Tampilkan postingan dengan label kisah-al-qur’an. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kisah-al-qur’an. Tampilkan semua postingan

kisah-al-qur’an

 





kisah-al-qur’anok

 Kisah adalah metode Rabbani yang penuh berkah. Dan termasuk intisari 

pengalaman hidup umat-umat terdahulu-sepanjang perjalanan sejarah- yang 

pada intinya menjelaskan Sunnatullah terhadap umat manusia, serta untuk 

mengetahui sejauh mana Sunnatullah itu terwujud setiap kali sebab dan 

persyaratannya di setiap zaman atau umat. 

Kisah yang diceritakan Al-Qur‟an yang penuh berkah ini benar-benar telah 

terjadi dan dialami oleh umat-umat terdahulu sebelum kita, sebagaimana yang 

telah digambarkan secara sempurna dalam Al-Qur‟an. Maka kisah-kisah Qur‟ani 

itu dapat kita jadikan sebagai bahan tadabbur, renungan dan pelajaran bagi 

perjalanan dan masa depan umat Islam. Apa yang mereka raih berupa kemuliaan 

dan kemenangan serta keberkahan hidup, adalah buah dari kekuatan iman dan 

kesempurnaan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Begitu pula 

kehinaan, kerendahan dan kesempitan hidup yang mereka terima ketika mereka 

telah menyimpang dari jalan yang lurus. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 


“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi 

orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur‟an itu bukanlah cerita yang 

dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya 

dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi 

kaum yang beriman.” (Q.S. Yusuf : 111). 

Dan di antara karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala  yang teragung dan 

umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ini adalah Dia bentangkan di 

hadapannya semua intisari itu dalam Kitab-Nya yang agung ini, sehingga semua 

instisari itu terpelihara dari kepunahan dan penyelewengan. Tidak akan pernah 

terjadi ada tangan-tangan kotor para pengkhianat agama untuk memalsukan 

atau merubahnya. Dan tidak pula tangan-tangan kaum munafik  mampu untuk 

mencurinya atau menyembunyikannya, sebagaimana yang telah menimpa kitab 

Taurat dan Injil yang telah dirubah. 

Kisah-kisah dalam Al Qur`an ini adalah benar dan terjaga keorisinilannya, 

selama masih ada denyut kehidupan di permukaan bumi, selagi matahari masih 

terbit dan tenggelam, sebagai manifestasi dari firman Allah Subhanahu wa 

Ta'ala: 

 

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur‟an, dan 

sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr : 9). 

Setelah semua ini, lalu bagaimana mungkin bagi seorang yang memiliki 

akal sehat tidak merenung sejenak di hadapan kisah-kisah yang benar ini; baik 



  | 5 

 

dengan mempelajarinya, menyucikan diri dengannya, memetik hikmah dan 

mengambil pelajaran darinya serta mengamalkan tuntunannya. Sehingga dia 

dapat meraih ketenangan hidup di dunia dan di akhirat dia mendapat keridhaan 

Allah Subhanahu wa Ta'ala.1 

Selanjutnya pembahasan tentang keagungan kisah-kisah Al-Qur‟an akan 

dikaji melalui bahasan-bahasan berikut: 

  

PASAL PERTAMA:  

 

 

 

 

 

 

Fenomena 

Keagungan Dalam 

Kisah-Kisah Al-

Qur’an 

 

Di antara fenomena keagungan kisah-kisah Al-Qur‟an adalah bahwa ia 

teramat istimewa dibandingkan dengan kisah-kisah lainnya. Kisah-kisah 

ini  sangat kuat pengaruhnya terhadap kemukjizatan Al-Qur‟an, derajatnya 

yang tinggi, struktur seninya dan bukti-bukti benarnya kemurniannya dari 

berbagai noda keraguan.  

Pembahasan keagungan kisah-kisah Al-Qur‟an terinci sebagai berikut: 

1. Bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta'ala 

Sejak kali pertama telah kita maklumi bahwa kisah-kisah yang diceritakan 

dalam Al-Qur‟an itu merupakan bagian dari Al-Qur‟an, sehingga semua 

keistimewaan yang ada pada Al-Qur‟an juga ada padanya. Seperti bahwa ia 

diturunkan dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai wahyu bagi Nabi 

Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam,  serta sampainya kepada kita dengan 

jalan mutawatir.  Dan bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallahu 

'alaihi wa sallam tidak membuat-buat cerita itu, ia hanya sekadar 

menyampaikan kepada manusia sebagaimana yang telah diturunkan kepadanya. 

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mensinyalir hakikat kebenaran 

kisah pada awal beberapa kisah Al-Qur‟an dan penutupnya. Seperti firman Allah 

Subhanahu wa Ta'ala: 

   

“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang 

Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu 

mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini.” (Q.S. Huud : 49). 

2. Selaras antara realita dan kebenaran 

Sesungguhnya setiap kisah yang diceritakan Al-Qur‟an  semuanya adalah 

benar, berdasarkan pada realita kehidupan yang bisa disaksikan dan terjangkau 

oleh panca indera saat terjadinya. Ia bukanlah cerita khayalan, atau prasangkaan 

ataupun cerita-cerita dusta. Bahkan itulah realita yang persis seperti kenyataan 

yang terjadi waktu itu dengan semua jangkauannya; baik yang dapat terlihat 

ataupun tidak. Maka ia benar-benar berasal dari realitas yang sebenarnya, lalu 

dimuat kembali kejadiannya dalam Al-Qur‟an dengan teliti, yang dapat 

menyentuh kedalaman hati orang yang membacanya. Dan sangat tidak mungkin 

jika ia tidak benar dan sesuai dengan faktanya.2  

Kisah-kisah Al-Qur‟an sangat berbeda dengan kisah-kisah lain yang 

dikenal oleh manusia; itu karena kisah-kisah hasil karya manusia, sebagiannya 

ada yang diambilkan idenya dari peristiwa yang terjadi, lalu dia melukiskan 

                                                         

kejadian ini . Adapula kisah yang terinspirasi dari kisah-kisah khayalan 

belaka, tidak bersandar pada alam realita. Kisah-kisah seperti ini tidak pernah 

luput dari dusta dan melampaui batas.  

Bukti realistisitas kisah Al-Qur‟an adalah firman Allah Subhanahu wa 

Ta'ala: 

 

 “Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar.” (Q.S. Ali Imran : 62) 

Dan juga firman-Nya: 

 

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi 

orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur‟an itu bukanlah cerita yang 

dibuat-buat, Akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya 

dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi 

kaum yang beriman.” (Q.S. Yusuf : 111) 

Kemudian berita-berita yang dibawa oleh kisah-kisah Al-Qur‟an-

khususnya yang berkaitan dengan Ahli Kitab- orang-orang Ahli Kitab yang hidup 

sezaman dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mampu untuk 

membantahnya. Padahal mereka sangat ingin sekali untuk menyangkalnya demi 

menggugurkan seruan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam. Orang-orang Yahudi 

pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kisah 

Dzulkarnain-padahal sebenarnya mereka telah mengetahuinya dari kitab-kitab 

mereka-, lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala  menurunkan ayat: 

  



  | 9 

 

“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain.” 

