Tampilkan postingan dengan label kaum Yahudi Etiopia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kaum Yahudi Etiopia. Tampilkan semua postingan

kaum Yahudi Etiopia

  


Migrasi besar-besaran Yahudi Ethiopia ke Israel melalui evakuasi secara massal terjadi 

antara tahun 1984 hingga 1985. Pada tahun 1984, ratusan ribu hingga jutaan orang Ethiopia 

mengungsi ke Sudan akibat dari bencana kelaparan, persekusi, dan perang sipil yang terjadi 

di Ethiopia. Penelitian ini berfokus untuk menjawab pertanyaan tentang Mengapa 

pemerintah Israel bersedia menerima keberadaan kaum Yahudi Ethiopia dan bagaimana 

cara Israel melakukan operasi intelijennya di tengah negara-negara yang tidak bersahabat. 

Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang berfokus pada analisa sumber primer dan 

sumber sekunder melalui empat tahapan yaitu Heuristik, Verifikasi, Interpretasi dan 

Historiografi. Penelitian ini dapat ditemukan bahwa, Komunitas Yahudi Ethiopia adalah 

kelompok Yahudi kuno yang telah mendiami Ethiopia selama ribuan tahun. Mereka disebut 

juga dengan kelompok Beta Israel (Rumah Israel) atau Falasha (orang asing). Perang sipil, 

kekeringan dan diskriminasi yang dialami oleh kaum Yahudi Ethiopia pada tahun 1980-an 

telah memaksa sebagian dari mereka untuk mengungsi ke Sudan dan mencari cara agar 

sampai ke Israel. Begitu juga dengan Kesamaan identitas telah membuat pemerintah Israel 

bersedia menerima kehadiran kaum Yahudi asal Ethiopia di negaranya. Melalui jalur 

intelijen dan diplomasi yang difasilitasi oleh Amerika Serikat, pemerintah Israel akhirnya 

berhasil membawa kaum Yahudi Ethiopia ke Israel dari Sudan. 


 

Sebagai satu-satunya negara Yahudi di tengan negara-negara Arab, Israel 

membutuhkan imigran Yahudi sebagai sumber daya manusia untuk membangun 

negara ini . Baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun militernya. Israel 

memiliki kebijakan wajib militer bagi semua warga Yahudi di negaranya yang 

berusia delapan belas tahun ke atas. Para imigran ini sangat berguna bagi keamanan 

dan pertahanan negara. 

Salah satu dari komunitas Yahudi yang kemudian bermigrasi ke Israel adalah 

Kaum Yahudi Ethiopia, komunitas ini menamakan diri sebagai Beta Israel yang 

berarti “Rumah Israel”.1 Sedangkan orang-orang Ethiopia menjuluki mereka dengan 

Falasha yang bermakna “orang asing”.2 Komunitas Beta Israel selama ribuan tahun 

tinggal di Ethiopia dan terputus kontaknya dengan orang-orang Yahudi yang ada di 

seluruh dunia.3 Sebelum mereka tinggal di Israel, sebagian besar orang-orang 

Yahudi Ethiopia ini beranggapan bahwa mereka merupakan satu-satunya kelompok 

Yahudi yang tersisa di dunia. Asal-usul mereka pun masih diperdebatkan. Ada yang 

beranggapan bahwa mereka merupakan satu dari sepuluh suku Yahudi yang hilang 

pada masa kerajaan Israel kuno.4 Ada juga yang beranggapan bahwa mereka 

merupakan orang-orang Israel yang melarikan diri ke Ethiopia pasca kehancuran 

Kuil Yahudi pertama di Yerusalem tahun 586 SM.5 

Namun, keberadaan Yahudi Ethiopia di Israel relatif terlambat jika 

dibandingkan dengan komunitas Yahudi lainnya yang berasal dari Eropa maupun 

Timur Tengah. Orang-orang Yahudi Eropa bahkan sudah melakukan Aliyah (migrasi 

ke Palestina) secara besar-besaran sejak abad ke-19.6 Sedangkan orang-orang Yahudi 

dari Timur Tengah mulai banyak bermigrasi ke Israel akibat meningkatnya 

                                                                     

4 Setelah raja Solomon (Nabi Sulaiman dalam tradisi Islam) wafat, kerajaannya terpecah 

menjadi dua. Yaitu kerajaan Israel di utara dan kerajaan Yahuda di selatan. Dari 12 suku bangsa 

Israel yang ada, 10 di antaranya memilih untuk bergabung dengan kerajaan Israel dan sisanya 

bergabung dengan kerajaan Yahuda. Kerajaan Israel pada akhirnya ditaklukkan oleh Assyria pada 

tahun 722 SM dan 10 suku yang tinggal di wilayahnya pun dinyatakan hilang dalam riwayat sejarah. 

Selengkapnya dapat dilihat pada: Max Isaac Dimont, Yahudi, Tuhan, Dan Sejarah (Yogyakarta: 

IRCiSoD, 2018). 

5 Raffi Berg, “The Holiday Village Run by Spies,” BBC, March 19, 2018, 

https://www.bbc.com/news/stories-43702764. 

6 Gelombang migrasi Yahudi Eropa yang terinsprasi Zionisme sebelum berdirinya Isreal 

terbagi dalam empat babak. Periode pertama (1880-1900) terdri dari para pedagang yang bergerak di 

bidang pertanian, gelombang kedua (1900-1914) terdiri dari para petani dan buruh ilmiah untuk 

membangun pertanian, gelombang ketiga (1918-1924) terdiri dari para pengusaha muda dan investor 

yang datang untuk membangun kota-kota dan industri baru di Palestia, dan periode terakhir (1924-

1939) sebagian besar terdiri dari para ilmuan dan birokrat yang siap untuk mengimplementasikan 

pendirian negara Israel. Selengkapnya: Dimont, Yahudi, Tuhan, Dan Sejarah. 


diskriminasi dan persekusi yang mereka hadapi pasca berdirinya negara Israel.7 

Sebagian besar orang-orang Yahudi dari Timur Tengah bermigrasi melalui operasi-

operasi intelijen Israel yang membawa mereka secara rahasia melalui udara seperti 

Operation Ezra and Nehemia pada tahun 1951-1952 untuk komunitas Yahudi Irak.8 

Berita tentang keberadaan komunitas Yahudi kulit hitam di Ethiopia memang 

terbatas, tapi bukan berarti Israel tidak mengetahui sama sekali. Bahkan pendiri 

gerakan Zionis, Theodor Herzl dipercaya sudah mengetahui keberadaan kaum 

Yahudi ini .9 Namun, hingga tahun 1970, tidak ada usaha-usaha dari 

Pemerintah Israel untuk membawa kaum Yahudi Ethiopia ke Israel sebagaimana 

komunitas Yahudi dari negara lain. 

