yahudi zionisme israel
Persoalan konflik Israel dan Palestina telah banyak menyita enerji warga
internasional, semenjak gelombang emigrasi Yahudi diaspora hingga terbentuknya Negara
Israel di Tanah Kanaan (sekarang Palestina). Konflik keduanya yang paling mengemuka
dalam aras teologis yaitu lahirnya tafsir-tafsir keagamaan yang kompleks dalam bentuk
gerakan keagamaan dari kedua kelompok utama umat agama Ibrahim itu: Yahudi dan
Islam. Tidak jarang, gerakan keagamaan ini membuahkan kekerasan justru lahir
karena untuk membela klaim kebenaran (penyelematan umat manusia dan penegakan
hukum Tuhan) harus saling membunuh atas nama agama monoteis.
Dalam tulisan ini, penulis akan berfokus kepada persoalan yang ditimbulkan dari
nasionalisme-keagaamaan Yahudi dalam Zionisme dan Israel. Alasannya, sebagai outsider
(bukan bagian etnik dan penganut Yahudi) penulis berusaha untuk membawa pemahaman
tentang dinamika perkembangan agama Yahudi sejak semangat kembali ke ―tanah yang
dijanjikan‖ setelah mengalami diaspora ke Eropa hingga keberhasilannya membentuk
Negara Israel, serta catatan diskusi mengenai topik ini. Selanjutnya, berturut-turut akan
dibahas tipologi aliran-aliran agama Yahudi termasuk Zionisme sebagai gerakan
nasionalis-relijius.
B. Identitas Yahudi
Dalam tradisi Yahudi, bangsa Yahudi sebagai sebuah entitas sosio-religius
ditunjukkan dengan terma-terma `am Yisra`el (bangsa Israel, bhs. Yunani: ó ó benei
Yisra`el (anak-anak keturunan Israel), beit Yisra`el (rumah Israel), Keneset Yisra`el
(Majelis Israel) atau sederhananya sebagai Yisra`el (Israel, bhs. Yunani: Ió Negara
modern Israel (medinat Yisra`el) biasanya diterjemahkan oleh bahasa Ibrani modern dengan
sesuatu yang berhubungan dengan Israel.
1
Istilah Yahudi (Bhs. Ibrani: Yehud) secara
etimologis berasa dari kata Judah (Yehudah) sebuah eponim dari bibel suku Judah. Bahasa
Yunani menyebut Yahudi dengan Ioudaia.
2
Sebagai aliran dan gerakan keagamaan, Yahudi sering disebut sebagai Judaisme.
Dalam pengertian yang ringkas, Judaisme sebagai aliran pemikiran dan gerakan agama
Yahudi, meminjam definisi Jacob Neusner, berarti sebagai ― …a religion that Scripture’s
account of Israel as holy people whose life encompasses the experience of exile and
return.‖
3
Jadi, Yahudi merupakan sebuah agama yang dalam kitab sucinya memaparkan
Israel sebagai orang-orang suci yang kehidupannya mencakup pengalaman di pengasingan
(diaspora) dan kembali ke tanah yang dijanjikan.
Yahudi memiliki dua kesatuan makna yang membentuk identitas tunggal, yaitu
sebagai agama dan sekaligus sebagai etnis/bangsa. Sebagai agama maupun etnis, Yahudi
memiliki karakteristik eksklusif dengan klaim ajarannya yang menyatakannya sebagai
―umat/bangsa pilihan Tuhan.‖ Dalam Kitab Keluaran 19:5-6 dan Deutoronomi 10:14-15
secara lugas sekali disebutkan bahwa Yahudi yaitu bangsa (umat) pilihan Tuhan
(Yahweh).
4
Rasisme dalam Judaisme tradisional dan sejarah kebudayaan Yahudi
nampaknya mendasarkan diri kepada rumusan di atas. Pada akhirnya, Tuhan agama Yahudi
akan jatuh dalam bentuk rasisme, jika rumusan ayat-ayat ini ditafsirkan secara naif.
