenalkan
konsep monoteisme, “tidak ada ilah lain selain Tuhan atau Yahweh”.
Konsep inilah yang diperkenalkan Musa kepada kedua belas suku Israel
sejak mereka keluar dari perbudakan di Mesir. Meskipun demikian
menurut Assmann monoteisme dalam Alkitab, sebagaimana terlihat dalam
Keluaran dan Ulangan, pada intinya lebih bersifat politik. Pemahaman ini
baru mengalami perluasan makna dalam kitab Deutero-Yesaya dan teks-
teks yang lebih kemudian di mana lebih bersifat kognitif dan ontologis.
Pemahaman monoteisme yang berkembang selama berabad-abad ini
menjadi sebuah keyakinan bahwa hanya ada satu Tuhan dan satu-satunya
dan bahwa yang disembah oleh orang kafi r yaitu ilah-ilah yang tidak
ada (Assmann, 1998: 38). Dengan demikian penjelasan Assmann ini akan
lebih menolong kita dalam memahami konsep monoteisme dalam tradisi
deuteronomistik dan tradisi Deutero-Yesaya.
Monoteisme dalam Tradisi Deuteronomistik
Monoteisme yang berpusat pada ibadah kepada Yahweh
sesungguhnya baru mendapat tempatnya pada zaman pembuangan di Babel
dan setelah pembuangan lebih dihubungkan dengan kerajaan Yehuda.
Kitab Deuteronomium memberikan perhatian yang besar terhadap ide
monoteisme ini dan memberi kesan seakan-akan monoteisme merupakan
konteks agama Israel sejak awal. Ulangan 4:32-40 dan 1 Raja-raja 8:60
misalnya, sering dipakai untuk menunjuk kepada ide monoteisme secara
implisit dalam kitab Deuteronomium. Bagi tradisi deuteronomistik alasan
terbesar dari pembuangan Israel ke Babel yaitu pemberontakan mereka
terhadap Yahweh sebagai satu-satunya Allah yang harus mereka sembah.
Namun menurut Erik Aurelius persoalan yang utama bukan terletak
pada ilah-ilah lain tetapi pada tempat pelaksanaan kultus penyembahan
kepada Yahweh. Karena bagi Israel sudah ditentukan di mana mereka
harus melaksanakan kultus penyembahan mereka (lih. Ul. 12:13-14).
Karena itu larangan dan aturan yang tertua dalam tradisi deuteronomistik
berhubungan dengan “jangan ada tempat pelaksanaan kultus yang lain”,
dan larangan dan aturan yang lebih muda berkaitan dengan “jangan ada
ilah yang lain” (Aurelius, 2003: 145-169 [146-148]).
Kedua sisi kultus monoteisme ini, mendapat tempat dalam
reformasi Yosia, di mana reformasi Yosia bukan hanya menyingkirkan
dewa-dewa atau ilah-ilah lain yang disembah oleh raja sebelumnya dan
juga umat Israel, tetapi juga menjadikan rumah Tuhan sebagai pusat
kultus peribadahan Israel (2 Raj. 22-23; 2 Taw. 34-35). Dasar pemikiran
reformasi dalam 2 Tawarikh 34 memang berbeda dengan 2 Raja-raja.
Dalam 2 Tawarikh 34 ada dua dasar pijak untuk melakukan reformasi.
Dasar pijak yang pertama yaitu keinginan Yosia untuk mencari Allah
Daud (El), bapa leluhurnya. Dasar pijak ini tidak ditemukan dalam 2
Raja-raja 22. Dasar pijak yang kedua, yang juga dinyatakan dalam 2 Raja-
raja 22 yaitu kitab Taurat yang ditemukan dalam rumah Tuhan. Peter C.
Craigie menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kitab Taurat di sini
yaitu teks Deuteronomium. Alasannya yaitu sebagai berikut (Craigie,
1976: 48-49):
(a) The reading of the book caused the king great consternation, even
though reform measures were already being undertaken. There is a
strong possibility that it was the “curse” section of Deuteronomy (27-
28) which caused such consternation; this interpretation may fi nd some
confi rmation in the words of Huldah (2 K. 22:19; 2 Chr. 34:24).
