Tampilkan postingan dengan label Kitab injil. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kitab injil. Tampilkan semua postingan

Kitab injil



Kitab-Kitab Injil 

  TENTANG THIRD MILLENNIUM MINISTRIES 

Didirikan pada tahun 1997, Third Millennium Ministries adalah sebuah 

organisasi nirlaba yang didedikasikan untuk menyediakan Pendidikan Alkitab. Bagi 

Dunia. Secara cuma-cuma. Dalam menyikapi kebutuhan global yang semakin 

berkembang akan pelatihan kepemimpinan Kristen yang benar dan berdasarkan 

Alkitab, kami membuat kurikulum seminari multimedia yang mudah digunakan dan 

didukung oleh donasi dalam lima bahasa utama (Inggris, Spanyol, Rusia, Mandarin 

dan Arab) dan membagikannya secara cuma-cuma kepada mereka yang paling 

memerlukannya, terutama bagi pemimpin-pemimpin Kristen yang tidak memiliki 

akses untuk atau mengalami kendala finansial untuk dapat mengikuti pendidikan 

tradisional. Semua pelajaran ditulis, dirancang dan diproduksi oleh organisasi kami 

sendiri, serta memiliki kemiripan dalam gaya dan kualitas dengan pelajaran-

pelajaran yang ada di History Channel©. Metode pelatihan yang tidak ada 

bandingannya dan hemat-biaya untuk  para pemimpin Kristen ini telah terbukti 

sangat efektif di seluruh dunia. Kami telah memenangkan Telly Awards untuk 

produksi video yang sangat baik dalam Pendidikan dan Penggunaan Animasi, dan 

kurikulum kami ini baru-baru ini telah digunakan di lebih dari 150 negara. Materi 

Third Millennium ada dalam bentuk DVD, cetakan, streaming internet, pemancar 

televisi satelit, siaran radio serta televisi. 

Untuk informasi lebih lanjut mengenai pelayanan kami dan 

 Pernahkah Anda memperhatikan betapa pentingnya berita dalam hidup kita? 

Informasi penting yang kita terima tentang dunia di sekitar kita mempengaruhi 

pandangan kita, nilai kita, rencana kita, dan banyak aspek lain dalam kehidupan kita. 

Terkadang peristiwa di balik berita itu begitu berarti sehingga mengubah seluruh 

worldview kita. 

 Nah, apabila kita renungkan, Alkitab sendiri adalah bagaikan arsip berisi berita 

tentang kisah-kisah. Alkitab mencatat segala macam kabar baik dan kabar buruk 

mengenai umat Allah di sepanjang sejarah. Dan saat kita mempelajari kisah-kisah ini, 

semuanya itu mempengaruhi dan mengubah kita dengan banyak cara.  

 Namun, yang pasti, berita terbaik yang harus disampaikan oleh Kitab Suci kepada 

kita adalah kumpulan laporan yang semata-mata kita sebut sebagai “kabar baik” atau 

“Kitab-Kitab Injil.” Semuanya adalah catatan-catatan tentang pribadi dan karya Tuhan 

dan Juruselamat kita Yesus Kristus yang berkuasa mengubah-kehidupan kita.  

Ini adalah pelajaran pertama dalam seri Kitab-Kitab Injil. Dalam rangkaian 

pelajaran ini kita akan menyelidiki kitab-kitab yang ditulis oleh Matius, Markus, Lukas, 

dan Yohanes tentang kehidupan dan pelayanan Yesus Kristus. Dalam pelajaran ini, yang 

berjudul “Pengantar untuk Kitab-Kitab Injil”, kita akan memperoleh tinjauan atas kitab-

kitab ini, yang akan membantu kita untuk memahaminya dengan lebih jelas serta 

menerapkannya secara menyeluruh dalam kehidupan kita sekarang. 

Dalam Pengantar Kitab-Kitab Injil ini, kita akan menyentuh empat hal 

menentukan. Pertama, kita akan membahas karakter sastra Kitab-Kitab Injil . Kedua, kita 

akan melihat status Kitab-Kitab Injil di dalam gereja. Ketiga, kita akan 

mempertimbangkan kesatuan di antara Kitab-Kitab Injil. Dan keempat, kita akan 

menjelajahi keragaman yang membedakan satu kitab dengan kitab yang lainnya. Marilah 

kita mulai dengan melihat karakter sastra kitab-kitab ini. 

  

 

 

cerita pendek dan Anda tahu itu bukan sebuah novel yang 

bersambung, Anda tidak membacanya seperti itu. Jadi kita benar-

benar perlu mengerti jenis sastra yang sedang kita baca dan apa jenis 

aturan sastra yang berlaku dalam tulisan tersebut. 

 

—  Dr. Richard Bauckham 

 

Kita akan menggali karakter sastra  Kitab-Kitab Injil dari dua perspektif. Pertama, 

kita akan mempertimbangkan genre dari Kitab-Kitab Injil itu—ciri-ciri sastranya secara 

menyeluruh—dan kedua, kita akan mendiskusikan keandalan historisnya. Marilah kita 

pertama-tama melihat genre dari keempat Kitab Injil. 

 

GENRE 

 

 Dalam pengertian umum, genre adalah suatu kategori atau jenis sastra. Genre 

umumnya dibedakan berdasarkan bentuk dan fungsi sastranya, misalnya gaya narasinya, 

dan penggunaan bahasa kiasannya. 

 Alkitab terdiri dari banyak genre yang berbeda. Sebagai contoh, ada narasi  

historis, seperti kisah tentang Daud dalam Perjanjian Lama. Genre lainnya adalah puisi, 

seperti kitab Mazmur. Surat atau epistle adalah genre lainnya, begitu juga nubuat dan 

seterusnya. Setiap genre sastra memiliki aturannya dan cara komunikasinya masing-

masing. Karena itu penting sekali bagi kita untuk memahami genre Kitab-Kitab injil. 

Akan lebih mudah memahami apa yang diajarkan oleh kitab-kitab tersebut, jika kita 

terlebih dahulu memahami bagaimana kitab-kitab itu mengajarkannya.  

Untuk memahami cara komunikasi dari Kitab-Kitab Injil, kami akan 

memperkenalkan dan menjabarkan genrenya dengan tiga langkah. Pertama, kami akan 

memberikan beberapa pernyataan umum yang memperkenalkan Kitab-Kitab Injil sebagai 

narasi historis. Kedua, kami akan membandingkannya dengan jenis narasi historis yang 

spesifik, yang disebut biografi Yunani-Romawi. Dan ketiga, kami akan membandingkan 

Kitab-Kitab Injil dengan narasi historis dalam Alkitab, seperti sejarah di dalam Perjanjian 

Lama. Marilah kita mulai dengan kategori umum dari narasi historis.  

 

Narasi Historis  

 

 Narasi historis adalah kisah-kisah tentang orang-orang yang hidup pada masa 

lampau dan tentang tindakan serta peristiwa yang terjadi pada zaman mereka. Pada 

dasarnya, Kitab-Kitab Injil adalah narasi historis karena mencatat kehidupan dan 

pelayanan Yesus Kristus.   

  

 

Sebagian besar isi Alkitab dan Kitab-Kitab Injil sendiri sengaja 

ditulis dalam bentuk narasi karena kita  menyukai cerita. Kita 

terlibat secara alami, bukan hanya secara mental tetapi bahkan di 

dalam emosi dan sensasi fisik kita, ketika kita terlibat dalam kisah 

yang hebat. Dan cerita juga memampukan kita untuk bercermin 


 

 


 

melalui pengalaman orang lain. Ini adalah bagian besar dari 

kekuatan cerita. Karena itulah Kitab-Kitab Injil diberikan kepada 

kita dalam bentuk sastra narasi, sehingga memampukan kita bukan 

hanya untuk mempelajari kebenaran tentang Yesus, tetapi juga 

untuk mengalami Dia secara langsung, untuk menemukan kerajaan 

Allah dan kerajaan Surga yang terwujud secara nyata, untuk melihat 

belas kasihan Yesus, bukan hanya sebagai sebuah pernyataan—Yesus 

mengasihi orang yang rendah hati—tetapi menemukan Dia yang 

bercerita dan sungguh-sungguh menghidupi kisah-kisah mengenai 

bagaimana orang yang rendah hati ditinggikan dan orang yang 

sombong direndahkan. Dan kisah-kisah serta bentuk sastra dari 

Kitab-Kitab Injil memampukan kita juga untuk mengikuti teladan 

Yesus seperti yang murid-murid-Nya lakukan. Dengan memberikan 

kisah-kisah dalam bentuk narasi, kita juga dimampukan untuk 

mengikuti Yesus dengan cara itu. Menempatkan diri kita di dalam 

posisi para tokoh tersebut di dalam kegagalan, dan keberhasilan 

mereka, dan berusaha untuk hidup setia di dalam kisah kita sendiri, 

yang adalah hidup kita sendiri.  

 

— Dr. Jonathan Pennington 

  

Dalam tulisan-tulisan sekuler dunia kuno, narasi historis biasanya berkembang dalam tiga 

bagian utama. Bagian awal narasi memperkenalkan para tokoh dan menetapkan tujuan 

yang akan dicapai oleh para tokohnya. Bagian tengah sering kali menyajikan tantangan 

atau hambatan bagi keberhasilan para tokoh itu dalam mencapai tujuan mereka. Bagian 

akhir adalah kesimpulan dari catatan-catatan peristiwa yang biasanya menunjukkan 

bagaimana para tokoh itu berhasil atau gagal mencapai tujuan mereka. 

 Kitab-Kitab Injil pada dasarnya mengikuti garis besar yang sama. Masing-masing 

dimulai dengan memperkenalkan Yesus sebagai tokoh utama dalam cerita dan 

menjelaskan tujuan-Nya untuk membawa keselamatan melalui kerajaan Allah. Masing-

masing kitab melanjutkannya dengan menceritakan berbagai tantangan terhadap otoritas 

dan karya Yesus. Dan masing-masing kitab memberi kesimpulan dengan menjabarkan 

hasil pelayanan Yesus di bumi. Karena persamaan ini, hampir semua orang setuju bahwa 

narasi historis adalah genre keseluruhan dari Injil. 

 

 

Biografi Yunani-Romawi 

 

Dalam kategori narasi historis yang lebih luas, beberapa penafsir telah menyatakan 

bahwa Kitab-Kitab Injil merupakan bagian dari sebuah kelompok narasi yang lebih kecil 

yang dikenal sebagai biografi Yunani-Romawi.  

Kita akan membandingkan Kitab-Kitab Injil dengan biografi Yunani-Romawi dalam dua 

langkah. Pertama, kita akan melihat persamaannya. Dan kedua, kita akan melihat 

beberapa perbedaannya. Marilah kita mulai dengan persamaannya.  

 


 

 

-4- 

 


 

Persamaan. Biografi kuno menceritakan kehidupan para pemimpin besar. Meskipun 

biografi itu memasukkan banyak tokoh dan cerita yang berbeda, biografi Yunani-

Romawi menggambarkan para tokoh dan cerita-cerita ini dengan berfokus pada 

pemimpin yang sedang diceritakan. Biografi-biografi itu mempertahankan ide-ide sang 

pemimpin, dan mengabadikan kesadaran akan tindakan-tindakannya dari satu generasi ke 

generasi lain. Dan dalam hal inilah Kitab-Kitab Injil mirip dengan biografi kuno. 

 Bahkan, kita juga melihat persamaan dengan beberapa biografi kuno ketika 

Matius dan Lukas memasukkan kisah-kisah kelahiran, dan keempat Injil menuliskan 

kematian Yesus secara terperinci. Kitab-Kitab Injil juga mengikuti aturan biografi kuno 

dengan menelusuri peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Yesus. Seperti para penulis 

biografi kuno lainnya, para penulis Injil menyusun berbagai peristiwa di antara kelahiran 

dan kematian Yesus dengan berbagai cara. Kadang-kadang mereka menyusunnya secara 

kronologis. Kadang-kadang mereka mengelompokkan peristiwa-peristiwa itu 

berdasarkan topik. Dan kadang-kadang mereka bahkan mengaturnya secara geografis. 

 

Ya, saya pikir, pada awalnya, penting untuk disadari—dan dikenali 

bahwa—Kitab-Kitab Injil umumnya disusun secara kronologis. 

Sebagai contoh, Kitab-Kitab Injil dimulai dengan baptisan yang 

dilakukan oleh Yohanes Pembaptis, dan kemudian Anda melihat 

Yesus dibaptis, lalu Anda membaca tentang pelayanan Yesus, yang 

diikuti dengan penangkapan-Nya, pengadilan-Nya, penyaliban-Nya 

dan kebangkitan-Nya. Jadi, secara keseluruhan, ada urutan 

kronologis. Pada saat yang sama, bila Anda membandingkan dua 

Kitab Injil, maka kadang akan ada peristiwa, atau pengalimatan yang 

mungkin diberikan dengan urutan yang berbeda. Saya pikir hal itu 

hanya menimbulkan masalah jika kita membaca Kitab Injil sebagai 

kitab yang ditujukan untuk atau yang mengklaim memberikan 

urutan kronologis yang tepat dalam setiap aspeknya. Namun sebagian 

besar penulis dan jenis narasi sebenarnya mengizinkan seorang 

penulis untuk mengatur materi ceritanya berdasarkan urutan lain 

yang bukan urutan kronologis. Misalnya, kita sering kali akan 

melihat urutan logis, atau kita akan menemukan pengelompokan 

pokok bahasan berdasarkan topik. Orang Kristen mula-mula, 

misalnya Eusebius, seorang sejarawan dan uskup Kristen pada awal 

abad keempat, mencatat bahwa perbedaan di dalam urutan Kitab-

Kitab Injil sudah dikenal secara luas, dan para pembaca mula-mula 

tidak mengalami  kesulitan karena hal ini, karena mereka tidak 

menganggap penulisnya bermaksud memberikan urutan kronologis 

yang ketat.  

 

— Dr. David Redelings 

 

 Karakteristik penting lainnya dari biografi Yunani-Romawi adalah bahwa semua 

biografi itu menceritakan peristiwa-peristiwa masa lalu sebagai realitas historis sehingga 

masa lalu berbeda dengan masa kini. Fokus biografi adalah mencatat kehidupan yang 


 

 

-5- 

 


 

unik dan tidak terulang serta berbagai sumbangsih dari para individu spesifik di dalam 

sejarah.  

Secara umum, para penulis biografi kuno telah mencoba meneliti dan 

melestarikan catatan-catatan lisan dan tulisan yang akurat. Perhatikan contoh yang 

disajikan oleh seorang penulis biografi yang disegani yaitu Plutarkhos, yang hidup pada 

sekitar tahun 46 sampai 120 M. Plutarkhos adalah seorang sejarawan Yunani sekuler 

yang menulis pada sekitar tahun 70 M, yang hampir sama dengan waktu penulisan Kitab-

Kitab Injil. Ia memulai karyanya Life of Cicero dengan latar belakang tentang orangtua 

Cicero, tetapi mengakui keterbatasan data mengenai ayah Cicero. 

  

Umumnya dikatakan, bahwa Helvia, ibu Cicero, lahir dari keluarga 

baik-baik dan menjalani kehidupan yang bersahaja; namun 

mengenai ayahnya tidak ada yang dilaporkan kecuali dalam hal-hal 

yang ekstrem. Sebab meskipun beberapa orang menganggapnya 

sebagai putra dari seorang penebal kain yang terdidik di dalam 

bidang pekerjaan itu, yang lainnya mengembalikan asal usul 

keluarganya kepada Tullus Attius, seorang raja bangsa Volski (Italia 

kuno) yang termasyhur yang memulai perang terhormat melawan 

orang-orang Roma.  

 

Ketelitian Plutarkhos dalam memisahkan fakta dari spekulasi mengenai orang tua 

Cicero menunjukkan bahwa setidaknya beberapa penulis biografi kuno memperhatikan 

detail sejarah, dan tertarik pada ketepatan. Kitab-Kitab Injil memberi bukti tentang 

ketelitiannya yang sama tepatnya dengan laporan Plutarkhos. 

Secara luas, dapat dikatakan bahwa Kitab-Kitab Injil adalah narasi historis yang 

ditulis tatkala sastra biografis sedang populer di dunia Yunani-Romawi. Penerimaan yang 

meluas terhadap sastra biografis ini mungkin menyemangati para penulis Kitab Injil 

dalam melaksanakan tugas mereka, dan mendorong mereka untuk mengadopsi beberapa 

aturan formal dalam sastra biografi itu.  