5
Implikasi rasisme dalam Judaisme ini terhadap agama-agama lain yaitu
menjadikan agama-agama lainnya sebagai tidak termasuk yang diselamatkan, karena tidak
memiliki harapan relijius yang sama untuk bangsa non-Israeli sebagaimana dilakukan
untuk bangsa Israel.
6
Sikap terhadap agama Kristen di awal ke-Kristen-an, umat Yahudi
memandangnya hanyalah sebuah sekte agama Yahudi. Selain itu, agama Kristen dipandang
sebagai ―…as any more threatening than any other of the various messianic movements
found within the Jewish population….‖
7
Terhadap Islam, umat Yahudi memandang Qur‘an
sebagai copy teks-teks suci agama Yahudi. Kendatipun begitu mereka (umat Yahudi) tidak
bisa menerima pernyataan bahwa umat Yahudi telah merubah isi Torah seperti disebut
dalam Qur‘an, meskipun mereka merasa ―tersanjung‖ karena disebut sebagai ahl al-Kitab
dalam Qur‘an itu sendiri.
8
―Tuhan‖ dalam konsep Yahudi dipanggil dengan sebutan Yahweh ―Tuhan para
bapak kita‖, yang membedakan tuhan-tuhan lain dari El, yaitu Tuhan Maha Tinggi dari
Kanaan yang disembah oleh para bapak-bapak nenek moyang mereka (patriarchs)
9
yaitu
Abraham, Isaac, Jacob, dan dua belas anak Jacob.
10
Nama Yahweh disusun dari empat
huruf (tetragrammaton) nama Tuhan yang dibentuk dari huruf Ibrani: YHVH (),
yod, hey, vav, dan hey.
11
Dia (Yahweh) mungkin saja tuhan umat yang lainnya sebelum ia
menjadi Tuhan Israel. Pada masa Musa, Yahweh menuntut secara berulang dan beberapa
lama bahwa ia yaitu Tuhan dari Abraham, yang disebut El Shaddai.
12
Dari sisi historis, pembentukan gagasan Tuhan bangsa Yahudi dilakukan setelah
masa pembebasan bangsa Yahudi dari perbudakan bangsa Mesir oleh Musa ke tanah
Kanaan, ―tanah yang dijanjikan‖ Yahweh. Di Kanaan ini, mereka membentuk apa yang kita
5
sebut sebagai sebuah konfederasi umat yang tertindas (confederation of the operessed)
disekitar tuhan ‖El‖ (bentuk jamaknya Elohim), pemimpin tuhan (pantheon) Semitik.
Federasi Kanaan ini dikenal dengan sebagai Isra-El, yang berarti “El bentukan”. Ia
menjadi suatu liga yang mengeksploitasi gerakan massa melawan sembahan-Baal para
pengeksploitir. ―Israel‖ buatan Kanaan ini tidak menjadi kelompok atau suku yang
homogen secara etnik, yang tidak membiarkan keanekaragaman etnisitasnya untuk menjadi
sumber pembagian ertnik karena fokusnya bukan etnisitas, tetapi perjanjian bersama kelas
tertindas (common plight of the oppressed class) yang melampaui identitas-identitas
kelompok. Ini telah menjadi pertama dari dua elemen yang menyumbangkan kepada
pembentukan shalom (perdamaian) dalam suatu tanah yang berlangsung konflik. Faktor
lain dari teologi eksplosif (―Wacana-Tuhan‖) di mana umat Musa mengumpulkan frustasi-
frustasi dari ketertindasan ke dalam suatu “faith-inspired struggle from freedom”. Teologi
pembebasan ini memproklamasikan Yahweh sebagai Tuhan Yang Esa, dimana Ia saja yang
dipercaya untuk dilibatkan dalam perjuangan pembebasan kaum tertindas. Ini diyakini di
mana Yahweh sajalah yang membebaskan budak-budak dari perbudakan (Keluaran,
20:2).