Migrasi besar-besaran Yahudi Ethiopia ke Israel melalui evakuasi secara 

massal baru dilaksanakan antara tahun 1984 hingga 1985. Pada tahun 1984, ratusan 

ribu hingga jutaan orang Ethiopia telah mengungsi ke Sudan akibat dari bencana 

kelaparan, persekusi, dan perang sipil yang terjadi di Ethiopia. Bersamaan dengan 

rombongan pengungsi ini, terdapat ribuan pengungsi dari komunitas Yahudi 

Ethiopia yang juga ikut di dalamnya. Selama mengungsi di Sudan, mereka tinggal 

dalam kamp pengungsian bersama dengan ratusan ribu pengungsi lainnya dengan 

segala keterbatasannya.10 Pemerintah Israel memanfaatkan situasi yang tidak 

kondusif di Ethiopia sebagai celah untuk membawa kaum Yahudi Ethiopia ke Israel 

melalui negara penampung pengungsi terbanyak pada waktu itu, yaitu Sudan. 

Usaha evakuasi pun dilakukan demi mendukung migrasi Yahudi Ethiopia melalui 

beberapa operasi intelijen yang sangat dijaga kerahasiaannya. 

Hampir semua kaum Yahudi Ethiopia tidak pernah menginjakkan kaki di 

Israel. Bahkan mereka tidak tahu seperti apa negara Israel yang akan mereka tuju. 

Selain tampilan fisik mereka yang lebih mirip dengan orang Ethiopia pada 

umumnya daripada mayoritas warga Israel yang berkulit terang, kaum Yahudi 

Ethiopia juga memiliki tradisi keagamaan yang berbeda dengan kaum Yahudi yang 

lain. Mereka tidak mengenal Talmud, mereka juga tidak menggunakan bahasa 

Ibrani.11 Banyak di antara mereka membayangkan bahwa negeri yang akan mereka 

datangi merupakan tanah suci yang menjadi janji Tuhan di akhir zaman. Berbagai 

macam bencana yang mereka alami pada tahun-tahun ini  dianggap sebagai 

penanda dari Tuhan bahwa sudah saatnya kaum Yahudi untuk meninggalkan 

                                                                        

Ethiopia dan kembali ke tanah yang dijanjikan.12 

Ethiopia yang terletak di wilayah Tanduk Afrika (Horn of Africa) pada waktu 

itu bukanlah daerah yang memiliki kebijakan bersahabat terhadap Israel. Pada 

tahun 1974, Ethiopia berada di bawah kekuasaan Junta Militer atau yang lebih 

dikenal dengan sebutan Derg. Rezim ini berhaluan Komunis dan dipimpin oleh 

Letnan Kolonel Mengistu Haile Miriam.13 Atas dasar persaudaran negara dunia ke-

tiga dan pendudukan Israel di beberapa wilayah milik negara Arab, Ethiopia telah 

memutus hubungan diplomatik dengan Israel sejak tahun 1973.14 Dengan demikian, 

maka satu-satunya jalan yang memungkinkan untuk melakukan evakuasi massal 

kaum Yahudi Ethiopia adalah melalui Sudan. 

Tulisan ini berupaya untuk menjelaskan tentang alasan dibalik penerimaan 

Kaum Yahudi Ethiopia oleh pemerintah Israel sekaligus untuk menjelaskan tentang 

taktik politik, diplomasi, dan intelijen yang digunakan oleh pemerintah Israel agar 

dapat mengevakuasi kaum Yahudi Ethiopia dalam kondisi yang genting. 

Beberapa literatur terkait persitiwa ini sudah pernah ditulis dan 

dipublikasikan. Beberapa di antaranya misalkan artikel jurnal karya Edward 

Alexander dalam jurnal Commentary yang berjudul Operation Moses terbitan tahun 

1986. Artikel ini terbit kurang lebih 2 tahun setelah peristiwa Operation Moses benar-

benar terjadi sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih historis terkait 

peristiwa ini . Namun, analisa terkait dinamika politik dan hubungan 

internasionalnya masih kurang dijelaskan. 

Begitu juga dalam buku karya Mitchell Bard yang berjudul From Tragedy to 

Triumph: The Politics Behind the Rescue of Ethiopian Jewry (2004) yang meskipun 

menjelaskan tentang dinamika politik dibalik operasi ini , tapi masih kurang 

menyentuh aspek operasi intelijen misalkan seperti penjelasan terkait taktik Mossad 

dalam menjalankan misi selama di Sudan. 

Dengan demikian, artikel ini masih relevan dan dapat memberikan gambaran 

baru tentang peristiwa evakuasi kaum Yahudi Ethiopia ke Israel melalui Opeartion 

Moses. 


Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah dengan 

pendekatan deskriptif-kualitatif. Sebagai sebuah penelitian yang berfokus pada 

peristiwa di masa lampau, maka penggunaan metode sejarah merupakan cara yang 

paling sesuai untuk memahami dan menyajikan peristiwa ini  secara ilmiah.15 

Pendekatan deskriptif-kualitatif dibutuhkan untuk menafsirkan sebuah teori 

dan menghubungkannya dengan peristiwa sejarah yang ditulis berdasarkan 

sumber-sumber yang ada, karena metode sejarah hanya berfokus kepada bagaimana 

sumber yang digunakan, baik sumber primer maupun sekunder bisa dijadikan fakta 

dan kemudian disajikan ke dalam bentuk tulisan yang bisa dipahami oleh orang 

lain. 