(b) The immediate response to the discovery of the renewal of the covenant.
This action would be entirely consistent with the nature and purpose of
Deuteronomy as a covenant document.
Meskipun demikian tidak dapat dipastikan bahwa apakah buku
kitab Taurat yang ditemukan ini yaitu seluruh kitab Deuteronomium
ataukah bentuk yang lebih awal dari kitab Deuteronomium yang ada
sekarang. Menambahkan alasannya ini, Peter Craigie juga menyatakan
bahwa penyebutan perayaan Paskah dalam reformasi Yosia (2 Raj. 23:21-
23; 2 Taw. 35:1-7) sesuai dengan identifi kasi yang diberikan kepada
Deuteronomium.
Ulangan 6:4 yang menjadi shema Israel pada satu sisi memberikan
penegasan pada monoteisme mutlak dalam agama Israel, tetapi pada
sisi yang lain memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan
di seputar hubungan Yahweh dan El, bahwa mereka yaitu sama atau
satu. Shema ini juga dapat dianggap sebagai pernyataan singkat dan
penegasan atas apa yang sudah disampaikan sebelumnya dalam Ulangan
5:7-10 dan Keluaran 20:3-6 (dari sumber P). Penerimaan atas shema ini
memiliki konsekuensi pada perilaku hidup yang harus ditunjukkan oleh
Israel kepada Yahweh sebagai satu-satunya Tuhan yang harus disembah
oleh Israel. Konsekuensi itu diwujudkan dalam ungkapan cinta kepada
Yahweh-Elohim dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan. Tanggung
jawab dalam relasi umat dengan Tuhan yang disembahnya inilah yang
ditekankan kembali dalam Perjanjian Baru oleh Yesus. Jika rasa cinta ini
sungguh-sungguh diwujudnyatakan maka tidak terjadi ibadah kepada ilah
lain seperti yang diingatkan dalam Ulangan 6:14.
Tradisi deuteronomistik tidak hanya ingin menampilkan ide
monoteisme yang dilekatkan pada Yahweh, tetapi ide ini diletakkan
dalam bingkai keunikan Yahweh dalam relasinya dengan umat Israel.
Keunikan ini terletak pada tindakannya bagi Israel, terutama berkaitan
dengan peristiwa keluaran dari Mesir. Menurut Alexander Rofé apa yang
dilakukan Yahweh, yang ditunjukkan dalam Ulangan 4:34 (“mengambil
baginya suatu bangsa dari tengah-tengah bangsa yang lain”), menunjuk
kepada sebuah pemikiran yang umum berlaku dan yang juga dijumpai
dalam Alkitab, yaitu bahwa setiap bangsa memiliki ilahnya yang
khas (Rofé, 2002: 19). Di samping itu keunikan yang juga ditonjolkan
Deuteronomium yaitu keberadaan Yahweh sebagai pencipta manusia
dan bahwa Dia yaitu Allah yang berada di langit dan yang berada di
bumi. Tidak ada yang lain selain Allah. Karena itu sudah seharusnya hanya
Yahweh yang disembah oleh Israel (Vogt, 2006: 128-133). Pemilihan
Israel lebih ditekankan pada relasi Allah dengan bapa leluhur Israel, di
mana Allah mengasihi mereka dan telah memilih keturunan mereka dan
untuk memberikan kepada mereka apa yang telah dijanjikan-Nya kepada
bapa leluhur mereka (Ul. 4:37-38).