Yahweh yang demikian, menurut Aloysius Pieris, menjadi lebih dari sebuah
―religious totem,‖ karena ia membuat tuntunan moral yang mewajibkan orang beriman
untuk mengorganisasikan kehidupan sosio-ekonomi mereka bersama-sama dengan
kebenaran dan keadilan Yahweh. Yahweh menjadi simbol kesatuan ketuhanan dari model
―tribal sosialism‖ berbagai kelompok yang menduduki tanah Kanaan dan melembagakan
sebuah tatanan sosial yang cocok dengan ketaatan monoteistik mereka terhadap Yahweh,
―Tuhan Penyayang, Kesetiaan, Kebenaran dan Keadilan‖ (hesed, emet, misphat, sedeqa).
14
Dalam syahadat (persaksian) dari ketaatan terhadap Yahweh diucapkan dalam do‘a Shema,
yaitu ―Shema Yisrael Adonai Elouhenu Adonai Ekhod‖ (Dengarlah, Israel! Tuhan Allah
kita yaitu Tuhan yang Esa) [Deu,6:4].
C. Tipologi Keagamaan Yahudi
Gagasan keterlibatan Yahweh dalam proses sejarah pembebasan atau emansipasi
bangsa Yahudi dari perbudakan bangsa-bangsa (kerajaan) Mesir, Syria, Babylonia,
Persia,Macedonia, Ptolemaic, Seleucid dan Romawi di masa milenium pertama sampai
dengan perjuangan pembebasan dari kamp-kamp konsentrasi kematian di masa
pemerintahan Nazi Jerman di bawah Adolf Hitler dalam Perang Dunia Kedua (1939-1945),
pada gilirannya telah melahirkan aliran-aliran pemikiran dan gerakan agama Yahudi di
dunia, khususnya di Eropa. Aliran keagamaan yang lahir di daratan Eropa merupakan hasil
dari keharusan adaptasi ke-Yahudi-an dengan tekanan negara yang mengharapkan orang-
orang Yahudi menerima Kekristenan. Dari dalam kalangan Yahudi sendiri dilakukan upaya
menjaga keimanan sebagai umat Yahudi.
15
Secara garis besar ada tiga aliran utama dalam pemikiran keagamaan Yahudi, yaitu
aliran Pembaharu, Ortodoks dan Konservatif. Tiga aliran besar agama Yahudi ini yang
lahir setelah bersinggungan dengan politik dunia modern harus dispesifikasikan, karena
kesemuanya melanjutkan Torah sebagai benteng pertahanan ke-rabbi-an Yahudi dan
menerima Torah sebagai kelangsungan simbol mereka dan mitos, hukum-hukumnya
sebagai norma mereka, teologinya sebagai batu ujian mereka. Antara 1800-1850, semua
aliran itu telah terbentuk.
16
Leo Trepp, seorang Yahudi yang lolos dari Kamp Konsentrasi Sachsenhausen,
menyatakan bahwa aliran keagamaan Yahudi di Barat merupakan sebuah transformasi
Judaisme yang tak dapat dihindari terhadap dua sebab. Dari luar berasal dari tekanan para
pemerintah (di Eropa), dan dari dalam keharusan penyesuaian untuk memelihara keimanan
Yahudi. Hal ini mempengaruhi peribadatan dan terbaginya kepemimpinan ke-rabbi-an,
serta munculnya denominasi-denominasi dalam Judaisme. Beberapa rabbi kemudian
terbagi menjadi tiga kelompok besar sebagaimana disebut di muka: Pembaharu,
Konservatif, dan Neo-Ortodoks. Namun, dari ketiganya semua disepakati bahwa para rabbi
harus dididik secara akademis di universitas-universitas dan seminari-seminari modern.
Kaum pembaharu di bawah Abraham Geiger mendirikan Hochshule für die Wissenschafi
des Judentums (Universitas untuk Ilmu Judaisme) di Berlin. Kaum Konservatif di bawah
Zacharias Frankel mendirikan Jüdisch Theologisches Seminar (Seminari Teologi Yahudi)
di Breslau. Kaum Neo-Ortodoks di bawah Esriel Hildesheimer telah membentuk Rabbiner
Seminar (Seminari Para Rabbi) di Berlin.