(Q.S. Al-Kahfi : 83). 

Tidak ada keraguan sedikit pun bahwa kisah-kisah Al-Qur‟an adalah 

bagian dari Al-Qur‟an, dan ia adalah benar. Karena ia termuat dalam kitab Allah 

Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menamakannya dengan 

kisah yang terbaik, sebagaimana dalam firman-Nya: 

 

“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan 

mewahyukan Al-Qur‟an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum 

(kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum 

mengetahui.” (Q.S. Yusuf : 3).3 

 

3. Kisah-kisah pilihan sarat dengan pelajaran dan nasihat 

Kisah-kisah Qur‟ani menguraikan berbagai peristiwa yang didasarkan 

pada bagian-bagiannya yang telah terpilih, yang memiliki relevensi dengan 

tujuan dan misi Al-Qur‟an sebagai „ibrah (pelajaran) dan nasihat. 

Metode penyeleksian tema kisah-kisah merupakan metode yang paling 

baik dan paling mempengaruhi jiwa para pembacanya; karena ia selaras dengan 

maksud dan tujuannya. Di samping ia juga disajikan dengan gaya bahasa sastra 

yang tinggi. Ada unsur daya tarik seni yang menghasilkan reaksi dan dorongan 

kebaikan dalam diri manusia serta memberikan dukungan padanya dalam sisi 

ini.  Tentu perlu diketahui pula bahwa bagian-bagian pilihan ini tidak lain 

merupakan bagian dari realita yang benar, bukan khayalan, praduga atau 

mengada-ada sebagaimana yang telah kita uraikan sebelumnya.  

                                                             

 

Dan dikarenakan kisah-kisah Qur‟ani itu tunduk pada tujuan-tujuan 

utama Syariat, maka yang diceritakan hanyalah sesuai dengan kadar yang 

dibutuhkan untuk mencapai tujuan ini  serta pada sisi yang sejalan 

dengannya saja. Sekali waktu kisah itu diceritakan sejak awal, seperti kisah Adam 

„Alaihissalam, dan di lain waktu Al-Qur‟an menceritakannya dari bagian 

pertengahannya, lalu pada waktu yang lain ia menuturkannya dari bagian akhir 

kisah ini . Kisah-kisah itu juga terkadang diceritakan secara utuh kisah Nabi 

Yusuf, atau hanya dituturkan beberapa sisinya saja; seperti sisi yang berkaitan 

dengan risalahnya saja dalam kisah Nabi Nuh dan Hud „Alaihimussalam. 

Begitulah seterusnya di sisi mana saja pelajaran itu tersimpan, di sisi ini atau 

yang lainnya. 

Adapun mau‟izhah (nasehat dan peringatan), maka ia merupakan tujuan 

atau tema esensial di mana kisah-kisah Al-Qur‟an berputar secara umum.4 

  

4. Variasi dalam menggambarkan berbagai peristiwa (pengulangan) 

Ketika Al-Qur‟an tidak sekedar bertujuan untuk menerangkan kebenaran 

semata, namun juga untuk menghunjamkan jalannya ke dalam jiwa manusia 

yang paling dalam baik dengan mengisahkan berita, memberikan perumpamaan, 

dan menegakkan dalil; maka kisah-kisah itu harus disampaikan dengan cara 

berulang-ulang disertai dengan peringatan yang berkelanjutan. 

Tidak diragukan lagi bahwa tarbiyah itu adalah sebuah proses yang 

meletihkan dan harus berkesinambungan sehingga membuahkan hasil yang 

didambakan. Jika tidak, maka akan sia-sialah tenaga dan usaha yang 

dikeluarkannya, ia akan menjadi seperti debu yang berterbangan. 

Dan setiap kita mengetahui seberapa besar pembinaan hati dan pribadi 

membutuhkan usaha dan kerja keras yang tak putus dengan cara menanamkan 

                                              

nilai-nilai yang ingin dibangun di dalam hati serta ingin dibina dalam pribadi 

para individu. 

Pengulangan adalah metode yang paling teruji dan paling baik dalam 

mengembangkan persoalan ini; baik itu pengulangan lewat perkataan yang 

diulang-ulangi ataupun perbuatan untuk diteladani atau dilatihkan. Dari sana 

akan terbangun kesiapan hati dan kepuasan nurani untuk merubah kepribadian 

yang baru yang diinginkan pada setiap jiwa. 

Dan jika kita benar-benar memperhatikan bahwa Al-Qur‟an merupakan 

kitab petunjuk dan pedoman, serta kitab pendidikan dan pembinaan diri, maka 

kita bisa menangkap bahwa alasan penggunaan metode pengulangan itu sangat 

logis, ia digunakan oleh Al-Qur‟an untuk mendukung tujuan dan sasarannya.5 

 

 

 

PASAL KEDUA:  

 

 

 

 

 

 

Keagungan Tujuan 

Kisah-Kisah  

Al-Qur’an 

 

Kisah – kisah dalam Al-Qur‟an bukan hanya dimaksudkan sekadar untuk 

menerangkan sejarah umat semata, tetapi juga mempunyai tujuan yang beragam 

agar darinya dapat diambil pelajaran dan peringatan. 

Al-Qur‟an juga tidak sekedar melukiskan berbagai peristiwa di zaman 

yang lampau dengan tujuan mengingatkan keadaan umat-umat di masa silam, 

atau sebagai hiburan dan cerita yang menarik bagi orang mendengarnya saja. 

Tetapi terhimpun dalam kisah-kisah Qur‟ani berbagai tujuan yang luhur yaitu 

untuk mengimplikasikan nilai-nilai keimanan dan mengokohkan sendi- sendinya 

yang mendasar di dalam hati. 



  | 13 

 

Jika demikian, maka tujuan kisah-kisah Qur‟ani sangat beragam dan 

bervariasi. Tujuan-tujuan itu terdistribusi dalam  kisah-kisahnya, sesuai dengan 

tema dan urutannya. Tujuannya begitu banyak, yang tidak mungkin disebutkan 

seluruhnya. Dan pembicaraan kita akan mengarah pada tujuan yang 

terpentingnya saja secara ringkas, agar menjadi jelas bagi kita bahwa kisah-kisah 

Qur‟ani tidaklah sembarangan, tetapi ia datang dengan membawa tujuan yang 

agung, yang dapat kita sebutkan sebagai berikut:  

Pertama; Menetapkan keesaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan 

mengandung perintah untuk menyembah-Nya semata. 