Deuteronomium sesungguhnya menghadirkan sebuah konsep
monoteisme yang bukan karena sebuah pilihan dari yang menyembah
tetapi lebih kepada pilihan dari yang disembah. Bukan Israel yang memilih
Yahweh tetapi Yahweh yang telah memilih Israel. Israel sudah ditentukan
untuk menjadi milik Yahweh. Hal ini menegaskan apa yang dinyatakan
dalam Ulangan 32:9 (“Tetapi bagian Yahweh ialah umat-Nya, Yakub ialah
milik yang ditetapkan bagi-Nya”). Seandainya kita lebih setuju bahwa Israel
juga telah memilih Yahweh untuk menjadi Allah mereka maka pemilihan
itu harus ditempatkan dalam ikatan sosial mereka dengan bapa leluhur
mereka. Ikatan sosial dengan bapa leluhur ini kemudian menjadi ikatan
perjanjian yang dibuat Israel dengan Yahweh sendiri. Dalam konteks ini
maka Musa ditempatkan sebagai mediator yang menghubungkan tradisi
penyembahan Yahweh pada masa bapa leluhur dengan pada masa bangsa
Israel.
Monoteisme dalam Tradisi Deutero-Yesaya
Pembahasan tentang monoteisme dalam bagian ini difokuskan
pada teks-teks dalam Deutero-Yesaya, 40-55, yang secara khusus
menyatakan keberadaan Allah sebagai satu-satunya Allah. Sebagaimana
kita ketahui, Yesaya 40-55 yang merupakan pesan bagi umat Israel yang
berada di pembuangan di Babilonia. Dan pesan kepada umat yang berada
di pembuangan ini memuat banyak ide atau konsep yang berhubungan
dengan monoteisme. Lihat saja beberapa bagian berikut ini. Yesaya 42:8:
“Akulah Tuhan (Yahweh), itulah nama-Ku. Dan kemuliaan-Ku tidak
Kuberikan kepada yang lain begitu juga pujian-Ku kepada berhala.”
Yesaya 43:10-11: “... Aku yaitu Dia. Sebelum Aku tidak ada Allah
(’êl) dibentuk, begitu pula tidak akan ada Allah yang eksis setelah Aku.
Akulah Tuhan dan tidak ada yang menyelamatkan selain Aku.” Yesaya
44:6-8: “... Akulah yang pertama dan Akulah yang terakhir, dan tidak ada
Allah (’ĕlōhîm) selain Aku. Siapakah yang seperti Aku? ... Adakah Allah
(’ĕlōwah) selain Aku? Tidak ada Gunung Batu (Allah) lain, tidak ada
yang Aku kenal.” Yesaya 45:5-6: “Aku yaitu Tuhan (Yahweh) dan tidak
ada yang lain; selain Aku tidak ada Allah (’ĕlōhîm). ... tidak ada selain
Aku. Akulah Tuhan (Yahweh) dan tidak ada yang lain.” Yesaya 45:15: “...
Benar Allah (’êl) hanya ada bersamamu dan tidak ada yang lain, tidak ada
Allah (’ĕlōhîm) yang lain.” Yesaya 45:18: “... Aku yaitu Tuhan (Yahweh)
dan tidak ada yang lain.” Yesaya 45:21-22: “... Tidak ada Allah (’ĕlōhîm)
lain selain Aku, Allah (’êl) yang adil dan penyelamat, dan tidak ada yang
lain selain Aku. ... Aku yaitu Allah (’êl) dan tidak ada yang lain.” Yesaya
46:9: “... Akulah Allah (’êl), tidak ada yang lain; Akulah Allah, tidak yang
seperti-Ku.” Yesaya 47:10: “... Aku sendiri, tidak ada yang lain, tidak
ada yang lain.” Yesaya 48:11-12: “... Aku yaitu Dia; Aku yaitu yang
pertama dan juga Aku yaitu yang terakhir.”
Teks-teks Yesaya ini pertama-tama memperlihatkan kepada kita
bahwa dalam pernyataan-pernyataan yang menekankan Allah Israel
sebagai satu-satunya Allah, nama atau sebutan yang dipakai untuk Allah
Israel berbeda-beda. El lebih banyak dipakai untuk menyebut nama Allah
Israel dibandingkan dengan Yahweh tetapi keduanya dianggap sama.
Ini menegaskan kesimpulan sebelumnya (lihat penjelasan dalam bagian
“Yahweh dan El: Sama atau Beda?”) bahwa istilah Yahweh dan El atau
Elohim pada masa kemudian, khususnya dalam konteks Israel sejak pra
pembuangan, tidak lagi dianggap sebagai dua fi gur ilahi yang berbeda.