Metode sejarah memiliki keunikan tersendiri karena sudah mempunyai 

tahapan-tahapan ilmiah dalam pengelolahan data-datanya. Dalam metode sejarah, 

tahapan-tahapan ini  dibagi dan diurutkan yakni pertama, Heuristik, dalam 

tahapan ini penulis mengumpulkan berbagai macam sumber untuk mendukung 

materi yang akan digunakan sebagai rujukan penulis. Sumber-sumber ini terdiri 

dari berbagai sumber sekunder seperti buku, artikel jurnal, maupun informasi dari 

internet. Selain itu, penulis juga mengumpulkan informasi dari sumber primer 

berupa surat kabar sezaman yang telah terdigitalisasi di internet dan dapat diakses 

oleh publik. Kedua, Kritik, setelah sumber sekunder dan primer berhasil 

dikumpulkan, penulis kemudian melakukan verifikasi atau kritik terhadap sumber 

ini . Verifikasi ini berguna untuk memastikan keotentikan dan subyektifitas 

informasi. Penulis menggunakan berbagai macam sumber literatur dari penulis 

dengan latar belakang Israel, Ethiopia, dan Amerika Serikat yang daftarnya dapat 

dilihat pada akhir artikel ini dalam daftar Pustaka, sehingga dapat 

dipertanggungjawabkan obyektifitasnya. Ketiga, Interpretasi, sumber yang telah 

diverifikasi kemudian diinterpretasikan sesuai dengan kondisi zaman dan 

kebutuhan penulisan. Beberapa sumber berasal dari tulisan yang sudah berusia 

puluhan tahun sehingga memerlukan interpretasi ulang dengan dukungan sumber 

lain yang terkini. Proses interpretasi ini digunakan untuk menghasilkan tulisan yang 

dapat dipahami sesuai dengan konteks zaman. Keempat, Historiografi. Langkah 

terakhir ini digunakan untuk menyajikan tulisan sesuai dengan kebutuhan atau 

tujuan awal yaitu menghasilkan karya tulis untuk jurnal ilmiah. Sehingga Bahasa 

dan gaya penulisan yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan akan hal 

ini . 

TEMUAN DAN PEMBAHASAN 

Sejarah Dan Ideologi Kaum Yahudi Ethiopia 

Riwayat tentang asal usul kaum Yahudi Ethiopia terdiri dari berbagai macam 

pendapat. Seringkali pendapat-pendapat ini bercampur dengan mitos atau legenda. 

Keberadaan kaum Yahudi Ethiopia yang terisolir telah menciptakan berbagai 

macam spekulasi tentang asal-usul komunitas ini. Secara arkeologis, keberadaan 

Yahudi Ethiopia sudah ada sejak lama. Bahkan sebelum mayoritas orang Abyssinia 

(sebutan untuk wilayah Ethiopia di masa lalu) memeluk Kristen pada abad ke-IV 

Masehi. Abebe Zegeye dalam tulisannya yang berjudul The Construction of Beta Israel 

Identity menuliskan bahwa bukti-bukti arkeologis maupun dokumentasi ilmiah 

menggambarkan bahwa agama Yahudi (Yudaisme) merupakan salah satu agama 


tertua yang ada di Ethiopia selain Paganisme. Paganisme dianut oleh kelompok atas 

(bangsawan atau tuan tanah) sedangkan agama Yahudi dianut oleh masyarakat 

bawah.16 

Zegeye juga menekankan bahwa semua bukti-bukti ilmiah yang ada 

menyepakati bahwa komunitas Yahudi Ethiopia ini memiliki ajaran agama yang 

ketat dan tetap terjaga selama ratusan atau bahkan ribuan tahun, meskipun sebagian 

besar kaum Pagan kemudian berubah menjadi Kristen atau Muslim. Kaum Yahudi 

Ethiopia tetap menjaga ajaran monoteisme ala mereka dan mengikuti aturan hukum 

yang merujuk pada ajaran Musa. Perbedaan yang dimiliki oleh komunitas Yahudi 

Ethiopia ini juga diakui oleh umat Kristen dan Muslim Ethiopia, sehingga mereka 

dijuluki dengan sebutan Falasha atau orang asing. Sebutan “orang asing” ini 

kemudian memicu  pertanyaan tentang asal usul mereka.17 

Berbagai macam pendapat pun muncul. Sebagian besar pendapat ini diiringi 

dengan mitos dan legenda. Pendapat pertama menjelaskan bahwa kaum Yahudi 

Ethiopia merupakan keturunan asli dari orang-orang Israel kuno yang dibawa ke 

Ethiopia pada masa Raja Solomon. Diriwayatkan bahwa Ratu Sheba (Bilqis dalam 

tradisi Islam) merupakan ratu kerajaan Aksum di Ethiopia. Ketika ratu Sheba 

berkunjung ke kerajaan Solomon, ia kemudian dinikahi oleh sang raja dan 

mengandung anak. Ratu Sheba kembali ke Ethiopia dan melahirkan anak ini  

yang kemudian diberi nama Menelik.18 

Pendapat berikutnya bercerita tentang legenda sepuluh suku yang hilang. 