Semua misi dakwah para nabi dan rasul adalah satu, yaitu menetapkan 

keesaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan memerintahkan manusia untuk 

menyembah-Nya dengan jalan dan cara yang berbeda. Inilah tujuan terpenting 

yang dibawa oleh kisah-kisah Qurani. Yaitu untuk memenangkan dakwah tauhid 

dan menghancurkan kesyirikan dan penyembahan terhadap berhala. 

Maka semua nabi dan rasul mengajak manusia untuk mengesakan sang 

Maha Pencipta, mengakui keesaan-Nya, tiada Rabb selain-Nya dan tidak ada 

sesembahan yang benar selain-Nya. Jadi dakwah para nabi dan rasul seluruhnya 

adalah untuk memperjuangkan dan mengimani Tuhan yang Mahaesa. Allah 

Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

 

“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar: 

„Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? 

Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang 

nyata.‟" (Q.S. Al-An‟am : 74). 

Hingga sampai pada firman-Nya: 



  | 14 

 

 

 “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang 

menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang 

benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang 

mempersekutukan Tuhan.” (Q.S. Al-An‟am : 79). 

Penetapan tauhid juga datang melalui lisan Ya‟qub „Alaihissalam dan 

anak keturunannya dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:   

“Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, 

ketika ia berkata kepada anak-anaknya: „Apa yang kamu sembah 

sepeninggalku?‟ Mereka menjawab: „Kami akan menyembah Tuhanmu 

dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan 

yang Maha Esa dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya‟" (Q.S. Al-

Baqarah : 133). 

Penetapan tauhid juga datang melalui lisan Nuh „Alaihissalam. Allah 

Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

 



  | 15 

 

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia 

berkata: „Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan 

bagimu selain-Nya.‟" (Q.S. Al-A‟raaf : 59). 

Penetapan tauhid juga datang melalui lisan Hud „Alaihissalam. Allah 

Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

 

“Dan (kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. ia 

berkata: „Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan 

bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-

Nya?‟" (Q.S. Al-A‟raaf : 65). 

Penetapan tauhid juga datang melalui lisan Syu‟aib „Alaihissalam. Allah 

Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

 

 “Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara 

mereka, Syu'aib. ia berkata: „Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali 

tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.‟” (Q.S. Al-A‟raaf : 85). 

Juga dalam kisah Nabi Sulaiman: 

 

 “Agar mereka tidak menyembah Allah yang mengeluarkan apa yang 

terpendam di langit dan di bumi dan yang mengetahui apa yang kamu 

sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan yang 



  | 16 

 

disembah kecuali Dia, Tuhan yang mempunyai 'Arsy yang besar". (Q.S. 

An-Naml : 25-26). 

Dan juga telah datang seruan kepada tauhid yang sangat terang dalam 

kisah Nabi Yusuf „Alaihissalam, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

  

“Yusuf berkata: „Tidak disampaikan kepada kamu berdua makanan 

yang akan diberikan kepadamu melainkan aku telah dapat 

menerangkan jenis makanan itu, sebelum makanan itu sampai 

kepadamu. yang demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan 

kepadaku oleh Tuhanku. Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama 

orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar 

kepada hari kemudian.” (Q.S; Yusuf : 37). 

Hingga sampai pada firman-Nya: 

  

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan 

agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi 

kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Q.S. Yusuf : 40). 

Secara terang Nabi Yusuf „Alaihissalam menjelaskan bahwa 

sesungguhnya dia tidak membuat agama baru, tetapi mengikuti ajaran agama 

para pendahulunya yang mendapat petunjuk Allah Subhanahu wa Ta'ala berupa 

akidah yang benar yaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akidah ini 



  | 17 

 

tidak berbeda dari satu waktu ke waktu yang lain, di mana tidak masuk akal jika 

Allah Subhanahu wa Ta'ala mewahyukan kepada para nabi-Nya suatu akidah 

yang bertentangan (kontradiktif) antara satu rasul ke rasul yang lain. Dengan 

demikian, mentauhidkan Allah merupakan misi dakwah yang para nabi 

seluruhnya sepakat untuk menegaskannya.6 

Nabi Nuh „Alaihissalam mengkhawatirkan azab Allah Subhanahu wa 

Ta'ala yang berat akan menimpa kaumnya, karena kaumnya bermaksiat dan 

menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala.  

Nabi Hud „Alaihissalam menyeru kaumnya untuk bertakwa kepada Allah 

Subhanahu wa Ta'ala, karena tidak ada Ilah yang berhak disembah melainkan 

Dia.  

Nabi Shalih „Alaihissalam menerangkan kepada kaumnya bahwa dia telah 

diutus oleh-Nya dengan membawa bukti yang nyata dan mukjizat yang terang- 

yaitu „Unta Allah‟- agar mereka membiarkan unta ini  makan di atas 

permukaan bumi, mereka tidak menganggunya (membunuhnya), karena dia 

khawatir azab Allah Subhanahu wa Ta'ala akan datang menimpa mereka. Dan 

demikianlah seterusnya. 

Selanjutnya dakwah para nabi dan rasul mendapatkan respon negatif dari 

kaumnya. Kaum Nabi Nuh „Alaihissalam melemparkan tuduhan bahwa dia 

berada dalam kesesatan yang nyata. Kaum Nabi Hud „Alaihissalam 

menggelarinya sebagai seorang yang bodoh dan pendusta. Sementara kaum Nabi 

Shalih „Alaihissalam meragukan kerasulannya.7 

 

 Kedua; Menetapkan wahyu dan kerasulan 

Kisah-kisah yang diceritakan dalam Al-Qur‟an mengandung satu isyarat 

bahwa ia adalah persoalan gaib dan tidak diketahui. Nabi Shallallahu 'alaihi wa 

sallam dan para sahabat tidak mengetahuinya. Hal ini sebagai bukti kebenaran 

                                                             

 

risalahnya dan penetapan wahyu. Terkadang isyarat ini datang di penghujung 

kisah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala setelah menceritakan 

kisah Nuh „Alaihissalam: 

 

“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang 

Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu 

mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka 

bersabarlah; Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-

orang yang bertakwa.” (Q.S. Huud : 49). 

Dan juga Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, setelah menceritakan 

kisah Musa‟Alaihissalam: 

 

 “Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah barat 

ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tiada pula 

kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan.” (Q.S. Al-Qashshas : 

44). 

Hingga sampai pada firman-Nya:  

  

“Dan tiadalah kamu berada di dekat gunung Thur ketika Kami menyeru 

(Musa).” (Q.S. Al-Qashshas : 46). 