Tradisi pasca pembuangan bahkan tidak lagi menganggap kedua istilah
atau nama ini berbeda. Para rabi Yahudi mengatakan bahwa kedua nama
ilahi ini hanya menunjuk kepada aspek atau atribut yang berbeda. Elohim
lebih dihubungkan dengan aspek keadilan (justice), sedangkan Yahweh
lebih dihubungkan dengan aspek rahmat (mercy) (Hayman, 1991: 1-15
[12-13]).
Kedua, tidak ada gambaran tentang kecemburuan Allah Israel
kepada ilah lain dalam teks-teks ini. Teks-teks tersebut dengan jelas
menunjukkan bahwa Allah menampilkan diri sebagai satu-satunya Allah.
Allah tidak mengenal adanya Allah lain selain diri-Nya karena yang lain
bukan Allah melainkan berhala. Penegasan ini secara eksplisit tampak
dalam Yesaya 43:10-11. Bukan hanya tidak ada Allah lain selain Allah.
Mereka tidak eksis, baik sebelum maupun sesudah Allah Israel. Pernyataan
ini memperlihatkan ide monoteisme yang tegas. Jejak monolatri tidak
terlihat dalam teks-teks ini. Karena itu dapat dipahami jika Yesaya 42:8
dengan jelas menekankan kemuliaan dan pujian sebagai milik Allah
dan bahkan Allah sendiri tidak akan memberikannya kepada berhala.
Kemuliaan dan pujian ini berhubungan erat dengan karya pembentukan,
perjanjian, dan penyelamatan Allah atas umat. Karena itu kemuliaan dan
pujian hanya menjadi milik Allah satu-satunya. Shalom Paul mengatakan
bahwa hal yang mengejutkan dalam Deutero-Yesaya ini bukanlah tentang
penyelamatan Israel melainkan integrasi bangsa-bangsa lain dengan Israel
dan bahwa mereka juga yang akan mengakui Allah Israel sebagai satu-
satunya Allah yang benar dan akan menyebah-Nya serta memperoleh
pembebasan (Paul, 2012: 19).
Robert Gnuse mengatakan bahwa teolog-teolog pembuangan,
khususnya Deutero-Yesaya memainkan peranan penting dalam
memunculkan monoteisme Israel. Pemikiran Deutero-Yesaya dan orang-
orang sezamannya dapat dikatakan merupakan puncak dan menjadi aspek
penting dari munculnya monoteisme itu. Meskipun demikian tampaknya
Gnuse setuju dengan para ahli yang lain bahwa ide monoteisme Deutero-
Yesaya ini memperlihatkan perjumpaan Yahudi dengan monoteisme
di Persia. Dalam kajiannya atas pemikiran Raffaele Pettazzoni terkait
monoteisme radikal yang tampak dalam agama-agama, seperti: Yahudi,
Kristen, Islam, dan Zoroaster, Gnuse mengatakan bahwa pemikiran
Pettazzoni ini lebih pas dihubungkan dengan Deutero-Yesaya dibandingkan
dengan Musa (Gnuse, 1997: 142, 208). Menurut Pettazzoni,
The affi rmation of monotheism always is expressed by the negation of
polytheism, and this negation is never anything but the verbal symbol of
a combat in which no quarter is given, the combat between a faith in its
death agonies and a new religious consciousness affi rming itself.... Far
from developing out of it by an evolutionary process, monotheism takes
shape by means of a revolution. Every coming of a monotheistic religion
is conditioned by a religious revolution.10
Monoteisme Eksklusif atau Monoteisme Inklusif?
Yahweh sebagai Allah Israel selalu digambarkan sebagai Allah
yang cemburu yang tidak menginginkan adanya ilah lain di sampingnya
(band. Kel. 20:5; 34:14; Ul. 32:12,16-17,21,39). Gambaran seperti ini
dapat diartikan sebagai penonjolan konsep monoteisme dalam agama
Israel, di mana hanya Yahweh satu-satunya yang disembah oleh Israel.