Ketika Raja Solomon meninggal, kerajaannya terbelah menjadi dua, yakni kerajaan 

selatan yang dipimpin oleh salah satu anaknya, Rehabeam, dan kerajaan utara yang 

dipimpin oleh penantangnya, Yerobeam. Pertentangan di antara dua tokoh ini 

mengakibatkan perpecahan di kalangan bangsa Israel. Sepuluh dari dua belas suku 

yang ada memilih untuk begabung dengan kerajaan utara, sedangkan sisanya 

bergabung ke selatan. Pada tahun 722 SM. Kerajaan utara diinvasi oleh kerajaan 

Assyria dan rakyatnya diasingkan serta hilang dalam peredaran sejarah. Namun, 

legenda juga menyatakan bahwa beberapa di antara sepuluh suku yang diasingkan 

ini  dapat mempertahankan tradisi dan agamanya selama di pengasingan. Salah 

satunya adalah “Suku Dan” yang dipercaya mengasingkan diri ke wilayah Ethiopia 

sekarang. Salah satu tokoh yang percaya bahwa kaum Yahudi Ethiopia merupakan 

keturunan dari “Suku Dan” adalah seorang petualang Yahudi abad ke-19, yakni 

Eldad HaDani. Catatan dari yang bersangkutan menunjukkan bahwa komunitas 

Yahudi yang tinggal di selatan Mesir adalah keturunan “Suku Dan”. 

Selain pendapat yang menyatakan bahwa kaum Yahudi Ethiopia merupakan 

keturunan langsung dari bangsa Israel kuno, terdapat juga pendapat yang 

meragukan klaim ini . Haynes menyatakan bahwa kaum Yahudi Ethiopia 

merupakan keturunan Suku Agau (salah satu suku yang ada di Ethiopia) yang 

memeluk agama Yahudi setelah mereka berinteraksi dengan orang-orang Yahudi 

asal Yaman.19 

Kontak pertama antara kaum Yahudi Ethiopia dengan dunia Barat terjadi pada 

sekitar abad ke-18. Seorang penjelajah dari Skotlandia, James Bruce berjumpa 

dengan komunitas Yahudi Ethiopia ketika sedang berupaya mencari sumber utama 

air sungai Nil. Berita tentang keberadaan Yahudi Ethiopia juga mulai tersebar di 

dunia Barat pertama kali melalui para Misionaris Eropa yang ditugaskan untuk 

menyebarkan agama Kristen di Afrika. Pada tahun 1867, salah satu organisasi 

Yahudi Eropa, L’Alliance Israelite Universelle (AIU) mengirimi perwakilannya untuk 

melihat kondisi kaum Yahudi di Ethiopia. Joseph Halevy yang mewakili AIU pada 

awalnya justru mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari kaum 

Yahudi Ethiopia. Mereka menolak untuk disangkutpautkan dengan Halevy karena 

mereka mencurigainya sebagai Missionaris yang sedang menyamar, padahal ia 

merupakan orang Yahudi Eropa pertama yang dapat berjumpa secara langsung 

dengan mereka.20 Namun, ketika Halevy mulai menceritakan tentang Yerusalem 

yang pernah dikunjunginya, kaum Yahudi Ethiopia tampak antusias dan kemudian 

menyambut kehadiran Halevy dengan tangan terbuka.21 

Pada dekade akhir abad ke-19, kristenisasi begitu gencar dijalankan di 

Ethiopia. Para Missionaris Kristen berusaha untuk mengubah agama kaum Yahudi 

Ethiopia. Hal ini mengakibatkan sebagian komunitas Yahudi memutuskan untuk 

meninggalkan Ethiopia guna menuju tanah yang dijanjikan (aliyah). Seseorang tokoh 

agama yang disegani di antara kalangan kaum Yahudi Ethiopia bernama Abba 

Mehari percaya bahwa Messiah (Juru Selamat) akan segera datang. Penindasan yang 

dilakukan oleh penguasa Ethiopia dan sekutu Kristennya merupakan penanda awal 

dari janji Tuhan akan kembalinya kaum Yahudi ke tanah yang dijanjikan. Abba 

Mehari dan pengikutnya berusaha untuk pergi menuju Palestina, peristiwa ini 

terjadi sekitar tahun 1862. Pada saat itu transportasi modern belum ditemukan, 

sehingga mereka berjalan kaki melintasi gunung, hutan, dan gurun menuju ke arah 

utara. Pada akhirnya usaha migrasi ini  menemui kegagalan. Abba mehari telah 

membawa banyak pengikutnya menuju kematian. Perjalanan yang memakan waktu 

lama serta rute yang sulit telah mengorbankan banyak nyawa pengikutnya. Abba 

Mehari menyerah, sebagian pengikutnya kembali ke Gondar (pusat awal komunitas 

                                                                 

Yahudi berada), sebagian lagi berhenti di wilayah Tigriya (Ethiopia Utara). Dua 

wilayah ini  kemudian menjadi dua daerah dengan populasi Yahudi terbanyak 

di Ethiopia pada abad-20. Abba Mehari sendiri meninggal dan dimakamkan di Kota 

Kola Agara.22 

Jika salah satu makna Zionisme dipahami sebagi suatu usaha kaum Yahudi 

untuk kembali ke tanah yang dijanjikan di Palestina, maka apa yang telah dilakukan 

oleh Abba Mehari dan pengikutnya merupakan gerakan Zionisme kaum Yahudi 

Ethiopia pertama yang tercatat dalam sejarah. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan 

Zionisme sudah mengakar panjang dalam tradisi kaum Yahudi Ethiopia. 

Persekusi dan diskriminasi yang mereka alami dari tetangga Kristen juga 

semakin menguatkan impian untuk kembali ke tanah yang dijanjikan. Ejekan dan 

kutukan telah banyak mereka terima dan seperti menjadi bagian dari identitas 

mereka. Mereka sering disebut buda (penyihir) karena keahlian mereka dalam 

mengelola logam. Mereka justru mendapatkan ejekan bukan pujian atas keahlian 

yang mereka miliki. Istilah Falasha (orang asing) sendiri yang masih dipakai untuk 

menyebut kaum Yahudi Ethiopia hingga saat ini juga berakar dari diskriminasi yang 

mereka terima.23 

Kaum Yahudi Ethiopia kebanyakan percaya bahwa takdir mereka bukanlah 

untuk menjadi bagian dari negara Ethiopia. Semenjak kegagalan Abba Mehari, 

setiap ada rumor tentang migrasi ke tanah suci, mereka selalu meresponnya dengan 

memperbanyak doa dan puasa.  Mereka tidak melihat Abba Mehari sebagai sebuah 

pengingkaran janji Tuhan, namun lebih kepada tes atau ujian keimanan sekaligus 

sebagai penanda masa depan tentang janji Tuhan yang pasti akan terjadi. Mereka 

percaya bahwa pada saat yang tepat, Tuhan akan membawa mereka ke Yerusalem. 