Namun sekalipun ada persamaan di antara Kitab-Kitab Injil dan biografi Yunani-

Romawi, terdapat juga perbedaan yang berarti.  

 

Perbedaan. Meskipun ada beberapa perbedaan yang bisa kami sebutkan, kami 

akan memperhatikan tiga hal saja. Pertama, Kitab-Kitab Injil berbeda dari biografi 

Yunani-Romawi dalam sidang pembaca yang dituju.   

Biografi kuno biasanya dituliskan untuk penerima yang lebih luas, sementara 

Kitab-Kitab Injil ditulis untuk penerima yang relatif spesifik dalam gereja Kristen mula-

mula. Meskipun Kitab-Kitab Injil itu memperlihatkan ciri-ciri tertentu dari biografi, 

Kitab-Kitab Injil pada dasarnya dituliskan untuk penggunaan yang bersifat keagamaan di 

dalam gereja. Tujuan spesifik ini diteguhkan oleh kenyataan bahwa kitab-kitab ini 

kemudian cepat sekali digunakan di dalam pengajaran dan ibadah gereja.   

Kedua, Kitab-Kitab Injil berbeda dengan biografi dalam penekanannya. Biografi 

Yunani-Romawi umumnya menekankan kualitas kepribadian tokoh-tokoh utamanya, 

sehingga mendorong orang lain untuk meneladani kehidupan dan kepribadian mereka. 

Meskipun ada banyak aspek dalam kehidupan Yesus yang menjadi teladan bagi kita, 


 

 

-6- 

 


 

Kitab-Kitab Injil memiliki fokus yang sangat berbeda. Kitab-Kitab Injil menekankan 

keunikan Yesus. Kitab-Kitab itu berfokus pada Dia sebagai Pribadi yang menyatakan 

Allah dan menebus umat-Nya, yang tidak dapat dilakukan oleh siapa pun. Inilah 

sebabnya ada begitu banyak kisah di dalam Injil yang menceritakan minggu terakhir dari 

kehidupan-Nya—minggu Sengsara.  

Ketiga, Kitab-Kitab Injil dan biografi kuno mewakili kebudayaan yang berbeda. 

Biografi mengungkapkan minat, nilai dan gaya hidup Yunani-Romawi. Sedangkan Kitab-

Kitab Injil lebih banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Yahudi dan khususnya oleh 

Perjanjian Lama. Ini berlaku bahkan dalam Injil Lukas, Injil yang paling dipengaruhi oleh 

kebudayaan dan pemikiran Yunani. 

Sebagai kesimpulan, ada persamaan yang sangat penting di antara Kitab-Kitab 

Injil dan biografi Yunani-Romawi. Dan persamaan ini dapat memberi sedikit petunjuk 

mengenai arti Kitab-Kitab Injil. Namun bila mempertimbangkan perbedaan berarti di 

antara keduanya, jelaslah bahwa Kitab-Kitab Injil tidak sepenuhnya cocok dengan genre 

biografi Yunani-Romawi.   

Sekarang setelah kita mempelajari catatan Injil dalam kaitan dengan narasi 

historis secara umum dan biografi Yunani-Romawi, kita siap untuk membandingkannya 

dengan genre narasi historis dalam Alkitab. 

 

 

Narasi Historis dalam Alkitab 

 

Meskipun Kitab-Kitab Injil sangat mirip dengan narasi historis umum dan bahkan 

dengan biografi Yunani-Romawi, Kitab-Kitab Injil itu paling memiliki kemiripan dengan 

narasi historis dalam Perjanjian Lama. Dan hal ini seharusnya tidak membuat kita 

terkejut. Bagaimanapun, narasi-narasi Perjanjian Lama merupakan bagian dari Kitab Suci 

yang sakral yang dimiliki oleh para penulis Kitab Injil. Dari banyaknya rujukan ke 

Perjanjian Lama yang diberikan oleh masing-masing penulis Kitab Injil, kita dapat 

meyakini bahwa mereka sangat mengenal Perjanjian Lama — mungkin jauh melebihi 

orang-orang Kristen masa kini. Dan baiknya pengenalan mereka akan Perjanjian Lama 

telah mempengaruhi cara kerja mereka.  

Selain itu, para penulis Kitab Injil dan para penulis narasi historis Perjanjian 

Lama menulis untuk tujuan yang sama, yaitu untuk menjelaskan dan memelihara 

perjanjian Allah dengan umat-Nya. Sebagai contoh, narasi historis yang ada di dalam 

Keluaran pasal 1 sampai 19 menyediakan dasar historis bagi Perjanjian Allah dengan 

Musa di dalam Keluaran pasal 20 sampai 24.  

 Tujuan ini tampak jelas di dalam pasal seperti Keluaran 24:8, di mana kita 

menemukan catatan kisah ini:  

 

Kemudian Musa mengambil darah itu dan menyiramkannya pada 

bangsa itu serta berkata: “Inilah darah perjanjian yang diadakan 

TUHAN dengan kamu ...” (Keluaran 24:8). 

 

Narasi Alkitab lainnya, seperti Yosua pasal 1 sampai 23, menyediakan dasar bagi 

pembaruan perjanjian di dalam Yosua pasal 24. Dan narasi dalam Hakim-Hakim dan 1 


 

 

-7- 

 


 

Samuel merupakan dasar historis untuk Perjanjian dengan Daud dalam 2 Samuel pasal 7. 

Dan dengan cara yang sama, Kitab-Kitab Injil menyediakan fondasi historis untuk 

Perjanjian yang Baru yang Yesus tegakkan.  

 Dengarlah bagaimana narasi dalam Lukas 22:20 menggemakan catatan di dalam 

Keluaran 24:8 yang baru saja kita baca:  

 

Demikian juga dibuat-Nya dengan cawan sesudah makan; Ia berkata: 

“Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang 

ditumpahkan bagi kamu” (Lukas 22:20). 

 

 Sebagai kesimpulan, ketika kita membandingkan Kitab-Kitab Injil dengan genre-

genre kesusastraan lainnya yang sudah dikenal, maka Kitab-Kitab Injil paling 

menyerupai narasi historis dalam Alkitab. Tetapi bukan berarti bahwa Kitab-Kitab Injil 

itu persis sama dengan kisah-narasi historis Alkitab lainnya dalam segala hal. 

Bagaimanapun, Kitab-Kitab Injil memang meminjam beberapa ciri dari biografi Yunani-

Romawi. Dalam pengertian ini, kita bisa mengatakan bahwa Kitab-Kitab Injil adalah 

jenis yang baru dari narasi historis Alkitab. Karena itu, ketika kita membacanya, akan 

sangat membantu jika kita menganggapnya terutama sebagai narasi historis Alkitab. 

Namun kita juga harus melihat penekanan biografisnya pada Yesus, dan menafsirkan 

tokoh-tokoh lain di dalamnya dalam hubungannya dengan Yesus.   

Setelah menyelidiki genre Kitab-Kitab Injil, kita siap untuk beralih kepada 

pembahasan tentang keandalan kitab Injil sebagai catatan-catatan historis mengenai 

Yesus. 

 

 

KEANDALAN 

  

Di sepanjang sejarah, telah ada pemisahan yang konsisten antara para sejarawan 

yang dapat diandalkan dengan para sejarawan yang tidak dapat diandalkan, antara 

sumber-sumber yang dapat diandalkan dengan sumber-sumber yang tidak dapat 

diandalkan. Pertanyaan yang harus kita jawab adalah: Apakah para penulis keempat 

Kitab Injil menuliskan catatan yang dapat diandalkan atau tidak dapat diandalkan tentang 

kehidupan Yesus? Sekalipun kriteria zaman kita tidak sama dengan kriteria yang mereka 

ikuti, ada banyak bukti bahwa Matius, Markus, Lukas dan Yohanes memiliki sumber-

sumber dan motivasi untuk menuliskan catatan yang dapat dipercaya mengenai Yesus. 

 Meskipun ada banyak sekali cara untuk membuktikan bahwa Kitab-Kitab Injil 

adalah catatan-catatan historis yang tepercaya mengenai kehidupan Yesus, kami hanya 

akan berfokus pada enam bukti. 

 

Akses 

 

 Pertama, para penulis Kitab Injil memiliki akses ke berbagai catatan tentang 

peristiwa-peristiwa yang mereka catat. Sama seperti sekarang, dunia kuno mengharapkan 

agar para sejarawan yang dapat diandalkan memiliki akses untuk mendapatkan banyak 

fakta yang berkaitan dengan pokok bahasan mereka.   


 

 

-8- 

 


 

 Pikirkanlah sekali lagi tentang Plutarkhos, sang sejarawan Romawi. Dalam 

komentar pembukaannya untuk tulisannya yang berjudul Life of Demosthenes, ia 

memaparkan harapan budaya yang sama mengenai cara kerja yang dituntut dari seorang 

sejarawan: 

  

Jika ada orang menerima tugas untuk menulis sejarah ... hal yang 

pertama dan terpenting di atas segalanya adalah keharusan untuk ... 

memiliki banyak buku yang beraneka ragam, dan ... [untuk] 

mendengar serta mendapatkan informasi bagi dirinya sendiri 

mengenai hal-hal khusus yang luput dari pena para penulis, namun 

tersimpan dengan baik di dalam ingatan manusia, agar karyanya 

tidak memiliki banyak kekurangan.  

 

Sebagaimana dapat kita lihat di sini, Plutarkhos sangat percaya bahwa seorang sejarawan 

yang tepercaya perlu memiliki akses ke sumber-sumber yang andal. Dan ia sangat 

menghargai pertimbangan teliti atas sumber yang tersedia, baik catatan yang tertulis, 

maupun yang disampaikan secara lisan. 

 Setiap penulis Kitab Injil pasti adalah saksi mata kehidupan Yesus atau orang 

yang memiliki kontak langsung dengan para saksi mata kehidupan Yesus. Karena Matius 

dan Yohanes adalah murid-murid Yesus, mereka hadir dalam banyak peristiwa yang 

mereka catat. Markus adalah seorang rekan dekat Petrus, dan belajar secara langsung dari 

Petrus. Dan Lukas melakukan perjalanan bersama Paulus serta mencari para saksi mata 

yang dapat diandalkan untuk Injilnya. Dengarlah apa yang Lukas tulis dalam Lukas1:1-3: 

 

Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang 

peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang 

disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi 

mata dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala 

peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil 

keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu (Lukas 

1:1-3). 

 

 

Keterusterangan 

 

 Kedua, kita juga dapat melihat keandalan historis dari Kitab-Kitab Injil pada 

tingginya tingkat keterusterangan dalam karya-karya mereka. Standar untuk tulisan 

sejarah yang baik pada masa purba menuntut sejarawan untuk bersikap terbuka atau jujur 

dalam cara mereka melaporkan sejarah itu. Mereka diharapkan melaporkan rentetan 

detail, termasuk detail-detail yang belum tentu mendukung pesan yang ingin 

disampaikan.  

 Dengan mempertimbangkan hal ini, maka seringnya para penulis Kitab Injil 

menceritakan kegagalan para murid Yesus adalah hal yang berarti. Dan dalam kasus 

Matius dan Yohanes, itu berarti menceritakan kegagalan-kegagalan pribadi mereka 

sendiri. Dan jika beberapa penafsir benar bahwa anak muda yang berlari telanjang dari 


 

 

-9- 

 


 

Taman Getsemani dalam Markus 14:51-52 adalah Markus sendiri, berarti Markus juga 

menjelaskan kekurangannya sendiri. Dan tanpa kecuali, semua penulis Kitab Injil 

menyingkapkan kegagalan para murid Yesus secara menyeluruh, dengan mengakui 

bahwa para pemimpin dari gerakan gereja yang masih bayi itu masih jauh dari sempurna. 

 

Sebagai satu contoh saja, Markus 6:51-52 mencatat kegagalan para murid untuk 

memahami mujizat Yesus ketika Ia memberi makan 5000 orang: 

 

Mereka sangat tercengang dan bingung, sebab sesudah peristiwa roti 

itu mereka belum juga mengerti, dan hati mereka tetap degil. 

(Markus 6:51-52). 

 

 Berulang kali, penulis Kitab Injil melaporkan kesalahpahaman dan kegagalan 

moral dari murid-murid Yesus. Tetapi jika dengan menyebutkan kegagalan ini, otoritas 

dan kehormatan para pemimpin Gereja mungkin direndahkan, mengapa para penulis 

Kitab-Kitab Injil melakukannya? 

 

Banyak pembaca dibingungkan oleh fakta bahwa para murid yang 

ditampilkan di dalam Kitab-Kitab Injil itu itu kurang sempurna dan 

juga kurang berpengertian. Di satu sisi, jika dapat saya katakan, hal 

ini menunjukkan keandalan tradisi injil — bahwa para penulis Injil 

sebenarnya siap untuk memasukkan hal-hal yang membuat para 

pemimpin gereja yang paling awal itu setidaknya terlihat tidak terlalu 

baik, kalau bukan terlihat buruk. Jadi, dapat dikatakan, itulah 

kesaksian untuk keandalan dan ketepatan dari Kitab-Kitab Injil kita. 

 

— Dr. David Bauer 

 

 

Izinkan saya memberitahu Anda bahwa kecenderungan para murid 

untuk membuat diri mereka tampak buruk di dalam kisah-kisah 

mereka sendiri merupakan salah satu argumen terkuat bagi keaslian 

Kitab-Kitab Injil. Jika Anda membaca catatan-catatan kuno tentang 

raja-raja Babel atau Asyur, atau para penguasa Roma, mereka hanya 

melangkah dari satu kemenangan kepada kemenangan lainnya: 

“Inilah prestasi-prestasiku yang gemilang!” Dan kemudian sekarang, 

tentunya, kita menengok ke belakang dan berkata, nah, apa yang 

sesungguhnya terjadi? Kita melihat para murid dan mereka hanya 

seperti ini, ... Coba pikirkan ini: orang bodoh mana yang akan 

menciptakan sebuah agama yang tokoh utamanya disalibkan; salib 

yang bagi orang Romawi dan jajahan Roma adalah bukti hasutan 

dan pelanggaran hukum, dan bagi orang Yahudi adalah bukti 

keterkutukan, padahal keduanya adalah penonton utama Anda. Anda 

tidak akan pernah merekayasa hal ini, kecuali hal ini benar-benar 

terjadi. 


 

 

-10- 

 


 

 

— Dr. Dan Doriani 

 

 

Bukti Penguat 

 

 Ketiga, keyakinan kita pada keandalan para penulis Injil diperkuat oleh bukti 

penguat dari sumber-sumber historis yang lain. Sejarawan Roma dan Yahudi 

meneguhkan sejumlah pernyataan dari narasi Injil, dan bahkan arkeologi modern telah 

menemukan bukti bahwa catatan-catatan mereka itu benar.  

 Sebagai contoh, sejarawan Yunani-Romawi seperti Plinius Muda, Suetonius, 

Tacitus, dan Julius Africanus telah menyebutkan beberapa data dasar mengenai 

kehidupan Yesus, kematian-Nya karena penyaliban, dan pengaruh-Nya yang abadi. 

 

Jadi ada sejarawan Yahudi, Yosephus, yang menulis sejarah orang-

orang Yahudi untuk pemerintah Romawi pada abad pertama yang 

menyebutkan bahwa Yesus Kristus itu ada dan memiliki sejumlah 

pengikut. Kita memiliki sejarawan Roma, Tacitus pada abad pertama 

yang sezaman dengan Yosephus, yang menulis tentang Yesus Kristus 

dan sekelompok pengikut-Nya. Bahkan Talmud Yahudi menyatakan 

bahwa Yesus sungguh-sungguh ada. 