Meskipun demikian perkembangan agama dan penyembahan kepada
ilah memunculkan pertanyaan bahwa apakah agama dan penyembahan
ilah di Israel juga melalui sebuah proses perkembangan atau sejak awal
memang sudah memberikan penekanan pada konsep monoteisme. Dengan
kata lain apakah agama Israel tidak dipengaruhi oleh konsep politeisme,
henoteisme, atau monolatri? Sebagaimana yang juga sudah disinggung
sebelumnya, pendapat para ahli tentang hal ini berbeda satu dengan yang
lain. Peter Hayman mengusulkan ide tentang “dualisme kooperatif”
ketimbang monoteisme, karena melihat adanya perkembangan dalam
konsep Yahweh dalam agama Israel (Hayman, 1991: 11). Juha Pakkala
melihat kemungkinan politeisme dalam struktur agama Israel pada awal
monarki, terutama di kerajaan Israel Utara, secara khusus di Samaria.
Konteks masyarakat kosmopolitan lebih memberi ruang kepada ilah-ilah
lain ketimbang masyarakat periferi yang cenderung lebih memusatkan
agama mereka pada satu atau beberapa ilah saja (Pakkala, 2007: 159-178
[161]). Sementara bagi Westermann tidak ada peralihan dari politeisme
menuju monoteisme dalam agama Israel, terutama jika kita berbicara
tentang agama bapa leluhur, karena agama bapa leluhur bukan berbicara
soal peralihan dari politeisme menuju monoteisme. Tidak ada jejak
politeisme dalam agama bapa-bapa, kecuali jika kita bisa menunjukkan
bahwa keimanan mereka berada di antara dua atau lebih ilah. Kita juga
tidak dapat memastikan misalnya apakah Allah Ishak berbeda dengan
Abraham. Karena bukti tentang perbedaan antara mereka tidak ada
(Westermann, 1992: 201).
Ketika Allah menyuruh Abraham meninggalkan tanah leluhurnya,
Allah tidak memperkenalkan siapa Dia kepada Abraham, meskipun teks-
teks menyebut Allah itu sebagai Yahweh yang kepada-Nya Abraham
memberikan persembahannya. Keluarga Abraham sendiri tidak memiliki
gambaran tentang ilah-ilah. Kisah pencurian terafi m Laban oleh Rahel
tidak menunjukkan bahwa Yakub juga memiliki ilah lain yang mungkin
dikenal atau dipercayainya ketika dia berada di rumah Laban di Paddan-
aram, Mesopotamia. Laban memang menyebut terafi mnya itu sebagai
dewa-dewanya (Kej. 31:30), karena terafi m memang menunjuk kepada
ilah atau berhala atau juga dihubungkan dengan leluhur.11 Jadi ketiadaan
identitas siapa Allah bapa leluhur terutama yang mengutus Abraham ini
memberi ruang bagi munculnya upaya menamai Allah secara bebas, seperti
Elyon (Kej. 14:22) dan El-Roi (Kej. 16:13). Barulah dalam Kejadian
17:1 Allah memperkenalkan diri kepada Abraham sebagai El-Syaddai.
Israel-lah yang mengaitkan dan menyamakan Allah yang mereka sembah
dengan Allah yang disembah oleh bapa leluhur mereka. Karena itu Allah
Israel sering juga disebut sebagai Allah Abraham, Ishak, dan Yakub, Allah
dari bapa leluhur. Menurut Westermann kisah para patriarkh ini sendiri
baru mendapat bentuknya yang defi nitif pada era awal monarki Israel di
mana agama Israel disebut sebagai agama Yahweh, seperti dalam sumber
J. Allah dari bapa-bapa leluhur ini yaitu Allah dalam garis keluarga yang
kemudian berkembang menjadi Allah dari sebuah klan dan Allah dari
sebuah suku (Westermann, 1992: 200).