Dari tipologi aliran keagamaan Yahudi menurut Neusner, Yahudi Pembaharu
(Reformasi) hadir dalam bagian awal abad kesembilan belas untuk mengekspresikan dan
menciptakan perubahan dalam liturgi, kemudian doktrin dan cara hidup menerima
Judaisme dari dua Torah (Torah Lisan maupun Tertulis, Tannakh dan Talmud). Yahudi
Pembaharu mengakui legitimasi penciptaan perubahan dan menghormati perubahan
sebagai pembaharuan, menghasilkan Pembaharuan.
Aliran kedua yaitu reaksi terhadap Yahudi Pembaharuan, yang disebut Yahudi
Ortodoks. Aliran ini dalam banyak cara meneruskan Judaisme dua Torah, tapi dalam
beberapa cara sama selektifnya elemen-elemen Judaisme dengan Yahudi Pembaharuan.
Yahudi Ortodoks mencapai ekspresi sistematis pertamanya dalam pertengahan abad
kesembilan belas. Aliran ini menyampaikan persoalan yang sama, yaitu perubahan, dan
menggenggam Judaisme terletak di luar sejarah; ia menjadi karya Yahweh; ia merupakan
seperangkat fakta dari tatanan yang sama sebagai fakta alam. Jadi, perubahan bukan
pembaharuan, dan Yahudi Pembaharuan bukan Yahudi – begitu pula Ortodoksi.
19
Aliran ketiga, yaitu Yahudi Konservatif. Aliran ini berada di dalam garis dan sedikit
setelah Yahudi Ortodoks telah menjadi Yahudi Historis yang positif. Ia menduduki pusat
antara dua aliran Yahudi lainnya dari kelanjutan (kontinuasi) dua Torah. Aliran Yahudi ini
berpendirian bahwa perubahan dapat menjadi pembaharuan, tetapi dengan mengacu
prinsip-prinsip di mana perubahan yang absah (legitimate) dapat dipisahkan dari perubahan
yang tidak absah. Yahudi Konservatif ingin menemukan prinsip-prinsip itu melalui kajian
historis. Dalam sebuah masa fakta-fakta historis yang diambil untuk mewakili kebenaran-
kebenaran teologis dan historisisme Yahudi Konservatif sangat membosankan.
20
Di luar ketiga aliran utama agama Yahudi ini , varian ―Yahudi Ortodoks
Modern‖ sebagaimana dibahas oleh Aryei Fishman
21
sangat menarik untuk diuraikan di
sini. Ia menjadi relevan untuk pembahasan pikiran utama artikel ini perihal nasionalisme-
keagamaan Yahudi dalam Zionisme dan Israel. Menurut Fishman, Yahudi Ortodoks
Modern muncul pada sepertiga kedua abad ke-19 dengan bangkitnya Pencerahan dan
Emansipasi Yahudi di Eropa Barat. Hingga kemudian Judaisme menjadi tradisional sama
sekali. Ia menjadi Yahudi ghetto (pemukiman/kampung Yahudi), yaitu ghetto tidak hanya
dalam arti kehidupan fisik di dalam tempat-tempat tinggal yang tersegregasi (terpisah),
pemisahan dari warga non-Yahudi (gentile), tetapi ghetto dalam pengertian spiritual-
psikologis.
Dunia simbolik tradisional dari Yahudi ini, yang mendasarkan semata-mata kepada
literatur suci Yahudi (Torah), menolak makna-makna simbol dunia gentile. Menurut
pandangan dunia Yahudi ini, sekarang yaitu tidak membawa signifikansi relijius yang
dimilikinya; sekarang yaitu valid secara relijius semata-mata dengan kebajikan dari
kelangsungan masa lampau dengan segera. Dalam periode pra-emansipasi, orang Yahudi
secara pasif menanti kedatangan Messiah untuk menyelamatkan mereka dari pengasingan
mereka di antara bangsa-bangsa dunia, dan mengembalikan mereka ke Tanah Israel.
23
Pencerahan, dan secara khusus Emansipasi Yahudi telah merubah semua itu.