 

— Dr. Steven Tsoukalas 

 

 

Saya pikir secara umum kita benar-benar berada pada posisi yang 

sangat baik untuk meninjau keandalan Kitab-Kitab Injil, lebih baik 

daripada posisi kita sebelumnya, dalam arti bahwa sekarang kita 

tahu jauh lebih banyak tentang Palestina Yahudi abad pertama 

dibandingkan dengan apa yang kita ketahui, katakanlah, 50 tahun 

yang lalu. Dan kita mengetahuinya melalui penemuan karya sastra 

seperti Naskah Laut Mati, dan melalui arkeologi. Dan, arkeologi di 

Tanah Suci sedang berkembang pesat, terus terjadi penemuan-

penemuan baru. Karena itu, bisa dikatakan, kita tahu banyak tentang 

konteks di mana pelayanan Yesus berlangsung. Dan ada berbagai 

macam cara untuk menanyakan apakah hal-hal yang dikatakan 

Kitab-Kitab Injil sesuai dengan konteks itu. Apakah masuk akal jika 

kita menganggap Yesus sebagai seorang guru Yahudi di dalam 

konteks khusus semacam itu? Dan saya pikir, secara keseluruhan, 

dapat kita katakan bahwa hal itu sangat tepat. Dan jika kita ingat 

bahwa tentunya kondisi di Palestina Yahudi telah berubah secara 

radikal setelah pemberontakan Yahudi pada tahun 66 sampai 70. 

Jadi, dapat dikatakan kita memiliki kurun waktu yang terbatas 

untuk menguji apakah Kitab-Kitab Injil sesuai dengan kurun waktu 

itu, karena seandainya Kitab-Kitab Injil itu hanya merefleksikan 


 

 

-11- 

 


 

situasi setelah pemberontakan Yahudi, kita tidak berharap isi Kitab-

Kitab Injil behubungan dengan situasi yang kita ketahui mengenai 

Yudaisme pada awal abad pertama. 

 

— Dr. Richard Bauckham 

 

 

Pelatihan 

 

 Alasan keempat untuk memercayai catatan-catatan Injil adalah bahwa pelatihan 

yang diterima oleh murid-murid Yesus seharusnya mengajarkan kepada mereka cara 

untuk memelihara catatan yang akurat tentang kata-kata dan perbuatan-perbuatan-Nya.  

 Dalam budaya Yahudi, pemuridan adalah sebuah gaya hidup yang mapan. 

Bahkan, kata Ibrani untuk ‘murid’ adalah talmid, yang berarti siswa atau pembelajar. 

Secara spesifik, seorang murid adalah siswa dari seorang bijak atau rabi tertentu. Terlebih 

lagi, di dalam kebudayaan Yahudi pada zamanYesus, salah satu latihan kunci dalam 

pembelajaran dari seorang rabi adalah penghafalan. Dan salah satu tanggung jawab para 

muridnya adalah mempelajari kata-kata dan hikmat dari guru mereka.  Dengarlah kata-

kata Yesus kepada murid-murid-Nya dalam Lukas 6:40: 

 

Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, tetapi barangsiapa 

yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya (Lukas 

6:40). 

 

Yang Yesus maksudkan adalah bahwa semua pengikut-Nya harus menyelidiki, 

mempelajari dan membentuk kehidupan mereka sesuai dengan ajaran dan tindakan-Nya.   

 Dua belas murid yang paling dekat dengan Yesus memiliki tanggung jawab besar 

untuk mempelajari ajaran-ajaran Yesus, sementara banyak murid lainnya yang belajar 

dari Yesus kemungkinan juga menghafal sebagian besar ajaran-Nya.  

 

 

Keyakinan Teologis 

 

 Kelima, kita tidak pernah boleh meremehkan fakta bahwa para penulis Kitab Injil 

memiliki keyakinan teologis yang kuat yang menekankan kebutuhan akan sebuah catatan 

yang benar dan dapat diandalkan. Sebagai contoh, dalam Yohanes 20:31, sang rasul 

menuliskan kata-kata ini:  

 

Semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, 

bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah dan supaya kamu oleh imanmu 

memperoleh hidup dalam nama-Nya (Yohanes 20:31). 

 

Dalam nas ini, Yohanes menyatakan dengan terus terang bahwa orang dapat 

menerima karunia kehidupan dari Allah hanya jika mereka mengenal dan menerima 

kebenaran tentang Yesus.  


 

 

-12- 

 


 

Dengan cara yang sama, Matius mencatat kata-kata Yesus di dalam pasal 28:19-

20 dari Injilnya:  

 

... pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku, dan baptislah 

mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah 

mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan 

kepadamu (Matius 28:19-20). 

 

Di sini, Matius menyatakan bahwa murid-murid Yesus memiliki tanggung jawab untuk 

mengajarkan segala sesuatu yang telah Yesus perintahkan kepada mereka. Sebagai 

pengikut Yesus yang sejati, mereka tidak dapat mengabaikan kebutuhan untuk 

memberikan catatan yang benar tentang apa yang telah dilakukan dan dikatakan-Nya. 

 Para penulis Injil tidak mencatat peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Yesus 

hanya demi nilai historisnya. Sebaliknya, mereka tahu bahwa iman kepada Yesus bukan 

sekadar berarti mengetahui fakta-fakta historis tentang Dia. Tetapi mereka juga tahu 

bahwa iman yang sejati tidak bisa didasarkan pada catatan historis yang palsu atau keliru. 

Mereka menceritakan kata-kata dan perbuatan-perbuatan Yesus dengan jelas dan akurat 

karena mereka ingin para pembacanya percaya kepada Yesus yang sesungguhnya, Yesus 

yang ada dalam sejarah.  

 

 

Roh Kudus 

 

 Keenam, seperti semua penulis Alkitab, para penulis Kitab Injil tidak ditinggalkan 

sendirian ketika mereka mencatat kata-kata dan perbuatan-perbuatan Yesus. Roh Kudus 

memimpin mereka dalam upaya ini. 

 

Inspirasi Kitab Suci adalah sebuah doktrin yang begitu vital karena 

menunjukkan bahwa seluruh Kitab Suci terutama ditulis oleh satu 

penulis. Karena itu, ketika kita memperhatikan Kitab-Kitab Injil dan 

kita melihat empat penulis memberikan empat perspektif yang 

berbeda mengenai Yesus, kita perlu menghargai perspektif-perspektif 

itu tetapi dengan kesadaran bahwa Roh Kudus yang 

menginspirasikan semuanya. Karena itulah kitab-kitab tersebut hadir 

dengan agenda-agenda yang sangat berbeda, secara teologis, dalam 

hal pembaca yang dituju, serta dalam latar belakang dan pengalaman 

bersama Yesus. Tetapi kita memiliki satu kesatuan yang 

menakjubkan di antara kitab-kitab itu sekalipun terdapat keragaman 

karena keragaman penulis manusianya. Inspirasi Roh Kudus dalam 

Kitab Suci tidak menghilangkan unsur atau karya manusia di 

dalamnya, tetapi memiliki pengertian bahwa maksud Allah terwujud 

secara sempurna melalui upaya-upaya manusiawi ini. 

 

— Dr. K. Erik Thoennes 

 

Dengarlah kata-kata Yesus dalam Yohanes 14:25-26: 


 

 

-13- 

 


 

 

Semuanya itu Kukatakan kepadamu, selagi Aku berada bersama-

sama dengan kamu; tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan 

diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan 

segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua 

yang telah Kukatakan kepadamu. (Yohanes 14:25-26). 

 

 Bagaimanapun baiknya ingatan murid-murid Yesus, mereka tidak dapat 

menguasai segalanya. Itulah sebabnya Yesus menjanjikan dan mengutus Roh Kudus 

kepada para rasul-Nya. Dan Roh Kudus memampukan mereka untuk mengingat apa yang 

perlu diketahui oleh gereja segala abad tentang apa yang telah Yesus lakukan dan 

katakan. Seperti yang Yohanes tuliskan dalam pasal 21 ayat 25 dari Injilnya: 

 

Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi 

jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya 

dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu 

(Yohanes 21:25). 

 

Hal yang menarik bila Anda berbicara tentang Yesus kepada orang 

lain dan menanyakan kepada mereka siapakah Yesus, beberapa 

orang mungkin mengatakan bahwa Ia adalah seorang rabi, Ia adalah 

seorang guru, atau beberapa orang mungkin mengklaim bahwa jika 

Anda memperhatikan agama-agama dunia yang berbeda dan 

kelompok-kelompok yang berbeda, mereka mengklaim banyak hal 

yang berbeda tentang Dia. Tetapi dalam hikmat Allah, melalui Roh 

Kudus-Nya, Allah memimpin para saksi mata-Nya untuk menuliskan 

simpanan iman dalam empat catatan yang saling melengkapi 

sehingga di dalam Matius, Markus, Lukas dan Yohanes—apakah 

melalui penulis itu sendiri atau melalui sumber-sumbernya—kita 

memiliki kesaksian yang pasti dari saksi mata, yang dilindungi oleh 

Roh Kudus, yang berfungsi sebagai sebuah standar, sehingga 

seandainya ada orang yang mengatakan, “Nah, Yesus mengatakan 

hal ini atau Yesus akan melakukan ini atau Yesus tidak akan 

melakukan itu,” kita memiliki catatan tertulis yang tidak dapat 

disangkal yang dapat kita andalkan, dan Allah telah memberikan 

kepada kita standar itu untuk iman kita. 

 

— Dr. Robert Plummer 

  


 

 

-14- 

 


 

 

 

 

STATUS DI DALAM GEREJA 

 

Kini setelah kita membicarakan karakter sastra Kitab-Kitab Injil, kita siap untuk 

beralih ke status Kitab-Kitab Injil sebagai tulisan yang berotoritas di dalam gereja. Kita 

akan membahas status Kitab-Kitab Injil di dalam gereja dengan membahas penulisan dan 

keasliannya sebagai firman Allah. Marilah kita pertama-tama melihat penulisannya. 

 

PENULISAN 

 

 Ketika kita berbicara mengenai penulisan Kitab-Kitab Injil, kita harus mengingat 

proses penulisannya. Siapa para penulisnya? Mengapa mereka menuliskan kitab-kitab 

ini? Bagaimana mereka menulis kitab-kitab ini? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini 

penting untuk diselidiki oleh orang Kristen karena ada sangat banyak penafsir yang telah 

berfokus pada proses penyusunannya oleh manusia untuk menghilangkan otoritas ilahi 

kitab-kitab itu. Namun kabar baiknya adalah bahwa penyelidikan yang teliti memberikan 

keyakinan penuh kepada kita bahwa Kitab-Kitab Injil bukan hanya karya manusia, tetapi 

juga merupakan Firman Allah.   

Kita akan melihat tiga hal sehubungan dengan penulisan Kitab-Kitab Injil. 

Pertama, kita akan menyelidiki persamaan-persamaan di antara berbagai catatan Injil. 

Kedua, kita akan meninjau beberapa teori penulisan yang telah muncul untuk 

menjelaskan persamaan-persamaan ini. Dan ketiga, kita akan menyajikan beberapa 

komentar mengenai kepastian yang seharusnya membuat kita memercayai teori-teori ini. 

Marilah kita mulai dengan membahas persamaan-persamaan di antara Kitab-Kitab Injil. 

 

 

Persamaan 

 

 Walaupun ditulis secara terpisah, catatan-catatan Injil dari Matius, Markus, dan 

Lukas telah sering dikelompokkan menjadi satu dan disebut Injil Sinoptik. Istilah 

‘sinoptik’ secara sederhana berarti, “melihat bersama-sama”, dan istilah tersebut telah 

diterapkan pada Injil-Injil ini karena sebagian besar isinya sama. Ketiganya memasukkan 

banyak catatan yang sama mengenai perkataan dan perbuatan Yesus. Dan ketika mereka 

melaporkan ucapan-ucapan yang sama dari Yesus, mereka sering menggunakan kata-kata 

yang persis sama. 

 Sebagai contoh, perhatikan waktu Yesus menyembuhkan seorang yang lumpuh. 

Dalam Matius 9:6, kita membaca catatan ini tentang perkataan dan perbuatan Tuhan: 

 

“Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia 

berkuasa mengampuni dosa” —lalu berkatalah Ia kepada orang 

lumpuh itu—: “Bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah 

ke rumahmu!” (Matius 9:6). 


 

 

-15- 

 


 

 

Sekarang dengarkan Markus 2:10-11: 

 

“Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia 

berkuasa mengampuni dosa” —berkatalah Ia kepada orang lumpuh 

itu—: “Kepadamu Kukatakan, bangunlah, angkatlah tempat tidurmu 

dan pulanglah ke rumahmu!” (Markus 2:10-11) 

 

Dan, lagi, di dalam Lukas 5:24, kita membaca: 

 

“Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia 

berkuasa mengampuni dosa” — berkatalah Ia kepada orang lumpuh 

itu—: “Kepadamu Kukatakan, bangunlah, angkatlah tempat tidurmu 

dan pulanglah ke rumahmu!” (Lukas 5:24) 

 

 Dalam contoh ini, kita melihat bahwa setiap Injil Sinoptik memuat catatan yang 

hampir sama mengenai kisah mujizat yang sama. Kisah-kisah lain yang paralel 

ditemukan setidaknya dalam dua di antara tiga Injil Sinoptik antara lain: penyembuhan 

orang kusta, pengusiran roh jahat di Kapernaum, penyembuhan ibu mertua Petrus, 

diredakannya angin ribut, dibangkitkannya anak perempuan Yairus, pemberian otoritas 

kepada Dua Belas Murid, Yesus berjalan di atas air, penyembuhan seorang laki-laki yang 

lumpuh tangannya, Yesus memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan, 

dan peristiwa pemuliaan (transfigurasi) Yesus.  

 

Tiga Kitab Injil, Matius, Markus dan Lukas, sering dikenal sebagai 

Injil Sinoptik karena dapat dikatakan ketiganya melihat banyak 

peristiwa dari perspektif yang sama, dari kacamata yang sama. Dan 

hal itu kadang-kadang bisa memberi kesan, mengapa kita 

membutuhkan tiga jika satu saja sudah cukup? Tetapi akan 

menyedihkan jika salah satu dari ketiga Injil Sinoptik itu hilang 

karena masing-masing sebenarnya menyumbangkan sesuatu yang 

sedikit berbeda, dan penting bagi kita untuk melihat sebagian dari 

perbedaan yang ada di antara ketiganya. Injil Markus jauh lebih 

menarik daripada sebagian Injil lainnya, dan sebenarnya Injil 

Markus menceritakan beberapa kisah yang ada dengan lebih 

panjang. Sekalipun Injil ini lebih singkat, kisah-kisahnya diceritakan 

dengan lebih panjang. Matius-lah yang kemudian meringkas kisah-

kisah itu sehingga menjadi jauh lebih pendek karena ada banyak 

yang ia masukkan ke dalam Injilnya. Dan secara khusus, Matius 

berusaha memasukkan ajaran Yesus, sedangkan Injil Markus, 

anehnya, menghilangkan sebagian besar ajaran Yesus. Jadi, Injil 

Matius menampilkan Yesus yang sangat berotoritas, Yesus sang 

pengajar, dan jika Anda menginginkan semacam bunga rampai 

ajaran Yesus, maka Injil Matius-lah jawabannya. Tetapi apa yang 

telah Lukas berikan kepada kita? Lukas memberikan kepada kita 


 

 

-16- 

 


 

lebih banyak lagi ajaran. Khususnya, Lukas memberikan lebih 

banyak perumpamaan daripada Matius—dan juga memberi kita 

semacam potret Yesus sebagai manusia yang menjalin kontak dengan 

segala macam orang, Yesus yang sangat inklusif, penuh kasih dan 

peduli. Beberapa orang berpikir bahwa Lukas bukan sekadar 

seorang dokter medis, tetapi juga seorang psikolog; ia mampu 

mengkomunikasikan emosi manusia dengan sangat baik. Dan karena 

itu saya pikir, dalam ketiga Injil, kita memiliki tiga naskah berbeda 

dan sangat berharga, yang kita butuhkan untuk menghargai masing-

masing dari ketiganya. 

 

— Dr. Peter Walker 

 

 

Saya pikir alasan mendasar yang membuat kita memiliki tiga kitab 

Injil yang mencatat kehidupan Yesus dengan cara yang pada 

dasarnya sama adalah karena kekayaan dan keindahan pribadi Yesus 

tidak dapat dilukiskan hanya dengan satu catatan tunggal. Maka 

ketika kita memikirkan maksud Allah, tidak ada seorang penulis Injil 

yang dapat menuangkan secara sempurna signifikansi dari apa yang 

Yesus genapi, katakan dan lakukan. Namun, saya juga ingin 

menambahkan, bahwa kita sebaiknya peka pada perbedaan-

perbedaan di dalam ketiga Kitab Injil itu. Ya, pada dasarnya 

ketiganya mengatakan hal yang sama, tetapi ada berbagai nuansa 

dan warna dalam setiap Injil. Jadi, di satu sisi ketiganya 

menceritakan kepada kita kisah dasar tentang apa yang Yesus 

lakukan dan apa yang telah Ia genapi, dan pada saat yang sama,Injil-

Injil itu juga menunjukkan segi-segi berbeda dari Yesus. Jadi, 

ketiganya merupakan semacam kaleidoskop, segalanya ada di dalam 

kaleidoskop, namun Anda melihatnya dari sudut-sudut yang berbeda 

dan kita melihat gambar-gambar yang berbeda tentang siapakah 

Yesus. Jadi kita melihat hikmat Allah, inspirasi Roh Kudus, yang 

memberikan kepada kita pandangan yang beragam mengenai Yesus. 

