Tampilkan postingan dengan label isrâîliyyât dalam al-quran 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label isrâîliyyât dalam al-quran 1. Tampilkan semua postingan

isrâîliyyât dalam al-quran 1

 


Penulisan transliterasi Arab-Indonesia pada skripsi ini bersumber pada 

buku Panduan Penyusunan Tesis dan Disertasi Institut PTIQ Jakarta yang 

berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri 

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 22 Januari 1988. 

Huruf Abjad

Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin

ا

Th ؽ `

ة

B

ظ

Zh

د

T

ع

س

Ts

ؽ

Gh

ط

J

ف

F

ح

ق

Q

ر

Kh

ن

K

ص

D

ي

L

ط

Dz َ M

ع

R

ْ

N

ػ

Z

ٚ W

S ؽ

ٖ

H

ش

Sy 

ء

A

ٞ Sh ص

Y

Dh


Vocal Pendek.

Penulisan 

Arab

Penulisan 

Latin

َ

A ـــ

I ـــِ

ُ

U ـــ

2. Vocal Panjang

Penulisan 

Arab

Penulisan 

Latin

 ـب

Î ـٝ

Û ـٛ

3. Diftong

Penulisan 

Arab

Penulisan 

Latin

ْٚ

Au اَ

ْٞ

Ai اَ

Catatan:

a. Konsonan yang ber-syaddah ditulis dengan rangkap, misalnya: ةَّ عَ

ditulis rabba.

b. Vocal panjang (mad): fathah (baris di atas) ditulis â atau Â, kasrah

(baris di bawah) ditulis î atau Î, serta dhammah (baris depan) ditulis û

atau Û, misalnya: ُػخَ عِ

مَب

ْ

ٌا ditulis Al-Qâri‟ah, َٓ ١وِ سبَ َّ

ْ

ٌا di tulis al-masâkîn,

ٍِ ُذٛ َْ

ُّفْ

ْ

ٌا ditulis al-muflihûn.

c. Kata sandang Alif + lam (اي (apabila diikuti oleh huruf qamariyah 

ditulis al, misalnya: َْ ٚغُ ِىبفَ

ْ

ٌا ditulis Al-Kâfirûn. Sedangkan, bila diikuti 

oleh huruf syamsiyah, huruf lam diganti dengan huruf yang 

mengikutinya, misalnya: جبيَ غِّ ٌا ditulis ar-rijâl, atau diperbolehkan 

dengan menggunakan transliterasi al-qamariyah ditulis al-rijâl.

Asalkan konsisten dari awal sampai akhir.

d. Ta‟marbûthah (ح(, apabila terletak di akhir kalimat, ditulis dengan h,

misalnya: جمغحٌا ditulis Al-Baqarah. Bila di tengah kalimat ditulis dengan 

t, misalnya: بيَّ

ْ

.Nisâ-An sûrat سٛعح إٌسبء ditulis atau ,mâl-al zakat اٌ َّؼ َوبحَ اٌ

Penulisan kata dalam kalimat dilakukan menurut tulisannya, misalnya;

ِػل١ِ َٓ

َٛ َس١ْ ُغ اٌ َّغا

َُ٘ٚ ditulis wa huwa khair Ar-Râziqîn. 


Ayat-ayat dalam Al-Quran digolongkan menjadi 2 jenis, muhkam dan 

mutashabih. Maka yang dimaksud Ayat-ayat mutasyabihat ialah ayat-ayat 

yang memelurkan penafsiran. Para ulama sendiri menggunakan berbagai 

macam metode penafsiran, ada yang menafsirkan ayat-ayat Quran dengan 

hadits dan adapula yang menafsirkan ayat-ayat Quran dengan Ijma‟ ulama.

Dalam Tafsir Al-Azhar sendiri, Hamka menggunkan metode tafsir tahlili, 

namun di dalamnya sangat sedikit periwayatan tentang Isrâîliyyât.

Bila kita meneliti Bibel kita akan mendapati bahwa di dalamnya juga 

memuat banyak kisah yang sama seperti yang terdapat dalam Al-Quran 

terutama kisah-kisah yang berhubungan dengan para nabi, tetapi tentu sedikit 

banyak terdapat perbedaan versi cerita dengan Al-Quran. Di dalam Al-Quran 

hanya menyampaikan kisah-kisah yang berisi nasihat maupun pelajaran, akan 

tetapi tidak menjabarkan kisah tersebut secara rinci.

Isrâîliyyât sendiri terbagi menjadi beberapa macam, pertama diterima 

jika sejalan dengan syariat Islam, kedua ditolak jika bertentangan dan ketiga

didiamkan jika tidak diketahui kebenarannya atau kedustaanya. Kisah Isa as 

yang mengandung Isrâîliyyât terdapat pada surah Âli Imrân/3:48, 

Maryam/19:16, Maryam/19:34, Al-Mâidah/5:110, Al-Mâidah/5:73, An￾Nisâ/4:157.

Adapun Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (Library 

Research). Yang mana data primer yang penulis gunakan ialah Tafsir Al￾Azhar karya buya Hamka, sedangkan data sekunder penulis peroleh dari 

bahan pustaka tertulis baik baik berupa kitab-kitab tafsir, buku, jurnal, dan 

karya ilmiah lainya yang berkaitan dengan pokok pembahasan dalam 

penelitian ini.

Setelah data penelitian terkumpul selanjutnya penulis mengkaji 

kesimpulan yang didapat dengan menggunakan pendekatan komparatif 

terhadap Isrâîliyyât dalam kisah Isa a.s yang terdapat dalam Tafsir Al-Azhar

karya Hamka dan Bibel.


Dari segi Bahasa (Etimologi), kata Al-Quran adalah ism mashdar

(kata benda) dari kata kerja (لغأ (dengan makna ism maf‟ûl.

1 Dengan 

demikian, kata Quran berarti “bacaan”. Kata ini selanjutnya, berarti kitab

suci yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW,

2

pendapat ini berdasarkan firman Allah:

ََۚٗٗٔ

ٰ

ْغا

ْغ لُ

ِ

ج

ُٰٗ فَبرَّ

ٔ

ْ

َغأ

فَبِ ٔ١ َطا لَ

Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.

(Al-Qiyâmah/75:18)

Sedangkan menurut istilah antara lain adalah Firman Allah yang 

diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang memiliki kemukjizatan 

lafal, membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara mutawatir, yang 

tertulis dalam mushaf, dimulai dengan surat Al-Fâtihah dan diakhiri

dengan surat An-Nâs.

3

Al-Quran adalah mukjizat Islam yang abadi di mana semakin maju 

ilmu pengetahuan, semakin tampak kemukjizatannya. Allah SWT

menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW demi membebaskan 

manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya Ilahi, dan 

membimbing mereka ke jalan yang lurus.4 Kitab suci Al-Quran 

merupakan mukjizat teragung dan terbaik sejak zaman Rasulullah SAW,

dan akan terjaga hingga hari kiamat.

5

Al-Quran digunakan oleh Nabi Muhammad untuk menantang orang￾orang pada masanya dan generasi sesudahnya yang tidak mempercayai 

kebenaran Al-Quran sebagai firman Allah (bukan ciptaan Muhammad) 

dan risalah serta ajaran yang dibawanya. Mereka memiliki tingkat 

fashahah dan balâghah yang tinggi di bidang bahasa Arab, Nabi 

memintanya untuk menandingi Al-Quran dalam tiga tahapan:

1. Mendatangkan semisal Al-Quran secara keseluruhan.

2. Mendatangkan sepuluh surat yang menyamai surat-surat yang ada 

dalam Al-Quran.

3. Mendatangkan satu surat saja yang menyamai surat-surat yang ada

dalam Al-Quran

Sejarah membuktikan bahwa orang-orang Arab ternyata gagal 

menandingi Al-Quran.

6

Al-Quran diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari,7

atau 

selama kurun waktu 23 tahun. Hal ini didasarkan pada petunjuk yang 

diperoleh, baik dari Al-Quran maupun hadis Rasulullah SAW,8

yaitu 

mulai malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi, sampai 9 

Dzulhijjah Haji Wada‟ pada tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 

10 H.9

Di antara tujuan diturunkannya Al-Quran secara berangsur-angsur 

adalah untuk menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dari kaum 

muslimin saat itu10, karena di dalam Al-Quran sendiri terdapat banyak 

jawaban mengenai berbagai pertanyaan.

11 Di samping itu untuk 

menguatkan hati dan jiwanya, sebab apabila wahyu muncul dalam setiap 

peristiwa, ini akan lebih memantapkan hati dan lebih memberikan 

perhatian terhadap Rasul. Hal ini mengharuskan malaikat sering turun 

kepadanya dan memperbarui pertemuan dengan membawa misi dari sisi 

Yang Maha Mulia. Dari sini, muncullah kegembiraan yang tidak dapat 

diungkapkan dengan kata-kata.12

Jelaslah bahwa turunnya Al-Quran secara berangsur-angsur itu 

merupakan bantuan terbaik bagi mereka untuk menghafal dan memahami 

ayat-ayatnya. Setiap kali turun suatu atau berapa ayat, para sahabat segera 

menghafalkannya, merenungkan maknanya dan mempelajari hukum￾hukumnya.13

Pada masa Rasulullah, Rasul menerima dan membacakannya kepada

para sahabat serta para sahabat mengkajinya di kalangan mereka. Setiap 

kali muncul permasalahan hukum, mereka segera mempelajarinya, atau 

permasalahan akidah dan syariah, mereka segera memahaminya.

Rasulullah menjelaskan apa saja yang mereka butuhkan, karena beliau 

adalah penyampai dari Tuhannya. Beliau juga mendapat tugas 

menjelaskannya, Allah berfirman:14

ُْ َ٠زَفَ َّى ُغ ْٚ َْ ٗٗ

ُٙ

َّ

َؼٍ

ٌََٚ ُِْٙ

١ْ

ِؽ َِب ُٔ ِّؼ َي اٌَِ

ب

ظ ْو َغ ٌِزُجِّ١َ َٓ ٌٍَِّٕ

ِّ

١ْ َه اٌ

اٌَِ

ٌَٕبٓ

ٔ َؼْ

... َٚاَ ْ

…Dan Kami turunkan Ad-Dzikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau 

menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka 

dan agar mereka memikirkan. (An-Nahl/16:44)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa salah satu tugas Rasul adalah 

menyampaikan dan menjelaskan risalah kepada umat manusia. Oleh 

karena itu secara pasti Nabi Muhammad memahami isi kandungan Al￾Quran, baik secara global maupun terperinci, sehingga tidak ada yang 

samar baginya.

15

Rasulullah menjadi rujukan utama mereka dalam berbagai hal.16

Penafsiran Al-Quran dilakukan oleh Rasulullah SAW sendiri atas dasar 

wahyu dari Allah SWT yang diterimanya lewat Malaikat Jibril a.s.

17 Di 

samping itu Rasul belum menafsirkan semua ayat Al-Quran kepada para 

sahabat, melainkan ayat-ayat yang mereka butuhkan mengenai sebagian 

ibadah dan sebagian makna kata-kata tertentu.18

Penafsiran Nabi seperti ini merupakan penafsiran ayat-ayat yang 

ringkas dan masih global (mujmal) dengan menggunakan ayat-ayat yang 

jelas arahannya (mubayyan) juga penafsiran atas ayat yang masih umum 

(„âm) dengan ayat yang khusus (khâs), menafsiri ayat yang masih bersifat 

tak terbatas (muthlaq) dengan ayat yang sudah dibatasi.19

Namun ketika Rasul wafat, sebagian merujuk kepada sebagian yang 

lain, mereka saling bertanya mengenai berbagai masalah yang tidak 

mereka ketahui.20 Banyak sahabat yang telah menafsirkan Al-Quran 

dengan dasar pemahaman mereka yang tajam serta hati mereka yang 

bersih.