Gambaran Allah sebagai Allah dari bapa leluhur ini jugalah yang
diperkenalkan kepada Musa ketika berjumpa dengan Allah di gunung
Horeb. Bahkan Allah bapa leluhur juga dianggap sama dengan Allah ayah
Musa. Namun dialog Musa dengan Allah dalam Keluaran 3:13-14 (dari
sumber E) memperlihatkan bahwa keberadaan Allah tidak bisa begitu saja
dihubungkan dengan bapa leluhur. Sama seperti bangsa-bangsa di sekitar
Israel, Allah tentulah memiliki nama atau identitas. Di sini ada perpindahan
dari Allah keluarga atau klan kepada Allah bangsa. Agar Allah bisa diterima
oleh seluruh bangsa maka Dia harus menyatakan nama-Nya bagi seluruh
bangsa. Dozeman melihat dialog ini lebih sebagai upaya menghubungkan
pengalaman bapa leluhur dengan pengalaman umat yang akan dibawa
keluar dari tanah Mesir, karena Allah yang menyatakan diri kepada bapa
leluhur dan umat Israel di tanah Mesir yaitu sama (Dozeman, 2009: 132-
134).
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Ulangan 32:8
memperlihatkan bahwa Yahweh yaitu Allah keturunan Yakub, atau
keturunan Yakub berada di bawah kekuasaan Yahweh. Karena Ulangan
32:8 dimengerti sebagai pembagian wilayah kekuasaan kepada ilah-ilah
di mana Yahweh termasuk di dalamnya. Pemahaman ini mengacu pada
teks asli yang telah mengalami perubahan dalam banyak penerjemahan
(lih. Hayman, 1991: 6; Joosten, 2007: 548-549 [548-555]).12 Menurut
Joosten bagian ini menunjuk kepada masa-masa di mana monoteisme
Israel sedang berhadapan dengan lingkungan politeisme (Joosten, 2007:
549). Penelusuran terhadap Ulangan 32 memperlihatkan bahwa umat
Israel sebenarnya juga mengenal dan bersinggungan dengan ilah-ilah lain
yang ada di sekitar mereka, bahkan memiliki kecenderungan untuk juga
berbakti kepada ilah tersebut. Penelusuran atas Yosua 24 juga menunjukkan
bahwa umat Israel memang memiliki kecenderungan untuk juga
melibatkan ilah lain di dalam kehidupan mereka, sekalipun itu dianggap
sebagai pengkhianatan terhadap Yahweh sebagai satu-satunya Allah yang
disembah oleh bangsa Israel. Sulit untuk membayangkan bahwa Yosua
24:15 misalnya bisa diartikan sebagai kebebasan dalam beribadah kepada
ilah. Bagian ini memberi penegasan terhadap monoteisme Yahwisme
yang kemudian menjadi begitu menonjol dalam tradisi deuteronomistik.
Terkait dengan hal ini Patrick Miller memberikan komentar yang lebih pro-
Yahweh. Menurutnya walaupun ada kemungkinan bahwa dewa-dewa lain
juga disembah, meskipun waktunya berbeda-beda, atau oleh kelompok
yang berbeda-beda, bahkan sekalipun ada tindakan-tindakan sinkretisme
dalam ibadah Israel kepada yang ilahi dari waktu ke waktu, hal ini tidak
merusak keberadaan Yahweh sebagai pusat dari ibadah penyembahan di
sepanjang sejarah Israel kuno (Miller, 2000: 1).
Jika kita mengkaji kultus penyembahan Israel dengan mengacu
pada tradisi kitab Imamat, maka kita menemukan bahwa Yahweh menjadi
pusat dari ritus-ritus dan peribadahan Israel. Dalam pandangan Walter
Houston, sumber P, yang menjadi sumber paling menonjol dalam kitab
Imamat, sangat memberi penekanan pada iman yang monoteistik, di mana
Yahweh sangat ditekankan sebagai Allah dari Israel dan Israel yaitu
umat Yahweh (Houston, 1993: 219). Perintah yang pertama dan kedua
dalam dekalog yang menegaskan prinsip monoteisme dalam agama Israel
dikukuhkan dan dikonkretkan dalam ritus-ritus dan kultus penyembahan
Israel yang disajikan oleh Imamat. Bahkan pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan yang ada dalam ritus atau kultus ini berakibat pada
rusaknya relasi umat Israel dengan Yahweh dan perbaikan relasi ini juga
diwujudkan dalam sebuah proses purifi kasi yang juga berpusat pada ritus-
ritus purifi kasi di mana Yahweh tetap menjadi pusatnya.