 

— Dr. Thomas Schreiner 

 

Berbeda  dengan Injil Sinoptik, kebanyakan materi Injil Yohanes bersifat unik. 

Meskipun Yohanes juga mencatat bahwa Yesus berjalan di atas air dan memberi makan 

lima ribu orang, ia memasukkan banyak peristiwa yang tidak dicatat di dalam Injil 

Sinoptik. Contohnya, Yohanes melaporkan tindakan Yesus mengubah air menjadi 

anggur, percakapan Yesus dengan perempuan Samaria, dan tindakan Yesus 

membangkitkan Lazarus dari antara orang mati.   

Namun sekalipun kisah-kisah pelayanan dan kehidupan Yesus bervariasi di antara 

keempat Injil, keempatnya memberi kesaksian tentang baptisan Yesus, perjamuan 

terakhir Yesus dengan para murid-Nya, kematian Yesus di kayu salib, dan kebangkitan 

Yesus dari antara orang mati.   


 

 

-17- 

 


 

Persamaan dan perbedaan di antara Kitab-Kitab Injil itu telah menimbulkan 

banyak penjelasan yang saling bersaing. Karena itu, marilah sekarang kita beralih kepada 

teori-teori penulisan kitab-kitab Injil. 

 

 

Teori-teori Penulisan 

 

 Karena banyaknya persamaan di antara Injil-injil Sinoptik, para ahli telah 

mengembangkan banyak teori mengenai sejarah penulisannya. Teori-teori ini sering kali 

agak kompleks dan dapat membingungkan ketika kita baru pertama kali mempelajarinya. 

Kita bisa merangkum teori-teori yang paling populer dengan cara ini: Banyak penafsir 

percaya bahwa Markus ditulis pertama kali, dan bahwa Matius serta Lukas menggunakan 

materi dari Markus dan barangkali dari sumber-sumber yang lain. Tetapi penafsir-

penafsir lainnya percaya bahwa Matius ditulis pertama kali, dan bahwa Markus 

menggunakan materi dari Matius, dan Lukas menggunakan materi dari Matius dan 

Markus. Masih ada lagi penafsir lainnya yang percaya bahwa Matius dan Lukas ditulis 

berdasarkan sumber-sumber yang sudah tidak kita miliki lagi, dan bahwa Markus 

menggunakan materi dari keduanya. Seperti yang Anda lihat, bahkan membandingkan 

karakteristik-karakteristik umum dari teori-teori ini bisa sedikit membingungkan.  

Sebaliknya, penulisan Injil Yohanes cukup sederhana. Banyak penafsir setuju 

bahwa ia menulis menjelang akhir abad pertama, dan ia mengenal setidaknya satu atau 

barangkali semua catatan sinoptik. Kadang-kadang ada pandangan bahwa ia menghindari 

pengulangan terhadap sebagian besar materi yang diketahuinya sudah disebutkan di 

dalam Injil-Injil Sinoptik, dan memilih untuk menyajikan informasi tambahan yang 

paling relevan bagi komunitas-komunitas yang ia layani.  

Dengan mengingat berbagai teori penulisan tadi, mari kita membicarakan 

kepastian apa dari teori-teori tadi yang harus kita pegang. 

  

 

 

Kepastian  

 

Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa para penulis Alkitab sering 

menggunakan tradisi lisan dan tulisan — dan hal ini tidak mengurangi inspirasi atau 

otoritas mereka. Jadi, pada prinsipnya tidak salah jika kita percaya bahwa semua penulis 

Injil mengandalkan materi dari sumber yang sebelumnya. Seperti yang dituliskan Lukas 

dalam Lukas 1:1-3: 

 

Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang 

peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang 

disampaikan kepada kita …. Karena itu, setelah aku menyelidiki 

segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku 

mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur 

bagimu (Lukas 1:1-3). 

 


 

 

-18- 

 


 

Semua penulis Injil yang lain tampaknya telah memiliki akses ke sumber-sumber 

yang sama, meskipun mereka tidak secara jelas menyebutkannya seperti Lukas. Jika kita 

menerima pengandaian dari mayoritas penafsir bahwa Markus adalah penulis yang 

pertama, ia tidak memiliki akses untuk menggunakan Injil apa pun yang sudah ditulis 

lebih dahulu, tetapi ia hampir pasti menggunakan tradisi lisan, setidaknya dari teman 

dekatnya, Petrus. Lukas dan Matius mungkin menggunakan Injil Markus sebagai sebuah 

model.  Sebagai tambahan, Matius dan Yohanes memiliki kenangan mereka sendiri 

tentang kehidupan dan pengajaran Yesus. Dan keempat penulis ini secara sempurna 

dipandu oleh Roh Kudus, sebagaimana telah kita lihat sebelumnya.  

Sebagai rangkuman, kita dapat menghargai teori-teori mengenai adanya relasi di 

antara Kitab-Kitab Injil. Namun kita tidak perlu merasa bahwa kita harus memahami 

semua detailnya atau menganut salah satu teori saja. Yang ditawarkan oleh teori-teori ini 

adalah keyakinan bahwa setiap penulis Injil memiliki kemampuan untuk mendapatkan 

informasi dari berbagai sumber, dan untuk menyusun catatan-catatan yang dapat 

diandalkan tentang kehidupan dan pengajaran Yesus. Jika kita menemukan adanya 

tumpang tindih dalam catatan-catatan mereka, kita memiliki kesempatan untuk 

mempertimbangkan perspektif yang berbeda-beda dari para penulis Injil itu, tanpa 

mempermasalahkan siapa yang menulis lebih dahulu. Dan ketika kita membaca materi 

yang hanya muncul di dalam salah satu Kitab Injil, kita dapat mempelajarinya menurut 

tujuan-tujuan spesifik dari si penulis.   

Setelah membahas penulisan keempat Injil, kita siap untuk membahas 

keasliannya. 

 

 

KEASLIAN 

  

Pada abad-abad permulaan gereja, ada beberapa pertentangan mengenai kitab-

kitab mana dari zaman kerasulan yang sungguh merupakan bagian dari Perjanjian Baru. 

Beberapa pemimpin gereja mula-mula tidak mengakui semua kitab yang sekarang kita 

miliki di dalam Perjanjian Baru. Yang lainnya percaya bahwa kita seharusnya 

menambahkan kitab-kitab di luar dua puluh tujuh kitab yang kita miliki sekarang.  

Namun perdebatan ini tidak melibatkan kitab-kitab Matius, Markus, Lukas dan 

Yohanes. Keempat Kitab Injil ini—dan tidak ada yang lain—selalu dianggap asli dan 

berotoritas oleh gereja-gereja Tuhan yang setia.  

Sebagai contoh, bapa gereja Origenes di abad ketiga, yang hidup pada tahun 185 

– 232 M, menyatakan bahwa hanya empat Kitab Injil yang kita miliki sekarang dalam 

Perjanjian Baru yang asli.   

Origenes dikutip oleh sejarawan gereja, Eusebius, yang hidup pada tahun 263 

sampai sekitar tahun 340 M. Dengarlah kata-kata Eusebius yang mengacu kepada 

Origenes dalam karyanya Ecclesiastical History, Buku 6, pasal 25: 

 

Keempat Kitab Injil… hanya kitab-kitab itulah yang tidak 

dipersoalkan di dalam Gereja Allah di bawah langit. 

 


 

 

-19- 

 


 

Sebagai tambahan, satu abad sebelumnya bapa gereja Ireneus, yang hidup pada tahun 130 

sampai 202 M, telah membicarakan sekaligus keempat Kitab Injil dalam karyanya 

Against Heresies, Buku 3, pasal 7, bagian 8. Perhatikan  apa yang dituliskannya: 

 

Tidaklah mungkin bahwa kitab-kitab Injil itu bisa bertambah atau 

berkurang jumlahnya dari yang ada sekarang ... Dia yang dinyatakan 

kepada manusia yaitu Yesus, telah memberi kita Kitab Injil yang 

memiliki empat aspek, tetapi dipersatukan oleh satu Roh. 

 

Ireneus berkata, baginya tidak pernah terjadi bahwa salah satu dari keempatnya itu 

dipersoalkan atau ketika ada Injil lain manapun digunakan dalam ibadah di gereja.  

 

 

Para Penulis Yang Tepercaya 

 

 Setidaknya ada tiga alasan yang membuat gereja mula-mula sangat mempercayai 

keempat Kitab Injil ini. Pertama, gereja menerima Kitab-Kitab Injil sebagai kitab yang 

dapat dipercaya karena ditulis oleh para penulis tepercaya yang namanya disebutkan di 

judulnya.   

 Sangatlah mungkin bahwa Kitab-Kitab Injil itu pada mulanya tidak 

mencantumkan nama penulisnya. Tetapi mungkin juga bahwa ketika pertama kali 

dipublikasikan, kitab-kitab itu diterima oleh orang-orang yang mengenal para penulisnya, 

atau bahkan mungkin disebarluaskan dengan surat-surat yang memperkenalkan para 

penulisnya. Dan sejak awal sekali, tulisan-tulisan Kristen mengasosiasikan Kitab-Kitab 

Injil dengan nama Matius, Markus, Lukas dan Yohanes—empat orang yang dikenal dari 

Perjanjian Baru sebagai para pemimpin gereja dengan reputasi yang baik.  

 

 

Persetujuan dari Para Rasul 

 

Kedua, orang Kristen mula-mula juga percaya bahwa Kitab-Kitab Injil termasuk 

dalam kanon berdasarkan fakta bahwa kitab-kitab ini mendapatkan persetujuan dari para 

rasul.   

Matius dan Yohanes adalah rasul, saksi mata dari perkataan dan perbuatan Yesus. 

Markus dianggap telah menerima sebagian besar materinya dari Petrus, yang menyebut 

Markus dengan penuh kasih sayang sebagai “anakku” di dalam 1 Petrus 5:13. Dan seperti 

yang telah kita lihat dalam Lukas 1:1-4, Lukas menjelaskan bahwa ia mendasarkan 

tulisannya pada catatan-catatan dari saksi mata.  

Selain itu, dalam bukunya, Ecclesiastical History, Eusebius melaporkan bahwa 

Rasul Yohanes secara pribadi menerima ketiga Kitab Injil lainnya sebelum menuliskan 

Injilnya sendiri. Perhatikan tulisan Eusebius tentang rasul Yohanes dalam Buku 3, pasal 

24 dari bukunya: 

 

Ketiga Injil yang sudah disebutkan yaitu Matius, Markus dan Lukas, 

setelah sampai ke tangan semua orang dan ke tangan Yohanes 


 

 

-20- 

 


 

sendiri, menurut mereka diterima oleh Yohanes dan Yohanes 

memberi kesaksian tentang kebenarannya. 

  

Kesaksian Gereja 

 

Dan ketiga, keempat Injil didukung oleh kesaksian gereja pada abad pertama. 

Keempat Kitab Injil sudah ada untuk waktu yang cukup lama sehingga para saksi mata 

dari kehidupan dan pelayanan Yesus yang masih hidup pada waktu itu seharusnya bisa 

menolak atau mengukuhkan catatan-catatan tersebut. Dan sebagaimana telah terjadi, 

sejak awal sekali para saksi mata memang mengukuhkannya dengan memakai Kitab-

Kitab Injil dalam gereja. 

 

Allah memberi kesaksian tentang suara-Nya sendiri di dalam 

Firman-Nya. Tetapi untuk membantu kita, kita bisa melihat pada 

peristiwa-peristiwa sejarah yang disebutkan dalam Kitab Suci, bahwa 

semuanya itu berhubungan dengan yang kita ketahui tentang sejarah 

dari sumber-sumber lain. Berpijak pada tataran yang lebih umum, 

kita dapat melihat bahwa kondisi-kondisi sosial,  politis, geografis, 

dan semua hal umum lainnya yang dituliskan di dalam Alkitab, 

konsisten dengan apa yang kita ketahui tentang periode sejarah 

ketika kitab-kitab itu ditulis, termasuk Palestina abad pertama ketika 

Kitab-Kitab Injil ditulis. Meskipun demikian, ketika kita melihat 

pada hal-hal historis yang spesifik dalam Alkitab dan kondisi serta 

keadaan historis yang dipaparkan, kita mendapatkan dasar yang 

logis untuk mengetahui bahwa kitab-kitab itu berasal dari zaman 

yang sesuai dengan pengakuannya, dan bahwa dengan kesaksian Roh 

Kudus, kita memperoleh keyakinan yang nyata bahwa semuanya itu 

adalah Firman Allah. Karenanya di dalam abad pertama dan abad 

kedua dari gereja mula-mula, Kitab-Kitab Injil seperti yang kita 

kenal, keempat Kitab Injil kanonis, diterima secara universal sebagai 

kitab-kitab yang berasal dari para rasul atau dari sumber-sumber 

rasuli, dan dianggap sebagai kesaksian yang setia dan dapat 

diandalkan dari para saksi mata mengenai apa yang Yesus lakukan, 

siapa Dia sebenarnya dan hal-hal yang Ia ajarkan. 

 

— Rev. Michael Glodo 

 

 

Ada banyak alasan untuk memercayai bahwa Kitab-Kitab Injil itu dapat 

diandalkan, diinspirasikan dan dapat kita katakan menyampaikan fakta-

fakta secara terus terang.  Tetapi mungkin inilah hal terpenting yang dapat 

saya katakan: bahwa para saksi mata telah memeteraikan kesaksian mereka 

dengan nyawa mereka. Seandainya yang mereka percayai itu bukan fakta, 

maka tentunya sebelum mereka dicambuk, dipukul, dipenjara, disalibkan, 

salah seorang dari mereka akan mengatakan, “Oh, ngomong-ngomong, 

Anda tahu, itu  hanya cerita buatan.” Tetapi kenyataannya, mereka mati 


 

 

-21- 

 


 

karena apa yang mereka katakan. Nah, tentunya kita semua tahu bahwa 

manusia bersedia untuk mati… terlalu sering manusia mati demi 

kebohongan. Sebagian besar mereka yang mati demi kebohongan tidak tahu 

bahwa itu adalah kebohongan. Sedikit orang bersedia mati untuk sebuah 

kebohongan yang mereka ketahui sebagai kebohongan, jika hal itu 

memberikan kepada mereka kekuasaan atau kekayaan atau prestise yang 

luar biasa selama hidup mereka. Tetapi mereka ini tidak memperoleh apa-

apa. Mereka bukan siapa-siapa di dunia ini, mereka terus-menerus 

melarikan diri, mereka melarat, mereka dikorbankan, mereka dipukuli, dan 

kemudian mereka mati. Dan tak satu pun dari mereka menarik kembali 

kesaksian mereka. Jadi kita bisa cukup yakin bahwa hal itu terjadi. 

 

— Dr. Dan Doriani 

 

 

 

 

KESATUAN 

 

 Kini setelah kita menyelidiki karakteristik sastra Kitab-Kitab Injil dan posisinya 

di dalam gereja, kita siap untuk mempelajari kesatuan di antara keempat Kitab Injil dalam 

Perjanjian Baru.  

Kita akan membahas kesatuan di antara Kitab-Kitab Injil, pertama dengan 

menegaskan bahwa setiap kitab menyampaikan kisah yang sama tentang kerajaan Allah, 

dan kedua dengan mempelajari penekanannya pada Yesus sebagai pribadi yang 

menghadirkan kerajaan Allah.  Mari kita mulai dengan pengakuan bahwa kisah yang 

sama yang mencakup semuanya ini diceritakan oleh setiap Injil di dalam Perjanjian Baru. 

 

 

 

KISAH YANG SAMA 

 

  Secara umum, dapat kita katakan bahwa kisah yang disampaikan di dalam Kitab 

Matius, Markus, Lukas dan Yohanes adalah injil. Sebenarnya, inilah alasan mengapa 

kitab-kitab itu sendiri disebut “Kitab-Kitab Injil.” Keempatnya adalah kitab-kitab yang 

menyampaikan kisah injil. Namun, apa persisnya kisah injil itu? 