21 Mereka juga menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran dan Hadits

serta dengan apa yang mereka ketahui.22

Di antara para sahabat ada sepuluh orang yang dikenal sebagai 

mufasir, seperti Khulafâurrâsyidîn yang empat, Abdullah ibn Mas‟ud, 

Ubay ibn Ka‟ab, Abdullah ibn „Abbas, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa Al￾Asya‟ri, dan Abdullah ibn Zubair. Di antara Khulafâurrâsyidîn yang 

empat, yang paling banyak diriwayatkan tafsir darinya adalah Ali bin Abi 

Thalib r.a. Sedangkan tiga khalifah yang lain, periwayatannya dari mereka 

dalam tafsir sangat sedikit, disebabkan karena mereka wafat terlebih 

dahulu dan sibuknya dengan tugas kekhalifahan.23

Selain kesepuluh orang sahabat tersebut, ada sahabat yang pernah 

meriwayatkan tafsir meskipun sedikit sekali dan penafsirannya pun tidak 

setenar kesepuluh orang di atas. Di antara mereka adalah: Anas bin Malik, 

Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Amr 

bin Al- „Ash, Aisyah binti Abu Bakar.24

Sedangkan sisanya yang terbanyak tafsirnya adalah Abdullah ibn 

Abbas, kemudian Abdullah ibn Mas‟ud, Ubay ibn Ka‟ab. Jika 

menambahkan Ali, maka dapat kita simpulkan bahwa keempat sahabat 

inilah yang paling banyak dibanding yang lainnya.

25

Di dalam Al-Quran banyak menceritakan kisah-kisah Nabi dan umat 

terdahulu, namun tidak menceritakannya secara terperinci seperti kitab￾kitab Ahli Kitab. Ketika Ahli Kitab masuk Islam, mereka masih membawa pengetahuan keagamaan mereka berupa cerita dan kisah-kisah keagamaan.

Disaat membaca kisah-kisah Al-Quran, terkadang mereka memaparkan 

rincian kisah itu seperti terdapat dalam kitab-kitab mereka.26

Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, 

Khususnya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam 

Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama 

Islam, inilah merupakan benih lahirnya Isrâîliyyât.

27

Sahabat sangat berhati-hati terhadap kisah-kisah yang mereka 

bawakan itu.

28 Berdasarkan ini, maka para sahabat apabila mengambil 

berita dari Ahli Kitab mereka akan membenarkannya jika tidak 

bertentangan dengan syariat, dan sahabat akan menolaknya apabila 

betentangan dengan syariat.29 Sesuai pesan Rasulullah:

١ْ

ٌَ

ِ

َي إ

ِ

ْٔؼ

ُ

ََّّللِ َٚ َِب أ

ب

ِ

ب ث

ََِّٕ

ُٛا آ

،ُْ ٚ }لٌُٛ

ثُُ٘ٛ

ِىزَب ِة، َََٚل ر َىظِّ

ْ

ْ٘ ًَ اٌ

َ

"ََل رُ َٕب{ ... " َظّضلُٛا أ

ٖٓ )عٚاٖ اٌجشبعٞ(

“Janganlah kamu membenarkan (berita-berita yang dibawa) Ahli kitab 

dan jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah, kami beriman 

kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami…” 

(HR. Al-Bukhari).

Hal ini dipandang sebagai indikasi bahwa Isrâîliyyât masuk ke dalam 

Islam sejak masa sahabat dan membawa pengaruh besar terhadap kegiatan 

penafsiran Al-Quran pada masa-masa sesudahnya.Dengan berakhirnya masa sahabat, urusan tafsir berpindah ke tangan 

tabi‟in. Selanjutnya, dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, 

kebutuhan umat terhadap ilmu tafsir pun meningkat. Seiring 

bermunculnya fatwa dan berbagai pendapat, dimulailah pembukuan 

tafsir.33

Pergerakan pertumbuhan tafsir periode tabi‟in ini tidak jauh berbeda 

dari tafsir pada periode sebelumnya.

34 Az-Zarqani dalam Manâhilul ‟Irfan 

menulis, bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai tafsir tabi‟in, 

sebagian memandangnya tafsir bil ma‟tsur karena berasal dari sahabat 

Nabi, dan sebagian memandangnya bil rayi.

35

Pada masa tabi‟in juga banyak madrasah ilmu berdiri, di antaranya 

madrasah Ibnu Abbas di Makkah, muridnya adalah: Said bin Jubair, 

Mujahid, Ikrimah, Thawus bin Kaisan Al-Yamani, dan Atha‟ bin Abu 

Rabbah. Di Madinah berdiri madrasah Ubay bin Ka‟ab di antara muridnya 

adalah Zaid bin Aslam, Abu Aliyah dan Muhammad bin Ka‟ab 

Al-Qurazhi. Di Iraq ada madrasah Ibnu Mas‟ud, diantara muridnya adalah 

Alqamah bin Qais, Masruq, Aswad bin Yazid, Murrah bin Hamzani, Amir 

Asy-Sya‟bi, Hasan Al-Basri dan Qatadah bin Di‟amah As-Sadusi. Masih 

banyak lagi madrasah yang berdiri dan para murid (tabi‟in) mewarisi Ilmu 

dari gurunya.36

Mereka sangat berhati-hati dan lebih dahulu merujuk Al-Quran dalam 

penafsiran mereka, kemudian berlanjut ke hadits Nabi. Apabila dalam 

Nabi juga tidak ditemukan tafsirnya, mereka merujuk pada ijtihad para 

sahabat. Mereka (tabi‟in) barulah melakukan ijtihad apabila tiga tahapan 

tersebut tidak mendapatkan pijakan untuk menafsiri sebuah ayat, langkah 

terakhir dalam melakukan penafsiran mereka bertanya kepada Ahli 

Kitab.37

Kendati demikian, pada era Tabi‟in, penukilan dari Ahli kitab

semakin meluas dan cerita-cerita Isrâîliyyât dalam tafsir semakin 

berkembang. Sumber cerita ini adalah orang-orang yang masuk Islam dari 

kalangan Ahli Kitab yang jumlahnya cukup banyak dan ditunjang oleh 

keinginan yang kuat dari orang-orang untuk mendengar kisah-kisah yang 

ajaib dalam kitab mereka.38

Di antara kesalahan dan kekeliruan para mufassir ialah mempercayai 

kisah-kisah Isrâîliyyât, sehingga kisah-kisah ini memenuhi kitab-kitab 

tafsir, terutama yang berkaitan dengan kisah para Nabi dan orang-orang 

mukmin di dalam Al-Quran. Kisah-kisah Isrâîliyyât ini menyusup ke

dalam pusaka penafsiran yang sangat berharga, hingga mencoreng 

mukanya, mengeruhkan kejernihannya.

39 Di samping itu juga membawa 

konsekuensi munculnya kritik terhadap khazanah tafsir.

40

Para mufassir tidak mengoreksi secara kritis lebih dahulu kutipan￾cerita-cerita Isrâîliyyât itu, padahal di antaranya terdapat yang tidak benar

dan batil. Karena itu orang yang membaca kitab-kitab tafsir, hendaknya 

meninggalkan apa yang tidak berguna dan tidak mengutip kembali hal-hal 

yang tidak diperlukan.41

Sebagian kisah-kisah Isrâîliyyât hanya diriwayatkan dari empat orang, 

yaitu Abdullah bin Salam, Ka‟ab Al-Ahbar, Wahab bin Munabbih, dan

Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraiji. Pandangan ulama tidak seragam

terkait mereka ini tsiqah atau tidak. Ada yang mengkritik dan ada juga 

yang mengatakan bahwa mereka ini tsiqah.

42

Dari sini sebagian ulama yang menerima dan ada pula ulama yang 

menolak. Menurut Ibnu Taymiyah dalam kitabnya Muqaddimah fi 

Ushulut-Tafsir, Isrâîliyyât ada tiga macam. Pertama, cerita Isrâîliyyât

yang shahih, itu boleh diterima. Kedua, Isrâîliyyât yang dusta yang kita 

ketahui kedustaannya karena bertentangan dengan syari‟at, itu harus 

ditolak. Ketiga, Isrâîliyyât yang tidak diketahui kebenaran dan 

kepalsuannya itu didiamkan, tidak didustakan dan juga tidak dibenarkan, 

jangan mengimaninya dan jangan pula membohonginya.43

Dalam hal ini, Hamka mengatakan Isrâîliyyât itu adalah sebagai 

dinding yang menghambat orang dari kebenaran Al-Quran. Beliau juga 

mengatakan kalau di dalam tafsir ini (Tafsir Al-Azhar) ada kita bawakan 

riwayat-riwayat Isrâîliyyât itu, tidak lain ialah buat peringatan saja.

44

Menurut penulis, dalam Tafsir Al-Azhar pun tidak lepas dari riwayat￾riwayat Isrâîliyyât, namum Hamka sangat berhati-hati dalam hal ini,

seperti yang dijelaskan di atas. Kisah Nabi Isa a.s di dalam Al-Quran perlu 

diangkat agar kita mengetahui cerita yang benar menurut Al-Quran pada 

Tafsir 

Al-Azhar. Menambah wawasan dan khazanah ilmu pengetahuan tentang 

kisah Nabi Isa a.s yang mengandung Isrâîliyyât dalam Tafsir Al-Azhar

karangan Hamka dan memahami kedudukan, alur cerita yang benar yang 

diceritakan dalam Al-Quran setelah dilakukan analisis antara Tafsir Al￾Azhar dan Bibel.

Dengan ini penulis ingin mengangkat kisah Nabi Isa a.s di dalam Al￾Quran pada Tafsir Al-Azhar yang mengandung Isrâîliyyât dengan 

membandingkan dengan Bibel, maka penulis mengangkat tema dengan

judul “Isrâîliyyât dalam Al-Quran (Studi Komparatif Kisah Isa a.s

antara Tafsir Al-Azhar Dan Bibel)”.

B. Identifikasi Masalah

Untuk tercapainya penulisan skripsi ini sesuai dengan yang diinginkan 

berdasarkan penelitian, maka perlunya penulis mengidentifikasi masalah￾masalah terkait yang akan dibahas, antara lain sebagai berikut:

1. Apa itu Isrâîliyyât?

2. Bagaimana masuknya Isrâîliyyât dalam ranah tafsir?

3. Siapa saja tokoh-tokoh yang meriwayatkan Isrâîliyyât?

4. Apa saja tingkatan/ klasifikasi Isrâîliyyât?

5. Bagaimana Penyebaran Isrâîliyyât dalam tafsir?

6. Bagaimana tanggapan ulama tentang Isrâîliyyât?

7. Bagaimana analisis perbandingan kisah-kisah Israiliyat tentang Nabi 

Isa a.s dalam Tafsir Al-Azhar dan Bibel?

8. Apa dampak Isrâîliyyât terhadap tafsir?

C. Batasan Dan Rumusan Masalah

Dalam penulisan ini, penulis akan membatasi rumusan masalah yaitu 

pada kisah Isrâîliyyât tentang kisah Nabi Isa a.s yang dibandingkan 

dengan Tafsir Al-Azhar dan Bibel.

Penulis yakin, tema ini sudah banyak diangkat para oleh peneliti, 

namun di sini penulis lebih fokus terhadap kisah Nabi Isa a.s di dalam Al￾Quran, dan tafsir Al-Quran yang diangkat untuk diteliti yaitu Tafsir 

Al-Azhar karangan Hamka

Kajian perpustakaan ini sangatlah perlu terkait meninjau terlebih 

dahulu penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini selain 

memberikan pengetahuan terhadap penelitian yang sudah dilakukan, juga membawa penjelasan bahwa penelitian ini benar-benar dilakukan dan 

dapat dipertanggungjawabkan.