Pada tahun 1970, separatisme terjadi di berbagai wilayah Ethiopia terutama di 

Eritrea dan Tigriya (dua wilayah yang terletak berdekatan dengan tempat 

komunitas Yahudi Ethiopia berada). Perang sipil yang brutal ini  mulai 

dimaknai sebagai perwujudan Gog dan Magog, tanda menjelang hari kiamat. Dalam 

waktu yang nyaris bersamaan, agen Israel juga mulai melakukan aksi 

penyelundupan dalam skala kecil dan bertahap guna membawa kaum Yahudi 

Ethiopia ke Israel. Pada saat inilah banyak umat Yahudi Ethiopia percaya bahwa 

nubuat Tuhan telah terjadi dan mereka harus berkemas meninggalkan Ethiopia.24 

Perpaduan antara keyakinan agama, kondisi politik, dan bencana kemanusiaan 

telah menjadi alasan yang kuat buat kaum Yahudi Ethiopia untuk bermigrasi. Hal 

ini  juga merupakan wujud dari Zionisme, terutama faktor ketiga sebagaimana 

yang diyakini oleh Theodor Herzl (Pendiri gerakan Zionis internasional), bahwa 

                                                                  

Zionisme hadir sebagai upaya untuk menyelamatkan kaum Yahudi dari konflik 

antar etnis, ras atau bangsa karena kaum Yahudi akan selalu dinilai sebagai 

kelompok asing bagi orang-orang non-Yahudi.25 

KEBIJAKAN ISRAEL TERHADAP KAUM YAHUDI ETHIOPIA  

Penolakan Terhadap Keberadaan Yahudi Ethiopia di Israel 

Status ajaran agama yang dianut oleh kaum Yahudi Ethiopia menjadi sangat 

penting terutama jika dikaitkan dengan hak mereka untuk bermigrasi ke Israel. 

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, kaum Yahudi 

Ethiopia memang telah mendapatkan pengakuan sebagai kaum Yahudi yang otentik 

berdasarkan Halacha (hukum Yahudi) oleh sejumlah Rabbi dan otoritas keagamaan 

Yahudi sebelum berdirinya negara Israel. Tokoh-tokoh seperti David Ibn Abi Zimra, 

Rabbi Azirel Hildescheimer, dan Jacques Faitlovich sudah menyatakan bahwa kaum 

Yahudi Ethiopia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kaum Yahudi yang 

lain.26 

Meskipun demikian, pernyataan-pernyataan ini  tidak cukup menjadi 

bukti bagi pemerintah Israel untuk menerima mereka sebagai warga negaranya. Hak 

untuk mengidentifikasi apakah seseorang itu diakui secara sah sebagai Yahudi 

diberikan kepada kelompok Yahudi Ortodox. Secara spesifik ajaran agama, kaum 

Yahudi di Israel dibagi menjadi tiga yaitu, Ortodox, Konservatif, dan Reformis. Di 

antara tiga golongan ini , kaum Yahudi Ortodox merupakan golongan yang 

paling ketat dalam menjalankan ajaran Yahudi. Oleh karena itu, pemerintah Israel 

memberikan wewenang yang cukup besar kepada mereka dalam mengeluarkan 

keputusan keagamaan termasuk mengidentifikasi keyahudian seseorang. 

Salah satu isu teologis yang menghalangi kaum Yahudi Ethiopia untuk diakui 

adalah penolakan mereka terhadap hukum oral. Bagi kaum Yahudi Ortodoks, 

hukum oral atau Talmud yang merupakan hukum yang digali ketika kaum Yahudi 

berada di pengasingan Babilonia sama sucinya dengan hukum tertulis (Taurat). 

Keengganan kaum Yahudi Ethiopia dalam menjalankan hukum oral dan 

pengadopsian mereka terhadap tradisi lokal pada akhirnya memicu  mereka 

belum dianggap sebagai bagian dari kaum Yahudi yang sah oleh kelompok Yahudi 

Ortodoks. 

Ketika sejumlah kecil kaum Yahudi tiba di Israel pada tahun 1950, sebagai 

bagian dari program pelatihan yang dijalankan oleh lembaga Yahudi Internasonal 

untuk kaum Yahudi Ethiopia, sejumlah pimpinan Rabbi di Israel datang untuk 

meninjau praktik keagamaan yang dijalankan oleh kaum Yahudi Ethiopia. Mereka 

berkesimpulan bahwa kaum Yahudi Ethiopia tidak termasuk bagian dari kaum 

Yahudi yang ada di Israel. Mereka menambahkan bahwa jika kaum Yahudi Ethiopia 

mau diakui keyahudiaanya, maka mereka harus menjalani upacara pindah agama. 

                                                                  

Termasuk menjalani ritual khitan ulang (padahal kaum Yahudi Ethiopia sudah 

dikhitan). Namun, pada akhirnya status keyahudian mereka akan sama dengan 

orang Non-Yahudi yang pindah agama ke Yahudi, bukan orang Yahudi sejak lahir.27 

Permasalahan selanjutnya adalah bahwa di Israel, kaum Yahudi secara umum 

dibagi menjadi dua golongan, yaitu Ashkenazi dan Sephardi. Masing-masing 

golongan memiliki Kepala Rabbi yang berbeda. Jika Kepala Rabbi Ashkenazi 

mengeluarkan peraturan keagamaan, belum tentu golongan Sephardi mau 

mengikuti, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, ketika Kepala Rabbi Sephardi 

pada tahun 1973 pada akhirnya mengakui keyahudian kaum Yahudi Ethiopia, kaum 

Yahudi Ashkenazi baru mengakuinya pada tahun 1975 melalui Kepala Rabbi 

Ashkenazi, Shlomo Goren.28 Israel sebagai sebuah negara harus mengakomodasi 

dua pendapat yang sering kali saling bertentangan di antara Ashkenazi dan 

Sephardi. Jika kedua golongan ini  tidak satu suara dalam permasalahan kaum 

Yahudi Ethiopia, sangat susah bagi pemerintah Israel untuk menjalankan 

kebijakannya terhadap kaum Yahudi Ethiopia. 