 Kata “injil” diterjemahkan dari kata Yunani euangelion, yang secara sederhana 

berarti “kabar baik.” Jadi, ketika Alkitab berbicara tentang injil Yesus, Alkitab sedang 

berbicara tentang kabar baik tentang Yesus. Namun apa persisnya kabar baik ini? 

Siapakah Yesus? Dan kisah apakah yang diceritakan oleh Kitab-Kitab Injil tentang Dia?  

 Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu memahami bahwa kata 

“injil” kadang-kadang mengacu pada jenis kabar baik yang sangat spesifik di dalam dunia 

purba. Secara spesifik, ketika para raja atau kaisar yang maju berperang telah 

menaklukkan wilayah yang baru, mereka kadang-kadang membuat proklamasi kerajaan 

mengenai kemenangan mereka dengan pengumuman yang disebut “kabar baik.” Dalam 


 

 

-22- 

 


 

penggunaan istilah “injil” ini, “kabar baik” adalah sebuah pengumuman tentang 

kemenangan seorang raja dan bahwa pemerintahannya akan membawa berkat bagi 

bangsanya. Bahkan, kadang-kadang istilah ini juga digunakan dalam pengertian ini dalam 

Perjanjian Lama.  

Sebagai contoh, dengarlah apa yang dikatakan oleh Yesaya 52:7:  

 

Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan 

pembawa berita, yang mengabarkan berita damai dan memberitakan 

kabar baik, yang mengabarkan berita selamat dan berkata kepada 

Sion: “Allahmu itu Raja!” (Yesaya 52:7). 

 

Dalam nas ini, Yesaya membayangkan kedatangan yang menakjubkan dari para 

pembawa berita di pegunungan yang mengelilingi Yerusalem saat mengumumkan kabar 

baik bahwa masa pembuangan Israel telah usai. Mereka mengumumkan berita damai dan 

keselamatan karena pemerintahan Allah atas segalanya. 

Dalam konteks nubuat Yesaya, pemerintahan Allah — pembangunan kerajaan-

Nya di atas bumi— adalah kabar baik yang perlu didengar oleh umat Israel dan umat 

Yehuda. Inilah kabar bahwa di bawah kepemimpinan Allah sebagai raja, mereka akan 

dilepaskan dari musuh-musuh mereka dan hidup di dalam kerajaan Allah atas seluruh 

dunia selama-lamanya. 

Tetapi pada zamanYesaya, Allah belum melakukannya. Nubuat Yesaya menatap 

jauh ke hari ketika Allah akan datang dalam kuasa sebagai raja atas seluruh bumi. Dan 

kabar baik yang disampaikan oleh Matius, Markus, Lukas dan Yohanes adalah bahwa 

hari tersebut telah digenapi di dalam Yesus. Para penulis Injil semuanya menceritakan 

kisah yang sama, dengan menunjuk kembali kepada Yesus sebagai pribadi yang telah 

mendatangkan kerajaan Allah, dan yang sedang menggenapi nubuat-nubuat Perjanjian 

Lama. Merekalah para pembawa berita yang memiliki kaki-kaki yang indah yang 

mengumumkan kabar baik bahwa kerajaan Allah telah datang ke bumi melalui raja 

terakhirnya: Yesus. Kisah tentang kedatangan kerajaan ini menyediakan kerangka yang 

menyatukan keempat Kitab Injil. 

Berdasarkan fakta ini, kita tidak perlu terkejut saat mengetahui bahwa injil-injil 

Perjanjian Baru jauh lebih jarang menggunakan istilah-istilah seperti “injil” dan 

“menginjili” daripada bahasa yang mengacu pada kerajaan Allah. Berbagai bentuk dari 

kata “injil” muncul hanya dalam 23 ayat di seluruh Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. 

Sebaliknya, frasa seperti  “raja,” “kerajaan Allah,” dan istilah khusus Matius “kerajaan 

surga” digunakan sekitar 150 kali. 

Kini setelah kita mengerti bahwa semua Kitab Injil menceritakan kisah yang sama 

tentang kerajaan Allah, marilah kita melihat penekanannya pada Yesus sebagai raja yang 

mendatangkan Kerajaan Allah.  

 

  


 

 

-23- 

 


 

 

YESUS 

 

Pembahasan kita tentang Yesus dan kerajaan Allah akan terbagi menjadi tiga 

bagian. Pertama, kita akan membahas beberapa bukti yang diberikan oleh Kitab-Kitab 

Injil untuk mendemonstrasikan bahwa Yesus mendatangkan kerajaan itu. Kedua, kita 

akan menjelaskan kosakata yang Alkitab gunakan untuk membicarakan Yesus dan 

kerajaan itu. Dan ketiga, kita akan melihat bahwa Yesus mendatangkan kerajaan itu 

secara bertahap. Marilah kita mulai dengan beberapa bukti yang menunjukkan bahwa 

Yesus mendatangkan kerajaan Allah. 

 

 

Bukti-bukti 

  

Ada banyak cara berbeda yang digunakan oleh Kitab-Kitab Injil untuk menegaskan 

kedatangan kerajaan Allah di dalam Yesus. Tetapi sesuai dengan tujuan kita dalam 

pelajaran ini, kita hanya akan berfokus pada tiga hal. Bukti pertama dari kerajaan Allah 

yang akan kita sebutkan adalah kuasa Yesus atas roh-roh jahat. Dengarlah apa yang 

dikatakan Yesus dalam Matius 12:28: 

 

Jika Aku mengusir setan dengan Roh Allah, maka Kerajaan Allah 

sudah datang ke atasmu (Matius 12:28, NIV). 

 

Dalam nas ini, Yesus baru saja mengusir roh jahat. Dan kemampuan-Nya untuk mengusir 

roh-roh jahat membuktikan bahwa Ia telah mendatangkan kerajaan Allah.  

Cara kedua yang digunakan oleh kitab-kitab Injil untuk menunjukkan bahwa 

kerajaan Allah telah datang adalah melalui kuasa Yesus untuk menyembuhkan orang 

sakit dan membangkitkan orang mati.   

Kitab-Kitab Injil secara teratur menjelaskan bahwa kuasa Yesus untuk 

menyembuhkan— yang sama dengan kuasa yang telah Ia berikan kepada para murid-

Nya— adalah bukti bahwa Ia telah mendatangkan kerajaan Allah. Kita melihat tema ini 

di dalam Matius 4:23-24, 8:5-13, dan 10:7-8. Kita juga melihatnya di dalam Lukas 9:1-

11, dan 10:9 — dan di dalam banyak bagian lainnya. Kedatangan kerajaan Allah juga 

terlihat di dalam otoritas Yesus untuk mengampuni dosa.  

 Dengarlah nubuat Yesaya tentang kedatangan Mesias di dalam Yesaya 33:22-24: 

  

Sebab TUHAN ialah Hakim kita, TUHAN ialah yang memberi 

hukum bagi kita; TUHAN ialah Raja kita, Dia akan menyelamatkan 

kita. …. Tidak seorangpun yang tinggal di situ (Sion) akan berkata: 

“Aku sakit,” dan semua penduduknya akan diampuni kesalahannya. 

(Yesaya 33:22-24). 

 

Yesaya menunjukkan bahwa Allah memiliki hak prerogatif sebagai raja untuk 

menyembuhkan dan mengampuni. Dan ia bernubuat bahwa penyembuhan dan 


 

 

-24- 

 


 

pengampunan pada akhirnya akan datang melalui Mesias, ketika Mesias memulihkan 

kerajaan Allah di muka bumi. 

 Dan persis inilah yang dilakukan oleh Yesus. Ia memanggil orang untuk 

memasuki kerajaan Allah. Ia menawarkan kehidupan kepada mereka sebagai ganti 

kematian. Inilah berita keselamatan, berita kelepasan dari dosa. Dengarlah penjelasan 

Yesus di dalam Markus 2:9-11:  

 

“Manakah lebih mudah, mengatakan kepada orang lumpuh ini: 

Dosamu sudah diampuni, atau mengatakan: Bangunlah, angkatlah 

tilammu dan berjalan? Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini 

Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa” —berkatalah Ia kepada 

orang lumpuh itu—: “Kepadamu Kukatakan, bangunlah, angkatlah 

tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu!” (Markus 2:9-11). 

 

Yesus membuat semua orang takjub ketika Ia mengumumkan bahwa, sebagai 

Anak Manusia yang telah mendatangkan kerajaan Allah, Ia memiliki otoritas di bumi 

untuk mengampuni dosa. 

Di dalam Yesus, pemerintahan Allah telah datang. Pemerintahan Allah sebagai 

raja, kerajaan Allah ada di sini di atas bumi. Itu berarti berkat-berkat bagi umat Allah. Itu 

berarti bahwa damai sejahtera Allah yang telah Yesaya nubuatkan beratus-ratus tahun 

sebelumnya, akhirnya datang juga. 

Dengan mengingat bukti-bukti ini, marilah kita membahas kosakata yang 

digunakan oleh kitab-kitab Injil untuk berbicara tentang Yesus dan kerajaan itu. 

 

 

Kosakata 

 

 Satu alasan yang membuat orang-orang Kristen terkadang tidak langsung melihat 

penekanan Kitab-Kitab Injil pada kerajaan Allah adalah karena para penulis Injil 

menggunakan begitu banyak kata yang berbeda untuk membicarakannya. Yang jelas, 

mereka menggunakan kata-kata seperti “raja” dan “kerajaan”. Tetapi mereka juga 

menggunakan kata-kata seperti “ memerintah sebagai raja (reign)”, “memerintah (rule)”, 

“otoritas”, “takhta (throne),” “Anak Daud” dan banyak kata lain yang menunjuk kepada 

kedaulatan dan kendali Allah. 

 

Para penulis Perjanjian Baru menggunakan berbagai macam 

kosakata untuk berbicara tentang Kerajaan Allah, dan bukan hanya 

kata-kata yang eksplisit, tetapi mereka juga menggunakan konsep-

konsep yang berkaitan. Jadi kita bisa melihat, misalnya, bahwa gelar 

untuk Yesus seperti Khristos, yang berarti “Mesias”, “Yang Diurapi”, 

yang dalam bahasa Perjanjian Lama berbicara mengenai sang raja, 

anak Daud.  Atau kita dapat melihat di dalam kata seperti kurios, 

atau Tuhan, yang juga merupakan gelar untuk Yesus, yang kembali 

berbicara tentang Dia sebagai Raja, sebagai seseorang seperti Kaisar. 

Kaisar juga memiliki gelar itu. Jadi, di dalam konteks dan zaman 


 

 

-25- 

 


 

para penulis Perjanjian Baru, orang akan memahami otoritas yang 

disampaikan lewat kata seperti “Tuhan.” Tentunya, frasa yang paling 

penting yang kita miliki adalah frasa “kerajaan Allah”, atau di dalam 

kasus Matius, khususnya “Kerajaan Surga”. Maka frasa itu 

berbicara mengenai dua hal. Satu tentang cakupan yang pasti dari 

pemerintahan Kristus atas umat-Nya, tetapi yang kedua lebih berupa 

gagasan verbal, semacam pemerintahan Allah sebagai raja, otoritas 

Allah yang memerintah umat-Nya. Jadi, konsep-konsep yang 

berkaitan, seperti misalnya konsep ketaatan, tidak secara eksplisit 

berbicara tentang Kerajaan Allah, tetapi tentunya hal ini tersirat di 

dalam kaitannya dengan otoritas sang raja dan jenis ketaatan dan 

bahkan penyembahan yang dituntut dalam relasi dengan Yesus. 

 

— Dr. Greg Perry 

 

 Satu contoh, kisah Yesus yang menyembuhkan orang lumpuh di dalam Markus 

2:1-12 tidak menggunakan kata “raja” atau “kerajaan.” Namun, ayat 10 memaksa kita 

untuk melihat makna kerajaan dari seluruh kisah ini ketika Yesus berkata,”Anak Manusia 

memiliki otoritas di bumi untuk mengampuni dosa.” Kerajaan Allah telah datang ke bumi 

di dalam karya penyembuhan yang penuh kuasa dari Yesus dan ucapan pengampunan-

Nya. Bahkan, berdasarkan latar belakang nubuat-nubuat dalam Perjanjian Lama yang 

menjelaskan sifat kerajaan Allah yang penuh kemuliaan dan berkat, maka setiap hal baik 

yang Yesus lakukan dapat dikatakan merupakan kecapan tertentu dari kerajaan Allah. 

 

Dari sudut penantian dan pengharapan Perjanjian Lama akan 

Kerajaan Allah, khususnya dari kitab Yesaya, pengharapan akan 

kedatangan Allah untuk memerintah dan menjadi raja yang 

menegakkan kerajaan-Nya adalah pengharapan akan sebuah masa 

pemulihan, masa ketika semuanya akan dipulihkan. Karena itu salah 

satu hal yang kita lihat dikerjakan dalam pelayanan Yesus dan di 

dalam Kitab-Kitab Injil sendiri adalah pelayanan penyembuhan 

Yesus dan pemulihan-Nya terhadap umat-Nya, tindakan-Nya 

membangkitkan anak laki-laki yang mati, dan menghentikan 

pendarahan, memulihkan lengan yang patah, dan mencelikkan mata 

yang buta. Hal-hal ini bukan hanya bukti dari kuasa dan otoritas 

Yesus secara apologetis, walaupun sudah pasti semuanya itu memang 

adalah bukti dari kuasa dan otoritas Yesus. Semuanya itu bukan 

hanya manifestasi-manifestasi dari kuasa Allah, tetapi sebenarnya 

merupakan kesaksian bagi pengharapan bahwa pemerintahan Allah 

sebagai Raja, sifat rajani-Nya yang memulihkan, kerajaan-Nya yang 

memulihkan, sedang datang dan sekarang telah datang di dalam 

Yesus. Karena itu, inilah satu di antara sekian banyak cara yang di 

dalamnya kita melihat Kerajaan Allah itu diwujudkan, bahkan 

sekalipun tanpa menyebut kerajaan Allah itu sendiri. 

 

— Dr. Jonathan Pennington 


 

 

-26- 

 


 

 

Setelah melihat beberapa bukti bahwa Yesus mendatangkan Kerajaan Allah dan 

membahas kosakata yang digunakan oleh kitab-kitab Injil untuk berbicara tentang 

kerajaan Yesus, marilah secara singkat kita membahas tahapan-tahapan kehadiran 

kerajaan Yesus. 

 

 

 

 

Tahapan-tahapan 

 

 Yesus mengajarkan bahwa pengalaman kerajaan yang sedang ditawarkan-Nya 

bukanlah gambaran yang lengkap. Tahapan lainnya dari kerajaan itu masih belum datang. 

Suatu waktu kelak, kerajaan Allah akan datang dalam segala kepenuhannya. Yesus 

menggambarkan hari itu di dalam Lukas 21:27-28: 

 

Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam 

awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya. Apabila 

semuanya itu mulai terjadi, bangkitlah dan angkatlah mukamu, 

sebab penyelamatanmu sudah dekat (Lukas 21:27-28). 

 

 Banyak teolog Yahudi telah menafsirkan, Perjanjian Lama mengajarkan bahwa 

ketika Mesias datang, Ia akan menyingkirkan zaman dosa dan maut ini sekaligus, dan 

menggantinya dengan zaman kerajaan Allah. 

 Tetapi Yesus menjelaskan bahwa Ia sedang mendatangkan kerajaan itu secara 

bertahap. Ia meresmikan kerajaan itu selama pelayanan-Nya di bumi. Kerajaan itu terus 

berlanjut sampai sekarang sementara Ia memerintah dari surga. Dan kerajaan tersebut 

akan disempurnakan atau digenapi pada masa yang akan datang ketika Ia datang kembali.  

 

Dalam Yudaisme apokaliptik, semua realitas dipisahkan ke dalam 

dua periode: zaman sekarang yang jahat dan zaman yang akan 

datang. Dan ada antisipasi bahwa ketika Allah memperkenalkan 

kerajaan-Nya di akhir-zaman, zaman yang akan datang, maka hal itu 

akan ditandai dengan bencana, terjadi secara tiba-tiba dan secara 

mutlak. Anda langsung berpindah dari periode sebelum kerajaan ke 

periode kerajaan—zaman kerajaan. Tetapi dalam Perjanjian Baru, 

Anda menjumpai apa yang saya sebut sebagai perpanjangan 

eskatologi Perjanjian Baru, sehingga zaman kerajaan, seperti yang 

dibayangkan di dalam Yudaisme apokaliptik, kini dibagi lagi menjadi 

dua periode: masa kini, kerajaan surga yang “sudah” datang, dan 

kerajaan surga yang “belum” datang. 