Pengamatan penulis terhadap pembahasan Isrâîliyyât bukanlah 

penelitian satu-satunya dan baru, namun sudah pernah dibahas 

sebelumnya, diantara buku yang pernah membahas yaitu: 

1. Isrâîliyyât Dan Hadits-Hadits Palsu Tafsir Al-Quran, Prof. Dr. 

Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah mengatakan tujuan utama 

penulisan buku ini adalah untuk memaparkan fakta-fakta seputar 

Isrâîliyyât dan hadits-hadits palsu dalam kitab tafsir. Beliau juga 

menjelaskan kriteria dan sistematika penguraian Isrâîliyyât dan hadits 

palsu dari sisi aqli dan naqli. Persoalan hadits shahih, dhaif, palsu dan 

letak perbedaan antara tafsir yang layak diterima dan tidak.45

2. Isrâîliyyât Dalam Al-Quran Menurut Ibnu Kathir (Analisis 

Perbandingan Kisah Adam dan Ismail dalam Tafsir Ibn Kathir dan 

Bibel), Ahmad Barqillah Ramadhani dalam tulisan skripsinya 

mengatakan, salah satu kitab tafsir terkenal, yang diduga banyak 

meriwayatkan kisah-kisah Isrâîliyyât adalah Tafsir Ibn Kathir. 

Sebenarnya sah-sah saja menceritakan kisah-kisah tersebut, tentu 

dengan tujuan berdampak positif. Akan tetapi akan berdampak negatif

jika tanpa dibarengi keterangan bahwa kisah tersebut merupakan kisah 

Isrâîliyyât, padahal dalam Al-Quran tidak dijelaskan secara detail. Jika 

melihat keterangan pada Bibel (Perjanjian Lama), ternyata kisah-kisah 

di dalamnya memiliki kemiripan yang cukup signifikan dengan Al￾Quran. Penulis mencoba mengangkat fenomena kisah-kisah Isrâîliyyât, 

baik yang bersumber dari Bibel (Perjanjian Lama) dan Tafsir Ibn Kathir, dengan jalan menganalisis kedua sumber tersebut, tentunya 

menjadikan Al-Quran sebagai sang eksekutor kitab-kitab sebelumnya.46

3. Isrâîliyyât dan Implikasinya Terhadap Penafsiran Bias Gender (Studi

Tafsir Ibnu Katsir), Farit Afrizal dalam skripsi ini menyimpulkan 

bahwa Isrâîliyyât mempengaruhi tafsir bias gender baik disadari 

ataupun tidak oleh penulisnya. Penelitian inipun dilakukan untuk 

melihat sejauh mana pengaruh Isrâîliyyât dalam penafsiran, kesimpulan 

akhir menyebutkan bahwa Ibnu Katsir terpengaruh oleh riwayat 

Isrâîliyyât ketika ia berbicara mengenai ayat-ayat gender sehingga 

penafsirannya terindikasi bias gender.

47

4. Isrâîliyyât Surat Yusuf (Kajian Komparatif Pada Tafsir Al-Iklil ma‟ani 

At-Tanzil dan Bibel), Mabrurotul Hasanah dalam skripsi ini meneliti 

tentang kajian kitab Taurat (Perjanjian Lama) dan membandingkannya 

dengan Isrâîliyyât pada surat Yusuf dalam Tafsir Al-Iklil, dalam surat 

Yusuf mengandung Isrâîliyyât yaitu: ayat 4, 19, 20, 24, 42, 51, 53 dan 

56. Sumber data yang menghasilkan kesimpulan kemudian dikaji 

dengan pendekatan komparatif terhadap kisah Isrâîliyyât surat Yusuf 

dalam Tafsir Al-Iklil fi Ma‟ani At-Tanzil karya K.H. Misbah Musthafa 

dan Bibel.

48

Yang membedakan penulisan ini dengan penulisan sebelumnya yaitu, 

penulis ingin mengangkat tafsir yang ada di Indonesia memiliki khazanah 

keilmuan Islam yang tak kalah dengan negara-negara di dunia. Di samping itu penulis berusaha menganalisis kisah Isa a.s yang

terdapat pada Tafsir Al-Azhar dan Bibel, yang mana kisah Isa a.s hanya

sedikit dijabarkan di dalam Al-Quran, dan untuk mengetahui kisah 

tersebut Tafsir Al-Azhar karangan Hamka mengambil kisah Isrâîliyyât.

Sudah disampaikan di atas bahwasannya Hamka sangat hati-hati dalam 

pengambilan kisah Isrâîliyyât, jika terdapat kisah tersebut hanya sebagai 

peringatan saja.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini dibagi menjadi lima bab, setiap bab terdiri dari beberapa 

sub bab yang dimaksud untuk mempermudah dalam penyusunan serta 

memahaminya, adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari identifikasi masalah, 

batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka 

teori, metodologi penelitian, kajian riset sebelumnya (perpustakaan), 

sistematika penulisan.

Bab II adalah profil HAMKA beserta Tafsir Al-Azhar, sejarah

Pendidikan beliau, buku-buku karangan beliau, Isrâîliyyât dalam Tafsir 

Al-Azhar dan sikap beliau terhadapnya.

Bab III membahas pengertian Isrâîliyyât, macam-macam Isrâîliyyât,

klasifikasi/tingkatan Isrâîliyyât, masuknya Isrâîliyyât dalam tafsir, 

penyebaran Isrâîliyyât dalam tafsir, tokoh yang meriwayatkan tentang 

Isrâîliyyât, pandangan ulama yang membolehkan dan melarang

Bab IV menganalisa perbandingan kisah-kisah Isrâîliyyât (Nabi Isa 

a.s) dalam Tafsir Al-Azhar dan Bibel

Bab V berupa kesimpulan dari penulisan di atas, saran dan masukan 

dari 

Biografi Buya Hamka

1. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan Hamka

Nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah.

1 Namun, 

kebanyakan orang mengenalnya dengan panggilan Hamka.

2

Pada tahun 

1346 H/1927 M, Abdul Malik menunaikan ibadah haji untuk pertama 

kalinya, gelar “haji” di depan namanya yang membuat namanya 

dikenal dengan sebutan Hamka.3 Hamka dilahirkan di Sungaibatang, 

Maninjau, pada 17 Februari 1908 bertepatan dengan 14 Muharram 

1326 Hijriyah4

dan wafat pada 24 juli 1981.5

Hamka adalah putra Abdul Karim Amrullah, tokoh pelopor dari 

Gerakan Islam “Kaum Muda” di Minangkabau yang memulai 

gerakannya pada 1906 setelah kembali dari Makkah. Syaikh Abdul 

Karim Amrullah pada saat itu dengan sebutan Haji Rasul di waktu 

mudanya.

6

Di tahun 1941 ayah Hamka diasingkan Belanda ke Sukabumi 

karena fatwa-fatwa yang mengganggu keamanan dan keselamatan 

umum. Ayah Hamka meninggal di Jakarta tanggal 21 Juni 1945, dua 

bulan sebelum Proklamasi. Ibunya Hamka bernama Siti Safiyah. Ayah 

dari ibu Hamka bernama Gelanggang gelar Bagindo nan Batuah. Di

kala mudanya terkenal sebagai guru tari, nyanyian dan pencak silat. Di 

waktu Hamka masih kecil selalu mendengar pantun-pantun yang berarti 

dan mendalam dari kakeknya.7

Karena lahir di zaman hebat pertentangan kaum muda dan kaum 

tua, sejak kecil Hamka sudah terbiasa mendengar perdebatan￾perdebatan yang sengit antara kaum muda dan kaum tua tentang 

paham-paham agama.8

Dipanggil Abdul Malik di waktu bocah, Hamka mengawali 

pendidikannya membaca Al-Quran di rumah orang tuanya ketika 

mereka sekeluarga pindah dari Maninjau ke Padangpanjang pada tahun 

1914 M. Setahun kemudian, setelah mencapai usia tujuh tahun, Abdul 

Malik -Hamka kecil itu- dimasukkan ayahnya ke sekolah desa.

Pada tahun 1916, ketika Zainuddin Lebai el-Yanusi mendirikan 

Sekolah Diniyah petang hari di Pasar Padangpanjang, Hamka di 

masukkan ayahnya ke sekolah ini. Pada pagi hari, Hamka pergi 

kesekolah desa, sore hari pergi belajar ke Sekolah Diniyah, dan pada 

malam hari berada di surau bersama teman-teman sebayanya. Inilah 

putaran kegiatan Hamka sehari-hari dalam usia bocahnya. Putaran 

kegiatan dirasakan Hamka sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan

dan sangat mengekang kemudian diramu dengan sikap ayahnya yang 

otoriter.9

Selebihnya, ia belajar sendiri. Kesukaan di bidang bahasa 

membuatnya cepat sekali menguasai Bahasa Arab. Dari sinilah dia 

mengenal dunia secara lebih luas, baik hasil pemikiran klasik Arab 

maupun Barat. Karya para pemikir Barat ia dapatkan dari hasil 

terjemahan ke bahasa Arab. Lewat bahasa pula Hamka kecil suka 

menulis dalam bentuk apa saja. Ada puisi, cerpen, novel, tasawuf, dan 

artikel-artikel tentang dakwah.10

Saat Abdul Karim Amrullah, ayahnya Hamka, pulang dari tanah 

jawa, ia merubah surau jembatan besi tempat di mana ia memberikan 

pelajaran agama dengan sistem lama, dirubah menjadi madrasah yang 

kemudian dikenal dengan Thawalib School. Dengan hasrat agar 

anaknya menjadi ulama seperti dirinya, Abdul Karim Amrullah 

memasukkan Hamka ke Thawalib School. Dan sekolah desanya 

berhenti.11

Secara formal, penddidikan yang ditempuh Hamka tidaklah tinggi. 

Hanya sampai kelas 3 sekolah desa. Lalu, sekolah agama yang ia jalani 

di Padangpanjang dan Parabek juga tak lama, hanya Selama tiga 

tahun.12

Akhir 1924, saat Hamka berusia 16 tahun, Buya Hamka berangkat 

ke tanah Jawa. Di sanalah dia berkenalan dan belajar pergerakan Islam 

modern kepada H.O.S Tjokrominoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M

Soerjopranoto, dan H. Fakhruddin. Mereka semua mengadakan kursus￾kursus pergerakan di Gedong Abdi Dharmo di Pakualaman, 

Yogyakarta. Dari mereka itulah, Buya Hamka dapat mengenal 

perbandingan antara pergerakan politik Islam, yaitu Syarikat Islam 

Hindia Timur dan gerakan Sosial Muhammadiyah. Setelah berapa lama

di Yogya, dia berangkat menuju Pekalongan, menemui guru, sekaligus 

suami kakaknya, A.R. Sutan Mansur. Ketika itu dia menjadi ketua 

(voorzitter) Muhammadiyah Cabang Pekalongan.

13

Kunjungan Hamka ke tanah Jawa yang relatif singkat itu, lebih 

kurang satu tahun, menurut Hamka sendiri telah mampu memberikan 

“semangat baru” baginya mempelajari islam. Dalam kesempatan ini 

juga, Hamka mendapatkan pelajaran Tafsir Quran dari Ki Bagus 

Hadikusumo.

14 Kesadaran baru dalam melihat Islam yang diperoleh 

Hamka di Jawa, terutama Yogyakarta tersebut memang sangat jauh 

berbeda dengan kesadarannya tentang Islam sebagai yang ia dapat dari 

guru-gurunya di Minangkabau. Kesadaran ini, menjadi lebih kukuh 

ketika dia berada di Pekalongan selama enam bulan.

15

Pertengahan tahun 1925, Hamka kembali ke Padangpanjang dan

ikut mendirikan Tabligh Muhammadiyah di rumah ayahnya. Dua tahun 

setelah kembalinya dari Jawa, Hamka pergi ke Mekkah untuk 

menunaikan ibadah haji.16

Menjelang pelaksanaan ibadah haji berlangsung, Hamka Bersama 

beberapa calon jamaah haji lainnya mendirikan organisasi Persatuan 

Hindia Timur. Organisasi ini bertujuan memberikan pelajaran agama, 

terutama manasik haji, kepada calon jamaah haji asal Indonesia.