Kisah-kisah ini menunjukkan bukti yang terang tentang kenabian Nabi 

Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena beliau adalah seorang yang 



  | 19 

 

ummi, tidak bisa membaca dan menulis serta tidak pernah menjadi murid 

seorang guru. Tidak ada kontradiksi atau pertentangan dalam kisah-kisah. Itu 

berarti bahwa ia merupakan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan 

menunjukkan pula tentang kebenaran nubuwwah(kenabian)nya Shallallahu 

'alaihi wa sallam.8 

Dalil lain yang menunjukkan tentang kebenaran wahyu dan risalah adalah 

apa yang disebutkan pada permulaan beberapa kisah, sebagaimana firman-Nya:  

 

 

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur‟an dengan 

berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Kami menceritakan 

kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur‟an ini 

kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya 

adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” (Q.S. Yusuf : 2-

3). 

Kisah-kisah Qur‟ani ini tidak diketahui kecuali oleh orang yang 

menyaksikan kejadiannya saja. Bahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga 

belum pernah menyaksikan peristiwa-peristiwa yang benar ini secara langsung, 

sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala jelaskan dalam firman-Nya 

setelah menguraikan kisah Maryam:  

 

“Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami 

wahyukan kepada kamu (ya Muhammad); padahal kamu tidak hadir 

                                                             

8 Lihat Tafsir Al-Thabari, (14/140) 



  | 20 

 

beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka 

(untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara 

Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka 

bersengketa.” (Q.S. Ali Imran : 44). 

Dan di penghujung surah Al-Syu‟araa‟, Allah Subhanahu wa Ta'ala 

berfirman setelah menceritakan beberapa kisah para nabi: 

“Dan sesungguhnya Al-Qur‟an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan 

semesta alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam 

hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara 

orang-orang yang memberi peringatan.” (Q.S. Asy-Syu‟araa : 192-194). 

Ini adalah dalil yang jelas, yang menunjukkan bahwa kisah-kisah Qur‟ani 

ini berasal dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan juga merupakan wahyu 

yang diturunkan-Nya.9 

 

Ketiga; Menetapkan hari kebangkitan dan hari pembalasan 

Banyak kisah yang diceritakan dalam Al-Qur‟an, bertujuan untuk 

menetapkan hari kebangkitan dan hari pembalasan. Di antaranya adalah firman 

Allah Subhanahu wa Ta'ala: 

 

 “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim 

tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang 

itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: „Tuhanku 

ialah yang menghidupkan dan mematikan,‟ orang itu berkata: „Saya 

dapat menghidupkan dan mematikan.‟” (Q.S. Al-Baqarah : 258).  

                                                             

9 Lihat Balaghah Tashrif Al-Qaul fi Al-Qur’an Al-Karim, (2/896-898) 



  | 21 

 

Hingga sampai pada firman-Nya: 

 

 “Allah berfirman: „(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu 

cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): „Lalu letakkan di atas 

tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian 

panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.‟ 

Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. 

Al-Baqarah : 260). 

Penetapan hari kebangkitan dan pembalasan juga disebutkan melalui 

lisan Nuh „Alaihissalam: 

 

“Niscaya Allah akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan 

menangguhkan kamu sampai kepada waktu yang ditentukan. 

Sesungguhnya ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat 

ditangguhkan, kalau kamu Mengetahui.” (Q.S. Nuh : 4). 

Kisah-kisah Qur‟ani ini banyak menyebutkan bukti-bukti tentang 

ketetapan akan datangnya hari kebangkitan dan hari pembalasan, yang 

dipaparkan dengan cara yang bervariatif dan metode yang berbeda-beda, untuk 

membuktikan kebenaran akan datangnya hari itu.10 

 

Keempat; Meneguhkan hati Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan 

umatnya 

           

Di antaranya tujuan terbesar dari kisah-kisah Qur‟ani adalah untuk 

meneguhkan hati Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan umatnya, agar tetap 

istiqomah di jalan dakwah dan kebenaran, menanggung segala kesulitan yang 

dihadapi dan bersabar terhadap beratnya siksaan di jalannya. Dengan demikian 

akan semakin menguatkan keyakinan kaum mukminin akan datangnya 

kemenangan Al-Haq dan para tentaranya, serta hancurnya kebatilan dan para 

pengusung panji-panjinya. Hal itu berdasarkan pada firman-Nya: 

  

“Dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah 

kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat 

ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan 

bagi orang-orang yang beriman.” (Q.S. Huud : 120)11 

Banyak kisah dalam Al-Qur‟an yang bertujuan untuk menghibur hati Nabi 

Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa yang telah dialami oleh beliau juga dialami 

oleh para Nabi sebelumnya, dan bahwasanya umat mereka juga lari dari 

kebenaran yang dibawanya, meskipun mereka datang dengnan membawa bukti 

dan mukjizat yang nyata, yang membuktikan kebenaran kerasulan mereka. 

Tetapi kebanyakan dari umatnya buta dan tuli  enggan mengikuti kebenaran, 

dan mereka tetap bersikukuh dalam kebatilannya. Seperti yang diceritakan Allah 

Subhanahu wa Ta'ala melalui lisan Nuh „Alaihissalam: 

  

                                                             

11 Lihat Ma’alim Al-Qishshah fi Al-Qur’an Al-Karim, hal. 41-42. 



  | 23 

 

“Nuh berkata: „Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku 

malam dan siang. Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari 

(dari kebenaran). dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka 

(kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan 

anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke 

mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri 

dengan sangat.‟” (Q.S. Nuh : 5-7).  

Dan juga firman-Nya: 

  

“Nuh berkata: „Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku 

dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak 

menambah kepadanya melainkan kerugian belaka.‟” (Q.S. Nuh : 21). 

Sesungguhnya kisah-kisah Qur‟ani itu benar-benar sebagai penghibur hati 

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, agar hatinya tidak terlalu bersedih karena 

pengingkaran dan permusuhan orang-orang kafir setelah beliau menyampaikan 

bukti-bukti nyata yang dibawanya untuk mereka.12 

Kelima; Mengambil pelajaran dari keadaan para rasul dan 

umatnya 

Yang dimaksud dengan “pelajaran” di sini adalah nasihat dan pelajaran 

dari keadaan para nabi dan rasul untuk diteladani; dalam hal kesabaran mereka 

menghadapi gangguan, istiqamah dalam dakwah,  meneladani keimanan mereka 

yang kokoh, mengabadikan jejak-jejak mereka dalam kehidupan, serta untuk 

menunjukkan keutamaan dan kedudukan mereka yang tinggi di sisi Allah 

Subhanahu wa Ta'ala, dan pada saat yang sama menjauhkan diri dari perilaku 

orang-orang yang menyalahi perintah mereka. 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

                                                             

12 Lihat Balaghah Tashrif Al-Qaul fi Al-Qur’an Al-Karim, (2/901). 



  | 24 

 

 

 “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi 

orang-orang yang mempunyai akal.” (Q.S. Yusuf : 111). 