 

— Dr. David Bauer 

 

 


 

 

-27- 

 


 

Ketika kita berbicara tentang Kerajaan Allah, kita sering kali 

mengatakan bahwa kerajaan itu “sudah datang,” tetapi sebenarnya, 

kita masih menantikan kedatangan kerajaan itu pada masa yang 

akan datang. Bahkan, Yesus mengajar kita untuk berdoa seperti itu: 

“Datanglah kerajaan-Mu sekarang seperti di dalam surga.” Dan ada 

pemahaman bahwa karena Sang Raja sudah datang, Ia telah dilantik 

dan menegakkan kerajaan-Nya di bumi ini.  Tetapi kita menantikan 

kedatangan-Nya kembali. Kedatangan Kristus yang kedua kali akan 

menjadi saat ketika semua manfaat penuh dari apa yang sudah Yesus 

lakukan ketika Ia datang pertama kali — yaitu implikasi-

implikasinya — akan terwujud pada akhirnya. Dan ada pemahaman 

bahwa setiap orang percaya bertugas mengumumkan kedatangan 

Sang Raja di masa mendatang saat mereka pergi untuk 

memberitakan injil kepada dunia ini. Karena itu kita mengajak 

manusia untuk bersiap sedia menyambut hari ketika Kristus akan 

datang kembali. Meskipun begitu, sebagai orang percaya kita tetap 

menikmati hak istimewa memiliki Kristus sebagai Tuhan kita 

sekarang, sehingga kita hidup di bawah pemerintahan-Nya sebagai 

raja sekarang, sambil menunggu hari ketika kita akan menikmati 

perwujudannya secara penuh, bukan hanya untuk kita, tetapi 

sesungguhnya untuk seluruh ciptaan juga. 

 

— Dr. Simon Vibert 

 

 Tidak heran jika kebanyakan orang Yahudi pada abad pertama menolak Yesus 

karena kerajaan yang Ia gambarkan bukanlah kerajaan yang mereka harapkan dan 

inginkan. Mereka mengharapkan seorang raja dan suatu kerajaan yang akan 

menggulingkan pemerintahan Romawi dan membebaskan orang-orang Yahudi dari 

penindasan bangsa Romawi. Ketika Yesus tidak menunjukkan bahwa Ia ingin menjadi 

raja yang seperti itu, banyak yang berpaling dan pergi meninggalkan-Nya, seperti yang 

kita lihat dalam Lukas 17:20-25 dan Yohanes 6:60-69. 

 Dan tentu saja, penolakan ini pada akhirnya menyebabkan Yesus dieksekusi. Ironi 

agung dari Kitab-Kitab Injil adalah bahwa kematian Yesus di kayu salib yang merupakan 

puncak dari permusuhan terhadap diri-Nya sebagai raja, pada saat yang sama merupakan 

kemenangan-Nya sebagai raja dan kemenangan kerajaan-Nya. Kebangkitan dan 

kenaikan-Nya adalah jalan menuju takhta kerajaan-Nya di sebelah kanan Allah Bapa. 

Itulah sebabnya Yesus menggunakan waktu empat puluh hari di antara kebangkitan-Nya 

dan kenaikan-Nya untuk mengajarkan kepada murid-murid tentang Kerajaan Allah, 

seperti yang dilaporkan Lukas dalam Kisah Para Rasul 1:3. 

Dalam Matius 28:18, Yesus memberikan penjelasan ini sebelum Ia naik ke surga: 

 

Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. 

(Matius 28:18). 

 


 

 

-28- 

 


 

 Kerajaan Allah adalah tema kabar baik yang menyatukan peristiwa-peristiwa 

kehidupan Yesus dalam Kitab-Kitab Injil. Kitab-Kitab Injil memberitakan kabar baik 

bahwa Allah telah menepati janji-Nya, bahwa kerajaan-Nya telah datang di dalam Yesus. 

Dan kehidupan Yesus yang berkemenangan memberikan jaminan kepada kita bahwa 

suatu hari nanti Ia akan kembali untuk menyempurnakan kerajaan-Nya, mencurahkan 

semua berkat kerajaan itu kepada kita dalam segala kepenuhannya. 

 

 

 

 

KERAGAMAN 

 

 Sampai di sini, kita telah mempelajari Kitab-Kitab Injil berkenaan dengan 

karakter sastranya, melihat status kitab-kitab itu di dalam gereja, dan membahas 

kesatuannya. Kini, kita siap untuk membahas tentang keragaman yang membedakan satu 

sama lain.  

Sebagaimana telah kita lihat, keempat Injil menyajikan kisah yang sama tentang 

kedatangan kerajaan Allah, tetapi masing-masing melakukannya dengan caranya sendiri. 

Kita akan menyelidiki keragamannya ini dengan dua cara utama. Pertama, kita akan 

melihat beberapa kesulitan yang nyata di dalam menyelaraskan catatan-catatan Injil. Dan 

kedua, kita akan melihat penekanan yang berbeda dari setiap Injil. Kita mulai dengan 

membahas kesulitan-kesulitan yang langsung terlihat. 

 

 

 

KESULITAN-KESULITAN YANG NYATA 

 

 Ketika kita membaca Kitab-Kitab Injil, kesan yang sangat menonjol adalah betapa 

miripnya kitab-kitab itu. Namun demikian, ada bagian-bagian dalam catatan Injil-Injil itu 

yang seolah-olah mengatakan hal yang berbeda. Tentu saja sebagian besar dari perbedaan 

ini begitu kecil sehingga tidak dapat disebut sebagai pertentangan serius. Tetapi ada 

beberapa perbedaan yang menyulitkan bagi sebagian pembaca. Itulah sebabnya penting 

bagi kita untuk melihat beberapa perbedaan yang paling signifikan yang merupakan 

kesulitan-kesulitan yang nyata.  

 

 

Kronologi 

 

Beberapa dari perbedaan yang paling umum berkaitan dengan kronologi, urutan 

penceritaan peristiwa-peristiwa di dalam berbagai Injil.  

 Sebagai narasi biografis, masing-masing injil mengikuti urutan waktu yang pada 

dasarnya sama. Masing-masing dimulai dengan kelahiran Yesus, kemudian beralih 

kepada kematian-Nya, dan akhirnya kebangkitan-Nya. Tetapi Kitab-Kitab Injil sering 

kali mendaftarkan beberapa peristiwa lain dalam kehidupan Yesus dengan urutan yang 


 

 

-29- 

 


 

berbeda. Alasannya adalah karena Kitab-Kitab Injil kadang-kadang mengelompokkan 

peristiwa-peristiwa menurut prioritas yang cukup dapat diterima pada abad pertama tetapi 

mungkin tidak memenuhi harapan kita di zaman modern. Ketimbang mengikuti prioritas 

kronologis secara ketat, Kitab-Kitab Injil terkadang menyusun episodenya menurut tema 

atau geografi. Sebagai contoh, Markus menceritakan kisah Yesus ditolak di kampung 

halamannya dalam Markus 6:1-6. Tetapi Lukas menempatkannya lebih awal di dalam 

narasinya, dalam Lukas 4:14-30, sehingga itu menjadi kisah pertama dalam pelayanan 

publik Yesus. Injil Lukas lebih menonjolkan peristiwa itu ketimbang Markus. Dan Lukas 

bahkan menceritakan versi yang lebih panjang dari kisah itu untuk menekankan tema 

penolakan. 

 Para penulis Injil kurang tertarik mempertahankan catatan kronologis yang persis 

dalam perjalanan pelayanan Yesus ketimbang mengkomunikasikan dengan jelas 

kedatangan kerajaan dalam ajaran dan tindakan-Nya.  

 

 

Penghilangan 

 

 Perbedaan jenis kedua adalah penghilangan materi di dalam satu atau lebih Kitab 

Injil. Sebagai contoh, Yohanes tidak menyebutkan Perjamuan Tuhan dalam Injilnya. 

Penghilangan seperti ini dapat dijelaskan dengan beberapa cara. Penghilangan ini 

mungkin hanya disebabkan oleh penekanan berbeda dari para penulis. Atau mungkin 

disebabkan karena para penulis Injil yang belakangan tidak merasa perlu untuk 

mengulangi bagian yang muncul dalam kitab-kitab dari para penulis Injil sebelumnya. 

Apapun alasannya, penghilangan ini tidak menyiratkan perbedaan pendapat atau 

pertentangan di antara para penulis Injil. 

 Pikirkanlah tentang percakapan Anda dengan beberapa orang. Setiap orang yang 

berbicara tidak merasa perlu mengulangi segala sesuatu yang sudah orang lain katakan . 

Sebaliknya, setiap orang berfokus untuk menambahkan perspektif pribadinya secara 

khusus, mungkin dengan beberapa detail baru, dan mungkin dengan penekanan yang 

berbeda. 

 Kitab Suci berulang kali jelas-jelas melakukan hal ini. Misalnya, dalam 2 

Tawarikh 9:29, penulis Tawarikh secara gamblang mengatakan bahwa ia menghilangkan 

detail-detail yang sudah dicatat oleh para penulis lain. Ini juga terjadi setidaknya tiga kali 

dalam 2 Tawarikh, dan sering kali terjadi dalam Kitab 1 dan 2 Raja-Raja. Jadi, 

seharusnya tidaklah mengejutkan jika seorang penulis Injil menghilangkan materi penting 

yang sudah disebutkan oleh penulis yang lain. 

 

 

 

Peristiwa-Peristiwa yang Berbeda 

 

 Tipe kesulitan ketiga yang umum dijumpai adalah persamaan di antara peristiwa-

peristiwa yang berbeda yang terjadi dalam pelayanan Yesus. Maksudnya, kadang-kadang 

dua Injil tampaknya menggambarkan peristiwa yang sama dengan cara yang berbeda, 


 

 

-30- 

 


 

tetapi mungkin saja keduanya sebenarnya sedang menggambarkan dua peristiwa yang 

serupa tapi tak sama. 

 Penting untuk diingat bahwa Yesus adalah seorang pengkhotbah keliling. Artinya, 

Dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dia juga melakukan banyak mukjizat yang 

sama jenisnya di tempat-tempat yang berbeda, menyembuhkan banyak orang yang buta 

atau lumpuh. Dan tentu saja, Yesus menjawab banyak pertanyaan dan tantangan yang 

sama berulang kali. 

 Selain itu, orang menanggapi Yesus dengan cara yang sama pada kesempatan 

yang berbeda. Perhatikan catatan mengenai pengurapan Yesus dalam Lukas 7:36-50 dan 

Markus 14:3-9. Dalam Injil Lukas, Yesus ada di rumah seorang Farisi, tetapi dalam Injil 

Markus, Dia berada di rumah Simon si Kusta. Ini bukan dua laporan yang bertentangan 

mengenai peristiwa yang sama. Sebaliknya, keduanya adalah laporan dari dua peristiwa 

yang berbeda.  

 

 

Ucapan-Ucapan Yang Berbeda 

 

 Jenis keempat dari kesulitan yang nyata adalah kebingungan yang disebabkan 

oleh ucapan-ucapan yang berbeda namun memiliki isi yang sama. 

 Salah satu contoh yang paling terkenal mengenai hal ini adalah Khotbah Yesus di 

Bukit dalam Matius 5:1-7:29 dari injilnya, dan rangkaian pengajaran yang sama dari 

Lukas dalam Lukas 6:17-49. Dalam Matius pasal 5:1, kita membaca bahwa hal itu terjadi 

di atas bukit. Namun dalam Lukas 6:17, kita diberitahu bahwa hal itu terjadi di tempat 

yang datar. 

 Setidaknya ada tiga pendekatan terhadap masalah ini. Pertama, baik Matius 

maupun Lukas mungkin sedang berbicara tentang khotbah yang sama yang diberikan 

pada waktu dan tempat yang sama. Sisi Barat Laut Danau Galilea bukanlah daerah 

perbukitan yang turun naik, tetapi lereng bukit yang landai di atas permukaan laut. 

Dataran tinggi ini juga memiliki banyak daerah yang lebih kecil yang relatif datar, 

sehingga geografi yang sama bisa disebut bukit seperti dalam Matius dan tempat yang 

datar seperti dalam Lukas. Kedua, ini mungkin merupakan contoh dari praktik kuno 

dalam menyusun sebuah pidato, yang menggabungkan hal-hal yang Yesus katakan pada 

berbagai kesempatan berbeda ke dalam satu khotbah. Ini adalah teknik yang digunakan 

oleh para sejarawan kuno dan teknik ini tidak menimbulkan pertanyaan tentang integritas 

atau keandalan. Ketiga, mungkin juga Yesus mengkhotbahkan dua khotbah yang sangat 

mirip pada dua hari yang berbeda, dalam dua lokasi yang berbeda: satu di gunung dan 

satu di tempat datar. Karena gaya pelayanan Yesus, tentunya sangat masuk akal untuk 

mengasumsikan bahwa Yesus akan mengulangi sebagian besar ajaran-Nya kepada para 

pendengar yang baru yang belum mendengarnya. 

 Dengan mengamati bermacam cara untuk menyerasikan berbagai perbedaan 

dalam Kitab-Kitab Injil, kita bisa diyakinkan bahwa kesaksian yang manunggal dari 

Kitab-Kitab Injil mengenai kehidupan dan pelayanan Yesus itu benar adanya. Ya, 

memang seolah ada ketidaksesuaian dalam rinciannya. Tetapi ada juga penjelasan yang 

masuk akal untuk setiap jenis perbedaan. Dan ketika kita menemukan bahwa Yesus 

mengajarkan hal yang sama pada kesempatan yang berbeda, kita dapat melihat 


 

 

-31- 

 


 

konsistensi pelayanan dan pemberitaan-Nya, dan menemukan berbagai cara untuk 

menerapkan ajaran-ajaran-Nya dalam kehidupan kita. 

 

 Kita mulai melihat keragaman atau variasi di antara keempat Injil dengan 

bertanya tentang kesulitan-kesulitan yang nyata di dalam teks. Maka, kini, kita siap 

melanjutkan dengan melihat keragaman dalam empat Kitab Injil dengan mempelajari 

penekanan yang khas di dalamnya. 

 

 

 

PENEKANAN YANG KHAS 

 

 Karena setiap Kitab Injil ditulis oleh seorang penulis yang unik yang membawa 

perspektif dan perhatiannya masing-masing terhadap kehidupan dan pelayanan Yesus, 

maka ada perbedaan-perbedaan di antara keempat Injil. Mengetahui bahwa masing-

masing Injil itu diilhami oleh Roh Kudus, kita meyakini bahwa setiap catatan itu bebas 

dari kesalahan dan karena itu tidak saling bertentangan.  Tetapi bukan berarti bahwa tidak 

ada perbedaan. Roh Kudus menggunakan kepribadian, ketertarikan, dan situasi pelayanan 

para penulis manusia untuk membentuk perbedaan-perbedaan itu. Karena itu, jika kita 

ingin menerima semua berkat yang ingin diberikan oleh Roh Kudus kepada kita, kita 

harus memperhitungkan keunikan pendekatan masing-masing Kitab Injil ketika kita 

membacanya. 

 Dalam banyak situasi kehidupan, kita mendapati bahwa orang yang berbeda 

membicarakan kebenaran yang sama dengan cara yang berbeda. Siapapun yang telah 

menyaksikan anak-anak kecil bermain, tahu bahwa satu peristiwa dapat memiliki 

beberapa interpretasi yang beragam namun selaras. Setiap anak memiliki perspektifnya 

sendiri terhadap permainan yang mereka mainkan. Hanya dengan mendengarkan masing-

masing dari mereka berbicara tentang permainan itu, barulah kita bisa merangkai suatu 

gambaran yang utuh mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Anak yang satu mungkin 

sangat antusias dengan warna-warna dari mainan-mainan itu. Yang lain mungkin lebih 

tertarik untuk menggambarkan suara yang dihasilkan oleh mainan-mainan itu . Yang 

lainnya mungkin bersemangat melaporkan bahwa mereka telah berlarian ke sana ke mari. 

Perspektif-perspektif yang berbeda ini tidak bertentangan satu sama lain, tetapi 

menunjukkan bahwa setiap anak menemukan bagian tertentu dari permainan itu yang 

lebih menarik daripada bagian lainnya. 