17

Ada pengalaman menarik ketika Hamka berada di Mekkah. Di 

tanah suci ia bertemu dengan Haji Agus Salim. Hamka sempat meminta 

nasihatnya untuk menuntut ilmu dan bermukim di Mekkah. Namun, 

Agus Salim mengahalangi niat tersebut dan mengingatkan: “Datanglah

ke Mekkah mengerjakan ibadah haji. Adapun untuk menuntut ilmu 

lebih baik pulang. Ayahmu sendiri Syaikh Abdul Karim timbul menjadi 

ulama adalah dalam tanah air sendiri. Kalau engkau bermukim di 

Mekkah bertahun-tahun, kalau engkau pulang nanti setinggi-tinggi 

engkau hanya dipanggil membaca doa kalau ada orang kenduri.

18”

Kesempatan ibadah haji itu ia manfaatkan untuk memperluas 

pergaulan dan bekerja, selama 6 bulan ia bekerja di bidang percetakan 

di Mekkah. Pulang dari Mekkah pada akhir tahun 1927. Ketika 

diadakan Muktamar Muhammadiyah di Solo tahun 1928 ia menjadi 

peserta. Muktamar ini menjadikannya sebagai titik pijak untuk 

berkhidmat di Muhammadiyah.19

Buya Hamka menikah dengan almarhumah Siti Raham pada 

tanggal 5 April 1929, mereka menikah pada usia muda. Buya Hamka 

21 tahun, sedangkan istrinya berusia 15 tahun.20 Dari pernikahan 

tersebut, Buya Hamka dikaruniai dua belas anak, namun dua 

diantaranya meninggal dunia saat balita yaitu Hisyam dan Husna, 

sehingga tinggal sepuluh bersaudara yang hidup dan mendampingi 

Hamka ketika masih hidup, diantaranya:

1. H. Zaki Hamka (meninggal pada usia 59 tahun)

2. H. Rusjdi Hamka

3. H. Fachry Hamka, (meninggal pada usia 70 tahun)

4. Hj. Azizah Hamka

5. H. Irfan Hamka

6. Prof. Dr. Hj. Aliyah Hamka, MM

7. Hj. Fathiyah Hamka

8. Hilmi Hamka

9. H. Afif Hamka

10. Shaqib Hamka21

Demikianlah jalan yang akan ditempuh Hamka ia telusuri dengan 

penuh kepastian. Sedikit demi sedikit pengukuhan diri sebagai tokoh 

dan penganjur Islam secara pasti ia guratkan. Maka ketika kongres 

Muhammadiyah ke 19 yang berlangsung di Bukittinggi pada tahun 

1930 Hamka tampil sebagai pemerasaran dengan judul Agama Islam 

dan Adat Minangkabau. Lalu ketika berlangsung Muktamar 

Muhammadiyah ke 20 di Yogyakarta pada tahun 1931, lagi-lagi Hamka 

muncul dengan ceramah berjudul Muhammadiyah di Sumatera. 

Setahun kemudian, atas kepercayaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 

Hamka diutus ke Makassar menjadi muballigh. Sekembalinya dari 

Makassar, Hamka mendirikan Kulliyatul Muballighin di 

Padangpanjang sembari menerjunkan diri sebagai muballigh.

22

 

Dari keaktifannya di Muhammadiyah tersebut ternyata telah 

mengantarkannya ke berbagai daerah, termasuk ke Medan, pada tahun 

1936. Di Medan inilah peran Hamka sebagai intelektual ulama dan 

ulama intelektual mulai terbentuk.23

Di kota ini Hamka bersama M. Yunan Nasution menerbitkan 

majalah Pedoman Masyarakat, majalah yang menurut M. Yunan 

Nasution, memberikan andil tidak kecil bagi kepengarangan dan 

kepujanggaan Hamka di masa depan.24

Nasib seorang anak manusia, memang bukan dia yang 

menentukan. Ketika Jepang datang kondisi jadi lain. Pedoman 

Masyarakat dibredel, aktifitas masyarakat diawasi dan bendera merah 

putih dilarang dikibarkan. Pada saat bersamaan Jepang berhasil 

merangkul Hamka dengan mengangkatnya menjadi “Syu Sangi Kai”

atau Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun 1944. Saat Jepang 

menyerah kepada sekutu, Hamka pun menjadi sasaran kritik yang tak 

berkesudahan. Inilah yang menyebabkan Hamka keluar dari Medan, 

menuju Sumatera Barat.

Hamka tetap aktif menggalang kekuatan untuk mempertahankan 

kemerdekaan, sekaligus tetap menjadi juru dakwah. Pada tahun 1950, 

ia pindah ke Jakarta dan menekuni dua profesi, sebagai ulama sekaligus 

pujangga.25

Di Jakarta Hamka tinggal disebuah rumah yang disewa milik 

keluarga Arab. Zaman itu banyak rumah di Jakarta milik keluarga Arab 

yang disewakan ke masyarakat, Hamka tinggal di Gg. Buntu, Jalan Toa 

Hong II, Kebun Jeruk, Taman Sari.26 Di Jakarta dari tahun 1950-1958 

Hamka menjabat sebagai pegawai tinggi pada kementrian agama.27

Hamka juga mengajar di beberapa perguruan tinggi, di antaranya 

Perguruan Tinggi Agama Islam negeri (PTAIN) Yogyakarta, 

Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah 

Muhammadiyah di Padang Panjang, Universitas Muslim Indonesia 

(UMI) Makassar, dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU).28

Bersama K.H Faqih Oesman dan Yusuf Muhammad, pada tahun 

1959 Hamka menerbitklan majalah bulanan Panji Masyarakat. Dalam 

perkembangannya, kehadiran majalah Panji Masyarakat berkembang 

cukup pesat dan sangat dinantikan oleh banyak kalangan. Akan tetapi 

keberadaan majalah ini tidak bertahan laman karena dibrendel 

pemerintah waktu itu. Penyebabnya yaitu memuat tulisan Mohammad 

Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita”. Dalam tulisan tersebut Hatta 

dengan tajam mengkritik konsep Demokrasi Terpimpin yang 

memaparkan pelanggaran-pelanggaran konstitusi yang telah dilakukan 

Soekarno.29

Dalam satu pertemuan dengan pemuka-pemuka Islam di Mesir, 

Buya Hamka membawakan pidato yang berjudul “Pengaruh 

Mohammad Abduh di Indonesia”. Dia menguraikan tentang 

kebangkitan gerakan-gerakan Islam modern, seperti Sumatera 

Thawalib, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis di Indonesia pada 

awal abad ke 20. Pidato itu dianggap sebagai promosi mendapat gelar

Doktor Honoris Causa oleh Universitas Al-Azhar, Kairo. Dalam ijazah 

tertera istilah Arabnya: “Ustadz Fakhriyah”.30

Di antara gelar kehormatan yang pernah diraih Hamka adalah: 

Doktor HC dari Universitas Al-Azhar Mesir 1961, Dr. HC Universitas 

Prof. Dr. Mustopo Beragama 1968, Dr. HC Universitas Kebangsaan 

Malaysia 1974, dan Bintang Mahaputra Utama 1986.31

2. Sepak Terjang Hamka di Dunia Politik dan Sosial

Pada tahun 1955 berlangsung pemilihan umum di Indonesia dan 

Hamka terpilih sebagai anggota konstitusi dari partai Masyumi. Hamka

pun membuktikan bahwa dengan kegiatan politik praktis, tugas 

utamanya sebagai seorang muballigh dan pejuang Islam, tidaklah 

tergusur. Lewat konstitusi, Hamka dengan gigih memperjuangkan 

kepentingan Islam. Sesuai dengan garis kebijakan partai Masyumi

Hamka maju dengan usul mendirikan negara yang berdasarkan Al￾Quran dan Sunnah Nabi.32

Awalnya ia menolak untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, tapi 

ia membolehkan jika hanya mengumpulkan suara saja. Saat Hamka 

berada di Makassar sebagai dosen terbang di Universitas Muslim 

Indonesia (UMI), Pusat Pemimpin Muhammadiyah mengirimkan surat 

yang ditandatangani oleh Ketua Umum Muhammadiyah dan gurunya 

sendiri yaitu A. R Sutan Mansur. Akhirnya Hamka luluh dan duduk 

sebagai anggota konstitusi, sebab Muhammadiyah waktu itu adalah 

anggota istimewa dari Masyumi.33

Atas dorongan PKI, kekuasaan Soekarno bertambah lama 

bertambah besar. Soekarno membubarkan konstitusi dan kemudian 

membentuk MPRS dan DPRGR. Partai Masyumi dibubarkan pula oleh 

Soekarno, dan atas hasutan PKI Indonesia mengumumkan konfrontasi 

dengan Malaysia.34

Ia ulama besar, muballigh yang berani dan penulis yang produktif. 

Pengaruhnya bukan hanya di Indonesia, tapi juga melintas di Asia 

Tenggara. Hamka pernah menjadi pimpinan pertama Majlis Ulama 

Indonesia. Ia sejak muda banyak aktif di organisasi Muhamadiyah 

hingga menjadi tokoh berpengaruh di organisasi tersebut.35

Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri pada 26 Juli 1975 

di Jakarta, Hamka terpilih sebagai ketua umumnya yang pertama. 

Dalam Munas MUI Mei 1980 Hamka terpilih sebagai ketua umum 

yang kedua kalinya,

36 jabatan ini dipegangnya sampai ia mengundurkan 

diri pada 18 Mei 1981. Hamka menggambarkan secara baik tentang 

para ulama yang duduk di MUI, ibarat kue bika. Ulama, menurutnya 

terletak di tengah-tengah laksana kue bika yang sedang dimasak dalam 

periuk belanga. Dari bawah dinyalakan api, dari atas dihimpit pula 

dengan api, api di bawah adalah keluhan dan harapan masyarakat, 

sedangkan api dari atas adalah keinginan pemerintah, jika terlalu berat 

ke atas maka putuslah dengan bawah, sedangkan jika berat ke bawah 

maka hilangah hubungan dengan pemerintah, diperlukan keseimbangan 

untuk mempertemukan dan menyerasikan antara rakyat dan 

pemerintah. 

Dalam pandangan Hamka “di tanah air ini masih banyak ulama 

yang lebih tinggi ilmunya, lebih khusyuk ibadahnya, tapi mereka ini 

tidak masuk dalam kepengurusan MUI, bahkan bersyukur karena 

mereka tidak mendapat panggilan buat hadir, sebab ingin ulzah dari 

pergaulan yang penuh fitnah ini”37

Bermaksud menjaga akidah umat Islam, MUI mengeluarkan fatwa 

larangan umat Islam menghadiri perayaan Natal,38 disebabkan 

banyaknya umat yang secara sukarela, terpaksa atau demi kerukunan, 

akhirnya mengikuti perayaan Natal. Perayaan Natal ini diselenggarakan 

di kantor-kantor dan sekolah-sekolah, atau kompleks perumahan.39

Fatwa tersebut mendapat kecaman dari Menteri Agama Alamsyah 

Ratu Perwiranegara, Menteri Agama menyatakan pengunduran diri 

sebagai Menteri bila fatwa tersebut tidak dicabut.40 Tapi, MUI di 

bawah kepimimpinan Hamka tetap bersiteguh dan 

mempertahankannya. Hamka lebih sigap, ia memilih mundur dari MUI 

daripada mengikuti kemahuan pemerintah yang bertentangan dengan 

hati nurai dan akidahnya itu.

41

Rekan-rekan Hamka menyambut dengan gembira sikap Hamka. 

“Waktu saya diangkat dahulu tidak ada ucapan selamat, tapi setelah 

saya berhenti, saya menerima ratusan telegram surat-surat 

mengucapkan selamat.” Kata Hamka.42 Sembilan pekan setelah mundur 

dari MUI, tepatnya pada hari jumat 24 Juli 1981, Hamka dipanggil Ilahi 

untuk selamanya. Ia wafat dalam keadaan Husnul Khâtimah.