Dan juga firman-Nya: 

 

 “Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, 

akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan 

(yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah 

kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-

kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu 

sebahagian dari berita Rasul-rasul itu.” (Q.S. Al-An‟am : 34). 

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan dalam kisah-

kisah ini, bahwa akibat dari sikap golongan penentang para nabi dan rasul 

adalah kekufuran dan laknat Allah Subhanahu wa Ta'ala di dunia dan di 

akhirat, dan balasan yang diperoleh orang-orang mukmin adalah kemenangan di 

dunia dan keberuntungan di akhirat. Hal itu akan semakin memperkuat hati-hati 

insan beriman dan melemahkan hati musuh-musuhnya.   

 

Keenam: Menerangkan tentang balasan umat terdahulu dan 

akhir kehidupannya 

Sesungguhnya sikap orang-orang yang ingkar terhadap risalah dan para 

rasul adalah satu. Semua rasul memiliki umat yang selalu mengingkari dan 

mendustakannya. 

Kaum Nabi Nuh „Alaihissalam berkata tentang nabi mereka: 



  | 25 

 

 

 “Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata: „Sesungguhnya kami 

memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata.‟” (Q.S. Al-A‟raaf 

: 60). 

Dan juga kaum Nabi Hud „Alaihissalam pernah barkata kepadanya: 

 

 “Pemuka-pemuka yang kafir dari kaumnya berkata: „Sesungguhnya 

kami benar benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan 

sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang orang yang 

berdusta.‟” (Q.S. Al-A‟raaf : 66). 

Kaumnya Nabi Shalih „Alaihissalam berkata kepada orang-orang yang 

beriman bersamanya:  

 

"Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang 

kamu imani itu.” (Q.S. Al-A‟raaf : 76). 

Dan juga kaum Nabi Luth „Alaihissalam berkata kepada sebagian mereka: 

 

"Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; 

sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura 

mensucikan diri.” (Q.S. Al-A‟raaf : 82). 



  | 26 

 

Dan juga kaum Nabi Syu‟aib „Alaihissalam berkata kepadanya: 

 

"Sesungguhnya kami akan mengusir kamu, hai Syu'aib, dan orang-

orang yang beriman bersamamu dari kota kami, atau kamu kembali 

kepada agama kami.” (Q.S; Al A`raaf : 88). 

Dan juga kaumnya Fir‟aun berkata mengenai Nabi Musa „Alaihissalam: 

 

"Sesungguhnya Musa ini adalah ahli sihir yang pandai.” (Q.S. Al-A‟raaf : 

109). 

Inilah umat-umat terdahulu yang tidak menyambut seruan dakwah para 

nabi dan rasul, maka akhir kesudahannya adalah kebinasaan dan kehancuran, 

sebagai buah dari penyimpangan mereka dari jalan yang lurus. Hal ini 

berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: 

 

“Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang 

telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah 

Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi; yaitu keteguhan yang 

belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang 

lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah 

mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, 



  | 27 

 

dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain.” (Q.S. Al-An‟am : 

6). 

Dan juga firman-Nya: 

  

“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan 

memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang 

sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka 

(sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya 

lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang 

kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang 

nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan 

tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri.” (Q.S. Ar-Ruum 

: 9). 

Itu semua agar kaum muslimin dapat mengambil pelajaran dari kondisi 

umat-umat terdahulu, dan mereka dapat menjauhi perilaku dan perkataan umat-

umat itu, agar mereka tidak ditimpa oleh kebinasaan dan kehancuran seperti 

umat-umat terdahulu. 

Allah Subhanahu wa Ta'ala cukup banyak menerangkan dalam kisah-

kisah Qur‟ani itu, bahwa Dia memberikan pertolongan kepada para wali-Nya 

dalam menghadapi musuh-musuh mereka, sebagaimana firman-Nya: 

 



  | 28 

 

“Sesungguhnya Kami menolong Rasul-rasul Kami dan orang-orang 

yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-

saksi (hari kiamat).” (Q.S. Al-Mu‟min : 51). 

Itulah sunnah (ketetapan) yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa 

Ta'ala dalam firman-Nya: 

 

 “Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, 

akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan 

(yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah 

kepada mereka. Tak ada seorang pun yang dapat merobah kalimat-

kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu 

sebahagian dari berita Rasul-rasul itu.” (Q.S. Al-An‟am : 34).13 

 

Ketujuh; Mendidik orang-orang beriman 

Kisah-kisah dalam Al-Qur‟an seluruhnya bertujuan untuk mendidik kaum 

muslimin secara benar dan komprehensif. Dan yang terpenting adalah mendidik 

mereka dengan akidah yang benar, berupa iman kepada Allah Subhanahu wa 

Ta'ala, iman kepada hari kebangkitan dan hari pembalasan, iman kepada nabi 

dan rasul, bersabar menghadapi gangguan dan pembangkangan terhadap 

kebenaran yang dilancarkan oleh orang-orang kafir, hingga akhirnya kelak Allah 

Subhanahu wa Ta'ala memenangkan agama-Nya dan membinasakan musuh-

musuh-Nya. 

Kita temukan, misalnya pada kisah ahli sihir yang beriman kepada Musa 

„Alaihissalam, kemudian Fir‟aun menghukum mereka dengan membunuhnya di 

                                                             


 

tiang salib. Namun mereka tetap teguh hati menghadapi ancaman itu. Juga 

dalam kisah Ashabul Kahfi terdapat pembinaan untuk selalu berpegang teguh di 

atas jalan Tauhid dan beriman kepada hari kebangkitan dan pembalasan. 

Salah satu bentuk tarbiyah (pembinaan) yang ada dalam kisah-kisah 

Qur‟ani adalah mendidik untuk berlaku sabar, berbakti dan melaksanakan 

perintah-perintah  Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hal ini seperti pada kisah Nabi 

Ibrahim dan Ismail „Alaihissalam, ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

 

 “Maka Kami beri ia kabar gembira dengan seorang anak yang amat 

sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha 

bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: „Hai anakku, sesungguhnya 

aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah 

apa pendapatmu!‟ Ia menjawab: „Hai bapakku, kerjakanlah apa yang 

diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku 

termasuk orang-orang yang sabar.‟ Tatkala keduanya telah berserah 

diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah 

kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: „Hai Ibrahim, 

sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu! Sesungguhnya 

demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat 

baik.” (Q.S. Ash-Shaffat : 101-105). 