Selain masalah keagamaan, narasi untuk menolak mengakui kaum Yahudi 

Ethiopia juga muncul karena mereka dianggap tidak mengetahui ide politik 

Zionisme. Kaum Yahudi Ethiopia memang Zionis jika disandingkan dengan 

pandangan mereka yang senantiasa ingin kembali ke Zion. Namun, Zionisme 

mereka lebih kepada pandangan Zionisme religius. Kembali ke tanah yang 

dijanjikan bagi mereka merupakan bagian dari nubuat mesianistik yang telah tertulis 

dalam kitab suci. Mereka sama sekali buta tentang ideologi politik yang dianut oleh 

Zionis Israel. Mereka juga tidak memahami tentang ide-ide demokrasi dan 

bagaimana menjalankan pemerintahan di era modern. Hal ini sangat wajar 

mengingat sebagian besar dari mereka memang terisolasi dari dunia luar. 

Pengetahuan kaum Yahudi Ethiopia yang terbatas tentang ide Zionisme pada 

akhirnya menjadi tambahan alasan bagi pemerintah Isreal untuk menolak mengakui 

keyahudian mereka sekaligus menolak mereka untuk bermigrasi ke Israel.29 Dengan 

kondisi demikian, maka peraturan Law of Return, yaitu undang-undang tentang hak 

orang Yahudi untuk bermigrasi ke Israel tidak berlaku untuk mereka. 

Pemerintah Ethiopia juga menolak migrasi kaum Yahudi Ethiopia ke Israel, 

penolakan ini  lebih didasarkan kepada ketakutan Kaisar Haile Salassie akan 

terjadinya disintegrasi nasional. Ethiopia sebagai negara yang multietnis sangat 

rentan terhadap gerakan separatis berbasis etnis. Kepergian kaum Yahudi Ethiopia 

akan dianggap sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap kekuasaan etnis Amhara 

(etnis milik keluarga Kaisar) yang sejak abad ke-1930 telah mendominasi Ethiopia 

                                                               

dan hal ini  dapat memicu pemberontakan yang akan merepotkan pemerintah. 

Kaisar mengibaratkan kaum Yahudi sebagai satu jari di antara jari-jari yang lain di 

tangan. Jika satu jari terputus, maka jari yang lain akan kehilangan fungsinya.31 

Alasan di atas membuat pemerintah Israel tidak mau mengorbankan 

hubungan baiknya dengan rezim Haile Salassie. Pemerintah monarki Ethiopia tidak 

menginginkan umat Yahudi pergi ke Israel dan jika Israel memaksakan untuk 

melakukan evakuasi, maka tentunya hal ini  akan memperburuk hubungan di 

antara dua negara. 

Menachem Begin dan Kebijakan Israel Terhadap Yahudi Ethiopia 

Tahun 1977 merupakan tahun di mana pemerintah Ethiopia sedang gencar-

gencarnya berusaha menghancurkan kelompok-kelompok yang dianggap 

memberontak di negara ini . Sejak revolusi tahun 1974, di mana kelompok 

militer berideologi Komunis atau disebut juga dengan kelompok Derg di bawah 

kepemimpinan Mengistu Haile Mariam berhasil menggulingkan raja terakhir 

Ethiopia, Kaisar Haile Salassie, sejumlah organisasi bersenjata muncul untuk 

menggulingkan pemerintahan Derg. Mengistu melakukan aksi-aksi teror terhadap 

siapa pun yang dianggap sebagai ancaman kekuasaannya. Aksi ini  dikenal 

dengan sebutan Red Terror yang berlangsung dari tahun 1974-1978.32 

Konflik di Ethiopia ini menjadi peluang bagi pemerintah Israel. Perdana 

Menteri Israel pada waktu itu, Menachem Begin dari Partai Likud berusaha 

mendekati pemerintah Ethiopia dengan menawarkan persenjataan kepada Mengistu 

untuk mengalahkan para pemberontak. Tentunya tawaran ini  tidak gratis. 

Untuk pertama kalinya, pemerintah Israel menawarkan bantuan militer dengan 

kompensasi berupa diizinkannya kaum Yahudi Ethiopia untuk melakukan Aliyah ke 

Israel. Rezim Mengistu menyetujuinya sehingga terjadi Aliyah dalam skala kecil 

namun berkala. 

Begitu Partai Likud mengambil alih kekuasaan di Israel, Begin menggunakan 

isu Yahudi Ethiopia ini untuk memuaskan para pendukungnya. Menolong kaum 

Yahudi yang tertindas merupakan sebuah kampanye politik yang brilian agar tetap 

mendapatkan suara dari kaum Yahudi religius serta membantu menghilangkan 

persepsi bahwa Zionisme merupakan gerakan rasis. Selain itu, Rabbi Ovadia Yosef 

yang merupakan kepala Rabbi pertama di Israel yang menyatakan bahwa, kaum 

Yahudi Ethiopia merupakan kelompok Yahudi yang sah adalah berasal dari 

kelompok Sephardi. Dengan menjalani keputusan yang dikeluarkan oleh kepala 

Rabbi Sephardi, maka Begin dapat mengamankan suara dari kelompok Sephardi 

sekaligus. 