43

B. Karya-karya Hamka

1. Khatibul Ummah, Jilid 1. Inilah permulaan mengarang yang dicetak 

huruf Arab. Khatibul Ummah, artinya Khatib dari umat. Khatibul 

Ummah Jilid II.

2. Khatibul Ummah Jilid III

3. Si Sabaroah, cerita roman, huruf Arab, bahasa Minangkabau (1928), 

dicetak sampai 3 kali. Dari hasil penjualan buku ini, penulis bisa 

menikah. Pembela Islam (Tarikh Sayidina Abubakar Shidiq) (1929).

4. Adat Minangkabau dan Agama Islam (1929)

5. Ringkasan Tarikh Ummat Islam (1929), Ringkasan Sejarah sejak Nabi 

Muhammad saw. Sampai Khalifah yang empat, Bani Umayyah, Bani

Abbas.

sebagai Menteri bila fatwa tersebut tidak dicabut.40 Tapi, MUI di 

bawah kepimimpinan Hamka tetap bersiteguh dan 

mempertahankannya. Hamka lebih sigap, ia memilih mundur dari MUI 

daripada mengikuti kemahuan pemerintah yang bertentangan dengan 

hati nurai dan akidahnya itu.

41

Rekan-rekan Hamka menyambut dengan gembira sikap Hamka. 

“Waktu saya diangkat dahulu tidak ada ucapan selamat, tapi setelah 

saya berhenti, saya menerima ratusan telegram surat-surat 

mengucapkan selamat.” Kata Hamka.42 Sembilan pekan setelah mundur 

dari MUI, tepatnya pada hari jumat 24 Juli 1981, Hamka dipanggil Ilahi 

untuk selamanya. Ia wafat dalam keadaan Husnul Khâtimah.

43

B. Karya-karya Hamka

1. Khatibul Ummah, Jilid 1. Inilah permulaan mengarang yang dicetak 

huruf Arab. Khatibul Ummah, artinya Khatib dari umat. Khatibul 

Ummah Jilid II.

2. Khatibul Ummah Jilid III

3. Si Sabaroah, cerita roman, huruf Arab, bahasa Minangkabau (1928), 

dicetak sampai 3 kali. Dari hasil penjualan buku ini, penulis bisa 

menikah. Pembela Islam (Tarikh Sayidina Abubakar Shidiq) (1929).

4. Adat Minangkabau dan Agama Islam (1929)

5. Ringkasan Tarikh Ummat Islam (1929), Ringkasan Sejarah sejak Nabi 

Muhammad saw. Sampai Khalifah yang empat, Bani Umayyah, Bani

Abbas.

27. Lembaga Budi (1940), semua dibukukan dengan nama MUTIARA 

FILSAFAT oleh penerbit WIJAYA, Jakarta, 1950).

28. Majalah SEMANGAT ISLAM (Zaman Jepang 1943).

29. Majalah MENARA (Terbit di Padangpanjang), sesudah Revolusi 

1946.

30. Negara Islam (1946).

31. Islam dan Demokrasi (1946).

32. Revolusi Fikiran (1946).

33. Revolusi Agama (1946).

34. Merdeka (1946).

35. Dibandingkan Ombak Masyarakat (1946).

36. Adat Minagkabau Menghadapi Revolusi (1946).

37. Di Dalam Lembah Cita-cita (1946).

38. Sesudah Naskah Renville (1947).

39. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret (1947).

40. Menunggu Beduk Berbunyi (1949), di Bukittinggi, saat Konferensi 

Meja Bundar.

41. Ayahku (1950) di Jakarta.

42. Mandi Cahaya Di Tanah Suci.

43. Mengembara Di Lembah Nil.

44. Di Tepi Sungai Dajlah.

(Ketiganya ditulis sekembali dari Naik Haji ke-2)

45. Kenang-kenangan Hidup I- IV 46

(Autobiografi sejak lahir, tahun 1908-1850)

46. Sejarah umat Islam I-IV 

(Ditulis Tahun 1938-1955)

47. Pedoman Muballigh Islam. Cetakan I (1937); Cetakan II (1950)

48. Pribadi (1950)

49. Agama dan perempuan (1939)

50. Perkembangan Tasahawuf dari Abad ke Abad (1952).

51. Muhammadiyah Melalaui Tiga Zaman (1946), di Padangpanjang.

52. 1001 Soal Hidup.

(Kumpulan karangan dari pedoman Masyarakat, dibukukan 1950)

53. Pelajaran Agama Islam (1956)

54. Empat Bulan di Amerika, Jilid I-II (1953)

55. Pengaruh Ajaran Mohammad Abduh di Indonesia. (Pidato di Kairo, 

1958), untuk Dr. Honoris causa.47

56. Soal Jawab (1960). Disalin dari kerangan-karangan di Majalah Gema 

Islam.

57. Dari Perbendaharaan Lama (1963), dicetak oleh M. Arbi Medan.

58. Lembaga Hikmat (1953), Bulan Bintang, Jakarta.

59. Islam dan Kebatinan (1972), Bulan Bintang.

60. Syaid Jamaludin Al-Afgani (1965), Bulan Bintang

61. Ekspansi Ideologi (Al-ghzwul Fikri) (1963, Bulan Bintang).

62. Hak-Hak Asasi Manusia Dipandang dari Segi Islam (1968).

63. Falsafah Ideologi Islam (1950), sekembali dari Makkah.

64. Keadilan Sosial Dalam Islam (1950), sekembali dari Makkah.

65. Fakta dan Khayal Tuanku Rao (1970)

66. Di Lembah Cita-Cita (1952).

67. Cita-cita Kenegaraan Dalam Ajaran Islam (Kuliah Umum) di 

Universitas Kristen (1970).

68. Studi Islam (1973), diterbitkan oleh Panji Masyarakat.

69. Himpunan Khutbah-Khutbah.

70. Urat Tunggang Pancasila (1952).

71. Bohong Di Dunia (1952).

72. Sejarah Islam Di Sumatera.

73. Doa-Doa Rasulullah SAW (1974).

74. Kedudukan Perempuan dalam Islam (1970), dari Majalah Panji 

Masyarakat.

75. Pandangan Hidup Muslim (1960).

48

76. Muhammadiyah Di Minangkabau (1975), Menyambut Kongres 

Muhammadiyah di Padang.

77. Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya (1973).

78. Tafsir Al-Azhar Juz I-XXX.

Kurang lebih sebanyak 188 Jilid tulisan-tulisan telah dibukukan.

49

C. Profil Tafsir Al-Azhar

1. Tafsir Al-Azhar dan Sejarah Penulisannya

Pelajaran “Tafsir” sehabis sembahyang subuh di Masjid Agung Al￾Azhar telah didengar di mana-mana di seluruh Indonesia. Teladan ini 

pun dituruti orang pula. Terutama sejak keluarnya sebuah majalah 

bernama Gema Islam sejak bulan Januari 1962. Segala kegiatan di 

masjid itu ditulis dalam majalah tersebut, apalagi kantor Redaksi dan 

Administrasi majalah bertempat dalam ruang masjid itu pula, karena 

dia diterbitkan dalam Perpustakaan Islam Al-Azhar yang didirikan 

sejak pertengahan tahun 1960.

Asal usul dari tata usaha majalah waktu itu, yaitu saudara Haji 

Yusuf Ahmad, segala pelajaran “Tafsir” waktu subuh itu dimuatlah di 

dalam majalah Gema Islam tersebut. Hamka memberikan nama 

baginya Tafsir Al-Azhar, sebab “Tafsir” ini timbul di dalam Masjid 

Agung Al-Azhar, yang nama itu diberikan oleh Syaikh Jami‟Al-Azhar 

sendiri. Salah satu niat Hamka menyusunnya ialah untuk meninggalkan 

pusaka yang semoga berharga untuk bangsa dan umat muslim 

Indonesia. 50

Awal mula nama Masjid Al-Azhar bermula tahun 1960, ketika 

Rektor Universitas Al-Azhar Muhammad Syaltut berkunjung ke 

Jakarta, ia memberi nama masjid tersebut dengan Al-Azhar.51

Sebelumnya masjid tersebut bernama Masjid Agung Kebayoran Baru, 

pemberian nama tersebut saat Muhammad Syaltut memberi wejangan 

dan amanat, berkatalah beliau antara lain: “Bahwa mulai hari ini, saya 

sebagai Syaikh (Rektor) dari Jami‟ Al-Azhar memberikan bagi masjid 

ini nama “Al-Azhar”, moga-moga ia menjadi Al-Azhar di Jakarta, 

sebagaimana adanya Al-Azhar di Kairo”. Sejak saat itu segenap 

pengurus dan jamah menerima dengan ridho dan putih hati nama 

kehormatan yang diberikan itu, maka lekatlah Namanya “MASJID 

AGUNG AL-AZHAR”.52

Tidak lama setelah berfungsinya masjid Al-Azhar, suasana politik 

yang digambarkan terdahulu mulai muncul. Agitasi pihak PKI dalam 

mendiskreditkan orang-orang yang tidak sejalan dengan kebijaksanaan 

mereka bertambah meningkat, Masjid Al-Azhar pun tidak luput dari 

kondisi tersebut. Masjid ini dituduh masjid sarang “Neo Masyumi” dan 

“Hamkaisme”.

Pada hari senin tanggal 12 Ramadhan 1385, bertepatan dengan 27 

Januari 1964, kira-kira pukul 11 siang, Hamka dijemput di rumah, 

ditangkap dan ditahan.54 Hamka dibawa ke Cimacan lalu Ciloto dan 

ditahan di Bungalow Harlina Milik kepolisian. Empat hari dibiarkan 

tanpa penjelasan, Hamka lalu dipindahkan ke Bungalow Harjuna sesaat 

untuk kemudian dibawa ke Sekolah Kepolisian di Sukabumi. Disanalah 

Hamka mulai diperiksa secara meraton.

Para integrator menuduh Hamka terlibat dalam rencana upaya 

pembunuhan Soekarno sehingga terjerat Penpres No. 11/1963 tentang 

Pemberantasan Kegiatan Subversive. Ada tiga perkara yang membuat 

Hamka menjadi pesakitan: terlibat dalam rapat gelap di Tangerang 

mengenai rencana pembunuhan presiden (kudeta) dan menerima uang 

dari Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdulrahman Putera dengan

memberi ceramah subversive di Pontianak, serta memberi kuliah 

subversive di IAIN Ciputat.55

Ketika tanggal 24 maret 1964 keadaannya mulai berubah. Tim 

pemeriksa mendapatkan kesimpulan sementara, semua tuduhan kepada 

Hamka hanyalah fitnah. Sumbernya berasal dari Hasan Suri, anggota 

Pemuda Rakyat di Ciganjur yang menyamar jadi anggota Gerakan 

Pembela Islam. Dialah yang pertama kali memberikan keterangan 

(fitnah) tentang rapat gelap di Tanggerang. Ternyata Hasan Suri pun

sengaja di perintahkan untuk menjebak dan menyempurnakan fitnah 

terhadap pemimpin-pemimpin Islam.56 Begitu juga tuduhan terhadap 

Hamka menerima uang dari Perdana Menteri Malaysia justru

berkebalikan dari tuduhan karena isi ceramahnya di Pontianak 

mendukung Indonesia melawan Malaysia, demikian pula dengan kuliah 

di IAIN Ciputat, Hamka menyerukan semangat para mahasiswa untuk 

terus berjuang agar hendaknya menghindari jalan orang-orang kalah 

seperti PRRI atau Di/TII. Adanya kata PRRI dan DI/TII ditafsirkan 

sebagai penghasutan untuk melawan pemerintah.