Meskipun Sumber P memberi fokus pada ritus peribadahan yang
terpusat pada Yahweh, teks-teks Alkitab tidak menutup kemungkinan
terhadap adanya penyembahan yang dilakukan terhadap ilah-ilah lain.
Era sebelum pembuangan misalnya dimengerti sebagai era penyembahan
berhala di Israel. Israel digambarkan berulang-ulang beribadah kepada
ilah-ilah lain dari bangsa-bangsa yang ada di sekitar mereka (Hakim-
hakim 10:6). Penekanan pada monoteisme yang berpusat pada Yahweh
merupakan perang terhadap penyembahan ilah-ilah lain. Situasi ini
memunculkan asumsi-asumsi bahwa agama Israel pada awalnya yaitu
henoteisme atau monolatri dan berkembang menjadi monoteisme (lih.
Kaufmann, 1960: 7-13). Kisah Gideon dalam Hakim-hakim 6:25-32
memberi petunjuk terhadap ibadah kepada baal di lingkungan Israel. Dan
sama seperti Gideon, Elia juga harus berjuang melawan penyembahan
kepada baal pada masa Ahab (1 Raj. 18:21-40). Sulit untuk memahami
apa yang dilakukan oleh Harun dan umat Israel ketika lama menunggu
Musa turun dari gunung Sinai (Kel. 32:1-6) jika kita beranggapan bahwa
tidak ada praktik semacam itu di lingkungan Israel. Kita tidak mungkin
mengatakan bahwa Israel hanya meniru saja apa yang dilakukan oleh
bangsa-bangsa di sekitar mereka.
Penelitian terhadap ilah lain dalam agama Israel juga telah
memunculkan dugaan tentang penyembahan terhadap Asyera, ilah dari
lingkungan orang Kanaan, di lingkungan Israel. Asyera sudah dikenal
dan juga diterima di lingkungan Israel, baik Israel Utara maupun Israel
Selatan, baik di dalam maupun di luar kultus kerajaan di Samaria dan
Yerusalem, sejak awal masa hakim-hakim sampai dengan beberapa dekade
sebelum keruntuhan Israel Selatan. Raja Manasye misalnya merupakan
salah seorang raja Israel yang melakukan penyembahan kepada Asyera (2
Raj. 21:7). Patung Asyera sering didirikan di dekat altar bagi seorang ilah
(Ul. 16:21). Reformasi yang dilakukan oleh Yosia yaitu juga perlawanan
terhadap ibadah penyembahan Israel yang salah satunya ditujukan kepada
Asyera (2 Raj. 23:4-7) (lih. Mark S. Smith, 2002: 108-147; 1987: 335-337;
Clarke dan Winter, 2006: 21). Bisa diduga bahwa penyembahan terhadap
Asyera memiliki keterkaitan dengan penyembahan terhadap El, karena
Asyera memiliki kedekatan dengan El, bahkan dianggap sebagai istri
dari El yang menurunkan ilah-ilah lain. Dengan demikian ketika Yahweh
disamakan dengan El, penyembahan terhadap Asyerah juga ikut serta
dalam kultus ibadah Israel (lih. Weippert, 1997: 15-17; Cross, 1997: 32).
Studi tentang ide monoteisme dalam agama Israel memang
sering membuka kemungkinan terhadap pertimbangan-pertimbangan
lain terhadap kehadiran ilah-ilah lain dalam kultus penyembahan Israel.
Sehingga pertanyaan yang diajukan pada judul bagian ini selalu terbuka
untuk menjadi sebuah kajian yang tiada akhirnya terhadap studi tentang
monoteisme di Israel. Studi-studi tentang agama Israel, khususnya tentang
kultus penyembahan dalam agama Israel memang memperlihatkan
bahwa kajian-kajian yang ada menunjukkan dua kemungkinan, yaitu
bahwa kehadiran ilah-ilah lain dalam kultus penyembahan Israel juga
dimungkinkan, namun Yahweh harus diberikan tempat utama, atau hanya
Yahweh yang menjadi satu-satunya Allah yang disembah dalam kultus
penyembahan Israel dan tidak ada ruang bagi ilah-ilah lain dalam ibadah
penyembahan Israel.