Dengan runtuhnya pintu gerbang ghetto di Eropa dan diterima masuknya orang-orang
Yahudi Barat ke dalam civil society --dengan bangkitnya Revolusi Perancis—Judaisme
kehilangan seragamnya. Denominasi-denominasi agama baru yang mencari kelangsungan
kehidupan universal baru yang penuh makna telah muncul dari Yahudi Tradisional. Mereka
mampu untuk melakukan dengan pengakuan kekinian sebagai sebuah dimensi waktu
relijius yang otonom –yaitu independen dari keharusan masa lampau—yang berwenang
untuk menciptakan nilai-nilai relijius yang dimilikinya dengan spirit Pencerahan Eropa
Barat. Dengan kata lain, kesadaran relijius para penciri denominasi baru telah
memfokuskan diri kepada perubahan daripada kontinuitas. Denominasi-denominasi ini
dikenal sebagai Yahudi Pembaharuan.
24
Untuk mengakomodasi kehidupan yang berarti bagi orang Yahudi pasca-
Emansipasi, Yahudi Pembaharuan mensuperordinatkan masa kini atas masa lampau.
Dengan demikian meratakan jalan bagi sebuah transformasi radikal dari Yahudi tradisional.
Secara dialektis, ia telah menjadi apersepsi inovatif dari Judaisme yang melahirkan istilah
―Yahudi Ortodoks‖ untuk memaknai agama Yahudi tradisional.
D. Zionisme dan Nasionalisme Yahudi
Di antara tiga tipologi aliran keagamaan Yahudi di atas, yang paling menonjol
perwujudannya yaitu Zionisme yang berhasil membentuk sebuah Negara Israel modern.
yaitu menarik penjelasan yang diajukan Jacob Neusner,
26
yang menyatakan bahwa
Judiasme di zaman modern haruslah termasuk Zionisme di antara Judaisme-Judaisme
(Pembaharu, Ortodoks, dan Konservatif), serta Negara Israel di antara lokasi-lokasi paling
penting di sekitar Eropa dan Amerika Utara dan Latin, di mana Judaisme dipraktekan.
Istilah Zionisme bagi orang Yahudi menunjuk kepada Tanah Israel, yang berakar
dalam kesadaran orang-orang Yahudi sejak zaman Bibel. Zion, sebuah bukit suci di Kota
Jerusalem, menjadi simbol Jerusalem, Kuil, Tanah dan penduduknya. Ia ditemukan lebih
dari 175 kali dalam Naskah-naskah Suci (Scriptures) Ibrani, yang berasal dari para nabi,
pelantun kidung (mazmur) dan syair-syair yang menghiasi sejarah Yahudi.
27
Zionisme merupakan gerakan emansipasi-diri orang-orang Yahudi menanggapi
kegagalan bangsa-bangsa Jerman dan Perancis yang telah menjanjikan emansipasi bagi
orang Yahudi. Begitu pula Zionisme menanggapi menanggapi krisis politik dengan
berakhirnya abad ke-19, berupa kegagalan harapan-harapan perbaikan politik dari status
dan kondisi orang-orang Yahudi. Zionisme menyerukan kepada orang-orang Yahudi untuk
mengemansipasi diri mereka sendiri dengan menghadapi kenyataan bahwa Gentilis dengan
kebencian dahsyat terhadap orang Yahudi serta pendanaan bagi sebuah negara di mana
orang Yahudi dapat membebaskan diri mereka dari anti-semitisme dan membangun takdir
yang mereka miliki. Sistem Judaisme Zionis mendeklarasikan bahwa orang Yahudi
membentuk satu rakyat dan harus mentransformasikan diri mereka ke dalam sebuah entitas
politik dan membangun sebuah negara Yahudi.
28
Zionisme yang dipropagandakan oleh seorang Yahudi sekuler, Theodor Herzl,
yang merupakan solusi terhadap problem politik sekuler pada akhir abad ke-19, sebenarnya
memiliki orientasi teologis pula. Hal ini dapat dilihat dari misi penyatuan kembali Diaspora
Yahudi ke dalam Tanah Israel sebagaimana dimaksudkan Yahweh dalam Torah.