57

Atas kesalahan itu, Inspektrur Siregar (pemimpin tim pemeriksa)

meminta maaf kepada Hamka: “Seluruh anggota Team Pemeriksa telah 

sampai kepada suatu kesimpulan, setelah memeriksa seluruh perkara 

ini, bahwa semua perkara ini tidak ada. Hamka belum dinyatakan bebas 

karena masih menunggu proses pengadilan. Sampai rezim berganti dari 

Soekarno ke Soeharto, pengadilan Hamka tak pernah ada.58

Hamka menyatakan kesedihannya terhadap jatuhnya mental dan 

moral manusia pada masa itu, “Rupanya di dalam 9 orang mahasiswa 

yang saya beri kuliah di IAIN, di waktu itu menyelip mahasiswa yang 

kerjanya adalah mendengar-dengar kalau ada kuliah yang diberikan 

oleh seorang dosen atau guru besar, yang dapat ditarik-tarik untuk 

dijadikan beban fitnah bagi menghancurkan dosen tersebut. Dengan 

segala hormat saya diminta mengajar di IAIN dalam mata pelajaran 

Ilmu Tasawuf, rupanya untuk dipasangkan jerat untuk memfitnah saya. 

Ada suatu tradisi di pondok-pondok di sudut desa, atau 

Universitas terdapat suatu tradisi rasa hormat kepada guru besarnya. 

Tetapi masa itu mahasiswa ditunjuk untuk mencari jalan bagaimana 

supaya dosennya ditarik ke dalam tahanan”.59

Akhirnya setelah kejatuhan Orde Lama dan kemudian Orde Baru 

bangkit di bawah pimpinan Soeharto dan kekuatan PKI pun telah 

dihapus, Hamka dibebaskan dari tuduhan. Pada tanggal 21 Januari 1966 

Hamka kembali menemukan kebebasannya setelah mendekam dalam 

tahanan selama kurang lebih dua tahun, dengan tahanan rumah dua 

bulan dan tahanan kota dua bulan. Kesempatan inipun dipergunakan 

oleh Hamka untuk memperbaiki serta menyempurnakan Tafsir Al￾Azhar yang sudah ia tulis di beberapa rumah tahanan sebelumnya.

60

Hamka sendiri menyebut bahwa disetiap juz tafsirnya terdapat 

keterangan tempat penulisannya. Ternyata, menurut Yunan, tidak 

semua juz tercantum keterangan tempat penulisannya, seperti juz 1-3, 

5-12,26 dan 30. Yang ada keterangannya yaitu juz 4, 13-17, dan 19 

ditulis di Rumah Sakit Persahabatan, rawangmangun, Jakarta. 

Sementara juz 20 di rumah tahanan Cimacan, Puncak, Bogor. Serta juz 

21-24 dan sebagian juz 25, 27-29 ditulis di bungalow Brimob 

Megamendung.61

Hikmah dari kejadian tersebut Allah menghendaki agar masa 

terpisah dari anak istri dua tahun, dan terpisah dari masyarakat dapat 

digunakan untuk menyelesaikan tugas berat ini yaitu menafsirkan Al￾Quranul karim. Hamka mengatakan “Kalau saya masih di luar, 

pekerjaan saya ini tidak akan selesai sampai mati, maka dengan 

petunjuk Allah Yang Maha Kuasa, beberapa hari sebelum saya 

dipindahkan ke tahanan rumah, penafsiran Al-Quran 30 juz telah 

selesai”.

62

2. Corak, Metode, dan Karakteristik Tafsir Al-Azhar

Tafsir Al-Azhar ditulis dalam suasana baru, di negara yang 

penduduk muslimnya lebih besar jumlahnya dari penduduk yang lain, 

sedang mereka haus akan bimbingan agama, haus hendak mengetahui 

rahasia Al-Quran. Tiap-tiap tafsir Al-Quran memberikan corak haluan 

dari pada pribadi penafsiranyan. Maka di dalam “Tafsir Al-Azhar”

penafsir memelihara sebak-baiknya hubungan di antara naql dengan 

akal. Diantara riwâyah dengan dirâyah. Penafsir tidak hanya semata￾mata mengutip atau menukil pendapat orang yang telah terdahulu, 

tetapi mempergunakan juga tinjauan dan pengalaman sendiri. Dan tidak 

pula semata-mata menuruti pertimbangan akal sendiri, seraya 

melalaikan apa-apa yang dinukil dari orang yang terdahulu.63

Sebagaimana yang kita ketahui, tafsir itu membawa corak 

pandangan hidup si penafsir dan juga haluan mazhabnya. Sehingga 

kadang-kadang, Al-Quran yang begitu terang sebagai sumber dari 

segala kegiatan Islam telah dipersempit oleh si penafsir sendiri dibawa 

kepada haluan yang ditempuhnya. 

Untuk itu, dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka tidak membawakan 

pertikaian-pertikaian mazhab dan tidak pula ta‟ashub kepada suatu 

paham melainkan mencoba sedaya upaya mendekati maksud ayat.64

Walaupun Hamka sendiri menjelaskan dalam muqoddimahnya bahwa 

ia bermazhab salafi.65 Menurut penulis pertikaian mazhab yang 

dimaksud adalah masalah-maslah khilafiyah (perbedaan) baik dalam 

urusan fiqih dan kalam.

Hal yang mendorong Hamka untuk tidak ta‟ashub suatu paham 

ataupun pertikaian-pertikan mazhab dalam tafsirnya adalah beliau 

menyadari betul bahwa murid-murid dan anggota jamaahnya memiliki 

corak ragam yang berbeda, namun semuanya bersatu membentuk 

masyarakat yang beriman, kasih-mengasihi dan harga menghargai. 

Bersatu dalam shaf yang teratur, menghadapkan muka bersama dengan 

khusyuk kepada ilahi.66 Penulis teringat betul suatu pesan pengasuh

Pondok Tebu Ireng saat ini yaitu “Lihat titik persamaan, jangan 

perbesar perbedaan.”

Namun dalam hal ini, ada beberapa tafsir yang Hamka jadikan 

pedoman dalam meneruskan Tafsir Al-Azhar sampai tuntas yaitu Tafsir 

Al-Manâr karangan Muhammad Rasyid Ridha. Di samping Al-Manar, 

Tafsir Fi Zhilâlil Quran karangan Saiyid Quthb inipun sangat 

mempengaruhi dalam menulis tafsirnya. Corak yang menonjol dari 

kedua tafsir ini adalah tentang sosial kemasyarakatan dan politik yang 

sesuai dan masih hangat dengan zaman sekarang.

67

Quraish Shihab dalam pengantar buku Yunan Yusuf mengatakan 

“Tafsir Al-Azhar berkaitan dengan kehidupan masyarakat, Quraish

Shihab juga mengatakan Tafsir Al-Azhar bercorak sastra budaya 

kemasyarakatan”. “Yaitu suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk￾petunjuk ayat Al-Quran yang berkitan dengan kehidupan masyarakat, 

serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit atau problem mereka 

berdasarkan ayat-ayat dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk 

tersebut dengan bahasa yang mudah dimengerti tapi indah terdengar.”68

Jelaslah bahwa Tafsir Al-Azhar bercorak sosial kemasyarakatan 

dan Adabi. Tafsir Al-Azhar tidak terlalu tinggi dan mendalam, sehingga 

yang dapat memahaminya tidak hanya Ulama semata. Tidak terlalu 

rendah sehingga menjemukan.

69

Tafsir Al-Azhar menggunakan metode Tahlili. Menurut bahasa, at￾tahlili berasal dari kata hallala-yuhallilu-tahlilan yang artinya melepas, 

mengurai, keluar, atau menganalisis. Sementara itu menurut istilah, 

tafsir at-tahlili ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan 

memaparkan segala aspek yang bersinggungan dengan ayat serta 

menerangkan makna yang tercakup sesuai dengan keahlian mufasir. 

Metode ini menerangkan arti ayat-ayat Al-Quran dari berbagai segi 

sesuai urutan surah dalam mushaf dengan mengedepankan kandungan 

kosakata hubungan antarayat, hubungan antarsurah, asbâbun-nuzul,

hadits-hadits yang berhubungan, pendapat para ulama salaf, serta 

pendapatnya sendiri.70 Metode inilah yang penulis temukan di Tafsir 

Al-Azhar.

Penulis melihat beberapa karakteristik atau sistematik penulisan 

Tafsir Al-Azhar di antaranya, diawali dengan kata pengantar, 

pendahuluan, menjelaskan tentang Quran, I‟jâzul Quran, isi mu‟jizat 

Quran, Al-Quran lafaz dan makna, menafsirkan Al-Quran, Haluan 

Tafsir, mengapa dinamai Tafsir Al-Azhar, Hikmat ilahi, setelah itu 

barulah masuk kepada penafsiran.71

Cara penyusunan tafsir ini cukup baik sekali. Penafsir telah 

menterjemahkan beberapa ayatnya terlebih dahulu secara berangkai, 

dan terjemahannya pula cukup teliti, supaya maknanya tidak lari jauh 

dari bahasa asalnya. Kemudian barulah menerjemahkan dan 

menguraikan ayat demi ayat dengan penguraian yang kadang-kadang 

terlalu terperinci, dan kadang-kadang diringkaskan saja. Dalam penguraian inilah penafsir coba menyelipkan berita dan peristiwa yang 

masing-masing diperkaitakan dengan tujuan tiap-tiap ayat tadi, 

disamping itu dibawakan sekali sebab-sebab diturunkan ayat tersebut.72

Untuk lebih detailnya, penulis menambah uraian tentang penulisan 

Tafsir Al-Azhar namun tidak terlalu terperinci:

Pada mulanya penafsiran surat, penafsir menyebut arti dari nama 

surat tersebut beserta jumlah keseluruhan ayatnya dan memberi 

penjelasan dimana surat tersebut diturunkan, kemudian barulah 

mengelompokkan ayat-ayat dalam satu kelompok untuk di tafsirkan. 

Sebelum masuk ke penafsiran, dijelaskan pula pendahuluan atau 

penjelasan tentang surat tersebut.

Kemudian penafsir memberi sub tema dari ayat-ayat yang sudah di 

kelompokkan tersebut misalnya: Al-Fâtihah sebagai rukun 

sembahyang, Di antara jahar dan sirr. Setelah itu menafsirkan ayat 

yang sudah di kelompokkan satu persatu dan di akhir penafsiran 

biasanya dilengkapi dengan kesimpulan.

73

3. Sikap Hamka Terhadap Isrâîliyyât.

Ali Audah, sastrawan dan penerjemah karya-karya berbahasa Arab, 

mengatakan dalam “Hamka Ulama Serba Bisa dalam Sejarah 

Indonesia”, bahwa ia telah membaca dan memeriksa Tafsir Al-Azhar. 

“Dalam penulisan tafsirnya, Hamka betul-betul hati-hati sehingga apa 

yang disebut Isrâîliyyât, yaitu kisah-kisah yang berasal dari Yahudi,

saya tidak lihat. Biasanya, tafsir tidak lepas dari itu,” kata Ali Audah 

kepada Historia.

Hamka mengatakan di dalam Isrâîliyyât inilah campur aduk antara 

yang masuk akal dengan yang karut, di antara dongeng-dongeng 

dengan kenyataan, sehingga berkali-kali kebenaran ayat Al-Quran 

diliputi oleh lumut khurafat yang tak masuk akal. Inilah yang 

dinamakan Isrâîliyyât, yaitu cerita-cerita yang kerapkali dibawa oleh 

Yahudi yang masuk Islam.75 Ia juga mengatakan Isrâîliyyât itu adalah 

sebagi dinding yang menghambat orang dari kebenaran Al-Quran. 