 Dengan cara yang sama, ketertarikan dan perhatian masing-masing penulis Injil 

sendiri tercermin dalam catatannya tentang kisah Injil. Tidak ada dua catatan yang persis 

sama. Semua kisah Injil Perjanjian Baru menggambarkan Yesus yang sama, tetapi kisah-

kisah itu sering membicarakan Dia dengan cara yang berbeda dan menyoroti aspek yang 

berbeda dari pelayanan-Nya.  

 

Kita memiliki empat kitab Injil, tetapi satu Yesus. Apa yang 

seharusnya kita lakukan? Ya, pertama-tama, itu menunjukkan 

kecerdasan orang-orang Kristen yang paling awal yang mengakui 

bahwa Yesus adalah tokoh sejarah yang terlalu rumit untuk 


 

 

-32- 

 


 

dimasukkan ke dalam satu potret. Kitab-Kitab Injil seperti potret, 

dan karena itu Yesus dapat dikenali di dalam keempat Injil kanonis, 

namun pada saat yang sama mereka telah mengambil berbagai sudut 

pandang berbeda berdasarkan kejadian-kejadian yang menampilkan 

tokoh Yesus dalam cara-cara yang beragam. Saya akan memberikan 

sebuah contoh. Dalam Injil Yohanes, kita pada dasarnya tidak 

menemukan perumpamaan dan pengusiran setan. Dalam Injil 

Markus, Yesus dicirikan dengan perumpamaan, dan mukjizat yang 

paling sering di bagian awal Injil Markus adalah pengusiran roh 

jahat. Nah, ini adalah potret-potret yang berbeda tetapi jelas Yesus 

yang sama. Dan, setiap penulis Injil memiliki sudut pandang yang 

sedikit berbeda tentang Yesus. Bukan dalam pengertian bahwa 

penulis yang satu menganggap bahwa Dia adalah Kristus sedangkan 

penulis lainnya tidak, tetapi bahwa mereka memiliki penekanan yang 

berbeda dalam cara mengungkapkan bahwa Yesus adalah Mesias 

Yahudi dan pada saat yang sama adalah Juruselamat dunia. Dan 

karena itu, mereka merasa bebas, dan memiliki kebebasan di bawah 

inspirasi untuk menekankan aspek dan bagian yang berbeda dari 

pelayanan Yesus, dan cara berbeda untuk membingkai pertanyaan 

dan memberikan jawabannya. 

 

— Dr. Ben Witherington 

 

 Ada banyak ciri dan tema yang berbeda dalam Kitab-Kitab Injil. Namun dalam 

pelajaran pengantar ini, kita akan berfokus pada cara masing-masing Kitab Injil 

menjawab dua pertanyaan: “Siapakah Yesus?” dan “Bagaimana kita mengikut Yesus?” 

Mari kita mulai dengan melihat bagaimana Matius menjawab pertanyaan-pertanyaan 

penting ini. 

 

 

Siapakah Yesus di dalam Injil Matius? 

 

 Dari semua penulis Injil, Matius adalah penulis yang paling tertarik untuk 

menyampaikan bahwa Yesus adalah raja mesianis Israel yang telah dinubuatkan di dalam 

Perjanjian Lama.  

Sebuah contoh kecil mengenai bagian-bagian di mana Matius menyebutkan Yesus 

sebagai raja meliputi: pasal 2 ayat 2 ketika orang Majus bertanya, di mana mereka bisa 

menemukan “raja orang Yahudi yang telah dilahirkan”; 7:21-23 di mana, sebagai Tuhan, 

Yesus berkata Dia tidak akan mengizinkan semua orang yang menyebut Dia “Tuhan” 

untuk masuk ke dalam kerajaan surga; 20:20-28 ketika ibu dari rasul Yakobus dan 

Yohanes meminta agar anak-anaknya diberi tempat istimewa di sisi Yesus dalam 

kerajaan; 25: 31-46 di mana Yesus menceritakan perumpamaan tentang penghakiman-

Nya sebagai Raja di hari terakhir, dan 27:37 di mana ironisnya Matius mencatat bahwa 

para tentara Romawi menaruh tanda di atas kepala Yesus di kayu salib yang berbunyi, 

“Inilah Yesus, Raja orang Yahudi.” 


 

 

-33- 

 


 

Ada harapan bahwa raja mesianis dari Allah akan menghadirkan kerajaan 

mesianis di bumi. Dia akan membebaskan Israel dari pengasingan dan dari musuh-

musuhnya. Dia akan memerintah dengan kebenaran, mewujudkan perdamaian dan 

kemakmuran. Yesus melakukan semuanya ini, tetapi Dia tidak melakukannya dengan 

cara yang diharapkan oleh orang Yahudi. 

Dengarlah perkataan Yesus di dalam Matius 5:17: 

 

Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan 

hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk 

meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya (Matius 5:17). 

 

Yesus memahami bahwa banyak orang Yahudi yang menyaksikan pelayanan-Nya akan 

berpikir bahwa Ia sedang menghancurkan taurat Allah dan gagal menggenapi janji-janji 

Perjanjian Lama. Itulah sebabnya Ia mengatakan dengan jelas dan tegas bahwa Ia sedang 

menggenapi hukum Taurat dan kitab para nabi bahkan sekalipun tampaknya tidak seperti 

itu. 

 Tidak hanya di dalam nas ini, tetapi dari waktu ke waktu, Matius melaporkan 

bahwa Yesus menggenapi satu aspek atau aspek lainnya dari Kitab Suci Perjanjian Lama, 

untuk menunjukkan bahwa Ia benar-benar raja mesianis Israel. 

 Jadi, menurut Matius, bagaimana kita mengikut Yesus? Yesus dengan sempurna 

menjalankan hukum Allah, tetapi bukan hanya itu yang Ia lakukan. Ia berkata bahwa 

menjalankan tuntutan lahiriah hukum taurat tidaklah cukup. Allah selalu menuntut para 

warga kerajaan-Nya untuk menaati Dia dari dalam hati. Kabar baik dari Injil adalah 

bahwa kerajaan itu telah datang, membawa pengampunan dan keselamatan bagi umat 

Allah, dan memberi kita hati baru yang taat. Dan hati kita yang diubahkan memberi kita 

kekuatan dan motivasi untuk mengikut Yesus dengan ketaatan yang penuh kasih, syukur 

dan sukacita.  

 

Ketika kita berbicara tentang menaati Allah dari dalam hati, istilah 

‘hati’ benar-benar merupakan istilah yang mencakup segalanya. Saya 

mengajarkan kepada orang-orang yang saya pimpin, urutannya 

adalah dari kepala ke hati ke tangan. Dengan cara inilah kita perlu 

menaati dan mengasihi Dia. Kepala akan menjadi tumpuan imajinasi, 

tumpuan pikiran, dan kita seharusnya mengasihi Allah dengan 

segenap pikiran kita. Kita seharusnya mengasihi Allah dengan 

segenap kasih sayang kita. Dan kita seharusnya mengasihi Allah 

dengan kedua tangan dan kedua kaki kita. Jadi, hati tidak hanya 

berarti organ vital di dalam tubuh kita. Hati adalah istilah yang 

mencakup segalanya. Jadi, apakah kita mengasihi Allah secara 

lahiriah? Ya, memang. Tetapi kita juga mengasihi Allah dengan kasih 

sayang kita. Kita mengasihi Allah dengan seluruh keberadaan kita, 

dan saya percaya bahwa kata “hati” dengan tepat menunjuk kepada 

seluruh keberadaan itu. 

 

— Dr. Matt Friedman 


 

 

-34- 

 


 

 

 Sekarang setelah kita melihat bagaimana Injil Matius menjawab dua pertanyaan 

kita, marilah kita mempelajari apa yang Markus katakan.  

 

 

Siapakah Yesus di dalam Injil Markus? 

 

 Pertama, menurut Markus, siapakah Yesus? Di sepanjang catatannya, Markus 

menekankan bahwa Yesus adalah Anak Allah yang menderita yang telah mengalahkan 

musuh-musuh umat Allah. Markus mencatat banyak peristiwa mukjizat Yesus yang 

menunjukkan kuasa-Nya atas kuat-kuasa roh jahat. Meskipun Injil Markus jauh lebih 

singkat daripada Injil Matius dan Injil Lukas, Markus mencatat hampir semua mukjizat— 

semuanya berjumlah delapan belas.  

 Sejak sangat awal dalam Injil Markus, kita melihat bahwa Yesus adalah Anak 

Allah yang menaklukkan dan menderita. Dalam pasal pertama saja, Yohanes Pembaptis 

menubuatkan kedatangan Yesus, dan kemudian Yesus memulai pelayanan publik-Nya. 

Dia dibaptis, dicobai di padang gurun, memanggil murid-murid pertama-Nya, mengusir 

roh-roh jahat dan menyembuhkan banyak orang dari berbagai penyakit. Bahkan 

pembacaan sekilas terhadap narasi yang penuh-aksi dan bergerak sangat cepat ini 

menunjukkan bahwa Yesus dengan penuh kuasa menaklukkan musuh-musuh kerajaan 

Allah. Pembacaan yang lebih teliti juga menunjukkan bahwa Markus menggambarkan 

Yesus sebagai Anak Allah yang menderita sejak awal pelayanan-Nya. 

Sebagai contoh, dalam Markus 1:12-13 kita membaca catatan setelah baptisan 

Yesus: 

 

Segera sesudah itu Roh memimpin Dia ke padang gurun. Di padang 

gurun itu Ia tinggal empat puluh hari lamanya, dicobai oleh Iblis. Ia 

berada di sana di antara binatang-binatang liar dan malaikat-

malaikat melayani Dia (Markus 1:12-13). 

 

Yesus menderita akibat serangan bertubi-tubi dari Iblis sejak awal pelayanan publik-Nya. 

Dan gambaran tentang Yesus sebagai hamba yang menderita ini terus berkembang di 

sepanjang Injil Markus saat Yesus mengalami banyak penganiayaan dan penolakan. 

 Jadi, menurut Markus, bagaimanakah kita seharusnya mengikut Yesus, sang 

penakluk yang menderita? Di satu sisi, Injil Markus tidak memoles kehidupan Kristen 

dengan hal-hal yang manis. Markus menjelaskan pemuridan sebagai sebuah proses yang 

sulit dan sering kali membuat frustrasi, di mana kita bukan hanya menderita, tetapi juga 

melakukan kesalahan dan mengalami kegagalan. Bahkan, salah satu ciri khas Injil 

Markus adalah betapa seringnya murid-murid Yesus gagal memahami Dia atau berespon 

dengan iman. Dalam Markus 4:40, Yesus bertanya-tanya apakah murid-murid-Nya itu 

memiliki iman; di dalam pasal 6 ayat 52, murid-murid “tetap degil hatinya”; dalam 7:18, 

Yesus menuduh murid-muridnya "bodoh" karena mereka gagal untuk memahami ajaran-

Nya; dalam 9:18 para murid tidak mampu mengusir roh jahat; dalam 9:38-41 murid-

murid keliru saat berusaha menghalangi seorang pengusir setan karena mereka tidak 

mengenal orang itu; dan di dalam pasal 14, satu murid mengkhianati Yesus dan 


 

 

-35- 

 


 

menyerahkan-Nya kepada imam-imam kepala, satu murid lagi menyangkal bahwa dia 

mengenal Yesus dan murid-murid yang lainnya meninggalkan Dia.  

 Penekanan ini di dalam Injil Markus mengajarkan kepada kita setidaknya dua hal 

tentang mengikut Yesus. Pertama, seperti para murid, kita tidak akan selalu memahami 

Yesus. Bahkan, kita mungkin salah memahami banyak hal di dalam Alkitab. Jadi, kita 

perlu bersikap cukup rendah hati untuk mengakui bahwa kita semua masih perlu banyak 

belajar. Sebagai bagian dari hal ini, kita perlu menerima pengajaran Alkitab dengan iman, 

karena kita tahu bahwa firman Allah itu benar bahkan sekalipun firman itu tampak asing 

atau salah bagi kita. 

 Dan kedua, kesulitan-kesulitan dan penderitaan  tidak terelakkan bagi orang-orang 

Kristen. Ada banyak bahaya, banyak pencobaan untuk kita berhenti mengikut Dia. 

Dengarlah apa yang Yesus katakan dalam Markus 8:34-35: 

 

Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, 

memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau 

menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi 

barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia 

akan menyelamatkannya (Markus 8:34-35). 

 

Yesus mengajarkan bahwa kita perlu setia dalam komitmen kita kepada-Nya. Kita harus 

rela menderita seperti Yesus menderita, berdiri teguh melawan pencobaan dan serangan-

serangan rohani. Tapi perhatikan hal lainnya di dalam nas ini: Yesus bukan hanya Anak 

Allah yang menderita; tetapi Ia juga Anak Allah yang menaklukkan. Bahkan, Ia 

menaklukkan melalui kematian-Nya yang penuh penderitaan. Dan jika kita mengikut Dia 

dengan setia di dalam penderitaan bagi kerajaan-Nya, kita akan menerima upah hidup 

kekal.  

 

Penderitaan membuat kita memusatkan kesadaran kita pada hal 

yang benar-benar penting, membuat kita—karena penderitaan— 

sadar bahwa ini bukanlah segala-galanya. Ada sesuatu yang lebih 

besar yang menjadi tujuan hidup saya, dan saya masih memercayai 

Allah di tengah-tengah penderitaan itu karena saya tahu bahwa 

realitas dari apa yang saya miliki di dalam Kristus jauh lebih penting 

daripada kenyamanan, keamanan, dan kebahagiaan saya dan orang-

orang yang saya pedulikan. 

 

— Dr. John McKinley 

 

 

Yesus datang sebagai hamba yang menderita. Dan siapa saja yang 

mengikut Kristus perlu menyediakan tempat untuk penderitaan yang 

signifikan dalam hidupnya. Penderitaan merupakan bagian yang 

sangat penting dalam jati diri Yesus sehingga dalam dunia yang 

penuh dengan penderitaan ini, jika kita ingin menjadi bagian dari 

pelayanan Kristus, kita perlu memiliki tempat untuk penderitaan 


 

 

-36- 

 


 

dalam hidup kita sendiri. Bukan hanya penderitaan kita sendiri, 

tetapi penderitaan orang lain, sehingga kita benar-benar berdukacita 

dengan mereka yang berdukacita, dan bersedia menanggung 

penderitaan mereka dalam kehidupan kita juga, dan menjadi bagian 

dari penderitaan itu dan melayani dalam konteks itu. Dan ketika 

dalam dunia ini kita hidup dengan kategori penderitaan dan 

pengakuan sebagai salah satu cara utama yang Allah tetapkan bagi 

kita untuk melayani sambil kita mengikut Kristus, barulah kita mulai 

memahami isi hati Tuhan. Dan kemudian, Tuhan memurnikan kita. 

Penderitaan ini menghasilkan karakter, menghasilkan pengharapan, 

menghasilkan ketekunan. Dan karena itu kita dapat melihat Tuhan 

bekerja untuk memurnikan hidup kita, di tengah-tengah penderitaan 

sama seperti dengan, jika bukan melebihi, cara lainnya. 

 

— Dr. K. Erik Thoennes 

  

 Dengan pemahaman tentang Matius dan Markus, marilah kita membahas 

bagaimana Lukas menjawab pertanyaan kita tentang Yesus dan para pengikut-Nya. 

 

 

Siapakah Yesus di dalam Injil Lukas? 

 

 Injil Lukas menjawab pertanyaan “Siapakah Yesus?” dengan menyatakan bahwa 

ia adalah Juruselamat dunia yang penuh belas kasihan. Yesus membawa keselamatan 

Allah kepada orang kaya maupun orang miskin, kepada para pemimpin agama dan juga 

kepada orang yang dibuang. Kabar baik Yesus adalah untuk semua orang—bahkan untuk 

mereka yang tidak diperhatikan dan dihina. Lukas menekankan hal ini dalam banyak 

cara. Yesus menghormati Maria dan Marta ketika banyak orang menganggap perempuan 

lebih rendah. Lukas mencatat berbagai perumpamaan dan narasi yang menampilkan para 

wanita, orang sakit dan orang cacat, dan bahkan orang-orang non-Yahudi, sebagai orang-

orang yang layak dipuji dan diteladani. Yesus memuji janda yang memberikan uang 

simpanannya yang hanya sedikit di Bait Suci. Lukas menceritakan kisah pemungut cukai 

bernama Zakheus yang dihina orang, yang responnya kepada Yesus menjadi contoh bagi 

semua pembaca Injil Lukas. Berkali-kali, Lukas mencatat perhatian Yesus terhadap 

mereka yang ditolak atau diabaikan oleh masyarakat.  