Dan dalam kisah Luqman bersama anaknya juga terkandung banyak nilai 

pendidikan yang baik. Di dalamnya ada pendidikan Tauhid dan larangan untuk 



  | 30 

 

berbuat syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, berbakti kepada kedua orang 

tua, bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berterima kasih kepada 

kedua orang tua, mengimani hari kebangkitan dan hari pembalasan, perintah 

untuk mendirikan shalat, beramar amar ma‟ruf dan nahi munkar, bersabar 

dalam menghadapi musibah, larangan memalingkan muka lantaran bangga diri  

dan sombong, larangan berjalan di muka bumi dengan angkuh, perintah untuk 

menyederhanakan dalam berjalan di muka bumi dan melunakkan suara. Allah 

Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

 

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: 

bersyukurlah kepada Allah, dan barang siapa yang bersyukur (kepada 

Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan 

barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah 

Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Luqman : 12). 

Sampai pada firman-Nya : 

 

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. 

Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Q.S. Luqman : 

19). 

Dan di antara bentuk pembinaan (tarbiyah) dalam kisah-kisah Qur‟ani ini 

adalah pembinaan untuk berlaku jujur dalam rangka meneladani kejujuran para 

nabi dan rasul. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 



  | 31 

 

 

“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Qur‟an ini. 

Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi 

seorang Nabi.” (Q.S. Maryam : 41). 

Juga ikhlas dalam ketaatan dan merealisasikan perintah-perintah Allah 

Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana dalam firman-Nya: 

 

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di 

dalam Al-Qur‟an ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan 

seorang Rasul dan Nabi.” (Q.S. Maryam : 51). 

Juga pembinaan untuk menepati janji dan bersifat amanah. Hal ini 

tampak jelas pada kisah Nabi Yusuf „Alaihissalam; ketika ia selalu mengenang 

kebaikan Al-Azis (pejabat Mesir yang memungutnya menjadi anak-penj) 

terhadapnya, dan dia selalu membalas kebaikan dengan kebaikan pula. Allah 

Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

 

 “Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan ia menutup pintu-

pintu, seraya berkata: „Marilah ke sini!‟ Yusuf berkata: „Aku berlindung 

kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.‟ 

Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.” (Q.S. 

Yusuf : 23). 



  | 32 

 

Setelah terlihat bukti bahwa dia telah terbebas dari tuduhan itu, maka 

Yusuf  „Alaihissalam berkata sebagaimana yang diceritakan Allah Subhanahu wa 

Ta'ala dalam firman-Nya: 

 

“(Yusuf berkata): "Yang demikian itu agar ia (Al-Aziz) mengetahui 

bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya, 

dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang 

berkhianat.” (Q.S. Yusuf : 52). 

Juga terdapat pembinaan tentang kemuliaan akhlak. Hal ini tampak jelas 

pada kisah Nabi Syu‟aib „Alaihissalam terhadapa kaumnya dalam beberapa 

tempat, seperti yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala: 

  

“Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, 

Syu'aib. ia berkata: „Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada 

Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti 

yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan 

timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-

barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat 

kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang 

demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang 

beriman.” (Q.S. Al-A‟raaf : 85). 

Sangat jelas bahwa Nabi Syu‟aib „Alaihissalam mulai membenahi akidah, 

kemudian dia memuji orang yang menepati takaran dan timbangan saat 



  | 33 

 

berjualan, dan dilarang melebihkan takaran dan timbangan saat membeli. 

Sungguh dia telah memadukan antara iman dan akhlak serta menyeru untuk 

berlepas diri dari akhlak yang tercela (hina).14 

Dan mungkin dapat kita rangkum bahwa tujuan tarbawiyah dari kisah-

kisah Qur‟ani meliputi tiga hal, yaitu: 

1. Membekali pribadi dan jamaah dengan nilai-nilai Islami. 

2. Pembinaan pribadi muslim agar memiliki keyakinan yang mutlak 

kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala terutama pada ketetapan dan takdirnya. 

3. Membekali pembaca dan pendengarnya dengan pengetahuan dan 

ilmu yang berguna sebagai bekal perjalanan hidup dan berinteraksi dengan 

orang lain.15 

 

Kedelapan; Menyeru kepada kebajikan dan perbaikan serta 

menjauhi kerusakan. 

Kita dapati bahwa tujuan dari kisah-kisah Qur‟ani adalah menyeru kepada 

kebajikan, perbaikan dan larangan berbuat kerusakan di muka bumi, 

sebagaimana dalam firman-Nya: 

 

“Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, 

Syu'aib. ia berkata: „Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada 

Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti 

                                                             

14

 Ibid., (2/924-928) 

15 Lihat Al-Qishshah Al-Qur’aniyyah wa Dauruha fi Al-Tarbiyah, Ahmad Ahmad Ghalusy, Jurnal Fakultas 

Tarbiyah, Universitas Riyadh, edisi 1, tahun 1397, hal. 6. 



  | 34 

 

yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan 

timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-

barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat 

kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang 

demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang 

beriman.” (Q.S. Al-A‟raaf : 85). 

Pada kisah Nabi Syua‟ib „Alaihissalam terdapat seruan dakwah yang 

terang kepada sisi praktek amaliyah yang berkaitan dengan perbaikan tatanan 

sosial, dan larangan membuat kerusakan di muka bumi serta menjalankan 

kewajiban amanah dalam pergaulan. 

Kisah Qur‟ani juga menjelaskan tentang akibat dari kebaikan dan 

kerusakan di muka bumi, seperti yang terdapat pada kisah dua putera Adam 

„Alaihissalam (Habil dan Qabil), ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala  berfirman: 

 

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan 

Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan 

korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) 

dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): „Aku pasti 

membunuhmu!‟ Berkata Habil: „Sesungguhnya Allah hanya menerima 

(korban) dari orang-orang yang bertakwa.‟” (Q.S. Al-Maaidah : 27). 

Hingga sampai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: 

 



  | 35 

 

“Dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami 

dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian 

banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui 

batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” (Q.S. Al -Maaidah : 32). 

Begitu pula pada kisah lelaki yang memiliki dua kebun, ketika Allah 

Subhanahu wa Ta'ala menceritakan kisahnya dalam firman-Nya: 

 

“Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-

laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua 

buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-

pohon korma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang.” 

(Q.S. Al-Kahfi : 32). 

Hingga sampai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: 

 

 “Dan harta kekayaannya dibinasakan; lalu ia membulak-balikkan 

kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah 

belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-

paranya, dan Dia berkata: „Aduhai kiranya dulu aku tidak 

mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku.‟" (Q.S. Al-Kahfi : 42). 