Kalau di dalam tafsir ini ada kita bawakan riwayat-riwayat Isrâîliyyât

itu, tidak lain ialah buat peringatan saja.76

D. Bibel

Al-Kitab (bible, Inggris) berasal dari kata Yunani “biblia”, yang 

artinya adalah “kitab-kitab”.77 Kitab sucinya agama Yahudi adalah Bibel 

Ibrani (Hebraic Bible). Bibel bahasa Ibrani berbeda dengan perjanjian 

lama menurut agama Masehi dengan tambahan pasal-pasal yang tidak 

terdapat dalam bahasa Ibrani. Dari segi praktik, perbedaan ini tidak 

menyebabkan perubahan dalam aqidah. Akan tetapi orang-orang Yahudi 

tidak percaya kepada adanya sesuatu wahyu sesudah kitab suci mereka.78

Di dalam terminologi agama Nasrani, Bibel milik orang Yahudi 

dinamakan dengan Perjanjian Lama (Old Testament) yang di dalamnya 

terdiri dari 39 kitab bagian, lalu di samping itu dalam agama Nasrani juga 

terdapat Perjanjian Baru (New Testament) yaitu sebuah kitab induk yang 

di dalamnya juga terdiri dari 27 kitab bagian, diantaranya ada ucapan￾ucapan Yesus yang lazim disebut dengan Injil (Gospel). Kemudian ada 

juga ucapan nabi-nabi yang hidup sezaman dengan Yesus, Ucapan Paulus, 

kisah para rasul dan lainnya yang terangkum dalam perjanjian baru. Baik 

Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru merupakan dua bagian yang tak 

terpisahkan dari kitab suci agama Nasrani yang biasa disebut dengan 

Christian Bibel.


Pengertian Isrâîliyyât

Isrâîliyyât adalah bentuk jamak dari kata Israiliyyah, nisbat kepada 

Bani Israil. Penisbatan dalam hal ini adalah pada bagian akhir dari kata 

majemuk1

, bukan pada bagian awalnya. Israil adalah Ya‟qub a.s, yang 

artinya hamba Allah.2

Kata “Israil” tersusun dari dua kata, yaitu “Isra” yang berarti hamba 

dan “Il” yang berarti Tuhan. Jadi Israil adalah hamba Tuhan. Secara 

historis, Israil berkaitan erat dengan Nabi Ya‟qub bin Ishaq bin Ibrahim 

a.s, bahwa keturunan beliau yang berjumlah 12 orang disebut Bania Israil 

(keturunan Israil).3

Bani Israil adalah anak-anak Ya‟qub, mulai dari keturunan mereka 

sampai zaman Musa dan nabi-nabi setelahnya, zaman Isa a.s, dan zaman 

nabi kita, Muhammad Saw.4 Dalam Al-Quran Allah pun telah menyebut 

Nabi Ya‟qub dengan sebutan Israil, sebagai berikut5

:

ًِ اَ ْْ رَُٕ

ِس ٖٗ ِِ ْٓ لَ ْج

ٰٝ َٔفْ

ِء٠ْ ًُ َػٍ

ۤ

اِ ْس َغا

َ

ََّل َِب َد َّغَ

ِء٠ْ ًَ اِ

ۤ

جَِٕ ْٟٓ اِ ْس َغا

ِّ

ٌ

َِ َوب َْ ِدّّل ا

َؼب

ْٛ ٰعة ُو خُ ًُّ اٌطَّ

َّؼ َي اٌزَّ

ُْ ٰطِض

زُ

ْْ ُوْٕ

اِ

َْ٘ٛبٓ

ُ

ٍ

ْٛ ٰعة ِخ فَبرْ

بٌزَّ

ِ

ْٛا ث

رُ

ْ

ًْ فَأ

ل لِ ١ْ َٓ ٣ٖ ُ

Semua makanan itu halal bagi Bani Israil, kecuali makanan yang 

diharamkan oleh Israil (Yakub) atas dirinya sebelum Taurat diturunkan. 

Katakanlah (Muhammad), “Maka bawalah Taurat lalu bacalah, jika 

kamu orang-orang yang benar.” (Âli Imrân/3:94)

Secara terminologis, Isrâîliyyât merupakan sesuatu yang menyerap ke

dalam tafsir dan hadits di mana periwayatnya berkaitan dengan sumber 

Yahudi dan Nasrani, baik menyangkut agama mereka atau tidak.6

Muhammad Husein Adz-Dzahabi berkata, “Pada mulanya istilah 

Isrâîliyyât itu berkaitan dengan kisah-kisah yang bersumber dari Yahudi, 

namun dalam perkembangannya kisah-kisah yang bersumber dari Nasrani 

pun diketegorikan sebagai Isrâîliyyât.

7

Para ulama ahli tafsir dan ahli hadits menggunakan istilah tersebut 

dalam arti yang lebih luas lagi. Isrâîliyyât adalah seluruh riwayat yang 

bersumber dari Yahudi dan Nasrani serta selain dari keduanya yang masuk 

dalam tafsir maupun hadits. Adapula ulama tafsir dan hadits yang 

memberi makna Isrâîliyyât sebagai cerita yang bersumber dari musuh￾musuh Islam, baik Yahudi, Nasrani ataupun lainnya.8

Ada beberapa pengertian dari istilah Isrâîliyyât yang dikemukakan 

para pakar Al-Quran dan tafsir, di antaranya:

1. Kisah atau peristiwa yang diriwayatkan dari Bani Israil.

2. Kisah-kisah yang dikutip dari sumber agama Yahudi, Nasrani dan 

agama-agama lainnya (Taurat, Injil, Talmud, dan kitab-kitab suci 

lainnya).

3. Semua kepercayaan dan cerita atau dongeng non Islam, baik yang 

disisipkan orang Yahudi dan Nasrani atau yang lainnya ke dalam 

agama Islam sejak abad pertama Hijriah.

4. Ceita-cerita yang dinukil dari Ahli Kitab selain yang terdapat dalam Al￾Quran dan Hadits Nabi SAW.9

Sejarah lahirnya Bangsa Israil berawal dari keturunan Nabi Ishak, 

yaitu Ya‟qub. Menurut catatan sejarah, Ya‟qub beristri 4 orang dan 

memiliki 12 putra, yakni Rubin, Simoen, Lawway, Yahuda, Zebulaon, 

Isakhar, Dann, Gad, Asyer, Naftali, Yusuf, Benyamin. Putra-putra Nabi 

Ya‟qub inilah menjadi cikal-bakal lahirnya Bangsa Israel atau Bani 

Israil.10

Mereka dan keturunannya disebut sebagai Al-Asbath, yang berarti 

cucu-cucu. Sibith dalam Bangsa Yahudi sepadan dengan suku Bangsa 

Arab, dan mereka yang berada dalam satu sibith berasal dari satu bapak. 

Oleh karena itu, masing-masing anak Ya‟qub kelak menjadi bapak bagi 

sibith atau suku Bangsa Israel. Bahkan, beberapa anak Ya‟qub tersebut 

justru melahirkan nabi-nabi besar dalam sejarah kerasulan. Misalnya, 

pertama, Lewi yang kelak keturunannya terdapat Nabi Musa, Nabi Harun, 

Nabi Ilyas dan Ilyasa. Kedua, Yahuda, kelak keturunannya terdapat Nabi 

Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Zakaria, Nabi Yahya, dan Nabi Isa. Ketiga, 

Benyamin, Kelak keturunannya terdapat Nabi Yunus. Di antara putra 

Ya‟qub yang paling banyak keturunannya adalah Yahuda. Maka, Bani 

Israilpun yang berbangsa kepada Yahuda disebut Yahudi, jadi sudah 

jelaslah, Yahudi itu Israel.11

Istilah Yahudi adalah sebutan bagi Bani Israil. Hal ini sesuai dengan 

hadits riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas: Sekelompok orang Yahudi 

telah mendatangi Nabi, lalu beliau bertanya kepada mereka, “Tahukah 

kamu sekalian bahwa sesungguhnya Israil itu adalah Nabi Ya‟qub?” Lalu 

mereka menjawab, “Betul.” Kemudian Nabi berdoa, “Wahai Tuhanku, 

saksikanlah pengakuan mereka ini”.

12 Di dalam Al-Quran Allah telah 

banyak menyebutkan kaum Yahudi dengan sebutan Bani Israil, seperti 

tertuang dalam firman-Nya13

:

ُْ فِ ١ْ ِٗ

ِظ ْٞ ُ٘

َّ

َغ اٌ

ِء٠ْ ًَ اَ ْوضَ

ۤ

ٰٝ ثَِٕ ْٟٓ اِ ْس َغا

ُّض َػٍ

َْ َ٠مُ

ٰ

ْغا

مُ

ْ

اِ ْٛ َْ َّْ ٰ٘ َظا اٌ

َ٠ ٦ٙ ْشزٍَِفُ

Sungguh, Al-Qur'an ini menjelaskan kepada Bani Israil sebagian besar 

dari (perkara) yang mereka perselisihkan. (An-Naml/16:76)

Allah banyak menyebut mereka dalam Al-Quran dengan nama “Bani 

Israil”, untuk mengingatkan mereka kepada ayah mereka, nabi yang 

shaleh, Ya‟qub a.s sehingga mereka meneladaninya dan meninggalkan 

kebiasaan buruk mereka: mengingkari nikmat yang Allah berikan kepada 

mereka dan leluhurnya, mengingkari kebenaran, berkhianat, dan 

melakukan perbuatan yang hina.14

Menurut hukum agama Yahudi atau Halakha, orang yang berhak 

disebut Yahudi ada dua golongan, yakni:

1. Suku Bangsa Yahudi yang merupakan keturunan Bani Israil. Suku 

Bangsa Yahudi ini di bagi dua golongan, yakni seorang anak yang lahir 

dari ayah dan ibunya orang Yahudi Asli, dan orang yang lahir dari ayah 

Yahudi dan ibu berkebangsaan lain. Golongan campuran ini termasuk 

kategori Yahudi kelas dua. 

2. Seorang yang memeluk agama Yahudi menurut hukum-hukum Yahudi.

Itulah dua golongan yang berhak disebut Yahudi. Definisi ini tertera 

di dalam Talmud15, sumber hukum-hukum tidak tertulis yang 

menerangkan Taurat. Menurut Talmud definisi ini dipegang sejak 

pemberian sepuluh perintah Allah di gunung Sinai kepada Nabi Musa.16

Mereka dikenal dengan Yahudi sejak dahulu kala. Adapun orang yang 

beriman kepada Isa dinamakan Nasrani. Sedangkan orang yang beriman 

kepada penutup para nabi, dan telah menjadi bagian dari kaum muslimin 

dikenal dengan “Muslimin Ahli Kitab”.

17

Apabila Al-Quran mengungkapkan tentang kisah nab-nabi maka Al￾Quran menyorot hal yang berlainan daripada aspek penceritaan Taurat dan 

Injil. Kita dapati Al-Quran membatasi cerita pada tempat-tempat nasehat 

dan tidak menguraikan secara terperinci persoalan-persoalan yang kecil. 

Al-Quran tidak menyebutkan tarikh berlakunya peristiwa-peristiwa itu, 

nama-nama negeri di mana peristiwa itu terjadi, juga tidak menyebutkan 

nama-nama tokoh yang terlibat di dalam peristiwa. Al-Quran tidak 

membincangkan dalam bentuk terperinci dan penguraian, tetapi memilih 

untuk menyebutkan perkara yang menyentuh pada pokok perbincangan 

dan apa yang berhubungan dengan perkara yang dapat diambil i‟tibar.18

Dari beberapa pengertian yang diketengahkan oleh para tokoh, terlihat 

istilah Isrâîliyyât mencakup semua agama dan kepercayaan di luar Islam, 

meskipun istilah tersebut secara lahiriah lebih menonjolkan warna dan 

rasa Yahudi.19 Meskipun Isrâîliyyât banyak diwarnai oleh kalangan 

Yahudi, kaum Nasrani juga turut ambil bagian dalam konstalasi versi 

Isrâîliyyât ini. Hanya saja dalam hal ini kaum Yahudi lebih populer dan 

lebih Dominan, karenanya, kata Yahudi lebih “dimenangkan” lantaran 

selain kaum Yahudi lebih lama berinteraksi dengan umat Islam, di 

kalangan mereka banyak juga yang masuk Islam.