Penutup: Monoteisme dan Etika Hidup Israel
Sesungguhnya para nabilah yang dianggap sebagai pejuang-pejuang
etika monoteisme. Merekalah yang meneruskan apa yang sudah ditegaskan
dalam kitab Taurat, baik sebelum, selama, maupun sesudah pembuangan
di Babel. Bahkan peristiwa pembuangan semakin mendorong pejuang-
pejuang etika monoteisme ini untuk mendorong bangsa Israel lebih
sungguh-sungguh beribadah kepada Yahweh, Allah mereka, termasuk juga
menunjukkan perilaku hidup yang benar dengan sesama mereka. Menurut
pendapat Bernhard Duhm ide penyembahan kepada Allah sebenarnya
bersifat estetis dan bukan etis, karena penyembahan kepada Allah yaitu
hal yang religius atau estetis. Namun pada masa para nabi hal ini menjadi
bersifat etis, karena agama juga dilihat bersifat etis.13 Nabi-nabi monoteis
seperti Amos dan Yesaya-lah yang memberi akar pada konsep mereka
tentang Allah yang lebih bersifat etis. Monoteisme etis ini bukan sekadar
sebuah logika atau fi lsafat saja tetapi didasari atas keyakinan mereka bahwa
Yahweh yang disembah itu yaitu Allah yang benar jika dibandingkan
dengan ilah-ilah bangsa-bangsa lain. Karena itu monoteisme dalam era
nabi-nabi lebih bersifat praktis ketimbang teori (Ottley, 1905: 75-76).
Jika kita mengkaji lebih lanjut monoteisme Israel ini, maka kita akan
menemukan bahwa monoteisme Israel bukan hanya semata-mata sebuah
konsep agama, tetapi juga sebuah etika bagi hidup umat Israel. Karena
etika atau standar perilaku umat Israel dibangun atas konsep Yahweh yang
yaitu satu-satunya Allah dan yang harus disembah oleh Israel. Yahweh
yang satu ini yaitu Yahweh yang telah menciptakan semua umat manusia
dan juga dunia ini dan ciptaan yang lain, serta menyatakan cinta kasihnya
kepada seluruh ciptaan-Nya ini. Karena itu dalam hukum-hukum dan
tatanan-tatanan yang ditetapkan, umat Israel bukan hanya dituntut untuk
taat dan setia dalam beribadah kepada Yahweh tetapi juga menunjukkan
cinta kasihnya kepada sesamanya dan juga karya ciptaan Allah lainnya.
Ide-ide monoteisme yang dituangkan dalam bentuk hukum-hukum
dan aturan-aturan dalam tradisi deuteronomistik lebih dikembangkan
sebagai sebuah bentuk perilaku hidup umat Israel di tengah-tengah
masyarakat atau dunia di mana dia berada. Hal ini bisa dimengerti jika
kita memahami bahwa Israel tidak hanya diminta untuk setia dan taat
kepada Yahweh, Tuhan mereka, tetapi juga harus mampu memperkenalkan
Yahweh kepada bangsa-bangsa lain melalui setiap perilaku hidup mereka.
Karena itu dalam kritik-kritik para nabi kita melihat bahwa kultus atau
ritus penyembahan kepada Yahweh sebagai satu-satunya Tuhan bangsa
Israel tidak ditempatkan sebagai yang utama dan satu-satunya, melainkan
juga kebenaran Allah yang diwujudkan dalam sikap hidup yang adil dan
benar dengan sesama. Ibadah kepada Yahweh dan perilaku hidup yang
benar di tengah-tengah masyarakat dengan sesama dan juga dengan
seluruh ciptaan Tuhan yaitu etika monoteisme yang harus dipelihara
oleh umat Israel.





.jpeg)