Kaum Zionis memilih Tanah Israel di Palestina bagi tanah air, rumah tinggal bangsa
Yahudi yang telah lebih dari lima ribu tahun mengali diaspora. Alasan memilih Palestina
sebagai tanah air mereka yaitu karena Palestina yaitu tanah yang dijanjikan Yahweh,
dari sejak Abraham, sehingga tidak ada tempat lain yang dapat diterima kembali bagi
Yahudi Diaspora. Alasan teologis-historis ini mengalahkan tawaran politis Pemerintah
Kolonialis Inggris yang telah menawari penggagas Zionisme, Theodor Herzl, tanah air bagi
bangsa Yahudi di wilayah jajahannya yang lain yaitu Uganda.
29
Pada bagian lain, Zionisme melahirkan fundamentalisme Yahudi yang bersifat
politik. Tentu saja asal-usul fundamentalisme Yahudi ini dihubungkan dengan
ghettoization golongan Yahudi Eropa (Ashkenazis) pada abad ke-18 dan 19. Sedangkan,
pembentukan Negara Israel dan keberhasilan para Zionis pada pembentukan suatu kegiatan
yang hadir dalam kesucian tanah leluhur mereka telah dilihat sebagai realisasi harapan-
harapan mesianis dan penyelamatan mereka.
30
Tatanan sosial dan politik dalam agama
Yahudi, sebagaimana Islam, merupakan bagian integral yang suci dari agama. Orang-
orang Yahudi percaya bahwa Tuhan (Yahweh) telah mewahyukan Torah kepada mereka
sebagai bangsa, bukan sebagai individu-individu. Mereka tidak hanya dipilih untuk
keselamatan, tetapi juga dipercaya untuk sebuah misi ilahiyah, keselamatan kerajaan Tuhan
dan juru selamat umat manusia. Ketaatan orang-orang Yahudi selama dua milenia (2000
tahun) penyebaran (dispersion) dan diaspora telah mempertimbangkan diri mereka sendiri
untuk menjadi alat-alat Tuhan, dan para pengawas dari pelaksanaan hukum suci Yahudi,
yaitu halakhah.
31
Dengan kata lain, esensi kovenan (perjanjian) khusus bangsa Yahudi dengan
Yahweh yaitu bahwa ―Bangsa Yahudi akan menjadi sebuah kerajaan imam-imam dan
sebuah bangsa suci.‖ Penekanan di sini yaitu mengenai komunitas orang-orang beriman,
keimaman dari sluruh komunitas, bukan para anggota individualnya. Oleh karena itu bagi
Yahudi Ortodoks, Judaisme menuntut/membutuhkan pembentukan sebuah negara Yahudi
Pada periode awal ke-Rabbi-an Yahudi, istilah halakhah (dari asal kata halakh yang berarti ‗pergi‘
atau ‗berjalan‘) dibatasi pada peraturan atau keputusan khusus. Kemudian halakhah diperluas maknanya
menjadi tiga aturan hukum (Codes of Law) yaitu Keluaran 21-23, Leviticus 19, Deutoronomy 21-25, dan
hukum-hukum khusus dengan bagian-bagian lainnya yang berlangsung di bawah para rabbi. Lihat, uraian
mengenai halakhah ini dalam Louis Jacobs, The Jewish Religion … , hal. 210-12.
10
yang berdaulat di tanah leluhur Israel untuk menjaga kebenaran dan keadilan serta untuk
menjamin keselamatan bangsa Yahudi.
32
Kendatipun kaum Zionis telah berhasil membentuk sebuah Negara Israel, sejak
deklarasi kemerdekaannya pada 14 Mei 1948, namun sejak awal Zionisme dideklarasikan,
reaksi penolakan telah banyak bermunculan. Sebagaimana diketahui dalam sejarah Yahudi
sejak penghancuran pertama kuil di Jerusalem pada 568 SM hingga perkembangannya pada
abad ke-19, Yahudi dipahami sebagai agama dan bukan sebagai sebuah pengertian
nasionalistik. Sekelompok pemukiman etnik di berbagai tanah (geografis) berbeda, kecuali
bahasa untuk peribadatan, dapat menemukan kekohesivannya dalam iman keagamaan yang
diakui oleh mayoritas anggotanya. Dalam periode awal yaitu benar bahwa Yahudi yaitu
sebuah bangsa – yang dalam bahasa Bibel yaitu ‗sebuah bangsa yang suci‘, tetapi sebuah
bangsa yang tak memiliki siapa-siapa. Dengan munculnya Zionisme modern pertanyaannya
yaitu : Apakah Yahudi sebuah bangsa atau apakah mereka yaitu penganut sebuah
agama?