Sebagai satu contoh, dengarkan catatan dari Lukas 7:12-16: 

 

Setelah Ia [Yesus] dekat pintu gerbang kota, ada orang mati diusung 

ke luar, anak laki-laki, anak tunggal ibunya yang sudah janda... Dan 

ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas 

kasihan, lalu Ia berkata kepadanya: “Jangan menangis!” Sambil 

menghampiri usungan itu Ia menyentuhnya, dan sedang para 

pengusung berhenti, Ia berkata: “Hai anak muda, Aku berkata 

kepadamu, bangkitlah!” Maka bangunlah orang itu dan duduk dan 

mulai berkata-kata, dan Yesus menyerahkannya kepada ibunya. 


 

 

-37- 

 


 

Semua orang itu ketakutan dan mereka memuliakan Allah, sambil 

berkata: “Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita,” 

dan “Allah telah melawat umat-Nya” (Lukas 7:12-16). 

 

 Dalam dunia Romawi abad pertama, seorang janda yang kehilangan anak laki-

lakinya akan memiliki sedikit pemasukan, dan tidak memiliki banyak kesempatan untuk 

mendapatkan pekerjaan. Dengan menekankan belas kasihan Yesus kepada janda itu, 

Lukas menunjukkan bahwa karya Tuhan sebagai Juruselamat ditujukan bahkan bagi 

orang yang miskin dan tak berdaya. Seperti komentar orang-orang di akhir kisah ini, 

pelayanan Yesus kepada orang yang miskin dan tidak berdaya adalah bukti bahwa Allah 

telah datang untuk menolong umat-Nya.  

 Jadi, bagaimanakah Injil Lukas menjawab pertanyaan kedua: Bagaimana kita 

mengikut Yesus? Sejalan dengan keprihatinan Lukas kepada orang miskin, satu hal yang 

dapat kita lakukan adalah berbelas kasihan terhadap orang lain. Kita seharusnya 

mempedulikan orang miskin, dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kita 

seharusnya rela memberikan harta benda kita, makanan, uang dan waktu kita untuk 

memenuhi kebutuhan mereka. Bahkan, Allah sering mengutus orang-orang Kristen yang 

suka memberi untuk menjawab doa-doa orang yang berkekurangan. Seperti yang Yesus 

katakan dalam Lukas 12:33: 

 

Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah! Buatlah bagimu 

pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di sorga yang 

tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak 

dirusakkan ngengat (Lukas 12:33). 

 

Apabila kita setia mengikut Yesus dengan memelihara umat-Nya, maka Ia menghadiahi 

kita dengan warisan yang kekal.  

 Cara lainnya untuk mengikut Yesus adalah dengan bersandar dengan yakin pada 

fakta bahwa Allah akan memenuhi kebutuhan kita juga.  

Dengarlah perkataan Yesus dalam Lukas 12:22-31: 

 

Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu 

makan, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang 

hendak kamu pakai….Jadi, janganlah kamu mempersoalkan apa 

yang akan kamu makan atau apa yang akan kamu minum dan 

janganlah cemas hatimu….Tetapi carilah Kerajaan-Nya, maka 

semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu. (Lukas 12:22-31). 

 

Sebagai anggota kerajaan Allah, kita dapat meyakini bahwa raja agung kita, Yesus 

Kristus akan memelihara kita dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita.  

 Dan penekanan untuk memercayai Juruselamat ini erat kaitannya dengan dua 

tema lain di dalam Injil Lukas: damai sejahtera dan sukacita. Sebagai contoh, di bagian 

awal Injil Lukas, dalam Lukas 2:10-14, kita membaca berita ini yang disampaikan oleh 

malaikat: 

 


 

 

-38- 

 


 

Aku memberitakan kepadamu kesukaan besar … kemuliaan bagi 

Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi (Lukas 

2:10-14). 

 

 Dan duapuluh-dua pasal sesudah itu, Lukas mengakhiri Injilnya dengan cara yang 

sama dengan cara ia memulai Injilnya. Di akhir kisahnya, para murid sedang mengikut 

Yesus dan mengalami sukacita yang telah dinubuatkan sebelumnya oleh para malaikat di 

dalam pasal 2. 

 

Tiga kali di dalam percakapan itu dalam Yohanes 20, Yesus berkata, 

“Damai sejahtera bagi kamu.” Dan menurut saya, Ia bukan sedang 

memberi salam. Meskipun kamu baru saja mengalami kesengsaraan, 

kamu telah kehilangan seorang yang kaukasihi, dan kamu tidak 

pernah tahu Aku akan kembali, kamu akan segera berada di bawah 

kediktatoran orang-orang Romawi, kamu telah hidup di bawah 

penindasan, keadaan itu akan menjadi jauh lebih buruk, Aku ingin 

kamu tahu bahwa Aku ada di sini, dan bila Aku ada di sini, Aku 

membawa damai sejahtera yang hakiki. Akulah sukacitamu. Jadi, 

apapun yang terjadi, apapun yang terjadi di dalam kehidupan 

lahiriahmu, apapun yang ada di dalam hidupmu, jika kamu mengenal 

Aku, itulah dasar untuk damai sejahtera yang sesungguhnya. Kata 

Alkitabnya adalah “shalom,” yaitu kekuasaan dan pemerintahan 

Allah yang benar dan holistis. Apapun yang akan kamu hadapi, Aku 

membawa sukacita. Aku bukan hanya ada di sini untuk 

menenangkanmu. Aku ada di sini untuk memberimu sukacita yang 

nyata, sukacita yang melampaui emosi. Sukacita yang berupa 

pemahaman positif bahwa Aku memegang kendali atas seluruh 

dunia, dan bahwa Aku tidak akan membiarkan sesuatu pun terjadi 

padamu tanpa melalui Aku, kata Yesus. Saya menyukai cara bicara 

Paulus ketika ia berbicara tentang buah Roh. Ia berkata ketika Roh 

Kudus datang untuk memenuhi kehidupan orang Kristen, kamu 

semua akan mengasihi; kalimat berikutnya adalah, kamu akan 

memiliki sukacita. Dan menurut saya keduanya tidak dapat 

dipisahkan. Tentu saja, ia menambahkan tujuh hal lain, tetapi hal 

yang utama adalah bahwa ketika kasih Allah dicurahkan atau 

diterima dalam hati saya, responnya adalah, saya tidak lagi hidup 

dengan pemahaman saya sendiri tentang realitas, yang mungkin akan 

menjadi cukup sinis, cukup pesimis, cukup negatif. Tetapi ketika 

Yesus hadir, satu-satunya respon adalah, aku mengalami damai 

sejahtera. Ia telah menghadirkan kuasa kebangkitan-Nya dalam 

hidup saya, dan saya memiliki sukacita, saya memiliki pengharapan, 

karena di dalam Yesus, tidak ada kekalahan. Tidak ada “hal-hal yang 

berantakan.” Ia menyatukan segalanya, secara holistik dan lengkap. 

 

— Dr. Bill Ury 


 

 

-39- 

 


 

 

Dengarlah kata-kata terakhir Lukas di dalam pasal 24:52-53: 

 

Mereka sujud menyembah kepada-Nya, lalu mereka pulang ke 

Yerusalem dengan sangat bersukacita. Mereka senantiasa berada di 

dalam Bait Allah dan memuliakan Allah (Lukas 24:52-53). 

 

 Di dalam Injil Lukas, mengikut Yesus berarti bersukacita di dalam keselamatan 

kita dan di dalam seluruh berkat Allah, bersandar kepada-Nya dengan penuh damai 

sejahtera, percaya bahwa Dia akan memenuhi seluruh kebutuhan kita, dan bersedia 

dipakai oleh-Nya untuk membawa berkat-berkat yang sama ini kepada orang lain.  

 Setelah melihat bagaimana Matius, Markus dan Lukas menjawab pertanyaan-

pertanyaan ini, “Siapakah Yesus?” dan “Bagaimana kita mengikut Dia?”, kita siap untuk 

membahas bagaimana Yohanes menjawab pertanyaan-pertanyaan ini secara unik.  

 

 

Siapakah Yesus di dalam Injil Yohanes? 

 

 Di dalam Injilnya, Yohanes menggambarkan Yesus sebagai Anak Allah yang 

menggenapi rencana keselamatan kekal. Dengan menekankan jati diri Yesus sebagai 

Anak Allah, Yohanes berbicara tentang relasi yang unik antara Yesus dengan Bapa-Nya. 

Yesus adalah wahyu tertinggi dari Bapa-Nya dan satu-satunya yang mampu menyediakan 

hidup kekal bagi semua orang yang beriman kepada-Nya. Sebagai contoh, jika tiga 

penulis Injil lainnya memulai catatan mereka dengan kelahiran Yesus atau pelayanan-

Nya di bumi ini, Yohanes memulai Injilnya dengan mengatakan bahwa Anak Allah telah 

terlibat dalam penciptaan bersama dengan Bapa, dan sekarang Bapa sedang dinyatakan 

melalui Anak Tunggal-Nya.  

Cara lain yang Yohanes gunakan untuk mengkomunikasikan pesan yang mulia ini 

adalah di dalam pernyataan-pernyataan “Akulah ...” yang diucapkan oleh Yesus. Dalam 

pernyataan-pernyataan ini, Yesus secara tidak langsung menyebutkan nama perjanjian 

Allah yaitu “Yahweh,” yang kadang-kadang diterjemahkan “Yehova.” Dalam Keluaran 

3:14, Allah sendiri menjelaskan bahwa nama “Yahweh” pada dasarnya berarti “Aku 

adalah.” Yesus menyebutkan nama ini secara tidak langsung di dalam Yohanes 6:35, 

ketika ia berkata,”Akulah Roti Hidup.” Kita juga menemukannya di dalam 8:12 dan 9:5 

dalam kalimat “Akulah terang dunia.” Dan di dalam 10:7,9 kita membaca “Akulah 

pintu.” Di dalam 11:25, “Akulah kebangkitan dan hidup.” Dalam 14:6, “Akulah jalan, 

kebenaran dan hidup.” Di dalam 15:1, kita menemukan “Akulah pokok anggur yang 

benar.” Dan di dalam 8:58, Yesus membuat sebuah pernyataan klimaks, “Aku telah ada.” 

Di dalam setiap contoh itu, Yesus menyatakan diri-Nya sebagai penyandang nama Allah 

Perjanjian Lama yang sakral, dan Ia mewahyukan Allah di dalam pribadi-Nya sendiri. 

Tempat Yesus di pusat rencana kekal keselamatan dari Allah secara khusus nyata 

di dalam doa-Nya sebagai seorang Imam Besar di dalam Yohanes pasal 17. Dengarlah 

apa yang Yesus doakan di dalam Yohanes 17:24: 

 


 

 

-40- 

 


 

Ya Bapa, Aku mau supaya, di manapun Aku berada, mereka juga 

berada bersama-sama dengan Aku, mereka yang telah Engkau 

berikan kepada-Ku, agar mereka memandang kemuliaan-Ku yang 

telah Engkau berikan kepada-Ku, sebab Engkau telah mengasihi Aku 

sebelum dunia dijadikan (Yohanes 17:24). 

 

Yesus mengaitkan keselamatan para pengikut-Nya dengan kasih Bapa kepada Anak 

sebelum penciptaan. Maksud-Nya adalah bahwa keselamatan kita adalah pencurahan 

kasih Bapa kepada Yesus.  

 Jadi, jika Yohanes menggambarkan Yesus sebagai Anak Allah yang telah 

menggenapi rencana keselamatan yang kekal, bagaimanakah Injil Yohanes menjawab 

pertanyaan kita yang kedua? Bagaimanakah kita mengikut Yesus? 

 Dalam Injil Yohanes, cara utama untuk mengikut Yesus adalah dengan dikasihi 

oleh Allah, dan dengan saling menunjukkan kasih yang sama itu. Yesus memberikan 

teladan ini bagi kita untuk kita teladani dengan banyak cara. Sebagai contoh, kita 

melihatnya di dalam Yohanes 17:23-26, di mana Yesus berbicara tentang kasih Bapa 

kepada Anak. Kasih kekal dari Bapa kepada Anak inilah yang telah melatarbelakangi 

rencana kekal keselamatan yang Yesus genapi. Karena itu, masuk akal jika di dalam Injil 

Yohanes, pemuridan dicirikan dengan kasih. Seperti yang Yesus katakan kepada 

pengikut-pengikut-Nya dalam Yohanes 13:34-35: 

 

Kasihilah satu akan yang lain. Sama seperti Aku telah mengasihi 

kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian 

semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu 

jikalau kamu saling mengasihi (Yohanes 13:34-35, diterjemahkan 

dari NIV). 

 

Menurut Yohanes, kita mengikut Yesus dengan saling mengasihi dengan kasih-Nya itu.  

 Dengan cara ini, pemuridan itu bersumber dari dan dilaksanakan di dalam kasih. 

Kasih Allah bagi kita menjadi sumber dari pemuridan kita. Dan kasih Allah melalui kita 

kepada satu sama lain adalah ungkapan dari pemuridan kita. Ini menolong kita 

memahami mengapa Yohanes menyebut dirinya di sepanjang Injilnya sebagai “murid 

yang dikasihi Yesus,” dan bukan “murid yang mengasihi”. Ia tahu bahwa kemampuan 

yang dimilikinya untuk mengasihi orang lain berasal dari kedalaman kasih Yesus 

kepadanya. Pengikut-pengikut Yesus lebih dahulu dikasihi, dan kemudian mereka 

dipanggil untuk saling mengasihi.  

 

Orang mungkin bertanya-tanya apakah perbedaan-perbedaan di 

dalam ciri khas dari keempat kitab Injil menunjukkan bahwa 

keempat Injil itu tidak serasi, bahwa keempatnya menceritakan 

kisah-kisah yang bertentangan. Saya pikir itu samasekali tidak benar. 

Menurut saya, apa yang kita miliki di dalam keempat Injil adalah 

empat perspektif yang serasi terhadap kisah Yesus. Keempat Injil itu 

disatukan di dalam gagasan bahwa keempatnya menceritakan kepada 

kita sejarah dari orang ini, yang adalah inkarnasi Allah yang datang 


 

 

-41- 

 


 

ke dalam dunia untuk menyelamatkan orang-orang berdosa dari dosa 

dan maut. Dan masing-masing Injil memang melihat Yesus dari 

perspektif yang berbeda dan menekankan rincian yang berbeda dari 

kehidupan-Nya, tetapi berita dan perspektif itu tidak bertentangan, 

melainkan serasi. 

 

— Dr. Steve Cowan 

 

 

 

 

 

KESIMPULAN 

  

 Dalam pelajaran ini, kita telah diperkenalkan pada studi mengenai Kitab-Kitab 

Injil. Kita telah melihat karakter sastranya, memperhatikan bahwa Kitab-Kitab Injil 

adalah narasi historis yang dapat diandalkan. Kita juga telah membahas statusnya di 

dalam Gereja, dengan melihat bahwa keempatnya adalah bagian yang asli dari Kitab Suci 

Perjanjian Baru. Dan kita telah melihat keempat Injil itu dalam perbandingannya satu 

sama lain, dan menemukan bahwa semuanya menceritakan kisah yang sama tentang 

kerajaan Allah, meskipun masing-masing menggambarkan Yesus dan pemuridan di 

dalam kekhasannya masing-masing.  

 Memahami Kitab-Kitab Injil adalah hal yang amat sangat penting bagi setiap 

orang Kristen. Kita meletakkan seluruh keyakinan kita dalam kehidupan ini dan dalam 

kehidupan yang akan datang di dalam tangan Yesus, yang belum pernah kita jumpai 

secara langsung. Segala sesuatu yang kita ketahui tentang Dia, kita ketahui melalui 

Firman-Nya—khususnya melalui Kitab-Kitab Injil. Semoga hal-hal yang telah kita 

pelajari di dalam pelajaran pengantar ini telah mempersiapkan kita untuk mempelajari 

masing-masing dari keempat Injil dengan lebih mendalam, untuk dapat memahami 

bagaimana berita dari setiap penulis Injil berdampak bagi iman dan kehidupan kita.