Dan pada kisah Bendungan Ma‟rib, Allah berfirman: 



 

  

“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di 

tempat kediaman mereka; yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di 

sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): „Makanlah olehmu dari rezki 

yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. 

(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang 

Maha Pengampun.‟” (Q.S. Saba‟ : 15). 

Hingga sampai pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: 

 

“Maka mereka berkata: „Ya Tuhan kami, jauhkanlah jarak perjalanan 

kami”, dan mereka menganiaya diri mereka sendiri; maka kami jadikan 

mereka buah mulut dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. 

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-

tanda kekuasaan Allah bagi Setiap orang yang sabar lagi bersyukur.” 

(Q.S. Saba‟ : 19). 

Dan dalam kisah Nabi Adam „Alaihissalam dan Iblis yang banyak 

diceritakan Allah Subhanahu wa Ta'ala di banyak tempat dalam Al-Qur‟an, 

merupakan peringatan bagi Bani Adam (manusia) dari godaan syaitan, dan 

menampakkan permusuhan yang abadi antara dia dengan mereka, sejak ayah 

mereka Adam „Alaihissalam. 

Yang demikian itu, karena sesungguhnya menampilkan permusuhan 

abadi dalam bentuk kisah akan lebih membekas dalam jiwa manusia, agar 



manusia selalu waspada dari tipu daya syaitan dan ajakannya kepada 

kejahatan.16 

 

Kesembilan; Melawan rasa putus asa dengan kesabaran 

Tujuan ini tampak jelas pada kisah Nabi Yusuf „Alaihissalam, di dalamnya 

terangkai beberapa ayat yang menunjukkan tujuan ini. Di antaranya adalah 

firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: 

 

 “Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan 

darah palsu. Ya'qub berkata: „Sebenarnya dirimu sendirilah yang 

memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka kesabaran yang 

baik itulah (kesabaranku). dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-

Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.‟” (Q.S. Yusuf : 18).  

Dan juga firman-Nya: 

 

 “Berkata Ya'qub: „Bagaimana aku akan mempercayakannya 

(Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan 

saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu?‟. Maka Allah adalah sebaik-

baik penjaga dan Dia adalah Maha Penyanyang diantara Para 

Penyayang.” (Q.S. Yusuf : 64). 

Dan juga firman-Nya: 

                                                             

 

 “Ya'qub berkata: „Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik 

perbuatan (yang buruk) itu. Maka kesabaran yang baik itulah 

(kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka 

semuanya kepadaku; Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mengetahui 

lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Yusuf : 64).  

Dan juga firman-Nya: 

 

 “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf 

dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. 

Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum 

yang kafir.” (Q.S. Yusuf : 87). 

Kesepuluh; Menerangkan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala 

melalui mukjizat 

Dalam tujuan ini tergambar jelas perbedaan yang nyata antara kisah-

kisah Qur‟ani dengan kisah-kisah buatan manusia. Apakah ada pada kisah 

buatan manusia seperti yang dikisahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang 

seorang laki-laki yang melintasi suatu negeri yang telah runtuh, ketika Allah 

Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

 


 

 

 “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu 

negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: 

„Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?‟ 

Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian 

menghidupkannya kembali. Allah bertanya: „Berapakah lamanya kamu 

tinggal di sini?‟ Ia menjawab: „Saya tinggal di sini sehari atau setengah 

hari.‟ Allah berfirman: „Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus 

tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum 

lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi 

tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami 

bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, 

kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya 

dengan daging.‟ Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah 

menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata: „Saya yakin bahwa 

Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.‟ Dan (ingatlah) ketika Ibrahim 

berkata: „Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau 

menghidupkan orang-orang mati.‟ Allah berfirman: „Belum yakinkah 

kamu?‟ Ibrahim menjawab: „Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar 

hatiku tetap mantap (dengan imanku).‟ Allah berfirman: „(Kalau 



  

 

demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya 

olehmu.‟ (Allah berfirman): „Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit 

satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, 

niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.‟ Dan ketahuilah 

bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Baqarah : 

259-260). 

Apakah ada dalam kisah buatan manusia seperti kisah penciptaan Adam 

„Alaihissalam, kelahiran Isa „Alaihissalam, menghidupkan burung pada kisah 

nabi Ibrahim „Alahissalam, tongkat Musa „Alahissalam yang bisa berubah 

menjadi ular, kisah Musa „Alahissalam dengan seorang hamba yang shalih dan 

panjang senada dengan itu? 

Sesungguhnya apa yang disebutkan dalam kisah Qur‟ani dari berbagai 

peristiwa dan kejadian yang luar biasa serta mukjizat, seluruhnya menunjukkan 

tentang keMahakuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang sempurna, yang tidak 

mampu dilakukan oleh ciptaan-Nya. Juga menjelaskan perbedaan antara pola 

pikir manusia yang selalu tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan dan 

berjangka pendek dengan hikmah Ilahi yang sempurna dan meliputi seluruh 

kejadian di masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Ditambah lagi dengan 

pengetahuan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang sempurna tentang alam gaib, 

yang dekat dan yang jauh pada batasan yang sama. Semuanya menjadikan hati 

orang -orang mukmin dipenuhi rasa ketundukan dan ketenangan saat berada di 

sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bersandar pada-Nya.17 

 

Kesebelas; Menerangkan karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala 

terhadap para nabi dan rasul pilihan 

Kita temukan di antara tujuan dari kisah-kisah Qur‟ani adalah 

menerangkan karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala yang diberikan pada para 

nabi dan rasul pilihan; suatu hal yang akan meninggalkan dampak yang baik 

                                                             l

 

dalam jiwa insan beriman, yaitu bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala 

mencukupi kebutuhan para wali dan pilihan-Nya, serta memberikan karunia 

(nikmat)  kepada mereka di dunia sebelum di akhirat. Dan hal ini sangat 

berperan membantu mereka untuk tetap tegar di atas jalan kebenaran yang 

mereka yakini. 

Sesungguhnya nikmat (karunia) Allah Subhanahu wa Ta'ala yang 

diberikan-Nya kepada para nabi dan rasul pilihan-Nya terlukis dalam berbagai 

peristiwa yang berbeda-beda antara satu nabi dengan nabi yang lainnya, 

diantaranya: 

Nikmat pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi Sulaiman 

„Alaihissalam, sehingga beliau mampu menguasa jin, dan burung-burung. Allah 

Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

 

 “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan Dia berkata: "Hai manusia, 

kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi 

segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia 

yang nyata.” (Q.S. Al-Naml : 16). 