33
Oposisi terhadap Zionisme di sebagian kalangan Yahudi datang dari sejumlah arah
yang berbeda. Kebanyakan para pemimpin Yahudi Pembaharuan berpikir bahwa
nasionalisme Yahudi sebagai sebuah pengkhianatan universalisme. Menurut Yahudi
Pembaharu, Yahudi yaitu sebuah anugerah ilahi, bukan sebuah malapetaka. Orang Yahudi
tidak memiliki tanah mereka, namun mampu menjaga agama mereka yang dinodai ide-ide
nasional partikularistik yang cenderung untuk mengecewakan harapan yang lebih besar
dari persatuan kemanusiaan dalam berbakti kepada Yahweh.
34
Nasionalisme Yahudi
khawatir dapat menimbulkan semacam pemberhalaan di mana bangsa menggantikan
tempat Yahweh.
35
Perjuangan kaum Zionis mendapatkan dorongan kuat untuk segera tercipat sebuah
Tanah Air untuk Yahudi di Pengasingan (Exile) agar kembali ke Tanah Israel, terutama
setelah pembunuhan massal terhadap warga Yahudi melalui kampanye Pemerintah
Nazi Jerman pada Perang Dunia Kedua. Genosida (pembasmian etnis) terhadap orang-
orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi dikenal sebagai Holocaust. ―Holocaust‖ yaitu
sebuah kata yang keras secara teologis yang dipinjam dari perbendaharaan kata
pengorbanan. Dalam bahasa Ibrani ada kata holocaust yang sama pengertiannya dengan
istilah ―shoah‖, yang berarti penghancuran (Mazmur 35:8 dan seterusnya), yang netral
secara teologis.
36
Di kalangan Yahudi sendiri sekelompok anti-Zionisme seperti Rabbi Mordecci
Atiyah, menganggap holocaust sebagai hukuman kolektif atas dosa-dosa kolektif Zionisme.
Holocaust dianggap sebagai penebusan dosa kolektif kaum Zionis yang mencita-citakan
tanah yang dijanjikan di Palestina.
37
Dari aspek penolakan yang lainnya, Herbert Feith, seorang ―Yahudi Abangan‖ asal
Australia dan negara kita nis terkemuka, pernah marah-marah dengan argumen yang dipakai
oleh para pembela negara Israel di Australia, khususnya karena kecenderungannya
memakai holocaust sebagai bahan propaganda. Sepertinya mereka merasa perlu
mengklaim genosida itu sebagai genosida yang unik, lebih dahsyat daripada semua
genosida yang lain.
E. Stigma Yahudi di negara kita
Bagi sebagian besar muslimin di dunia, ―ke-Yahudi-an‖ selalu mengundang banyak
stereotype –baik dengan dalih bersifat teologis (ajaran agama) maupun konstruksi sosio-
politis yang negatif tentang Yahudi sebagai sebuah bangsa yang dianggap serakah, penuh
konspirasi dan ―dikutuk Tuhan,‖ sebagaimana halnya ketika berbicara etnik Cina di
negara kita .