Kaum Yahudi Ethiopia di Sudan dan Peran Israel di dalamnya 

Konflik yang berkepanjangan dan kemarau yang terjadi di Ethiopia 

                                                                       

memicu  gelombang migrasi besar-besaran dari Ethiopia. Ratusan ribu orang 

Ethiopia mengungsi ke negara tetangga yaitu Sudan. Garis perbatasan antara Sudan 

dengan Ethiopia yang membentang sepanjang 1.200 Mil dari Laut Merah hingga 

Kenya di Afrika menjadikan mustahil bagi kedua negara untuk menjaga perbatasan 

secara efektif. Faktanya, pada waktu itu Sudan dan Ethiopia memiliki garis 

perbatasan terpanjang di Afrika. Hal ini memicu  pemerintah kedua negara 

tidak dapat menghentikan gelombang pengungsi dari Ethiopia yang melarikan diri 

ke Sudan.33 

Pada saat yang sama, pemerintah Israel juga sedang mempersiapkan operasi 

penyelamatan untuk membawa kaum Yahudi Ethiopia. Sejak adanya informasi 

tentang adanya kaum Yahudi Ethiopia di Sudan pada tahun 1977, pemerintah Israel 

sudah memikirkan berbagai macam skenario untuk membawa kaum Yahudi keluar 

dari negara ini . Namun, baru di tahun berikutnya pemerintah Israel 

memutuskan untuk bertindak. 

Keberadaan kaum Yahudi Ethiopia di Sudan yang semakin banyak ini 

membuat pemerintah Israel untuk mencari solusi agar dapat membawa kaum 

Yahudi Ethiopia keluar dari Sudan. Akhirnya, solusi baru ditemukan, yaitu mereka 

akan membawa kaum Yahudi Ethiopia melalui jalur laut. Tentunya pemerintah 

Israel tidak dapat membawa mereka melalui Ethiopia. Selain karena Israel sudah 

tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Ethiopia, satu-satunya wilayah 

Ethiopia yang berbatasan dengan laut yakni Eritrea berada dalam zona perang. Oleh 

karena itu, evakuasi ini sekali lagi harus dilakukan di Sudan. 

Pada tahun 1981, pemerintah Israel mengutus sejumlah agen Mossad ke Sudan. 

Mereka menyamar sebagai pebisnis dari Swiss yang berniat untuk menyewa sebuah 

villa yang terabaikan di sebuah desa bernama Arous. Villa ini  terletak tepat 

dipinggir Laut Merah dan memiliki pemandangan yang indah sehingga cocok untuk 

dijadikan tempat wisata. Pemerintah Sudan tentunya bahagia karena ada investor 

Eropa yang tertarik untuk berinvestasi di bidang pariwisata di Sudan tanpa 

mengetahui bahwa para investor ini  merupakan agen intelijen dari Israel.34 

Para agen yang menyamar ini  sepakat untuk menyewa villa di Arous seharga 

320.000 USD.35 

Villa di Arous ini menjadi markas operasi Mossad. Terdapat ruang rahasia 

dengan perlengkapan radio untuk jaringan komunikasi yang digunakan oleh agen 

ini .36 Setiap malam, para agen akan pergi ke Gedaref, sebuah kota di 

                                                                    

perbatasan antara Sudan dan Ethiopia. Mayoritas pengungsi Yahudi Ethiopia 

tinggal di kota ini . Para agen Mossad kemudian membawa mereka melalui 

truk setiap malam untuk mencegah kecurigaan dari pihak keamanan Sudan. Mereka 

kemudian dibawa ke daerah pinggir pantai dekat Arous yang berjarak 700 Kilo 

Meter dari Gedaref, di mana sejumlah Speed Boat memiliki Angkatan Laut Israel 

sedang menunggu untuk membawa mereka ke perairan internasional di Laut 

Merah.37 Sesampainya di perairan internasional, mereka kemudian ditransfer ke 

Kapal Perang Israel lalu dibawa ke negara ini  melalui pelabuhan Eliat. Operasi 

intelijen ini kemudian dikenal dengan nama Operation Brothers. Operasi ini 

kemudian dihentikan ketika para pihak keamanan Sudan hampir membongkar 

kegiatan ini .38 

Evakuasi Kaum Yahudi Ethiopia ke Israel 

Jumlah pengungsi Ethiopia di Sudan terus bertambah termasuk dari kalangan 

pengungsi Yahudi. Kondisi kamp pengungsi juga tidak manusiawi. Sudan tidak 

hanya kedatangan pengungsi dari Ethiopia, namun juga dari negara-negara Afrika 

lain yang juga terserang bencana kelaparan. 

Keadaan ini  membuat Israel harus mengambil keputusan yang tepat dan 

cepat. Satu-satunya cara untuk membawa kaum Yahudi Ethiopia dari Sudan 

sesegera mungkin adalah melalui udara. Namun Israel harus memastikan jaminan 

dari pemerintah Sudan tentang keamanan yang akan mereka dapatkan mengingat 

kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik dan status Sudan sebagai 

anggota Liga Arab membuatnya secara teknis harus bermusuhan dengan Israel. 

Untuk itu, Israel menghubungi Amerika Serikat agar membujuk Sudan mau 

memberikan jaminan ini . 

Rezim Jafar Numeiry yang sedang berkuasa di Sudan memang menjalin 

hubungan yang erat dengan Amerika Serikat. Numeiry berharap hubungan ini  

akan berbuah bantuan ekonomi dan militer untuk negaranya. Pada bulan Juni 1984, 

delegasi dari Sudan berkunjung ke Amerika Serikat. Mereka sedang menegosiasikan 

bantuan dari Amerika Serikat untuk menuntaskan berbagai masalah yang sedang 

dihadapi oleh negara ini  yaitu, kurangnya jumlah bahan makanan, banyaknya 

pengungsi, serta pemberontakan yang terjadi di Sudan Selatan. Pihak Amerika 

Serikat yang ditemui mengatakan kepada delegasi Sudan bahwa untuk 

menambahkan bantuan kepada Sudan, harus ada persetujuan dari Kongres, 

sehingga akan sangat bermanfaat buat Sudan jika mereka mau membangun koneksi 

                                                                                                                                                                                                                               