Hingga sampai pada firman-Nya: 

 

 

“Dikatakan kepadanya: „Masuklah ke dalam istana.‟ Maka tatkala Dia 

melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan 

disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: „Sesungguhnya 



  | 42 

 

ia adalah istana licin terbuat dari kaca.‟ Berkatalah Balqis: „Ya Tuhanku, 

sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah 

diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.‟” (Q.S. Al-

Naml : 44). 

Dan dikuasakan pula pada Nabi Sulaiman „Alahissalam untuk 

menundukkan angin, sebagaimana firman-Nya: 

  

“Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di 

waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di 

waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan 

cairan tembaga baginya. Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di 

hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. dan 

siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami 

rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala.” (Q.S. 

Saba‟ : 12). 

Dan juga firman-Nya: 

  

“Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat 

kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang 

Kami telah memberkatinya.” (Q.S. Al-Anbiya‟ : 81). 


 

 

Juga nikmat pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi Daud 

„Alaihissalam, yang mampu menundukkan gunung, burung, dan melunakkan 

besi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:  

 

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari kami. 

(Kami berfirman): „Hai gunung-gunung dan burung-burung, 

bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud", dan Kami telah 

melunakkan besi untuknya. (Yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar 

dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. 

Sesungguhnya aku melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Saba : 10-11). 

Dia mengajarkan kepada Daud „Alaihissalam untuk membuat baju besi 

sebagaimana firman-Nya: 

 

 “Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, 

guna memelihara kamu dalam peperanganmu; maka hendaklah kamu 

bersyukur (kepada Allah).” (Q.S. Al-Anbiya‟ : 80). 

Nikmat pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi Ibrahim 

„Alahissalam berupa anak yang sangat sabar. Allah Subhanahu wa Ta'ala 

berfirman: 

 

 “Maka Kami beri Dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat 

sabar.” (Q.S. As-Shaffat : 101). 

 

Juga kabar gembira bagi Ibrahim „Alahissalam dengan datangnya Ishaq 

`Alahissalam, sebagaiamana firman-Nya: 

 

 “Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang 

Nabi yang termasuk orang-orang yang saleh.” (Q.S. As-Shaffat : 112). 

Nikmat pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi Musa 

„Alahissalam dan pengikutnya, berupa terbelahnya laut merah menjadi jalan 

raya untuk mereka, dan Dia menyelamatkan mereka dari kejaran Fir‟aun dan 

bala tentaranya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

 

            “Lalu Kami wahyukan kepada Musa: „Pukullah lautan itu dengan 

tongkatmu.‟ Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah 

seperti gunung yang besar. Dan di sanalah Kami dekatkan golongan 

yang lain. Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang 

besertanya semuanya. Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu.” 

(Q.S. Asy-Syu‟araa‟: 63-66). 

Nikmat pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi Ibrahim 

„Alahissalam dan Isma‟il „Alahissalam, berupa sembelihan yang besar sebagai 

pengganti (penebus) pengorbanan keduanya yang teramat agung Allah 

Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

 

 “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (Q.S. 

Ash-Shaffat : 107). 

Nikmat pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi Yunus 

„Alahissalam, yang telah menyelamatkannya dari kebinasaan. Allah 

mengeluarkannnya dari perut ikan paus dan menumbuhkan pohon labu 

untuknya, sehingga beliau dapat memberikan petunjuk kepada kaumnya setelah 

itu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

 

 “Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul. (Ingatlah) 

ketika ia lari, ke kapal yang penuh muatan. Kemudian ia ikut berundi 

lalu ia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian. Maka ia ditelan 

oleh ikan besar dalam keadaan tercela. Maka kalau sekiranya ia tidak 

termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah. Niscaya ia akan 

tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit. Kemudian Kami 

lemparkan ia ke daerah yang tandus, sedang ia dalam keadaan sakit. 

Dan Kami tumbuhkan untuknya sebatang pohon dari jenis labu. Dan 

Kami utus ia kepada seratus ribu orang atau lebih. Lalu mereka 

beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada 

mereka hingga waktu yang tertentu.” (Q.S. Ash-Shaffat : 139-148). 

 

Nikmat pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi Isa 

„Alaihissalam, berupa pemberian mukjizat yang beragam untuk dirinya. Allah 

Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

 

 “Yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; 

kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin 

Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan 

orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati 

dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu 

makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada 

yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, 

jika kamu sungguh-sungguh beriman.” (Q.S. Ali Imran : 49). 

Nikmat pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Maryam, yang 

telah membebaskannya dari tuduhan keji (jahat) yang dilontarkan oleh 

kaumnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

  

“Maryam berkata: „Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, 

padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun.‟ Allah 

berfirman (dengan perantaraan Jibril): „Demikianlah Allah 

menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. apabila Allah berkehendak 

menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: 

„Jadilah!‟, lalu jadilah ia.” (Q.S. Ali Imran : 47). 

Dan juga firman-Nya: 



 

 “‟Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang 

yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.‟ Maka 

Maryam menunjuk kepada anaknya. mereka berkata: „Bagaimana Kami 

akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?‟ 

Berkata Isa: „Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-

Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi. Dan Dia menjadikan 

aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia 

memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat 

selama aku hidup. Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan 

aku seorang yang sombong lagi celaka.‟” (Q.S. Maryam : 28-32). 

Nikmat pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Zakaria 

„Alaihissalam, yang telah mengaruniakan putera kepadanya, yang bernama 

Yahya, dan juga menyuburkan isterinya yang sebelumnya mandul. Allah 

Subhanahu wa Ta'ala berfiman: 

 

 

 “Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: „Ya 

Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. 

Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.‟ Kemudian Malaikat 

(Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat 

di mihrab (katanya): „Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu 

dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan 

kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari 

hawa nafsu) dan seorang Nabi Termasuk keturunan orang-orang 

saleh.‟” (Q.S. Ali Imran : 38-39). 

Dan juga firman-Nya: 

 “Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan 

kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. 

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam 

(mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa 

kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-

orang yang khusyu' kepada kami.” (Q.S. Al-Anbiya‟ : 90). 

Karunia yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada para nabi-

Nya dan hamba-hamba pilihan-Nya terabadikan dalam Al-Qur‟an, agar kita 

selalu mengenang kebaikan mereka. Hingga kini kita masih terus membaca apa 

yang telah mereka ukir dari kebaikan di masa lalu. Kemudian datang generasi 

sesudah kita yang juga akan meneladani kehidupan mereka, hingga Allah 

Subhanahu wa Ta'ala mendatangkan hari kiamat. 

Keabadian kisah mereka dan kebaikan yang telah mereka ukir, memberi 

pengajaran kepada kita dan orang-orang yang datang sesudah para nabi itu, 

bahwa kebajikan yang dilakukannya tidak akan pernah hilang pahalanya. Dan ini 

merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi orang-orang yang beriman.