20

Hal ini juga merupakan imbas dari lebih banyaknya kebudayaan dan 

dongeng-dongeng Yahudi yang masuk ke dalam agama Islam 

dibandingkan agama Nasrani.21 Abu Syu‟bah mengatakan pengaruh 

Nasrani dalam tafsir sangat kecil. Lagi pula pengaruhnya tidak begitu 

membahayakan akidah umat islam karena umumnya hanya menyangkut 

urusan akhlak, nasihat, dan pembersihan jiwa.

22 Sebagaimana kita 

maklumi bahwa orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang sangat 

membenci dan sangat memusuhi Islam dan umatnya. Hal ini telah 

ditegaskan Allah didalam Al-Quran:

ُْ

َغثَُٙ

ِجَض َّْ اَلْ

ٌََٚزَ

َۚ

ِظ٠ْ َٓ اَ ْش َغ ُوْٛا

َّ

َُٙ١ ْٛ َص َٚاٌ

ْ

َُِٕٛا اٌ

ٰ

ِظ٠ْ َٓ ا

َّ

ٍ

ِّ

َٚحا ٌ

ِؽ َػَضا

ب

ِجَض َّْ اَ َشَّض إٌَّ

ٌ ٛا َزَ

َُِٕ

ٰ

ِظ٠ْ َٓ ا

َّ

ٍ

ِّ

ََِّٛ َّصحا ٌ

بَ َّْ ُِِْٕٙ

ِ

ٌِ َه ث

ٰ

ٜ ط

 

ب َٔ ٰظ ٰغ

ْٓٛ ا أَِّ

ُ

ِظ٠ْ َٓ لَبٌ

َّ

اٌ ُغ ْٚ َْ ۔

ِ

ُْ ََل َ٠ ْسزَ ْىج

ُْ لِ ِّس١ْ ١ٕ ِس١ْ َٓ َٚ ُع ْ٘جَبٔاب َّٚاََُّٙٔ

Pasti akan kamu dapati orang yang paling keras permusuhannya 

terhadap orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang Yahudi dan 

orang-orang musyrik. Dan pasti akan kamu dapati orang yang paling 

dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang￾orang yang berkata, “Sesungguhnya kami adalah orang Nasrani.” Yang 

demikian itu karena di antara mereka terdapat para pendeta dan para 

rahib, (juga) karena mereka tidak menyombongkan diri. (Al-Mâidah/5:82)

Dengan demikian kisah-kisah Isrâîliyyât itu sekalipun diakui banyak 

yang benar, namun tidak sedikit pula yang dipandang tidak benar.23

B. Klasifikasi Isrâîliyyât

Menurut „Abd Al-Wahhab Mabruk Fayed (1355-1420 H/ 1936-1999 

M) Dalam hal ini, ada tiga kategori sekaligus parameter Isrâîliyyât.

1. Riwayat Isrâîliyyât yang diketahui kebenarannya karena sesuai dengan 

ajaran agama Islam. kategori pertama ini tentu dapat diterima dan 

diriwayatkan.

2. Riwayat Isrâîliyyât yang diketahui kebohongannya karena bertentangan 

dengan ajaran agama. Hal ini tentu bertolak dan tidak boleh 

diriwayatkan kecuali dengan menyebutkan status riwayat tersebut.

3. Riwayat Isrâîliyyât yang tidak diketahui status kebenaran dan 

kedustaannya karena tidak ada dalil/ajaran agama yang menegaskan 

kebenaran atau kedustaan riwayat tersebut.24

Dalam hal ini, penulis akan menguraikan penjelasan tersebut beserta 

contoh-contohnya:

1. Riwayat Isrâîliyyât yang diketahui kebenarannya karena sesuai dengan 

ajaran agama Islam.

Al-Quran adalah kitab penguji dan saksi atas kitab-kitab samawi 

sebelumnya. Apa yang sesuai dengan Al-Quran adalah hak dan benar, 

adan apa yang bertentangan dengannya adalah batil dan dusta.

Bagian ini benar. Akan tetapi, kita tidak memerlukannya, karena 

apa yang kita miliki sudah cukup. Namun demikian, kita boleh 

menyebutkan dan meriwayatkannya untuk memperkuat dalil, dan untuk 

menegakkan hujjah atas mereka dari kitab-kitab mereka sendiri, pada 

bagian ini berlaku sabda Nabi SAW:

25

“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat. Dan ceritakanlah dari 

Bani Israil. Tidak ada dosa. Barangsiapa berdusta atasku dengan 

sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.

Hadits ini diriwayatakan oleh Al-Bukhori dari Abdullah bin Amr. 

Ibn Amr pada perang Yarmuk dikabarkan mendapat hasil rampasan 

perang, berupa dua gerobak kitab milik Ahli Kitab. Dari sanalah 

kemudian menceritakan isinya sebatas pemahamannya terhadap 

kebolehan yang disampaikan Nabi di atas. Penuturan riwayat-riwayat 

Isrâîliyyât itu diperbolehkan hanya sekedar sebagai pelengkap, bukan 

untuk diyakini.26

Contoh riwayat Isrâîliyyât yang dipandang benar misalnya kisah 

tentang sifat-sifat Rasulullah SAW. Yang terdapat dalam kitab Taurat 

yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab sahihnya berikut 

ini:

Imam Bukhari berkata, “Telah menceritakan kepada kami Muhammad 

bin Sinan, menceritakan kepada kami Fulaih, menceritakan kepada 

kami Hilal dari „Ata‟ bin Yasar ia berkata, “Aku telah bertemu dengan 

„Abdullah bin „Amr bin Al-„Ash R.A dan berkata kepadanya, 

“Ceritakanlah kepadaku tentang sifat Rasulullah yang diterangkan di 

dalam kitab Taurat! Ia berkata, “Ya, demi Allah sesungguhnya sifat 

Rasulullah di dalam Taurat sama seperti yang diterangkan di dalam 

Al-Quran: (yang artinya) “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami 

mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi 

peringatan

(Al-Ahzab/33:45) dan pemelihara orang-orang yang ummi. Engkau 

adalah hamba-Ku dan rasul-Ku, aku menyebutmu orang yang 

bertawakal, engkau tidak kasar dan tidak pula keras dan tidak suka 

berteriak-teriak di pasar dan tidak pernah membalas keburukan 

dengan keburukan, akan tetapi memaafkan dan mengampuni. Allah 

tidak akan mencabut nyawamu sehingga agama Islam lurus dan tegak 

yaitu mereka mengucapkan: Tiada Tuhan yang patut disembah kecuali 

Allah. Dengannya pula Allah akan membuka mata yang buta, telinga 

yang tuli dan hati yang tertutup.27

2. Riwayat Isrâîliyyât yang diketahui kebohongannya karena bertentangan 

dengan ajaran agama

Riwayat ini tidak boleh diriwayatkan dan disebutkan kecuali 

disertai penjelasan tentang kebohongannya serta penjelasan riwayat 

yang mereka selewengkan dan mereka rubah.

28

Mereka menyusupkan berita-berita Isrâîliyyât yang munkar dalam 

kelalaian manusia sehingga dalam waktu sekejap berita-berita itu telah 

memenuhi kitab-kitab kaum muslimin. Ini terjadi meskipun Al-Quran 

sudah mencatat prilaku Ahli Kitab secara umum dan Bangsa Yahudi 

secara khusus, yang telah menyelewengakan kitab-kitab suci mereka,29

karena memang begitulah sifat mereka yang dijelaskan di dalam 

Al-Quran:

ُْ

٠ْ ٌك ُِِّْٕٙ

ِ

ْٛا ٌَ ُىُْ َٚلَ ْض َوب َْ فَغ

ْط َُّؼْٛ َْ اَ ْْ ُّ٠ ْؤ ُِِٕ

َِ ا ب َفَزَ

ثَ ْؼِض

ْۢ ْٓ ِِ َْٗٗٔٛ

َُّ ُ٠ َذ ِّغفُ

ُ

ِ ص

ّّللا ٰ

َ

َ٠ ْس َُّؼْٛ َْ َوَّلَ

َْ ُّْٛ

ُْ َ٠ ْؼٍَ

َُ٘ٚ ُْٖٛ

َػمٍَ ٦٘ ُ

Sedangkan segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu 

mereka mengubahnya setelah memahaminya, padahal mereka 

mengetahuinya? (Al-Baqarah/2:75)


Contoh kisah Isrâîliyyât yang dipandang tidak benar dan diyakini 

kebohongannya, kisah tersebut bertentangan dengan syariat kita atau 

tidak diterima akal sehat misalnya kisah perbuatan zina Nabi Luth a.s

sebagaimana terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama, Kitab Kejadian, 

pasal 19 ayat 30-38 berikut ini:

Pergilah lot dari Zaor dan ia menetap bersama-sama dengan kedua 

anak perempuannya di pegunungan karena ia tidak berani tinggal di 

Zoar, maka ia tinggal dalam satu gua beserta kedua anaknya. 

Kakaknya berkata kepada adiknya, “Ayah kita telah tua, dan tidak ada 

laki-laki di negri ini yang dapat menghampiri kita, seperti kebiasaan 

diseluruh bumi. Marilah kita berikan ayah minuman anggur, lalu kita 

tidur dengannya, supaya kita menyambung keturunan dari ayah kita.” 

Pada malam itu mereka memberikan ayah mereka minuman anggur, 

lalu masuklah yang lebih tua untuk tidur dengan ayahnya; dan 

ayahnya itu tidak mengetahui ketika anaknya itu tidur dan ketika ia 

bangun. Keesokan harinya berkatalah kakaknya kepada adiknya, “Tadi 

malam aku telah tidur dengan ayah; baiklah malam ini juga kita beri 

dia minuman anggur; masuklah engkau untuk tidur dengannya, supaya 

kita menyambung keturunan dari ayah kita,” Demikianlah pada malam 

itu juga mereka memberikan ayah mereka minuman anggur, lalu 

bangunlah yang lebih muda untuk tidur dengan ayahnya; dan ayahnya 

itu tidak mengetahui ketika anaknya itu tidur dan ketika ia bangun. 

Lalu kedua anak Lot itu mengandung anak dari ayah mereka. Yang 

lebih tua melahirkan seorang anak laki-laki dan menamainya Moab; 

dialah bapak orang Moab yang sekarang. Yang lebih muda pun 

melahirkan seorang anak laki-laki; dan menamainya Ben-Ami; dialah 

Bapak Bani Amon yang ada sekarang.30

3. Riwayat Isrâîliyyât yang tidak diketahui status kebenaran dan 

kedustaannya karena tidak ada dalil/ajaran agama

Contohnya kisah tentang seorang dari kaum Bani Israil yang tega 

membunuh pamannya sendiri lantaran lamarannya ditolak, yang 

kisahnya tertera di dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir berikut ini:

Ada seorang laki-laki dari Bani Israil yang memiliki harta cukup 

banyak dan mempunyai seorang anak perempuan. Ia mempunyai 

seorang keponakan laki-laki dari saudara laki-lakinya yang miskin. 

Kemudian anak laki-laki tersebut melamar anak perempuannya itu. 

Akan tetapi pamannya tersebut enggan menikahkannya, dan akibatnya 

keponakan tadi menjadi marah dan berkata, “Demi Allah akan 

kubunuh pamanku itu, akan kuambil hartanya, akan kunikahi anak 

perempuannya dan akan kumakan diyatnya.” Kemudian keponakan 

tadi datang kepada pamannya, bertepatan dengan datangnya sebagian 

pedagang Bani Israil. Ia berkata kepada pamannya, “Wahai pamanku, 

berjalanlah bersamaku, aku akan minta pertolongan kepada para 

pedagang Bani Israil, mudah-mudahan aku berhasil dan jika melihat 

engkau bersamaku tentu mereka akan memberinya.” Kemudian 

keluarlah keponakan itu beserta pamannya pada suatu malam dan 

ketika mereka telah sampai, keponakan tadi memb