dengan lobi Yahudi yang ada di Amerika Serikat agar lobi Yahudi menekan Kongres 

untuk memberikan bantuan tambahan kepada Sudan. Negosiasi ini  kemudian 

menghasilkan pertemuan lanjutan secara rahasia antara perwakilan Amerika 

Serikat, Israel dan Sudan. Perjanjian rahasia pun disepakati bahwa Sudan akan 

Membantu Amerika dan Israel dalam mengevakuasi kaum Yahudi Ethiopia yang 

ada di Sudan. Israel kmudian menyewa sejumlah pesawat dari perusahaan 

penerbangan asal Belgia yaitu Trans Eruropean Airlines (TEA) untuk membawa kaum 

Yahudi Ethiopia ke Israel via Eropa karena Sudan menolak terjadinya penerbangan 

langsung dari Sudan ke Israel.39 

Pada tanggal 21 November 1984, Operation Moses resmi dijalankan. Tercatat 

sebanyak 36 penerbangan selama 47 hari. Sebanyak 7000-8000 orang Yahudi 

Ethiopia di bawa melalui cara ini. Satu pengungsi tewas dalam perjalanan karena 

kelelahan dan tiga orang bayi lahir selama evakuasi, termasuk yang lahir di dalam 

pesawat.40 

Operation Moses berjalan secara lancar sampai satu persatu media kemudian 

membocorkan informasi tentang evakuasi massal ini . Akhirnya pada tanggal 5 

Januari tahun 1985. Pemerintah Sudan menghentikan secara langsung Operation 

Moses. Mereka mengusir semua personil Israel dan melarang pesawat milik TEA 

untuk mendarat di Sudan. 

Meskipun demikian, evakuasi berikutnya kemudian dilanjutkan kembali pada 

Maret 1985 dengan kode Operation Joshua/Sheba dan berhasil membawa sekitar lima 

ratus orang Yahudi Ethiopia.41 Enam tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1991, 

operasi intelijen untuk evakuasi Yahudi Ethiopia dilanjutkan kembali dengan kode 

Operation Solomon. Operation Moses menjadi operasi evakuasi massal atas kaum 

Yahudi Ethiopia yang pertama dijalankan oleh Israel di abad ke-20. 

Kaum Yahudi Ethiopia yang sampai di Israel melalui Operation Moses segera 

menghadapi berbagai masalah. Sulitnya orang Yahudi Ethiopia untuk beradaptasi 

dan rasisme yang masih tinggi memicu  gejolak sosial di Israel. Puncaknya 

pada tahun 1996 terjadi demonstrasi besar-besaran dari kaum Yahudi Ethiopia 

akibat beredarnya informasi yang menyatakan bahwa darah sumbangan kaum 

Yahudi Ethiopia dibuang oleh departemen kesehatan Israel akibat diduga 

mengandung HIV.42 Memasuki abad ke-21 masih terjadi berbagai macam kasus 

diskriminasi rasial di Israel. Contohnya pada tahun 2015 seorang Yahudi Ethiopia 

yang bernama Damas Pakada dianiaya oleh dua orang polisi Yahudi kulit putih 

tanpa ada alasan yang jelas, padahal Pakada pada waktu itu sedang berdinas di IDF 

                                                                        

(Israel Defence Force). Pemukulan itu memicu aksi protes yang membuat PM Israel 

turun tangan dengan meminta maaf secara langsung kepada Damas Pakada.43 

Hingga kini, diskriminasi terhadap kaum Yahudi Ethiopia masih tetap berlangsung 

meskipun pemerintah Israel berupaya untuk menghilangkan stigma rasial ini . 

 

Sebagai kelompok agama yang sangat terikat dengan kecintaan terhadap tanah 

leluhur, kaum Yahudi Ethiopia juga selalu memiliki impian untuk kembali ke tanah 

yang dijanjikan. Ketika berbagai macam bencana melanda Ethiopia akibat dari 

peperangan, sebagian besar kaum Yahudi Ethiopia merasa bahwa saat untuk 

kembali ke tanah yang dijanjikan telah tiba. Mereka percaya bahwa janji Tuhan akan 

segera diwujudkan. 

Ketika bencana kemanusiaan akhirnya benar-benar terjadi di dekade 1980 di 

Ethiopia akibat dari perang sipil di negara ini , pemerintah Israel yang 

digerakkan oleh keputusan politik identitas akhirnya memutuskan untuk 

menyelamatkan kaum Yahudi Ethiopia yang dianggap sedang berada dalam 

kesengsaraan. Meskipun hal ini  pada akhirnya terbukti membahayakan 

hubungan diplomasi Israel, menambah beban ekonomi, dan berpotensi 

memicu  konflik sosial. Namun, kesamaan identitas Yahudi dan semangat 

Zionisme menjadi perekat antara Israel sebagai sebuah negara dengan kaum Yahudi 

Ethiopia sebagai bagian dari bangsa Yahudi. 

Tantangan lain yang dihadapi oleh Israel dalam melaksanakan evakuasi adalah 

bahwa Sudan, tempat sebagian besar orang Yahudi Ethiopia mengungsi, merupakan 

negara yang secara teknis bermusuhan dengan Israel. Sudan merupakan anggota 

Liga Arab dan tentu saja memiliki arah kebijakan untuk mendukung negara-negara 

Arab dalam sikap antipatinya terhadap Israel. Namun, dalam situasi sulit ini, Israel 

justru tetap mampu melaksanakan operasi intelijennya dan berhasil membawa 

sekitar delapan ribu orang Yahudi Ethiopia keluar dari Sudan dan dievakuasi ke 

Israel. Keberhasilan operasi ini karena Amerika mau terlibat menjadi perantara 

negosiasi antara Israel dengan pemerintah Sudan. Amerika bersedia melibatkan diri 

dalam kegiatan ini  akibat dari lobi yang dilakukan oleh masyarakat Yahudi 

Amerika yang peduli dengan nasib kaum Yahudi Ethiopia. Operasi intelijen yang 

diberi kode Operation Moses ini berlangsung dari 21 November 1984 hingga 5 Januari 

1985.