39
Persoalannya yaitu bahwa Yahudi sebagai salah satu anggota keluarga
Budayawan Emha Ainun Najib (2001) kelahiran Jombang, dalam suatu pengajian ―Kyai
Kanjeng‖telah mengidentikkan bangsa Yahudi dengan Bangsa Cina –Yahudi untuk Eropa-Amerika, Cina
untuk Asia. Pada tahap tertentu, Emha Ainun Najib terkesan rasis ketika berbicara Cina dan Yahudi saat
menjelaskan krisis ekonomi dan politik negara kita yang tak kunjung usai. Dia menduga ada konspirasi
internasional di bawah Yahudi dan Cina untuk mengoyak-koyak negara kita , lewat badan-badan internasional
12
Ibrahim, di negara kita tidak diakui keberadaannya. Walaupun ada komunitas Yahudi di
Surabaya,
40
sebagai contoh, namun Pemerintah negara kita belum ada isyarat akan
mengakuinya secara yuridis meskipun secara de facto diberikan hak hidupnya.
Dalam kehidupan warga Muslim negara kita , tanggapan terhadap Yahudi dan
Israel masih bersifat reaksioner dan demagogis. Ketika Abdurrahman Wahid, sebelum dan
saat menjabat sebagai Presiden Republik negara kita , pernah mengusulkan agara dibuka
hubungan diplomatik dengan Israel, maka secara serta-merta reaksi menolak dan
menentang usulan itu mengeras di beberapa gerakan Islam. Dalam arena akademik,
Nurcholish Madjid (akrab dipanggil Cak Nur) pernah dianggap sebagai agen Yahudi di
negara kita setelah menyampaikan diskusi tentang Islam di Taman Ismail Marzuki, Jakarta,
Oktober 1992, yang pada gilirannya mengundang polemik antara majalah Media Dakwah
dengan jurnal Ulumul Qur’an, setelah jurnal ini memuat tulisan R. William Liddle
tentang skripturalisme Media Dakwah atas kasus Cak Nur ini .
Stereotipe terhadap Yahudi menghadapi arus dominasi Barat terhadap dunia Islam
nampak seperti dalam kesimpulan Sjafruddin Prawiranegara yang mengidentikan
kapitalisme dan komunisme, yang ujung-ujungnya sampai kepada apa yang disebut sebagai
Yahudi. Keidentikan itu antara lain karena komunisme pun sebenarnya merupakan jenis
lain kapitalisme, seperti yang nampak di Uni Soviet. Selain itu, kapitalisme dan komunisme
berasal dari atau sangat dipengaruhi oleh orang-orang Yahudi. Sjafruddin mencontohkan
bahwa Karl Marx yaitu seorang keturunan Yahudi, di mana ayahnya seorang rabbi
(pendeta Yahudi), sehingga ―agama komunisme‖ direduksi menjadi sebagai bentuk
pembaharuan agama Yahudi. Pendapat Sjafruddin ini tentu saja tidak begitu mengejutkan,
tetapi kesimpulannya yang menyederhanakan sedemikian rupa antara Karl Marx yang
keturunan Yahudi dengan pemikirannya yang kemudian dikenal sebagai
Marxisme/Komunisme yaitu satu persoalan tersendiri. Nampaknya pendapatnya ini
banyak dipengaruhi oleh situasi perang Arab-Israel setelah berdirinya negara Israel pada
bulan Mei 1948, di mana baik Amerika Serikat sebagai ―agen utama kapitalisme‖ dan Uni
Dari beberapa contoh streotipe mengenai Yahudi, nampaknya telah menghabiskan
energi kritis kita untuk mempelajari sejarah Yahudi, peradaban dan pemikiran yang
dipengaruhi tradisi Yahudi. Lebih jauh, umat Islam telah melupakan hubungan baik antar
umat Islam dengan Yahudi pada saat Perang Salib ataupun ketika di Spanyol pada masa
kejayaan Islam di sana. Hal ini menjadi hilang, karena di masa kehidupan Nabi
Muhammad, orang-orang Yahudi pernah berkhianat, melanggar Piagam Madinah dan
dalam Qur‘an disebut-sebut tabiat buruk orang-orang Yahudi.
Kita kehilangan kesempatan untuk memahami seluk beluk ajaran dan kehidupan
Yahudi sejak berdirinya negara Yahudi: Israel. Sejak itu pulalah kita kehilangan
kesempatan untuk melahirkan akademisi yang ahli dalam studi tentang Yahudi.











